Bagian 098



KARENA itu, maka apa yang dicapainya itu benar-benar telah memberinya kebahagiaan. Baru beberapa waktu kemudian Kebo Kanigara itu berkata,
“Karebet. Jangan tinggalkan Banyubiru tanpa ijinku. Mungkin ada beberapa cara yang dapat ditempuh, supaya Sultan Trenggana itu memaafkan kesalahanmu.”
Karebet menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Baik paman. Aku akan tinggal di Banyubiru sampai paman memerintahkan aku berbuat lain.”
Kembali mereka terlempar dalam kesenyapan. Dan kembali suara jengkerik bersahut-sahutan dengan desir angin didaunan. Awan yang putih segumpal hanyut diwajah bulan kuning pucat. Sesaat kemudian barulah Kebo Kanigara berkata,
”Karebet. Alangkah bodohnya kau. Kenapa kau sampai terpancing dalam pertempuran melawan Sultan Trenggana?”
“Aku tidak mengenal paman. Sultan menggunakan tutup wajah dari ikat kepalanya. Dan Sultan sama sekali tidak mempergunakan tanda-tanda kebesarannya.”
“Apakah kau tidak mampu melihat ciri-ciri gerak Baginda?”
“Tidak paman. Aku lebih baik tidak menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda, karena Baginda mempergunakan Aji Welut Putih.”
“Kenapa dengan Aji Welut Putih.”
“Bukankah Aji itu biasa dipergunakan oleh orang-orang jahat yang berusaha melepaskan diri dari kejaran?”
Kebo Kanigara mengangguk-angguk. Tetapi katanya,
“Baginda mengenal seribu macam ilmu. Dari yang paling jahat sampai yang paling baik.”
“Aku kurang menyadari itu paman. Mungkin Baginda sengaja mempergunakan Aji Welut Putih untuk lebih mengaburkan anggapanku terhadap orang yang tertutup wajah itu.”

Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Jangan kambuh lagi Karebet. Kalau kau meninggalkan Banyubiru tanpa setahuku, aku tidak akan mencampuri lagi segenap persoalanmu.”
“Baik paman” jawab Karebet.
Kebo Kanigara itupun kemudian bangkit sambil berkata.
“Kembalilah kerumah Ki Lemah Telasih. Mudah-mudahan Buyut Banyubiru itu akan memberimu banyak tuntunan yang akan bermanfaat bagi hidupmu.”
Karebet itupun kemudian berdiri pula. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Baik paman.”
Ketika pamannya itu kemudian berjalan meninggalkannya, maka Karebet itu pun segera kembali ke rumah Ki Buyut Banyubiru.

Sebenarnyalah Karebet, sejak dari Tingkir segera ia pergi ke Banyubiru. Semula ia mengharap bahwa Arya Salaka telah berhasil kembali ke tanah perdikannya. Namun ternyata ditemuinya tanah itu sedang dicengkram oleh ketegangan. Karena itu, maka untuk sementara ia mencari tempat yang dapat dipakainya untuk menyembunyikan dirinya. Sehingga akhirnya ditemukannya tempat itu. Rumah Ki Buyut Banyubiru, yang baik hati. Ia tinggal di rumah itu bersama-sama dengan beberapa orang murid Ki Lemah Telasih yang lain. Mereka termasuk orang-orang yang lebih mementingkan persoalan-persoalan pengobatan dan ketekunan dalam mencari dan menemukan jenis dedaunan untuk pengobatan daripada olah kanuragan. Disamping itu, Ki Lemah Telasih adalah seorang yang tekun beribadah. Itulah sebabnya Karebet betah tinggal di rumahnya. Ditemuinya persoalan-persoalan dalam hidupnya. Cara-cara pengobatan itu sangat menarik hati anak muda yang aneh itu.

Diperjalanan kembali ke rumah Ki Ageng Gajah Sora, Kebo Kanigarapun selalu diganggu oleh berbagai pesoalan. Apakah ia akan membiarkan Karebet terbuang dari pergaulan yang telah pernah dicapainya? Kebo Kanigara itupun dapat ikut merasakan kepahitan yang dialami oleh Karebet itu. Kepahitan yang dialami oleh setiap prajurit yang terpaksa disingkirkan dari kedudukannya. Tetapi Kebo Kanigara pun tahu pula, bahwa Baginda masih memiliki kesayangan yang besar kepada anak yang aneh itu. Meskipun demikian Kebo Kanigara itu pun berkata di dalam hatinya,
“Biarlah orang-orang tua mencoba membantu menyelesaikan masalah ini.”
Malam itu Kebo Kanigara hampir tak dapat tidur nyenyak. Ia bangun pagi-pagi benar dan tampaklah bahwa perasaannya sedang dibebani oleh persoalan-persoalan yang berat.
Mahesa Jenar yang mengetahui serba sedikit tentang Karebet, segera dapat menduga, bahwa Kebo Kanigara benar-benar sedang dirisaukan oleh kemenakannya yang nakal. Karena itu sebagai seorang sahabat yang dekat, maka Mahesa Jenar menyatakan dirinya untuk membantu memecahkan kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi oleh Kebo Kanigara itu. Kebo Kanigara yang masih belum tahu apa yang akan dilakukan itu berkata,
“Bukan main. Anak itu telah jauh tenggelam ke dalam gelora darah mudanya.”
“Apakah kesalahan yang telah dilakukannya itu terlampau besar, sehingga tidak akan mungkin mendapat pengampunan kakang,” bertanya Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara merenung sejenak. Kemudian desahnya,
“Mudah-mudahan. Tetapi waktu yang diperlukan cukup panjang.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Serba sedikit Kebo Kanigara mengatakan juga apa yang pernah didengarnya dari Karebet. Namun tidak seluruhnya. Ada persoalan-persoalan yang tidak dapat di ketahui oleh orang lain. Meskipun orang lain itu adalah Mahesa Jenar sendiri, yang selama ini selalu berbuat bersama-sama, berjuang bersama-sama dan bahkan hidup mati mereka berdua seakan-akan telah dipertaruhkan bersama. Tetapi masalah yang dihadapi oleh Kebo Kanigara sebagian adalah masalah yang berhubungan dengan keluarganya. Berhubungan dengan saluran darah Majapahit yang mengalir di tubuhnya dan di tubuh Karebet, namun juga di tubuh Sultan Tranggana. Karena ada beberapa persoalan yang tidak dapat dikatakannya kepada Mahesa Jenar, maka Mahesa Jenar pun tidak segera dapat melihat, apa yang dapat dilakukannya untuk membantu memecahkan persoalan itu.
“Mahesa Jenar” berkata Kebo Kanigara kemudian,
“Jangan kau ikut serta dirisaukan oleh persoalan-persoalan yang dibuat oleh Karebet. Lupakanlah persoalan itu. Selesaikan persoalanmu yang telah lama kau tunda-tunda. Bukankah waktu itu kini telah datang?”
Mahesa Jenar tersenyum. Segera ia tahu maksud Kebo Kanigara. Karena itu Mahesa Jenar menjawab,
“Baiklah kakang. Meskipun demikian apabila pada suatu saat kakang memerlukan aku, maka aku selalu menyiapkan diri untuk itu.”
“Terima kasih, Mahesa Jenar. Pada saatnya aku akan memberitahukannya kepadamu.
“Namun dalam pada itu, sesuatu tersimpan di dalam hati Kebo Kanigara. Sesuatu yang tidak dapat segera dikatakan kepada Mahesa Jenar, meskipun pada suatu saat pasti akan menyangkut perasaannya.
“Hem” gumam Kebo Kanigara didalam hatinya,
“Biarlah Mahesa Jenar menikmati masa-masa yang paling baik dalam hidupnya.”
Sejak itu Kebo Kanigara berusaha untuk menghilangkan kesan-kesannya yang menggelisahkan karena pokal kemenakannya. Meskipun beberapa kali ia masih menemui Karebet, tetapi ia tidak pernah menyebut-nyebutnya lagi kepada Mahesa Jenar.

