MANAHAN masih saja menebak-nebak, laskar mana sajakah yang telah dipergunakan oleh Sawung Sariti untuk membunuh Sawungrana. Mungkinkah ia mempergunakan laskar Pamingit atau laskar sewaan yang lain. Menurut perhitungan Manahan, Sawung Sariti pasti telah mempergunakan dua golongan laskar yang saling tidak tahu-menahu. Laskar pertama adalah laskar Pamingit yang harus bertahan bersama-sama dengan laskar Gedangan, sedang laskar yang lain, harus menyerang rombongan mereka. Dalam keributan itulah Sawung Sariti menghabisi jiwa Sawungrana. Mungkin dengan tangannya sendiri, mungkin dengan tangan kedua pengawalnya yang berwajah seram itu. Mereka mendapat perintah untuk dengan bersungguh-sungguh bertempur mengusir para penyerang, yang menurut lurah mereka akan merampok pedukuhan kecil itu. Bahkan dari lurah yang tamak itu, mereka mendapat janji menerima upah yang tinggi. Hal ini adalah sama sekali tidak wajar, bahwa berjuang untuk tanah serta kampung halamannya dijanjikan orang untuk menerima hadiah. Tetapi dalam beberapa hari saja, bekas-bekas peristiwa itu sudah mulai dilupakan orang. Mereka mulai bekerja keras membangun pedukuhan mereka dengan petunjuk-petunjuk Manahan dalam berbagai segi. Dari segi pertanian, perkebunan sampai pada segi-segi pertahanan dan pertempuran. Beberapa orang yang memang berbakat serta mempunyai kemungkinan untuk menerima ilmu tata berkelahi, mendapat latihan-latihan kilat dari Manahan dan Bagus Handaka yang kemudian terpaksa mempergunakan namanya sendiri Arya Salaka. Tetapi agaknya anak itu lebih senang dipanggil Bagus Handaka.
Suasana yang
tenang, damai namun penuh dengan daya gerak dan pencapaian nilai yang jauh
lebih maju dalam segala segi itu, tiba-tiba menjadi sangat terganggu. Pedukuhan
kecil yang hampir tidak mempunyai banyak persoalan dengan lingkungan di
luarnya, pada suatu saat mendadak telah dikacaukan oleh kedatangan orang-orang
berkuda dari arah tenggara. Laskar berkuda itu tanpa sebab dan tanpa bertanya
sesuatu langsung mengadakan pembunuhan dan pembakaran dengan ganasnya. Pada
suatu subuh yang kelam di permulaan musim ketiga, pedukuhan kecil itu
digetarkan oleh suara titir dari setiap kentongan yang ada di pedukuhan itu.
Setiap laki-laki mulai dari yang menginjak usia dewasa sampai mereka yang masih
dapat tegak, segera berloncatan bangun dan berlari-larian berkumpul di halaman
lurah mereka yang baru, Wiradapa, dengan senjata siap di tangan. Di halaman itu
tegak seperti batu karang, Manahan dan Bagus Handaka. Dahi mereka tampak
berkerut-kerut penuh dengan teka-teki tentang serbuan dari orang-orang berkuda
yang seolah-olah tanpa sebab dan tanpa wara-wara. Sedang Wiradapa sendiri sibuk
mengatur barisan laskar Gedangan dibantu oleh beberapa orang kepercayaannya.
Dalam pada itu datanglah berlari-larian seorang pengawas yang melaporkan bahwa
pasukan berkuda itu dipimpin oleh dua orang suami-istri. Tergetarlah dada
Manahan mendengar laporan itu. Karena itu segera bertanya,
“Kau melihat
kedua orang suami istri itu…?”
“Ya, Tuan… aku
melihat sendiri. Beberapa kawan kami yang mencoba menahan serangannya, menjadi
binasa hanya dengan sapuan tangan mereka,” jawab pengawas itu.
“Bagaimanakah
bentuk tubuh mereka?” tanya Manahan mendesak.
“Si suami
bertubuh gagah kekar, berambut lebat hampir menutupi seluruh wajahnya. Istrinya
bertubuh tinggi ramping, berkuku panjang seperti seekor harimau betina,” jawab
orang itu pula.
“Sima Rodra
Gunung Tidar…” desis Manahan.
Mendengar nama
itu hati Wiradapa tergetar. Begitu pula mereka yang pernah mendengar nama itu
termasuk Bagus Handaka.
BAGAIMANAPUN
besar jiwa kepahlawanan penduduk Gedangan serta kecintaan mereka terhadap
kampung halaman mereka, namun mendengar nama itu diucapkan hati mereka menjadi
tergoncang. Sima Rodra Gunung Tidar di telinga mereka adalah seolah-olah nama
hantu yang siap menerkam nyawa setiap orang yang melawan kehendaknya. Tetapi
yang sama sekali tak mereka ketahui apakah salah mereka terhadap hantu-hantu
itu, sehingga pedukuhan itu harus menjadi korbannya.
“Tuan…” kata
Wiradapa,
“Lalu apakah
yang mesti kami kerjakan apabila benar-benar yang datang itu Sima Rodra Gunung
Tidar?”
Manahan
menyesal telah menyebut nama itu, sehingga telah menakut-nakuti dan memperkecil
hati mereka. Karena itu untuk mengembalikan keberanian laskar Gedangan, Manahan
menjawab dengan tertawa kecil,
“Kakang
Wiradapa, bukankah kami sudah bertekad untuk mempertahankan setiap jengkal
tanah dengan tetesan darah? Sedangkan mengenai suami-istri Sima Rodra itu serahkanlah
kepadaku serta anakku Bagus Handaka. Mereka adalah kenalan lamaku. Mungkin ia
akan berpendirian lain setelah melihat aku di sini”.
Untuk beberapa
saat mereka tampak ragu-ragu. Tetapi hati mereka kemudian menjadi tegar ketika
mereka melihat Manahan melangkah diikuti oleh muridnya, dengan wajah yang
tenang, ke arah api yang menyala-nyala di ujung pedukuhan itu.
“Kakang
Wiradapa…” kata Manahan sebelum meninggalkan halaman.
“Kepunglah
mereka. Hancurkan laskarnya sedapat mungkin. Biarkan pimpinannya aku layani
dengan muridku ini”.
“Baiklah
Tuan,” jawab Wiradapa mantap.
Setelah itu
dengan tengara kentongan, pasukan itu berpencar menurut siasat yang telah
dipersiapkan. Dengan petunjuk Manahan pula atas pengalaman yang pernah
diperoleh Ki Asem Gede, laskar Gedangan supaya menyerang dengan senjata jarak
jauh. Panah dan api. Mereka supaya menghindari pertempuran perseorangan. Sebab
nilai perseorangan laskar Gedangan tidak akan dapat mengimbangi nilai
perseorangan laskar yang datang dari bukit hantu itu. Sebentar kemudian
terjadilah pertempuran yang dahsyat sekali. Agaknya cara-cara yang pernah
dipakai oleh Ki Asem Gede itu benar-benar membingungkan laskar Sima Rodra.
