Bagian 050


”JAKA SOKA…?” tanya Kanigara pula.
”Tidak. Ia sedang bertengkar dengan Lembu Sora saat itu,” jawab Mahesa Jenar pula.
”Dapatkah kau mengatasi keadaan?”
”Tidak. Aku hampir saja mati. Untunglah aku terperosok ke dalam jurang karena pertolongan seseorang.”
”Bagaimana ia menolongmu?”
”Ia adalah orang yang cukup sakti untuk meruntuhkan tebing dimana pada saat itu aku sedang terdesak.”
Kanigara tersenyum. Hebat juga orang yang telah menolongnya itu.
”Siapakah dia?”
”Dialah yang aku sebut-sebut bernama Radite.”
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
”Jadi… orang yang sebenarnya berhak menamakan diri Pasingsingan itukah?”
”Ya.”

Kemudian mereka terdiam untuk beberapa saat. Angin malam berhembus perlahan mengusap wajah-wajah yang segar itu. Kanigara memandang berkeliling. Di sebelah Barat tampak berkilat-kilat memantulkan cahaya bulan, permukaan air Rawa Pening yang tenang seperti kaca. Sedikit ke arah barat tampaklah seperti gelombang hitam, batang-batang padi yang bergerak-gerak tersentuh angin.
”Inikah daerah yang harus dipimpin oleh Arya Salaka kelak?” tanya Kebo Kanigara.
”Ya. Membujur ke barat dan menjorok ke utara sepanjang tepi Rawa Pening,” jawab Mahesa Jenar.
Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya sekali lagi.
“Memang Banyubiru adalah tanah yang patut diperebutkan. Daerah yang subur dan memiliki sungai-sungai yang cukup, sehingga sawah ladangnya tidak saja selalu tergantung pada jatuhnya hujan”.
Sesaat kemudian kembali mereka meneruskan perjalanan. Ketika mereka sampai di sebuah hutan kecil, mereka berhenti untuk melepaskan lelah. Ketika matahari pagi mulai menerangi punggung-punggung bukit, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mulai dengan perjalanannya kembali. Kuda-kuda mereka nampaknya menjadi segar dan berlari-lari dengan riangnya. Hutan-hutan di daerah ini bukanlah merupakan hutan-hutan yang lebat. Sebab hampir setiap hari daerah ini dirambah oleh orang-orang yang mencari kayu. Kaki-kaki kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terdengar berderap-derap dalam irama angin pagi. Debu yang putih tipis mengepul-ngepul dilemparkan oleh kaki-kaki kuda itu. Tetapi sesaat kemudian telah lenyap terhambur oleh hembusan angin.
Mereka menempuh perjalanan pada hari terakhir. Mereka mengharap bahwa malam nanti mereka telah sampai pada arah yang harus mereka tuju.

Di daerah ini perjalanan mereka tidaklah dapat begitu lancar. Karena Mahesa Jenar masih harus mengingat-ingat jalan manakah yang pernah ditempuhnya dahulu. Sebab baru sekali ia pernah ke tempat yang ditujunya sekarang. Itu saja pada arah yang berlawanan. Untunglah bahwa ketajaman ingatannya cukup terlatih untuk mengenal daerah-daerah baru. Sebagai seorang prajurit, hal yang sedemikian adalah sangat berguna. Mereka sampai ke tempat tujuan ketika matahari masih tampak tergantung di langit sebelah barat. Meskipun sinarnya sudah tidak begitu kuat, namun pantulan cahaya ujung-ujung dedaunan nampak berkilat-kilat. Alangkah segarnya alam. Karena itu mereka masih harus beristirahat kembali sambil menunggu matahari itu membenamkan diri, sebelum mereka memasuki daerah yang disebut oleh penghuninya Pudak Pungkuran. Sambil beristirahat mereka memperbincangkan apakah yang kira-kira akan terjadi. Mereka mengharap bahwa mereka menempuh jalan yang benar. Dalam pada itu merekapun masih harus menilai-nilai diri. Terutama Mahesa Jenar. Apakah dalam tingkatannya yang sekarang ia sudah dapat menempatkan dirinya sejajar dengan angkatan gurunya.
”Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara,
”Menurut pendapatku, kau benar-benar sudah mencapai tingkatan ayah Pengging Sepuh. Bahkan andaikata ayah Pengging Sepuh itu masih ada sekarang, belum tentu ayah dapat menang bertempur melawanmu. Sebab tenagamu masih penuh, disamping pengalamanmu yang aneh-aneh yang barangkali tidak terlalu banyak orang lain mengalami. Kesenanganmu bersama muridmu mengamat-amati gerak-gerik binatang adalah sangat berguna bagi ilmumu. Dan bukankah kau telah pernah membuktikannya pula untuk melawan Sima Rodra tua. Kekalahan Sima Rodra adalah karena ia hanya mengagumi ketangkasan dan kekuatan seekor harimau. Sedang kau tidak. Kau mengagumi ketangkasan harimau tetapi kau mengagumi pula kelincahan seekor kijang, bahkan seekor kelinci sekalipun.”
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu. Jawabnya,
”Terima kasih Kakang. Dan bukankah itu berkat hadirnya seorang Mahesa Jenar palsu di kaki bukit Karang Tumaritis?”
Kanigara tersenyum pula.
”Aku hanya merupakan lantaran supaya kau sudi sedikit membuang waktu untuk mendalami ilmumu. Tidak saja berjalan dari satu daerah ke daerah yang lain, meskipun kehadiranmu di daerah-daerah itu ternyata sangat berguna pula.”

