Bagian 067


IA sudah pernah berkelahi diantara hidup dan mati. Ia pernah membunuh dua bersaudara, Uling Putih dan Uling Kuning. Tetapi ketika ia melihat persiapan terakhir dari prajurit yang berangkat berperang ia menjadi berdebar-debar. Ketika laskarnya ini meninggalkan Candi Gedong Sanga, Arya Salaka tidak melihat perlengkapan yang demikian mengerikan. Saat itu ia melihat laskar Banyubiru itu memanggul senjata mereka, disamping perlengkapan-perlengkapan perkemahan, dan bahan makanan. Tetapi sekarang ia hanya melihat ujung-ujung senjata. Ia tidak melihat peralatan dan perlengkapan lain kecuali alat-alat penyebar maut itu. Pada saat yang demikian itu teringatlah Salaka kepada ayahnya. Pada saat ayahnya siap untuk bertempur melawan Prajurit Demak. Pada saat itu ia melihat perlengkapan seperti itu. Dari tempat yang agak tinggi ia melihat barisan Banyubiru seperti padang ilalang yang berdaun baja. Runcing dan tajam.
Sekarang pemandangan yang mengerikan itu dilihatnya pula. Satu-satu ia memandang wajah yang riang di dalam barisan itu. Seolah-olah mereka tidak mengerti bahwa dalam perjalanan mereka, maut dapat saja menghampirinya.

MAHESA JENAR kemudian keluar dari kemahnya. Di belakangnya berjalan Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Mereka tetap saja seperti biasa. Mereka sama sekali tidak mengenakan pakaian tempur. Tidak membawa perisai dan bahkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sama sekali tidak bersenjata. Sedang di pinggang Rara Wilis tergantung pedang tipisnya. Ketika Mahesa Jenar melihat Arya Salaka dan Endang Widuri masih berdiri diam, iapun berkata,
“Arya bersiaplah. Bawalah tombakmu Kyai Bancak.”
Arya tersadar dari lamunannya. Segera ia meloncat berlari ke kemahnya untuk mengambil tombak Kyai Bancak. Tombak itu baginya bukan saja senjata yang telah dikenalnya baik-baik. Senjata yang seolah-olah telah merupakan satu jiwa dengan dirinya, namun senjata itu juga merupakan tanda kebesaran kepala daerah perdikan Banyubiru. Ketika Arya Salaka meninggalkan Endang Widuri sendirian, Widuri pun segera berjalan ke tempat Rara Wilis berdiri.
Perlahan-lahan terdengarlah Rara Wilis berbisik,
“Bagaimana? Sudahkah berceritera kepada Arya Salaka?”
Sambil bersungut-sungut Endang Widuri menjawab,
“Belum. Aku belum sempat berkata sepatahpun. Ketika aku menemuinya, aku hanya boleh mendengarkan ia berceritera. Tak ada putus-putusnya.”
Meskipun Rara Wilis agak kecewa seperti Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, namun mereka tersenyum.
“Belum terlambat benar,” kata Rara Wilis.
“Di perjalanan kau masih mempunyai kesempatan.”
“Aku akan coba,” sahut gadis itu.
“Kau akan ikut serta dalam barisan ini?” tanya Kebo Kanigara, meskipun ia tahu bahwa gadisnya itu tak mungkin mau ditinggalkan. Kembali Widuri bersungguh-sungguh, jawabnya,
“Apakah aku harus tinggal di sini?”
“Ya,” sahut ayahnya.
“Tidak mau,” jawab Widuri. Yang mendengar jawaban itu, terpaksa tersenyum pula.
“Perjalanan ini adalah bukan perjalanan tamasya,” ayah Widuri menerangkan.
“Aku tahu. Tetapi bukankah aku mempunyai tugas yang penting dalam perjalanan ini?” bantah Widuri.
“Menurut bibi Wilis tak ada orang yang dapat melakukannya kecuali aku.”

Kebo Kanigara tidak mau menggodanya lagi. Sebab kalau gadisnya itu jengkel, ia akan berteriak sesukanya. Meskipun demikian ia perlu memperingatkan putrinya itu.
“Kalau kau akan ikut serta, berhiaslah dahulu.” Widuri pun sadar, bahwa ia belum siap untuk mengikuti perjalanan yang berbahaya. Karena itu ia segera berlari ke kemahnya, untuk melepas kain panjangnya, mengenakan celana latihannya. Kain pendek di luar, dan yang tak dilupakannya adalah rantai peraknya. Di kalungkan rantai itu melingkari lehernya, sedang ujungnya berjuntai dan dikaitkan pada ikat pinggangnya. Ketika ia telah siap, segera iapun meloncat dengan lincahnya, dan menempatkan dirinya di belakang ayahnya. Arya Salaka pun telah berdiri di sana, di samping Mahesa Jenar, dengan tombak Kyai Bancak di tangannya. Di hadapan mereka, berbarislah dalam kelompok-kelompok, laskar Banyubiru. Hampir seluruhnya ikut serta, selain yang bertugas menyiapkan makan, dan yang harus menyampaikan setiap hari ke garis terdepan. Sebab mereka tidak tahu, berapa lama mereka dapat menyelesaikan pekerjaan mereka.
Ketika mereka, laskar Banyubiru itu, telah bersiap, terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada mereka,
“Perjalanan kali ini adalah perjalanan yang menentukan. Kalau kita terpaksa bertempur, maka setiap orang diantara kalian, mempunyai kemungkinan untuk gugur. Karena itu, siapa yang belum bersiap untuk berkorban dengan milik kalian yang paling berharga, yaitu jiwa kalian, aku persilahkan meninggalkan berisan.”
Terdengarlah suara bergumam di dalam barisan. Namun tak seorangpun yang meninggalkan barisan. Dengan semangat yang menyala-nyala mereka tetap tegak di tempat mereka berdiri.
“Terima kasih.” Mahesa jenar meneruskan,
“Ternyata kalian telah merelakan jiwa raga kalian dalam pengabdian yang luhur ini. Namun, meskipun demikian, dengarkanlah keterangan ini. Bahwa tujuan kalian yang terutama bukanlah bertempur.”
Kembali terdengar suara bergumam di dalam barisan itu. Bahkan Arya Salaka pun sampai menoleh kepadanya. Mahesa Jenar melihat tanggapan itu, segera meneruskan,
“Tujuan kalian yang terutama adalah menempatkan kebenaran dan keadilan di atas pemerintahan Banyubiru. Bukankah demikian? Bertempur adalah cara yang terakhir. Tetapi bukanlah tujuan. Jangan dilupakan ini. Sehingga seandainya pemerintahan Banyubiru dapat dikembalikan pada keadaan yang seharusnya tanpa bertempur, tanpa setetes darahpun yang harus mengalir dari tubuh kalian, janganlah kalian mencari perkara.”