Karena itulah tiba-tiba terdengar Sima Rodra mengaum hebat menunjukkan
kemarahannya. Setiap dada yang disinggung oleh getaran suara itu menjadi
bergetaran seperti terhantam angin ribut. Suara yang terlontar dari mulut
harimau liar itu benar-benar dahsyat akibatnya. Laskar Gedangan, yang mula-mula
berbesar hati melihat hasil perjuangan mereka, tiba-tiba keberaniannya kuncup
dan hampir lenyap. Apalagi ketika melihat seorang laki-laki bertubuh besar
kekar di atas kudanya mengamuk sejadi-jadinya.
Tetapi pada
saat mereka sudah hampir kehabisan akal, tiba-tiba muncul di dalam pertempuran,
seseorang yang dengan tenangnya menyapa orang bertubuh besar kekar yang sedang
mengamuk di atas kudanya itu.
“Selamat
datang Sima Rodra. Maafkanlah bahwa aku agak terlambat menyambutmu”.
Kesan dari
sapa itu adalah luar biasa pula. Sima Rodra tampaknya terkejut sekali, sehingga
ia menjadi tertegun diam seperti patung. Ia sama sekali tidak mengira bahwa di
pedukuhan terpencil itu ditemuinya orang yang menjadi musuh utamanya. Tidak
saja musuh perseorangannya tetapi telah benar-benar menjadi musuh golongannya.
Melihat kesan wajah Sima Rodra itu, laskar Gedangan menjadi semakin tergugah
semangatnya, disamping semakin besar tanda tanya yang mengetuk-ngetuk hati
mereka. Agaknya orang yang menamakan dirinya Manahan itu benar-benar orang yang
aneh, sehingga terhadap hantu Gunung Tidar itu pun sikapnya sangat meyakinkan.
Tiba-tiba
menggelegarlah suara Sima Rodra,
“Apa kerjamu
di sini Mahesa Jenar?”
Mendengar nama
itu disebutkan, terasa agak janggal bagi Manahan, yang telah membingungkan
mereka.
“Aku datang di
pedukuhan ini sengaja menunggumu setelah beberapa lama kita tidak bertemu,”
jawab Manahan sambil tertawa pendek.
Sima Rodra
terdengar menggeram marah. Jangan campuri urusanku untuk menumpas tikus-tikus
yang telah berani membunuh beberapa orangku beberapa waktu yang lalu. Berdesirlah
hati Manahan oleh jawaban itu. Segera ia dapat menghubungkan kedatangan Sawung
Sariti, serangan laskar yang tak dikenal serta keributan-keributan yang
ditimbulkan. Karena itu segera ia menjawab sekaligus menebak, Sima Rodra,
agaknya kau yang telah menjual diri kepada Sawung Sariti untuk membunuh Kakang
Sawungrana?
Kembali Sima
Rodra menggeram.
“Apa
pedulimu…..?”
“Ketahuilah….”
sahut Manahan,
“Akulah yang
telah membunuh beberapa orang yang tak aku ketahui golongannya dalam
keributan-keributan yang timbul. Aku sangka mereka adalah orang-orang Pamingit
atau manapun yang tak kukenal. Dan mereka itu telah ditelan api yang dinyalakan
oleh Sawung Sariti sendiri”.
Mendengar
keterangan Manahan, mata Sima Rodra Suami Istri menjadi merah menyala-nyala.
Mereka yang belum pernah mengenal wajah itu menjadi menggigil ketakutan. Bagus
Handaka, seorang yang hampir tak mengenal takut, hatinya menjadi berdebar-debar
pula.
“Kalau
begitu….” terdengar suara Sima Rodra bergetar hebat,
“Kepadamulah
aku harus menuntut balas”.
“Memang
demikianlah adilnya,” jawab Manahan.
“Karena itulah
aku sudah bersedia melayanimu bersama-sama dengan anak angkatku ini”.
Sekali lagi
Sima Rodra menggeram hebat. Ia sama sekali tidak mau tersinggung kehormatannya
sebagai seorang yang percaya kepada kekuatan diri. Karena itu segera ia
berteriak gemuruh.
“Hentikan
pertempuran. Aku ingin mendapat penyelesaian yang adil dengan Mahesa Jenar”.
“BAGUS….”
sahut Mahesa Jenar.
“Agaknya kau
dapat pula bersikap jantan”.
Sesaat
kemudian berhentilah pertempuran antara laskar Gedangan melawan laskar dari
Bukit Tidar. Segera mereka berkerumun untuk menyaksikan pertunjukan yang jarang
terjadi di pedukuhan kecil itu. Tiba-tiba belum lagi mereka bertempur
terdengarlah suara istri Sima Rodra itu melengking,
“Kyai…. serahkanlah
orang itu kepadaku. Biarlah aku saja yang menyelesaikannya. Bukankah aku
sekarang berbeda dengan dua tiga tahun yang lalu….?”
Mendengar
kata-kata itu hati Manahan berdesir, meskipun ia tahu bahwa maksud kata-kata
itu untuk menakut-nakutinya. Tetapi tidaklah mustahil bahwa apa yang dikatakan
itu mengandung kebenaran. Sebab selama itu, ayahnya, Sima Rodra tua dari
Lodaya, pasti tidak tinggal diam. Ilmunya yang mengerikan, Macan Liwung, serta
kecekatannya bergerak yang mirip seperti seekor harimau, sangat menakjubkan.
Kemudian terdengarlah Sima Rodra menjawab,
“Berikanlah
kesempatan pertama kepadaku sebagai suatu kehormatan yang dapat kami berikan
kepadanya yang terakhir”.
Manahan
benar-benar tersinggung mendengar kata-kata itu.
“Jangan
berebut dahulu. Kalian akan mendapat giliran masing-masing. Tetapi kalau kalian
masih membiasakan diri bertempur berpasangan, biarlah Bagus Handaka membantuku,
sebab aku merasa pasti bahwa aku tidak akan mampu melawan kalian berdua”.
Merahlah
telinga Suami Istri Sima Rodra mendengar jawaban itu. Apalagi yang disebutnya
dengan nama Handaka tidak lebih dari seorang anak-anak. Karena itu dengan
marahnya Harimau Liar itu menjawab,
“Baiklah
biarlah aku binasakan kau sampai kepada muridmu. Supaya untuk seterusnya kau
tidak selalu mengganggu”.
Selesai dengan
kata-katanya itu, segera suami istri itu meloncat dari kudanya dan dengan
gerakan seperti badai mereka menyerang Manahan dan Bagus Handaka. Sima Rodra
bertempur melawan Manahan, sedang istrinya dengan marahnya menyerang Bagus
Handaka. Melihat gerakan mereka, Manahan agak terkejut. Memang ternyata mereka
telah mendapat banyak kemajuan. Karena itu segera ia mencemaskan muridnya.
