Bagian 104



KETIKA keempat orang Banyubiru itu telah berdiri melingkari dua orang yang akan bertempur itu bersama enam orang prajurit Demak, maka perang tanding itu segera akan dimulai. Seorang prajurit Demak yang tidak lain adalah Paningron, maju selangkah. Dengan penuh hormat ia mengangguk kepada Ki Ageng Pandan Alas, yang dianggapnya wakil tertua dari Banyubiru, sambil berkata.
“Ki Ageng perang tanding akan segera dimulai.”
Pandan Alas tersenyum. Ia tidak dapat menyembunyikan perasaannya. Prajurit itu pernah dilihatnya di Pamingit dan Paningron pun ternyata tidak lupa pula kepadanya.
“Silakan,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Atas nama Baginda. Yang akan mewakili prajurit Demak adalah adi Tumenggung Prabasemi. Salah seorang perwira Wira Tamtama. Sedang yang mewakili Banyubiru adalah Arya Salaka. Begitu?”
“Ya” sahut Pandan Alas.

Tiba-tiba Arya yang sedang marah itu memotong.
“Kenapa bukan Karebet sendiri maju ke gelanggang?” Paningron menarik alisnya. Jawabnya.
“Perintah Baginda telah jatuh. Tumenggung Prabasemi yang akan mewakilinya.”
Prabasemi mengerutkan keningnya. Kenapa anak muda itu menyebut-nyebut nama Karebet. Apakah Karebet telah berbuat sesuatu yang menjadikan rakyat Banyubiru marah, dan sekarang ia harus mewakilinya?
“Persetan,” berkata Prabasemi di dalam hatinya.
“Aku harus menunjukkan kepada Baginda, bahwa bukan hanya Karebet yang mampu menyelesaikan persoalan.”
Paningron kemudian melanjutkan kata-katanya.
“Ki Ageng Pandan Alas, apabila tidak berkeberatan, baiklah kita taati peraturan yang telah ditulis Baginda di dalam rontal yang sudah disampaikan kepada Arya Salaka. Perang tanding akan berhenti setelah salah seorang tak berdaya. Jangan terjadi pembunuhan, supaya Baginda memaafkan segala yang telah terjadi. Lawan yang kalah dapat disusul dengan orang yang lain berturut-turut, tutuh tinutuh, sehingga orang terakhir yang mungkin dapat diajukan ke arena menurut pertimbangan-pertimbangan masing-masing.”

Ki Ageng Pandan Alas menganggukkan kepalanya. Orang tua itu benar-benar melihat, seakan-akan sesuatu sedang direncanakan. Meskipun ia tidak tahu benar, namun orang tua itu sama sekali tidak menjadi gelisah melihat perkembangan keadaan.
“Baiklah” berkata Paningron.
“Perang tanding akan segera dimulai.”
Paningron itu pun kemudian melangkah surut. Kemudian diberinya kesempatan kedua orang yang telah berhadapan itu mulai dengan tugas mereka mewakili laskar masing-masing dalam perang tanding itu. Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar karenanya. Dari kejauhan ia segera mengenal Paningron yang pasti sudah mengenal pula kelebihan Arya Salaka. Sedang perwira Wira Tamtama yang akan mewakili Demak itu belum begitu dikenalnya. Namun pernah ia dahulu melihatnya. Baru setelah beberapa saat Mahesa Jenar mengingat-ingat tahulah ia bahwa orang itu adalah Prabasemi yang dahulu masih menjadi lurah Wira Tamtama. Arya Salaka yang didorong oleh ketegangan, kemarahan dan tuntutan keadilannya yang bergolak di dalam dadanya, tidak berkata apa pun lagi. Segera ia bersiap untuk segera mulai dengan perang tanding itu.
Prabasemi dengan tenangnya menghadapi anak muda yang gelisah itu. Sekali-kali Prabasemi itu masih tersenyum. Anak dari Banyubiru itu benar-benar menjengkelkan. Kenapa anak itu tidak menjadi cemas atau bahkan ketakutan melihat dirinya.
“Hem” desahnya.
“Anak ini adalah anak yang sombong.”

