Bagian 047


DALAM hal yang demikian, kembali ketahanan tubuh Arya Salaka tampak lebih besar dari Sawung Sariti. Ialah yang mulai dapat menggerakkan tubuhnya dan perlahan-lahan bangun. Dengan susah payah ia berhasil duduk dan bersandar pada kedua belah tangannya. Baru sesaat kemudian tampak Sawung Sariti mulai bergerak-gerak pula. Namun karena nafsunya yang meluap-luap itulah agaknya ia memaksa tubuhnya untuk segera dapat bangkit berdiri. Mahesa Jenar menjadi tidak tahan lagi melihat perkelahian itu, sehingga dicobanya untuk melerainya. Katanya,
“Anakku berdua… sudahilah pertempuran itu. Tidakkah ada jalan lain untuk menyelesaikan masalah kalian dengan tidak usah menumpahkan darah?”
Tetapi Sawung Sariti adalah seorang anak yang sombong. Yang dalam hidupnya sehari–hari seolah–olah tak seorangpun yang berani membantah kemauannya. Karena itu meskipun keadaan tubuhnya sangat tidak menguntungkan, namun ia menjawab,
”Paman sudah menyerahkan masalah kami kepada kami berdua. Kalau Paman tidak rela murid Paman binasa, suruhlah orang lain membantunya.”
Sekali lagi perasaan Mahesa Jenar tersentuh. Namun betapapun pedihnya ia masih menyabarkan diri. Katanya lebih lanjut, “Apakah yang dapat kalian peroleh dengan perkelahian itu? Kunci persoalannya tidak terletak pada kalian. Tetapi pada ayah-ayah kalian. Sedang ayah kalian adalah dua bersaudara seayah-seibu. Adakah pantas kalau kalian terpaksa bertempur mati–matian? Kalau ada persoalan biarlah kita bicarakan, sedang kalau ada masalah marilah kita pecahkan.”
“Kami sedang memecahkan masalah kami dengan cara seorang laki-laki,” jawab Sawung Sariti dengan angkuhnya.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya sambil mengusap dadanya, seolah-olah ia sedang menekan hatinya supaya tidak hanyut terseret oleh arus perasaannya. Bahkan ia berkata pula,
“Sawung Sariti… kejantanan seorang laki-laki tidak saja diukur dengan keprigelannya bertempur, tetapi juga harus dinilai dengan keluhuran budi. Dengan demikian barulah penilaian kita sempurna. Keluhuran budi itu dapat dicerminkan oleh tujuan serta pelaksanaan untuk mencapai tujuan itu.”
“Kau jangan menggurui aku Paman,” potong Sawung Sariti,
“Sebab aku sudah tahu semuanya itu. Ketahuilah, bahwa tujuanku bukan sekadar membinasakan Arya Salaka, tetapi tujuan yang lebih jauh lagi adalah ketenteraman hidup rakyat Banyubiru dan Pamingit.”
“Bagus, Sawung Sariti…” sahut Mahesa Jenar.
“Demikian hendaknya seorang pemuka dan pemimpin. Namun ketahuilah bahwa aku yakin, AryaSalaka pun berhasrat demikian pula. Apakah salahnya kalau kalian dapat bekerja bersama dalam batas–batas yang ditentukan oleh kemampuan kalian masing-masing?”

Sawung Sariti terdiam sesaat. Kata-kata Mahesa Jenar memang mengandung kebenaran. Kalau apa yang dilakukan selama ini adalah untuk ketenteraman hidup rakyatnya, maka sebaiknya tidak perlu ia mengejar-ngejar Arya Salaka, apalagi membunuhnya. Tetapi tiba-tiba kembali nafsunya melonjak-lonjak. Nafsu untuk berkuasa atas tanah perdikan Banyubiru yang sebenarnya adalah hak Arya Salaka. Karena itu segera ia menjawab,
“Paman, aku hanya dapat bekerja bersama dengan orang-orang yang tahu diri serta tahu menempatkan dirinya.”
“Tidakkah Arya dapat berbuat demikian?” tanya Mahesa Jenar.
Pada saat itu dada Arya rasa-rasanya sudah akan pecah. Ia tidak tahan lagi mendengar pembicaraan itu, yang seolah-olah baginya hanya tersedia di dalam sudut belas kasihan Sawung Sariti. Terdorong oleh darah remajanya yang sedang bergelora, berteriaklah Arya Salaka mengatasi suara Mahesa Jenar yang hampir melanjutkan perkataannya,
“Paman, biarlah Adi Sawung Sariti memilih cara yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah ini.”
Mahesa Jenar dapat mengerti sepenuhnya, bahwa Arya Salaka merasa harga dirinya tersinggung. Namun demikian ia masih mencoba berkata,
“Tak ada masalah yang tak dapat terpecahkan diantara kalian, sebagai keturunan bersama dari Ki Ageng Sora Dipayana.”
Nama itu memang untuk sementara dapat mempengaruhi perasaan mereka. Namun agaknya masalah haus kekuasaan telah menjamah seluruh relung-relung hati Sawung Sariti. Karena itu ia sudah tidak mau berbicara lagi. Meskipun tubuhnya masih belum segar benar namun ia telah bertekad untuk menyelesaikan pertempuran itu. Tetapi karena aji Lebur Sakethi-nya mendapat perlawanan yang seimbang, ia memilih cara lain untuk membinasakan Arya Salaka dengan kecepatannya memainkan pedang. Maka dalam sekejap mata, tampaklah sinar mata pedang berkilat-kilat didalam gelap malam, dibawah gemerlipnya bintang gemintang di langit yang kelam.

Sekali lagi hati Mahesa Jenar tergetar. Ia merasa tidak dapat berbuat lain, daripada menyaksikan kembali perkelahian yang sengit antara Arya Salaka dan Sawung Sariti. Perkelahian diantara keluarga sendiri yang pada hakekatnya tidak banyak berarti dalam percaturan tata pemerintahan di Banyubiru kelak. Sebab beberapa orang Banyubiru telah mendengar bahwa Arya Salaka masih hidup dan akan kembali ke tanah pusakanya. Sehingga apabila ternyata kemudian Arya Salaka tidak kembali, maka para pemimpin Banyubiru pasti akan mengurai persoalan itu. Dan dengan demikian, ketenteraman yang diharapkan tidak akan dapat diwujudkan. Yang akan terjadi kemudian adalah penindasan terhadap orang-orang yang ingin membela pemimpin mereka. Bahkan kebenaran Gajah Sora pun pasti akan tersingkap pula, setelah Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dapat diketemukan. Tetapi yang terjadi kemudian adalah benar-benar suatu pertempuran yang sengit. Ketika Arya Salaka melihat gemerlapnya sinar pedang di tangan Sawung Sariti, maka segera iapun mencabut tombaknya yang diberinya sebuah tangkai pendek. Tombak yang merupakan pertanda kebesaran pemerintahan Banyubiru pada masa lampau, bernama Kyai Bancak.

