KATA-KATA itu tajamnya seperti sembilu. Mereka yang semula terseret oleh arus kebencian kepada orang tua itu, sekali lagi menundukkan wajah mereka. Mereka menjadi sangat malu kepada diri sendiri. Seterusnya Wanamerta berkata,
“Nah, sekarang
kalian boleh memilih. Tenggelam dalam lumpur kemaksiatan atau tegak kembali
lewat jalan kebenaran. Atau kita menunggu masanya kita menjadi hancur dengan sendirinya,
kemudian orang-orang dari kalangan hitam akan menari-nari di atas bangkai kita
bersama. Sadar atau tidak sadar apa yang kalian lakukan adalah sangat
menguntungkan dan mempercepat keruntuhan kita. Lahir dan batin. Sekarang kita
dapat tertawa, menari dan menyanyi. Tetapi besok kita akan mati dengan bau tuak
menghambur dari mulut kita. Dan kita telah kehilangan jalan untuk menghadap
kembali kepada Tuhan kita.”
Tanah lapang
itu benar-benar seperti padang luas yang kosong. Sepi hening. Yang terdengar kemudian
adalah Wanamerta kembali, “Sekarang kalian tinggal memilih. Aku berada di pihak
kalian. Dan apakah kalian pernah melihat wayang? Apakah kalian pernah mendengar
ceritera Baratayuda? Pada saat Pendawa menuntut haknya kembali dari para
Kurawa…?”
Juga tidak
seorangpun yang memotong kata-kata Wanamerta, sehingga ia dapat meneruskan,
“Dalam
ceritera pewayangan, wayang beber atau wayang kulit, diceriterakan bahwa akhir
dari Baratayuda itu, yang sayang tidak memuaskan kita semua. Kenapa akhir dari
Baratayuda itu menunjukkan kemenangan pihak Pendawa? Tidak Kurawa?”
Wanamerta
melihat kegelisahan rakyat Banyubiru yang berdiri mengelilinginya. Pada
wajah-wajah mereka tampak ketegangan yang mencekam. Tetapi masih belum seorang
yang berkata sepatah katapun. Yang terdengar kemudian adalah suara Wanamerta
kembali,
“Nah, baiklah
lain kali kita mengadakan pertunjukan wayang tujuh hari tujuh malam. Sejak
Kresna Duta sampai Karna Tanding, lalu seterusnya kita ubah, Arjuna lah yang
mati oleh Adipati Karna dari Awangga. Dan seterusnya berturut-turut habislah
Pandawa setelah para putra gugur lebih dahulu. Juga Parikesit kita bunuh.”
Meskipun
Wanamerta bercakap terus, namun perhatiannya tidak terlepas dari setiap wajah
yang dengan tenang dan gelisah mendengar kata-katanya. Ceritera wayang, apalagi
Baratayuda dianggap keramat oleh penduduk Banyubiru. Tiba-tiba secara tepat
Wanamerta mengungkapkan sindirannya dengan mempergunakan ceritera itu. Sehingga
tiba-tiba terdengarlah seseorang berkata, meskipun perlahan-lahan,
“Tidak bisa
Kiai, Baratayuda tidak bisa diubah demikian.”
WANAMERTA
pura-pura terkejut mendengar perkataan itu. Dengan mengerutkan keningnya ia
menjawab,
“Kenapa tidak
bisa? Bukankah Prabu Astina, Prabu Kurapati dapat memberi kepada rakyatnya
keleluasaan seperti yang kita kehendaki. Sabung ayam, judi, tayub, tuak dan
sebagainya, sedang orang-orang Pendawa sepanjang hidupnya hanya prihatin saja?”
“Tidak, Kiai,”
terdengar suara yang lain,
“Kita tidak
menghendaki demikian. Kita tidak menghendaki seperti orang-orang Astina di
Banyubiru.”
“He…?” kembali
Wanamerta pura-pura terkejut.
“Apakah yang
kau katakan?”
“Kami tidak
menghendaki hal itu terjadi di Banyubiru,” ulang suara itu.
“Yang mana
tidak kau kehendaki? Bukankah raja Astina Ratu Gung Binatara, Raja yang kaya? Bukankah
adinda baginda yang berjumlah 99 orang itu semuanya pandai berjudi, tayub dan
tuak? Bukankah di Astina ada seorang pendeta yang putus saliring ilmu, agal
alus, yang kasat mata, yang tidak kasatmata? Yang bernama Dorna?”
“Tidak…
tidak…” terdengar beberapa orang memotong kata-kata Wanamerta,
“Kami tidak
menghendaki itu.”
“Itu yang
mana…?” Wanamerta memancing ketegasan mereka.
“Judi. Kami
tidak mau judi,” jawab yang lain.
“O, hanya itu
saja?” desak Wanamerta.
“Tidak. Tidak
hanya itu. Kami tidak mau tuak,” jawab beberapa suara berbareng.
“Judi dan tuak
itu saja?” Wanamerta merasa bahwa ia hampir mencapai maksudnya.
Dan ada yang
didengarnya kemudian sangat menyenangkannya. Orang-orang Banyubiru itu kemudian
berteriak,
“Tidak. Kami
tidak mau judi, tuak, tayub dan sabung ayam. Kami bukan orang-orang Astina.
Kami adalah orang-orang Banyubiru.”
“Tunggu dulu,”
potong Wanamerta,
“Bukankah
putra-putra Astina berada dalam asuhan Maha Pendeta Dorna yang bijaksana, yang
dapat memberikan kepada mereka kenikmatan jasmaniah, rohaniah dalam kekuasaan
mereka atas Astina?”
“Kami tidak
mau pendeta itu. Kami tidak mau orang semacam Dorna.” Terdengar mereka
berteriak-teriak,
“Pendeta
degleng, pendeta bermulut ular.”
“Jadi
bagaimana seterusnya? Bagaimana dengan akhir dari Baratayuda itu?” tanya
Wanamerta.
“Prabu
Kurupati terbunuh. Semua adik-adik terbunuh. Pendeta Dorna mati di tangan
Drestajumena yang berhasil memancung lehernya,” sahut mereka bersama.
“Tetapi dengan
demikian masyarakat yang kita cita-citakan. Jadi, kemenangan Pendawa berarti
kemenangan keprihatinan dari kemenangan lahiriah, tetapi juga berarti
kemenangan dari jiwa rohaniah yang tawakal, percaya kepada keadilan Yang Maha
Pencipta. Dengan demikian kita tidak akan dapat membayangkan masyarakat seperti
masarakat kita malam ini. Tetapi masyarakat yang bekerja keras menuju tata
kehidupan yang tenteram damai tata tentrem karta raharja, gemah ripah
lohjinawi”.
