Bagian 072


WIDURI mendengarkan ceritera itu, dengan penuh minat. Ia menjadi terharu mendengarkan ceritera pengalaman yang pernah dijalani oleh Arya Salaka pada umurnya yang masih sangat muda.
“Kalau malam ini mereka datang kembali…” kata Arya Salaka,
“Aku tak perlu berlari-lari lagi.”
“Kau telah merasa dirimu tak terkalahkan? sahut Widuri.
“Tidak,” jawab Arya.
“Sebab sekarang ada kau. Bukankah kalungmu itu menakutkan orang?” Widuri mencibirkan bibirnya, katanya kepada Wanamerta yang duduk bersama mereka,
“Apakah Eyang takut juga kepada kalungku ini?”
Wanamerta tertawa. Jawabnya,
“Aku tidak. Sebab aku tak bermaksud jelek. Entahlah cucu Arya Salaka.”
“Ah…” Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah. Ia tidak tahu apa sebabnya. Sedang Arya pun tiba-tiba menundukkan wajahnya. Ketika keadaan menjadi sepi, terdengarlah di kejauhan gonggong anjing liar yang berkeliaran di lereng-lereng pegunungan. Dari selatan mengalirlah angin pegunungan membawa udara yang sejuk.
“Cucu Widuri…” kata Wanamerta kepada gadis lincah itu,
“Aku persilakan Cucu beristirahat di ruang sebelah. Biarlah aku dan Cucu Arya Salaka berjaga-jaga di sini.” 

Widuri memang sudah ngantuk. Karena itu segera iapun berdiri dan masuk ke ruang di dalam rumah itu. Ia sama sekali tidak takut, karena di luar berjaga-jaga Arya Salaka, Wanamerta dan Bantaran. Sedang di halaman belakang pun ada beberapa orang yang mengawal. Sementara itu di perbatasan, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Mantingan, Wirasaba dan para pemimpin laskar Banyubiru yang lain sedang sibuk menyalakan api untuk mematangkan kijang hasil buruan mereka.
Tidak jauh dari perapian itu, Rara Wilis bertiduran di atas rumput-rumput kering sambil menganyam angan-angan. Sekali-kali angan-angannya itu membumbung tinggi, membelit di antara bintang-bintang di langit, namun sekali-kali ia terlempar kembali ke dunianya kini. Berbaring di antara batang-batang ilalang. Di antara laskar yang bersiaga penuh untuk bertempur. Entah besok, entah lusa. Kemudian apakah sesudah pertempuran itu berakhir ia masih dapat menikmati gemerlapnya bintang di langit…? Atau kalau Tuhan masih mengurniakan umur panjang kepadanya, apakah ia masih dapat bertemu dengan Mahesa Jenar…? Rara Wilis tiba-tiba tersentak karena angan-angannya sendiri. Tidak sengaja ia memandang ke perapian. Dilihatnya di antara mereka, seorang yang selama ini mengikat hatinya. Tetapi laki-laki itu tidak menoleh kepadanya. Bahkan ia masih asyik menikmati daging kijang yang kadang-kadang diselingi oleh tertawanya yang riang. Agaknya Ki Dalang Mantingan adalah orang yang cukup jenaka, sehingga mereka tertawa-tawa karena kelucuannya. Rara Wilis menarik nafas panjang. Sebagai seorang gadis ia kadang-kadang ditakut-takuti oleh umurnya yang bertambah-tambah dari hari ke hari. Apakah ia harus berjalan dari satu padang rumput ke padang rumput yang lain? Dari satu perkelahian ke perkelahian yang lain sepanjang hidupnya…? Tidakkah pada suatu saat ia akan dihadapkan kepada suatu kewajiban yang seharusnya dijalani oleh setiap wanita…?
Rara Wilis pada suatu saat pasti ingin melepaskan pedang dari pinggangnya dan menggantinya dengan pisau dapur yang sederhana. Ia pada suatu saat pasti ingin melepaskan ikat pinggang kulitnya, yang kasar, dimana pedangnya selalu menggantung, dan menggantinya dengan selendang yang halus untuk mengemban bayinya. Ya. Ia rindukan masa yang berbahagia. Masa ia tidak bermain-main dengan nyawanya, tetapi bermain-main dengan anaknya. Akhirnya, sebagai seorang manusia yang lemah, ia hanya dapat memanjatkan doa kepada Kekuasaan Yang Tertinggi, mudah-mudahan sampailah ia pada saatnya, diperkenankan menikmati hidup ini sebagai manusia biasa, sebagai wanita biasa. Ketika sekali lagi ia memandang ke perapian, ia masih melihat mereka yang duduk melingkari perapian itu bersenda-gurau. Karena itu iapun terbawa pula oleh suasana yang gembira itu. Sehingga kemudian ketika ia mendengar Ki Dalang Mantingan berjenaka, ia pun tersenyum sendiri.

Di langit, bintang gemintang satu-satu berjalan di dalam garis edarnya. Sedang mega putih yang membayang di selatan, sebagai selimut yang putih, menaburi punggung bukit Telamaya. Malam itu berjalan setapak demi setapak menjelang pagi. Baik yang berada di Banyubiru maupun yang berserak-serak di perbatasan. Meskipun tidak meninggalkan kewaspadaan, namun mereka dapat menikmati istirahat malam itu dengan baiknya. Mereka sadar bahwa bahaya pasti tidak akan datang. Baik dari laskar Lembu Sora maupun dari laskar golongan hitam. Sebab mereka selambat-lambatnya petang tadi, pasti sudah saling berhadapan. Bahkan mungkin bagian-bagian dari laskar mereka sudah terlibat dalam bentrokan-bentrokan. Perhitungan mereka itupun benar. Tak ada apapun yang terjadi sampai matahari muncul di timur, diantar oleh kicauan burung-burung liar yang hinggap di cabang-cabang pohon perdu.
