Bagian 090


TETAPI kini mereka terpaksa memecahkan tangkis blumbang itu, untuk menyelamatkan bukit Telamaya dari kehancuran yang lebih besar, meskipun kemudian mereka membutuhkan waktu untuk memperbaikinya, dan dengan demikian akan berarti pula bahwa mereka kehilangan kesempatan satu panen padi, dan harus menenaminya dengan palawija saja. Namun apa yang harus dilakukan sekarang ternyata tak dapat lain daripada mengalirkan air itu ke daerah yang terbakar. Dengan cangkul, mereka berusaha memecahkan tangksi batu itu. Satu-satu mereka mendongkelnya dengan linggis dan kapak. Alangkah lambatnya. Arya menjadi tidak telaten. Segera iapun berlari ke tempat itu, sambil berteriak nyaring ia meloncat di antara mereka yang sedang sibuk menyobek tangkis batu itu.
“Semua minggir. Cepat.”
Orang-orang yang sedang sibuk itu menjadi heran. Kenapa harus minggir. Bukankah mereka harus memecahkan tangkis batu itu? Tetapi segera mereka berloncatan ketika mereka melihat Arya Salaka berdiri tegak di atas satu kakinya, kakinya yang lain diangkatnya ke depan, satu tangannya menyilang dada, sedang tangan yang lain diangkatnya tinggi-tinggi seperti api yang menjilat-jilat ke udara itu. Dengan penuh tenaga dan kemampuannya, Arya berteriak nyaring sambil meloncat maju. Tangannya itu diayunkankan keras sekali. Dan, terdengarlah sebuah benturan yang dahsyat. Aji Sasra Birawa menghantam tangkis itu. Maka pecahlah beberapa batu dan terlontar berserakan. Air dalam waduk itu bergolak, kemudian terlontar keluar lewat lubang yang dibuat oleh Arya Salaka. Suaranya bergemuruh seperti pasukan yang berbaris menyerbu musuh. Arya segera meloncat menghindari air itu. Beberapa orang yang berdiri keheran-heranan melihat tandang anak muda itu. Diantara mereka yang menjadi keheran-heranan adalah Ki Ageng Gajah Sora sendiri. Disamping harapannya yang tumbuh karena air yang melimpah itu, sehingga akan dapat mempengaruhi api yang sedang menyala-nyala itu, ia pun menjadi heran melihat tandang anaknya itu. Benar-benar diluar dugaannya. Sasra Birawa itu benar-benar mencengangkan. Agaknya Arya dapat menerapkan ilmunya tidak saja untuk melawan musuh dan membinasakannya, namun kini mempergunakannya untuk keselamatan daerah Banyubiru dari bahaya api.

Air itu mengalir seperti seekor naga. Dengan cepatnya meluncur ke lerang. Beberapa orang sibuk membuat jalur-jalur untuk mengatur arahnya, sehingga dapat mencapai api yang sedang berkobar itu. Lereng bukit Telamaya itu menjadi semakin ribut. Orang-orang berlarian kian kemari. Anak-anak yang ikut menebas batang-batang ilalang sudah menjadi ketakutan, karena api seakan siap untuk menerkam mereka. Namun air yang mengalir dari blumbang akan sekedar membantu mereka. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun ikut sibuk pula membantu mereka. Mereka berloncatan dengan pedang ditangan mereka, menebangi pohon-pohon perdu. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar tertarik pada asap yang mengepul di udara. Dilihatnya asap yang bergulung-gulung kehitam-hitaman. Sesaat ia berdiri tegak mengamat-amati asap itu. Ketika ia menoleh ke arah Kebo Kanigara, maka Kebo Kanigara pun mengangguk. Dengan berlari-lari Mahesa Jenar pergi mendekatinya sambil berbisik,
“Kakang, aku melihat asap minyak. Entahlah, apakah minyak kelapa, jarak atau minyak kelenteng. Tetapi aku melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya.”
“Aku berpikir demikian sejak tadi,” jawab Kebo Kanigara.
“Marilah kita lihat.” Jawab Mahesa Jenar.
“Aku ikut !” tiba-tiba suara kecil menyahut di belakang mereka. Ketika mereka menoleh, mereka melihat Endang Widuri tersenyum. Sedang di sampingnya berdiri Rara Wilis.
Sekali lagi Mahesa Jenar memandang berkeliling. Beratus-ratus orang sibuk bekerja dengan penuh tenaga.
“Tenaga kami tak sebrapa membantu di sini, kakang.” Kata Mahesa Jenar,
“Bagi kami, lebih penting melihat sumber kebakaran ini.”
Kebo Kanigara tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia melangkah ke arah kuda-kuda mereka tertambat. Mahesa Jenar, Endang Widuri dan Rara Wilis segera mengikutinya rapat di belakangnya. Sesaat kemudian empat ekor kuda menderu dengan lajunya. Tak seorangpun yang menaruh perhatian atas kuda-kuda itu, karena mereka sedang tenggelam dalam usaha menarik garis pemisah antara api dan tanah mereka.

KEBO Kanigara, Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Endang Widuri segera mencari jalan, melingkari api yang sedang menyala-nyala itu, menuju ke tempat asap hitam yang bergulung di udara.
“Dari tempat itulah aku kira api menyala,” kata Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab Kebo Kanigara singkat. Kuda mereka berpacu terus. Semakin lama semakin cepat. Lidah api yang menjilat langit mengatasi sinar bulan muda yang makin condong di arah barat. Sekali-kali mereka harus meloncati jurang-jurang sempit dan dangkal, namun sekali-sekali kuda harus menyusur jalan setapak di lereng bukit. Api yang menyala-nyala itupun menjadi semakin luas.
Di ujung nyala, asap yang hitam masih berputar-putar di langit, meskipun sudah semakin tipis. Seorang yang bertubuh tegap dan berwajah tampan, berdiri bertolak pinggang. Cahaya api yang menyala-nyala di hadapannya agaknya sangat menarik perhatiannya. Bibirnya yang tipis, selalu membayangkan sebuah senyum yang menarik. Dari matanya yang redup memancarlah cahaya yang aneh. Meskipun bibirnya selalu tersenyum, namun betapa matanya membayangkan kebencian dan dendam sebesar bukit. Ketika orang itu melihat api yang semakin besar, maka sambil bertolak pinggang ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya gemuruh memukul tebing-tebing pegunungan. Dari suara tertawanya itu terdengarlah ia berkata,
“Musnahlah Banyubiru sekarang. Ternyata api itu menjalar terlampau cepat. Melampaui dugaanku semula. Apabila Banyubiru itu sudah menjadi abu, barulah puas hatiku. Dan barulah aku akan kembali ke Nusa Kambangan.”
Kembali suara tertawanya mengguntur. Namun tiba-tiba suara itu terputus, ia mendengar derap beberapa ekor kuda mendekatinya. Telinganya yang tajam segera dapat menduga, bahwa yang datang itu sedikitnya empat ekor kuda.
“Siapakah mereka ?” gumamnya,
“Kalau yang datang itu cecurut-cecurut Banyubiru, maka mereka akan aku binasakan di dalam api. Tetapi bagaimana kalau Mahesa Jenar ?”
“Ah !” kata-katanya itu dibantahnya sendiri.
“Mahesa Jenar masih berada di Pimingit.” Meskipun demikian hatinya menjadi tidak enak.

