KARENA itu,
maka apa yang dicapainya itu benar-benar telah memberinya kebahagiaan. Baru
beberapa waktu kemudian Kebo Kanigara itu berkata,
“Karebet.
Jangan tinggalkan Banyubiru tanpa ijinku. Mungkin ada beberapa cara yang dapat
ditempuh, supaya Sultan Trenggana itu memaafkan kesalahanmu.”
Karebet
menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Baik paman.
Aku akan tinggal di Banyubiru sampai paman memerintahkan aku berbuat lain.”
Kembali mereka
terlempar dalam kesenyapan. Dan kembali suara jengkerik bersahut-sahutan dengan
desir angin didaunan. Awan yang putih segumpal hanyut diwajah bulan kuning
pucat. Sesaat kemudian barulah Kebo Kanigara berkata,
”Karebet.
Alangkah bodohnya kau. Kenapa kau sampai terpancing dalam pertempuran melawan
Sultan Trenggana?”
“Aku tidak
mengenal paman. Sultan menggunakan tutup wajah dari ikat kepalanya. Dan Sultan
sama sekali tidak mempergunakan tanda-tanda kebesarannya.”
“Apakah kau
tidak mampu melihat ciri-ciri gerak Baginda?”
“Tidak paman.
Aku lebih baik tidak menyangka bahwa aku berhadapan dengan Baginda, karena
Baginda mempergunakan Aji Welut Putih.”
“Kenapa dengan
Aji Welut Putih.”
“Bukankah Aji
itu biasa dipergunakan oleh orang-orang jahat yang berusaha melepaskan diri
dari kejaran?”
Kebo Kanigara
mengangguk-angguk. Tetapi katanya,
“Baginda
mengenal seribu macam ilmu. Dari yang paling jahat sampai yang paling baik.”
“Aku kurang
menyadari itu paman. Mungkin Baginda sengaja mempergunakan Aji Welut Putih
untuk lebih mengaburkan anggapanku terhadap orang yang tertutup wajah itu.”
Kebo Kanigara
mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba ia berkata,
“Jangan kambuh
lagi Karebet. Kalau kau meninggalkan Banyubiru tanpa setahuku, aku tidak akan
mencampuri lagi segenap persoalanmu.”
“Baik paman”
jawab Karebet.
Kebo Kanigara
itupun kemudian bangkit sambil berkata.
“Kembalilah
kerumah Ki Lemah Telasih. Mudah-mudahan Buyut Banyubiru itu akan memberimu
banyak tuntunan yang akan bermanfaat bagi hidupmu.”
Karebet itupun
kemudian berdiri pula. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia berkata,
“Baik paman.”
Ketika
pamannya itu kemudian berjalan meninggalkannya, maka Karebet itu pun segera
kembali ke rumah Ki Buyut Banyubiru.
Sebenarnyalah
Karebet, sejak dari Tingkir segera ia pergi ke Banyubiru. Semula ia mengharap
bahwa Arya Salaka telah berhasil kembali ke tanah perdikannya. Namun ternyata
ditemuinya tanah itu sedang dicengkram oleh ketegangan. Karena itu, maka untuk
sementara ia mencari tempat yang dapat dipakainya untuk menyembunyikan dirinya.
Sehingga akhirnya ditemukannya tempat itu. Rumah Ki Buyut Banyubiru, yang baik
hati. Ia tinggal di rumah itu bersama-sama dengan beberapa orang murid Ki Lemah
Telasih yang lain. Mereka termasuk orang-orang yang lebih mementingkan
persoalan-persoalan pengobatan dan ketekunan dalam mencari dan menemukan jenis
dedaunan untuk pengobatan daripada olah kanuragan. Disamping itu, Ki Lemah
Telasih adalah seorang yang tekun beribadah. Itulah sebabnya Karebet betah
tinggal di rumahnya. Ditemuinya persoalan-persoalan dalam hidupnya. Cara-cara
pengobatan itu sangat menarik hati anak muda yang aneh itu.
Diperjalanan
kembali ke rumah Ki Ageng Gajah Sora, Kebo Kanigarapun selalu diganggu oleh
berbagai pesoalan. Apakah ia akan membiarkan Karebet terbuang dari pergaulan
yang telah pernah dicapainya? Kebo Kanigara itupun dapat ikut merasakan
kepahitan yang dialami oleh Karebet itu. Kepahitan yang dialami oleh setiap
prajurit yang terpaksa disingkirkan dari kedudukannya. Tetapi Kebo Kanigara pun
tahu pula, bahwa Baginda masih memiliki kesayangan yang besar kepada anak yang
aneh itu. Meskipun demikian Kebo Kanigara itu pun berkata di dalam hatinya,
“Biarlah
orang-orang tua mencoba membantu menyelesaikan masalah ini.”
Malam itu Kebo
Kanigara hampir tak dapat tidur nyenyak. Ia bangun pagi-pagi benar dan
tampaklah bahwa perasaannya sedang dibebani oleh persoalan-persoalan yang
berat.
Mahesa Jenar
yang mengetahui serba sedikit tentang Karebet, segera dapat menduga, bahwa Kebo
Kanigara benar-benar sedang dirisaukan oleh kemenakannya yang nakal. Karena itu
sebagai seorang sahabat yang dekat, maka Mahesa Jenar menyatakan dirinya untuk
membantu memecahkan kesulitan-kesulitan yang sedang dihadapi oleh Kebo Kanigara
itu. Kebo Kanigara yang masih belum tahu apa yang akan dilakukan itu berkata,
“Bukan main.
Anak itu telah jauh tenggelam ke dalam gelora darah mudanya.”
“Apakah
kesalahan yang telah dilakukannya itu terlampau besar, sehingga tidak akan
mungkin mendapat pengampunan kakang,” bertanya Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara
merenung sejenak. Kemudian desahnya,
“Mudah-mudahan.
Tetapi waktu yang diperlukan cukup panjang.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Serba sedikit Kebo Kanigara mengatakan juga apa
yang pernah didengarnya dari Karebet. Namun tidak seluruhnya. Ada
persoalan-persoalan yang tidak dapat di ketahui oleh orang lain. Meskipun orang
lain itu adalah Mahesa Jenar sendiri, yang selama ini selalu berbuat
bersama-sama, berjuang bersama-sama dan bahkan hidup mati mereka berdua
seakan-akan telah dipertaruhkan bersama. Tetapi masalah yang dihadapi oleh Kebo
Kanigara sebagian adalah masalah yang berhubungan dengan keluarganya.
