Bagian 076


MATAHARI kian lama menjadi semakin rendah. Awan yang putih tampak berarak-arak di wajah langit yang biru. Burung gagak berterbangan berputar-putar di atas daerah pertempuran yang menghamburkan bau darah. Burung-burung itu berteriak-teriak di udara. Mereka menjadi tidak sabar menunggu lebih lama lagi. Betapa segarnya darah yang mengalir dari luka. Mereka harus mendapatkannya lebih dahulu sebelum anjing-anjing liar dan serigala-serigala lapar mendahuluinya. Tetapi pertempuran itu masih ribut. Dan burung-burung itupun menjadi semakin tidak sabar dan berteriak-teriak tinggi.
Meskipun laskar Banyubiru dan Pamingit berhasil mendesak laskar golongan hitam, namun pergeseran garis pertempuran itu tidak seberapa jauh. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa kekuatan mereka seimbang. Korban satu-satu jatuh. Dan masih banyak yang akan menyusul. Setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai kemungkinan yang sama. Mati di ujung senjata. Melihat semuanya itu Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Betapa perasaan ngeri mengorek-orek jantungnya. Setiap ia melihat tubuh yang terbanting di tanah dan setiap telinganya mendengar jerit kesakitan, terasa hatinya seperti tertusuk sembilu. 

Tiba-tiba Kebo Kanigara berhasrat untuk menghentikan pertempuran itu segera. Meskipun sebenarnya tidak saja Kebo Kanigara yang dijalari oleh perasaan yang demikian itu, namun mereka sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu, atau mereka belum berhasil untuk berbuat sesuatu. Ki Ageng Sora Dipayana melihat dengan sedih, korban-korban yang berjatuhan. Setiap kali ia melihat darah yang memancar dari luka, setiap kali ia memperkuat serangan-serangannya, namun lawannya berbuat demikian pula. Bugel Kaliki telah mengerahkan segenap kesaktiannya untuk melawan Ki Ageng Sora Dipayana. Tak jauh berbeda pula perasaan Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten. Merekapun telah berjuang sekuat-kuat tenaga mereka. Semakin cepat pertempuran itu selesai, menjadi semakin baik bagi mereka dan laskar mereka. Jumlah korban mereka, namun lawan mereka tak pula kalah saktinya. Apalagi kemudian, ketika Pasingsingan benar-benar telah dilumuri oleh keringat yang mengalir dari setiap lubang kulitnya, hatinya menjadi bertambah gelap.

Tiba-tiba saja di tangannya telah tergenggam pusaka saktinya, Ki Ageng Suluh, sebuah pisau belati panjang kuning gemerlapan. Ki Ageng Pandan Alas terkejut melihat senjata itu. Ia menyangka bahwa Pasingsingan akan melepaskan ilmu andalannya, Gelap Ngampar atau Alas Kobar, atau kedua-duanya. Tetapi agaknya Pasingsingan sadar bahwa lawannya mempunyai cukup daya tahan untuk melawannya. Karena itu, ia mengambil ketetapan hati, pusakanya itu akan dapat menyelesaikan masalahnya dengan cepat. Setiap goresan yang dapat melukai kulit Pandan Alas, adalah suatu alamat, bahwa Pandan Alas akan tinggal disebut namanya. Tetapi Pandan Alas tidak mau melawan Kyai Suluh itu dengan tangannya. Ketika pisau yang gemerlapan itu melingkar-lingkar di sekitar tubuhnya, dengan tangkasnya ia menarik pusakanya pula, Kyai Sigar Penjalin. Sebilah keris yang tidak kalah saktinya. Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya menjadi semakin sengit. Tanpa mereka kehendaki, menyingkirlah laskar Banyubiru, Pamingit dan laskar golongan hitam dari daerah sekitar mereka berdua. Sehingga dengan demikian, seolah-olah bagi mereka sengaja disediakan tempat yang cukup luas untuk mengadu kesaktian. Daerah pertempuran, yang berupa padang rumput dan sawah-sawah yang terletak di lereng bukit itu, merupakan daerah yang sama sekali tidak rata. Ada bagian yang cekung, namun ada bagian-bagian yang menjorok naik, sehingga dengan demikian memungkinkan bagi mereka untuk dapat melihat arena pertempuran itu seluas-luasnya. Demikianlah agaknya maka hampir setiap orang di dalam pertempuran itu mempunyai gambaran atas peristiwa yang terjadi di arena itu. Kalau mereka berkesempatan, dapatlah mereka melihat betapa debu mengepul tinggi ke udara dari daerah sayap kiri, atau kilatan ujung senjata di sayap kanan. Mereka dapat juga melihat daerah-daerah yang lengang di tengah-tengah arena, yang merupakan pertanda bahwa di daerah itulah tokoh-tokoh sakti sedang mengadu tenaga sehingga tak seorangpun yang berani mendekati.

Ketika matahari telah surut ke ufuk barat, Ki Ageng Sora Dipayana menjadi semakin gelisah. Apabila malam tiba, dan pertempuran ini harus dihentikan, maka akan terulang kembali perisitiwa ini besok pagi. Bertempur, bunuh-membunuh dan korban akan berjatuhan. Demikian seterusnya. Mungkin berhari-hari, seperti ia sendiri akan mengalaminya melawan Bugel Kaliki. Mungkin seminggu, dua minggu. Ia sendiri atau Bugel Kaliki akan betahan terus, tetapi laskarnya akan semakin surut. Namun demikian, apa yang dilakukan adalah batas tertinggi dari kemampuannya. Sebab Bugel Kaliki pun berusaha untuk membunuhnya seperti apa yang diusahakannya atas orang itu. Demikian juga Pandan Alas dan Titis Anganten. Tetapi di sapit sebelah kiri terjadilah hal yang agak berbeda. Ketika Kebo Kanigara melihat warna lembayung membayang dilangit, ia menarik keningnya. Ketika ia sekilas melihat Mahesa Jenar yang bertempur tidak demikian jauh darinya, ia tersenyum kecil.