Perlahan-lahan ia berjalan mendekati kudanya. Kemudian orang itupun meloncat ke punggung kudanya.
“Lebih baik aku menyingkirkan siapa pun yang datang.” Dan segera kudanya itu pun dilarikannya. Tetapi mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang tajam itu bergerak menjauhi api.
“Itulah dia.” desis Mahesa Jenar dan dengan serta merta dengan pangkal kendali, kudanya dilecutnya habis-habisan, sehingga kuda itu berlari seperti gila. Disampingnya Kebo Kanigara pun mempercepat lari kudanya, sedang Endang Widuri menjadi gembira. Ia memang senang berpacu kuda. Tetapi Rara Wilis terpaksa semakin berhati-hati, sebab kudanya pun ikut berlari pula kencang-kencang. Tetapi kuda mereka tidak menjadi semakin dekat.
Tiba-tiba terdengar Widuri, yang berpacu dibelakang Kebo Kanigara berteriak nyaring,
“Ayah, aku memotong jalan.”
Kebo Kanigara terkejut.
“Jangan !” jawabnya. Namun Widuri telah membelok, melalui padang ilalang. Ternyata Widuri memang mempunyai kecakapan naik kuda. Dengan lincahnya ia mengendalikan kudanya, memilih jalan yang memotong, meskipun sekali-sekali harus diloncatinya parit, ledokan batu padas dan gerumbul-gerumbul kecil.
Kebo Kanigara tidak tega membiarkan anaknya menempuh lapangan, perdu dan padas yang miring itu. Karena itu pun ia berpacu di belakang anaknya. Sedang Mahesa Jenar dan Rara Wilis tetap menempuh jalan semula, sebab mereka tidak mau buruannya kali ini lepas. Ternyata Widuri cakap memperhitungkan waktu. Ia berhasil memotong kejarannya beberapa langkah. Dengan satu loncatan panjang kudanya menjejakkan kakinya, lima langkah saja dihadapan kuda buruannya. Kuda Widuri itu masih maju lagi beberapa depa sebelum ia berhasil menghentikannya. Namun kehadirannya yang tiba-tiba itu telah mengejutkan kuda buruannya, sehingga kuda itu meloncat berdiri di atas kaki belakangnya dan meringkik-ringkik. Penunggangnya berusaha untuk menguasainya. Ternyata penunggangnya itu benar-benar cakap, sehingga sejenak kemudian kembali ke arah yang dapat dikuasainya dan dipacunya untuk berlari ke arah yang berlawanan.

Namun sekali lagi ia terpaksa menarik kekang kudanya, sebab dilihatnya dekat di belakangnya dua orang lain yang sudah memperlambat kuda-kuda mereka. Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Akhirnya orang berkuda itu tidak dapat melepaskan dirinya lagi. Di sekelilingnya duduk tegak di atas punggung kuda, Kebo Kanigara, Endang Widuri, Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Namun meskipun demikian, orang itu masih tersenyum, senyum iblis. Berdirilah segera bulu kuduk Rara Wilis melihat senyum itu. Ia sebenarnya tidak takut menghadapinya, tetapi perasaan aneh selalu menyentuh-nyentuh hatinya apabila melihat wajah itu. Jangankan melihat dan berhadapan muka, sedang mengenang senyum itu saja pun hatinya berdebar-debar. Sesaat suasana menjadi sepi. Nyala api di kejauhan jatuh di atas tubuh-tubuh mereka mewarnai wajah mereka dengan warna-warna merah yang bergerak-gerak. Dan dalam kesepian itu terdengar Mahesa Jenar menggeram,
”Kau agaknya Jaka Soka?”
Orang berkuda itu, yang tidak lain adalah Jaka Soka menarik senyumnya lebih lebar lagi. Jawabnya
“Ya,kenapa?”
“Kau tahu akibatnya dari perbuatanmu itu?” tanya Mahesa Jenar. Jaka Soka tertawa, katanya,
“Aku tahu pasti. Banyubiru akan musnah.”
“Orang-orang yang tak tahu apa-apa pun akan menderita karenanya. Perempuan dan anak-anak.” Desak Mahesa Jenar.
“Aku tahu pasti,” sahut Jaka Soka,
“Dan itulah tujuanku”.
“Juga perempuan dan anak-anak?” potong Endang Widuri.
“Ya. Semua yang hidup di atasnya,” jawab Jaka Soka.
“Setan,” desis Widuri. Sekali lagi Jaka Soka tertawa, katanya,
“Apa pedulimu terhadap perempuan dan anak-anak Banyubiru? Aku sama sekali tidak berkepentingan dengan mereka. Dan kini aku telah menyaksikan pertunjukan yang mengasikkan. Perempuan dan anak-anak Banyubiru menangis melolong-lolong ketakutan”.

