MESKIPUN mereka terkejut pula atas kehadiran seseorang tanpa diduganya lebih dahulu, namun mereka sempat pula menarik nafas lega atas kebebasan mereka dari ikatan udara yang aneh itu. Ketika mereka telah sempat memperhatikan bayangan yang berdiri di hadapan mereka, tahulah mereka bahwa orang itu adalah orang yang mengenakan jubah yang hanya tampak kehitam-hitaman di dalam gelap malam, namun dalam pada itu Mahesa Jenar segera mengenal, bahwa orang itu adalah orang yang selalu dikenalnya mengenakan jubah abu-abu. Karena itu segera terpancarlah cahaya yang cerah dari wajahnya. Demikian pula Kebo Kanigara, sehingga tanpa disengajanya ia bergeser sejengkal maju. Adapun Radite dan Anggara, ketika melihat orang yang berjubah itu tegak di hadapan mereka seperti patung, terlonjaklah dada mereka. Tiba-tiba saja tubuh mereka menjadi bergetar dan nafas mereka menjadi semakin cepat beredar. Karena pada tubuh yang tegak mematung di hadapannya itu, seolah-olah terpancarlah suatu kenangan atas masa silam. Suatu kenangan dari masa yang gemilang dari seorang yang menamakan dirinya Pasingsingan.
Ya, pada saat
Radite berhak mengenakan jubah yang berwarna abu-abu, seorang yang berhak
mengenakan topeng yang meskipun kasar dan jelek namun dari padanya terpancar
suatu harapan bagi setiap orang yang menyaksikannya. Karena dibalik wajah yang
kasar dan jelek itu tersembunyi suatu pengabdian yang luhur tanpa pamrih.
Tetapi keluhuran serta kemurnian pengabdian itu kemudian menjadi lebur. Dan
setelah itu nama Pasingsingan menjadi hancur. Nama Pasingsingan dengan cepatnya
meluncur hanyut ke dalam lumpur, karena pokal seorang saudara seperguruannya
yang bernama Umbaran. Tiba-tiba kembali Radite terlempar pada suatu anggapan,
bahwa dirinyalah sumber dari segala bencana dan noda yang kemudian melekat dan
mengotori jubah abu-abu, topeng yang kasar dan jelek namun mamancarkan harapan
damai serta nama yang menggetarkan, ”Pasingsingan.” Dan sekarang di hadapannya
berdiri seseorang yang mengingatkannya kepada dirinya beberapa tahun yang
silam. Tetapi yang pasti baginya orang yang berjubah itu bukanlah Umbaran.
Sebab bagaimanapun saktinya Pasingsingan, yang berasal dari orang yang bernama
Umbaran itu, namun tidaklah mungkin ia mampu menciptakan suasana sedemikian
seramnya.
Tiba-tiba
Radite teringat akan sumber dari nama Umbaran. Sumber dari mahluk-mahluk yang
kemudian menyebut dirinya Pasingsingan. Teringatlah ia pada saat ia menerima
warisan jubah abu-abu serta segala kelengkapannya yang demikian saja berada di
dalam ruang tidurnya. Teringatlah ia ketika orang yang mewariskan benda-benda
itu kemudian lenyap tak berbekas. Yang kemudian datang kembali ketika nama
Pasingsingan itu telah ternoda dan berkata kepadanya
”Bahwa tak ada
gunanya untuk mencoba memperbaiki nama yang telah terbenam didalam arus
ketamakan, kedengkian dan kejahatan.” Radite adalah seorang tua yang mempunyai
mata hati yang tajam. Demikian pula adiknya, Anggara. Karena itu tiba-tiba
tergoreslah suatu tanggapan batin yang tak dapat diketahui dari mana datangnya
yang mengatakan padanya, bahwa kemungkinan satu-satunya orang yang berdiri di
hadapannya itu adalah gurunya Pasingsingan Sepuh. Karena itu, seperti orang
berjanji, Radite dan Anggara tiba-tiba bersama-sama berjongkok dan
membungkukkan kepala mereka dengan takzimnya.
Orang yang
berjubah abu-abu itu mundur beberapa langkah ke belakang. Wajahnya yang kosong
dan pucat, sama sekali tak menampakkan sesuatu kesan. Apalagi didalam gelap
malam, wajah itu seolah-olah sama sekali tidak bergerak. Dalam pada itu
tiba-tiba terdengarlah suara Radite serak,
”Guru…
ampunkanlah kami, atas segala ketikdaksopanan kami. Sebab kami sama sekali
tidak menduga bahwa kami masih berhak untuk memandang wajah guru karena
dosa-dosa kami.”
Orang yang
berjubah abu-abu itu terdengar menggeram. Lalu terdengarlah suaranya
seolah-olah bergulung-gulung di dalam perutnya,
”Radite dan
Anggara, demikianlah, sejak aku kau kecewakan, aku memang sudah berhasrat untuk
tidak menjumpaimu lagi. Sebab setiap aku memandang wajahmu, tergoreslah kembali
luka di hati ini. Bagaimanapun aku berusaha untuk bersikap sebagai seorang yang
berjiwa besar, namun ternyata aku bukanlah orang yang berjiwa demikian.
Meskipun aku tidak membebankan semua kesalahan kepadamu, namun dengan
menghindari pertemuan itu, aku berhasrat untuk melupakan segala-galanya yang
pernah terjadi. Melupakan gelar Pasingsingan yang sudah sejak berpuluh tahun
sebelumnya dipupuk dan disiangi, untuk kemudian dapat berkembang dengan
harumnya. Tetapi, kemudian karena sifat-sifat yang sebenarnya alami dari setiap
manusia, maka semuanya itu menjadi hancur. Sifat-sifat alami yang tanpa
kesadaran serta pengarahan yang benar, maka kaburlah batas antara manusia yang
berakal budi dengan mahluk-mahluk lainnya, yang hanya mengenal sifat-sifat
alami melulu sebagai naluri.”
Radite dan
Anggara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Mereka sama sekali tidak berani
menatap wajah orang yang berdiri di hadapannya. Mereka merasakan benar-benar
betapa kata-kata orang itu langsung menembus jantung mereka. Dan karena
kata-kata itu pula kemudian Radite dan Anggara menjadi yakin seyakin-yakinnya
bahwa tidak mungkin ada orang lain yang dapat berbuat, bersikap dan berkata
kepadanya sedemikian itu selain Pasingsingan Sepuh. Karena itu maka sekali lagi
Radite menundukkan kepalanya sambil berkata parau,
”Guru, telah
sekian lama aku menanti, bahwa pada suatu saat aku akan dapat membersihkan
dosa-dosaku dengan menjalani hukuman yang dapat guru jatuhkan kepadaku. Dan
sekarang aku mendapat kesempatan untuk bertemu. Karena itulah aku mohon, guru
sudi berbuat sesuatu atas diriku sebagai suatu pernyataan penyesalanku yang
tiada terhingga.”