DEMIKIANLAH sekali lagi, Arya Salaka dan Sawung Sariti menyabung nyawanya. Dua bayangan yang bergerak-gerak dengan cepatnya, timbul-tenggelam diantara gemerlapnya sinar pedang, dan cahaya kebiru-biruan dari ujung tombak yang bernama Kyai Bancak. Kembali perkelahian itu berkobar dengan serunya. Bahkan kali ini di tangan masing-masing tergenggam senjata yang dapat menyobek kulit daging. Sawung Sariti benar-benar dapat mewarisi keahlian bermain pedang dari ayahnya, sedang Arya Salaka dengan cepatnya dapat mengimbangi. Tombaknya yang bertangkai pendek itu mematuk-matuk berbahaya sekali ke segenap bagian tubuh Sawung Sariti. Tetapi ketika pertempuran itu telah berlangsung beberapa lama, kembali terasa, tenaga Sawung Sariti telah jauh susut. Karena itu ketangkasannyapun menjadi berkurang. Maka ketika Sawung Sariti mempergunakan segenap sisa tenaganya untuk menyerang lawannya, Arya Salaka berhasil menghindar kesamping. Arya sama sekali tidak membalas menyerang tubuh Sawung Sariti, tetapi dipukulnya pedang yang hanya berjarak beberapa kilan dari tubuhnya itu dengan sekuat tenaganya. Sawung Sariti sama sekali tidak menduga, bahwa lawannya akan berbuat demikian. Karena itu pedangnya bergetar sehingga tangannya terasa pedih. Sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, sekali lagi Arya menghantam pedang itu. Kali ini Arya Salaka berhasil. Pedang itu dengan kerasnya terlontar lepas dari tangan Sawung Sariti. Mengalami peristiwa itu, dada Sawung Sariti bergoncang. Segera ia meloncat mundur untuk mempersiapkan diri melawan tanpa senjata. Tetapi Arya dengan tangkasnya meloncat pula, bahkan lebih cepat dari Sawung Sariti yang hampir kehabisan tenaga. Apa yang terjadi kemudian adalah ujung Tombak Kyai Banyak telah melekat di dada anak muda yang sombong itu. Semua yang menyaksikan peristiwa itu, menahan nafasnya. Suasana menjadi tegang. Semuanya menunggu apa yang akan dilakukan Arya Salaka dengan tombak pusaka dari Banyubiru itu.

Tetapi bagaimanapun juga, terpaksa mereka mengagumi pula ketabahan hati Sawung Sariti. Meskipun di dadanya telah melekat ujung tombak lawannya, yang dalam sekejap mata dapat membunuhnya, namun anak itu sama sekali tidak menjadi takut. Bahkan terdengar giginya gemeretak sebagai ungkapan kemarahan hatinya, dan sesaat kemudian terdengar ia berkata,
“Ayo, Kakang Arya Salaka. Bunuhlah aku dengan tombak kebesaran Banyubiru itu.”
Sebenarnya darah Arya Salakapun telah cukup panas. Dan dalam keadaan yang demikian dapat saja ia menggerakkan tangannya beberapa jengkal. Dengan demikian Sawung Sariti pun akan binasa. Namun tiba-tiba, ketika ia telah memilki kunci kemenangan, tampaklah pada wajah Sawung Sariti sebuah bayangan atas masa lampaunya. Masa kanak-kanaknya. Dimana mereka berdua dengan anak itu bermain bersama di Rawa Pening kalau kebetulan Sawung Sariti berada di Banyubiru. Sebaliknya mereka kadang-kadang berkuda bersama mendaki bukit-bukit kecil di Pamingit untuk mencari buah-buahan, yang kemudian dimakan bersama. Diingatnya dengan jelas, alangkah rukunnya pergaulan kanak-kanak yang masih jauh dari pamrih dan nafsu keangkaramurkaan. Pada saat itu seolah-olah tidak ada batas antara milik mereka berdua, permainan mereka berdua, bahkan sampai suka-duka mereka berdua. Kalau kebetulan Arya Salaka sedang dimarahi oleh ayah bundanya, dengan penuh kesayangan seorang adik Sawung Sariti selalu menghiburnya. Sebaliknya apabila Sawung Sariti sedang bersedih hati, Arya Salaka selalu berusaha untuk meredakannya. Pada saat yang demikian, mereka merasa seolah-olah dunia ini milik mereka berdua, dan tak ada tangan yang akan mampu memisahkan kerukunan mereka sebagai seorang kakak dan adik sepupu.

Tetapi tiba-tiba sekarang mereka harus berhadapan sebagai lawan. Lawan yang harus bertempur berebut nyawa. Alangkah jauh bedanya. Masa kini dan masa kanak-kanak yang tinggal dapat dikenangnya. Masa dimana hati mereka belum dikotori oleh nafsu dan dendam. Dalam pada itu Sawung Sariti menjadi heran ketika ujung tombak yang sudah melekat di dadanya itu masih belum menghujam masuk. Apalagi ketika lamat-lamat dalam kegelapan malam ia melihat Arya memejamkan matanya serta menggelengkan kepalanya. Seolah-olah ia sedang berusaha mengusir kenangan yang mengganggunya pada saat itu. Memang pada saat itu Arya Salaka sedang berusaha untuk mengenyahkan bayangan-bayangan masa kanak-kanaknya. Namun ia tidak berhasil. Ketika ia memejamkan matanya, justru bayangan itu semakin jelas. Bayangan dua orang anak-anak yang berlari-lari sambil berteriak-teriak nyaring dan berbimbingan tangan.
Tiba-tiba kenangan itu dipecahkan oleh Suara Sawung Sariti dengan tataknya,
“Kenapa tidak kau lakukan itu sekarang Kakang? Adakah kau takut melihat darah yang akan menyembur dari luka di dadaku?”
Arya tidak menjawab. Tetapi tangannya menjadi gemetar.
“Jangan berlaku seperti perempuan cengeng,” sambung Sawung Sariti.
Namun Arya masih diam saja. Memang dalam perkembangan mereka banyak mengalami pengaruh yang berbeda, sehingga watak merekapun menjadi jauh berbeda pula. Dengan demikian suasana menjadi bertambah tegang. Wajah-wajah yang berada di sekitar kedua anak muda yang berdiri berhadapan itu menjadi tegang pula. Dengan dada yang berdenyut keras mereka menunggu apakah yang akan terjadi.
Namun agaknya Mahesa Jenar yang telah lama bergaul dengan Arya dapat meraba perasaan yang menjalari kepala anak itu. Bahkan kemudian ia berdoa, mudah-mudahan Arya mengambil keputusan lain. Sehingga ia tidak membunuh saudara sepupunya itu dengan tangannya sendiri. Dan apa yang diharapkan itu terjadilah. Tiba-tiba dengan suara gemetar Arya berkata,
“Adi Sawung Sariti, jangan berkata demikian. Mungkin benar aku tidak akan berani melihat darah yang menyembur dari luka di dadamu, karena kau adalah adikku, yang pernah mengalami keindahan masa kanak-kanak bersama-sama. Nah, Adi Sawung Sariti, pulanglah. Dan berpikirlah baik-baik agar masalah diantara kita dapat kita selesaikan tanpa pertumpahan darah. Baik darah kita sendiri maupun darah rakyat kita.”

