Bagian 051


MESKIPUN mereka terkejut pula atas kehadiran seseorang tanpa diduganya lebih dahulu, namun mereka sempat pula menarik nafas lega atas kebebasan mereka dari ikatan udara yang aneh itu. Ketika mereka telah sempat memperhatikan bayangan yang berdiri di hadapan mereka, tahulah mereka bahwa orang itu adalah orang yang mengenakan jubah yang hanya tampak kehitam-hitaman di dalam gelap malam, namun dalam pada itu Mahesa Jenar segera mengenal, bahwa orang itu adalah orang yang selalu dikenalnya mengenakan jubah abu-abu. Karena itu segera terpancarlah cahaya yang cerah dari wajahnya. Demikian pula Kebo Kanigara, sehingga tanpa disengajanya ia bergeser sejengkal maju. Adapun Radite dan Anggara, ketika melihat orang yang berjubah itu tegak di hadapan mereka seperti patung, terlonjaklah dada mereka. Tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi bergetar dan nafas mereka menjadi semakin cepat beredar. Karena pada tubuh yang tegak mematung di hadapannya itu, seolah-olah terpancarlah suatu kenangan atas masa silam. Suatu kenangan dari masa yang gemilang dari seorang yang menamakan dirinya Pasingsingan.

Ya, pada saat Radite berhak mengenakan jubah yang berwarna abu-abu, seorang yang berhak mengenakan topeng yang meskipun kasar dan jelek namun dari padanya terpancar suatu harapan bagi setiap orang yang menyaksikannya. Karena dibalik wajah yang kasar dan jelek itu tersembunyi suatu pengabdian yang luhur tanpa pamrih. Tetapi keluhuran serta kemurnian pengabdian itu kemudian menjadi lebur. Dan setelah itu nama Pasingsingan menjadi hancur. Nama Pasingsingan dengan cepatnya meluncur hanyut ke dalam lumpur, karena pokal seorang saudara seperguruannya yang bernama Umbaran. Tiba-tiba kembali Radite terlempar pada suatu anggapan, bahwa dirinyalah sumber dari segala bencana dan noda yang kemudian melekat dan mengotori jubah abu-abu, topeng yang kasar dan jelek namun mamancarkan harapan damai serta nama yang menggetarkan, ”Pasingsingan.” Dan sekarang di hadapannya berdiri seseorang yang mengingatkannya kepada dirinya beberapa tahun yang silam. Tetapi yang pasti baginya orang yang berjubah itu bukanlah Umbaran. Sebab bagaimanapun saktinya Pasingsingan, yang berasal dari orang yang bernama Umbaran itu, namun tidaklah mungkin ia mampu menciptakan suasana sedemikian seramnya.

Tiba-tiba Radite teringat akan sumber dari nama Umbaran. Sumber dari mahluk-mahluk yang kemudian menyebut dirinya Pasingsingan. Teringatlah ia pada saat ia menerima warisan jubah abu-abu serta segala kelengkapannya yang demikian saja berada di dalam ruang tidurnya. Teringatlah ia ketika orang yang mewariskan benda-benda itu kemudian lenyap tak berbekas. Yang kemudian datang kembali ketika nama Pasingsingan itu telah ternoda dan berkata kepadanya
”Bahwa tak ada gunanya untuk mencoba memperbaiki nama yang telah terbenam didalam arus ketamakan, kedengkian dan kejahatan.” Radite adalah seorang tua yang mempunyai mata hati yang tajam. Demikian pula adiknya, Anggara. Karena itu tiba-tiba tergoreslah suatu tanggapan batin yang tak dapat diketahui dari mana datangnya yang mengatakan padanya, bahwa kemungkinan satu-satunya orang yang berdiri di hadapannya itu adalah gurunya Pasingsingan Sepuh. Karena itu, seperti orang berjanji, Radite dan Anggara tiba-tiba bersama-sama berjongkok dan membungkukkan kepala mereka dengan takzimnya.

Orang yang berjubah abu-abu itu mundur beberapa langkah ke belakang. Wajahnya yang kosong dan pucat, sama sekali tak menampakkan sesuatu kesan. Apalagi didalam gelap malam, wajah itu seolah-olah sama sekali tidak bergerak. Dalam pada itu tiba-tiba terdengarlah suara Radite serak,
”Guru… ampunkanlah kami, atas segala ketikdaksopanan kami. Sebab kami sama sekali tidak menduga bahwa kami masih berhak untuk memandang wajah guru karena dosa-dosa kami.”
Orang yang berjubah abu-abu itu terdengar menggeram. Lalu terdengarlah suaranya seolah-olah bergulung-gulung di dalam perutnya,
”Radite dan Anggara, demikianlah, sejak aku kau kecewakan, aku memang sudah berhasrat untuk tidak menjumpaimu lagi. Sebab setiap aku memandang wajahmu, tergoreslah kembali luka di hati ini. Bagaimanapun aku berusaha untuk bersikap sebagai seorang yang berjiwa besar, namun ternyata aku bukanlah orang yang berjiwa demikian. Meskipun aku tidak membebankan semua kesalahan kepadamu, namun dengan menghindari pertemuan itu, aku berhasrat untuk melupakan segala-galanya yang pernah terjadi. Melupakan gelar Pasingsingan yang sudah sejak berpuluh tahun sebelumnya dipupuk dan disiangi, untuk kemudian dapat berkembang dengan harumnya. Tetapi, kemudian karena sifat-sifat yang sebenarnya alami dari setiap manusia, maka semuanya itu menjadi hancur. Sifat-sifat alami yang tanpa kesadaran serta pengarahan yang benar, maka kaburlah batas antara manusia yang berakal budi dengan mahluk-mahluk lainnya, yang hanya mengenal sifat-sifat alami melulu sebagai naluri.”

