TETAPI kini mereka terpaksa memecahkan tangkis blumbang itu, untuk menyelamatkan bukit Telamaya dari kehancuran yang lebih besar, meskipun kemudian mereka membutuhkan waktu untuk memperbaikinya, dan dengan demikian akan berarti pula bahwa mereka kehilangan kesempatan satu panen padi, dan harus menenaminya dengan palawija saja. Namun apa yang harus dilakukan sekarang ternyata tak dapat lain daripada mengalirkan air itu ke daerah yang terbakar. Dengan cangkul, mereka berusaha memecahkan tangksi batu itu. Satu-satu mereka mendongkelnya dengan linggis dan kapak. Alangkah lambatnya. Arya menjadi tidak telaten. Segera iapun berlari ke tempat itu, sambil berteriak nyaring ia meloncat di antara mereka yang sedang sibuk menyobek tangkis batu itu.
“Semua
minggir. Cepat.”
Orang-orang
yang sedang sibuk itu menjadi heran. Kenapa harus minggir. Bukankah mereka
harus memecahkan tangkis batu itu? Tetapi segera mereka berloncatan ketika
mereka melihat Arya Salaka berdiri tegak di atas satu kakinya, kakinya yang
lain diangkatnya ke depan, satu tangannya menyilang dada, sedang tangan yang
lain diangkatnya tinggi-tinggi seperti api yang menjilat-jilat ke udara itu.
Dengan penuh tenaga dan kemampuannya, Arya berteriak nyaring sambil meloncat
maju. Tangannya itu diayunkankan keras sekali. Dan, terdengarlah sebuah
benturan yang dahsyat. Aji Sasra Birawa menghantam tangkis itu. Maka pecahlah
beberapa batu dan terlontar berserakan. Air dalam waduk itu bergolak, kemudian
terlontar keluar lewat lubang yang dibuat oleh Arya Salaka. Suaranya bergemuruh
seperti pasukan yang berbaris menyerbu musuh. Arya segera meloncat menghindari
air itu. Beberapa orang yang berdiri keheran-heranan melihat tandang anak muda
itu. Diantara mereka yang menjadi keheran-heranan adalah Ki Ageng Gajah Sora
sendiri. Disamping harapannya yang tumbuh karena air yang melimpah itu,
sehingga akan dapat mempengaruhi api yang sedang menyala-nyala itu, ia pun
menjadi heran melihat tandang anaknya itu. Benar-benar diluar dugaannya. Sasra
Birawa itu benar-benar mencengangkan. Agaknya Arya dapat menerapkan ilmunya
tidak saja untuk melawan musuh dan membinasakannya, namun kini mempergunakannya
untuk keselamatan daerah Banyubiru dari bahaya api.
Air itu
mengalir seperti seekor naga. Dengan cepatnya meluncur ke lerang. Beberapa
orang sibuk membuat jalur-jalur untuk mengatur arahnya, sehingga dapat mencapai
api yang sedang berkobar itu. Lereng bukit Telamaya itu menjadi semakin ribut.
Orang-orang berlarian kian kemari. Anak-anak yang ikut menebas batang-batang
ilalang sudah menjadi ketakutan, karena api seakan siap untuk menerkam mereka.
Namun air yang mengalir dari blumbang akan sekedar membantu mereka. Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara pun ikut sibuk pula membantu mereka. Mereka berloncatan
dengan pedang ditangan mereka, menebangi pohon-pohon perdu. Tetapi tiba-tiba
Mahesa Jenar tertarik pada asap yang mengepul di udara. Dilihatnya asap yang
bergulung-gulung kehitam-hitaman. Sesaat ia berdiri tegak mengamat-amati asap
itu. Ketika ia menoleh ke arah Kebo Kanigara, maka Kebo Kanigara pun mengangguk.
Dengan berlari-lari Mahesa Jenar pergi mendekatinya sambil berbisik,
“Kakang, aku
melihat asap minyak. Entahlah, apakah minyak kelapa, jarak atau minyak
kelenteng. Tetapi aku melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya.”
“Aku berpikir
demikian sejak tadi,” jawab Kebo Kanigara.
“Marilah kita
lihat.” Jawab Mahesa Jenar.
“Aku ikut !”
tiba-tiba suara kecil menyahut di belakang mereka. Ketika mereka menoleh,
mereka melihat Endang Widuri tersenyum. Sedang di sampingnya berdiri Rara
Wilis.
Sekali lagi
Mahesa Jenar memandang berkeliling. Beratus-ratus orang sibuk bekerja dengan
penuh tenaga.
“Tenaga kami
tak sebrapa membantu di sini, kakang.” Kata Mahesa Jenar,
“Bagi kami,
lebih penting melihat sumber kebakaran ini.”
Kebo Kanigara
tidak menjawab. Dengan tergesa-gesa ia melangkah ke arah kuda-kuda mereka
tertambat. Mahesa Jenar, Endang Widuri dan Rara Wilis segera mengikutinya rapat
di belakangnya. Sesaat kemudian empat ekor kuda menderu dengan lajunya. Tak
seorangpun yang menaruh perhatian atas kuda-kuda itu, karena mereka sedang
tenggelam dalam usaha menarik garis pemisah antara api dan tanah mereka.
KEBO Kanigara,
Mahesa Jenar, Rara Wilis dan Endang Widuri segera mencari jalan, melingkari api
yang sedang menyala-nyala itu, menuju ke tempat asap hitam yang bergulung di
udara.
“Dari tempat
itulah aku kira api menyala,” kata Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab
Kebo Kanigara singkat. Kuda mereka berpacu terus. Semakin lama semakin cepat.
Lidah api yang menjilat langit mengatasi sinar bulan muda yang makin condong di
arah barat. Sekali-kali mereka harus meloncati jurang-jurang sempit dan
dangkal, namun sekali-sekali kuda harus menyusur jalan setapak di lereng bukit.
Api yang menyala-nyala itupun menjadi semakin luas.
Di ujung
nyala, asap yang hitam masih berputar-putar di langit, meskipun sudah semakin
tipis. Seorang yang bertubuh tegap dan berwajah tampan, berdiri bertolak
pinggang. Cahaya api yang menyala-nyala di hadapannya agaknya sangat menarik
perhatiannya. Bibirnya yang tipis, selalu membayangkan sebuah senyum yang menarik.
Dari matanya yang redup memancarlah cahaya yang aneh. Meskipun bibirnya selalu
tersenyum, namun betapa matanya membayangkan kebencian dan dendam sebesar
bukit. Ketika orang itu melihat api yang semakin besar, maka sambil bertolak
pinggang ia tertawa terbahak-bahak. Suaranya gemuruh memukul tebing-tebing
pegunungan. Dari suara tertawanya itu terdengarlah ia berkata,
“Musnahlah
Banyubiru sekarang. Ternyata api itu menjalar terlampau cepat. Melampaui
dugaanku semula. Apabila Banyubiru itu sudah menjadi abu, barulah puas hatiku.