MAHESA JENAR diam sejenak. Ia melihat kebimbangan di sebagian wajah-wajah di hadapannya. Kemudian ia menyambungnya,
“Tetapi, perhitungan kita adalah perhitungan yang paling mahal. Menembus benteng pertahanan orang-orang Pamingit dengan ujung senjata. Sudahkah kalian siap?”
Terdengarlah jawaban serentak mengguruh. Bahkan ada diantara mereka yang mencabut senjata, mengangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menusuk langit, sambil berteriak-teriak.
“Kami telah bersedia. Hidup mati kami, kami serahkan untuk tanah tercinta.” Mahesa Jenar membiarkan mereka berteriak sepuas-puas mereka. Kemudian ia mengangkat tangannya. Suara yang mengguruh itu pun semakin menurun dan akhirnya diam. Terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
“Tanahmu adalah tanah pusaka. Tanah yang dikurniakan Tuhan kepadamu. Karena itu cintailah tanah itu. Sedangkan hidup matimu adalah di tangan Tuhanmu. Mudah-mudahan Tuhan bersama kita.”
Darah orang-orang Banyubiru itu serasa mendidih. Namun demikian di dalam dada mereka, sekali-kali terngiang pula kata-kata Mahesa Jenar,
“Bertempur adalah cara yang terakhir. Tetapi bukan tujuan.”
Juga di dalam dada Arya Salaka, kata-kata itu berulang kali mengumandang. Sesaat kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Arya Salaka,
“Arya, semuanya sudah siap. Berilah tanda supaya laskarmu berangkat.”
Dari Mahesa Jenar, Arya telah banyak mendapat petunjuk dan tuntunan tentang tata keprajuritan. Karena itu, ketika Mahesa Jenar memberinya kesempatan untuk memimpin laskarnya, iapun tahu apa yang harus dikerjakannya. Maka Arya Salaka pun melangkah maju. Dengan isyarat, ia minta Wanamerta berdiri di sampingnya. Wanamerta adalah tetua tanah perdikan Banyubiru. Ia menjadi emban kepala daerah perdikan sejak eyangnya Ki Ageng Sora Dipayana masih memegang jabatan itu. Ayahnya diembaninya. Sekarang Arya Salaka tidak mau meninggalkannya. Ketika Wanamerta telah berdiri di sampingnya, Arya Salaka segera mengangkat tombak pusakanya. Terdengarlah kemudian sebuah tengara, suara bende yang pertama. Suatu pertanda, bahwa barisan itu harus berkemas. Setiap orang segera memeriksa diri mereka sendiri. Apakah yang kurang dan apakah yang ketinggalan. Senjata mereka, pakaian mereka. Sebentar kemudian Arya Salaka mengangkat tombaknya untuk yang kedua kali. Suara bende itupun berkumandang untuk kedua kalinya. Suatu pertanda bahwa barisan itu harus segera bersiaga penuh. Mereka tinggal menunggu bunyi bende untuk yang ketiga kalinya, yang memberi perintah kepada seluruh barisan itu untuk segera berangkat.

Sebelum Arya mengangkat tombaknya untuk yang ketiga, sekali lagi ia melayangkan pandangannya kepada seluruh barisan itu. Ia melihat beberapa orang kepercayaan laskar Banyubiru itu berdiri di baris pertama dengan umbul-umbul kecil di tangan. Jauh lebih kecil dari umbul-umbul yang pernah dilihatnya di Banyubiru dahulu, ketika ayahnya hampir saja terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Demak. Namun meskipun demikian, umbul-umbul inipun memberinya kesan yang menggetarkan. Di tengah-tengah deretan umbul-umbul itu dilihatnya panji-panji kebanggaan tanah perdikannya, Dirata Sakti. Apalagi ketika matanya tertumbuk pada panji-panji pepunden seluruh rakyat Demak, hatinya bergetar deras. Panji-panji itu pulalah yang memaksa ayahnya dahulu untuk mengurungkan niatnya, melawan kekuasaan tertinggi. Warna Gula Kelapa itu pulalah yang menyebabkan ayahnya tak berdaya untuk menolak pertanggungjawaban atas hilangnya keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten dari rumahnya. Dan kali ini Gula Kelapa itu menyertai laskar Banyubiru menuntut haknya, yang selama ini dilanggar dan dihinakan oleh orang-orang Pamingit. Melihat kesiapan laskarnya, Arya menarik nafas dalam-dalam. Sesekali ia menengadahkan wajahnya ke langit. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak, dan terdengarlah suara perlahan sekali, yang hanya dapat didengarnya sendiri.
“Ya Allah, yang memerintah langit dan bumi. Aku serahkan diriku dan laskarku ke dalam tangan-Mu, ke dalam bimbingan-Mu. Jauhkanlah kami dari kesalahan-kesalahan, serta berilah cahaya di dalam hati kami. Berlakulah segala kehendak-Mu atas diri kami, sebab segala kehendak-Mu pasti berlaku. Kami adalah domba-domba yang menggantungkan nasib kami kepada penggembalanya yang Maha Pengasih dan Pengampun.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba Arya Salaka merasa mendapat kekuatan yang luar biasa. Sebagai seorang pemuda yang perkasa, ia cukup mempunyai bekal lahir dan batin dalam pekerjaan yang dilakukannya kali ini. Namun karena jiwanya yang pasrah kepada Sumber Hidup-nya, ia menjadi semakin yakin kepada tindakannya. Kemudian dengan tidak usah menunggu lebih lama lagi, diangkatnya tombaknya tinggi-tinggi.
Dan sesaat kemudian menggemalah suara bende yang ketiga kalinya, mengaum seperti jerit harimau lapar. Belum lagi gema bunyi bende itu berhenti, menyautlah suara sangkalala dan seruling, melagukan lagu yang gemuruh, seirama dengan gemuruhnya darah laskar Banyubiru itu. Berbareng dengan itu, bergeraklah Arya Salaka dan Wanamerta di ujung berisannya, diikuti oleh Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Sedang Mantingan dan Wirasaba mendapat tugas untuk mengamat-amati barisan itu. Ketika barisan itu sudah mulai bergerak, berbisiklah Endang Widuri kepada Rara Wilis,
“Akan aku coba, Bibi, sebelum barisan itu sampai di kaki bukit Telamaya itu.”

