PERLAHAN-lahan pemuda itu berjalan berjingkat ke arah gadis cantik yang sedang tidur dengan nyenyaknya. Maka tahulah Mahesa Jenar bahwa pemuda tampan itu akan melarikan gadis yang sedang lelap itu. Melihat hal yang sedemikian, ia tidak dapat tinggal diam. Meskipun ia sendiri tidak akan bertindak langsung, tetapi seharusnyalah bahwa ia berusaha untuk mencegahnya.
PERLAHAN-LAHAN
dan hati-hati sekali tangannya meraba-raba mencari sebuah kerikil kecil. Ketika
sudah didapatnya, maka dengan hati-hati pula kerikil itu dijentikkan ke arah
kaki pemimpin pengawal yang sedang tidur pula. Rupanya pengawal itu mempunyai
perasaan yang tajam pula. Ketika ia merasa tubuhnya tersentuh kerikil yang
dilemparkan Mahesa Jenar, ia pun segera terbangun. Maka apa yang pertama-tama
dilihatnya adalah ketiga orangnya yang sedang bertugas telah menggeletak.
Sesudah itu lalu dilihatnya si pemuda tampan berjalan hati-hati ke arah gadis
yang sedang tidur lelap. Melihat hal itu, kepala pengawal itu segera dapat
menghubungkan persoalannya. Maka marahlah ia bukan kepalang. Mukanya menjadi
merah seperti darah. Dengan cekatan sekali ia bangun dan meloncat dengan
garangnya. Tanpa bertanya lagi tangannya segera terayun ke arah tengkuk si
pemuda tampan. Tetapi adalah di luar dugaan sama sekali, meskipun gerak
pemimpin pengawal itu cukup cepat dan tanpa diduga-duga, namun dengan suatu
gerakan miring yang sederhana, pemuda itu dapat menghindarinya.
“Hebat…” pikir
Mahesa Jenar. Pemuda ini cekatan luar biasa. Siapakah ia sebenarnya?
Ketika
pemimpin pengawal itu merasa bahwa pukulannya dapat dielakkan dengan mudah, ia
menjadi semakin marah. Dengan geramnya ia melompat maju sekaligus tangannya menyambar
leher. Tetapi kembali serangannya itu gagal. Dengan mencondongkan tubuhnya,
pemuda tampan itu dapat menghindarkan diri, bahkan sekaligus kakinya mengait
kaki lawannya. Untunglah bahwa orang tua itu masih lincah juga, sehingga dengan
satu loncatan ia dapat melepaskan diri. Melihat cara orang itu menghindari
serangannya, si pemuda tampan menjadi tertawa kecil.
“Bagus… Pak,
kau masih juga pandai bermain bajing loncat,” kata pemuda itu.
Sementara itu,
para pengawal yang lain, serta orang-orang yang sedang tidur nyenyak itu pun
terbangun mendengar keributan-keributan itu. Beberapa orang menjadi gugup dan
bertanya-tanya. Tetapi para pengawal yang lain, yang melihat pemimpinnya
bertempur, segera ikut serta melibatkan diri tanpa banyak berpikir. Sejenak kemudian
terjadilah suatu pertempuran yang sengit. Pemuda itu seorang diri harus
bertempur melawan tujuh orang. Tetapi ternyata pemuda itu benar-benar tangguh
luar biasa. Melawan tujuh orang yang telah berani menyatakan dirinya menjadi
pengawal perjalanan di daerah yang berbahaya, sama sekali ia tidak tampak
mengalami kesulitan. Dengan tangkasnya ia berloncatan ke sana kemari diantara
pepohonan hutan. Tongkat hitamnya berputar-putar melindungi tubuhnya. Meskipun
para pengawal itu mempergunakan bermacam-macam senjata, ada yang memakai
pedang, ada yang mempergunakan tombak, gada besi dan sebagainya, tetapi
semuanya itu tampaknya tidak banyak berguna.
Beberapa orang
lain pun kemudian dapat menerka apa yang akan dilakukan oleh pemuda itu. Karena
dalam keadaan demikian, mereka merasa senasib, maka merekapun menjadi marah.
Beberapa orang kemudian segera bangkit dan menyatakan kesetiakawanan mereka,
untuk menangkap pemuda tampan itu. Tetapi adalah aneh sekali. Pemuda itu
tampaknya licin seperti belut. Geraknya cepat dan lincah sekali, bahkan mirip
dengan gerak seekor ular yang melilit-lilit diantara pepohonan, tetapi sejenak
kemudian menjulur melakukan serangan yang berbahaya. Malahan setelah mereka
bertempur beberapa lama, tampaklah bahwa pemuda itu tetap menguasai keadaan.
Bahkan beberapa saat kemudian ia masih sempat tertawa-tawa dan berteriak
nyaring.
“Jangan kalian
turut campur. Aku inginkan gadis itu.”
“Jahanam,”
bentak kepala pengawal,
“aku telah
menyanggupkan diri melindungi semua yang menjadi tanggung jawabku. Bagaimanapun
hebatnya kau, aku akan tetap melawan sampai kemungkinan terakhir.”
Kembali pemuda
itu tertawa, katanya,
“Aku akan
menghitung sampai bilangan 10. Siapa yang tidak mau minggir, bukan salahku
kalau ia binasa.”
Mendengar
ancaman itu beberapa orang merasa ngeri juga sehingga bulu roma mereka berdiri.
“Satu … dua …
tiga …..” Pemuda itu mulai menghitung bilangan.
Sampai
bilangan ini, telah banyak diantara mereka yang meloncat keluar dari
gelanggang. Bagaimanapun perasaan kesetiakawanan mereka namun karena mereka
tidak langsung berkepentingan, maka mereka merasa lebih baik minggir daripada
turut menjadi korban. Karena itu, setelah bertempur beberapa lama, terasalah
bahwa pemuda itu adalah pemuda yang perkasa. Sampai bilangan ketujuh, tak ada
lagi seorang pun yang berani membantu ketujuh pengawal yang sedang bertempur
mati-matian itu. Sehingga pertempuran itu semakin nampak berat sebelah. Tetapi
dalam pada itu Mahesa Jenar merasa kagum dan hormat kepada ketujuh pengawal
itu, yang tidak lagi menghiraukan keselamatan diri mereka dalam melakukan
kewajiban. Sejenak kemudian Mahesa Jenar merasa tak sampai hati melihat keadaan
yang demikian, maka segera ia melompat dan masuk ke dalam arena pertempuran.
Tetapi sampai sedemikian jauh ia sama sekali tidak merasa perlu memperlihatkan
kepandaiannya. Ia berkelahi dengan cara yang nampaknya sama sekali tak teratur
dan sekaligus untuk mengetahui sampai dimana keperkasaan lawannya. Pemuda
tampan itu, ketika melihat Mahesa Jenar masuk ke dalam kancah perkelahian,
terpaksa menghentikan hitungannya dan berkata kepada Mahesa Jenar,
“Hai orang
tolol, kau jangan bermain-main di situ. Menyingkirlah.”