Sementara itu langit telah bertambah buram. Dan sesaat kemudian lenyaplah cahaya matahari yang terakhir. Meskipun kemudian bulan muncul pula di langit, namun sinarnya tidaklah terlalu cerah. Pada saat yang demikian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara meneruskan perjalanan mereka, memasuki sebuah pedukuhan kecil yang masih belum banyak mengalami perubahan seperti empat atau lima tahun yang lalu. Ketika mereka sampai di depan sebuah rumah di ujung pedukuhan kecil itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera meloncat turun dan kemudian menambatkan tali kudanya pada sebatang pohon. Mereka sama sekali tidak memperdulikan wajah-wajah yang terheran-heran mengintip dari sela-sela daun pintu hampir dari setiap rumah, ketika penduduk di pedukuhan terpencil itu mendengar derap dua ekor kuda di jalan-jalan mereka. Hal yang demikian adalah jarang sekali, bahkan hampir belum pernah terjadi. Ketika penghuni rumah di ujung jalan itu mendengar langkah kuda di halaman, maka segera tampaklah ia membuka pintu rumahnya. Sebuah wajah yang telah meninggalkan usia pertengahan menjelang saat-saat senja dalam edaran hidupnya, menjenguk keluar. Mula-mula tampak keningnya berkerut. Lalu kemudian membayanginya sebuah senyuman yang jernih. Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Wajah yang ditandai oleh dahi yang lebar, bibir yang tebal, dan hidung yang besar, serta rambut yang mulai memutih, namun dari bawah dahinya memancarkan sinar matanya yang bersih lembut.
Ketika orang itu dengan tergopoh-gopoh datang menyongsongnya, Mahesa Jenar membungkuk hormat serta berkata,
”Selamat malam Kiai. Mudah-mudahan kedatanganku tidak mengejutkan Kiai.”
”Tidak, tidak Angger. Aku senang kau sudi menjenguk aku kembali,” jawabnya.

Kemudian Mahesa Jenar memperkenalkan Kebo Kanigara sebagai seorang Putut dari Padepokan Karang Tumaritis dan bernama Putut Karang Jati.
”Marilah Angger berdua, marilah masuk,” ajaknya.
Kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengikuti orang tua itu memasuki rumahnya. Belum lagi mereka mulai dengan sebuah percakapan, tiba-tiba sebuah tubuh yang tinggi kekurus-kurusan berkulit merah tembaga terbakar oleh teriknya matahari, namun bermata terang seterang bintang-bintang di langit, telah berdiri di muka pintu. Dengan sebuah tawa yang memancar langsung dari dadanya ia menyambut kedatangan Mahesa jenar. Katanya,
”Aku tidak mimpi apapun malam tadi, serta siang tadi burung-burung prenjak tidak berkicau. Tetapi tiba-tiba membayanglah teja di langit.”
Mahesa Jenar tersenyum sambil membungkuk hormat pula kepada orang itu. Demikian pula Kebo kanigara. Melihat kedua orang itu, segera Kebo Kanigara mengetahui, bahwa meskipun mereka berpakaian petani seperti kebanyakan petani, namun kedua orang itu pasti bukanlah sembarang petani. Karena itu segera ia dapat menebak, bahwa kedua orang itulah yang oleh Mahesa Jenar dimaksud bernama Paniling dan Darba, atau yang bernama sebenarnya Radite dan Anggara.

DARBA selanjutnya meneruskan,
”Ketika aku mendengar derap kuda, aku bertanya-tanya dalam hati, siapakah orang yang terperosok ke pedukuhan kecil ini? Tetapi beberapa orang yang sempat mengintip dari celah-celah pintu berkata kepadaku, bahwa orang berkuda itu menuju ke rumah Kakang Paniling. Karena itulah aku segera datang kemari. Dan dugaanku benar. Bahwa pasti orang yang datang dari jauhlah yang telah mengunjungi rumah ini.”
”Demikianlah Paman…” jawab Mahesa Jenar. Dan kepada Darba pun Mahesa Jenar memperkenalkan Putut Karang Jati.
Mereka setelah masing-masing mengucapkan salam selamat, mulailah Paniling dan Darba bertanya-tanya mengenai keadaan Mahesa Jenar selama ini tanpa prasangka apapun. Namun Mahesa Jenar hanya berusaha menjawab beberapa hal saja. Akhirnya Paniling dan Darba merasa bahwa sikap Mahesa Jenar agaknya kurang wajar. Karena itu kemudian Paniling bertanya
”Angger, aku sangka kedatangan Angger mengandung suatu keperluan yang penting, yang barangkali agak tergesa-gesa. Nah, angger. Katakanlah. Kalau saja kami berdua dapat menolong kesulitan angger, biarlah kami berusaha untuk menolongnya.”
Sesaat Mahesa Jenar menjadi ragu-ragu. Beberapa kali ia memandang kepada Kebo Kanigara. Tetapi karena Kebo Kanigara sedang menundukkan mukanya, merenungi lantai, maka ia tidak melihatnya.

Akhirnya Mahesa Jenar memutuskan untuk melaksanakan rencananya. Meskipun dengan dada yang berdebar-debar. Tetapi ia berdoa agar segala sesuatu dapat berlangsung dengan baik.
Maka kemudian berkatalah ia,
”Paman berdua… benarlah dugaan Paman. Aku datang dengan suatu keperluan yang penting. Meskipun dengan berat hati, namun terpaksalah aku akan melakukan kewajibanku, kewajiban kepada negara dan rakyat.”
Paniling dan Darba bersama-sama mengerutkan keningnya. Mereka menduga-duga, apakah yang akan dilakukan oleh Mahesa Jenar berdasarkan atas kewajibannya kepada negara dan rakyat?
”Paman…” Mahesa Jenar meneruskan,
”Setelah beberapa tahun aku berkeliling hampir seluruh sudut negeri ini untuk mencari kedua keris Demak yang lenyap seperti yang pernah aku katakan dahulu, dan sama sekali aku tidak menemukan jejaknya, maka berdasarkan pengamatanku, atas seseorang yang mengambil keris itu langsung dari Banyubiru, akhirnya aku berkesimpulan, bahwa tidak ada orang lain yang demikian saktinya, melampaui kesaktian Pasingsingan, serta berjubah abu-abu seperti Pasingsingan pula, selain salah seorang dari kedua paman ini. Paman Radite atau Paman Anggara.”
Perkataan Mahesa Jenar yang diucapkan kata demi kata dengan jelasnya itu, bagi Paniling dan Darba, seolah-olah menggelegarnya berpuluh-puluh guntur bersama-sama di atas kepala mereka. Sehingga dengan demikian, malahan seolah-olah tidak sepatah katapun yang dapat mereka tangkap dengan jelas. Karena itu dengan agak ragu-ragu pada pendengarannya, Paniling bertanya,
”Angger, apakah yang Angger katakan itu?”
”Maafkanlah aku Paman,” Mahesa Jenar menjelaskan,
”Bahwa aku akhirnya berkesimpulan. Keris -keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten agaknya berada di tangan paman salah seorang atau kedua-duanya.”
Paniling dan Darba bersama-sama menarik nafas panjang. Untunglah bahwa umur mereka yang telah lanjut, menyebabkan mereka dapat mengendapkan setiap perasaan yang paling pedih sekalipun.

