Bagian 046


PASUKAN Uling dari Rawa Pening yang datang tepat pada saatnya itu telah menolong pasukan Pamingit dan Gunung Tidar yang telah terdesak menuju ke jurang kehancuran. Bahkan sekarang agaknya pasukan Gedanganlah yang terdesak dari dua arah. Agaknya mereka benar-benar berusaha menjepit dan menghimpit hancur laskar itu. Meskipun demikian, laskar Gedangan telah berjuang mati-matian. Sapit-sapit yang dipimpin oleh Wanamerta dan Arya Salaka ternyata lincah pula. Mereka yang berada di luar himpitan pasukan lawan, agaknya banyak dapat memberikan pertolongan. Dengan bergeser-geser cepat mereka dapat mengganggu pasukan-pasukan Pamingit serta rombongan-rombongan yang lain.

Namun bagaimanapun juga, kemampuan mereka terbatas. Sebagai manusia mereka tidak dapat berbuat lain, diluar batas-batas yang mungkin. Bagaimanapun tebalnya tekad mereka, namun ternyata lawan mereka benar-benar memiliki kelebihan yang tak dapat mereka atasi. Karena kenyataan itu maka Mahesa Jenar dan Kanigara beserta para pemimpin Gedangan menjadi semakin prihatin. Mereka memutar otak untuk menemukan cara, setidak-tidaknya untuk mempertahankan diri mereka supaya tidak tergilas hancur. Sedangkan mereka sendiri telah berjuang mati-matian untuk dapat menyelamatkan laskar mereka. Tetapi keadaan berjalan tidak seperti yang mereka kehendaki. Laskar-laskar liar beserta laskar Pamingit agaknya telah mencapai suatu kepastian, bahwa mereka akan dapat memenangkan pertempuran itu. Hal ini terutama disebabkan karena jumlah pimpinan mereka yang lebih banyak. Uling Putih dan Uling Kuning benar-benar seperti merajai daerah pertempurannya. Meskipun beberapa orang datang bersama-sama melawannya, namun sepasang Uling itu dengan mudahnya dapat menyingkirkan mereka seorang demi seorang. Meskipun demikian laskar Gedangan bukan laskar yang berhati kecil. Mereka melihat pemimpin-pemimpin mereka bertempur dengan gigihnya. Bahkan mereka melihat seorang gadis tanggung bertempur dipihaknya tanpa mengenal takut melawan seorang yang perkasa, Jaka Soka. Dengan demikian mereka merasa bahwa yang dapat mereka lakukan adalah bertempur sampai titik darah penghabisan.

Gemerincing senjata masih saja menggema di lembah diantara bukit-bukit kecil itu. Bahkan semakin lama menjadi semakin riuh dibarengi dengan suara-suara yang dahsyat mengerikan. Teriakan-teriakan dan geram yang penuh kemarahan disela-sela jerit kesakitan yang mengerikan. Ketika pertempuran itu masih berlangsung dengan riuhnya, matahari telah semakin berkisar ke barat menuju garis peristirahatannya. Wajah-wajah pegunungan yang semula berkilat-kilat kini telah berubah menjadi muram, semuram wajah Mahesa Jenar yang sedang bertempur sambil berpikir keras untuk menyelamatkan orang-orangnya. Yang sedikit membesarkan hatinya pada saat itu adalah semangat yang luar biasa dari laskarnya, sehingga menurut perhitungannya ia masih akan dapat bertahan sampai matahari terbenam. Setelah itu pertempuran pasti akan berhenti. Dengan demikian ia akan dapat mencari jalan dengan lebih tenang, bagaimanakah sebaiknya untuk melawan kekuatan yang jauh lebih besar dari kekuatan sendiri itu. Sedangkan apabila perlu demi tegaknya sendi-sendi kemanusiaan, maka tidak berdosalah kiranya apabila terpaksa dilepaskannya aji andalannya, Sasra Birawa. Sesaat kemudian langit telah dibayangi dengan warna merah. Tanah-tanah pegunungan menjadi semakin suram dan kehitam-hitaman. Kedua belah pihak agaknya telah mulai nampak lelah, kecuali laskar yang dibawa oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Meskipun demikian laskar Rawa Pening itupun tidak dapat bertempur dengan sepenuh tenaga, sebab cahaya suram dari matahari yang telah jemu berjalan sepanjang hari, telah tidak membantu lagi. Mereka telah menjadi ragu-ragu karena mereka sudah mulai agak sulit membedakan lawan dan kawan. Meskipun demikian, terdorong oleh kemarahan yang memuncak dikedua belah pihak, mereka masih saja bernafsu untuk bertempur.

Pada saat yang demikian, pada saat pertempuran itu sudah mulai menurun karena senja yang mengganggu, muncullah diantara mereka suatu bayangan yang mendebarkan hati. Bayangan yang tidak diketahui asal arahnya, serta apa-siapanya. Namun apa yang terjadi…? Bayangan itu telah berada di tengah-tengah arena pertempuran. Yang lebih mengejutkan lagi, bayangan itu memperdengarkan suaranya yang gemuruh,
“Ayo, berjuanglah terus laskar Gedangan yang gagah berani. Karena kalian berada di pihak yang benar, aku berada di pihakmu. Setelah itu, tampaklah bayangan itu melontar dengan cepatnya kesana-kemari seperti anak kijang di padang rumput yang hijau segar.”
Laskar Gedangan yang kelelahan, karena tekanan yang berat dari lawannya, mendengar suara itu dengan debaran jantung yang deras. Meskipun tenaga mereka sudah mulai mengendor, namun tiba-tiba mereka seolah-olah mendapat tenaga cadangan. Karena itu jiwa mereka bangkit kembali, dan senjata-senjata mereka menjadi bertambah cepat berputar menyambar-nyambar.
Sesaat kemudian kembali terdengar suara bayangan itu,
“Mahesa Jenar… lepaskan lawanmu. Layanilah sepasang Uling yang masih segar di ekor barisanmu.”
Mula-mula Mahesa Jenar ragu-ragu. Apakah orang itu dapat dipercaya…? Apakah orang itu juga mempunyai kemampuan yang cukup untuk melawan Sima Rodra tua dari Lodaya ini…?
Tetapi ketika ia sedang mempertimbangkan bolak-balik, bayangan itu telah berdiri di sampingnya. Dengan tangan kirinya ia mendorong Mahesa Jenar ke samping. Alangkah besar tenaganya, sehingga Mahesa Jenar terkejut bukan main. Apalagi ketika ia sempat meneliti orang itu, darahnya serasa berhenti mengalir.