Dibiarkannya Mahesa Jenar sibuk dengan persoalan sendiri. Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak mendengar dari Kebo Kanigara bahwa Karebet telah pergi ke Karang Tumaritis dan telah kembali ke Banyubiru. Dalam pada itu, maka Ki Ageng Pandan Alas merasa bahwa ia telah cukup lama berada di Banyubiru. Karena itu maka ia pun minta diri kepada Ki Ageng Gajah Sora, kepada Kebo Kanigara, kepada Mahesa Jenar dan kepada cucunya Rara Wilis.
“Kenapa Ki Ageng tergesa-gesa meninggalkan Banyubiru?” bertanya Gajah Sora.
“Aku sudah cukup lama tinggal di sini angger. Karena itu aku ingin sekali-kali melihat tanah kelahiranku. Aku ingin pulang ke Gunung Kidul, menyampaikan kabar yang sebaik-baiknya bagi sanak kadang dan handai taulan di sana. Sudah tentu kami akan mengharap Wilis sekali-kali juga mengunjungi kampung halaman. Dan sudah tentu kami akan mengharap bahwa kami dapat menyaksikan hari yang paling baik bagi hidupnya di kampung halaman sendiri. Apapun yang kemudian akan dilakukan, dan kemana pun kemudian Wilis akan pergi, bukanlah soal bagi kami.”
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Sebenarnya Banyubiru akan sangat berterima kasih kalau kesempatan itu tidak kami terima di sini, sebagai tanah yang telah menerima limpahan pengabdiannya yang tanpa pamrih itu.”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa.
“Terima kasih. Terima kasih.” sahutnya,
“Tetapi biarlah kami pada suatu ketika membawanya dahulu kembali. Kami ingin memperkenalkan angger Mahesa Jenar kepada sanak kadang serta sahabat-sahabat kami.”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ki Ageng, kami akan datang setiap saat. Aku akan bergembira untuk melihat tanah tempat kelahiran Wilis. Dan aku akan bergembira untuk dapat mengenal sanak kadang di tanah itu.”
“Bagus. Biarlah kelak seseorang datang menjemput kalian di sini. Begitu aku sampai di Gunung Kidul, begitu aku minta seseorang menjemput kalian supaya kalian tidak usah mencari-cari jalan. Meskipun seandainya kalian tidak melewati hutan Mentaok, kalian sudah tidak akan bertemu lagi dengan Lawa Ijo, ataupun Pasingsingan yang satu itu. Seandainya demikian pun maka angger Mahesa Jenar sudah pasti tidak akan takut. Dan aku tidak perlu menebang pohon di hutan itu dan kemudian berdendang Dandang Gula.”
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan kepalanya. Suatu kenangan yang mengesankan. Di hutan itu pula ia pertama-tama bertemu dengan seorang gadis yang bernama Rara Wilis. Di hutan itu pula ia hampir binasa karena Pasingsingan. Namun di hutan itu pula ia diselamatkan oleh Ki Ageng Pandan Alas dengan suara kapaknya dan kemudian disusul dengan tembang Dandang Gula yang melontarkan ciri kehadirannya. Yang terdengar kemudian adalah suara Ki Ageng Pandan Alas itu pula.
“Sungguh tidak sedap berlagu di tengah-tengah hutan yang lebat. Setiap kali aku membuka mulut, setiap kali beberapa ekor nyamuk masuk bersama-sama. Tetapi aku tidak dapat berhenti sebab dengan demikian aku tidak akan berhasil mencegah Pasingsingan berbuat menurut caranya.”
Kembali Mahesa Jenar mengenangkan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Betapa ia hampir menjadi gila karena tiba-tiba Rara Wilis hilang.
“Hem” desahnya di dalam hati. Sebuah tarikan nafas yang panjang telah menggerakkan dadanya.

