Bagian 064


KATA-KATA itu tajamnya seperti sembilu. Mereka yang semula terseret oleh arus kebencian kepada orang tua itu, sekali lagi menundukkan wajah mereka. Mereka menjadi sangat malu kepada diri sendiri. Seterusnya Wanamerta berkata,
“Nah, sekarang kalian boleh memilih. Tenggelam dalam lumpur kemaksiatan atau tegak kembali lewat jalan kebenaran. Atau kita menunggu masanya kita menjadi hancur dengan sendirinya, kemudian orang-orang dari kalangan hitam akan menari-nari di atas bangkai kita bersama. Sadar atau tidak sadar apa yang kalian lakukan adalah sangat menguntungkan dan mempercepat keruntuhan kita. Lahir dan batin. Sekarang kita dapat tertawa, menari dan menyanyi. Tetapi besok kita akan mati dengan bau tuak menghambur dari mulut kita. Dan kita telah kehilangan jalan untuk menghadap kembali kepada Tuhan kita.”
Tanah lapang itu benar-benar seperti padang luas yang kosong. Sepi hening. Yang terdengar kemudian adalah Wanamerta kembali, “Sekarang kalian tinggal memilih. Aku berada di pihak kalian. Dan apakah kalian pernah melihat wayang? Apakah kalian pernah mendengar ceritera Baratayuda? Pada saat Pendawa menuntut haknya kembali dari para Kurawa…?”

Juga tidak seorangpun yang memotong kata-kata Wanamerta, sehingga ia dapat meneruskan,
“Dalam ceritera pewayangan, wayang beber atau wayang kulit, diceriterakan bahwa akhir dari Baratayuda itu, yang sayang tidak memuaskan kita semua. Kenapa akhir dari Baratayuda itu menunjukkan kemenangan pihak Pendawa? Tidak Kurawa?”
Wanamerta melihat kegelisahan rakyat Banyubiru yang berdiri mengelilinginya. Pada wajah-wajah mereka tampak ketegangan yang mencekam. Tetapi masih belum seorang yang berkata sepatah katapun. Yang terdengar kemudian adalah suara Wanamerta kembali,
“Nah, baiklah lain kali kita mengadakan pertunjukan wayang tujuh hari tujuh malam. Sejak Kresna Duta sampai Karna Tanding, lalu seterusnya kita ubah, Arjuna lah yang mati oleh Adipati Karna dari Awangga. Dan seterusnya berturut-turut habislah Pandawa setelah para putra gugur lebih dahulu. Juga Parikesit kita bunuh.”
Meskipun Wanamerta bercakap terus, namun perhatiannya tidak terlepas dari setiap wajah yang dengan tenang dan gelisah mendengar kata-katanya. Ceritera wayang, apalagi Baratayuda dianggap keramat oleh penduduk Banyubiru. Tiba-tiba secara tepat Wanamerta mengungkapkan sindirannya dengan mempergunakan ceritera itu. Sehingga tiba-tiba terdengarlah seseorang berkata, meskipun perlahan-lahan,
“Tidak bisa Kiai, Baratayuda tidak bisa diubah demikian.”

WANAMERTA pura-pura terkejut mendengar perkataan itu. Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab,
“Kenapa tidak bisa? Bukankah Prabu Astina, Prabu Kurapati dapat memberi kepada rakyatnya keleluasaan seperti yang kita kehendaki. Sabung ayam, judi, tayub, tuak dan sebagainya, sedang orang-orang Pendawa sepanjang hidupnya hanya prihatin saja?”
“Tidak, Kiai,” terdengar suara yang lain,
“Kita tidak menghendaki demikian. Kita tidak menghendaki seperti orang-orang Astina di Banyubiru.”
“He…?” kembali Wanamerta pura-pura terkejut.
“Apakah yang kau katakan?”
“Kami tidak menghendaki hal itu terjadi di Banyubiru,” ulang suara itu.
“Yang mana tidak kau kehendaki? Bukankah raja Astina Ratu Gung Binatara, Raja yang kaya? Bukankah adinda baginda yang berjumlah 99 orang itu semuanya pandai berjudi, tayub dan tuak? Bukankah di Astina ada seorang pendeta yang putus saliring ilmu, agal alus, yang kasat mata, yang tidak kasatmata? Yang bernama Dorna?”
“Tidak… tidak…” terdengar beberapa orang memotong kata-kata Wanamerta,
“Kami tidak menghendaki itu.”
“Itu yang mana…?” Wanamerta memancing ketegasan mereka.
“Judi. Kami tidak mau judi,” jawab yang lain.
“O, hanya itu saja?” desak Wanamerta.
“Tidak. Tidak hanya itu. Kami tidak mau tuak,” jawab beberapa suara berbareng.
“Judi dan tuak itu saja?” Wanamerta merasa bahwa ia hampir mencapai maksudnya.
Dan ada yang didengarnya kemudian sangat menyenangkannya. Orang-orang Banyubiru itu kemudian berteriak,
“Tidak. Kami tidak mau judi, tuak, tayub dan sabung ayam. Kami bukan orang-orang Astina. Kami adalah orang-orang Banyubiru.”
“Tunggu dulu,” potong Wanamerta,
“Bukankah putra-putra Astina berada dalam asuhan Maha Pendeta Dorna yang bijaksana, yang dapat memberikan kepada mereka kenikmatan jasmaniah, rohaniah dalam kekuasaan mereka atas Astina?”
“Kami tidak mau pendeta itu. Kami tidak mau orang semacam Dorna.” Terdengar mereka berteriak-teriak,
“Pendeta degleng, pendeta bermulut ular.”
“Jadi bagaimana seterusnya? Bagaimana dengan akhir dari Baratayuda itu?” tanya Wanamerta.
“Prabu Kurupati terbunuh. Semua adik-adik terbunuh. Pendeta Dorna mati di tangan Drestajumena yang berhasil memancung lehernya,” sahut mereka bersama.
“Tetapi dengan demikian masyarakat yang kita cita-citakan. Jadi, kemenangan Pendawa berarti kemenangan keprihatinan dari kemenangan lahiriah, tetapi juga berarti kemenangan dari jiwa rohaniah yang tawakal, percaya kepada keadilan Yang Maha Pencipta. Dengan demikian kita tidak akan dapat membayangkan masyarakat seperti masarakat kita malam ini. Tetapi masyarakat yang bekerja keras menuju tata kehidupan yang tenteram damai tata tentrem karta raharja, gemah ripah lohjinawi”.