Berhubungan dengan saluran darah Majapahit yang mengalir di tubuhnya dan di
tubuh Karebet, namun juga di tubuh Sultan Tranggana. Karena ada beberapa
persoalan yang tidak dapat dikatakannya kepada Mahesa Jenar, maka Mahesa Jenar
pun tidak segera dapat melihat, apa yang dapat dilakukannya untuk membantu
memecahkan persoalan itu.
“Mahesa Jenar”
berkata Kebo Kanigara kemudian,
“Jangan kau
ikut serta dirisaukan oleh persoalan-persoalan yang dibuat oleh Karebet.
Lupakanlah persoalan itu. Selesaikan persoalanmu yang telah lama kau
tunda-tunda. Bukankah waktu itu kini telah datang?”
Mahesa Jenar
tersenyum. Segera ia tahu maksud Kebo Kanigara. Karena itu Mahesa Jenar
menjawab,
“Baiklah
kakang. Meskipun demikian apabila pada suatu saat kakang memerlukan aku, maka
aku selalu menyiapkan diri untuk itu.”
“Terima kasih,
Mahesa Jenar. Pada saatnya aku akan memberitahukannya kepadamu.
“Namun dalam
pada itu, sesuatu tersimpan di dalam hati Kebo Kanigara. Sesuatu yang tidak
dapat segera dikatakan kepada Mahesa Jenar, meskipun pada suatu saat pasti akan
menyangkut perasaannya.
“Hem” gumam
Kebo Kanigara didalam hatinya,
“Biarlah
Mahesa Jenar menikmati masa-masa yang paling baik dalam hidupnya.”
Sejak itu Kebo
Kanigara berusaha untuk menghilangkan kesan-kesannya yang menggelisahkan karena
pokal kemenakannya. Meskipun beberapa kali ia masih menemui Karebet, tetapi ia
tidak pernah menyebut-nyebutnya lagi kepada Mahesa Jenar.
Dibiarkannya
Mahesa Jenar sibuk dengan persoalan sendiri. Karena itulah maka Mahesa Jenar
tidak mendengar dari Kebo Kanigara bahwa Karebet telah pergi ke Karang
Tumaritis dan telah kembali ke Banyubiru. Dalam pada itu, maka Ki Ageng Pandan
Alas merasa bahwa ia telah cukup lama berada di Banyubiru. Karena itu maka ia
pun minta diri kepada Ki Ageng Gajah Sora, kepada Kebo Kanigara, kepada Mahesa
Jenar dan kepada cucunya Rara Wilis.
“Kenapa Ki
Ageng tergesa-gesa meninggalkan Banyubiru?” bertanya Gajah Sora.
“Aku sudah
cukup lama tinggal di sini angger. Karena itu aku ingin sekali-kali melihat
tanah kelahiranku. Aku ingin pulang ke Gunung Kidul, menyampaikan kabar yang
sebaik-baiknya bagi sanak kadang dan handai taulan di sana. Sudah tentu kami
akan mengharap Wilis sekali-kali juga mengunjungi kampung halaman. Dan sudah
tentu kami akan mengharap bahwa kami dapat menyaksikan hari yang paling baik
bagi hidupnya di kampung halaman sendiri. Apapun yang kemudian akan dilakukan,
dan kemana pun kemudian Wilis akan pergi, bukanlah soal bagi kami.”
Ki Ageng Gajah
Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Sebenarnya
Banyubiru akan sangat berterima kasih kalau kesempatan itu tidak kami terima di
sini, sebagai tanah yang telah menerima limpahan pengabdiannya yang tanpa
pamrih itu.”
Ki Ageng
Pandan Alas tertawa.
“Terima kasih.
Terima kasih.” sahutnya,
“Tetapi
biarlah kami pada suatu ketika membawanya dahulu kembali. Kami ingin
memperkenalkan angger Mahesa Jenar kepada sanak kadang serta sahabat-sahabat
kami.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Ki Ageng,
kami akan datang setiap saat. Aku akan bergembira untuk melihat tanah tempat
kelahiran Wilis. Dan aku akan bergembira untuk dapat mengenal sanak kadang di tanah
itu.”
“Bagus.
Biarlah kelak seseorang datang menjemput kalian di sini. Begitu aku sampai di
Gunung Kidul, begitu aku minta seseorang menjemput kalian supaya kalian tidak
usah mencari-cari jalan. Meskipun seandainya kalian tidak melewati hutan
Mentaok, kalian sudah tidak akan bertemu lagi dengan Lawa Ijo, ataupun
Pasingsingan yang satu itu. Seandainya demikian pun maka angger Mahesa Jenar
sudah pasti tidak akan takut. Dan aku tidak perlu menebang pohon di hutan itu
dan kemudian berdendang Dandang Gula.”
Mahesa Jenar
hanya dapat menundukkan kepalanya. Suatu kenangan yang mengesankan. Di hutan
itu pula ia pertama-tama bertemu dengan seorang gadis yang bernama Rara Wilis.
Di hutan itu pula ia hampir binasa karena Pasingsingan. Namun di hutan itu pula
ia diselamatkan oleh Ki Ageng Pandan Alas dengan suara kapaknya dan kemudian
disusul dengan tembang Dandang Gula yang melontarkan ciri kehadirannya. Yang
terdengar kemudian adalah suara Ki Ageng Pandan Alas itu pula.
“Sungguh tidak
sedap berlagu di tengah-tengah hutan yang lebat. Setiap kali aku membuka mulut,
setiap kali beberapa ekor nyamuk masuk bersama-sama. Tetapi aku tidak dapat
berhenti sebab dengan demikian aku tidak akan berhasil mencegah Pasingsingan
berbuat menurut caranya.”
Kembali Mahesa
Jenar mengenangkan peristiwa-peristiwa yang pernah terjadi. Betapa ia hampir
menjadi gila karena tiba-tiba Rara Wilis hilang.
“Hem” desahnya
di dalam hati. Sebuah tarikan nafas yang panjang telah menggerakkan dadanya.
Ki Ageng
Pandan Alas melihat perasaan yang melintas di hati Mahesa Jenar. Karena itu ia
tersenyum. Namun ketika ia menatap wajah Rara Wilis, Ki Ageng Pandan Alas itu
mengerutkan keningnya. Tampaklah mata gadis itu berkilat-kilat. Selapis air
telah membasahi pelupuk matanya. Karena itu maka orang tua yang jenaka itu
tidak lagi berkata tentang masa-masa lampau. Katanya kemudian,
“Kalau aku
akan mengirim orang untuk menjemput kalian, maka aku hanya ingin supaya kalian
tidak usah mencari jalan. Aku tidak yakin apakah Rara Wilis masih dapat
mengingat jalan itu dengan baik, atau apakah kalian akan dapat mencari jalan
dalam waktu singkat. Perjalanan kalian kali ini adalah perjalanan yang jauh
berbeda dengan setiap perjalanan yang pernah kalian tempuh. Kalian dapat
berjalan menyusup hutan belantara mencari sesuatu yang belum pasti tempat dan
keadaannya. Sedang Gunung Kidul adalah suatu daerah yang tidak akan dapat
berpindah-pindah. Namun akan lebih baik bagi kalian, apabila kalian tidak usah
bersusah payah untuk mencari jalan itu sendiri.”