Dalam kesempatan yang pendek ia berbisik, Handaka,
“hindari
setiap benturan serta sentuhan dengan kuku-kuku harimau betina itu. Sebab kuku
itu beracun. Aku hanya percaya kepada kecepatanmu bergerak. Bukan kekuatanmu”.
Handaka maklum
kepada nasehat gurunya. Segera ia sadar bahwa lawannya memiliki ketinggian ilmu
di atasnya. Karena itu ia harus melayani dengan otaknya, tidak dengan tenaganya
melulu. Dan ternyata kemudian setelah mereka bertempur beberapa saat, segera
Bagus Handaka merasa betapa angin yang sangat membingungkan melibatnya dari
segenap arah. Untunglah bahwa ia banyak menaruh perhatian pada setiap gerak
yang dianugerahkan kepada alam oleh Penciptanya, kepada setiap makhluk yang
paling lemah sekalipun. Kali ini Bagus Handaka benar-benar menjadi seekor
kelinci yang harus menghindari terkaman serigala ganas, seperti yang pernah
diamatinya dengan saksama. Atau seperti seekor kancil yang menyelinapkan
hidupnya diantara kaki-kaki harimau yang garang. Karena itulah maka ia tidak
dapat bertempur di tempat yang sempit, Bagus Handaka kemudian berkisar dari
tempatnya, menyusup pepohonan dan mempergunakan batang-batang pohon sebagai
perisai. Meskipun demikian, ternyata bahwa ia selalu berhasil menyelamatkan
dirinya dari libatan gerakan-gerakan yang dahsyat dari Harimau Betina Gunung
Tidar yang garang itu, meskipun ia terpaksa berlari-larian dan hanya sekali-sekali
saja menyerang, apabila benar-benar ada kesempatan. Bahkan dengan demikian ia
berhasil membuat istri Sima Rodra itu semakin marah dan menjerit-jerit tak
habis-habisnya.
Sedangkan
Manahan dengan tangguhnya bertempur melawan Sima Rodra. Dalam beberapa saat
saja, Manahan benar-benar harus mengakui bahwa ilmu lawannya telah meningkat,
sedang selama ini ilmunya sendiri tidak seberapa mengalami penambahan, sebab
memang tak ada orang yang menuntunnya lebih lanjut. Hanya karena ketekunan diri
saja maka Manahan menjadikan ilmunya lebih masak. Maka pertempuran antara dua
orang perkasa itu pun berlangsung dengan dahsyatnya. Sima Rodra menjadi semakin
garang, karena hatinya dibebani oleh dendam yang meluap-luap, sedang Manahan
dengan penuh tekad serta janji kepada diri sendiri, untuk melenyapkan setiap
unsur kejahatan yang merusak sendi-sendi penghidupan. Kemudian mereka pun tidak
dapat bertahan bertempur di titik yang sama. Perlahan-lahan pertempuran itu
berkisar dari satu lingkaran ke lingkaran yang lain, dengan menandai
bekas-bekas yang mengerikan. Pohon-pohon berderakan roboh, serta batu-batu
menghambur-hambur simpang-siur di udara. Kaki-kaki mereka telah memecahkan apa
saja yang terinjak. Medan pertempuran itu kemudian menjadi seolah-olah daerah
angin prahara yang belit-membelit dan hantam-menghantam, bahkan kadang-kadang
dibarengi dengan teriakan yang membahana seperti guntur disusul dengan
benturan-benturan dahsyat dari tangan-tangan mereka yang saling menghantam.
Laskar dari kedua belah pihak yang menyaksikan pertempuran itu menjadi terpukau
diam. Meskipun mereka pernah pula menyaksikan pertempuran-pertempuran dahsyat,
apalagi laskar dari Gunung Tidar, namun kali ini merupakan suatu pertempuran
yang benar-benar jarang terjadi. Berbeda dengan pertempuran itu, Bagus Handaka
masih saja bermain kucing-kucingan. Dengan cerdiknya ia memilih tempat-tempat
yang gelap dan berpohon-pohon meskipun kadang-kadang ia dikejutkan oleh pukulan
yang dahsyat dari Istri Sima Rodra, yang mematahkan pohon-pohon yang
dipergunakan sebagai perisai.
KEADAAN itu
sebenarnya sangat menggetarkan hati Handaka. Namun adalah suatu keuntungan
bahwa baik tubuhnya maupun jiwanya telah tertempa hebat, sehingga bagaimanapun
ia tidak kehilangan akal. Meskipun demikian, disamping melayani lawannya yang
tangguh luar biasa, Manahan masih selalu mencemaskan muridnya. Hanya
kadang-kadang saja ia sempat melirik Handaka yang berlari-larian di dekatnya,
kemudian anak itu menyerang sekali dua kali, kemudian kembali berlindung di
balik pohon-pohonan. Namun bagaimanapun juga akhirnya Manahan terpaksa mengakui
bahwa Handaka sama sekali tak akan dapat bertahan lebih lama lagi. Karena itu
Manahan telah berjuang semakin keras. Ia mengharap dapat segera menyelesaikan
pertempuran. Dengan demikian ia akan dapat pula menyelamatkan Bagus Handaka.
Tetapi ternyata Sima Rodra sekarang bukan lagi Sima Rodra tiga tahun yang alu.
Sima Rodra itu ternyata telah memiliki berbagai macam ilmu yang belum
dimilikinya dahulu. Gerakannya menjadi sangat garang, cekatan dan sangat berbahaya,
sehingga untuk menandinginya, Manahan sudah harus memeras segenap ilmunya.
Karena itu ia menjadi gelisah. Bagaimana jadinya Bagus Handaka kalau ia tidak
segera dapat menolongnya. Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal di luar dugaan.
Ketika Bagus Handaka telah benar-benar terdesak, dan tidak mampu untuk berbuat
sesuatu, hati Manahan tergoncang hebat. Cepat ia meloncat mundur, menghindar
dari lingkaran pertempuran.
Pada saat itu
ia melihat tangan istri Sima Rodra itu telah terayun deras sekali, sedang Bagus
Handaka yang baru saja kehilangan keseimbangan dan jatuh bergulingan, masih
belum sempat meloncat berdiri. Manahan tidak mempunyai kesempatan lagi untuk
meloncat mendekati. Maka satu-satunya kemungkinan adalah menyelamatkan muridnya
dari jarak jauh. Untunglah bahwa ia masih sempat menyambar sebuah batu dan
dengan sekuat tenaga batu itu dilemparkan ke arah istri Sima Rodra. Ternyata
pertolongannya itu untuk sementara berhasil. Istri Sima Rodra terpaksa meloncat
menghindari batu yang dengan derasnya menyambar kepalanya. Saat yang sangat
berharga itu ternyata dapat dipergunakan Handaka dengan baiknya. Cepat ia
melenting berdiri dan dengan tangkasnya pula tangannya menyambar tombaknya,
Kyai Bancak. Pada saat itu Manahan tidak dapat berbuat lebih banyak lagi. Sebab
Sima Rodra telah menggeram dengan hebatnya dan menerkamnya sebagai seekor
harimau yang kelaparan. Sehingga sesaat kemudian pertempuran telah berulang
lagi dengan dahsyatnya. Demikian juga Bagus Handaka, ia harus sudah bekerja
mati-matian melawan istri Sima Rodra itu. Meskipun di tangannya telah
tergenggam Tombak Pusaka Banyubiru, namun ia masih banyak mengalami kesulitan.