RARA WILIS mengangguk sambil tersenyum, jawabnya,
“Kalau kau berhasil Widuri, dan kemudian Ki Ageng Sora Dipayana berhasil pula mencegah terjadinya pertumpahan darah, maka berpuluh-puluh jiwa yang akan menjadi benteng dalam perjuangan ini dapat diselamatkan, serta berpuluh-puluh wanita akan mengukir di dalam hatinya, bahwa seseorang telah membendung air mata mereka yang akan tertumpah, karena mereka kehilangan suami, serta beribu-ribu anak-anak yang akan meneriakkan kembali nama bapaknya, ketika bapak mereka kembali dengan selamat dari pertumpahan yang urung nanti.” Terasa sesuatu bergerak-gerak di tenggorokannya.
Dengan tidak sengaja gadis itu memandang ayahnya. Bagaimanakah perasaannya kalau pada suatu kali ayahnya itu pergi dan tidak akan kembali. Tetapi pada saat itu tiba-tiba ayahnya memandangnya pula. Agaknya Kebo Kanigara pun ragu, apakah pertempuran dapat dihindari. Karena itu ia merasa perlu untuk melindungi anaknya lebih rapat lagi.
Dengan berbisik ia menyerahkan sesuatu kepada Endang Widuri, katanya,
“Inilah bandul kalungmu. Pasanglah.”
Widuri menerima pemberian itu. Ia terpekik kecil ketika ia melihat sebuah benda yang berkilat-kilat di tangannya. Sebuah gelang putih gemerlapan dan dari dalamnya memancar cahaya kebiru-biruan. Pada dinding luar gelang itu, terdapatlah ukiran api yang menyala, sehingga gelang itu menjadi seolah-olah bergerigi tajam.
“Apakah ini ayah?” tanya Widuri sambil tersenyum keriangan. Ia belum pernah melihat benda itu sebelumnya.
“Itulah kelengkapan kalungmu itu. Pasanglah di ujungnya,” jawab ayahnya.
“Apakah namanya?” desak gadis itu.
“Cakra,” jawab ayahnya singkat.
“Cakra? Adakah cakra ini yang dahulu dipunyai oleh Prabu Kresna?” tanya Widuri pula.
“Hus, jangan mimpi. Kalau aku memiliki cakra peninggalan Prabu Kresna, bukankah aku dapat menggugurkan bukit Merbabu itu?”

Endang Widuri masih saja mengagumi cakra pemberian ayahnya itu. Ia menjadi geli mendengar jawaban ayahnya. Katanya,
“Ah, aku kira dengan cakra ini aku akan mampu menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan.”
“Pakailah,” potong ayahnya, “Lalu kerjakan tugasmu.”
Widuri seperti tersadar dari mimpi yang menyenangkan tentang cakra itu. Ia teringat pada pekerjaannya yang diserahkan kepadanya oleh Rara Wilis. Karena itu ia melangkah lebih cepat menyusul Arya Salaka yang berjalan beberapa langkah di depannya.
“Kakang…” bisik Endang Widuri setelah ia berjalan di samping anak muda itu. Arya Salaka menoleh. Kali ini Endang Widuri tidak mau kedahuluan lagi, sehingga ia tidak sempat untuk berbicara. Karena itu segera ia berkata, “Kakang lihat ini.”
Arya melihat benda yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.
“Apakah itu?” ia bertanya.
“Cakra,” jawabnya singkat.
“Bagus,” gumam Arya Salaka,
“Lihat.”- Widuri menyerahkan cakra itu kepada Arya Salaka yang mengaguminya.
Arya Salaka segera tahu, bahwa benda itu adalah kelengkapan kalung Endang Widuri. Dengan senjata itu Widuri akan menjadi gadis yang benar-benar berbahaya di dalam pertempuran. Pada saat ia menyaksikan Endang Widuri berkelahi melawan Bagolan, rantai gadis itu sama sekali tidak berbandul.
Dengan rantai itu saja Bagolan sama sekali tak berdaya melawannya, apalagi kalau di ujung rantainya tersangkut senjata itu.
Ketika Arya Salaka masih mengagumi senjata itu, berkatalah Endang Widuri kepadanya,
“Kakang, apakah barisan ini sekarang juga akan mulai dengan gelar perang?”
Arya mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia mengangguk, jawabnya,
“Ya, begitu barisan ini keluar dari mulut lembah, aku pasang gelar.”
“Apakah kakang akan mulai dengan pertempuran langsung siang ini juga?” tanya Widuri pula.

Arya menengadahkan wajahnya. Ia melihat matahari telah melampaui kepalanya. Pertanyaan Widuri itu tepat benar. Kalau ia mulai hari ini dengan menyerang langsung jantung kota, maka ia akan terganggu oleh gelap malam. Ia tidak dapat memperhitungkan, apakah ia akan dapat menyelesaikan pertempuran sehari, dua hari, seminggu atau lebih. Tetapi ia sudah punya rencana lengkap. Hampir setiap hari ia mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar. Dari petunjuk-petunjuk itu ia sudah dapat mengetahui dengan pasti, apakah yang harus dilakukan kalau ia harus merebut Banyubiru dengan kekerasan. Soalnya hanyalah soal waktu saja. Ia harus membagi pasukannya dalam tiga bagian. Sayap kiri, kanan dan induk pasukan. Sayap kiri itu harus membawa dirinya melewati jurusan Timur. Mendaki bukit di sebelah timur untuk kemudian menguasai daerah Banyubiru bagian timur. Sedang sayap kanan harus berbuat yang sama dari arah barat. Namun di samping itu, sayap ini mempunyai tugas untuk melakukan pencegatan, apabila datang bantuan dari Pamingit.
“Pertempuran tidak harus berlangsung hari ini.”
Akhirnya terdengar Arya bergumam.
“Hari ini aku akan menghadapkan laskarku ke perbatasan. Malam nanti sayap-sayapku akan mulai berkembang. Besok pagi aku mulai dengan gerakan memasuki kota.”

