“AI…” teriak gadis kecil itu,
“Apakah itu?”
Ayahnya
tertawa, dijawabnya,
“Seharusnya
aku mengajak kau merantau supaya kau tidak menjadi anak yang heran melihat
matahari terbit.”
Endang Widuri
sama sekali tidak memperhatikan kata-kata ayahnya, bahkan kemudian ia berteriak
gembira sekali,
“Rawa Pening?
Bukankah itu Rawa Pening?”
“Ada apa
dengan Rawa Pening?” tanya ayahnya.
“Sejak lama
aku ingin melihatnya. Kalau demikian, bukankah kita sudah tidak jauh lagi dari
rumah Kakang Arya Salaka?” tanya Widuri pula.
Pertanyaan itu
terdengar aneh bagi Kebo Kanigara. Tetapi sebagai seorang ayah dari seorang
gadis yang sedang menjelang mekar, ia hanya menarik nafas. Tetapi kemudian
terdengar jawabannya,
“Widuri,
Banyubiru masih jauh. Jalan lembah itu akan berkelok-kelok seperti ular yang
sedang berenang. Meskipun demikian kau sudah dapat melihat arahnya dari tempat
ini. Itulah Bukit Telamaya.”
Telamaya dalam
pendengaran Endang Widuri, merupakan daerah yang sejuk, tenteram dan damai.
Tiba-tiba
angan-angannya memanjat tinggi ke alam cita. Meskipun ia belum pernah melihat
daerah Bukit Telamaya, namun ia tiba-tiba menjadi sedemikian besar keinginan
untuk pergi ke daerah itu, sebagai daerah yang menyenangkan. Tanpa sesadarnya
pula kemudian ia menoleh ke arah Arya Salaka. Anak muda itu ternyata masih
berdiri tegak di samping Mahesa Jenar, memandang jauh ke arah lambung Bukit
Telamaya yang membujur di hadapannya seperti raksasa yang tidur dengan
nyenyaknya.
Di balik bukit
itu membayanglah warna biru kehijauan disaput oleh awan yang tipis, Gunung
Merbabu. Kemudian Endang Widuri meneruskan perjalanannya dengan penuh
angan-angan di kepalanya. Sebagai seorang gadis ia senang pada keindahan. Juga
keindahan alam yang terbentang di hadapannya. Lembah, ngarai, jurang-jurang
terjal dan dinding-dinding padas yang menjulang tinggi, ditelusuri oleh
jalur-jalur putih, jalan setapak yang selalu dipergunakan oleh orang-orang yang
mencari kayu di hutan-hutan. Di sana-sini jalur-jalur itu hilang terputus
ditelah oleh hutan-hutan yang berserakan di lembah itu. Agak jauh di sebelah
Rawa Pening, terbentanglah sawah yang luas. Setingkat demi setingkat
pematang-pematang sawah itu seperti memanjat tebing pada sisinya. Tetapi daerah
itu masih jauh. Arya Salaka yang berdiri di samping Mahesa Jenar merasa betapa
hatinya berdebar-debar menyaksikan semuanya itu. Seperti seorang akan menjelang
kekasih yang telah bertahun-tahun tak bertemu. Sawah, ladang, kampung halaman
rumahnya dengan pohon jambu yang lebat berbuah. Semuanya itu seperti hilir
mudik di depan matanya. Dan dibalik kehijauan lambung Bukit Telamaya itulah
tinggal seorang yang paling dicintai, serta dirindukannya, yaitu ibunya. Mahesa
Jenar ikut merasakan betapa perasaan rindu itu mengusik hati muridnya. Tetapi
tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Sebab ia tahu pula bahwa kata-katanya
akan dapat menambah gelora perasaan rindu itu. Untuk beberapa lama mereka
saling berdiam diri. Di samping mereka berjalanlah iringan laskar Banyubiru. Di
pundak merekalah terletak masa depan Bukit Telamaya itu, dan kepada merekalah
bukit itu menggantungkan nasibnya.
TIBA-TIBA Arya
Salaka menjadi semakin terharu ketika ia melihat keserasian yang mengetuk dadanya.
Di hadapannya terbentang lembah yang hijau dibatasi oleh lereng bukit Telamaya,
sedang di sampingnya menjalarlah laskar yang setia. Betapa kemudian tergambar
di dalam otaknya itu seolah-olah merupakan seekor naga raksasa yang sedang
berjuang untuk merebut kembali sebutir telur raksasanya yang teronggok di
hadapannya. Arya menarik nafas. Bukit Telamaya itu seolah-olah sebuah permata
yang berkilauan ditimpa cahaya matahari. Sinarnya memancarkan ke segenap
penjuru, memerangi seluruh langit dan bumi. Kemudian teringatlah anak muda itu
akan sebuah kisah terjadinya Rawa Pening. Seekor naga yang rindu kepada
ayahnya. Sedang ayah itu bersedia untuk menerimanya apabila ular itu sanggup
melingkari gunung Merbabu. Tetapi sayang, bahwa panjang tubuhnya tidak memungkinkan,
meskipun hanya kurang sejengkal. Karena itu ular raksasa itu tidak menyenangkan
ayahnya. Dengan serta merta, lidah ular raksasa itu segera dipotongnya. Maka
matilah ular itu. Tetapi jiwa ular itu kemudian berubah menjadi seorang kerdil
yang menancapkan lidi di lembah bukit sebelah utara Gunung Merbabu. Tak seorang
pun dapat menarik lidi itu. Karena itu kemudian orang kerdil itu sendirilah
yang menariknya. Dari lubang bekas lidi itu memancarlah mata air yang semakin
lama semakin besar dan besar. Akhirnya terjadilah di lembah itu sebuah Rawa.
Rawa Pening.- Sekarang, Arya Salaka pun sedang melakukan tugas yang seolah-olah
dibebankan oleh ayahnya. Melingkari bukit Telamaya. Pasukannya itulah ibarat
tubuh ular yang harus mampu melilit bukit itu. Tetapi kalau kemudian panjang
tubuh itu tidak memungkinkan, ia tidak akan menyambung hanya dengan lidahnya.
Tidak dengan janji dan prasetya. Tetapi ia akan menyambung kekurangan itu
dengan darahnya. Dengan nyawanya.
Arya Salaka
terkejut ketika terasa setetes air menyentuh tangannya. Cepat ia mengusap
matanya yang sedang mengaca. Untunglah bahwa pada saat itu Mahesa Jenar pun
agak terpaku juga pada kebesaran alam yang tergelar di hadapannya. Memang
demikianlah tabiatnya. Setiap kali ia berhadapan dengan kebesaran alam, setiap
kali ia menyebut nama Yang Maha Besar. Kalau ciptaan-Nya saja sedemikian
agungnya, betapa Agung Yang Menciptakannya. Ketika Mahesa Jenar menoleh
kepadanya, Arya Salaka mencoba untuk tersenyum. Senyum yang diwarnai oleh
gelora hatinya. Meskipun demikian, Mahesa Jenar melihat juga warna merah yang
menyaput mata muridnya. Tetapi ia pura-pura tidak melihatnya dan malah ia
bertanya kepada anak muda itu dengan pertanyaan yang sama sekali tidak
bersangkut paut dengan Banyubiru, sambil menengadahkan mukanya.