Memang pada saat itupun Mahesa Jenar dihinggapi oleh perasaan yang sama seperti perasaan yang menjalar di dalam dada Ki Ageng Sora Dipayana, di dalam dada Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan Kebo Kanigara. Karena itulah maka, seperti mereka pula, mencemaskan betapa korban akan berjatuhan besok pagi, lusa atau seterusnya, apabila keseimbangan pertempuran tidak segera berubah. Karena itu, ketika senja mewarnai langit, terdengar ia menggeram perlahan-lahan. Sekali lagi dengan tajamnya ia memandang wajah Sima Rodra yang bertempur dengan dahsyatnya sambil mengaum mengerikan. Tiba-tiba di wajah itu terbayanglah betapa keji perbuatan-perbuatan yang pernah dilakukan. Kalau anak perempuannya telah melakukan perbuatan yang terkutuk, apakah kira-kira yang pernah dilakukan oleh Harimau tua itu? Berapa puluh gadis yang pernah dikorbankan untuk upacara-upacaranya yang aneh-aneh? Sekali lagi Mahesa Jenar menggeram. Agaknya Sima Rodra pun sadar bahwa menjelang malam, ia harus mengambil suatu kepastian, supaya besok pertempuran dapat dimulai dengan permulaan yang berbeda. Karena itu Sima Rodra pun menjadi bertambah liar. Akhirnya terjadilah suatu hal yang mengerikan. Sima Rodra itu mengaum dengan dahsyatnya, serta menggerakkan seluruh tubuhnya seperti orang yang menggigil kedinginan. Mehesa Jenar pernah melihat gerakan-gerakan yang demikian. Pada saat itu ia mengambil pusaka-pusaka keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dari Gunung Tidar. Untunglah bahwa pada saat itu Titis Anganten datang menolongnya, sehingga kekuatan aji Sima Rodra yang dinamainya Macan Liwung itu dapat dipunahkan. Dan keadannya kini pun sudah tidak memerlukan pertolongan orang lain. Karena itu, selagi ia berkesempatan, segera ia mengatur jalan pernafasannya baik-baik, memusatkan segenap pancaindra dan pikirannya. Diangkatnya satu kakinya, satu tangannya bersilang dada dan tangannya yang lain diangkatnya tinggi-tinggi seperti akan menggapai langit. 

PADA saat yang tegang itu terdengarlah bibir Mahesa Jenar bergumam,
“Dengan Nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, tiada kekuasaan dan tiada kekuatan kecuali dari Tuhan yang Maha Kuasa dan Maha Besar.”
Pada saat itulah ia melihat Sima Rodra itu meloncat dengan kecepatan dan kekuatan yang tak dapat dikira-kirakan. Mahesa Jenar berusaha untuk tidak membenturkan diri dengan kekuatan aji Macan Luwung itu. Dengan lincahnya ia meloncat selangkah ke kanan, kemudian dengan satu putaran ia menghindari serangan Sima Rodra. Sima Rodra yang telah melancarkan kekuatan yang tiada taranya, dengan kecepatan yang luar biasa pula, menjadi kehilangan daya tahannya untuk menarik serangannya. Ia terdorong selangkah ke depan, ketika pada saat yang bersamaan Mahesa Jenar berputar lagi untuk kemudian dengan garangnya meloncat ke arah Harimau yang telah menjadi gila itu. Semuanya itu terjadi hanya dalam waktu yang sangat singkat.

Nagapasa meluncur seperti seekor naga yang mematuk mangsanya secepat tatit, sedang tak ada sekejap mata kemudian, Sima Rodra menerkam pula seperti seekor Harimau gila, secepat petir menyambar. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas, Titis Anganten dan Lembu Sora beserta Sawung Sariti, demikian juga Arya Salaka, hanya sempat melihat betapa dua orang, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bersikap serupa. Kedua-duanya sedang menyalurkan aji yang sama dengan cara yang sama, Sasra Birawa. Meskipun persamaan itu telah menimbulkan suatu teka-teki pada mereka, dan bahkan tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam, namun mereka tidak sempat menebak-nebak lagi, ketika mereka melihat apa yang terjadi kemudian. Ternyata Kebo Kanigara sama sekali tidak berusaha untuk menghindar. Dengan tatag dan penuh kepercayaan kepada diri, ia membenturkan aji Sasra Birawa melawan aji Nagapasa, sedang di lain pihak Mahesa Jenar telah menghemat tenaganya dan melakukan suatu tindakan yang pasti, menghindari benturan dengan aji Macan Liwung, namun dengan pasti ia berputar satu kali dan mengayunkan ajiannya Sasra Birawa. Dalam keadaan yang demikian Sima Rodra hanya mampu untuk bertahan. Tetapi apa yang terjadi benar-benar telah menggoncangkan setiap dada mereka yang menyaksikan. Dua benturan yang hampir bersamaan disusul dengan bunyi yang gemuruh dua kali berturut-turut. Kemudian apa yang mereka saksikan hampir-hampir tak dapat dipercaya. Nagapasa, seorang yang sakti tanpa banding di sekitar pulau Nusakambangan, bahkan yang tak terkalahkan oleh setiap tokoh sakti yang manapun dari golongan hitam maupun lawan-lawan mereka, kini terbanting diam. Meskipun tak sempat semenitpun tampak luka pada kulitnya, namun isi dadanya serasa hangus terbakar. Karena itu, Nagapasa tidak usah mengaduh untuk kedua kalinya. Naga Laut yang mengerikan itu mati di tangan Kebo Kanigara, orang yang sama sekali tak dikenal, baik oleh golongan hitam, maupun oleh para pemimpin Banyubiru dan Pamingit.

Sedang tidak jauh darinya, Sima Rodra mengaum dahsyat, sekali ia menggeliat, kemudian diam untuk selama-lamanya. Mati. Untuk beberapa saat, semua orang yang menyaksikan peristiwa itu terpaku di tempatnya. Lembu Sora dan Sawung Sariti tak begitu jelas melihat apa yang terjadi. Yang diketahuinya kemudian adalah sorak-sorai yang membahana seperti benteng runtuh. Sayup-sayup terdengar di antara gemersik angin senja, laskar Banyubiru berteriak-teriak,
“Nagapasa mati, Nagapasa mati…!” Kemudian disusul,
“Sima Rodra mati, Sima Rodra mati…”
Teriakan-teriakan itu benar-benar hampir tak dipercaya. Bagaimana mungkin Nagapasa dapat mati, dan Sima Rodra tua dari Lodaya itu pula. Apakah Mahesa Jenar dan sahabatnya itu mampu membunuh mereka? Tetapi sorak itu masih mengumandang terus. Bahkan kemudian menjalar hampir ke segenap daerah pertempuran. Namun bagaimanapun juga berita itu sangat meragukan. Bahkan, Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten, yang beruntung dapat melihat peristiwa itupun, meragukan penglihatannya. Mereka saling memandang satu sama lain. Kemudian mereka mengangguk-anggukkan kepala mereka dengan penuh kekaguman dan keheranan.
“Suatu keajaiban,” desis Sora Dipayana. Tokoh-tokoh sakti itu terpaksa menahan gelora perasaan mereka yang melonjak-lonjak. Meskipun ia telah menempa diri, serta sejak ia melihat untuk pertama kali atas orang yang bernama Kebo Kanigara itu, sudah terasa padanya betapa besar pengaruhnya terhadap Mahesa Jenar, namun sama sekali tak diduganya bahwa Kebo Kanigara itupun memiliki ilmu keturunan Pengging yang gemilang. Bahkan sedemikian sempurnanya sehingga timbullah keraguan di dalam hatinya, bahwa orang itu adalah murid Ki Ageng Pengging Sepuh, sebaya dengan mereka. Sedang orang yang bernama Kebo Kanigara itu ternyata, sebagaimana terbukti, telah berhasil membunuh Nagapasa dalam suatu benturan ilmu.