”Radite…”
jawab orang yang berjubah itu,
”Pengakuan
atas kesalahan yang tiada dibuat-buat, yang diucapkan dengan jujur dan ikhlas
adalah suatu hukuman yang seberat-beratnya. Sebab, hukuman bukanlah sekadar
menyakiti, menyiksa atau penderitaan-penderitaan lain. Tetapi tujuan dari pada
hukuman yang sebenarnya adalah mencegah terulangnya kesalahan itu. Kalau
seseorang, dengan ikhlas dan jujur telah mengakui kesalahannya dan berusaha
dengan sepenuh hati untuk tidak berbuat kesalahan-kesalahan lagi, maka menurut
pendapatku tidak adalah hukuman lain yang wajib ditimpakan atasnya.”
Sekali lagi
kata-kata orang berjubah itu meresap ke dalam setiap relung dada Radite maupun
Anggara, seperti meresapnya rasa sejuk dari percikan air yang telah wayu
sewindu. Meskipun demikian, karena beban perasaan yang terasa sangat berat
menghimpit hati, Radite mencoba sekali lagi mendesak,
”Guru,
bukankah hal yang demikian setidak-tidaknya akan dapat menjadi suri tauladan,
bahwa Radite mengalami hukuman atas kesalahannya? Sebab apabila ada kesalahan
yang lepas dari hukuman, maka ada kemungkinan orang lain akan melakukan hal
yang sama dengan harapan untuk membebaskan diri pula dari setiap hukuman.”
Terdengarlah
orang yang berjubah itu tertawa lirih. Jawabnya,
”Radite, aku
tahu bahwa kau ingin mengurangi tanggungan perasaanmu. Tetapi ketahuilah, bahwa
dengan penyesalan serta keikhlasanmu mengakui kesalahanmu itu adalah hukuman
yang sudah cukup berat. Sedang apabila ada orang lain yang dengan sengaja
berbuat kesalahan, kepadanyalah hukuman harus dibebankan, bahkan dua kali lipat
dari yang seharusnya.”
Radite menjadi
terdiam. Untuk beberapa saat suasana kembali dicekam oleh kesepian. Dalam pada
itu timbul pulalah berbagai pertanyaan di dalam dada Radite dan Anggara. Kalau
gurunya pada saat yang tiba-tiba tanpa diduga-duganya itu hadir di hadapannya,
apakah maksudnya? Ia tidak ingin memberi hukuman kepadanya, sebaliknya gurunya
itu telah bertekad untuk tidak menjumpainya lagi. Tetapi sekarang orang itu ada
disini. Baru kemudian teringatlah oleh Radite bahwa disampingnya ada orang lain
dari perguruan lain. Yaitu Mahesa Jenar dan orang yang menamakan dirinya
Tumenggung Surajaya. Apakah kedatangan gurunya itu ada sangkut-pautnya dengan
mereka itu?. Karena itu kemudian bertanyalah ia,
”Guru, kalau
demikian apakah aku berhak mempersilahkan guru untuk singgah ke dalam pondokku?”
TERDENGAR
orang berjubah itu tertawa pendek. Lalu sahutnya,
”Radite, kau
agaknya terlalu cemas melihat bayanganmu sendiri. Bagiku, dosamu tidak sebesar
yang kau duga sendiri. Sudah aku katakan bahwa kalau aku tidak ingin
menjumpaimu lagi itu karena kekerdilan jiwaku sendiri. Jiwa orang tua yang
merindukan masa lampau itu tetap menjadi kebanggaannya. Bahkan kalau mungkin,
menjadi kebanggaan setiap orang Radite dan Anggara, ternyata apa yang cemerlang
di masa lampau tidaklah selalu yang cemerlang masa sekarang dan masa yang akan
datang. Dan ini akhirnya harus aku yakini meskipun tidak semua yang berasal
dari masa lampau itu harus dilupakan dan disisihkan.
Namun satu hal
yang bagiku tetap harus tak berubah dari masa ke masa. Dari masa lampau, masa
kini dan masa yang akan datang. Bahwa apa yang kita lakukan seharusnya kita
abdikan dengan penuh kasih dan cinta kepada manusia dan kemanusiaan. Bukan
sebaliknya manusia dan kemanusiaan kita abdikan pada diri kita, pada
kepentingan kita pribadi. Demikianlah manusia akan mencerminkan kasih dan cinta
Tuhan.”
Tidak hanya
Radite dan Anggara yang meresapi kata-kata orang berjubah itu. Juga Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara mendengarkan kata demi kata dengan seksama. Sehingga
untuk sesaat mereka lupa pada kepentingan mereka sendiri. Sementara itu
terdengar orang berjubah itu meneruskan,
“Dan karena
itulah agaknya aku datang kemari. Kalau pada saat-saat lampau tak sepantasnya
orang-orang muda menyeret orang-orang tua ke dalam satu persoalan, namun
sekarang ternyata aku terseret kemari karena pokal anak-anak muda.”
Radite dan
Anggara terkejut mendengar kata-kata itu. tanpa disengaja mereka menoleh kepada
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang masih duduk disamping mereka. Namun ketika
didengarnya kata-kata orang berjubah itu, mereka pun mengangkat wajah mereka.
Dan orang berjubah itu pun meneruskan,
”Aku terpaksa
datang kemari karena aku tidak mau melihat permainan yang berbahaya.”
Radite dan
Anggara menjadi semakin tercengang. Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
terpaksa menundukkan wajah. Dalam pada itu terdengar kelanjutan kata-kata orang
berjubah itu, ”Nah Radite… katakanlah kepadaku sekarang, apakah kau menyimpan
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten…?”
Bukan main
terkejutnya. Tidak hanya Radite dan Anggara. Tetapi juga Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Dengan tergagap terdengar Radite menjawab,
”Guru, aku
sama sekali tidak menyimpan kedua pusaka itu. seandainya demikian, buat apakah
kiranya kedua pusaka itu bagiku?”
Orang berjubah
itu menoleh kepada Mahesa Jenar dan bertanya kepadanya,
”Aku dengar,
kau berkeras menuduh bahwa kedua pusaka itu berada di tempat ini.”
Mahesa Jenar
sama sekali tidak menduga bahwa ia akan mendapat pertanyaan itu. Karena itu
dengan ragu-ragu ia menjawab,
”Ya Tuan…
memang aku menyangka bahwa kedua keris itu berada di sini.”
”Nah…” jawab
orang berjubah itu, ”Radite dan Anggara telah menjawab bahwa kedua pusaka itu
tidak berada di tempat ini. Kau harus percaya, sebab sepengetahuanku, Radite
dan Anggara tidak pernah berbohong.”