“Arya, udara
cerah. Sebentar lagi matahari akan sampai di atas kepala kita. Mudah-mudahan
kita dapat beristirahat sebentar di hutan di depan kita.”
Arya Salaka
mengangguk. Dengan terbata-bata ia menjawab,
“Ya, Paman.
Hutan itu sudah tidak begitu jauh.”
“Kita perlu
istirahat sebentar, Arya. Kemudian kita meneruskan perjalanan. Kita akan
bermalam satu malam sebelum esok paginya kita sampai ke hadapan Bukit Telamaya
itu.”
“Tidakkah hari
ini kita lanjutkan perjalanan, Paman?” tanya Arya Salaka sekenanya.
“Tidak perlu,”
jawab Mahesa Jenar,
“Sebab menurut
pertimbanganku, sebelum kita memasuki daerah itu, biarlah dua tiga orang
mendahului menyaksikan keadaan. Sebab apabila terpaksa terjadi perselisihan,
maka kita dapat mengetahui siapakah yang berada di pihak kita, dan siapakah
yang berbeda pendapat dengan kita. Dengan demikian kita akan mendapat gambaran
yang tegas, apakah yang perlu kita lakukan.”
Arya Salaka
yang telah dapat menguasai perasaanya, sekali lagi mengangguk-anggukkan
kepalanya. Ternyata pertimbangan gurunya itu adalah benar-benar merupakan suatu
tindakan yang berhati-hati dan penuh kewaspadaan. Karena itu ia menjawab,
“Agaknya
demikianlah yang seharusnya, Paman.”
Sekali lagi
Mahesa Jenar melemparkan pandangannya ke Bukit Telamaya yang melintang di
hadapannya, lembah, ngarai serta jurang-jurang yang terjal. Sekali lagi ia
memandang cahaya matahari yang terpantul dari wajah Rawa Pening. Maka kemudian
katanya,
“Marilah Arya,
ujung pasukanmu telah berjalan agak jauh mendahului kita.”
Arya tersadar
dari perasaan rindu, haru serta gambaran-gambaran masa datang. Ketika ia
menoleh ke belakang, dilihatnya laskarnya yang berjalan berjajar dua di jalan
sempit itu telah hampir sampai ke pangkalnya. Di belakang pasukan itu
dilihatnya Mantingan dan Wirasaba berjalan beriringan dengan Bantaran dan
Penjawi. Melihat Arya Salaka dan Mahesa Jenar yang seolah-olah sengaja
menyaksikan seluruh isi laskarnya, Mantingan tersenyum. Kemudian setelah sampai
di hadapan anak muda itu ia berkata,
“Adakah yang
kurang dalam barisan ini?”
Sambil
berjalan di samping mereka itu Arya menjawab,
“Tidak, Paman.
Namun demikian aku mengharap bahwa barisan kita menjadi semakin lengkap.
Apabila kita besok mulai memasuki Banyubiru, aku harap bahwa di samping Sang
Saka Gula Kelapa, berkibar pula Panji-panji Dirada Sakti, sebagai lambang
kebesaran tanah Perdikan Banyubiru, di dalam pelukan persatuan dan kesatuan
Demak.”
Mantingan dan
Wirasaba mengangguk-anggukkan kepalanya, apalagi Bantaran dan Penjawi. Sehingga
terdengarlah Penjawi menjawab,
“Hebat. Kita
pasang pula umbul-umbul dan tanda-tanda kebesaran lainnya. Bukankah dengan
demikian pasukan kita akan bertambah megah?”
“Demikianlah
hendaknya,” jawab Arya Salaka,
“Asal hati
kita bertambah megah dan besar.”
MAHESA JENAR
kagum akan kecepatan berpikir Arya. Dengan demikian ia benar-benar seperti
menanti laskarnya berjalan dahulu untuk berbicara dengan Mantingan. Hilanglah
kesan keharuan dari wajahnya. Hilanglah sikap kekanak-kanakannya yang rindu
pada orang tua. Yang kemudian menjadi sikap seorang putra kepala daerah
perdikan yang rindu pada kebesaran tanah perdikannya. Kemudian untuk beberapa
lama pasukan itu berjalan dalam keheningan. Tak seorangpun yang mengucapkan
kata-kata, namun di dalam dada masing-masing bergeloralah berbagai macam persoalan
yang hilir-mudik, serta kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi silih
berganti. Wajah-wajah mereka kadang-kadang tampak cerah seperti cerahnya
matahari, kadang-kadang menjadi suram oleh kenyataan yang mereka hadapi. Bahwa
mereka harus melampaui banyak persoalan, untuk kembali kekampung halaman
sendiri. Bahwa mereka merasa, seolah-olah mereka adalah orang buruan yang
dikejar-kejar dan terasing karena mereka adalah perampok-perampok dan
penjahat-penjahat. Bahwa mereka harus berhadapan dengan orang-orang yang tak
tahu diri dan membuat kadang-kadang diluar perikemanusiaan, hanya karena ia
berkata,
“Aku tetap
setia kepada Banyubiru.” Apakah salah mereka dengan kesetiaannya itu? Kesetiaan
yang dilandasi oleh kesadaran, bahwa dalam keadaan yang sedemikian ini, hanya
pemerintahan yang berlandaskan kebenaran dan keadilanlah yang akan dapat
menjamin ketentraman Banyubiru. Bahkan pulihnya hubungan yang wajar antara
Banyubiru dan Pamingit, diantara segala sesuatu dapat dikembalikan kepada
tempatnya yang sebenarnya. Sebab menurut keyakinan mereka, hanya dengan
cara-cara yang demikian, Banyubiru akan dapat berkembang atas perkenaan Yang
Maha Kuasa, serta sejahtera lahir dan batin. Akan bergemalah kembali kesibukan
serta keriuhan para penjual dan pembali di pasar-pasar. Serta akan
berkembanglah kembali usaha-usaha pendidikan, sebagai taburan benih buat masa
depan. Hanya dari benih-benih yang baik serta pemeliharaan yang baiklah akan
dapat tumbuh bibit-bibit serta pohon-pohon yang baik pula. Tetapi apabila pada
bibit-bibit yang baik itu tidak pernah mendapat rabuk yang baik, bahkan
kemudian disiram dengan racun, akan kerdillah pohon-pohon yang akan menjadi
tempat bernaung di masa depan, serta akan muncul pulalah buah yang dihasilkan.