SEDANG Arya Salaka dengan penuh kewaspadaan menghadapi lawannya bertubuh kokoh kuat itu. Ia menyadari, seandainya orang itu bukan seorang yang pilih tanding, pasti ia tidak akan diangkat menjadi seorang perwira dan harus mewakili Demak dalam arena itu. Mungkin orang ini setingkat dengan gurunya pada waktu gurunya masih menjadi prajurit. Mungkin kurang dan mungkin lebih. Karena itu Arya Salaka sama sekali tidak berani melengahkan waktu. Beberapa saat kemudian, Prabasemi itu pun mulai bergerak. Perlahan-lahan, masih dengan tersenyum-senyum. Arya menjadi semakin marah melihat sikapnya. Sikap seorang yang sedang bermain-main dengan anak-anak yang masih sering menangis. Ketika tangan Prabasemi bergerak menyambar wajahnya, Arya bergeser surut. Kembali dadanya berguncang ketika ia melihat Prabasemi tertawa. Sikapnya seperti sikap seekor harimau menghadapi seekor anjing sakit-sakitan. Arya Salaka kemudian tidak dapat menahan diri lagi. Ia mendengar peraturan yang harus ditaati sebagai seorang laki-laki. Kalau ia menang, maka ia masih akan menghadapi orang-orang lain yang akan ditunjuk oleh Baginda. Namun kalau ia kalah, apakah ada orang lain yang menggantikannya. Gurunya, ayahnya atau Kebo Kanigara? Arya Salaka itu telah menjadi kecewa ketika ia tidak melihat ayahnya, atau gurunya berada disampingnya. Karena itu, maka ia merasa agaknya gurunya serta ayahnya ingin menyerahkan setiap persoalan kepadanya sendiri.
“Aku akan berjuang sekuat tenagaku,” katanya di dalam hati. Karena itu, ketika ia masih melihat Prabasemi tersenyum-senyum saja tiba-tiba ia meloncat dengan cepatnya menyentuh dada lawannya. Meskipun dengan demikian ia hanya ingin memperingatkan lawannya untuk segera mulai dengan sungguh-sungguh, namun akibatnya benar-benar mengherankan. Prabasemi terkejut bukan buatan melihat kecepatan gerak itu, sehingga ia benar-benar tidak sempat menghindarinya. Karena itu, maka ia ingin mundur selangkah untuk mengurangi tekanan tangan Arya Salaka. Tetapi tangan Arya telah mempercepat gerak surutnya, sehingga tampaknya Prabasemi benar-benar terdorong beberapa langkah. Wajah Wira Tamtama itu menjadi merah membara. Sekali ditatapnya wajah-wajah yang berada di sekeliling arena itu. Ketika terpandang olehnya wajah Ki Ageng Pandan Alas, ia mengumpat di dalam hati. Orang tua itu tersenyum kepadanya.
“Setan,” desisnya.

Apalagi ketika matanya bertemu pandang dengan Rara Wilis yang menyandang pedang di lambungnya. Maka dada Prabasemi itu pun serasa menyala membakar segenap urat syarafnya. Kini ia sudah tidak tersenyum-senyum lagi. Bahkan dengan penuh dendam ia memandang Arya Salaka yang belum pernah dikenal sebelumnya. Ia harus mengembalikan namanya yang tiba-tiba saja telah diguncangkan oleh seorang anak-anak. Karena itu anak itu harus segera lumpuh. Semakin cepat ia melumpuhkan Arya Salaka, maka akan semakin menanjak pula namanya sebagai seorang Wira Tamtama. Karena itu, maka dengan garangnya segera ia menyerang. Kedua tangannya bergerak bagaikan sepasang petir yang menyambar bersama-sama. Namun Arya Salaka benar-benar telah bersiap. Dengan cepatnya ia bergeser ke samping menghindari sambaran tangan kanan Prabasemi. Namun dengan kecepatan yang luar biasa tangan kiri Prabasemi pun telah menjangkau pelipisnya. Kali ini Arya tidak sempat menghindarkan diri, hingga karena itu maka ia harus melawan serangan itu. Dengan sekuat tenagannya, karena ia tidak dapat mengira-irakan kekuatan lawannya, maka tangan Prabasemi itu pun ditamparnya dengan tangan kanannya. Terjadilah suatu benturan yang dahsyat. Prabasemi yang marah itu pun ternyata telah mengerahkan sebagian besar tenaganya. Namun karena tenaganya dipusatkan kepada kedua belah tangannya, maka benturan itu benar-benar menggoncangkan jantungnya. Tangan Arya Salaka benar seperti sepotong besi gligen yang menghantam tangannya. Perasaan nyeri menyengat pergelangan tangan itu, yang kemudian seakan-akan merembet ke segenap tubuhnya. Prabasemi menyeringai.

Meskipun mereka bersama-sama terdorong beberapa langkah surut, namun alangkah marahnya ketika ia melihat wajah Arya Salaka yang tegang itu sama sekali tidak menunjukkan perasaan sakit dan nyeri seperti yang dirasakannya. Wajah Prabasemi yang marah itu benar-benar menjadi membara karenanya. Sekali lagi ia memandang berkeliling. Dan sekali lagi hatinya terguncang ketika ia melihat wajah Rara Wilis. Kali ini ia melihat wajah gadis itu sedemikian asyiknya melihat pertempuran itu. Sehingga dengan demikian, maka terasa bahwa gadis itu pasti dapat menilai pula apa yang telah terjadi. Apalagi ketika ia melihat wajah Paningron. Wajah itu sedemikian kecewanya memandanginya.
“Gila,” desahnya.
“Anak itu harus segera kulumpuhkan. Kalau ia mati karenanya, sama sekali bukan salahku, sebab di dalam perkelahian hal-hal semacam itu mungkin saja terjadi.”
Betapa Prabasemi ingin namanya menjadi semakin cemerlang di hadapan Baginda. Meskipun Baginda tidak nampak di luar baraknya, namun ia yakin bahwa Baginda pasti akan mengetahui apakah yang akan terjadi.
Kini ia benar-benar ingin melumpuhkan lawannya. Secepat-cepatnya. Karena itu, maka Prabasemi itu pun kemudian melontar surut beberapa langkah. Dijulurkannya kedua tangannya ke depan, kemudian dengan gerak yang menyentak ditariknya kedua sikunya ke belakang serta ditekuknya. Kedua tangannya menelentang ke belakang mengepal di lambungnya. Sedang tubuhnya direndahkannya, siap melontar dalam ilmunya Aji Sapu Angin.