Tetapi sedikit banyak tombak di tangannya itu akan dapat memperpanjang daya
perlawanannya. Tiba-tiba, ketika Bagus Handaka sekali lagi mengalami tekanan
yang hebat, sedang Manahan masih belum sempat untuk menolongnya, datanglah
sebuah bayangan yang seperti melayang memasuki lingkaran pertempuran. Dengan
tangan kirinya ia mendorong Bagus Handaka, sehingga anak itu jatuh terpelanting.
Dan sesudah itu tanpa mengucapkan sepatah katapun ia langsung menyerang istri
Sima Rodra. Bagus Handaka ketika kemudian telah dapat meloncat berdiri,
memandang orang itu dengan penuh keheranan. Tenaganya meskipun terasa lunak,
namun kuatnya bukan kepalang. Meskipun demikian, dalam keheranannya itu ia
menjadi gembira pula. Sebab menilik kekuatannya, ia mengharap bahwa orang itu
dapat mengimbangi istri Sima Rodra. Kemudian dengan mulut ternganga ia
memperhatikan pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya. Kedua-duanya
memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan, sehingga pertempuran itu
seolah-olah berubah menjadi bayang-bayang daun yang bergerak-gerak ditiup angin
pusaran.
Manahan dan
Sima Rodra suami-istri pun tidak pula kalah herannya. Mereka sama sekali tidak
mengenal siapakah orang yang telah berani ikut campur dalam pertempuran itu.
Namun beberapa saat mereka tidak sempat memperhatikan lebih saksama lagi,
karena masing-masing masih harus berjuang diantara hidup dan mati. Hanya
kemudian terdengar istri Sima Rodra itu berteriak melengking karena marahnya.
“He, orang
yang tak tahu diri. Siapakah kau yang berani mencampuri urusan kami?”
Namun orang
yang perkasa itu sama sekali tidak menjawab. Bahkan ia mempercepat gerakannya
sehingga istri Sima Rodra itu terpaksa bekerja lebih keras lagi, sejalan dengan
memuncaknya kemarahannya. Tetapi agaknya lawannya pun memiliki ketangkasan yang
mengagumkan. Tangannya dengan lemasnya bergerak menyambar-nyambar seperti ujung
ribuan cambuk yang bergerak bersama-sama, sehingga dengan demikian terasa bahwa
serangan orang itu datangnya dari ribuan arah pula. Hal yang sedemikian itu
dapat dilihat pula oleh Sima Rodra. Ia kemudian agak mencemaskan istrinya. Maka
sekarang ialah yang bekerja mati-matian untuk segera dapat menundukkan
lawannya. Karena itu tandangnya menjadi semakin garang. Serangannya datang
bergulung-gulung seperti ombak yang diguncang oleh badai. Namun ternyata
lawannya tangguh seperti batu karang, yang sama sekali tak dapat ditundukkan.
Karena itu, maka tiba-tiba Harimau Hitam dari Gunung Tidar itu tidak sabar
lagi. Dengan mengaum hebat, direntangkannya kedua belah tangannya, serta
tubuhnya menggeletar dengan hebatnya. Itulah tandanya bahwa Hantu Gunung Tidar
itu akan mempergunakan Aji Macan Liwung. Melihat sikap lawannya, Manahan
terkejut. Ia pernah melihat sikap yang demikian ketika ia melawan orang
berkerudung kulit harimau hitam bersama-sama dengan Gajah Sora. Yang kemudian
ternyata bahwa orang itu adalah Sima Rodra tua dari Lodaya. Ia mengenal gerak
yang demikian, yang menurut seorang sakti dari Banyuwangi, Titis Anganten,
adalah pemusatan tenaga untuk melontarkan Aji Macan Liwung. Karena itu untuk
sesaat hatinya tergetar hebat. Tetapi Manahan tidak sempat berbuat banyak.
Belum lagi ia sempat berbuat sesuatu, dilihatnya Sima Rodra itu telah meloncat
dengan suatu auman yang mengerikan.
UNTUNGLAH
bahwa Manahan adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh yang mumpuni. Ditambah lagi
dengan pengalaman yang telah menempa dirinya siang malam. Karena itu, melihat
Sima Rodra menerkamnya dengan ajinya yang sangat berbahaya, Manahan tetap dapat
menguasai dirinya. Dengan cermat ia mempelajari gerak lawannya untuk dengan
tepat menghindarkan dirinya. Ketika kedua tangan Sima Rodra dengan kuku-kukunya
yang mengembang itu melayang ke arahnya, cepat Manahan menjatuhkan diri dan
berguling-guling ke arah yang berlawanan, justru lewat di bawah kaki Sima Rodra
yang melayang di atas satu kakinya, kakinya yang lain ditekuk ke depan, sebuah
tangannya menyilang dada dan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan gerak
secepat petir menyambar, Manahan meloncat dan menghantamkan sisi telapak
tangannya ke arah dada Sima Rodra yang baru saja berhasil memutar tubuhnya.
Maka terjadilah suatu benturan yang maha dahsyat. Sima Rodra yang telah mengenal
pula tanda-tanda yang mengerikan itu, segera mencoba menghimpun kekuatannya
untuk melawan. Namun Sasra Birawa adalah suatu ilmu yang jarang ada tandingnya.
Itulah sebabnya maka tubuh Sima Rodra yang besar kekar itu terlempar beberapa
langkah, dan kemudian seperti sebuah batu terbanting berguling-guling,
dibarengi dengan pekik ngeri yang keluar sekaligus dari mulut istri Sima Rodra
dan orang yang melawannya. Untuk beberapa kejap, orang yang bertempur melawan
Harimau Betina Gunung Tidar itu diam mematung mengawasi tubuh Sima Rodra yang
kemudian terbujur diam tak bergerak. Sedang mata yang membayangkan kengerian
dan ketakutan tersirat di wajah istri Sima Rodra. Agaknya ia merasa, dengan
kekalahan yang dialami oleh suaminya itu, merupakan suatu titik batas yang tak
akan mampu lagi diatasi. Apalagi dengan demikian ia merasa bahwa ia harus
berhadap-hadapan dengan orang yang telah berhasil membinasakan suaminya itu, di
samping orang yang tak dikenalnya. Karena itu, meskipun dendamnya menggelegak
sampai ke lehernya, maka ia lebih baik menghindarkan diri dari kebinasaan,
untuk kelak dapat membalaskan sakit hati serta kematian suaminya. Maka selagi
mereka masih belum sampai menarik perhatian atasnya, lebih baik ia melenyapkan
diri.