Semua terdiam.
Hening. Sepi. Seandainya sepotong lidi jatuh di tengah lapang itu, suaranya
pasti akan sangat mengejutkan. Angin malam yang lembut mengusap wajah-wajah
yang terbanting-banting. Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar suara
Wanamerta gemuruh seperti guruh yang membelah langit-langit lapis,
“Hei rakyat
Banyubiru, katakan kepadaku sekarang, adakah kalian masih tetap pada pendirian
kalian? Supaya aku membiarkan kalian hanyut dalam arus kesenangan lahiriah,
yang berpangkal melulu pada nafsu yang tak terkendali seperti sekarang ini?”
Tak ada suara
yang terdengar. Karena itu Wanamerta meneruskan,
“Jawablah
pertanyaanku. Adakah kalian masih akan meneruskan cara hidup kalian sekarang
ini? Judi, tuak, tayub dan berkelahi sesama kita karena kita sudah mabuk…?”
Mula-mula yang
terdengar hanyalah suara-suara bergumam. Namun kemudian terdengarlah suara
mereka saur manuk,
“Tidak…tidak…
tidak….”
Wanamerta
kemudian meneruskan,
“Nah,
dengarlah baik-baik. Aku ingin bertanya sekali lagi, apakah cara hirup kita ini
akan kita akhiri?”
“Ya, Kiai, ya,
ya, kita akhiri sampai di sini,” sahut mereka berebut keras.
“Bagus. Itulah
yang aku harapkan. Rakyat Banyubiru yang sejati. Kalian harus melupakan racun
yang dengan perlahan-lahan membunuh kalian, membunuh semangat kalian, sehingga
kalian lupa pada masyarakat yang kalian cita-citakan, lupa kepada kampung
halaman, lupa kepada pribadi kalian. Nah, dengarlah baik-baik. Arya Salaka itu
akan datang. Benar-benar akan datang.”
Tiba-tiba
meledaklah suara mereka gemuruh.
“Kita sambut
anak muda itu diantara kita. Kita sudah sampai pada ceritera Lahirnya
Parikesit. Dan Parikesit itu akan datang membebaskan kita.”
Teriakan-teriakan
yang gemuruh itu mengumandang sampai beberapa saat. Tiba-tiba diantara suara
gemuruh itu terdengar sebuah teriakan,
“Belum. Kita
belum sampai ke sana. Kita masih harus menyelesaikan Baratayuda dahulu.”
“Marilah kita
tuntut hak kita, hak atas tanah dan kampung halaman sendiri,” teriak yang lain.
Dalam keriuhan
itu terdengarlah suara Sontani menggelegak menggetarkan tanah lapang itu,
“Omong kosong!
Omong kosong semuanya. Apakah yang akan kalian tuntut? Tak seorangpun merasa
kehilangan hak atas tanah ini sekarang.”
Tiba-tiba
suara riuh itu mereda.
Karena itu
Sontani meneruskan,
“Apakah yang
hilang dari milik kalian. Tanah, sawah, halaman dan rumah kalian. Bukankah
barang-barang itu masih tetap di tanganmu. Dan bukankah tak ada seorangpun yang
merampasnya?”
Suara riuh itu
kini menjadi diam. Memang mereka yang berdiri di tanah lapang itu masih
memiliki tanah mereka, sawah mereka dan rumah mereka. Tetapi kemudian
terdengarlah suara Wanamerta tenang,
“Kau benar
Sontani, tetapi aku dan kalian harus membayar upeti lebih dari dua kali lipat
dari upeti yang harus kalian bayar dulu.”
“Benar,
benar….” Kembali mereka berteriak-teriak.
MUKA Sontani
menjadi merah padam. Ia merasa terdesak. Tetapi ia tidak akan membiarkan keributan
itu terjadi. Kalau rakyat Banyubiru itu menerima Arya Salaka, belum pasti ia
akan tetap menjabat pangkatnya yang sekarang. Ia tidak peduli apakah dengan
demikian ia berkhianat atau tidak. Yang penting ia menjadi kepala pedukuhan
Lemah Abang. Karena itu Sontani harus berusaha keras untuk melawan Wanamerta.
“Upeti adalah
kewajiban setiap tanah perdikan untuk membiayai tanahnya. Kalau upeti tanah ini
terpaksa berlipat dua, itu adalah karena kebutuhan-kebutuhan kamipun meningkat
pula,” katanya.
Wanamerta tersenyum,
jawabnya,
“Apakah yang
pernah dihasilkan oleh upeti itu? Adakah kau dapat membangun rumah-rumah
pendidikan? Banjar-banjar desa…? Bukankah selama ini tak satu pun rumah baru
berdiri di Banyubiru? Yang sudah adapun tak terpelihara lagi. Bahkan tempat-tempat
ibadahpun tidak ada. Dan bukankah upeti itu mengalir ke Pamingit?”
“Benar,
benar….!” Teriakan itu semakin mengumandang.
Sontani tidak
dapat mengendalikan diri lagi. Ia melompat menembus lingkaran manusia yang
berdiri di sekeliling Wanamerta, sambil berteriak,
“Persetan
dengan sesorahmu. Kau hanya akan mengacau saja di sini. Pergi atau aku tangkap
kau.”
Wanamerta
masih tegak di tempatnya seperti tugu. Dengan masih setenang tadi ia menjawab,
“Jangan marah
Sontani. Bukankah aku tidak berbuat apa-apa? Bukankah semula akupun telah
mengatakan semuanya itu? Bahkan semula akupun telah mengatakan bahwa aku berada
di pihak kalian, apapun yang kalian kehendaki. Dan sekarang kalian menghendaki
meletakkan segala sesuatunya pada tempat-tempat yang sewajarnya, yang
seharusnya. Tidak lebih dan tidak kurang. Bukan judi, tuak, nafsu dan
kekuasaan. Inilah suatu usaha untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang
sebenar-benarnya.”
“Jangan
berkicau, menco tua. Aku perintahkan kau meninggalkan tempat ini sebelum aku
sumbat mulutmu dengan tanganku.”
Sontani sudah
tidak dapat menyabarkan diri lagi.
“Jangan
Sontani,” jawab Wanamerta masih setenang tadi,
“Akibatnya
tidak akan menjadi lebih baik.”
Tetapi Sontani
telah kehilangan akalnya. Ia melangkah semakin dekat. Wajahnya yang keras dan
matanya yang hitam kelam, menunjukkan betapa kerasnya hatinya. Sementara itu
Sendang Papat dan Sendang Parapat telah meninggalkan tempat mereka. Dengan
tanpa menarik perhatian, mereka telah berada diantara rakyat Banyubiru yang
berdesak-desakan itu. Mereka melihat betapa Sontani dengan marah menghampiri
Wanamerta. Tetapi karena Sontani agaknya seorang diri, maka Sendang Papat dan
Sendang Parapat pun menyabarkan diri mereka dan melihat saja apa yang akan
terjadi.