Arya Salaka melihat gerakan-gerakan itu. Sebagai seorang yang memiliki pengalaman yang cukup, meskipun dalam umurnya yang muda, maka segera ia mengetahuinya bahwa ia berhadapan dengan Aji rangkapan dari lawannya itu. Sesaat ia menjadi ragu-ragu. Ketika ia memandang wajah Ki Ageng Pandan Alas, dilihatnya orang tua itu mengangguk. Maka dengan tidak berpikir panjang, Arya Salaka itu pun segera mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi seolah-olah hendak menggapai langit, tangannya yang lain bersilang di dada, sedang satu kakinya diangkatnya serta ditekuknya ke depan. Arya Salaka pun telah siap dengan Ajinya Sasra Birawa. Arena itu benar-benar menjadi tegang. Paningron terkejut melihat sikap itu. Segera ia meloncat ke depan untuk melerai mereka, namun ia terlambat. Prabasemi telah meloncat maju. Ayunan tangannya dengan derasnya mengarah ke kepala Arya Salaka. Namun ketika ia melihat sikap Arya pun, hatinya berdesir. Apakah yang dilakukan oleh anak muda itu? Prabasemi pun menyadari. Arya Salaka telah berusaha melindungi dirinya dengan kekuatan tertinggi yang dimilikinya. Sesaat kemudian terjadilah sebuah benturan yang dahsyat.
Lamat-lamat terdengar Mahesa Jenar berdesah.
“Arya,” namun suara itu tidak didengarnya. Benturan kedua Aji itu benar-benar mengejutkannya.
Arya berguling di tanah. Terdengar sebuah keluhan pendek, namun kemudian dengan sepenuh tenaga, Arya mencoba untuk tetap menguasai kesadarannya. Betapa tubuhnya serasa kejang-kejang, namun ia masih dapat berusaha untuk bangkit kembali. Dan dengan terhuyung-huyung ia berdiri di atas kedua kakinya. Meskipun kepalanya menjadi pening, namun ia masih dapat melihat keadaan sekelilingnya dengan terang. Dan dilihatnya dihadapannya, Tumenggung Prabasemi terbanting pula di tanah. Sekali ia menggeliat, tetapi kemudian betapa ia berusaha dengan susah payah. Prabasemi tidak berhasil mengangkat tubuhnya. Sekali ia mengangkat kepalanya pada kedua tangannya yang bertelekan tanah, namun kemudian ia terjatuh kembali. Bibirnya yang tebal itu bergerak mengumpat-umpat. Tetapi Prabasemi tidak berhasil untuk melumpuhkan lawannya, bahkan dirinya sendirilah yang menjadi lumpuh karenanya. Betapa hatinya terbakar oleh luapan kemarahannya. Tetapi apakah yang dapat dilakukannya? Beberapa orang kemudian mendekatinya untuk membawanya menepi.
Tetapi Tumenggung itu berteriak-teriak.
“Pergi. Pergi. Tak seorang pun dapat mengalahkan Prabasemi. Biar aku remukkan kepalanya. Pergi.”

Namun sekali lagi Paningron memberi isyarat kepada mereka, dan Tumenggung Prabasemi itu pun diangkat menepi, meskipun ia mengumpat-umpat sejadi-jadinya. Peristiwa itu telah benar-benar menggemparkan para prajurit Demak. Mau tidak mau mereka telah memuji di dalam hati. Ternyata anak Banyubiru itu telah mampu mengalahkan Prabasemi. Arya Salaka masih berdiri tegak di atas kedua kakinya yang terasa menjadi lemah. Terasa urat-uratnya seperti membeku. Namun ketika angin rimba mengusapnya, terasa tubuhnya menjadi semakin segar pula. Paningron yang mengatarkan Prabasemi masuk ke dalam baraknya segera kembali ke arena, dengan sareh ia bertanya kepada Ki Ageng Pandan Alas.
“Ki Ageng, lawan yang pertama telah dirobohkan. Apakah Banyubiru akan menerima orang kedua seperti yang dijanjikan.”
Ki Ageng Pandan Alas memandang Arya Salaka. Dilihatnya anak itu masih terlalu letih. Tetapi terdengar Arya yang sedang marah itu menjawab lantang.
“Aku masih tetap berdiri di sini sebelum Karebet diserahkan kepada kami dengan segala akibatnya.”

PARA prajurit Demak sesaat menjadi ragu-ragu. Mereka tidak tahu kenapa Baginda memilih cara ini untuk menyelesaikan persengketaan itu. Di dalam rombongan berburu ini, tidak banyak orang yang dapat diketengahkan untuk melakukan perang tanding seorang melawan seorang. Perwira yang dapat dibanggakan adalah Tumenggung Prabasemi. Namun Tumenggung telah dikalahkan. Apabila serta maka Gajah Alit, atau Panji Danapati, Arya Palindih, atau beberapa orang lain pasti akan dapat menyelesaikan pertempuran itu. Namun mereka tidak beserta Baginda. Yang ada di sini hanyalah selain Tumenggung Prabasemi adalah Paningron sendiri. Mungkin Paningron akan tampil untuk yang terakhir kalinya, apabila tidak ada orang lain yang dapat memenangkan segala perkelahian. Atau mungkin Baginda sendiri?
Para prajurit Demak menjadi berdebar-debar. Kenapa tidak dibiarkan saja laskar Banyubiru menyerbu? Dengan pengalaman dan kematangan prajurit Demak dalam olah perang dan gelar-gelar perang, maka mereka akan dapat menjebak laskar lawannya, mesikipun jumlahnya tidak seimbang. Tetapi perang tanding itu telah dimulai. Karena itu maka pasti akan diteruskannya. Dalam keadaan yang demikian, maka setiap prajurit Demak menjadi tegang. Mereka menunggu siapakah kemudian yang akan masuk ke arena. Dirinya? Adalah mungkin sekali setiap orang akan ditunjuk oleh Baginda. Karena itu, maka mereka menunggu perkembangan keadaan dengan penuh ketegangan.