Semua terdiam. Hening. Sepi. Seandainya sepotong lidi jatuh di tengah lapang itu, suaranya pasti akan sangat mengejutkan. Angin malam yang lembut mengusap wajah-wajah yang terbanting-banting. Dalam keheningan itu tiba-tiba terdengar suara Wanamerta gemuruh seperti guruh yang membelah langit-langit lapis,
“Hei rakyat Banyubiru, katakan kepadaku sekarang, adakah kalian masih tetap pada pendirian kalian? Supaya aku membiarkan kalian hanyut dalam arus kesenangan lahiriah, yang berpangkal melulu pada nafsu yang tak terkendali seperti sekarang ini?”
Tak ada suara yang terdengar. Karena itu Wanamerta meneruskan,
“Jawablah pertanyaanku. Adakah kalian masih akan meneruskan cara hidup kalian sekarang ini? Judi, tuak, tayub dan berkelahi sesama kita karena kita sudah mabuk…?”
Mula-mula yang terdengar hanyalah suara-suara bergumam. Namun kemudian terdengarlah suara mereka saur manuk,
“Tidak…tidak… tidak….”
Wanamerta kemudian meneruskan,
“Nah, dengarlah baik-baik. Aku ingin bertanya sekali lagi, apakah cara hirup kita ini akan kita akhiri?”
“Ya, Kiai, ya, ya, kita akhiri sampai di sini,” sahut mereka berebut keras.
“Bagus. Itulah yang aku harapkan. Rakyat Banyubiru yang sejati. Kalian harus melupakan racun yang dengan perlahan-lahan membunuh kalian, membunuh semangat kalian, sehingga kalian lupa pada masyarakat yang kalian cita-citakan, lupa kepada kampung halaman, lupa kepada pribadi kalian. Nah, dengarlah baik-baik. Arya Salaka itu akan datang. Benar-benar akan datang.”
Tiba-tiba meledaklah suara mereka gemuruh.
“Kita sambut anak muda itu diantara kita. Kita sudah sampai pada ceritera Lahirnya Parikesit. Dan Parikesit itu akan datang membebaskan kita.”
Teriakan-teriakan yang gemuruh itu mengumandang sampai beberapa saat. Tiba-tiba diantara suara gemuruh itu terdengar sebuah teriakan,
“Belum. Kita belum sampai ke sana. Kita masih harus menyelesaikan Baratayuda dahulu.”
“Marilah kita tuntut hak kita, hak atas tanah dan kampung halaman sendiri,” teriak yang lain.
Dalam keriuhan itu terdengarlah suara Sontani menggelegak menggetarkan tanah lapang itu,
“Omong kosong! Omong kosong semuanya. Apakah yang akan kalian tuntut? Tak seorangpun merasa kehilangan hak atas tanah ini sekarang.”
Tiba-tiba suara riuh itu mereda.
Karena itu Sontani meneruskan,
“Apakah yang hilang dari milik kalian. Tanah, sawah, halaman dan rumah kalian. Bukankah barang-barang itu masih tetap di tanganmu. Dan bukankah tak ada seorangpun yang merampasnya?”
Suara riuh itu kini menjadi diam. Memang mereka yang berdiri di tanah lapang itu masih memiliki tanah mereka, sawah mereka dan rumah mereka. Tetapi kemudian terdengarlah suara Wanamerta tenang,
“Kau benar Sontani, tetapi aku dan kalian harus membayar upeti lebih dari dua kali lipat dari upeti yang harus kalian bayar dulu.”
“Benar, benar….” Kembali mereka berteriak-teriak.

MUKA Sontani menjadi merah padam. Ia merasa terdesak. Tetapi ia tidak akan membiarkan keributan itu terjadi. Kalau rakyat Banyubiru itu menerima Arya Salaka, belum pasti ia akan tetap menjabat pangkatnya yang sekarang. Ia tidak peduli apakah dengan demikian ia berkhianat atau tidak. Yang penting ia menjadi kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu Sontani harus berusaha keras untuk melawan Wanamerta.
“Upeti adalah kewajiban setiap tanah perdikan untuk membiayai tanahnya. Kalau upeti tanah ini terpaksa berlipat dua, itu adalah karena kebutuhan-kebutuhan kamipun meningkat pula,” katanya.
Wanamerta tersenyum, jawabnya,
“Apakah yang pernah dihasilkan oleh upeti itu? Adakah kau dapat membangun rumah-rumah pendidikan? Banjar-banjar desa…? Bukankah selama ini tak satu pun rumah baru berdiri di Banyubiru? Yang sudah adapun tak terpelihara lagi. Bahkan tempat-tempat ibadahpun tidak ada. Dan bukankah upeti itu mengalir ke Pamingit?”
“Benar, benar….!” Teriakan itu semakin mengumandang.
Sontani tidak dapat mengendalikan diri lagi. Ia melompat menembus lingkaran manusia yang berdiri di sekeliling Wanamerta, sambil berteriak,
“Persetan dengan sesorahmu. Kau hanya akan mengacau saja di sini. Pergi atau aku tangkap kau.”
Wanamerta masih tegak di tempatnya seperti tugu. Dengan masih setenang tadi ia menjawab,
“Jangan marah Sontani. Bukankah aku tidak berbuat apa-apa? Bukankah semula akupun telah mengatakan semuanya itu? Bahkan semula akupun telah mengatakan bahwa aku berada di pihak kalian, apapun yang kalian kehendaki. Dan sekarang kalian menghendaki meletakkan segala sesuatunya pada tempat-tempat yang sewajarnya, yang seharusnya. Tidak lebih dan tidak kurang. Bukan judi, tuak, nafsu dan kekuasaan. Inilah suatu usaha untuk menegakkan kebenaran dan keadilan yang sebenar-benarnya.”
“Jangan berkicau, menco tua. Aku perintahkan kau meninggalkan tempat ini sebelum aku sumbat mulutmu dengan tanganku.”
Sontani sudah tidak dapat menyabarkan diri lagi.
“Jangan Sontani,” jawab Wanamerta masih setenang tadi,
“Akibatnya tidak akan menjadi lebih baik.”