Dengan demikian dapatlah ditarik suatu kesimpulan, bahwa orang itu pasti memiliki kesempurnaan Sasra Birawa lebih dahsyat daripada Ki Ageng Pengging Sepuh yang perkasa. Sebab seandainya Ki Ageng Pengging Sepuh masih ada di antara mereka dalam tatarannya, dan membenturkan diri melawan Nagapasa, belum dapat diambil suatu kepastian bahwa ilmu Sasra Birawa itu akan dapat mengatasi, apalagi sampai membunuh Nagapasa. Tetapi disamping itu, Mahesa Jenar pun ternyata dapat membunuh Sima Rodra, pada saat Sima Rodra telah siap melawan Sasra Birawa yang diayunkannya. Seandainya Mahesa Jenar telah berhasil menyusul kesempurnaan gurunya sekalipun, Sima Rodra itu pasti tidak akan mati. Namun adalah suatu kenyataan. Nagapasa dan Sima Rodra mati hampir pada saat yang bersamaan karena aji yang sama, Sasra Birawa.
“Dari manakah anak-anak muda itu mendapat kedahsyatan dan kesempurnaan ilmunya?” gumam Titis Anganten. 

LEMBU SORA, setelah mendapat suatu kepastian tentang kematian Nagapasa dan Sima Rodra, menjadi gemetar. Bulu-bulu tengkuknya serentak berdiri. Terasa betapa punggungnya meremang. Hampir saja ia terlibat dalam perkelahian melawan Mahesa Jenar, bahkan sampai terulang beberapa kali. Dahulu ia tidak dapat mengalahkannya. Meskipun kemudian ilmunya berkembang dengan pesat, namun apakah ia dapat berhadapan melawan Sima Rodra…? Sedang Mahesa Jenar itu telah berhasil membunuh Harimau Lodaya itu. Dan seandainya Sasra Birawa itu dikenakan pada tengkuknya, apakah kira-kira yang akan terjadi? Mungkin lehernya akan patah, bahkan mungkin kepalanya akan terlontar dan pecah berserak-serakan. Diam-diam Lembu Sora mengucap syukur, dan sekaligus ia benar-benar tenggelam dalam perasaan kagum dan hormat. Meskipun Mahesa Jenar telah memiliki kedahsyatan ilmu Sasra Birawa, namun ia selalu menghindari bentrokan dengan dirinya. Benar-benar suatu sikap yang jarang ditemuinya. Sesaat kemudian, di antara derai sorak-sorai laskar Banyubiru, kembali terdengar dentang senjata beradu. Laskar Banyubiru menjadi bertambah berani dan berbesar hati, sedang sebaliknya di laskar golongan hitam menjadi ngeri. Dua tokoh sakti dari antara mereka telah mati. Dan kematian dua orang itu benar-benar mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Pasingsingan, Bugel Kaliki dan Sura Sarunggi harus berpikir untuk kesekian kalinya. Meskipun lawan-lawan mereka tak akan dapat membunuhnya dengan mudah, tetapi bagaimanakah kalau tiba-tiba Kebo Kanigara atau Mahesa Jenar datang mendekat? Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam menjadi gelisah.

Apalagi Jaka Soka. Sama sekali tak dimengertinya apa yang sebenarnya terjadi. Gurunya yang diagung-agungkan selama ini, mati di tangan orang yang tak bernama. Alangkah anehnya dunia ini. Ia menyesal bahwa gurunya melibatkan diri dalam persoalan ini. Atas permintaannya. Gurunya, yang jarang-jarang menampakkan diri, terpaksa menyeberangi selat Nusakambangan. Tetapi itupun bukan salahnya, sebab ternyata Lawa Ijo, Sima Rodra Gunung Tidar, Uling Rawa Pening pun telah membawa guru mereka masing-masing. Sehingga apabila kemudian mereka memperoleh kemenangan akan terdesaklah dirinya, apalagi gurunya tidak ada di sampingnya. Tetapi kini gurunya itu sudah tidak ada lagi. Karena itu hatinya menjadi kecut. Apapun yang terjadi, maka ia akan mengalami kekalahan. Kemenangan golongan hitampun sama sekali tak berarti baginya. Sebab kemenangan itu pasti akan dimiliki oleh Lawa Ijo dan Pasingsingan atau Sura Sarunggi, bahkan mungkin Bugel Kaliki. Ia hanya dapat mengharap embun yang menetes dari langit, apabila tokoh-tokoh sakti itu dalam pertentangan kemudian menjadi sampyuh. Tetapi itu mustahil terjadi. Yang mungkin terjadi, mereka akan membagi kemenangan. Dan Nusakambangan akan dipencilkan. Karena itu, Jaka Soka telah kehilangan nafsunya untuk bertempur terus. Ia kini tinggal mempertahankan dirinya supaya tidak mati. Ketika ia memandang langit yang telah hampir kehilangan cahayanya, ia menjadi gembira. Ia tidak mau meninggalkan medan hanya karena keseganannya kepada kawan-kawannya. Atau tuduhan-tuduhan lain yang semakin menyulitkan kedudukannya. Dalam pada itu, matahari beredar terus. Ketika tokoh-tokoh sakti dari keduabelah pihak terlibat kembali dalam pertempuran, warna-warna yang kelam mewarnai lembah-lembah yang cekung. Perlahan-lahan warna itu merayapi tebing semakin tinggi. Angin pegunungan yang sejuk terasa silirnya mengusap tubuh.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang telah kehilangan lawannya tidak segera berbuat sesuatu. Mereka masih diam dan tegak di tempat masing-masing. Namun di daerah sekitar mereka benar-benar telah menjadi sepi. Orang-orang dari Laskar golongan hitam, jauh-jauh telah menyingkir dari kedua orang yang luar biasa itu. Akhirnya malampun datang merebut waktu. Medan itu menjadi semakin gelap. Dan mereka yang bertempur telah kehilangan pengamatan atas kawan dan lawan. Karena itu, terdengarlah sebuah tengara atas perintah sasmita dari Ki Ageng Sora Dipayana. Ketika sangkalala itu berbunyi, laskar Banyubiru dan Pamingit segera mempersiapkan diri mereka untuk menghentikan peperangan. Mereka tidak lagi mengambil kesempatan-kesempatan untuk menyerang, namun mereka tidak mau diserang dalam keadaan yang demikian. Tetapi agaknya golongan hitam itupun benar-benar telah kehilangan semangat mereka. Demikian mereka mendengar bunyi sangkalala, yang meskipun mereka tahu, bahwa tanda itu diberikan oleh pimpinan laskar lawannya, namun dengan serta merta mereka berloncatan mundur dan dengan serta merta pula pertempuran itu berhenti. Laskar golongan hitam itu segera menarik diri. Seperti juga mereka datang, mereka pergi demikian saja tanpa ikatan satu sama lain. Seolah-olah mereka tidak terdiri dari satu pasukan yang baru saja bertempur. Tetapi seolah-olah mereka adalah rombongan orang yang pulang nonton tayub dan menjadi mabuk tuak. Berbondong-bondong dengan langkah gontai, mereka meninggalkan medan. 