“Terima kasih,
Ki Ageng” jawab Mahesa Jenar,
“Kami akan
menunggu dengan senang hati.”
Ki Ageng
Pandan Alas tersenyum. Tersenyum karena ia melihat masa depan satu-satunya
cucunya menjadi cerah, secerah matahari pagi. Ki Ageng Pandan Alas adalah
seorang pejalan. Ia dapat berjalan ke mana saja ia kehendaki. Namun
perjalanannya ini terasa sangat lambatnya. Ia ingin segera ke Gunung Kidul dan
menyuruh beberapa orang untuk menjemput cucunya. Sengaja ia tidak membawa
cucunya itu berjalan bersama-sama, karena ia ingin menghormati cucunya serta
bakal suaminya dengan suatu jemputan yang cukup baik. Ia sendiri tidak memiliki
apapun di Gunung Kidul. Namun muridnya yang sekarang sudah menjadi Demang,
pasti akan mau membantunya.
SEPENINGGALAN
Ki Ageng Pandan Alas, maka timbullah beberapa keragu-raguan di hati Mahesa
Jenar. Kalau ia harus menetap di Gunung Kidul, maka persoalannya menjadi agak
sulit baginya. Selama ini Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten belum kembali ke
Demak. Meskipun ia percaya sepenuhnya kepada Panembahan Ismaya, namun tanpa diketahui
sebabnya ia selalu ingin tinggal di dekatnya untuk sementara sebelum
keris-keris itu kembali. Tetapi ia sudah pasti bahwa ia tidak akan dapat
menolak permintaan Ki Ageng Pandan Alas. Ia tahu bahwa Rara Wilis menjadi
bergembira karenanya. Gembira bahwa ia akan segera melihat kampung halaman, dan
bergembira bahwa ia akan dapat berada di dalam lingkungannya semasa
kanak-kanak. Tetapi Rara Wilis pun pernah berkata kepadanya, bahwa ia mempunyai
beberapa keinginan, tetapi bukan ialah yang menentukan. Tetapi Mahesa Jenar
tidak mau mengecewakan Rara Wilis. Nanti apabila sampai saatnya persoalan itu
dapat dibicarakannya dengan baik. Dan ia yakin bahwa Wilispun pasti akan dapat
mengertinya. Demikianlah maka mereka menunggu di Banyubiru. Selama itu
banyaklah yang sudah mereka kerjakan di antara rakyat Banyubiru, membangun
tanah perdikan itu. Memperbaiki tanggul yang telah dijebol oleh Arya Salaka dan
memperbaiki jalur-jalur saluran air dan menanami kembali lereng bukit yang
gundul karena api yang dinyalakan oleh Jaka Soka. Tak ada seorang pun yang
sempat duduk bertopang dagu. Arya Salaka telah bekerja mati-matian untuk tanah
yang dibelanya selama ini. Bahkan Endang Widuri pun dengan gembiranya ikut
membantunya. Ia telah hampir lupa kepada padepokan Karang Tumaritis, dan ia
kerasan tinggal di Banyubiru.
Kebo Kanigara
yang semula sudah siap kembali ke Karang Tumaritis, tiba-tiba terhambat juga
oleh kemenakannya. Ada sesuatu yang masih harus diselesaikan di Banyubiru
karena kehadiran Karebet. Karena itu, maka ia pun menunda keberangkatannya.
Tentu saja Widuri menjadi sangat bergembira karenanya. Ia lebih senang tinggal
di Banyubiru. Tetapi ia sama sekali tidak menyangka bahwa ayahnya selama ini
telah disibukkan oleh saudara sepupunya, Karebet. Bahkan ia tidak menyadari
pula, bahwa keadaan itu bukan sekedar kesibukan-kesibukan pikiran dan perasaan.
Namun karena Kebo Kanigara sudah bertekad untuk membantu kemenakannya itu
kembali ke Istana, maka akan banyaklah persoalan-persoalan yang dihadapinya.
Tetapi Kebo Kanigara tidak mau menyulitkan orang lain. Karena itu semuanya
disimpan di dalam dadanya. Hanya sekali-kali ia menyuruh Karebet pergi ke
Karang Tumaritis, minta nasehat dan pertimbangan Panembahan Ismaya dan
memberitahukan kepada Panembahan itu bahwa Kebo Kanigara menjadi agak lambat
lagi. Meskipun mereka bersama-sama masih tetap tinggal di Banyubiru, dan mereka
tampak dalam kesibukan yang sama sehari-harinya, namun di dalam hati mereka,
mereka mempunyai alasan yang berbeda-beda.
Mahesa Jenar
dan Rara Wilis sekedar menunggu jemputan dari Gunung Kidul, Endang Widuri
karena sesuatu telah mengikatnya di Banyubiru, sesuatu yang tidak dapat
dikatakan, sedang Kebo Kanigara terikat oleh kemenakannya dengan segenap
persoalannya.
Pada suatu
hari, Banyubiru diributkan oleh kedatangan sebuah rombongan orang-orang
berkuda. Rombongan itu berpacu dari arah Barat. Bukan hanya sekedar sepuluh
orang, namun lebih banyak lagi. Suara derap kakinya menggeletar, memecah
kesepian tanah yang damai itu. Seseorang yang sedang bekerja di sawah melihat
rombongan itu merayap-rayap menyelusur jalan-jalan di lembah, mendaki Bukit
Telamaya. Terasa sesuatu berdesir di dalam dadanya. Rombongan itu sama sekali
bukan rombongan dari Pamingit. Paling depan tampaklah seorang dalam pakaian
yang mewah, beludru berkilat-kilat. Sebuah pedang panjang tersangkut di
lambungnya. Pedang dengan sebuah wrangka yang putih berkilau. Pedang yang
jarang-jarang dimiliki oleh orang biasa. Orang itu sama sekali bukan Ki Ageng
Lembu Sora. Dan para pengiringnya sama sekali bukan orang Pamingit. Petani itu
berpikir di dalam hatinya. Masih terbayang apa saja yang telah terjadi beberapa
waktu yang lampau. Terbayanglah laskar-laskar dari golongan hitam yang
bersama-sama menyerang Banyubiru, kemudian terbayang pula kekacauan yang timbul
didaerah perdikan itu setelah laskar Pamingit mendudukinya. Tetapi petani itu
tidak tahu, apa yang akan dilakukan untuk mengetahui siapakah para pendatang
itu. Karena itu maka segera ia berlari pulang, dan menyampaikan apa yang
dilihatnya kepada anaknya.
