IA sudah pernah berkelahi diantara hidup dan mati. Ia pernah membunuh dua bersaudara, Uling Putih dan Uling Kuning. Tetapi ketika ia melihat persiapan terakhir dari prajurit yang berangkat berperang ia menjadi berdebar-debar. Ketika laskarnya ini meninggalkan Candi Gedong Sanga, Arya Salaka tidak melihat perlengkapan yang demikian mengerikan. Saat itu ia melihat laskar Banyubiru itu memanggul senjata mereka, disamping perlengkapan-perlengkapan perkemahan, dan bahan makanan. Tetapi sekarang ia hanya melihat ujung-ujung senjata. Ia tidak melihat peralatan dan perlengkapan lain kecuali alat-alat penyebar maut itu. Pada saat yang demikian itu teringatlah Salaka kepada ayahnya. Pada saat ayahnya siap untuk bertempur melawan Prajurit Demak. Pada saat itu ia melihat perlengkapan seperti itu. Dari tempat yang agak tinggi ia melihat barisan Banyubiru seperti padang ilalang yang berdaun baja. Runcing dan tajam.
Sekarang
pemandangan yang mengerikan itu dilihatnya pula. Satu-satu ia memandang wajah
yang riang di dalam barisan itu. Seolah-olah mereka tidak mengerti bahwa dalam
perjalanan mereka, maut dapat saja menghampirinya.
MAHESA JENAR
kemudian keluar dari kemahnya. Di belakangnya berjalan Kebo Kanigara dan Rara
Wilis. Mereka tetap saja seperti biasa. Mereka sama sekali tidak mengenakan
pakaian tempur. Tidak membawa perisai dan bahkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
sama sekali tidak bersenjata. Sedang di pinggang Rara Wilis tergantung pedang
tipisnya. Ketika Mahesa Jenar melihat Arya Salaka dan Endang Widuri masih berdiri
diam, iapun berkata,
“Arya
bersiaplah. Bawalah tombakmu Kyai Bancak.”
Arya tersadar
dari lamunannya. Segera ia meloncat berlari ke kemahnya untuk mengambil tombak
Kyai Bancak. Tombak itu baginya bukan saja senjata yang telah dikenalnya
baik-baik. Senjata yang seolah-olah telah merupakan satu jiwa dengan dirinya,
namun senjata itu juga merupakan tanda kebesaran kepala daerah perdikan
Banyubiru. Ketika Arya Salaka meninggalkan Endang Widuri sendirian, Widuri pun
segera berjalan ke tempat Rara Wilis berdiri.
Perlahan-lahan
terdengarlah Rara Wilis berbisik,
“Bagaimana?
Sudahkah berceritera kepada Arya Salaka?”
Sambil
bersungut-sungut Endang Widuri menjawab,
“Belum. Aku
belum sempat berkata sepatahpun. Ketika aku menemuinya, aku hanya boleh
mendengarkan ia berceritera. Tak ada putus-putusnya.”
Meskipun Rara
Wilis agak kecewa seperti Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, namun mereka
tersenyum.
“Belum
terlambat benar,” kata Rara Wilis.
“Di perjalanan
kau masih mempunyai kesempatan.”
“Aku akan
coba,” sahut gadis itu.
“Kau akan ikut
serta dalam barisan ini?” tanya Kebo Kanigara, meskipun ia tahu bahwa gadisnya
itu tak mungkin mau ditinggalkan. Kembali Widuri bersungguh-sungguh, jawabnya,
“Apakah aku
harus tinggal di sini?”
“Ya,” sahut
ayahnya.
“Tidak mau,”
jawab Widuri. Yang mendengar jawaban itu, terpaksa tersenyum pula.
“Perjalanan
ini adalah bukan perjalanan tamasya,” ayah Widuri menerangkan.
“Aku tahu.
Tetapi bukankah aku mempunyai tugas yang penting dalam perjalanan ini?” bantah
Widuri.
“Menurut bibi
Wilis tak ada orang yang dapat melakukannya kecuali aku.”
Kebo Kanigara
tidak mau menggodanya lagi. Sebab kalau gadisnya itu jengkel, ia akan berteriak
sesukanya. Meskipun demikian ia perlu memperingatkan putrinya itu.
“Kalau kau
akan ikut serta, berhiaslah dahulu.” Widuri pun sadar, bahwa ia belum siap
untuk mengikuti perjalanan yang berbahaya. Karena itu ia segera berlari ke
kemahnya, untuk melepas kain panjangnya, mengenakan celana latihannya. Kain
pendek di luar, dan yang tak dilupakannya adalah rantai peraknya. Di kalungkan
rantai itu melingkari lehernya, sedang ujungnya berjuntai dan dikaitkan pada
ikat pinggangnya. Ketika ia telah siap, segera iapun meloncat dengan lincahnya,
dan menempatkan dirinya di belakang ayahnya. Arya Salaka pun telah berdiri di
sana, di samping Mahesa Jenar, dengan tombak Kyai Bancak di tangannya. Di
hadapan mereka, berbarislah dalam kelompok-kelompok, laskar Banyubiru. Hampir
seluruhnya ikut serta, selain yang bertugas menyiapkan makan, dan yang harus
menyampaikan setiap hari ke garis terdepan. Sebab mereka tidak tahu, berapa
lama mereka dapat menyelesaikan pekerjaan mereka.
Ketika mereka,
laskar Banyubiru itu, telah bersiap, terdengarlah Mahesa Jenar berkata kepada
mereka,
“Perjalanan
kali ini adalah perjalanan yang menentukan. Kalau kita terpaksa bertempur, maka
setiap orang diantara kalian, mempunyai kemungkinan untuk gugur. Karena itu,
siapa yang belum bersiap untuk berkorban dengan milik kalian yang paling
berharga, yaitu jiwa kalian, aku persilahkan meninggalkan berisan.”
Terdengarlah
suara bergumam di dalam barisan. Namun tak seorangpun yang meninggalkan
barisan. Dengan semangat yang menyala-nyala mereka tetap tegak di tempat mereka
berdiri.
“Terima
kasih.” Mahesa jenar meneruskan,
“Ternyata
kalian telah merelakan jiwa raga kalian dalam pengabdian yang luhur ini. Namun,
meskipun demikian, dengarkanlah keterangan ini. Bahwa tujuan kalian yang
terutama bukanlah bertempur.”
Kembali
terdengar suara bergumam di dalam barisan itu. Bahkan Arya Salaka pun sampai
menoleh kepadanya. Mahesa Jenar melihat tanggapan itu, segera meneruskan,
“Tujuan kalian
yang terutama adalah menempatkan kebenaran dan keadilan di atas pemerintahan
Banyubiru. Bukankah demikian? Bertempur adalah cara yang terakhir. Tetapi
bukanlah tujuan. Jangan dilupakan ini. Sehingga seandainya pemerintahan
Banyubiru dapat dikembalikan pada keadaan yang seharusnya tanpa bertempur,
tanpa setetes darahpun yang harus mengalir dari tubuh kalian, janganlah kalian
mencari perkara.”