Ki Ageng Pandan Alas melihat perasaan yang melintas di hati Mahesa Jenar. Karena itu ia tersenyum. Namun ketika ia menatap wajah Rara Wilis, Ki Ageng Pandan Alas itu mengerutkan keningnya. Tampaklah mata gadis itu berkilat-kilat. Selapis air telah membasahi pelupuk matanya. Karena itu maka orang tua yang jenaka itu tidak lagi berkata tentang masa-masa lampau. Katanya kemudian,
“Kalau aku akan mengirim orang untuk menjemput kalian, maka aku hanya ingin supaya kalian tidak usah mencari jalan. Aku tidak yakin apakah Rara Wilis masih dapat mengingat jalan itu dengan baik, atau apakah kalian akan dapat mencari jalan dalam waktu singkat. Perjalanan kalian kali ini adalah perjalanan yang jauh berbeda dengan setiap perjalanan yang pernah kalian tempuh. Kalian dapat berjalan menyusup hutan belantara mencari sesuatu yang belum pasti tempat dan keadaannya. Sedang Gunung Kidul adalah suatu daerah yang tidak akan dapat berpindah-pindah. Namun akan lebih baik bagi kalian, apabila kalian tidak usah bersusah payah untuk mencari jalan itu sendiri.”
“Terima kasih, Ki Ageng” jawab Mahesa Jenar,
“Kami akan menunggu dengan senang hati.”
Ki Ageng Pandan Alas tersenyum. Tersenyum karena ia melihat masa depan satu-satunya cucunya menjadi cerah, secerah matahari pagi. Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang pejalan. Ia dapat berjalan ke mana saja ia kehendaki. Namun perjalanannya ini terasa sangat lambatnya. Ia ingin segera ke Gunung Kidul dan menyuruh beberapa orang untuk menjemput cucunya. Sengaja ia tidak membawa cucunya itu berjalan bersama-sama, karena ia ingin menghormati cucunya serta bakal suaminya dengan suatu jemputan yang cukup baik. Ia sendiri tidak memiliki apapun di Gunung Kidul. Namun muridnya yang sekarang sudah menjadi Demang, pasti akan mau membantunya.

SEPENINGGALAN Ki Ageng Pandan Alas, maka timbullah beberapa keragu-raguan di hati Mahesa Jenar. Kalau ia harus menetap di Gunung Kidul, maka persoalannya menjadi agak sulit baginya. Selama ini Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten belum kembali ke Demak. Meskipun ia percaya sepenuhnya kepada Panembahan Ismaya, namun tanpa diketahui sebabnya ia selalu ingin tinggal di dekatnya untuk sementara sebelum keris-keris itu kembali. Tetapi ia sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat menolak permintaan Ki Ageng Pandan Alas. Ia tahu bahwa Rara Wilis menjadi bergembira karenanya. Gembira bahwa ia akan segera melihat kampung halaman, dan bergembira bahwa ia akan dapat berada di dalam lingkungannya semasa kanak-kanak. Tetapi Rara Wilis pun pernah berkata kepadanya, bahwa ia mempunyai beberapa keinginan, tetapi bukan ialah yang menentukan. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau mengecewakan Rara Wilis. Nanti apabila sampai saatnya persoalan itu dapat dibicarakannya dengan baik. Dan ia yakin bahwa Wilispun pasti akan dapat mengertinya. Demikianlah maka mereka menunggu di Banyubiru. Selama itu banyaklah yang sudah mereka kerjakan di antara rakyat Banyubiru, membangun tanah perdikan itu. Memperbaiki tanggul yang telah dijebol oleh Arya Salaka dan memperbaiki jalur-jalur saluran air dan menanami kembali lereng bukit yang gundul karena api yang dinyalakan oleh Jaka Soka. Tak ada seorang pun yang sempat duduk bertopang dagu. Arya Salaka telah bekerja mati-matian untuk tanah yang dibelanya selama ini. Bahkan Endang Widuri pun dengan gembiranya ikut membantunya. Ia telah hampir lupa kepada padepokan Karang Tumaritis, dan ia kerasan tinggal di Banyubiru.

Kebo Kanigara yang semula sudah siap kembali ke Karang Tumaritis, tiba-tiba terhambat juga oleh kemenakannya. Ada sesuatu yang masih harus diselesaikan di Banyubiru karena kehadiran Karebet. Karena itu, maka ia pun menunda keberangkatannya. Tentu saja Widuri menjadi sangat bergembira karenanya. Ia lebih senang tinggal di Banyubiru. Tetapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa ayahnya selama ini telah disibukkan oleh saudara sepupunya, Karebet. Bahkan ia tidak menyadari pula, bahwa keadaan itu bukan sekedar kesibukan-kesibukan pikiran dan perasaan. Namun karena Kebo Kanigara sudah bertekad untuk membantu kemenakannya itu kembali ke Istana, maka akan banyaklah persoalan-persoalan yang dihadapinya. Tetapi Kebo Kanigara tidak mau menyulitkan orang lain. Karena itu semuanya disimpan di dalam dadanya. Hanya sekali-kali ia menyuruh Karebet pergi ke Karang Tumaritis, minta nasehat dan pertimbangan Panembahan Ismaya dan memberitahukan kepada Panembahan itu bahwa Kebo Kanigara menjadi agak lambat lagi. Meskipun mereka bersama-sama masih tetap tinggal di Banyubiru, dan mereka tampak dalam kesibukan yang sama sehari-harinya, namun di dalam hati mereka, mereka mempunyai alasan yang berbeda-beda.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis sekedar menunggu jemputan dari Gunung Kidul, Endang Widuri karena sesuatu telah mengikatnya di Banyubiru, sesuatu yang tidak dapat dikatakan, sedang Kebo Kanigara terikat oleh kemenakannya dengan segenap persoalannya.

Pada suatu hari, Banyubiru diributkan oleh kedatangan sebuah rombongan orang-orang berkuda. Rombongan itu berpacu dari arah Barat. Bukan hanya sekedar sepuluh orang, namun lebih banyak lagi. Suara derap kakinya menggeletar, memecah kesepian tanah yang damai itu. Seseorang yang sedang bekerja di sawah melihat rombongan itu merayap-rayap menyelusur jalan-jalan di lembah, mendaki Bukit Telamaya. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Rombongan itu sama sekali bukan rombongan dari Pamingit. Paling depan tampaklah seorang dalam pakaian yang mewah, beludru berkilat-kilat. Sebuah pedang panjang tersangkut di lambungnya. Pedang dengan sebuah wrangka yang putih berkilau. Pedang yang jarang-jarang dimiliki oleh orang biasa. Orang itu sama sekali bukan Ki Ageng Lembu Sora. Dan para pengiringnya sama sekali bukan orang Pamingit. Petani itu berpikir di dalam hatinya. Masih terbayang apa saja yang telah terjadi beberapa waktu yang lampau. Terbayanglah laskar-laskar dari golongan hitam yang bersama-sama menyerang Banyubiru, kemudian terbayang pula kekacauan yang timbul didaerah perdikan itu setelah laskar Pamingit mendudukinya. Tetapi petani itu tidak tahu, apa yang akan dilakukan untuk mengetahui siapakah para pendatang itu. Karena itu maka segera ia berlari pulang, dan menyampaikan apa yang dilihatnya kepada anaknya.
“Bapak melihat rombongan itu sebenarnya?”
“Ya, aku melihat dan mataku masih cukup baik.”