“Bapak melihat
rombongan itu sebenarnya?”
“Ya, aku
melihat dan mataku masih cukup baik.”
Anaknya yang
sudah cukup dewasa berpikir sejenak. Kemudian katanya kepada ayahnya,
“Biarlah aku
sampaikan kepada kakang Bantaran.”
Anaknya tidak
menunggu jawaban ayahnya. Cepat-cepat ia berlari kekandang, melepaskan kudanya
dan dipacunya ke rumah Bantaran. Mendengar laporan itu, Bantaran mengerutkan
keningnya. Kemudian katanya,
“Apakah tidak
ada tanda-tanda pada mereka itu?”
“Aku tidak
tahu”, jawab anak muda itu.
“Marilah ikut
aku”, sahut Bantaran.
Keduanya
kemudian memacu kuda mereka, mendaki tebing yang menghadap ke Barat.
Sebenarnyalah, mereka melihat serombongan orang-orang berkuda sudah semakin
dekat. Serombongan orang-orang berkuda yang lengkap dengan senjata-senjata
mereka.
“DUA puluh
orang kira-kira”, gumam Bantaran.
“Apakah maksud
mereka?” bertanya anak petani itu.
Bantaran
menggelang. Jawabnya,
“Apapun maksud
mereka, tetapi mereka aku kira tidak akan berbuat kerusuhan di sini. Mereka
datang di siang hari, lewat jalan yang sewajarnya dan hanya dua puluh orang.
Meskipun demikian, datanglah ke gardu penjagaan pertama. Beritahukan bahwa ada
serombongan orang berkuda akan lewat. Sebentar lagi aku akan datang ke gardu
itu.”
Anak petani
itu tidak menjawab. Segera ia melarikan kudanya ke gardu pertama memberitahukan
apa yang telah dilihatnya.
Pemimpin gardu
itu menghela nafasnya. Kemudian kata-katanya,
“Kedatangan
kakang Bantaran kami tunggu.”
Anak petani
itupun kemudian kembali ke tempat Bantaran mengawasi orang-orang berkuda itu.
Mereka sudah tampak lebih jelas lagi. Tetapi karena jalan melingkar-lingkar,
maka jarak yang harus dilaluinya masih cukup panjang. Kemudian Bantaran pun
berkata kepada anak petani itu.
“Kembalilah,
sampaikan pesan ini kepada kakang Penjawi, bahwa berita tentang kedatangan
orang-orang berkuda itu supaya dilaporkan kepada paman Wanamerta.”
Sepeninggalan
anak petani itu, segera Bantaran pergi ke gardu pertama. Gardu yang masih
ditempati oleh beberapa orang penjaga. Meskipun Banyubiru seakan-akan sudah
tenang, namun peperangan yang baru saja terjadi masih mengharuskan mereka
berhati-hati. Di gardu penjagaan itu, Bantaran melihat beberapa orang telah
bersiaga. Namun kemudian Bantaran berkata
“Jangan
terlalu berprasangka. Orang-orang itu pasti tidak akan berbuat jahat.”
Meskipun
demikian, beberapa orang di gardu itu telah menggantungkan pedang-pedang mereka
di lambung, dan yang lain menyandarkan tombak-tombak mereka di samping mereka
berdiri.
Sesaat
kemudian gemeretak kaki kuda itu telah terdengar.
“Ha, itulah
mereka” gumam Bantaran.
Tetapi mereka
masih menunggu cukup lama. Jalan yang melingkar dan berbelit-belit itu agaknya
telah memperpanjang jarak perjalanan orang-orang berkuda itu. Akhirnya
muncullah dari tikungan beberapa orang berkuda. Sebenarnyalah bahwa yang paling
depan dari mereka adalah seorang yang berpakaian sangat bagus. Baju beludru,
kain lurik yang berwarna kemerah-merahan. Sebuah pedang yang bagus berjuntai di
sisi kudanya.
Orang itu
terkejut ketika dilihatnya beberapa orang yang berdiri di pinggir jalan
berseberangan. Segera orang itu menyadari, bahwa kedatangannya telah
mengejutkan beberapa orang penjaga. Karena itu maka segera orang-orang berkuda
itu memperlambat kuda-kuda mereka, dan berhenti beberapa langkah dari Bantaran.
Wanamerta yang telah mendengar laporan Penjawi, menjadi gelisah juga. Segera ia
pergi ke rumah Ki Ageng Gajah Sora, dan memberitahukan tentang apa yang
didengarnya dari Penjawi. Namun seperti apa yang didengarnya, maka katanya,
“Tetapi
menurut Bantaran, orang-orang itu pasti tidak akan berbuat huru-hara di sini,
sebab mereka hanya kira-kira duapuluh orang.”
Meskipun
demikian berita itu telah menimbulkan berbagai pertanyaan di hati mereka yang
sedang duduk di pendapa itu. Ki Ageng dan Nyai Ageng Gajah Sora, Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka dan Endang Widuri. Mereka mencoba
menerka, siapakah kira-kira yang datang dalam rombongan itu. Namun mereka tidak
dapat menemukan jawaban. Kemudian terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya,
“Dimanakah Penjawi
sekarang?”
“Penjawi
sedang pergi menyusul Bantaran. Anak itu tidak dapat membiarkan seandainya
orang-orang itu berbuat sesuatu. Namun mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa
diantara mereka.”
Ki Ageng Gajah
Sora menarik nafasnya. Dan sebelum mereka dapat berbuat apapun, maka
terdengarlah seseorang penjaga berkata
“Sebuah
rombongan berkuda.”
Salah seorang
dari mereka segera memberitahukannya kepada Ki Ageng Gajah Sora, dan sambil
mengangguk-angguk Ki Ageng berkata,
“Baik.
Kembalilah ke tempatmu.”
Orang itu pun
segera berjalan ke gardunya, sedang beberapa orang yang lain, segera berdiri
pula sambil berjaga-jaga. Gajah Sora, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wilis, Arya
Salaka dan Endang Widuri segera turun ke halaman. Mereka berusaha menjemput
orang-orang berkuda itu sebelum mereka memasuki regol halaman. Tetapi langkah
mereka segera tertegun. Yang mula-mula masuk ke halaman justru adalah Bantaran
dan Penjawi. Karena itu maka Ki Ageng Gajah Sora itu segera bertanya.
“Siapakah
mereka?”