SATU-DUA orang mencoba menolong kawan-kawan mereka yang luka dan memapahnya. Tetapi kebanyakan dari mereka sama sekali tidak ambil pusing kepada mereka yang terpaksa berjalan sambil merintih-rintih, bahkan hampir merangkak-rangkak sekalipun. Apalagi mereka yang terluka dan parah terbaring di bekas daerah pertempuran itupun sama sekali tidak mendapat perhatian. Telah menjadi kebiasaan mereka, laskar golongan hitam, untuk menjaga diri masing-masing. Bahkan untuk kepentingan rahasia mereka, sama sekali mereka tidak segan membunuh kawan sendiri. Berbeda dengan laskar Pamingit dan Banyubiru. Segera mereka berkumpul dalam kelompok masing-masing. Pemimpin-pemimpin kelompok yang tetap hidup segera menghitung laskar mereka, sedang yang terpaksa gugur atau terluka, segera ditunjuk gantinya. Mereka segera membentuk kelompok-kelompok yang mendapat tugas khusus, merawat kawan-kawan mereka yang terluka dan gugur dimedan perjuangan menegakkan hak atas tanah mereka. Bahkan tugas mereka melimpah pula kepada kawan-kawan mereka yang parah. Merekapun berhak mendapat pertolongan dan pengobatan atas luka-luka mereka.Medan pertempuran itu segera menjadi sepi. Beberapa orang dengan obor di tangan menjalankan tugas mereka. Sedang orang-orang lain, dalam satu barisan yang tertib kembali ke perkemahan di Pangrantunan. Mereka harus mempergunakan waktu istirahat mereka sebaik-baiknya. Besok mereka masih harus bertempur lagi. Mungkin mereka akan mendesak maju. Mereka merasa bahwa keseimbangan pertempuran telah berubah. Bahkan mungkin besok mereka telah dapat memasuki Pamingit. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Pandan Alas dan Titis Anganten, demikian pertempuran selesai, segera pergi bergegas-gegas menemui Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Ketika mereka telah berdiri di hadapan kedua orang itu, tiba-tiba tanpa sengaja mereka mengangguk hormat. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi kaku karenanya. Merekapun segera menghormat tokoh-tokoh sakti yang sebaya dengan Ki Ageng Pengging Sepuh itu. Namun segera terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata,
“Sungguh luar biasa. Angger Mahesa Jenar dan Angger Putut Karang Jati. Kami orang-orang tua ini, agaknya telah kehilangan daya pengamatan atas cahaya teja yang memancar dari tubuh Angger berdua. Sebagaimana terbukti, bahwa Angger telah melakukan sesuatu yang tak dapat kami duga sebelumnya karena rasa sombong di hati kami. Seolah-olah tak ada orang lain yang dapat menyamai kesaktian-kesaktian kami. Ternyata bahwa Angger berdua memiliki kesaktian jauh di atas kesaktian kami orang-orang tua yang tak tahu diri.”
Mahesa Jenar menjadi semakin kaku. Ia tidak pernah melihat sikap yang sedemikian merendahkan diri dari tokoh-tokoh tua itu. Karena itu ia menjadi bingung, bagaimana ia harus menjawab. Yang kemudian terdengar adalah jawab Kebo Kanigara,
“Ada kekuasaan di atas, kekuasaan-Nya, dan berterima kasih kepada-Nya pula. Kami tidak lebih hanyalah lantaran-lantaran yang ditunjuknya.”
Tokoh-tokoh sakti yang mendengar kata-kata Kebo Kanigara itu langsung tersentuh hatinya. Sebagai orang-orang yang taat beribadah, mereka langsung dapat merasakan betapa Tuhan mengulurkan Tangan-Nya untuk menolong umatnya.

Sementara itu, mereka yang mendapat tugas di bekas medan pertempuran itu menjalankan pekerjaan mereka dengan tertib. Mereka berusaha meringankan setiap penderitaan dari mereka yang terluka. Ki Ageng Sora Dipayana dan kawan-kawannyapun mendahului kembali ke perkemahan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tak banyak yang mereka percakapkan di sepanjang perjalanan itu. Namun di dalam dada tokoh-tokoh sakti itu masih tetap tersimpan berbagai pertanyaan mengenai Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Pagi tadi mereka masih menyangka bahwa kedua orang itu masih harus bertempur dalam perlindungan mereka dan laskar-laskar mereka. Tetapi tiba-tiba suatu kenyataan, kedua orang itu memiliki kesaktian melampaui kesaktian mereka sendiri. Sampai perkemahan, segera Ki Ageng Sora Dipayana mengatur penjagaan dan pengawasan atas daerah perkemahan mereka dan pengawasan atas daerah lawan. Beberapa orang mendapat tugas untuk mengamat-amati perkemahan dan setiap gerak-gerik dari laskar golongan hitam. Apapun yang mereka lakukan, para pengawas itu harus memberikan laporan setiap saat dengan tertib. Ketika Ki Ageng Sora Dipayana kemudian bersama-sama dengan Mahesa Jenar pergi membersihkan diri, sambil mengambil air wudlu, dari celah-celah pintu rumah tempat peristirahatannya mereka melihat Lembu Sora sedang sembahyang. Mahesa Jenar berhenti pula ketika tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana berhenti. Orang tua itu melihat anaknya bersembahyang, seperti orang yang sedang mengagumi sesuatu. Mahesa Jenar menjadi heran. Bukankah sembahyang itu harus dilakukan setiap hari, bahkan lima kali dalam keadaan wajar? Bahkan orang tua itu kemudian bergumam,
“Tuhan telah menerangi hatinya.”
Mahesa Jenar menjadi semakin heran, maka bertanyalah ia,
“Bukankah sudah seharusnya dilakukan, Ki Ageng?”