Anaknya yang sudah cukup dewasa berpikir sejenak. Kemudian katanya kepada ayahnya,
“Biarlah aku sampaikan kepada kakang Bantaran.”
Anaknya tidak menunggu jawaban ayahnya. Cepat-cepat ia berlari kekandang, melepaskan kudanya dan dipacunya ke rumah Bantaran. Mendengar laporan itu, Bantaran mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Apakah tidak ada tanda-tanda pada mereka itu?”
“Aku tidak tahu”, jawab anak muda itu.
“Marilah ikut aku”, sahut Bantaran.
Keduanya kemudian memacu kuda mereka, mendaki tebing yang menghadap ke Barat. Sebenarnyalah, mereka melihat serombongan orang-orang berkuda sudah semakin dekat. Serombongan orang-orang berkuda yang lengkap dengan senjata-senjata mereka.

“DUA puluh orang kira-kira”, gumam Bantaran.
“Apakah maksud mereka?” bertanya anak petani itu.
Bantaran menggelang. Jawabnya,
“Apapun maksud mereka, tetapi mereka aku kira tidak akan berbuat kerusuhan di sini. Mereka datang di siang hari, lewat jalan yang sewajarnya dan hanya dua puluh orang. Meskipun demikian, datanglah ke gardu penjagaan pertama. Beritahukan bahwa ada serombongan orang berkuda akan lewat. Sebentar lagi aku akan datang ke gardu itu.”
Anak petani itu tidak menjawab. Segera ia melarikan kudanya ke gardu pertama memberitahukan apa yang telah dilihatnya.
Pemimpin gardu itu menghela nafasnya. Kemudian kata-katanya,
“Kedatangan kakang Bantaran kami tunggu.”
Anak petani itupun kemudian kembali ke tempat Bantaran mengawasi orang-orang berkuda itu. Mereka sudah tampak lebih jelas lagi. Tetapi karena jalan melingkar-lingkar, maka jarak yang harus dilaluinya masih cukup panjang. Kemudian Bantaran pun berkata kepada anak petani itu.
“Kembalilah, sampaikan pesan ini kepada kakang Penjawi, bahwa berita tentang kedatangan orang-orang berkuda itu supaya dilaporkan kepada paman Wanamerta.”

Sepeninggalan anak petani itu, segera Bantaran pergi ke gardu pertama. Gardu yang masih ditempati oleh beberapa orang penjaga. Meskipun Banyubiru seakan-akan sudah tenang, namun peperangan yang baru saja terjadi masih mengharuskan mereka berhati-hati. Di gardu penjagaan itu, Bantaran melihat beberapa orang telah bersiaga. Namun kemudian Bantaran berkata
“Jangan terlalu berprasangka. Orang-orang itu pasti tidak akan berbuat jahat.”
Meskipun demikian, beberapa orang di gardu itu telah menggantungkan pedang-pedang mereka di lambung, dan yang lain menyandarkan tombak-tombak mereka di samping mereka berdiri.
Sesaat kemudian gemeretak kaki kuda itu telah terdengar.
“Ha, itulah mereka” gumam Bantaran.
Tetapi mereka masih menunggu cukup lama. Jalan yang melingkar dan berbelit-belit itu agaknya telah memperpanjang jarak perjalanan orang-orang berkuda itu. Akhirnya muncullah dari tikungan beberapa orang berkuda. Sebenarnyalah bahwa yang paling depan dari mereka adalah seorang yang berpakaian sangat bagus. Baju beludru, kain lurik yang berwarna kemerah-merahan. Sebuah pedang yang bagus berjuntai di sisi kudanya.

Orang itu terkejut ketika dilihatnya beberapa orang yang berdiri di pinggir jalan berseberangan. Segera orang itu menyadari, bahwa kedatangannya telah mengejutkan beberapa orang penjaga. Karena itu maka segera orang-orang berkuda itu memperlambat kuda-kuda mereka, dan berhenti beberapa langkah dari Bantaran. Wanamerta yang telah mendengar laporan Penjawi, menjadi gelisah juga. Segera ia pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora, dan memberitahukan tentang apa yang didengarnya dari Penjawi. Namun seperti apa yang didengarnya, maka katanya,
“Tetapi menurut Bantaran, orang-orang itu pasti tidak akan berbuat huru-hara di sini, sebab mereka hanya kira-kira duapuluh orang.”
Meskipun demikian berita itu telah menimbulkan berbagai pertanyaan di hati mereka yang sedang duduk di pendapa itu. Ki Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri. Mereka mencoba menerka, siapakah kira-kira yang datang dalam rombongan itu. Namun mereka tidak dapat menemukan jawaban. Kemudian terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya,
“Dimanakah Penjawi sekarang?”
“Penjawi sedang pergi menyusul Bantaran. Anak itu tidak dapat membiarkan seandainya orang-orang itu berbuat sesuatu. Namun mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa diantara mereka.”

Ki Ageng Gajah Sora menarik nafasnya. Dan sebelum mereka dapat berbuat apapun, maka terdengarlah seseorang penjaga berkata
“Sebuah rombongan berkuda.”
Salah seorang dari mereka segera memberitahukannya kepada Ki Ageng Gajah Sora, dan sambil mengangguk-angguk Ki Ageng berkata,
“Baik. Kembalilah ke tempatmu.”
Orang itu pun segera berjalan ke gardunya, sedang beberapa orang yang lain, segera berdiri pula sambil berjaga-jaga. Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri segera turun ke halaman. Mereka berusaha menjemput orang-orang berkuda itu sebelum mereka memasuki regol halaman. Tetapi langkah mereka segera tertegun. Yang mula-mula masuk ke halaman justru adalah Bantaran dan Penjawi. Karena itu maka Ki Ageng Gajah Sora itu segera bertanya.
“Siapakah mereka?”
Sebelum Bantaran menjawab, maka muncullah orang yang pertama. Seorang yang gagah tampan dengan baju beludru dan sebuah pedang yang indah di lambungnya. Demikian orang itu melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera ia berseru.
“Mahesa Jenar, aku datang menjemputmu.”
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Endang Widuri terkejut melihat orang itu. Lebih-lebih adalah Rara Wilis. Karena itu sesaat mereka diam mematung. Sehingga terdengar kembali orang itu berkata.
“Apakah kau lupa kepadaku?”
Mahesa Jenar seakan-akan tersadar dari mimpinya yang aneh. Karena cepat-cepat ia menjawab.
“Tidak. Aku tidak melupakan kau, Sarayuda.”
Sarayuda, orang yang baru datang itu tertawa, wajahnya cerah secerah warna pakaiannya. Sambil meloncat turun dari kudanya ia berkata.
“Aku datang atas perintah Ki Ageng Pandan Alas untuk menjemput kalian berdua.”