“Wanamerta…”
kata Sontani dengan suara yang bergetar oleh kemarahannya.
“Jangan
menjawab pertanyaanku. Tetapi kau hanya bisa melaksanakan. Tinggalkan tempat
ini.”
Wanamerta
masih belum bergerak. Tetapi orang-orang yang berdiri melingkar itu menjadi
cemas. Sontani adalah seorang yang benar-benar keras hati. Ia benar-benar dapat
melakukan apa saja yang ia katakan. Tetapi Wanamerta belum juga beranjak dari
tempatnya. Maka ketika ia melihat Sontani semakin dekat di hadapannya, ia
mencoba untuk sekali lagi menjawab.
Tetapi
demikian Wanamerta menggerakkan mulutnya, Sontani sudah membentaknya,
“Jangan
menjawab dengan kata-kata, pergi!” Wanamerta memandanginya dengan seksama. Dari
ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.
Maka ketika ia
sudah mendapat ketetapan hati, sengaja ia berkata,
“Kenapa tidak
boleh?” Sontani telah benar-benar marah. Ketika ia mendengar Wanamerta masih
berkata lagi, ia tidak dapat mengendalikan dirinya.
Dengan satu
loncatan ia telah berhasil menangkap baju Wanamerta dan mengguncangnya sambil
membentak,
“Jangan
menjawab. Kau hanya bisa pergi dari sini.”
Gerakan
Sontani itu tiba-tiba telah menggerakkan semua orang yang berdiri di sekeliling
mereka berdua. Tiba-tiba mereka menjadi sedemikian benci terhadapnya. Terhadap
orang yang gila pangkat dan gila hormat itu. Ketika Sontani sekali lagi
mengguncang baju Wanamerta, terdengarlah sebuah teriakan,
“Lepaskan dia
Sontani, lepaskan.”
Sontani
melirik ke arah suara itu. Namun ia tidak mau mendengarkan. Sehingga tiba-tiba
dari arah lain terdengar pula suara, “Sontani, jangan main kekerasan.”
“Diam kalian!”
bentak Sontani,
“Aku dapat
berbuat apa yang aku kehandaki. Jangan turut campur.”
“Jangan keras
kepala Sontani.” Terdengar suara yang lain,
“Supaya kami
tidak berkeras kepala pula.” Sontani menjadi gemetar.
Tetapi
suara-suara itu terus saling menyusul.
“Lepaskan
dia….. Lepaskan dia…. Atau kami harus melepaskannya?”
Disusul pula
dengan suara-suara yang mulai bernada kemarahan.
“Pergi kau
Sontani. Pergi kau. Atau kami harus memaksa?”
Tetapi
diantara teriakan-teriakan itu terdengar pula jerit pengikut-pengikut Sontani,
“Hantam dia.
Hantam kambing tua itu.”
Sontani
melihat pengikut-pengikutnya. Dengan demikian ia menjadi semakin sombong.
Sekali lagi ia menggoncang-goncangkan baju Wanamerta itu sambil menggeram,
“Babi tua,
jangan banyak tingkah.”
Pada saat
itulah maka keadaan hampir tak dapat dikuasai lagi. Kedua belah pihak hampir
saja bertindak, dan apabila demikian, di tanah lapang itu akan terjadi medan
pertempuran kecil-kecilan.
TIBA-TIBA
Wanamerta berteriak tanpa memperdulikan Sontani,
“He,
orang-orang Banyubiru. Sadarlah pada diri kalian masing-masing. Jangan
dibiarkan perasaan kalian menjerat kalian ke dalam suatu perbuatan yang tolol.”
Teriakan
Wanamerta itu ternyata berpengaruh juga. Beberapa orang mengurungkan niatnya
dan memandangnya dengan heran. Sementara itu, orang tua yang telah dipenuhi
oleh pengalaman dalam pemerintahan dan pengendalian terhadap orang-orang
Banyubiru itu memandang Sontani langsung ke dalam matanya. Mata yang
memancarkan kemarahan, ketamakan dan nafsu yang tak habis-habisnya.
Ketika Sontani
melihat mata orang tua itu, ia terkejut. Seolah-olah dari dalam mata itu
memancarkan pengaruh yang aneh. Sehingga tiba-tiba Sontani membuang matanya ke
arah orang-orang Banyubiru yang berdiri, dengan tenang, namun masing-masing
telah bersiap untuk memukul dan berkelahi.
“Lepaskan
Sontani,” kata Wanamerta lirih. Lirih saja. Tetapi bagi Sontani terdengar
seperti guruh yang meledak di atas kepalanya. Ia mencoba untuk melawan pengaruh
kata-kata itu dengan menggenggam baju itu lebih erat dan mencoba menarik
Wanamerta ke dadanya, namun Wanamerta itu menjadi seperti tugu yang tegak dan
tak tergerakkan.
Bahkan sekali
lagi ia berkata lirih, “Lepaskan Sontani, lepaskan.”
Tangan Sontani
bergetar. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia melepaskan tangannya perlahan-lahan. Ia
tidak dapat melawan pengaruh perbawa orang tua yang dahulu sangat dihormatinya
itu. Tetapi demikian tangannya terlepas, demikian ia sadar, bahwa Bahu Lemah
Abang akan lepas dari tangannya apabila Arya Salaka benar-benar akan datang.
Karena itu, didorong pula oleh kesombongannya, serta untuk menutupi
kelemahannya, ia berteriak,
“Aku lepaskan
kau kelinci tua, tetapi pergilah dari sini.”
Wanamerta
tidak mendengarkan lagi kata-kata itu, tetapi ia berkata kepada orang-orang
Banyubiru,
“Apa yang
kalian lakukan? Aku lihat kalian akan berkelahi satu sama lain”.
Mereka yang
membenarkan kata-kata sebagian besar dari kalian, melawan mereka yang berpihak
kepada Sontani.
“Kenapa
kalian…? Bukankah kalian sama-sama orang Banyubiru? Aku berterima kasih kepada
kalian yang berusaha untuk menyelamatkan aku. Aku tahu itu. Dan aku berbangga
pula melihat pengikut-pengikut Sontani yang berani, meskipun jumlah mereka
tidak sebanyak yang lain. Tetapi aku sedih melihat pertentangan kalian. Aku
sedih melihat kalian akan bertempur satu sama lain, sesama orang Banyubiru.”