Ki Ageng Sora Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya,
“Aku hampir saja putus asa. Lembu Sora lebih senang mengadu ayam dan berjudi daripada mendekatkan diri kepada Tuhan. Beberapa tahun terakhir, ia seolah-olah sudah lupa sama sekali akan kewajiban itu. Syukurlah, kini ia telah menemukan jalannya. Tetapi…” kata-kata orang tua itu terputus oleh tarikan nafasnya.
“Tetapi…”

KI AGENG Sora Dipayana memandangi wajah Mahesa Jenar dengan mata yang suram. Terasa ada sesuatu yang menghimpit hatinya. Tanpa menjawab pertanyaan Mahesa Jenar, Ki Ageng Sora Dipayana melangkah kembali untuk membersihkan dirinya. Mahesa Jenar pun tidak bertanya lebih lanjut. Ia mengikuti saja langkah orang tua itu sambil berdiam diri.
Ketika mereka bertemu dengan Arya Salaka, Ki Ageng Sora Dipayana bertanya,
“Dari mana kau Arya?”
Arya berhenti, kemudian ia menjawab,
“Sesuci Eyang.” Orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Katanya,
“Bagus. Di mana adikmu Sawung Sariti?” Arya Salaka menggeleng-gelengkan kepalanya, jawabnya,
“Aku tidak melihatnya, Eyang. Barangkali ia bersama-sama Paman Lembu Sora.”
“Kalau kau bertemu dengan anak itu nanti, berilah ia beberapa petunjuk. Ajaklah ia kembali kepada Yang Maha Kuasa,” pinta orang tua itu.
“Baiklah Eyang,” jawab Arya. Kemudian Ki Ageng Sora Dipayana dan Mahesa Jenar pergi pula ke pancuran dari sumber air di bawah pohon beringin tua.
“Angger Mahesa Jenar agaknya beruntung dapat membawa Arya Salaka ke jalan yang gemilang, lahir dan batin. Tanpa keseimbangan itu, maka yang terjadi adalah kekecewaan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itulah segera Mahesa Jenar mengerti, bahwa Ki Ageng Sora Dipayana sedang mencemaskan nasib cucunya, Sawung Sariti. Malam itu, ketika semuanya telah selesai, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka dengan nikmatnya menyuapi mulut masing-masing dengan nasi hangat dan serundeng kelapa seperti pagi tadi.

Namun meskipun demikian, karena letih dan lapar, maka terasa seolah-olah hidangan yang dimakannya itu adalah hidangan yang seenak-enaknya. Mereka duduk-duduk di antara laskar mereka, di sekeliling perapian untuk menghangatkan diri. Beberapa kali terdengar suara Bantaran, Penjawi, Jaladri dan beberapa orang lain tertawa ketika ia mendengar Sendang Papat berceritera. Anak itu memang pandai berkelekar. Namun lambat laun suara tertawa merekapun semakin jarang dan lambat. Kemudian mereka tidak dapat menahan kantuk mereka. Diatas anyaman daun kelapa mereka merebahkan diri. Tidur sambil memeluk senjata masing-masing. Arya Salaka kemudian tertidur pula. Begitu nyenyaknya dibuai oleh mimpi yang segar. Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara akan merebahkan dirinya pula, mereka dikejutkan oleh langkah seseorang mendekati mereka.
Ketika mereka menoleh dilihatnya Lembu Sora datang kepada mereka. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bangkit, sambil mempersilahkan,
“Marilah Ki Ageng.”
Lembu Sora mengangguk hormat dengan tulusnya. Berbeda dengan saat-saat yang lampau. Kemudian merekapun duduk pula didekat perapian yang masih menyala-nyala itu.
“Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati…” Ki Ageng Lembu Sora mulai,
“Aku memerlukan datang kepada kalian berdua untuk memohon maaf atas segala kekhilafan yang pernah aku lakukan, lebih-lebih kepada Adi Mahesa Jenar dan apabila aku masih sempat untuk bertemu karena kepalaku tidak terpenggal pedang Jaka Soka besok pagi, aku akan bersujud pula di bawah kaki Kakang Gajah Sora. Betapa besar dosa yang telah aku lakukan. Atas ayah Sora Dipayana, Kakang Gajah Sora dan lebih-lebih lagi atas Pamingit dan Banyubiru.”