SAWUNG Sariti mencibirkan bibirnya. Jawabnya,
“Kalau kau tidak membunuh aku sekarang, Kakang… kau akan menyesal. Sebab akulah kelak yang akan membunuhmu.”
Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Namun tangannya yang memegang tombak itu masih saja gemetar. Katanya kemudian hampir berdesis,
“Aku harap kau akan mengubah pendirianmu. Akan kau temukan kelak kebenaran kata-kataku. Tak ada persoalan diantara kita, apabila kita berdiri di tempat kita masing-masing. Sehingga dengan demikian kita dapat memberikan tenaga dan pikiran kita untuk kepentingan tanah kelahiran serta kedamaian dan ketenteraman hidup rakyat kita. Dimana kita dilahirkan, dan untuk siapa kita berbakti.”
Mendengar kata-kata Arya Salaka, Sawung Sariti menarik keningnya. Sekali terlintas di dalam otaknya, kebenaran kata-kata itu, seperti apa yang didengarnya dari Mahesa Jenar. Tetapi dalam keadaan yang demikian, muncullah kembali kebengalannya. Sebagai seorang yang mempunyai harga diri terlalu tinggi, ia tidak mau menyerah dan minta maaf. Malahan terdengar jawabnya,
“Kakang Arya Salaka. Pertimbangkan sekali lagi. Apakah untungmu membebaskan aku. Sekali lagi aku peringatkan, bahwa aku tetap akan membunuhmu dalam keadaan yang bagaimanapun.”
Arya Salaka menarik nafas dalam-dalam. Juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi pening mendengar kata-kata Sawung Sariti. Bahkan beberapa orang menjadi tidak sabar lagi. Kenapa anak yang sedemikian sombongnya tidak dibunuh saja.
Namun Arya berpikir lain. Kelakuannya banyak dipengaruhi oleh tingkah laku Mahesa Jenar. Apalagi yang berdiri di hadapannya itu adalah adik sepupunya. Maka dengan tidak berkata-kata lagi, ditariknya ujung tombaknya dan langsung disarungkannya. Kemudian ia melangkah mundur.

Gigi Sawung Sariti masih terdengar gemeretak. Marahnya sama sekali tidak mereda. Apalagi ia merasa mendapat penghinaan dari kakak sepupunya. Karena itu darahnya justru menjadi meluap-luap. Dendamnya menjadi semakin bersusun-susun didalam hatinya yang kelam. Pada saat itu ia masih tetap berdiri dengan gagahnya. Matanya memandang tetap kepada Arya Salaka. Hanya kadang-kadang saja mata itu menyambar wajah-wajah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Bahkan sempat pula ia menangkap pancaran mata yang bulat segar dari seorang gadis tanggung yang bernama Endang Widuri. Sawung Sariti telah membakar perasaan mereka yang menyaksikan peristiwa itu. Beberapa orang berpendirian bahwa orang yang demikian sombongnya itu lebih baik dibinasakan saja sebelum menjadi lebih berbahaya lagi. Namun Arya Salaka sendiri mengharap, mudah–mudahan adiknya itu dapat menemukan kembali jalan kebenaran. Menyadari kesalahan-kesalahan yang diperbuatnya. Dengan demikian ia akan menemukan penyelesaian tanpa menanam dendam yang lebih dalam dari cabang keturunan Ki Ageng Sora Dipayana, sehingga kelak tidak akan mengganggu kedamaian hidup berdampingan sebagai dua orang bersaudara yang memerintah atas tanah masing-masing. Pamingit dan Banyubiru. Arya Salaka sendiri telah berusaha keras untuk menyimpan dendam atas hilangnya ayahnya Gajah Sora, serta berusaha untuk melupakannya. Sebab apabila dendam dituntut dengan dendam, maka dendam itu sendiri akan menjalar turun-temurun. Dan habislah manusia di dunia ini terbenam dalam arus pembalasan demi pembalasan. Beberapa orang menjadi keheran-heranan ketika malahan Arya Salaka memutar tubuhnya dan kemudian melangkah pergi menjauhi adiknya yang masih berdiri tegap tanpa bergerak. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sama sekali tidak menyesal. Bahkan mereka merasa berbangga hati atas keluhuran budi yang memancar dari rongga dada muridnya, meskipun kemudian mereka masih mendengar Sawung Sariti berkata,
“Kakang jangan mengharap hatiku menjadi cair oleh sikapmu kali ini. Bagaimanapun juga kau tidak akan dapat kembali menjamah daerah perdikan Banyubiru.”

Arya mempercepat langkahnya. Ia tidak mau mendengarkan lagi lagu yang menyakitkan hati itu, supaya ia tidak mengubah keputusannya. Karena itu ketika ia mendengar Sawung Sariti meneruskan kata-katanya, ia berteriak,
“Pergilah, dan ambil pedangmu. Bunuhlah aku kelak kalau kau sudah merasa mampu. Aku akan merasa bahagia kelak, kalau aku binasa ndhepani tanah pusaka serta rakyat tercinta. Demi mereka, aku bersedia untuk mati.”
Setelah itu ia tidak menoleh lagi. Langkahnya menjadi semakin cepat. Bahkan ia tidak menghiraukan lagi orang-orang yang berdiri berjajar mengelilinginya. Ia tidak peduli apakah orang lain akan membenarkan pendiriannya atau tidak. Arya Salaka dengan langkah tetap langsung menuju ke Gedangan. Beberapa orang berjalan mengiringinya dengan berbagai perasaan menggayut hati. Meskipun ada diantara mereka yang menjadi kecewa, namun disela-sela perasaan itu, kagumlah mereka atas kebesaran jiwa anak muda itu. Mereka yang tidak mengetahui latar belakang dari peristiwa itu hanya menganggap, betapa tinggi jiwa kejantanannya. Sebagai seorang laki-laki jantan ia tidak akan membunuh orang yang sudah tidak berdaya lagi.