Radite dan Anggara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Mereka sama sekali tidak berani menatap wajah orang yang berdiri di hadapannya. Mereka merasakan benar-benar betapa kata-kata orang itu langsung menembus jantung mereka. Dan karena kata-kata itu pula kemudian Radite dan Anggara menjadi yakin seyakin-yakinnya bahwa tidak mungkin ada orang lain yang dapat berbuat, bersikap dan berkata kepadanya sedemikian itu selain Pasingsingan Sepuh. Karena itu maka sekali lagi Radite menundukkan kepalanya sambil berkata parau,
”Guru, telah sekian lama aku menanti, bahwa pada suatu saat aku akan dapat membersihkan dosa-dosaku dengan menjalani hukuman yang dapat guru jatuhkan kepadaku. Dan sekarang aku mendapat kesempatan untuk bertemu. Karena itulah aku mohon, guru sudi berbuat sesuatu atas diriku sebagai suatu pernyataan penyesalanku yang tiada terhingga.”
”Radite…” jawab orang yang berjubah itu,
”Pengakuan atas kesalahan yang tiada dibuat-buat, yang diucapkan dengan jujur dan ikhlas adalah suatu hukuman yang seberat-beratnya. Sebab, hukuman bukanlah sekadar menyakiti, menyiksa atau penderitaan-penderitaan lain. Tetapi tujuan dari pada hukuman yang sebenarnya adalah mencegah terulangnya kesalahan itu. Kalau seseorang, dengan ikhlas dan jujur telah mengakui kesalahannya dan berusaha dengan sepenuh hati untuk tidak berbuat kesalahan-kesalahan lagi, maka menurut pendapatku tidak adalah hukuman lain yang wajib ditimpakan atasnya.”

Sekali lagi kata-kata orang berjubah itu meresap ke dalam setiap relung dada Radite maupun Anggara, seperti meresapnya rasa sejuk dari percikan air yang telah wayu sewindu. Meskipun demikian, karena beban perasaan yang terasa sangat berat menghimpit hati, Radite mencoba sekali lagi mendesak,
”Guru, bukankah hal yang demikian setidak-tidaknya akan dapat menjadi suri tauladan, bahwa Radite mengalami hukuman atas kesalahannya? Sebab apabila ada kesalahan yang lepas dari hukuman, maka ada kemungkinan orang lain akan melakukan hal yang sama dengan harapan untuk membebaskan diri pula dari setiap hukuman.”
Terdengarlah orang yang berjubah itu tertawa lirih. Jawabnya,
”Radite, aku tahu bahwa kau ingin mengurangi tanggungan perasaanmu. Tetapi ketahuilah, bahwa dengan penyesalan serta keikhlasanmu mengakui kesalahanmu itu adalah hukuman yang sudah cukup berat. Sedang apabila ada orang lain yang dengan sengaja berbuat kesalahan, kepadanyalah hukuman harus dibebankan, bahkan dua kali lipat dari yang seharusnya.”
Radite menjadi terdiam. Untuk beberapa saat suasana kembali dicekam oleh kesepian. Dalam pada itu timbul pulalah berbagai pertanyaan di dalam dada Radite dan Anggara. Kalau gurunya pada saat yang tiba-tiba tanpa diduga-duganya itu hadir di hadapannya, apakah maksudnya? Ia tidak ingin memberi hukuman kepadanya, sebaliknya gurunya itu telah bertekad untuk tidak menjumpainya lagi. Tetapi sekarang orang itu ada disini. Baru kemudian teringatlah oleh Radite bahwa disampingnya ada orang lain dari perguruan lain. Yaitu Mahesa Jenar dan orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya. Apakah kedatangan gurunya itu ada sangkut-pautnya dengan mereka itu?. Karena itu kemudian bertanyalah ia,
”Guru, kalau demikian apakah aku berhak mempersilahkan guru untuk singgah ke dalam pondokku?”

TERDENGAR orang berjubah itu tertawa pendek. Lalu sahutnya,
”Radite, kau agaknya terlalu cemas melihat bayanganmu sendiri. Bagiku, dosamu tidak sebesar yang kau duga sendiri. Sudah aku katakan bahwa kalau aku tidak ingin menjumpaimu lagi itu karena kekerdilan jiwaku sendiri. Jiwa orang tua yang merindukan masa lampau itu tetap menjadi kebanggaannya. Bahkan kalau mungkin, menjadi kebanggaan setiap orang Radite dan Anggara, ternyata apa yang cemerlang di masa lampau tidaklah selalu yang cemerlang masa sekarang dan masa yang akan datang. Dan ini akhirnya harus aku yakini meskipun tidak semua yang berasal dari masa lampau itu harus dilupakan dan disisihkan.
Namun satu hal yang bagiku tetap harus tak berubah dari masa ke masa. Dari masa lampau, masa kini dan masa yang akan datang. Bahwa apa yang kita lakukan seharusnya kita abdikan dengan penuh kasih dan cinta kepada manusia dan kemanusiaan. Bukan sebaliknya manusia dan kemanusiaan kita abdikan pada diri kita, pada kepentingan kita pribadi. Demikianlah manusia akan mencerminkan kasih dan cinta Tuhan.”

Tidak hanya Radite dan Anggara yang meresapi kata-kata orang berjubah itu. Juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendengarkan kata demi kata dengan seksama. Sehingga untuk sesaat mereka lupa pada kepentingan mereka sendiri. Sementara itu terdengar orang berjubah itu meneruskan,
“Dan karena itulah agaknya aku datang kemari. Kalau pada saat-saat lampau tak sepantasnya orang-orang muda menyeret orang-orang tua ke dalam satu persoalan, namun sekarang ternyata aku terseret kemari karena pokal anak-anak muda.”
Radite dan Anggara terkejut mendengar kata-kata itu. tanpa disengaja mereka menoleh kepada Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang masih duduk disamping mereka. Namun ketika didengarnya kata-kata orang berjubah itu, mereka pun mengangkat wajah mereka. Dan orang berjubah itu pun meneruskan,
”Aku terpaksa datang kemari karena aku tidak mau melihat permainan yang berbahaya.”
Radite dan Anggara menjadi semakin tercengang. Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menundukkan wajah. Dalam pada itu terdengar kelanjutan kata-kata orang berjubah itu, ”Nah Radite… katakanlah kepadaku sekarang, apakah kau menyimpan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten…?”
Bukan main terkejutnya. Tidak hanya Radite dan Anggara. Tetapi juga Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dengan tergagap terdengar Radite menjawab,
”Guru, aku sama sekali tidak menyimpan kedua pusaka itu. seandainya demikian, buat apakah kiranya kedua pusaka itu bagiku?”
Orang berjubah itu menoleh kepada Mahesa Jenar dan bertanya kepadanya,
”Aku dengar, kau berkeras menuduh bahwa kedua pusaka itu berada di tempat ini.”
Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa ia akan mendapat pertanyaan itu. Karena itu dengan ragu-ragu ia menjawab,
”Ya Tuan… memang aku menyangka bahwa kedua keris itu berada di sini.”
”Nah…” jawab orang berjubah itu, ”Radite dan Anggara telah menjawab bahwa kedua pusaka itu tidak berada di tempat ini. Kau harus percaya, sebab sepengetahuanku, Radite dan Anggara tidak pernah berbohong.”