WIDURI mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau demikian ia tinggal mempunyai waktu sedikit. Kalau laskar ini telah terpecah, maka akan sulitlah untuk mengubah setiap rencana yang sudah dipersiapkan itu.
“Kau menghadapi pekerjaan yang berat, Kakang,” kata Widuri.
“Ya, aku sadari itu sepenuhnya. Paman Lembu Sora bukan orang yang bodoh. Ia mempunyai pandangan yang luas dan dalam. Ia memiliki keahlian bersiasat. Aku kira Sawung Saritipun akan memiliki sifat-sifat itu juga.”
“Sadar atau tidak sadar, apa yang kau lakukan ini mirip benar dengan ceritera Baratayuda.” Endang Widuri mulai dengan usahanya menyampaikan pesan Rara Wilis.
Arya mengangguk sambil tersenyum.

“Mungkin,” gumamnya.
Kemudian mulailah Widuri berceritera dari ceritera yang didengarnya dari Rara Wilis. Ternyata Widuri benar-benar memiliki kecerdasan yang mengagumkan. Dengan hati-hati ia mengemukakan persoalan demi persoalan. Apa yang diduga oleh Rara Wilis ternyata sebagian besar benar. Kalau yang menyampaikan ceritera itu kepada Arya Salaka orang lain, bukan Widuri, maka akibatnyapun akan lain. Tetapi kali ini Arya mendengar ceritera tentang Bisma dan Prabu Salya dari Endang Widuri. Dari seorang gadis yang aneh baginya. Arya Salaka sendiri tidak tahu, pengaruh apakah yang sudah memukau dirinya, sehingga setiap kata dari gadis itu sedemikian meresap ke dalam dadanya. Iapun kemudian merasa, betapa menyesalnya nanti, apabila eyangnya melibatkan diri di dalam pertempuran ini. Eyangnya yang menurut Mahesa Jenar mengharap kedatangannya. Mengharap untuk dapat menemui cucunya yang telah lama hilang. Ia tidak tahu, apakah ada di antara orang di dalam pasukannya yang mampu menandingi eyangnya itu. Tetapi Mahesa Jenar kini ternyata memiliki ilmu yang dahsyat. Disamping itu ada Kebo Kanigara.
Tiba-tiba ia menyesal atas dugaannya itu. Kenapa ia seolah-olah yakin bahwa eyangnya akan berpihak kepada pamannya. Apakah tidak mungkin kakeknya itu datang kepadanya dan berkata,
“Kau benar Arya. Karena itu aku berada di pihakmu.”
Bahkan lebih daripada itu. Akhirnya Arya Salaka sampai pada pikiran yang sejalan dengan pikiran Mahesa Jenar. Apakah tidak mungkin apabila kakeknya itu berkata kepada pamannya,
“Lembu Sora, tinggalkan Banyubiru. Serahkanlah daerah ini kepada anak yang bernama Arya Salaka, putra kakakmu Gajah Sora.”
Lalu pamannya itu menjawab,
“Baiklah ayah.” Bukankah dengan demikian pertempuran dapat dihindari?
Tetapi Lembu Sora bukanlah orang yang dapat berlaku demikian. Untuk beberapa lama Arya Salaka berdiam diri. Ia berjalan saja tanpa menoleh. Matanya seolah-olah terpaku pada bukit yang terbujur jauh di hadapannya, yang sekali hilang ditelan oleh bukit kecil di sekitar jalan yang dilaluinya, tetapi yang kemudian muncul kembali, seakan-akan tersembul dari dalam tanah.

Di langit matahari berjalan pula dengan tenangnya. Sinarnya yang semakin condong terasa seperti membakar kulit. Endang Widuri tidak tahu pasti, apakah yang sedang bergolak di dalam dada anak muda itu sebagai akibat dari kata-katanya. Tetapi iapun berdiam diri pula. Ia berjalan dengan langkah yang tetap mengikuti irama langkah barisan anak-anak Banyubiru itu. Ketika laskar itu akhirnya muncul dari daerah-daerah pegunungan, Widuri melihat suatu dataran yang luas terbentang dihadapannya. Ia mengira bahwa Arya akan segera menebarkan barisannya dalam gelar perang. Tetapi sampai beberapa lama aba-aba itu sama sekali tidak diberikannya. Laskar Banyubiru itu masih saja berjalan seperti ular yang panjang berkelok-kelok menuruti jalan sempit menuju ke Banyubiru. Di kiri kanan jalan itu terbentang padang rumput yang luas, yang di sana sini terdapat beberapa gerumbul-gerumbul kecil dan pohon-pohon perdu yang berserak-serakan. Sedang di lereng-lereng bukit kecil tampak batang-batang ilalang yang memanjat sampai ke lambung. Ketika matahari telah mulai merendah, barulah mereka sampai ke daerah yang berhadapan dengan tanah-tanah persawahan. Diseberang sawah itulah mereka baru akan menjumpai desa yang pertama.
Di kejauhan, di seberang padang-padang rumput itu, tiba-tiba tampaklah debu putih yang mengepul. Mata Arya yang tajam segera dapat melihatnya. Demikian juga Endang Widuri dan Wanamerta. Maka terdengarlah Arya Salaka berbisik,
“Kau lihat debu itu, Widuri?”
Endang Widuri mengangguk.
“Kuda,” desisnya.
“Ya, orang berkuda.” Arya Salaka melengkapi.

Debu itu semakin lama menjadi semakin tipis, dan akhirnya semakin jauh dan jauh, untuk kemudian seperti hilang ditelan cakrawala. Untuk beberapa saat, orang berkuda itu mempengaruhi pikiran Arya Salaka. Namun akhirnya hatinya memutuskan, “Biarlah seandainya orang itu akan memberitahukan kepada Paman Lembu Sora. Kami sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Kasar dan halus.”
Tetapi bagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang berkuda itu benar-benar menimbulkan persoalan. Kuda itu ternyata menghilang ke arah barat. Seandainya orang berkuda itu, salah seorang pengawas dari Pamingit, ia tidak akan menghilang ke barat. Tetapi ia akan memacu kudanya ke selatan, dan menghilang ke balik desa yang pertama tampak di muka barisan itu. Dengan demikian, maka Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mempunyai tanggapan yang lain.
Orang itu bukanlah orang Pamingit atau Banyubiru.
“Jadi siapakah dia?” tanya Kebo Kanigara perlahan-lahan.
“Tak ada lain, orang itu pasti dari golongan hitam,” jawab Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara mengangguk-anggukan kepalanya.
“Satu-satunya kemungkinan,” gumamnya. “Mereka akan mengambil keuntungan dari perselisihan ini,” sahut Mahesa Jenar.
“Keadaan yang sulit.” Kembali Kebo Kanigara bergumam.