SAWUNG Sariti memandang iring-iringan itu sampai lenyap dibalik tabir kegelapan malam. Beberapa kali ia menarik nafas. Kemudian ia melangkah maju, dan kemudian membungkuk memungut pedangnya. Dengan tajam diamat-amatinya pedang kebanggaannya itu. Seolah-olah ia sedang bertanya pada benda itu, kenapa kali ini ia tidak dapat menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Bahkan dibeberapa bagian dilihatnya pedangnya mengalami kerusakan. Karena itu ia menjadi kagum atas ketajaman dan kekerasan baja bahan tombak yang bernama Kyai Bancak. Setelah ia menyarungkan pedangnya, dilayangkan pandangannya berkeliling. Baru kemudian terasa betapa sepinya. Perlahan-lahan ia melangkah dan berjalan menjauhi tempat dimana ia hampir saja binasa. Sesaat kemudian arena itu menjadi sunyi. Sunyi sekali. Namun didalam kegelapan malam, masih ada seorang yang berdiri diantara mayat-mayat yang masih bergelimpangan di sana-sini. Orang itu adalah Mahesa Jenar. Ia tidak turut serta dengan orang-orang lain kembali ke Gedangan. Tetapi ia berhenti beberapa tonggak dari desa itu. Ia tahu bahwa dalam keadaan yang demikian, Arya lebih senang duduk sendiri. Merenung dan menimbang-nimbang apa yang sudah dan akan dilakukan. Karena itu lebih baik ia tidak mengganggu. Kebo Kanigara telah lebih dahulu kembali ke Gedangan mengantar anaknya yang kelaparan bersama dengan Wanamerta dan orang-orang lain. Namun pada saat itu Mahesa Jenar sama sekali tidak merasa lapar. Beberapa kali ia membungkuk mengamat-amati mayat-mayat yang terbujur lintang diarena. Ada diantaranya yang sudah tua, tetapi ada diantara yang masih sangat muda. Sekali dua kali terpaksa ia mengusap dadanya. Sekian banyak orang melepaskan nyawanya, hanya karena ketamakan beberapa orang yang ingin memegang kekuasaan. Berbahagialah mereka yang mati dalam tugas suci mereka. Tetapi sayanglah jiwa yang melayang sebagai korban nafsu yang tak terkendali.

Malam bertambah kelam. Di langit masih tampak berterbangan kelelawar mencari mangsa. Sedang di kejauhan terdengar gonggongan anjing liar mengerikan. Mahesa Jenar masih saja berdiri tegak di dalam gelapnya malam diantara mayat-mayat yang bergelimpangan. Matanya memandang jauh, ke arah bintang-bintang di langit. Namun hatinya dipenuhi oleh pertanyaan-ternyataan tentang esok. Apakah kira-kira yang akan terjadi? Adakah pasukan dari Pamingit dan rombongan orang-orang golongan hitam itu akan kembali lagi menyerang? Ataukah mereka sudah merasa bahwa mereka tak berhasil? Meskipun demikian adalah menjadi kewajiban Mahesa Jenar untuk tetap waspada dan bersiaga sepenuhnya. Sekali-sekali dilayangkan pandangan matanya ke arah pedukuhan Gedangan yang lamat-lamat meremang, seperti bayangan yang kelam menggores di wajah langit. Mahesa Jenar menarik nafas. Pedukuhan itu tampak betapa damainya dalam kelelapan tidurnya. Seolah-olah tidak pernah terjadi keributan sama sekali. Tetapi disini. Bukti-bukti itu dihadapinya. Mayat dan bau darah.

Menghadapi kenyataan itu, darah Mahesa Jenar berdesir. Namun ia sadar sesadar-sadarnya bahwa kehadirannya di dunia ini bukanlah sekadar untuk menjadi umpan nafsu dan ketamakan. Tetapi sebagai manusia, ia wajib menegakkan kebenaran dengan usaha-usaha menurut jalan yang dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Ketika Mahesa Jenar sedang tenggelam dalam angan-angannya, tiba-tiba di kejauhan tampaklah sebuah bayangan yang melintas dengan cepatnya. Mahesa Jenar menjadi terkejut karenanya.
Tetapi dalam tangkapannya yang hanya sekilas itu, tahulah ia bahwa bayangan itu adalah orang yang berjubah abu-abu, yang dalam pertempuran yang terjadi beberapa saat sebelum itu, merupakan penyelamat yang menentukan. Timbullah keinginannya untuk mengenal orang itu dari dekat. Karena itu segera ia meloncat dan berlari secepat-cepatnya ke arah bayangan yang melintas itu. Namun ternyata Mahesa Jenar sama sekali tidak berhasil. Yang terbentang di hadapannya hanyalah wajah malam yang hitam kelam. Sedangkan bayangan itu sama sekali sudah tidak ada lagi. Meskipun demikian perhatiannya kini telah berpindah dari pertempuran yang baru saja terjadi kepada orang yang berjubah abu-abu itu. Siapakah gerangan orang yang telah menjadi teka-teki sampai bertahun-tahun itu? Kalau saja saat itu Ki Ageng Gajah Sora ada disampingnya, maka ia akan dapat mencari pertimbangan, bahwa pasti orang itulah yang telah mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru.

Tetapi apakah gerangan maksud yang sebenarnya? Dan kenapakah orang itu tiba-tiba saja muncul pada saat dirinya terancam bahaya? Bahaya yang hampir saja tak dapat dihindarkan. Apalagi dalam pertanggungjawabannya terhadap seluruh anak buahnya. Tetapi bayangan itu kini sudah lenyap. Yang tinggal hanyalah beberapa masalah, pertanyaan-pertanyaan dan teka-teki yang bercampur baur berputar-putar di dalam otak Mahesa Jenar. Campurbaur antara gambaran–gambaran hari esok serta kenangan hari kemarin yang kadang-kadang tak dapat ditemukan sendi-sendi penyambungnya. Dalam pada itu sekali lagi Mahesa Jenar terkejut. Kali ini lamat-lamat ia mendengar suara tembang. Jauh sekali, meskipun setiap kata yang terlontar dapat didengarnya dengan jelas. Mahesa Jenar menjadi termangu-mangu. Siapakah yang berdendang di tengah malam, diantara bau mayat dan darah ini…? Mula-mula pikirannya terbang kepada Ki Ageng Pandan Alas. Namun ternyata suara itu lain. Bukan suara yang sudah sering didengarnya. Ketika dendang itu telah genap satu bait, ternyata terdengar diulangnya kembali. Kata demi kata didengarnya dengan seksama.
“Memanising manungsa sejati, sesantine mring laku utama, lukita mesu budine, meruhi hawa lan napsu, mrih sampurna lair lan batin, kanti atapa brata, gegulang mrih hayu, hayuningrat sak isinya, rumantine rinakit budi pakarti, tata gatining jalma.”