Demikianlah
tanpa dirasa, oleh karena tekad yang memang sudah membaja, matahari telah
berada di atas kepala. Sesaat kemudian pasukan itu memasuki sebuah hutan perdu
yang tak begitu lebat. Ketika seluruh barisan itu telah ditelan oleh kesejukan
rimba, terdengarlah suara sangkalala. Suatu pertanda bahwa pasukan itu harus
berhenti beristirahat.
Dalam
kesempatan itu Mahesa Jenar, Arya Salaka, Kebo Kanigara, Mantingan serta
beberapa orang penting lainnya mengadakan pembicaraan-pembicaraan. Mereka
memilih beberapa orang untuk mendahului laskar Banyubiru, melihat-lihat
suasana. Di pundak merekalah diletakkan kepercayaan untuk mengabarkan
kedatangan laskar mereka kepada rakyat Banyubiru. Laskar yang akan menempatkan
mereka ke dalam wadah yang sewajarnya. Serta kepada mereka diletakkan
tanggungjawab untuk memberikan warna kepada rakyat Banyubiru dalam menghadapi
kehadiran laskar mereka. Mereka harus sadar, bahwa kedatangan laskar itu bukan
berarti bencana seperti yang mereka sangka, yang ditimbulkan oleh berita-berita
yang sengaja ditiup-tiupkan oleh berbagai pihak yang mempunyai kepentingan yang
sama. Golongan hitam yang takut berhadapan dengan rakyat Banyubiru dan Pamingit
yang bersatu bulat selalu berusaha untuk memperbesar perselisihan antara rakyat
Banyubiru dan Pamingit, antara rakyat Banyubiru dan rakyat Banyubiru sendiri.
Bahkan kadang-kadang mereka dapat menjadikan diri mereka seolah-olah laskar
Banyubiru yang menyingkir ke Gedong Sanga untuk mengadakan pengacauan dan
bahkan kadang-kadang perampokan atas rakyat Banyubiru sendiri. Namun kadang-kadang
mereka dapat merubah dirinya untuk menjadi orang-orang Pamingit atau laskar
Banyubiru yang menerima pemerintahan Lembu Sora untuk mengadakan penganiayaan
atas orang Banyubiru yang dianggapnya setia kepada kampung halaman. Dengan
demikian mereka telah menggali jugang yang semakin dalam antara dua keluarga
sedarah itu. Disamping itu, mereka yang telah disilaukan oleh kedudukan serta
harta benda pun menjadi mata gelap. Mereka pun melakukan perbuatan yang serupa,
yang tidak mereka sengaja telah membantu memperdalam jurang antara keluarga
sendiri. Dari mulut mereka selalu timbul berbagai celaan dan hinaan terhadap
laskar Banyubiru. Seolah-olah mereka tidak lebih dari gerombolan penjahat yang
sama sekali tidak berbeda dengan penjahat-penjahat yang lain.
Tugas itu
bukanlah tugas yang ringan. Karena itu dipilihlah diantara laskar Banyubiru itu
beberapa orang yang dianggap akan dapat menunaikan tugas dengan baik. Pilihan
itu jatuh kepada kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat dibantu oleh
beberapa orang.
MESKIPUN
demikian Mahesa Jenar masih agak kurang tenang dengan anak-anak muda itu.
Karena itu akhirnya ia minta kepada tetua tanah perdikan Banyubiru, Wanamerta,
untuk mengawasi pelaksanaan tugas itu. Dengan senang hati mereka menerima
kehormatan itu. Dengan penuh tekad mereka berjanji akan melaksanakan
sebaik-baiknya, apapun yang akan terjadi dengan mereka.
“Sendang Papat
dan Sendang Parapat…” pesan Mahesa Jenar,
“Kalian datang
ke Banyubiru bukan untuk menambah keributan, bukan untuk menakut-nakuti dan
bukan untuk mengancam. Kalian datang ke Banyubiru untuk menjelaskan
persoalan-persoalan yang sewajarnya. Karena itu jangan menuruti darah muda
kalian. Kita memilih kalian, karena kalian dalam wawasan kami dapat
mempergunakan otak kalian dengan baik. Nah, seterusnya Paman Wanamerta ada
diantara kalian. Jagalah keselamatannya. Turutilah nasehatnya. Kemudian
datanglah kembali kepada kami dengan kawan yang lebih banyak, bukan lawan.”
Maka setelah
beristirahat beberapa saat, rombongan kecil itu pun berangkat mendahului.
Mereka mengharap bahwa menjelang malam, mereka sudah akan memasuki kota.
Sepeninggal rombongan itu, Mahesa Jenar menyusun rombongan yang kedua, untuk
memenuhi anjuran Ki Ageng Sora Dipayana, membawa Arya Salaka menghadap. Tugas
ini tak dapat dibebankan kepada orang lain, kecuali dirinya sendiri bersama
Kebo Kanigara. Bantaran, Penjawi dan bahkan hampir segenap pimpinan laskar
Banyubiru itu tidak mengerti, kenapa Mahesa Jenar masih saja melakukan hal-hal
yang menurut pertimbangan mereka tidak akan berguna. Mereka menjadi tidak
bersabar, bahwa mereka masih harus menunggu dan menunggu.
Perjalanan
dari Candi Gedong Sang ke Banyubiru itu terasa betapa panjangnya. Mereka
menjadi gelisah karena dengan rombongan-rombongan itu mereka masih harus
bersabar. Mereka harus menanti rombongan pertama itu kembali, seterusnya
merekapun harus menunggu Mahesa Jenar membawa Arya Salaka kepada kakeknya.
Bukankah hal itu tidak akan banyak berarti? Mahesa Jenar melihat kegelisahan
itu. Karena itu ia berkata dengan sareh,
“Para pemimpin
laskar Banyubiru… aku masih mengharap kalian bersabar. Sekali lagi aku
ingatkan, bahwa yang penting bagi kita bukanlah menghantam Banyubiru dengan
kekerasan, tetapi yang penting adalah penempatan kembali segala sesuatunya pada
tempat yang seharusnya. Kita ingin melihat Ki Ageng Lembu Sora sudi
meninggalkan Banyubiru. Nah, dengan mempergunakan pengaruh yang masih ada, dari
hubungan darah yang rapat antara Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana
dan Arya Salaka, mudah-mudahan usaha kita tercapai tanpa setetes darahpun yang
mengalir dari tubuh kita. Kita mengharap bahwa apabila Arya Salaka telah
benar-benar berada di hadapan Lembu Sora, akan berubahlah pendirian pamannya
itu. Sebab bagaimanapun juga anak ini adalah kemanakannya.”
Tiba-tiba dari
antara para pimpinan laskar Banyubiru itu terdengar sebuah pertanyaan yang
menggambarkan betapa kesal hati mereka
“Tuan, kalau
begitu apakah artinya kita berarak-arak kemari, kalau kita tidak menggilas
Lembu Sora sampai ke anak cucunya? Sebab selama orang itu masih hidup beserta
segenap pengikutnya, maka keadaan Banyubiru masih akan selalu ribut dibuatnya.”