Kembali Mahesa
Jenar kebingungan. Sesekali ia menoleh kepada Kebo Kanigara. Tetapi Kebo
Kanigara agaknya sedang berpikir. Karena itu akhirnya Mahesa Jenar terpaksa
menjawab,
”Tuan… memang
sebenarnya aku tidak ingin menemukan keris itu di sini.”
”Lalu apakah
maksudmu sebenarnya…?” desak orang berjubah itu.
Sekali lagi
Mahesa Jenar ragu. Sedangkan Radite dan Anggara pun menjadi bingung. Ia tidak
mengerti arah jawaban Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar
sendiri, yang mula-mula sudah merencanakan segala sesuatu dengan lengkap dan
urut, namun di hadapan orang berjubah abu-abu itu semuanya menjadi
terpecah-pecah kembali. Seolah-olah ia kehilangan ingatan atas segala rencana
yang telah disusunnya bersama Kebo Kanigara. Meskipun demikian satu hal yang
dapat dijadikan pegangan. Orang berjubah abu-abu itu kini sudah datang. Karena
itu ia tidak perlu berbelit-belit lagi. Dan ketika ia melihat Kebo Kanigara
mengangguk kecil, berkatalah Mahesa Jenar,
“Tuan yang
berjubah abu-abu, kalau aku datang kemari dan memaksakan suatu perselisihan
kepada Paman Radite dan Paman Anggara, sebenarnya adalah karena Tuan. Sebab
sejak semula aku pun sudah percaya bahwa kedua keris itu sama sekali tidak
berada di tempat ini, tetapi berada pada seseorang yang sakti, yang mengenakan
jubah abu-abu mirip dengan jubah yang pernah dan selalu dipakai oleh
Pasingsingan.”
Radite dan
Anggara tersentak bersama-sama mendengar kata-kata itu. Mula-mula jantungnya
berdebar-debar, tetapi kemudian jantung itu menjadi seolah-oleh berhenti
bekerja. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Bagaimanapun mereka
menyadari bahwa sementara ini mereka telah dipergunakan oleh Mahesa Jenar untuk
memancing kehadiran gurunya. Tetapi sebelum ia sempat berkata sesuatu,
terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada mereka,
”Paman berdua…
ampunkan kami. Kami sama sekali tidak bermaksud menyakiti hati Paman berdua.
Apalagi sampai ada oertempuran yang sebenarnya antara hidup dan mati. Apa yang
kami lakukan benar-benar suatu permainan yang berbahaya. Namun penuh dengan
tanggungjawab atas kedua pusaka yang hilang itu.”
Perasaan aneh
menjalar dalam dada Radite dan Anggara. Bahkan kemudian mereka tidak tahu,
bagaimana seharusnya mereka menanggapi kejadian itu. Dalam keadaan yang
demikian terdengarlah orang berjubah itu tertawa lirih. Katanya,
”Aku kagum
pada kecerdasanmu Mahesa Jenar. Rupanya kau pernah mendengar bahwa Radite dan
Anggara adalah murid Pasingsingan. Kau pernah melihat bahwa orang yang membawa
kedua keris itu pun berjubah abu-abu seperti Pasingsingan. Nah, kau yakin bahwa
apabila kau bertempur melawan Radite dan Anggara, pastilah orang berjubah
abu-abu itu datang meleraimu. tetapi bagaimana kalau aku berpendirian, biarlah
kau berdua dibinasakan oleh Radite dan Anggara?”
HAMPIR saja
Mahesa Jenar menjawab bahwa ia berusaha untuk tidak terbinasakan, karena
keseimbangan yang telah dicapainya setelah ia mesu raga. Sedangkan Kanigara
adalah seorang yang cukup sakti untuk mengimbangi Radite. Tetapi niat itu diurungkan,
karena dengan demikian, meskipun ia tidak bermaksud apa-apa, agaknya akan
nampak bahwa ia menyombongkan dirinya. Dan karena beberapa saat Mahesa Jenar
tidak menjawab, orang berjubah abu-abu itu meneruskan, seolah-olah mengerti
perasaan Mahesa Jenar.
“Atau kalau
kalian merasa bahwa kesaktian kalian berimbang, bagaimanakah kalau seandainya
aku tidak mengetahui apa yang terjadi di sini?”
Karena
perkataan itu, seolah-olah Mahesa Jenar mendapat tuntunan untuk menjawabnya,
“Tuan… aku
yakin bahwa Tuan akan mengetahui apa yang akan terjadi di sini. Sebab kehadiran
Tuan pada pertempuran di Gedangan, serta usaha Tuan untuk menyempurnakan tata
nadi Arya Salaka menunjukkan kepadaku bahwa Tuan selalu hadir di dalam
saat-saat yang gawat. Sedangkan aku yakin pula bahwa Tuan tidak akan membiarkan
salah satu pihak dari kita yang sedang bertempur menjadi binasa. Sebab Paman
Radite dan Paman Anggara adalah murid-murid Tuan yang terpercaya. Meskipun
akhirnya Tuan merasa perlu untuk menjauhinya, namun Tuan tidak akan tega sampai
sejauh-jauhnya. Sebaliknya, apakah Tuan dapat melihat kami, aku dan Kakang Kebo
Kanigara, binasa…?”
“Kenapa
tidak…?” terdengar orang berjubah itu menyahut.
“Kalau
demikian…” tiba-tiba Kebo Kanigara menyela,
“Tuan pasti
tidak akan melerai kami. Membiarkan kami bertempur terus. Dan apabila kami
binasa, selesailah persoalan Tuan, tetapi kalau kami menguasai keadaan, Tuan
akan datang membantu Paman Radite dan Paman Anggara, tetapi ternyata yang
terjadi tidaklah demikian.”
“Kau yakin
bahwa aku tidak akan berbuat demikian?” jawab orang berjubah abu-abu itu.
“Bukankah kau
masih berada di tempat ini, dan aku masih belum berbuat sesuatu? Nah, agaknya
kau telah mempercepat tindakan-tindakan yang akan aku lakukan. Ketahuilah bahwa
kau benar. Aku datang untuk membantu Radite dan Anggara mebinasakan kalian
berdua.”
Radite dan
Anggara menjadi semakin bingung. Persoalan yang agaknya menjadi semakin
berbelit-belit. Ia menjadi bertambah terkejut lagi ketika tiba-tiba Kebo
Kanigara tertawa. Tiba-tiba saja ia menemukan sifat-sifat yang sudah sangat
dikenalnya pada orang berjubah abu-abu itu. Karena itu tiba-tiba pula ia
berkata hampir berteriak, “Nah, Tuan yang berjubah abu-abu… lakukanlah apa yang
Tuan kehendaki. Namun aku ingin meninggalkan pesan buat anakku Arya Salaka di
Padepokan Karang Tumaritis.”