ORANG itu adalah seorang yang pernah dilihatnya beberapa tahun yang lalu. Ya tubuhnya, ya pakaiannya. Jubah abu-abu. Namun juga seperti beberapa tahun yang lalu, kali inipun ia tidak dapat memandang wajahnya dengan seksama. Kecuali orang itu selalu bergerak, juga karena arena pertempuran yang hiruk pikuk. Apalagi matahari telah hilang dibalik mega-mega yang berwarna merah di ufuk barat. Namun pada saat itu terlintaslah didalam pandangannya bahwa wajah orang itu pasti bukan wajah aslinya, sebab tampak betapa kerut-merutnya sama sekali tidak menurut garis-garis wajah yang biasa. Orang itulah yang telah mengambil sepasang keris yang selama ini dicarinya dari Banyubiru, Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi kali ini ia tidak sempat bertanya-tanya. Sebab ia harus melayani laskar lawannya yang mulai menyerangnya bersama-sama. Namun demikian ia sempat juga menyaksikan cara bertempur orang yang berjubah abu-abu itu sehingga hatinya tergetar. Bahkan ia telah dapat memastikan, akan datang saatnya sekarang, tokoh-tokoh gerombolan yang merasa dirinya demikian saktinya, akan tergilas hancur. Mahesa Jenar segera mencoba memenuhi anjuran orang yang aneh itu. Dengan cepatnya ia meloncat diantara laskar yang sedang bertempur, menuju ke tempat Uling Kuning. Uling Kuning yang bertempur melawan lebih dari sepuluh orang ternyata dapat melawan dengan enaknya. Cambuknya berputar-putar mengerikan, menimbulkan suara berdesingan. Bahkan karena cambuk itu pula, beberapa senjata di tangan laskar Gedangan telah terlontar jatuh. Pada saat yang demikian itu muncullah Mahesa Jenar. Dengan geram terdengar ia berkata,
“Sudah cukup apa yang kau lakukan selama ini Uling Kuning? Nah sekarang aku akan mencoba menghadapimu”.
Uling Kuning terkejut mendengar suara itu. Apalagi kemudian muncullah diantara laksar Gedangan, seseorang yang telah dikenalnya dengan baik, Mahesa Jenar. Seorang yang pernah memanaskan hatinya karena ia telah menggagalkan pertemuan golongannya beberapa tahun yang lampau di daerah Rawa Pening. Sebagai tuan rumah pada waktu itu ia merasa tersinggung sekali. Apalagi kemudian usaha untuk membinasakannya dapat digagalkan oleh orang-orang yang tak dikenal. Karena itu, timbullah gairahnya untuk menjadi seorang pahlawan dari golongannya. Maka dengan menggeretakkan gigi, ia meloncat meninggalkan lawan-lawannya untuk menyongsong kedatangan Mahesa Jenar, sambil berteriak nyaring,
“Nah, akhirnya aku ketemukan kau di sini Rangga Tohjaya. Mudah-mudahan akulah orang yang dapat memenggal lehermu dan membawanya dalam suatu pertemuan yang akan kita selenggarakan kemudian sebagai ganti dari pertemuan yang pernah kau gagalkan dahulu”.

Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi langsung ia menyerang lawannya. Serangan yang sama sekali tak terduga-duga oleh Uling Kuning. Karena itulah ia menjadi terkejut. Untunglah bahwa Uling Kuning itupun telah banyak menelan pahit-manisnya pertempuran, sehingga meskipun dengan dada yang berdebar-debar ia berhasil menghindarkan diri. Bahkan karena itu ia menjadi marah bukan kepalang. Diputarnya cambuknya semakin cepat, melampaui kecepatan baling-baling. Yang tampak kemudian hanyalah segulung sinar yang menyambar-nyambar Mahesa Jenar dengan dahsyatnya. Namun Mahesa Jenar sekarang bukanlah Mahesa Jenar yang dapat dijerumuskan oleh orang-orang hitam itu ke dalam jurang beberapa tahun yang lalu. Ia kini telah menguasai ilmunya hampir sempurna. Karena itu sesaat kemudian terasalah bahwa serangan Mahesa Jenar menjadi semakin dahsyat bagaikan badai yang datang bergulung-gulung menghantam daun-daun pepohonan, yang selembar demi selembar akan runtuh berserakan di tanah. Akhirnya Uling Kuning menjadi basah kuyup oleh keringat yang mengalir dari lubang-lubang kulit di seluruh tubuhnya. Ia menjadi gugup dan gelisah. Apalagi langit telah menjadi semakin suram. Sehingga akhirnya ia merasa perlu untuk mendapat bantuan dari saudaranya. Sesaat kemudian terdengarlah cambuknya meledak tiga kali berturut-turut, yang segera mendapat jawaban dari arah lain dengan suara yang sama. Segera Mahesa Jenar mengerti, bahwa tanda itu adalah sebuah undangan bagi Uling Putih untuk datang membantunya. Dan apa yang diduga adalah benar. Sejenak kemudian dari hiruk-pikuk yang semakin samar-samar muncullah seseorang yang bertubuh tinggi dan berwajah runcing. Sedang di tangan kanannya, digenggamnya sebuah cambuk yang sama dengan cambuk Uling Kuning. Dialah orangnya yang bernama Uling Putih.

Dengan serta merta Uling yang satu itu pun langsung menyerang Mahesa Jenar, yang telah bersiaga untuk melawan keduanya. Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Mahesa Jenar terpaksa mengerahkan segenap kekuatannya untuk melawan kedua bersaudara yang ganas itu. Namun karena bekalnya telah cukup, maka Mahesa Jenar tidak pula banyak mengalami kesulitan.
Sejenak kemudian matahari telah benar-benar tenggelam di bawah garis cakrawala. Sinarnya yang semburat merah telah terbenam dalam warna yang kelam, berbareng dengan munculnya bintang-bintang satu demi satu menghiasi wajah langit. Bulan yang masih muda menggantung dibalik lembaran awan yang tipis, seolah-olah menyembunyikan wajahnya agar tidak menyaksikan betapa anak manusia di bumi sedang mengadu tenaga. Sedangkan angin pegunungan yang mengalir lirih menggoyang dedaunan, menimbulkan suara berdesir. Sebuah lagu untuk memanjatkan doa demi keselamatan mereka yang sedang bertempur dalam lingkaran kebenaran. Pada saat yang demikian, kembali terasa betapa laskar Gedangan mulai mendesak lawannya kembali. Kekuatan baru dari sepasang Uling itu telah dapat diimbangi oleh Mahesa Jenar beserta beberapa bagian laskar Gedangan, sedang orang baru yang berjubah abu-abu itu ternyata disamping bertempur melawan Sima Rodra, ia pun dengan serunya dapat mendesak pasukan Pamingit dan Gunung Tidar yang mencoba membantu Harimau Liar itu.