Mahesa Jenar
pura-pura tak mendengar seruan itu. Dengan gerak yang bodoh ia menyerang terus
bersama-sama ketujuh orang pengawal itu. Beberapa saat kemudian, kembali pemuda
itu mengulangi seruannya, tetapi juga kali ini Mahesa Jenar tidak
mempedulikannya. Ia berkelahi dengan gerak sekenanya saja. Bahkan ia menyerang
pemuda itu dengan segenggam tanah yang dilemparkan ke mukanya, karena ia memang
tidak bersenjata. Akhirnya pemuda itu menjadi gusar.
“Bagus, kalau
kau tak mau berhenti, aku akan melanjutkan hitunganku, lalu sesudah itu kalian
akan mampus semua. Dan gadis itu akan aku bawa pulang tanpa seorang pun dapat
menghalangi,” kata pemuda itu.
Mendengar
teriakan pemuda tampan itu, gadis cantik yang menjadi sasarannya menjerit
ngeri, tetapi suaranya hilang ditelan oleh kelebatan rimba.
AKHIRNYA si
pemuda sampai juga pada hitungan yang ke 10. Sesudah itu ternyata ia
benar-benar akan melakukan apa yang dikatakan. Secepat kilat ia maju menggempur
lawannya. Tongkatnya berputaran cepat bukan main, seolah-olah berubah menjadi
segulung awan hitam yang menakutkan. Mahesa Jenar melihat gelagat ini, tetapi
ia masih saja bertempur tanpa aturan. Pertempuran itu segera berubah menjadi
semakin cepat dan dahsyat. Tongkat hitam itu melayang menyambar-nyambar tak
henti-hentinya. Tetapi sampai sekian lama tak seorangpun yang dapat dikenainya.
Si pemuda sendiri kemudian menjadi heran, kenapa tongkatnya tak menyelesaikan
pertempuran sebelum fajar. Menilik kepandaian ketujuh orang yang mengeroyoknya,
ia sudah dapat memastikan bahwa sedikitnya empat diantaranya harus sudah
binasa, apalagi si perantau tolol itu. Tetapi karena sampai sedemikian jauh ia
masih belum mampu menjatuhkan seorang pun, Mahesa Jenar, yang dalam mata si
pemuda merupakan orang tolol yang berani, sangat mengganggu perkelahian itu.
Sekali waktu ketika tongkatnya melayang ke arah tengkuk salah seorang lawannya,
tiba-tiba perantau tolol itu melemparkan pasir ke arah mukanya, sehingga ia
terpaksa memejamkan matanya. Dengan demikian maka calon korbannya itu sempat
menghindarkan diri. Pada saat lain, ketika hampir saja tongkatnya berhasil
menyodok leher, si pemuda tolol itu kakinya terantuk batu, sehingga jatuh
tertelungkup menimpa lawan yang hampir binasa itu. Dengan demikian mereka jatuh
bergulingan. Dan juga kali ini tongkatnya tak menemukan sasaran. Si pemuda
akhirnya marah kepada Mahesa Jenar.
“Hai orang
tolol. Jangan berbuat gila di sini. Kalau kau tak mau lekas minggir, kaupun
akan kubinasakan. Bahkan kaulah yang pertama-tama akan mengalami nasib jelek,”
teriaknya geram.
Mendengar
seruan itu, sadarlah Mahesa Jenar bahwa pemuda itu sudah benar-benar marah.
Maka tidak sepantasnya lagi kalau ia bermain-main saja. Maka segera ia pun
mempersiapkan diri untuk menyambut setiap serangan yang benar-benar akan
dilancarkan kepadanya.
Sementara itu,
terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan mereka semua. Tidak saja para
pengawal dan mereka yang melakukan perjalanan, tetapi juga pemuda itu dan
Mahesa Jenar. Tiba-tiba dalam suasana keributan pertempuran, diantara kesepian
rimba itu, menggetarlah suara tertawa nyaring yang semakin lama terdengar
semakin mengerikan. Segera, semua yang mendengar suara itu mengenal, bahwa
itulah suara maharaja yang kekuasaannya terbentang meliputi seluruh hutan
Mentaok dan bagian-bagiannya. Ia adalah yang sangat ditakuti dengan namanya
yang seram, Lawa Ijo. Bahkan kali ini suara tertawa itu sedemikian mengerikan,
seperti memenuhi seluruh rimba dan mengepung mereka dari segala penjuru.
Demikian hebatnya pengaruh suara tertawa itu, seperti mengguncang-guncang dada.
Sehingga arahnya pun tak dapat diketahui dari manakah sumber suara itu.
Beberapa orang menjadi bingung dan ketakutan, bahkan ada yang menjadi lemas dan
hampir pingsan. Tidak ketinggalan para pengawal pun segera nampak sangat cemas.
Sebab munculnya Lawa Ijo setelah beberapa lama lenyap itu, adalah sangat
tiba-tiba dan tak disangka-sangka. Mahesa Jenar yang mempunyai telinga sangat
tajam, dengan saksama memperhatikan suara itu. Meskipun perlahan-lahan,
akhirnya dapat diketahui dari manakah asalnya. Tetapi rupanya pemuda tampan itu
pun bukan orang biasa. Pendengarannya ternyata sangat tajam. Untuk mengetahui
arah suara itu, diangkatnya wajah. Meskipun tidak secepat Mahesa Jenar, ia pun
akhirnya dapat mengetahui sumber suara itu. Maka segera ia pun bersiaga
menghadap ke arah suara itu, sambil berteriak.
“Hai Lawa Ijo,
kau jangan main gila di hadapanku. Ayo keluarlah dari sarangmu. Apakah yang
sebenarnya kau kehendaki dengan memperdengarkan suara tertawamu yang memuakkan
itu?”
Mendengar
seruan pemuda itu, semua orang, termasuk Mahesa Jenar, menjadi bertanya-tanya
dalam hati.
“Siapakah dia,
yang telah berani menantang Lawa Ijo ini?”
Sementara itu
suara tertawa Lawa Ijo pun semakin lama semakin surut, dan akhirnya mereka
dikejutkan oleh sebuah bayangan yang melayang turun dari dahan yang cukup
tinggi. Tetapi yang sama sekali tak diduga-duga, kecuali oleh Mahesa Jenar dan
pemuda tampan itu, ternyata Lawa Ijo bertengger di atas dahan yang hanya
berjarak tidak lebih dari 20 depa dengan mereka. Samar-samar oleh cahaya api
yang masih menyala, tampaklah bahwa Lawa Ijo pun sebenarnya masih muda. Usianya
tidak juga terpaut banyak dengan pemuda tampan itu maupun dengan Mahesa Jenar.
Tubuhnya kekar kuat, matanya hitam mengkilat memancarkan sinar kekejaman dan
kebengisan. Sedangkan di bawah hidungnya melekatlah kumis yang lebat hitam
melintang menyeramkan. Meskipun pada saat itu Lawa Ijo tersenyum, tetapi
senyumnya sama sekali tidak menambah manis wajahnya, bahkan beberapa orang yang
melihatnya menjadi gemetar ketakutan, seakan-akan melihat senyuman malaikat
pencabut nyawa yang berhasil melakukan tugasnya dengan baik.