Dengan sareh terdengar Paniling menjawab,
”Angger, beberapa tahun yang lampau telah aku katakan, bahwa akupun ikut merasa sedih atas lenyapnya kedua keris itu. Tetapi orang yang berjubah abu-abu itu bukanlah salah seorang diantara kami. Apakah pamrih kami dengan menyimpan kedua keris itu…? Kami telah merasa berbahagia hidup di padepokan ini bersama-sama dengan para petani. Sebab mereka adalah orang-orang yang berhati terbuka. Demikian yang dikatakan, demikian pulalah yang dipikirkan. Di sini aku merasa bahwa hidup kami telah penuh dengan arti.”
”Paman…” jawab Mahesa Jenar,
”Sekali lagi aku mohon maaf. Tetapi sayang Paman, bahwa aku tidak dapat berkesimpulan lain daripada itu.”
Darba menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mata yang suram ia berkata,
”Bagaimana aku dapat menduga yang demikian Angger. Kami sama sekali tidak melihat adanya suatu keuntungan apapun dengan menyimpan kedua keris itu. Sedang kami tahu, bahwa orang lain sangat memerlukannya. Seandainya kedua keris itu ada pada kami, maka dengan senang hati akan kami serahkan kepada Angger Mahesa Jenar.”
”Paman, aku tidak tahu siapakah yang berdiri di belakang Paman. Aku juga tidak tahu, apakah Paman mempunyai seorang calon untuk merebut tahta.”
Kembali Paniling dan Darba terkejut bukan buatan. Perlahan-lahan tanpa disadarinya mereka mengelus dada. Katanya,
”O… Ngger…. Jangan berpikiran demikian. Aku berdua sama sekali tidak mempunyai seorang muridpun. Juga kami berdua tidak mempunyai anak keturunan. Apalagi membayangkan seseorang untuk menduduki tahta kerajaan. Sungguh Ngger, mimpi pun aku tidak berani.”
Mahesa Jenar tertawa dingin. Sahutnya,
”Aku sudah bertanya kepada lebih dari seratus orang. Semuanya menjawab seperti jawaban Paman berdua itu. Apalagi Paman berdua adalah dua orang sakti yang hampir tak ada bandingnya di dunia ini.”
Sekali lagi Paniling dan Darba menarik nafas dalam-dalam. Terdengarlah Darba menjawab dengan nada sedih,
”Angger Rangga Tohjaya… Angger seharusnya bijaksana. Seandainya kami berdua benar-benar sakti seperti apa yang Angger sebutkan. Namun mustahillah bahwa kami berdua akan dapat menguasai seluruh prajurit dan pengawal kerajaan, meskipun kami menyimpan sipat kandel Demak. Yaitu Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”

MAHESA JENAR tertawa semakin keras.
”Hampir setiap anak kecilpun mengetahui, bahwa dengan berpegangan pada kedua sipat kandel itu Paman berdua mengharapkan seluruh istana akan tunduk dengan sendirinya tanpa kekerasan.”
”Angger…” potong Paniling,
”Pandanglah wajah-wajah kami yang telah mulai berkeriput ini. Apakah terbayang nafsu duniawi yang berlebih-lebihan? Kalau demikian maka kami adalah orang-orang tua yang paling berdosa di dunia ini. Kami yang telah bertekad untuk meninggalkan segala nafsu duniawi dan berusaha untuk menenteramkan diri serta mendekatkan diri pada sesembahan kami yang langgeng. Tuhan Yang Maha Besar.”
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya. Dengan tajam ia memandang Paniling dan Darba berganti-ganti. Lalu katanya dengan lantang,
”Aku tidak percaya, bahwa kalian sudah tidak mempunyai pamrih duniawi lagi. Dan ketahuilah, bahwa pada wajah kalian memang terbayang nafsu yang berlebih-lebihan.”
Paniling dan Darba tersentak mendengar jawaban itu. Beberapa saat wajah mereka menjadi tegang. Tetapi sesaat kemudian wajah-wajah itu menjadi semakin sayu. Dengan nada yang sedih terdengar Paniling menjawab,
”Jadi, adakah Angger Mahesa Jenar tetap pada pendirian Angger, menyangka bahwa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada pada kami…?”
”Ya,” jawab Mahesa Jenar tegas.
”Kalau demikian, lalu apakah yang akan Angger lakukan?” lanjut Paniling.
”Serahkanlah keris-keris itu kepadaku.” Suara Mahesa Jenar menjadi semakin tegas.
”Sayang, kami tidak dapat melakukan karena tidak ada yang dapat kami serahkan,” jawab Paniling pula.
”Aku akan membuktikan bahwa keris itu berada di tempat ini,” potong Mahesa Jenar.

Paniling dan Darba menggeleng-gelengkan kepala. Untuk beberapa lama mereka saling berpandangan. Sampai akhirnya terdengarlah Paniling menjawab dengan suara yang agak dalam,
”Kalau Angger ingin membuktikan, kami persilakan dengan senang hati.”
Mahesa Jenar menjadi tidak sabar lagi. Ia ingin Paniniling dan Darba menjadi marah. Karena itu ia membentak seperti membentak pesakitan,
”Hai paman berdua, jangan coba berputar-putar lagi. Aku dapat bertindak lunak. Tetapi aku juga dapat berbuat kasar. Jangan membantah lagi. Berdirilah dan tunjukkan kedua keris itu, di mana kau sembunyikan.”
Dahi Paniling dan Darba menjadi bertambah berkerut. Akhirnya dengan lemah terdengar Paniling menjawab,
”Angger… barangkali Angger benar. Bahwa aku telah berbuat diluar tahuku sendiri. Kalau demikian terserahlah kepada Angger. Kalau Angger ingin menghukum kami berdua, hukumlah. Lakukanlah yang Angger anggap paling benar dan adil. Kami tidak akan ingkar. Kalau Angger menganggap bahwa kami sepantasnya dihukum mati, dipancung atau digantung, lakukanlah itu. Kami akan menjalani penuh keiklasan dan kami akan tersenyum pada saat akhir kami.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Demikian agaknya Kebo Kanigara. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa kedua orang itu sudah demikian iklasnya menghadapi maut sekalipun, untuk membuktikan betapa bersih mereka.
Karena itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata ia tidak berhasil membuat kedua orang itu marah dan menantangnya berkelahi. Bahkan kemudian Mahesa Jenar menjadi terharu sehingga terpaksa menundukkan kepala.
Apalagi ketika terdengar Darba melanjutkan kata-kata Paniling,
”Anakmas agaknya mempunyai wewenang untuk bertindak. Baik sebagai seorang yang setia pada keyakinannya atau bahkan barangkali Anakmas sekarang benar-benar sedang mengemban tugas sebagai seorang prajurit. Kalau dengan menjalani tindak kekerasan, kami dapat melapangkan tugas Angger maka kami akan merasa bahagia karenanya.”
Mahesa Jenar kemudian tidak mengerti lagi apa yang harus dilakukan. Ia sudah berusaha untuk memancing kemarahan kedua orang itu, namun ternyata sia-sia.

