KETIKA keempat
orang Banyubiru itu telah berdiri melingkari dua orang yang akan bertempur itu
bersama enam orang prajurit Demak, maka perang tanding itu segera akan dimulai.
Seorang prajurit Demak yang tidak lain adalah Paningron, maju selangkah. Dengan
penuh hormat ia mengangguk kepada Ki Ageng Pandan Alas, yang dianggapnya wakil
tertua dari Banyubiru, sambil berkata.
“Ki Ageng
perang tanding akan segera dimulai.”
Pandan Alas
tersenyum. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Prajurit itu pernah
dilihatnya di Pamingit dan Paningron pun ternyata tidak lupa pula kepadanya.
“Silakan,”
jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Atas nama
Baginda. Yang akan mewakili prajurit Demak adalah adi Tumenggung Prabasemi.
Salah seorang perwira Wira Tamtama. Sedang yang mewakili Banyubiru adalah Arya
Salaka. Begitu?”
“Ya” sahut
Pandan Alas.
Tiba-tiba Arya
yang sedang marah itu memotong.
“Kenapa bukan
Karebet sendiri maju ke gelanggang?” Paningron menarik alisnya. Jawabnya.
“Perintah
Baginda telah jatuh. Tumenggung Prabasemi yang akan mewakilinya.”
Prabasemi
mengerutkan keningnya. Kenapa anak muda itu menyebut-nyebut nama Karebet.
Apakah Karebet telah berbuat sesuatu yang menjadikan rakyat Banyubiru marah,
dan sekarang ia harus mewakilinya?
“Persetan,”
berkata Prabasemi di dalam hatinya.
“Aku harus
menunjukkan kepada Baginda, bahwa bukan hanya Karebet yang mampu menyelesaikan
persoalan.”
Paningron
kemudian melanjutkan kata-katanya.
“Ki Ageng
Pandan Alas, apabila tidak berkeberatan, baiklah kita taati peraturan yang
telah ditulis Baginda di dalam rontal yang sudah disampaikan kepada Arya
Salaka. Perang tanding akan berhenti setelah salah seorang tak berdaya. Jangan
terjadi pembunuhan, supaya Baginda memaafkan segala yang telah terjadi. Lawan
yang kalah dapat disusul dengan orang yang lain berturut-turut, tutuh tinutuh,
sehingga orang terakhir yang mungkin dapat diajukan ke arena menurut
pertimbangan-pertimbangan masing-masing.”
Ki Ageng
Pandan Alas menganggukkan kepalanya. Orang tua itu benar-benar melihat,
seakan-akan sesuatu sedang direncanakan. Meskipun ia tidak tahu benar, namun
orang tua itu sama sekali tidak menjadi gelisah melihat perkembangan keadaan.
“Baiklah”
berkata Paningron.
“Perang
tanding akan segera dimulai.”
Paningron itu
pun kemudian melangkah surut. Kemudian diberinya kesempatan kedua orang yang
telah berhadapan itu mulai dengan tugas mereka mewakili laskar masing-masing
dalam perang tanding itu. Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar karenanya. Dari
kejauhan ia segera mengenal Paningron yang pasti sudah mengenal pula kelebihan
Arya Salaka. Sedang perwira Wira Tamtama yang akan mewakili Demak itu belum
begitu dikenalnya. Namun pernah ia dahulu melihatnya. Baru setelah beberapa
saat Mahesa Jenar mengingat-ingat tahulah ia bahwa orang itu adalah Prabasemi
yang dahulu masih menjadi lurah Wira Tamtama. Arya Salaka yang didorong oleh
ketegangan, kemarahan dan tuntutan keadilannya yang bergolak di dalam dadanya,
tidak berkata apa pun lagi. Segera ia bersiap untuk segera mulai dengan perang
tanding itu.
Prabasemi
dengan tenangnya menghadapi anak muda yang gelisah itu. Sekali-kali Prabasemi
itu masih tersenyum. Anak dari Banyubiru itu benar-benar menjengkelkan. Kenapa
anak itu tidak menjadi cemas atau bahkan ketakutan melihat dirinya.
“Hem”
desahnya.
“Anak ini
adalah anak yang sombong.”
SEDANG Arya
Salaka dengan penuh kewaspadaan menghadapi lawannya bertubuh kokoh kuat itu. Ia
menyadari, seandainya orang itu bukan seorang yang pilih tanding, pasti ia
tidak akan diangkat menjadi seorang perwira dan harus mewakili Demak dalam
arena itu. Mungkin orang ini setingkat dengan gurunya pada waktu gurunya masih
menjadi prajurit. Mungkin kurang dan mungkin lebih. Karena itu Arya Salaka sama
sekali tidak berani melengahkan waktu. Beberapa saat kemudian, Prabasemi itu
pun mulai bergerak. Perlahan-lahan, masih dengan tersenyum-senyum. Arya menjadi
semakin marah melihat sikapnya. Sikap seorang yang sedang bermain-main dengan
anak-anak yang masih sering menangis. Ketika tangan Prabasemi bergerak
menyambar wajahnya, Arya bergeser surut. Kembali dadanya berguncang ketika ia
melihat Prabasemi tertawa. Sikapnya seperti sikap seekor harimau menghadapi
seekor anjing sakit-sakitan. Arya Salaka kemudian tidak dapat menahan diri
lagi. Ia mendengar peraturan yang harus ditaati sebagai seorang laki-laki. Kalau
ia menang, maka ia masih akan menghadapi orang-orang lain yang akan ditunjuk
oleh Baginda. Namun kalau ia kalah, apakah ada orang lain yang menggantikannya.