Tetapi Sontani telah kehilangan akalnya. Ia melangkah semakin dekat. Wajahnya yang keras dan matanya yang hitam kelam, menunjukkan betapa kerasnya hatinya. Sementara itu Sendang Papat dan Sendang Parapat telah meninggalkan tempat mereka. Dengan tanpa menarik perhatian, mereka telah berada diantara rakyat Banyubiru yang berdesak-desakan itu. Mereka melihat betapa Sontani dengan marah menghampiri Wanamerta. Tetapi karena Sontani agaknya seorang diri, maka Sendang Papat dan Sendang Parapat pun menyabarkan diri mereka dan melihat saja apa yang akan terjadi.
“Wanamerta…” kata Sontani dengan suara yang bergetar oleh kemarahannya.
“Jangan menjawab pertanyaanku. Tetapi kau hanya bisa melaksanakan. Tinggalkan tempat ini.”
Wanamerta masih belum bergerak. Tetapi orang-orang yang berdiri melingkar itu menjadi cemas. Sontani adalah seorang yang benar-benar keras hati. Ia benar-benar dapat melakukan apa saja yang ia katakan. Tetapi Wanamerta belum juga beranjak dari tempatnya. Maka ketika ia melihat Sontani semakin dekat di hadapannya, ia mencoba untuk sekali lagi menjawab.
Tetapi demikian Wanamerta menggerakkan mulutnya, Sontani sudah membentaknya,
“Jangan menjawab dengan kata-kata, pergi!” Wanamerta memandanginya dengan seksama. Dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.
Maka ketika ia sudah mendapat ketetapan hati, sengaja ia berkata,
“Kenapa tidak boleh?” Sontani telah benar-benar marah. Ketika ia mendengar Wanamerta masih berkata lagi, ia tidak dapat mengendalikan dirinya.
Dengan satu loncatan ia telah berhasil menangkap baju Wanamerta dan mengguncangnya sambil membentak,
“Jangan menjawab. Kau hanya bisa pergi dari sini.”

Gerakan Sontani itu tiba-tiba telah menggerakkan semua orang yang berdiri di sekeliling mereka berdua. Tiba-tiba mereka menjadi sedemikian benci terhadapnya. Terhadap orang yang gila pangkat dan gila hormat itu. Ketika Sontani sekali lagi mengguncang baju Wanamerta, terdengarlah sebuah teriakan,
“Lepaskan dia Sontani, lepaskan.”
Sontani melirik ke arah suara itu. Namun ia tidak mau mendengarkan. Sehingga tiba-tiba dari arah lain terdengar pula suara, “Sontani, jangan main kekerasan.”
“Diam kalian!” bentak Sontani,
“Aku dapat berbuat apa yang aku kehandaki. Jangan turut campur.”
“Jangan keras kepala Sontani.” Terdengar suara yang lain,
“Supaya kami tidak berkeras kepala pula.” Sontani menjadi gemetar.
Tetapi suara-suara itu terus saling menyusul.
“Lepaskan dia….. Lepaskan dia…. Atau kami harus melepaskannya?”
Disusul pula dengan suara-suara yang mulai bernada kemarahan.
“Pergi kau Sontani. Pergi kau. Atau kami harus memaksa?”
Tetapi diantara teriakan-teriakan itu terdengar pula jerit pengikut-pengikut Sontani,
“Hantam dia. Hantam kambing tua itu.”
Sontani melihat pengikut-pengikutnya. Dengan demikian ia menjadi semakin sombong. Sekali lagi ia menggoncang-goncangkan baju Wanamerta itu sambil menggeram,
“Babi tua, jangan banyak tingkah.”
Pada saat itulah maka keadaan hampir tak dapat dikuasai lagi. Kedua belah pihak hampir saja bertindak, dan apabila demikian, di tanah lapang itu akan terjadi medan pertempuran kecil-kecilan.

TIBA-TIBA Wanamerta berteriak tanpa memperdulikan Sontani,
“He, orang-orang Banyubiru. Sadarlah pada diri kalian masing-masing. Jangan dibiarkan perasaan kalian menjerat kalian ke dalam suatu perbuatan yang tolol.”
Teriakan Wanamerta itu ternyata berpengaruh juga. Beberapa orang mengurungkan niatnya dan memandangnya dengan heran. Sementara itu, orang tua yang telah dipenuhi oleh pengalaman dalam pemerintahan dan pengendalian terhadap orang-orang Banyubiru itu memandang Sontani langsung ke dalam matanya. Mata yang memancarkan kemarahan, ketamakan dan nafsu yang tak habis-habisnya.
Ketika Sontani melihat mata orang tua itu, ia terkejut. Seolah-olah dari dalam mata itu memancarkan pengaruh yang aneh. Sehingga tiba-tiba Sontani membuang matanya ke arah orang-orang Banyubiru yang berdiri, dengan tenang, namun masing-masing telah bersiap untuk memukul dan berkelahi.
“Lepaskan Sontani,” kata Wanamerta lirih. Lirih saja. Tetapi bagi Sontani terdengar seperti guruh yang meledak di atas kepalanya. Ia mencoba untuk melawan pengaruh kata-kata itu dengan menggenggam baju itu lebih erat dan mencoba menarik Wanamerta ke dadanya, namun Wanamerta itu menjadi seperti tugu yang tegak dan tak tergerakkan.
Bahkan sekali lagi ia berkata lirih, “Lepaskan Sontani, lepaskan.”
Tangan Sontani bergetar. Tanpa sesadarnya tiba-tiba ia melepaskan tangannya perlahan-lahan. Ia tidak dapat melawan pengaruh perbawa orang tua yang dahulu sangat dihormatinya itu. Tetapi demikian tangannya terlepas, demikian ia sadar, bahwa Bahu Lemah Abang akan lepas dari tangannya apabila Arya Salaka benar-benar akan datang. Karena itu, didorong pula oleh kesombongannya, serta untuk menutupi kelemahannya, ia berteriak,
“Aku lepaskan kau kelinci tua, tetapi pergilah dari sini.”