Wajah Rara Wilis segera menjadi kemerah-merahan. Ia tidak dapat melupakan, apakah yang telah terjadi antara mereka bertiga, Mahesa Jenar, Sarayuda dan dirinya. Karena itu, maka segera ditundukkannya wajahnya dalam-dalam. Yang menjawab kemudian adalah Mahesa Jenar,
“Terima kasih Sarayuda. Tetapi marilah, perkenalkanlah dahulu dengan Kepala Daerah Tanah Perdikan Banyubiru, Ki Ageng Gajah Sora.”
Sarayuda tersadar akan kehadirannya di Banyubiru. Karena itu maka segera ia berkata.
“O, maafkan. Aku terlalu bernafsu untuk menyampaikan maksud kedatanganku, sehingga aku lupa suba-sita.”
“Marilah Ki Sanak”, Ki Ageng Gajah Sora mempersilakan,
“Marilah, aku mempersilakan kalian untuk naik kependapa.”
Maka seluruh rombongan itu pun kemudian memperkenalkan diri. Sarayuda adalah Demang yang kaya raya, yang menguasai suatu daerah yang luas di daerah Pegunungan Kidul. Sedang Ki Ageng Gajah Sora adalah seorang Kepala Daerah Tanah Perdikan yang kuat dan subur di lereng bukit Telamaya. Keduanya adalah orang-orang yang bertanggungjawab atas wilayahnya dan rakyatnya. Karena itu, maka segera mereka dapat menyesuaikan dirinya dalam perkenalan yang akrab, meskipun ada beberapa perbedaan sifat di antara mereka. Sarayuda adalah seorang yang menyadari kekayaannya, meskipun tidak berlebih-lebihan, sehingga caranya berpakaian pun telah menunjukkan keadaannya, sedang Ki Ageng Gajah Sora adalah seorang yang sederhana.

Segera pembicaraan mereka berkisar kepada maksud kedatangan Sarayuda. Berkata Demang itu kemudian,
“Kakang Gajah Sora, kedatanganku kemari adalah karena perintah guruku, Ki Ageng Pandan Alas untuk menjemput Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Setiap orang di Gunung Kidul telah mendengar berita itu. Berita tentang akan kehadiran Rangga Tohjaya di daerah mereka. Karena itu, maka Gunung Kidul sedang dihinggapi oleh perasaan yang melonjak-lonjak, mengharap agar orang yang ditunggu-tunggu itu segera datang. Rara Wilis adalah seorang gadis yang cukup mereka kenal, karena daerah itu adalah daerah masa kanak-kanaknya. Banyak kawan-kawannya bermain ingin melihat mereka, seorang anak gadis dari daerah mereka yang pernah memakai nama Pudak Wangi dan telah berhasil membinasakan seorang perempuan yang dahulu pernah menggemparkan daerah itu, yang bernama Nyai Sima Rodra”.
Mahesa Jenar tersenyum mendengar pujian itu, sedang Rara Wilis semakin menundukkan wajahnya. Pipinya menjadi kemerah-merahan dan karena itulah maka sepatah kata pun dapat diucapkan. Widuri yang mendengar kata-kata itu dengan seksama, tersenyum-senyum kecil. Dengan nakalnya ia berkata.
“Ah. Apakah paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu paman Demang Sarayuda?”
“Ya tentu” jawab Sarayuda,
“Aku dan rakyatku akan menyambutnya.”
“Bukan main. Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu Agung.” sahut Widuri.
“Apakah aku boleh ikut serta?”
“Tentu” jawab Sarayuda.
“Aku dan setiap orang yang hadir di dalam pendapa ini untuk pergi ke Gunung Kidul. Menyaksikan bukit-bukit gundul dan bukit-bukit kapur di antara lembah-lembah hijau. Sangat berbeda dengan pemandangan di Bukit Telamaya ini.”
Wajah Endang Widuri itu pun kemudian menjadi cerah. Dengan serta merta ia berkata,
“Bagus sekali. Aku akan ikut dengan Bibi Wilis. Boleh bukan bibi?”

Rara Wilis tidak segera dapat menjawab. Sekali dipandangnya wajah Kebo Kanigara. Ia tidak dapat berkata apapun tentang gadis itu sebelum ayahnya memberikan persetujuan. Widuri melihat keragu-raguan Rara Wilis. Karena itu segera ia berkata kepada ayahnya.
“Ayah, bukankah kita akan ikut ke Gunung Kidul”.
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata perlahan-lahan.
“Sayang Widuri kita tidak dapat ikut serta.”
Kecerahan wajah Widuri segera larut, seperti bulan disaput awan yang sedemikian kelam.
“Kenapa?”
“Ada sesuatu yang harus kita kerjakan di sini.”
“Apakah yang harus dikerjakan?”
Aku Widuri. Aku mempunyai banyak pekerjaan di sini. Dan agaknya kita telah terlalu lama tidak kembali ke Karang Tumaritis.
“Aku tidak mau. Aku tidak mau.” berkata Widuri itu.
Kebo Kanigara tersenyum. Kemudian kepada Sarayuda itu berkata.
“Sayang adi. Sungguh sayang. Sebenarnya aku juga ingin mengantarkan Widuri ikut serta mengunjungi daerah adi. Namun ternyata ada persoalan-persoalan yang harus aku selesaikan. Dan aku harus segera kembali ke Karang Tumaritis.”
Sarayuda menarik nafas.
“Ya sayang.”
Yang menyahut kemudian adalah Endang Widuri,
“Kalau ayah mempunyai pekerjaan di sini atau di Karang Tumaritis, biarlah aku ikut bersama Bibi Wilis. Nanti kalau ayah sudah selesai, biarlah ayah menjemput aku.”