Hati Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tergetar mendengar pengakuan itu, dan terasa betapa ikhlasnya Lembu Sora memandang kepada diri sendiri. Udara malam terasa dingin, namun kehangatan yang dilemparkan oleh perapian di samping mereka terasa betapa nyamannya. Sebelum Mahesa Jenar menjawab, Lembu Sora meneruskan,
“Dalam keadaan-keadaan yang sulit seperti apa yang aku alami sekarang, baru dapat aku lihat, betapa noda-noda telah melekat pada masa lampau itu. Mudah-mudahan aku belum terlambat.” Lembu Sora diam sesaat menelan ludah yang seolah-olah menyumbat kerongkongan.
“Tetapi Kakang, apabila besok aku terbunuh dalam mempertahankan tanah ini, biarlah Kakang menyampaikan rasa penyesalanku kepada Kakang Gajah Sora kelak.”
“Tak ada kelambatan untuk menyatakan kesalahan diri,” sahut Mahesa Jenar.
“Meskipun aku belum lama berkenalan, namun aku tahu bahwa dada Kakang Gajah Sora adalah seluas samodra. Karena itu, kalau Ki Ageng menyatakan penyesalan diri dengan ikhlas, maka Kakang Gajah Sora pun pasti akan memaafkannya.”
“Ya…” Lembu Sora menjawab,
“Aku tahu itu. Aku sadar betapa Kakang Gajah Sora memanjakan aku sejak masa kanak-kanak kami. Tetapi apa yang aku lakukan telah melampaui batas. Aku telah sampai pada usaha untuk membunuhnya atau meniadakannya. Bahkan membunuh anaknya yang tak mengetahui sama sekali persoalan di antara kami. Syukurlah bahwa Tuhan membebaskan aku dari pembunuhan-pembunuhan itu.”
“Hal itu tidak akan mengurangi kelapangan dada Kakang Gajah Sora,” kata Mahesa Jenar seperti kepada anak-anak yang betapa miskin jiwanya dalam menanggapi hidup dan kehidupan.
“Tetapi kalau aku tidak sempat karena aku terbunuh…?” Lembu Sora bertanya benar-benar seperti orang yang sedemikian bodohnya.
“Tidak,” jawab Mahesa Jenar,
“Meskipun hidup dan mati berada di tangan Tuhan, namun berdoalah agar Tuhan menyelamatkan Ki Ageng Lembu Sora. Saat ini Kakang berada di pihak yang benar. Karena itulah maka kami dan Arya Salaka bersedia berdiri di pihak Ki Ageng. Dan karena itu pula Tuhan akan melimpahkan rahmat-Nya.” 

LEMBU SORA terdiam. Matanya yang muram, merenungi api yang sedang menjilat- jilat ke udara dengan lincahnya. Tetapi di dalam nyala yang seolah-olah menari-nari itu dilihatnya betapa kelam masa-masa lampau yang pernah dijalaninya. Ketamakan, kebencian, pemanjaan nafsu lahiriah, dan segala macam sifat-sifat yang tercela. Dilihatnya betapa dirinya duduk di atas singgasana Demak, dengan Kyai Nagasasra di tangan kanan dan Kyai Sabuk Inten di tangan kiri. Sedang kakinya beralaskan bangkai Ki Ageng Gajah Sora dan Arya Salaka, dan sekitarnya berserak-serakanlah bangkai-bangkai orang Banyubiru. Pandan Kuning, Sawungrana dan lain-lain. Tiba-tiba ia menjadi ngeri pada gambaran cita-citanya waktu itu. Dengan tanpa disengaja maka kedua tangannya diangkatnya menutupi wajahnya. Akhirnya wajah itu tertunduk lesu.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mengetahui betapa rasa penyesalan bergolak di dalam dada Ki Ageng Lembu Sora. Betapa ia mengutuki dirinya sendiri yang telah tersesat terlalu jauh. Untunglah bahwa akhirnya ditemukannya jalan kembali. Untuk sesaat suasana dicekam oleh kesepian. Malam menjadi semakin dalam dan sepi. Namun terasa di sana sini para pengawas dan para penjaga bekerja dengan tekunnya. Di tangan mereka terletak tanggungjawab atas keselamatan perkemahan Pangrantunan. Sebab tidaklah mustahil laskar golongan hitam itu menyerang mereka pada malam hari ketika mereka sedang nyenyak tertidur.

Tiba-tiba Arya Salaka menggeliat. Ketika ia membuka matanya, ia melihat pamannya Lembu Sora duduk bersama-sama dengan gurunya dan Kebo Kanigara. Karena itu iapun segera bangkit dan duduk pula. Lembu Sora melihat Arya bangun dekat di sampingnya. Tiba-tiba terasa betapa hatinya bergelora. Dan tiba-tiba pula dengan serta merta diraihnya kepala anak muda itu seperti masa anak-anak dahulu.
“Arya…” desisnya,
“Maafkan pamanmu.” Arya pun merasa betapa hatinya bergetar mendengar kata-kata pamannya. Karena itulah maka mulutnya menjadi seolah-olah terkunci. Namun hatinya berkata,
“Aku akan berusaha melupakannya, Paman.” Kemudian ketika kepala itu dilepaskan, mata Arya menjadi panas. Seolah-olah ada yang berdesakan hendak meloncat keluar. Karena itulah maka ditengadahkan kepalanya ke langit. Sedang Ki Ageng Lembu Sora pun menarik nafas dalam-dalam. Kembali suasana terlempar ke dalam heningnya malam. Dan kembali Lembu Sora berangan-angan. Kini yang bergolak di dalam hatinya adalah anaknya, Sawung Sariti. Ia menyesal telah membawa anak itu lewat jalan yang penuh dengan noda dan dosa. Apalagi ketika ia sadar bahwa sampai saat ini anak itu masih tetap dalam pendiriannya. Karena itu kemudian ia berkata, “Arya, di manakah adikmu?” Arya memalingkan kepalanya. Ia mendengar pertanyaan yang serupa dari eyangnya tadi. Maka iapun menjawab,
“Aku tidak tahu, Paman. Tadi eyangpun menanyakan Adi Sawung Sariti. Aku kira Adi bersama-sama dengan Paman.”
Kembali penyesalan melonjak-lonjak di dalam dadanya. Pasti anak itu pergi dengan Galunggung. Seorang yang sama sekali tidak mempunyai harga diri dan kesopanan dalam tata pergaulan manusia. Tetapi kembali Lembu Sora menimpakan kesalahan pada diri sendiri.
“Mudah-mudahan ia terbentur pada kenyataan ini seperti aku sendiri,” gumam Lembu Sora, lebih-lebih ditujukan kepada dirinya sendiri.
Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata,
“Arya, adikmu telah terlampau jauh tersesat seperti aku. Namun aku masih dapat melihat kenyataan ini. Mudah-mudahan Sawung Sariti pun demikian. Dapatkah kau membantu aku membawanya kembali ke jalan yang benar?”
“Mudah-mudahan, Paman,” jawab Arya, meskipun ia tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia merasa adik sepupunya itu sedemikian membencinya, jauh lebih dalam daripada pamannya itu sendiri. Namun demikian ia berjanji untuk berusaha. Dalam pada itu, tiba-tiba datanglah Wulungan. Dengan heran ia melihat Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka masih enak-enak duduk di situ.