Sekali lagi suara tertawa Ular Laut itu menggetarkan udara lembah yang lembab namun panas itu. Panas karena nyala api di lereng bukit Telamaya, panas karena hati yang terbakar oleh kemarahan.
“Kau salah sangka,” terdengar suara Kebo Kanigara datar.
“Perempuan dan anak-anak di Banyubiru tidak menangis dan melolong-lolong dan berlari kian kemari. Tetapi mereka sedang bekerja keras menebang batang-batang ilalang untuk menghentikan apimu yang menyala-nyala itu.”
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Seleret pandang, tampaklah wajahnya menjadi kecewa. Tetapi kemudian sekali lagi tertawa,
“Kau bermimpi agaknya, perempuan dan anak-anak sekarang sedang menangis dan putus asa.”
“Kau sedang berusaha memuaskan hatimu sendiri dengan angan-anganmu,” sahut Kebo Kanigara. Sekali wajah itu menjadi tegang.
“Nah, sekarang ikut kami. Mintalah ma’af kepada rakyat Banyubiru,” kata Mahesa Jenar.
Mendengar kata-kata itu tiba-tiba Jaka Soka tertawa nyaring, jawabnya,
“Sejak kapan kau menjadi pengecut Mahesa Jenar? Kau tidak berani menangkap sendiri, bahkan berempat. Kau coba membujuk aku nanti beramai-ramai menangkap bersama-sama laskar Banyubiru.”
Mahesa Jenar menarik napas. Kata-kata itu benar-benar menusuk perasaannya. Namun ia sadar, bahwa kata-kata itu terlontar, karena kekerdilan Jaka Soka yang pasti sudah mengakui, ia akan dapat melawan. Jaka Soka sendiri mengetahui bahwa Mahesa Jenar telah berhasil membunuh Sima Rodra.
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, berkatalah Jaka Soka,
“Atau kalian ingin menangkap aku hidup-hidup atas permintaan gadis ini?”

Hati Rara Wilis berdesir. Kata-kata itu benar-benar memuakkan. Apalagi ketika Jaka Soka meneruskan sambil tersenyum dengan mata yang redup,
“Akhirnya kaulah yang mencari aku, Wilis.”
“Jangan membual,” potong Rara Wilis. Suaranya bergetar karena marah.
Namun tiba-tiba terdengar Endang Widuri tertawa pula. Katanya,
“Nah, kau benar paman Soka. Hampir tiap hari Bibi Wilis bermimpi tentang kau. Tentang seekor Ular Laut yang berwajah tampan.”
Semua orang menoleh ke arahnya. Dam semua mata memandangnya dengan tajam. Namun Widuri masih tertawa-tawa saja sambil berkata terus,
“Adakah kau juga bermimpi tentang bibi Wilis, paman yang baik?”
Jaka Soka kini tidak lagi tersenyum. Ia memandang gadis itu dengan tajamnya, seakan-akan biji matanya hendak melontar keluar. Tetapi kata-kata Widuri meluncur terus,
“Alangkah indahnya bulan di awan. Alangkah tampannya Ular Laut dari Nusakambangan. He, paman. Tidak saja bibi Wilis tergila-gila padamu. Akupun juga tidak pernah melupakanmu. Sayang, rakyat Banyubiru sedang mencari tumbal untuk memperbaiki tangkis yang pecah, karena airnya dialirkan untuk memadamkan apimu. Dan tumbal itu adalah Ular Laut yang berwajah tampan. Sehingga mimpi kami berdua tentang Paman Soka tak akan pernah kami alami lagi.”
“Tutup mulutmu !” bentak Jaka Soka marah.
Namun sekarang Widuri lah yang tersenyum. Jawabnya,
“Jangan marah, Paman. Paman lebih tampan kalau Paman sedang tersenyum dan memandang Bibi dengan mata yang redup.”

“GILA KAU!” bentak Jaka Soka dengan marahnya. Tetapi ia sadar bahwa ia berada di antara empat kekuatan yang tak akan berlawan. Widuri masih tertawa. Bahkan tertawanya menjadi berkepanjangan. Ternyata Jaka Soka yang mencoba membuat Rara Wilis marah menjadi marah sendiri. Katanya kemudian,
“Nah, seharusnya Paman Jaka Soka yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan menjadi bergembira. Bukankah akhirnya Bibi Wilis yang mencari Paman?”
Jaka Soka menjadi benar-benar marah, sehingga tubuhnya bergetar. Ia tidak mau mendengar lagi gadis itu berkicau. Karena itu ia berteriak,
“Mahesa Jenar, apakah maksudmu menyusul aku?”
“Jawabnya sudah kau ketahui, Jaka Soka,” jawab Mahesa Jenar.
“Ya!” sahut Jaka Soka,
“Menangkap aku hidup atau mati.”
“Kurang tepat!” potong Mahesa Jenar,
“Kami ingin membawa kau kepada rakyat Banyubiru. Mintalah maaf kepada mereka. Kau akan tetap hidup. Mungkin kau harus menjalani hukumanmu, tetapi kau tidak akan mati seperti seekor tikus di tangan kucing yang ganas.”
“Uh, kalian akan menghukum aku?” kata Jaka Soka, senyumnya tiba-tiba mulai menghias bibirnya kembali.
“Bukan kami,” sahut Mahesa Jenar,
“Kami tak memiliki tempat-tempat untuk menghukum orang. Kalau perlu kau dapat kami titipkan ke Demak, dan di sana kau akan mendapat perlakuan yang baik.”
“Kau benar-benar seorang prajurit yang bijaksana, Mahesa Jenar. Kau berusaha menegakkan tatanan pemerintahan sebaik-baiknya,” kata Jaka Soka.
“Tetapi kau akan menyesal, apabila tatanan itu kau terapkan pada diriku. Sebab tak ada tempat untuk menyimpan aku hidup-hidup.”
“Hem!” Mahesa Jenar bergumam,
“Jangan keras kepala.”
Kembali Ular Laut itu tertawa,
“Sekarang katakan saja, apakah maksud kalian?”
“Sudah kami jawab,” jawab Mahesa Jenar.
“O,” desis Jaka Soka,
“Sekarang lakukanlah. Tangkaplah aku.”
“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar,
“Sebenarnya kau tahu apa yang sedang kau lakukan itu. Bunuh diri. Lebih baik kau ubah putusanmu, sebab kau sekarang tinggal berdiri seorang diri. Tak ada lagi orang-orang dari golonganmu yang masih hidup selain kau. Karena itu kami tak membunuhmu.”
“Persetan dengan sesorah yang tak berarti itu,” potong Jaka Soka,
“Ayo mulailah bersama-sama. Kalian akan aku penggal kepala kalian satu demi satu.”
“Ai!” teriak Widuri,
“Bagaimana kami hidup tanpa kepala?”
“Kau yang pertama-tama!” teriak Jaka Soka marah.
“Jaka Soka,” kata Mahesa Jenar dengan suara yang datar dan berat.
“Adakah itu keputusanmu?”
“Ya,” jawab Jaka Soka,
“Aku tantang kalian berempat. Atau adakah di antara kalian yang berhati jantan? Bertempur seorang diri melawan aku untuk mewakili kalian?”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia tahu benar maksud Jaka Soka yang sedang berusaha mencari lubang-lubang untuk melepaskan diri. Bahkan kemudian Jaka Soka itu berkata,
“Kalau kalian benar-benar jantan dan merasa diri kalian masing-masing berhati kesatria, kalian masing-masing pasti akan menolak untuk bertempur seorang lawan seorang, tidak seperti anak-anak cengeng yang hanya berani bertempur bersama-sama.”
Arah kata-kata Jaka Soka menjadi semakin jelas. Namun Mahesa Jenar membiarkannya berbicara terus.
“Kalau demikian, akulah yang akan memilih lawan satu di antara kalian. Kesudahannya akan menjadi keputusan terakhir.”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Matanya kemudian hinggap ke wajah kedua gadis di antara mereka itu berganti-ganti. Jaka Soka ternyata benar-benar licik. Namun usulnya belum merupakan keputusan. Kebo Kanigara pun memaklumi maksudnya. Maksud yang keji. Ia akan menunjuk korbannya. Yang paling lemah di antara mereka berempat. Tetapi selagi mereka menimbang-nimbang, tiba-tiba terdengar Widuri menjawab dengan suaranya yang nyaring,
“Adil. Itu sangat adil. Nah, pilihlah satu di antara kami.”
Semua terkejut mendengar jawaban itu. Widuri benar-benar gadis yang nakal. Usianya yang masih sangat muda masih mempengaruhi segala keputusan yang diambilnya. Hati Kebo Kanigara menjadi berdebar-debar. Ia tahu pikiran anak itu. Ia mengharap Jaka Soka akan memilihnya sebagai lawan. Apakah Widuri kini akan mampu melawan Ular Laut dengan tongkat hitamnya?.
Tiba-tiba Kebo Kanigara menarik nafas. Ia melihat Widuri sedang mengaitkan pada kalung rantai Cakra di satu ujung dan sebuah cincin bermata merah menyala-nyala di ujung yang lain,
”Kelabang Sayuta”.