Gurunya, ayahnya atau Kebo Kanigara? Arya Salaka itu telah menjadi kecewa
ketika ia tidak melihat ayahnya, atau gurunya berada disampingnya. Karena itu,
maka ia merasa agaknya gurunya serta ayahnya ingin menyerahkan setiap persoalan
kepadanya sendiri.
“Aku akan
berjuang sekuat tenagaku,” katanya di dalam hati. Karena itu, ketika ia masih
melihat Prabasemi tersenyum-senyum saja tiba-tiba ia meloncat dengan cepatnya
menyentuh dada lawannya. Meskipun dengan demikian ia hanya ingin memperingatkan
lawannya untuk segera mulai dengan sungguh-sungguh, namun akibatnya benar-benar
mengherankan. Prabasemi terkejut bukan buatan melihat kecepatan gerak itu,
sehingga ia benar-benar tidak sempat menghindarinya. Karena itu, maka ia ingin
mundur selangkah untuk mengurangi tekanan tangan Arya Salaka. Tetapi tangan
Arya telah mempercepat gerak surutnya, sehingga tampaknya Prabasemi benar-benar
terdorong beberapa langkah. Wajah Wira Tamtama itu menjadi merah membara.
Sekali ditatapnya wajah-wajah yang berada di sekeliling arena itu. Ketika
terpandang olehnya wajah Ki Ageng Pandan Alas, ia mengumpat di dalam hati.
Orang tua itu tersenyum kepadanya.
“Setan,”
desisnya.
Apalagi ketika
matanya bertemu pandang dengan Rara Wilis yang menyandang pedang di lambungnya.
Maka dada Prabasemi itu pun serasa menyala membakar segenap urat syarafnya.
Kini ia sudah tidak tersenyum-senyum lagi. Bahkan dengan penuh dendam ia
memandang Arya Salaka yang belum pernah dikenal sebelumnya. Ia harus
mengembalikan namanya yang tiba-tiba saja telah diguncangkan oleh seorang
anak-anak. Karena itu anak itu harus segera lumpuh. Semakin cepat ia melumpuhkan
Arya Salaka, maka akan semakin menanjak pula namanya sebagai seorang Wira
Tamtama. Karena itu, maka dengan garangnya segera ia menyerang. Kedua tangannya
bergerak bagaikan sepasang petir yang menyambar bersama-sama. Namun Arya Salaka
benar-benar telah bersiap. Dengan cepatnya ia bergeser ke samping menghindari
sambaran tangan kanan Prabasemi. Namun dengan kecepatan yang luar biasa tangan
kiri Prabasemi pun telah menjangkau pelipisnya. Kali ini Arya tidak sempat
menghindarkan diri, hingga karena itu maka ia harus melawan serangan itu.
Dengan sekuat tenagannya, karena ia tidak dapat mengira-irakan kekuatan
lawannya, maka tangan Prabasemi itu pun ditamparnya dengan tangan kanannya.
Terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Prabasemi yang marah itu pun ternyata telah
mengerahkan sebagian besar tenaganya. Namun karena tenaganya dipusatkan kepada
kedua belah tangannya, maka benturan itu benar-benar menggoncangkan jantungnya.
Tangan Arya Salaka benar seperti sepotong besi gligen yang menghantam
tangannya. Perasaan nyeri menyengat pergelangan tangan itu, yang kemudian
seakan-akan merembet ke segenap tubuhnya. Prabasemi menyeringai.
Meskipun
mereka bersama-sama terdorong beberapa langkah surut, namun alangkah marahnya
ketika ia melihat wajah Arya Salaka yang tegang itu sama sekali tidak
menunjukkan perasaan sakit dan nyeri seperti yang dirasakannya. Wajah Prabasemi
yang marah itu benar-benar menjadi membara karenanya. Sekali lagi ia memandang
berkeliling. Dan sekali lagi hatinya terguncang ketika ia melihat wajah Rara Wilis.
Kali ini ia melihat wajah gadis itu sedemikian asyiknya melihat pertempuran
itu. Sehingga dengan demikian, maka terasa bahwa gadis itu pasti dapat menilai
pula apa yang telah terjadi. Apalagi ketika ia melihat wajah Paningron. Wajah
itu sedemikian kecewanya memandanginya.
“Gila,”
desahnya.
“Anak itu
harus segera kulumpuhkan. Kalau ia mati karenanya, sama sekali bukan salahku,
sebab di dalam perkelahian hal-hal semacam itu mungkin saja terjadi.”
Betapa
Prabasemi ingin namanya menjadi semakin cemerlang di hadapan Baginda. Meskipun
Baginda tidak nampak di luar baraknya, namun ia yakin bahwa Baginda pasti akan
mengetahui apakah yang akan terjadi.
Kini ia
benar-benar ingin melumpuhkan lawannya. Secepat-cepatnya. Karena itu, maka
Prabasemi itu pun kemudian melontar surut beberapa langkah. Dijulurkannya kedua
tangannya ke depan, kemudian dengan gerak yang menyentak ditariknya kedua
sikunya ke belakang serta ditekuknya. Kedua tangannya menelentang ke belakang
mengepal di lambungnya. Sedang tubuhnya direndahkannya, siap melontar dalam
ilmunya Aji Sapu Angin.
