TIBA-TIBA tangan Ki Paniling terjulur untuk menangkap baju Mahesa Jenar. Cepat ia mengelak, dan dengan gerakan kuat ia menerkam Paniling. Mahesa Jenar tidak mau didahului oleh orangtua yang masih belum diketahui siapakah dia dan sampai dimanakah kekuatannya. Dengan menangkap orangtua itu, Mahesa Jenar bermaksud memaksanya untuk menjelaskan siapakah sebenarnya dirinya itu. Tetapi Mahesa Jenar terkejut bukan kepalang ketika ia sama sekali tak berhasil menyentuh Ki Paniling dalam tempat yang demikian sempitnya. Bahkan tiba-tiba terasa tangannya terpilin dan lenyaplah segenap kekuatannya yang memang belum pulih seluruhnya. Tetapi bagaimanapun ia merasa bahwa Paniling mempunyai kekuatan yang jauh di atas kemampuannya. Bahkan andaikata kekuatannya samasekali tak terganggu sekalipun. Namun orangtua itu akan dapat dengan mudah menangkapnya. Mengalami peristiwa itu, Mahesa Jenar segera teringat kepada pertemuan-pertemuannya dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana yang juga sama sekali tak diduganya. Dengan demikian ia dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa orang ini pun pasti tergolong angkatan itu pula. Kalau saja orang ini Pasingsingan, entahlah apa yang akan terjadi atas dirinya.
Tetapi
tiba-tiba terasa tangkapan pada tangannya itu semakin kendor, semakin kendor,
bahkan akhirnya dilepaskan. Dan dengan keheran-keheranan Mahesa Jenar melihat
Ki Paniling itu membanting diri di atas bale-bale, yang kemudian dengan kedua
telapak tangannya menutupi mukanya. Mahesa Jenar jadi ragu dan tidak tahu apa
yang akan dilakukannya. Tetapi suatu kelegaan telah membersit di hatinya. Sebab
jelas orangtua itu sama sekali tak bermaksud jahat kepadanya.
Setelah beberapa
saat suasana ruangan sempit itu dicengkam oleh kesepian yang tegang, maka
perlahan-lahan Ki Paniling mengangkat mukanya. Muka yang tadi tampak merah
membara, kini menjadi pucat keputih-putihan. Bahkan dari matanya memancar sinar
duka. Mahesa Jenar jadi merasa bahwa ia telah berbuat sesuatu yang menyebabkan
orangtua itu susah. Maka katanya,
“Maafkan aku,
Bapak, barangkali aku telah berbuat suatu kesalahan.”
Tiba-tiba Ki
Paniling tersenyum lebar, namun senyumnya adalah senyum yang pahit.
“Tidak,
Angger…, Angger tidak berbuat suatu kesalahan. Tetapi akulah yang bodoh.
Sebagai orangtua aku telah berbuat sesuatu yang memalukan. Tetapi itu ada
sebabnya.”
Mata orangtua
itu semakin membayangkan kedukaan yang dalam. Hanya kadang kadang saja ia
memandang kepada Mahesa Jenar, tetapi kemudian kembali matanya menatap ke
titik-titik, jauh tak terhingga. Lewat pintu rumah kecil yang belum ditutup
itu, terasa angin malam menghembus halus, menggoyang-goyang nyala pelita jarak
yang melemparkan cahaya suram ke segenap arah.
Untuk beberapa
lama mereka berdua masih berdiam diri. Perlahan-lahan Mahesa Jenar pun kemudian
duduk kembali di samping Ki Paniling.
“Angger…” kata
Ki Paniling kemudian memecah sepi,
“Maksudku
hanya ingin mengatakan bahwa ceritera yang Angger dengar itu sama sekali tidak
benar. Atau barangkali lebih baik aku katakan bahwa ceritera itu tidak sama
dengan ceritera di dalam kitab-kitabku. Mungkin benar kata Angger bahwa kedua
ceritera itu ditulis oleh orang yang tidak sama, hanya kebetulan nama
tokoh-tokohnya sajalah yang bersamaan.”
“Demikianlah
Bapak, ceritera itu bukanlah tidak mungkin bersamaan nama,” jawab Mahesa Jenar.
“Ceritera yang
aku baca, Angger…” kata Paniling,
“Pasingsingan
adalah orang yang baik hati. Menjunjung tinggi keluhuran budi, serta pasrah
diri kepada Yang Maha Agung.”
“Dapatkah aku
mendengar ceritera itu, Bapak? ” tanya Mahesa Jenar.
Ki Paniling
menarik nafas dalam-dalam.
“Otakmu
cemerlang seperti matahari musim kemarau,” sahut Paniling.
Mahesa Jenar
kurang mengerti kepada kata-kata Paniling itu. Tetapi ia tidak bertanya
sesuatu, sampai akhirnya Paniling berkata kembali,
“Baiklah
Angger…, aku tidak tahu apakah ada gunanya kalau aku berceritera. Sebab kau
bukanlah anak-anak yang mudah tertidur karena dongeng-dongeng yang menyenangkan
serta mengasyikkan.”
Mahesa Jenar
menundukkan kepala mendengar kata-kata Ki Paniling yang rupa-rupanya sudah
mengetahui maksudnya, memancing-mancing keterangan tentang dirinya.
“Angger Mahesa
Jenar…,”kata Ki Paniling lebih lanjut,
“Bagian kedua
dari ceritera itu mengatakan bahwa setelah kedua murid Pasingsingan itu menjadi
dua orang yang hampir mumpuni, maka Pasingsingan ingin menyerahkan jabatannya,
meskipun jabatan itu disandangnya atas kemauan sendiri, kepada muridnya yang
tua. Tetapi pada saat itu datanglah seorang yang mengaku murid Pasingsingan
yang tertua, yang merasa berhak untuk mengenakan tanda-tanda kebesaran gurunya,
yaitu jubah abu-abu, topeng yang kasar dan yang terutama adalah sebuah belati
panjang berwarna kuning emas berkilau-kilauan, yang disebut Kyai Suluh, serta
cincin bermata batu akik merah menyala yang dinamai Akik Klabang Sayuta. Hampir
tak ada orang yang dapat melawan kesaktian belati panjang serta akik Klabang
Sayuta itu.”
Sampai sekian
terasa punggung Mahesa Jenar meremang. Ia kenal semua benda-benda yang
disebutkan itu. Ia pernah melihat Pasingsingan memegang sebuah pisau belati
yang berwarna kuning gemerlapan pada saat orang itu hendak bertempur melawan Ki
Ageng Pandan Alas, yang juga terpaksa menarik pusakanya Sigar Penjalin. Sedang
akik Klabang Sayuta yang beracun itu, tidak saja ia pernah melihat, tetapi ia
pernah merasakan betapa dahsyatnya. Kalau saja di dalam darahnya tidak mengalir
bisa Ular Candrasa, entahlah apa yang terjadi atasnya.