Wanamerta tidak mendengarkan lagi kata-kata itu, tetapi ia berkata kepada orang-orang Banyubiru,
“Apa yang kalian lakukan? Aku lihat kalian akan berkelahi satu sama lain”.
Mereka yang membenarkan kata-kata sebagian besar dari kalian, melawan mereka yang berpihak kepada Sontani.
“Kenapa kalian…? Bukankah kalian sama-sama orang Banyubiru? Aku berterima kasih kepada kalian yang berusaha untuk menyelamatkan aku. Aku tahu itu. Dan aku berbangga pula melihat pengikut-pengikut Sontani yang berani, meskipun jumlah mereka tidak sebanyak yang lain. Tetapi aku sedih melihat pertentangan kalian. Aku sedih melihat kalian akan bertempur satu sama lain, sesama orang Banyubiru.”
Keadaan menjadi hening. Tetapi orang-orang yang mendengar kata-kata itu menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak tahu maksud perkataan itu. Bagaimanakah seharusnya mereka berbuat? Bukankah mereka harus merebut hak atas tanah ini? Tetapi mereka tidak boleh berbuat apa-apa.
Wanamerta melihat keragu-raguan itu. Karena itu ia menjelaskan,
“Anak-anakku, jangan berbuat sendiri-sendiri. Hal itu sama sekali tidak akan menguntungkan. Tidak bagiku dan tidak bagi Sontani. Yang harus kalian lakukan hanyalah menempa tekad untuk melebarluaskan berita itu. Kalian hanya akan menyambut kedatangannya dua tiga hari lagi di tanah ini dengan tombak Kyai Bancak di tangannya. Pembicaraan seterusnya biarlah dilakukan oleh yang berhak membicarakannya. Yaitu Arya Salaka dan yang mengembaninya, yaitu Mahesa Jenar. Selebihnya tunggu perintahnya.”
Wanamerta masih melihat keheranan terbayang di wajah mereka. Keheranan seperti yang terbayang di wajah-wajah laskar Banyubiru di Gedong Sanga ketika mendengar keputusan Mahesa Jenar bahwa mereka masih harus menunggu. Tetapi disamping itu Wanamerta merasa berbangga bahwa ia dapat langsung berbicara dengan mereka dan memberikan kepada mereka jalan lurus yang harus mereka tempuh. Meskipun ia yakin bahwa apa yang sudah dicapainya itu tidak boleh terlepas lagi.

Tetapi sementara itu Sontani menjadi bermata gelap. Ia tidak dapat mendengar, otaknya tak dapat menahannya. Karena itu dengan suara yang mengguruh ia berkata,
“Wanamerta, baiklah kalau kau tidak mau pergi. Dan baiklah kalau kau masih akan berteriak-teriak terus. Karena aku sudah cukup memberi kau kesempatan, aku sekarang terpaksa bertindak terhadapmu. Menyumbat mulutmu.”
Wanamerta melihat mata Sontani telah menyala-nyala. Ia tidak mungkin lagi menghindari bentrokan dengannya. Tetapi ia tidak mau orang-orang Banyubiru terlibat ke dalam bentrokan itu. Orang-orang yang sebenarnya tidak banyak menentukan penyelesaian masalah hanya karena berkelahi sesamanya.
Karena itu ia menjawab,
“Baiklah Sontani. Kau ingin aku diam, tetapi aku ingin berbicara terus. Kita berlawanan kehendak. Karena itu terserah apa yang akan kau lakukan dan biarlah aku mencoba untuk berbuat atas kehendakku pula. Tetapi satu hal yang akan aku katakan kepada orang-orang Banyubiru dan termasuk pengikut-pengikutmu. Tenaga mereka masih sangat diperlukan buat masa depan. Buat ketentraman terakhir. Karena itu kalau ada perbedaan pendapat diantara kau dan aku, janganlah menyangkut mereka.”
Sontani mendengar kata-kata itu. Ia sadar bahwa kata-kata itu berarti suatu tantangan tanding seorang lawan seorang. Ia menjadi bergembira, sebab iapun tahu bahwa pengikutnya tidak sedemikian banyak berada di tanah lapang itu.
Maka ia menjawab lantang,
“Suatu kehormatan bagiku orang tua yang sombong. Dahulu aku mengagumimu. Tetapi waktu itu aku adalah seekor anak ayam yang kagum melihat ayam jantan berkokok di atas pagar. Tetapi sekarang tidak. Akulah ayam jantan itu.”
Wanamerta menarik nafas. Ia adalah seorang yang mempunyai cukup pengalaman. Ia adalah emban kepala daerah perdikan ini. Sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana, ia telah menjabatnya.
Karena itu iapun cukup tajam untuk menilai seseorang. Terhadap Sontani, iapun dapat menilai pula dengan tepat. Ia tidak lebih dari seorang yang besar kepala, sombong dan keras hati.
“Kau benar,” jawab Wanamerta,
“Kau adalah ayam jantan itu. Hanya saja kau adalah ayam jantan yang berkokok setelah matahari hampir terbenam.”

SONTANI menggeram. Sekali dua kali ia melihat berkeliling. Tetapi ia tidak melihat Sendang Papat dan Sendang Parapat yang tersenyum melihat kesombongannya. Sontani dengan sombongnya seolah-olah berkata kepada rakyat Banyubiru,
“Inilah aku, Sontani Bahu dari Pedukuhan Tanah Abang.”
Kemudian kepada Wanamerta ia berkata,
“Wanamerta, bukan salahku kalau kemudian tanganmu patah, atau lehermu terpuntir. Sebab kau adalah orang tua yang tak tahu diri.”
Wanamerta tersenyum. Senyum yang sangat menjemukan bagi Sontani. Karena itu ia menggeram sekali lagi dan berkata, “Bersedialah. Lihatlah bintang-bintang di langit dengan seksama, barangkali ini untuk yang terakhir.”
“Yang terakhir?” tanya Wanamerta heran.
“Ya, sebab ada suatu kemungkinan, bahwa dengan tersentuh tanganku kau akan mati,” jawab Sontani dengan sombongnya. Wanamerta mengangguk-angguk. Sontani benar-benar sombong. Dan kesombongan itu menjengkelkan sekali.
Maka jawab Wanamerta,
“Gemintang yang bercahaya-cahaya itu. Jadi aku tidak akan memandangnya untuk yang terakhir kalinya. Tetapi kalau kau yang mati, mungkin karena pokalmu sendiri, kau akan berdiam menjadi ampas Rawa Pening.”
Hati Sontani menjadi semakin menyala. Dan tiba-tiba saja ia berteriak,
“Jagalah mulutmu baik-baik Wanamerta, sebab aku ingin sekali meremasmu.” Wanamerta segera bersiaga, dan dengan suatu loncatan yang cepat, Sontani mulai menerjang. Beberapa orang yang berdiri disekitarnya berdesakan mundur.
Dada mereka tergoncang. Sontani adalah seorang yang kasar dan keras hati. Karena itu serangannya pun kasar pula. Beberapa orang menjadi cemas apakah Wanamerta dapat menjaga dirinya menghadapi Bahu Pedukuhan Lemah Abang yang sedang gila untuk mempertahankan kedudukannya itu. Wanamerta heran melihat serangan Sontani yang dapat demikian cepat. Ia mengenal Sontani lima tahun yang lalu, sebagai seorang yang selalu merasa tidak puas. Dan sekarang orang itu berjuang untuk mempertahankan kepuasan-kepuasan yang pernah dicapainya. Kepuasan-kepuasan lahiriah yang tak berharga sama sekali.