Kembali Mahesa Jenar kebingungan. Sesekali ia menoleh kepada Kebo Kanigara. Tetapi Kebo Kanigara agaknya sedang berpikir. Karena itu akhirnya Mahesa Jenar terpaksa menjawab,
”Tuan… memang sebenarnya aku tidak ingin menemukan keris itu di sini.”
”Lalu apakah maksudmu sebenarnya…?” desak orang berjubah itu.
Sekali lagi Mahesa Jenar ragu. Sedangkan Radite dan Anggara pun menjadi bingung. Ia tidak mengerti arah jawaban Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar sendiri, yang mula-mula sudah merencanakan segala sesuatu dengan lengkap dan urut, namun di hadapan orang berjubah abu-abu itu semuanya menjadi terpecah-pecah kembali. Seolah-olah ia kehilangan ingatan atas segala rencana yang telah disusunnya bersama Kebo Kanigara. Meskipun demikian satu hal yang dapat dijadikan pegangan. Orang berjubah abu-abu itu kini sudah datang. Karena itu ia tidak perlu berbelit-belit lagi. Dan ketika ia melihat Kebo Kanigara mengangguk kecil, berkatalah Mahesa Jenar,
“Tuan yang berjubah abu-abu, kalau aku datang kemari dan memaksakan suatu perselisihan kepada Paman Radite dan Paman Anggara, sebenarnya adalah karena Tuan. Sebab sejak semula aku pun sudah percaya bahwa kedua keris itu sama sekali tidak berada di tempat ini, tetapi berada pada seseorang yang sakti, yang mengenakan jubah abu-abu mirip dengan jubah yang pernah dan selalu dipakai oleh Pasingsingan.”
Radite dan Anggara tersentak bersama-sama mendengar kata-kata itu. Mula-mula jantungnya berdebar-debar, tetapi kemudian jantung itu menjadi seolah-oleh berhenti bekerja. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Bagaimanapun mereka menyadari bahwa sementara ini mereka telah dipergunakan oleh Mahesa Jenar untuk memancing kehadiran gurunya. Tetapi sebelum ia sempat berkata sesuatu, terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada mereka,
”Paman berdua… ampunkan kami. Kami sama sekali tidak bermaksud menyakiti hati Paman berdua. Apalagi sampai ada oertempuran yang sebenarnya antara hidup dan mati. Apa yang kami lakukan benar-benar suatu permainan yang berbahaya. Namun penuh dengan tanggungjawab atas kedua pusaka yang hilang itu.”
Perasaan aneh menjalar dalam dada Radite dan Anggara. Bahkan kemudian mereka tidak tahu, bagaimana seharusnya mereka menanggapi kejadian itu. Dalam keadaan yang demikian terdengarlah orang berjubah itu tertawa lirih. Katanya,
”Aku kagum pada kecerdasanmu Mahesa Jenar. Rupanya kau pernah mendengar bahwa Radite dan Anggara adalah murid Pasingsingan. Kau pernah melihat bahwa orang yang membawa kedua keris itu pun berjubah abu-abu seperti Pasingsingan. Nah, kau yakin bahwa apabila kau bertempur melawan Radite dan Anggara, pastilah orang berjubah abu-abu itu datang meleraimu. tetapi bagaimana kalau aku berpendirian, biarlah kau berdua dibinasakan oleh Radite dan Anggara?”

HAMPIR saja Mahesa Jenar menjawab bahwa ia berusaha untuk tidak terbinasakan, karena keseimbangan yang telah dicapainya setelah ia mesu raga. Sedangkan Kanigara adalah seorang yang cukup sakti untuk mengimbangi Radite. Tetapi niat itu diurungkan, karena dengan demikian, meskipun ia tidak bermaksud apa-apa, agaknya akan nampak bahwa ia menyombongkan dirinya. Dan karena beberapa saat Mahesa Jenar tidak menjawab, orang berjubah abu-abu itu meneruskan, seolah-olah mengerti perasaan Mahesa Jenar.
“Atau kalau kalian merasa bahwa kesaktian kalian berimbang, bagaimanakah kalau seandainya aku tidak mengetahui apa yang terjadi di sini?”
Karena perkataan itu, seolah-olah Mahesa Jenar mendapat tuntunan untuk menjawabnya,
“Tuan… aku yakin bahwa Tuan akan mengetahui apa yang akan terjadi di sini. Sebab kehadiran Tuan pada pertempuran di Gedangan, serta usaha Tuan untuk menyempurnakan tata nadi Arya Salaka menunjukkan kepadaku bahwa Tuan selalu hadir di dalam saat-saat yang gawat. Sedangkan aku yakin pula bahwa Tuan tidak akan membiarkan salah satu pihak dari kita yang sedang bertempur menjadi binasa. Sebab Paman Radite dan Paman Anggara adalah murid-murid Tuan yang terpercaya. Meskipun akhirnya Tuan merasa perlu untuk menjauhinya, namun Tuan tidak akan tega sampai sejauh-jauhnya. Sebaliknya, apakah Tuan dapat melihat kami, aku dan Kakang Kebo Kanigara, binasa…?”
“Kenapa tidak…?” terdengar orang berjubah itu menyahut.
“Kalau demikian…” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela,
“Tuan pasti tidak akan melerai kami. Membiarkan kami bertempur terus. Dan apabila kami binasa, selesailah persoalan Tuan, tetapi kalau kami menguasai keadaan, Tuan akan datang membantu Paman Radite dan Paman Anggara, tetapi ternyata yang terjadi tidaklah demikian.”
“Kau yakin bahwa aku tidak akan berbuat demikian?” jawab orang berjubah abu-abu itu.
“Bukankah kau masih berada di tempat ini, dan aku masih belum berbuat sesuatu? Nah, agaknya kau telah mempercepat tindakan-tindakan yang akan aku lakukan. Ketahuilah bahwa kau benar. Aku datang untuk membantu Radite dan Anggara mebinasakan kalian berdua.”