Mendapat
keputusan itu, secepatnya ia meloncat ke arah kudanya, dan dalam sekejap
melontarkan diri ke punggung kuda itu, untuk seterusnya menarik kendali kudanya
yang kemudian berlari seperti angin. Berbareng dengan itu mengumandanglah suara
Harimau Betina itu berteriak,
“Tunggulah
hari pembalasan akan datang”.
Setelah derap
suara kuda yang kemudian disusul oleh para pengawalnya itu lenyap, suasana
menjadi hening sepi. Mereka kini ternyata telah berada agak jauh dari ujung
desa, dimana pertempuran itu dimulai. Manahan, Bagus Handaka, orang yang tak
dikenal itu, beserta setiap orang yang berada di situ, berdiri diam seperti
batu dengan wajah-wajah yang tegang. Pandangan mereka berganti-ganti beralih
dari Manahan, Bagus Handaka yang masih menggenggam Kyai Bancak, orang yang
hanya tampak remang-remang dalam gelap malam, dan Sima Rodra yang terbujur
diam, meskipun masih terdengar ia lamat-lamat mengerang menahan sakit dengan
sisa-sisa tenaga yang masih ada. Untuk beberapa lama, orang itu mengawasi Sima
Rodra pula. Tetapi kemudian, terjadilah suatu hal yang tak seorang pun
menduganya. Dengan menggeram orang itu dengan dahsyatnya menjadi terkejut
sekali. Untunglah bahwa ia cekatan, sehingga meskipun agak sulit, ia berhasil
menghindarkan dirinya. Tetapi agaknya pemuda itu tidak mau berbicara lagi.
Sekali lagi ia menyerang Manahan, sekali lagi dan sekali lagi berturut-turut.
Mula-mula
Manahan yang masih bingung menebak-nebak, hanya selalu menghindar-hindar saja.
Dengan suara bergetar ia mencoba bertanya,
“Ada apakah Ki
Sanak menyerang aku?”
Akibat dari
pertanyaan itu mengherankan. Orang yang menyerang Manahan itu tiba-tiba
terloncat selangkah mundur. Meskipun wajahnya tak begitu jelas dalam gelap
malam, namun agaknya orang itu memperhatikan Manahan dengan saksama. Tetapi
kemudian kembali ia mengejutkan tidak saja Manahan, juga orang-orang yang hadir
menjadi semakin bertanya-tanya dalam hati. Sebab sesaat kemudian orang itu
dengan tiba-tiba kembali meloncat menyerang Manahan dengan dahsyatnya. Kembali
Manahan dengan penuh pertanyaan mencoba menghindarkan diri dari serangan-serangan
yang sangat berbahaya itu. Sekali dua kali Manahan masih berhasil
meloncat-loncat seperti berpijak di atas batubara. Namun apa yang dapat
dilakukan itu tidaklah lama. Sebab bagaimanapun juga orang itu ternyata
memiliki ilmu yang tinggi pula, sehingga akhirnya Manahanpun menjadi jengkel.
Akhirnya terpaksa Manahan pun mulai membalas serangan demi serangan. Dalam
sekejap terjadilah kembali pertempuran yang dahsyat. Kedua-duanya memiliki
tenaga serta kecepatan gerak yang mengagumkan. Pertempuran ini pun tidak kalah
dahsyatnya dengan pertempuran yang telah terjadi antara Manahan melawan Sim
Rodra. Meskipun lawan Manahan ini belum memiliki kedahsyatan tenaga seperti
Sima Rodra, namun kelincahannya sangat mengagumkan. Ia memiliki daya serang
yang luar biasa serta membingungkan. Dua belah tangannya itu merupakan senjata
yang sangat berbahaya.
KINI, Manahan
seolah-olah kini berhadapan dengan seorang yang memiliki beberapa pasang
tangan, yang bergerak bersama-sama menyerangnya. Itulah sebabnya semakin lama
Manahan semakin kehilangan kesabaran. Ia tidak mau menjadi korban dari suatu
masalah yang gelap, yang sama sekali tak diketahuinya. Maka akhirnya, dengan
mengerahkan kekuatannya, Manahan pun kemudian berjuang dengan hebatnya.
Serangannya datang seperti asap yang bergulung-gulung melibat lawannya. Karena
itu beberapa lama kemudian terasa bahwa Manahan akan dapat menguasai keadaan.
Setapak demi setapak tetapi pasti, ia selalu berhasil mendesaknya. Tetapi dalam
pada itu lawannya pun segera mengerahkan segenap tenaganya. Gerakannya menjadi
semakin lincah dan cepat. Agaknya ia pun menyadari bahwa lawannya memiliki
beberapa kelebihan daripada dirinya. Karena itu ia bertempur dengan sangat
berhati-hati. Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu, termasuk Bagus Handaka,
tidak habisnya keheran-heranan. Mereka sama sekali tidak tahu persoalan apa
yang telah terjadi. Mula-mula mereka melihat seseorang membantu Bagus Handaka
melawan istri Sima Rodra sehingga sepasang Harimau Gunung Tidar itu sudah dapat
dikalahkan. Tetapi yang tiba-tiba saja malahan orang yang telah membantu itu
dengan dahsyatnya berganti menyerang.
Namun demikian
tak seorangpun berani berbuat sesuatu. Tak seorangpun yang berani mencoba
melerainya. Jangankan para penduduk Gedangan, sedang Bagus Handaka pun melihat
pertempuran itu dengan wajah yang kagum. Pada saat Manahan bertempur dengan
Sima Rodra, ia sama sekali tidak sempat menyaksikannya, sebab ia sendiri harus
selalu berloncat-loncatan menghindari serangan istri Sima Rodra. Pada saat ia
menyaksikan pertempuran antara orang yang menolongnya itu melawan istri Sima
Rodra yang tak sehebat gurunya, iapun telah mengaguminya. Apalagi pertempuran
itu. Diam-diam ia menjadi semakin kagum melihat keperkasaan Manahan, namun ia
heran juga melihat orang dapat bertempur selincah lawan gurunya itu. Tetapi
yang tak seorang pun tahu, adalah kesibukan hati Manahan. Ketika lawannya telah
sangat terdesak, dan melawannya dengan segenap ilmu yang dimilikinya, Manahan
menjadi berdebar-debar. Agaknya ia pernah bertempur dengan seseorang yang
memiliki ilmu yang demikian dahsyat serta lincah. Meskipun demikian sesaat ia
masih bertempur sepenuh tenaga. Ia tak mau ditelan oleh angan-angannya, yang
belum mendapat kepastian. Karena itulah ia masih saja mendesak maju, serta
mempersempit setiap kesempatan bergerak dari lawan, yang bagaimanapun
lincahnya, akhirnya merasakan juga ilmunya belum dapat disejajarkan dengan ilmu
yang dimiliki oleh Manahan.