MAHESA JENAR kemudian berdiam diri. Ia melihat bahwa Arya Salakapun telah mengetahui adanya orang berkuda yang mencurigakan itu. Tetapi ia tidak mau mempengaruhi rencana anak muda itu. Ia ingin mengetahui, sampai dimana kemampuan Arya Salaka. Ia akan memberi petunjuk-petunjuk apabila sangat diperlukan, atau laskar ini menuju ke dalam bahaya. Tiba-tiba ia melihat Arya Salaka mengangkat tangan kirinya. Kemudian terdengarlah bunyi bende dua kali berturut-turut. Sesaat kemudian berhentilah seluruh pasukan itu. Dengan isyarat Arya Salaka memanggil para pemimpin kelompok untuk datang kepadanya.
“Kita berhenti di sini,” katanya kepada para pemimpin laskarnya. Kemudian kepada Bantaran dan Penjawi, ia berkata,
“Siapkan laskar ini menjadi tiga bagian. Sayap kiri, yang akan masuk ke Banyubiru lewat timur. Sayap kanan lewat barat dan menjaga kemungkinan datangnya bantuan dari Pamingit. Sedang yang lain, induk pasukan akan langsung menuju ke jantung kota, serta menyiapkan bagian-bagian yang harus melakukan pengejaran-pengejaran terhadap lawan yang menarik diri serta membuat pertahanan-pertahanan baru.“ Para pemimpin itupun telah tahu benar apa yang harus dilakukan, sebab perintah itu adalah perintah ulangan seperti yang mereka dengar sebelumnya.
“Tetapi…” kemudian Arya Salaka meneruskan,
“Kalian jangan bergerak lebih dahulu sebelum aku memberi perintah. Aku harus mendapat keyakinan bahwa dengan sekali tusuk, rencana kita berhasil. Karena itu aku harus menguasai keadaan medan sebaik-baiknya.”
Para pemimpin itupun mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak menanyakan apa-apa. Tugas mereka, menunggu sampai Arya memberikan perintah. Sekarang, nanti atau nanti malam. Namun mereka sudah tidak terlalu gelisah, seperti ketika mereka masih harus menunggu di perkemahan tanpa batas waktu. Sekarang mereka telah berada di garis perbatasan. Bahkan mungkin mereka tidak usah menunggu sampai besok, sebab orang-orang Pamingit itupun dapat melakukan penyerangan dengan tiba-tiba. Karena itu mereka selalu bersiap.

Tempat itu mendapat pengawalan yang kuat dari pasukan-pasukan panah yang akan menjadi ujung-ujung sayap. Kelompok yang akan menjadi sayap kiri telah memisahkan diri di bawah pimpinan Bantaran. Dalam kelompok itu ikut serta Mantingan. Sedang sayap kanan dipimpin oleh Penjawi dan Wirasaba. Kelompok inipun telah memisahkan diri. Induk pasukan langsung berada di tangan Arya Salaka. Melihat keadaan itu, Endang Widuri menarik nafas. Ia menjadi berlega hati. Arya Salaka belum memberikan perintah bergerak kepada kedua sayap pasukan itu. Mudah-mudahan nanti malampun belum. Ketika sebagian dari laskar itu telah beristirahat, kembali Arya Salaka teringat kepada orang-orang berkuda yang hilang ditelan cakrawala di ujung barat. Tiba-tiba ia ingin mendapat pertimbangan pendapat tentang orang berkuda itu dari Mahesa Jenar. Ia mendekati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang duduk di atas batang-batang ilalang kering bersama-sama dengan Rara Wilis.
“Paman…” katanya setelah ia pun duduk,
“Apakah tanggapan Paman Mahesa Jenar dan Paman Kebo Kanigara serta bibi Wilis tentang orang berkuda tadi?” Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, katanya,
“Apa katamu tentang itu…?” Mahesa Jenar bertanya pula.
Arya Salaka diam berpikir. Dilemparkan pandangan matanya ke arah orang berkuda tadi lenyap. Tetapi di sana sudah tidak dilihatnya apa-apa lagi. Debu yang mengepul itupun telah lenyap. Tiba-tiba iapun sadar, bahwa orang itu sama sekali bukan pengawas dari Pamingit. Sebab jurusan itu, jurusan yang ditempuh oleh orang berkuda itu, menjauhi Banyubiru.
“Ada dua kemungkinan menurut pikiran saya, Paman.” Arya menjawab.
“Orang itu mungkin pengawas paman Lembu Sora, tetapi mungkin juga bukan.”
“Kalau bukan…?” Mahesa Jenar ingin menjelaskan.
“Kalau bukan, ia adalah orang dari gerombolan hitam,” sahut Arya,
“Mungkin dari Nusakambangan, mungkin dari Gunung Tidar atau dari daerah sebelah timur Rawa Pening.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya, katanya perlahan-lahan,
“Mungkin ketiga-tiganya, ditambah orang-orang dari Alas Mentaok yang sudah dilengkapkan kembali.”

Arya Salaka mengangguk-angguk.
“Masukkan mereka dalam perhitunganmu, Arya,” Mahesa Jenar menasehati. Arya Salaka tidak menjawab, tetapi tampaklah ia berpikir keras. Sejak semula memang ia merasa betapa sulit pekerjaannya. Ditambah dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat ditimbulkan oleh orang-orang kalangan hitam. Ia yakin bahwa gerombolan hitam dari Rawa Pening pasti mendendamnya. Apalagi kalau mereka akhirnya mengetahui bahwa dialah yang membunuh sepasang pemimpinnya, Uling Putih dan Uling Kuning. Disamping itu dendam yang tak ada taranya dari orang-orang Gunung Tidar terhadap Mahesa Jenar. Sima Rodra yang kehilangan anak dan menantunya yang dibunuh oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis, pasti akan mencoba menuntut balas. Demikian juga Pasingsingan yang mengalami kekalahan baru beberapa hari yang lalu. Persamaan kepentingan itu akan mereka padukan sebaik-baiknya. Mereka bersama-sama ingin membalas dendam. Juga mereka bersama-sama ingin memiliki keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Mereka pulalah yang telah menyusun kekuatan untuk merebut Banyubiru dan Pamingit sebagai rintisan jalan menuju ke Demak.