Kebo Kanigara itu tersenyum pula. Namun senyumnya membayangkan sesuatu yang tak dapat diraba. Katanya,
“Tidak Widuri. Jangan pergi sekarang. Besok apabila sampai waktunya, biarlah kau aku antarkan ke sana. Kalau sampai saatnya Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan mengarungi hidup baru mereka.”
“Emoh” seru gadis itu.
“Aku akan pergi bersama bibi Wilis.”
“Bukankah sama saja bagimu Widuri”, berkata ayahnya.
“Besok atau sekarang.”
“Tidak” sahut Widuri.
“Aku ingin melihat, bagaimana rakyat Gunung Kidul menyambut paman Mahesa Jenar.”
“Tetapi kau tidak akan melihat, bagaimana pamanmu dan bibi Wilis di persandingan.”
“Biar. Aku akan ikut bersama bibi Wilis.”
Rara Wilis menjadi iba melihat Endang Widuri. Tetapi ia tidak berani berkata apapun. Itu sepenuhnya adalah wewenang ayahnya. Karena itu, Rara Wilis hanya dapat memandangnya dengan senyum yang hambar.
Sarayuda agaknya dapat menempatkan dirinya. Ia tidak mau mengecewakan Kebo Kanigara. Maka katanya,
“Begitulah angger Widuri. Seperti kata ayah angger itu. Biarlah besok aku menyuruh beberapa orang menjemput ke mari apabila sudah tiba waktunya. Kalau angger sudah kembali ke Karang Tumaritis, biarlah kelak di jemput pula ke sana. Bukankah begitu? Kelak angger bisa pergi bersama ayah.”

Widuri kemudian menjadi bersungut-sungut. Bahkan tampaklah matanya menjadi basah. Ia menjadi sangat kecewa. Katanya kemudian,
“Aku tidak mau dijemput oleh sembarang orang.”
Demang Sarayuda tersenyum. Jawabnya,
“Baiklah, besok aku sendiri akan menjemput angger. Begitu?”
Widuri tidak menjawab. Namun tiba-tiba ia berdiri dan berlari masuk ke dalam biliknya. Alangkah kecewa hatinya, bahwa ia tidak dapat turut serta dengan Rara Wilis. Meskipun mereka berdua bukan sanak bukan kadang, namun perpisahan di antara mereka benar-benar tidak menyenangkan. Pergaulan mereka yang ditandai dengan berbagai kesulitan, benar-benar telah mengikat mereka dalam suatu ikatan yang sangat erat. Tidak saja Widuri yang menjadi sedih akan perpisahan itu, tetapi Rara Wilis pun merasakan, bahwa ia akan menjadi kesepian tanpa gadis yang nakal itu.
Tetapi Kebo Kanigara benar-benar berhalangan untuk turut serta pergi ke Gunung Kidul. Masih ada suatu pekerjaan yang mengikatnya di Banyubiru. Pekerjaan yang ditimbulkan oleh kemenakannya yang nakal.

MAHESA Jenar pun menjadi kecewa. Tetapi ia dapat mengerti keberatan Kebo Kanigara. Meskipun demikian Mahesa Jenar itu berkata,
“Kakang. Sebenarnya aku sangat mengharap kakang untuk ikut serta bersama kami.”
Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya katanya.
“Aku juga menyesal sekali Mahesa Jenar. Tetapi barangkali kau dapat mengerti apa yang akan aku lakukan. Karena itu biarlah lain kali aku menyusul ke Gunung Kidul bersama Widuri.”
Sesaat mereka pun berdiam diri. Arya Salaka menundukkan kepalanya. Semula ia ingin juga turut pergi ke Gunung Kidul mengantarkan gurunya. Tetapi ketika ia mengetahui, bahwa Endang Widuri tidak diperbolehkan oleh ayahnya ikut dalam rombongan itu, maka ia menjadi bimbang. Keinginannya untuk turut pun terlalu besar, namun terasa sesuatu yang menahannya untuk tinggal di rumah. Karena itu, anak muda itu bahkan menjadi bingung. Sehingga akhirnya Arya pun hanya berdiam diri saja.
“Ah, terserah apa yang akan aku lakukan nanti,” desisnya di dalam hati.
“Kalau tiba-tiba aku ingin berangkat biarlah aku berangkat. Kalau aku ingin tinggal, biarlah aku tinggal.”
“Tetapi”, berkata pula hatinya.
“Bagaimana kalau guru mengajakku?”
“Entahlah”, jawabnya sendiri di dalam hati.

Malam itu Sarayuda dan para pengiringnya bermalam di rumah itu pula. Karena tempatnya yang terbatas, maka para tamu itu dipersilakan tidur di pendapa, di atas tikar pandan yang dirangkap supaya tidak terlalu dingin.
Mahesa Jenar dan Rara Wilis pun segera mempersiapkan dirinya. Tetapi tidak banyaklah yang mereka punyai. Mereka tidak sempat berbuat untuk diri mereka sendiri selama ini. Karena itu, apa yang dimilikinya pun hampir tidak ada. Hanya beberapa lembar pakaian yang sudah lungset tanpa perhiasan apapun bagi Mahesa Jenar hal itu hampir tak berpengaruh pada perasaannya. Tetapi bagi Rara Wilis, terasa sekali alangkah miskinnya. Ia sama sekali tidak memiliki perhiasan apapun sebagai seorang gadis. Bahkan yang dimilikinya adalah sebilah pedang. Pedang tipis yang telah dikotori dengan darah. Mahesa Jenar terkejut ketika tiba-tiba dilihatnya wajah Rara Wilis menjadi suram. Karena itu dengan dada yang berdebar-debar mencoba bertanya.
“Wilis. Adakah sesuatu yang mengganggu perasaanmu?”
Rara Wilis terkejut mendengar pertanyaan itu. Segera dicobanya untuk menguasai perasaannya. Dengan sebuah senyuman yang dipaksakan ia menjawab,
“Kenapa? Aku tidak apa-apa kakang. Aku sedang berpikir tentang hari-hari yang akan datang.”
“Oh” Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak membantah. Namun ketika dilihatnya sekali lagi Rara Wilis merenungi kainnya yang hampir-hampir sudah kehilangan warnanya, maka hatinya pun berdesir.