Arya Salaka
melihat gerakan-gerakan itu. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang
cukup, meskipun dalam umurnya yang muda, maka segera ia mengetahuinya bahwa ia
berhadapan dengan Aji rangkapan dari lawannya itu. Sesaat ia menjadi ragu-ragu.
Ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas, dilihatnya orang tua itu
mengangguk. Maka dengan tidak berpikir panjang, Arya Salaka itu pun segera
mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi seolah-olah hendak menggapai langit,
tangannya yang lain bersilang di dada, sedang satu kakinya diangkatnya serta
ditekuknya ke depan. Arya Salaka pun telah siap dengan Ajinya Sasra Birawa.
Arena itu benar-benar menjadi tegang. Paningron terkejut melihat sikap itu.
Segera ia meloncat ke depan untuk melerai mereka, namun ia terlambat. Prabasemi
telah meloncat maju. Ayunan tangannya dengan derasnya mengarah ke kepala Arya
Salaka. Namun ketika ia melihat sikap Arya pun, hatinya berdesir. Apakah yang
dilakukan oleh anak muda itu? Prabasemi pun menyadari. Arya Salaka telah
berusaha melindungi dirinya dengan kekuatan tertinggi yang dimilikinya. Sesaat
kemudian terjadilah sebuah benturan yang dahsyat.
Lamat-lamat
terdengar Mahesa Jenar berdesah.
“Arya,” namun
suara itu tidak didengarnya. Benturan kedua Aji itu benar-benar mengejutkannya.
Arya berguling
di tanah. Terdengar sebuah keluhan pendek, namun kemudian dengan sepenuh
tenaga, Arya mencoba untuk tetap menguasai kesadarannya. Betapa tubuhnya serasa
kejang-kejang, namun ia masih dapat berusaha untuk bangkit kembali. Dan dengan
terhuyung-huyung ia berdiri di atas kedua kakinya. Meskipun kepalanya menjadi
pening, namun ia masih dapat melihat keadaan sekelilingnya dengan terang. Dan
dilihatnya dihadapannya, Tumenggung Prabasemi terbanting pula di tanah. Sekali
ia menggeliat, tetapi kemudian betapa ia berusaha dengan susah payah. Prabasemi
tidak berhasil mengangkat tubuhnya. Sekali ia mengangkat kepalanya pada kedua
tangannya yang bertelekan tanah, namun kemudian ia terjatuh kembali. Bibirnya
yang tebal itu bergerak mengumpat-umpat. Tetapi Prabasemi tidak berhasil untuk
melumpuhkan lawannya, bahkan dirinya sendirilah yang menjadi lumpuh karenanya.
Betapa hatinya terbakar oleh luapan kemarahannya. Tetapi apakah yang dapat
dilakukannya? Beberapa orang kemudian mendekatinya untuk membawanya menepi.
Tetapi
Tumenggung itu berteriak-teriak.
“Pergi. Pergi.
Tak seorang pun dapat mengalahkan Prabasemi. Biar aku remukkan kepalanya.
Pergi.”
Namun sekali
lagi Paningron memberi isyarat kepada mereka, dan Tumenggung Prabasemi itu pun
diangkat menepi, meskipun ia mengumpat-umpat sejadi-jadinya. Peristiwa itu
telah benar-benar menggemparkan para prajurit Demak. Mau tidak mau mereka telah
memuji di dalam hati. Ternyata anak Banyubiru itu telah mampu mengalahkan Prabasemi.
Arya Salaka masih berdiri tegak di atas kedua kakinya yang terasa menjadi
lemah. Terasa urat-uratnya seperti membeku. Namun ketika angin rimba
mengusapnya, terasa tubuhnya menjadi semakin segar pula. Paningron yang
mengatarkan Prabasemi masuk ke dalam baraknya segera kembali ke arena, dengan
sareh ia bertanya kepada Ki Ageng Pandan Alas.
“Ki Ageng,
lawan yang pertama telah dirobohkan. Apakah Banyubiru akan menerima orang kedua
seperti yang dijanjikan.”
Ki Ageng
Pandan Alas memandang Arya Salaka. Dilihatnya anak itu masih terlalu letih.
Tetapi terdengar Arya yang sedang marah itu menjawab lantang.
“Aku masih
tetap berdiri di sini sebelum Karebet diserahkan kepada kami dengan segala
akibatnya.”
PARA prajurit
Demak sesaat menjadi ragu-ragu. Mereka tidak tahu kenapa Baginda memilih cara
ini untuk menyelesaikan persengketaan itu. Di dalam rombongan berburu ini,
tidak banyak orang yang dapat diketengahkan untuk melakukan perang tanding
seorang melawan seorang. Perwira yang dapat dibanggakan adalah Tumenggung
Prabasemi. Namun Tumenggung telah dikalahkan. Apabila serta maka Gajah Alit,
atau Panji Danapati, Arya Palindih, atau beberapa orang lain pasti akan dapat
menyelesaikan pertempuran itu. Namun mereka tidak beserta Baginda. Yang ada di
sini hanyalah selain Tumenggung Prabasemi adalah Paningron sendiri. Mungkin
Paningron akan tampil untuk yang terakhir kalinya, apabila tidak ada orang lain
yang dapat memenangkan segala perkelahian. Atau mungkin Baginda sendiri?