MENURUT anggapan mereka, dengan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, berlandaskan kekuatan laskar yang akan dihimpunnya kelak dari Banyubiru dan Pamingit, maka terbukalah pintu gerbang kekuasaan tertinggi. Demak. Meskipun di dalam dada mereka itu masih selalu terngiang pertanyaan-pertanyaan,
“Lalu siapakah orangnya yang akan memegang kekuasaan tertinggi diantara golongan hitam itu? Pasingsingan? Sima Rodra? Atau dari angkatan yang lebih muda? Lawa Ijo atau Jaka Soka atau yang lain lagi…?”
“Aku kira orang-orang dari golongan hitam itu akan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya.” Terdengar Arya kemudian berkata.
“Mereka akan menggempur kita, apabila tenaga kita sudah jauh berkurang dalam pertempuran kita melawan orang-orang Pamingit.”
Mahesa Jenar mengangguk. Kembali Arya merenungkan kata-katanya sendiri. Alangkah jelasnya persoalan yang dihadapi. Tetapi ia telah melangkahkan kakinya karena itu ia pantang mundur.
“Akan aku bentuk pasukan-pasukan cadangan dari ketiga bagian laskarku,” katanya kemudian.
“Aku kira aku harus membuka di garis pertempuran. Pasukan-pasukan cadangan itu harus tetap segar untuk menghadapi laskar hitam yang akan datang kemudian.”
Kembali Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya ia bangga atas keterampilan Arya Salaka. Namun keterampilan itu adalah keterampilan pikiran anak muda yang masih berdarah panas dan berdada panas. Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak membantahnya. Ia mengharap, dalam ketenangan istirahatnya nanti Arya akan menemukan sendiri pemecahan masalah itu. Ia mengharap Arya akan mencoba menemui kakeknya. Memberitahukan persoalannya dan persoalan-persoalan lain. Diantaranya orang berkuda yang terang orang dari gerombolan hitam. Kemudian mereka berdiam diri. Endang Widuri berjalan dengan langkah gontai ke arah mereka. Dengan seenaknya ia menjatuhkan dirinya duduk, bersandar pada Rara Wilis.
“Dari mana kau Widuri?” tanya Rara Wilis.
“Aku melihat-lihat laskar ini. Baru saja aku bersama-sama dengan Paman Mantingan menangkap kelinci-kelinci liar,” jawabnya.
“Kau pergi ke sayap kiri?” potong Arya Salaka.
“Ya,” jawab Rara Wilis,
“Mereka sedang merebus air.”
“Jangan mondar-mandir Widuri.” Ayahnya mencoba memberi nasehat.
“Di gerumbul-gerumbul itu mungkin bersembunyi bahaya yang mengancam keselamatanmu.”
Widuri tersenyum.
“Bukankah aku sudah mempunyai cakra?”
“Jangan takabur dengan benda itu,” sahut ayahnya,
“Dengan demikian benda itu akan menyeretmu masuk ke dalam bahaya.”
“Jangan marah ayah,” jawab Widuri,
“Aku hanya bergurau.”
“Kau memang terlalu nakal.” Ayahnya melanjutkan.
“Sekali-kali aku masih ingin menarik kupingmu.”
“Jangan ayah,” potong Widuri,
“Bahkan mungkin Kakang Arya menganggap bahwa sekali-kali perlu juga aku mondar-mandir, sebab ada yang dapat aku lihat di ujung desa sebelah.”
“Apa…?” Arya tertarik pada keterangan itu.
“Cermin,” jawab Widuri.
“Cermin…?” Arya semakin tertarik, juga Mahesa Jenar.

Segera teringatlah ia pada saat Lembu Sora mencegat laskar Demak yang membawa Gajah Sora. Orang-orangnya memberikan tanda-tanda dengan benda yang berkilat-kilat.
“Aku lihat cahaya yang bersahut-sahutan. Dari desa itu dan dari desa yang jauh itu,” jawab Widuri.
Mendengar keterangan Widuri itu Arya mengangkat wajahnya, memandang jauh ke arah desa yang ditunjuk oleh Endang Widuri. Kabar yang dibawa gadis itu sangat menarik perhatian. Bahkan Mahesa Jenar kemudian berdiri tegak dan dengan cermatnya memandangi desa di hadapan laskar Banyubiru itu. Terbayanglah di dalam otaknya, pasukan yang pepat padat bersembunyi di sana. Sehingga seolah-olah pada setiap batang didalam desa itu, berdiri seorang laskar Lembu Sora, yang siap menanti kedatangan laskar Banyubiru itu dengan senjata di tangan. Arya Salaka pun kemudian berdiri. Memanggil dua orang pembantunya, memberitahukan kepada kedua sayap laskarnya. Mereka harus di hadapan hidung mereka. Disamping itu mereka harus membentuk laskar cadangan, sebab ada kemungkinan, golongan hitam akan mengail di air yang sedang keruh.
Kedua orang itupun segera menyampaikan pesan Arya Salaka. Namun kedua orang itu masih belum membawa perintah kepada sayap-sayap pasukan itu untuk bergerak. Disamping kepada kedua orang itu, kepada Sendang Papat yang berada di dalam pasukan induk itu, Arya Salaka pun telah memerintahkan untuk memisahkan sebagian laskarnya yang harus tetap segera untuk menghadapi lawan baru yang setiap saat dapat mengancamnya. Tetapi keterangan yang diberikan kepada sayap-sayap laskarnya, sangat mempengaruhi dirinya sendiri. Golongan hitam akan mengail di air yang keruh. Kenapa ia mesti mengeruhkan airnya? Tidak, bukan dirinya, tetapi pamannya.