MAHESA JENAR
diam sejenak. Ia melihat kebimbangan di sebagian wajah-wajah di hadapannya.
Kemudian ia menyambungnya,
“Tetapi,
perhitungan kita adalah perhitungan yang paling mahal. Menembus benteng
pertahanan orang-orang Pamingit dengan ujung senjata. Sudahkah kalian siap?”
Terdengarlah
jawaban serentak mengguruh. Bahkan ada diantara mereka yang mencabut senjata,
mengangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menusuk langit, sambil
berteriak-teriak.
“Kami telah
bersedia. Hidup mati kami, kami serahkan untuk tanah tercinta.” Mahesa Jenar
membiarkan mereka berteriak sepuas-puas mereka. Kemudian ia mengangkat
tangannya. Suara yang mengguruh itu pun semakin menurun dan akhirnya diam.
Terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
“Tanahmu
adalah tanah pusaka. Tanah yang dikurniakan Tuhan kepadamu. Karena itu
cintailah tanah itu. Sedangkan hidup matimu adalah di tangan Tuhanmu.
Mudah-mudahan Tuhan bersama kita.”
Darah
orang-orang Banyubiru itu serasa mendidih. Namun demikian di dalam dada mereka,
sekali-kali terngiang pula kata-kata Mahesa Jenar,
“Bertempur
adalah cara yang terakhir. Tetapi bukan tujuan.”
Juga di dalam
dada Arya Salaka, kata-kata itu berulang kali mengumandang. Sesaat kemudian
Mahesa Jenar berkata kepada Arya Salaka,
“Arya,
semuanya sudah siap. Berilah tanda supaya laskarmu berangkat.”
Dari Mahesa
Jenar, Arya telah banyak mendapat petunjuk dan tuntunan tentang tata
keprajuritan. Karena itu, ketika Mahesa Jenar memberinya kesempatan untuk
memimpin laskarnya, iapun tahu apa yang harus dikerjakannya. Maka Arya Salaka
pun melangkah maju. Dengan isyarat, ia minta Wanamerta berdiri di sampingnya.
Wanamerta adalah tetua tanah perdikan Banyubiru. Ia menjadi emban kepala daerah
perdikan sejak eyangnya Ki Ageng Sora Dipayana masih memegang jabatan itu.
Ayahnya diembaninya. Sekarang Arya Salaka tidak mau meninggalkannya. Ketika
Wanamerta telah berdiri di sampingnya, Arya Salaka segera mengangkat tombak
pusakanya. Terdengarlah kemudian sebuah tengara, suara bende yang pertama.
Suatu pertanda, bahwa barisan itu harus berkemas. Setiap orang segera memeriksa
diri mereka sendiri. Apakah yang kurang dan apakah yang ketinggalan. Senjata
mereka, pakaian mereka. Sebentar kemudian Arya Salaka mengangkat tombaknya
untuk yang kedua kali. Suara bende itupun berkumandang untuk kedua kalinya.
Suatu pertanda bahwa barisan itu harus segera bersiaga penuh. Mereka tinggal
menunggu bunyi bende untuk yang ketiga kalinya, yang memberi perintah kepada
seluruh barisan itu untuk segera berangkat.
Sebelum Arya
mengangkat tombaknya untuk yang ketiga, sekali lagi ia melayangkan pandangannya
kepada seluruh barisan itu. Ia melihat beberapa orang kepercayaan laskar
Banyubiru itu berdiri di baris pertama dengan umbul-umbul kecil di tangan. Jauh
lebih kecil dari umbul-umbul yang pernah dilihatnya di Banyubiru dahulu, ketika
ayahnya hampir saja terlibat dalam pertempuran dengan pasukan Demak. Namun
meskipun demikian, umbul-umbul inipun memberinya kesan yang menggetarkan. Di
tengah-tengah deretan umbul-umbul itu dilihatnya panji-panji kebanggaan tanah
perdikannya, Dirata Sakti. Apalagi ketika matanya tertumbuk pada panji-panji pepunden
seluruh rakyat Demak, hatinya bergetar deras. Panji-panji itu pulalah yang
memaksa ayahnya dahulu untuk mengurungkan niatnya, melawan kekuasaan tertinggi.
Warna Gula Kelapa itu pulalah yang menyebabkan ayahnya tak berdaya untuk
menolak pertanggungjawaban atas hilangnya keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten
dari rumahnya. Dan kali ini Gula Kelapa itu menyertai laskar Banyubiru menuntut
haknya, yang selama ini dilanggar dan dihinakan oleh orang-orang Pamingit.
Melihat kesiapan laskarnya, Arya menarik nafas dalam-dalam. Sesekali ia
menengadahkan wajahnya ke langit. Tampaklah bibirnya bergerak-gerak, dan
terdengarlah suara perlahan sekali, yang hanya dapat didengarnya sendiri.
“Ya Allah,
yang memerintah langit dan bumi. Aku serahkan diriku dan laskarku ke dalam
tangan-Mu, ke dalam bimbingan-Mu. Jauhkanlah kami dari kesalahan-kesalahan,
serta berilah cahaya di dalam hati kami. Berlakulah segala kehendak-Mu atas
diri kami, sebab segala kehendak-Mu pasti berlaku. Kami adalah domba-domba yang
menggantungkan nasib kami kepada penggembalanya yang Maha Pengasih dan
Pengampun.”
Setelah
mengucapkan kata-kata itu, tiba-tiba Arya Salaka merasa mendapat kekuatan yang
luar biasa. Sebagai seorang pemuda yang perkasa, ia cukup mempunyai bekal lahir
dan batin dalam pekerjaan yang dilakukannya kali ini. Namun karena jiwanya yang
pasrah kepada Sumber Hidup-nya, ia menjadi semakin yakin kepada tindakannya.
Kemudian dengan tidak usah menunggu lebih lama lagi, diangkatnya tombaknya
tinggi-tinggi.
Dan sesaat
kemudian menggemalah suara bende yang ketiga kalinya, mengaum seperti jerit
harimau lapar. Belum lagi gema bunyi bende itu berhenti, menyautlah suara
sangkalala dan seruling, melagukan lagu yang gemuruh, seirama dengan gemuruhnya
darah laskar Banyubiru itu. Berbareng dengan itu, bergeraklah Arya Salaka dan
Wanamerta di ujung berisannya, diikuti oleh Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara
Wilis dan Endang Widuri. Sedang Mantingan dan Wirasaba mendapat tugas untuk
mengamat-amati barisan itu. Ketika barisan itu sudah mulai bergerak, berbisiklah
Endang Widuri kepada Rara Wilis,
“Akan aku
coba, Bibi, sebelum barisan itu sampai di kaki bukit Telamaya itu.”