KI PANILING
kemudian melanjutkan ceritanya,
“Tetapi
agaknya Pasingsingan tidak begitu terkena hatinya kepada bekas muridnya yang
telah lama meninggalkannya. Karena itu ia tetap pada pendiriannya, menyerahkan
semua tanda-tanda jabatannya kepada Radite. Maka pada suatu hari, dengan tidak
diketahui oleh siapapun, Pasingsingan telah lenyap. Tetapi jubah abu-abu serta
semua miliknya itu ditinggalkannya di dalam ruang tidur Radite. Dan sejak
itulah Radite kemudian mengembara dengan nama Pasingsingan untuk mengamalkan
kebajikan demi kesejahteraan hidup umat manusia. Dalam pengembaraan itu pula ia
berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti yang lain, yang juga berusaha untuk
menegakkan kebajikan bagi kesejahteraan umat mahusia. Diantara sahabatnya
terdapat seorang yang bernama Kiai Ageng Pengging Sepuh, yang kemudian
mempunyai seorang murid yang menjadi Prajurit Pengawal Raja bernama Rangga
Tohjaya”.
Kembali
punggung Mahesa Jenar meremang. Bahkan kali ini keringat dingin telah membasahi
seluruh tubuhnya. Ia jadi agak bingung. Ternyata Paniling telah hampir mengetahui
keseluruhan dari perjalanan hidupnya. Ia akhirnya malu sendiri, ketika ia
merasa bahwa pancingan-pancingannya terasa berhasil untuk memaksa Paniling
berceritera. Tetapi agaknya orangtua itu telah dapat menebak seluruh isi
hatinya.
“Adapun
Anggara…” Ki Paniling meneruskan,
”Telah
diserahi tugas untuk menunggui tempat pertapaan Pasingsingan. Dan orang itupun
dengan setia melakukan kewajibannya. Tetapi…” sambung Ki Paniling dengan nada
yang merendah,
“Peredaran
roda tidak selamanya menempuh jalan datar. Radite akhirnya bertemu dengan murid
tertua dari Pasingsingan, yang menamakan dirinya Umbaran. Dari segi keperwiraan
jasmaniah, maka Umbaran ada di bawah kepandaian Radite”.
Ki Paniling
berhenti sebentar. Terasa bahwa nafasnya berangsur cepat. Wajahnya tampak
semakin pucat sedang matanya semakin sayu. Kemudian ia kembali melanjutkan
ceritanya,
“Karena itu
Umbaran tidak dapat memaksa Radite untuk menyerahkan tanda-tanda kebesaran
gurunya. Namun demikian ada saja jalan yang dapat ditempuhnya. Dan ini termuat
pada bagian ketiga dari kitab ini. Bagian yang paling menyedihkan”.
Kembali Ki
Paniling berhenti sejenak, kemudian meneruskan ceritanya lagi,
“Bagaimanapun
juga Radite adalah manusia biasa. Meskipun ia telah mengenakan jubah abu-abu,
topeng dan pusaka-pusaka lainnya, namun ia tidak dapat melapisi hatinya dengan
baja. Hatinya masih saja hati manusia yang lunak dan lemah. Itulah sebabnya ia
pada suatu saat jatuh cinta kepada seorang gadis. Dan inilah sumber dari segala
malapetaka. Ketika Umbaran mengetahui, maka segera ia berusaha memikat hati
gadis itu. Memang Umbaran memiliki wajah yang tampan, sehingga akhirnya dengan
tidak banyak kesulitan ia berhasil menguasai hati gadis itu sepenuhnya. Sedang
di lain pihak, hati Radite telah bulat-bulat berada di dalam genggaman gadis
itu. Akhirnya…” lanjut Ki Paniling,
“Terjadilah
sesuatu yang memalukan sekali. Radite dan Umbaran mengadakan suatu perjanjian
tukar-menukar. Inilah yang gila. Dan itu sudah terjadi”.
Mahesa Jenar
menjadi terkejut ketika nada suara Paniling jadi meninggi. Hampir berteriak ia
berkata,
“Itu sudah
terjadi, dan tak dapat dicabut kembali”.
Tetapi
kemudian seperti orang yang tersadar, Ki Paniling menarik nafas dalam-dalam.
Dan kembali dengan nada yang rendah ia meneruskan,
“Radite dan
Umbaran mengadakan perjanjian. Radite mendapat gadis itu, sedang Umbaran
mendapat tanda-tanda kebesaran dari Pasingsingan. Maka berlangsunglah
tukar-menukar itu tanpa saksi, selain Anggara yang dengan sedih berusaha
mencegahnya. Tetapi tukar-menukar itu tetap berlangsung, dengan hati jantan dan
tanggung jawab bagi Radite. Itulah sebabnya maka ia akan mentaati perjanjian
itu untuk seterusnya. Tetapi kemudian…” lanjut Ki Paniling,
“Menyusullah
kejadian yang semakin menghimpit hati. Radite sebenarnya sangat menyesal atas perjanjian
itu. Namun di hadapan gadis yang kemudian menjadi istrinya, ia selalu
menyembunyikan penyesalan itu. Kemudian ia harus mengalami kejadian yang
dahsyat, yang barangkali merupakan hukuman alam. Gadis yang memang sebenarnya
sama sekali tak mencintainya itu, sebab hatinya telah terampas oleh Umbaran,
akhirnya menjadi sakit-sakitan dan meninggal dunia. Kejadian ini merupakan
pukulan yang maha dahsyat dalam kehidupan Radite yang telah gagal itu. Gagal
dalam pengabdiannya kepada umat manusia dan gagal dalam pemanjaan nafsu
pribadi”.
Paniling
berhenti berkata. Wajahnya menjadi semakin pucat. Dan tiba-tiba di matanya
tampak mengembang sebutir air mata.
Mahesa Jenar
kini telah menjadi jelas. Jelas dengan siapa ia sedang berbicara. Karena itu
tiba-tiba ia berdiri dan membungkuk hormat.
“Jadi tuanlah
sebenarnya yang berhak menyebut diri Pasingsingan”.
Paniling
mengangkat mukanya. Ia mencoba tersenyum, meskipun betapa pedihnya. Dengan
terputus-putus ia menjawab,
“Tak usah kau
sebut itu. Bukankah hal itu yang kau ingin ketahui?”
“Bukankah
segala sesuatu masih belum terlambat?” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Tuan masih
dapat menghentikan perbuatan-perbuatan jahat dari Umbaran, yang kemudian
bernama Pasingsingan itu?”
Paniling atau
sebenarnya bernama Radite itu menggelengkan kepalanya.
“Tidak dapat.