Paningron menarik nafasnya. Sekali ia melambaikan tangannya, dan kembali terdengar sangkalala bergema. Dari dalam barak keluarlah beberapa orang yang mengantarkan orang kedua yang akan mewakili Demak. Tiba-tiba semua mata terpancang kepada orang itu. Orang yang telah hilang dari Demak beberapa saat lampau. Diantara desah pembicaraan orang-orang itu, terdengar Paningron berkata lantang.
“Kali ini Karebet akan masuk ke arena. Dengan perjanjian, apabila ia menang dalam perang tanding ini, maka ia akan mendapat pengampunan dari Baginda atas semua kesalahan yang telah dibuatnya, membunuh seorang calon Wira Tamtama yang bernama Dadungawuk. Namun Karebet tidak berhasil, maka nasibnya akan diserahkan kepada orang-orang Banyubiru. Sebab ialah yang telah membawa persoalan itu kemari.”
Di sekitar lapangan itu benar-benar menjadi gempar. Baik para prajurit Demak, maupun laskar Banyubiru. Mereka kini melihat Karebet, ia berjalan ke arena, mendekati Arya Salaka yang masih tegak di atas kedua kakinya. Bagaimana mungkin Karebet itu tiba-tiba berada di situ. Sedangkan ia masih harus menjalani hukumannya. Arya yang melihat kehadiran Karebet itu tiba-tiba menjadi gemetar. Kemarahannya benar-benar telah menggoncangkan dadanya, bahkan seakan-akan dada itu akan meledak. Karena itulah, maka seakan-akan tubuhnya yang masih lemah itu menemukan kekuatannya kembali. Kekuatan yang berlipat. Kekuatan yang selama ini pernah dimilikinya.

Dengan gigi gemeretak ia bergumam kepada dirinya sendiri.
“Karebet. Karebet. Seakan-akan diseluruh wajah bumi, kau adalah jantan sendiri.”
Karebet itu pun berjalan dengan tenangnya mendekati Arya Salaka. Wajahnya masih saja mengulum senyum dan bahkan dengan kata-kata yang akrab ia menyapa.
“Selamat bertemu kembali adi Arya Salaka.”
Arya Salaka bergumam.
Jawabnya.
“Tidak ada waktu untuk mengucapkan selamat. Bersiaplah. Kita tentukan siapakah yang akan berhasil dalam perkelahian ini. Ternyata kau telah sengaja mengorbankan saudara sepupumu hanya untuk mendapatkan pengampunan atas kesalahanmu itu.”
Karebet mengerutkan keningnya. Dilayangkannya pandangan matanya ke seberang tanah lapang. Meskipun tidak jelas namun ia pasti bahwa disana ada pamannya Kebo Kanigara. Tetapi dadanya berdesir kalau diingatnya bahwa Mahesa Jenar berada di sana. Apalagi Ki Ageng Pandan Alas, Rara Wilis dan beberapa orang lain, ada juga di sekitarnya.

Dalam pada itu kembali terdengar Arya Salaka berkata.
“Nah, Karebet yang perkasa, yang ditakuti karena memiliki Aji Lembu Sekilan. Apakah kau membanggakan kesaktianmu sehingga kau bertindak dengan sekehendak hatimu?”
Sekali lagi Karebet mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia sempat menjawab, maka terdengar Arya berkata terus.
“Kau telah memancing kekeruhan dan menantang aku untuk datang sesudah purnama naik di hutan Prawata. Nah, Karebet yang sakti. Ini Arya Salaka telah datang.”
Karebet menarik nafas dalam-dalam. Kini ia tidak tersenyum lagi. Ditatapnya saja wajah Arya Salaka yang menyala itu. Sesaat tampak ia menjadi ragu-ragu. Namun setelah ia menelan ludahnya beberapa kali barulah ia berkata.
“Terpaksa aku lakukan adi.”
“Omong kosong” bantah Arya Salaka.
“Ternyata kau sampai hati menjual adik sepupumu itu?”
Karebet menjadi bingung. Bagaimana ia harus menjawab kata-kata Arya Salaka. Tampaklah Karebet itupun menjadi gelisah dan Arya Salaka berkata terus.
“Sekarang aku datang memenuhi tantanganmu.”
Sesaat Karebet memandang berkeliling. Beberapa orang di sekitarnya memandangnya dengan penuh keheranan. Karena itulah maka Karebet itupun tiba-tiba berkata lantang.
“Marilah adi. Kita mulai permainan yang tidak menyenangkan ini.”
Belum lagi Karebet mengucapkan mulutnya, Arya Salaka yang dadanya serasa menyala itu telah meloncatinya dengan sebuah serangan yang dahsyat. Karebet pun segera menghindarkan dirinya dengan lincahnya, dan dengan tangkasnya maka ia pun membuka serangan pula.