RARA WILIS
mengangguk sambil tersenyum, jawabnya,
“Kalau kau
berhasil Widuri, dan kemudian Ki Ageng Sora Dipayana berhasil pula mencegah
terjadinya pertumpahan darah, maka berpuluh-puluh jiwa yang akan menjadi
benteng dalam perjuangan ini dapat diselamatkan, serta berpuluh-puluh wanita
akan mengukir di dalam hatinya, bahwa seseorang telah membendung air mata
mereka yang akan tertumpah, karena mereka kehilangan suami, serta beribu-ribu
anak-anak yang akan meneriakkan kembali nama bapaknya, ketika bapak mereka
kembali dengan selamat dari pertumpahan yang urung nanti.” Terasa sesuatu
bergerak-gerak di tenggorokannya.
Dengan tidak
sengaja gadis itu memandang ayahnya. Bagaimanakah perasaannya kalau pada suatu
kali ayahnya itu pergi dan tidak akan kembali. Tetapi pada saat itu tiba-tiba
ayahnya memandangnya pula. Agaknya Kebo Kanigara pun ragu, apakah pertempuran
dapat dihindari. Karena itu ia merasa perlu untuk melindungi anaknya lebih
rapat lagi.
Dengan
berbisik ia menyerahkan sesuatu kepada Endang Widuri, katanya,
“Inilah bandul
kalungmu. Pasanglah.”
Widuri
menerima pemberian itu. Ia terpekik kecil ketika ia melihat sebuah benda yang
berkilat-kilat di tangannya. Sebuah gelang putih gemerlapan dan dari dalamnya
memancar cahaya kebiru-biruan. Pada dinding luar gelang itu, terdapatlah ukiran
api yang menyala, sehingga gelang itu menjadi seolah-olah bergerigi tajam.
“Apakah ini
ayah?” tanya Widuri sambil tersenyum keriangan. Ia belum pernah melihat benda
itu sebelumnya.
“Itulah
kelengkapan kalungmu itu. Pasanglah di ujungnya,” jawab ayahnya.
“Apakah
namanya?” desak gadis itu.
“Cakra,” jawab
ayahnya singkat.
“Cakra? Adakah
cakra ini yang dahulu dipunyai oleh Prabu Kresna?” tanya Widuri pula.
“Hus, jangan
mimpi. Kalau aku memiliki cakra peninggalan Prabu Kresna, bukankah aku dapat
menggugurkan bukit Merbabu itu?”
Endang Widuri
masih saja mengagumi cakra pemberian ayahnya itu. Ia menjadi geli mendengar
jawaban ayahnya. Katanya,
“Ah, aku kira
dengan cakra ini aku akan mampu menggugurkan gunung dan mengeringkan lautan.”
“Pakailah,”
potong ayahnya, “Lalu kerjakan tugasmu.”
Widuri seperti
tersadar dari mimpi yang menyenangkan tentang cakra itu. Ia teringat pada
pekerjaannya yang diserahkan kepadanya oleh Rara Wilis. Karena itu ia melangkah
lebih cepat menyusul Arya Salaka yang berjalan beberapa langkah di depannya.
“Kakang…”
bisik Endang Widuri setelah ia berjalan di samping anak muda itu. Arya Salaka
menoleh. Kali ini Endang Widuri tidak mau kedahuluan lagi, sehingga ia tidak
sempat untuk berbicara. Karena itu segera ia berkata, “Kakang lihat ini.”
Arya melihat
benda yang berkilat-kilat di tangan gadis itu.
“Apakah itu?”
ia bertanya.
“Cakra,”
jawabnya singkat.
“Bagus,” gumam
Arya Salaka,
“Lihat.”-
Widuri menyerahkan cakra itu kepada Arya Salaka yang mengaguminya.
Arya Salaka
segera tahu, bahwa benda itu adalah kelengkapan kalung Endang Widuri. Dengan
senjata itu Widuri akan menjadi gadis yang benar-benar berbahaya di dalam
pertempuran. Pada saat ia menyaksikan Endang Widuri berkelahi melawan Bagolan,
rantai gadis itu sama sekali tidak berbandul.
Dengan rantai
itu saja Bagolan sama sekali tak berdaya melawannya, apalagi kalau di ujung
rantainya tersangkut senjata itu.
Ketika Arya
Salaka masih mengagumi senjata itu, berkatalah Endang Widuri kepadanya,
“Kakang,
apakah barisan ini sekarang juga akan mulai dengan gelar perang?”
Arya
mengerinyitkan alisnya. Kemudian ia mengangguk, jawabnya,
“Ya, begitu
barisan ini keluar dari mulut lembah, aku pasang gelar.”
“Apakah kakang
akan mulai dengan pertempuran langsung siang ini juga?” tanya Widuri pula.
Arya
menengadahkan wajahnya. Ia melihat matahari telah melampaui kepalanya.
Pertanyaan Widuri itu tepat benar. Kalau ia mulai hari ini dengan menyerang
langsung jantung kota, maka ia akan terganggu oleh gelap malam. Ia tidak dapat
memperhitungkan, apakah ia akan dapat menyelesaikan pertempuran sehari, dua
hari, seminggu atau lebih. Tetapi ia sudah punya rencana lengkap. Hampir setiap
hari ia mendapat petunjuk-petunjuk dari Mahesa Jenar. Dari petunjuk-petunjuk
itu ia sudah dapat mengetahui dengan pasti, apakah yang harus dilakukan kalau
ia harus merebut Banyubiru dengan kekerasan. Soalnya hanyalah soal waktu saja.
Ia harus membagi pasukannya dalam tiga bagian. Sayap kiri, kanan dan induk
pasukan. Sayap kiri itu harus membawa dirinya melewati jurusan Timur. Mendaki
bukit di sebelah timur untuk kemudian menguasai daerah Banyubiru bagian timur.
Sedang sayap kanan harus berbuat yang sama dari arah barat. Namun di samping
itu, sayap ini mempunyai tugas untuk melakukan pencegatan, apabila datang
bantuan dari Pamingit.
“Pertempuran
tidak harus berlangsung hari ini.”
Akhirnya
terdengar Arya bergumam.
“Hari ini aku
akan menghadapkan laskarku ke perbatasan. Malam nanti sayap-sayapku akan mulai
berkembang. Besok pagi aku mulai dengan gerakan memasuki kota.”