Sebelum
Bantaran menjawab, maka muncullah orang yang pertama. Seorang yang gagah tampan
dengan baju beludru dan sebuah pedang yang indah di lambungnya. Demikian orang
itu melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera ia berseru.
“Mahesa Jenar,
aku datang menjemputmu.”
Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara, Arya Salaka dan Endang Widuri terkejut melihat orang itu. Lebih-lebih
adalah Rara Wilis. Karena itu sesaat mereka diam mematung. Sehingga terdengar
kembali orang itu berkata.
“Apakah kau
lupa kepadaku?”
Mahesa Jenar
seakan-akan tersadar dari mimpinya yang aneh. Karena cepat-cepat ia menjawab.
“Tidak. Aku
tidak melupakan kau, Sarayuda.”
Sarayuda,
orang yang baru datang itu tertawa, wajahnya cerah secerah warna pakaiannya.
Sambil meloncat turun dari kudanya ia berkata.
“Aku datang
atas perintah Ki Ageng Pandan Alas untuk menjemput kalian berdua.”
Wajah Rara
Wilis segera menjadi kemerah-merahan. Ia tidak dapat melupakan, apakah yang
telah terjadi antara mereka bertiga, Mahesa Jenar, Sarayuda dan dirinya. Karena
itu, maka segera ditundukkannya wajahnya dalam-dalam. Yang menjawab kemudian
adalah Mahesa Jenar,
“Terima kasih
Sarayuda. Tetapi marilah, perkenalkanlah dahulu dengan Kepala Daerah Tanah
Perdikan Banyubiru, Ki Ageng Gajah Sora.”
Sarayuda
tersadar akan kehadirannya di Banyubiru. Karena itu maka segera ia berkata.
“O, maafkan.
Aku terlalu bernafsu untuk menyampaikan maksud kedatanganku, sehingga aku lupa
suba-sita.”
“Marilah Ki
Sanak”, Ki Ageng Gajah Sora mempersilakan,
“Marilah, aku
mempersilakan kalian untuk naik kependapa.”
Maka seluruh rombongan
itu pun kemudian memperkenalkan diri. Sarayuda adalah Demang yang kaya raya,
yang menguasai suatu daerah yang luas di daerah Pegunungan Kidul. Sedang Ki
Ageng Gajah Sora adalah seorang Kepala Daerah Tanah Perdikan yang kuat dan
subur di lereng bukit Telamaya. Keduanya adalah orang-orang yang
bertanggungjawab atas wilayahnya dan rakyatnya. Karena itu, maka segera mereka
dapat menyesuaikan dirinya dalam perkenalan yang akrab, meskipun ada beberapa
perbedaan sifat di antara mereka. Sarayuda adalah seorang yang menyadari
kekayaannya, meskipun tidak berlebih-lebihan, sehingga caranya berpakaian pun
telah menunjukkan keadaannya, sedang Ki Ageng Gajah Sora adalah seorang yang
sederhana.
Segera
pembicaraan mereka berkisar kepada maksud kedatangan Sarayuda. Berkata Demang
itu kemudian,
“Kakang Gajah
Sora, kedatanganku kemari adalah karena perintah guruku, Ki Ageng Pandan Alas
untuk menjemput Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Setiap orang di Gunung Kidul telah
mendengar berita itu. Berita tentang akan kehadiran Rangga Tohjaya di daerah
mereka. Karena itu, maka Gunung Kidul sedang dihinggapi oleh perasaan yang
melonjak-lonjak, mengharap agar orang yang ditunggu-tunggu itu segera datang.
Rara Wilis adalah seorang gadis yang cukup mereka kenal, karena daerah itu adalah
daerah masa kanak-kanaknya. Banyak kawan-kawannya bermain ingin melihat mereka,
seorang anak gadis dari daerah mereka yang pernah memakai nama Pudak Wangi dan
telah berhasil membinasakan seorang perempuan yang dahulu pernah menggemparkan
daerah itu, yang bernama Nyai Sima Rodra”.
Mahesa Jenar
tersenyum mendengar pujian itu, sedang Rara Wilis semakin menundukkan wajahnya.
Pipinya menjadi kemerah-merahan dan karena itulah maka sepatah kata pun dapat
diucapkan. Widuri yang mendengar kata-kata itu dengan seksama, tersenyum-senyum
kecil. Dengan nakalnya ia berkata.
“Ah. Apakah
paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu paman Demang Sarayuda?”
“Ya tentu”
jawab Sarayuda,
“Aku dan
rakyatku akan menyambutnya.”
“Bukan main.
Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan menjadi tamu Agung.” sahut Widuri.
“Apakah aku
boleh ikut serta?”
“Tentu” jawab
Sarayuda.
“Aku dan
setiap orang yang hadir di dalam pendapa ini untuk pergi ke Gunung Kidul.
Menyaksikan bukit-bukit gundul dan bukit-bukit kapur di antara lembah-lembah
hijau. Sangat berbeda dengan pemandangan di Bukit Telamaya ini.”
Wajah Endang
Widuri itu pun kemudian menjadi cerah. Dengan serta merta ia berkata,
“Bagus sekali.
Aku akan ikut dengan Bibi Wilis. Boleh bukan bibi?”
Rara Wilis
tidak segera dapat menjawab. Sekali dipandangnya wajah Kebo Kanigara. Ia tidak
dapat berkata apapun tentang gadis itu sebelum ayahnya memberikan persetujuan.
Widuri melihat keragu-raguan Rara Wilis. Karena itu segera ia berkata kepada
ayahnya.
“Ayah,
bukankah kita akan ikut ke Gunung Kidul”.
Kebo Kanigara
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian terdengar ia berkata perlahan-lahan.
“Sayang Widuri
kita tidak dapat ikut serta.”
Kecerahan
wajah Widuri segera larut, seperti bulan disaput awan yang sedemikian kelam.
“Kenapa?”
“Ada sesuatu
yang harus kita kerjakan di sini.”
“Apakah yang
harus dikerjakan?”
Aku Widuri.
Aku mempunyai banyak pekerjaan di sini. Dan agaknya kita telah terlalu lama
tidak kembali ke Karang Tumaritis.
“Aku tidak
mau. Aku tidak mau.” berkata Widuri itu.
Kebo Kanigara
tersenyum. Kemudian kepada Sarayuda itu berkata.
“Sayang adi.
Sungguh sayang. Sebenarnya aku juga ingin mengantarkan Widuri ikut serta
mengunjungi daerah adi. Namun ternyata ada persoalan-persoalan yang harus aku
selesaikan. Dan aku harus segera kembali ke Karang Tumaritis.”
Sarayuda
menarik nafas.
“Ya sayang.”