Wanamerta segera menghindarkan diri dengan satu gerakan yang sederhana. Dan itu menambah kemarahan Sontani. Meskipun beberapa tahun yang lampau ia benar-benar mengagumi orang tua itu, tetapi sementara ini ia merasa bahwa ia telah bertambah dewasa dalam ilmu tata perkelahian. Dengan gerakan-gerakan yang keras, ia bertempur dengan penuh nafsu. Tangannya bergerak berputar-putar, seolah-olah roda yang berputar-putar hendak menggilas lumat orang tua yang memuakkan itu. Mengalami serangan yang datang bertubi-tubi itu, Wanamerta menarik dirinya beberapa langkah surut. Ia baru dalam taraf mempelajari gerakan-gerakan lawannya yang cukup cepat dan berbahaya itu. Tetapi Sontani yang sedang marah itu tidak memberinya kesempatan. Sebagai seekor harimau yang gila, ia meloncat menerkam, menghantam, bertubi-tubi. Tetapi Wanamerta cukup berpengalaman. Karena ia merasa lebih tua, maka ia menjaga agar ia tidak kehabisan nafas di tengah jalan. Karena itu ia bertempur dengan sangat menghemat tenaga. Meskipun demikian, setiap gerakan Wanamerta cukup memberi perlawanan yang gigih. Sehingga setelah beberapa saat mereka bertempur, Sontani sama sekali tak berhasil menyentuhnya. Karena itulah maka hatinya menjadi semakin membara. Dengan demikian ia menjadi semakin buas dan liar. Sontani mengerahkan segenap tenaganya untuk secepatnya menghancurkan orang tua yang akan menjadikan sebab hilangnya kekuasaan yang sudah berada di tangannya atas pedukuhan Lemah Abang yang subur di pinggiran kota Banyubiru itu. Menghadapi serigala yang marah itu, Wanamerta harus berhati-hati pula. Sebab segala gerakan Sontani selalu dilambari oleh segenap kekuatannya. Dan ia adalah orang yang cukup mempunyai tenaga. Hanya sayang bahwa tenaganya tidak disalurkannya dengan tepat. Bahkan seperti terhambat tak berarti. Tetapi meskipun demikian, apabila serangannya itu dapat mengenai sasarannya, agaknya akan berbahaya juga. Karena Wanamerta masih selalu menghindari serangan-serangan Sontani, maka seolah-olah Wanamerta menjadi terdesak. Rakyat yang berdiri di sekitar perkelahian itu menjadi cemas, sebab mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan Sontani pun berpendapat demikian pula, meskipun ia hampir tidak sabar karena serangan-serangannya tak pernah mengenai sasarannya. Diantara para penonton itu tampak Sendang Papat dan Sendang Parapat tersenyum-senyum.
Lima tahun yang lampau, memang agaknya Sendang Papat dan Sendang Parapat itu tidak lebih dari Sontani. Tetapi setelah mereka menggembleng diri di bawah asuhan Ki Dalang Mantingan, Wirasaba, bahkan kemudian mereka itupun mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar sendiri. Maka ia melihat betapa lemahnya serangan-serangan Sontani. Mereka dengan tersenyum melihat betapa Wanamerta dengan sabarnya melayani permainan Sontani yang menjemukan dan sama sekali tidak bermutu.

WANAMERTA tidak ingin melihat keadaan semakin keruh. Agaknya Wanamerta berusaha untuk mengalahkan Sontani tanpa melukainya. Tetapi Sontani agaknya benar-benar orang yang tidak berotak. Ia sama sekali tidak menyadari keadaan. Karena itu ia malahan menjadi semakin berbesar hati dan sombong. Bahkan kemudian ia berteriak-teriak,
“Jangan berlari-lari seperti kelinci menghadapi serigala, Wanamerta yang malang. Agaknya kau telah terjerumus karena kesombonganmu ke dalam sudut yang celaka. Tetapi janganlah kau ingkar pada kejantananmu. Kepada sesumbarmu yang seolah-olah membelah langit.”
Wanamerta menggeleng lemah. Sambil menghindari serangan Wanamerta, Sontani berkata,
“Ha, kau sudah semakin ketakutan. Aku beri kau kesempatan sekali lagi. Berjongkoklah dan minta maaf kepada Bahu Pedukuhan Lemah Abang agar kau kuampuni karena kesalahanmu. Setelah itu kau harus meninggalkan lapangan ini dengan merangkak sampai ke batas tanah lapang.”
“Sejak umur setahun aku sudah tidak biasa lagi merangkak, Sontani. Maafkan kalau aku tidak dapat memenuhi permintaanmu,” jawab Wanamerta. Sontani membelalakkan matanya. Ia mengharap Wanamerta benar-benar minta maaf kepadanya, meskipun seandainya ia tidak dapat memenuhi perintahnya itu seluruhnya. Tetapi tiba-tiba Wanamerta menjawab sedemikian menyakitkan hati. Karena itu sekali lagi Sontani berkata untuk menghina orang tua itu,
“Aku beri kesempatan dalam hitungan lima kali. Setelah itu tak ada kesempatan lagi bagimu. Kalau akan aku tangkap, aku cukur gundul dan aku arak berkeliling kota besok pagi.”
Wanamerta tidak menjawab. Ia membiarkan saja Sontani menghitung untuk memuaskan hatinya. Tetapi ketika Sontani sampai ke hitungan yang ketiga, tiba-tiba Wanamerta mulai dengan melontarkan beberapa serangan balasan. Sontani terkejut. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Wanamerta yang tua itu masih mampu bergerak sedemikian cepat dan berturut-turut. Karena itu ia sama sekali kurang bersiaga, sehingga beberapa serangan Wanamerta itu berturut-turut mengenai tubuhnya. Tidak hanya sekali, tetapi dua-tiga kali, sehingga ia terdorong beberapa langkah surut.