Mahesa Jenar
menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti sepenuhnya perasaan itu. Sejak semula
mereka sudah bersiap untuk bertempur, seperti mereka siap pula bertempur
melawan golongan hitam. Karena itu Mahesa Jenar menjawab dengan sareh,
“Kedatangan
kalian kemari adalah bukti dari kesetiaan kalian terhadap Banyubiru. Sebagai
suatu kenyataan yang harus diperhitungkan oleh Ki Ageng Lembu Sora dalam keputusannya.
Nah, para pimpinan laskar Banyubiru, aku berjanji untuk yang terakhir kalinya
mengecewakan kalian. Kalau usahaku kali ini gagal, maka akulah yang akan
memerintahkan kalian untuk menggempur Banyubiru, dan akulah yang akan berdiri
di barisan yang paling depan bersama-sama dengan Arya Salaka. Sebab Arya Salaka
lah yang berwewenang atas tanah Perdikan Banyubiru, mengemban kewajiban
memegang pimpinan. Kecuali ia adalah putra Ki Ageng Gajah Sora, suatu kenyataan
yang tak dapat disangkal, bahwa Arya Salaka lah yang menerima Tombak Kyai
Bancak sebagai lambang pemerintahan Banyubiru.”
Meskipun
keterangan Mahesa Jenar itu belum memuaskan mereka, namun para pimpinan laskar
Banyubiru itu mencoba untuk mengertinya. Tetapi mereka sadar bahwa untuk
beberapa saat mereka akan melampaui masa-masa yang menjemukan. Menunggu dan
menunggu. Sedangkan menunggu bagi seorang prajurit yang sudah bersiap untuk
bertempur, adalah pekerjaan yang paling tidak menyenangkan. Namun mereka adalah
laskar yang mempunyai ikatan yang kuat, sehingga setiap perintah akan
dilaksanakan dengan baik. Demikian juga perintah untuk menunggu itupun akan
mereka laksanakan pula. Ketika mereka sudah cukup beristirahat, kembali laskar
Banyubiru itu melanjutkan perjalanannya. Mereka mengharap untuk sampai ke
perbatasan perjalanannya. Mereka mengharap untuk sampai perbatasan menjelang
senja. Di sanalah mereka akan berkemah, dan menghabiskan waktu-waktu mereka
dengan sebal dan gelisah. Di langit, matahari yang menyala-nyala berputar
demikian cepatnya. Maka ketika sorotnya yang kemerahan di langit sebelah barat
tenggelam di balik bukit-bukit, laskar Banyubiru itu telah sampai ke tujuannya.
Mereka segera menempatkan diri sebaik-baiknya. Meskipun mereka tidak dalam
gelar perang, namun mereka harus selalu bersiaga, kalau-kalau laskar Lembu Sora
mendahului menyerang mereka. Sebagian dari para laskar itupun segera
beristirahat, sebab besok mereka harus membangun perkemahan untuk beberapa hari
lamanya.
Dalam pada itu
Wanamerta, Sendang Papat dan Sendang Parapat telah pula memasuki kota
Banyubiru. Untuk menjaga keamanan diri, mereka sengaja memilih jalan-jalan yang
sepi. Satu-dua mereka bertemu juga dengan penduduk yang memandang mereka dengan
curiga. Namun karena malam telah gelap, tak seorangpun yang dapat mengenalinya.
Karena itu, Wanamerta bersama kawan-kawannya dapat mencapai pusat kota dengan
selamat. Di sepanjang jalan mereka sempat membicarakan apakah yang sebaiknya
mereka lakukan. Mereka pasti tidak akan mempunyai waktu yang cukup untuk
menemui orang-seorang, memasuki rumah yang satu ke rumah yang lain. Karena itu
mereka mencoba untuk bertemu dengan penduduk Banyubiru dalam jumlah yang besar
sekaligus. Dari Bantaran mereka pernah mendengar bahwa orang-orang Banyubiru
sekarang mempunyai kebiasaan yang menyedihkan. Menyabung ayam, judi dan tayub
di lapangan di ujung kota. Maka ketika Wanamerta teringat pada ceritera
Bantaran itu, ia berkata,
“Sendang
berdua, bukankah sebaiknya kita pergi ke tanah lapang itu?”
Kakak-beradik
itu ragu sejenak. Jawab Sendang Papat,
“Paman,
tidakkah perbuatan itu terlalu berbahaya?”
Wanamerta
tersenyum.
Jawabnya,
“Aku kira
tidak, Sendang Papat, aku kira lebih mudah berbicara dengan orang banyak
daripada berbicara dengan mereka satu demi satu, apabila kita dapat menempatkan
diri kita. Tetapi kalau kita gagal, bahayanya menjadi lebih besar. Nah, biarlah
kita mencoba mengail ikan yang besar sekaligus, meskipun umpannya pun harus
besar.”
“Baiklah
Paman,” jawab Sendang Papat. Meskipun dengan demikian mereka harus bersiap
menghadapi bahaya. Tiga orang yang pergi bersama mereka, berjalan agak jauh di
belakang. Ketika Wanamerta sudah mengambil keputusan, maka segera Sendang
Parapat menemui mereka, dan memberi mereka pesan-pesan untuk dilaksanakan
sebaik-baiknya.
Maka ketika
mereka mendengar suara gamelan tidak demikian jauh di hadapan mereka mulai
dibunyikan, berkatalah Wanamerta,
“Nah, itulah,
mereka segera akan mulai dengan acara gila-gilaan itu.”
Sendang Papat
dan Sendang Parapat tidak menjawab. Mereka hanya mengangguk-anggukkan kepala.
“Marilah kita
mulai dengan permainan kita,” sambung Wanamerta,
“Kita ambil
jalan yang berbeda-beda, supaya kedatangan kita tidak menarik perhatian.”
Maka Wanamerta
pun kemudian berjalan sendiri, Sendang Papat dan Sendang Parapat beserta ketiga
orang yang lainpun kemudian berpisah-pisah untuk seterusnya pergi ke tanah
lapang yang memancarkan kemaksiatan yang memuakkan itu. Ketika mereka sampai ke
tempat itu lewat jalan-jalan berbeda dan berdiri ditempat yang berserak-serak
dan gelap, segera mereka melihat kebenaran ceritera Bantaran itu. Mereka
melihat beberapa orang tledek menari-nari di tengah arena dengan gerak-gerak
yang menggairahkan. Sendang Papat dan Sendang Parapat adalah penari yang baik
pula. Tetapi mereka belum pernah mempelajari bentuk-bentuk tarian seperti yang
ditarikan oleh tledek-tledek itu. Apalagi ketika mereka kemudian mengenal
siapakah yang kemudian bersedia merendahkan diri mereka sendiri untuk melakukan
perbuatan itu, tanpa sengaja. Sendang Papat, Sendang Parapat dan Wanamerta,
tanpa berjanji, di tempat masing-masing menggeleng-gelengkan kepala mereka.