Orang berjubah
itu terdiam. Bahkan tampak beberapa jengkal ia surut ke belakang. Namun
kemudian ia berkata,
“Aku tidak
kenal Arya Salaka dari Karang Tumaritis. Kalau yang kau maksud itu adalah anak
yang pernah aku tolong, memperbaiki tata nadinya, maka aku tidak ada hubungan
sama sekali dengan anak itu.”
Sekarang
Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan hatinya lagi. Karena itu maka ia ikut
berteriak,
“Nah, Tuan…
aku yakin bahwa Tuan tidak berani mengganggu kami. Sebab di belakang kami
berdiri seorang yang maha sakti pula seperti Tuan, yang bermukim di gunung
Karang Tumaritis, bernama Panembahan Ismaya. Seorang Panembahan yang sangat
gemar mengumpulkan dan menyimpan hampir segala jenis topeng-topeng serta
pahatan kayu.”
Sekali lagi
Radite dan Anggara terkejut. Bahkan darahnya seolah-olah mengalir semakin
cepat, ketika ia mendengar Mahesa Jenar berkata, bahwa seolah-olah menantang
gurunya. Di samping itu ia menjadi heran pula bahwa ada orang lain yang disebut
maha sakti, apalagi sampai gurunya tidak berani bertindak karena orang itu.
Setelah perasaan mereka terguncang-guncang untuk kesekian kalinya, kembali
Radite dan Anggara menjadi tercengang ketika tiba-tiba gurunya tertawa. Tertawa
hampir terkekeh-kekeh. Dalam keadaan yang demikian semakin jelaslah, betapa tua
usia orang yang berjubah abu-abu itu. Katanya kemudian,
“Mahesa Jenar,
adakah orang yang kau sebutkan maha sakti itu gurumu?”
“Bukan,” jawab
Mahesa Jenar,
“Tetapi
Panembahan Ismaya adalah seorang Panembahan yang tak ada duanya di kolong
langit ini. Aku sangat tertarik pada topeng-topengnya yang beraneka ragam. Ada
yang kasar dan jelek, namun penuh menyimpan watak yang sejuk damai. Tetapi ada
pula yang tampak cerdik, namun jauh dari sifat-sifat kesombongan. Dan salah satu
yang sangat menarik bagiku adalah yang Tuan pakai sekarang ini.”
Orang berjubah
abu-abu itu terdengar menggeram. Namun sama sekali tidak menakutkan. Bahkan
kemudian katanya kepada Radite dan Anggara,
“Anak-anakku,
agaknya kalian menjadi pening mendengar kata-kata Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Tetapi biarkanlah mereka berkicau sesukanya.”
Radite dan
Anggara mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun mereka sebenarnya ingin
penjelasan. Disamping itu tiba-tiba mereka mendengar nama Kebo Kanigara
disebut-sebut. Baik oleh Mahesa Jenar maupun oleh gurunya. Karena itu
terdengarlah Radite berkata,
“Benar Bapa,
aku benar-benar menjadi pening. Namun sudilah kiranya Bapa memberi penjelasan.”
Orang berjubah
abu-abu itu tertawa. Katanya,
“Radite,
sebaiknya aku kau persilahkan masuk ke dalam pondokmu dahulu bersama kedua
tamu-tamumu yang aneh ini.”
Radite
kemudian merasa diingatkan atas kewajibannya sebagai tuan rumah. Karena itu
dipersilahkannya gurunya beserta kedua tamu yang membingungkan itu masuk ke
dalam rumahnya.
SETELAH mereka
duduk melingkari lampu minyak jarak, di atas sebuah bale-bale yang besar,
mulailah orang berjubah itu berkata,
”Radite dan
Anggara… kau kenal aku karena kau adalah murid-muridku yang seolah-olah telah
merupakan bagian dari hidupnya sendiri. Tetapi kau melihat wajahku selalu
tertutup oleh sebuah topeng yang kasar dan jelek, yang kemudian dipakai oleh
Umbaran. Dan karena itulah agaknya kau belum pernah melihat wajahku yang
sebenarnya. Meskipun demikian, dengan wajah yang lainpun kau segera dapat mengenal
aku pula. Demikian pula agaknya Kebo Kanigara yang meskipun aku mengenakan
pakaian yang belum pernah dilihatnya, namun karena pergaulan kami yang sudah
lama, maka iapun segera dapat mengenal aku pula. Sedangkan Mahesa Jenar, akan
segera mengenal aku karena perhitungan-perhitungan otaknya yang cemerlang.
Sehingga karena pokalnya kau benar dapat dipancingnya malam ini. Dan kalian
adalah umpan-umpannya.”
Radite dan
Anggara memang sudah merasakan hal itu. Namun peristiwa seterusnya adalah
terlalu aneh baginya. Apalagi orang yang disebut Kebo Kanigara, yang mula-mula
menamakan dirinya Tumenggung Surajaya itupun telah banyak bergaul dengan
gurunya. Apakah iapun berguru pada orang yang dahulu bernama Pasingsingan itu?
Tetapi kalau demikian, maka unsur-unsur pokok ilmu mereka pasti bersamaan.
Sedangkan orang itu justru bersumber pada cabang perguruan Pengging.
Dalam pada
itu, orang yang berjubah abu-abu itu agaknya mengerti akan isi hati Radite dan
Anggara, karena itu ia meneruskan,
”Satu-satunya
cara bagi Mahesa Jenar untuk dapat bercakap-cakap dengan orang yang berjubah
abu-abu ini, yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri telah mengambil
Nagasasra dan Sabuk Inten dari Banyubiru, adalah dengan cara ini. Bertempur
dengan murid-muridnya. Dengan demikian orang yang berjubah abu-abu ini pasti
tidak hanya sekadar memperlihatkan diri untuk melerai atau memihak kepadanya
saja, sebab lawan-lawannya adalah murid orang berjubah abu-abu itu sendiri.”
Tiba-tiba
Radite menggeser duduknya ke dekat Mahesa Jenar dan menepuk bahunya keras-keras
sambil berkata,
”O, ngger,
ngger. Pandai benar kau buat hati orang tua kalang kabut. Hampir saja aku
kehilangan pengamatan diri. Sebab persoalan yang Angger berdua paksakan kepada
kami adalah langsung menyinggung luka hati yang paling parah. Itulah sebabnya
aku tak dapat menahan diri lagi.”
”Maafkan kami
Paman,” sela Kebo Kanigara,
”Sebab kami
tahu betapa sabar dan alimnya Paman berdua, sehingga mula-mula kami menemui
kesulitan untuk membuat paman berdua marah. Maka terpaksalah kami agak
melampaui batas-batas kesopanan. Tetapi kami harap Paman percaya, bahwa
bukanlah demikian maksud kami yang sebenarnya.”