Mengalami perisitwa itu tiba-tiba mata Sontani yang hitam kelam itu menjadi memerah darah, seolah-olah dari sana menyembur api yang menyala-nyala. Dadanya terasa sesak, bukan karena sakit oleh serangan lawannya, tetapi karena perasaan yang bercampur baur. Marah, malu, muak dan segala macam. Tetapi dalam pada itu, ia menjadi semakin bernafsu untuk menghancurkan musuhnya itu. Dalam tanggapannya, serangan Wanamerta itu adalah karena kelengahannya. Meskipun demikian ia sama sekali tidak menjadi jera, sebab pukulan Wanamerta, meskipun mengenainya tetapi tidak menyakitkan. Namun dengan perasaan itu ia telah membuat kesalahan untuk yang kedua kalinya. Ia tidak menyadari bahwa Wanamerta sebenarnya tidak menggunakan seluruh tenaganya. Ia hanya mempergunakan kecepatan dan mendorong dada Sontani, menyentuh pundaknya dan dengan kaki ia menyinggung lambungnya. Tetapi kemarahan Sontani telah benar-benar menggelapkan pikirannya. Ia benar-benar sudah tidak dapat menimbang untuk rugi dari perbuatannya itu. Dengan demikian ia menjadi semakin membabi buta. Menerjang, menghantam, memukul dengan penuh nafsu. Ia berkelahi seperti serigala gila sedang kelaparan. Dari mulutnya terdengarlah nafasnya memburu dan geramnya yang seram. Wanamerta membiarkan Sontani bertempur dengan cara yang demikian. Ia mengharap Sontani akan kehabisan tenaga dan berhenti dengan sendirinya. Dengan demikian ia tidak mengalahkannya dengan menyinggung kehormatannya beserta pengikut-pengikutnya. Tetapi Sontani berpendirian lain. Karena pikirannya yang gelap itulah ia tidak dapat menimbang apa yang akan dilakukan. Apakah akibat yang bakal timbul, dan apakah itu akan menimbulkan korban ataukah tidak. Ketika ia merasa bahwa tenaganya sudah mulai berkurang karena peluh yang sudah membasahi tubuhnya seperti orang mandi, ia menjadi tidak bersabar lagi. Ia ingin dengan segera menangkap dan menghinakan lawannya di hadapan umum.

Sedangkan Wanamerta benar-benar licin seperti belut. Sebenarnya heranlah Sontani, bahwa orang setua itu masih mampu menghindarkan diri dari serangan-serangannya yang mengalir seperti banjir. Tetapi bagi Wanamerta, Sendang Papat dan Parapat, gerakan-gerakan itu sama sekali tidak seperti banjir sungai yang paling kecil sekalipun. Gerakan-gerakan itu tidak lebih dari gerakan-gerakan yang hanya dikendalikan oleh nafsu dan kesombongan. Kepercayaan yang berlebih-lebihan terhadap diri sendiri, sehingga tidak mampu lagi untuk melihat kenyataan. Perasaan yang demikian itulah yang mendorong seseorang ke dalam sudut kekalahan. Sebab kesombongan dan sikap menghina lawan adalah unsur utama dari kekalahan itu sendiri. Demikian juga Sontani. Ia merasa dirinya berlebihan. Tetapi sekali waktu ia mengalami peristiwa yang ia takut mengakuinya. Ia takut berpikir bahwa sebenarnya Wanamerta adalah lawan yang tak dapat dikalahkan. Oleh karena itu, oleh perasaan yang bercampur baur itulah kemudian ia menjadi bermata gelap. Dengan penuh kemarahan ia berteriak nyaring,
“He Wanamerta, bertempurlah dengan laku seorang jantan. Jangan hanya mampu berlari dan menghindar. Bertahanlah, dan marilah kita sama-sama mengangkat dada.”
“Hem…” gumam Wanamerta. Di dalam hati ia mulai menyesali sikap Sontani yang keras kepala itu. Tetapi ia menyabarkan diri. Ketika beberapa saat kemudian Wanamerta masih belum menjawab, sekali lagi Sontani berteriak,
“Hai, kelinci betina. Bertempurlah dengan dada tengadah. Jangan lari berputar-putar seperti ayam disembelih. Kalau kau takut mati dalam pertempuran ini, bertobatlah dan mintalah ampun.”

WANAMERTA menggeleng lemah. Tetapi ia tetap menunggu sampai Sontani kehabisan tenaga. Karena itu perlahan-lahan ia menjawab,
“Kau belum sampai ke hitungan yang kelima, Sontani.”
Alangkah sakitnya hati Sontani. Ia sendiri sudah lupa pada hitungan itu karena serangan Wanamerta yang tiba-tiba. Sekarang dari lawannya itu ia mendapat peringatan akan kelalaiannya. Karena itu ia menjadi bertambah marah dan tiba-tiba terjadilah apa yang dicemaskan oleh Wanamerta. Apa yang sejak semula dihindari, sehigga ia lebih senang menghindari serangan Sontani itu terus menerus tanpa menjatuhkannya.
Dengan penuh kemarahan, Sontani berteriak,
“Hei orang-orang Lemah Abang yang setia. Tangkap kelinci tua ini.”
Perintah itu benar-benar menggetarkan hati Wanamerta. Bukan karena ia takut seandainya ia terpaksa melawan seluruh pengikut Sontani, bahkan seandainya ia terpaksa mati karenanya. Tetapi dengan menggerakkan pengikutnya, Sontani harus menghadapi akibat yang barangkali tak pernah dipikirkan.
Karena itu Wanamerta mencoba mencegahnya. Dengan nyaring ia berteriak,
“Tunggulah Sontani.”
Sontani benar-benar telah kesurupan setan. Ia tidak mendengar seruan itu, bahkan beberapa orang pengikutnya yang mendengarnya menganggap bahwa Wanamerta telah menjadi ketakutan. Dengan demikian mereka semakin bernafsu dan berloncatan maju, mendesak orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Bahkan beberapa orang mereka dorong jatuh tanpa peringatan apapun. Gelang raksasa yang terdiri dari manusia yang berjejal-jejal itu tampak bergerak-gerak. Beberapa orang masih belum sadar apa yang akan terjadi. Baru ketika beberapa orang berloncatan memasuki arena, tahulah mereka bahwa Sontani bersama-sama dengan pengikutnya akan menangkap Wanamerta itu beramai-ramai.