DADA Mahesa Jenar berdesir mendengar tembang itu. Suatu gambaran tentang manusia idaman. Manusia sejati, yang bersemboyan, berusaha sebaik-baiknya untuk mengenal bentuk-bentuk hawa nafsu, untuk mencapai kesempurnaan lahir dan batin. Dengan penuh prihatin dan memeras diri. Berjuang untuk kesejahteraan dunia dengan segala isinya. Menuju ke arah masyarakat yang tata tentram kerta raharja. Dengan tanpa sadarnya Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan isi tembang itu. Demikianlah hendaknya manusia. Namun agaknya manusia yang demikian itu masih harus dilahirkan. Manusia yang dapat mengenal dengan seksama segala bentuk-bentuk nafsu, serta menghindarinya, untuk mencapai kesempurnaan lahir dan batin. Tetapi jelas dikatakan oleh tembang itu, bahwa manusia itu tidak menunggu datangnya tata masyarakat yang diidamkan, tetapi manusia yang demikian harus berjuang untuk mencapainya. Mahesa Jenar meraba dadanya. Di sinilah kadang-kadang letak persimpangan jalan yang berbahaya. Harus ditarik garis yang jelas antara berjuang untuk masyarakat yang dicitakan, dengan unsur-unsur nafsu yang menyusup kedalamnya tanpa disadari. Dalam pada itu, tiba-tiba Mahesa Jenar memandang jauh kepada dirinya sendiri. Ia telah sekian lama berjuang untuk satu cita-cita yang menurut keyakinannya akan dapat mendatangkan keteguhan pemerintahan yang seterusnya akan dapat menciptakan masyarakat yang dicita-citakan. Dan bersyukurlah ia bahwa sampai saat ini sama sekali tidak timbul nafsu di dalam dirinya, seperti golongan hitam yang juga sedang berjuang dengan tujuan yang sama. Menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Tetapi bagi mereka, penemuan itu sama sekali bukan suatu perjuangan untuk menegakkan pemerintahan, tetapi bahkan mereka menganggap bahwa siapa yang menemukan sepasang keris itu, akan mampu menguasai golongannya dan dengan kekuatan mereka, mereka dapat merebut tahta Demak.

Untunglah bahwa keris itu sudah dapat direnggutnya dari tangan mereka, meskipun kini keris itu masih harus dicarinya kembali. Mahesa Jenar menegakkan kepalanya, untuk mencoba mengetahui dari manakah suara tembang itu dilontarkan. Tetapi untuk beberapa lama ia tidak berhasil. Suara itu seolah-olah bergulung-gulung dari segala arah membentur dan melontar kembali dari tebing-tebing bukit di sekitarnya. Bahkan akhirnya ia merasa, bahwa ia tak akan berhasil menemukannya. Dengan demikian Mahesa Jenar dapat kesimpulan bahwa suara tembang itu telah dilontarkan oleh seorang sakti yang sengaja membingungkannya. Bahkan dalam penilaiannya orang itu pasti lebih sakti dari Ki Ageng Pandan Alas. Dalam tingkatannya sekarang, ia sama sekali tidak akan mengalami banyak kesulitan untuk dapat berdiri sejajar dengan orang tua itu. Tetapi orang ini, yang berdendang dengan asiknya, bukanlah orang sejajarnya. Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang yang berjubah abu-abu yang baru saja menampakkan diri di hadapannya. Dengan demikian ia menduga bahwa orang itulah yang telah melagukan tembang dimalam yang sunyi itu. Maka, kemudian Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk tidak mencarinya lebih lanjut. Sebab usahanya pasti akan sia-sia saja, sebelum orang itu atas kehendak sendiri menunjukkan tempatnya berada. Tetapi yang tumbuh kemudian di dalam dada Mahesa Jenar adalah dugaan-dugaan yang bersimpang siur tentang orang itu. Orang yang aneh dalam pandangan matanya. Meskipun dalam sepintas lalu, orang itu benar-benar mirip dengan bentuk Pasingsingan, namun ia pasti bahwa orang itu sama sekali bukan Pasingsingan. Kalau orang itu juga berjubah abu-abu dan juga memakai wajah yang bukan wajah aslinya, mungkin hanyalah suatu kebetulan saja, meskipun kebetulan yang masih meragukan. Dengan teka-teki yang masih berkecamuk di kepalanya itulah Mahesa Jenar melangkah kembali ke padukuhan Gedangan. Di sepanjang perjalanannya, ia sama sekali tak dapat melepaskan diri dari persoalan orang berjubah abu-abu itu.

Ketika ia sampai di padukuhan, dilihatnya di rumah Wiradapa masih lengkap duduk mengelilingi pelita minyak, Kebo Kanigara beserta anaknya di belakangnya, Wanamerta yang tampak sangat kelelahan, serta beberapa orang lainnya, yang kemudian mempersilahkan Mahesa Jenar untuk duduk diantara mereka. Kepada mereka itu Mahesa Jenar minta untuk tetap bersiaga dan memberikan beberapa petunjuk apabila besok pertempuran masih harus dilakukan. Setelah itu maka segera ia minta diri untuk beristirahat, malahan ia menasehatkan kepada orang-orang lain untuk beristirahat pula. Setelah Mahesa Jenar membersihkan dirinya, terasalah bahwa tubuhnya menjadi segar kembali. Apalagi setelah ia mengisi perut sekadarnya. Tubuhnya yang telah diperas sehari penuh itu merasa sehat dan kekuatannya telah utuh seperti semula. Sebelum ia memasuki ruangannya di bagian depan rumah Wiradapa, mula-mula ia perlu menengok keadaan Rara Wilis. Ketika ia masuk dilihatnya Rara Wilis duduk bercakap-cakap dengan Widuri. Melihat kedatangan Mahesa Jenar, segera Widuri berdiri untuk meninggalkan ruangan itu, tetapi cepat Wilis menangkap lengannya.
“Mau kemana kau Widuri?”
“Tidur, Bibi,” jawab gadis itu.
“Bukankah kau akan menemani aku malam ini?” sahut Rara Wilis.
Widuri berhenti. Tetapi ia termangu-mangu.
“Bukankah kau sudah berjanji…?” Wilis meneruskan, Widuri mengangguk.
“Nah, kalau begitu, kau tidak boleh pergi,” sambung Mahesa Jenar.
Widuri tidak jadi meninggalkan ruangan itu, tetapi ia duduk kembali disamping Rara Wilis.
“Silahkan masuk Kakang….” Wilis mempersilahkan. Tetapi Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Ia tidak akan terlalu lama tinggal di ruang itu, sebab ia perlu beristirahat.
“Aku hanya ingin melihat apakah kau telah baik kembali Wilis,” kata Mahesa Jenar.
“Pangestumu Kakang,” jawab Wilis.
“Syukurlah dan tidurlah. Siapa tahu tenaga kita masih diperlukan besok atau lusa,” sambung Mahesa Jenar. Setelah itu segera ia minta diri untuk pergi ke ruang tidurnya.