MAKA terjadilah kemungkinan sesuatu perkelahian yang sengit. Masing-masing mencoba untuk melawan dengan sebaik-baiknya. Mengerahkan segenap ilmunya dan mencoba untuk menjatuhkan lawannya. Namun keduanya adalah anak-anak muda yang perkasa. Arya Salaka yang didorong oleh kemarahan yang meluap-luap seakan-akan benar-benar menemukan tenaga tambahan yang tak pernah diduganya. Sedang Karebet yang masih segar, benar-benar seorang pemuda yang lincah dan tangkas. Karena itulah maka perkelahian itu segera berkisar dari satu titik ke titik yang lain. Perkelahian yang membingungkan dan mendebarkan hati. Pertempuran itu ternyata jauh berbeda sifatnya dari pertempuran yang pertama. Prabasemi yang selalu bernafsu menghancurkan lawannya, ternyata telah mendorong perkelahian itu cepat kepada akhirnya. Tetapi ini perkelahian itu benar-benar mirip dengan sepasang garuda yang berlaga di udara. Sambar menyambar, terkam menerkam. Beberapa orang yang mengelilingi perkelahian itu pun terpaksa melangkah surut. Lingkaran pertempuran menjadi semakin lebar. Karebet bergerak dengan cepatnya, melontar-lontarkan dirinya dalam jarak yang panjang. Arya Salaka ternyata lebih senang menunggu lawannya. Gerakannya dibatasi. Namun setiap gerakan yang dilakukannya, benar-benar melontarkan bahaya yang bernada maut. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin sengit. Masing-masing adalah anak-anak muda yang perkasa, sehingga mereka berdua kemudian seakan-akan menjadi lebur dalam satu pusaran yang membingungkan.

Di dalam barak, di samping barak yang dipergunakan oleh Baginda, seorang yang bertubuh besar dan kokoh mengumpat-umpat di dalam hati. Nafasnya masih terasa menyekat di dalam rongga dadanya, namun dengan parau ia mengumpat.
“Gila. Kenapa Karebet itu telah berada di tempat ini pula”.
Orang itu adalah Prabasemi. Ia tidak saja menjadi marah dan malu karena kekalahannya, tetapi hatinya menjadi terguncang ketika dilihatnya, tiba-tiba saja Karebet telah berada di lingkungan mereka tanpa mereka ketahui. Di samping Prabasemi, berdiri seorang anak muda pula yang bertubuh kokoh kuat sebagai seekor harimau jantan di tengah rimba belantara. Sepasang matanya yang tajam memandang perkelahian itu dari jarak yang cukup jauh. Namun ketajaman matanya itu segera melihat, bahwa keduanya, yang bertempur itu, adalah anak-anak muda yang perkasa pula. Namun keperkasaan kedua pemuda itu telah menimbulkan gairah pula di dalam hatinya.
“Kenapa pamanda Baginda tidak menunjuk aku untuk maju ke arena,” desisnya. Prabasemi menoleh. Dilihatnya anak muda itu, Arya Penangsang.
“Hem,” desahnya.
“Seharusnya tuanlah yang maju ke arena.”
“Pamanda Baginda tidak menunjuk aku,” jawabnya. Kemudian katanya pula.
“Kenapa paman Prabasemi dapat dikalahkan?”
Prabasemi menundukkan wajahnya. Jawabnya,
“Tangan anak itu benar-benar seberat batu hitam yang menggempur dadaku.”
Arya Penangsang tersenyum. Katanya,
“Aku tahu benar. Anak muda itu mempergunakan Aji Sasra Birawa”.
“He?,” Prabasemi terkejut. Namun kembali ia menundukkan wajahnya. Di dalam hati ia berdoa semoga Karebet itu akan dilumpuhkan Aji Sasra Birawa pula.
“Tetapi aku tidak takut melawan Sasra Birawa,” gumam Arya Penangsang.
Prabasemi tidak menjawab. Tertatih-tatih ia berjalan masuk ke dalam baraknya sambil berpegangan dinding.
“Persetan.”

Pertempuran di arena masih berlangsung terus. Namun perkelahian itu kini menjadi semakin kendor. Tak seorang pun yang mengetahui apakah sebabnya. Mungkin karena telah kelelahan atau mungkin salah seorang daripadanya telah terluka. Namun sebenarnyalah dalam pertempuran itu terdengar Karebet berbisik.
“Maafkan aku adi.”
Arya Salaka terkejut.
“Kenapa? Tak ada jalan yang harus aku maafkan. Aku telah memenuhi tantanganmu. Marilah kita selesaikan perkelahian ini.”
“Adi,” berbisik Karebet itu pula.
“Dengarkanlah ceriteraku. Aku berkata sebenarnya.”
Arya Salaka mula-mula sama sekali tak memperhatikannya. Namun kemudian ia mendengar Karebet itu berkata.
“Kali ini tak ada orang lain yang dapat menolongku, selain adi Arya Salaka.”
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Dan tanpa menunggu lagi, Karebet mulai dengan ceriteranya. Karena itulah maka perkelahian diantara mereka menjadi bertambah surut.