Apakah ia belum mendengar laporan yang disampaikan oleh beberapa orang pengawas? Tetapi karena persoalannya sedemikian penting, maka Wulunganpun tidak segan-segan menanyakannya. Maka iapun kemudian duduk pula di samping perapian itu sambil bertanya kepada Mahesa Jenar,
“Tuan, apakah Tuan telah mendengar laporan para pengawas?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya.
“Belum Wulungan,” jawabnya.
“Laporan tentang apa?”
“Ataukah laporan ini disampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana? Namun meskipun demikian, Ki Ageng Sora Dipayana pasti segera memberitahukan kepada Tuan dan Angger Arya Salaka,” sambung Wulungan.
“Penting sekalikah laporan itu?” tanya Arya.
“Ya, sangat penting bagi Angger,” jawab Wulungan.
“Kalau demikian…” ia melanjutkan,
“Biarlah aku panggil orang itu.”
Wulungan segera berdiri dan berjalan dengan tergesa-gesa. Yang ditinggalkan di tepi perapian itupun bertanya-tanya di dalam hati. Sesaat kemudian Wulungan kembali bersama seorang pengawas dari Pamingit.
Diajaknya orang itu duduk pula, dan berkatalah ia,
“Inilah orang yang menyampaikan laporan itu, Tuan.”
Lembu Sora memandangi orang itu dengan seksama. Kemudian berkatalah ia,
“Katakanlah apa yang kau lihat?”
Orang itupun mengingsar duduknya. Kepada Ki Ageng Lembu Sora ia berkata,
“Aku adalah salah seorang yang mendapat tugas untuk mengawasi perkemahan laskar golongan hitam. Aku telah melaporkan segala sesuatu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.”
Wulungan tiba-tiba mengangkat dadanya sambil menarik nafas dalam-dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak pada tempatnya. Laporan itu tidak diteruskan kepada Arya Salaka, Mahesa Jenar atau Ki Ageng Sora Dipayana.

LEMBU SORA mengerutkan keningnya. Seperti Wulungan, ia dapat menduga kelicikan anaknya. Namun sekali lagi dadanya dihantam oleh kegelisahan, penyesalan yang tiada taranya. Seolah-olah terdengar suara berdesing ditelinganya.
“Kau jangan salah, Lembu Sora. Anak itu memang kau didik demikian.”
“Di mana Sawung Sariti dan Galunggung itu?” tanya Lembu Sora menggeram.
“Aku temui mereka di pojok teras. Mereka baru saja keluar dari rumah Kakang Badra Klenteng Pangrantunan,” sahut orang itu.
“Apa kerjanya di sana?” Tiba-tiba mata Lembu Sora terbelalak. Orang itu menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab. Karena orang itu tidak menjawab, Lembu Sora mendesaknya,
“He, apa kerjanya di sana?”
Wulungan memalingkan wajahnya ke arah api yang memercik dengan riangnya. Kebenciannya kepada anak kepala daerah perdikannya itu tiba-tiba semakin menyala seperti nyala api yang dipandangnya itu. Badra Klenteng adalah orang yang sekotor-kotornya di Pangrantunan.
Di rumahnya ada dua tiga orang gadis. Bukan gadis, tetapi yang disebutnya gadis penari. Penari tayub yang terkenal. Bukan terkenal karena keindahannya menari, tetapi terkenal karena keberaniannya menari. Menari dalam tataran yang melanggar tata kesopanan dan kepribadian.
Kepala pengawas itupun menjadi semakin tunduk. Ia tahu apa yang harus dikatakan. Tetapi mulutnya terkunci. Sehingga dengan demikian ia tetap berdiam diri. Akhirnya terdengar Lembu Sora menggeram,
“Bagus, jangan kau katakan kepadaku sekarang apa yang dikerjakan oleh anak itu. Terkutuklah mereka. Aku tidak tahu kemana mukaku aku sembunyikan kalau Adi Mahesa Jenar, Kakang Putut Karang Jati dan Arya Salaka tahu apa yang dikerjakan di sana. Tetapi apakah laporan itu?”
“Belumkah Angger Sawung Sariti menyampaikannya?” tanya pengawas itu. Lembu Sora menggelengkan kepalanya.
“Belum.”
“Agak terlambat,” katanya.
“Aku telah melihat beberapa waktu yang lalu.”
“Ya, apakah itu?” desak Arya Salaka tidak sabar.
“Aku lihat serombongan kecil orang-orang berkuda meninggalkan perkemahan mereka. Mereka menuju ke utara,” jawabnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersentak. Mereka mendesak maju sambil bertanya,
“Siapakah mereka?”
“Tidak jelas. Tetapi mereka menuju ke jalan ke Banyubiru,” jawabnya.

“He…!” Arya hampir berteriak.
“Kau tahu benar?”
“Aku mengikuti beberapa langkah,” jawabnya.
“Karena itu aku yakin mereka pergi ke Banyubiru. Di simpang tiga Banjar Gede, mereka membelok ke timur.”
“Pasti ke Banyubiru,” desis Arya.
“Akupun pasti,” sahut pengawas itu,
“Tetapi aku tidak dapat mengikutinya terus. Ketika salah seekor kuda mereka berhenti, akupun berhenti pula. Agaknya salah seorang telah melihat aku. Sehingga ketika kudanya berputar, akupun memacu kudaku pula meninggalkan mereka. Untunglah kudaku agak lebih baik sehingga aku tak ditangkapnya. Sehingga akhirnya aku sampai pada gardu penjagaan. Aku tidak tahu apa yang dikerjakan oleh pengejarku itu. Namun aku kemudian langsung melaporkan peristiwa itu kepada Angger Sawung Sariti dan Kakang Galunggung.”
“Gila,” desah Lembu Sora.
“Sawung Sariti dan Galunggung tidak menyampaikan itu kepadaku, kepada ayah Sora Dipayana atau kepada Kakang Mahesa Jenar.”
“Wulungan…” tiba-tiba Lembu Sora berteriak,
“panggil mereka!”