PERLAHAN-LAHAN,
setapak demi setapak, Lawa Ijo berjalan mendekati pemuda tampan itu. Di
pinggangnya membelit kain berwarna putih dengan lukisan hijau di atasnya.
Pastilah itu gambar yang menyeramkan. Kelelawar dengan kepala serigala.
Sedangkan di tangan kanannya tergenggam sebilah pisau belati panjang. Ternyata
pemuda tampan itu sama sekali tidak gentar. Meskipun demikian ia tidak mau
merendahkan Lawa Ijo. Tangannya segera memutar tongkat hitamnya, dan tiba-tiba
dari dalamnya ia mencabut sebilah pedang kecil yang lentur. Melihat hal itu
Lawa Ijo tertawa, tetapi kali ini tertawanya pendek. Lalu ia berkata,
“Ular Laut
gila, kau jangan main gagah-gagahan di daerah ini.”
Mendengar
kata-kata Lawa Ijo, sekali lagi Mahesa Jenar terkejut.
“Inilah
agaknya yang disebut Samparan dengan panggilan Ular Laut yang memiliki wajah
tampan dan bernama Jaka Soka. Karena itulah maka dengan enaknya ia dapat
melawan tujuh orang, bahkan lebih dari itu. Dan dengan beraninya pula ia
menantang Lawa Ijo,” pikir Mahesa Jenar.
Mendengar
ucapan Lawa Ijo, Jaka Soka sama sekali tidak menjadi takut. Malahan kembali
bibirnya yang tipis itu menyungging senyum aneh.
“Daerah inikah
yang kau maksud?” jawab Jaka Soka.
“Jaka Soka,
kau jangan mencari perkara. Kau tahu bahwa seluruh hutan Mentaok dan
bagian-bagiannya serta segala isinya adalah daerah wewenangku,” sambung Lawa
Ijo.
“Hem… telah
berapa bulan atau berapa tahun kau merendam diri di sarangmu? Dan tahu-tahu
sekarang masih mengatakan daerah ini daerah wewenangmu. Lawa Ijo, menurut
pikiranku daerah ini sekarang merupakan daerah tak bertuan,” gumam Jaka Soka.
“Kau jangan
mengigau Soka. Aku belum pernah melepaskan hak yang pernah aku miliki. Kalau
beberapa waktu terakhir aku tidak pernah berbuat sesuatu, itu bukannya aku tak
lagi berwenang di daerah ini. Hanya saja, dalam waktu-waktu itu aku tak merasa
perlu untuk berbuat apa-apa. Anggapanmu bahwa daerah ini daerah tak bertuan itu
sama sekali salah, selama aku masih bernafas. Nah sekarang tinggalkan daerah
ini,” perintah Lawa Ijo.
Jaka Soka sama
sekali tak terpengaruh oleh kata-kata Lawa Ijo itu. Bahkan kemudian ia tertawa
kecil.
“Lawa Ijo, kau
jangan berlagak seperti seorang yang paling berkuasa. Apa dasarmu kau berani
memerintah aku untuk meninggalkan daerah ini? Kau masih belum menunjukkan bahwa
kau memiliki sepasang pusaka Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Juga belum
pasti bahwa kau akan berhasil memenangkan semua pertandingan yang akan kami
selenggarakan akhir tahun ini. Jadi pada saat ini kau dan aku masih belum
mempunyai sangkut paut apapun,” jawab Jaka Soka.
Lawa Ijo
menarik alisnya yang tebal itu tinggi-tinggi sambil mengangguk-angguk. Kemudian
katanya,
“Lalu
bagaimana seharusnya?”
“Seharusnya
kau tak usah mengganggu aku. Tetapi kalau kau tetap tak menghendaki aku
melakukan perbuatan-perbuatan di daerah ini, seharusnya kau paksa aku pergi,”
jawab Jaka Soka.
Kembali Lawa
Ijo tertawa pendek.
“Kau masih
seperti masa-masa lampau. Setelah kau capai tingkatmu yang hampir sempurna
sekarang ini, seharusnya kau tak lagi banyak bernafsu untuk berkelahi. Dan
apakah artinya pertempuran diantara kita. Beberapa waktu yang lampau kita
pernah berkelahi sampai beberapa hari. Dan tidak seorangpun dari kita yang
kalah. Kalau pada saat ini kami kembali bertempur, menurut pendapatku hasilnya
akan sama saja. Karena itu baiklah kita hormati persetujuan yang pernah kita
buat mengenai daerah kerja kita masing-masing,” kata Lawa Ijo.
Jaka Soka
menjadi bimbang. Dahinya berkerut dan otaknya berputar cepat. Melihat Jaka Soka
ragu, Lawa Ijo menambahkan,
“Atau kalau
kau merasa tidak perlu lagi dengan persetujuan itu, baiklah dihapus saja sama
sekali. Aku tak keberatan kau melakukan kegiatan di wilayah ini, tetapi kau
jangan menyalahkan aku kalau aku akan melakukan kegiatan di Nusa Kambangan dan
di lautan. Sebab aku pun pernah menjadi bajak laut pada usia 14 tahun.”
Dahi Jaka Soka
semakin berkerut. Dan akhirnya pecahlah tertawanya.
“Memang, kau
penjahat tak tanggung-tanggung Lawa Ijo. Baiklah kalau demikian aku mengalah,”
katanya.
“Tetapi….”
Jaka Soka berhenti berbicara, tetapi matanya merayap kepada gadis cantik yang
duduk gemetar dan ketakutan.
Lawa Ijo pun
mengerti maksud Jaka Soka. Sahutnya sambil tersenyum,
“Soka, kemana
kau pergi, selalu kau bawa pulang gadis-gadis. Apakah sarangmu masih belum
penuh?”
Jaka Soka
tertawa lirih, jawabnya,
“Alangkah
bodohnya kau. Nusa Kambangan cukup luas untuk menampung semua gadis dari pulau
Jawa ini. Dan atas gadis ini kau tidak keberatan?”
Mendengar
percakapan mereka, gadis itu menjadi semakin ketakutan. Tubuhnya menggigil dan
keringat dingin telah membasahi tubuhnya. Sekarang di hadapan kedua penjahat
terkenal itu, rombongan yang berjumlah 10 orang dengan mereka yang telah
tersadar dari pingsannya pun tidak mungkin dapat menghalangi maksud Ular Laut
yang gila itu. Meskipun orang-orang lain juga merasa ketakutan dan ngeri,
tetapi sebesar-besarnya mereka hanya harus menyerahkan barang-barang mereka.
Tetapi gadis itu harus menyerahkan dirinya.
Satu-satunya
harapan baginya adalah kalau Lawa Ijo tetap pada pendiriannya, melarang Jaka
Soka berbuat sesuatu di daerah ini. Sebab Lawa Ijo sendiri, menurut berita yang
tersiar, tak pernah menculik atau menghendaki seorang gadis.