Dalam pada itu Kebo Kanigara yang sebenarnya terharu pula atas keiklasan kedua orang itu untuk pasrah diri, tiba-tiba tertawa nyaring.
”Hai orang-orang yang berjiwa kerdil… buat apa kami membunuh kalian? Ketahuilah bahwa sebenarnya aku adalah seorang petugas dari Istana. Akulah yang bernama Tumenggung Surajaya. Kalau kalian tidak mau menyerahkan kedua keris itu sekarang, maka kalian akan kami bawa menghadap ke Istana Demak. Aku berwenang untuk menghukum kalian, dan hukuman yang aku rencanakan adalah mengikat leher kalian, serta menggiring kalian keliling kota. Setiap orang yang berpapasan harus mengucapkan kata-kata penghinaan terhadap kalian. Perempuan dan anak-anak harus melempari kalian dengan batu. Sedang laki-laki dapat berbuat sekehendaknya atas kalian.”
Mahesa Jenar sendiri terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga tanpa disengaja ia mengawasi Kebo Kanigara dengan tajamnya. Namun Kanigara masih saja tertawa, malahan semakin keras.

BAGAIMANAPUN jernihnya hati yang tersimpan di dalam dada Paniling dan Darba, namun mereka adalah manusia juga. Manusia yang memiliki kesadaran diri atas derajadnya sebagai manusia. Karena itu, ketika mereka mendengar kata-kata hinaan tamunya, dada mereka terasa bergetar juga. Dalam pada itu agaknya Darba yang lebih muda daripada Paniling, yang mula-mula merasa bahwa kelakuan tamu mereka sudah berlebihan. Dengan nafas yang semakin cepat beredar, beberapa kali ia menelan ludahnya. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menahan diri supaya ia tidak melakukan hal-hal yang dapat mengotori diri mereka.
Baru beberapa saat kemudian, sambil membungkuk hormat Darba berkata,
”Tuan… maafkanlah kami. Kalau kami tidak mengetahui sebelumnya bahwa yang sudi datang ke pondok kami adalah seorang tumenggung. Karena itu terimalah sembah bekti kami berdua.”
Kebo Kanigara tertawa masam. Jawabnya,
”Aku sama sekali tidak membutuhkan segala macam upacara yang tak berarti itu. Kedatanganku adalah untuk kepentingan yang jauh lebih besar daripada salam yang akan menyenangkan hatiku.”
”Bukan itulah maksud kami,” potong Darba yang nafasnya semakin berdesakan di dalam rongga dadanya.
”Tetapi memang seharusnyalah kami menghormati Tuan. Hanya sayanglah bahwa Tuan telah menjalankan pekerjaan agak kurang bijaksana.”
”Apa…?” bentak Kebo Kanigara sambil membelalakkan mata.
”Kau bilang aku kurang bijaksana…? Hai orang-orang yang tak berarti, berjongkoklah dan cium telapak kakiku sambil mengucapkan permohonan maaf atas kelancangan mulutmu.”

Paniling yang berdada luas lautan pun kemudian menjadi tidak senang. Bahkan Mahesa Jenar sendiri menganggap bahwa Kebo Kanigara sudah agak terlalu jauh. Namun Mahesa Jenar sadar, kalau tidak demikian maka kedua orang itu pasti tidak akan dapat marah.
”Baiklah, aku mohon maaf,” sahut Darba,
”Namun biarlah aku tidak usah berjongkok dan mencium telapak kaki Tuan. Sebab barangkali aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal itu.”
Mata Kebo Kanigara menjadi semakin terbelalak.
”Patuhi perintah, hai orang tua yang tak malu,” teriaknya.
”Sekarang aku menjadi tidak percaya bahwa kalianlah yang bernama Radite dan Anggara. Sebab kalian tidak lebih daripada sisa-sisa orang paria yang berkeliaran sejak zaman pemerintahan Majapahit. Kalian tidak pantas mendapat pelayanan sebagaimana aku menjadi manusia yang paling hina sekalipun dari sisa-sisa golongan sudra.”

Sekarang Darba sudah tidak dapat membiarkan dirinya dihina lebih jauh. Apalagi ketika disebut sebutnya nama Radite dan Anggara. Namun yang selama ini disembunyikan untuk tidak dilekati oleh noda. Karena itu tiba-tiba matanya menjadi bercahaya kembali. Cahaya yang memancar kemerah-merahan karena marah yang terpendam di dalam dada. Kemudian katanya,
”Terserahlah kepada Tuan. Namun sayang bahwa aku tidak ingin berbuat seperti yang Tuan maksudkan.”
Wajah Kebo Kanigara tampak benar-benar menjadi merah. Dengan garangnya ia melangkah ke arah Paniling yang duduk di hadapannya. Sambil menunjuk kepada Darba yang berada di depan pintu, ia berteriak,
”Hai kau tua bangka, suruh adikmu melakukan perintahku.”
Perlahan-lahan Paniling menggelengkan kepalanya. Terdengar suaranya lirih namun terasa betapa getaran kemarahan melontar hampir tak terkendali.
”Tidak, Tuan. Aku tidak dapat menyuruhnya berbuat demikian.”
”Lakukan perintahku,” ulang Kebo Kanigara.
”Atau aku harus datang kepadamu dengan membawa seorang perempuan seperti yang dilakukan Umbaran untuk memaksamu?”
Kata-kata Kanigara itu langsung menyentuh luka yang paling dalam. Karena tajamnya lebih daripada segala macam kata hinaan. Tiba-tiba tanpa disengaja Paniling telah tegak berdiri. Matanya memancar merah serta nafasnya berkejar-kejaran melalui lubang hidungnya yang besar. Kemudian terdengarlah kata-katanya bergetar. Kata-kata seorang jantan yang pernah bergelar Pasingsingan. Yang pernah merantau dari satu tempat ke tempat lain untuk mengamalkan kebajikan. Karena itulah maka kata kata-kata itupun mempunyai pengaruh yang luar biasa atas Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar.
”Angger berdua… aku sudah mengatakan apa yang aku ketahui dan apa yang iklaskan. Tetapi Angger berdua minta terlalu banyak dariku. Karena itu biarlah aku berikan yang paling berharga yang ada padaku, yaitu namaku Radite. Tetapi nama itu agak berbeda dengan nama Paniling, seorang petani yang tidak berharga. Tuan boleh berbuat sekehendak Tuan atas seorang petani yang bernama Paniling dan Darba. Tetapi tidak demikian atas nama Radite dan Anggara. Nah, Tuan… apakah yang tuan-tuan kehendaki sekarang, ambillah. Tetapi jangan mengharap Tuan dapat mengambilnya begitu saja. Nama itu adalah sama berharganya dengan nyawa kami.”

Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar kata-kata itu. Apalagi ketika mereka melihat sikap Paniling dan Darba yang tiba-tiba telah berubah. Sikapnya kemudian benar-benar meyakinkan bahwa kedua orang itu adalah orang-orang sakti yang jarang dicari bandingannya. Namun Kebo Kanigara adalah seorang sakti pula. Seorang yang masih cukup muda untuk berkembang terus, namun yang telah melampaui kesaktian ayahnya sendiri, Ki Ageng Pengging Sepuh. Sedangkan Mahesa Jenar telah menemukan inti ilmu Perguruan Pengging. Apalagi mereka telah melakukan semuanya itu dengan sengaja. Sengaja memancing pertengkaran dan pertempuran dengan orang yang bernama Radite dan Darba, murid terpercaya dari Pasingsingan Sepuh.
Kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar telah tegak pula. Dengan bentakan-bentakan marah, Kebo Kanigara berkata,
”Bagus… bagus…. Begitulah seharusnya orang yang bernama Radite berkata. Aku, Tumenggung Surajaya, kepercayaan Sultan Demak, serta Adi Rangga Tohjaya pasti akan melakukan tugasnya dengan baik. Nah, keluarlah. Biar aku renggut nama kebanggaanmu dengan usaha seorang laki-laki.”

KEBO Kanigara tidak menunggu Paniling menjawab kata-katanya. Cepat ia mendahului melangkah keluar pintu, diikuti oleh Mahesa Jenar. Sementara itu Paniling menjadi ragu pula ketika dilihatnya kedua tamunya lenyap dibalik pintu, terjun ke dalam gelapnya malam. Sekali lagi tangannya menekan dadanya untuk mencoba mencari kembali pikirannya yang bening. Namun akhirnya ketika dilihatnya Darba telah meloncat pula keluar pintu, dengan ragu iapun keluar. Di luar ia melihat Kanigara telah bersiap. Bahkan demikian ia melangkah keluar, terdengarlah Kebo Kanigara berteriak,
”Hati-hatilah, hai orang yang bernama Radite. Aku datang untuk membunuhmu.”
Demikian suara itu lenyap ditelan angin malam, tampaklah tubuh Kanigara dengan garangnya melayang menyerang Ki Paniling. Paniling yang sebenarnya bernama Radite terkejut sekali mendapat serangan yang demikian tiba-tiba, cepat dan luar biasa kuatnya. Dengan demikian dapat mengukur betapa sakti lawannya. Dalam pada itu timbul pula pertanyaan dalam dirinya, tentang orang yang mengaku bernama Tumenggung Surajaya. Tetapi ia sempat banyak berpikir. Lawannya bergerak demikian cepat dan berbahaya. Karena itu iapun segera harus melayaninya. Maka segera terjadilah perkelahian yang dahsyat. Perkelahian antara dua orang sakti yang sukar dicari bandingnya. Dalam pada itu segera terasa oleh Kebo Kanigara bahwa Radite benar-benar seorang yang benar-benar sakti. Seorang yang telah mencapai tingkatan yang sangat tinggi dalam meresapi ilmunya. Meskipun orangtua itu tidak tampak terlalu banyak bergerak, namun setiap gerakannya mengandung unsur-unsur yang sangat berbahaya.

Sebaliknya setelah mereka bertempur beberapa saat, Radite pun menjadi heran atas lawannya yang masih muda itu. Dalam usia yang baru menjelang pertengahan abad telah memiliki ilmu yang sedemikian sempurna. Bahkan kadang-kadang sangat membingungkan. Apalagi ketika Radite melihat beberapa unsur gerak yang dikenalnya dengan baik. Unsur-unsur gerak dari sahabatnya almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh. Meskipun dalam beberapa hal telah banyak mengalami perubahan, namun unsur-unsur pokok masih jelas sebagaimana pernah dilihatnya dahulu. Kemudian pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Dua orang yang sakti, yang dengan ilmu-ilmunya sedang berjuang untuk menguasai lawannya. Karena Kanigara masih belum berkenalan sebelumnya maka ia dapat bertempur dengan baik tanpa segan-segan. Dan karena itu pula, pertempuran itu pun menjadi seru sekali. Darba dan Mahesa Jenar melihat pertempuran itu dengan kagumnya. Bahkan Darba pun akhirnya melihat pula persamaan antara orang yang menamakan dirinya Tumenggung Surajaya itu dengan Ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itu ia bertanya dalam otaknya, siapakah orang itu dan apakah hubungannya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh serta Mahesa Jenar. Tetapi disamping itu ia menjadi sangat heran, bahwa Mahesa Jenar berkeras hati menyangka bahwa keris-keris pusaka Demak berada di tempat mereka. Bahkan akhirnya Darba menyangka bahwa orang itu pasti mempunyai garis keturunan ilmu dengan Mahesa Jenar, dan orang itu sengaja diajaknya untuk mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dalam pada itu Mahesa Jenar tidak mau untuk menjadi penonton saja. Ia pun harus ikut dalam persoalan yang diharapkan akan memecahkan beberapa persoalan yang penting dalam hidupnya dan masa depannya. Karena itu ketika Darba sedang asik memperhatikan pertempuran antara Radite dan Kebo Kanigara, berteriaklah Mahesa Jenar,
”Paman Anggara… karena Paman Anggara ikut pula dalam usaha menyembunyikan pusaka-pusaka Istana itu, maka Paman pun harus menerima hukumannya.”