TIBA-TIBA wajah gadis itu menjadi terkejut ketika Jaka Soka menyahut dengan gembira,
“Keputusan telah jatuh. Baiklah aku memilih lawanku.”
Dengan lincahnya ia meloncat dari punggung kudanya. Kemudian berdiri tegak menghadap Rara Wilis sambil mengangguk dalam-dalam,
“Kau akan mendapat kehormatan.”
“Gila!” teriak Widuri lantang.
“Aku telah memilih,” potong Jaka Soka.
“Tetapi kau berkata bahwa akulah yang pertama-tama akan kau penggal lehernya,” bantah Widuri.
“Aku ubah keputusanku,” jawab Jaka Soka.
“Kami ubah keputusan kami,” sahut Widuri sambil meloncat turun dari kudanya pula,
“Akulah lawanmu.”
“Widuri!” Terdengar kemudian suara Rara Wilis perlahan-lahan,
“Biarlah aku menerima pilihannya.” Widuri terhenti. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajam. Sekali-kali matanya berkisar kepada Kebo Kanigara, ayahnya, dan kepada Mahesa Jenar. Terasalah betapa ia telah berbuat sesuatu kesalahan. Kalau terjadi sesuatu dengan Rara Wilis, maka dirinyalah sumber dari malapetaka itu. Apalagi ketika dilihatnya wajah-wajah Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang menjadi tegang.
“Ayah!” Tiba-tiba ia berteriak dan berlari memeluk kaki ayahnya.
“Bukankah Ayah dapat mencegahnya? Bunuh sajalah Ular Laut yang gila itu.”

Wajah Kebo Kanigara menjadi semakin tegang. Timbul juga di dalam benaknya maksud untuk mengakhiri ketegangan itu dengan membunuh saja Jaka Soka. Namun bagaimanakah tanggapan Rara Wilis? Adakah gadis itu tidak merasa direndahkan? Dalam pada itu terdengar Jaka Soka berkata,
“Bagaimana? Apakah kalian akan bertempur bersama?”
“Tidak!” potong Rara Wilis tegas. “Aku akan mewakili.”
“Wilis,” terdengar suara Mahesa Jenar bergetar. Namun ia melihat gadis itu perlahan-lahan turun dari kudanya. Sekali-kali hatinya berdesir melihat senyum iblis di bibir Jaka Soka, namun kemudian bergolaklah darah Pandan Alas yang mengalir di dalam tubuhnya. Darah laki-laki jantan dari Gunung Kidul yang telah menyerahkan hidup matinya bagi ketentraman hidup sesama.
“Ha?” kata Jaka Soka,
“Agaknya kau benar-benar gadis berhati jantan. Tetapi benarkah kau mau melawan aku?”
“Jangan banyak bicara,” sahut Rara Wilis,
“Aku sudah siap.”
“Ha?” Jaka Soka berkata lagi,
“Bagaimana dengan yang lain? Apakah kalian telah ikhlas melepaskan gadis yang cantik ini?” Mahesa Jenar menggeram. Tetapi ia masih duduk di atas punggung kudanya. Kemudian kepada Rara Wilis, Jaka Soka berkata,
“Wilis, aku akan menurut perintahmu meskipun aku akan dihukum seumur hidupku atau dibunuh sekali pun asal kau bersedia menjadi istriku.”
“Gila!” teriak Widuri marah,
“Kalau kau dihukum mati, apakah Bibi Wilis harus menjadi istri mayatmu?”
“Tentu saja aku minta waktu,” sahut Jaka Soka,
“Sebulan atau dua bulan sebelum aku naik ke tiang gantungan.”
“Aku sudah bersedia,” potong Wilis,
“Jangan mengigau.”
“Sayang,” jawab Jaka Soka,
“Setangkai bunga yang betapapun indahnya, apabila aku mendapat kesempatan untuk memiliki, lebih baik aku runtuhkan daun mahkotanya.”
“Mulailah,” potong Rara Wilis tidak sabar. Ia menjadi semakin muak melihat wajah itu. Widuri menjadi semakin berdebar-debar. Digoncang-goncangnya kaki ayahnya yang masih duduk di atas punggung kuda.
“Ayah, bunuh sajalah iblis itu.”
Kebo Kanigara tidak bergerak. Ia tidak dapat berbuat sesuatu sedang Mahesa Jenar sendiri tak berbuat sesuatu pula. Hanya hatinya sajalah yang seakan-akan meloncat mencekik Ular Laut yang licik itu.