Akhirnya
ketika ia sudah tidak mampu lagi melawan dengan tangannya, tiba-tiba memancarlah
sebuah cahaya yang berkilat-kilat. Di tangan orang itu kemudian tergenggam
sehelai pedang yang tipis, yang agak lebih kecil sedikit dibandingkan dengan
pedang biasa. Melihat pedang itu hati Manahan berdesir. Cepat ia meloncat
mundur, dan dengan dada bergetaran ia akan mencoba untuk menghentikan
pertempuran. Namun belum lagi mulutnya sempat mengucapkan kata-kata, orang itu
telah meloncat menyerang dadanya. Tetapi sekarang Manahan tidak lagi berusaha
untuk melawan, bahkan menghindar pun tidak. Ketika ia melihat pedang itu, dan
kemudian ia melihat ujung pedang itu selalu bergetar dalam tangan lawannya, ia
sudah pasti, siapakah orang itu. Karena itu betapa menyesalnya, bahwa ia telah
benar-benar bertempur, dan bahkan mungkin sudah menyakitinya pula. Dalam sesaat
itu, ia sudah dapat mengetahui hampir segala persoalan kenapa tiba-tiba ia
diserangnya. Juga ia yakin bahwa lawannya telah pula mengetahui siapakah
sebenarnya dirinya. Sebaliknya, orang itupun terkejut ketika Manahan sama
sekali tak menghindari mata pedangnya yang sudah hampir merobek dada itu. Kalau
semula ia benar-benar marah dan dendam, namun ketika Manahan sama sekali
seolah-olah pasrah diri, hatinya bergoncang.
Tiba-tiba saja
timbullah suatu perasaan, bahwa tidak semestinyalah ia harus melukai orang itu,
apalagi setelah lawannya itu pasrah. Lebih-lebih sampai mengambil jiwanya.
Karena itu, kemudian dengan gugupnya ia mencoba untuk menarik serangannya.
Tetapi sayang bahwa lontaran tenaga loncatnya sedemikian besar. Maka yang dapat
dilakukannya adalah mengubah arah pedangnya. Meskipun demikian, karena ujung
pedangnya yang setajam pisau pencukur itu sudah hampir melekat dada, maka
terpaksa ujung pedang itu masih menggores lengan Manahan. Mengalami peristiwa
itu, Manahan berdesis kecil sambil terdorong setapak ke samping oleh gerak
naluriahnya. Tetapi setelah itu, kembali ia tegak seperti patung, tanpa suatu
usaha untuk membalas, apalagi membinasakan lawannya. Berdesirlah setiap dada,
dari mereka yang mengelilingi arena pertempuran itu. Sedang diantara mereka,
dada Handakalah yang paling terguncang. Tanpa disengajanya ia telah meloncat
maju. Tetapi kemudian ia tidak berani melangkah, sebelum mendapat izin dari
gurunya. Meskipun keinginannya untuk melakukan apapun karena kemarahannya yang
telah memuncak melihat gurunya dilukai, pada saat gurunya sudah menghentikan
perlawanan. Sedangkan ia yakin bahwa kalau saja Manahan menghendaki, pasti ia
berhasil menghindari tusukan pedang itu. Tetapi lebih dari segala keanehan yang
telah terjadi, orang-orang di sekitar arena pertempuran itu seolah-olah
benar-benar melihat suatu pertunjukan yang sengaja untuk memusingkan kepala
mereka. Sebab setelah itu, tiba-tiba ia melihat orang yang telah melukai
Manahan itu pun berdiri pula seperti patung sambil menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Sebenarnyalah bahwa ia pun sangat menyesal bahwa Manahan telah terluka.
ORANG itu
merasa bersalah, bahkan lebih dari itu, berbagai-bagai perasaan bergulat di
dalam hatinya. Karena itu dengan tangan bergetar ia menyarungkan pedangnya
perlahan-lahan. Setelah itu, tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya dan berlari ke
arah Sima Rodra yang masih saja terlentang sambil mengerang kesakitan. Segera
ia menjatuhkan dirinya, dan berlutut di sampingnya. Suasana kemudian dicengkam
oleh kesepian yang mendalam. Setiap orang seakan-akan mencoba untuk tidak
melakukan suatu gerakan pun. Bahkan suara nafas mereka menjadi tertahan-tahan
pula. Tetapi tiba-tiba di dalam kesepian itu terdengarlah suara tangis yang
tertahan. Beberapa orang hampir menjadi tak percaya kepada dirinya sendiri,
bahwa mereka telah mendengar tangis seorang perempuan.
“Ayah…”
terdengar suara di antara isak tangis itu.
Untunglah,
bahwa pada saat itu sisi telapak tangan Manahan menghantam dada Sima Rodra, ia
sedang dalam kesiagaan penuh untuk melontarkan ajinya Macan Liwung, sehingga
daya kekuatannya pun telah dipergunakan hampir sepenuhnya. Dengan demikian ia
telah terhindar dari kebinasaan yang mengerikan. Bahkan karena kekuatan
tubuhnya yang melampaui kekuatan manusia biasa, setelah mengalami penggemblengan
dari mertuanya, Sima Rodra tua dari Lodaya, ia masih tetap hidup, meskipun
keadaannya sudah sangat payah karena luka-luka di tubuhnya bagian dalam.
Karena itu ia
masih dapat mendengar seseorang menangis di sampingnya. Ketika ia membukakan
matanya, ia terkejut. Yang menangis berlutut di sampingnya itu adalah orang
yang telah bertempur melawan istrinya. Maka dengan penuh keheranan ia
memandanginya. Apalagi sekali lagi ia mendengar orang itu memanggilnya dengan
suara sayu,
“Ayah….”
Bagaimanapun
buasnya Harimau Gunung Tidar itu, ketika pada saat-saat jiwanya dalam bahaya,
dan tiba-tiba seorang dengan sayu menangisinya, kebuasannya tiba-tiba menjadi
luluh. Lebih-lebih lagi ketika ternyata suara itu adalah suara perempuan.
Disamping perasaan sakit yang menyengat-nyengat hampir seluruh tubuhnya,
hatinya diganggu oleh pertanyaan yang hampir tak masuk di akalnya, bahwa masih
ada seorang perempuan kecuali istrinya, yang sudi menangisinya, justru baru
saja ia bertempur mati-matian melawan istrinya itu.
Maka karena
kebingungannya itulah dengan suara yang gemetar ia bertanya,
“Siapakah
kau…?”