KETIKA mengetahui bahwa ternyata pimpinan pasukan gabungan dari Pamingit dan gerombolan golongan hitam, Mahesa Jenar melihat bahwa pasukannya tidak mungkin lagi dapat tertolong apabila pertempuran diteruskan. Karena itu, diputuskannya untuk perlahan-lahan menarik diri, dan apabila mungkin besok dapat disusun kembali dengan gelar yang menguntungkan. Tetapi belum lagi ia memberikan aba-aba, tampaklah sayap-sayap pasukannya menjadi kacau balau. Ternyata Sima Rodra Tua sudah tidak dapat lebih lama lagi bertahan melawan orang yang berjubah abu-abu itu. Malahan tidak itu saja. Orang yang berjubah abu-abu itu masih dapat melakukan tekanan-tekanan berat pada Jaka Soka dan bahkan Bugel Kaliki, disamping lawannya sendiri. Hal inilah yang kemudian memaksa Sima Rodra untuk menghindar sebelum binasa. Sebab menurut perhitungannya, ia tidak mungkin lagi dapat melawan orang itu. Dengan demikian, untuk keselamatannya dan keselamatan namanya sebagai seorang tokoh sakti, lebih baik ia melarikan diri dengan tidak memperdulikan barisannya. Yang diusahakan pada saat itu adalah untuk mencoba menyelamatkan anak perempuannya, Janda Sima Rodra Muda. Tetapi agaknya ia sama sekali tidak diberi kesempatan bergerak oleh lawannya. Dengan demikian usaha satu-satunya itupun tidak dapat dilakukan. Maka Sima Rodra itu secepat ia dapat, meloncat meninggalkan arena. Bahkan kemudian ternyata tidak saja Sima Rodra, tetapi juga Bugel Kaliki. Ia bertempur semata-mata atas permintaan sahabatnya itu, disamping kepentingannya sendiri yang tidak terlalu penting. Sebab ia dapat melakukannya di saat lain. Ketika diketahuinya bahwa sahabat yang membawanya itu menghilang dari pertempuran, iapun tidak merasa perlu untuk bertempur lebih lama lagi. Apalagi, ia dapat memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi apabila ia berkelahi terus.
Karena itu segera iapun membenamkan dirinya dalam gelombang pertempuran itu dan seterusnya menghilang. Dengan demikian, maka kacaulah laskar yang berada di dalam pasukan-pasukan kedua orang itu, yang semula merupakan gading-gading dari gelar Dirata Meta, yang kemudian berubah menjadi gelar Gelatik Neba. Karena kekacauan itulah maka satuan pasukan Pamingit dan Gunung Tidar menjadi rusak sama sekali. Beberapa orang kemudian berbuat seperti pimpinan mereka. Berusaha melarikan diri mereka masing-masing.

Melihat kekacauan yang timbul di dalam barisannya, Galunggung masih berusaha untuk memberikan aba-aba. Maksudnya, supaya pasukannya mundur dengan teratur. Tetapi usahanya sia-sia. Jaka Soka yang merasa ditinggalkan oleh orang-orang sakti diatasnya, merasa menjadi terlalu kecil pula, sehingga dengan demikian iapun sedapat mungkin menyelamatkan diri. Dalam kekacauan pertempuran itu, Kebo Kanigara kehilangan jejak lawannya. Apalagi cahaya bulan muda itu sama sekali tidak mampu menembus tebalnya kabut yang masih mengepul tebal. Sedangkan orang yang berjubah abu-abu itu agaknya sama sekali tidak bernafsu untuk mengejar lawannya. Di bagian lain, sepasang Uling yang bertempur dengan Mahesa Jenar masih sempat mempertahankan kerampakan orang-orangnya. Meskipun mereka kemudian juga melarikan diri, namun mereka tetap masih merupakan sebuah kesatuan. Bahkan beberapa orangnya yang berani, selalu berusaha untuk melindungi pimpinan mereka dari kejaran Mahesa Jenar, sehingga akhirnya mereka berhasil menghilang dibalik kepulan debu yang tebal. Mahesa Jenar terpaksa menghentikan pengejarannya dan kembali kepada induk pasukannya. Namun sampai di bekas tempat pertempuran itu, ia terkejut ketika ia masih melihat dua orang yang bertempur mati-matian. Mereka, kedua orang itu, yang sejak semula tidak menghiraukan peperangan yang baru saja terjadi, sampai kini masih saja bergulat diantara hidup dan mati. Mereka itu adalah Janda Sima Rodra Muda melawan Rara Wilis dengan pakaian laki-lakinya, yang dalam bentuknya itu ia lebih senang disebut Pudak Wangi. Janda Sima Rodra sebenarnya menyadari pula bahwa pasukan Pamingit dan Gunung Tidar tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Bahkan sebenarnya iapun ingin ikut serta lenyap bersama mereka. Namun agaknya usahanya dapat digagalkan oleh Rara Wilis yang menahannya dengan kata-kata yang dapat menyinggung perasaan perempuan yang ganas itu. Kata Rara Wilis ketika ia melihat Harimau Betina itu sedang mencari jalan keluar,
“Ibu yang baik…. Jangan hentikan permainan itu. Bukankah sewajarnya kalau seorang ibu mengajari anaknya bermain. Jangan takut orang lain akan turut campur. Persoalan kita adalah persoalan pribadi, sehingga aku tidak mau ada orang lain yang ikut dalam persoalan ini.”
“Bohong!” jawab janda itu,
“Kau akan menjebak aku.”

Rara Wilis tertawa menyakitkan hati. Katanya,
“Aku bukan jenismu, yang suka berdusta. Kau akan dapat melihat padaku, satunya kata dan perbuatan. Kalau kau memang tidak berani berhadapan dengan cara ini, lebih baik kau berjongkok dibawah telapak kakiku, untuk mohon maaf yang sebesar-besarnya. Dengan senang hati aku akan memaafkanmu.”
Sebagai seorang yang telah lama terbenam dalam lumpur, Janda Sima Rodra merasa dihinakan oleh seorang gadis yang kebetulan adalah anak tirinya. Karena itu, ia menjadi mata gelap. Ia menjadi sama sekali tidak menaruh perhatian kepada keadaan sekelilingnya. Biarlah seandainya kemudian orang-orang lain akan mengeroyoknya. Asal ia lebih dahulu dapat menyobek mulut perempuan yang menghinanya itu. Setelah itu, hidup matinya tidak berharga lagi baginya, seandainya ia harus mati ditengah-tengah musuh-musuhnya. Apalagi ketika kemudian ia mendengar Rara Wilis berteriak nyaring kepada orang-orang yang mengerumuninya setelah pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidar meninggalkan arena,
“Jangan ada seorangpun yang mencampuri urusan ini, sebab persoalan kami bukanlah persoalan kalian. Juga jangan sesalkan siapapun yang akan binasa diantara kami. Sebab kami telah memilih cara seorang ksatria dalam penyelesaian masalah kami, masalah yang terjadi antara anak dan ibu tirinya yang durhaka.”