Gadis-gadis
itu ternyata beberapa tahun yang lalu adalah gadis-gadis yang baik, bahkan
mereka adalah penari-penari yang baik pula. Tetapi tiba-tiba mereka sekarang
menari dengan gaya yang tak pernah mereka kenal sebelumnya. Bahkan menurut
penilaian mereka, gadis-gadis itu sama sekali tidak menari, tetapi mereka
benar-benar mencoba untuk memancing-mancing nafsu jasmaniah yang rendah, dalam
irama gelap yang gila-gilaan pula. Diantara nada-nada yang berirama panas itu
terdengar suara pesinden yang tidak kalah gilanya dari tari-tarian itu sendiri.
Pesinden yang telah kehilangan patokan-patokan seni. Maka di lapangan itu
terdapatlah suatu perpaduan antara tari-tarian, lagu dan irama yang benar-benar
dapat membakar hangus dada yang berisi hati yang lemah. Namun sayang, terlalu
sayang, bahwa justru tari-tarian, lagu dan irama yang demikian itulah yang kini
mendapat penggemar-penggemar yang cukup banyak. Sendang Papat, Sendang Parapat
dan Wanamerta melihat, betapa pemuda-pemuda sebaya dengan kakak-beradik Sendang
itu, bahkan diantaranya masih sangat muda. Mereka telah benar-benar tenggelam
dalam lagu-lagu yang sama sekali telah kehilangan bentuknya sebagai lagu,
tari-tarian yang hanya memantulkan gairah tanpa keindahan dan watak. Apalagi
harus dipanaskan dengan suasana yang benar-benar telah berubah seperti panasnya
api neraka, telah menelan seluruh tanah lapang itu ke dalam suasana yang
mengerikan.
Ketika
Wanamerta dengan beberapa orangnya masih saja berdiri di dalam bayang-bayang
yang gelap, mereka dalam waktu yang tidak terlalu lama telah menyaksikan dua
kali perkelahian diantara para penonton. Perkelahian orang-orang yang mabuk
tuak, dibelai oleh suara tertawa beberapa orang perempuan dengan gembira sekali
menyaksikan perkelahian itu. Namun di samping itu, Wanamerta dan
kawan-kawannya, masih juga melihat beberapa orang laki-laki yang hanya
berjongkok-jongkok saja menonton suasana itu dari kejauhan. Dari wajah-wajah
mereka, Wanamerta menangkap beberapa kesan yang berbeda-beda. Ada diantara
mereka yang kecewa karena kehabisan uang. Ada yang kecewa karena mereka
menyaksikan tingkah laku yang seolah-olah kehilangan kesadaran. Ada yang kecewa
karena sejak akhir-akhir ini mereka tidak dapat menyaksikan lagi bentuk-bentuk
kesenian seperti yang pernah mereka nikmati dahulu. Wanamerta tidak menunggu
suasana menjadi bertambah ribut dan gila. Ia ingin menjumpai sesuatu pada
orang-orang Banyubiru itu. Karena itu, ia tidak berlindung di bawah
bayang-bayang yang gelap lagi. Dengan sengaja ia berjalan maju diantara
orang-orang yang berserak-serak di tanah lapang itu. Di dalam hatinya
bergolaklah berbagai macam perasaan sehingga terasa jantungnya berdebar-debar.
TIBA-TIBA
Wanamerta merasa seperti seorang bekel Bayangkari pada masa pemerintahan
Baginda Jayanegara yang bernama Gajah Mada. Setelah ia berhasil menyingkirkan
Baginda Jayanegara dari pemberontakan yang dipimpin oleh Kuti, kemudian ia
kembali ke Majapahit mengabarkan kepada rakyatnya bahwa Baginda telah wafat.
Ketika ia mengetahui bahwa rakyat Majapahit dan para pembesar berduka cita atas
berita itu, tahulah ia bahwa rakyat masih cinta kepada Baginda Jayanegara. Kali
ini, ia harus berhadapan dengan rakyat Banyubiru, membawa kabar tentang laskar
mereka. Mula-mula tak seorangpun memperhatikan kehadirannya. Tetapi beberapa
saat kemudian seorang demi seorang memandangnya dengan penuh perhatian.
Mula-mula mereka ragu, apakah benar yang berdiri di antara mereka dengan sikap
acuh tak acuh itu Kiai Wanamerta. Ki Wanamerta pura-pura sama sekali tak
merasakan perhatian orang kepadanya. Dengan berdiam diri, ia semakin maju,
melihat pertunjukan di arena. Pertunjukan yang telah menjadi semakin gila dan
panas. Dalam pada itu terdengarlah bisik-bisik di antara para penonton. Seorang
perlahan-lahan berkata kepada kawan yang berdiri di sebelahnya,
“He Kakang,
bukankah itu Kiai Wanamerta?”
Dengan
mengedipkan matanya, kawannya itu menjawab,
“Kalau aku
tidak salah lihat, beliaulah Kiai Wanamerta”. Mereka jadi berdiam diri. Tetapi
karena keinginan mereka untuk mendapatkan kebenaran atas sangkaan itu, mereka
berjalan perlahan-lahan mengikutinya. Ternyata bukan hanya kedua orang itu
sajalah yang ingin melihat, apakah orang itu benar-benar Kiai Wanamerta. Dengan
demikian para penonton di tanah lapang itupun berdesakan maju. Kali ini bukan
karena tledeknya yang semakin membuat tingkah yang aneh-aneh, tetapi karena
mereka ingin memandang wajah orang yang mereka sangka Kiai Wanamerta itu dengan
lebih seksama lagi.
Diam-diam Kiai
Wanamerta merasa, bahwa sedikit demi sedikit ia telah dapat menarik perhatian.
Tinggal kemudian apakah ia dapat melakukannya dengan baik. Sekali dua kali ia
menarik nafas untuk mengatur perasaannya, dan menenangkan debar jantungnya.