Orang yang
berlutut itu memandang wajah Sima Rodra dengan pandangan lembut penuh haru.
Meskipun ia pernah mendendamnya, namun sekarang, di hadapan orang yang telah
sama sekali tak mampu bergerak itu, segala perasaan dendamnya seperti lenyap
dihanyutkan banjir. Karena beberapa lama tidak terdengar jawaban, kembali Sima
Rodra bertanya terputus-putus,
“Siapakah
kau…?”
Orang yang
berlutut di hadapannya itu seperti tersadar dari mimpi. Maka dengan suara yang
gemetar pula ia menjawab lirih,
“Ayah…, aku
anakmu…, Rara Wilis”.
“Wilis, kau
Rara Wilis…?” tanya Sima Rodra dengan suara yang tergagap. Matanya terbelalak,
memancarkan cahaya yang aneh.
“Ya, ayah….
Aku Rara Wilis”.
“Wilis… Wilis….”
Suara Sima Rodra mengulang-ulang nama itu seperti hendak meyakinkan
kebenarannya. Dan mendadak ia berusaha untuk mengangkat kepalanya, namun
tenaganya sudah tidak memungkinkan lagi, karena itu segera ia terjatuh kembali.
Untunglah
Manahan yang dikenal oleh Sima Rodra dan Rara Wilis dengan nama Mahesa Jenar,
dengan cepat menangkap kepala Sima Rodra, sehingga tidak terantuk tanah.
Melihat Mahesa Jenar berusaha menolongnya, Sima Rodra menggeram marah. Meskipun
tubuhnya telah terlalu letih, namun ia memaki-maki juga.
“Pergilah kau
Mahesa Jenar yang menyangka bahwa dirimu adalah manusia yang paling tulus di
dunia ini. Jangan kau kotori tanganmu dengan kejahatan yang melekat pada
tubuhku”.
Meskipun
demikian, Mahesa Jenar tidak melepaskan tangannya untuk menahan kepala Sima
Rodra. Dan karena Sima Rodra tidak berdaya untuk menghindari maka akhirnya ia
berdiam diri.
“Tenangkanlah
hatimu Sima Rodra,” bisik Mahesa Jenar.
“Dalam saat
yang demikian tidak seharusnya kau masih mendendam”.
Mendengar
kata-kata Mahesa Jenar itu kembali Sima Rodra menggeram. Namun ia tidak berkata
apa-apa. Akhirnya kembali matanya menatap orang yang mengaku diri anaknya. Maka
meluncurlah dari bibirnya yang bergerak perlahan-lahan suatu keluhan singkat.
Kemudian ia mencoba berkata pula,
“Wilis…
benarkah kau anakku…?”
“Ya ayah, aku
benar-benar anakmu yang kau tinggalkan bersama ibu,” jawab Rara Wilis sedih.
“Di mana ibumu
sekarang?” tanya Sima Rodra semakin lemah.
Kembali Rara
Wilis terisak. Dengan kata-kata yang hampir tak terdengar ia membisiki ayahnya,
“Ibu telah
meninggal, setahun sepeninggal ayah”.
Sima Rodra
menarik nafas dalam-dalam.
“Wilis…”
katanya kemudian,
“Maafkanlah
ayahmu ini. Mungkin kau telah mendengar segenap garis perjalanan hidupku yang
dipenuhi oleh noda-noda hitam. Sampaikan pula permintaan maafku kepada kakekmu,
Ki Santanu”.
“Ayah…” sahut
Rara Wilis,
“Lupakanlah
apa yang pernah terjadi. Aku sudah berjuang dengan sepenuh tenagaku atas
petunjuk dan bantuan kakek yang ternyata juga bernama Ki Ageng Pandan Alas”.
“PANDAN
Alas…?” ulang Sima Rodra.
“Ya ayah,
Kakek Santanu adalah Ki Ageng Pandan Alas,” jawab Rara Wilis menegaskan.
“O…” kembali
Sima Rodra menarik nafas dalam-dalam. Suaranya semakin perlahan-lahan, meskipun
cukup jelas,
“Alangkah
bodohnya aku, dan agaknya mataku telah buta pula. Tetapi, benarkah bahwa Ki
Santanu itu Ki Ageng Pandan Alas…? Agaknya daripadanya pula kau memperoleh ilmu
yang dahsyat itu….”
Rara Wilis
mengangguk kecil.
“Aku pelajari
dengan tekun, siang dan malam, untuk dapat merebut ayah kembali dari tangan
Harimau Betina Gunung Tidar. Setelah cukup ilmuku, aku pergi merantau mencari
ayah pula. Ketika aku mendengar di daerah ini, segera aku menyusul. Dan
sekarang aku telah menemukan ayah dalam keadaan parah”.
Kembali
terdengar Rara Wilis menangis terisak-isak. Sedangkan mata Sima Rodra itu
memancarkan sinar kemarahan yang tak terhingga kepada Mahesa Jenar.
“Sudahlah
Wilis…” kata Sima Rodra,
“Kau adalah
seorang gadis yang perkasa melampaui laki-laki biasa. Karena itu jangan
menangis. Kalau kau bertemu dengan kakekmu, sampaikan baktiku. Ki Panutan yang
telah mendurhaka. Tetapi dapatkah kau buktikan bahwa Ki Santanu adalah Ki Ageng
Pandan Alas?”
Perlahan-lahan
Rara Wilis mengangguk. Ditariknya sebilah keris dari wrangka di lambungnya di
balik bajunya. Sambil menunjukkan keris itu ia berkata,”Inilah ayah”.
“Sigar
Penjalin…” desis Sima Rodra,
”Cobalah aku
merabanya”.
Segera keris
itu diserahkan kepada Sima Rodra yang menerimanya dengan sisa tenaganya.
Meskipun demikian, terjadilah sesuatu diluar dugaan mereka. Dengan tangannya
yang lemah Sima Rodra mencoba menggoreskan keris yang sakti tiada taranya itu
ke tangan Mahesa Jenar. Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Demikian juga
Rara Wilis yang sama sekali tidak menduga bahwa ayahnya akan berlaku demikian. Karena
itu tidak sesadarnya ia memekik kecil.
“Kenapa kau
terkejut Wilis…? Biarlah aku mati bersama-sama dengan orang yang telah
membunuhku. Adakah kau kenal dia…?”
Rara Wilis
mengangguk perlahan.
Melihat Rara
Wilis mengangguk, Sima Rodra, yang mula-mula bernama Ki Panutan, mengernyitkan
alisnya,
“Hem…
desahnya. Siapakah orang ini sebenarnya…?”
“Sebagai yang
ayah kenal,” jawab Rara Wilis,
“Namanya
Mahesa Jenar, yang mencoba melawan kejahatan. Menurut kakek, ia adalah bekas
seorang prajurit yang bergelar Rangga Tohjaya”.
“Bekas
prajurit…?” ulang Ki Panutan, yang kemudian disebut Sima Rodra muda.