Radite
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian bertanyalah ia,
”Tetapi kenapa
Angger menyinggung-nyinggung Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?”
”Sebab memang
kedua keris itulah yang kami cari,” jawab Kebo Kanigara.
”Dan terhadap
orang yang kami harapkan hadir kemudian, kami menaruhkan harapan sepenuhnya
atas kedua pusaka itu. Karena orang yang berjubah abu-abu itupun tahu pasti
bahwa kedua keris itu tidak berada di sini.”
Radite menarik
nafas dalam-dalam, sedang Anggara pun kemudian tertawa lirih, katanya,
”Alangkah
bingungnya aku kemudian. Baru sekarang aku menjadi jelas. Alangkah bodohnya
orang-orang tua ini, yang hanya pantas untuk menjadi penunggu burung di
sawah-sawah.”
”Tetapi…”
tiba-tiba Radite menyela,
”Siapakah
sebenarnya Angger ini, yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya, namun yang
kemudian disebut oleh Bapa Guru dengan nama Kebo Kanigara…?”
Orang berjubah
abu-abu itu tersenyum. Katanya,
”Itulah
kesenangannya. Membingungkan orang lain dengan nama-nama yang dibuatnya. Ia
pernah menamakan diri Putu Karang Jati waktu ia menemui Pandan Alas.”
”Pandan
Alas…?” ulang Radite dan Anggara hampir berbareng.
”Ki Ageng
Pandan Alas dari Klurak…?”
”Ya,” jawab
orang yang berjubah abu-abu itu.
”Dan sekarang
ia menamakan dirinya Tumenggung Surajaya. Dan orang yang suka berganti nama itu
tidak lain adalah seorang yang menganut ilmu perguruan Pengging. Sebagaimana
kau lihat, Mahesa Jenar pun memiliki nama yang aneh pula. Di Gedangan mula-mula
ia dikenal bernama Manahan. Barangkali memang demikianlah kebiasaan anak-anak
Ki Ageng Pengging Sepuh.”
”Aku sudah
menduga,” sela Radite,
”Bahwa Angger
ini pasti seorang murid yang sempurna dari perguruan Pengging.”
”Tidak saja
murid,” sahut orang berjubah abu-abu itu, ”Tetapi ia adalah anak Handayaningrat
itu, dan bahkan adik seperguruannya.”
Radite dan
Anggara bersama-sama mengerutkan keningnya. Tahulah ia sekarang kenapa ia
memiliki kesaktian yang mengagumkan. Yang dapat mengimbangi ilmu yang dimiliki
oleh Radite sendiri.
Tetapi dalam
pada itu terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
”Tuan benar.
Memang anak-anak perguruan Pengging suka berganti nama. Tetapi agaknya Tuan
lupa bahwa seorang yang bernama Radite pernah bernama Pasingsingan dan pernah
bernama Paniling. Seorang yang bernama Anggara pun memiliki nama lain, yaitu
Darba. Tetapi lebih daripada itu, seorang lain yang pernah bernama pula
Pasingsingan, ternyata memiliki nama yang lain, Panembahan Ismaya.”
Bagaimanapun
juga, orang berjubah abu-abu itu tergeser beberapa jengkal. Namun wajahnya yang
pucat sama sekali tidak menunjukkan sesuatu perubahan. Sinar pelita yang
menggapai-gapai dengan gelisahnya, membuat bayangan-bayangan yang
bergerak-gerak di dinding.
Mendengar
kata-kata Mahesa Jenar itu, Paniling dan Darba masih juga terkejut. Apakah
sangkut-paut antara Pasingsingan dengan Panembahan Ismaya…?
TIBA-TIBA
tampaklah orang berjubah abu-abu itu melepas ikat kepalanya. Dan karena itu
tampaklah di bawah rambutnya yang telah memutih, suatu garis yang memisahkan
antara kulit kepalanya dengan kulit wajahnya.
“Sekarang aku
tidak perlu bersembunyi-sembunyi lagi,” bisiknya.
“Sebab Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara telah mengetahui semuanya dengan jelas. Dan bagiku,
sekarang sudah tidak ada gunanya lagi memiliki bermacam-macam nama dan
kedudukan.”
Bersamaan
dengan itu, terkelupaslah kulit yang tipis dari wajah orang berjubah abu-abu
itu. Kulit kayu yang dipahatnya halus-halus menyerupai benar wajah seseorang.
Terhadap topeng itu tak seorangpun yang terkejut. Apalagi Mahesa Jenar, yang
jauh sebelumnya telah mengenal bahwa orang berjubah abu-abu itu tidak memiliki
wajah sewajarnya, melainkan mengenakan topeng. Dan topeng itu jauh berbeda
dengan topeng yang pernah dipakainya pada saat ia bernama Pasingsingan. Dari
balik topeng itu muncullah wajah orang berjubah abu-abu itu. Wajah seorang tua
yang lunak damai. Meskipun berkerut-kerut namun kesegaran masih memancar dari
wajahanya. Wajah yang sudah dikenal oleh Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Memang orang
itulah Panembahan Ismaya.
Radite dan
Anggara tiba-tiba merasa terharu. Terharu karena mereka berkesempatan mengenal
wajah gurunya. Wajah yang selama ini menjadi teka-teki. Bahkan mereka menduga
bahwa seumur hidup mereka tak akan sempat memandang wajah itu. Namun suatu hal
yang mengejutkan mereka berdua, bahwa orang berjubah abu-abu itu tidaklah setua
yang mereka duga. Umurnya tidak banyak terpaut banyak dengan umur mereka
sendiri. Meskipun demikian Radite dan Anggara membungkukkan kepalanya sambil
berkata dengan hormatnya,
“Bapa Guru…
aku merasa mendapatkan suatu kurnia juga tiada taranya, bahwa Bapa Guru telah
berkenan memberi kesempatan kepada kami untuk lebih mengenal Bapa.”
Orang yang
berjubah abu-abu, yang pernah bernama Pasingsingan dan kemudian menjauhkan diri
dari kesibukan dunia ramai di Bukit Karang Tumaritis dan bernama Panembahan
Ismaya itu tersenyum.
“Semua
permulaan akan ada akhirnya. Hanya yang tidak bermula sajalah yang tidak akan
berakhir. Yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Di hadapan kalian berempat aku merasa
seolah-olah aku telah mencapai segala cita-cita serta idamanku, sejak aku
menamakan diriku Pasingsingan.”