Ketika ia telah merasa yakin, bahwa hatinya tidak akan bergetar lagi, maka
perlahan-lahan ia berjalan ke samping pertunjukan itu, untuk kemudian
menjauhinya. Orang-orang yang mengikutinya, masih saja berjalan beriring-iring
di belakangnya. Bahkan semakin lama semakin banyak. Orang-orang yang semula
tenggelam dalam lagu dan tarian yang sudah semakin bubrah itu, kemudian satu
demi satu meninggalkan gelanggang. Sebab dalam pandangan mereka, kehadiran Kiai
Wanamerta adalah sesuatu yang aneh dalam suasana yang demikian itu. Para
tledek, merasakan suatu keadaan yang berbeda dengan hari-hari yang telah mereka
lewati. Mereka kali ini merasa seolah-oleh tidak mendapat perhatian dari para
pengunjungnya. Malahan satu demi satu mereka meninggalkan arena. Karena itu,
para tledek itu berusaha habis-habisan untuk mengikat penggemarnya. Mula-mula
mereka memperpanas suasana dengan gerak-gerak yang semakin gairah. Tetapi
ketika para penonton masih saja satu demi satu melangkah pergi, tledek-tledek
itu benar-benar kehilangan akal. Mereka bernyanyi dan menari semakin liar, dan
bahkan kemudian mereka lupa diri, bahwa mereka adalah manusia yang memiliki
ikatan-ikatan susila, meskipun telah sejak lama dilanggarnya, namun tidaklah
sehebat kali ini, dimana mereka menjerit-jerit dengan lagunya yang merangsang.
Tertawa-tawa tak menentu, meskipun hatinya menangis, sebab apabila para
penggemarnya sudah meninggalkannya, berarti tak ada makan di esok hari.
Kiai Wanamerta
pun kemudian berhenti di tengah-tengah lapangan itu. Perlahan-lahan ia memutar
tubuhnya menghadap kepada orang-orang yang mengikutinya. Ketika mata orang tua
yang sejuk itu memandang mereka yang berderet-deret di hadapannya, maka
tiba-tiba terasalah suatu tusukan yang tajam ke dalam setiap dada orang-orang
Banyubiru itu. Meskipun Wanamerta belum mengucapkan sepatah katapun, namun
cahaya matanya telah berkata banyak sekali. Bahkan setiap hati di dalam dada
penduduk Banyubiru itupun ikut serta berkata-kata. Ikut serta mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab,
“Kenapa
hal-hal semacam ini bisa terjadi…?” Teringatlah mereka peristiwa beberapa bulan
berselang. Ketika di tanah lapang ini pula, mereka menyaksikan perkelahian yang
sengit antara Suraban dan Bantaran. Pada saat itu, mereka seolah-oleh telah
berjanji untuk tidak akan mengulangi kelakuan-kelakuan mereka yang gila ini.
Namun karena pengaruh keadaan, sedikit demi sedikit, tanah lapang yang penuh
dengan kemaksiatan ini menariknya kembali. Dan sekarang yang berdiri di
hadapannya bukan sekedar Bantaran, tetapi orang yang pernah menjadi kepercayaan
Ki Ageng Sora Dipayana sejak Pangrantunan lama. Tetua tanah perdikan Banyubiru,
Kiai Wanamerta. Karena itulah maka beberapa orang diantara mereka menundukkan
wajahnya, bahkan ada yang berusaha bersembunyi di punggung kawan-kawannya,
supaya mukanya tidak terlihat oleh Kiai Wanamerta yang mereka hormati itu.
Tetapi disamping perasaan yang demikian, disamping perasaan sesal dan malu, ada
pula yang merasa betapa akibat yang akan ditimbulkan oleh kehadiran Wanamerta
itu. Seperti pada saat Bantaran mengacau di tanah lapang itu, maka Wanamerta
pun akan melakukan hal yang sama. Karena itu wajah orang-orang yang
berpendirian demikian segera menjadi gelap dan tegang.
Mereka
memandang Wanamerta dengan perasaan benci. Meskipun tanggapan mereka atas
kehadiran Wanamerta itu berbeda-beda, namun tak seorangpun yang mengucapkan
kata-kata. Sementara itu para niyaga dan penarinyapun akhirnya mengetahui pula,
apa sebabnya para penontonnya meninggalkan arena. Bahkan beberapa orang
diantaranya segera meninggalkan pekerjaan mereka, dan ikut pula berderet-deret
melihat tetua tanah perdikan mereka, yang dengan tiba-tiba ada diantara mereka.
BEBERAPA lama
tanah lapang itu tenggelam dalam kesepian. Suara riuh gamelan dengan irama yang
gila, suara perempuan tertawa, seperti iblis betina, segera lenyap dalam
keheningan yang tegang. Sesaat kemudian terdengarlah suara Wanamerta
perlahan-lahan, namun merata ke segenap telinga,
“Kenapa kalian
berhenti bersuka ria?”
Bergetarlah
setiap jantung mereka yang mendengarnya. Namun tak seorangpun dapat menjawab.
“Kalian
benar-benar telah menjadikan tanah kalian makmur. Ternyata dengan perbuatan
kalian, siang-malam bersuka ria, bergembira atas kemakmuran kalian, seperti apa
yang sering kalian lakukan dahulu hanya setahun sekali, sesudah kalian menuai
padi musin basah. Itu saja kalian lakukan dalam batas-batas yang jauh lebih
sempit daripada batas-batas yang kalian buat sekarang ini. Dalam batas-batas
yang dibenarkan oleh kepribadian kita, dan lebih dari itu dalam batas-batas
yang diperkenankan oleh agama kita.”
Tanah lapang
itu menjadi bertambah hening. Dengan demikian gemersik daun yang disibakkan
oleh angin, terdengarlah betapa kerasnya. Ketika tak ada akibat apapun dari
kata-katanya, Wanamerta meneruskan,
“Aku datang
untuk melihat kalian bersuka ria. Nah, teruskanlah.”
Tak seorangpun
beranjak dari tempatnya. Tetapi bagi mereka yang sejak semula merasa terganggu
oleh kehadiran Wanamerta, menjadi semakin tersinggung oleh kata-kata ejekan
itu. Ketika untuk beberapa lama masih saja orang-orang Banyubiru itu berdiri
seperti patung, Wanamerta meneruskan,
“Kenapa kalian
memandang aku seperti memandang hantu? Adakah kalian tidak mengenal aku lagi?”
Masih belum
terdengar suara dari antara mereka.
“He Berdapa,
Uda, Saripan, berbicaralah,” sambung Wanamerta. Yang disebut namanya menjadi
semakin bingung. Mereka tidak tahu apa yang mesti dilakukan.
Tiba-tiba
dalam ketegangan terdengarlah sebuah suara yang berat dan parau,
“Kiai, apakah
yang sebenarnya akan Kiai lakukan di sini?”
Pandang
Wanamerta segera beredar ke arah suara itu. Suara yang keluar dari mulut
seorang yang bertubuh jangkung, berkumis pendek seperti lalat yang hinggap di
bawah hidungnya, dengan bibir yang tebal dan hidung yang melengkung seperti
paruh burung.
“Ha, kau itu
agaknya Sontani?” tanya Wanamerta.
“Ya, akulah,”
sahut orang jangkung itu. Matanya memancarkan perasaan yang kurang senang atas
kehadiran Wanamerta. Sebagai seorang yang pernah mendapat hadiah pangkat dari
Lembu Sora, ia merasa berkewajiban untuk mengamankan daerahnya.