Dan barulah aku akan kembali ke Nusa Kambangan.”
Kembali suara
tertawanya mengguntur. Namun tiba-tiba suara itu terputus, ia mendengar derap
beberapa ekor kuda mendekatinya. Telinganya yang tajam segera dapat menduga,
bahwa yang datang itu sedikitnya empat ekor kuda.
“Siapakah
mereka ?” gumamnya,
“Kalau yang
datang itu cecurut-cecurut Banyubiru, maka mereka akan aku binasakan di dalam
api. Tetapi bagaimana kalau Mahesa Jenar ?”
“Ah !”
kata-katanya itu dibantahnya sendiri.
“Mahesa Jenar
masih berada di Pimingit.” Meskipun demikian hatinya menjadi tidak enak.
Perlahan-lahan
ia berjalan mendekati kudanya. Kemudian orang itupun meloncat ke punggung
kudanya.
“Lebih baik
aku menyingkirkan siapa pun yang datang.” Dan segera kudanya itu pun
dilarikannya. Tetapi mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang tajam itu
bergerak menjauhi api.
“Itulah dia.”
desis Mahesa Jenar dan dengan serta merta dengan pangkal kendali, kudanya
dilecutnya habis-habisan, sehingga kuda itu berlari seperti gila. Disampingnya
Kebo Kanigara pun mempercepat lari kudanya, sedang Endang Widuri menjadi
gembira. Ia memang senang berpacu kuda. Tetapi Rara Wilis terpaksa semakin
berhati-hati, sebab kudanya pun ikut berlari pula kencang-kencang. Tetapi kuda
mereka tidak menjadi semakin dekat.
Tiba-tiba
terdengar Widuri, yang berpacu dibelakang Kebo Kanigara berteriak nyaring,
“Ayah, aku
memotong jalan.”
Kebo Kanigara
terkejut.
“Jangan !”
jawabnya. Namun Widuri telah membelok, melalui padang ilalang. Ternyata Widuri
memang mempunyai kecakapan naik kuda. Dengan lincahnya ia mengendalikan
kudanya, memilih jalan yang memotong, meskipun sekali-sekali harus diloncatinya
parit, ledokan batu padas dan gerumbul-gerumbul kecil.
Kebo Kanigara
tidak tega membiarkan anaknya menempuh lapangan, perdu dan padas yang miring
itu. Karena itu pun ia berpacu di belakang anaknya. Sedang Mahesa Jenar dan
Rara Wilis tetap menempuh jalan semula, sebab mereka tidak mau buruannya kali
ini lepas. Ternyata Widuri cakap memperhitungkan waktu. Ia berhasil memotong
kejarannya beberapa langkah. Dengan satu loncatan panjang kudanya menjejakkan
kakinya, lima langkah saja dihadapan kuda buruannya. Kuda Widuri itu masih maju
lagi beberapa depa sebelum ia berhasil menghentikannya. Namun kehadirannya yang
tiba-tiba itu telah mengejutkan kuda buruannya, sehingga kuda itu meloncat
berdiri di atas kaki belakangnya dan meringkik-ringkik. Penunggangnya berusaha
untuk menguasainya. Ternyata penunggangnya itu benar-benar cakap, sehingga
sejenak kemudian kembali ke arah yang dapat dikuasainya dan dipacunya untuk
berlari ke arah yang berlawanan.
Namun sekali
lagi ia terpaksa menarik kekang kudanya, sebab dilihatnya dekat di belakangnya
dua orang lain yang sudah memperlambat kuda-kuda mereka. Mahesa Jenar dan Rara
Wilis. Akhirnya orang berkuda itu tidak dapat melepaskan dirinya lagi. Di
sekelilingnya duduk tegak di atas punggung kuda, Kebo Kanigara, Endang Widuri,
Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Namun meskipun demikian, orang itu masih
tersenyum, senyum iblis. Berdirilah segera bulu kuduk Rara Wilis melihat senyum
itu. Ia sebenarnya tidak takut menghadapinya, tetapi perasaan aneh selalu
menyentuh-nyentuh hatinya apabila melihat wajah itu. Jangankan melihat dan
berhadapan muka, sedang mengenang senyum itu saja pun hatinya berdebar-debar.
Sesaat suasana menjadi sepi. Nyala api di kejauhan jatuh di atas tubuh-tubuh
mereka mewarnai wajah mereka dengan warna-warna merah yang bergerak-gerak. Dan
dalam kesepian itu terdengar Mahesa Jenar menggeram,
”Kau agaknya
Jaka Soka?”
Orang berkuda
itu, yang tidak lain adalah Jaka Soka menarik senyumnya lebih lebar lagi.
Jawabnya
“Ya,kenapa?”
“Kau tahu
akibatnya dari perbuatanmu itu?” tanya Mahesa Jenar. Jaka Soka tertawa,
katanya,
“Aku tahu
pasti. Banyubiru akan musnah.”
“Orang-orang
yang tak tahu apa-apa pun akan menderita karenanya. Perempuan dan anak-anak.”
Desak Mahesa Jenar.
“Aku tahu
pasti,” sahut Jaka Soka,
“Dan itulah
tujuanku”.
“Juga
perempuan dan anak-anak?” potong Endang Widuri.
“Ya. Semua
yang hidup di atasnya,” jawab Jaka Soka.
“Setan,” desis
Widuri. Sekali lagi Jaka Soka tertawa, katanya,
“Apa pedulimu
terhadap perempuan dan anak-anak Banyubiru? Aku sama sekali tidak
berkepentingan dengan mereka. Dan kini aku telah menyaksikan pertunjukan yang
mengasikkan. Perempuan dan anak-anak Banyubiru menangis melolong-lolong
ketakutan”.
Sekali lagi
suara tertawa Ular Laut itu menggetarkan udara lembah yang lembab namun panas
itu. Panas karena nyala api di lereng bukit Telamaya, panas karena hati yang
terbakar oleh kemarahan.
“Kau salah
sangka,” terdengar suara Kebo Kanigara datar.
“Perempuan dan
anak-anak di Banyubiru tidak menangis dan melolong-lolong dan berlari kian
kemari. Tetapi mereka sedang bekerja keras menebang batang-batang ilalang untuk
menghentikan apimu yang menyala-nyala itu.”
Jaka Soka mengerutkan
keningnya. Seleret pandang, tampaklah wajahnya menjadi kecewa. Tetapi kemudian
sekali lagi tertawa,
“Kau bermimpi
agaknya, perempuan dan anak-anak sekarang sedang menangis dan putus asa.”