Ketika orang
yang berjubah abu-abu dan menamakan dirinya Panembahan Ismaya dalam bentuknya
yang lain itu berhenti sejenak, suasana menjadi hening. Tak seorang pun yang
berkata-kata. Mereka sedang terbenam dalam arus perasaan masing-masing. Mereka
mencoba menghubung-hubungkan apa yang pernah terjadi atas orang berjubah
abu-abu itu sehingga ia terpaksa mempergunakan topeng hampir seumur hidupnya.
Sedangkan sebagai Panembahan Ismaya, ia menyepi di sebuah bukit kecil dan
menjauhkan diri dari pergaulan.
Tetapi tak
seorangpun yang berani bertanya. Mereka takut kalau ada hal-hal yang dapat
menyinggung perasaannya. Namun tanpa mereka duga, orang itu berkata dengan
sendirinya,
“Mungkin apa
yang terjadi atas diriku agak mengherankan. Bertopeng seumur hidup dan menyepi
hampir seumur hidup pula.”
Keterangan itu
akan menarik bagi Radite dan Anggara. Bahkan juga bagi Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara. Tetapi tiba-tiba orang berjubah abu-abu itu membelokkan percakapan
kepada Mahesa Jenar.
“Mahesa Jenar…
sekarang kau sudah bertemu dengan orang yang berjubah abu-abu, yang mengambil
kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru. Dan karena
pengotak-atikmu bersama Kebo Kanigara, menghubung-hubungkan semua yang pernah
kalian alami, akhirnya kalian mengambil kesimpulan bahwa orang berjubah abu-abu
itulah Panembahan Ismaya. Lalu apakah keperluanmu dengan aku?”
Mahesa Jenar
menelan ludahnya beberapa kali. Mula-mula ia agak bimbang untuk langsung
menyampaikan keperluannya. Tetapi ia yakin bahwa sebenarnya orang tua itu pun
sudah mengerti pula. Karena itu ia mencoba mengelak,
“Tuan… apakah
aku masih perlu mengatakan keperluanku? Aku kira Tuan telah mengetahui
selengkapnya.”
“Mahesa
Jenar…” jawab orang berjubah itu,
“Lebih baik
kau tidak mengira-ira. Katakanlah, dan aku akan menjadi jelas, tanpa kira-kira
lagi.”
Sekali lagi
Mahesa Jenar menelan ludahnya. Lalu dengan suara yang parau ia menjawab,
“Tuan…
sebenarnya aku hanya ingin mengetahui di manakah keris-keris Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten itu berada.”
“Hanya itu…?”
sahut orang berjubah itu.
“Dan apabila
Tuan berkenan, aku ingin menerima kedua pusaka itu, kembali untuk menyelesaikan
beberapa masalah antara aku dan kakang Gajah Sora di satu pihak, dan
Pemerintahan demak di lain pihak.
“Hanya itu…?
Hanya supaya kau dapat kembali ke Istana dan Gajah Sora dapat dibebaskan?”
“Tidak,” jawab
Mahesa Jenar tergesa-gesa.
“Bukan hanya
itu. Tetapi aku tidak mau menyembunyikan pamrih itu supaya aku tidak menjadi
penipu atas diri sendiri. Sebab apabila aku hanya mengatakan bahwa aku ingin
mengembalikan kedua pusaka itu demi kelangsungan pemerintahan, maka aku telah
menyembunyikan beberapa bagian darinya, yaitu pamrih pribadi.”
ORANG berjubah
abu-abu itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu jawabnya,
”Kau memang
jujur dan berterus terang. Tetapi kau terlalu tergesa-gesa. Sudah beberapa kali
aku isyaratkan kepadamu, bahwa sekarang ini sedang ada pertentangan yang tajam
terjadi di Demak. Antara keturunan Sultan Trenggana dan keturunan Sekar Seda
Lepen. Karena itu kau masih harus menilai siapakah diantara mereka yang patut
mendapat sipat kandel itu. Kalau kau muncul sekarang dengan pusaka-pusaka itu,
maka akibatnya akan menjadi lebih parah lagi. Mereka menjadi semakin bernafsu
dalam pertentangan-pertentangan yang akan timbul. Kedua pusaka itu akan
merupakan penyebab pula, karena mereka merasa perlu untuk memilikinya. Dengan
demikian kau membantu menimbulkan persoalan-persoalan baru yang akan menambah
ketegangan. Bahkan akan dapat menimbulkan pertumpahan darah diantara para
perwira, bintara dan tamtama. Kalau demikian yang terjadi, maka tinggal
menunggu besok atau lusa, Demak pasti akan binasa. Sebab yang akan berhadapan
sebagai lawan dalam pertentangan itu adalah kekuatan-kekuatan Demak sendiri.
Baik yang berpihak kepada keturunan Sekar Seda Lepen maupun yang berpihak
kepada Sultan Trenggana. Setiap jiwa yang melayang karenanya adalah kerugian
yang harus ditanggung oleh Demak sendiri. Karena itu janganlah suasana menjadi
bertambah tegang. Mudah-mudahan mereka dapat memecahkan persoalan itu dengan
baik. Dengan musyawarah diantara kekuatan-kekuatan saka guru Demak sendiri.”
Mendengar
keterangan itu, Mahesa Jenar menundukkan kepala dalam-dalam. Demikian pula Kebo
Kanigara. Sedangkan Radite dan Anggara mendengarkan dengan penuh perhatian.
”Dengan
demikian…” orang berjubah abu-abu itu meneruskan,
”Setiap orang
Demak akan dapat mencurahkan tenaganya untuk kesejahteraan negeri. Membangun
tempat-tempat ibadah dan pendidikan, surau-surau dan langgar. Disamping itu
setiap prajurit Demak akan berkesempatan untuk menumpas habis golongan-golongan
yang tidak senang melihat Demak menjadi bulat. Maka setelah itu akan
terjalinlah kesatuan hati rakyat. Ketenteraman hidup dengan berbakti kepada
Tuhan Yang Maha Esa tanpa mendapat gangguan dalam pangkuan tanah tumpah darah
yang gemah ripah lohjinawi, tata titi tentrem kertaraharja, tanpa bibit-bibit
pertentangan yang ditaburkan di hari ini, yang akan tumbuh dan menjadi lebat di
hari kemudian.”
Ketika orang
berjubah abu-abu itu berhenti, terdengarlah kokok ayam bersahutan menyambut
datangnya fajar. Fajar yang tidak akan dapat ditunda oleh siapapun. Ia akan
datang apabila saatnya datang. Biarpun ayam jantan tidak berkokok. Demikianlah
kekuasaan Tuhan yang melampaui segenap kekuasaan yang ada. Mahesa Jenar sadar
akan ketergesaannya. Ia agaknya kurang dapat menanggapi setiap ajaran isyarat
yang diberikan, baik oleh seorang yang berjubah abu-abu yang dijumpainya dahulu
di jalannya yang hampir sesat dan kehilangan akal maupun oleh orang itu juga
dalam pakaiannya sebagai seorang Panembahan. Namun demikian masih saja ada
beberapa hal yang belum dapat dipahami, apakah dengan diketemukannya keris itu
justru tidak dapat menghentikan persengketaan antara dua golongan besar itu.