“Apakah
hubunganmu atau kakekmu dengan dia?”
“Tak ada,”
sahut Rara Wilis.
“Tetapi Kakang
Mahesa Jenar itu pernah membebaskan aku dari kebuasan Jaka Soka Nusakambangan”.
“He…” Sima
Rodra terkejut, setelah itu tubuhnya bertambah lemah. Dengan suara yang hampir
berbisik ia berkata,
“Syukurlah kau
terlepas dari tangan Ular Laut yang keji itu”.
Kemudian
kepada Mahesa Jenar ia berkata,
“Maafkan aku
Mahesa Jenar. Agaknya kau benar-benar telah berjuang untuk menegakkan
sendi-sendi kebajikan. Kalau demikian biarlah dalam saat yang terakhir ini aku
bercermin diri. Baik… kau Wilis… maupun kau Mahesa Jenar… telah menempatkan
diriku pada titik kesadaran. Karena itu aku akan berlalu dengan hati yang
lapang”.
“Ayah…” potong
Rara Wilis,
“Aku telah
bersusah payah, berusaha untuk menemukan ayah”.
Ki Panutan itu
tampak tersenyum.
Meskipun
wajahnya yang ditumbuhi oleh rambut-rambutnya yang lebat, yang baru beberapa
waktu berselang memancarkan cahaya yang mengerikan, sebagai seorang yang
menamakan dirinya Sima Rodra, kini tiba-tiba telah berubah sama sekali. Dengan
mata yang bersih bening, serta senyum keikhlasan, ia berbisik perlahan sekali,
“Wilis…
biarlah aku pergi. Puaslah sudah hatiku setelah aku mengetahui bahwa anakku
telah menjadi seorang gadis yang perkasa, serta berhati bersih. Kau mau
berlutut di sampingku meskipun kau tahu bahwa hidupku penuh diwarnai oleh noda
dan dosa”.
Setelah itu,
nafasnya menjadi semakin sesak. Beberapa kali Ki Panutan itu menggeliat menahan
sakit.
“Ayah… ayah….”
Rara Wilis hampir memekik.
Ki Panutan
yang telah memejamkan matanya itu perlahan-lahan membukanya kembali. Sekali
lagi ia tersenyum penuh keikhlasan.
“Ayah, jangan
pergi….” jerit Rara Wilis yang sudah kehilangan keperkasaannya menyaksikan
keadaan ayahnya, tetapi ia telah berubah menjadi seorang gadis kembali yang
menyaksikan saat-saat terakhir dari ayahnya yang selama ini dicarinya.
Tetapi tak
seorang pun yang kuasa menahan renggutan maut. Demikianlah perlahan-lahan Ki
Panutan itu menutup matanya. Ia masih sempat menyilangkan tangannya di dadanya
sebagai suatu pernyataan keikhlasan hatinya. Diantara rambut yang tumbuh hampir
memenuhi wajahnya itu, terseliplah bibirnya membayangkan senyum. Dan sesaat
kemudian Ki Panutan yang telah menggemparkan dengan kebiasaannya menculik
gadis-gadis untuk upacara-upacara kepercayaannya yang aneh-aneh, serta
perampokan dan kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukan di bawah nama Sima
Rodra serta panji-panji bergambar harimau hitam, kini meninggal dunia di tangan
musuh utamanya dengan penuh keikhlasan. Bersamaan dengan itu terdengarlah Rara
Wilis memekik tinggi. Dengan tangis yang memancarkan kekecewaan hatinya, ia
menelungkup di atas tubuh ayahnya yang sudah membeku. Melihat semuanya itu,
serta setelah mendengar pembicaraan mereka, orang-orang Gedangan menjadi
sedikit banyak dapat menangkap persoalan di antara mereka. Meskipun demikian
mereka masih berdiri tegak seperti patung.
BAGUS Handaka
juga tidak beranjak dari tempatnya. Ia kini sudah teringat siapakah orang itu.
Namun ia mengenalnya sebagai Pudak Wangi. Maka terharulah sekalian yang
menyaksikan peristiwa itu. Pertemuan pada saat-saat terakhir yang memilukan.
Tidak ketinggalan pula hati Mahesa Jenar. Disamping itu ia tidak mengerti apa
yang harus dilakukan. Tiba-tiba kembali hatinya digetarkan oleh gadis anak Ki
Panutan itu. Dengan tangkasnya gadis itu berdiri tegak. Tangan kirinya
menggenggam Kyai Sigar Penjalin, sedangkan tangan kanannya menuding ke arah
Mahesa Jenar dengan pandangan yang menyala-nyala. Rara Wilis hampir saja tidak
dapat mengendalikan dirinya lagi. Setelah bertahun-tahun ia bekerja keras untuk
dapat merebut ayahnya dan kemudian berangan-angan untuk dapat hidup damai
kembali di tempat asalnya, ternyata kini pada saat yang diimpi-impikan itu
datang, ayahnya terbunuh oleh Mahesa Jenar. Maka dengan gemetar penuh luapan
perasaan ia berkata,
“Kakang Mahesa
Jenar. Kau telah merampas seluruh masa depan yang kuangan-angankan selama ini.
Karena itu Kakang, aku akan membuat suatu perhitungan hutang-piutang. Kau telah
membebaskan diriku dari tangan Jaka Soka di hutan Tambak Baya. Tetapi kemudian
kau binasakan ayahku pada saat aku menemukannya. Dengan demikian maka aku
anggap bahwa hutang-piutang kita telah lunas. Sejak ini aku anggap bahwa aku
adalah orang yang sama sekali tak ada sangkut-pautnya dengan Mahesa Jenar.
Semua persoalan berikutnya adalah persoalan yang harus diperhitungkan
tersendiri”.
“Wilis…” jawab
Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak sempat berkata lebih banyak lagi, sebab sekejap
kemudian Rara Wilis telah meloncat dengan kecepatan yang mengagumkan, menerobos
ke dalam gelap malam, dan hilang di dalamnya.
Mahesa Jenar
kemudian diam tertegun. Banyak hal yang sebenarnya akan diutarakan. Tetapi apa
boleh buat. Sebenarnya ia sangat kecewa mendengar kata-kata Rara Wilis. Kalau
ia membunuh Sima Rodra, adalah karena Sima Rodra telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan sendi-sendi kehidupan masyarakat. Bertentangan dengan
perikemanusiaan, apalagi dipandang dari segi Ketuhanan. Namun demikian ia
percaya, bahwa pada suatu saat Rara Wilis pasti akan dapat menginsyafi hal ini.
Melihat kekisruhan yang sedang membelit hati Mahesa Jenar, yang dikenal oleh
penduduk Gedangan bernama Manahan, tak seorang pun berani mendekatinya, apalagi
bertanya sesuatu kepadanya, termasuk Bagus Handaka.
No comments:
Post a Comment