Radite dan Anggara menjadi semakin bingung. Persoalan yang agaknya menjadi semakin berbelit-belit. Ia menjadi bertambah terkejut lagi ketika tiba-tiba Kebo Kanigara tertawa. Tiba-tiba saja ia menemukan sifat-sifat yang sudah sangat dikenalnya pada orang berjubah abu-abu itu. Karena itu tiba-tiba pula ia berkata hampir berteriak, “Nah, Tuan yang berjubah abu-abu… lakukanlah apa yang Tuan kehendaki. Namun aku ingin meninggalkan pesan buat anakku Arya Salaka di Padepokan Karang Tumaritis.”
Orang berjubah itu terdiam. Bahkan tampak beberapa jengkal ia surut ke belakang. Namun kemudian ia berkata,
“Aku tidak kenal Arya Salaka dari Karang Tumaritis. Kalau yang kau maksud itu adalah anak yang pernah aku tolong, memperbaiki tata nadinya, maka aku tidak ada hubungan sama sekali dengan anak itu.”
Sekarang Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Karena itu maka ia ikut berteriak,
“Nah, Tuan… aku yakin bahwa Tuan tidak berani mengganggu kami. Sebab di belakang kami berdiri seorang yang maha sakti pula seperti Tuan, yang bermukim di gunung Karang Tumaritis, bernama Panembahan Ismaya. Seorang Panembahan yang sangat gemar mengumpulkan dan menyimpan hampir segala jenis topeng-topeng serta pahatan kayu.”
Sekali lagi Radite dan Anggara terkejut. Bahkan darahnya seolah-olah mengalir semakin cepat, ketika ia mendengar Mahesa Jenar berkata, bahwa seolah-olah menantang gurunya. Di samping itu ia menjadi heran pula bahwa ada orang lain yang disebut maha sakti, apalagi sampai gurunya tidak berani bertindak karena orang itu. Setelah perasaan mereka terguncang-guncang untuk kesekian kalinya, kembali Radite dan Anggara menjadi tercengang ketika tiba-tiba gurunya tertawa. Tertawa hampir terkekeh-kekeh. Dalam keadaan yang demikian semakin jelaslah, betapa tua usia orang yang berjubah abu-abu itu. Katanya kemudian,
“Mahesa Jenar, adakah orang yang kau sebutkan maha sakti itu gurumu?”
“Bukan,” jawab Mahesa Jenar,
“Tetapi Panembahan Ismaya adalah seorang Panembahan yang tak ada duanya di kolong langit ini. Aku sangat tertarik pada topeng-topengnya yang beraneka ragam. Ada yang kasar dan jelek, namun penuh menyimpan watak yang sejuk damai. Tetapi ada pula yang tampak cerdik, namun jauh dari sifat-sifat kesombongan. Dan salah satu yang sangat menarik bagiku adalah yang Tuan pakai sekarang ini.”

Orang berjubah abu-abu itu terdengar menggeram. Namun sama sekali tidak menakutkan. Bahkan kemudian katanya kepada Radite dan Anggara,
“Anak-anakku, agaknya kalian menjadi pening mendengar kata-kata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi biarkanlah mereka berkicau sesukanya.”
Radite dan Anggara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka sebenarnya ingin penjelasan. Disamping itu tiba-tiba mereka mendengar nama Kebo Kanigara disebut-sebut. Baik oleh Mahesa Jenar maupun oleh gurunya. Karena itu terdengarlah Radite berkata,
“Benar Bapa, aku benar-benar menjadi pening. Namun sudilah kiranya Bapa memberi penjelasan.”
Orang berjubah abu-abu itu tertawa. Katanya,
“Radite, sebaiknya aku kau persilahkan masuk ke dalam pondokmu dahulu bersama kedua tamu-tamumu yang aneh ini.”
Radite kemudian merasa diingatkan atas kewajibannya sebagai tuan rumah. Karena itu dipersilahkannya gurunya beserta kedua tamu yang membingungkan itu masuk ke dalam rumahnya.

SETELAH mereka duduk melingkari lampu minyak jarak, di atas sebuah bale-bale yang besar, mulailah orang berjubah itu berkata,
”Radite dan Anggara… kau kenal aku karena kau adalah murid-muridku yang seolah-olah telah merupakan bagian dari hidupnya sendiri. Tetapi kau melihat wajahku selalu tertutup oleh sebuah topeng yang kasar dan jelek, yang kemudian dipakai oleh Umbaran. Dan karena itulah agaknya kau belum pernah melihat wajahku yang sebenarnya. Meskipun demikian, dengan wajah yang lainpun kau segera dapat mengenal aku pula. Demikian pula agaknya Kebo Kanigara yang meskipun aku mengenakan pakaian yang belum pernah dilihatnya, namun karena pergaulan kami yang sudah lama, maka iapun segera dapat mengenal aku pula. Sedangkan Mahesa Jenar, akan segera mengenal aku karena perhitungan-perhitungan otaknya yang cemerlang. Sehingga karena pokalnya kau benar dapat dipancingnya malam ini. Dan kalian adalah umpan-umpannya.”
Radite dan Anggara memang sudah merasakan hal itu. Namun peristiwa seterusnya adalah terlalu aneh baginya. Apalagi orang yang disebut Kebo Kanigara, yang mula-mula menamakan dirinya Tumenggung Surajaya itupun telah banyak bergaul dengan gurunya. Apakah iapun berguru pada orang yang dahulu bernama Pasingsingan itu? Tetapi kalau demikian, maka unsur-unsur pokok ilmu mereka pasti bersamaan. Sedangkan orang itu justru bersumber pada cabang perguruan Pengging.
Dalam pada itu, orang yang berjubah abu-abu itu agaknya mengerti akan isi hati Radite dan Anggara, karena itu ia meneruskan,
”Satu-satunya cara bagi Mahesa Jenar untuk dapat bercakap-cakap dengan orang yang berjubah abu-abu ini, yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri telah mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten dari Banyubiru, adalah dengan cara ini. Bertempur dengan murid-muridnya. Dengan demikian orang yang berjubah abu-abu ini pasti tidak hanya sekadar memperlihatkan diri untuk melerai atau memihak kepadanya saja, sebab lawan-lawannya adalah murid orang berjubah abu-abu itu sendiri.”