Ketika Mahesa Jenar membuka matanya, setelah beberapa saat ia tertidur dalam kehangatan perapiannya, ia terkejut melihat sesosok tubuh yang berdiri tidak jauh darinya. Dalam keremangan cahaya pagi, dilihatnya bayangan itu menggeliat dengan nyamannya, kemudian tampaklah dadanya yang segar menggelombang dalam tarikan nafas pagi. Perlahan-lahan Mahesa Jenar bangkit. Seperti terpaku ia melihat bayang-bayang yang mengesampingkannya. Ia menjadi heran sendiri. Seperti kisah dalam mimpi, bahwa di tengah-tengah padang ilalang itu, dapat ditemuinya keindahan yang sempurna menurut selera hatinya. Ketika bayangan itu perlahan-lahan melangkahkan kakinya, Mahesa Jenar bangkit berdiri. Agaknya bayangan itu mendengar desis kakinya sehingga terputarlah wajahnya, memandang Mahesa Jenar yang berjalan perlahan-lahan mengikutinya.
“Bintang pagi masih bersinar di tenggara,” tegur Mahesa Jenar dalam nada yang rendah. Rara Wilis tersenyum.
“Tetapi matahari telah meninggalkan peraduannya.” Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya, memandang matahari pagi yang masih kemerah-merahan. Sambil tersenyum pula ia berkata,
“Ia akan datang pada saat ia harus datang.”
“Dan ia akan pergi pada saat ia harus pergi,” sahut Wilis.
“Peredaran jinantra alam yang tak terkendalikan oleh kekuatan apapun, selain oleh Maha Penciptanya,” kata Mahesa Jenar.
“Karena itu, milikilah yang harus kau miliki,” potong Wilis.
“Matahari…?” tanya Mahesa Jenar sambil tersenyum.
“Ya,” jawab Wilis
“Matahariku adalah mataharimu,” kata Mahesa Jenar pula. Keduanya tersenyum. Hanya mereka berdualah yang dapat merasakan betapa indahnya senyum mereka masing-masing. Seindah bintang pagi di tenggara, seindah matahari pagi di puncak bukit.
“Aku akan mencuci muka di mata air sebelah,” kata Rara Wilis kemudian.
“Pergilah. Aku akan menyiapkan api,” jawab Mahesa Jenar.

RARA WILIS berjalan semakin cepat. Di pinggangnya masih tergantung pedang tipisnya. Mahesa Jenar memandangi bayangan itu sampai hilang di balik sebuah batu padas. Disanalah Rara Wilis mendapatkan mata air yang kecil. Hari itupun tak mereka jumpai persoalan-persoalan yang penting. Bahkan mereka dapat hilir-mudik dari perbatasan masuk ke dalam kota. Kebo Kanigara telah menjemput puterinya, sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka malam berikutnya bermalam di Banyubiru. Seperti malam kemarin. Malam inipun berlalu begitu saja. Namun mereka mengharap bahwa hari berikutnya Penjawi dan Jaladri telah dapat datang kembali dengan keterangan-keterangan yang mereka perlukan. Sebelum fajar menyingsing di pagi yang dingin, datanglah orang yang mereka harap-harapkan itu. Derap dua ekor kuda yang lari dengan kencangnya, memukul-mukul jalan yang berbatu-batu menuju ke rumah kepala daerah perdikan Banyubiru. Para pengawal perbatasan segera berloncatan dari gardu mereka yang bersiaga. Tetapi ketika mereka melihat Penjawi dan Jaladri yang duduk di punggung-punggung kuda itu, maka mereka biarkan berlalu. Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki kuda itu seperti tumbuh dari dalam tanah, sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tumbuh di dalam dada para pengawal itu.
Kabar apakah yang dibawa oleh Penjawi dan Jaladri…?
Arya Salaka dan Mahesa Jenar pun kemudian mendengar derap kuda yang semakin dekat. Segera mereka bangkit dari pembaringan mereka sambil menebak-nebak, siapakah orang-orang yang berkuda di pagi-pagi buta ini. Demikian juga Wanamerta dan Bantaran yang berada di pendapa pun segera bersiaga. Kalau-kalau ada sesuatu yang tak mereka harapkan terjadi. Tetapi hati mereka menjadi kendor kembali setelah mereka melihat Penjawi dan Jaladri masuk ke halaman. Ketika kuda-kuda itu berhenti, berloncatanlah mereka turun dan langsung naik ke pendapa. Tampaklah wajah-wajah mereka yang kotor karena debu yang tak sempat mereka usap. Sedang di punggung membekaslah keringat mereka yang mengalir deras. Namun demikian tampaklah senyum mereka membayang di bibir mereka.

Wanamerta menerima mereka dengan tergopoh-gopoh. Dipersilahkanlah mereka duduk, dan kepada seorang pelayan, Wanamerta minta untuk segera disediakan bagi mereka, minum yang hangat.
“Terima kasih Kiai,” kata Penjawi di antara desah nafasnya yang mengalir cepat.
“Selamatkah kalian?” tanya Wanamerta kemudian.
“Baik Kiai,” jawab mereka hampir bersamaan.
“Syukurlah,” sambung Wanamerta. Bersamaan dengan itu muncullah Mahesa Jenar dan Arya Salaka lewat pintu pringgitan. Mereka langsung duduk di hadapan Penjawi dan Jaladri. Dari wajah-wajah kedua orang itu, Mahesa Jenar dan Arya Salaka mendapat kesan, bahwa mereka telah menempuh perjalanan yang berat. Merekapun kemudian menanyakan keselamatan kedua orang itu.
“Perjalanan yang menyenangkan.”