APA yang dilakukan Arya Salaka kini adalah akibat dari perbuatan pamannya. Kalau pamannya tidak melakukan pelanggaran atas ketetapan adat yang berlaku, maka iapun tidak akan melakukan perjuangan dengan kekerasan. Tegasnya, tanggungjawab dari keributan yang bakal terjadi adalah terletak di pundak pamannya. Sekali lagi Arya menengokkan wajahnya ke langit. Matahari telah semakin rendah, dan sebentar lagi akan hilang dibalik bukit-bukit di sebelah barat. Burung-burung seriti dan manyar telah berterbangan berputar-putar untuk mencari tempat bermalam di atas pohon-pohon siwalan yang bertebaran di sana-sini.
“Baik, kami atau mereka, tidak akan mulai hari ini, Paman,” kata Arya Salaka kemudian.
“Sebentar lagi malam tiba.”
“Ya,” jawab Mahesa Jenar,
“Tetapi mungkin besok pagi-pagi benar sebelum pecah fajar, kau harus sudah bertempur.”
Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba tangannya membelai tombaknya seperti membelai kepala adik kesayangannya. Adakah di dalam laskar pamannya nanti ikut pula orang-orang Banyubiru yang berdiri di pihak Pamingit. Dan adakah diantara mereka itu kawan-kawan sepermainan dahulu? Arya Salaka menjadi bersedih hati mengenang kemungkinan-kemungkinan itu. Tombaknya itu mungkin besok akan menusuk jantung kawan-kawannya sepermainan. Dan bukankah Sawung Sariti tidak hanya kawan sepermainannya, tetapi justru saudara sepupunya? Tetapi meskipun demikian pedang anak muda itu hampir saja menembus dadanya. Mahesa Jenar melihat keragu-raguan yang membayang di wajah Arya Salaka, seperti ceritera tentang Arjuna yang ragu-ragu pula, pada saat Baratayuda mulai pecah. Tetapi apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar, sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukan Kresna pada waktu itu. Mahesa Jenar untuk sementara membiarkan saja Arya Salaka diganggu oleh kegelisahannya.
“Sampai malam nanti…” pikir Mahesa Jenar. Yang dihadapi oleh Arya Salaka kini bukanlah pamannya itu sendiri. Inilah salah satu perbedaan dengan ceritera Baratayuda itu. Tetapi ada pihak ketiga yang tidak kalah berbahaya. Bahkan laskar hitam itu sama sekali tidak terikat pada suatu tata kesopanan ataupun kepercayaan yang dapat mengendalikan kebiadaban serta kekejaman mereka.

Ketika matahari kemudian terbenam, mereka masing-masing mencari tempat mereka sendiri-sendiri untuk beristirahat. Di sana-sini bertebaran para petugas yang harus mengawasi keadaan, dengan senjata siap di tangan. Sekali dua kali Arya Salaka mengadakan peninjauan atas kesiapan anak buahnya. Sedang di sana-sini tampak perapian menyala-nyala. Mereka kemudian seperti berpesta, ketika serombongan orang-orang yang bertugas membawa kiriman makan datang ke tempat itu. Kepada pembawa kiriman itu Arya Salaka berpesan,
“Bawalah untuk besok pagi, sebelum ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya. Kedudukan-kedudukan baru akan segera kami beritahukan, apabila pertempuran sudah mulai.”
Kemudian keadaan menjadi sepi kembali. Masing-masing mencoba untuk mempergunakan waktu istirahat sebaik-baiknya. Namun di dalam dada Arya bergolaklah persoalan-persoalan yang rasa-rasanya semakin rumit. Sebenarnya ia sudah sampai pada waktunya untuk memerintahkan laskar di kedua sayapnya untuk bergerak. Dalam pada itu, Mahesa Jenar menjadi semakin cemas pula atas setiap keputusan yang diambil oleh Arya Salaka. Karena itu ia sama sekali tidak berani meninggalkan anak itu. Meskipun seolah-olah ia sama sekali tidak ikut campur pada setiap keputusan Arya Sakala, namun kehadirannya di samping anak muda itu ternyata sangat berpengaruh.
“Paman…” akhirnya Arya Salaka minta pertimbangan,
“Bagaimanakah kalau aku mulai melepaskan sayap-sayap laskarku?”
Mahesa Jenar pun telah merasa bahwa pada suatu ketika ia akan menghadapi pertanyaan seperti itu. Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Tetapi meskipun demikian ia masih belum melepaskan usahanya. Katanya,
“Adakah kau sudah menganggap cukup waktu?” Arya Salaka ragu. Karena itu ia bertanya,
“Kalau aku kehilangan waktu, apakah itu tidak membahayakan kedudukan kita ini Paman?”

Arya Salaka benar. Sedang orang-orang Pamingit itu telah siap di hadapannya. Mungkin mereka akan membuka gelar lebih dahulu, Supit Urang, atau Garuda Nglayang. Tetapi mereka tak akan dapat mengepung laskar ini, sebab Arya telah memisahkan kedua sayapnya agak jauh. Meskipun demikian orang-orang Pamingit dapat memotong sayap-sayap pasukan ini, untuk kemudian menyerang induk pasukan dengan gelar yang sempit. Cakra Byuha atau Dirada Meta atau Gedong Minep. Namun menilik watak Senapati yang akan memimpin laskar Pamingit itu, baik Sawung Sariti maupun Lembu Sora sendiri, pasti tidak akan mempergunakan gelar terakhir. Mereka pasti lebih senang memilih gelar Cakra Byuha atau Dirada Meta. Bahkan mungkin seperti apa yang pernah mereka lakukan terhadap pasukan Demak dengan jumlah yang sangat besar, Glatik Neba atau Samodra Rob. Dalam menilai keadaan, Mahesa Jenar tidak dapat menutup kenyataan bahwa bukan salah Arya atau kalau Arya kini tertekad bulat untuk bertempur. Sebab kalau ia tidak melakukan itu, ia akan digilas oleh pasukan lawannya, yang barangkali saat ini sedang merayap-rayap untuk membentuk gelar perang yang berbahaya. Maka kemungkinan satu-satunya yang dapat dilakukan oleh Arya, apabila ia akan menghadap eyangnya, adalah sekarang. Dan ia harus kembali sebelum tengah malam. Apabila keadaan tidak menguntungkan, sayap-sayapnya masih akan dapat mencapai tempat yang ditentukan sebelum fajar, dan memukul Banyubiru dari tiga jurusan. Tetapi adakah Arya bermaksud demikian?