SETIAP dada mereka yang mendengar suara itu berdesir. Bahkan Janda Sima Rodra yang ganas itu menjadi semakin kagum juga pada keberanian lawannya yang jauh lebih muda darinya. Tetapi karena itulah ia menjadi lebih bernafsu untuk membinasakan gadis yang sombong itu. Sehingga dengan demikian Harimau Liar Berbisa itu bertempur semakin garang. Kuku-kukunya yang dibalut logam berbisa, mengembang dan menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Kesepuluh ujung jari itu kemudian seolah-olah mengurung setiap kesempatan menghindar bagi Rara Wilis. Sebaliknya, Rara Wilis telah menyimpan dendam di dalam dada hampir sepanjang umurnya. Tiba-tiba pada saat itu, terbayanglah dengan jelas betapa perempuan itu datang kepada ayahnya. Sekali-kali ia menggertak dengan kasarnya, sekali-kali merayu dengan manisnya. Dan karena itulah ayahnya dapat dijebak dalam perangkapnya. Terbayang pula betapa ibunya, seorang perempuan lugu, menangis memeluknya pada umurnya yang masih sangat muda. Jelas menerawang di dalam otak Rara Wilis, pada saat-saat perempuan itu memarahinya kalau ia menyusul ayahnya. Bahkan memukul dan mencambuknya. Namun ayahnya sama sekali tidak membantunya. Sehingga akhirnya sampailah keluarga Rara Wilis berada pada puncak kesengsaraan. Ayahnya terusir oleh tetangga-tetangganya. Kemudian karena sedih dan malu, ibunya, satu-satunya orang didunia ini yang dapat dijadikan tempat untuk menyangkutkan cinta, meninggal dunia. Lebih dari itu, perempuan itu kemudian ternyata telah menyeret ayah Rara Wilis dan membenamkannya ke dalam lumpur bersama-sama dengan diri perempuan itu sendiri, yang memang berasal dari dalam lumpur paling kotor.

Karena angan-angan itulah maka Rara Wilis telah membulatkan tekadnya. Perempuan itu atau dirinya sendiri yang binasa dalam pengabdian kepada kesetiaan terhadap ibunya, terhadap keluarganya, serta kesetiaan kepada tekadnya untuk melenyapkan sumber kejahatan. Baginya, perempuan yang demikian jauh lebih berbahaya daripada laki-laki yang bagaimanapun garangnya. Perempuan yang dapat berlaku manis dan merayu, bermodalkan parasnya yang cantik, namun kemudian menyeret korbannya ke jurang yang paling dalam sampai tidak dapat timbul kembali. Terdorong oleh perasaan itulah maka kemudian Rara Wilis bertempur dengan gagah berani. Bahkan tenaganya seolah-olah menjadi berlipat-lipat. Meskipun demikian, mereka yang menyaksikan, Kebo Kanigara, Wanamerta, kemudian menyusul Mahesa Jenar dan orang yang berjubah abu-abu yang berdiri agak jauh beserta seluruh laskar Gedangan, terpaksa beberapa kali menahan nafas. Sebab ternyata Harimau Betina itu benar-benar mempunyai cara bertempur yang berbahaya. Sesekali ia meloncat menerkam dengan garangnya. Tetapi kemudian dengan teguhnya berdiri menanti serangan-serangan lawannya. Dalam beberapa saat kemudian tampaklah bahwa Harimau Betina itu memang lebih berbahaya daripada lawannya yang sama sekali tak bersenjata. Apalagi Janda Sima Rodra selain memiliki senjata-senjata yang melekat di ujung-ujung jarinya yang berjumlah sepuluh, ia memang memiliki pengalaman yang lebih luas. Dengan demikian maka pertempuran itu menjadi kurang adil. Meskipun tampaknya Janda itu tidak bersenjata, namun hakekatnya, kuku-kunya itulah senjata andalannya.

Tetapi tak seorangpun berani mencampuri pertempuran itu. Setiap usaha untuk mencampurinya, akan dapat menimbulkan akibat yang kurang baik. Sebab, Rara Wilis akan dapat tersinggung perasaannya, dan merasa direndahkan. Karena itu yang dapat mereka lakukan hanyalah menyaksikan pertempuran yang berlangsung di bawah cahaya bulan yang remang-remang sambil sekali-sekali menahan nafas. Apalagi, ketika mereka telah bertempur lebih lama lagi. Janda Sima Rodra sudah terlalu biasa melakukan pertempuran-pertempuran kasar dan lama, sedangkan Rara Wilis hampir belum pernah mengalami pertempuran yang sedemikian lamanya. Sehari penuh. Dengan demikian tampaklah bahwa tenaga Rara Wilis menjadi bertambah lemah. Hanya karena kemauannya yang sangat kuatlah yang menjadikannya kuat bertahan. Meskipun demikian terasa pula olehnya, bahwa perempuan liar itu memiliki beberapa kelebihan daripada Wilis. Sehingga sambil bertempur terpaksa Rara Wilis mencari titik-titik kekuatan lawannya. Akhirnya ditemukannya apa yang dicarinya itu. Kelebihan itu terletak pada kuku-kukunya yang sangat berbahaya seperti yang pernah dikatakan oleh Mahesa Jenar. Pada beberapa saat yang lalu ia pernah pula bertempur dengan janda itu, namun kemudian Janda Sima Rodra agaknya telah tekun menambah kekuatannya, sehingga sambaran kuku-kukunya itu menjadi jauh lebih berbahaya. Oleh penemuannya itu, maka terasalah olehnya, bahwa wajarlah kalau ia selalu terdesak oleh lawannya. Sebab dengan mengenakan salut logam di ujung kuku-kukunya itu berarti bahwa ia telah melawan seseorang yang bersenjata dengan tangan hampa. Karena itu, Rara Wilis menjadi tidak ragu-ragu lagi. Dengan gerak yang cepat, sekejap kemudian di tangannya telah tergenggam sehelai pedang yang tipis. Seterusnya dengan lincahnya ia menggerakkan pedang itu melingkar-lingkar membingungkan, dengan ilmu pedang khusus ajaran perguruan Pandan Alas. Janda Sima Rodra terkejut melihat kilatan pedang itu. Apalagi kemudian disaksikannya ilmu pedang yang sangat berbahaya. Ujung pedang itu nampaknya selalu bergetar membingungkan. Tetapi ia adalah seorang yang berpengalaman melawan hampir segala jenis senjata. Karena itu sesaat kemudian ia telah dapat mengendalikan diri dalam keseimbangan gerak-gerak lawannya. Meskipun demikian, kekuatan Rara Wilis kini bertambah karena tajam pedangnya itu. Dengan demikian ia menjadi semakin garang. Serangan-serangannya menjadi bertambah sengit dan cepat. Karena kilatan sinar bulan, pedang yang diputarnya cepat-cepat itu seolah-olah telah berubah menjadi ribuan mata pedang gemerlapan menusuk dari segenap arah.