Yang menyahut
kemudian adalah Endang Widuri,
“Kalau ayah
mempunyai pekerjaan di sini atau di Karang Tumaritis, biarlah aku ikut bersama
Bibi Wilis. Nanti kalau ayah sudah selesai, biarlah ayah menjemput aku.”
Kebo Kanigara
itu tersenyum pula. Namun senyumnya membayangkan sesuatu yang tak dapat diraba.
Katanya,
“Tidak Widuri.
Jangan pergi sekarang. Besok apabila sampai waktunya, biarlah kau aku antarkan
ke sana. Kalau sampai saatnya Paman Mahesa Jenar dan Bibi Wilis akan mengarungi
hidup baru mereka.”
“Emoh” seru
gadis itu.
“Aku akan
pergi bersama bibi Wilis.”
“Bukankah sama
saja bagimu Widuri”, berkata ayahnya.
“Besok atau
sekarang.”
“Tidak” sahut
Widuri.
“Aku ingin
melihat, bagaimana rakyat Gunung Kidul menyambut paman Mahesa Jenar.”
“Tetapi kau
tidak akan melihat, bagaimana pamanmu dan bibi Wilis di persandingan.”
“Biar. Aku
akan ikut bersama bibi Wilis.”
Rara Wilis
menjadi iba melihat Endang Widuri. Tetapi ia tidak berani berkata apapun. Itu
sepenuhnya adalah wewenang ayahnya. Karena itu, Rara Wilis hanya dapat
memandangnya dengan senyum yang hambar.
Sarayuda
agaknya dapat menempatkan dirinya. Ia tidak mau mengecewakan Kebo Kanigara.
Maka katanya,
“Begitulah
angger Widuri. Seperti kata ayah angger itu. Biarlah besok aku menyuruh
beberapa orang menjemput ke mari apabila sudah tiba waktunya. Kalau angger
sudah kembali ke Karang Tumaritis, biarlah kelak di jemput pula ke sana.
Bukankah begitu? Kelak angger bisa pergi bersama ayah.”
Widuri
kemudian menjadi bersungut-sungut. Bahkan tampaklah matanya menjadi basah. Ia
menjadi sangat kecewa. Katanya kemudian,
“Aku tidak mau
dijemput oleh sembarang orang.”
Demang
Sarayuda tersenyum. Jawabnya,
“Baiklah,
besok aku sendiri akan menjemput angger. Begitu?”
Widuri tidak
menjawab. Namun tiba-tiba ia berdiri dan berlari masuk ke dalam biliknya.
Alangkah kecewa hatinya, bahwa ia tidak dapat turut serta dengan Rara Wilis.
Meskipun mereka berdua bukan sanak bukan kadang, namun perpisahan di antara
mereka benar-benar tidak menyenangkan. Pergaulan mereka yang ditandai dengan
berbagai kesulitan, benar-benar telah mengikat mereka dalam suatu ikatan yang
sangat erat. Tidak saja Widuri yang menjadi sedih akan perpisahan itu, tetapi
Rara Wilis pun merasakan, bahwa ia akan menjadi kesepian tanpa gadis yang nakal
itu.
Tetapi Kebo
Kanigara benar-benar berhalangan untuk turut serta pergi ke Gunung Kidul. Masih
ada suatu pekerjaan yang mengikatnya di Banyubiru. Pekerjaan yang ditimbulkan
oleh kemenakannya yang nakal.
MAHESA Jenar
pun menjadi kecewa. Tetapi ia dapat mengerti keberatan Kebo Kanigara. Meskipun
demikian Mahesa Jenar itu berkata,
“Kakang.
Sebenarnya aku sangat mengharap kakang untuk ikut serta bersama kami.”
Kebo Kanigara
mengangguk-anggukkan kepalanya katanya.
“Aku juga menyesal
sekali Mahesa Jenar. Tetapi barangkali kau dapat mengerti apa yang akan aku
lakukan. Karena itu biarlah lain kali aku menyusul ke Gunung Kidul bersama
Widuri.”
Sesaat mereka
pun berdiam diri. Arya Salaka menundukkan kepalanya. Semula ia ingin juga turut
pergi ke Gunung Kidul mengantarkan gurunya. Tetapi ketika ia mengetahui, bahwa
Endang Widuri tidak diperbolehkan oleh ayahnya ikut dalam rombongan itu, maka
ia menjadi bimbang. Keinginannya untuk turut pun terlalu besar, namun terasa
sesuatu yang menahannya untuk tinggal di rumah. Karena itu, anak muda itu
bahkan menjadi bingung. Sehingga akhirnya Arya pun hanya berdiam diri saja.
“Ah, terserah
apa yang akan aku lakukan nanti,” desisnya di dalam hati.
“Kalau
tiba-tiba aku ingin berangkat biarlah aku berangkat. Kalau aku ingin tinggal,
biarlah aku tinggal.”
“Tetapi”,
berkata pula hatinya.
“Bagaimana
kalau guru mengajakku?”
“Entahlah”,
jawabnya sendiri di dalam hati.
Malam itu
Sarayuda dan para pengiringnya bermalam di rumah itu pula. Karena tempatnya yang
terbatas, maka para tamu itu dipersilakan tidur di pendapa, di atas tikar
pandan yang dirangkap supaya tidak terlalu dingin.
Mahesa Jenar
dan Rara Wilis pun segera mempersiapkan dirinya. Tetapi tidak banyaklah yang
mereka punyai. Mereka tidak sempat berbuat untuk diri mereka sendiri selama
ini. Karena itu, apa yang dimilikinya pun hampir tidak ada. Hanya beberapa
lembar pakaian yang sudah lungset tanpa perhiasan apapun bagi Mahesa Jenar hal
itu hampir tak berpengaruh pada perasaannya. Tetapi bagi Rara Wilis, terasa
sekali alangkah miskinnya. Ia sama sekali tidak memiliki perhiasan apapun
sebagai seorang gadis. Bahkan yang dimilikinya adalah sebilah pedang. Pedang
tipis yang telah dikotori dengan darah. Mahesa Jenar terkejut ketika tiba-tiba
dilihatnya wajah Rara Wilis menjadi suram. Karena itu dengan dada yang
berdebar-debar mencoba bertanya.
“Wilis. Adakah
sesuatu yang mengganggu perasaanmu?”
Rara Wilis
terkejut mendengar pertanyaan itu. Segera dicobanya untuk menguasai
perasaannya. Dengan sebuah senyuman yang dipaksakan ia menjawab,
“Kenapa? Aku
tidak apa-apa kakang. Aku sedang berpikir tentang hari-hari yang akan datang.”