“Ah, hampir
aku tak mengenalmu lagi,” sambung Wanamerta,
“Kau sekarang
nampak begitu gagah.”
Sontani adalah
seorang yang sombong. Yang merasa dirinya mempunyai banyak kelebihan daripada
orang-orang lain. Karena itulah maka sudah sewajarnya kalau ia diangkat menjadi
bahu dan mengepalai pedukuhan Lemah Abang. Juga terhadap Wanamerta, ia ingin
menunjukkan jabatannya, sebagai suatu kewajiban.
“Kiai, aku
berbicara sebagai kepala pedukuhan Lemah Abang. Karena itu jangan Kiai merajuk
seperti anak-anak.”
Wanamerta
terkejut. Lemah Abang, daerah pinggiran kota Banyubiru, semula berada di bawah
pimpinan sorang tua yang saleh, Kiai Bakung. Tetapi ia sama sekali tidak
mengesankan keheranannya, bahkan dengan tersenyum Kiai Wanamerta menjawab,
“Aku mengucapkan
selamat kepadamu Sontani. Tetapi lalu bagaimana dengan Kiai Bakung?”
“Huh,” jawab
Sontani sambil mencibirkan bibirnya,
“Orang tua
yang tak tahu diri. Seharusnya ia lebih baik mengeram saja di rumahnya. Tak ada
yang dapat dilakukan.”
Wanamerta mengangguk-anggukan
kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Maka terdengarlah kembali suara Sontani,
“Nah Kiai… aku
ulangi pertanyaanku. Apakah yang akan kau lakukan di sini?”
Sekali lagi
Wanamerta tertawa, jawabnya,
“Sudah aku
katakan, aku ingin melihat kalian bersuka ria.”
“Bohong!”
bentak Sontani. Selangkah ia maju. Katanya kemudian,
“Telah sekian
lamanya kau menghilang. Sekarang tiba-tiba muncul seperti hantu bangkit dari
kuburnya.”
Wanamerta
mengerutkan keningnya. Ia kurang senang mendengar kata-kata itu. Tetapi ia
ingin bahwa suasana tidak rusak karenanya. Maka iapun menjawab,
“Sontani,
pertama, memang kedatanganku ini tertarik oleh suara gamelan yang demikian
hangatnya. Kedua, aku memang sudah rindu kepada kampung halaman. Aku telah
memutuskan untuk pulang dan hidup diantara kalian seperti sediakala.”
“Kiai, kau
sudah tidak punya hak untuk kembali ke Banyubiru,” bantah Sontani.
“Kenapa?”
sahut Wanamerta.
“Kau telah
meninggalkan kampung halamanmu terlalu lama. Kau telah meninggalkan nama yang
kotor. Bahkan sepantasnya kau sekarang ditangkap dan diserahkan kepada Ki Ageng
Lembu Sora,” ancam Sontani.
“O….” jawab
Wanamerta sambil mengangguk-anggukan kepalanya.
“Ketahuilah
Sontani, dan ketahuilah anak-anakku rakyat Banyubiru. Bukan saja aku yang
berhasrat untuk kembali pulang kampung halaman, tetapi juga orang-orang lain
seperti Bantaran, Penjawi, Sendang Papat dan Sendang Parapat, Wiraga dan yang
lain-lain. Bahkan, dengarlah sebaik-baiknya, Cucunda Arya Salaka pun akan
kembali ke Banyubiru.”
TIBA-TIBA
terdengarlah gumam yang merata di seluruh tanah lapang itu seperti beribu-ribu
lebah sedang terbang berputaran. Mereka menjadi terkejut untuk sesaat, namun
yang kemudian menjadikan mereka bertanya-tanya, kepada diri sendiri, kepada
orang-orang yang berdiri di sekitarnya,
“Apakah berita
itu benar…?”
Gumam itu
terhenti ketika Wanamerta melanjutkan kata-katanya,
“Nah, apakah
salahnya kalau kami pulang ke tanah kelahiran, setelah beberapa lama kami
merantau menambah pengalaman?”
Sebagian besar
dari mereka yang berdiri di tanah lapang itu, tiba-tiba dengan penuh
kegembiraan mengharap kebenaran dari berita itu. Maka kembali terdengar mereka
bergumam,
“Mudah-mudahan
berita itu benar.”
Tetapi
tiba-tiba disela-sela gumam yang bergetar dilapangan itu, terdengarlah suara
Sontani lantang,
“Bohong…!”
Kembali suara
yang merata itu mendadak berhenti. Disusul dengan suara Sontani melanjutkan,
“Apakah
keuntungan kita dengan kedatangan anak itu?”
“Bukankah ia
putra Ki Ageng Gajah Sora?” jawab Wanamerta.
“Tidak peduli
anak siapa dia. Anak setan, hantu, thethekan. Anak itu melarikan diri pada saat
Banyubiru mengalami bencana. Pada saat golongan hitam menyerang daerah ini.
Untunglah bahwa pada saat itu seluruh rakyat Banyubiru bangkit melawannya
bersama-sama dengan rakyat Pamingit. Kalau tidak, musnahlah tanah perdikan ini.
Sekarang anak itu akan kembali dan masih menyebut-nyebut sebagai putra Ki Ageng
Gajah Sora.”
Wanamerta
mengerutkan keningnya. Ketika ia akan menjawab, Sontani sudah berteriak pula,
“Ia masih
merasa berhak pula atas kedudukan ayahnya. Omong kosong. Aku yakin bahwa
kedatangannya hanya akan menambah bencana saja. Setiap masa peralihan sama
sekali tidak akan menguntungkan. Kiai, katakan kepada anak itu, supaya ia
mengurungkan niatnya sebelum ia menyesal!”
Kata-kata
Sontani itu agaknya mempengaruhi beberapa orang, lebih-lebih yang sejak semula
memandang kehadiran Wanamerta itu sebagai bencana. Maka terdengarlah seseorang
berteriak,
“Jangan tambah
kesulitan kami dan hal-hal yang tetek bengek. Biarlah kami hidup seperti apa
yang kami alami sekarang ini.”
Mendengar
teriakan-teriakan itu, Wanamerta tidak jadi menjawab kata-kata Sontani, bahkan
ia berdiam diri untuk memberi kesempatan kepada mereka berteriak-teriak
sepuas-puasnya. Sebab apabila keinginan mereka berteriak itu terhalang, maka
semakin bernafsulah mereka. Sehingga suaranya sendiri tidak akan dapat didengar
orang. Agaknya kesempatan itupun dipergunakan sebaik-baiknya oleh orang-orang
yang tidak menghendaki kehadirannya.
Maka
terdengarlah, “He, Wanamerta. Jangan bikin ribut di tanah yang kau anggap tanah
kelahiranmu ini.”
Kata-kata itu
disusul oleh yang lain,
“Kami tidak
perlukan anak itu. Juga tidak kami perlukan kau, Wanamerta.”