Anggara yang sehari-hari menamakan dirinya Darba, terkejut. Apakah yang dikehendaki Mahesa Jenar…? Dan ketika ia melihat Mahesa Jenar bersiap untuk menyerangnya, ia menjadi bertambah heran. Beberapa tahun yang lalu ia pernah bertemu dengan orang itu. Ilmunya tak lebih dari tingkatan seorang murid dibandingkan dengan ilmunya. Meskipun Anggara tak pernah merendahkan orang lain, namun terhadap Mahesa Jenar tidaklah sewajarnya kalau ia terpaksa bertempur. Karena itu Darba pun menjawab,
”Angger Mahesa Jenar… biarlah pamanmu Radite mempertahankan nama baiknya sekaligus namaku. Sebaiknya kita tidak usah ikut serta dalam perselisihan ini. Meskipun barangkali kau juga mengemban tugas sebagai seorang prajurit seperti Tumenggung Surajaya itu pula, Mahesa Jenar… namun biarlah pertempuran mereka itu yang menentukan nasibmu. Kalau Kakang Radite binasa karena benar-benar berdosa terhadap negara, biarlah nanti aku kau binasakan pula. Tetapi kalau ternyata Kakang Radite tidak bersalah, aku harap kau menerima pula kenyataan itu. Dan untuk seterusnya kau tidak lagi menganggap kami menyembunyikan pusaka-pusaka itu.”
Mendengar jawaban Anggara, Mahesa Jenar menjadi ragu. tetapi ketika ia melihat pertempuran antara kebo Kanigara dan Radite menjadi bertambah seru dan berbahaya, ia tidak mau tinggal diam. Dengan ikut sertanya dalam pertempuran itu ia mengharap segala sesuatunya akan menjadi jelas pula. Apakah ia telah menempuh jalan yang benar atau tidak. Karena itu sekali lagi ia berteriak,
”Paman Anggara terserahlah kepadamu. tetapi Rangga Tohjaya wajib melakukan kewajibannya.”
Selesai dengan kata-katanya, segera Mahesa Jenar meloncat dan langsung menyerang dada Anggara dengan kecepatan luar biasa. Melihat serangan Mahesa Jenar, Anggara mau tidak mau secara naluriah terpaksa meloncat mengelak. Sebenarnya Anggara masih ingin memperingatkan Mahesa Jenar. Tetapi demikian Mahesa Jenar gagal dengan serangan pertamanya, langsung ia berputar dan meluncurkan kakinya ke arah lambung Anggara dengan dahsyatnya. Serangan kedua ini benar-benar tidak disangka-sangka. Sedang Mahesa pun bergerak dengan kecepatan penuh. Sebenarnya maksudnya hanya untuk meyakinkan Anggara bahwa dalam tingkatannya yang sekarang, ia telah cukup dewasa untuk bertempur melawannya. Tetapi tanpa disengaja, serangannya itu benar-benar telah membahayakan lawannya, sehingga ia menjadi terkejut sendiri ketika melihat Anggara benar-benar tidak sempat menghindar.

ANGGARA yang tidak menduga sebelumnya, bahwa Mahesa Jenar mampu bergerak secepat itu, benar-benar telah kehilangan kesempatan untuk menghindar. Karena itu, segera ia menekuk kakinya, sedikit merendahkan tubuhnya, sambil melindungi lambungnya dengan sikunya untuk menangkis serangan Mahesa Jenar. Dengan demikian maka terjadilah benturan yang sengit antara kaki Mahesa Jenar dengan siku Anggara. Akibatnya mengejutkan. Bahkan tidak diduga-duga oleh Mahesa Jenar dan juga oleh Anggara. Dalam benturan yang terjadi, Anggara dan Mahesa Jenar masing-masing terdorong surut. Bagi Mahesa Jenar yang sejak semula mengagumi kesaktian kedua tokoh murid Pasingsingan itu, menjadi heran bahwa kekuatan yang ada pada dirinya, setelah ia bekerja keras untuk menemukan inti sari dari ilmunya, dapat mengimbangi kekuatan Anggara. Sedangkan Anggara menjadi heran dan bertanya-tanya di dalam hati, siapakah yang telah mengubah Mahesa Jenar dalam waktu-waktu terakhir ini menjadi seorang yang demikian kuatnya. Tetapi karena itulah maka akhirnya Anggara menjadi sadar, bahwa Mahesa Jenar benar-benar telah memiliki bekal untuk melakukan tugasnya. Dengan demikian. Anggara kemudian benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Sesaat kemudian kembali Mahesa Jenar menyerang dengan cepatnya. Tetapi kali ini Anggara telah dapat mengetahui, bahwa Mahesa Jenar sekarang bukanlah Mahesa Jenar beberapa tahun lalu, ketika bersama-sama dengan Mantingan, Wiraraga, Gajah Alit dan Paningron bertempur melawan Sima Rodra tua dari Lodaya dan Pasingsingan. Ketika itu Mahesa Jenar berlima tidak lebih daripada lima ekor tikus melawan dua ekor kucing yang ganas. Tetapi tikus itu kini telah berubah tidak saja sebagai seekor kucing yang ganas, namun benar-benar telah berubah menjadi seekor harimau yang garang. Karena itulah maka Anggara pun menyambut serangan Mahesa Jenar dengan penuh kewaspadaan. Kewaspadaan seorang sakti yang mempunyai perbendaharaan pengalaman seluas lautan.

Di ujung padukuhan kecil yang sepi itu terjadilah dua lingkaran pertempuran yang sengit. Dua pasang orang-orang sakti. Namun karena kepercayaan mereka pada diri sendiri, serta sifat-sifat kejantanan yang mereka miliki, maka pertempuran itu tidak banyak menimbulkan keributan. Masing-masing bertempur dengan berdiam diri. Hidup atau mati mereka sepenuhnya mereka percayakan kepada sumber hidup mereka. Tetapi pertempuran itu sendiri merupakan pertempuran yang dahsyat tiada taranya. Kebo Kanigara memiliki ketangguhan seperti seekor banteng yang kuat tiada taranya. Sepasang kakinya yang kokoh telah membawakan tubuhnya pada keadaan-keadaan yang menguntungkan. Kadang-kadang kedua kaki itu tampak seolah-olah tertancap dalam-dalam membenam di tanah tempatnya berpijak, seperti batu karang yang kokoh kuat berdiri dengan tegaknya. Namun kemudian kakinya itu pula dapat berloncatan dengan lincah dan kecepatan yang mengagumkan. Sebaliknya, Radite pun mempunyai keistimewaan yang sukar ada bandingnya. Meskipun kadang-kadang seakan-akan ia hanya bergeser setapak demi setapak, namun kadang-kadang seakan-akan kakinya seakan-akan tidak berpijak di atas tanah. Dengan tangan yang mengembang ia berloncatan ke sana ke mari, seperti seekor Garuda yang dengan garangnya bertempur mati-matian, mempertahankan serangannya. Di tempat lain, tampak Mahesa Jenar dengan gigihnya bertempur melawan Anggara, murid Pasingsingan yang termuda. Namun murid termuda inipun memiliki ilmu yang luar biasa tingginya. Sebagai seekor naga yang bersayap, ia menyerang Mahesa Jenar dari segala jurusan. Menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tangan dan kakinya seolah-olah telah berubah menjadi sayap menyebar angin maut. Namun Mahesa Jenar adalah seorang yang luar biasa pula. Dengan mesu dhiri serta meraga-sukma tanpa seorang penuntun langsung ia berhasil menemukan intisari dari ilmu perguruan Pengging. Ditambah dengan kecerdasan otaknya yang cemerlang seperti bintang di langit, serta usahanya untuk menyesuaikan diri dengan alam, telah menjadikan ilmu dari perguruan Pengging itu suatu ilmu yang tiada bandingnya. Dengan demikian, maka iapun telah berusaha secermat-cermatnya, menyesuaikan diri untuk melawan Anggara yang bertempur sebagai seekor naga bersayap.