Tetapi disamping itu timbul pula pertanyaan-pertanyaan lebih lanjut di dalam
dadanya. Juga di dada Kebo Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Demikian
besar minat orang yang berjubah abu-abu itu terhadap persatuan dan kesatuan
Demak, sehingga mustahil kalau ia tidak memiliki sangkut-paut yang sangat rapat
dengan kedua golongan itu. Meskipun demikian, meski berbagai pertanyaan
bergelut di dalam dada setiap orang yang duduk di dalam lingkaran kecil itu,
namun tak seorang pun yang menyatakannya. Agaknya orang berjubah abu-abu itu
sudah merasa perlu untuk menyatakan dirinya tanpa satu pertanyaan pun.
Dalam sesaat
orang tua berjubah itu berdiam diri, memandangi setiap wajah dari keempat orang
yang dengan penuh minat mendengarkan ceritanya. Dan ketikasambaran matanya
hinggap pada wajah Mahesa Jenar, tertangkaplah banyak sekali persoalan yang
ingin dikatakannya. Namun tak sepatah katapun yang terloncat dari mulutnya.
Orang tua yang berjubah abu-abu itu agaknya dapat merasakan persoalan-persoalan
itu.
Karena itu ia
meneruskan,
”Mahesa Jenar…
seandainya salah seorang dari mereka memiliki kedua keris itu sekalipun,
tidaklah dapat dianggap sebagai suatu jaminan bahwa persengketaan mereka akan
mereda. Sebab dengan memiliki kedua keris itu tidaklah berarti bahwa ia mutlak
dapat memegang pemerintahan di Demak, selama jiwa orang itu masih belum menjadi
luluh dengan jiwa kedua keris itu. Apabila seseorang telah benar-benar dapat
menguasai, serta jiwa kedua keris itu luluh dalam dirinya, barulah ia mendapat
sipat kandel yang sebenarnya. Selama masih ada jarak antara seseorang dengan
keris itu, maka selama itu keris-keris yang keramat itu sama sekali tak akan
berguna. Karena itulah maka meskipun orang yang berjubah abu-abu sebagaimana
kau lihat, berhasil menyimpan kedua keris itu, seandainya, ia ingin memegang
tampuk pemerintahan Demak, hal itu tidak akan dapat dicapainya. Sebab jiwa
keris itu tidak dapat luluh ke dalam dirinya. Juga orang-orang dari golongan
hitam itupun akan tidak mempunyai sesuatu arti, apabila mereka memiliki kedua
pusaka Demak itu.”
Kembali orang
tua itu berhenti. Di luar, cahaya matahari pagi telah memercik hinggap di
dedaunan. Burung-burung dengan riangnya berkicau bersahutan. Padepokan yang
sepi itu seolah-olah telah terbangun dari tidurnya. Namun halaman-halaman rumah
penduduk padepokan itu masih tampak sepi. Satu-dua orang yang telah muncul dari
ambang pintunya, dengan tergesa-gesa pergi ke sungai, sedang yang lain dengan
sibuknya menyalakan api untuk merebus air. Di sana-sini terdengar jeritan
anak-anak kecil yang memanggil ibunya, ketika mereka terbangun dari tidurnya
yang nyenyak, seolah-olah mereka kecewa kehilangan mimpi yang segar.
DALAM kecerahan
pagi itu tampaklah orang-orang yang duduk di atas sebuah bale-bale besar di
rumah Paniling masih belum berkisar dari tempatnya. Mereka masih dengan asiknya
mendengarkan kisah dari orang tua yang berjubah abu-abu itu. Sementara itu,
tiba-tiba orang yang berjubah abu-abu itu berkata.
”Radite,
biarlah aku melepaskan jubah abu-abuku, supaya orang-orang yang lewat di muka
rumahmu ini tidak menjadi keheran-heranan melihat pakaianku yang tidak biasa di
pedukuhanmu ini.”
Dengan
tergoboh-gopoh Radite mempersilahkan orang tua itu masuk ke dalam sebuah
ruangan untuk berganti pakaian. Untunglah bahwa hal itu segera dilakukan, sebab
ketika matahari telah semakin naik di atas punggung-punggung perbukitan,
tampaklah jalan-jalan pedukuhan itu mulai sibuk. Beberapa orang telah mulai
turun ke sawah dengan binatang-binatang kesayangan mereka, menjelang saat tanam
padi. Ketika beberapa orang lewat di muka pondok di ujung pedukuhan itu, mereka
melihat dua ekor kuda tertambat di halaman. Karena itu teringatlah mereka,
bahwa kemarin mereka melihat dari celah-celah pintu mereka, dua orang berkuda
lewat di jalan pedukuhan itu. Karena itu sesuai dengan watak-watak mereka yang
sederhana dan penuh rasa kekeluargaan, mereka pun merasa berkepentingan pula
dengan penunggang-penunggang kuda itu. Meskipun demikian mereka terheran-heran
pula ketika mereka melihat bekas-bekas tanaman yang terinjak-injak di halaman.
Ketika
beberapa orang menjenguk ke dalam rumah itu, dilihatnya beberapa orang
duduk-duduk di atas bale-bale besar bersama-sama dengan Ki Paniling dan Ki
Darba. Karena itu dengan ramahnya mereka menyambut kehadiran mereka. Dengan
tergopoh-gopoh pula Paniling dan Darba mempersilakan mereka masuk dan
memperkenalkan mereka yang masih dapat mengenal Mahesa Jenar. Karena itu terdengar
suara orang itu.
”He, kakang
Paniling bukankah ini kemanakanmu yang beberapa tahun yang lalu pernah datang
kemari?”
Ki Paniling
tersenyum lebar, jawabnya,
”Otakmu
agaknya baik sekali. Ya, ialah kemenakan yang beberapa tahun yang lalu pernah
datang kemari.”
Kemudian
sambil tertawa-tertawa bangga atas pujian itu, orang itu bertanya seterusnya,
”Dan siapakah
yang dua lagi?”
”Ia juga
kemanakanku,” sahut Paniling,
”Dan yang satu
lagi…” Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Bagaimana ia mesti menyebut gurunya.
Untunglah bahwa gurunya segera menyahut,
”Aku adalah
kakaknya. Ayah anak-anak ini.”
”O…” terdengar
beberapa orang bergumam. Lalu berkata salah seorang diantaranya,
”Selamatlah
Kakang berkunjung ke pedukunan ini. Mudah-mudahan Kakang krasan pula, dan sudi
singgah ke rumah tetangga-tetangga di sebelah.”