Namun terdengarlah suara itu amat perlahan-lahan. Dengan senyum lucu Jaladri memandang Penjawi, sambil menyebut,
“Cemasnya yang tak terduga-duga.” Yang mendengar ikut tersenyum pula.
“Kalian tentu punya ceritera yang panjang,” kata Arya Salaka.
“Tetapi aku lihat kalian tak sempat mandi di perjalanan. Karena itu, apabila keadaan tidak mendesak, mandilah kalian dahulu. Kemudian setelah makan pagi, biarlah kalian berceritera panjang lebar. Akan aku panggil semua pimpinan laskar Banyubiru, Paman Kebo Kanigara, Bibi Wilis dan Endang Widuri. Aku kira mereka akan senang pula mendengar ceriteramu.”
“Baiklah,” jawab Penjawi.
“Kami akan mandi dahulu, makan pagi, lalu kami akan berceritera, supaya ceritera kami tidak terlalu banyak tertinggal.” Jaladri tertawa, sambungnya,
“Urutan yang bijaksana,” Kemudian setelah minum teh hangat dengan gula aren, Penjawi dan Jaladri segera turun ke mata air di sebelah rumah itu. Mereka mendapat pinjaman beberapa potong pakaian untuk mengganti pakaian yang telah basah oleh keringat, dan kotor oleh debu tebal.

Dalam kesempatan itu, Arya Salaka telah memerintahkan untuk menjemput para pemimpin laskar Banyubiru yang berada di perbatasan, termasuk Mantingan dan Wirasaba. Ketika matahari telah naik di ujung cemara, pendapa Banyubiru itupun telah dipenuhi oleh para pemimpin laskar Banyubiru. Mereka semua mengharap dapat mendengarkan langsung ceritera Penjawi dan Jaladri. Meskipun masih agak payah, di pendapa itu hadir juga Sendang Parapat. Penjawi dan Jaladri duduk berjajar di samping Arya Salaka. Kemudian duduk pula Wanamerta, Bantaran, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.
“Nah…” kata Arya Salaka kemudian,
“Mulailah dengan kisah cemasmu.”
Penjawi membetulkan letak duduknya, sambil menarik nafas ia berkata,
“Baiklah. Setelah perutku kenyang, ingatanku menjadi baik, sehingga banyaklah yang akan aku ceriterakan kepada kalian.” Yang hadir di pendapa itu telah siap untuk mendengar apakah yang telah terjadi di Pamingit. 

PENJAWI segera mulai ceritanya,
“Lusa aku dan Adi Jaladri berangkat ke Pamingit, beberapa saat setelah Ki Ageng Sora Dipayana meninggalkan Banyubiru. Namun demikian, kami masih dapat mendahului laskar Pamingit itu. Kami titipkan kuda kami dirumah paman Derpa, dan mulailah kami dengan pekerjaan kami. Ki Ageng Lembu Sora ternyata benar-benar seorang yang memiliki ketangkasan berpikir. Kami terkejut ketika kami diketahui, bahwa beberapa bagian laskarnya langsung menerobos lewat Randu Putih, dan menduduki Kepandak. Sedang induk pasukannya masih tetap menuju pusat pemerintahan Pamingit, dan setelah terlibat dalam bentrokan tak berarti, induk pasukan itu bermalam di Sumber Panas. Ini adalah suatu keadaan yang sama sekali tak diduga oleh golongan hitam. Karena itu, dengan mudahnya mereka dapat didesak dari tempat-tempat itu. Tetapi karena itu pulalah maka mereka agaknya menjadi marah. Menjelang pagi, aku dan adi Jaladri melihat-lihat pertempuran yang akan berkobar di Kepandak. Kami berjanji bahwa malam hari kami bertemu di rumah Paman Darpa, setelah kami mendapat gambaran dari kedua garis pertempuran itu. Pekerjaan kamipun menjadi agak sulit, sebab kami tidak mau diketahui oleh kedua belah pihak. Untunglah bahwa aku dapat menghubungi beberapa orang Banyubiru yang berada di dalam Laskar Lembu Sora, ketika mereka sedang mengambil air untuk keperluan laskar itu. Tetapi pekerjaan Adi Jaladri agak lebih sulit.”
Penjawi berhenti sejenak. Ia memandang kepada Jaladri, katanya,
“Tidak ada orang yang lebih mengetahui daripada Adi sendiri. Nah ceriterakanlah.”
Jaladri mengangguk. Sambil tertawa kecil ia berkata,
“Bukan lebih sulit. Tetapi aku justru lebih beruntung.”
Jaladri berhenti sebentar lalu meneruskan,
“Pagi-pagi buta aku mencoba untuk mencari tempat yang baik. Aku ingin tahu, siapakah yang berada di dalam kedua pasukan yang akan bertempur itu. Tetapi baru saja aku mendapat tempat yang baik menurut pikiranku, tiba-tiba terdengar suara berdesir di belakangku. Aku terkejut, dan aku menjadi berdesir ketika tiba-tiba aku ketahui, menurut ciri-ciri yang pernah aku dengar, seorang tua, bertubuh bongkok dengan wajah yang mengerikan.”
“Bugel Kaliki?” potong Wanamerta.
“Ya, Bugel Kaliki,” sahut Jaladri.
“Dengan mata yang mengandung kebencian ia memandang kepalaku. Akhirnya ia tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, ‘Hai kelinci yang malang. Siapakah namamu, dan apakah kerjamu di sini?’ Aku menjadi gemetar. Aku tahu siapakah orang itu. Karena itu tiba-tiba terbayanglah di dalam otakku, gambaran Yamadipati datang untuk menagih janji. Mengambil kembali nyawa yang dititipkan di dalam raga ini.”
“Apa yang dikerjakan oleh hantu itu? bertanya Sendang Papat tidak sabar.
“Menakut-nakuti aku,” jawab Jaladri.