Sebab pada suatu kali, datanglah Guru kepadaku. Meskipun aku sama sekali tidak
dapat melihatnya, tetapi aku kenal suaranya. Ia berkata kepadaku, Radite…, nama
Pasingsingan telah kau korbankan. Kau tak perlu bersusah payah untuk
memperbaikinya kembali. Sebab sekali nama itu ternoda, buat selamanya tak akan
dapat menjadi bersih, sebersih semula. Karena itu biarkanlah nama itu bernoda
untuk seterusnya. Sebab setiap kali nama itu disebutkan, setiap kali kau akan
teringat kepada kesalahanmu”.
KI PANILING
termenung sejenak. Kemudian lanjutnya,
“Itu adalah
hukumanku yang paling berat. Hukuman yang hampir tak tertanggungkan. Karena itu
kemudian aku menyembunyikan diri. Menjauhkan diri dari setiap kemungkinan untuk
dapat mendengar nama Pasingsingan. Tetapi bagaimanapun juga bendungan itu akan
tembus pula. Dan aku sedang mencari saluran untuk mengatakan seluruh gelora
yang bergulung-gulung di dalam dadaku. Sampai pada suatu kali aku temukan kau.
Aku kenal kau karena caramu bertempur melawan 7 orang di bukit sebelah
Banyubiru. Aku mendengar salah seorang menyebutmu Rangga Tohjaya. Dan aku
pernah pula mendengar nama Rangga Tohjaya sebagai prajurit pengawal raja,” kata
Ki Paniling.
Kembali mereka
berdiam diri dalam kesibukan angan-angan masing-masing.
Tiba-tiba saja
Mahesa Jenar teringat kepada orang yang berjubah abu-abu dan yang telah
berhasil mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Karena itu
tiba-tiba ia bertanya,
“Bagaimanakah
kalau ada seorang lagi yang menyatakan dirinya sebagai Pasingsingan?”
Mendengar
pertanyaan Mahesa Jenar itu, Ki Paniling terkejut bukan buatan sehingga
wajahnya berubah hebat. Dengan pandangan yang mengandung seribu macam
pertanyaan, ia berkata,
“Adakah orang
lain yang kau kenal sebagai Pasingsingan pula?”
Kemudian
Mahesa Jenar menceriterakan apa yang pernah dilihatnya pada saat hilangnya Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dan tentang orang yang berjubah abu-abu yang
mengambil kedua keris itu.
Paniling
mendengarkan ceritera Mahesa Jenar dengan wajah tegang. Alisnya tampak
berkerut-kerut. Akhirnya ia bertanya,
“Kau lihat
orang itu bertopeng pula?”
“Itu yang
tidak aku ketahui,” jawab Mahesa Jenar.
Tampaklah
wajah Paniling semakin tegang. Pikirannya bekerja keras namun ia pun agaknya
tidak dapat menduga, siapakah yang telah berjubah abu-abu itu. Tiba-tiba
bertanyalah Mahesa Jenar,
“Tuan,
bolehkah aku mengetahui, di manakah murid yang seorang lagi dari Pasingsingan
itu?”
Mendengar
pertanyaan Mahesa Jenar itu, tiba-tiba wajah Paniling agak mengendor. Bahkan
kemudian ia tersenyum lebar.
“Adakah kau
menduga bahwa murid yang satu itu menamakan diri Pasingsingan pula?”
Mahesa Jenar
menjadi agak kebingungan. Memang mula-mula ia mempunyai dugaan bahwa hal itu
mungkin sekali. Tetapi setelah ia menerima pertanyaan itu, ia menjadi ragu.
“Bukan
maksudku untuk berkata demikian, Tuan”.
Mendengar
jawaban Paniling, segera Mahesa Jenar teringat kepada sinar mata yang
berkilat-kilat dari orang yang menamakan dirinya Darba. Karena itu segera ia
menjawab pula,
“Apakah yang
menamakan dirinya Paman Darba itulah orangnya?”
Belum lagi
Paniling menjawab, terdengarlah suara tertawa di luar, di depan pintu, sampai
Mahesa Jenar agak terkejut.
Kedatangan
seseorang sampai jarak yang demikian dekatnya tanpa diketahui adalah suatu hal
yang jarang terjadi. Ketika Mahesa Jenar menoleh ke arah pintu, dilihatnya
orang yang menamakan dirinya Darba itu telah berdiri di sana dengan wajah
bening, sebening air yang memancar dari mata airnya.
Kemudian Darba
berkata lirih, seperti kepada dirinya sendiri mengulangi kata-kata Paniling,
“Otakmu
cemerlang seperti matahari musim kemarau”.
Kemudian
terdengar Paniling berkata,
“Kepadanya tak
perlu kita menyembunyikan diri. Aku percaya bahwa orang semacam Mahesa Jenar
akan dapat memegang rahasia, seperti ia memegang rahasia kerajaan”.
“Kau akan
merahasiakannya Mahesa Jenar?” tanya Darba.
“Akan aku
coba, Tuan,” jawab Mahesa Jenar.
“Juga kepada
Kakang Pandan Alas dan Kakang Sora Dipayana? Bukankah tadi kau berceritera
tentang hilangnya Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun kedua tokoh itu ikut pula
mempertahankannya?”
Mahesa Jenar
menjadi agak kebingungan. Kalau ia bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas dan Ki
Ageng Sora Dipayana, apakah ia harus merahasiakan pula tentang Pasingsingan…?
Melihat
kebingungan Mahesa Jenar, berkatalah Darba,
“Kepada kedua
orang itu, juga kepada Titis Anganten, Pangeran Gunung Slamet, kau tidak usah
merahasiakan. Kalau mereka akan melenyapkan Pasingsingan adalah urusan mereka,
bukankah begitu Kakang?”
Tiba-tiba
wajah Paniling kembali menjadi tegang. Ia tidak segera menjawab kata-kata
Darba. Pandangannya jauh lewat pintu yang masih menganga itu langsung menembus
gelapnya malam.
Kemudian
kembali suara Darba terdengar diantara tertawanya,
“Kakang
Paniling, masihkah kau ingin mengadakan perhitungan dengan Umbaran? Aku kiranya
hanya akan mengotori tanganmu saja dengan darah yang telah digenangi kejahatan.
Apalagi kau terikat kepadanya dengan sebuah perjanjian aneh itu, untuk
seterusnya tidak saling mengganggu. Kenapa kau tidak memerintahkan aku saja
untuk menyelesaikan masalah ini? Bukankah aku tidak terikat oleh suatu apapun?”
TIBA-TIBA
wajah Darba yang bening itu berubah, seolah-olah menjadi batu padas yang maha
keras.
“Sabarlah
Darba,” jawab Paniling yang wajahnya masih setegang tadi,”Aku kira akan datang
saatnya”.
Wajah Darba
perlahan-lahan menjadi lunak kembali. Dengan langkah yang perlahan lahan pula
ia duduk di samping Mahesa Jenar.