TIBA-TIBA terdengar suara Mahesa Jenar berdesir,
“Wilis. Kau dapat menolak pilihan itu.”
“Tidak Kakang,” jawab Rara Wilis,
“Aku harus menjunjung tinggi nama perguruan Pandan Alas.”
“Itu semata-mata karena harga diri,” sahut Mahesa Jenar,
“Tetapi persoalan Jaka Soka yang telah membakar lereng bukit Telamaya adalah jauh lebih luas dari harga diri seseorang.”
“Terserahlah, kalau ternyata kemudian aku telah dibinasakan olehnya,” jawab Wilis.
Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Hatinya mengumpat-umpat atas kelicikan Jaka Soka. Yang dapat dilakukan hanyalah berdoa semoga Tuhan melindungi gadis yang telah menjadikan dirinya wakil untuk melawan Jaka Soka itu. Kini Jaka Soka telah berdiri berhadapan dengan Rara Wilis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tidak dapat tetap duduk di atas punggung kuda, karena itu segera mereka berloncatan turun. Sesaat kemudian, Jaka Soka dan Rara Wilis telah mencabut senjata masing-masing.
Pedang Jaka Soka yang lentur di tangan kanan, sedang wrangkanya, tongkat hitam di tangan kiri. Adapun di tangan Rara Wilis telah tergenggam sebilah pedang yang tipis.
“Nah, marilah,” desis Jaka Soka sambil tersenyum,
“Selamanya aku menghormati perempuan.”
Rara Wilis tidak menjawab. Namun segera ia mulai menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang ajaran Ki Ageng Pandan Alas. Pedang itu seakan-akan selalu bergerak dan bergetar, sehingga untuk sesaat Jaka Soka menjadi bingung. Ia tidak dapat memperhitungkan kemana kira-kira ujung pedang itu akan mengarah.

Namun kemudian Ular Laut yang telah kenyang pahit getir pertempuran dan perkelahian di darat maupun di lautan itu menjadi gembira. Dengan lincahnya ia bergerak menyerang dengan sengitnya. Dan perkelahian itupun berkobar dengan dahsyatnya. Pedang Jaka Soka bergerak dengan cepatnya, mematuk-matuk seperti beribu-ribu mulut ular yang menyerang dari segala arah, namun Wilis benar-benar seperti bunga Pudak. Bunga pandan yang dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, sehingga beribu-ribu ular itu tak dapat mendekatinya. Jaka Soka murid Nagapasa itu kemudian menjadi heran akan keterampilan Rara Wilis. Seperti di Banyubiru beberapa waktu lampau, meksipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya namun murid Ki Ageng Pandan Alas itu dapat mengimbanginya. Sekali-kali bahkan serangan-serangan yang berbahaya hampir saja menyentuh tubuhnya. Tetapi Jaka Soka benar-benar licik. Ia dapat berbuat seperti iblis yang selicik-liciknya. Ketika usahanya tidak juga segera berhasil mendesak lawannya, maka dengan liciknya ia mempengaruhi perasaan lawannya. Ketika mereka terlibat dalam satu pergulatan yang sengit tiba-tiba berbisiklah Jaka Soka dengan tersenyum,
“Wilis kau benar-benar gadis yang cantik.”
Hati Rara Wilis berdesir. Cepat ia meloncat surut. Nafasnya mengalir semakin cepat. Pengaruh kata-kata itu lebih dahsyat daripada tusukan pedang lawannya. Karena itu tubuhnya menjadi gemetar. Meskipun kemarahannya menjadi semakin memuncak, namun ia tidak dapat melenyapkan jiwa kegadisannya. Ia menjadi ngeri mendengar kata-kata itu. Pada saat-saat yang demikian itulah Jaka Soka mengambil kesempatan. Dengan lincahnya ia meloncat menyerang. Untunglah Rara Wilis masih dapat menguasai dirinya sehingga ia masih sempat melihat serangan Ular Laut yang ganas itu. Maka sekali lagi pertempuran berkobar dengan sengitnya.

Tetapi kini Jaka Soka telah memiliki kunci kelemahan perasaan hati seorang gadis. Karena itu Ular Laut yang ganas itu menjadi semakin gembira. Ia ingin melihat betapa hancur hati Mahesa Jenar melihat gadis cantik yang telah merebut hatinya itu menjadi permainannya. Kelicikan hatinya, meyakinkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Rara Wilis segera berpegang teguh pada sifat-sifat kejantanan mereka. Justru karena itulah, maka sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat yang dapat dimanfaatkan oleh iblis yang licin itu. Tetapi bagaimanakah dengan gadis kecil yang nakal itu? Kalau tiba-tiba ia menyerbunya, maka entahlah apakah ia masih dapat bertahan melawan keduanya. Namun ia mengharap bahwa Rara Wilis lah yang akan mencegahnya. Jaka Soka bertempur terus sambil tersenyum. Kadang-kadang meluncurlah dari bibirnya yang tipis itu, kata-kata lembut untuk meruntuhkan hati lawannya. Kadang-kadang ia merayu dengan manisnya kadang-kadang memuji dengan mesranya. Mahesa Jenar akhirnya melihat kelicikan itu. Dengan marahnya ia menggeram,
“Soka, kau telah berbuat curang.”

JAKA Soka masih tersenyum sambil menggerakkan pedangnya. Jawabnya
“Aku berkata sebenarnya Mahesa Jenar, alangkah indahnya wajah yang bulat ini. Apalagi kau Wilis sedang bersungut-sungut. Benar-benar gila aku dibuatnya.”
Kata-kata itu benar-benar mempengaruhi perasaan Rara Wilis. Kemarahan, kebencian dan muak menjalari otaknya. Namun karena itu ia menjadi bingung. Bingung karena campur baur perasaan yang tak dapat dikendalikan.
“Kalau kau berbuat curang, aku pun tidak akan memperdulikan perjanjian kita lagi” sahut Mahesa Jenar
“aku akan terjun dalam pertempuran.”
“Bagus”, jawab Jaka Soka
“sejak semula aku telah mempersilahkan. Ternyata dugaanku benar, bahwa ajaran Pandan Alas tidak lebih dari pelajaran tari menari yang hanya dapat menumbuhkan perasaan kagum pada penarinya. Apalagi penari secantik Rara Wilis.”
“Gila”, geram Mahesa Jenar. Dadanya bergelora karena marah. Tetapi ia tidak berani berbuat dengan tergesa-gesa. Rara Wilis ternyata adalah seorang gadis yang mempunyai harga diri. Tetapi Rara Wilis kini benar-benar dipengaruhi oleh sifat-sifat kegadisannya. Karena itu beberapa kali ia terpaksa meloncat surut, menghindar dan menjauhi lawannya. Ia merasa betapa tangannya menjadi gemetar dan tubuhnya menjadi lemah. Berkali-kali berusaha untuk menegakkan kembali tekadnya bertempur mati-matian, namun perasaannya yang aneh selalu kembali membelit hati. Jaka Soka melihat lawannya menjadi gelisah. Karena itu ia mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya. Ia mencoba untuk mempermainkan gadis itu, menghinanya dengan sentuhan-sentuhan pada tubuhnya dan kemudian melumpuhkannya.