WIDURI
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kalau demikian ia tinggal mempunyai waktu
sedikit. Kalau laskar ini telah terpecah, maka akan sulitlah untuk mengubah
setiap rencana yang sudah dipersiapkan itu.
“Kau
menghadapi pekerjaan yang berat, Kakang,” kata Widuri.
“Ya, aku
sadari itu sepenuhnya. Paman Lembu Sora bukan orang yang bodoh. Ia mempunyai
pandangan yang luas dan dalam. Ia memiliki keahlian bersiasat. Aku kira Sawung
Saritipun akan memiliki sifat-sifat itu juga.”
“Sadar atau
tidak sadar, apa yang kau lakukan ini mirip benar dengan ceritera Baratayuda.”
Endang Widuri mulai dengan usahanya menyampaikan pesan Rara Wilis.
Arya mengangguk
sambil tersenyum.
“Mungkin,”
gumamnya.
Kemudian
mulailah Widuri berceritera dari ceritera yang didengarnya dari Rara Wilis.
Ternyata Widuri benar-benar memiliki kecerdasan yang mengagumkan. Dengan
hati-hati ia mengemukakan persoalan demi persoalan. Apa yang diduga oleh Rara
Wilis ternyata sebagian besar benar. Kalau yang menyampaikan ceritera itu
kepada Arya Salaka orang lain, bukan Widuri, maka akibatnyapun akan lain.
Tetapi kali ini Arya mendengar ceritera tentang Bisma dan Prabu Salya dari
Endang Widuri. Dari seorang gadis yang aneh baginya. Arya Salaka sendiri tidak
tahu, pengaruh apakah yang sudah memukau dirinya, sehingga setiap kata dari
gadis itu sedemikian meresap ke dalam dadanya. Iapun kemudian merasa, betapa
menyesalnya nanti, apabila eyangnya melibatkan diri di dalam pertempuran ini.
Eyangnya yang menurut Mahesa Jenar mengharap kedatangannya. Mengharap untuk
dapat menemui cucunya yang telah lama hilang. Ia tidak tahu, apakah ada di
antara orang di dalam pasukannya yang mampu menandingi eyangnya itu. Tetapi
Mahesa Jenar kini ternyata memiliki ilmu yang dahsyat. Disamping itu ada Kebo
Kanigara.
Tiba-tiba ia
menyesal atas dugaannya itu. Kenapa ia seolah-olah yakin bahwa eyangnya akan
berpihak kepada pamannya. Apakah tidak mungkin kakeknya itu datang kepadanya
dan berkata,
“Kau benar
Arya. Karena itu aku berada di pihakmu.”
Bahkan lebih
daripada itu. Akhirnya Arya Salaka sampai pada pikiran yang sejalan dengan
pikiran Mahesa Jenar. Apakah tidak mungkin apabila kakeknya itu berkata kepada
pamannya,
“Lembu Sora,
tinggalkan Banyubiru. Serahkanlah daerah ini kepada anak yang bernama Arya
Salaka, putra kakakmu Gajah Sora.”
Lalu pamannya
itu menjawab,
“Baiklah
ayah.” Bukankah dengan demikian pertempuran dapat dihindari?
Tetapi Lembu
Sora bukanlah orang yang dapat berlaku demikian. Untuk beberapa lama Arya
Salaka berdiam diri. Ia berjalan saja tanpa menoleh. Matanya seolah-olah
terpaku pada bukit yang terbujur jauh di hadapannya, yang sekali hilang ditelan
oleh bukit kecil di sekitar jalan yang dilaluinya, tetapi yang kemudian muncul
kembali, seakan-akan tersembul dari dalam tanah.
Di langit
matahari berjalan pula dengan tenangnya. Sinarnya yang semakin condong terasa
seperti membakar kulit. Endang Widuri tidak tahu pasti, apakah yang sedang
bergolak di dalam dada anak muda itu sebagai akibat dari kata-katanya. Tetapi
iapun berdiam diri pula. Ia berjalan dengan langkah yang tetap mengikuti irama
langkah barisan anak-anak Banyubiru itu. Ketika laskar itu akhirnya muncul dari
daerah-daerah pegunungan, Widuri melihat suatu dataran yang luas terbentang
dihadapannya. Ia mengira bahwa Arya akan segera menebarkan barisannya dalam
gelar perang. Tetapi sampai beberapa lama aba-aba itu sama sekali tidak
diberikannya. Laskar Banyubiru itu masih saja berjalan seperti ular yang
panjang berkelok-kelok menuruti jalan sempit menuju ke Banyubiru. Di kiri kanan
jalan itu terbentang padang rumput yang luas, yang di sana sini terdapat
beberapa gerumbul-gerumbul kecil dan pohon-pohon perdu yang berserak-serakan.
Sedang di lereng-lereng bukit kecil tampak batang-batang ilalang yang memanjat
sampai ke lambung. Ketika matahari telah mulai merendah, barulah mereka sampai
ke daerah yang berhadapan dengan tanah-tanah persawahan. Diseberang sawah
itulah mereka baru akan menjumpai desa yang pertama.
Di kejauhan,
di seberang padang-padang rumput itu, tiba-tiba tampaklah debu putih yang
mengepul. Mata Arya yang tajam segera dapat melihatnya. Demikian juga Endang
Widuri dan Wanamerta. Maka terdengarlah Arya Salaka berbisik,
“Kau lihat
debu itu, Widuri?”
Endang Widuri
mengangguk.
“Kuda,”
desisnya.
“Ya, orang
berkuda.” Arya Salaka melengkapi.
Debu itu
semakin lama menjadi semakin tipis, dan akhirnya semakin jauh dan jauh, untuk
kemudian seperti hilang ditelan cakrawala. Untuk beberapa saat, orang berkuda
itu mempengaruhi pikiran Arya Salaka. Namun akhirnya hatinya memutuskan,
“Biarlah seandainya orang itu akan memberitahukan kepada Paman Lembu Sora. Kami
sudah siap menghadapi setiap kemungkinan. Kasar dan halus.”
Tetapi bagi
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang berkuda itu benar-benar menimbulkan
persoalan. Kuda itu ternyata menghilang ke arah barat. Seandainya orang berkuda
itu, salah seorang pengawas dari Pamingit, ia tidak akan menghilang ke barat.
Tetapi ia akan memacu kudanya ke selatan, dan menghilang ke balik desa yang
pertama tampak di muka barisan itu. Dengan demikian, maka Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara mempunyai tanggapan yang lain.
Orang itu
bukanlah orang Pamingit atau Banyubiru.
“Jadi siapakah
dia?” tanya Kebo Kanigara perlahan-lahan.
“Tak ada lain,
orang itu pasti dari golongan hitam,” jawab Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara
mengangguk-anggukan kepalanya.