Tetapi
alangkah kecewanya gadis itu, bahkan hampir saja ia jatuh pingsan ketika
didengarnya Lawa Ijo berkata sambil tertawa pendek,
“Jaka Soka, sebenarnya
aku sama sekali tak mengubah pendirianku. Tetapi sebagai seorang sahabat,
baiklah aku hadiahkan gadis itu kepadamu. Aku sama sekali tak berkepentingan
dengannya, sebab aku mempunyai kepentingan lain.”
Mendengar
jawaban Lawa Ijo, Jaka Soka menjadi gembira sekali.
“Lawa Ijo,
memang hanya itulah yang sebenarnya aku kehendaki dari rombongan ini. Hanya
barangkali kau anggap aku bersalah, bahwa aku tidak minta izinmu dahulu. Nah,
sekarang kau telah mengizinkan,” katanya.
Sekali lagi
Lawa Ijo tertawa.
“Terserahlah
kepadamu, Soka,” katanya.
Mendengar
keputusan Lawa Ijo, gadis itu semakin putus asa. Tak ada lagi harapan baginya
untuk melepaskan diri dari tangan penjahat itu.
MAHESA JENAR
selalu memperhatikan perkembangan keadaan dengan cermat. Ia dihadapkan pada
satu persoalan yang juga cukup rumit. Di sini, tanpa diduga-duga ia telah
bertemu dengan Lawa Ijo yang sengaja akan dicarinya. Tetapi di sini juga, ada
seorang yang dapat mengganggu pertemuan itu. Yaitu Jaka Soka yang ternyata
mempunyai kekuatan seimbang dengan Lawa Ijo. Kalau pada saat itu Mahesa Jenar
membuat perhitungan dengan Lawa Ijo, ia sendiri belum tahu pasti siapakah yang
akan menang. Apalagi kalau kemudian Jaka Soka ikut campur, maka masalahnya akan
merugikan. Menurut perhitungan Mahesa Jenar, melawan dua orang adalah pekerjaan
yang berat sekali, bahkan mungkin diluar kuasanya. Tetapi diluar itu ia
menghadapi soal baru. Jaka Soka menghendaki untuk membawa gadis itu pulang ke
Nusa Kambangan. Apakah hal yang demikian dan berlangsung di bawah hidungnya
akan dibiarkan saja? Andaikan ia bertindak, dalam hal ini pun ada kemungkinan
ia terlibat dalam pertempuran melawan kedua orang itu. Sebagai seorang prajurit
pilihan, Mahesa Jenar sama sekali tidak mengenal takut. Kalau ia sampai
berpikir demikian, masalahnya adalah atas dasar perhitungan cara dan bagaimana
untuk mencapai maksudnya. Selagi Mahesa Jenar sibuk berpikir, Jaka Soka dengan
matanya yang redup dan senyum aneh yang menghiasi bibirnya yang tipis, telah
mulai bergerak dan berjalan perlahan-lahan ke arah gadis cantik itu. Sementara
itu Lawa Ijo berteriak bergurau,
“Jaka Soka,
sebenarnya aku iri hati melihat ketampanan wajahmu. Tetapi kau rupanya adalah
seorang tampan yang sial. Sebab gadis-gadis yang kau kehendaki menjadi pingsan
kegirangan, karena akan mendapat pasangan yang setampan kau ini.”
Jaka Soka sama
sekali tak mendengar perkataan Lawa Ijo itu. Ia sedang kegirangan akan mendapat
gadis yang demikian cantiknya, melebihi semua gadis yang pernah dilihatnya.
Tetapi terjadilah suatu hal diluar perhitungannya. Dalam keputus-asaan, gadis
itu memutuskan untuk lebih baik membunuh dirinya. Ia sama sekali tidak mau
dinodai kehormatannya oleh iblis-iblis yang demikian itu. Maka secepat kilat ia
mengambil keris dari dalam bungkusan yang dibawanya, dan segera ia menarik
keris itu dari warangkanya.
Jaka Soka sama
sekali tidak mengira bahwa hal yang demikian akan terjadi. Karena itu ia
terkejut, sehingga langkahnya terhenti. Ia masih belum tahu, maksud yang
sebenarnya gadis itu menarik keris. Karena itu ia harus berhati-hati. Tetapi
tiba-tiba saja ia melihat keris itu melayang menuju kearah dada gadis itu
sendiri. Jaka Soka tersadar. Karena itu harus dicegahnya. Tetapi sayang
jaraknya masih terlalu jauh. Sehingga terloncatlah teriakan dari mulutnya yang
berbibir tipis itu dengan noda yang cemas. Cemas akan kehilangan gadis itu.
“Jangan ….
Jangan lakukan itu.”
Tetapi
teriakannya itu menggetar tanpa sesuatu pengaruh apapun atas gadis yang sudah
bertekad untuk mati daripada jatuh di tangan bajak laut yang berwajah tampan
itu. Tiba-tiba tampaklah sebuah bayangan melontar dengan cepatnya menyambar
pergelangan tangan gadis itu, sehingga keris yang digenggamnya tidak sampai
menembus dadanya. Gadis itu terkejut bukan kepalang. Demikian juga semua yang
menyaksikan. Bahkan Jaka Soka dan Lawa Ijo pun menjadi terkejut dan heran
melihat orang dapat bergerak demikian cepatnya. Itulah Mahesa Jenar yang telah
mencoba untuk menyelamatkan jiwa gadis cantik itu. Dan sekaligus keris itupun
telah berpindah ketangannya pula. Tetapi belum lagi debar jantung mereka
berhenti, kembali mereka terkejut, terutama Mahesa Jenar sendiri, Jaka Soka dan
Lawa Ijo, ketika mereka melihat keris yang sekarang sudah berada di tangannya.
“Kiai Sigar
Penjalin,” desis mereka hampir bersamaan.
Itulah nama
keris yang dipegang oleh Mahesa Jenar. Keris yang berbentuk lurus. Satu sisinya
melengkung hampir setengah lingkaran, sedangkan sisi yang lain datar seperti
kebiasaan keris. Mirip seperti batang penjalin yang dibelah dua dan
diruncingkan ujungnya. Yang mengejutkan mereka adalah, keris itu terkenal
sebagai pusaka seorang sakti yang mempunyai nama sejajar dengan Pasingsingan.
Yaitu Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak Wanasaba. Demikian terkejutnya Mahesa
Jenar sampai tangannya yang memegang keris itu gemetar. Maka setelah agak reda
sedikit dan nafasnya mulai teratur, Mahesa Jenar berdiri dengan teguhnya
memandang tajam kepada Jaka Soka.
“Apakah yang
kau kehendaki dari gadis ini?” tanya Mahesa Jenar.
Getar hati
Jaka Soka sementara itu telah turun. Tetapi sekarang otaknya dihinggapi oleh
suatu pertanyaan. Perantau tolol itu, kenapa tiba-tiba saja dapat berbuat
sedemikian cepatnya, sehingga jiwa gadis cantik itu tertolong. Selain itu,
gadis itu ternyata memiliki keris Kiai Sigar Penjalin. Apakah hubungannya dengan
Ki Ageng Pandan Alas?