“Hem “ desahnya di dalam hati.
“Ternyata aku tidak menyadari, bahwa tekanan perasaan Wilis sudah terlampau padat. Agaknya dalam ketegangan kewajiban yang aku hadari, gadis itu tidak sempat memperhatikan keadaan dirinya sendiri”. Namun dalam kesempatan seperti ini, barulah disadarinya perasaan itu. Perasaan seorang gadis.
Tetapi Mahesa Jenar tidak berkata apapun. Ia masih belum tahu, bagaimana mungkin ia akan mendapatkan kebutuhan-kebutuhan yang wajar bagi sebuah keluarga. Apapun yang dilakukannya, maka apabila sampai saatnya, maka hal itu tidak akan mungkin dapat diabaikan.Ia tidak dapat membutakan matanya, seandainya pada suatu saat ia dikejar-kejar oleh keperluan-keperluan tetek bengek itu.
“Itu merupakan suatu kewajiban”, desahnya.
Mahesa Jenar itu pun kemudian berjalan keluar bilik Rara Wilis, dan ke halaman. Dilihatnya beberapa orang sudah berbaring-baring di pendapa, sedang beberapa orang lagi masih duduk-duduk di antara mereka. Bahkan ada juga yang masih berjalan-jalan di luar regol halaman. Ketika Mahesa Jenar pergi keluar regol pula, maka orang-orang dari Gunung Kidul itu bertanya-tanya tentang beberapa hal kepadanya.
“Tanah ini cukup subur” berkata salah seorang dari mereka,
“Tanah yang akan memberikan apa saja yang diharapkan oleh penggarapnya.
“Demikianlah” sahut Mahesa Jenar,
“Tanah yang telah dipertahankan dengan banyak pengorbanan.”

Tamu dari Gunungkidul itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Tanah kami adalah tanah yang bercampur-baur. Ada yang subur sesubur tanah ini. Ada yang menggantungkan airnya dari air hujan melulu. Bahkan ada yang hanya dapat dijadikan padang-padang rumput untuk peternakan. Bahkan ada yang batu melulu.”
Mahesa Jenar mengangguk lemah. Tanah ini adalah tanah yang subur, yang telah dipertahankan dengan darah dan air mata. Dirinya sendiri pun telah ikut serta memeras keringat untuk kepentingan tanah ini. Tanah yang subur, yang akan dapat memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat dan penduduknya. Bahkan siapa yang bekerja keras, pasti akan dapat segera menikmati hasil dari jerih payahnya itu.
“Tetapi aku tidak dapat ikut serta” desis Mahesa Jenar di dalam hati.
Timbullah di dalam hatinya sesuatu yang tak pernah dipikirkannya. Kalau ia nanti akan membangun rumah tangga yang kuat, maka ia harus membuat tiang-tiangnya kuat pula. Diantaranya, bagaimana ia harus hidup sekeluarganya. Karena itu, maka sampailah Mahesa Jenar pada suatu kesimpulan.
“Bekerja”.
“Ah” kembali ia berdesah di dalam hati,
“Akhirnya aku sampai pada persoalan itu. Persoalan yang sangat pribadi. Persoalan yang hampir tak ada sangkut pautnya dengan pengabdian yang selama ini dilakukannya. Tetapi apakah dengan demikian maka segenap pengabdian harus terhenti?”
“Tidak” pertanyaan itu dijawabnya sendiri.
“Aku akan dapat dan harus dapat melakukan kedua-duanya sekaligus. Mudah-mudahan Wilis akan dapat mengerti pula.”

Tiba-tiba teringatlah Mahesa Jenar itu kepada masa-masa lampaunya, masa-masa ia tinggal di istana Demak sebagai seorang prajurit. Dikenangnya pula beberapa orang kawan-kawannya yang pada saat itu telah berkeluarga pula. Katanya di dalam hati,
“Mereka dapat melakukan kedua-duanya. Pengabdian dan keluarga.”
“Tetapi tidak hanya di dalam istana, atau didalam bidang-bidang itu kedua-duanya dapat dilakukannya sekaligus”, katanya pula.
“Di sini, aku lihat rakyat Banyubiru melakukannya pula. Bekerja untuk keluarganya, namun mereka melakukan pengabdiannya untuk tanahnya. Membangun tanah ini. Tempat-tempat ibadah, banjar-banjar desa dan surau-surau tempat pendidikan lahir dan batin. Bekerja keras untuk kesejahteraan keluarganya dan kesejahteraan bersama.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu teringat pada ceritera Wanamerta tentang seorang bahu yang pernah mencoba menyuapnya dengan timang emas bertretes berlian.
“Bukan itu”, desah Mahesa Jenar di dalam hatinya,
“Bukan seperti bahu itu. Ia bekerja untuk diri sendiri, tetapi bukan untuk sebuah pengabdian. Justru ia menghisap hidup disekitarnya untuk kepentingannya. Dibiarkannya orang-orang disekitarnya kering, namun dirinya sendiri menimbun kekayaan tanpa batas.”
Namun bagaimana pun juga, Mahesa Jenar dihadapkan pada suatu kewajiban yang baru. Kewajiban atas sebuah keluarga yang bakal disusunnya. Kewajiban yang tidak kalah sucinya dari kewajiban yang telah dilakukannya selama ini. Sebab dengan keluarga yang baik, Yang Maha Esa telah mempergunakan untuk menangkar-lipatkan jumlah manusia di dunia untuk memelihara dan memanfaatkan ciptaan-Nya dengan baik.