KETIKA Karebet selesai dengan ceriteranya, maka terdengar Arya Salaka berkata.
“Apakah kau berkata sebenarnya?”
“Ya. Aku berkata sebenarnya.”
“Kenapa kakang tidak berkata sebelumnya?”
“Aku memerlukan kau datang dalam kesiagaan yang benar-benar.”
“Hem,” Arya Salaka menggeram. Tampaklah keragu-raguan membayang diwajahnya. Dipertimbangkannya masak-masak kata-kata Karebet itu dan dikupasnya sejauh-jauhnya. Ketika ia melihat wajah Karebet yang bersungguh-sungguh itu, maka tiba-tiba ia tersenyum meskipun dicobanya untuk menyembunyikan dalam-dalam.
“Gila. Kau benar-benar bermain api kakang. Apakah aku harus bersimpuh menyembahmu?”
“Jangan. Lepaskan Sasra Birawa itu.”
“He?,” Arya Salaka terkejut.
“Apakah sebenarnya maksudmu?”
“Ya. Lepaskan Sasra Birawa. Aku tidak akan melawan. Tetapi aku akan bertahan dengan Lembu Sekilan. Mungkin aku dan adi akan terlempar beberapa langkah. Mudah-mudahan tidak berbahaya, meskipun tubuh kita akan kesakitan.”

Arya Salaka tidak sempat berpikir lebih lama. Menilik wajah dan kata-kata Karebet, maka Karebet telah berkata sebenarnya. Tetapi seandainya Karebet itu berbohong, bukankah Sasra Birawa itu adalah kekuatannya yang tertinggi? Seandainya Sasra Birawa itu tidak mampu mengalahkan Karebet, maka ia sudah tidak memiliki kekuatan lain yang akan dipergunakan. Karena itu apapun yang dilakukan oleh Karebet, maka sudahlah pasti ia akan mempergunakan kekuatan tertinggi itu. Arya Salaka yang sedang menimbang-nimbang itu pun terkejut ketika ia melihat Karebet melontar menyerangnya. Ketika ia mengelak ia mendengar Karebet berbisik.
“Mulailah.”
Arya Salaka itu tidak dapat berbuat lain daripada memenuhi permintaan itu. Sekali ia meloncat surut. Diangkatnya sebelah tangannya tinggi-tinggi, dan disilangkannya tangannya yang lain di dadanya. Satu kakinya diangkatnya ke depan dan dengan menggenggam Arya Salaka meloncat melontarkan Aji Sasra Birawa. Karebet yang melihat Arya Salaka telah siap, segera mempersiapkan dirinya pula. Direnggangkannya kakinya dan kedua tangannya segera bersiap dimuka dadanya. Wajahnya segera menjadi tegang. Dan diterapkannya Aji Lembu Sekilan sejauh-jauhnya yang dimilikinya. Pukulan Arya Salaka benar-benar dahsyat. Seakan-akan sebuah gunung runtuh menimpa dada Karebet. Namun Karebet telah mapan dalam Aji Lembu Sekilan, sehingga pukulan itu tidak menggugurkan isi dadanya. Meskipun demikian ia terlontar beberapa langkah surut dan jatuh berguling beberapa kali di tanah. Namun sesaat kemudian ia telah melenting berdiri tegak di atas kedua kakinya. Arya Salaka yang mempergunakan Ajinya terasa seakan-akan membentur benteng baja. Pukulan itu seakan-akan telah menghantam dirinya sendiri, sehingga ia pun terlempar beberapa langkah. Dengan kerasnya ia terbanting di tanah. Sesaat matanya menjadi berkunang-kunang. Seakan-akan langit akan runtuh menimpanya. Karena itu ia segera memejamkan matanya dan mengumpulkan segenap kekuatan yang ada padanya. Sebenarnyalah bahwa tubuh Arya Salaka adalah tubuh yang luar biasa, sehingga dengan demikian, ia tidak mengalami cidera. Namun untuk sesaat ia tidak dapat bangkit berdiri dengan kekuatan sendiri.

Melihat anaknya terbanting jatuh, dada Gajah Sora seperti akan meledak. Tiba-tiba hilanglah segenap pertimbangannya. Dengan serta merta ia berkata,
“Akulah yang akan menjadi orang kedua.”
Kebo Kanigara terkejut mendengar perkataan itu. Karena itu segera ia mencegahnya sambil berkata.
“Tunggulah. Apakah yang akan terjadi kemudian.”
“Apa yang harus aku tunggu?” Kebo Kanigara menjadi bingung. Sejak semula ia telah menyangka, bahwa akan sulitlah untuk mengendalikan Gajah Sora. Apalagi mereka melihat Lembu Sora di tengah lapangan itupun telah menjadi gemetar dan tangannya telah melekat di hulu pedangnya. Namun sekali lagi wajah Gajah Sora itupun terkulai ketika tiba-tiba ia melihat Sultan Tranggana di kejauhan keluar dari dalam baraknya.
“O. Apakah yang sepantasnya aku lakukan?” terdengar Gajah Sora berdesah. Kedua tangannya tiba-tiba telah menutupi wajahnya. Dalam kebingungan itu ia bergumam.
“Kalau saja Sultan tidak ada di sana. Kalau saja panji-panji Gula Kepala itu tidak berkibar disana pula.”
“Jangan cemas kakang”, tiba-tiba terdengar suara Mahesa Jenar.
“Akupun orang buangan seperti Karebet. Birlah aku maju ke arena. Seandainya aku akan digantung sekalipun, aku tidak akan menyesal.”