Orang-orang
yang semula mengharap kebenaran berita tentang kehadiran Arya Salaka, lambat
laun menjadi ragu pula. Apakah untungnya? Pergeseran-pergeseran kekuasaan hanya
akan menambah keributan.
Satu demi satu
merekapun terpengaruh oleh teriakan-teriakan yang semakin ribut. Bahkan
akhirnya seorang berteriak,
“Pergilah kau
Wanamerta, keledai tua yang tak tahu diri. Pergi…. Pergi….”
Disaut oleh
suara gemuruh,
“Pergi….
Pergi…. Biarlah kami menikmati malam-malam yang indah ini tanpa gangguan. He,
Nyi Gadung Sari, menarilah, biar Kiai Wanamerta tergila-gila kepadamu.”
Terdengarlah
kemudian suara tertawa seperti meledak di tengah-tengah tanah lapang itu.
Sendang Papat dan Sendang Parapat yang berdiri di bawah bayang-bayang yang
gelap, hampir-hampir tak dapat menguasai diri mereka. Peluh dingin mengalir di
segenap bagian tubuhnya. Tangan mereka sudah bergetar di hulu keris mereka.
Namun ketika mereka masih melihat Kiai Wanamerta berdiri dengan tenangnya,
merekapun menahan diri mereka sekuat-kuatnya. Memang pada saat itu Wanamerta
masih berdiri tegak di tempatnya tanpa bergerak. Ia memandang setiap wajah orang-orang
Banyubiru yang seakan-akan telah kehilangan akal itu. Dibiarkannya mereka
berteriak-teriak seperti orang kemasukan setan. Teriakan-teriakan itupun
semakin lama menjadi semakin keras dan ribut. Tetapi mereka tak berbuat lain
daripada berteriak-teriak. Ketika mereka masih melihat Wanamerta berdiri saja
seperti patung, mereka menjadi heran. Dengan demikian teriakan-teriakan itupun
menjadi semakin berkurang. Apalagi ketika mereka melihat ketenangan yang
membayang di wajah orang tua itu, seolah-oleh teriakan-teriakan mereka itu
seperti suara angin yang berdesir, menyegarkan tubuhnya. Wanamerta mengamati
keadaan secermat-cermatnya. Ia berusaha untuk memperhitungkan waktu
sebaik-baiknya. Ketika suara teriakan-teriakan itu sudah susut, berkatalah ia
dengan lantangnya,
“He, Nyi
Gadung Sari kenapa kau belum juga menari? Marilah kita menari bersama-sama.
Bukankah Wanamerta juga seorang penari yang baik? Lebih baik dari kalian yang
berada di tanah lapang ini?”
Suara
Wanamerta itu benar-benar mengejutkan. Apalagi Nyi Gadung Sari sendiri. Tetapi
yang lebih terkejut adalah mereka yang mengharapkan Wanamerta menjadi marah.
Dengan demikian mereka punya alasan untuk mengusirnya. Tetapi ternyata orang
tua itu sama sekali tidak marah.
“Saudara-saudaraku
serta anak-anakku, bukankah aku sudah berkata bahwa aku akan kembali ke kampung
halaman? Bukankah dengan demikian aku harus menyesuaikan diri dengan cara hidup
kalian?”
Teriakan-teriakan
dari orang-orang yang berdiri di tanah lapang itu telah benar-benar berhenti.
Ada diantaranya yang sudah puas, ada yang karena suaranya telah menjadi serak
parau. Tetapi ada juga yang karena terkejut mendengar kata-kata Wanamerta yang
sama sekali tak mereka duga sebelumnya.
“Bukankah
kalian menghendaki agar aku tidak mengganggu kalian?” tanya Wanamerta.
SUASANA
menjadi hening. Namun sesaat kemudian terdengar beberapa orang menjawab,
“Ia benar,
jangan ganggu kami.”
“Aku berjanji
untuk tidak mengganggu kalian.”
Wanamerta
meneruskan,
“Bahkan aku
ingin menyesuaikan diri dengan kalian. Bukankah apa yang kalian lakukan itu
sangat menarik? Menari-nari menyanyi dan bergembira sepanjang hari. Bukankah
dengan demikian kalian akan awet muda?”
Wanamerta diam
sesaat. Maka kembali tanah lapang itu ditelan kesepian. Yang terdengar hanyalah
tarikan nafas yang saling memburu. Ketika tak seorangpun yang memotong
kata-kata itu, Wanamerta meneruskan,
“Inilah
kelebihan kalian dari masa-masa lampau. Dari jaman nenek moyang nenek moyang
kita. Apa yang kalian lakukan sekarang belum pernah terjadi di tanah perdikan
ini sejak masa tanah ini masih bernama Pangrantunan. Kita sekarang tidak perlu
bekerja keras, tidak perlu membanting tulang untuk tanah kita yang sudah
melimpah ruah ini. Sawah ladang, parit-parit dan jalan-jalan. Begitu?”
Tanah lapang
itu menjadi semakin sunyi. Namun dada orang-orang Banyubiru menjadi semakin
riuh. Benarkah mereka sekarang tidak perlu lagi bekerja keras? Benarkah sawah
ladang mereka telah melimpah ruah? Pertanyaan-pertanyaan itu bergelora disetiap
dada.
Dan
perlahan-lahan mereka menggelengkan kepala mereka.
“Nah…” sambung
Wanamerta,
“Sekarang kita
tidak usah bersusah payah, berpikir tentang tetek bengek. Kita sekarang tidak
usah bersusah payah berpikir tentang kesejahteraan kampung halaman lahir maupun
batin. Begitu?”
Tak satu suara
pun yang terdengar, sehingga Wanamerta berkata terus,
“Jadi
bagaimana? Atau kita memang menghendaki hal-hal seperti ini berlangsung terus?
Kita biarkan masjid-masjid, banjar-banjar desa dan balai-balai kita menjadi
sarang labah-labah dan runtuh sedikit demi sedikit seperti keruntuhan akal
kita…? Bagus-bagus. Demikian agaknya yang kalian kehendaki. Mari, mari
anak-anakku. Marilah kita berpikir tentang diri kita sendiri. Tidak perlu
tentang tanah pusaka kita yang tercinta. Karena itulah maka aku sependapat
dengan kalian. Menyabung ayam di siang hari, judi, tuak dan tayub di malam hari
seperti sekarang ini. Hem….”
Wanamerta
berhenti untuk menelan ludahnya. Wajahnya telah basah oleh peluh yang mengalir
dari keningnya. Kata-katanya seakan-akan menghujam ke dalam dada orang-orang
Banyu Biru yang berdiri tegak berhimpit-himpitan di sekitarnya. Ketika tak
seorangpun menjawab ia meneruskan lagi,
“Dan sekarang
semua itu ada pada kita. Menyabung ayam, judi, perempuan, dan apalagi…?”
No comments:
Post a Comment