Tiba-tiba Radite menggeser duduknya ke dekat Mahesa Jenar dan menepuk bahunya keras-keras sambil berkata,
”O, ngger, ngger. Pandai benar kau buat hati orang tua kalang kabut. Hampir saja aku kehilangan pengamatan diri. Sebab persoalan yang Angger berdua paksakan kepada kami adalah langsung menyinggung luka hati yang paling parah. Itulah sebabnya aku tak dapat menahan diri lagi.”
”Maafkan kami Paman,” sela Kebo Kanigara,
”Sebab kami tahu betapa sabar dan alimnya Paman berdua, sehingga mula-mula kami menemui kesulitan untuk membuat paman berdua marah. Maka terpaksalah kami agak melampaui batas-batas kesopanan. Tetapi kami harap Paman percaya, bahwa bukanlah demikian maksud kami yang sebenarnya.”
Radite mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bertanyalah ia,
”Tetapi kenapa Angger menyinggung-nyinggung Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”
”Sebab memang kedua keris itulah yang kami cari,” jawab Kebo Kanigara.
”Dan terhadap orang yang kami harapkan hadir kemudian, kami menaruhkan harapan sepenuhnya atas kedua pusaka itu. Karena orang yang berjubah abu-abu itupun tahu pasti bahwa kedua keris itu tidak berada di sini.”
Radite menarik nafas dalam-dalam, sedang Anggara pun kemudian tertawa lirih, katanya,
”Alangkah bingungnya aku kemudian. Baru sekarang aku menjadi jelas. Alangkah bodohnya orang-orang tua ini, yang hanya pantas untuk menjadi penunggu burung di sawah-sawah.”
”Tetapi…” tiba-tiba Radite menyela,
”Siapakah sebenarnya Angger ini, yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya, namun yang kemudian disebut oleh Bapa Guru dengan nama Kebo Kanigara…?”

Orang berjubah abu-abu itu tersenyum. Katanya,
”Itulah kesenangannya. Membingungkan orang lain dengan nama-nama yang dibuatnya. Ia pernah menamakan diri Putu Karang Jati waktu ia menemui Pandan Alas.”
”Pandan Alas…?” ulang Radite dan Anggara hampir berbareng.
”Ki Ageng Pandan Alas dari Klurak…?”
”Ya,” jawab orang yang berjubah abu-abu itu.
”Dan sekarang ia menamakan dirinya Tumenggung Surajaya. Dan orang yang suka berganti nama itu tidak lain adalah seorang yang menganut ilmu perguruan Pengging. Sebagaimana kau lihat, Mahesa Jenar pun memiliki nama yang aneh pula. Di Gedangan mula-mula ia dikenal bernama Manahan. Barangkali memang demikianlah kebiasaan anak-anak Ki Ageng Pengging Sepuh.”
”Aku sudah menduga,” sela Radite,
”Bahwa Angger ini pasti seorang murid yang sempurna dari perguruan Pengging.”
”Tidak saja murid,” sahut orang berjubah abu-abu itu, ”Tetapi ia adalah anak Handayaningrat itu, dan bahkan adik seperguruannya.”
Radite dan Anggara bersama-sama mengerutkan keningnya. Tahulah ia sekarang kenapa ia memiliki kesaktian yang mengagumkan. Yang dapat mengimbangi ilmu yang dimiliki oleh Radite sendiri.
Tetapi dalam pada itu terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
”Tuan benar. Memang anak-anak perguruan Pengging suka berganti nama. Tetapi agaknya Tuan lupa bahwa seorang yang bernama Radite pernah bernama Pasingsingan dan pernah bernama Paniling. Seorang yang bernama Anggara pun memiliki nama lain, yaitu Darba. Tetapi lebih daripada itu, seorang lain yang pernah bernama pula Pasingsingan, ternyata memiliki nama yang lain, Panembahan Ismaya.”
Bagaimanapun juga, orang berjubah abu-abu itu tergeser beberapa jengkal. Namun wajahnya yang pucat sama sekali tidak menunjukkan sesuatu perubahan. Sinar pelita yang menggapai-gapai dengan gelisahnya, membuat bayangan-bayangan yang bergerak-gerak di dinding.
Mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu, Paniling dan Darba masih juga terkejut. Apakah sangkut-paut antara Pasingsingan dengan Panembahan Ismaya…?

TIBA-TIBA tampaklah orang berjubah abu-abu itu melepas ikat kepalanya. Dan karena itu tampaklah di bawah rambutnya yang telah memutih, suatu garis yang memisahkan antara kulit kepalanya dengan kulit wajahnya.
“Sekarang aku tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi,” bisiknya.
“Sebab Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah mengetahui semuanya dengan jelas. Dan bagiku, sekarang sudah tidak ada gunanya lagi memiliki bermacam-macam nama dan kedudukan.”
Bersamaan dengan itu, terkelupaslah kulit yang tipis dari wajah orang berjubah abu-abu itu. Kulit kayu yang dipahatnya halus-halus menyerupai benar wajah seseorang. Terhadap topeng itu tak seorangpun yang terkejut. Apalagi Mahesa Jenar, yang jauh sebelumnya telah mengenal bahwa orang berjubah abu-abu itu tidak memiliki wajah sewajarnya, melainkan mengenakan topeng. Dan topeng itu jauh berbeda dengan topeng yang pernah dipakainya pada saat ia bernama Pasingsingan. Dari balik topeng itu muncullah wajah orang berjubah abu-abu itu. Wajah seorang tua yang lunak damai. Meskipun berkerut-kerut namun kesegaran masih memancar dari wajahanya. Wajah yang sudah dikenal oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Memang orang itulah Panembahan Ismaya.

Radite dan Anggara tiba-tiba merasa terharu. Terharu karena mereka berkesempatan mengenal wajah gurunya. Wajah yang selama ini menjadi teka-teki. Bahkan mereka menduga bahwa seumur hidup mereka tak akan sempat memandang wajah itu. Namun suatu hal yang mengejutkan mereka berdua, bahwa orang berjubah abu-abu itu tidaklah setua yang mereka duga. Umurnya tidak banyak terpaut banyak dengan umur mereka sendiri. Meskipun demikian Radite dan Anggara membungkukkan kepalanya sambil berkata dengan hormatnya,
“Bapa Guru… aku merasa mendapatkan suatu kurnia juga tiada taranya, bahwa Bapa Guru telah berkenan memberi kesempatan kepada kami untuk lebih mengenal Bapa.”
Orang yang berjubah abu-abu, yang pernah bernama Pasingsingan dan kemudian menjauhkan diri dari kesibukan dunia ramai di Bukit Karang Tumaritis dan bernama Panembahan Ismaya itu tersenyum.
“Semua permulaan akan ada akhirnya. Hanya yang tidak bermula sajalah yang tidak akan berakhir. Yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Di hadapan kalian berempat aku merasa seolah-olah aku telah mencapai segala cita-cita serta idamanku, sejak aku menamakan diriku Pasingsingan.”
Ketika orang yang berjubah abu-abu dan menamakan dirinya Panembahan Ismaya dalam bentuknya yang lain itu berhenti sejenak, suasana menjadi hening. Tak seorang pun yang berkata-kata. Mereka sedang terbenam dalam arus perasaan masing-masing. Mereka mencoba menghubung-hubungkan apa yang pernah terjadi atas orang berjubah abu-abu itu sehingga ia terpaksa mempergunakan topeng hampir seumur hidupnya. Sedangkan sebagai Panembahan Ismaya, ia menyepi di sebuah bukit kecil dan menjauhkan diri dari pergaulan.