“Kau sedang
berusaha memuaskan hatimu sendiri dengan angan-anganmu,” sahut Kebo Kanigara.
Sekali wajah itu menjadi tegang.
“Nah, sekarang
ikut kami. Mintalah ma’af kepada rakyat Banyubiru,” kata Mahesa Jenar.
Mendengar
kata-kata itu tiba-tiba Jaka Soka tertawa nyaring, jawabnya,
“Sejak kapan
kau menjadi pengecut Mahesa Jenar? Kau tidak berani menangkap sendiri, bahkan
berempat. Kau coba membujuk aku nanti beramai-ramai menangkap bersama-sama
laskar Banyubiru.”
Mahesa Jenar
menarik napas. Kata-kata itu benar-benar menusuk perasaannya. Namun ia sadar,
bahwa kata-kata itu terlontar, karena kekerdilan Jaka Soka yang pasti sudah
mengakui, ia akan dapat melawan. Jaka Soka sendiri mengetahui bahwa Mahesa
Jenar telah berhasil membunuh Sima Rodra.
Belum lagi
Mahesa Jenar menjawab, berkatalah Jaka Soka,
“Atau kalian
ingin menangkap aku hidup-hidup atas permintaan gadis ini?”
Hati Rara
Wilis berdesir. Kata-kata itu benar-benar memuakkan. Apalagi ketika Jaka Soka
meneruskan sambil tersenyum dengan mata yang redup,
“Akhirnya
kaulah yang mencari aku, Wilis.”
“Jangan
membual,” potong Rara Wilis. Suaranya bergetar karena marah.
Namun
tiba-tiba terdengar Endang Widuri tertawa pula. Katanya,
“Nah, kau
benar paman Soka. Hampir tiap hari Bibi Wilis bermimpi tentang kau. Tentang
seekor Ular Laut yang berwajah tampan.”
Semua orang
menoleh ke arahnya. Dam semua mata memandangnya dengan tajam. Namun Widuri
masih tertawa-tawa saja sambil berkata terus,
“Adakah kau
juga bermimpi tentang bibi Wilis, paman yang baik?”
Jaka Soka kini
tidak lagi tersenyum. Ia memandang gadis itu dengan tajamnya, seakan-akan biji
matanya hendak melontar keluar. Tetapi kata-kata Widuri meluncur terus,
“Alangkah
indahnya bulan di awan. Alangkah tampannya Ular Laut dari Nusakambangan. He,
paman. Tidak saja bibi Wilis tergila-gila padamu. Akupun juga tidak pernah
melupakanmu. Sayang, rakyat Banyubiru sedang mencari tumbal untuk memperbaiki
tangkis yang pecah, karena airnya dialirkan untuk memadamkan apimu. Dan tumbal
itu adalah Ular Laut yang berwajah tampan. Sehingga mimpi kami berdua tentang
Paman Soka tak akan pernah kami alami lagi.”
“Tutup mulutmu
!” bentak Jaka Soka marah.
Namun sekarang
Widuri lah yang tersenyum. Jawabnya,
“Jangan marah,
Paman. Paman lebih tampan kalau Paman sedang tersenyum dan memandang Bibi
dengan mata yang redup.”
“GILA KAU!”
bentak Jaka Soka dengan marahnya. Tetapi ia sadar bahwa ia berada di antara
empat kekuatan yang tak akan berlawan. Widuri masih tertawa. Bahkan tertawanya
menjadi berkepanjangan. Ternyata Jaka Soka yang mencoba membuat Rara Wilis
marah menjadi marah sendiri. Katanya kemudian,
“Nah,
seharusnya Paman Jaka Soka yang disebut Ular Laut dari Nusakambangan menjadi
bergembira. Bukankah akhirnya Bibi Wilis yang mencari Paman?”
Jaka Soka
menjadi benar-benar marah, sehingga tubuhnya bergetar. Ia tidak mau mendengar
lagi gadis itu berkicau. Karena itu ia berteriak,
“Mahesa Jenar,
apakah maksudmu menyusul aku?”
“Jawabnya
sudah kau ketahui, Jaka Soka,” jawab Mahesa Jenar.
“Ya!” sahut
Jaka Soka,
“Menangkap aku
hidup atau mati.”
“Kurang
tepat!” potong Mahesa Jenar,
“Kami ingin
membawa kau kepada rakyat Banyubiru. Mintalah maaf kepada mereka. Kau akan
tetap hidup. Mungkin kau harus menjalani hukumanmu, tetapi kau tidak akan mati
seperti seekor tikus di tangan kucing yang ganas.”
“Uh, kalian
akan menghukum aku?” kata Jaka Soka, senyumnya tiba-tiba mulai menghias
bibirnya kembali.
“Bukan kami,”
sahut Mahesa Jenar,
“Kami tak
memiliki tempat-tempat untuk menghukum orang. Kalau perlu kau dapat kami
titipkan ke Demak, dan di sana kau akan mendapat perlakuan yang baik.”
“Kau
benar-benar seorang prajurit yang bijaksana, Mahesa Jenar. Kau berusaha
menegakkan tatanan pemerintahan sebaik-baiknya,” kata Jaka Soka.
“Tetapi kau
akan menyesal, apabila tatanan itu kau terapkan pada diriku. Sebab tak ada
tempat untuk menyimpan aku hidup-hidup.”
“Hem!” Mahesa
Jenar bergumam,
“Jangan keras
kepala.”
Kembali Ular
Laut itu tertawa,
“Sekarang
katakan saja, apakah maksud kalian?”
“Sudah kami
jawab,” jawab Mahesa Jenar.
“O,” desis
Jaka Soka,
“Sekarang
lakukanlah. Tangkaplah aku.”
“Jaka Soka,”
kata Mahesa Jenar,
“Sebenarnya
kau tahu apa yang sedang kau lakukan itu. Bunuh diri. Lebih baik kau ubah
putusanmu, sebab kau sekarang tinggal berdiri seorang diri. Tak ada lagi
orang-orang dari golonganmu yang masih hidup selain kau. Karena itu kami tak
membunuhmu.”
“Persetan
dengan sesorah yang tak berarti itu,” potong Jaka Soka,
“Ayo mulailah
bersama-sama. Kalian akan aku penggal kepala kalian satu demi satu.”
“Ai!” teriak
Widuri,
“Bagaimana
kami hidup tanpa kepala?”
“Kau yang
pertama-tama!” teriak Jaka Soka marah.
“Jaka Soka,” kata
Mahesa Jenar dengan suara yang datar dan berat.
“Adakah itu
keputusanmu?”