Jaka Soka
berpaling kepada Lawa Ijo untuk mendapat pertimbangan. Ternyata Lawa Ijo pun
pada saat itu sedang berpikir keras. Ia memandang keris Sigar Penjalin yang
berada di tangan Mahesa Jenar itu tanpa berkedip. Baru setelah beberapa saat
kemudian ia berkata,
“Jaka Soka,
menurut pendapatku sebaiknya kita tidak membuka suatu persoalan dengan Ki Ageng
Pandan Alas. Sebab dengan membawa keris Sigar Penjalin, gadis itu mempunyai
hubungan dengan Ki Ageng Pandan Alas.”
Jaka Soka dalam
hati kecilnya membenarkan juga keterangan Lawa Ijo itu. Sebab ia pun tahu bahwa
Ki Ageng Pandan Alas termasuk orang yang aneh. Ia selalu berada di mana saja
merantau dari satu tempat ketempat lain.
Namun
demikian, ia sayang juga melepaskan gadis cantik yang sudah sekian lama
diikutinya. Sebab dalam pengamatannya, belum pernah ia menemukan gadis secantik
itu. Kalau kali ini ia tak berhasil membawanya pulang, maka seumur hidupnya
belum tentu ia akan menjumpainya lagi. Sebaliknya, gadis cantik itu sama sekali
tidak menduga bahwa keris yang dibawanya mempunyai pengaruh yang sedemikian
hebatnya. Ia sendiri belum pernah mendengar nama Ki Ageng Pandan Alas dari
Klurak. Keris yang dibawanya adalah keris peninggalan ibunya pada saat ibunya
menghembuskan nafas terakhir.
MENURUT
ibunya, keris itu adalah keris kakeknya, seorang petani miskin yang pada saat
itu sedang merantau mencari daerah baru yang lebih subur, yang barangkali dapat
dipakai sebagai tempat tinggal yang baru. Dan menurut ibunya, kakeknya sekarang
berada di desa Pliridan. Daerah antara hutan Tambak Baya dan Beringan, bagian
dari hutan Mentaok. Suatu daerah yang baru dibuka oleh beberapa orang, yang
nampaknya subur untuk daerah pertanian.
“Lawa Ijo,”
kata Jaka Soka kemudian setelah berpikir sejenak.
“Memang aku
sebenarnya segan terhadap orang tua itu. Tetapi menurut pikiranmu apakah ia
mengetahui bahwa gadis itu aku bawa pulang ke Nusa Kambangan?”
“Soka,” jawab
Lawa Ijo,
“Pandan Alas
itu tidak ubahnya seperti hantu yang berada di mana saja, pada saat apa saja.
Ia seolah-olah memiliki seribu mata dan seribu telinga yang bertebaran di
seluruh tanah ini.”
“Tetapi
ternyata sekarang ia tak ada di tempat ini,” potong Jaka Soka
“Kau jangan
berkeras membawa gadis itu, Soka. Meskipun seandainya Pandan Alas pada saat ini
tidak melihat dan mengetahui, tetapi perbuatan itu kau lakukan di hadapan
saksi-saksi yang pada suatu ketika pasti akan terdengar pula oleh hantu yang
bertelinga seribu itu. Kalau sudah demikian halnya, kau tidak akan dapat lagi
hidup tenteram dan berlindung di mana pun di dunia ini.”
Jaka Soka
terdiam. Tampak alisnya berkerut-kerut. Tiba-tiba terdengarlah ia menjawab
dengan jawaban yang sama sekali tidak terduga-duga. Semua yang mendengar
menjadi terkejut, seperti tanah tempat mereka berpijak itu runtuh.
“Lawa Ijo, kau
benar. Memang aku seharusnya tidak berbuat itu di hadapan saksi-saksi. Karena
itu maka akan aku bunuh semua orang yang menyaksikan peristiwa ini, kecuali
kau,” kata Jaka Soka dengan suara mantap.
Baru mendengar
kata-kata itu, dan belum lagi Jaka Soka berbuat sesuatu, orang-orang yang
mendengarnya seolah-olah telah terbang nyawanya. Lawa Ijo yang matanya
memancarkan sinar kebuasan dan kebengisan itu pun terkejut mendengar keputusan
Jaka Soka untuk membunuh sekian banyak orang itu.
“Jaka Soka,
sebaiknya kau pikir masak-masak apa yang akan kau lakukan itu. Apalagi hal itu
terjadi di daerah kuasaku,” kata Lawa Ijo memperingatkan.
“Lawa Ijo, kau
tidak akan tersangkut dalam perkara ini. Dan percayalah, bahwa apabila tak
seorang pun yang hidup diantara orang-orang ini, maka bagaimanapun tajamnya
telinga Pandan Alas, ia tak mungkin dapat mendengarnya,” jawab Jaka Soka.
Dahi Lawa Ijo
tampak berkerut. Rupanya ia berpikir keras. Tetapi bagaimanapun, ia tetap tidak
dapat mengerti jalan pikiran Jaka Soka. Mengorbankan sekian banyak orang hanya
untuk mendapatkan seorang gadis. Seandainya taruhan itu untuk memperebutkan
sebuah pusaka atau harta benda yang tak ternilai, agaknya Lawa Ijo masih dapat
mengerti. Mereka yang mendengarkan percakapan itu, hatinya diliputi oleh
suasana ketegangan yang hebat. Mereka mengharap Lawa Ijo tetap pada
pendiriannya, tak mengizinkan Jaka Soka berbuat demikian kejamnya hanya untuk
memanjakan nafsunya. Mereka rela andaikata kemudian Lawa Ijo merampas segala
harta benda mereka, asal nyawa mereka diselamatkan. Bahkan ada diantaranya yang
mulai menyesali gadis cantik itu. Karena gadis itulah maka nyawa mereka
terancam. Sampai beberapa saat Lawa Ijo tidak berkata-kata. Ia menjadi bimbang.
Sebenarnya lebih baik baginya untuk tidak menambah lawan. Apalagi seorang sakti
seperti Ki Ageng Pandan Alas. Tetapi untuk menolak permintaan Jaka Soka pun
akan mempunyai akibat yang tak menyenangkan. Sebab ia tahu betul tabiat
kawannya ini. Semua kehendaknya harus dapat terlaksana. Apalagi kalau ia sedang
tergila-gila kepada seorang gadis. Bagaimanapun kejamnya Lawa Ijo, namun tak
akan terlintas dalam pikirannya untuk berbuat demikian, hanya untuk seorang
gadis. Sebab ia sama sekali memang tidak pernah tertarik kepada gadis seperti
itu. Baginya, gadis-gadis demikian hanyalah akan mempersulit diri saja.
“Lawa Ijo,
seharusnya kau tak usah takut kepada Pandan Alas. Sebab Paman Pasingsingan
tentu tidak akan tinggal diam andaikata Pandan Alas salah duga terhadapmu
mengenai masalah ini,” sambung Jaka Soka ketika Lawa Ijo lama tak menjawab.
Mendengar
desakan terakhir ini, Lawa Ijo tampak mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi bagi
mereka yang menyaksikan, anggukan kepala Lawa Ijo itu bagaikan melihat jatuhnya
palu keputusan hukuman mati bagi mereka semua.