Itulah permulaan dari bencana yang menimpa diri Sontani. Sebab orang-orang yang telah terbuka hatinya, melihat kebenaran keadilan, tidak rela Wanamerta menjadi makanan pesta dari orang-orang yang hanya dapat menghitung kebenaran dari kepentingan mereka sendiri. Karena itulah maka merekapun serentak, tanpa perintah dari siapapun, bergerak melawan orang-orang Sontani. Sehingga di lapangan terbuka itu terjadilah semacam perang kecil-kecilan antara para pengikut Sontani melawan orang-orang Banyubiru yang lain. Sendang Papat, Sendang Parapat dan beberapa orang kawannya telah berdiri di sekitar Wanamerta. Mereka harus menjaga keselamatan orang tua itu. Orang tua yang telah menjadi emban kepala daerah perdikan Banyubiru sejak masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipayana.
“Apa yang akan kita lakukan, Kiai?” tanya Sendang Papat. Wanamerta tegak seperti patung, mulutnya komat-kumit, namun belum terdengar ia berkata. Tetapi dari matanya telah terlontar betapa ia menyesal melihat hal ini terjadi. Tawuran antara rakyat dan rakyat yang sebenarnya sama-sama menanti masa depan yang lebih menyenangkan. Sontani sendiri tiba-tiba didorong oleh hiruk-pikuk menjauhi Wanamerta.
Dengan penuh kemarahan ia berkelahi. Namun lawannya terlalu banyak. Karena itu ia terpaksa mundur dan mundur. Demikian pula agaknya para pengikutnya. Mereka ternyata korban lawan. Lawan yang dengan penuh kemarahan melawan mereka. Bagaimanapun kuatnya Sontani, dan bagaimanapun para pengikutnya berkelahi membabi buta, namun akhirnya mereka terpaksa mengalami perlakuan yang sama sekali tak mereka harapkan. Demikian pula Sontani. Meski ia telah berkelahi mati-matian namun akhirnya ia tidak berhasil melepaskan diri dari tangan orang-orang yang semula dianggapnya tak akan menghalangi tindakannya. Beberapa orang menangkapnya dan memegangi tangan serta kakinya.

Beberapa orang mencoba memukulnya pada bagian-bagian tubuhnya sekenanya. Sontani meronta-ronta sejadi-jadinya. Tetapi tangan orang-orang itu terlalu keras, dan ia tak mampu melepaskan diri dari mereka yang tak terkendali lagi itu. Wanamerta melihat bahaya itu. Bagaimanapun juga ia tak menghendaki adanya korban. Karena itu hampir tak terdengar dari sela-sela bibirnya yang bergetar ia berkata,
“Sendang, selamatkanlah Sontani itu.”
Sendang Papat dan Sendang Parapat adalah orang muda yang selama ini ikut merasakan betapa tekanan-tekanan yang telah dialami oleh orang-orang Banyubiru dari orang-orang semacam Sontani itu. Di hadapan hidungnya ia melihat Sontani telah berusaha untuk menghina Wanamerta, sesepuh tanah perdikan ini. Karena itu, ketika ia mendengar perintah Wanamerta, mereka menjadi heran dan ragu, sehingga Wanamerta terpaksa mengulangi,
“Sendang…” suaranya perlahan-lahan,
“Selamatkan Sontani.”
Sendang Papat dan Sendang Parapat sadar dari keragu-raguannya. Bagaimanapun perasaannya bergolak di dalam dadanya, namun mereka adalah orang-orang yang patuh. Karena itu mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan sigapnya mereka meloncat diantara orang yang bergolak seperti gabah diinteri itu, menyusup langsung ke arah Sontani. Dengan mempergunakan pengalaman-pengalaman serta kelebihan-kelebihan mereka, merekapun segera berhasil berdiri di samping Sontani yang sedang meronta-ronta itu.
Dengan penuh tenaga, Sendang Papat berteriak mengatasi keriuhan suara orang-orang Banyubiru yang marah itu,
“Hai, kawan-kawan yang baik. Aku harap kerelaan kalian. Serahkanlah orang ini kepadaku.”
Beberapa orang yang dekat berdiri dengan Sendang Papat itu terkejut, ketika mereka memandanginya, dalam samar-samar sinar obor yang jauh. Bukankah yang berteriak itu Sendang Papat…?
Tiba-tiba seorang diantara mereka berkata,
“He, adakah kau Adi Sendang Papat?”
“Ya,” jawabnya singkat.

DARI arah lain terdengar suara,
“Dan inilah adiknya, Sendang Parapat.”
“Bagus, bagus,” teriak yang lain,
“Bukankah kau datang untuk membunuhnya?”
“Lepaskan dia,” kata Sendang Papat keras-keras.
Beberapa orang menjadi ragu-ragu. Tetapi Sendang Papat mendesakkan kata-katanya pula,
“Lepaskan dia. Berhentilah berkelahi. He, yang di sana, berhentilah berkelahi.”
Suara itu disahut oleh Sendang Parapat dan oleh beberapa kawan-kawan yang datang bersamanya. Karena suara-suara itulah maka perkelahian itu terpengaruh pula. Peperangan itu semakin lama menjadi mereda, dan akhirnya berhenti, meskipun masing-masing wajah masih diliputi oleh ketegangan dan kemarahan.
“Serahkan orang itu kepadaku,” kata Sendang Papat dengan kewibawaan yang mengagumkan orang-orang yang berdiri di sekitarnya. Namun meskipun demikian tampak mereka ragu, seperti Sendang Papat mula-mula juga ragu. Di sebelah lain berdiri dengan kaki renggang, adiknya Sendang Parapat.
“Apakah kalian keberatan?” desak Sendang Papat. Matanya beredar berkeliling. Memandang wajah-wajah yang penuh mengandung pertanyaan. Sedang Sontani sendiri, yang berdiri di hadapan Sendang Papat, tidak pula kalah herannya. Ia tahu benar bahwa Sendang Papat adalah salah seorang yang dikejar-kejarnya selama ini seperti juga Bantaran, Penjawi, Jaladri dan yang lain-lainnya lagi.
Tiba-tiba dari antara mereka, yang berdiri berkeliling itu terdengar sebuah pertanyaan,
“Akan kau apakan dia, Sendang Papat?”
Sendang Papat sendiri untuk sesaat bingung mendengar pertanyaan itu. Tetapi kemudian ia menjawab,
“Serahkanlah kepada kebijaksanaan Kiai Wanamerta.”
“Apa yang akan dilakukan?” bertanya yang lain.
“Ia tahu apa yang akan dilakukan,” jawab Sendang Papat.