“Satu-satunya
kemungkinan,” gumamnya. “Mereka akan mengambil keuntungan dari perselisihan
ini,” sahut Mahesa Jenar.
“Keadaan yang
sulit.” Kembali Kebo Kanigara bergumam.
MAHESA JENAR
kemudian berdiam diri. Ia melihat bahwa Arya Salakapun telah mengetahui adanya
orang berkuda yang mencurigakan itu. Tetapi ia tidak mau mempengaruhi rencana
anak muda itu. Ia ingin mengetahui, sampai dimana kemampuan Arya Salaka. Ia
akan memberi petunjuk-petunjuk apabila sangat diperlukan, atau laskar ini
menuju ke dalam bahaya. Tiba-tiba ia melihat Arya Salaka mengangkat tangan
kirinya. Kemudian terdengarlah bunyi bende dua kali berturut-turut. Sesaat
kemudian berhentilah seluruh pasukan itu. Dengan isyarat Arya Salaka memanggil
para pemimpin kelompok untuk datang kepadanya.
“Kita berhenti
di sini,” katanya kepada para pemimpin laskarnya. Kemudian kepada Bantaran dan
Penjawi, ia berkata,
“Siapkan
laskar ini menjadi tiga bagian. Sayap kiri, yang akan masuk ke Banyubiru lewat
timur. Sayap kanan lewat barat dan menjaga kemungkinan datangnya bantuan dari
Pamingit. Sedang yang lain, induk pasukan akan langsung menuju ke jantung kota,
serta menyiapkan bagian-bagian yang harus melakukan pengejaran-pengejaran
terhadap lawan yang menarik diri serta membuat pertahanan-pertahanan baru.“
Para pemimpin itupun telah tahu benar apa yang harus dilakukan, sebab perintah
itu adalah perintah ulangan seperti yang mereka dengar sebelumnya.
“Tetapi…”
kemudian Arya Salaka meneruskan,
“Kalian jangan
bergerak lebih dahulu sebelum aku memberi perintah. Aku harus mendapat
keyakinan bahwa dengan sekali tusuk, rencana kita berhasil. Karena itu aku
harus menguasai keadaan medan sebaik-baiknya.”
Para pemimpin
itupun mengerutkan keningnya. Tetapi mereka tidak menanyakan apa-apa. Tugas
mereka, menunggu sampai Arya memberikan perintah. Sekarang, nanti atau nanti
malam. Namun mereka sudah tidak terlalu gelisah, seperti ketika mereka masih
harus menunggu di perkemahan tanpa batas waktu. Sekarang mereka telah berada di
garis perbatasan. Bahkan mungkin mereka tidak usah menunggu sampai besok, sebab
orang-orang Pamingit itupun dapat melakukan penyerangan dengan tiba-tiba.
Karena itu mereka selalu bersiap.
Tempat itu
mendapat pengawalan yang kuat dari pasukan-pasukan panah yang akan menjadi
ujung-ujung sayap. Kelompok yang akan menjadi sayap kiri telah memisahkan diri
di bawah pimpinan Bantaran. Dalam kelompok itu ikut serta Mantingan. Sedang
sayap kanan dipimpin oleh Penjawi dan Wirasaba. Kelompok inipun telah
memisahkan diri. Induk pasukan langsung berada di tangan Arya Salaka. Melihat
keadaan itu, Endang Widuri menarik nafas. Ia menjadi berlega hati. Arya Salaka
belum memberikan perintah bergerak kepada kedua sayap pasukan itu.
Mudah-mudahan nanti malampun belum. Ketika sebagian dari laskar itu telah
beristirahat, kembali Arya Salaka teringat kepada orang-orang berkuda yang
hilang ditelan cakrawala di ujung barat. Tiba-tiba ia ingin mendapat
pertimbangan pendapat tentang orang berkuda itu dari Mahesa Jenar. Ia mendekati
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang duduk di atas batang-batang ilalang kering
bersama-sama dengan Rara Wilis.
“Paman…”
katanya setelah ia pun duduk,
“Apakah
tanggapan Paman Mahesa Jenar dan Paman Kebo Kanigara serta bibi Wilis tentang
orang berkuda tadi?” Mahesa Jenar mengerutkan keningnya, katanya,
“Apa katamu
tentang itu…?” Mahesa Jenar bertanya pula.
Arya Salaka
diam berpikir. Dilemparkan pandangan matanya ke arah orang berkuda tadi lenyap.
Tetapi di sana sudah tidak dilihatnya apa-apa lagi. Debu yang mengepul itupun
telah lenyap. Tiba-tiba iapun sadar, bahwa orang itu sama sekali bukan pengawas
dari Pamingit. Sebab jurusan itu, jurusan yang ditempuh oleh orang berkuda itu,
menjauhi Banyubiru.
“Ada dua
kemungkinan menurut pikiran saya, Paman.” Arya menjawab.
“Orang itu
mungkin pengawas paman Lembu Sora, tetapi mungkin juga bukan.”
“Kalau
bukan…?” Mahesa Jenar ingin menjelaskan.
“Kalau bukan,
ia adalah orang dari gerombolan hitam,” sahut Arya,
“Mungkin dari
Nusakambangan, mungkin dari Gunung Tidar atau dari daerah sebelah timur Rawa
Pening.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukan kepalanya, katanya perlahan-lahan,
“Mungkin
ketiga-tiganya, ditambah orang-orang dari Alas Mentaok yang sudah dilengkapkan
kembali.”
Arya Salaka
mengangguk-angguk.
“Masukkan
mereka dalam perhitunganmu, Arya,” Mahesa Jenar menasehati. Arya Salaka tidak
menjawab, tetapi tampaklah ia berpikir keras. Sejak semula memang ia merasa
betapa sulit pekerjaannya. Ditambah dengan kemungkinan-kemungkinan buruk yang
dapat ditimbulkan oleh orang-orang kalangan hitam. Ia yakin bahwa gerombolan
hitam dari Rawa Pening pasti mendendamnya. Apalagi kalau mereka akhirnya
mengetahui bahwa dialah yang membunuh sepasang pemimpinnya, Uling Putih dan
Uling Kuning. Disamping itu dendam yang tak ada taranya dari orang-orang Gunung
Tidar terhadap Mahesa Jenar. Sima Rodra yang kehilangan anak dan menantunya
yang dibunuh oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis, pasti akan mencoba menuntut
balas. Demikian juga Pasingsingan yang mengalami kekalahan baru beberapa hari
yang lalu. Persamaan kepentingan itu akan mereka padukan sebaik-baiknya. Mereka
bersama-sama ingin membalas dendam. Juga mereka bersama-sama ingin memiliki
keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Mereka pulalah yang telah
menyusun kekuatan untuk merebut Banyubiru dan Pamingit sebagai rintisan jalan
menuju ke Demak.