“Ya,” jawab
Jaka Soka,
“Aku tantang
kalian berempat. Atau adakah di antara kalian yang berhati jantan? Bertempur
seorang diri melawan aku untuk mewakili kalian?”
Mahesa Jenar mengerutkan
keningnya. Ia tahu benar maksud Jaka Soka yang sedang berusaha mencari
lubang-lubang untuk melepaskan diri. Bahkan kemudian Jaka Soka itu berkata,
“Kalau kalian
benar-benar jantan dan merasa diri kalian masing-masing berhati kesatria,
kalian masing-masing pasti akan menolak untuk bertempur seorang lawan seorang,
tidak seperti anak-anak cengeng yang hanya berani bertempur bersama-sama.”
Arah kata-kata
Jaka Soka menjadi semakin jelas. Namun Mahesa Jenar membiarkannya berbicara
terus.
“Kalau demikian,
akulah yang akan memilih lawan satu di antara kalian. Kesudahannya akan menjadi
keputusan terakhir.”
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Matanya kemudian hinggap ke wajah kedua gadis di
antara mereka itu berganti-ganti. Jaka Soka ternyata benar-benar licik. Namun
usulnya belum merupakan keputusan. Kebo Kanigara pun memaklumi maksudnya.
Maksud yang keji. Ia akan menunjuk korbannya. Yang paling lemah di antara
mereka berempat. Tetapi selagi mereka menimbang-nimbang, tiba-tiba terdengar
Widuri menjawab dengan suaranya yang nyaring,
“Adil. Itu
sangat adil. Nah, pilihlah satu di antara kami.”
Semua terkejut
mendengar jawaban itu. Widuri benar-benar gadis yang nakal. Usianya yang masih
sangat muda masih mempengaruhi segala keputusan yang diambilnya. Hati Kebo
Kanigara menjadi berdebar-debar. Ia tahu pikiran anak itu. Ia mengharap Jaka
Soka akan memilihnya sebagai lawan. Apakah Widuri kini akan mampu melawan Ular
Laut dengan tongkat hitamnya?.
Tiba-tiba Kebo
Kanigara menarik nafas. Ia melihat Widuri sedang mengaitkan pada kalung rantai
Cakra di satu ujung dan sebuah cincin bermata merah menyala-nyala di ujung yang
lain,
”Kelabang
Sayuta”.
TIBA-TIBA
wajah gadis itu menjadi terkejut ketika Jaka Soka menyahut dengan gembira,
“Keputusan
telah jatuh. Baiklah aku memilih lawanku.”
Dengan
lincahnya ia meloncat dari punggung kudanya. Kemudian berdiri tegak menghadap
Rara Wilis sambil mengangguk dalam-dalam,
“Kau akan
mendapat kehormatan.”
“Gila!” teriak
Widuri lantang.
“Aku telah
memilih,” potong Jaka Soka.
“Tetapi kau
berkata bahwa akulah yang pertama-tama akan kau penggal lehernya,” bantah
Widuri.
“Aku ubah
keputusanku,” jawab Jaka Soka.
“Kami ubah
keputusan kami,” sahut Widuri sambil meloncat turun dari kudanya pula,
“Akulah
lawanmu.”
“Widuri!”
Terdengar kemudian suara Rara Wilis perlahan-lahan,
“Biarlah aku
menerima pilihannya.” Widuri terhenti. Dipandangnya Rara Wilis dengan tajam.
Sekali-kali matanya berkisar kepada Kebo Kanigara, ayahnya, dan kepada Mahesa
Jenar. Terasalah betapa ia telah berbuat sesuatu kesalahan. Kalau terjadi
sesuatu dengan Rara Wilis, maka dirinyalah sumber dari malapetaka itu. Apalagi
ketika dilihatnya wajah-wajah Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang menjadi
tegang.
“Ayah!”
Tiba-tiba ia berteriak dan berlari memeluk kaki ayahnya.
“Bukankah Ayah
dapat mencegahnya? Bunuh sajalah Ular Laut yang gila itu.”
Wajah Kebo
Kanigara menjadi semakin tegang. Timbul juga di dalam benaknya maksud untuk
mengakhiri ketegangan itu dengan membunuh saja Jaka Soka. Namun bagaimanakah
tanggapan Rara Wilis? Adakah gadis itu tidak merasa direndahkan? Dalam pada itu
terdengar Jaka Soka berkata,
“Bagaimana?
Apakah kalian akan bertempur bersama?”
“Tidak!”
potong Rara Wilis tegas. “Aku akan mewakili.”
“Wilis,”
terdengar suara Mahesa Jenar bergetar. Namun ia melihat gadis itu
perlahan-lahan turun dari kudanya. Sekali-kali hatinya berdesir melihat senyum
iblis di bibir Jaka Soka, namun kemudian bergolaklah darah Pandan Alas yang
mengalir di dalam tubuhnya. Darah laki-laki jantan dari Gunung Kidul yang telah
menyerahkan hidup matinya bagi ketentraman hidup sesama.
“Ha?” kata
Jaka Soka,
“Agaknya kau
benar-benar gadis berhati jantan. Tetapi benarkah kau mau melawan aku?”
“Jangan banyak
bicara,” sahut Rara Wilis,
“Aku sudah
siap.”
“Ha?” Jaka
Soka berkata lagi,
“Bagaimana dengan
yang lain? Apakah kalian telah ikhlas melepaskan gadis yang cantik ini?” Mahesa
Jenar menggeram. Tetapi ia masih duduk di atas punggung kudanya. Kemudian
kepada Rara Wilis, Jaka Soka berkata,
“Wilis, aku
akan menurut perintahmu meskipun aku akan dihukum seumur hidupku atau dibunuh
sekali pun asal kau bersedia menjadi istriku.”
“Gila!” teriak
Widuri marah,
“Kalau kau
dihukum mati, apakah Bibi Wilis harus menjadi istri mayatmu?”
“Tentu saja
aku minta waktu,” sahut Jaka Soka,
“Sebulan atau
dua bulan sebelum aku naik ke tiang gantungan.”
“Aku sudah
bersedia,” potong Wilis,
“Jangan
mengigau.”
“Sayang,”
jawab Jaka Soka,
“Setangkai
bunga yang betapapun indahnya, apabila aku mendapat kesempatan untuk memiliki,
lebih baik aku runtuhkan daun mahkotanya.”
“Mulailah,”
potong Rara Wilis tidak sabar. Ia menjadi semakin muak melihat wajah itu.
Widuri menjadi semakin berdebar-debar. Digoncang-goncangnya kaki ayahnya yang
masih duduk di atas punggung kuda.
“Ayah, bunuh
sajalah iblis itu.”