Mahesa Jenar berusaha pula untuk dapat mengimbangi lawannya. Sebagai seekor burung rajawali ia berjuang dengan dahsyatnya. Tangannya yang hanya sepasang itu seolah-olah berubah menjadi puluhan bahkan ratusan pasang sayap yang mengibas bersama-sama, menimbulkan desing angin yang menderu-deru, disamping kaki-kakinya yang menyambar-nyambar ke segenap bagian tubuh lawannya. Ternyata, ketika pertempuran itu telah berlangsung beberapa lama, kekuatan mereka tampak berimbang. Kebo Kanigara benar-benar dapat mengimbangi kesaktian murid Pasingsingan yang pernah mendapat kepercayaan untuk mempergunakan topeng yang terkenal sebagai wajah Pasingsingan, pernah memiliki pula jubah abu-abu serta akik kelabang sayuta beserta sebuah pisau belati panjang kuning gemerlapan, yang bernama Kyai Suluh. Radite bukan seorang yang sombong, yang menganggap kesaktiannya tanpa tanding. Namun terhadap orang ini, yang menamakan diri Tumenggung Surajaya, ia menjadi heran. Ilmu orang itu pasti bersumber pada ilmu seketurunan dengan sahabatnya Pengging Sepuh. Namun ia menjadi heran, bahwa orang ini benar-benar dapat menguasainya dengan baik, bahkan memiliki perkembangan-perkembangan yang mengagumkan. Menurut pengertiannya, Ki Ageng Pengging Sepuh hanya mempunyai seorang murid, yang bernama Mahesa Jenar, dan bergelar Rangga Tohjaya. Dalam pada itu, keheranannya, dalam pengamatannya yang hanya sepintas, tidak segera dapat menguasai Mahesa Jenar yang menyerangnya. Bahkan dalam beberapa lama, pertempuran mereka masih tetap dalam keadaan seimbang.

TAPI justru karena itulah, maka akhirnya mereka benar-benar telah mengerahkan segenap tenaga serta kemampuan mereka. Pertempuran itu benar-benar telah menjadi semakin seru dan dahsyat. Bahkan yang tampak kemudian hanyalah bayangan-bayangan hitam di dalam gelapnya malam, yang berloncat-loncatan, berputar-putar semakin lama semakin cepat. Yang akhirnya menjadi seolah-olah dua pasang Wisnu dalam bentuknya yang hitam cemani, menari-nari dengan lincahnya, mengungkapkan sebuah tarian maut yang mengerikan. Sementara itu, malam menjadi semakin dalam. Orang-orang di pedukuhan kecil yang sepi itu, yang mula-mula mengintip dari balik pintu-pintu mereka, ketika mereka tidak mendengar apapun lagi, maka mereka sama sekali tidak merasa tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang dua orang berkuda yang menyusur jalan-jalan sempit di padepokan mereka. Mereka hanya mengira, bahwa kedua orang itu adalah perantau-perantau yang memasuki mulut lorong dari satu arah dan keluar dari mulut lorong di arah lain. Mereka berhenti di ujung padepokan mereka, dan kemudian bertempur mati-matian dengan orang cikal bakal pedukuhan itu. Kalau saja mereka mengetahui hal itu, apapun yang terjadi, pastilah mereka akan membantunya. Namun kalau mereka sempat menyaksikan pertempuran itu, mereka akan menjadi keheran-heranan, bahwa orang-orang yang setiap hari mereka panggil Ki Paniling dan Ki Darba, yang hanya mereka kenal sebagai seorang petani yang rajin, mampu bertempur sedemikian dahsyatnya, bahkan pasti diluar kemampuan pengamatan mereka, atau malahan mereka akan jatuh pingsan karenanya.

Pertempuran itu masih belum tampak akan berakhir. Masing-masing sudah berjuang dengan sepenuh tenaga, namun seolah-olah mereka bertempur melawan hantu yang tak dapat disentuhnya. Dalam saat-saat yang demikian itulah, terlintas di dalam otak masing-masing, suatu cara penyelesaian yang lebih cepat. Sudah pasti mereka mengerti bahwa setiap orang sakti memiliki ilmu-ilmu simpanan yang tak akan dipergunakan dalam sembarang waktu. Bagi Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, dalam hal yang demikian tidaklah sewajarnya mempergunakan ilmu-ilmu pamungkas mereka. Sebaliknya, Radite dan Anggara pun tak terlintas di dalam otak mereka untuk mengakhiri pertempuran dengan ilmu terakhir. Karena itu, mereka telah mempersiapkan diri mereka untuk mengadakan pertempuran yang lama. Sebab mereka tidak dapat mengandalkan kekuatan maupun kecepatan bergerak serta unsur-unsur gerak yang dapat membingungkan lawan-lawan mereka, sebab ternyata apa yang mereka lakukan selalu dapat diimbangi oleh setiap pihak. Meskipun demikian pertempuran itu masih tetap berlangsung dengan sengitnya. Sebab bagaimanapun juga mereka tetap berusaha untuk setidak-tidaknya tidak dikalahkan oleh lawan masing-masing. Tetapi justru dalam hal yang demikian itulah kadang-kadang orang terpaksa untuk berpikir lebih banyak. Dan dalam keadaan yang terpaksa demikian itulah kadang-kadang muncul kesanggupan-kesanggupan yang tidak pernah dirasakan ada di dalam dirinya. Kesanggupan yang malahan dapat mengejutkan diri sendiri.