“Dan aku benar-benar takut kepadanya. Apalagi kemudian ia bertanya kepadaku pula ‘Kenalkah kau kepadaku?’ Aku tahu bahwa aku bukan musuhnya. Karena itu aku tidak mau kehilangan kesempatan. Tanpa menjawab pertanyaannya, segera aku menarik kerisku, dan langsung aku menusuk ke arah telungkup. Nah, kau lihat jalur-jalur di mukaku ini?”
“Tetapi kau tetap hidup,” sela Bantaran ingin tahu.
“Ya. Aku tetap hidup,” sambung Jaladri,
“Bukan karena aku sekarang telah mampu melawan Bogel Kaliki, atau aku dapat melepaskan diri dari tangannya.”
“Ya. Lalu kenapa?” Sendang Parapat menjadi tidak sabar,
“Apakah kau dibiarkan pergi?”

Jaladri tertawa.
“Jangan terlalu tergesa-gesa. Dengar urutan ceriteraku. Aku kemudian bangkit, dan dengan tekad yang bulat aku akan mati sebagai laki-laki. Berjuang dengan tenaga yang ada padaku. Tetapi tiba-tiba Tuhan menyelamatkan aku. Ketika Bugel Kaliki itu dengan marahnya menggeram, dan hampir menerkam kepalaku, terdengar suara di belakangku. ‘Jangan Kaliki. Jangan mengganggu anak-anak’. Bugel Kaliki terkejut. Aku juga terkejut. Kalau seseorang dapat hadir di tempat itu tanpa diketahui oleh Bugel Kaliki, maka aku mengharap bahwa setidak-tidaknya orang itu akan dapat menyelamatkan aku.”
“Siapakah orang itu?” tanya Sendang Parapat.
“Aku tidak tahu,” jawab Jaladri.
“Hus!” sahut orang yang berada di pendapa itu hampir berbareng.
“Jangan teka-teki.”
“He…” jawab Jaladri,
“Siapa yang berteka-teki? Aku benar-benar tidak tahu, Kakang Penjawi juga tidak tahu. Siapakah dia.”
Arya tertarik pada ceritera itu. Tampak alisnya berkerut. Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan orang-orang lain.
“Apa yang dilakukan?” tanya Arya Salaka kemudian. Jaladri mengingsar duduknya, ia meneruskan,
“Bugel Kaliki terkejut atas kehadirannya. Ia mengurungkan niatnya untuk memecahkan kepalaku. Tetapi segera ia bersiaga untuk menghadapi musuh barunya. ‘Jangan ganggu aku’ ia berdesis. Tetapi orang yang datang itu tertawa. Suaranya nyaring. ‘Aku mengembara dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Karena itu akupun kadang-kadang melakukan pekerjaan-pekerjaan tanpa tujuan. Antara lain mengganggumu’. Bugel Kaliki benar-benar marah. Terdengar suaranya menggeram seperti serigala. Namun orang asing itu masih tertawa-tawa saja. Akhirnya keduanya terlibat dalam satu perkelahian tanpa kata-kata lain. Aku tidak tahu bagaimana aku harus menilai pertempuran itu. Mereka bergerak-gerak dengan cepatnya. Kadang-kadang mereka melontarkan diri mereka seperti bintang beralih. Sambar-menyambar. Aku pernah menyaksikan dua ekor elang berkelahi. Gagah benar. Namun itu lebih cepat seperti Sikatan. Si Bongkok itupun sungguh luar biasa. Aku heran kenapa bongkoknya itu sama sekali tidak mengganggu.”

JALADRI diam sejenak. Kemudian meneruskan ceriteranya,
“Melihat perkelahian itu aku menjadi malu pada diri sendiri. Apakah yang terjadi seandainya aku yang harus bertempur melawan Bugel Kaliki itu. Namun demikian aku tidak mau lari. Aku akan menunggu sampai pertempuran itu berakhir. Kalau penolongku itu kalah dan binasa, biarlah aku binasa pula. Tetapi kalau ia menang, biarlah aku sempat mengucapkan terima kasih kepadanya. Tetapi pertempuran itu kemudian terganggu. Aku melihat bayangan lain yang datang di tempat itu pula. Bersamaan dengan kehadiran orang kedua itu, aku lihat Bugel Keliki berteriak nyaring, untuk kemudian melontar mundur dan lenyap di dalam keremangan pagi. Orang yang bertempur melawannya sama sekali tidak mengejarnya. Ia, sekarang berhadapan dengan orang yang datang terakhir. Namun agaknya mereka tidak akan bertempur. Bahkan mereka berdua tampaknya seperti dua orang sahabat yang baru bertemu. Mereka saling mengguncang tangan masing-masing.”
“Siapakah yang datang kemudian? Juga tidak tahu?” tanya Wanamerta.
Jaladri tertawa. Penjawi pun tertawa.
“Kiai…” jawab Jaladri,
“Kepada orang yang terakhir itu, aku sudah mengenalnya. Bahkan kalian juga mengenalnya.”
“Ya, siapa? Kalau kau sudah mengenal, kami mengenal pula.” Sendang Parapat semakin tidak sabar.
“Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Jaladri.