Kebo Kanigara
tidak bergerak. Ia tidak dapat berbuat sesuatu sedang Mahesa Jenar sendiri tak
berbuat sesuatu pula. Hanya hatinya sajalah yang seakan-akan meloncat mencekik
Ular Laut yang licik itu.
TIBA-TIBA
terdengar suara Mahesa Jenar berdesir,
“Wilis. Kau
dapat menolak pilihan itu.”
“Tidak
Kakang,” jawab Rara Wilis,
“Aku harus
menjunjung tinggi nama perguruan Pandan Alas.”
“Itu
semata-mata karena harga diri,” sahut Mahesa Jenar,
“Tetapi
persoalan Jaka Soka yang telah membakar lereng bukit Telamaya adalah jauh lebih
luas dari harga diri seseorang.”
“Terserahlah,
kalau ternyata kemudian aku telah dibinasakan olehnya,” jawab Wilis.
Sekali lagi
Mahesa Jenar menggeram. Hatinya mengumpat-umpat atas kelicikan Jaka Soka. Yang
dapat dilakukan hanyalah berdoa semoga Tuhan melindungi gadis yang telah
menjadikan dirinya wakil untuk melawan Jaka Soka itu. Kini Jaka Soka telah
berdiri berhadapan dengan Rara Wilis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tidak
dapat tetap duduk di atas punggung kuda, karena itu segera mereka berloncatan
turun. Sesaat kemudian, Jaka Soka dan Rara Wilis telah mencabut senjata
masing-masing.
Pedang Jaka
Soka yang lentur di tangan kanan, sedang wrangkanya, tongkat hitam di tangan
kiri. Adapun di tangan Rara Wilis telah tergenggam sebilah pedang yang tipis.
“Nah,
marilah,” desis Jaka Soka sambil tersenyum,
“Selamanya aku
menghormati perempuan.”
Rara Wilis
tidak menjawab. Namun segera ia mulai menggerakkan pedangnya dengan ilmu pedang
ajaran Ki Ageng Pandan Alas. Pedang itu seakan-akan selalu bergerak dan
bergetar, sehingga untuk sesaat Jaka Soka menjadi bingung. Ia tidak dapat
memperhitungkan kemana kira-kira ujung pedang itu akan mengarah.
Namun kemudian
Ular Laut yang telah kenyang pahit getir pertempuran dan perkelahian di darat
maupun di lautan itu menjadi gembira. Dengan lincahnya ia bergerak menyerang
dengan sengitnya. Dan perkelahian itupun berkobar dengan dahsyatnya. Pedang
Jaka Soka bergerak dengan cepatnya, mematuk-matuk seperti beribu-ribu mulut
ular yang menyerang dari segala arah, namun Wilis benar-benar seperti bunga
Pudak. Bunga pandan yang dikelilingi oleh duri-duri yang tajam, sehingga
beribu-ribu ular itu tak dapat mendekatinya. Jaka Soka murid Nagapasa itu
kemudian menjadi heran akan keterampilan Rara Wilis. Seperti di Banyubiru
beberapa waktu lampau, meksipun ia telah mengerahkan segenap kemampuannya namun
murid Ki Ageng Pandan Alas itu dapat mengimbanginya. Sekali-kali bahkan
serangan-serangan yang berbahaya hampir saja menyentuh tubuhnya. Tetapi Jaka
Soka benar-benar licik. Ia dapat berbuat seperti iblis yang selicik-liciknya.
Ketika usahanya tidak juga segera berhasil mendesak lawannya, maka dengan
liciknya ia mempengaruhi perasaan lawannya. Ketika mereka terlibat dalam satu
pergulatan yang sengit tiba-tiba berbisiklah Jaka Soka dengan tersenyum,
“Wilis kau
benar-benar gadis yang cantik.”
Hati Rara
Wilis berdesir. Cepat ia meloncat surut. Nafasnya mengalir semakin cepat.
Pengaruh kata-kata itu lebih dahsyat daripada tusukan pedang lawannya. Karena
itu tubuhnya menjadi gemetar. Meskipun kemarahannya menjadi semakin memuncak,
namun ia tidak dapat melenyapkan jiwa kegadisannya. Ia menjadi ngeri mendengar
kata-kata itu. Pada saat-saat yang demikian itulah Jaka Soka mengambil
kesempatan. Dengan lincahnya ia meloncat menyerang. Untunglah Rara Wilis masih
dapat menguasai dirinya sehingga ia masih sempat melihat serangan Ular Laut
yang ganas itu. Maka sekali lagi pertempuran berkobar dengan sengitnya.
Tetapi kini
Jaka Soka telah memiliki kunci kelemahan perasaan hati seorang gadis. Karena
itu Ular Laut yang ganas itu menjadi semakin gembira. Ia ingin melihat betapa
hancur hati Mahesa Jenar melihat gadis cantik yang telah merebut hatinya itu
menjadi permainannya. Kelicikan hatinya, meyakinkan, bahwa Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan Rara Wilis segera berpegang teguh pada sifat-sifat kejantanan
mereka. Justru karena itulah, maka sifat-sifat itu merupakan sifat-sifat yang
dapat dimanfaatkan oleh iblis yang licin itu. Tetapi bagaimanakah dengan gadis
kecil yang nakal itu? Kalau tiba-tiba ia menyerbunya, maka entahlah apakah ia
masih dapat bertahan melawan keduanya. Namun ia mengharap bahwa Rara Wilis lah
yang akan mencegahnya. Jaka Soka bertempur terus sambil tersenyum.
Kadang-kadang meluncurlah dari bibirnya yang tipis itu, kata-kata lembut untuk
meruntuhkan hati lawannya. Kadang-kadang ia merayu dengan manisnya
kadang-kadang memuji dengan mesranya. Mahesa Jenar akhirnya melihat kelicikan
itu. Dengan marahnya ia menggeram,
“Soka, kau
telah berbuat curang.”
JAKA Soka
masih tersenyum sambil menggerakkan pedangnya. Jawabnya
“Aku berkata
sebenarnya Mahesa Jenar, alangkah indahnya wajah yang bulat ini. Apalagi kau
Wilis sedang bersungut-sungut. Benar-benar gila aku dibuatnya.”
Kata-kata itu
benar-benar mempengaruhi perasaan Rara Wilis. Kemarahan, kebencian dan muak
menjalari otaknya. Namun karena itu ia menjadi bingung. Bingung karena campur
baur perasaan yang tak dapat dikendalikan.
“Kalau kau
berbuat curang, aku pun tidak akan memperdulikan perjanjian kita lagi” sahut
Mahesa Jenar
“aku akan
terjun dalam pertempuran.”
“Bagus”, jawab
Jaka Soka
“sejak semula
aku telah mempersilahkan. Ternyata dugaanku benar, bahwa ajaran Pandan Alas
tidak lebih dari pelajaran tari menari yang hanya dapat menumbuhkan perasaan
kagum pada penarinya. Apalagi penari secantik Rara Wilis.”