“Kakang
Paniling kagum melihat caramu bertempur melawan 7 orang yang termasuk
orang-orang kuat. Memang Kakang Pengging Sepuh telah hampir tercermin
seluruhnya di dalam dirimu. Kalau kau kelak dapat mengendap ilmu Sasra Birawa
sehingga mendapat bentuk yang lebih masak lagi, aku kira kau akan menjadi tepat
seperti bayangan Kakang Pengging Sepuh yang mengagumkan”.
Mahesa Jenar
hanya dapat menundukkan kepalanya mendengar pujian itu, tetapi bersamaan dengan
itu pula segera ia teringat kepada nasib Banyubiru yang dalam keadaan lumpuh
itu. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiam diri. Paniling dan Darba tak
berkata-kata pula. Baru beberapa lama kemudian berkatalah Mahesa Jenar,
“Dan sekarang
ke-7 orang yang mengeroyokku itu sedang merencanakan kehancuran Banyubiru”.
Paniling dan
Darba tampak mengerutkan kening nya. Kemudian kata Paniling,
“Perencana
dari peristiwa Banyubiru itu bukanlah orang bodoh. Karena itu kaupun harus
sangat berhati-hati untuk melawannya. Apa yang kau lakukan beberapa hari yang
lalu, melawan 7 orang sekaligus, adalah perbuatan yang terlalu berani. Kalau
kau tewas dalam pertarungan semacam itu, maka kau sudah tidak akan dapat
berbuat apa-apa lagi. Sedang agaknya kau tak pernah berfikir untuk menghindar.
Untunglah bahwa aku berhasil menggugurkan tanah yang kau injak, ketika kau
berdiri terlalu ke tepi, dengan sebuah lemparan. Sehingga kau dengan tak usah
merasa melarikan diri dari gelanggang, telah dapat terselamatkan, meskipun kau
harus menggelinding ke dalam jurang”.
Dada Mahesa
Jenar terasa berdesir mendengar kata-kata Paniling. Agaknya orang tua itulah
yang telah berusaha menyelamatkan nyawanya. Dengan demikian maka tanpa
disengaja ia berkata dengan gemetar,
“Terima kasih
Tuan, terima kasih atas pertolongan itu”.
Dalam hati
Mahesa Jenar memancarlah perasaan kagum yang tak terhingga. Dengan satu
lemparan, Radite menggugurkan tanah tempat ia berpijak. Paniling tersenyum
lebar.
“Aku juga
pernah mengalami masa muda. Masa darah kita menggelora, dimana kita
kadang-kadang kehilangan kemampuan untuk mengakui kekurangan diri,” jawabnya.
Terasa oleh
Mahesa Jenar kebenaran kata-kata Paniling. Memang dalam saat yang demikian
terasa alangkah kecilnya apabila seseorang menghindarkan diri dari arena.
Tetapi apabila benar-benar ia dapat ditewaskan, maka untuk selanjutnya ia tak
akan dapat berbuat sesuatu. Karena itu, adalah suatu keuntungan bahwa ia masih
hidup.
“Mahesa
Jenar…” kata Paniling kemudian,
“Memang
sebaiknya kau kembali ke Banyubiru. Ketahuilah bahwa kau sekarang ini berada di
hutan Pudak Pungkuran. Perjalanan ke Banyubiru dapat kau tempuh kira-kira dalam
satu hari. Tetapi kau tidak perlu tergesa-gesa. Kau pulihkan dahulu kekuatanmu.
Di sini aku
mempunyai beberapa jenis akar yang dapat menolong menambah lancar aliran darah
serta menambah kesegaran tubuhmu”.
Mahesa Jenar
segera menyatakan terima kasihnya. Dengan demikian ia dapat beristirahat untuk
beberapa saat di rumah Ki Paniling.
Beberapa hari
kemudian setelah tubuhnya terasa pulih kembali, serta keadaan telah
memungkinkan, maka Mahesa Jenar mohon diri kepada Paniling untuk kembali ke
Banyubiru. Paniling dan Darba yang merasa pentingnya kehadiran Mahesa Jenar di
tanah perdikan yang kehilangan pemimpin itu, segera mengizinkannya, diiringi
beberapa pesan dari seorang tua yang telah banyak makan garam, kepada seorang
pemuda yang darahnya masih cepat mendidih.
Disamping itu,
Paniling juga memesannya untuk tidak berkata apa-apa tentang Pasingsingan
apabila tidak dianggapnya perlu sekali. Sebab sampai saat itu, belum ada orang
lain yang pernah mengenal wajah asli dari Pasingsingan, apalagi Pasingsingan
tua, guru Radite, yang pada saat itu, baik Radite maupun Anggara tidak tahu
apakah Pasingsingan masih hidup ataukah sudah tidak ada lagi. Maka pada suatu
pagi yang cerah, diiringi oleh kicauan burung-burung liar, Mahesa Jenar
melangkah dengan segarnya menuju ke Banyubiru.
Bagaimanapun
ia merasa bahwa ia ingin segera sampai. Sebenarnya daerah Banyubiru, yang
paling menarik bagi Mahesa Jenar adalah Arya Salaka. Kepada anak ini Mahesa
Jenar menaruh perhatian sepenuhnya. Apalagi sejak ayahnya Ki Ageng Gajah Sora,
menyerahkan Arya kepadanya dalam olah kanuragan. Maka seolah-olah ia telah
dibebani suatu tanggungjawab. Apabila kelak pada waktunya Arya dewasa, dengan
tidak memiliki sesuatu yang pantas dipakai sebagai pegangan bagi seorang kepala
daerah perdikan, maka ialah yang paling dapat disalahkan. Mengenangkan hal itu,
tiba-tiba saja Mahesa Jenar ingin segera sampai ke Banyubiru. Karena itu segera
ia mempercepat langkahnya. Tetapi karena ia menempuh suatu perjalanan yang
belum pernah dilalui sebelumnya, dan hanya dikenalnya dari ancar-ancar yang
diberikan oleh Ki Paniling, maka perjalanannya tidak dapat terlalu cepat.
Beberapa kali ia harus berhenti untuk mengenali jalan-jalan dan tempat-tempat
seperti yang disebut oleh Paniling. Dengan demikian maka ia tidak dapat
mencapai Banyubiru dalam sehari. Meskipun matahari telah tenggelam di langit,
Mahesa Jenar dengan perlahan-lahan tetap melanjutkan perjalanannya. Apalagi
ketika dari jarak yang agak jauh, remang-remang di hadapannya hanya taburan
bintang-bintang. Mahesa Jenar melihat bayangan hitam yang membujur seperti
seorang raksasa yang baru berbaring. Itulah pegunungan Telamaya. Karena itu
maka Mahesa Jenar seakan-akan merasa terhisap oleh pegunungan itu, serta rasa
rindunya kepada Arya Salaka semakin menjadi-jadi. Segera ia pun mempercepat
langkahnya.