Wulungan yang menjadi marah pula di dalam hati, segera bangkit.
“Baik Ki Ageng,” jawabnya. Dan iapun kemudian hilang di dalam gelap.
“Siapakah mereka itu?” tanya Arya Salaka.
“Aku tidak tahu,” jawab orang itu.
“Tetapi aku kira salah seorang di antaranya adalah orang yang berjubah abu-abu.”
“Pasingsingan…?” desis mereka bersamaan Tiba-tiba meloncatlah Arya Salaka dari tempat duduknya. Tanpa berkata apapun juga ia berlari kencang-kencang.
“Arya…” panggil Mahesa Jenar,
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Kuda!” Hanya kata-kata itulah yang meloncat dari bibirnya. Mahesa Jenar yang tahu betapa watak muridnya itupun kemudian berdiri pula sambil berkata kepada Ki Ageng Lembu Sora,
“Adi, tolong sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana, kami mendahului perintah supaya tidak terlalu lambat.”
Kebo Kanigara kemudian berdiri pula. Ia tidak sampai hati melepaskan Arya Salaka berdua dengan Mahesa Jenar saja. Kalau di dalam rombongan Pasingsingan itu ada Bugel Kaliki dan Sura Sarunggi, maka celakalah Arya Salaka.
Mahesa Jenar sendiri mungkin dapat mempertahankan dirinya beberapa lama meskipun ia harus berhadapan dengan dua tokoh hitam itu sekaligus, namun bagaimana dengan Arya? Karena itu ia berkata,
“Mahesa Jenar, aku pergi bersamamu.”
“Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar singkat. Iapun sadar akan bahaya yang setiap saat dapat mengancam keselamatan muridnya. Justru pada taraf terakhir dari perjuangannya.

BANTARAN, Penjawi, Jaladri dan Sendang Papat telah terbangun pula. Dengan gelisah ia bertanya,
“Ada apa Tuan-tuan?”
“Aku akan pergi sebentar, Bantaran. Jagalah laskar baik-baik. Tempatkan dirimu langsung di bawah perintah Ki Ageng Sora Dipayana apabila besok pagi-pagi aku belum kembali,” kata Mahesa Jenar dengan tergesa-gesa. Ia tidak sempat memberi banyak penjelasan.
“Aku titipkan laskar Banyubiru kepadamu Ki Ageng,” katanya kepada Lembu Sora.
“Baik Adi,” jawab Lembu Sora.
“Tetapi tidakkah Adi perlu membawa pasukan?”
“Tidak,” sahut Mahesa Jenar,
“Di Banyubiru masih ada separo laskar Arya Salaka.” Lembu Sora mengangguk sambil berdiri. Ia tidak sempat berkata-kata lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan tergesa-gesa berjalan mengikuti jalan yang dilewati Arya tadi. Mereka tahu benar ke mana muridnya itu pergi. Arya pasti pergi ke tempat kuda-kuda dipersiapkan. Mereka masih dapat melihat Arya melarikan kudanya seperti angin. Dengan demikian, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara segera meloncat ke punggung kuda-kuda yang mereka anggap cukup baik. Para penjaga kuda itu memandang mereka dengan heran.
Yang mereka dengar hanyalah kata-kata Arya tadi,
“Aku ambil seekor.” Lalu anak itu pergi dengan cepatnya. Sekarang mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun mengambil masing-masing kuda dengan tergesa-gesa.
“Apa yang terjadi Tuan?” tanya seorang penjaga.
“Tidak apa-apa,” jawab Mahesa Jenar,
“Kami sedang berlatih berpacu kuda.”

Penjaga itu tersenyum. Tetapi ia tidak percaya. Meskipun demikian ia tidak bertanya-tanya lagi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera memacu kudanya. Suara derap kakinya berdetak-detak memecah kesepian malam. Beberapa orang yang mendengar suara derap kaki kuda itupun terkejut. Namun mereka tidak sempat bertanya, apakah dan kemanakah mereka pergi. Meskipun demikian, mereka terpaksa meraba-raba senjata-senjata mereka, kalau-kalau ada hal-hal yang penting akan terjadi di perkemahan itu. Sementara itu dengan geram Lembu Sora berjalan ke tempat peristirahatan ayahnya. Ia benar-benar marah kepada Sawung Sariti dan Galunggung. Karena perbuatan mereka itu, telah membuka kemungkinan terjadinya peristiwa-peristiwa yang mengerikan. Sedangkan Bantaran, Jaladri, Penjawi dan Sendang Papat beserta beberapa orang Banyubiru yang lain bertanya-tanya dalam hati pula. Mereka mendengar dari Ki Ageng Lembu Sora apa yang terjadi. Tetapi mereka tidak diperkenankan meninggalkan laskar mereka. Karena itu merekapun menjadi gelisah. Apakah yang akan terjadi di Banyubiru. Namun mereka menjadi agak tenang ketika mereka sadar bahwa di Banyubiru masih ada Wanamerta, Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan separo dari laskar Banyubiru. Mudah-mudahan mereka dapat mengatasi kesulitan yang akan timbul.
Ketika Ki Ageng Lembu Sora sampai ke tempat Ki Ageng Sora Dipayana dilihatnya Sawung Sariti dan Galunggung telah berada di sana. Dengan wajah yang merah, ia masuk ke ruangan itu sambil menggeram,
“Apa kerjamu Sawung Sariti?”
Sawung Sariti menoleh kepada ayahnya. Ia terkejut. Belum pernah ia melihat mata ayahnya memancarkan sinar yang demikian kepadanya.
“Mungkin ayah sedang marah kepada seseorang,” pikirnya.
Tetapi ternyata Lembu Sora itu memandangnya terus seperti hendak menelannya hidup-hidup.
“Duduklah Lembu Sora,” ayahnya mempersilahkan.
“Sawung Sariti sedang menyampaikan kabar yang aku kira penting.”
Lembu Sora duduk di samping ayahnya, namun pandangan matanya masih saja melekat kepada anaknya.
“Terlambat,” geram Lembu Sora.
“Apa yang terlambat Lembu Sora?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana.
“Kabar itu,” jawab Lembu Sora.
“Mungkin sesuatu telah terjadi sekarang di Banyubiru. Pembunuhan dan pembalasan dendam.”
“Sabarlah,” potong ayahnya,
“Apakah yang sebenarnya terjadi?”
“Apa yang disampaikan oleh Sawung Sariti?” Lembu Sora ganti bertanya.
“Tokoh-tokoh sakti dari golongan hitam telah meninggalkan perkemahan mereka,” jawab ayahnya.
“Ke mana?” desak Lembu Sora.
“Ke mana…?” ulang Ki Ageng Sora Dipayana. Sawung Sariti dan Galunggung menjadi bingung.

Agaknya Ki Ageng Lembu Sora telah mengetahui apa yang terjadi. Sejenak mereka saling berpandangan. Tetapi mereka terkejut ketika Lembu Sora membentaknya sambil berdiri,
“Kemana? Tidakkah kau sampaikan laporan itu selengkapnya setelah kau ulur waktu hampir seperempat malam supaya segala sesuatu menjadi semakin jelek?”


<<< Bagian 075                                                                                              Bagian 077 >>>

No comments:

Post a Comment