DALAM keadaan yang demikian, Janda Sima Rodra menjadi semakin gelap mata. Serangan-serangannya menjadi bertambah cepat, namun menjadi semakin kehilangan pengamatan. Apalagi ketika gerakan-gerakan Rara Wilis menjadi semakin mapan, makin terdesaklah Janda Sima Rodra. Akhirnya Harimau Betina itu menjadi putus asa. Sambil mengaum nyaring ia menyerang dengan tenaga yang ada padanya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan yang lain-lain menjadi terkejut melihat serangan yang ganas itu. Sebab bila Rara Wilis lengah sedikit saja, dadanya pasti dapat dirobek oleh lawannya. Tetapi untunglah bahwa dengan pedang di tangan, Rara Wilis menjadi agak tenang, sehingga pengamatannya atas lawannya menjadi semakin jelas pula. Maka ketika Janda Rodra menerkamnya, segera Rara Wilis meloncat ke samping, dan sambil merendahkan diri, tangannya bergerak dengan cepat, sehingga pedang tipis itu terjulur lurus ke depan. Demikianlah ujung pedang tipis itu terasa menyentuh sesuatu dan tanpa sadar pedang itu telah tenggelam ke dada lawannya dibarengi teriakan yang mengerikan. Rara Wilis adalah seorang yang telah menerima ilmu yang cukup banyak. Namun dalam perjalanan hidupnya ia sama sekali tidak bermimpi bahwa pada suatu saat, dengan pedang di tangannya, akan ditembusnya dada seseorang. Memang, ia bercita-cita untuk dapat membalas sakit hatinya dengan melenyapkan perempuan yang telah menyeret ayahnya ke dalam lembah kehinaan. Namun, ketika angan-angannya itu kini dapat diwujudkan, dengan membenamkan pedang ke dada perempuan itu, hatinya berguncang keras. Bagaimanapun kehalusan perasaannya sangat terpengaruh karena itu. Apalagi kemudian ketika dilihatnya darah segar menyembur dari luka di dada ibu tirinya. Maka tiba-tiba Rara Wilis pun menjerit sambil melompat mundur. Ia tidak sempat menarik pedangnya, karena kedua belah tangannya kemudian menutupi wajahnya. Bahkan sesaat kemudian ia terhuyung-huyung jatuh. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dengan cekatan meloncat menangkapnya. Dan ternyata kemudian Rara Wilis pingsan. Beberapa orang segera menjadi ribut. Dipijit-pijitnya kening gadis itu oleh Kebo Kanigara. Dan kemudian digerak-gerakkannya tangannya setelah pakaiannya dikendirkan. Ternyata tubuh gadis itu telah basah kuyup oleh keringat.

Maka atas anjuran beberapa orang, dipapahnya Rara wilis kembali mendahului ke pedukuhan, diantar oleh beberapa orang, dengan pesan apabila ada sesuatu yang penting agar diberi tanda-tanda dengan kentongan. Tinggalah kemudian diantara mereka, mayat Janda Sima Rodra. Seorang perempuan yang telah menggemparkan masyarakat karena kelakuan-kelakuannya yang kotor. Kecuali ia seorang penjahat, ternyata Janda Sima Rodra juga seorang yang mempunyai kebiasaan yang mengerikan. Sebagaimana bekas-bekasnya pernah ditemukan oleh Mahesa Jenar di Prambanan. Kebiasaan berpesta dengan upacara-upacara yang memuakkan diantara mereka, gerombolan hitam, terutama gerombolan Sima Rodra. Upacara yang hampir tak dapat dipercaya berlaku diantara mahluk yang bernama manusia. Pada saat yang demikian, bekas arena pertempuran itu menjadi sepi. Sesepi daerah kuburan. Beberapa orang laskar Gedangan berdiri dengan kaku memandang tubuh-tubuh yang bergelimpangan dari keduabelah pihak. Suasana menjadi bertambah ngeri ketika terdengar di sana-sini suara rintihan yang menyayat hati. Maka kemudian keluarlah perintah dari Mahesa Jenar untuk memelihara orang-orang yang terluka dari pihak manapun. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar menjadi gelisah, bahwa sejak tadi ia sama sekali belum melihat Arya Salaka diantara mereka. Karena itu Mahesa Jenar menjadi gelisah. Sejak semula perhatiannya terikat penuh pada pertempuran antara Janda Sima Rodra dan Rara Wilis. Sedang pada saat itu tak seorang pun yang masih tampak di daerah bekas pertempuran, selain mereka yang masih bergerombol itu.
“Ada yang kau cari…?” terdengar Kebo Kanigara bertanya, ketika dilihatnya Mahesa Jenar melayangkan pandangan berkeliling.
“Arya…” jawab Mahesa Jenar pendek.

Serentak mereka yang mendengar jawaban Mahesa Jenar itu tersadar, bahwa anak itu memang sejak tadi tidak mereka lihat. Dengan demikian mereka pun menjadi gelisah. Lebih-lebih Wanamerta, selain Mahesa Jenar sendiri.
“Siapakah yang berada di sayap kanan bersama anak itu?” teriak Mahesa Jenar.
Seorang yang bertubuh pendek kegemuk-gemukan, dengan sebuah parang di tangan, menjawab,
“Aku… Tuan.”
“Kau melihat anak muda itu…?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
“Ya, aku melihat anak muda itu memimpin barisan kami,” jawabnya pula.
“Di mana ia sekarang…?” desak Mahesa Jenar.
Orang yang bertubuh pendek itu berpikir sejenak untuk mengingat apa yang dilihatnya. Kemudian katanya,
“sejak matahari terbenam aku tidak menyaksikannya lagi.”
“Lalu siapa yang memegang pimpinan?” tanya Mahesa Jenar seterusnya.
“Ya, sejak saat itulah anak muda itu hilang dari antara kami, sejak ia memberikan perintah untuk menjadikan sapit kanan, khusus dalam gelar Jaring Gumelar,” jawab orang itu.
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Anak itu ternyata benar-benar cerdas, dengan memilih gelar khusus bagi pasukannya. Karena dengan gelar itu sapit kanan akan menjadi lincah. Namun aneh bahwa untuk seterusnya anak buahnya tidak melihatnya lagi.
“Adakah anak itu terikat dengan lawan?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Ya, Tuan…” jawab orang bertubuh pendek kegemuk-gemukan itu,
“Aku lihat hal itu. Anak muda itu bertempur melawan anak muda yang sebaya, bertubuh kuat gagah seperti anak muda yang memimpin kami, Arya Salaka.”
“Sawung Sariti…” desis Mahesa Jenar. Meskipun demikian dadanya menjadi berdebar-debar. Anak itu adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana. Apakah dalam pertempuran itu Arya dapat dikalahkan…? Karena itu debar di dada Mahesa Jenar makin bertambah.