Maka
terjadilah kegemparan diantara mereka. Beberapa orang telah menangis
merintih-rintih minta diampuni dan diselamatkan jiwanya. Mereka bersumpah untuk
tidak membuka mulut tentang peristiwa ini kepada siapa pun. Beberapa orang lagi
jatuh pingsan, dan yang lain menggigil ketakutan. Dalam keadaan yang demikian,
terasalah kesetiakawanan mereka hancur lumat demi keselamatan masing-masing.
Bahkan ada diantara mereka yang sampai hati terang-terangan mengumpati gadis
yang sama sekali tak bersalah itu.
DALAM
keributan itu, tiba-tiba gadis cantik itu berdiri tegak. Kepalanya terangkat
dan dadanya menengadah. Lenyaplah kesan-kesan ketakutan dan kecemasan yang
membayang di wajahnya. Dari mulutnya yang mungil itu terdengarlah suaranya yang
gemetar.
“Saudara-saudara
seperjalanan… aku minta maaf kalau kehadiranku diantara saudara-saudara
menyebabkan saudara-saudara menemui kesulitan. Tetapi ketahuilah bahwa orang
ini tidak akan berguna membunuh saudara-saudara sekalian, sebab aku telah
memutuskan untuk bunuh diri.”
Kemudian gadis
itu berpaling kepada Mahesa Jenar. Lalu katanya,
“Ki Sanak, aku
berterima kasih kepadamu, atas usahamu menyelamatkan jiwaku. Tetapi adalah
lebih berharga jiwa dari sekian banyak orang termasuk ki sanak sendiri,
daripada aku seorang. Karena itu berikanlah keris itu kembali kepadaku.”
Sudah tentu
Mahesa Jenar tidak dapat berpangku tangan menyaksikan semua itu terjadi. Ia
telah berjanji kepada dirinya sendiri, mengabdikan diri bagi kedamaian hati
rakyat dan kemanusiaan. Sebab dengan demikian ia telah mengabdikan dirinya pula
kepada tanah tumpah darah dan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mahesa Jenar sangat
terharu mendengar ucapan gadis yang menyediakan diri sebagai tumbal keselamatan
sekian banyak orang. Tetapi belum lagi ia sempat menjawab, terdengar suara Jaka
Soka.
“Perantau
tolol. Jangan kau serahkan kepadanya, supaya aku selamatkan jiwamu. Berikan
saja keris itu kepadaku.”
Tetapi Mahesa
Jenar sudah mendapat suatu ketetapan. Apalagi ketika ia mendengar bahwa Jaka
Soka akan membunuh semua orang yang ada, hanya untuk merampas seorang gadis.
Sedangkan gadis itu sendiri sama sekali tidak menghendakinya. Karena itu,
dengan sikap seekor banteng, Mahesa Jenar melangkah, lalu berdiri diantara
gadis yang pucat itu. Wajahnya memancarkan kebulatan tekadnya, apapun yang akan
dihadapi. Meskipun ia harus melawan Jaka Soka dan Lawa Ijo sekaligus. Dengan
tenangnya pula ia menjawab kata-kata Jaka Soka.
“Jaka Soka
yang dikenal sebagai seorang Bajak Laut yang menakutkan. Buat apa aku mengharap
kau membebaskan jiwaku. Kalau aku terpaksa berkubur di tengah-tengah hutan
Tambak Baya ini. Karena aku membela kebenaran, aku sama sekali tidak akan menyesal.
Karena itu selagi aku masih bernafas, kau tak akan dapat menyentuh gadis yang
belum aku kenal sebelumnya ini.”
Jawaban Mahesa
Jenar ini hebat akibatnya. Muka Jaka Soka segera berubah menjadi merah membara,
dibakar oleh kemarahannya. Kalau tadi ia melihat orang itu dapat bergerak
begitu cepat, baginya bukanlah ukuran bahwa orang itu cukup berharga untuk
dilawannya. Apalagi sebelum itu, perantau tolol itu telah melawannya
bersama-sama dengan ketujuh orang pengawal, dan sama sekali tak menunjukkan
keistimewaan apa-apa. Meskipun demikian, dalam hati Jaka Soka mengakui, bahwa
orang itu benar-benar orang tolol yang berani. Selain itu, kata-kata Mahesa
Jenar ternyata mempunyai akibat yang mengejutkan pula terhadap para pengawal.
Dengan tak terduga sama sekali, pemimpin pengawal yang telah agak lanjut usia
itu tiba-tiba meloncat ke samping Mahesa Jenar. Dengan penuh tanggung jawab ia
berkata,
“Jaka Soka,
akupun pernah mendengar kebesaran namamu. Dan sekarang aku sempat menyaksikan
pula. Bahkan sekaligus aku dapat mengetahui betapa biadabnya Bajak Laut dari
Nusa Kambangan ini. Karena itu, bagaimana aku berani berlagak di hadapanmu.
Tetapi karena kali ini aku sedang dibebani oleh suatu tanggung jawab, maka
bersama-sama perantau yang belum aku kenal ini, aku bersedia menjadi banteng.
Apa artinya sisa umurku yang tinggal beberapa tahun lagi, kalau dilumuri oleh
suatu pengkhianatan akan tugas yang dibebankan di pundakku.”
“Cukup!”
potong Jaka Soka. Tetapi suaranya terputus sampai sekian, karena getaran
kemarahannya. Wajahnya menjadi semakin merah. Giginya gemeretak, sedangkan
matanya seolah-olah memancarkan api, seperti perapian yang masih menyala-nyala.
Apalagi ketika dilihatnya kesembilan pengawal yang lain pun tiba-tiba serentak
berdiri dengan teguhnya menggenggam senjata masing-masing demikian eratnya.
Seakan-akan teguhnya ingin mengatakan, bahwa gugurlah mereka dalam tugasnya
dengan senjata di tangan.
Tetapi kembali
terjadi hal yang sama sekali tak diduga-duga. Orang yang dianggapnya sebagai
perantau tolol yang menumpang berjalan, bahkan ada diantara mereka yang
memberikan beban dengan menyanggupinya untuk memberi upah sekedarnya itu,
berkata dengan lantangnya kepada pemimpin pengawal itu.
“Bapak …,
Bapak telah lanjut usia. Apalagi orang yang dilawan bukan sembarang orang.
Karena itu minggirlah. Biarlah aku yang berumur sebaya melawannya, untuk
mewakili mereka yang berhati kecil, sekecil hati kelinci, sehingga kehilangan
rasa kesetiakawanan mereka. Bahkan ada yang sampai hati menyalahkan gadis ini
pula. Tetapi karena aku tidak sepantasnya mempergunakan keris Sigar Penjalin
milik seorang sakti ini, baiklah keris ini aku titipkan kepadamu. Janganlah
gadis ini diberi kesempatan untuk bunuh diri sebelum kita semua binasa.”
Karena
pengaruh perbawa kata-kata Mahesa Jenar itu, maka orang tua itu seolah-olah
diluar sadarnya menerima keris Sigar Penjalin. Sementara itu Lawa Ijo rupanya
benar-benar tak mau terlibat dalam persoalan ini. Karena itu ia bersikap
sebagai seorang penonton saja, yang kemudian malahan perlahan-lahan duduk pada
sebuah akar pohon. Sedang Jaka Soka kini telah sampai pada puncak kemarahannya.