“Oh” Mahesa
Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia tidak membantah. Namun ketika
dilihatnya sekali lagi Rara Wilis merenungi kainnya yang hampir-hampir sudah
kehilangan warnanya, maka hatinya pun berdesir.
“Hem “
desahnya di dalam hati.
“Ternyata aku
tidak menyadari, bahwa tekanan perasaan Wilis sudah terlampau padat. Agaknya
dalam ketegangan kewajiban yang aku hadari, gadis itu tidak sempat
memperhatikan keadaan dirinya sendiri”. Namun dalam kesempatan seperti ini,
barulah disadarinya perasaan itu. Perasaan seorang gadis.
Tetapi Mahesa
Jenar tidak berkata apapun. Ia masih belum tahu, bagaimana mungkin ia akan
mendapatkan kebutuhan-kebutuhan yang wajar bagi sebuah keluarga. Apapun yang
dilakukannya, maka apabila sampai saatnya, maka hal itu tidak akan mungkin
dapat diabaikan.Ia tidak dapat membutakan matanya, seandainya pada suatu saat
ia dikejar-kejar oleh keperluan-keperluan tetek bengek itu.
“Itu merupakan
suatu kewajiban”, desahnya.
Mahesa Jenar
itu pun kemudian berjalan keluar bilik Rara Wilis, dan ke halaman. Dilihatnya
beberapa orang sudah berbaring-baring di pendapa, sedang beberapa orang lagi
masih duduk-duduk di antara mereka. Bahkan ada juga yang masih berjalan-jalan
di luar regol halaman. Ketika Mahesa Jenar pergi keluar regol pula, maka
orang-orang dari Gunung Kidul itu bertanya-tanya tentang beberapa hal
kepadanya.
“Tanah ini
cukup subur” berkata salah seorang dari mereka,
“Tanah yang
akan memberikan apa saja yang diharapkan oleh penggarapnya.
“Demikianlah”
sahut Mahesa Jenar,
“Tanah yang
telah dipertahankan dengan banyak pengorbanan.”
Tamu dari
Gunungkidul itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian katanya,
“Tanah kami
adalah tanah yang bercampur-baur. Ada yang subur sesubur tanah ini. Ada yang
menggantungkan airnya dari air hujan melulu. Bahkan ada yang hanya dapat
dijadikan padang-padang rumput untuk peternakan. Bahkan ada yang batu melulu.”
Mahesa Jenar
mengangguk lemah. Tanah ini adalah tanah yang subur, yang telah dipertahankan
dengan darah dan air mata. Dirinya sendiri pun telah ikut serta memeras
keringat untuk kepentingan tanah ini. Tanah yang subur, yang akan dapat
memberikan kemakmuran dan kesejahteraan bagi rakyat dan penduduknya. Bahkan
siapa yang bekerja keras, pasti akan dapat segera menikmati hasil dari jerih
payahnya itu.
“Tetapi aku
tidak dapat ikut serta” desis Mahesa Jenar di dalam hati.
Timbullah di
dalam hatinya sesuatu yang tak pernah dipikirkannya. Kalau ia nanti akan
membangun rumah tangga yang kuat, maka ia harus membuat tiang-tiangnya kuat
pula. Diantaranya, bagaimana ia harus hidup sekeluarganya. Karena itu, maka
sampailah Mahesa Jenar pada suatu kesimpulan.
“Bekerja”.
“Ah” kembali
ia berdesah di dalam hati,
“Akhirnya aku
sampai pada persoalan itu. Persoalan yang sangat pribadi. Persoalan yang hampir
tak ada sangkut pautnya dengan pengabdian yang selama ini dilakukannya. Tetapi
apakah dengan demikian maka segenap pengabdian harus terhenti?”
“Tidak”
pertanyaan itu dijawabnya sendiri.
“Aku akan
dapat dan harus dapat melakukan kedua-duanya sekaligus. Mudah-mudahan Wilis
akan dapat mengerti pula.”
Tiba-tiba
teringatlah Mahesa Jenar itu kepada masa-masa lampaunya, masa-masa ia tinggal
di istana Demak sebagai seorang prajurit. Dikenangnya pula beberapa orang
kawan-kawannya yang pada saat itu telah berkeluarga pula. Katanya di dalam
hati,
“Mereka dapat
melakukan kedua-duanya. Pengabdian dan keluarga.”
“Tetapi tidak
hanya di dalam istana, atau didalam bidang-bidang itu kedua-duanya dapat
dilakukannya sekaligus”, katanya pula.
“Di sini, aku
lihat rakyat Banyubiru melakukannya pula. Bekerja untuk keluarganya, namun
mereka melakukan pengabdiannya untuk tanahnya. Membangun tanah ini.
Tempat-tempat ibadah, banjar-banjar desa dan surau-surau tempat pendidikan
lahir dan batin. Bekerja keras untuk kesejahteraan keluarganya dan
kesejahteraan bersama.”
Tiba-tiba
Mahesa Jenar itu teringat pada ceritera Wanamerta tentang seorang bahu yang
pernah mencoba menyuapnya dengan timang emas bertretes berlian.
“Bukan itu”,
desah Mahesa Jenar di dalam hatinya,
“Bukan seperti
bahu itu. Ia bekerja untuk diri sendiri, tetapi bukan untuk sebuah pengabdian.
Justru ia menghisap hidup disekitarnya untuk kepentingannya. Dibiarkannya
orang-orang disekitarnya kering, namun dirinya sendiri menimbun kekayaan tanpa
batas.”
Namun
bagaimana pun juga, Mahesa Jenar dihadapkan pada suatu kewajiban yang baru.
Kewajiban atas sebuah keluarga yang bakal disusunnya. Kewajiban yang tidak
kalah sucinya dari kewajiban yang telah dilakukannya selama ini. Sebab dengan
keluarga yang baik, Yang Maha Esa telah mempergunakan untuk menangkar-lipatkan
jumlah manusia di dunia untuk memelihara dan memanfaatkan ciptaan-Nya dengan
baik.
Rombongan
Sarayuda itu tinggal di Banyubiru untuk dua hari lamanya. Selama itu mereka
telah melihat-lihat Banyubiru dengan baik. Apa yang dapat dilakukan di daerah
Demang yang kaya raya itu, telah mereka pelajari, sedang apa yang baik bagi
Banyubiru telah disarankannya pula. Sehingga sampailah pada saatnya mereka
meninggalkan Banyubiru. Dua hari kemudian, maka bersiaplah rombongan itu
meninggalkan Banyubiru beserta Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Ki Ageng Gajah Sora
dengan menyesal tak dapat ikut serta bersama mereka pergi ke Gunung Kidul
karena keadaan daerahnya yang masih harus mendapat pengawasannya. Kebo Kanigara
terikat pada suatu kewajiban yang tak dapat ditinggalkannya pula. Sedang Endang
Widuri dengan penuh penyesalan terpaksa tidak dapat mengikuti Rara Wilis ke
Gunung Kidul. Pada saat-saat terakhir itu pun kemudian Arya Salaka memutuskan
untuk tidak turut bersama gurunya, meskipun ada juga keinginan yang
melonjak-lonjak.