“Oh….” Terdengar orang-orang yang mendengar bergumam. Mereka menarik nafas lega, seolah-olah merekalah yang terlepas dari ancaman maut. Jaladri berhenti pula untuk sesaat. Kemudian ia meneruskan,
“Aku hanya sempat mengucapkan terima kasih kepada orang yang tak kukenal itu. Tetapi aku tidak sempat bertanya tentang dirinya sebab kemudian Ki Ageng Sora Dipayana bertanya kepadaku, ‘Apa kerjamu di sini Jaladri?’ Aku menjadi ragu sebentar. Tetapi kepada Ki Ageng Sora Dipayana aku tak dapat berkata lain, kecuali mengatakan yang sebenarnya. Mula-mula aku menjadi cemas, jangan-jangan hal itu tak dikehendaki oleh Ki Ageng, namun tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana berkata, ‘Marilah. Hari hampir pagi. Sebentar lagi pertempuran akan dimulai’. Aku tak dapat membantah. Aku ikuti Ki Ageng kembali ke pasukan Pamingit. Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana berada di dalam laskar yang menduduki Kepandak. Laskar ini dipimpin oleh Wulungan. Sedang menurut Ki Ageng Sora Dipayana, induk pasukan yang berada di Sumber Panas dipimpin langsung oleh Ki Ageng Lembu Sora sendiri. Ketika kami hampir sampai, aku hanya mendengar orang asing itu berkata, ‘Kau biarkan anakmu sendiri?’ ‘Tak ada pilihan lain’ jawab Ki Ageng Sora Dipayana. ‘Kalau aku tak ada di sini, dan ada salah seorang dari setan-setan itu datang kemari, seperti apa yang dilakukan oleh Bugel Kaliki itu, maka laskar ini akan habis ludas’. ‘Kalau mereka beberapa orang menempatkan diri mereka untuk melawan anakmu?’ jawab orang asing itu. ‘Ia membawa laskar lebih banyak. Aku sudah menasehatkan untuk bertempur dalam kelompok-kelompok, untuk menghadapi mereka. Dengan senjata jarak jauh atau senjata bertangkai panjang. Dan Lembu Sora telah menyiapkan laskar panah sebaik-baiknya’. ‘Belum cukup’ jawab orang asing itu. ‘Untuk sementara, tak ada cara yang lebih baik. Tetapi aku percaya, kalau Lembu Sora berotak cair, maka sedikit demi sedikit ia akan dapat mengatasi keadaan’ jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Ternyata ia kemudian meneruskan, ‘Soalnya terserah kepada nasibnya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkan kesalahan-kesalahannya’. ‘Kalau begitu…’ orang asing itu menjawab, ‘biarlah aku ikut serta dalam permainan ini. Aku akan bekerja bersama-sama dengan anakmu’. Ki Ageng Sora Dipayana terkejut, sampai langkahnya terhenti. ‘Kau…’ terdengar suaranya dalam. Orang itu mengangguk, lalu terdengarlah ia tertawa. Sebelum Ki Ageng Sora Dipayana menjawab orang itu telah melontarkan dirinya sambil berkata, ‘Sebelum pagi, mudah-mudahan aku tidak terlambat’. Ki Ageng Sora Dipayana hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan terdengar gumamnya, ‘Terimakasih, terima kasih’. Tiba-tiba saja Ki Ageng Sora Dipayana terkejut oleh suara kentongan jauh di Pamingit. Agaknya laskar orang-orang hitam itu telah mempersiapkan diri mereka. ‘Ayolah, sebelum kita digilas oleh hantu-hantu yang tak kenal perikemanusiaan itu’. Aku mengikuti di belakang Ki Ageng. Di Kepandak, laskar Pamingitpun telah siap. Di hadapan mereka berdiri dengan gagahnya, Wulungan. Di pinggangnya terselip sebuah pedang panjang, sedang dilambungnya tampaklah sebilah keris. Ketika ia melihat Ki Ageng Sora Dipayana datang, segera ia membungkukkan dirinya, tetapi ketika ia melihat aku, tampaklah perubahan di wajahnya. Ki Ageng Sora Dipayana tahu perasaannya, katanya, ‘Jangan hiraukan kehadiran Jaladri. Aku yang membawanya. Ia tidak akan mengganggu kalian’. Wulungan tidak membantah, ia hanya mengangguk hormat. Ketika cahaya merah di atas bukit-bukit sebelah timur telah semakin merata, mulailah laskar Pamingit bergerak. Laskar inipun seperti laskar yang dipimpin oleh Ki Ageng Lembu Sora, bergerak dalam kelompok-kelompok, dan bersenjata jarak jauh. Agaknya mereka benar dipersiapkan untuk menghadapi setiap tokoh dari golongan hitam itu, kelompok demi kelompok. Aku sendiri, yang tidak tergabung dalam laskar itu, hanya selalu mengikuti kemana Ki Sora Dipayana pergi. Dan Ki Agengpun sama sekali tidak keberatan. 

JALADRI meneruskan ceriteranya,
“Akhirnya Ki Ageng itu memberi aku sebatang tombak sambil berkata, ‘Kalau kau terpaksa mempertahankan dirimu Jaladri, pergunakan tombak ini. Kerismu terlalu pendek untuk melawan Lawa Ijo atau Jaka Soka, atau kalau kau bertemu sekali lagi dengan Bugel Kaliki’. Hatiku jadi berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Laskar Pamingit dapat melawan mereka dengan kelompok-kelompok mereka. Aku bagaimana? Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana memaklumi perasaanku, karena itu terdengar kata- katanya ‘Kaupun harus membentuk kelompok tersendiri Jaladri. Nah, akulah orang yang termasuk dalam kelompok kecilmu’. Aku menundukkan kepalaku, karena malu. Ki Wulungan membawa laskarnya, melingkar ke Selatan dengan gelar Jinantra Sawur. Lingkaran-lingkaran kecil yang bergerak bersama-sama dalam satu garis yang menebar. Sungguh suatu yang bagus untuk melawan toko-tokoh yang biasa bertempur perseorangan dan mempunyai kesaktian yang luar biasa seperti tokoh- tokoh golongan hitam. Ketika terdengar sebuah tengara dari Wulungan, maka dengan kecepatan yang sedang, laskar itu langsung menyerbu ke dalam pemusatan laskar-laskar hitam. Dalam sepintas dari laskar hitam yang disediakan untuk melawan mereka. Namun diujung laskar golongan hitam itu aku melihat dua orang yang mengerikan. Seorang yang sudah aku kenal Bugel Kaliki, dan yang seorang lagi, aku dengar namanya dari Ki Ageng Sora Dipayana, bernama Nagapasa”.