Demikian pula apa yang terjadi dalam kancah pertarungan itu. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar yang masih memiliki masa depan yang lebih panjang dari lawan-lawan mereka, dapat memanfaatkan pertempuran itu dengan baiknya. Dalam masa-masa yang masih memungkinkan perkembangan yang menanjak terus, mereka selalu berusaha untuk melengkapi ilmunya dengan apapun yang mereka ketemukan dalam perjalanan hidup mereka. Namun dengan satu bekal yang tak akan tanggal dari hati mereka, bahwa ilmu-ilmu mereka harus mereka amalkan untuk kebajikan. Kebajikan bagi tanah tumpah darah, kebajikan bagi rakyat yang hidup di atasnya, serta kebajikan bagi umat manusia. Ketika kemudian terdengar kokok ayam jantan bersahut-sahutan menjelang lingsir malam pertempuran itu masih berlangsung terus. Namun demikian tak seorangpun penduduk padukuhan itu yang mendengar keributan itu. Pertempuran yang sengit itu berlangsung dengan tertibnya. Sama sekali tidak nampak kekasaran-kekasaran seperti yang pernah terjadi, ketika Mahesa Jenar dalam tingkatannya pada waktu itu bertempur melawan Jaka Soka, Lawa Ijo atau Sima Rodra. Tetapi dalam keadaan yang terasa tertib itu melontarlah pukulan-pukulan yang dahsyat dan penuh mengandung bahaya. Dalam keadaan yang demikian, ketika keempat orang sakti itu sedang terbenam dalam arus pertempuran yang merampas segenap perhatian mereka, tiba-tiba terasalah udara yang aneh mengalir mengusap tubuh mereka. Udara yang seakan-akan mengandung pengaruh yang tajam, yang langsung menyusup ke dalam tulang sungsum, sehingga dengan demikian tenaga mereka seolah-olah ikut serta terhembus oleh aliran udara aneh itu.

Perlahan-lahan tenaga mereka menjadi semakin lemah. Bahkan kemudian seperti lenyap sama sekali. Dengan penuh keheranan, mereka masih tetap berusaha untuk mempertahankan diri mereka sekuat tenaga. Sebab mula-mula mereka mengira bahwa kesaktian lawan-lawan mereka telah mempengaruh tenaga mereka. Tetapi ketika serangan-sernagan lawanpun menjadi jauh susut, akhirnya mereka mengetahui, bahwa sesuatu telah terjadi. Sesuatu diluar lingkaran pertempuran itu. Mereka berempat adalah orang-orang yang cukup sakti. Yang tanggap akan kejadian-kejadian di dalam maupun di luar diri mereka sendiri. Karena itu, ketika mereka merasa bahwa suatu kekuatan diluar kemampuan mereka, telah mempengaruhi diri mereka, segera mereka menghentikan pertempuran itu. Dengan sekuat tenaga jasmaniah dan batiniah, mereka berusaha untuk menyelamatkan sisa-sisa tenaga mereka. Tetapi pengaruh dari udara yang aneh itu demikian besarnya, sehingga tiba-tiba saja, mereka tidak saja merasa tenaga mereka susut, namun mereka juga merasa, bahwa mereka telah dipengaruhi oleh kantuk yang luar biasa.

RADITE adalah yang tertua diantara mereka berempat. Ialah orang yang memiliki pengalaman yang terbanyak. Pengalaman yang kadang-kadang hampir tak masuk akal sekalipun pernah dijumpainya. Karena itulah maka segera ia mengenal bentuk aliran udara yang aneh itu. Karena itu terdengar ia berdesis perlahan,
”Alangkah kuatnya sirep ini.”
Anggara dan Kebo Kanigara pun mengenal pula, bahwa seseorang dapat mempergunakan pengaruh kekuatan batin atas orang lain. Bahkan apabila ditekuni, dapatlah orang itu melahirkan suatu ilmu sirep semacam ini. Sedang Mahesa Jenar sendiri pernah mengalami betapa pengaruh sirep itu dapat melenyapkan kesadaran seseorang, sehingga orang yang berada di dalam lingkungan itu dapat seolah-olah tidur nyenyak sekali. Ketika itu ia sedang bertugas di Istana, beberapa tahun yang lampau. Ia pernah mengalami pengaruh sirep yang dilontarkan oleh Lawa Ijo. Kecuali itu diatas Gunung Tidar, ketika ia berusaha untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, ia pernah terkena arus sirep itu pula. Sirep yang disebarkan oleh Gajah Sora, namun yang sebenarnya telah dapat dilenyapkan oleh Sima Rodra tua, kalau saja pada saat itu seorang yang bernama Titis Anganten dari ujung timur tidak membantunya.

Sekarang, kembali ia mengalami pengaruh sirep. Seandainya kekuatan sirep ini sama dengan kekuatan sirep yang pernah mempengaruhinya, maka dalam tingkatannya yang sekarang ini, kekuatan sirep itu tidak akan banyak pengaruhnya. Tetapi ternyata kekuatan sirep yang sekarang jauh lebih besar dari yang pernah mempengaruhinya dahulu. Bahkan dalam tingkatannya yang sekarang hampir-hampir ia tidak mampu untuk mempertahankan kesadarannya. Apalagi tenaganya. Dalam keadaan yang demikian, akhirnya mereka berempat hanya dapat duduk bersila sambil mengheningkan diri, berusaha untuk tetap dalam keadaan sadar. Malam yang kelam masih saja terserak di permukaan bumi. Di daun-daun pepohonan bergayutan titik-titik yang setetes demi setetes berjatuhan mengusik rumput-rumput kering yang bertebaran disana-sini dengan liarnya. Suasana kemudian menjadi hening sepi. Lamat-lamat di kejauhan terdengar suara-suara jangkrik seperti teriakan bayi yang kehausan susu ibunya.
Ketika mereka sedang tekun berjuang untuk tidak kehilangan kesadaran, tiba-tiba melayanglah sebuah bayangan yang hitam, yang kemudian dengan cepat sekali, seolah-olah tidak menyentuh tanah, telah berdiri di hadapan mereka. Dan bersamaan dengan itu, terasa bahwa pengaruh sirep itupun menjadi semakin kendor, bahkan kemudian dengan cepatnya lenyap dari diri mereka berempat.


<<< Bagian 049                                                                                              Bagian 051 >>>

No comments:

Post a Comment