DI dalam ruangan itu dilihatnya lampu minyak yang terayun-ayun dipermainkan angin yang menyusup lubang-lubang dinding bambu. Cahaya yang dilontarkan membuat bayang-bayang yang selalu bergerak-gerak pula. Sebuah bayangan hitam yang terlukis di dinding tampak seperti sebuah lukisan hitam yang berguncang-guncang. Itulah bayang-bayang Arya Salaka yang masih saja duduk dipembaringannya memeluk lutut. Ketika Arya Salaka melihat Mahesa Jenar masuk, segera ia membetulkan letak duduknya. Wajahnya masih nampak suram setelah mengalami peristiwa yang membentur langsung lubuk hatinya yang paling dalam, bahkan agaknya mandi pun Arya Salaka masih belum sempat. Melihat keadaan Arya Salaka, hati Mahesa Jenar terketuk kembali. Ia tahu apakah yang dirasakan oleh anak murid satu-satunya itu. Karena itu maka ia mencoba untuk meredakannya.
“Katanya Jangan banyak kau pikirkan apa yang sudah kau lakukan Arya. Menurut pendapatku kau telah melakukan hal yang sebaik-baiknya.”
Arya Salaka mengerutkan keningnya. Meskipun tampak perubahan di wajahnya, tetapi tidaklah begitu jelas. Namun ketika ia menyahut, terasalah bahwa ia belum yakin akan kata-kata gurunya.
“Paman, tidakkah aku mengecewakan Paman?”
“Kenapa aku harus kecewa Arya?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku tidak dapat membunuhnya. Tidak dapat,” jawab Arya sambil beberapa kali menggelengkan kepalanya.
“Justru karena itu aku mengagumimu,” potong Mahesa Jenar.
Arya memandang gurunya dengan mata yang memancarkan keraguan. Namun ia kenal betul watak gurunya. Kalau ia berkata demikian, maka hatinyapun akan berkata demikian pula. Karena itu ia menjadi terharu. Bahkan mata itu kemudian menjadi berkilat-kilat memantulkan sinar pelita karena air yang membayang didalamnya.
“Sudahlah Arya. Jangan kau terbenam dalam angan-angan. Bagiku kau telah bertindak benar dan terpuji. Sekarang beristirahatlah. Mandilah supaya kau menjadi segar. Dan adakah kau telah makan?”
Arya Salaka menggeleng.
“Nah, pergilah ke belakang. Mandi dan mintalah kepada Bibi Wiradapa makan secukupnya. Siapa tahu besok kita masih harus bekerja keras.”

Arya tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dan dengan gontai melangkah keluar ruangan. Dengan segar Arya pergi ke perigi. Sesaat kemudian terdengarlah gerit timba yang digerakkan oleh Arya, disusul dengan suara guyuran air yang dingin segar. Dalam pada itu, ketika Arya sedang menikmati sejuknya air, tiba-tiba ia dikejutkan oleh sebuah bayangan orang berjubah yang berdiri di belakangnya. Arya menjadi terkejut dan agak bingung. Dalam keadaannya sekarang, selagi ia tidak berpakaian, sulitlah agaknya untuk melawan seandainya orang itu tiba-tiba menyerang. Meskipun demikian ia harus bersiaga. Tetapi sampai beberapa lama orang itu berdiri diam mematung. Dalam pada itu Arya ingin mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Cepat ia meloncat untuk menyambar, setidak-tidaknya kainnya. Namun ia menjadi terkejut pula ketika orang itu sudah menghadangnya dengan sama sekali tak diketahuinya, kapan ia melontarkan diri. Karena hal itu, segera Arya Salaka mengetahui bahwa orang yang berjubah itu pasti seorang tokoh sakti. Tiba-tiba ia teringat gurunya pernah berceritera tentang seorang yang berjubah abu-abu dan bertopeng jelek. Yaitu Pasingsingan. Apakah orang ini Pasingsingan, guru Lawa Ijo? Tetapi orang ini sama sekali tidak mempergunakan topeng yang jelek, meskipun wajahnya tampaknya juga tidak wajar. Dengan demikian Arya Salaka menjadi berdebar-debar. Tiba-tiba orang itu melangkah maju, setapak demi setapak, seperti seekor kucing yang sedang merunduk seekor tikus. Dalam keadaan itu, Arya Salaka tidak dapat berbuat lain daripada bersiaga untuk melawan. Bahkan kemudian ia lupa akan keadaan dirinya yang sama sekali tidak berpakaian itu. Ia tidak mau mati di tangan seorang yang bagaimanapun juga saktinya tanpa perlawanan.

Maka ketika orang yang berjubah itu sudah sedemikian dekat, Arya pun telah siap melakukan hal-hal yang perlu untuk melindungi dirinya. Dalam keremangan malam Arya melihat orang itu perlahan-lahan menjulurkan tangannya. Demikian perlahan-lahan sehingga agaknya itu bukanlah suatu serangan. Namun Arya tidak mau tertipu. Iapun perlahan-lahan surut beberapa langkah. Tetapi kemudian orang itu meloncat dengan cepatnya untuk menangkap pinggangnya. Arya yang telah siap itupun segera meloncat menghindar dan bahkan dengan sekuat tenaga ia membalas menyerang dengan kakinya ke arah lambung orang yang belum dikenalnya itu. Kalau saja pada saat ia bertempur melawan orang-orang Paningit, tidak berada di sayap kanan, maka setidak-tidaknya ia dapat melihat orang yang berjubah abu-abu yang sekarang berdiri di hadapannya itu. Namun seandainya demikian iapun pasti tidak mau diserang tanpa sebab dan pasti akan melawannya. Tetapi anehnya, meskipun ia telah merasa menghindarkan diri dan bahkan menyerang orang itu dengan sekuat tenaga, namun agaknya bagi orang berjubah abu-abu itu, gerakannya sama sekali tidak berarti. Sehingga apa yang diketahuinya, pinggangnya benar-benar telah dapat ditangkap. Tangan orang itu terasa demikian kerasnya seperti sebuah himpitan besi yang tak dapat direnggangkan. Arya Salaka dalam sekejap telah hampir tak berdaya. Meskipun kedua tangannya bebas, namun karena himpitan itu terasa seolah-olah tenaganya lenyap, seperti tulang belulangnya terlepas dari tubuhnya. Tetapi Arya bukan orang yang lekas berputus asa. Dengan sisa tenaganya ia melawan sejadi-jadinya. Kaki dan tangannya bergerak sedapat-dapat untuk menyerang. Bahkan ia berusaha dengan kedua jari-jari tangannya menyerang mata orang itu. Namun usahanya sama sekali tak berarti. Tangan yang menjepit pinggangnya itu semakin lama terasa semakin keras dan sejalan dengan itu tenaganya menjadi semakin surut semakin surut. Bahkan akhirnya tubuhnya menjadi tidak lebih dari selembar kain yang sama sekali tidak dapat digerakkan atas kemauan sendiri.