RASANYA Mahesa
Jenar sudah tidak sabar lagi terhadap kakinya yang sudah mulai lelah. Tetapi
ketika ia sudah semakin dekat, tiba-tiba dadanya berdentam keras sehingga
tubuhnya menjadi gemetar. Dari kota Banyubiru Mahesa Jenar melihat nyala api
yang semakin lama semakin besar. Sekarang Mahesa Jenar menjadi benar-benar
tidak sabar lagi. Seperti seekor kijang yang sedang diburu, Mahesa Jenar
meloncat dan kemudian berlari sekencang kencang ke arah api yang menyala-nyala.
Apalagi sebentar kemudian didengarnya suara tanda bahaya menggema memenuhi
seluruh daerah pegunungan Telamaya. Dengan nafas yang terengah-engah akhirnya
Mahesa Jenar berhasil memasuki kota. Ia berjalan hati-hati sekali. Beberapa
kali ia melihat orang-orang berkuda berlari hilir-mudik. Beberapa orang sudah
dikenalnya sebagai laskar Banyubiru. Tetapi beberapa yang lain sama sekali
belum pernah dilihatnya. Untuk tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diingini,
Mahesa Jenar selalu berusaha menyembunyikan dirinya di balik bayang-bayang
pepohonan atau di samping rumah-rumah. Sekali-sekali ia berlari dari satu
tempat ke lain tempat sambil mendekati tempat kebakaran.
Ketika Mahesa
Jenar berhasil mendekati tempat itu, dilihatnya laskar Banyubiru terlibat dalam
satu pertempuran dengan laskar yang sama sekali belum dikenalnya. Pertempuran
itu berlangsung dengan serunya, sehingga kedua belah pihak telah kehilangan
ikatan kesatuannya. Mereka seolah-olah bertempur tanpa pimpinan. Dari jarak
yang agak dekat akhirnya Mahesa Jenar dapat melihat bahwa pasukan Banyubiru
berada di bawah pimpinan Bantaran, yang agaknya merasa terdesak. Bantaran
sendiri bertempur seperti harimau luka, tetapi musuhnya terlampau banyak.
Sebentar kemudian terdengar derap pasukan yang berlari dari arah barat. Dan
muncullah laskar bantuan yang dipimpin oleh Sawungrana. Pasukan ini pun segera
melibatkan diri dalam pertempuran yang sengit itu. Dengan datangnya bantuan
yang dipimpin oleh Sawungrana, tampak laskar Banyubiru dapat mencapai
keseimbangan kembali. Bahkan agaknya sebentar kemudian mereka akan segera dapat
menguasai keadaan.
Tetapi
tiba-tiba Mahesa Jenar mendapat pikiran lain. Sehilangnya Kyai Nagasasra dan
Kyai Sabuk Inten, apakah kira-kira yang masih mereka cari di Banyubiru?
Teringatlah Mahesa Jenar kepada kedudukan Arya Salaka. Ayahnya yang dibawa ke
Demak untuk waktu yang tak ditentukan, bahkan karena serangan laskar Lembu Sora
atas pasukan Demak, mempunyai kemungkinan yang lebih tak menyenangkan bagi
Gajah Sora. Ia menyerahkan kekuasaan Banyubiru kepada Arya. Ini berarti suatu rintangan
langsung bagi Lembu Sora untuk dapat menguasai Banyubiru. Karena itu, Mahesa
Jenar segera memperhitungkan setiap kemungkinan. Ia memang agak heran bahwa
daerah yang tak berarti di pinggiran kota ini menjadi tujuan serangan lawan.
Rumah yang sama sekali tidak penting kedudukannya, kecuali banjar-banjar desa,
juga bangunan-bangunan lain yang juga tidak begitu berarti.
Mengingat hal
itu, maka segera Mahesa Jenar mengambil kesimpulan, bahwa serangan ini hanyalah
suatu usaha untuk menarik perhatian semata-mata. Sedang tujuan yang sebenarnya
adalah tempat lain. Mendapat pikiran yang demikian, Mahesa Jenar menjadi
bertambah gemetar. Ia menjadi cemas atas keselamatan Arya. Karena itu segera ia
meloncat dan berlari dari satu tempat yang terlindung ke tempat yang lain
menuju ke rumah Gajah Sora, sehingga beberapa saat kemudian ia telah dapat
mendekati rumah itu. Sebenarnyalah bahwa apa yang dicemaskan itu benar-benar
terjadi. Mahesa Jenar mendengar keributan di halaman rumah itu. Agaknya telah
terjadi suatu pertempuran pula. Perlahan-lahan ia menyusur regol samping, dan
dilihatnya Wanamerta dan Pandankuning serta beberapa orang sedang bertempur
menghadapi lawan yang jumlahnya berlipat dua. Apalagi diantara para penyerang
itu terdapat pula beberapa orang yang termasuk berilmu cukup tinggi. Melihat
pertempuran itu, Mahesa Jenar menjadi agak bimbang. Apakah ia harus melibatkan
diri, ataukah masih harus ditunggunya perkembangan seterusnya.
Tetapi segera
Mahesa Jenar dikejutkan oleh sebuah bayangan yang melontar keluar lewat pintu
belakang. Bayangan dari seorang anak yang masih belum dewasa. Cepat Mahesa
Jenar mengenal, itulah Arya. Belum lagi Mahesa Jenar berbuat sesuatu,
dilihatnya Arya merapatkan dirinya pada dinding di sebelah pintu. Sesaat
kemudian muncullah bayangan lain meloncat keluar dari pintu itu pula. Tetapi
demikian bayangan itu melangkahkan kakinya keluar ambang, demikian Arya dengan
tangkasnya menusuk lambungnya, sehingga dengan tidak dapat berbuat sesuatu
orang itu terlempar dan roboh mati. Sedang tangan Arya dengan eratnya
menggenggam tombak Kyai Bancak. Tetapi kemudian dari pintu itu muncullah
beberapa orang bersama-sama. Agaknya mereka melihat seorang kawan mereka yang
dapat dibunuh oleh Arya, sehingga mereka meloncat keluar dengan kesiagaan penuh.
Karena itu, ketika Arya menusuk orang yang pertama, segera tampaklah orang itu
menangkis serangan Arya dengan sebuah pedang pendek, sehingga Arya terputar
setengah lingkaran. Tetapi agaknya Arya bukan anak yang bodoh. Maka demikian
serangannya gagal, segera ia meloncat untuk melarikan diri. Sayang bahwa orang
yang mengejarnya cukup banyak segera mengepungnya. Tampaklah Arya Salaka yang
sama sekali belum cukup dewasa itu menjadi bingung. Tetapi belum lagi
orang-orang yang mengepungnya sempat bertindak, melayanglah sebuah bayangan
lain, yang langsung menyerang orang-orang itu. Tubuhnya tampak ringan tetapi
kuat dan tangkas. Orang itu adalah Panjawi, seorang yang masih muda, tetapi
telah memiliki ketangkasan yang cukup. Dengan pedang di tangan, Panjawi bergerak
menyambar-nyambar seperti burung layang. Dalam waktu yang singkat, beberapa
orang telah menjadi korbannya.