“MAHESA JENAR,” potong Kebo Kanigara.
“Jangan.”
“Aku tidak sampai hati melihat Arya Salaka dan aku tidak sampai hati melihat Kakang Kebo Kanigara kehilangan anaknya satu-satunya,” berkata Mahesa Jenar.
“Tetapi,” Kebo Kanigara menjadi gelisah. Ketika ia memandang ke lapangan, dilihatnya Baginda berjalan ke arena. Di belakangnya berjalan seorang tua dalam pakaian kepangeran.
“Kau lihat orang tua itu?” bertanya Kebo Kanigara.
“Ya, aku lihat. Pangeran Buntara, yang bergelar Panembahan Ismaya dan pernah menggemparkan Demak sebagai seorang yang bernama Pasingsingan.”
“Ya,” sahut Kebo Kanigara.
“Apa peduliku.”
“Mahesa Jenar,” Kebo Kanigara menjadi bertambah gelisah. Tetapi tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar tertawa. Aneh sekali. Gajah Sora pun menjadi sangat heran karenanya. Dan mereka mendengar Mahesa Jenar itu berkata,
“Aku telah bertemu di Lemah Telasih. Ki Buyut Banyubiru telah mengatakan kepadaku semuanya.”
“Oh,” Kebo Kanigara berdesah.
“Kau mencemaskan aku.”
“Kakang pun telah mencemaskan aku pula.”

Gajah Sora memandang mereka dengan penuh pertanyaan. Namun tiba-tiba mereka melihat Paningron melambaikan kepada mereka.
“Marilah kakang,” ajak Mahesa Jenar.
“Kita menghadapi Baginda.”
Baginda pun kemudian melihat mereka datang. Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan Gajah Sora. Dengan tersenyum Baginda menerima mereka, sambil berkata,
“Eyang Buntara. Apakah mereka akan kami bahwa masuk ke dalam perkemahan?”
“Ya cucunda Baginda.”
“Bawalah,” perintah Baginda kepada Paningron. Baginda itu memandang Arya Salaka sesaat. Kemudian dihampirinya anak yang masih menyeringai itu. Ditepuknya pundaknya sambil berkata,
“Kau pun anak luar biasa. Mari, masuklah ke dalam kemahku.”
Terasa sesuatu yang aneh di dalam dada Arya Salaka. Perlahan-lahan ia menyembah, dan kemudian diikutinya Baginda masuk ke dalam perkemahan. Di dalam perkemahan itu duduk Baginda Sultan Trenggana, Pangeran Buntara dan Paningron, dihadap oleh Karebet, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Rara Wilis, Ki Ageng Pandan Alas, Gajah Sora, Lembu Sora, Arya Salaka dan Bantaran.

Dengan wajah yang terang Baginda itu memberi kesempatan kepada Pangeran Buntara untuk berceritera, apa saja sebenarnya yang telah mereka lakukan.
“Oh,” Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam.
“Jadi semuanya ini hanyalah sebuah permainan saja? Permainan yang berbahaya.”
“Ya,” jawab Pangeran Buntara.
“Namun dengan demikian Baginda akan menjadi tenang menghadapi masa-masa depan. Baginda tidak akan lagi diganggu oleh prajurit yang selalu bersedih hati, dan menyebabkan permaisuri bersedih pula.”
Baginda mengangguk-anggukkan kepala. Dan Gajah Sora pun berkata.
“Wajarlah kalau selama ini Kakang Kebo Kanigara tidak tampak bersungguh-sungguh berduka. Rupa-rupanya Karebet telah mendapat ijin daripadanya.”
Karebet tersenyum. Tetapi ia menjadi ngeri pula kalau dikenangnya cara-cara yang ditempuhnya itu. Apalagi ketika pada suatu malam ia dikejar oleh Arya Salaka ketika ia berusaha menemui Kebo Kanigara di halaman rumah Gajah Sora.

Tetapi bukan itu saja. Tiba-tiba Pangeran Buntara itu pun berkata.
”Baginda, hari ini adalah dapat memanggil kembali Karebet, maka Baginda akan mendapatkan kembali pusaka-pusaka Baginda itu. Selain Sangkelat yang telah diserahkan lewat Karebet kemarin, dan Baginda sendiri melihat bahwa keris itu agaknya telah luluh dalam diri Karebet, sehingga meyakinkan Baginda akan berhasilnya cara ini, maka kini perkenankan Mahesa Jenar menyerahkan pula keris-keris yang selama ini dicarinya, Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten.”
Alangkah terkejutnya Baginda. Sehingga dengan serta merta Baginda berkata,
“Jadi keris-keris itu telah kau ketemukan?”
Mahesa Jenar menyembah dengan takzimnya. Jawabnya penuh haru.
“Hamba Baginda.”
“Dimanakah pusaka-pusaka itu kau simpan.”