Keadaan
menjadi hening. Tetapi orang-orang yang mendengar kata-kata itu menjadi
bingung. Mereka sama sekali tidak tahu maksud perkataan itu. Bagaimanakah
seharusnya mereka berbuat? Bukankah mereka harus merebut hak atas tanah ini?
Tetapi mereka tidak boleh berbuat apa-apa.
Wanamerta
melihat keragu-raguan itu. Karena itu ia menjelaskan,
“Anak-anakku,
jangan berbuat sendiri-sendiri. Hal itu sama sekali tidak akan menguntungkan.
Tidak bagiku dan tidak bagi Sontani. Yang harus kalian lakukan hanyalah menempa
tekad untuk melebarluaskan berita itu. Kalian hanya akan menyambut
kedatangannya dua tiga hari lagi di tanah ini dengan tombak Kyai Bancak di
tangannya. Pembicaraan seterusnya biarlah dilakukan oleh yang berhak
membicarakannya. Yaitu Arya Salaka dan yang mengembaninya, yaitu Mahesa Jenar.
Selebihnya tunggu perintahnya.”
Wanamerta
masih melihat keheranan terbayang di wajah mereka. Keheranan seperti yang
terbayang di wajah-wajah laskar Banyubiru di Gedong Sanga ketika mendengar
keputusan Mahesa Jenar bahwa mereka masih harus menunggu. Tetapi disamping itu
Wanamerta merasa berbangga bahwa ia dapat langsung berbicara dengan mereka dan
memberikan kepada mereka jalan lurus yang harus mereka tempuh. Meskipun ia
yakin bahwa apa yang sudah dicapainya itu tidak boleh terlepas lagi.
Tetapi
sementara itu Sontani menjadi bermata gelap. Ia tidak dapat mendengar, otaknya
tak dapat menahannya. Karena itu dengan suara yang mengguruh ia berkata,
“Wanamerta,
baiklah kalau kau tidak mau pergi. Dan baiklah kalau kau masih akan
berteriak-teriak terus. Karena aku sudah cukup memberi kau kesempatan, aku
sekarang terpaksa bertindak terhadapmu. Menyumbat mulutmu.”
Wanamerta
melihat mata Sontani telah menyala-nyala. Ia tidak mungkin lagi menghindari
bentrokan dengannya. Tetapi ia tidak mau orang-orang Banyubiru terlibat ke
dalam bentrokan itu. Orang-orang yang sebenarnya tidak banyak menentukan
penyelesaian masalah hanya karena berkelahi sesamanya.
Karena itu ia
menjawab,
“Baiklah
Sontani. Kau ingin aku diam, tetapi aku ingin berbicara terus. Kita berlawanan
kehendak. Karena itu terserah apa yang akan kau lakukan dan biarlah aku mencoba
untuk berbuat atas kehendakku pula. Tetapi satu hal yang akan aku katakan
kepada orang-orang Banyubiru dan termasuk pengikut-pengikutmu. Tenaga mereka
masih sangat diperlukan buat masa depan. Buat ketentraman terakhir. Karena itu
kalau ada perbedaan pendapat diantara kau dan aku, janganlah menyangkut
mereka.”
Sontani
mendengar kata-kata itu. Ia sadar bahwa kata-kata itu berarti suatu tantangan
tanding seorang lawan seorang. Ia menjadi bergembira, sebab iapun tahu bahwa
pengikutnya tidak sedemikian banyak berada di tanah lapang itu.
Maka ia
menjawab lantang,
“Suatu
kehormatan bagiku orang tua yang sombong. Dahulu aku mengagumimu. Tetapi waktu
itu aku adalah seekor anak ayam yang kagum melihat ayam jantan berkokok di atas
pagar. Tetapi sekarang tidak. Akulah ayam jantan itu.”
Wanamerta
menarik nafas. Ia adalah seorang yang mempunyai cukup pengalaman. Ia adalah
emban kepala daerah perdikan ini. Sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora
Dipayana, ia telah menjabatnya.
Karena itu
iapun cukup tajam untuk menilai seseorang. Terhadap Sontani, iapun dapat
menilai pula dengan tepat. Ia tidak lebih dari seorang yang besar kepala,
sombong dan keras hati.
“Kau benar,”
jawab Wanamerta,
“Kau adalah
ayam jantan itu. Hanya saja kau adalah ayam jantan yang berkokok setelah
matahari hampir terbenam.”
SONTANI
menggeram. Sekali dua kali ia melihat berkeliling. Tetapi ia tidak melihat
Sendang Papat dan Sendang Parapat yang tersenyum melihat kesombongannya.
Sontani dengan sombongnya seolah-olah berkata kepada rakyat Banyubiru,
“Inilah aku,
Sontani Bahu dari Pedukuhan Tanah Abang.”
Kemudian
kepada Wanamerta ia berkata,
“Wanamerta,
bukan salahku kalau kemudian tanganmu patah, atau lehermu terpuntir. Sebab kau
adalah orang tua yang tak tahu diri.”
Wanamerta
tersenyum. Senyum yang sangat menjemukan bagi Sontani. Karena itu ia menggeram
sekali lagi dan berkata, “Bersedialah. Lihatlah bintang-bintang di langit
dengan seksama, barangkali ini untuk yang terakhir.”
“Yang
terakhir?” tanya Wanamerta heran.
“Ya, sebab ada
suatu kemungkinan, bahwa dengan tersentuh tanganku kau akan mati,” jawab
Sontani dengan sombongnya. Wanamerta mengangguk-angguk. Sontani benar-benar
sombong. Dan kesombongan itu menjengkelkan sekali.
Maka jawab
Wanamerta,
“Gemintang
yang bercahaya-cahaya itu. Jadi aku tidak akan memandangnya untuk yang terakhir
kalinya. Tetapi kalau kau yang mati, mungkin karena pokalmu sendiri, kau akan
berdiam menjadi ampas Rawa Pening.”
Hati Sontani
menjadi semakin menyala. Dan tiba-tiba saja ia berteriak,
“Jagalah
mulutmu baik-baik Wanamerta, sebab aku ingin sekali meremasmu.” Wanamerta
segera bersiaga, dan dengan suatu loncatan yang cepat, Sontani mulai menerjang.
Beberapa orang yang berdiri disekitarnya berdesakan mundur.
Dada mereka
tergoncang. Sontani adalah seorang yang kasar dan keras hati. Karena itu
serangannya pun kasar pula. Beberapa orang menjadi cemas apakah Wanamerta dapat
menjaga dirinya menghadapi Bahu Pedukuhan Lemah Abang yang sedang gila untuk
mempertahankan kedudukannya itu. Wanamerta heran melihat serangan Sontani yang
dapat demikian cepat. Ia mengenal Sontani lima tahun yang lalu, sebagai seorang
yang selalu merasa tidak puas. Dan sekarang orang itu berjuang untuk
mempertahankan kepuasan-kepuasan yang pernah dicapainya. Kepuasan-kepuasan
lahiriah yang tak berharga sama sekali.