“MARILAH kita cari,” kata Mahesa Jenar kemudian, sambil melangkah dengan cepatnya ke arah bekas arena sayap kanan, diikuti beberapa orang termasuk Kebo Kanigara, Wanamerta, dan tidak ketinggalan Widuri pun mengikutinya dengan berlari-lari kecil. Dalam hal yang demikian, Mahesa Jenar telah melupakan sama sekali orang yang berjubah abu-abu, yang sebenarnya banyak menarik perhatiannya. Namun masalah Arya Salaka baginya merupakan masalah yang tidak kalah pentingnya. Tetapi ketika baru saja ia melangkah beberapa langkah, dilihatnya orang berjubah abu-abu itu berlari mendahuluinya, seakan-akan ada sesuatu yang penting dalam usahanya untuk mencari Arya Salaka. Beberapa orang yang lain pun segera berlari-lari pula. Sementara itu Widuri pun telah berada di dalam bimbingan tangan ayahnya, sambil menggerutu,
“Kenapa kau ikut juga, Widuri…? Lebih baik kau kembali ke Gedangan bersama-sama bibi Wilis.”
Widuri tertawa kecil, lalu jawabnya,
“Sebenarnya akupun sudah terlalu lapar.”
“Nah, kembalilah biar seseorang mengantarmu,” sahut ayahnya.
“Akulah yang akan mengantarnya kalau seseorang ingin pulang kembali,” jawab anak itu sambil tertawa.
“Jangan sombong,” potong ayahnya,
“Pulanglah.”
“Tidak mau,” jawab gadis tanggung yang nakal itu.

Kalau sudah demikian Kebo Kanigara tidak akan dapat memaksanya lagi. Terpaksa ia menggandeng anaknya sambil berlari mengikuti Mahesa Jenar. Orang yang berjubah abu-abu itu masih saja berlari ke suatu arah. Seolah-olah ada yang menunggunya di sana. Sedangkan Mahesa Jenar masih selalu berada di belakangnya. Tiba-tiba dalam pada itu, dalam garis arah yang dituju oleh orang berjubah abu-abu itu, tampaklah dalam keremangan cahaya bulan yang kekuning-kuningan, dua bayangan yang selalu bergerak-gerak dengan cepatnya. Oleh ketajaman matanya, segera Mahesa Jenar dapat menangkap bayangan itu. Bayangan dari dua orang yang sedang bertempur diantara hidup dan mati. Melihat kedua orang yang bertempur itu dada Mahesa Jenar bergetar. Karena itu seakan-akan mempercepat langkahnya, sehingga semakin lama bayangan itu seakan-akan menjadi semakin besar dan jelas. Akhirnya Mahesa Jenar dapat meyakinkan dirinya, bahwa yang bertempur mati-matian itu adalah Arya Salaka melawan Sawung Sariti. Dalam pada itu, ketika Mahesa jenar telah melihat muridnya bertempur, kembali perhatiannya terampas habis, sehingga ia melupakan pula orang yang berjubah abu-abu itu. Dengan demikian ketika ia dengan penuh perhatian berlari-lari mendekati titik pertempuran itu, ia tidak lagi dapat mengetahui ke mana orang yang berjubah abu-abu itu pergi. Ketika Mahesa Jenar beserta beberapa orang lain tiba, untuk sesaat terhentilah pertempuran itu. Sawung Sariti meloncat beberapa langkah surut sambil berkata mengejek,
“Kakang Arya Salaka, lihatlah orang-orangmu datang. Tidakkah lebih baik kalau mereka kau suruh bertempur pula melawan aku bersama-sama dengan Kakang…?”
Sekali lagi Mahesa Jenar merasa tidak senang sama sekali atas kesombongan itu. Meskipun demikian dibiarkannya muridnya menjawab. Katanya,
“Adakah kau bermaksud demikian?”
“Tentu,” jawab Sawung Sariti.
“Dengan demikian aku akan dapat menyelesaikan pekerjaanku sekaligus.”
“Sayang,” sahut Arya salaka,
“Aku berkehendak lain. Aku ingin kau lebih lama bekerja di sini. Mengalahkan kami satu demi satu, kalau kau mampu.”
“Apakah sulitnya?” potong anak yang sombong itu.

Arya Salaka tersenyum, katanya,
“Kalau kau harus menyelesaikan pertempuran melawan aku seorang sampai satu hari satu malam, misalnya, berapa hari kau perlukan untuk melawan sekian banyak orang satu demi satu?”
“Aku tidak peduli,” jawab Sawung Sariti.
“Meskipun demikian, mungkin aku dapat memaafkan yang lain-lain, sebab mereka tidak bersalah kepadaku”.
“Kau belum mengatakan kepadaku, apakah salahku,” sahut Arya Salaka.
“Sebab kau begitu saja menyerang aku”.
Sawung Sariti tertawa pendek, jawabnya,
“Kenapa beberapa waktu lalu kita bertempur di Gedangan ini pula? Nah, ketahuilah bahwa apa yang aku lakukan sekarang adalah kelanjutan dari persoalan itu”.
Terdengar Arya Salaka tertawa pula. Katanya,
“Supaya aku tidak dapat mengatakan kemana Paman Sawungrana kau singkirkan…?”
Wajah Sawung Sariti berubah menjadi semburat merah. Apalagi diantara orang-orang yang datang kemudian terdapat Wanamerta. Meskipun demikian ia menjawab,
“Kau benar. Dan setiap orang yang tidak mau berjanji untuk merahasiakan hal itu kepada orang-orang Banyubiru akan aku binasakan juga”.
“Bagus…” jawab Arya Salaka, Mulailah.
Sekali lagi Sawung Sariti memandang orang-orang yang berjajar mengelilinginya satu demi satu. Seolah-olah ia sedang menghitung waktu yang akan diperlukan untuk membinasakan mereka itu seorang demi seorang. Namun ketika terpandang olehnya wajah Mahesa Jenar yang tenang teguh, serta seorang laki-laki di sampingnya dengan seorang gadis tanggung yang cantik di tangannya, hati Sawung Sariti tergetar.