Rombongan Sarayuda itu tinggal di Banyubiru untuk dua hari lamanya. Selama itu mereka telah melihat-lihat Banyubiru dengan baik. Apa yang dapat dilakukan di daerah Demang yang kaya raya itu, telah mereka pelajari, sedang apa yang baik bagi Banyubiru telah disarankannya pula. Sehingga sampailah pada saatnya mereka meninggalkan Banyubiru. Dua hari kemudian, maka bersiaplah rombongan itu meninggalkan Banyubiru beserta Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Ki Ageng Gajah Sora dengan menyesal tak dapat ikut serta bersama mereka pergi ke Gunung Kidul karena keadaan daerahnya yang masih harus mendapat pengawasannya. Kebo Kanigara terikat pada suatu kewajiban yang tak dapat ditinggalkannya pula. Sedang Endang Widuri dengan penuh penyesalan terpaksa tidak dapat mengikuti Rara Wilis ke Gunung Kidul. Pada saat-saat terakhir itu pun kemudian Arya Salaka memutuskan untuk tidak turut bersama gurunya, meskipun ada juga keinginan yang melonjak-lonjak.
Dalam kesempatan itu Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Lembu Sora pun telah memerlukan datang ke Banyubiru untuk menyampaikan ucapan selamat jalan kepada Mahesa Jenar. Orang yang aneh di dalam tanggapannya. Orang yang hampir tak dapat dimengertinya, apakah yang telah menjadikannya seorang yang memiliki jiwa pengabdian yang sedemikian besarnya.
Sebelum matahari sepenggalah, maka rombongan itu telah bersiap untuk berangkat. Ternyata Mahesa Jenar dan Rara Wilis tidak hanya memerlukan dua ekor kuda untuk mereka. Seekor kuda yang lain, tanpa sepengetahuan mereka telah dipisahkan oleh Ki Ageng Gajah Sora. Di punggung kuda itu terdapat sebuah beban yang tak diketahui isinya. Beban yang telah diatur oleh Nyi Ageng Gajah Sora bersama Nyi Ageng Lembu Sora.

Terharu juga Mahesa Jenar melihat kuda yang seekor itu tentu saja ia tidak dapat menolak untuk tidak menyakiti hati Ki Ageng Gajah Sora kakak beradik. Perpisahan itu merupakan perpisahan yang mengharukan. Meskipun mereka tahu, bahwa suatu ketika Mahesa Jenar akan kembali pula, namun seakan-akan mereka bertemu pada saat itu untuk terakhir kalinya. Apalagi Endang Widuri. Ketika kemudian Sarayuda minta diri dengan serta merta gadis itu berlari menghambur memeluk Rara Wilis.
Sambil menangis Widuri berkata,
“Bibi, jangan pergi terlalu lama.”
Rara Wilis pun seorang gadis pula. Karena itu maka ia pun tidak dapat menahan air matanya. Apalagi ketika dilihatnya Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora pun menjadi berlinang-linang. Teringat pula oleh mereka berdua, pada saat-saat mereka berhadapan dengan Galunggung yang sedang dihinggapi oleh kegilaannya tentang pangkat dan kekayaan, sehingga hampir saja mereka berdua dibunuhnya. Untunglah pada saat itu Rara Wilis hadir di antara mereka, sehingga sebenarnyalah gadis itulah yang telah menyambung umurnya.
“Widuri” berkata Rara Wilis itu kemudian.
“Perpisahan ini tidak akan terlalu lama. Bukankah kau segera akan menyusul kami ke Gunung Kidul?”
Endang Widuri mengangguk perlahan. Dipalingkannya wajahnya kepada ayahnya seakan-akan ia minta ketegasan daripadanya.
Sebenarnya Kebo Kanigara merasa kasihan juga kepada putrinya itu. Tetapi terpaksa ia tidak dapat mengijinkannya, karena ia sendiri tidak dapat pergi.

Anak itu adalah anak yang sangat nakal, sehingga betapapun juga, maka Kebo Kanigara itu tidak sampai hati melepaskannya tanpa pengawasannya. Apalagi nanti Mahesa Jenar dan Rara Wilis sedang disibukkan oleh persoalan mereka sendiri, maka Widuri akan sangat mengganggu mereka, dan kadang-kadang pasti akan lepas dari pengawasan. Karena itu, betapa pun juga, maka Kebo Kanigara berusaha untuk tetap melarang anaknya ikut serta.
Ketika anaknya itu berpaling kepadanya, maka katanya,
“Ya Widuri. Segera kita akan menyusul ke Gunung Kidul. Kemarin aku sudah mendapat ancar-ancar, kemana kita nanti harus pergi. Jalan mana yang harus kita tempuh, dari pamanmu Sarayuda. Kalau kau bersabar sedikit bukankah pamanmu Sarayuda bersedia untuk menjemputmu?”
Akhirnya Rara Wilis itupun dilepaskannya juga, meskipun tangisnya mash saja menyesakkan dadanya, sementara Mahesa Jenar menepuk punggung muridnya.
“Kau sudah menjelang dewasa penuh Arya. Sudah seharusnya kau menyadari keadaanmu itu. Bekerja keras membantu ayahmu. Tak ada orang lain yang diharapkannya selain daripadamu.”
Arya mengangguk sambil menjawab,
“Ya paman”.
Maka kemudian sampailah saatnya rombongan itu berangkat. Perpisahan yang mengesankan.
Rara Wilis masih melihat Endang Widuri berlari masuk ke gandok kulon, sedang kemudian Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menyusulnya. Sebuah salam yang erat sebagai tanda terima kasih yang tak ada batasnya, telah diberikan oleh Mahesa Jenar langsung, namun lebih daripada itu, Mahesa Jenar telah membentuk Arya Salaka menjadi harapan bagi masa datang.

Satu demi satu, maka kemudian keluarlah mereka dari halaman di atas punggung kuda masing-masing. Bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis perjalanan yang akan ditempuh itu terasa aneh. Perjalanan yang jauh berbeda dengan semua perjalanan yang pernah mereka lakukan. Kalau pada masa lampau mereka berjalan dengan penuh keprihatinan, maka perjalanan kali ini adalah perjalanan menunju ke hari-hari yang cerah. Namun karena itulah maka dada mereka menjadi berdebar-debar. Setelah mereka meninggalkan halaman itu maka mulailah kuda mereka berjalan agak cepat. Beberapa orang melihat rombongan itu menganggukkan kepala mereka. Mereka memberikan hormat setulus-tulusnya kepada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Bahkan Ki Wanamerta, Jaladri, Bantaran dan Penjawi telah ikut serta dengan rombongan itu, mengantarkan sampai ke perbatasan kota. Bukan hanya mereka. Beberapa orang lain pun telah ikut pula, sehingga rombongan itu menjadi semakin panjang. Di perbatasan kota mereka berhenti sesaat. Wanamerta yang tua itu memerlukan mengucapkan selamat jalan, mengucapkan terima kasih atas nama segenap rakyat Banyubiru dan ternyata orang tua yang telah menjadi hampir bulat kembali itu meneteskan air mata.


<<< Bagian 097                                                                                              Bagian 099 >>>

No comments:

Post a Comment