UNTUK menjajagi perasaan anak itu, Mahesa Jenar berkata,
“Siapakah menurut dugaanmu, yang akan madeg Senapati dari Pamingit pagi besok? Lembu Sora, Sawung Sariti atau eyangnya Sora Dipayana?”
Mendengar nama kakeknya tersebut, dada Arya berdesir. Bagaimanakah kalau benar eyangnya itu yang memimpin pasukan Pamingit dan Banyubiru yang berpihak kepada Lembu Sora? Melihat keragu-raguan Arya Salaka, Mahesa Jenar mengharap untuk dapat membawa anak itu malam ini menghadap kakeknya. Karena itu ia mendesak,
“Kalau eyangmu yang memimpin pasukan itu, jangan cemas. Ada aku dan Kakang Kebo Kanigara yang akan membinasakan.”
Kembali dada Arya Salaka berdesir. Justru karena ia percaya kepada gurunya. Ia percaya bahwa Mahesa Jenar sekarang akan dapat melawan eyangnya, dan ia percaya kata-kata gurunya, bahwa Kebo Kanigara dapat membinasakan kakeknya itu.
Tetapi bagaimanakah kalau kakeknya itu benar-benar binasa? Teringatlah Arya Salaka pada ceritera Endang Widuri siang tadi. Meskipun Bisma tidak sependapat dengan Kurawa, demikian juga dengan Prabu Salya, namun karena kedudukan mereka, mereka terpaksa bertempur melawan orang-orang Pandawa. Karena desakan hati mereka yang putih dan tanpa pamrih, akhirnya mereka membiarkan diri mereka binasa, meskipun mereka mengetahui sebelumnya. Bisma telah menyadari bahwa prajurit wanita yang bernama Srikandi lah yang akan mengantarkan jiwanya menghadap Hyang Maha Agung. Demikian juga Salya, bahkan memberitahukan bagaimana orang Pandawa harus membunuhnya. Tetapi orang-orang Pandawa sempat menghadap mereka. Mohon maaf atas segala kesalahan mereka, dan mereka mendapat restu dari kedua pepunden itu.
Tiba-tiba terdengar Arya berdesis,
“Bagaimanakah kalau Eyang Sora Dipayana yang memimpin laskar Pamingit?”
“Sudah aku katakan,” jawab Mahesa Jenar,
“Aku sanggup melawannya.”
Runtuhlah wajah Arya Salaka membentur tanah, seperti hatinya yang hancur. Tiba-tiba mengambanglah airmatanya yang bening membasahi matanya. Kenapa ia harus menghadapi keadaan yang sedemikian pahit. Terbayanglah masa kanak-kanaknya, dimana ia sering dengan nakalnya didukung di punggung eyangnya. Berlari-lari. Dan kadang-kadang eyangnya itu berdendang pula untuknya, dalam lagu tembang yang menawan.
Melihat keadaan itu, Mahesa Jenar segera mengambil kesempatan.
“Kenapa kau berduka? Adakah kau takut kehilangan aku? Percayalah aku tak akan dapat dikalahkan oleh eyangmu itu.”

Wajah Arya menjadi semakin tunduk. Ia tidak menjawab. Yang terdengar kemudian adalah suara Mahesa Jenar,
“Atau kau cemaskan nasib eyangmu?”
Mendengar perkataan itu, tanpa disadarinya, Arya Salaka menganggukkan kepalanya.
Cepat Mahesa Jenar berkata sambil mengangguk-anggukan kepalanya,
“Arya, sebenarnya di dalam dadamu telah lebih dahulu bergolak suatu pertempuran yang dahsyat. Sebagai seorang anak muda, kau terlalu sulit untuk mengendalikan dirimu. Tetapi karena tempaan watakmu yang baik, yang menetes dari keluhuran budi ayahmu, telah memaksa perasaanmu untuk mencemaskan nasib, tidak saja eyangmu, tetapi seluruh rakyatmu. Karena itu Arya Salaka, bagaimanakah dengan usulku, tidakkah kau ingin bertemu dengan eyangmu sebelum api pertempuran ini berkobar?”
Kembali dada Arya tersentuh. Siang tadi ia merasa, bahwa yang demikian itu sama sekali tidak ada gunanya. Karena itu, ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Mahesa Jenar untuk sekali lagi menghadap ke Banyubiru. Tiba-tiba terasa sekarang, bahwa alangkah baiknya hal itu dilakukan. Tetapi sekarang pasukannya telah berhadap-hadapan. Kalau ia tidak segera mulai, orang-orang Pamingit yang akan mengambil prakarsa, memulai pertempuran itu. Mahesa Jenar menangkap perasaan yang bergolak didalam dada anak muda itu, maka katanya,
“Kalau kau ingin menghadap eyangmu Arya, biarlah aku dan Kakang Kebo Kanigara menyertaimu bersama-sama dengan Paman Wanamerta. Kalau orang-orang Pamingit itu curang, kami dapat melakukan perlawanan sekadarnya, sambil memberi tanda kepada pasukanmu untuk bergerak. Karena itu biarlah Paman Wanamerta membawa anak panah sendaren, yang dapat mengaung di udara, atau anak panah api.”
Sekali lagi Arya mengangguk kosong. Seolah-olah pikirannya terampas habis oleh kesulitan perasaan yang dihadapinya.
“Kita berangkat sekarang,” sambung Mahesa Jenar,
“berkuda, dan membawa obor di tangan, supaya mereka tahu, bahwa kita bermaksud baik. Bukan mata-mata yang menyusup ke daerah mereka. Sebelum tengah malam, kita harus sudah berada di tengah-tengah laskar ini.”

Ketika Mahesa Jenar meloncat berdiri, Arya pun berdiri. Segera Mahesa Jenar memberitahukan maksudnya kepada Kebo Kanigara dan Wanamerta, yang segera bersiap-siap pula. Kepada Rara Wilis, Kebo Kanigara menitipkan putrinya. Kepada Sendang Papat, Arya Salaka berpesan, bahwa apabila panah sendaren-nya mengaum atau panah apinya menyala di udara, laskar Banyubiru harus segera bertindak.
“Karena itu, siapkan sebagian dari mereka,” katanya.
Sendang Papat menjadi heran. Apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Maka bertanyalah ia,
“Apakah yang akan kau lakukan Adi Arya Salaka?”
“Melihat medan dan melihat keadaan kota,” jawabnya.
“Pekerjaan yang berbahaya. Orang-orang Pamingit dapat menangkap tuan-tuan,” katanya kepada Mahesa Jenar.
“Aku punya alasan,” potong Arya,
“Aku akan berpura-pura menghadap Eyang Sora Dipayana untuk bersujud di bawah kakinya sebelum aku mulai dengan pertempuran.”
“Adakah alasan itu dapat dimengerti oleh orang-orang Pamingit?” tanya Sendang Papat.
“Mudah-mudahan mereka cukup jantan,” jawab Arya.


<<< Bagian 066                                                                                              Bagian 068 >>>

No comments:

Post a Comment