“Gila”, geram Mahesa
Jenar. Dadanya bergelora karena marah. Tetapi ia tidak berani berbuat dengan
tergesa-gesa. Rara Wilis ternyata adalah seorang gadis yang mempunyai harga
diri. Tetapi Rara Wilis kini benar-benar dipengaruhi oleh sifat-sifat
kegadisannya. Karena itu beberapa kali ia terpaksa meloncat surut, menghindar
dan menjauhi lawannya. Ia merasa betapa tangannya menjadi gemetar dan tubuhnya
menjadi lemah. Berkali-kali berusaha untuk menegakkan kembali tekadnya
bertempur mati-matian, namun perasaannya yang aneh selalu kembali membelit
hati. Jaka Soka melihat lawannya menjadi gelisah. Karena itu ia mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya. Ia mencoba untuk mempermainkan gadis itu,
menghinanya dengan sentuhan-sentuhan pada tubuhnya dan kemudian melumpuhkannya.
Mahesa Jenar
adalah orang yang terkenal dengan sifat-sifat keperwiraan serta kejantanannya.
Ia selalu berusaha untuk menepati perjanjian-perjanjian yang telah dibuatnya
langsung atau tidak langsung. Namun kali ini perasaannya benar-benar diuji. Ia
tidak dapat melihat peristiwa yang terjadi di muka hidungnya. Ia tidak dapat
menyaksikan Rara Wilis, gadis yang telah mengikat hatinya itu mengalami
perlakuan yang tidak adil. Karena itu hampir saja ia lupa diri. Tetapi
tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang dapat merubah keadaan itu.
Lamat-lamat di bawah angin pegunungan terdengar suara tembang. Mengalun seirama
dengan desir angin lembut membelai hati mereka yang sedang dicekam oleh
ketegangan. Tembang Dandang Gula, yang semakin lama menjadi semakin jelas. Segera
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Mula-mula ia tidak tahu apakah maksud suara
tembang itu. Suara tembang yang tiba-tiba saja ada diantara keributan api yang
membakar lereng pegunungan Telamaya, dan diantara perkelahian antara hidup dan
mati. Tetapi kemudian ia tersenyum dalam hati. Ia kenal suara itu baik-baik.
Suara yang telah banyak menolongnya dalam berbagai keadaan. Pada saat-saat ia
hampir dibinasakan oleh Pasingsingan di alas Tambak Baja maupun di Banyubiru.
Tiba-tiba
terdengarlah Mahesa Jenar berkata lantang,
“Kakang Kebo
Kanigara, siapakah yang berlagu tembang Dandang Gula itu?”
Terdengar Kebo
Kanigara menjawab lantang pula,
“Paman Pandan
Alas. Ternyata ia hadir disini.”
“Bagus”, sahut
Mahesa Jenar,
“Orang tua itu
tidak terikat pada perjanjian antara kita dengan Ular Laut yang gila itu.
Bukankah perguruan Pandan Alas hanya merupakan perguruan yang tak berharga.
Tidak lebih dari perguruan tari dari tari-tarian yang menggairahkan. Alangkah
lebih menggairahkan kalau gurunya itu yang menari di sini.”
“Gila. Setan.
Iblis”, tiba-tiba Jaka Soka mengumpat habis-habisan.
“Apa kerja
kambing tua itu di sini?”
“Melihat
muridnya menari”, tiba-tiba terdengar suara kecil.
Suara Endang
Widuri. Selama ini urat syarafnya menjadi tegang setegang tali busur. Namun tiba-tiba
kini telah mengendor dan gadis nakal itu telah dapat tersenyum pula. Karena
suara tembang itu pula, maka keseimbangan perkelahian itu terpengaruh.
Tiba-tiba Rara Wilis menjadi seperti seorang yang menerima kekuatan baru.
Kehadiran guru serta sekaligus kakeknya itu telah membangkitkan kebulatan
tekadnya kembali. Suara tembang itu telah membantunya, menyingkirkan perasaan
kegadisannya yang selama ini mengganggunya. Sebaliknya Jaka Sokalah yang kini
menjadi gelisah. Ia sadar, bukan tidak sengaja Mahesa Jenar berteriak-teriak,
bahwa orang orang tua itu tidak terikat dengan suatu perjanjian apapun. Karena
itu, Jaka Soka menjadi cemas. Cemas akan kehadiran Pandan Alas.
PERTEMPURAN
pun menjadi berubah. Rara Wilis telah berhasil menguasai pedangnya dengan baik.
Sekali-kali pedang itu menyambar dengan dahsyatnya ke arah-arah yang berbahaya.
Sedang Jaka Soka yang gelisah itu semakin kehilangan pengamatan atas pedang
serta tongkat hitamnya. Pertempuran itu berlangsung terus. Setapak demi setapak
Rara Wilis mulai mendesak lawannya. Jaka Soka sekali-kali masih mencoba
mempengaruhi perasaan lawannya, namun karena hatinya sendiri menjadi gelisah,
maka usahanya tidak berhasil. Kata-katanya menjadi janggal dan justru
menjadikan Rara Wilis semakin teguh pada pendiriannya. Bahwa Ular Laut itu
harus dibinasakan. Akhirnya terdengar Jaka Soka berteriak,
“He, kalau
kalian orang-orang jantan, suruh kambing jenggotan itu berhenti mengembik.”
Yang menjawab
adalah Mahesa Jenar,
“Tak ada
sangkut paut antara kita dengan orang tua itu. Kita telah berjanji
menyelesaikan persoalan kita sendiri. Sedang Ki Ageng Pandan Alas berdendang
untuk melepaskan kegemarannya sendiri. Di tempat lain dan dalam persoalan
lain.”
“Bohong,”
sahut Jaka Soka yang menjadi semakin gelisah,
“Pandan Alas
telah mencoba mempengaruhi perasaanku. Menakut-nakuti dan mencoba melemahkan
perlawananku.”
“Kenapa kau
tiba-tiba menjadi takut?” sela Endang Widuri,
“Bukankah kau
sedang menonton tari-tarian yang menggairahkan.?”
Jaka Soka
menggeretakkan giginya. Dipusatkannya panca inderanya untuk melawan Rara Wilis.