ARYA Salaka kini tidak dapat berbuat lain daripada menunggu apa yang bakal terjadi. Hanya matanyalah yang dapat memancarkan cahaya kemarahan yang meluap-luap. Sedangkan mulutnya sama sekali tidak berhasil mengeluarkan suara. Meskipun dalam keadaan yang demikian kesadarannya sama sekali tidak terganggu. Ia dapat merasa dan mengetahui apa yang terjadi atas dirinya. Setelah Arya tidak mampu untuk berbuat apapun, maka kemudian orang itu melepaskan jepitannya perlahan-lahan. Kemudian dengan kedua tangannya Arya dipapahnya ke dalam kelam, dibawah daun-daun yang lebat rimbun di halaman belakang rumah Wiradapa. Di tempat itu perlahan-lahan Arya diletakkan berbaring. Seperti seorang bayi, bahkan lebih dari itu, sebab ia sama sekali tidak mampu menggerakkan jarinya sekalipun. Kemudian ia melihat orang itu berdiri tegap di sampingnya. Diangkatnya kepala sambil memperhatikan keadaan sekelilingnya. Namun yang terdengar hanyalah kemerisik daun yang digoyangkan angin, serta bunyi-bunyi jangkrik bersahutan dengan suara bilalang. Sedang malam semakin bertambah malam jua. Padukuhan Gedangan telah terbenam dalam kesunyian yang lelap. Hampir setiap orang telah nyenyak tertidur, kecuali beberapa orang yang bertugas ronda. Mahesa Jenar yang telah membaringkan dirinya sama sekali tidak curiga tentang keadaan Arya Salaka. Ketika ia sudah tidak mendengar guyuran air, ia hanya mengira bahwa Arya sedang pergi ke dapur untuk minta makan kepada Nyai Wiradapa. Karena itulah maka ia sama sekali tidak memperhatikannya lagi. Dalam pada itu, malahan kenangan Mahesa Jenar kembali melontar kepada orang yang berjubah abu-abu yang telah menyelamatkan laskarnya dari kehancuran. Ia mencoba untuk menghubung – hubungkan orang itu dengan orang-orang yang pernah dikenalnya. Orang-orang yang aneh-aneh dan orang-orang yang telah menyisihkan diri dari pergaulan.

Diingatnya nama-nama Radite dan Anggara. Kedua-duanya adalah murid Pasingsingan, yang bahkan Radite adalah orang yang sebenarnya berhak mempergunakan gelar Pasingsingan beserta tanda kebesarannya. Namun sebagai manusia ia mengalami kekhilafan, sehingga akhirnya ia merasa bahwa hidupnya seolah-olah tak berarti lagi. Ia merasa bahwa setiap dosa yang dibuat oleh Umbaran, orang yang kemudian memiliki tanda-tanda serta pusaka-pusaka Pasingsingan adalah akibat dari dosanya. Tetapi dalam penilaian Mahesa Jenar, Radite dan Umbaran tidaklah jauh terpaut, bahkan mungkin masih berada dalam deretan yang sejajar dengan gurunya, dengan Ki Ageng Sora Dipayana, dengan Ki Ageng Pandan Alas. Sehingga dengan demikian ia tidak akan dapat melampaui Kebo Kanigara. Tetapi orang yang datang itu adalah orang yang terpaut banyak daripadanya, yang telah menemukan inti dari ilmu perguruan Pengging. Sehingga dengan demikian orang itu pasti bukan salah seorang diantara Radite maupun Anggara. Dalam pada itu, tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada Arya Salaka. Anak itu sudah terlalu lama pergi. Terlalu lama bagi seorang yang hanya mandi dan makan saja. Setelah ia menyabarkan diri beberapa saat lagi, akhirnya perasaan Mahesa Jenar menjadi semakin tidak enak. Karena itu, iapun bangkit dan berjalan mondar-mandir di dalam ruang tidurnya. Sekali dua kali ia masih mencoba untuk menanti saja kedatangan anak itu, tetapi kemudian ia menjadi tidak sabar. Bahkan kemudian ia menduga bahwa pasti terjadi sesuatu yang tidak wajar. Untung kalau saja anak itu pergi berjalan-jalan untuk menenangkan dirinya.

Maka dengan perlahan-lahan agar tidak mengejutkan orang-orang lain yang tertidur nyenyak, Mahesa Jenar berjalan ke halaman belakang. Dadanya berdesir ketika ia melihat lampu dapur telah padam. Sehingga jelas bahwa anak itu tidak ada di sana. Kemudian Mahesa Jenar pergi ke perigi, meskipun ia menduga bahwa anak itu sudah tidak ada di sana. Tetapi tiba-tiba dadanya bergelora cepat sekali. Ia menemukan pakaian Arya lengkap diatas sebuah batu di tepi sumur itu. Pakaiannya saja. Lalu kemanakah anak itu pergi? Pasti tidak mungkin kalau Arya sengaja meninggalkan pakaian di sana, meskipun seandainya ia berganti dengan pakaian lain. Karena itu Mahesa Jenar mendapat kesimpulan bahwa Arya telah mengalami suatu hal yang tidak wajar, yang bahkan mungkin berbahaya. Menilik keadaannya, serta tidak adanya sesuatu yang didengarnya, maka Mahesa Jenar menjadi berteka-teki. Ia menjadi heran kepada dirinya sendiri ketika tanpa sadarnya ia menjengukkan kepalanya ke dalam perigi, ke dalam lingkaran yang hitam kelam. Seolah-olah ia sedang mencari Arya Salaka di sana. Suatu pikiran gila, gerutu Mahesa Jenar. Tak mungkin Arya berbuat demikian, apapun yang dihadapinya. Dengan demikian maka kesimpulan yang terakhir, yang mengganggu otaknya adalah, bahwa Arya telah mendapat bahaya dari seseorang yang jauh melampaui ketangguhan anak muda itu. Dengan kesimpulannya itu Mahesa Jenar menjadi marah sekali. Siapakah yang telah berani mengganggu murid satu-satunya itu? Murid yang diharapkan untuk dapat mewarisi ilmu serta mengembangkannya. Bahkan murid yang keselamatannya menjadi tanggung jawabnya atas permintaan ayah anak itu sendiri. Mahesa Jenar mencoba untuk menemukan jawabnya. Namun ia menjadi bingung. Tidak mungkin kalau hal itu dapat dilakukan oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Meskipun kedua Uling itu menyerangnya bersama, namun pasti akan terjadi perkelahian yang cukup lama untuk memberinya kesempatan mendengar dan membantu. Tetapi apa yang terjadi adalah sangat mengagumkan. Anak itu agaknya begitu saja hilang sebelum ia sempat berbuat sesuatu. Darah Mahesa Jenar menjadi semakin bergelora. Untuk beberapa saat ia berdiri diatas kedua kakinya yang renggang. Wajahnya sedikit terangkat. Dicobanya untuk menangkap setiap suara yang berdesir di sekitarnya. Namun ia tidak mendengar sesuatu. Juga matanya yang tajam, setajam mata burung hantu itupun tidak dapat menangkap sesuatu yang mencurigakan. Karena itu ia menjadi gelisah. Kemana agaknya Arya Salaka harus dicari…?