Wanamerta
segera menghindarkan diri dengan satu gerakan yang sederhana. Dan itu menambah
kemarahan Sontani. Meskipun beberapa tahun yang lampau ia benar-benar mengagumi
orang tua itu, tetapi sementara ini ia merasa bahwa ia telah bertambah dewasa
dalam ilmu tata perkelahian. Dengan gerakan-gerakan yang keras, ia bertempur
dengan penuh nafsu. Tangannya bergerak berputar-putar, seolah-olah roda yang
berputar-putar hendak menggilas lumat orang tua yang memuakkan itu. Mengalami
serangan yang datang bertubi-tubi itu, Wanamerta menarik dirinya beberapa
langkah surut. Ia baru dalam taraf mempelajari gerakan-gerakan lawannya yang
cukup cepat dan berbahaya itu. Tetapi Sontani yang sedang marah itu tidak
memberinya kesempatan. Sebagai seekor harimau yang gila, ia meloncat menerkam,
menghantam, bertubi-tubi. Tetapi Wanamerta cukup berpengalaman. Karena ia
merasa lebih tua, maka ia menjaga agar ia tidak kehabisan nafas di tengah
jalan. Karena itu ia bertempur dengan sangat menghemat tenaga. Meskipun
demikian, setiap gerakan Wanamerta cukup memberi perlawanan yang gigih.
Sehingga setelah beberapa saat mereka bertempur, Sontani sama sekali tak
berhasil menyentuhnya. Karena itulah maka hatinya menjadi semakin membara.
Dengan demikian ia menjadi semakin buas dan liar. Sontani mengerahkan segenap
tenaganya untuk secepatnya menghancurkan orang tua yang akan menjadikan sebab
hilangnya kekuasaan yang sudah berada di tangannya atas pedukuhan Lemah Abang
yang subur di pinggiran kota Banyubiru itu. Menghadapi serigala yang marah itu,
Wanamerta harus berhati-hati pula. Sebab segala gerakan Sontani selalu dilambari
oleh segenap kekuatannya. Dan ia adalah orang yang cukup mempunyai tenaga.
Hanya sayang bahwa tenaganya tidak disalurkannya dengan tepat. Bahkan seperti
terhambat tak berarti. Tetapi meskipun demikian, apabila serangannya itu dapat
mengenai sasarannya, agaknya akan berbahaya juga. Karena Wanamerta masih selalu
menghindari serangan-serangan Sontani, maka seolah-olah Wanamerta menjadi
terdesak. Rakyat yang berdiri di sekitar perkelahian itu menjadi cemas, sebab
mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan Sontani pun berpendapat
demikian pula, meskipun ia hampir tidak sabar karena serangan-serangannya tak
pernah mengenai sasarannya. Diantara para penonton itu tampak Sendang Papat dan
Sendang Parapat tersenyum-senyum.
Lima tahun
yang lampau, memang agaknya Sendang Papat dan Sendang Parapat itu tidak lebih
dari Sontani. Tetapi setelah mereka menggembleng diri di bawah asuhan Ki Dalang
Mantingan, Wirasaba, bahkan kemudian mereka itupun mendapat petunjuk-petunjuk
dari Mahesa Jenar sendiri. Maka ia melihat betapa lemahnya serangan-serangan
Sontani. Mereka dengan tersenyum melihat betapa Wanamerta dengan sabarnya
melayani permainan Sontani yang menjemukan dan sama sekali tidak bermutu.
WANAMERTA
tidak ingin melihat keadaan semakin keruh. Agaknya Wanamerta berusaha untuk
mengalahkan Sontani tanpa melukainya. Tetapi Sontani agaknya benar-benar orang
yang tidak berotak. Ia sama sekali tidak menyadari keadaan. Karena itu ia
malahan menjadi semakin berbesar hati dan sombong. Bahkan kemudian ia
berteriak-teriak,
“Jangan
berlari-lari seperti kelinci menghadapi serigala, Wanamerta yang malang.
Agaknya kau telah terjerumus karena kesombonganmu ke dalam sudut yang celaka.
Tetapi janganlah kau ingkar pada kejantananmu. Kepada sesumbarmu yang
seolah-olah membelah langit.”
Wanamerta
menggeleng lemah. Sambil menghindari serangan Wanamerta, Sontani berkata,
“Ha, kau sudah
semakin ketakutan. Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Berjongkoklah dan minta
maaf kepada Bahu Pedukuhan Lemah Abang agar kau kuampuni karena kesalahanmu.
Setelah itu kau harus meninggalkan lapangan ini dengan merangkak sampai ke
batas tanah lapang.”
“Sejak umur
setahun aku sudah tidak biasa lagi merangkak, Sontani. Maafkan kalau aku tidak
dapat memenuhi permintaanmu,” jawab Wanamerta. Sontani membelalakkan matanya.
Ia mengharap Wanamerta benar-benar minta maaf kepadanya, meskipun seandainya ia
tidak dapat memenuhi perintahnya itu seluruhnya. Tetapi tiba-tiba Wanamerta
menjawab sedemikian menyakitkan hati. Karena itu sekali lagi Sontani berkata
untuk menghina orang tua itu,
“Aku beri
kesempatan dalam hitungan lima kali. Setelah itu tak ada kesempatan lagi
bagimu. Kalau akan aku tangkap, aku cukur gundul dan aku arak berkeliling kota
besok pagi.”
Wanamerta
tidak menjawab. Ia membiarkan saja Sontani menghitung untuk memuaskan hatinya.
Tetapi ketika Sontani sampai ke hitungan yang ketiga, tiba-tiba Wanamerta mulai
dengan melontarkan beberapa serangan balasan. Sontani terkejut. Ia sama sekali
tidak menduga bahwa Wanamerta yang tua itu masih mampu bergerak sedemikian
cepat dan berturut-turut. Karena itu ia sama sekali kurang bersiaga, sehingga
beberapa serangan Wanamerta itu berturut-turut mengenai tubuhnya. Tidak hanya
sekali, tetapi dua-tiga kali, sehingga ia terdorong beberapa langkah surut.