Para prajurit
Demak menjadi berdebar-debar. Kenapa tidak dibiarkan saja laskar Banyubiru
menyerbu? Dengan pengalaman dan kematangan prajurit Demak dalam olah perang dan
gelar-gelar perang, maka mereka akan dapat menjebak laskar lawannya, mesikipun
jumlahnya tidak seimbang. Tetapi perang tanding itu telah dimulai. Karena itu
maka pasti akan diteruskannya. Dalam keadaan yang demikian, maka setiap
prajurit Demak menjadi tegang. Mereka menunggu siapakah kemudian yang akan
masuk ke arena. Dirinya? Adalah mungkin sekali setiap orang akan ditunjuk oleh
Baginda. Karena itu, maka mereka menunggu perkembangan keadaan dengan penuh
ketegangan.
Paningron
menarik nafasnya. Sekali ia melambaikan tangannya, dan kembali terdengar
sangkalala bergema. Dari dalam barak keluarlah beberapa orang yang mengantarkan
orang kedua yang akan mewakili Demak. Tiba-tiba semua mata terpancang kepada
orang itu. Orang yang telah hilang dari Demak beberapa saat lampau. Diantara
desah pembicaraan orang-orang itu, terdengar Paningron berkata lantang.
“Kali ini
Karebet akan masuk ke arena. Dengan perjanjian, apabila ia menang dalam perang
tanding ini, maka ia akan mendapat pengampunan dari Baginda atas semua
kesalahan yang telah dibuatnya, membunuh seorang calon Wira Tamtama yang
bernama Dadungawuk. Namun Karebet tidak berhasil, maka nasibnya akan diserahkan
kepada orang-orang Banyubiru. Sebab ialah yang telah membawa persoalan itu
kemari.”
Di sekitar
lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Baik para prajurit Demak, maupun
laskar Banyubiru. Mereka kini melihat Karebet, ia berjalan ke arena, mendekati
Arya Salaka yang masih tegak di atas kedua kakinya. Bagaimana mungkin Karebet
itu tiba-tiba berada di situ. Sedangkan ia masih harus menjalani hukumannya.
Arya yang melihat kehadiran Karebet itu tiba-tiba menjadi gemetar. Kemarahannya
benar-benar telah menggoncangkan dadanya, bahkan seakan-akan dada itu akan
meledak. Karena itulah, maka seakan-akan tubuhnya yang masih lemah itu
menemukan kekuatannya kembali. Kekuatan yang berlipat. Kekuatan yang selama ini
pernah dimilikinya.
Dengan gigi
gemeretak ia bergumam kepada dirinya sendiri.
“Karebet.
Karebet. Seakan-akan diseluruh wajah bumi, kau adalah jantan sendiri.”
Karebet itu
pun berjalan dengan tenangnya mendekati Arya Salaka. Wajahnya masih saja
mengulum senyum dan bahkan dengan kata-kata yang akrab ia menyapa.
“Selamat
bertemu kembali adi Arya Salaka.”
Arya Salaka
bergumam.
Jawabnya.
“Tidak ada
waktu untuk mengucapkan selamat. Bersiaplah. Kita tentukan siapakah yang akan
berhasil dalam perkelahian ini. Ternyata kau telah sengaja mengorbankan saudara
sepupumu hanya untuk mendapatkan pengampunan atas kesalahanmu itu.”
Karebet
mengerutkan keningnya. Dilayangkannya pandangan matanya ke seberang tanah
lapang. Meskipun tidak jelas namun ia pasti bahwa disana ada pamannya Kebo
Kanigara. Tetapi dadanya berdesir kalau diingatnya bahwa Mahesa Jenar berada di
sana. Apalagi Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis dan beberapa orang lain, ada
juga di sekitarnya.
Dalam pada itu
kembali terdengar Arya Salaka berkata.
“Nah, Karebet
yang perkasa, yang ditakuti karena memiliki Aji Lembu Sekilan. Apakah kau
membanggakan kesaktianmu sehingga kau bertindak dengan sekehendak hatimu?”
Sekali lagi
Karebet mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia sempat menjawab, maka terdengar
Arya berkata terus.
“Kau telah
memancing kekeruhan dan menantang aku untuk datang sesudah purnama naik di
hutan Prawata. Nah, Karebet yang sakti. Ini Arya Salaka telah datang.”
Karebet
menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak tersenyum lagi. Ditatapnya saja wajah
Arya Salaka yang menyala itu. Sesaat tampak ia menjadi ragu-ragu. Namun setelah
ia menelan ludahnya beberapa kali barulah ia berkata.
“Terpaksa aku
lakukan adi.”
“Omong kosong”
bantah Arya Salaka.
“Ternyata kau
sampai hati menjual adik sepupumu itu?”
Karebet
menjadi bingung. Bagaimana ia harus menjawab kata-kata Arya Salaka. Tampaklah
Karebet itupun menjadi gelisah dan Arya Salaka berkata terus.
“Sekarang aku
datang memenuhi tantanganmu.”
Sesaat Karebet
memandang berkeliling. Beberapa orang di sekitarnya memandangnya dengan penuh
keheranan. Karena itulah maka Karebet itupun tiba-tiba berkata lantang.
“Marilah adi.
Kita mulai permainan yang tidak menyenangkan ini.”
Belum lagi
Karebet mengucapkan mulutnya, Arya Salaka yang dadanya serasa menyala itu telah
meloncatinya dengan sebuah serangan yang dahsyat. Karebet pun segera
menghindarkan dirinya dengan lincahnya, dan dengan tangkasnya maka ia pun
membuka serangan pula.