Namun suara tembang yang dilontarkan dengan getaran indera yang kuat itu masih
saja mengetuk-ngetuk hatinya. Karena itulah akhirnya dengan kemarahan yang
meluap-luap Jaka Soka mengamuk sejadi-jadinya. Namun dengan demikian ia telah
kehilangan sebagian dari pengamatan diri. Sedang lawannya perlahan-lahan telah
berhasil menguasai keseimbangan perasaan sepenuhnya. Maka akhirnya berlakulah
segala kehendak Tuhan. Setiap kejahatan dan pengingkaran kepada firman-Nya pasti
akan menerima hukumannya. Kali ini Rara Wilis lah yang menjadi lantaran. Betapa
dahsyat dan licinnya Ular Laut yang ganas itu, namun karena kegelisahan yang
mengoncang-goncang dadanya maka ia telah kehilangan sebagian kegarangannya.
Tiba-tiba saja ketika serangannya tak mengenai sasarannya, Rara Wilis meloncat
maju. Dengan lincahnya pedang tipisnya terjulur lurus ke arah lambung lawannya.
Terasa ujung pedangnya menyentuh tubuh lawannya dan kemudian disusul dengan
sebuah keluhan tertahan. Dan ketika pedang itu digerakkan mendatar, maka
memancarlah darah dari perut Jaka Soka. Sebuah luka telah menganga. Sesaat Jaka
Soka tegak dengan wajah menyeringai menahan sakit. Tangannya menjadi gemetar
dan kemudian kedua buah senjata di kedua tangannya itu terjatuh. Namun ia masih
berdiri tegak dengan gagahnya. Bahkan akhirnya bibirnya yang tipis itu
melukiskan sebuah senyum. Senyum yang aneh, sedang dari matanya yang redup itu
pun memancar sinar yang aneh. Dalam keadaan yang demikian itu ia masih mencoba
melangkah maju mendekati Rara Wwilis. Bahkan terdengar dari sela-sela bibirnya
yang gemetar kata-kata,
“Wilis. Kau
memang cantik.”
Rara Wilis
menjadi ngeri melihat peristiwa itu, seakan-akan sesosok hantu berdiri di
hadapannya, siap untuk menerkamnya. Karena itu tiba-tiba ia berteriak,
“Pergi,
pergi!”
Tetapi hantu
itu tidak pergi. Dengan darah yang memancar dari lukanya, Jaka Soka masih
berusaha melangkah maju. Senyumnya masih membayang di bibirnya yang tipis,
sedang matanya yang redup masih juga memancarkan sinar yang menggelisahkan hati
setiap gadis yang melihatnya. Bahkan ketika kengerian Jaka Soka maju setapak
lagi, Rara Wilis tak dapat menahan kengerian hatinya. Kembali terdengar ia
berteriak,
“Pergi, pergi.
Jangan dekati aku.” Namun hantu itu masih tegak. Dan masih terdengar ia berkata
diantara senyumnya,
“Marilah
Wilis. Jangan takut. Kau sangat cantik.”
Dan ketika
setapak lagi Jaka Soka melangkah maju, tiba-tiba Rara Wilis memutar tubuhnya,
dan dengan tak diduga oleh siapapun ia meloncat berlari sekencang-kencangnya
menjauhi hantu yang mengerikan itu. Ia sudah tidak sempat melihat Jaka Soka itu
terhuyung-huyung dan kemudian jatuh tertelungkup.
“Wilis,
Wilis,” Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang. Dengan suara yang lantang ia
berteriak memanggil. Namun Rara Wilis berlari terus dan terus. Karena itu
segera Mahesa Jenar berlari mengejarnya,
“Wilis!”
terdengarlah suara Mahesa Jenar memanggil, namun suara itu seakan-akan hilang
ditelan lembah-lembah pegunungan. Sedang Rara Wilis seakan-akan tak
mendengarnya. Tetapi langkah Mahesa Jenar lebih panjang daripadanya, sehingga
kemudian Rara Wilis itu pun dapat disusulnya. Dengan tangannya yang kokoh kuat,
Mahesa Jenar memegang pundaknya. Namun tiba-tiba Rara Wilis itu meronta-ronta
sambil berteriak,
“Lepaskan,
lepaskan aku. Pergi, pergi ke asalmu.”
“Wilis,” bisik
Mahesa Jenar.
“Aku tidak
mau. Aku tidak mau!” teriak Rara Wilis semakin keras.
MAHESA JENAR
sadar, bahwa segala ketakutan, kengerian yang disimpan di dalam dada gadis itu
terhadap Jaka Soka kini meledak dengan dahsatnya. Karena itu sekali lagi ia
mencoba menenangkannya.
“Wilis.
Tenanglah. Aku Mahesa Jenar”.
Nama itu
benar-benar berpengaruh dihati Rara Wilis. Kini ia tidak meronta-ronta lagi.
Dan ketika ia menoleh, dilihatnya laki-laki itu. Mahesa Jenar. Tiba-tiba Rara
Wilis memutar tubuhnya dan dijatuhkannya kepalanya di dada laki-laki itu.
Tangisnya pecah seperti bendungan dihantam banjir. Dari sela-sela isak
tangisnya terdengar suaranya gemetar.
“Kakang aku
takut”.
“Jangan
takut.”
Kata-kata Itu
bagi Rara Wilis seperti air sejuk yang menyiram tenggorokannya pada saat ia
kehausan. Karena itulah maka tangisnya menjadi semakin keras. Dan kembali
kata-katanya yang gemetar terdengar.
“Kakang, aku
hampir gila dibuatnya”.
“Kini ia tidak
akan menakut-nakuti lagi Wilis”, jawab Mahesa Jenar.
“Ia tidak
mengejar aku ?” bertanya Rara Wilis.
“Ular Laut itu
telah mati”. Jawab Mahesa Jenar.
“Mati ?” ulang
Rara Wilis.
”Siapakah yang
membunuhnya ?”
“Kau.
Pedangmu”, jawab Mahesa Jenar.
“Oh..” dan
Rara Wilis menekankan kepalanya lebih rapat. Sesat mereka tenggelam ke dalam
perasaan yang tidak menentu.
Tiba-tiba dada
Rara Wilis menjadi lapang, selapang Rawa Pening yang terbentang jauh di bawah
kaki mereka. Kini ia tidak akan dibayangi oleh senyum mengerikan dibibir Jaka
Soka. Matanya yang redup tidak akan lagi menghentak-hentak dadanya. Memang
sejak pertemuan yang pertama dengan Ular Laut itu dihutan Tambak Baya, ia tidak
pernah dapat tenang apabila wajah yang selalu membayangkan senyum dibibir
tipisnya serta sinar yang memancar dari matanya yang redup namun penuh nafsu
itu membayang di dalam angan-angannya. Dan kini orang yang mengerikan itu telah
binasa. Meskipun Lawa Ijo, sepasang Uling Rawa Pening dan segerombolannya
nampaknya lebih garang dari Jaka Soka, namun bagi Rara Wilis, lebih baik ia harus
berhadapan dengan wajah-wajah yang buas bengis itu, daripada wajah tampan yang
memancarkan nafsu yang mengerikan. Lebih baik dadanya terbelah hancur dan mati
daripada ia harus jatuh ke tangan Ular Laut dari Nusakambangan itu. Tetapi
masa-masa yang mengerikan itu telah lampau. Kini ia berada ditangan laki-laki
tempat ia menyangkutkan harapannya dimasa datang. Karena itu alangkah sejuk
perasaannya. Tanpa ketakutan, tanpa kengerian dan tanpa dendam. Tetapi
tiba-tiba Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Ketika matanya terdampar ke arah
api yang masih menyala-nyala itu, terdengar ia bergumam.