MENURUT
anggapan mereka, dengan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten,
berlandaskan kekuatan laskar yang akan dihimpunnya kelak dari Banyubiru dan
Pamingit, maka terbukalah pintu gerbang kekuasaan tertinggi. Demak. Meskipun di
dalam dada mereka itu masih selalu terngiang pertanyaan-pertanyaan,
“Lalu siapakah
orangnya yang akan memegang kekuasaan tertinggi diantara golongan hitam itu?
Pasingsingan? Sima Rodra? Atau dari angkatan yang lebih muda? Lawa Ijo atau
Jaka Soka atau yang lain lagi…?”
“Aku kira
orang-orang dari golongan hitam itu akan menggunakan kesempatan
sebaik-baiknya.” Terdengar Arya kemudian berkata.
“Mereka akan
menggempur kita, apabila tenaga kita sudah jauh berkurang dalam pertempuran
kita melawan orang-orang Pamingit.”
Mahesa Jenar
mengangguk. Kembali Arya merenungkan kata-katanya sendiri. Alangkah jelasnya
persoalan yang dihadapi. Tetapi ia telah melangkahkan kakinya karena itu ia
pantang mundur.
“Akan aku
bentuk pasukan-pasukan cadangan dari ketiga bagian laskarku,” katanya kemudian.
“Aku kira aku
harus membuka di garis pertempuran. Pasukan-pasukan cadangan itu harus tetap
segar untuk menghadapi laskar hitam yang akan datang kemudian.”
Kembali Mahesa
Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Di dalam hatinya ia bangga atas
keterampilan Arya Salaka. Namun keterampilan itu adalah keterampilan pikiran
anak muda yang masih berdarah panas dan berdada panas. Meskipun demikian Mahesa
Jenar tidak membantahnya. Ia mengharap, dalam ketenangan istirahatnya nanti
Arya akan menemukan sendiri pemecahan masalah itu. Ia mengharap Arya akan
mencoba menemui kakeknya. Memberitahukan persoalannya dan persoalan-persoalan
lain. Diantaranya orang berkuda yang terang orang dari gerombolan hitam.
Kemudian mereka berdiam diri. Endang Widuri berjalan dengan langkah gontai ke
arah mereka. Dengan seenaknya ia menjatuhkan dirinya duduk, bersandar pada Rara
Wilis.
“Dari mana kau
Widuri?” tanya Rara Wilis.
“Aku
melihat-lihat laskar ini. Baru saja aku bersama-sama dengan Paman Mantingan
menangkap kelinci-kelinci liar,” jawabnya.
“Kau pergi ke
sayap kiri?” potong Arya Salaka.
“Ya,” jawab
Rara Wilis,
“Mereka sedang
merebus air.”
“Jangan
mondar-mandir Widuri.” Ayahnya mencoba memberi nasehat.
“Di
gerumbul-gerumbul itu mungkin bersembunyi bahaya yang mengancam keselamatanmu.”
Widuri
tersenyum.
“Bukankah aku
sudah mempunyai cakra?”
“Jangan
takabur dengan benda itu,” sahut ayahnya,
“Dengan
demikian benda itu akan menyeretmu masuk ke dalam bahaya.”
“Jangan marah
ayah,” jawab Widuri,
“Aku hanya
bergurau.”
“Kau memang
terlalu nakal.” Ayahnya melanjutkan.
“Sekali-kali
aku masih ingin menarik kupingmu.”
“Jangan ayah,”
potong Widuri,
“Bahkan
mungkin Kakang Arya menganggap bahwa sekali-kali perlu juga aku mondar-mandir,
sebab ada yang dapat aku lihat di ujung desa sebelah.”
“Apa…?” Arya
tertarik pada keterangan itu.
“Cermin,”
jawab Widuri.
“Cermin…?”
Arya semakin tertarik, juga Mahesa Jenar.
Segera
teringatlah ia pada saat Lembu Sora mencegat laskar Demak yang membawa Gajah
Sora. Orang-orangnya memberikan tanda-tanda dengan benda yang berkilat-kilat.
“Aku lihat
cahaya yang bersahut-sahutan. Dari desa itu dan dari desa yang jauh itu,” jawab
Widuri.
Mendengar
keterangan Widuri itu Arya mengangkat wajahnya, memandang jauh ke arah desa yang
ditunjuk oleh Endang Widuri. Kabar yang dibawa gadis itu sangat menarik
perhatian. Bahkan Mahesa Jenar kemudian berdiri tegak dan dengan cermatnya
memandangi desa di hadapan laskar Banyubiru itu. Terbayanglah di dalam otaknya,
pasukan yang pepat padat bersembunyi di sana. Sehingga seolah-olah pada setiap
batang didalam desa itu, berdiri seorang laskar Lembu Sora, yang siap menanti
kedatangan laskar Banyubiru itu dengan senjata di tangan. Arya Salaka pun
kemudian berdiri. Memanggil dua orang pembantunya, memberitahukan kepada kedua
sayap laskarnya. Mereka harus di hadapan hidung mereka. Disamping itu mereka
harus membentuk laskar cadangan, sebab ada kemungkinan, golongan hitam akan
mengail di air yang sedang keruh.
Kedua orang
itupun segera menyampaikan pesan Arya Salaka. Namun kedua orang itu masih belum
membawa perintah kepada sayap-sayap pasukan itu untuk bergerak. Disamping
kepada kedua orang itu, kepada Sendang Papat yang berada di dalam pasukan induk
itu, Arya Salaka pun telah memerintahkan untuk memisahkan sebagian laskarnya
yang harus tetap segera untuk menghadapi lawan baru yang setiap saat dapat
mengancamnya. Tetapi keterangan yang diberikan kepada sayap-sayap laskarnya,
sangat mempengaruhi dirinya sendiri. Golongan hitam akan mengail di air yang keruh.
Kenapa ia mesti mengeruhkan airnya? Tidak, bukan dirinya, tetapi pamannya.
APA yang
dilakukan Arya Salaka kini adalah akibat dari perbuatan pamannya. Kalau
pamannya tidak melakukan pelanggaran atas ketetapan adat yang berlaku, maka
iapun tidak akan melakukan perjuangan dengan kekerasan. Tegasnya, tanggungjawab
dari keributan yang bakal terjadi adalah terletak di pundak pamannya. Sekali
lagi Arya menengokkan wajahnya ke langit. Matahari telah semakin rendah, dan
sebentar lagi akan hilang dibalik bukit-bukit di sebelah barat. Burung-burung
seriti dan manyar telah berterbangan berputar-putar untuk mencari tempat
bermalam di atas pohon-pohon siwalan yang bertebaran di sana-sini.