MAKA
terjadilah kemungkinan sesuatu perkelahian yang sengit. Masing-masing mencoba
untuk melawan dengan sebaik-baiknya. Mengerahkan segenap ilmunya dan mencoba
untuk menjatuhkan lawannya. Namun keduanya adalah anak-anak muda yang perkasa.
Arya Salaka yang didorong oleh kemarahan yang meluap-luap seakan-akan
benar-benar menemukan tenaga tambahan yang tak pernah diduganya. Sedang Karebet
yang masih segar, benar-benar seorang pemuda yang lincah dan tangkas. Karena
itulah maka perkelahian itu segera berkisar dari satu titik ke titik yang lain.
Perkelahian yang membingungkan dan mendebarkan hati. Pertempuran itu ternyata
jauh berbeda sifatnya dari pertempuran yang pertama. Prabasemi yang selalu
bernafsu menghancurkan lawannya, ternyata telah mendorong perkelahian itu cepat
kepada akhirnya. Tetapi ini perkelahian itu benar-benar mirip dengan sepasang
garuda yang berlaga di udara. Sambar menyambar, terkam menerkam. Beberapa orang
yang mengelilingi perkelahian itu pun terpaksa melangkah surut. Lingkaran
pertempuran menjadi semakin lebar. Karebet bergerak dengan cepatnya,
melontar-lontarkan dirinya dalam jarak yang panjang. Arya Salaka ternyata lebih
senang menunggu lawannya. Gerakannya dibatasi. Namun setiap gerakan yang
dilakukannya, benar-benar melontarkan bahaya yang bernada maut. Perkelahian itu
semakin lama menjadi semakin sengit. Masing-masing adalah anak-anak muda yang
perkasa, sehingga mereka berdua kemudian seakan-akan menjadi lebur dalam satu
pusaran yang membingungkan.
Di dalam
barak, di samping barak yang dipergunakan oleh Baginda, seorang yang bertubuh
besar dan kokoh mengumpat-umpat di dalam hati. Nafasnya masih terasa menyekat
di dalam rongga dadanya, namun dengan parau ia mengumpat.
“Gila. Kenapa
Karebet itu telah berada di tempat ini pula”.
Orang itu
adalah Prabasemi. Ia tidak saja menjadi marah dan malu karena kekalahannya,
tetapi hatinya menjadi terguncang ketika dilihatnya, tiba-tiba saja Karebet
telah berada di lingkungan mereka tanpa mereka ketahui. Di samping Prabasemi,
berdiri seorang anak muda pula yang bertubuh kokoh kuat sebagai seekor harimau
jantan di tengah rimba belantara. Sepasang matanya yang tajam memandang perkelahian
itu dari jarak yang cukup jauh. Namun ketajaman matanya itu segera melihat,
bahwa keduanya, yang bertempur itu, adalah anak-anak muda yang perkasa pula.
Namun keperkasaan kedua pemuda itu telah menimbulkan gairah pula di dalam
hatinya.
“Kenapa
pamanda Baginda tidak menunjuk aku untuk maju ke arena,” desisnya. Prabasemi
menoleh. Dilihatnya anak muda itu, Arya Penangsang.
“Hem,”
desahnya.
“Seharusnya
tuanlah yang maju ke arena.”
“Pamanda
Baginda tidak menunjuk aku,” jawabnya. Kemudian katanya pula.
“Kenapa paman
Prabasemi dapat dikalahkan?”
Prabasemi
menundukkan wajahnya. Jawabnya,
“Tangan anak
itu benar-benar seberat batu hitam yang menggempur dadaku.”
Arya
Penangsang tersenyum. Katanya,
“Aku tahu
benar. Anak muda itu mempergunakan Aji Sasra Birawa”.
“He?,”
Prabasemi terkejut. Namun kembali ia menundukkan wajahnya. Di dalam hati ia
berdoa semoga Karebet itu akan dilumpuhkan Aji Sasra Birawa pula.
“Tetapi aku
tidak takut melawan Sasra Birawa,” gumam Arya Penangsang.
Prabasemi
tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berjalan masuk ke dalam baraknya sambil
berpegangan dinding.
“Persetan.”
Pertempuran di
arena masih berlangsung terus. Namun perkelahian itu kini menjadi semakin
kendor. Tak seorang pun yang mengetahui apakah sebabnya. Mungkin karena telah
kelelahan atau mungkin salah seorang daripadanya telah terluka. Namun
sebenarnyalah dalam pertempuran itu terdengar Karebet berbisik.
“Maafkan aku
adi.”
Arya Salaka
terkejut.
“Kenapa? Tak
ada jalan yang harus aku maafkan. Aku telah memenuhi tantanganmu. Marilah kita selesaikan
perkelahian ini.”
“Adi,”
berbisik Karebet itu pula.
“Dengarkanlah
ceriteraku. Aku berkata sebenarnya.”
Arya Salaka
mula-mula sama sekali tak memperhatikannya. Namun kemudian ia mendengar Karebet
itu berkata.
“Kali ini tak
ada orang lain yang dapat menolongku, selain adi Arya Salaka.”
Arya Salaka
mengerutkan keningnya. Dan tanpa menunggu lagi, Karebet mulai dengan
ceriteranya. Karena itulah maka perkelahian diantara mereka menjadi bertambah
surut.
KETIKA Karebet
selesai dengan ceriteranya, maka terdengar Arya Salaka berkata.
“Apakah kau
berkata sebenarnya?”
“Ya. Aku
berkata sebenarnya.”
“Kenapa kakang
tidak berkata sebelumnya?”