”Wilis,
meskipun Jaka Soka telah binasa, namun bekas tangannya itu masih membahayakan
Banyubiru”.
Rara Wilis
kemudian terdampar dibumi kenyataan setelah angan-angannya melambung tinggi
setinggi bintang-bintang dilangit. Seperti Mahesa Jenar, iapun dengan tajamnya
memandang api yang menyala-nyala itu,
“Bagaimana
dengan api itu kakang ?”
“Marilah kita
kembali”, ajak Mahesa Jenar. Rara Wilis mengangguk. Dan melangkahlah ia mendahului
Mahesa Jenar kembali ketempat kuda-kuda. Dari kejauhan dilihatnya Kebo Kanigara
dan Endang Widuri berdiri dengan tegang kaku. Disamping mereka, telah berdiri
pula seorang lagi, Ki Ageng Pandan Alas. Ketika mereka melihat Rara Wilis
berjalan kembali diiringkan oleh Mahesa Jenar, mereka menarik nafas
dalam-dalam.
“Tidakkah kau
mengalami sesuatu”, terdengar Ki Ageng Pandan Alas bertanya kepada cucunya.
Rara Wilis menggelengkan kepalanya. Tetapi ketika terpandang olehnya mayat Jaka
Soka yang menelungkup di muka kaki kakeknya. Ia memalingkan wajahnya.
“Aku melihat
semua yang terjadi disini”, berkata Ki Ageng Pandan Alas.
“Ketika aku
datang bersama-sama Nyai Ageng Gajah Sora aku melihat kalian berkuda. Aku sudah
mengira apa yang akan kalian lakukan, namun aku tidak segera dapat menyusul.
Aku terpaksa menyerahkan Nyai Ageng dahulu kepada suaminya, baru aku menyusul
kalian. Tetapi ketika aku melihat dikejauhan lima orang berkuda, aku menjadi
curiga. Karena itu aku mendekatinya dengan diam-diam. Agaknya persoalan kalian
demikian tegangnya, sehingga kalian tidak mendengar kehadiranku. Aku melihat
kelicikan Jaka Soka yang mempengaruhi perasaan lawannya. Karena itu aku
terpaksa berdendang lagu Dandang Gula”.
“Suara eyang
merdu sekali”, tiba-tiba Widuri menyela. Ki Ageng Pandan Alas tersenyum.
Kemudian katanya”, lalu bagaimana dengan api itu ?
SERENTAK
mereka menoleh ke arah api dilereng bukit. Api itu masih menyala. Namun agaknya
api itu tidak jauh maju. Bahkan di beberapa bagian tampak, bahwa lidahnya tidak
lagi menjilat langit.
“Api itu
susut”, gumam Mahesa Jenar.
“Mudah-mudahan
usaha paman Wanamerta dan rakyat Banyubiru berhasil”, sahut Kebo Kanigara.
“Api itu tidak
akan dapat menjalar terus”, sambung Widuri.
“Tetapi api
itu belum sampai di daerah yang dipisahkan oleh Rakyat Banyubiru itu”, sahut
Mahesa Jenar.
“Marilah kita
lihat”, berkata Ki Ageng Pandan Alas.
“Aku akan
mengambil kudaku.” Sesaat kemudian mereka telah mengambil kuda masing-masing.
Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian meloncati padas-padas di lereng bukit itu,
menyusup beberapa gerumbul untuk mengambil kudanya. Dan sesaat kemudian mereka
berlima telah berpencar ke Banyubiru. Tetapi Mahesa Jenar yang berkuda dipaling
depan, tiba-tiba berhenti. Katanya,
“Paman Pandan
Alas, api itu berhenti disini.”
Ki Ageng
Pandan Alas dan Kebo Kanigara mengerutkan keningnya,
“Ya, api itu
berhenti di sini.”
“Aneh,” desis
mereka hampir bersamaan. Untuk sesaat mereka berhenti termangu-mangu. Api itu
tidak menjalar terus ke atas. Di kejauhan masih terdengar campur baur dari
suara ranting-ranting yang terbakar dengan suara teriakan-teriakan orang-orang
Banyubiru yang masih berusaha menarik garis batas antara daerah ilalang dan
perdu yang dimakan api dengan pedukuhan mereka, dengan hutan-hutan getah dan
hutan-hutan buah-buahan. Sekali-kali mereka masih melihat beberapa ekor kijang,
babi hutan dan binatang-binatang lain berlari-lari meninggalkan daerah yang
panas itu.
Tiba-tiba dada
Mahesa Jenar terguncang dahsyat. Dalam bayangan cahaya api yang
kemerah-merahan, ia melihat sesosok tubuh yang berdiri tegak diantara
batang-batang ilalang. Demikian terkejutnya sehingga dengan serta merta ia
berkata,
“Kakang, kau
lihat orang itu?”
Kebo Kanigara
mengerutkan keningnya. Ia pun melihat bayangan itu. Ki Ageng Pandan Alas dan
yang lain-lain pun akhirnya melihat pula.
“Siapakah
dia?” Wilis bergumam. Tiba-tiba ia menjadi ngeri.
“Pasti bukan
Jaka Soka”, sahut kakeknya. Untuk sesaat mereka terdiam. Aneh. Seseorang
berdiri di antara batang-batang ilalang yang sedang dimakan api. Kalau api itu
menjalar terus, maka orang itu pun pasti akan menjadi abu pula. Namun agaknya
api itu berhenti.
“Angin tidak
bertiup lagi”, desis Mahesa Jenar.
“Batang-batang
ilalang itu belum kering benar”, sahut Kebo Kanigara. Tetapi Mahesa Jenar tidak
puas dengan sangkaan-sangkaannya saja. Segera ia meloncat turun dari kudanya
sambil berkata,
“Akan aku
dekati orang itu.”
“Tetapi kalau
api itu menjalar”, Wilis mencoba untuk mencegahnya.
“Tidak. Api
itu benar-benar berhenti di sini. Kalau tiba-tiba api itu bergerak, aku dapat
berlari menjauhinya”, jawab Mahesa Jenar.
No comments:
Post a Comment