Mengalami
perisitwa itu tiba-tiba mata Sontani yang hitam kelam itu menjadi memerah
darah, seolah-olah dari sana menyembur api yang menyala-nyala. Dadanya terasa
sesak, bukan karena sakit oleh serangan lawannya, tetapi karena perasaan yang
bercampur baur. Marah, malu, muak dan segala macam. Tetapi dalam pada itu, ia
menjadi semakin bernafsu untuk menghancurkan musuhnya itu. Dalam tanggapannya,
serangan Wanamerta itu adalah karena kelengahannya. Meskipun demikian ia sama
sekali tidak menjadi jera, sebab pukulan Wanamerta, meskipun mengenainya tetapi
tidak menyakitkan. Namun dengan perasaan itu ia telah membuat kesalahan untuk
yang kedua kalinya. Ia tidak menyadari bahwa Wanamerta sebenarnya tidak
menggunakan seluruh tenaganya. Ia hanya mempergunakan kecepatan dan mendorong
dada Sontani, menyentuh pundaknya dan dengan kaki ia menyinggung lambungnya.
Tetapi kemarahan Sontani telah benar-benar menggelapkan pikirannya. Ia
benar-benar sudah tidak dapat menimbang untuk rugi dari perbuatannya itu.
Dengan demikian ia menjadi semakin membabi buta. Menerjang, menghantam, memukul
dengan penuh nafsu. Ia berkelahi seperti serigala gila sedang kelaparan. Dari
mulutnya terdengarlah nafasnya memburu dan geramnya yang seram. Wanamerta
membiarkan Sontani bertempur dengan cara yang demikian. Ia mengharap Sontani
akan kehabisan tenaga dan berhenti dengan sendirinya. Dengan demikian ia tidak
mengalahkannya dengan menyinggung kehormatannya beserta pengikut-pengikutnya.
Tetapi Sontani berpendirian lain. Karena pikirannya yang gelap itulah ia tidak
dapat menimbang apa yang akan dilakukan. Apakah akibat yang bakal timbul, dan
apakah itu akan menimbulkan korban ataukah tidak. Ketika ia merasa bahwa
tenaganya sudah mulai berkurang karena peluh yang sudah membasahi tubuhnya
seperti orang mandi, ia menjadi tidak bersabar lagi. Ia ingin dengan segera
menangkap dan menghinakan lawannya di hadapan umum.
Sedangkan
Wanamerta benar-benar licin seperti belut. Sebenarnya heranlah Sontani, bahwa
orang setua itu masih mampu menghindarkan diri dari serangan-serangannya yang
mengalir seperti banjir. Tetapi bagi Wanamerta, Sendang Papat dan Parapat,
gerakan-gerakan itu sama sekali tidak seperti banjir sungai yang paling kecil
sekalipun. Gerakan-gerakan itu tidak lebih dari gerakan-gerakan yang hanya
dikendalikan oleh nafsu dan kesombongan. Kepercayaan yang berlebih-lebihan
terhadap diri sendiri, sehingga tidak mampu lagi untuk melihat kenyataan.
Perasaan yang demikian itulah yang mendorong seseorang ke dalam sudut
kekalahan. Sebab kesombongan dan sikap menghina lawan adalah unsur utama dari
kekalahan itu sendiri. Demikian juga Sontani. Ia merasa dirinya berlebihan.
Tetapi sekali waktu ia mengalami peristiwa yang ia takut mengakuinya. Ia takut
berpikir bahwa sebenarnya Wanamerta adalah lawan yang tak dapat dikalahkan.
Oleh karena itu, oleh perasaan yang bercampur baur itulah kemudian ia menjadi
bermata gelap. Dengan penuh kemarahan ia berteriak nyaring,
“He Wanamerta,
bertempurlah dengan laku seorang jantan. Jangan hanya mampu berlari dan
menghindar. Bertahanlah, dan marilah kita sama-sama mengangkat dada.”
“Hem…” gumam
Wanamerta. Di dalam hati ia mulai menyesali sikap Sontani yang keras kepala
itu. Tetapi ia menyabarkan diri. Ketika beberapa saat kemudian Wanamerta masih
belum menjawab, sekali lagi Sontani berteriak,
“Hai, kelinci
betina. Bertempurlah dengan dada tengadah. Jangan lari berputar-putar seperti
ayam disembelih. Kalau kau takut mati dalam pertempuran ini, bertobatlah dan
mintalah ampun.”
WANAMERTA
menggeleng lemah. Tetapi ia tetap menunggu sampai Sontani kehabisan tenaga.
Karena itu perlahan-lahan ia menjawab,
“Kau belum
sampai ke hitungan yang kelima, Sontani.”
Alangkah
sakitnya hati Sontani. Ia sendiri sudah lupa pada hitungan itu karena serangan
Wanamerta yang tiba-tiba. Sekarang dari lawannya itu ia mendapat peringatan
akan kelalaiannya. Karena itu ia menjadi bertambah marah dan tiba-tiba
terjadilah apa yang dicemaskan oleh Wanamerta. Apa yang sejak semula dihindari,
sehigga ia lebih senang menghindari serangan Sontani itu terus menerus tanpa
menjatuhkannya.
Dengan penuh
kemarahan, Sontani berteriak,
“Hei
orang-orang Lemah Abang yang setia. Tangkap kelinci tua ini.”
Perintah itu
benar-benar menggetarkan hati Wanamerta. Bukan karena ia takut seandainya ia
terpaksa melawan seluruh pengikut Sontani, bahkan seandainya ia terpaksa mati
karenanya. Tetapi dengan menggerakkan pengikutnya, Sontani harus menghadapi
akibat yang barangkali tak pernah dipikirkan.
Karena itu
Wanamerta mencoba mencegahnya. Dengan nyaring ia berteriak,
“Tunggulah
Sontani.”
Sontani
benar-benar telah kesurupan setan. Ia tidak mendengar seruan itu, bahkan
beberapa orang pengikutnya yang mendengarnya menganggap bahwa Wanamerta telah
menjadi ketakutan. Dengan demikian mereka semakin bernafsu dan berloncatan
maju, mendesak orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Bahkan beberapa orang
mereka dorong jatuh tanpa peringatan apapun. Gelang raksasa yang terdiri dari
manusia yang berjejal-jejal itu tampak bergerak-gerak. Beberapa orang masih
belum sadar apa yang akan terjadi. Baru ketika beberapa orang berloncatan
memasuki arena, tahulah mereka bahwa Sontani bersama-sama dengan pengikutnya
akan menangkap Wanamerta itu beramai-ramai.
Itulah
permulaan dari bencana yang menimpa diri Sontani. Sebab orang-orang yang telah
terbuka hatinya, melihat kebenaran keadilan, tidak rela Wanamerta menjadi
makanan pesta dari orang-orang yang hanya dapat menghitung kebenaran dari
kepentingan mereka sendiri. Karena itulah maka merekapun serentak, tanpa
perintah dari siapapun, bergerak melawan orang-orang Sontani. Sehingga di
lapangan terbuka itu terjadilah semacam perang kecil-kecilan antara para
pengikut Sontani melawan orang-orang Banyubiru yang lain. Sendang Papat,
Sendang Parapat dan beberapa orang kawannya telah berdiri di sekitar Wanamerta.