“Aku
memerlukan kau datang dalam kesiagaan yang benar-benar.”
“Hem,” Arya
Salaka menggeram. Tampaklah keragu-raguan membayang diwajahnya.
Dipertimbangkannya masak-masak kata-kata Karebet itu dan dikupasnya
sejauh-jauhnya. Ketika ia melihat wajah Karebet yang bersungguh-sungguh itu,
maka tiba-tiba ia tersenyum meskipun dicobanya untuk menyembunyikan
dalam-dalam.
“Gila. Kau benar-benar
bermain api kakang. Apakah aku harus bersimpuh menyembahmu?”
“Jangan.
Lepaskan Sasra Birawa itu.”
“He?,” Arya
Salaka terkejut.
“Apakah
sebenarnya maksudmu?”
“Ya. Lepaskan
Sasra Birawa. Aku tidak akan melawan. Tetapi aku akan bertahan dengan Lembu
Sekilan. Mungkin aku dan adi akan terlempar beberapa langkah. Mudah-mudahan
tidak berbahaya, meskipun tubuh kita akan kesakitan.”
Arya Salaka
tidak sempat berpikir lebih lama. Menilik wajah dan kata-kata Karebet, maka
Karebet telah berkata sebenarnya. Tetapi seandainya Karebet itu berbohong,
bukankah Sasra Birawa itu adalah kekuatannya yang tertinggi? Seandainya Sasra
Birawa itu tidak mampu mengalahkan Karebet, maka ia sudah tidak memiliki
kekuatan lain yang akan dipergunakan. Karena itu apapun yang dilakukan oleh
Karebet, maka sudahlah pasti ia akan mempergunakan kekuatan tertinggi itu. Arya
Salaka yang sedang menimbang-nimbang itu pun terkejut ketika ia melihat Karebet
melontar menyerangnya. Ketika ia mengelak ia mendengar Karebet berbisik.
“Mulailah.”
Arya Salaka
itu tidak dapat berbuat lain daripada memenuhi permintaan itu. Sekali ia
meloncat surut. Diangkatnya sebelah tangannya tinggi-tinggi, dan disilangkannya
tangannya yang lain di dadanya. Satu kakinya diangkatnya ke depan dan dengan
menggenggam Arya Salaka meloncat melontarkan Aji Sasra Birawa. Karebet yang
melihat Arya Salaka telah siap, segera mempersiapkan dirinya pula.
Direnggangkannya kakinya dan kedua tangannya segera bersiap dimuka dadanya.
Wajahnya segera menjadi tegang. Dan diterapkannya Aji Lembu Sekilan
sejauh-jauhnya yang dimilikinya. Pukulan Arya Salaka benar-benar dahsyat.
Seakan-akan sebuah gunung runtuh menimpa dada Karebet. Namun Karebet telah
mapan dalam Aji Lembu Sekilan, sehingga pukulan itu tidak menggugurkan isi
dadanya. Meskipun demikian ia terlontar beberapa langkah surut dan jatuh
berguling beberapa kali di tanah. Namun sesaat kemudian ia telah melenting
berdiri tegak di atas kedua kakinya. Arya Salaka yang mempergunakan Ajinya
terasa seakan-akan membentur benteng baja. Pukulan itu seakan-akan telah
menghantam dirinya sendiri, sehingga ia pun terlempar beberapa langkah. Dengan
kerasnya ia terbanting di tanah. Sesaat matanya menjadi berkunang-kunang.
Seakan-akan langit akan runtuh menimpanya. Karena itu ia segera memejamkan matanya
dan mengumpulkan segenap kekuatan yang ada padanya. Sebenarnyalah bahwa tubuh
Arya Salaka adalah tubuh yang luar biasa, sehingga dengan demikian, ia tidak
mengalami cidera. Namun untuk sesaat ia tidak dapat bangkit berdiri dengan
kekuatan sendiri.
Melihat
anaknya terbanting jatuh, dada Gajah Sora seperti akan meledak. Tiba-tiba
hilanglah segenap pertimbangannya. Dengan serta merta ia berkata,
“Akulah yang
akan menjadi orang kedua.”
Kebo Kanigara
terkejut mendengar perkataan itu. Karena itu segera ia mencegahnya sambil
berkata.
“Tunggulah.
Apakah yang akan terjadi kemudian.”
“Apa yang
harus aku tunggu?” Kebo Kanigara menjadi bingung. Sejak semula ia telah
menyangka, bahwa akan sulitlah untuk mengendalikan Gajah Sora. Apalagi mereka
melihat Lembu Sora di tengah lapangan itupun telah menjadi gemetar dan
tangannya telah melekat di hulu pedangnya. Namun sekali lagi wajah Gajah Sora
itupun terkulai ketika tiba-tiba ia melihat Sultan Tranggana di kejauhan keluar
dari dalam baraknya.
“O. Apakah
yang sepantasnya aku lakukan?” terdengar Gajah Sora berdesah. Kedua tangannya
tiba-tiba telah menutupi wajahnya. Dalam kebingungan itu ia bergumam.
“Kalau saja
Sultan tidak ada di sana. Kalau saja panji-panji Gula Kepala itu tidak berkibar
disana pula.”
“Jangan cemas
kakang”, tiba-tiba terdengar suara Mahesa Jenar.
“Akupun orang
buangan seperti Karebet. Birlah aku maju ke arena. Seandainya aku akan
digantung sekalipun, aku tidak akan menyesal.”
“MAHESA
JENAR,” potong Kebo Kanigara.