MAHESA JENAR tidak menjawab. Tetapi ditatapnya wajah Pangeran Buntara yang tua itu. Sehingga Pangeran itu pun berkata,
“Kedua keris itu aku simpan Baginda.”
“Oh,” Baginda menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian.
“Mahesa Jenar, kecuali Karebet, maka kaupun akan kembali ke istana. Pekerjaan yang kau pilih telah selesai. Sekarang teruskanlah pekerjaanmu yang lama. Tenagamu sangat aku perlukan.”
Mahesa Jenar menyembah dengan penuh hormat. Ia tidak dapat menolak perintah itu. Dan karena itulah maka ia menjawab.
“Hamba Baginda. Hamba hanya akan tunduk pada perintah Baginda.”
Baginda itu pun menarik nafas panjang-panjang. Panjang sekali. Seakan-akan semua mendung yang meliputi Demak kini telah terbuka. Ketika Baginda diperkenalkan satu demi satu dengan orang-orang yang menghadap, maka Baginda berkata.
“Jadi gadis ini adalah bakal isterimu Mahesa Jenar?”
“Hamba Baginda,” jawab Mahesa Jenar sambil tersipu-sipu.
“Dengan pedang di lambungnya?”
“Hamba Baginda,” sekali lagi Mahesa Jenar menyahut sambil menyembah.
“Yang ini, kakeknya?”
“Hamba Baginda. Gadis itu telah tidak berayah dan beribu.”
“Oh,” Baginda menganggukkan kepalanya dan tiba-tiba Baginda itupun berkata.
“Ki Ageng Pandan Alas. Biarlah aku melamar cucumu untuk Mahesa Jenar. Kau terima lamaran itu? Sebenarnya aku telah mendengar sebagian dari kisah hubungan Mahesa Jenar dan cucumu yang tertunda-tunda itu. Dan kini pekerjaan Mahesa Jenar itu sudah selesai.”
“Ampun Baginda,” sembah orang tua itu. Betapa ia menjadi sangat gembira. Cucunya telah mendapat sangkutan yang diidamkannya. Karena itu maka matanya pun menjadi basah. Jawabnya,
“Bukan main anugerah yang hamba terima.”
“Jangan tunggu umurnya bertambah tua, Mahesa Jenar. Bulan ini biarlah kakek itu merayakan peralatan perkawinannya. Bukankah semalam purnama sedang naik. Masih ada waktu setengah bulan.”

Mereka berpaling ketika mereka mendengar isak Rara Wilis yang tak dapat ditahannya. Hari yang ditunggu-tunggu kini benar-benar telah mambayang di pelupuk matanya. Akhirnya hari itu akan sampai pula kepadanya. Arya Salaka pun kemudian mendapat pengukuhan kembali atas tanah perdikannya. Dan dengan sebuah senyuman Baginda berkata,
“Bagaimanakah tuntutanmu atas gadis putera Kebo Kanigara itu?”
Arya Salaka tidak menjawab. Namun ia masih menyeringai kesakitan. Dadanya masih nyeri karena Ajinya yang membentur Aji Lembu Sekilan.
“Gadis itu tidak berada di sini,” berkata Baginda.
“Tetapi besok akan segera kau jumpai di Banyubiru.”
Hari itu adalah hari yang menentukan bagi Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Juga hari yang menentukan bagi Karebet. Meskipun para prajurit Demak dan laskar Banyubiru masih bingung melihat perkembangan keadaan, namun mereka menjadi lega, ketika mereka melihat para pemimpin mereka menjadi gembira. Pertentangan itu benar-benar telah berakhir.

Namun dalam pada itu Baginda terkejut melihat Arya Penangsang sudah siap di atas punggung kudanya. Dengan lantang ia berteriak.
“Aku akan pergi berburu sendiri paman. Aku dapat berbuat itu tanpa orang lain. Biarlah Karebet menemui paman dan adinda puteri bungsu.”
Baginda terkejut. Tetapi Arya Penangsang telah pergi diiringi oleh Tumenggung Prabasemi. Angin pegunungan bertiup semakin kencang mengguncang daun-daun rimba. Semua persoalan yang dihadapi Baginda terasa seakan-akan telah dihancurkan pula oleh angin itu. Persoalan-persoalan yang mengganggunya selama ini dalam tugasnya menyatukan tanah tumpah darah. Tetapi kembali Baginda diganggu oleh sebuah persoalan yang baru saja tumbuh. Agaknya Arya Penangsang, kemanakannya itu tidak senang melihat hubungan Karebet dengan puterinya.
“Tentu pokal Prabasemi,” pikir Baginda.
Namun ketika Penangsang kembali, Prabasemi tidak turut serta, Tumenggung itu tiba-tiba menghilang. Disadarinya bahwa Karebet telah merebut kemenangannya, dan ia akan mendapat kesusahan karena itu. Tetapi persoalan itu tidak akan segera memerlukan tangan Baginda untuk menyelesaikan. Persoalan itu masih akan dapat dirampungkan pada saat-saat mendatang.

Ketika awan yang putih berarak ke utara, maka Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya. Dilihatnya langit cerah secerah hatinya. Dan ia menjadi semakin gembira ketika dilihatnya kemudian Arya Salaka dan Karebet bersendau gurau dengan gembiranya. Tetapi lebih-lebih lagi ketika ia melihat seorang gadis yang berpedang di lambungnya tersenyum kepadanya sambil berbisik.
“Kakang, hari itu akan segara datang.”
“Ya Wilis. Segera akan datang. Semoga.”
Keduanya pun kemudian menundukkan wajah-wajah mereka. Sedang hati mereka memanjatkan perasaan terima kasih serta do’a kepada Tuhan yang Maha Esa, semoga mereka akan sampai pada saat-saat yang ditunggu-tunggu itu. T A M A T

<<< Bagian 103                                                                                                     Prolog >>>

No comments:

Post a Comment