Keadaan menjadi sepi. Sepi namun penuh keraguan. Masing-masing mencoba mengangan-angankan apakah kira-kira yang akan dilakukan oleh Wanamerta. Tetapi sepi itu tiba-tiba dipecahkan oleh suatu peristiwa yang tak terduga-duga, yang merusak suasana yang hampir baik kembali itu. Tiba-tiba dari sela-sela orang yang mengerumuni yang pucat lesu itu meloncatlah seseorang yang dengan serta merta menyerang Sendang Parapat. Sebuah tusukan yang kuat mengenai lambung kirinya, sehingga terdengar ia mengaduh. Tetapi Sendang Parapat adalah seorang yang terlatih. Karena itu sedemikian ia merasakan sebuah tusukan mengenai dirinya, selain tanpa sesadarnya ia mengaduh perlahan, namun dengan cepatnya ia bergerak dengan tenaganya yang terakhir, menangkap tubuh orang yang menusuknya itu, sehingga ketika orang itu akan melarikan diri, tubuh Sendang Parapat yang lemah terseret beberapa langkah. Tetapi dengan demikian orang itu tidak dapat segera melenyapkan dirinya ke dalam gerombolan orang-orang yang masih berdiri di sana sini. Ia terpaksa berhenti mendorong Sendang Parapat untuk melepaskan pegangannya yang seolah-oleh terkunci. Dalam saat itulah Sendang Papat, memandangi kejadian itu dengan mata terbelalak. Tusukan yang mengenai adiknya, pada saat ia sedang melindungi Sontani, yang dibencinya, adalah serasa tusukan pada dadanya, yang ditutupinya rapat-rapat, kini seolah-olah tersiram minyak. Seperti kawah gunung berapi yang tak menemukan jalan, tiba-tiba meledaklah kemarahan Sendang Papat.

Ia sempat melihat adiknya berputar cepat sekali, dan menangkap pergelangan tangan orang yang menusuknya. Ia melihat tubuh adiknya yang telah lemah itu terseret beberapa langkah. Maka ia sendiri kemudian seperti thathit meloncat beberapa langkah ke arah orang yang mendorong adiknya, untuk melepaskan pegangannya. Demikian Sendang Parapat terlepas, dan tubuhnya terbanting di tanah, demikian Sendang Papat sampai kepada orang itu. Wajah Sendang Papat tiba-tiba berubah. Seolah-olah di dalamnya tersembunyi malaikat pencabut nyawa. Dengan tidak berkata sepatah katapun, ia menyerang orang yang menusuk adiknya itu. Orang itupun agaknya sadar pula. Karena itu iapun segera melawan serangan itu. Sendang Papat benar-benar marah. Tenaganya menjadi seakan-akan belipat-lipat. Seperti badai yang tak tertahan lagi ia menerkam orang yang menusuk lambung adiknya. Betapa orang itu mencoba melawannya, tetapi ternyata Sendang Papat bukanlah lawannya. Karena itu ia terdorong surut beberapa langkah, yang kemudian disusul sebuah pukulan dengan tenaga tergenggam pada dagunya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga orang itu seolah-olah terangkat beberapa jengkal dan terlempar ke belakang, untuk kemudian dengan kerasnya pula terbanting ke tanah.
Sendang Papat sendiri mata gelap. Ia tidak ingat lagi kata Wanamerta, ia tidak ingat lagi pesan Mahesa Jenar dan pemimpin-pemimpin yang lain. Yang teringat hanyalah, seorang dengan licik dan curang telah menusuk adiknya. Seperti seekor harimau ia meloncat ke atas tubuh orang itu, dan dengan sekuat tenaga seperti hujan yang tercurah dari langit, ia menghantam bertubi-tubi wajah orang itu. Terdengarlah orang itu berteriak ngeri. Tetapi juga teriakan itu seolah-olah tak terdengar oleh Sendang Papat yang sedang marah.
Orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu, justru menjadi terdiam seperti patung. Dengan mata terbelalak pula mereka menyaksikan kejadian itu. Kejadian yang berlangsung sedemikian cepatnya. Sehingga apa yang mereka ketahui kemudian adalah Sendang Papat yang marah itu duduk di atas tubuh lawannya yang terlentang di tanah sambil memukulnya habis-habisan untuk mencurahkan kemarahannya yang meluap-luap. Tetapi kawan-kawan orang itu ternyata tidak tinggal diam. Ketika mereka melihat kawannya tak mampu lagi untuk bergerak, mereka pun kemudian mencoba untuk melepaskannya. Ternyata mereka adalah pengikut-pengikut Sontani.

BEBERAPA orang bersama-sama dengan mempergunakan senjata-senjata tajam yang kecil, semacam pisau-pisau runcing, menyerang Sendang Papat. Sendang Papat betapapun marahnya, namun naluri keprajuritannya segera memperingatkannya akan bahaya yang mengancam itu. Namun justru karena itulah dengan tangkasnya ia berdiri, menarik bagian dada baju orang yang menusuk adiknya itu sehingga berdiri dan dengan segenap tenaga yang ada, Sendang Papat memukul orang itu dengan tangan kanannya ke arah perutnya. Terdengarlah suaranya seperti tersumbat di kerongkongan. Tubuhnya terbungkuk dan terhuyung-huyung akan jatuh menelungkup. Pada saat itu Sendang Papat melepaskan pegangannya, dengan tangan kirinya, ia mengangkat muka orang itu menengadah, dan sekali lagi dengan tangan kanannya ia menghantam wajah itu. Ternyata orang itu sudah tidak mampu untuk mengaduh lagi. Tubuhnya demikian saja terlempar ke belakang, dan sekali lagi ia terbanting di tanah. Pada saat itu beberapa orang telah berada di sekeliling Sendang Papat dengan pisau-pisau di tangan.

Tetapi Sendang Papat adalah seorang yang terlatih menghadapi bahaya. Meskipun ia sendiri tidak mempergunakan senjata, namun ia sama sekali tidak takut melawan orang-orang itu. Karena itulah maka segera berkobar kembali perkelahian. Sendang Papat melawan lebih dari empat lima orang yang menyerangnya dari segenap penjuru. Meskipun demikian belum terlintas di dalam otak Sendang Papat itu untuk mempergunakan keris yang terselip di lambung kirinya. Demikian ia melompat kesana-kemari, seperti seekor kijang yang keriangan di padang rumput yang hijau. Tangannya menyambar-nyambar seperti berpuluh-puluh pasang tangan yang bergerak bersama-sama. Pengalaman-pengalaman serta latihan-latihan yang ditekuninya selama ini, ternyata menempatkannya pada kedudukan yang menguntungkan. Apalagi kali ini orang yang bernama Sendang Papat itu benar-benar mengamuk tanpa terkendali. Perkelahian itu ternyata telah memancing berkobarnya kembali pertempuran kecil di tanah lapangan itu.


<<< Bagian 063                                                                                              Bagian 065 >>>

No comments:

Post a Comment