SAMBIL berpikir keras, Mahesa Jenar demikian saja melangkah meninggalkan tempat itu. Yang mula-mula dilakukan adalah berjalan berkeliling halaman. Kalau-kalau ada hal-hal yang mencurigakan yang dapat dipakainya untuk bahan pencariannya. Dalam hal ini, ia sama sekali tidak ingin mengganggu orang lain. Ia ingin mencarinya seorang diri. Baru apabila ia tidak berhasil, ia akan minta pertolongan Kebo Kanigara. Tetapi tiba-tiba, ketika ia baru mendapat separo dari perjalanan kelilingnya itu ia terhenti. Perlahan-lahan didengarnya nafas seseorang yang mengalir dengan teratur. Mahesa Jenar mencoba untuk meyakinkan pendengarannya. Perlahan-lahan ia melangkah setapak maju. Dan benarlah. Ia telah mendengar nafas seseorang. Menilik tarikannya yang teratur itu, Mahesa Jenar dapat menduga bahwa di halaman itu terdapat seseorang yang tertidur. Karena itu ia menjadi bertanya-tanya di dalam hati. Adakah Arya Salaka yang tertidur di situ…? Anehlah kalau demikian. Bagaimanapun letih serta kantuknya, tetapi tidak mungkin bahwa ia tidak sempat berpakaian, lalu begitu saja menjatuhkan diri dan tertidur di situ. Karena itu, ia tidak membiarkan dirinya mendapatkan sesuatu hal yang tak dikehendaki. Jangan-jangan hal yang serupa telah menyeret Arya kedalam bencana, karena ia kurang hati-hati atas suara desah nafas yang dikiranya orang yang sedang tertidur nyenyak. Dengan demikian malahan Mahesa Jenar menjadi bersiaga penuh. Setiap saat ia dapat bertindak. Bahkan setiap saat, apabila ia benar-benar berhadapan dengan bahaya yang besar, ilmunya Sasrabirawa siap untuk dilontarkan. Setelah beberapa saat ia menunggu dengan tidak ada perubahan apapun, kembali ia maju setapak. Sekali lagi setapak demi setapak dengan penuh kewaspadaan. Akhirnya suara desah nafas itu sudah sedemikian dekatnya. Dengan hati-hati sekali Mahesa Jenar bergerak beberapa jengkal maju. Matanya tajam dipergunakannya sebaik-baiknya menembus daerah yang gelap pekat karena daun-daun yang rimbun. Perlahan-lahan seolah-olah muncul dari daerah yang hitam sesosok tubuh yang terbujur diam. Melihat tubuh itu Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Sejengkal lagi ia bergeser maju. Dengan demikian tubuh yang nampak lamat-lamat itu menjadi semakin jelas. Dan apakah yang nampak kemudian sangat mengejutkannya. Ketika tubuh itu menjadi jelas segera Mahesa Jear dapat mengenalnya. Tubuh itu adalah tubuh Arya Salaka. Dan dari tubuh itu pulalah Mahesa Jenar dapat mendengar desah nafasnya yang teratur. Nafas orang yang sedang tidur nyenyak.

Meskipun tubuh yang terbaring tanpa pakaian itu adalah Arya Salaka namun Mahesa Jenar tidak tergesa-gesa mendekatinya. Ia masih belum tahu pasti, apakah tidak ada hal-hal yang berbahaya. Baru setelah beberapa saat tidak terdengar sesuatu selain nafas Arya, Mahesa Jenar melangkah perlahan-lahan mendekati. Ketika ia meraba tubuh anak itu, terasa bahwa tubuh itu tetap hangat seperti biasa. Demikian tubuh Arya tersentuh tangan Mahesa Jenar, tampaklah anak itu terkejut. Cepat ia meloncat bangkit dan bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan. Tetapi ketika yang dilihat berdiri dihadapannya adalah Mahesa Jenar, iapun segera mengendorkan perasaannya. Dalam keadaan yang penuh dengan tanda tanya. Mahesa Jenar berkata,
“Kau tertidur Arya?”
Arya menganggukkan kepalanya.
“Tetapi kenapa pakaianmu kau tinggalkan…?” Mahesa Jenar meneruskan.
Arya terkejut mendengar teguran itu. Ia baru merasa bahwa ia masih belum mengenakan pakaiannya. Karena itu segera ia meloncat berlari ke perigi. Mahesa Jenar menjadi semakin heran. Namun kemudian ia pasti, bahwa sesuatu telah terjadi. Setelah Mahesa Jenar sekali lagi memperhatikan keadaan sekelilingnya, serta tidak ada sesuatu yang mencurigakan, iapun segera berjalan mengikuti arah langkah Arya Salaka. Sampai di tepi sumur, Arya segera menyambar pakaiannya. Ia tidak sempat membersihkan debu serta tanah lembab yang melekat pada tubuhnya.

Setelah Arya lengkap berpakaian, Mahesa Jenar tidak segera bertanya tentang apa yang telah terjadi atasnya, tetapi diajaknya Arya untuk masuk kembali ke dalam ruang tidurnya, setelah Arya menolak membangunkan Nyai Wiradapa untuk minta disediakan makan buatnya. Baru setelah mereka duduk di pembaringan, Mahesa Jenar segera bertanya kepada anak muridnya, apakah sebabnya anak itu telah melakukan suatu pekerjaan yang aneh. Tidur di halaman belakang, di bawah daun-daun yang lebat rimbun serta sama sekali tidak berpakaian. Arya sendiri mula-mula heran, bahwa ia telah tertidur di halaman belakang tanpa pakaian sama sekali. Diingatnya kembali apa yang telah terjadi atasnya. Perlahan-lahan sekali, semakin lama menjadi semakin jelas tampak kembali apa yang pernah dialaminya. Maka diceriterakannya apa saja yang terjadi atas dirinya. Pada saat ia sedang mandi, dan tiba-tiba muncullah seorang berjubah menangkapnya. Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Lalu sambil mengangguk-angguk iabertanya,
“Apa yang dilakukan atasmu ketika kau telah terbaring di bawah daun-daun yang lebat itu, dan adakah ia berkata sesuatu kepadamu?”. Setelah mengingat-ingat sebentar Arya menjawab,
“Ya, Paman…. Memang ada yang dikatakan kepadaku. Ketika itu pendengaranku sudah menjadi lamat-lamat. Sebab pada saat itu terasa bahwa kantukku tiba-tiba menjadi tidak tertahan lagi.” Arya berhenti sebentar, lalu ia meneruskan.


<<< Bagian 046                                                                                              Bagian 048 >>>

No comments:

Post a Comment