“Jangan.”
“Aku tidak
sampai hati melihat Arya Salaka dan aku tidak sampai hati melihat Kakang Kebo
Kanigara kehilangan anaknya satu-satunya,” berkata Mahesa Jenar.
“Tetapi,” Kebo
Kanigara menjadi gelisah. Ketika ia memandang ke lapangan, dilihatnya Baginda
berjalan ke arena. Di belakangnya berjalan seorang tua dalam pakaian
kepangeran.
“Kau lihat
orang tua itu?” bertanya Kebo Kanigara.
“Ya, aku
lihat. Pangeran Buntara, yang bergelar Panembahan Ismaya dan pernah
menggemparkan Demak sebagai seorang yang bernama Pasingsingan.”
“Ya,” sahut
Kebo Kanigara.
“Apa
peduliku.”
“Mahesa
Jenar,” Kebo Kanigara menjadi bertambah gelisah. Tetapi tiba-tiba ia melihat
Mahesa Jenar tertawa. Aneh sekali. Gajah Sora pun menjadi sangat heran
karenanya. Dan mereka mendengar Mahesa Jenar itu berkata,
“Aku telah
bertemu di Lemah Telasih. Ki Buyut Banyubiru telah mengatakan kepadaku
semuanya.”
“Oh,” Kebo
Kanigara berdesah.
“Kau
mencemaskan aku.”
“Kakang pun
telah mencemaskan aku pula.”
Gajah Sora
memandang mereka dengan penuh pertanyaan. Namun tiba-tiba mereka melihat Paningron
melambaikan kepada mereka.
“Marilah
kakang,” ajak Mahesa Jenar.
“Kita
menghadapi Baginda.”
Baginda pun
kemudian melihat mereka datang. Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Gajah Sora.
Dengan tersenyum Baginda menerima mereka, sambil berkata,
“Eyang
Buntara. Apakah mereka akan kami bahwa masuk ke dalam perkemahan?”
“Ya cucunda
Baginda.”
“Bawalah,”
perintah Baginda kepada Paningron. Baginda itu memandang Arya Salaka sesaat.
Kemudian dihampirinya anak yang masih menyeringai itu. Ditepuknya pundaknya
sambil berkata,
“Kau pun anak
luar biasa. Mari, masuklah ke dalam kemahku.”
Terasa sesuatu
yang aneh di dalam dada Arya Salaka. Perlahan-lahan ia menyembah, dan kemudian
diikutinya Baginda masuk ke dalam perkemahan. Di dalam perkemahan itu duduk
Baginda Sultan Trenggana, Pangeran Buntara dan Paningron, dihadap oleh Karebet,
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Rara Wilis, Ki Ageng Pandan Alas, Gajah Sora,
Lembu Sora, Arya Salaka dan Bantaran.
Dengan wajah
yang terang Baginda itu memberi kesempatan kepada Pangeran Buntara untuk
berceritera, apa saja sebenarnya yang telah mereka lakukan.
“Oh,” Gajah
Sora menarik nafas dalam-dalam.
“Jadi semuanya
ini hanyalah sebuah permainan saja? Permainan yang berbahaya.”
“Ya,” jawab
Pangeran Buntara.
“Namun dengan
demikian Baginda akan menjadi tenang menghadapi masa-masa depan. Baginda tidak
akan lagi diganggu oleh prajurit yang selalu bersedih hati, dan menyebabkan
permaisuri bersedih pula.”
Baginda
mengangguk-anggukkan kepala. Dan Gajah Sora pun berkata.
“Wajarlah
kalau selama ini Kakang Kebo Kanigara tidak tampak bersungguh-sungguh berduka.
Rupa-rupanya Karebet telah mendapat ijin daripadanya.”
Karebet
tersenyum. Tetapi ia menjadi ngeri pula kalau dikenangnya cara-cara yang
ditempuhnya itu. Apalagi ketika pada suatu malam ia dikejar oleh Arya Salaka
ketika ia berusaha menemui Kebo Kanigara di halaman rumah Gajah Sora.
Tetapi bukan
itu saja. Tiba-tiba Pangeran Buntara itu pun berkata.
”Baginda, hari
ini adalah dapat memanggil kembali Karebet, maka Baginda akan mendapatkan
kembali pusaka-pusaka Baginda itu. Selain Sangkelat yang telah diserahkan lewat
Karebet kemarin, dan Baginda sendiri melihat bahwa keris itu agaknya telah
luluh dalam diri Karebet, sehingga meyakinkan Baginda akan berhasilnya cara
ini, maka kini perkenankan Mahesa Jenar menyerahkan pula keris-keris yang
selama ini dicarinya, Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Alangkah
terkejutnya Baginda. Sehingga dengan serta merta Baginda berkata,
“Jadi
keris-keris itu telah kau ketemukan?”
Mahesa Jenar
menyembah dengan takzimnya. Jawabnya penuh haru.
“Hamba
Baginda.”
“Dimanakah
pusaka-pusaka itu kau simpan.”
MAHESA JENAR
tidak menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Pangeran Buntara yang tua itu. Sehingga
Pangeran itu pun berkata,
“Kedua keris
itu aku simpan Baginda.”
“Oh,” Baginda
menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian.
“Mahesa Jenar,
kecuali Karebet, maka kaupun akan kembali ke istana. Pekerjaan yang kau pilih
telah selesai. Sekarang teruskanlah pekerjaanmu yang lama. Tenagamu sangat aku
perlukan.”