Dalam
kesempatan itu Ki Ageng Sora Dipayana dan Ki Ageng Lembu Sora pun telah
memerlukan datang ke Banyubiru untuk menyampaikan ucapan selamat jalan kepada
Mahesa Jenar. Orang yang aneh di dalam tanggapannya. Orang yang hampir tak
dapat dimengertinya, apakah yang telah menjadikannya seorang yang memiliki jiwa
pengabdian yang sedemikian besarnya.
Sebelum matahari
sepenggalah, maka rombongan itu telah bersiap untuk berangkat. Ternyata Mahesa
Jenar dan Rara Wilis tidak hanya memerlukan dua ekor kuda untuk mereka. Seekor
kuda yang lain, tanpa sepengetahuan mereka telah dipisahkan oleh Ki Ageng Gajah
Sora. Di punggung kuda itu terdapat sebuah beban yang tak diketahui isinya.
Beban yang telah diatur oleh Nyi Ageng Gajah Sora bersama Nyi Ageng Lembu Sora.
Terharu juga
Mahesa Jenar melihat kuda yang seekor itu tentu saja ia tidak dapat menolak
untuk tidak menyakiti hati Ki Ageng Gajah Sora kakak beradik. Perpisahan itu
merupakan perpisahan yang mengharukan. Meskipun mereka tahu, bahwa suatu ketika
Mahesa Jenar akan kembali pula, namun seakan-akan mereka bertemu pada saat itu
untuk terakhir kalinya. Apalagi Endang Widuri. Ketika kemudian Sarayuda minta
diri dengan serta merta gadis itu berlari menghambur memeluk Rara Wilis.
Sambil
menangis Widuri berkata,
“Bibi, jangan
pergi terlalu lama.”
Rara Wilis pun
seorang gadis pula. Karena itu maka ia pun tidak dapat menahan air matanya.
Apalagi ketika dilihatnya Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora pun
menjadi berlinang-linang. Teringat pula oleh mereka berdua, pada saat-saat
mereka berhadapan dengan Galunggung yang sedang dihinggapi oleh kegilaannya
tentang pangkat dan kekayaan, sehingga hampir saja mereka berdua dibunuhnya.
Untunglah pada saat itu Rara Wilis hadir di antara mereka, sehingga
sebenarnyalah gadis itulah yang telah menyambung umurnya.
“Widuri”
berkata Rara Wilis itu kemudian.
“Perpisahan
ini tidak akan terlalu lama. Bukankah kau segera akan menyusul kami ke Gunung
Kidul?”
Endang Widuri
mengangguk perlahan. Dipalingkannya wajahnya kepada ayahnya seakan-akan ia
minta ketegasan daripadanya.
Sebenarnya
Kebo Kanigara merasa kasihan juga kepada putrinya itu. Tetapi terpaksa ia tidak
dapat mengijinkannya, karena ia sendiri tidak dapat pergi.
Anak itu
adalah anak yang sangat nakal, sehingga betapapun juga, maka Kebo Kanigara itu
tidak sampai hati melepaskannya tanpa pengawasannya. Apalagi nanti Mahesa Jenar
dan Rara Wilis sedang disibukkan oleh persoalan mereka sendiri, maka Widuri
akan sangat mengganggu mereka, dan kadang-kadang pasti akan lepas dari
pengawasan. Karena itu, betapa pun juga, maka Kebo Kanigara berusaha untuk
tetap melarang anaknya ikut serta.
Ketika anaknya
itu berpaling kepadanya, maka katanya,
“Ya Widuri.
Segera kita akan menyusul ke Gunung Kidul. Kemarin aku sudah mendapat
ancar-ancar, kemana kita nanti harus pergi. Jalan mana yang harus kita tempuh,
dari pamanmu Sarayuda. Kalau kau bersabar sedikit bukankah pamanmu Sarayuda
bersedia untuk menjemputmu?”
Akhirnya Rara
Wilis itupun dilepaskannya juga, meskipun tangisnya mash saja menyesakkan
dadanya, sementara Mahesa Jenar menepuk punggung muridnya.
“Kau sudah
menjelang dewasa penuh Arya. Sudah seharusnya kau menyadari keadaanmu itu.
Bekerja keras membantu ayahmu. Tak ada orang lain yang diharapkannya selain
daripadamu.”
Arya
mengangguk sambil menjawab,
“Ya paman”.
Maka kemudian
sampailah saatnya rombongan itu berangkat. Perpisahan yang mengesankan.
Rara Wilis
masih melihat Endang Widuri berlari masuk ke gandok kulon, sedang kemudian Nyai
Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora menyusulnya. Sebuah salam yang erat
sebagai tanda terima kasih yang tak ada batasnya, telah diberikan oleh Mahesa
Jenar langsung, namun lebih daripada itu, Mahesa Jenar telah membentuk Arya
Salaka menjadi harapan bagi masa datang.
Satu demi
satu, maka kemudian keluarlah mereka dari halaman di atas punggung kuda
masing-masing. Bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis perjalanan yang akan ditempuh
itu terasa aneh. Perjalanan yang jauh berbeda dengan semua perjalanan yang
pernah mereka lakukan. Kalau pada masa lampau mereka berjalan dengan penuh
keprihatinan, maka perjalanan kali ini adalah perjalanan menunju ke hari-hari
yang cerah. Namun karena itulah maka dada mereka menjadi berdebar-debar.
Setelah mereka meninggalkan halaman itu maka mulailah kuda mereka berjalan agak
cepat. Beberapa orang melihat rombongan itu menganggukkan kepala mereka. Mereka
memberikan hormat setulus-tulusnya kepada Mahesa Jenar dan Rara Wilis. Bahkan
Ki Wanamerta, Jaladri, Bantaran dan Penjawi telah ikut serta dengan rombongan
itu, mengantarkan sampai ke perbatasan kota. Bukan hanya mereka. Beberapa orang
lain pun telah ikut pula, sehingga rombongan itu menjadi semakin panjang. Di
perbatasan kota mereka berhenti sesaat. Wanamerta yang tua itu memerlukan
mengucapkan selamat jalan, mengucapkan terima kasih atas nama segenap rakyat
Banyubiru dan ternyata orang tua yang telah menjadi hampir bulat kembali itu
meneteskan air mata.
No comments:
Post a Comment