Tetapi tak seorangpun yang berani bertanya. Mereka takut kalau ada hal-hal yang dapat menyinggung perasaannya. Namun tanpa mereka duga, orang itu berkata dengan sendirinya,
“Mungkin apa yang terjadi atas diriku agak mengherankan. Bertopeng seumur hidup dan menyepi hampir seumur hidup pula.”
Keterangan itu akan menarik bagi Radite dan Anggara. Bahkan juga bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi tiba-tiba orang berjubah abu-abu itu membelokkan percakapan kepada Mahesa Jenar.
“Mahesa Jenar… sekarang kau sudah bertemu dengan orang yang berjubah abu-abu, yang mengambil kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru. Dan karena pengotak-atikmu bersama Kebo Kanigara, menghubung-hubungkan semua yang pernah kalian alami, akhirnya kalian mengambil kesimpulan bahwa orang berjubah abu-abu itulah Panembahan Ismaya. Lalu apakah keperluanmu dengan aku?”
Mahesa Jenar menelan ludahnya beberapa kali. Mula-mula ia agak bimbang untuk langsung menyampaikan keperluannya. Tetapi ia yakin bahwa sebenarnya orang tua itu pun sudah mengerti pula. Karena itu ia mencoba mengelak,
“Tuan… apakah aku masih perlu mengatakan keperluanku? Aku kira Tuan telah mengetahui selengkapnya.”
“Mahesa Jenar…” jawab orang berjubah itu,
“Lebih baik kau tidak mengira-ira. Katakanlah, dan aku akan menjadi jelas, tanpa kira-kira lagi.”
Sekali lagi Mahesa Jenar menelan ludahnya. Lalu dengan suara yang parau ia menjawab,
“Tuan… sebenarnya aku hanya ingin mengetahui di manakah keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten itu berada.”
“Hanya itu…?” sahut orang berjubah itu.
“Dan apabila Tuan berkenan, aku ingin menerima kedua pusaka itu, kembali untuk menyelesaikan beberapa masalah antara aku dan kakang Gajah Sora di satu pihak, dan Pemerintahan demak di lain pihak.
“Hanya itu…? Hanya supaya kau dapat kembali ke Istana dan Gajah Sora dapat dibebaskan?”
“Tidak,” jawab Mahesa Jenar tergesa-gesa.
“Bukan hanya itu. Tetapi aku tidak mau menyembunyikan pamrih itu supaya aku tidak menjadi penipu atas diri sendiri. Sebab apabila aku hanya mengatakan bahwa aku ingin mengembalikan kedua pusaka itu demi kelangsungan pemerintahan, maka aku telah menyembunyikan beberapa bagian darinya, yaitu pamrih pribadi.”

ORANG berjubah abu-abu itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu jawabnya,
”Kau memang jujur dan berterus terang. Tetapi kau terlalu tergesa-gesa. Sudah beberapa kali aku isyaratkan kepadamu, bahwa sekarang ini sedang ada pertentangan yang tajam terjadi di Demak. Antara keturunan Sultan Trenggana dan keturunan Sekar Seda Lepen. Karena itu kau masih harus menilai siapakah diantara mereka yang patut mendapat sipat kandel itu. Kalau kau muncul sekarang dengan pusaka-pusaka itu, maka akibatnya akan menjadi lebih parah lagi. Mereka menjadi semakin bernafsu dalam pertentangan-pertentangan yang akan timbul. Kedua pusaka itu akan merupakan penyebab pula, karena mereka merasa perlu untuk memilikinya. Dengan demikian kau membantu menimbulkan persoalan-persoalan baru yang akan menambah ketegangan. Bahkan akan dapat menimbulkan pertumpahan darah diantara para perwira, bintara dan tamtama. Kalau demikian yang terjadi, maka tinggal menunggu besok atau lusa, Demak pasti akan binasa. Sebab yang akan berhadapan sebagai lawan dalam pertentangan itu adalah kekuatan-kekuatan Demak sendiri. Baik yang berpihak kepada keturunan Sekar Seda Lepen maupun yang berpihak kepada Sultan Trenggana. Setiap jiwa yang melayang karenanya adalah kerugian yang harus ditanggung oleh Demak sendiri. Karena itu janganlah suasana menjadi bertambah tegang. Mudah-mudahan mereka dapat memecahkan persoalan itu dengan baik. Dengan musyawarah diantara kekuatan-kekuatan saka guru Demak sendiri.”
Mendengar keterangan itu, Mahesa Jenar menundukkan kepala dalam-dalam. Demikian pula Kebo Kanigara. Sedangkan Radite dan Anggara mendengarkan dengan penuh perhatian.
”Dengan demikian…” orang berjubah abu-abu itu meneruskan,
”Setiap orang Demak akan dapat mencurahkan tenaganya untuk kesejahteraan negeri. Membangun tempat-tempat ibadah dan pendidikan, surau-surau dan langgar. Disamping itu setiap prajurit Demak akan berkesempatan untuk menumpas habis golongan-golongan yang tidak senang melihat Demak menjadi bulat. Maka setelah itu akan terjalinlah kesatuan hati rakyat. Ketenteraman hidup dengan berbakti kepada Tuhan Yang Maha Esa tanpa mendapat gangguan dalam pangkuan tanah tumpah darah yang gemah ripah lohjinawi, tata titi tentrem kertaraharja, tanpa bibit-bibit pertentangan yang ditaburkan di hari ini, yang akan tumbuh dan menjadi lebat di hari kemudian.”