SAWUNG Sariti merasa perlu untuk meyakinkan bahwa Mahesa Jenar tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran. Katanya,
“Paman Mahesa Jenar, apakah Paman juga tertarik pada permainan ini? Kalau benar demikian aku persilakan Paman membantu kakang Arya Salaka”.
Mahesa Jenar tahu arah bicara anak itu. Jawabnya,
“Kau tak perlu berkecil hati Sawung Sariti. Meskipun kami bukan orang-orang yang memiliki gelar ksatria, namun kami mengenal sifat-sifat kejantanan. Apalagi terhadap anak-anak seperti kau ini”.
Sawung Sariti merasa tersinggung karenanya. Meskipun demikian ia menjadi berbesar hati bahwa ia telah mendapat jaminan, bahwa ia dibiarkan bertempur seorang melawan seorang dengan Arya Salaka. Karena itu ia meneruskan,
“Nah kalau demikian relakan murid Paman ini binasa karena ketamakannya”.
Mahesa Jenar tidak menjawab. Namun terpaksa ia menahan hatinya yang sama sekali tidak senang atas kata-kata itu. Juga Arya Salaka merasa tidak perlu berkata-kata lagi. Karena itu, segera ia mempersiapkan diri untuk meneruskan pertempuran yang telah berjalan demikian panjangnya. Sawung Sariti pun bersiap pula. Mulutnya terkatup rapat, tangannya bersilang di depan dadanya. Kemudian dengan sebuah loncatan yang cepat ia mulai menyerang. Geraknya lincah dan tangkas sesuai dengan ajaran-ajaran yang pernah diterimanya dari seorang guru yang mumpuni. Dimodali dengan tubuhnya yang kokoh kuat serta otak yang cerdas licin. Namun lawannya bukan pula anak larahan. Tetapi ia adalah murid seorang yang berhati jantan dan bertekad baja, serta telah mengalami tempaan yang luar biasa beratnya untuk mewarisi ilmu keturunan Ki Ageng Pengging Sepuh, tidak saja dari Mahesa Jenar, tetapi juga dari Kebo Kanigara langsung. Karena itulah maka perkelahian yang terjadi merupakan perkelahian yang sengit dan seimbang. Kedua-duanya dapat bergerak dengan lincahnya sambar-menyambar, dan keduanya dapat bertahan dengan tangguh melawan setiap serangan. Mereka saling desak-mendesak berganti-gantian silih ungkih singa lena.

Pukulan tangan Sawung Sariti menyambar-nyambar berdesingan, namun Arya Salaka dengan tangkasnya selalu dapat menghindari. Namun sekali-sekali tangan itu berhasil pula mengenai tubuhnya. Demikianlah pada suatu saat sebuah sambaran tangan Sawung Sariti hinggap di dada Arya Salaka sedemikian kerasnya sehingga Arya terdorong surut. Tetapi Sawung Sariti tidak mau membiarkan kesempatan itu. Cepat ia meloncat maju dan sekali lagi menyerang dengan kakinya ke arah lambung ketika Arya masih belum dapat menjaga keseimbangannya dengan baik. Ketika Arya melihat serangan itu, ia tidak dapat berbuat lain daripada melindungi lambungnya dengan tangan, namun karena desakan yang keras, serta keseimbangannya yang belum pulih benar. Sekali lagi Arya terdorong, bahkan lebih keras sehingga ia jatuh berguling. Sekali lagi Sawung Sariti mendesak maju. Dengan sebuah loncatan ia berusaha untuk menerkam dan menindih Arya. Kedua tangannya terjulur ke depan ke arah leher lawannya. Pada saat yang demikian Arya melihat bahaya yang bakal datang apabila lawannya benar-benar dapat mencekik serta menindih tubuhnya. Maka ketika ia melihat tubuh itu melayang ke arahnya, segera ia menelentang dan dengan sekuat tenaganya ia mendorong tubuh itu dengan kedua kakinya tepat pada bagian bawah perutnya. Demikianlah Sawung Sariti terdorong keras ke depan, melampaui tubuh Arya Salaka. Namun Sawung Sariti mempunyai ketangkasan yang cukup pula. Dengan berguling ia dapat menyelamatkan tubuhnya dari benturan yang keras. Bahkan ia segera dapat loncat berdiri. Tetapi pada saat itu Arya telah siap pula. Bahkan ia berhasil mendahului menyerang. Dengan sebuah loncatan yang panjang Arya memukul rahang lawannya. Kali ini Sawung Sariti tidak berhasil menghindar. Dengan sebuah sentakan yang keras, kepala terangkat sambil tergetar mundur. Dengan penuh nafsu Arya sekali lagi melangkah serta mengayunkan tangannya ke arah perut lawannya. Terdengarlah suara yang tersekat di kerongkongan, dan tubuh Sawung Sariti terbungkuk ke depan. Namun ketika Arya mengulangi serangannya, dengan cepatnya Sawung Sariti demikian saja menjatuhkan dirinya. Kali ini tangan Arya terayun diatas kepala lawannya tanpa menyinggungnya. Sehingga malahan tubuhnya terseret oleh kekuatannya sendiri.

Pada saat itulah Sawung Sariti menghantam dadanya dengan kakinya yang kokoh. Suaranya gumebruk seperti terhantam batu. Sekali lagi Arya terlontar mundur. Dan sekali lagi Sawung Sariti mendesaknya dengan pukulan-pukulan. Sehingga akhirnya punggung Arya membentur dinding karang yang tegak di belakangnya. Pada saat yang demikian Arya tidak lagi dapat melangkah surut. Karena itu ketika Sawung Sariti menghantamnya, Arya melawannya dengan sebuah tendangan mendatar. Maka terjadilah suatu benturan yang keras. Arya Salaka dapat menekankan punggungnya pada karang di belakangnya, sehingga ia seolah-olah mendapat tambahan kekuatan. Dengan demikian Sawung Sariti terdorong mundur beberapa langkah. Meskipun demikian terasa betapa pedihnya punggung Arya, yang ternyata menjadi luka karena tajamnya karang-karang itu. Bahkan kemudian terasa cairan hangat meleleh perlahan-lahan di bawah bajunya yang tersobek.
Darah. Mengalami peristiwa itu Arya menjadi semakin marah. Karena itu ia menjadi bertambah garang. Serangannya yang datang kemudian menjadi bertambah berbahaya. Dengan melontarkan diri ia maju menyerang dada. Tetapi Sawung Sariti telah siap. Sehingga dengan cepat ia meloncat ke samping, dan membalas menyerang dengan sebuah pukulan ke arah muka lawannya. Melihat lawannya lepas, Arya menarik serangannya, dan ketika ia melihat tangan Sawung Sariti melayang ke wajahnya, secepat kilat tangan itu ditangkapnya. Dengan membalikkan diri serta menekuk lututnya sedikit, Arya menarik tangan itu keras-keras diatas pundaknya, dan dengan dorongan pundak itu Arya melemparkan tubuh lawannya ke depan