Mereka harus menjaga keselamatan orang tua itu. Orang tua yang telah menjadi
emban kepala daerah perdikan Banyubiru sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora
Dipayana.
“Apa yang akan
kita lakukan, Kiai?” tanya Sendang Papat. Wanamerta tegak seperti patung,
mulutnya komat-kumit, namun belum terdengar ia berkata. Tetapi dari matanya
telah terlontar betapa ia menyesal melihat hal ini terjadi. Tawuran antara
rakyat dan rakyat yang sebenarnya sama-sama menanti masa depan yang lebih
menyenangkan. Sontani sendiri tiba-tiba didorong oleh hiruk-pikuk menjauhi
Wanamerta.
Dengan penuh
kemarahan ia berkelahi. Namun lawannya terlalu banyak. Karena itu ia terpaksa
mundur dan mundur. Demikian pula agaknya para pengikutnya. Mereka ternyata
korban lawan. Lawan yang dengan penuh kemarahan melawan mereka. Bagaimanapun
kuatnya Sontani, dan bagaimanapun para pengikutnya berkelahi membabi buta,
namun akhirnya mereka terpaksa mengalami perlakuan yang sama sekali tak mereka
harapkan. Demikian pula Sontani. Meski ia telah berkelahi mati-matian namun
akhirnya ia tidak berhasil melepaskan diri dari tangan orang-orang yang semula
dianggapnya tak akan menghalangi tindakannya. Beberapa orang menangkapnya dan
memegangi tangan serta kakinya.
Beberapa orang
mencoba memukulnya pada bagian-bagian tubuhnya sekenanya. Sontani meronta-ronta
sejadi-jadinya. Tetapi tangan orang-orang itu terlalu keras, dan ia tak mampu
melepaskan diri dari mereka yang tak terkendali lagi itu. Wanamerta melihat
bahaya itu. Bagaimanapun juga ia tak menghendaki adanya korban. Karena itu
hampir tak terdengar dari sela-sela bibirnya yang bergetar ia berkata,
“Sendang,
selamatkanlah Sontani itu.”
Sendang Papat
dan Sendang Parapat adalah orang muda yang selama ini ikut merasakan betapa
tekanan-tekanan yang telah dialami oleh orang-orang Banyubiru dari orang-orang
semacam Sontani itu. Di hadapan hidungnya ia melihat Sontani telah berusaha
untuk menghina Wanamerta, sesepuh tanah perdikan ini. Karena itu, ketika ia
mendengar perintah Wanamerta, mereka menjadi heran dan ragu, sehingga Wanamerta
terpaksa mengulangi,
“Sendang…”
suaranya perlahan-lahan,
“Selamatkan
Sontani.”
Sendang Papat
dan Sendang Parapat sadar dari keragu-raguannya. Bagaimanapun perasaannya
bergolak di dalam dadanya, namun mereka adalah orang-orang yang patuh. Karena
itu mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan sigapnya mereka meloncat
diantara orang yang bergolak seperti gabah diinteri itu, menyusup langsung ke
arah Sontani. Dengan mempergunakan pengalaman-pengalaman serta
kelebihan-kelebihan mereka, merekapun segera berhasil berdiri di samping Sontani
yang sedang meronta-ronta itu.
Dengan penuh
tenaga, Sendang Papat berteriak mengatasi keriuhan suara orang-orang Banyubiru
yang marah itu,
“Hai,
kawan-kawan yang baik. Aku harap kerelaan kalian. Serahkanlah orang ini
kepadaku.”
Beberapa orang
yang dekat berdiri dengan Sendang Papat itu terkejut, ketika mereka
memandanginya, dalam samar-samar sinar obor yang jauh. Bukankah yang berteriak
itu Sendang Papat…?
Tiba-tiba
seorang diantara mereka berkata,
“He, adakah
kau Adi Sendang Papat?”
“Ya,” jawabnya
singkat.
DARI arah lain
terdengar suara,
“Dan inilah
adiknya, Sendang Parapat.”
“Bagus,
bagus,” teriak yang lain,
“Bukankah kau
datang untuk membunuhnya?”
“Lepaskan
dia,” kata Sendang Papat keras-keras.
Beberapa orang
menjadi ragu-ragu. Tetapi Sendang Papat mendesakkan kata-katanya pula,
“Lepaskan dia.
Berhentilah berkelahi. He, yang di sana, berhentilah berkelahi.”
Suara itu
disahut oleh Sendang Parapat dan oleh beberapa kawan-kawan yang datang
bersamanya. Karena suara-suara itulah maka perkelahian itu terpengaruh pula.
Peperangan itu semakin lama menjadi mereda, dan akhirnya berhenti, meskipun
masing-masing wajah masih diliputi oleh ketegangan dan kemarahan.
“Serahkan
orang itu kepadaku,” kata Sendang Papat dengan kewibawaan yang mengagumkan
orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Namun meskipun demikian tampak mereka
ragu, seperti Sendang Papat mula-mula juga ragu. Di sebelah lain berdiri dengan
kaki renggang, adiknya Sendang Parapat.
“Apakah kalian
keberatan?” desak Sendang Papat. Matanya beredar berkeliling. Memandang
wajah-wajah yang penuh mengandung pertanyaan. Sedang Sontani sendiri, yang
berdiri di hadapan Sendang Papat, tidak pula kalah herannya. Ia tahu benar
bahwa Sendang Papat adalah salah seorang yang dikejar-kejarnya selama ini
seperti juga Bantaran, Penjawi, Jaladri dan yang lain-lainnya lagi.
Tiba-tiba dari
antara mereka, yang berdiri berkeliling itu terdengar sebuah pertanyaan,
“Akan kau
apakan dia, Sendang Papat?”
Sendang Papat
sendiri untuk sesaat bingung mendengar pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia
menjawab,
“Serahkanlah
kepada kebijaksanaan Kiai Wanamerta.”
“Apa yang akan
dilakukan?” bertanya yang lain.
“Ia tahu apa
yang akan dilakukan,” jawab Sendang Papat.
Keadaan
menjadi sepi. Sepi namun penuh keraguan. Masing-masing mencoba mengangan-angankan
apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Wanamerta. Tetapi sepi itu tiba-tiba
dipecahkan oleh suatu peristiwa yang tak terduga-duga, yang merusak suasana
yang hampir baik kembali itu. Tiba-tiba dari sela-sela orang yang mengerumuni
yang pucat lesu itu meloncatlah seseorang yang dengan serta merta menyerang
Sendang Parapat. Sebuah tusukan yang kuat mengenai lambung kirinya, sehingga
terdengar ia mengaduh. Tetapi Sendang Parapat adalah seorang yang terlatih.