Meskipun demikian ia masih ingat pada harga dirinya. Segera pedang kecilnya
disarungkan ke dalam tongkat hitam manis, dan melemparkan tongkat itu kepada
Lawa Ijo.
“Lawa Ijo,
tolong bawakan tongkatku ini,” kata Jaka Soka dengan nada geram. Lalu katanya
kepada Mahesa Jenar,
“Setan. Kau
berani meremehkan aku. Aku harap kau maju bersama-sama, supaya cepat selesai
pekerjaanku. Membunuh kalian. Semua. Tak seorang pun akan aku sisakan.”
SEGERA sesudah
itu Jaka Soka bersiap untuk menghancur-lumatkan orang yang telah berani
menghinanya. Sementara itu Mahesa Jenar pun telah bersiap pula. Sebab ia tahu
benar bahwa lawannya itu adalah orang yang mendapat sebutan Ular Laut yang
Ganas dari Nusa Kambangan. Mereka yang menyaksikan adegan itu, hatinya
berdegub, dipenuhi oleh bermacam-macam persoalan. Meskipun ada juga yang merasa
tersentuh oleh sindiran Mahesa Jenar, bahwa tak seorang pun diantara mereka
yang berani membela gadis yang sedang dalam kesulitan itu. Bahkan ada pula yang
mengumpatinya, kecuali para pengawal yang merasa memikul tanggung jawab. Tetapi
tak seorang pun dari mereka yang menaruh setitik harapan kepada perantau yang
tolol meskipun berani itu. Bahkan ada yang menganggap kelakuan Mahesa Jenar itu
hanya akan menambah kemarahan Jaka Soka, sehingga akan mempercepat kematian
mereka tanpa pertimbangan lagi. Gadis cantik itu sendiri memandang Mahesa Jenar
sebagai orang yang aneh. Setelah menyaksikan Mahesa Jenar bersama-sama dengan
para pengawal tak dapat memenangkan perkelahian melawan pemuda tampan yang
ternyata bernama Jaka Soka itu, tiba-tiba sekarang ia, si perantau itu, ingin
melawannya seorang diri. Disamping perasaan itu, timbul pula suatu perasaan
lain yang asing dalam diri gadis itu. Suatu perasaan dimana ia ingin
mendapatkan perlindungan dari orang yang aneh itu lebih daripada yang
lain-lain, juga lebih daripada para pengawal itu sendiri, meskipun ia tidak
tahu apakah orang itu akan dapat melakukannya. Sesaat kemudian, kembali
terdengar Jaka Soka menggeram hebat.
“Sebenarnya
sayanglah tanganku ini dikotori oleh darah kelinci seperti tampangmu itu.
Tetapi karena kau adalah kelinci yang paling tak tahu diri, maka terpaksa aku
ingin menguliti tubuhmu.”
Kata-kata itu
benar-benar menyeramkan. Tetapi lebih-lebih lagi ketika orang-orang itu melihat
tangan Ular Laut itu menjulur dengan dahsyatnya ke arah tulang-tulang iga
Mahesa Jenar. Rupanya Jaka Soka yang seakan sedang gila dibakar oleh
kemarahannya itu, ingin membunuh lawannya dengan pukulan yang pertama.
Mereka yang
menyaksikan gerak Jaka Soka itu tersirat darahnya. Beberapa orang memejamkan
matanya, sebab menurut dugaan mereka tulang-tulang iga perantau tolol itu
segera akan rontok seluruhnya. Bahkan beberapa orang segera memegangi dada
masing-masing, se-olah-olah tulang iga merekalah yang akan lepas
berderai-derai. Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar telah benar-benar
siap dan waspada. Sebab ia tahu bahwa lawannya bukanlah lawan biasa, tetapi ia
adalah seorang pemuda yang mempunyai nama di kalangan aliran hitam. Meskipun
demikian ia kagum juga melihat kegesitan Ular Laut itu. Melihat serangan yang
datang dengan dahsyatnya, segera Mahesa Jenar dengan cepatnya pula mengelak ke
samping. Seterusnya ia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Karena itu, ketika
ia berhasil membebaskan diri dari serangan pertama Jaka Soka, segera ia membuka
serangan pula. Sebuah serangan dengan kakinya menyambar perut lawannya. Tetapi
Jaka Soka bukan anak kemarin sore. Ketika ia merasa bahwa serangannya yang
pertama gagal, segera ia mengubah sikapnya dan dengan satu gerakan melingkar ia
berhasil mengelakkan serangan Mahesa Jenar. Sebaliknya Mahesa Jenar adalah
seorang prajurit yang berpengalaman. Melihat lawannya menghindar, cepat-cepat
ia memotong arah dan tahu-tahu ia sudah berada di muka Jaka Soka kembali,
sekaligus menyerang dengan tangkasnya ke arah leher lawannya. Jaka Soka menjadi
terperanjat bukan buatan. Apalagi sebelumnya ia memandang orang itu sebagai
seorang yang tak berarti meskipun mempunyai cukup keberanian. Dengan demikian
kewaspadaannya jadi berkurang. Karena itu, ketika dengan tak diduganya sama
sekali lawannya itu dapat bergerak dengan lincahnya, ia tidak sempat
mengelakkan diri. Mau tidak mau ia harus melawan serangan itu dengan sebuah
pertahanan yang rapat, kalau ia tidak mau binasa. Karena itu terjadilah suatu
benturan yang dahsyat. Mahesa Jenar telah mempergunakan sebagian besar
tenaganya, sedangkan Jaka Soka pun telah mengerahkan kekuatannya pula.
Akibatnya adalah hebat sekali. Tubuh Mahesa Jenar bergetar hebat dan ia
terdorong surut ke belakang. Jaka Soka pun terlempar beberapa depa, dan
kemudian meski sudah berusaha, ia tak berhasil menguasai keseimbangan tubuhnya.
Sehingga ia jatuh beberapa kali berguling, barulah ia berhasil meloncat tegak
kembali. Mengalami hal ini, dada Jaka Soka serasa akan pecah. Darahnya mendidih
dan menggelagak sampai kepala. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa lawannya,
yang dalam pandangannya semula tidaklah lebih dari seekor kelinci yang tidak tahu
diri itu, ternyata memiliki tenaga yang demikian dahsyatnya. Karena itu,
matanya menjadi semakin menyala.