Mahesa Jenar adalah orang yang terkenal dengan sifat-sifat keperwiraan serta kejantanannya. Ia selalu berusaha untuk menepati perjanjian-perjanjian yang telah dibuatnya langsung atau tidak langsung. Namun kali ini perasaannya benar-benar diuji. Ia tidak dapat melihat peristiwa yang terjadi di muka hidungnya. Ia tidak dapat menyaksikan Rara Wilis, gadis yang telah mengikat hatinya itu mengalami perlakuan yang tidak adil. Karena itu hampir saja ia lupa diri. Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang dapat merubah keadaan itu. Lamat-lamat di bawah angin pegunungan terdengar suara tembang. Mengalun seirama dengan desir angin lembut membelai hati mereka yang sedang dicekam oleh ketegangan. Tembang Dandang Gula, yang semakin lama menjadi semakin jelas. Segera Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Mula-mula ia tidak tahu apakah maksud suara tembang itu. Suara tembang yang tiba-tiba saja ada diantara keributan api yang membakar lereng pegunungan Telamaya, dan diantara perkelahian antara hidup dan mati. Tetapi kemudian ia tersenyum dalam hati. Ia kenal suara itu baik-baik. Suara yang telah banyak menolongnya dalam berbagai keadaan. Pada saat-saat ia hampir dibinasakan oleh Pasingsingan di alas Tambak Baja maupun di Banyubiru.

Tiba-tiba terdengarlah Mahesa Jenar berkata lantang,
“Kakang Kebo Kanigara, siapakah yang berlagu tembang Dandang Gula itu?”
Terdengar Kebo Kanigara menjawab lantang pula,
“Paman Pandan Alas. Ternyata ia hadir disini.”
“Bagus”, sahut Mahesa Jenar,
“Orang tua itu tidak terikat pada perjanjian antara kita dengan Ular Laut yang gila itu. Bukankah perguruan Pandan Alas hanya merupakan perguruan yang tak berharga. Tidak lebih dari perguruan tari dari tari-tarian yang menggairahkan. Alangkah lebih menggairahkan kalau gurunya itu yang menari di sini.”
“Gila. Setan. Iblis”, tiba-tiba Jaka Soka mengumpat habis-habisan.
“Apa kerja kambing tua itu di sini?”
“Melihat muridnya menari”, tiba-tiba terdengar suara kecil.
Suara Endang Widuri. Selama ini urat syarafnya menjadi tegang setegang tali busur. Namun tiba-tiba kini telah mengendor dan gadis nakal itu telah dapat tersenyum pula. Karena suara tembang itu pula, maka keseimbangan perkelahian itu terpengaruh. Tiba-tiba Rara Wilis menjadi seperti seorang yang menerima kekuatan baru. Kehadiran guru serta sekaligus kakeknya itu telah membangkitkan kebulatan tekadnya kembali. Suara tembang itu telah membantunya, menyingkirkan perasaan kegadisannya yang selama ini mengganggunya. Sebaliknya Jaka Sokalah yang kini menjadi gelisah. Ia sadar, bukan tidak sengaja Mahesa Jenar berteriak-teriak, bahwa orang orang tua itu tidak terikat dengan suatu perjanjian apapun. Karena itu, Jaka Soka menjadi cemas. Cemas akan kehadiran Pandan Alas.

PERTEMPURAN pun menjadi berubah. Rara Wilis telah berhasil menguasai pedangnya dengan baik. Sekali-kali pedang itu menyambar dengan dahsyatnya ke arah-arah yang berbahaya. Sedang Jaka Soka yang gelisah itu semakin kehilangan pengamatan atas pedang serta tongkat hitamnya. Pertempuran itu berlangsung terus. Setapak demi setapak Rara Wilis mulai mendesak lawannya. Jaka Soka sekali-kali masih mencoba mempengaruhi perasaan lawannya, namun karena hatinya sendiri menjadi gelisah, maka usahanya tidak berhasil. Kata-katanya menjadi janggal dan justru menjadikan Rara Wilis semakin teguh pada pendiriannya. Bahwa Ular Laut itu harus dibinasakan. Akhirnya terdengar Jaka Soka berteriak,
“He, kalau kalian orang-orang jantan, suruh kambing jenggotan itu berhenti mengembik.”
Yang menjawab adalah Mahesa Jenar,
“Tak ada sangkut paut antara kita dengan orang tua itu. Kita telah berjanji menyelesaikan persoalan kita sendiri. Sedang Ki Ageng Pandan Alas berdendang untuk melepaskan kegemarannya sendiri. Di tempat lain dan dalam persoalan lain.”
“Bohong,” sahut Jaka Soka yang menjadi semakin gelisah,
“Pandan Alas telah mencoba mempengaruhi perasaanku. Menakut-nakuti dan mencoba melemahkan perlawananku.”
“Kenapa kau tiba-tiba menjadi takut?” sela Endang Widuri,
“Bukankah kau sedang menonton tari-tarian yang menggairahkan.?”