ORANG-ORANG
yang mengepung Arya itu segera mengalihkan perhatiannya. Mereka bersama-sama
segera menyerang Panjawi. Tetapi Panjawi adalah orang yang cukup tangkas,
sehingga beberapa orang itu sama sekali tak berhasil mendesaknya. Apalagi
beberapa saat kemudian berdatanganlah beberapa orang laskar Banyubiru yang
segera membantu Panjawi. Melihat pertempuran itu, Mahesa Jenar menarik nafas
lega. Ia juga merasa kagum kepada Panjawi. Meskipun anak itu masih harus banyak
berlatih, namun ia memiliki dasar-dasar yang baik dan kuat. Tetapi sejenak
kemudian, Mahesa Jenar terkejut mendengar sebuah siulan nyaring. Ia pernah
mendengar bunyi yang demikian itu. Bunyi siulan dari gerombolan Lawa Ijo. Dan
apa yang sedang dipikirkan itu adalah benar. Sebab sesaat kemudian ia melihat
bayangan yang melayang dari sebuah pohon langsung menyerang Panjawi. Untunglah
bahwa Panjawi cukup tangkas untuk menghindari serangan itu, sehingga bayangan
itu tidak berhasil mengenainya. Bahkan demikian Panjawi meloncat menghindar,
demikian kembali ia meloncat menyerang bayangan itu dengan pedangnya. Serangan
Panjawi ternyata cukup cepat, sehingga bayangan itu tidak sempat menghindar.
Dengan sebuah pisau belati panjang, ia menangkis pedang yang mengarah ke
dadanya. Terdengarlah suatu dentangan nyaring. Dan ternyata kekuatan mereka
seimbang. Dalam pada itu, Mahesa Jenar segera mengenal bahwa bayangan yang
meloncat dari atas pohon itu adalah Wadas Gunung. Segera terjadilah pertempuran
yang sengit antara Wadas Gunung dan Panjawi, sedang di lain pihak terjadi pula
pertempuran yang hiruk-pikuk antara laskar Banyubiru melawan laskar-laskar
penyerang.
Pada saat itu,
pada saat mereka sedang sibuk mempertahankan hidup masing-masing, tiba-tiba
mata Mahesa Jenar yang tajam dapat melihat bayangan lain yang datang
mengendap-endap ke arah Arya Salaka yang masih saja mengawasi pertempuran itu
dengan mata yang menyala-nyala. Ia sama sekali tidak berusaha untuk melarikan
diri, sebab ia yakin bahwa Panjawi serta laskarnya akan dapat memenangkan
pertempuran itu. Bahkan dengan girangnya ia melihat pertempuran itu seperti
melihat tontonan yang sangat menarik. Dengan berdebar-debar Mahesa Jenar
mengikuti gerak gerik orang itu. Melihat caranya bergerak, Mahesa Jenar dapat
meyakini bahwa ia pasti memiliki ilmu yang cukup tinggi. Karena itu Mahesa
Jenar tidak mau menonton saja. Ia pun kemudian dengan mengendap-endap pula
mendekati Arya Salaka dari arah lain. Untunglah bahwa ia lebih dahulu dapat
melihat bayangan itu sehingga dengan demikian ia dapat lebih berhati-hati.
Ternyata sampai sedemikian jauh bayangan itu belum mengetahui bahwa dari arah
lain pula seseorang yang sedang mendekati Arya Salaka. Setelah jarak mereka tidak
lagi begitu jauh, terasa di dalam dada Mahesa Jenar jantungnya berdesir keras.
Ia mengenal dengan pasti siapakah orang itu. Dan ia tahu pasti pula apakah yang
akan dilakukannya terhadap Arya. Pedang yang terlalu besar dan panjang di
tangan orang itu telah menambah pula keyakinan Mahesa Jenar. Orang itu tidak
lain adalah Ki Ageng Lembu Sora.
Pada
kesempatan yang pendek itu, berputarlah otak Mahesa Jenar. Sebenarnya, pada
saat itu ia mendapat kesempatan untuk membuat perhitungan dengan Lembu Sora, dengan
alasan yang tepat. Tetapi mengingat pesan Paniling, apakah pada saat itu,
orang-orang lain, seperti Uling Rawa pening, Sima Rodra, Lawa Ijo dan
sebagainya tidak berada pula di tempat itu? Karena itu seharusnya ia tidak
melawan mereka bersama-sama. Mengingat hadirnya Wadas Gunung, maka kemungkinan
hadirnya Lawa Ijo adalah besar sekali. Karena itu terjadi suatu pertentangan di
dalam diri Mahesa Jenar. Perasaannya ingin membawanya ke dalam suatu
perhitungan jasmaniah yang menentukan. Tetapi pikirannya yang telah dipengaruhi
oleh pertimbangan dan nasehat Paniling mengajaknya untuk berbuat lain.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar dapat berpikir secara wajar, sehingga ditemukannya
suatu pemecahan yang tidak terlalu berbahaya.
Pada saat itu,
Lembu Sora telah dekat benar dengan Arya Salaka yang dengan tombak di tangan
masih saja perhatiannya terikat pada pertempuran yang sengit antara Panjawi dan
Wadas Gunung, serta laskar Banyubiru melawan laskar-laskar yang menyerangnya.
Ternyata Lembu Sora sudah tidak mau membuang waktu lagi. Meskipun mula-mula ia
tampak ragu-ragu, tetapi akhirnya dengan suatu gerakan yang dahsyat ia meloncat
sambil mengayunkan pedangnya. Meskipun demikian, karena anak yang berdiri di
hadapannya itu, bagaimanapun juga adalah kemenakannya, maka pada saat pedangnya
terayun deras, Lembu Sora memejamkan matanya. Tetapi ia menjadi terkejut sekali
ketika pedangnya sama sekali tak menyentuh apapun. Bahkan ia sendiri telah
tertarik oleh kekuatannya serta ayunan pedangnya sehingga hampir saja ia
tertelungkup. Pada saat Lembu Sora berusaha untuk menguasai dirinya, dilihatnya
sebuah bayangan yang melayang menyusup regol samping dan hilang di dalam gelap
malam. Cepat Lembu Sora meloncat menyusulnya, tetapi ia sama sekali tidak dapat
lagi melihat bayangan yang telah hilang bersama-sama dengan hilangnya Arya
Salaka, beserta tombak tanda kebesaran Banyubiru, Kyai Bancak.