“Nagapasa…?” Mahesa Jenar mengulang nama itu.
“Ya,” sahut Jaladri.
“Melihat mereka berdua Ki Ageng Sora Dipayana memanggil Wulungan, katanya, ‘Wulungan, lawanlah Bugel Kaliki. Bawalah sedikitnya dua kelompok laskar panahmu. Jaga, jangan sampai salah seorang dari kamu mendekat, dan jagalah supaya kau dan kelompokmu tidak kehabisan tenaga. Orang itu mampu bertempur sehari penuh dengan kesegaran yang sama, bahkan berhari-hari’. Wulungan mengangguk sambil menjawab, ‘Baik Ki Ageng, akan aku bawa tiga kelompok terkuat dari anak buahku. Yang lain akan dipimpin oleh adi Gupita, melawan laskar hitam itu’. ‘Bagus’ jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Kemudian kepadaku Ki Ageng itu berkata, ‘Jaladri. Aku harus melayani musuh yang tak dapat diduga-duga tabiatnya. Ia dapat berlaku lunak, tetapi ia dapat bengis seperti setan. Karena itu lebih baik bagimu untuk memperkuat kelompok-kelompok yang akan dibawa oleh Wulungan melawan musuhmu pagi tadi’. Aku tak dapat membantah, meskipun aku tahu bahwa Wulungan agak bimbang menerima titipan itu. Ketika aku berjalan di samping Wulungan menuju kekelompok pertama, aku berkata kepadanya, ‘Jangan curigai aku. Aku tak akan mengganggumu. Sebab hidup matiku sekarang berada di dalam kerjasama antara kita dan laskarmu’. Wulungan tersenyum. Jawabnya, ‘Aku mempercayaimu. Aku kira setiap orang didalam laskar Arya Salaka berlaku jantan seperti pimpinan mereka’. Aku tidak tahu maksudnya. Apakah ia benar-benar memuji, ataukah ia sedang menyindir aku. Tetapi kemudian kami tak sempat berkata-kata lagi. Wulungan memerintahkan beberapa orang untuk memberitahukan tugas-tugas mereka. Tiga kelompok kemudian saling mendekat dan menuju satu sasaran, sedang yang lain masih di tempatnya masing-masing, di bawah pimpinan seorang yang cukup mempunyai wibawa, Gupita. Laskar hitam itupun kemudian maju menyongsong lawan mereka. Mereka sama sekali tidak mempergunakan gelar perang, atau gelar mereka mirip dengan gelar Gelatik Neba. Namun tampaklah betapa mereka percaya pada diri mereka masing-masing. Terbayanglah diwajah mereka, kebiadaban dan keganasan yang pernah mereka lakukan dan akan mereka lakukan. Di dalam mata mereka seolah-olah tampaklah goresan-goresan nama-nama dari korban-korban mereka yang berpuluh-puluh jumlahnya. Aku pernah mengalami beberapa kali pertempuran. Namun kali ini aku benar-benar berdebar-debar. Di sekitarku berjalan orang-orang yang kurang aku kenal, baik tabiatnya maupun cara-cara mereka mempergunakan senjata. Akupun tidak mengetahui apakah mereka menganggap aku lawan mereka atau musuh mereka. Namun demikian akhirnya aku harus melekatkan kepercayaan kepada diri sendiri. Betapapun ringkihnya aku ini, namun aku hanya dapat mengeluh dan menyadarkan diri kepada kepercayaan itu, dilambari oleh pasrah diri kepada pepestan, kepada kuasa tangan Yang Maha Kuasa. Demikianlah akhirnya kedua laskar ini bertemu. Sesaat sebelum pertempuran berkobar, Wulungan berbisik kepadaku, ‘Jaladri, kami saat ini akan bertempur di atas tanah persawahan. Batang-batang padi ini sebentar lagi akan hancur terinjak-injak oleh kaki-kaki kami. Namun tanah persawahan ini akan memberikan kesegaran dalam jiwa kami. Karena untuk tanah inilah kami sekarang sedang menyabung nyawa. Meskipun batang-batang padi ini akan hancur, namun besok di atasnya akan dapat kami tanami kembali, dengan batang-batang padi yang lebih segar. Sebab kami tebarkan pupuk di tanah ini dengan darah putra-putra terbaik dari tanah ini’. Aku terharu mendengar kata-katanya. Sedang dari matanya terpancar ketulusan hatinya serta kesediaannya berkorban untuk tanahnya. Sesaat kemudian kami dikejutkan oleh teriakan-teriakan ngeri. Orang-orang hitam itu berloncatan sambil memekik-mekik. Senjata-senjata mereka gemerlapan dalam cahaya pagi. Pada saat yang hampir bersamaan, melontarlah senjata-senjata anak-anak Pamingit. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus anak panah bertebaran di udara. Tetapi orang-orang golongan hitam itu memutar senjata mereka menjadi gulungan perisai yang sangat rapat. Akhirnya pertempuran tak dapat dihindari. Orang-orang Pamingit terpaksa meletakkan busur-busur mereka dan menarik pedang-pedang mereka. Sehingga sesaat kemudian, riuhlah pertempuran itu dengan dentang senjata beradu, pekik yang mengejutkan dari orang-orang golongan hitam itu. Wulungan dengan kelompoknya langsung menyiapkan diri mereka dan memancing Bugel Kaliki untuk melibatkan dirinya. Anak-anak dalam kelompok ini agaknya benar-benar terpilih. Mereka tidak melemparkan panah mereka berlebih-lebihan. Satu-satu saja, mengarah kepada si Bongkok yang mengerikan itu. Akhirnya marahlah Bugel Kaliki. Seperti serigala yang menggeram, kemudian langsung melompat dan menyerbu kedalam laskar Wulungan. Cepat anak buah Wulungan memencar diri. Mereka menyerang dengan panah mereka. Tak berhambur-hamburan, namun cukup memberi perlawanan yang kuat terhadap hantu dari Gunung Cerme itu. Bugel Kaliki kemudian menjadi benar-benar marah. Agaknya ia benar-benar tidak biasa mempergunakan senjata. Sehingga ketika anak panah menyambar-nyambar semakin banyak, ia menjadi agak bingung. Aku menduga bahwa orang itu sama sekali tidak kebal dari senjata. Tiba-tiba terjadilah suatu yang tidak kami duga-duga. Bugel Kaliki melepas kain panjangnya. Sesaat kemudian kain itupun telah berputar dan menyambar setiap anak panah yang diarahkan kepadanya. ‘Gila,’ gerutu Wulungan, namun anak buahnya menyerang terus. Bugel Kaliki berloncat seperti kijang, dan sekali-kali ia menyambar orang-orang terdekat. Namun demikian ia menyerang, sehingga ia terpaksa untuk menangkisnya. Demikianlah pertempuran yang aneh itu berlangsung. Meskipun demikian, hantu yang bongkok itu berhasil pula mendapatkan beberapa orang korban. Sungguh suatu kejadian di luar kemampuan untuk mengatakan, apakah yang sudah dilakukannya. Namun Wulungan dengan anak buahnya berjuang dengan gigihnya. Hanya karena jumlah mereka yang sangat banyaklah maka Bugel Kaliki tidak dapat membunuh mereka. Apa yang dikatakan oleh Ki Ageng Sora Dipayana ternyata benar. Bugel Kaliki itu benar-benar tidak berkurang tenaganya. Ketika matahari telah mencapai puncaknya, orang itu masih saja segar seperti semula. Untunglah bahwa Wulungan telah mengatur anak buahnya, sehingga mereka tidak menumpahkan seluruh tenaga mereka. Berganti-ganti mereka menempatkan diri mereka di garis pertama, sehingga dengan demikian mereka telah menghemat tenaga mereka. Gupita pun ternyata adalah seorang pemimpin yang baik. Ia dapat menguasai laskarnya sebaik-baiknya. Meskipun orang-orang dari golongan hitam itu menyerbu dengan tak teratur, namun mereka tetap melawan dalam gelar yang baik. Pada dasarnya setiap orang dari golongan hitam itu mempunyai kelebihan dari setiap orang di dalam laskar Gupita, namun karena kerja sama mereka lebih rapi serta jumlah mereka lebih banyak, maka merekapun dapat memberikan perlawanan yang cukup. Sedang di tempat lain, aku lihat Ki Ageng Sora Dipayana terikat dalam pertempuran melawan Nagapasa. Mereka berdua ternyata memiliki banyak kelebihan daripada manusia biasa seperti aku ini. Melihat cara Ki Ageng bertempur, aku menjadi bangga hati. Seolah-olah terbayang kembali masa kanak-kanakku. Masa Daerah Perdikan Pangrantunan mengalami masa-masa yang cemerlang. Tak seorangpun yang mengganggu perkelahian kedua orang itu. Baik laskar dari golongan hitam maupun laskar Pamingit. Seolah-olah mereka dibiarkan berbuat sesuka hati mereka. Tetapi aku tak sempat menyaksikan lebih lama. Sebab di hadapanku menyambar-nyambar dengan dahsyatnya Si Bongkok dari Gunung Cerme. Aku tidak mau menjadi korban begitu saja. Karena itu, akupun berusaha untuk melindungi diriku sebaik-baiknya. Bahkan ternyata orang-orang Pamingit itupun tidak membiarkan aku terbunuh tanpa pembelaan.
Setiap Bugel Kaliki mencoba menyambar aku, orang-orang Pamingit itupun selalu melindungi aku dengan panah-panahnya, atau dengan pedang-pedangnya. Demikian pertempuran itu berlangsung sehari penuh. Tak dapat dikatakan siapa yang memperoleh kemenangan, selain korban jatuh satu demi satu dari keduabelah pihak. Pertempuran itupun masih belum berkisar dari medan yang sama. Meskipun keduabelah pihak berusaha keras untuk mendesak lawan-lawan mereka. Orang-orang hitam yang marah itu mencoba mengusir orang-orang Pamingit dari Kepandak, sedang orang-orang Pamingit berusaha untuk mendesak orang-orang hitam itu masuk ke dalam kota, atau meninggalkan Pamingit sama sekali. Namun mereka masing-masing terpaksa mengakui kegigihan lawan. Sehingga ketika matahari telah tenggelam di balik ujung-ujung perbukitan di sebelah barat, terasa betapa letih menyusup ke dalam tubuh. Karena itu, ketika terdengar tanda-tanda untuk menghentikan pertempuran, kedua belah pihak yang telah tenggelam dalam kepayahan yang sangat, segera menarik diri mereka masing-masing.