Tahulah Jaka
Soka sekarang, kenapa tadi ia sama sekali tidak berhasil membunuh seorang pun
dari para pengawal yang mengeroyoknya. Rupanya orang ini tidak saja kebetulan
menubruk kawan-kawannya, melemparnya dengan pasir pada saat tepat tongkatnya
hampir menyambar korban, kemudian jatuh bergulingan menimpa beberapa orang yang
dadanya hampir rontok oleh tongkatnya. Hal itu pastilah disengaja untuk menyelamatkan
para pengawal itu. Sebab ternyata bahwa orang itu mempunyai kepandaian yang
luar biasa. Mahesa Jenar sendiri terkejut pula mengalami benturan itu. Ternyata
tenaga Jaka Soka pun dahsyat, sehingga ia tergetar surut. Dalam hal ini Mahesa
Jenar sadar, bahwa Jaka Soka terlalu menganggapnya tak berarti, sehingga
apabila Jaka Soka sungguh-sungguh menggempurnya dengan segenap kekuatan dan
ilmunya, maka keadaannya pasti akan lain. Bahkan mungkin keadaannya akan
berimbang. Sesaat kemudian, baik Jaka Soka maupun Mahesa Jenar telah
mempersiapkan diri kembali untuk memulai perkelahian. Mereka berdua sadar,
bahwa kekuatan mereka tidak terpaut banyak. Maka kunci kemenangan dari
pertempuran ini terletak dalam kepandaian serta keprigelan mereka membawakan
diri dalam keadaan-keadaan yang genting. Sebentar kemudian perkelahian itu
segera mulai kembali dengan sengitnya. Cara berkelahi Jaka Soka itu benar-benar
seperti ular. Melingkar, melilit lawannya dan mematuk dengan jari-jarinya
demikian dahsyatnya. Geraknya cepat dan licin tak terduga-duga. Sedangkan
Mahesa Jenar bersikap lebih tenang. Ia bertempur seperti seekor banteng yang
teguh, kokoh dan tangguh. Ia tidak begitu banyak bergerak, tetapi demikian
tubuhnya berkisar, menyambarlah udara maut ber-putar-putar. Perkelahian itu
berlangsung demikian dahsyatnya. Mereka bergerak sambar menyambar diantara
pepohonan hutan, sehingga terdengarlah suara berderak batang-batang patah kena
sambaran tangan mereka yang keras bagaikan besi. Mereka yang menyaksikan
pertempuran itu telah berlari-lari berpencaran. Sedang dalam otak mereka
berkecamuk seribu satu pertanyaan mengenai diri perantau aneh itu. Setelah
mereka menyaksikan betapa hebat tenaganya, serta betapa dahsyat caranya
bertempur, mereka menjadi kebingungan.
Adanya Jaka Soka
diantara mereka, serta munculnya Lawa Ijo dengan tiba-tiba itu saja, telah
cukup memeningkan kepala mereka. Apalagi keputusan Jaka Soka untuk membunuh
mereka semua, karena mereka menyaksikan perbuatannya, menculik seorang gadis.
Dan sekarang, tiba-tiba di hadapan mereka muncul seorang lagi, yang semula
mereka anggap sama sekali tak berarti, tetapi ternyata dapat mengimbangi
ketangkasan Jaka Soka. Karena itu, pastilah akan muncul pula sebuah nama
diantara mereka yang akan mengejutkan pula. Nama orang yang mereka sangka
perantau tolol itu. Di saat yang sedemikian tegangnya, dimana berputar-putar
udara yang bernafaskan maut, pecahlah fajar di ujung Timur. Cahayanya yang
kuning kemerah-merahan melimpah ke persada bumi yang dipenuhi oleh segala macam
pertentangan. Pertentangan-pertentangan yang mudah diselesaikan,
pertentangan-pertentangan yang sulit diselesaikan, bahkan kadang-kadang
terdapat pertentangan-pertentangan yang tak mungkin dipecahkan. Meskipun cahaya
kemerahan itu masih begitu lemah untuk dapat menerangi pedalaman hutan yang
lebat, tetapi berkas-berkas cahayanya yang menerobos dedaunan, sedikit banyak
telah dapat pula menyibak gelapnya malam, dan mengurangi kepekatan rimba,
menggantikan cahaya perapian yang telah terlalu lama padam. Maka makin lama
semakin tampak jelaslah dua bayangan yang sedang mati-matian mengadu tenaga
itu. Sementara itu Lawa Ijo telah mengikuti pertempuran itu dengan saksama. Di
dalam hati ia memuji juga keuletan Jaka Soka yang pada akhir tahun ini akan
bersama-sama mengadakan semacam pertandingan dengan beberapa orang lainnya,
termasuk dirinya. Diam-diam ia merasa mendapat keuntungan dengan kejadian itu.
Sebab dengan demikian ia dapat mengetahui kekuatan dan kelemahan Jaka Soka,
yang pada akhir tahun ini pasti akan menjadi salah seorang lawannya yang berat.
Karena itu sejak pertempuran berkobar, perhatiannya terikat kepada setiap gerak
Jaka Soka.
Tetapi setelah
pertempuran itu berlangsung agak lama, Lawa Ijo menangkap gerak-gerak yang
menarik perhatiannya dari lawan Jaka Soka. Maka segera perhatiannya beralih.
Gerak orang ini demikian tenang, kokoh dan tangguh. Pastilah ia bukan orang
sembarangan. Sesaat kemudian mendadak Lawa Ijo terkejut sekali sampai ia
meloncat selangkah ke depan. Matanya dengan tajamnya mengawasi setiap gerak
Mahesa Jenar sampai matanya seolah-olah mau meloncat dari kepalanya. Tiba-tiba
saja ia melihat sesuatu pada gerak-gerak Mahesa Jenar. Gerakan-gerakan yang
pernah dilihatnya, bahkan pernah dialami kedahsyatannya. Maka dengan suatu
gerakan yang cepat sekali, secepat sambaran halilintar, ia meloncat maju ke
tengah-tengah arena pertempuran. Sementara itu dengan nyaringnya mulutnya
berteriak,
“Jaka Soka,
minggirlah!”
Baik Jaka Soka
maupun Mahesa Jenar serentak terkejut mendengar seruan itu. Apalagi ketika mereka
melihat bahwa Lawa Ijo telah meloncat ke tengah-tengah mereka. Maka sesaat
pertempuran itu terhenti, dan tanpa berjanji lebih dahulu, mereka bersama-sama
meloncat selangkah surut. Wajah Jaka Soka masih merah membara sebagai ungkapan
kemarahan yang menyala di dalam dadanya.
“Lawa Ijo,
apalagi yang kau maui dariku sehingga kau hentikan perkelahian ini. Meskipun
aku tidak segera dapat membunuh orang yang sombong ini, tetapi aku sudah
bertekad untuk melayani sampai berapa hari pun, bahkan bertahun-tahun sampai
salah seorang dari kami hancur,” kata Jaka Soka.
“Kau benar
Soka, tetapi sudah aku katakan, bahwa daerah ini adalah daerahku, sehingga
kaupun harus menurut angger-angger-ku,” sahut Lawa Ijo.
Jaka Soka
memandang Lawa Ijo dengan mata yang menyalakan api kemarahan.
“Apalagi yang
kau kehendaki dariku?” katanya.
“Aku tak
menghendaki apa-apa lagi daripadamu, Soka, kecuali serahkan orang ini
kepadaku,” jawab Lawa Ijo.
Mata Jaka Soka
bertambah berapi-api lagi.
“Lawa Ijo,
apakah kau sudah memandang aku sedemikian rendahnya sehingga kau perlu menolong
aku?” kata Jaka Soka lagi.
No comments:
Post a Comment