Mahesa Jenar
menyembah dengan penuh hormat. Ia tidak dapat menolak perintah itu. Dan karena
itulah maka ia menjawab.
“Hamba
Baginda. Hamba hanya akan tunduk pada perintah Baginda.”
Baginda itu
pun menarik nafas panjang-panjang. Panjang sekali. Seakan-akan semua mendung
yang meliputi Demak kini telah terbuka. Ketika Baginda diperkenalkan satu demi
satu dengan orang-orang yang menghadap, maka Baginda berkata.
“Jadi gadis
ini adalah bakal isterimu Mahesa Jenar?”
“Hamba
Baginda,” jawab Mahesa Jenar sambil tersipu-sipu.
“Dengan pedang
di lambungnya?”
“Hamba
Baginda,” sekali lagi Mahesa Jenar menyahut sambil menyembah.
“Yang ini,
kakeknya?”
“Hamba
Baginda. Gadis itu telah tidak berayah dan beribu.”
“Oh,” Baginda
menganggukkan kepalanya dan tiba-tiba Baginda itupun berkata.
“Ki Ageng
Pandan Alas. Biarlah aku melamar cucumu untuk Mahesa Jenar. Kau terima lamaran
itu? Sebenarnya aku telah mendengar sebagian dari kisah hubungan Mahesa Jenar
dan cucumu yang tertunda-tunda itu. Dan kini pekerjaan Mahesa Jenar itu sudah
selesai.”
“Ampun
Baginda,” sembah orang tua itu. Betapa ia menjadi sangat gembira. Cucunya telah
mendapat sangkutan yang diidamkannya. Karena itu maka matanya pun menjadi
basah. Jawabnya,
“Bukan main
anugerah yang hamba terima.”
“Jangan tunggu
umurnya bertambah tua, Mahesa Jenar. Bulan ini biarlah kakek itu merayakan
peralatan perkawinannya. Bukankah semalam purnama sedang naik. Masih ada waktu
setengah bulan.”
Mereka
berpaling ketika mereka mendengar isak Rara Wilis yang tak dapat ditahannya.
Hari yang ditunggu-tunggu kini benar-benar telah mambayang di pelupuk matanya.
Akhirnya hari itu akan sampai pula kepadanya. Arya Salaka pun kemudian mendapat
pengukuhan kembali atas tanah perdikannya. Dan dengan sebuah senyuman Baginda
berkata,
“Bagaimanakah
tuntutanmu atas gadis putera Kebo Kanigara itu?”
Arya Salaka
tidak menjawab. Namun ia masih menyeringai kesakitan. Dadanya masih nyeri
karena Ajinya yang membentur Aji Lembu Sekilan.
“Gadis itu
tidak berada di sini,” berkata Baginda.
“Tetapi besok
akan segera kau jumpai di Banyubiru.”
Hari itu
adalah hari yang menentukan bagi Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Juga hari yang
menentukan bagi Karebet. Meskipun para prajurit Demak dan laskar Banyubiru
masih bingung melihat perkembangan keadaan, namun mereka menjadi lega, ketika
mereka melihat para pemimpin mereka menjadi gembira. Pertentangan itu
benar-benar telah berakhir.
Namun dalam
pada itu Baginda terkejut melihat Arya Penangsang sudah siap di atas punggung
kudanya. Dengan lantang ia berteriak.
“Aku akan
pergi berburu sendiri paman. Aku dapat berbuat itu tanpa orang lain. Biarlah
Karebet menemui paman dan adinda puteri bungsu.”
Baginda
terkejut. Tetapi Arya Penangsang telah pergi diiringi oleh Tumenggung
Prabasemi. Angin pegunungan bertiup semakin kencang mengguncang daun-daun
rimba. Semua persoalan yang dihadapi Baginda terasa seakan-akan telah
dihancurkan pula oleh angin itu. Persoalan-persoalan yang mengganggunya selama
ini dalam tugasnya menyatukan tanah tumpah darah. Tetapi kembali Baginda
diganggu oleh sebuah persoalan yang baru saja tumbuh. Agaknya Arya Penangsang,
kemanakannya itu tidak senang melihat hubungan Karebet dengan puterinya.
“Tentu pokal
Prabasemi,” pikir Baginda.
Namun ketika
Penangsang kembali, Prabasemi tidak turut serta, Tumenggung itu tiba-tiba
menghilang. Disadarinya bahwa Karebet telah merebut kemenangannya, dan ia akan
mendapat kesusahan karena itu. Tetapi persoalan itu tidak akan segera
memerlukan tangan Baginda untuk menyelesaikan. Persoalan itu masih akan dapat
dirampungkan pada saat-saat mendatang.
Ketika awan
yang putih berarak ke utara, maka Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya.
Dilihatnya langit cerah secerah hatinya. Dan ia menjadi semakin gembira ketika
dilihatnya kemudian Arya Salaka dan Karebet bersendau gurau dengan gembiranya.
Tetapi lebih-lebih lagi ketika ia melihat seorang gadis yang berpedang di
lambungnya tersenyum kepadanya sambil berbisik.
“Kakang, hari
itu akan segara datang.”
“Ya Wilis.
Segera akan datang. Semoga.”
Keduanya pun
kemudian menundukkan wajah-wajah mereka. Sedang hati mereka memanjatkan
perasaan terima kasih serta do’a kepada Tuhan yang Maha Esa, semoga mereka akan
sampai pada saat-saat yang ditunggu-tunggu itu. T A M A T
No comments:
Post a Comment