Jaka Soka menggeretakkan giginya. Dipusatkannya panca inderanya untuk melawan Rara Wilis. Namun suara tembang yang dilontarkan dengan getaran indera yang kuat itu masih saja mengetuk-ngetuk hatinya. Karena itulah akhirnya dengan kemarahan yang meluap-luap Jaka Soka mengamuk sejadi-jadinya. Namun dengan demikian ia telah kehilangan sebagian dari pengamatan diri. Sedang lawannya perlahan-lahan telah berhasil menguasai keseimbangan perasaan sepenuhnya. Maka akhirnya berlakulah segala kehendak Tuhan. Setiap kejahatan dan pengingkaran kepada firman-Nya pasti akan menerima hukumannya. Kali ini Rara Wilis lah yang menjadi lantaran. Betapa dahsyat dan licinnya Ular Laut yang ganas itu, namun karena kegelisahan yang mengoncang-goncang dadanya maka ia telah kehilangan sebagian kegarangannya. Tiba-tiba saja ketika serangannya tak mengenai sasarannya, Rara Wilis meloncat maju. Dengan lincahnya pedang tipisnya terjulur lurus ke arah lambung lawannya. Terasa ujung pedangnya menyentuh tubuh lawannya dan kemudian disusul dengan sebuah keluhan tertahan. Dan ketika pedang itu digerakkan mendatar, maka memancarlah darah dari perut Jaka Soka. Sebuah luka telah menganga. Sesaat Jaka Soka tegak dengan wajah menyeringai menahan sakit. Tangannya menjadi gemetar dan kemudian kedua buah senjata di kedua tangannya itu terjatuh. Namun ia masih berdiri tegak dengan gagahnya. Bahkan akhirnya bibirnya yang tipis itu melukiskan sebuah senyum. Senyum yang aneh, sedang dari matanya yang redup itu pun memancar sinar yang aneh. Dalam keadaan yang demikian itu ia masih mencoba melangkah maju mendekati Rara Wwilis. Bahkan terdengar dari sela-sela bibirnya yang gemetar kata-kata,
“Wilis. Kau memang cantik.”

Rara Wilis menjadi ngeri melihat peristiwa itu, seakan-akan sesosok hantu berdiri di hadapannya, siap untuk menerkamnya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak,
“Pergi, pergi!”
Tetapi hantu itu tidak pergi. Dengan darah yang memancar dari lukanya, Jaka Soka masih berusaha melangkah maju. Senyumnya masih membayang di bibirnya yang tipis, sedang matanya yang redup masih juga memancarkan sinar yang menggelisahkan hati setiap gadis yang melihatnya. Bahkan ketika kengerian Jaka Soka maju setapak lagi, Rara Wilis tak dapat menahan kengerian hatinya. Kembali terdengar ia berteriak,
“Pergi, pergi. Jangan dekati aku.” Namun hantu itu masih tegak. Dan masih terdengar ia berkata diantara senyumnya,
“Marilah Wilis. Jangan takut. Kau sangat cantik.”
Dan ketika setapak lagi Jaka Soka melangkah maju, tiba-tiba Rara Wilis memutar tubuhnya, dan dengan tak diduga oleh siapapun ia meloncat berlari sekencang-kencangnya menjauhi hantu yang mengerikan itu. Ia sudah tidak sempat melihat Jaka Soka itu terhuyung-huyung dan kemudian jatuh tertelungkup.
“Wilis, Wilis,” Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Dengan suara yang lantang ia berteriak memanggil. Namun Rara Wilis berlari terus dan terus. Karena itu segera Mahesa Jenar berlari mengejarnya,
“Wilis!” terdengarlah suara Mahesa Jenar memanggil, namun suara itu seakan-akan hilang ditelan lembah-lembah pegunungan. Sedang Rara Wilis seakan-akan tak mendengarnya. Tetapi langkah Mahesa Jenar lebih panjang daripadanya, sehingga kemudian Rara Wilis itu pun dapat disusulnya. Dengan tangannya yang kokoh kuat, Mahesa Jenar memegang pundaknya. Namun tiba-tiba Rara Wilis itu meronta-ronta sambil berteriak,
“Lepaskan, lepaskan aku. Pergi, pergi ke asalmu.”
“Wilis,” bisik Mahesa Jenar.
“Aku tidak mau. Aku tidak mau!” teriak Rara Wilis semakin keras.

MAHESA JENAR sadar, bahwa segala ketakutan, kengerian yang disimpan di dalam dada gadis itu terhadap Jaka Soka kini meledak dengan dahsatnya. Karena itu sekali lagi ia mencoba menenangkannya.
“Wilis. Tenanglah. Aku Mahesa Jenar”.
Nama itu benar-benar berpengaruh dihati Rara Wilis. Kini ia tidak meronta-ronta lagi. Dan ketika ia menoleh, dilihatnya laki-laki itu. Mahesa Jenar. Tiba-tiba Rara Wilis memutar tubuhnya dan dijatuhkannya kepalanya di dada laki-laki itu. Tangisnya pecah seperti bendungan dihantam banjir. Dari sela-sela isak tangisnya terdengar suaranya gemetar.
“Kakang aku takut”.
“Jangan takut.”
Kata-kata Itu bagi Rara Wilis seperti air sejuk yang menyiram tenggorokannya pada saat ia kehausan. Karena itulah maka tangisnya menjadi semakin keras. Dan kembali kata-katanya yang gemetar terdengar.
“Kakang, aku hampir gila dibuatnya”.
“Kini ia tidak akan menakut-nakuti lagi Wilis”, jawab Mahesa Jenar.
“Ia tidak mengejar aku ?” bertanya Rara Wilis.
“Ular Laut itu telah mati”. Jawab Mahesa Jenar.
“Mati ?” ulang Rara Wilis.
”Siapakah yang membunuhnya ?”
“Kau. Pedangmu”, jawab Mahesa Jenar.
“Oh..” dan Rara Wilis menekankan kepalanya lebih rapat. Sesat mereka tenggelam ke dalam perasaan yang tidak menentu.