“Baik, kami
atau mereka, tidak akan mulai hari ini, Paman,” kata Arya Salaka kemudian.
“Sebentar lagi
malam tiba.”
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar,
“Tetapi
mungkin besok pagi-pagi benar sebelum pecah fajar, kau harus sudah bertempur.”
Arya Salaka
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tiba-tiba tangannya membelai tombaknya seperti
membelai kepala adik kesayangannya. Adakah di dalam laskar pamannya nanti ikut
pula orang-orang Banyubiru yang berdiri di pihak Pamingit. Dan adakah diantara
mereka itu kawan-kawan sepermainan dahulu? Arya Salaka menjadi bersedih hati
mengenang kemungkinan-kemungkinan itu. Tombaknya itu mungkin besok akan menusuk
jantung kawan-kawannya sepermainan. Dan bukankah Sawung Sariti tidak hanya
kawan sepermainannya, tetapi justru saudara sepupunya? Tetapi meskipun demikian
pedang anak muda itu hampir saja menembus dadanya. Mahesa Jenar melihat
keragu-raguan yang membayang di wajah Arya Salaka, seperti ceritera tentang
Arjuna yang ragu-ragu pula, pada saat Baratayuda mulai pecah. Tetapi apa yang
dilakukan oleh Mahesa Jenar, sama sekali berbeda dengan apa yang dilakukan
Kresna pada waktu itu. Mahesa Jenar untuk sementara membiarkan saja Arya Salaka
diganggu oleh kegelisahannya.
“Sampai malam
nanti…” pikir Mahesa Jenar. Yang dihadapi oleh Arya Salaka kini bukanlah
pamannya itu sendiri. Inilah salah satu perbedaan dengan ceritera Baratayuda
itu. Tetapi ada pihak ketiga yang tidak kalah berbahaya. Bahkan laskar hitam
itu sama sekali tidak terikat pada suatu tata kesopanan ataupun kepercayaan
yang dapat mengendalikan kebiadaban serta kekejaman mereka.
Ketika
matahari kemudian terbenam, mereka masing-masing mencari tempat mereka
sendiri-sendiri untuk beristirahat. Di sana-sini bertebaran para petugas yang
harus mengawasi keadaan, dengan senjata siap di tangan. Sekali dua kali Arya
Salaka mengadakan peninjauan atas kesiapan anak buahnya. Sedang di sana-sini
tampak perapian menyala-nyala. Mereka kemudian seperti berpesta, ketika
serombongan orang-orang yang bertugas membawa kiriman makan datang ke tempat
itu. Kepada pembawa kiriman itu Arya Salaka berpesan,
“Bawalah untuk
besok pagi, sebelum ayam jantan berkokok untuk yang terakhir kalinya.
Kedudukan-kedudukan baru akan segera kami beritahukan, apabila pertempuran
sudah mulai.”
Kemudian
keadaan menjadi sepi kembali. Masing-masing mencoba untuk mempergunakan waktu
istirahat sebaik-baiknya. Namun di dalam dada Arya bergolaklah
persoalan-persoalan yang rasa-rasanya semakin rumit. Sebenarnya ia sudah sampai
pada waktunya untuk memerintahkan laskar di kedua sayapnya untuk bergerak.
Dalam pada itu, Mahesa Jenar menjadi semakin cemas pula atas setiap keputusan
yang diambil oleh Arya Salaka. Karena itu ia sama sekali tidak berani
meninggalkan anak itu. Meskipun seolah-olah ia sama sekali tidak ikut campur
pada setiap keputusan Arya Sakala, namun kehadirannya di samping anak muda itu
ternyata sangat berpengaruh.
“Paman…”
akhirnya Arya Salaka minta pertimbangan,
“Bagaimanakah
kalau aku mulai melepaskan sayap-sayap laskarku?”
Mahesa Jenar
pun telah merasa bahwa pada suatu ketika ia akan menghadapi pertanyaan seperti
itu. Pertanyaan yang sangat sulit untuk dijawab. Tetapi meskipun demikian ia
masih belum melepaskan usahanya. Katanya,
“Adakah kau
sudah menganggap cukup waktu?” Arya Salaka ragu. Karena itu ia bertanya,
“Kalau aku
kehilangan waktu, apakah itu tidak membahayakan kedudukan kita ini Paman?”
Arya Salaka
benar. Sedang orang-orang Pamingit itu telah siap di hadapannya. Mungkin mereka
akan membuka gelar lebih dahulu, Supit Urang, atau Garuda Nglayang. Tetapi
mereka tak akan dapat mengepung laskar ini, sebab Arya telah memisahkan kedua
sayapnya agak jauh. Meskipun demikian orang-orang Pamingit dapat memotong
sayap-sayap pasukan ini, untuk kemudian menyerang induk pasukan dengan gelar
yang sempit. Cakra Byuha atau Dirada Meta atau Gedong Minep. Namun menilik
watak Senapati yang akan memimpin laskar Pamingit itu, baik Sawung Sariti
maupun Lembu Sora sendiri, pasti tidak akan mempergunakan gelar terakhir.
Mereka pasti lebih senang memilih gelar Cakra Byuha atau Dirada Meta. Bahkan
mungkin seperti apa yang pernah mereka lakukan terhadap pasukan Demak dengan
jumlah yang sangat besar, Glatik Neba atau Samodra Rob. Dalam menilai keadaan,
Mahesa Jenar tidak dapat menutup kenyataan bahwa bukan salah Arya atau kalau
Arya kini tertekad bulat untuk bertempur. Sebab kalau ia tidak melakukan itu,
ia akan digilas oleh pasukan lawannya, yang barangkali saat ini sedang
merayap-rayap untuk membentuk gelar perang yang berbahaya. Maka kemungkinan
satu-satunya yang dapat dilakukan oleh Arya, apabila ia akan menghadap
eyangnya, adalah sekarang. Dan ia harus kembali sebelum tengah malam. Apabila
keadaan tidak menguntungkan, sayap-sayapnya masih akan dapat mencapai tempat
yang ditentukan sebelum fajar, dan memukul Banyubiru dari tiga jurusan. Tetapi
adakah Arya bermaksud demikian?
UNTUK
menjajagi perasaan anak itu, Mahesa Jenar berkata,
“Siapakah
menurut dugaanmu, yang akan madeg Senapati dari Pamingit pagi besok? Lembu
Sora, Sawung Sariti atau eyangnya Sora Dipayana?”
Mendengar nama
kakeknya tersebut, dada Arya berdesir. Bagaimanakah kalau benar eyangnya itu
yang memimpin pasukan Pamingit dan Banyubiru yang berpihak kepada Lembu Sora?