Karena itu sedemikian ia merasakan sebuah tusukan mengenai dirinya, selain
tanpa sesadarnya ia mengaduh perlahan, namun dengan cepatnya ia bergerak dengan
tenaganya yang terakhir, menangkap tubuh orang yang menusuknya itu, sehingga
ketika orang itu akan melarikan diri, tubuh Sendang Parapat yang lemah terseret
beberapa langkah. Tetapi dengan demikian orang itu tidak dapat segera
melenyapkan dirinya ke dalam gerombolan orang-orang yang masih berdiri di sana
sini. Ia terpaksa berhenti mendorong Sendang Parapat untuk melepaskan
pegangannya yang seolah-oleh terkunci. Dalam saat itulah Sendang Papat,
memandangi kejadian itu dengan mata terbelalak. Tusukan yang mengenai adiknya,
pada saat ia sedang melindungi Sontani, yang dibencinya, adalah serasa tusukan
pada dadanya, yang ditutupinya rapat-rapat, kini seolah-olah tersiram minyak.
Seperti kawah gunung berapi yang tak menemukan jalan, tiba-tiba meledaklah
kemarahan Sendang Papat.
Ia sempat
melihat adiknya berputar cepat sekali, dan menangkap pergelangan tangan orang
yang menusuknya. Ia melihat tubuh adiknya yang telah lemah itu terseret
beberapa langkah. Maka ia sendiri kemudian seperti thathit meloncat beberapa
langkah ke arah orang yang mendorong adiknya, untuk melepaskan pegangannya.
Demikian Sendang Parapat terlepas, dan tubuhnya terbanting di tanah, demikian
Sendang Papat sampai kepada orang itu. Wajah Sendang Papat tiba-tiba berubah.
Seolah-olah di dalamnya tersembunyi malaikat pencabut nyawa. Dengan tidak
berkata sepatah katapun, ia menyerang orang yang menusuk adiknya itu. Orang
itupun agaknya sadar pula. Karena itu iapun segera melawan serangan itu.
Sendang Papat benar-benar marah. Tenaganya menjadi seakan-akan belipat-lipat.
Seperti badai yang tak tertahan lagi ia menerkam orang yang menusuk lambung
adiknya. Betapa orang itu mencoba melawannya, tetapi ternyata Sendang Papat
bukanlah lawannya. Karena itu ia terdorong surut beberapa langkah, yang
kemudian disusul sebuah pukulan dengan tenaga tergenggam pada dagunya. Pukulan
itu demikian kerasnya sehingga orang itu seolah-olah terangkat beberapa jengkal
dan terlempar ke belakang, untuk kemudian dengan kerasnya pula terbanting ke
tanah.
Sendang Papat
sendiri mata gelap. Ia tidak ingat lagi kata Wanamerta, ia tidak ingat lagi
pesan Mahesa Jenar dan pemimpin-pemimpin yang lain. Yang teringat hanyalah, seorang
dengan licik dan curang telah menusuk adiknya. Seperti seekor harimau ia
meloncat ke atas tubuh orang itu, dan dengan sekuat tenaga seperti hujan yang
tercurah dari langit, ia menghantam bertubi-tubi wajah orang itu. Terdengarlah
orang itu berteriak ngeri. Tetapi juga teriakan itu seolah-olah tak terdengar
oleh Sendang Papat yang sedang marah.
Orang-orang
yang berdiri di sekitar tempat itu, justru menjadi terdiam seperti patung.
Dengan mata terbelalak pula mereka menyaksikan kejadian itu. Kejadian yang
berlangsung sedemikian cepatnya. Sehingga apa yang mereka ketahui kemudian
adalah Sendang Papat yang marah itu duduk di atas tubuh lawannya yang
terlentang di tanah sambil memukulnya habis-habisan untuk mencurahkan
kemarahannya yang meluap-luap. Tetapi kawan-kawan orang itu ternyata tidak
tinggal diam. Ketika mereka melihat kawannya tak mampu lagi untuk bergerak,
mereka pun kemudian mencoba untuk melepaskannya. Ternyata mereka adalah
pengikut-pengikut Sontani.
BEBERAPA orang
bersama-sama dengan mempergunakan senjata-senjata tajam yang kecil, semacam
pisau-pisau runcing, menyerang Sendang Papat. Sendang Papat betapapun marahnya,
namun naluri keprajuritannya segera memperingatkannya akan bahaya yang
mengancam itu. Namun justru karena itulah dengan tangkasnya ia berdiri, menarik
bagian dada baju orang yang menusuk adiknya itu sehingga berdiri dan dengan
segenap tenaga yang ada, Sendang Papat memukul orang itu dengan tangan kanannya
ke arah perutnya. Terdengarlah suaranya seperti tersumbat di kerongkongan. Tubuhnya
terbungkuk dan terhuyung-huyung akan jatuh menelungkup. Pada saat itu Sendang
Papat melepaskan pegangannya, dengan tangan kirinya, ia mengangkat muka orang
itu menengadah, dan sekali lagi dengan tangan kanannya ia menghantam wajah itu.
Ternyata orang itu sudah tidak mampu untuk mengaduh lagi. Tubuhnya demikian
saja terlempar ke belakang, dan sekali lagi ia terbanting di tanah. Pada saat
itu beberapa orang telah berada di sekeliling Sendang Papat dengan pisau-pisau
di tangan.
Tetapi Sendang
Papat adalah seorang yang terlatih menghadapi bahaya. Meskipun ia sendiri tidak
mempergunakan senjata, namun ia sama sekali tidak takut melawan orang-orang
itu. Karena itulah maka segera berkobar kembali perkelahian. Sendang Papat
melawan lebih dari empat lima orang yang menyerangnya dari segenap penjuru.
Meskipun demikian belum terlintas di dalam otak Sendang Papat itu untuk
mempergunakan keris yang terselip di lambung kirinya. Demikian ia melompat
kesana-kemari, seperti seekor kijang yang keriangan di padang rumput yang
hijau. Tangannya menyambar-nyambar seperti berpuluh-puluh pasang tangan yang
bergerak bersama-sama. Pengalaman-pengalaman serta latihan-latihan yang
ditekuninya selama ini, ternyata menempatkannya pada kedudukan yang
menguntungkan. Apalagi kali ini orang yang bernama Sendang Papat itu
benar-benar mengamuk tanpa terkendali. Perkelahian itu ternyata telah memancing
berkobarnya kembali pertempuran kecil di tanah lapangan itu.
No comments:
Post a Comment