DENGAN kerasnya Sawung Sariti terlempar. Meskipun ia memiliki ketangkasan bergerak, namun kemudian ia terbanting juga di tanah. Hanya karena ketahanan tubuhnya yang luar biasa, tulang punggungnya tidak patah. Bahkan dengan suatu hentakan ia berhasil melepaskan tangannya dan berguling menjauhi Arya. Kemudian dengan tangkasnya ia melenting berdiri. Namun terasa pula betapa rasa sakit telah mengganggu pinggangnya. Perkelahian itu berlangsung dengan serunya. Masing-masing telah mengerahkan segenap tenaganya untuk mengalahkan lawannya. Namun sampai sedemikian jauh mereka masih tetap dalam keadaan seimbang. Sedang mereka yang menyaksikan perkelahian itu, kadang-kadang harus menahan nafas dengan hati yang berdebar-debar. Arya Salaka dan Sawung Sariti berkelahi dengan penuh nafsu. Dengan segala ilmu yang mereka miliki, mereka ingin segera menyelesaikan pertempuran itu, namun agaknya pertempuran itu masih akan berlangsung lama. Untuk itu, ternyata mereka mempunyai beberapa perbedaan pengalaman. Sawung Sariti adalah seorang yang manja. Yang hidup dalam lingkungan yang tidak banyak memerlukan tenaganya. Sedang Arya salaka menjalani hampir seluruh hidupnya dengan bekerja keras, berjalan dari matahari terbit sampai terbenam, membenamkan dirinya dalam kancah lumpur sawah bersama para petani. Mengarungi lautan sebagai anak nelayan di pantai Tegal Arang. Karena itulah Arya Salaka mempunyai ketahanan jasmaniah yang lebih daripada Sawung Sariti. Dengan demikian maka ketika bulan yang masih muda itu menenggelamkan dirinya, tampaklah bahwa tenaga Sawung sariti yang bagaimanapun kuatnya setelah demikian lama dengan nafsu penuh berjuang, menjadi surut. Meskipun tenaga Arya Salaka surut pula, namun hal yang demikian nampak lebih jelas pada lawannya. Agaknya Sawung Sariti merasakan hal itu pula. Karena itu ia menjadi gelisah. Ia tidak mau mengalami kekalahan dari kakaknya, meskipun bagaimanapun juga. Bahkan ia menjadi heran kalau kakaknya dapat mengimbangi kekuatannya setelah ia digala mati-matian oleh kakeknya, Ki Ageng Sora Dipayana. Karena kegelisahannya itulah akhirnya ia mengambil suatu keputusan yang menentukan. Maka ketika Sawung Sariti telah merasa semakin lelah, segera ia ingin mengakhiri pertempuran. Dipusatkannya segenap pancainderanya dalam suatu perhatian, disalurkannya nafasnya dengan teratur untuk menemukan kebulatan kekuatan dalam pancaran ilmu yang pernah diterimanya, Lebur Sakethi. Direntangkannya tangannya ke samping dengan kaki setengah langkah yang ditekuk pada lututnya.

Semua yang melihat sikap itu menjadi terkejut. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang telah mengenal kedahsyatan ilmu Ki Ageng Sora Dipayana itu. Hampir saja mereka bergerak untuk mencegahnya. Namun dengan berdebar-debar mereka terpaksa membatalkan niatnya. Sebab mereka telah berjanji untuk menyerahkan penyelesaian itu kepada Arya Salaka. Disamping itu mereka menjadi bertambah kecewa terhadap Sawung Sariti yang telah mempergunakan ilmu dahsyat itu sebagai alat penyelesaian dengan keluarga sendiri, untuk mempertahankan keserakahan dan ketamakan. Arya Salaka sendiri terkejut pula melihat sikap Sawung Sariti. Untunglah bahwa gurunya pernah memperkenalkan bentuk-bentuk ilmu yang dahsyat itu, sehingga segera ia mengenal bahwa Sawung Sariti telah mempersiapkan ilmu Lebur Sakethi. Dengan demikian Arya pun dengan cepatnya berpikir. Ia telah mendapat pesan wanti-wanti dari gurunya untuk tidak mempergunakan ilmu Sasra Birawa dalam sembarang keadaan. Tetapi keadaan ini gawat sekali. Kalau ia sampai tersentuh Lebur sakethi tanpa matek aji Sasra Birawa, ia yakin bahwa dadanya akan rontok. Karena itu, yang dapat dilakukan adalah segera bersiaga lahir batin. Diangkatnya satu tangannya tinggi-tinggi, tangan yang lain menyilang di dada, sedang satu kakinya diangkat serta ditekuk ke depan. Tepat pada saat ia selesai dengan pemusatan tenaganya, dilihatnya Sawung Sariti telah meloncat maju dengan melingkarkan kedua tangannya yang kemudian bersama-sama mengarah ke kepalanya. Arya tidak mau binasa dalam keadaan yang mengerikan. Karena itu ia pun segera dengan mengerahkan segenap kekuatan ilmunya, Sasra Birawa. Maka segera terjadilah benturan dari dua macam ilmu yang dahsyat itu. Sasra Birawa berbenturan dengan Lebur Sakethi. Dua macam ilmu keturunan dari dua orang sahabat yang pernah berjuang bersama-sama melawan kejahatan. Namun sampai pada keturunannya, ilmu itu terpaksa berbenturan dalam perjuangan yang benar-benar diantara hidup dan mati. Beberapa tahun lampau kedua ilmu itu pernah pula berbenturan diatas Gunung Tidar. Namun pada saat itu benturan terjadi karena salah paham. Apalagi waktu itu mereka yang berkepentingan merasa mempertaruhkan barang yang paling berharga, yaitu keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Mahesa Jenar pada saat iti sama sekali belum pernah mengenal Gajah Sora, dan sebaliknya, kecuali setelah mereka siap menghantamkan ilmu-ilmu itu.
Sekarang, hal serupa terjadi. tetapi latar belakang persoalannya jauh berbeda. Sekarang, benturan itu terjadi karena persoalan hak. Banyubiru bagi Arya Salaka adalah tanah pusaka, tanah tercinta. Akibat benturan itupun dahsyat sekali. Arya Salaka dan Sawung Sariti sama-sama terlempar jauh ke belakang, dan seterusnya mereka jatuh terguling-guling. Untunglah bahwa kedua anak muda itu belum memiliki kedua macam ilmu itu dengan sempurna. Sehingga karena itulah maka ketahanan tubuh mereka dalam pemusatan ajian masing-masing masih dapat bertahan sehingga mereka tidak hancur karenanya. Meskipun demikian untuk beberapa saat mereka terpaksa membiarkan diri mereka terbaring tak bergerak. Seolah-olah tenaga mereka terlepas dari sendi-sendinya.


<<< Bagian 045                                                                                              Bagian 047 >>>

No comments:

Post a Comment