Melihat keragu-raguan Arya Salaka, Mahesa Jenar mengharap untuk dapat membawa
anak itu malam ini menghadap kakeknya. Karena itu ia mendesak,
“Kalau eyangmu
yang memimpin pasukan itu, jangan cemas. Ada aku dan Kakang Kebo Kanigara yang
akan membinasakan.”
Kembali dada
Arya Salaka berdesir. Justru karena ia percaya kepada gurunya. Ia percaya bahwa
Mahesa Jenar sekarang akan dapat melawan eyangnya, dan ia percaya kata-kata
gurunya, bahwa Kebo Kanigara dapat membinasakan kakeknya itu.
Tetapi
bagaimanakah kalau kakeknya itu benar-benar binasa? Teringatlah Arya Salaka
pada ceritera Endang Widuri siang tadi. Meskipun Bisma tidak sependapat dengan
Kurawa, demikian juga dengan Prabu Salya, namun karena kedudukan mereka, mereka
terpaksa bertempur melawan orang-orang Pandawa. Karena desakan hati mereka yang
putih dan tanpa pamrih, akhirnya mereka membiarkan diri mereka binasa, meskipun
mereka mengetahui sebelumnya. Bisma telah menyadari bahwa prajurit wanita yang
bernama Srikandi lah yang akan mengantarkan jiwanya menghadap Hyang Maha Agung.
Demikian juga Salya, bahkan memberitahukan bagaimana orang Pandawa harus
membunuhnya. Tetapi orang-orang Pandawa sempat menghadap mereka. Mohon maaf
atas segala kesalahan mereka, dan mereka mendapat restu dari kedua pepunden
itu.
Tiba-tiba
terdengar Arya berdesis,
“Bagaimanakah
kalau Eyang Sora Dipayana yang memimpin laskar Pamingit?”
“Sudah aku
katakan,” jawab Mahesa Jenar,
“Aku sanggup
melawannya.”
Runtuhlah
wajah Arya Salaka membentur tanah, seperti hatinya yang hancur. Tiba-tiba
mengambanglah airmatanya yang bening membasahi matanya. Kenapa ia harus
menghadapi keadaan yang sedemikian pahit. Terbayanglah masa kanak-kanaknya,
dimana ia sering dengan nakalnya didukung di punggung eyangnya. Berlari-lari.
Dan kadang-kadang eyangnya itu berdendang pula untuknya, dalam lagu tembang
yang menawan.
Melihat
keadaan itu, Mahesa Jenar segera mengambil kesempatan.
“Kenapa kau
berduka? Adakah kau takut kehilangan aku? Percayalah aku tak akan dapat
dikalahkan oleh eyangmu itu.”
Wajah Arya
menjadi semakin tunduk. Ia tidak menjawab. Yang terdengar kemudian adalah suara
Mahesa Jenar,
“Atau kau
cemaskan nasib eyangmu?”
Mendengar
perkataan itu, tanpa disadarinya, Arya Salaka menganggukkan kepalanya.
Cepat Mahesa
Jenar berkata sambil mengangguk-anggukan kepalanya,
“Arya,
sebenarnya di dalam dadamu telah lebih dahulu bergolak suatu pertempuran yang
dahsyat. Sebagai seorang anak muda, kau terlalu sulit untuk mengendalikan
dirimu. Tetapi karena tempaan watakmu yang baik, yang menetes dari keluhuran
budi ayahmu, telah memaksa perasaanmu untuk mencemaskan nasib, tidak saja
eyangmu, tetapi seluruh rakyatmu. Karena itu Arya Salaka, bagaimanakah dengan
usulku, tidakkah kau ingin bertemu dengan eyangmu sebelum api pertempuran ini
berkobar?”
Kembali dada
Arya tersentuh. Siang tadi ia merasa, bahwa yang demikian itu sama sekali tidak
ada gunanya. Karena itu, ia sama sekali tidak setuju dengan pendapat Mahesa
Jenar untuk sekali lagi menghadap ke Banyubiru. Tiba-tiba terasa sekarang,
bahwa alangkah baiknya hal itu dilakukan. Tetapi sekarang pasukannya telah
berhadap-hadapan. Kalau ia tidak segera mulai, orang-orang Pamingit yang akan
mengambil prakarsa, memulai pertempuran itu. Mahesa Jenar menangkap perasaan
yang bergolak didalam dada anak muda itu, maka katanya,
“Kalau kau
ingin menghadap eyangmu Arya, biarlah aku dan Kakang Kebo Kanigara menyertaimu
bersama-sama dengan Paman Wanamerta. Kalau orang-orang Pamingit itu curang,
kami dapat melakukan perlawanan sekadarnya, sambil memberi tanda kepada
pasukanmu untuk bergerak. Karena itu biarlah Paman Wanamerta membawa anak panah
sendaren, yang dapat mengaung di udara, atau anak panah api.”
Sekali lagi
Arya mengangguk kosong. Seolah-olah pikirannya terampas habis oleh kesulitan
perasaan yang dihadapinya.
“Kita
berangkat sekarang,” sambung Mahesa Jenar,
“berkuda, dan
membawa obor di tangan, supaya mereka tahu, bahwa kita bermaksud baik. Bukan
mata-mata yang menyusup ke daerah mereka. Sebelum tengah malam, kita harus sudah
berada di tengah-tengah laskar ini.”
Ketika Mahesa
Jenar meloncat berdiri, Arya pun berdiri. Segera Mahesa Jenar memberitahukan
maksudnya kepada Kebo Kanigara dan Wanamerta, yang segera bersiap-siap pula.
Kepada Rara Wilis, Kebo Kanigara menitipkan putrinya. Kepada Sendang Papat,
Arya Salaka berpesan, bahwa apabila panah sendaren-nya mengaum atau panah
apinya menyala di udara, laskar Banyubiru harus segera bertindak.
“Karena itu,
siapkan sebagian dari mereka,” katanya.
Sendang Papat
menjadi heran. Apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Maka bertanyalah ia,
“Apakah yang
akan kau lakukan Adi Arya Salaka?”
“Melihat medan
dan melihat keadaan kota,” jawabnya.
“Pekerjaan
yang berbahaya. Orang-orang Pamingit dapat menangkap tuan-tuan,” katanya kepada
Mahesa Jenar.
“Aku punya
alasan,” potong Arya,
“Aku akan
berpura-pura menghadap Eyang Sora Dipayana untuk bersujud di bawah kakinya
sebelum aku mulai dengan pertempuran.”
“Adakah alasan
itu dapat dimengerti oleh orang-orang Pamingit?” tanya Sendang Papat.
“Mudah-mudahan
mereka cukup jantan,” jawab Arya.
No comments:
Post a Comment