Ketika orang berjubah abu-abu itu berhenti, terdengarlah kokok ayam bersahutan menyambut datangnya fajar. Fajar yang tidak akan dapat ditunda oleh siapapun. Ia akan datang apabila saatnya datang. Biarpun ayam jantan tidak berkokok. Demikianlah kekuasaan Tuhan yang melampaui segenap kekuasaan yang ada. Mahesa Jenar sadar akan ketergesaannya. Ia agaknya kurang dapat menanggapi setiap ajaran isyarat yang diberikan, baik oleh seorang yang berjubah abu-abu yang dijumpainya dahulu di jalannya yang hampir sesat dan kehilangan akal maupun oleh orang itu juga dalam pakaiannya sebagai seorang Panembahan. Namun demikian masih saja ada beberapa hal yang belum dapat dipahami, apakah dengan diketemukannya keris itu justru tidak dapat menghentikan persengketaan antara dua golongan besar itu. Tetapi disamping itu timbul pula pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut di dalam dadanya. Juga di dada Kebo Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Demikian besar minat orang yang berjubah abu-abu itu terhadap persatuan dan kesatuan Demak, sehingga mustahil kalau ia tidak memiliki sangkut-paut yang sangat rapat dengan kedua golongan itu. Meskipun demikian, meski berbagai pertanyaan bergelut di dalam dada setiap orang yang duduk di dalam lingkaran kecil itu, namun tak seorang pun yang menyatakannya. Agaknya orang berjubah abu-abu itu sudah merasa perlu untuk menyatakan dirinya tanpa satu pertanyaan pun.
Dalam sesaat orang tua berjubah itu berdiam diri, memandangi setiap wajah dari keempat orang yang dengan penuh minat mendengarkan ceritanya. Dan ketikasambaran matanya hinggap pada wajah Mahesa Jenar, tertangkaplah banyak sekali persoalan yang ingin dikatakannya. Namun tak sepatah katapun yang terloncat dari mulutnya. Orang tua yang berjubah abu-abu itu agaknya dapat merasakan persoalan-persoalan itu.
Karena itu ia meneruskan,
”Mahesa Jenar… seandainya salah seorang dari mereka memiliki kedua keris itu sekalipun, tidaklah dapat dianggap sebagai suatu jaminan bahwa persengketaan mereka akan mereda. Sebab dengan memiliki kedua keris itu tidaklah berarti bahwa ia mutlak dapat memegang pemerintahan di Demak, selama jiwa orang itu masih belum menjadi luluh dengan jiwa kedua keris itu. Apabila seseorang telah benar-benar dapat menguasai, serta jiwa kedua keris itu luluh dalam dirinya, barulah ia mendapat sipat kandel yang sebenarnya. Selama masih ada jarak antara seseorang dengan keris itu, maka selama itu keris-keris yang keramat itu sama sekali tak akan berguna. Karena itulah maka meskipun orang yang berjubah abu-abu sebagaimana kau lihat, berhasil menyimpan kedua keris itu, seandainya, ia ingin memegang tampuk pemerintahan Demak, hal itu tidak akan dapat dicapainya. Sebab jiwa keris itu tidak dapat luluh ke dalam dirinya. Juga orang-orang dari golongan hitam itupun akan tidak mempunyai sesuatu arti, apabila mereka memiliki kedua pusaka Demak itu.”

Kembali orang tua itu berhenti. Di luar, cahaya matahari pagi telah memercik hinggap di dedaunan. Burung-burung dengan riangnya berkicau bersahutan. Padepokan yang sepi itu seolah-olah telah terbangun dari tidurnya. Namun halaman-halaman rumah penduduk padepokan itu masih tampak sepi. Satu-dua orang yang telah muncul dari ambang pintunya, dengan tergesa-gesa pergi ke sungai, sedang yang lain dengan sibuknya menyalakan api untuk merebus air. Di sana-sini terdengar jeritan anak-anak kecil yang memanggil ibunya, ketika mereka terbangun dari tidurnya yang nyenyak, seolah-olah mereka kecewa kehilangan mimpi yang segar.

DALAM kecerahan pagi itu tampaklah orang-orang yang duduk di atas sebuah bale-bale besar di rumah Paniling masih belum berkisar dari tempatnya. Mereka masih dengan asiknya mendengarkan kisah dari orang tua yang berjubah abu-abu itu. Sementara itu, tiba-tiba orang yang berjubah abu-abu itu berkata.
”Radite, biarlah aku melepaskan jubah abu-abuku, supaya orang-orang yang lewat di muka rumahmu ini tidak menjadi keheran-heranan melihat pakaianku yang tidak biasa di pedukuhanmu ini.”
Dengan tergoboh-gopoh Radite mempersilahkan orang tua itu masuk ke dalam sebuah ruangan untuk berganti pakaian. Untunglah bahwa hal itu segera dilakukan, sebab ketika matahari telah semakin naik di atas punggung-punggung perbukitan, tampaklah jalan-jalan pedukuhan itu mulai sibuk. Beberapa orang telah mulai turun ke sawah dengan binatang-binatang kesayangan mereka, menjelang saat tanam padi. Ketika beberapa orang lewat di muka pondok di ujung pedukuhan itu, mereka melihat dua ekor kuda tertambat di halaman. Karena itu teringatlah mereka, bahwa kemarin mereka melihat dari celah-celah pintu mereka, dua orang berkuda lewat di jalan pedukuhan itu. Karena itu sesuai dengan watak-watak mereka yang sederhana dan penuh rasa kekeluargaan, mereka pun merasa berkepentingan pula dengan penunggang-penunggang kuda itu. Meskipun demikian mereka terheran-heran pula ketika mereka melihat bekas-bekas tanaman yang terinjak-injak di halaman.

Ketika beberapa orang menjenguk ke dalam rumah itu, dilihatnya beberapa orang duduk-duduk di atas bale-bale besar bersama-sama dengan Ki Paniling dan Ki Darba. Karena itu dengan ramahnya mereka menyambut kehadiran mereka. Dengan tergopoh-gopoh pula Paniling dan Darba mempersilakan mereka masuk dan memperkenalkan mereka yang masih dapat mengenal Mahesa Jenar. Karena itu terdengar suara orang itu.
”He, kakang Paniling bukankah ini kemanakanmu yang beberapa tahun yang lalu pernah datang kemari?”
Ki Paniling tersenyum lebar, jawabnya,
”Otakmu agaknya baik sekali. Ya, ialah kemenakan yang beberapa tahun yang lalu pernah datang kemari.”
Kemudian sambil tertawa-tertawa bangga atas pujian itu, orang itu bertanya seterusnya,
”Dan siapakah yang dua lagi?”
”Ia juga kemanakanku,” sahut Paniling,
”Dan yang satu lagi…” Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Bagaimana ia mesti menyebut gurunya. Untunglah bahwa gurunya segera menyahut,
”Aku adalah kakaknya. Ayah anak-anak ini.”
”O…” terdengar beberapa orang bergumam. Lalu berkata salah seorang diantaranya,
”Selamatlah Kakang berkunjung ke pedukunan ini. Mudah-mudahan Kakang krasan pula, dan sudi singgah ke rumah tetangga-tetangga di sebelah.”
”Pasti, pasti,” jawab guru Radite itu.
”Aku akan tinggal beberapa hari di sini. Dan aku akan singgah di rumah kalian apabila waktuku memungkinkan.”
Demikianlah terjadi percakapan yang akrab dan semanak di antara mereka. percakapan yang sama sekali tidak dibumbui oleh maksud-maksud lain daripada apa yang mereka percakapkan. Penduduk pedukuhan itu sama sekali tidak mengenal cara-cara yang dilapisi oleh sifat berpura-pura. Dada mereka tak ubahnya seperti sebuah kitab lontar yang terbuka. Setiap orang yang berkepentingan akan langsung dapat membacanya kata demi kata. Demikianlah huruf itu membentuk kata-kata serta kalimat-kalimat. Demikianlah maksud serta isi dari kitab itu sebenarnya.