”Pasti,
pasti,” jawab guru Radite itu.
”Aku akan
tinggal beberapa hari di sini. Dan aku akan singgah di rumah kalian apabila
waktuku memungkinkan.”
Demikianlah
terjadi percakapan yang akrab dan semanak di antara mereka. percakapan yang
sama sekali tidak dibumbui oleh maksud-maksud lain daripada apa yang mereka
percakapkan. Penduduk pedukuhan itu sama sekali tidak mengenal cara-cara yang
dilapisi oleh sifat berpura-pura. Dada mereka tak ubahnya seperti sebuah kitab
lontar yang terbuka. Setiap orang yang berkepentingan akan langsung dapat
membacanya kata demi kata. Demikianlah huruf itu membentuk kata-kata serta
kalimat-kalimat. Demikianlah maksud serta isi dari kitab itu sebenarnya.
Tetapi mereka
tidak lama berada di tempat itu. Karena sawah serta ladang mereka selalu
menunggu. Menunggu uluran tangan para petani yang dengan setia dan tekun
menggarapnya. Tanpa banyak persoalan. Mereka bekerja untuk memetik hasilnya.
Karena itu mereka sadar bahwa apabila mereka tidak bekerja, maka mereka pun
akan kelaparan. Dengan demikian mereka tidak pernah berpikir lain daripada
kesejahteraan pedukuhan mereka, tergantung atas kesanggupan serta kemauan
mereka bekerja. Dan seandainya ada orang lain, yang berbelas kasihan memberi kepada
pedukuhan itu kesejahteraan yang melimpang-limpah, maka pastilah itu bukan hal
yang sewajarnya. Pastilah dengan demikian mereka mempunyai pamrih.
Setidak-tidaknya orang-orang dari pedukuhan itu akan terikat oleh suatu
perasaan berhutang budi. Dan dengan demikian hilanglah sebagian, meskipun hanya
sebagian kecil, kemerdekaan serta kedaulatan mereka atas diri sendiri. Karena
itulah maka mereka bekerja keras dengan penuh kegembiraan dan terima kasih.
Terima kasih kepada Tuhan yang telah melimpahkan tenaga dan tanah garapan bagi
mereka.
Namun ketika
mereka meninggalkan halaman rumah itu, ada juga yang sempat bertanya,
”Bapak
Paniling, kenapakah tanaman-tanaman Bapak rusak bekas terinjak-injak?”
Paniling agak
binggung untuk menjawab pertanyaan itu, tetapi akhirnya diketemukan juga
jawabnya.
”Akh, semalam
kuda tamu-tamuku itu lepas dari ikatannya. Terpaksalah kami beramai-ramai
menangkapnya.”
Mereka percaya
saja pada keterangan itu. Bahkan beberapa orang menjadi geli karenanya. Tetapi
apabila mereka tahu apa yang sebenarnya terjadi, pastilah mereka mempunyai
tanggapan yang akan sangat jauh berbeda.
Ketika para
petani meninggalkan rumah Ki Paniling, kembali perhatian mereka tertuju kepada
orang tua yang sekarang sudah tidak lagi mengenakan jubah abu-abu. Tetapi orang
tua itu kini mengenakan baju lurik merah coklat serta ikat kepala yang
kehijau-hijauan. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah mengenal wajah orang itu
dengan baiknya sebagai seorang Panembahan. Tetapi kali ini, dalam pakaian yang
lain, tidak seperti yang biasa dipakainya, yaitu jubah putih, tampaklah bahwa
wajah itu menjadi semakin segar. Cahaya matanya tidak saja tampak dalam dan
damai, seperti biasa, yang seolah-olah menjangkau jauh ke alam yang tidak kasat
mata. Tetapi mata itu kini memancar dengan terangnya menyorot ke depan, ke masa
yang akan datang. Ke masa yang tidak terlalu jauh. Maka seolah-olah terjadilah
suatu paduan antara masa depan yang dekat dengan masa yang tak teraba oleh
pancaindera.
KETIKA suara
sendau dan tawa para petani sudah hilang di kejauhan, orang tua itu agaknya
merasa perlu untuk melanjutkan keterangannya. Karena itu ia mulai berkata,
”Anak-anakku
sekalian. Demikianlah tuah dari kedua keris yang sedang kau cari itu. Ia baru
bermanfaat bagi pemiliknya apabila jiwa keris itu sudah luluh dalam dirinya.
Pertandanya bahwa keris itu kehilangan kecemerlangannya. Ia kuningan. Tetapi
kedua keris itu menjadi tak ubahnya seperti besi biasa saja. Sama warnanya
dengan sebuah pisau dapur saja. Sedang apabila jiwa kedua keris itu luluh pada
diri seseorang, maka orang itu akan memiliki sifat-sifat khusus yang meresap ke
dalam dirinya. Kyai Nagasasra mempunyai watak disuyuti oleh kawula. Dicintai
dan disegani oleh rakyat. Dengan demikian ia akan mencinta kasih Tuhan,
perikemanusiaan, memberi perlindungan kepada orang yang kehujanan dan
kepanasan, memberi makanan kepada orang yang kelaparan, memberi pakaian kepada
orang yang telanjang, memberi tuntunan bagi yang kehilangan jalan. Sedang Kyai
Sabuk Inten mempunyai watak seperti watak lautan. Luas tanpa tepi. Menampung
segala arus sungai dari manapun datangnya. Menerima dengan tadah banjir yang
bagaimanapun besarnya. Namun gelombangnya dapat menunjukkan kedahsyatan dan
kesediaan bergerak dan bahkan selalu bergerak. Watak yang demikianlah yang memungkinkan
seseorang dapat menemukan yang belum pernah diketemukan. Dan karenanyalah
kesejahteraan rakyatnya dapat dijamin. Kesejahteraan lahir dan batin. Memberi
kesempatan kepada mereka untuk mengalirkan airnya yang ditampung dapat beriak
dengan manisnya, namun dapat bergulung-gulung dengan dahsyatnya, seolah-olah
lautan itu sedang mendidih.”
Orang tua itu
berhenti sejenak. Ia memandang berkeliling lalu melemparkan sorot matanya yang
damai itu lewat lubang pintu dan jatuh di atas tanah berdebu di halaman. Sekali-kali
ia menarik nafasnya dalam-dalam. Seolah-olah ada sesuatu yang kurang pada
tempatnya. Kemudian terdengarlah ia melanjutkan,
”Sayang, bahwa
kedua keris itu masih harus dilengkapi dengan yang satu lagi. Kyai Sengkelat.
Keris itupun sekarang sudah lenyap dari perbendaharaan istana.”
”Kyai
Sengkelat?” sela Mahesa Jenar hampir berteriak.
No comments:
Post a Comment