Pada saat yang
tepat, ternyata Mahesa Jenar telah berhasil menarik Arya dan langsung dibawanya
lari. Ia masih mempunyai kelebihan waktu beberapa saat dari Lembu Sora yang
sedang memperbaiki keseimbangannya pada saat ia terbawa oleh pedangnya yang
terayun deras. Karena itu Lembu Sora sudah tidak berhasil untuk dapat
mengejarnya. Pada saat itu, dada Lembu Sora terguncang luar biasa. Kegagalannya
pada saat yang menentukan itu sangat menyakitkan hatinya. Hampir saja ia
menjadi mata gelap dan menghancurkan Banyubiru serta seluruh isinya. Tetapi
otaknya yang licin telah menyelamatkannya.
CEPAT Lembu
Sora menyelinap, dan dengan kudanya yang tangkas ia berlari kencang-kencang
kembali ke Pamingit. Setelah dengan rahasia ia memberikan aba-aba kepada laskar
gabungan itu untuk segera meninggalkan Banyubiru, diikuti pula oleh
sekutu-sekutunya, tokoh-tokoh golongan hitam, untuk kemudian dengan laskar
murni dari Pamingit. Lembu Sora akan datang kembali, dengan dalih untuk memberi
perlindungan kepada daerah perdikan, yang dikuasai oleh kakaknya, yang terpaksa
tidak dapat menjalankan kewajibannya.
Arya Salaka
yang merasa dirinya ditangkap oleh seseorang tanpa diketahui dari mana arahnya,
menjadi terkejut sekali. Dengan gerak diluar kesadarannya ia menusuk orang yang
menangkapnya dengan tombaknya, tetapi orang itu sangat tangkasnya, sehingga
tombaknya malahan telah dirampasnya. Dengan demikian Arya menjadi marah dan cemas.
Segera ia meronta untuk melepaskan diri. Tetapi ketika ia hampir saja
berteriak-teriak, didengarnya orang itu berkata,
“Jangan ribut
Arya, kita bersembunyi untuk beberapa saat”.
Arya
terperanjat mendengar suara itu, suara yang telah dikenalnya.
“Paman Mahesa
Jenar?” desisnya.
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar singkat.
Mendengar
jawaban itu, hati Arya Salaka segera menjadi sejuk seperti disiram embun.
Ketakutan, kecemasan dan kebingungan yang menusuk-nusuk dadanya seketika itu
lenyap seperti asap ditiup angin.
Beberapa saat
kemudian, setelah Mahesa Jenar merasa aman dari kemungkinan dapat diketemukan
oleh Lembu Sora dan laskarnya, segera memberhentikan langkahnya. Nafasnya
berjalan cepat, serta jantungnya berdetakan karena perasaan-perasaan yang
bercampur-baur di dalam kepalanya. Setelah mereka berdua agak tenang,
berkatalah Mahesa Jenar,
“Arya, tahukan
kau siapakah yang telah menyerang Banyubiru?”
“Tidak Paman,”
jawab Arya.
“Kapankah
serangan itu mulai?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Sejak
matahari terbenam. Tiba-tiba saja terjadi kerusuhan-kerusuhan di dalam kota.
Untunglah bahwa Kakek Wanamerta segera bertindak untuk mengatasi keributan.
Meskipun demikian ternyata para penyerang itu berkekuatan besar sekali,
sehingga untuk keselamatan selanjutnya, Kakek Wanamerta merasa perlu atas
persetujuan beberapa pemimpin yang lain serta atas persetujuan Ibu untuk
mengirimkan permintaan bantuan ke Pamingit, kepada Paman Lembu Sora, sebab
kalau kerusuhan itu berlarut-larut tidak dapat teratasi, maka Banyubiru akan
semakin rusak”.
Mendengar
keterangan Arya Salaka itu, bergolaklah hati Mahesa Jenar. Ternyata para
pemimpin Banyubiru sama sekali masih belum mengetahui bahwa sumber dari segala
bencana itu justru Lembu Sora sendiri. Puncak dari kejahatannya adalah suatu
usaha untuk membinasakan Arya Salaka. Padahal saat itu, para pemimpin Banyubiru
datang minta perlindungan kepadanya.
“Arya…,” kata
Mahesa Jenar kemudian,
“Ketahuilah
bahwa jiwamu terancam. Karena itu sebaiknya kau bersembunyi untuk sementara
waktu”.
Mahesa Jenar
tidak meneruskan kata-katanya. Ia menjadi ragu, apakah sebaiknya ia harus
mengatakan terus terang tentang apa yang terjadi sebenarnya, ataukah ia harus
berkata lain. Arya Salaka menjadi keheran-heranan mendengar kata-kata Mahesa
Jenar. Apakah kepentingan orang-orang kita itu membunuhnya? Tetapi baru saja,
apa yang telah terjadi, agaknya memang benar. Beberapa orang telah
mengejar-ngejar Arya Salaka, dengan senjata terhunus. Arya menarik nafas
panjang. Otaknya yang masih belum cukup masak itu belum dapat menangkap
masalah-masalah yang terlalu sulit. Karena itu ia tidak berpikir lebih lanjut.
Apalagi sekarang ia sudah merasa bahwa dirinya telah mendapat perlindungan.
Ketika melihat wajah Arya yang seolah-olah masih bersih dari segala macam
prasangka, Mahesa Jenar tidak sampai hati untuk mengatakan apa yang sebenarnya
terjadi atas dirinya, oleh karena kekhianatan pamannya. Dengan melihat
kenyataan itu, ada kemungkinan timbul suatu luka yang berbahaya pada jiwa
kanak-kanaknya. Mungkin ia akan kehilangan seluruh kepercayaan pada seseorang.
Apalagi orang lain, sedang pamannya sendiri telah melakukan kejahatan terhadap
dirinya. Karena itu, Mahesa Jenar harus berkata lain kepada Arya Salaka,
meskipun maksudnya adalah sama. Mengajak Arya Salaka untuk sementara
bersembunyi.
“Arya…,
mungkin orang-orang jahat sedang berusaha untuk menangkapmu. Sebab kau sekarang
adalah penjabat kepala daerah perdikan Banyubiru. Dengan menangkap kau,
orang-orang itu akan mengharapkan keuntungan. Mungkin kau akan dijadikan
tanggungan atas suatu pemerasan terhadap Banyubiru. Tetapi juga ada kemungkinan
yang lebih berbahaya lagi bagi dirimu, yaitu menghendaki jiwamu,” kata Mahesa
Jenar.
ARYA SALAKA
mengangguk-angguk, tetapi jawabannya sangat memusingkan Mahesa Jenar.
“Aku tidak
perlu takut, Paman, sebab sebentar lagi Paman Lembu Sora pasti akan datang.
Dengan adanya Paman Lembu Sora beserta laskarnya serta hadirnya Paman Mahesa
Jenar di Banyubiru, maka aku kira tak akan ada seorangpun lagi yang berani
mengganggu tanah kami”.