Tetapi mereka tidak lama berada di tempat itu. Karena sawah serta ladang mereka selalu menunggu. Menunggu uluran tangan para petani yang dengan setia dan tekun menggarapnya. Tanpa banyak persoalan. Mereka bekerja untuk memetik hasilnya. Karena itu mereka sadar bahwa apabila mereka tidak bekerja, maka mereka pun akan kelaparan. Dengan demikian mereka tidak pernah berpikir lain daripada kesejahteraan pedukuhan mereka, tergantung atas kesanggupan serta kemauan mereka bekerja. Dan seandainya ada orang lain, yang berbelas kasihan memberi kepada pedukuhan itu kesejahteraan yang melimpang-limpah, maka pastilah itu bukan hal yang sewajarnya. Pastilah dengan demikian mereka mempunyai pamrih. Setidak-tidaknya orang-orang dari pedukuhan itu akan terikat oleh suatu perasaan berhutang budi. Dan dengan demikian hilanglah sebagian, meskipun hanya sebagian kecil, kemerdekaan serta kedaulatan mereka atas diri sendiri. Karena itulah maka mereka bekerja keras dengan penuh kegembiraan dan terima kasih. Terima kasih kepada Tuhan yang telah melimpahkan tenaga dan tanah garapan bagi mereka.
Namun ketika mereka meninggalkan halaman rumah itu, ada juga yang sempat bertanya,
”Bapak Paniling, kenapakah tanaman-tanaman Bapak rusak bekas terinjak-injak?”
Paniling agak binggung untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi akhirnya diketemukan juga jawabnya.
”Akh, semalam kuda tamu-tamuku itu lepas dari ikatannya. Terpaksalah kami beramai-ramai menangkapnya.”
Mereka percaya saja pada keterangan itu. Bahkan beberapa orang menjadi geli karenanya. Tetapi apabila mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi, pastilah mereka mempunyai tanggapan yang akan sangat jauh berbeda.
Ketika para petani meninggalkan rumah Ki Paniling, kembali perhatian mereka tertuju kepada orang tua yang sekarang sudah tidak lagi mengenakan jubah abu-abu. Tetapi orang tua itu kini mengenakan baju lurik merah coklat serta ikat kepala yang kehijau-hijauan. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah mengenal wajah orang itu dengan baiknya sebagai seorang Panembahan. Tetapi kali ini, dalam pakaian yang lain, tidak seperti yang biasa dipakainya, yaitu jubah putih, tampaklah bahwa wajah itu menjadi semakin segar. Cahaya matanya tidak saja tampak dalam dan damai, seperti biasa, yang seolah-olah menjangkau jauh ke alam yang tidak kasat mata. Tetapi mata itu kini memancar dengan terangnya menyorot ke depan, ke masa yang akan datang. Ke masa yang tidak terlalu jauh. Maka seolah-olah terjadilah suatu paduan antara masa depan yang dekat dengan masa yang tak teraba oleh pancaindera.

KETIKA suara sendau dan tawa para petani sudah hilang di kejauhan, orang tua itu agaknya merasa perlu untuk melanjutkan keterangannya. Karena itu ia mulai berkata,
”Anak-anakku sekalian. Demikianlah tuah dari kedua keris yang sedang kau cari itu. Ia baru bermanfaat bagi pemiliknya apabila jiwa keris itu sudah luluh dalam dirinya. Pertandanya bahwa keris itu kehilangan kecemerlangannya. Ia kuningan. Tetapi kedua keris itu menjadi tak ubahnya seperti besi biasa saja. Sama warnanya dengan sebuah pisau dapur saja. Sedang apabila jiwa kedua keris itu luluh pada diri seseorang, maka orang itu akan memiliki sifat-sifat khusus yang meresap ke dalam dirinya. Kyai Nagasasra mempunyai watak disuyuti oleh kawula. Dicintai dan disegani oleh rakyat. Dengan demikian ia akan mencinta kasih Tuhan, perikemanusiaan, memberi perlindungan kepada orang yang kehujanan dan kepanasan, memberi makanan kepada orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada orang yang telanjang, memberi tuntunan bagi yang kehilangan jalan. Sedang Kyai Sabuk Inten mempunyai watak seperti watak lautan. Luas tanpa tepi. Menampung segala arus sungai dari manapun datangnya. Menerima dengan tadah banjir yang bagaimanapun besarnya. Namun gelombangnya dapat menunjukkan kedahsyatan dan kesediaan bergerak dan bahkan selalu bergerak. Watak yang demikianlah yang memungkinkan seseorang dapat menemukan yang belum pernah diketemukan. Dan karenanyalah kesejahteraan rakyatnya dapat dijamin. Kesejahteraan lahir dan batin. Memberi kesempatan kepada mereka untuk mengalirkan airnya yang ditampung dapat beriak dengan manisnya, namun dapat bergulung-gulung dengan dahsyatnya, seolah-olah lautan itu sedang mendidih.”
Orang tua itu berhenti sejenak. Ia memandang berkeliling lalu melemparkan sorot matanya yang damai itu lewat lubang pintu dan jatuh di atas tanah berdebu di halaman. Sekali-kali ia menarik nafasnya dalam-dalam. Seolah-olah ada sesuatu yang kurang pada tempatnya. Kemudian terdengarlah ia melanjutkan,
”Sayang, bahwa kedua keris itu masih harus dilengkapi dengan yang satu lagi. Kyai Sengkelat. Keris itupun sekarang sudah lenyap dari perbendaharaan istana.”
”Kyai Sengkelat?” sela Mahesa Jenar hampir berteriak.


<<< Bagian 050                                                                                              Bagian 052 >>>

No comments:

Post a Comment