Tiba-tiba dada Rara Wilis menjadi lapang, selapang Rawa Pening yang terbentang jauh di bawah kaki mereka. Kini ia tidak akan dibayangi oleh senyum mengerikan dibibir Jaka Soka. Matanya yang redup tidak akan lagi menghentak-hentak dadanya. Memang sejak pertemuan yang pertama dengan Ular Laut itu dihutan Tambak Baya, ia tidak pernah dapat tenang apabila wajah yang selalu membayangkan senyum dibibir tipisnya serta sinar yang memancar dari matanya yang redup namun penuh nafsu itu membayang di dalam angan-angannya. Dan kini orang yang mengerikan itu telah binasa. Meskipun Lawa Ijo, sepasang Uling Rawa Pening dan segerombolannya nampaknya lebih garang dari Jaka Soka, namun bagi Rara Wilis, lebih baik ia harus berhadapan dengan wajah-wajah yang buas bengis itu, daripada wajah tampan yang memancarkan nafsu yang mengerikan. Lebih baik dadanya terbelah hancur dan mati daripada ia harus jatuh ke tangan Ular Laut dari Nusakambangan itu. Tetapi masa-masa yang mengerikan itu telah lampau. Kini ia berada ditangan laki-laki tempat ia menyangkutkan harapannya dimasa datang. Karena itu alangkah sejuk perasaannya. Tanpa ketakutan, tanpa kengerian dan tanpa dendam. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ketika matanya terdampar ke arah api yang masih menyala-nyala itu, terdengar ia bergumam.
”Wilis, meskipun Jaka Soka telah binasa, namun bekas tangannya itu masih membahayakan Banyubiru”.
Rara Wilis kemudian terdampar dibumi kenyataan setelah angan-angannya melambung tinggi setinggi bintang-bintang dilangit. Seperti Mahesa Jenar, iapun dengan tajamnya memandang api yang menyala-nyala itu,
“Bagaimana dengan api itu kakang ?”
“Marilah kita kembali”, ajak Mahesa Jenar. Rara Wilis mengangguk. Dan melangkahlah ia mendahului Mahesa Jenar kembali ketempat kuda-kuda. Dari kejauhan dilihatnya Kebo Kanigara dan Endang Widuri berdiri dengan tegang kaku. Disamping mereka, telah berdiri pula seorang lagi, Ki Ageng Pandan Alas. Ketika mereka melihat Rara Wilis berjalan kembali diiringkan oleh Mahesa Jenar, mereka menarik nafas dalam-dalam.
“Tidakkah kau mengalami sesuatu”, terdengar Ki Ageng Pandan Alas bertanya kepada cucunya. Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Tetapi ketika terpandang olehnya mayat Jaka Soka yang menelungkup di muka kaki kakeknya. Ia memalingkan wajahnya.
“Aku melihat semua yang terjadi disini”, berkata Ki Ageng Pandan Alas.
“Ketika aku datang bersama-sama Nyai Ageng Gajah Sora aku melihat kalian berkuda. Aku sudah mengira apa yang akan kalian lakukan, namun aku tidak segera dapat menyusul. Aku terpaksa menyerahkan Nyai Ageng dahulu kepada suaminya, baru aku menyusul kalian. Tetapi ketika aku melihat dikejauhan lima orang berkuda, aku menjadi curiga. Karena itu aku mendekatinya dengan diam-diam. Agaknya persoalan kalian demikian tegangnya, sehingga kalian tidak mendengar kehadiranku. Aku melihat kelicikan Jaka Soka yang mempengaruhi perasaan lawannya. Karena itu aku terpaksa berdendang lagu Dandang Gula”.
“Suara eyang merdu sekali”, tiba-tiba Widuri menyela. Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Kemudian katanya”, lalu bagaimana dengan api itu ?

SERENTAK mereka menoleh ke arah api dilereng bukit. Api itu masih menyala. Namun agaknya api itu tidak jauh maju. Bahkan di beberapa bagian tampak, bahwa lidahnya tidak lagi menjilat langit.
“Api itu susut”, gumam Mahesa Jenar.
“Mudah-mudahan usaha paman Wanamerta dan rakyat Banyubiru berhasil”, sahut Kebo Kanigara.
“Api itu tidak akan dapat menjalar terus”, sambung Widuri.
“Tetapi api itu belum sampai di daerah yang dipisahkan oleh Rakyat Banyubiru itu”, sahut Mahesa Jenar.
“Marilah kita lihat”, berkata Ki Ageng Pandan Alas.
“Aku akan mengambil kudaku.” Sesaat kemudian mereka telah mengambil kuda masing-masing. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian meloncati padas-padas di lereng bukit itu, menyusup beberapa gerumbul untuk mengambil kudanya. Dan sesaat kemudian mereka berlima telah berpencar ke Banyubiru. Tetapi Mahesa Jenar yang berkuda dipaling depan, tiba-tiba berhenti. Katanya,
“Paman Pandan Alas, api itu berhenti disini.”
Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara mengerutkan keningnya,
“Ya, api itu berhenti di sini.”
“Aneh,” desis mereka hampir bersamaan. Untuk sesaat mereka berhenti termangu-mangu. Api itu tidak menjalar terus ke atas. Di kejauhan masih terdengar campur baur dari suara ranting-ranting yang terbakar dengan suara teriakan-teriakan orang-orang Banyubiru yang masih berusaha menarik garis batas antara daerah ilalang dan perdu yang dimakan api dengan pedukuhan mereka, dengan hutan-hutan getah dan hutan-hutan buah-buahan. Sekali-kali mereka masih melihat beberapa ekor kijang, babi hutan dan binatang-binatang lain berlari-lari meninggalkan daerah yang panas itu.

Tiba-tiba dada Mahesa Jenar terguncang dahsyat. Dalam bayangan cahaya api yang kemerah-merahan, ia melihat sesosok tubuh yang berdiri tegak diantara batang-batang ilalang. Demikian terkejutnya sehingga dengan serta merta ia berkata,
“Kakang, kau lihat orang itu?”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia pun melihat bayangan itu. Ki Ageng Pandan Alas dan yang lain-lain pun akhirnya melihat pula.
“Siapakah dia?” Wilis bergumam. Tiba-tiba ia menjadi ngeri.
“Pasti bukan Jaka Soka”, sahut kakeknya. Untuk sesaat mereka terdiam. Aneh. Seseorang berdiri di antara batang-batang ilalang yang sedang dimakan api. Kalau api itu menjalar terus, maka orang itu pun pasti akan menjadi abu pula. Namun agaknya api itu berhenti.
“Angin tidak bertiup lagi”, desis Mahesa Jenar.
“Batang-batang ilalang itu belum kering benar”, sahut Kebo Kanigara. Tetapi Mahesa Jenar tidak puas dengan sangkaan-sangkaannya saja. Segera ia meloncat turun dari kudanya sambil berkata,
“Akan aku dekati orang itu.”
“Tetapi kalau api itu menjalar”, Wilis mencoba untuk mencegahnya.
“Tidak. Api itu benar-benar berhenti di sini. Kalau tiba-tiba api itu bergerak, aku dapat berlari menjauhinya”, jawab Mahesa Jenar.


<<< Bagian 089                                                                                              Bagian 091 >>>

No comments:

Post a Comment