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Ia mendapat kesulitan untuk memberi penjelasan lebih
lanjut. Justru adanya Lembu Sora di Banyubiru itulah maka bahaya dapat datang
setiap saat bagi Arya Salaka. Setelah berpikir beberapa saat berkatalah Mahesa
Jenar,
“Arya, kalau
mereka menyerang dengan terang-terangan maka laskar Banyubiru dan Pamingit
pasti akan dapat menghalaunya, tetapi untuk menangkap atau berbuat hal-hal
jahat lainnya terhadapmu, adalah seribu satu cara yang dapat ditempuh. Karena
itu menurut pertimbanganku, sebaiknya kau bersembunyi untuk sementara. Selama
itu, selama keadaan belum memungkinkan, kau tidak perlu menampakkan diri
terhadap siapapun. Aku akan berusaha untuk menghubungi pemimpin-pemimpin
Banyubiru, selama kau di dalam persembunyian. Selama itu, kau sempat belajar
beberapa hal yang perlu bagi keselamatanmu. Bukankah ayahmu minta kepadaku
untuk melatihmu dalam olah kanuragan?”
Mendengar
kata-kata- Mahesa Jenar itu, serta kesempatan baginya untuk memperdalam
pengetahuannya dalam berbagai ilmu, Arya menjadi gembira. Maka jawabnya,
“Baiklah
Paman…, kalau Paman mempertimbangkan demikian. Tetapi Ibu pasti akan selalu
mencari aku dan mencemaskan keselamatanku”.
“Bagus Arya,
pada suatu saat kau akan kembali ke tanah ini, dan kau akan memelihara tanah
ini sebagai tanah pusaka. Kau harus menjadikan tanah ini tanah harapan bagi
masa depan. Bukankah ayahmu selalu mengharap kau menjadi seorang pahlawan?”
Arya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Matanya menjadi cerah seperti bintang pagi yang
berkilau-kilau, karena kebesaran hatinya.
“Kepada ibumu,
aku akan selalu berusaha menyampaikan setiap berita tentang dirimu,” lanjut
Mahesa Jenar.
Sekali lagi
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Sesaat kemudian keadaan menjadi sepi.
Dengan pancainderanya yang tajam, Mahesa Jenar sedang mengamati keadaan. Maka
setelah menurut pertimbangan Mahesa Jenar, sudah tidak ada lagi bahaya yang
mengancam, serta hiruk-pikuk pertempuran sudah tidak terdengar lagi, berkatalah
ia kepada Arya,
“Arya…,
agaknya keadaan telah bertambah baik. Meskipun demikian, kau harus berusaha
untuk tidak menampakkan diri. Baik kepada para pemimpin Banyubiru maupun kepada
ibu serta rakyatmu. Siapa tahu bahwa masih ada musuh-musuh yang bersembunyi,
yang akan dapat menjebak atau menyerang kau dari jarak jauh. Karena itu marilah
untuk sementara kita tinggalkan tanah ini dengan suatu keyakinan bahwa kau
pasti akan kembali dalam keadaan aman dan sentosa”.
Arya Salaka
tidak menjawab kata-kata Mahesa Jenar. Wajahnya jadi tampak suram. Bagaimanapun
juga, untuk meninggalkan tanah kelahiran, kampung halaman, dimana setiap hari
ia bermain-main, dimana setiap hari ia meneguk airnya, serta segala-galanya
yang ia cintai, adalah berat sekali bagi seorang anak seumur Arya Salaka.
Agaknya Mahesa Jenar dapat menebak perasaan Arya, maka sambungnya,
“Lupakanlah
semuanya, Arya. Kau hanya pergi untuk sementara, dengan suatu kepastian bahwa
kau akan kembali”.
Kembali Arya
mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun wajahnya menjadi bertambah suram.
“Mudah-mudahan
Ibu selamat. Serta mudah-mudahan Ibu segera mengetahui bahwa akupun selamat”.
“Aku akan
segera berusaha untuk memberitahukan itu, Arya,” potong Mahesa Jenar.
“Tetapi pohon
jeruk yang aku pelihara dan aku siram setiap hari itu kini sudah mulai
berbunga,” jawab Arya.
Mahesa Jenar
menjadi terharu mendengar kata-kata Arya yang memancar dari hatinya yang tulus.
Tetapi yang lebih merisaukan hati Mahesa Jenar adalah, bahwa besok Lembu Sora
akan datang untuk melindungi Banyubiru serta berusaha menelan tanah serta
segala isinya.
Tetapi
bagaimanapun, menyelamatkan Arya adalah tugas yang pertama-tama harus
dilakukan. Sebab Arya adalah satu-satunya pewaris tanah perdikan Banyubiru,
yang justru karena itulah maka jiwanya selalu terancam. Karena itu, Mahesa
Jenar menganggap perlu untuk segera meninggalkan daerah ini sebelum Lembu Sora
datang dan memerintahkan untuk mengaduk seluruh sudut Banyubiru. Pasti Lembu
Sora akan berbuat demikian, dengan alasan untuk keselamatan Arya Salaka. Tetapi
tidak mustahil bahwa kepada laskar Pamingit ia memerintahkan untuk menemukan
Arya dalam keadaan mati. Bukankah dengan demikian Ki Ageng Lembu Sora bebas
dari segala prasangka? Sedang apabila yang menemukan laskar Banyubiru serta
membawa Arya kembali, umurnya pasti tidak akan panjang pula. Mendapat
pertimbangan itu maka segera Mahesa Jenar mengajak Arya untuk berangkat.
“Arya, kita
jangan menunggu terlampau lama. Marilah kita berangkat selagi kesempatan ada.
Siapa tahu bahwa keadaan akan berkembang ke arah yang tidak kita harapkan”.
“Marilah
Paman,” jawab Arya dengan wajah sayu.
Mahesa Jenar
menjadi tambah terharu ketika didengarnya Arya mengatupkan giginya rapat-rapat.
Ternyata anak itu sedang berusaha untuk membendung perasaan harunya
meninggalkan kampung halaman. Namun bagaimanapun juga tampaklah bahwa matanya
menjadi basah oleh air mata. Mata seorang anak yang masih seharusnya mendapat
kasih sayang ayah-ibunya. Tetapi karena keadaan, ia harus berpisah dengan
ayah-ibu yang ia cintai.
PADA saat itu
bulan yang tinggal seperempat bagian telah muncul di langit sebelah timur.
Cahayanya yang merah tembaga tersebar meremangi seluruh pegunungan Telamaya
yang sepi, namun mengerikan. Sebab setiap hati dari penduduk Banyubiru
diselubungi oleh kecemasan dan ketakutan. Hilangnya Gajah Sora dari daerah ini,
ternyata sangat mempengaruhi semangat mereka.
No comments:
Post a Comment