Orang dari golongan hitam, yang biasanya tidak mengenal waktu untuk bertempur, saat itupun agaknya benar-benar telah kehabisan tenaganya. Merekapun segera menarik pasukan mereka, dan mengundurkan diri dari garis pertempuran. Hanya Wulungan lah yang agak sulit melepaskan diri dari serangan-serangan Bugel Kaliki. Meskipun malam menjadi semakin gelap. Untunglah bahwa orang tua itupun akhirnya merasa perlu untuk menghentikan pertempuran, sebab di dalam gelap malam, panah-panah orang Pamingit itu menjadi semakin tidak jelas, dan dengan demikian Bugel Kaliki merasa bahwa bahayanya menjadi semakin besar. Ki Ageng Sora Dipayanapun menghentikan pertempuran pula. Aku tidak tahu, bagaimana mereka berjanji, sehingga mereka masing-masing meninggalkan medan itu pula. Pertempuran di hari pertama itu berakhir. Dan berakhir pula ceriteraku. Malam itu aku mohon ijin untuk meninggalkan Pamingit. Sebab aku telah berjanji dengan Kakang Penjawi. Ki Ageng Sora Dipayanapun tidak menahan. Namun demikian Ki Ageng berpesan, ‘Jaladri. Sampaikan apa yang kau lihat kepada cucuku. Katakan bahwa hari ini, berapa puluh orang dari Pamingit telah jatuh menjadi korban di Kepandak dan mungkin juga di Sumber Panas. Aku mengharap, sebentar lagi Lembu Sora akan mengirimkan orangnya kemari, mengabarkan apa yang telah terjadi. Tetapi yang pasti, bahwa besok akan jatuh pula korban-korban baru. Aku tidak tahu berapa hari pertempuran akan berlangsung. Dan aku tidak tahu apakah kami akan berhasil mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit. Salamku buat cucuku, buat Angger Mahesa Jenar serta sahabat-sahabatnya, serta buat Wanamerta yang setia. Kalau laskar Pamingit tidak mampu lagi bertahan di Kepandak, kami akan mundur ke Pangrantunan, sedang laskar Lembu Sora harus bergabung pula ke sana’. Suara Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menurun ‘Entahlah. Apakah aku masih akan dapat bertemu dengan cucuku itu’.”

Jaladri mengakhiri ceriteranya. Dari wajahnya terbayang perasaannya yang muram. Agaknya pesan Ki Ageng Sora Dipayana itu sangat berkesan di hatinya. Suasana di pendapa itu menjadi sepi hening. Masing-masing duduk dengan tenangnya. Ada sesuatu yang tersangkut di dalam dada mereka. Sehingga akhirnya suasana sepi itu dipecahkan oleh suara Arya Salaka mengejutkan,
“Apa yang kau lihat di Sumber Panas, Kakang Penjawi?”
Penjawi terkejut. Ia mengangkat wajahnya memandang Arya Salaka. Kemudian diperhatikannya satu demi satu setiap wajah dari mereka yang duduk di pendapa itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam iapun menjawab,
“Aku tidak mengalami pertempuran seperti Adi Jaladri. Namun aku dapat menyaksikan sebagian darinya, sedang sebagian aku dengar dari orang Banyubiru yang telah aku hubungi sebelumnya. Di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti pun mempunyai pekerjaan yang berat. Sebab di antara orang-orang hitam yang harus dilawannya terdapat Sima Rodra, Pasingsingan dan Sura Sarunggi.”
“Ketiga-tiganya berkumpul?” potong Arya.
“Ya, ditambah dengan Lawa Ijo dan Jaka Soka,” sambung Penjawi.
“Gila….” desis Wanamerta.
“Ya…” Penjawi meneruskan,
“Karena itulah maka mereka mengalami tekanan yang luar biasa. Untunglah bahwa orang asing yang diceriterakan oleh Adi Jaladri, benar-benar datang ke Sumber Panas. Dari jauh aku tidak dapat melihat bagaimanakah bentuk tubuh serta wajahnya. Namun dari sekian banyak orang, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa orang itu memiliki kesaktian yang tak ada bandingnya. Ia dapat melawan salah seorang dari tokoh hitam itu seorang diri, sedang Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, masing-masing memerlukan beberapa puluh orang untuk membantunya. Apalagi kelompok-kelompok lain. Mereka harus berjuang mati-matian melawan Lawa Ijo dan Jaka Sora.”

Ketika Penjawi berhenti berceritera, kembali pendapa itu menjadi sepi. Sehingga tarikan nafas mereka yang lebih cepat dari biasa, menjadi semakin terang. Sesaat kemudian Penjawi meneruskan,
“Korban berjatuhan. Namun laskar Pamingit jauh lebih banyak dari laskar golongan hitam itu, sehingga pekerjaan orang dari golongan hitam itupun tidak ringan. Meskipun demikian, tampaklah setapak demi setapak mereka mendesak maju. Ki Ageng Lembu Sora terpaksa menarik diri, dan mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada. Sehingga dengan demikian korbannyapun menjadi semakin banyak. Meskipun beberapa puluh orang dari golongan hitam itu jatuh pula, namun keadaan laskar Ki Ageng Lembu Sora tak menyenangkan. Kekuatan Ki Ageng Lembu Sora telah dikerahkan ketika matahari telah berada sejengkal di atas punggung bumi. Namun karena tekanan yang dahsyat, maka laskar itupun terpaksa menarik diri. Untunglah bahwa senja turun. Sehingga ketika laskar Pamingit telah mempergunakan kekuatan terakhirnya, jatuhlah malam dengan cepatnya. Sungguh suatu pertolongan yang tiada taranya. Ketika itu, laskar Pamingit telah terpaksa meninggalkan Sumber Panas dan mundur beberapa tonggak ke pedukuhan di belakangnya. Aku sekali lagi mencoba mencari orang-orang Banyubiru yang berjanji akan memberi aku beberapa keterangan. Dari orang itulah aku mendengar bahwa orang asing yang tak kukenal itu mencoba memberi beberapa petunjuk kepada Lembu Sora. Ia mengharap setidak-tidaknya besok pagi, laskar Lembu Sora dapat bertahan di tempatnya. Tetapi aku tidak sempat melihat pertempuran hari ini. Mudah-mudahan orang asing itu dapat memberi sekedar nafas kepada laskar Pamingit.”
Penjawi berhenti berceritera. Sekali lagi ia memandang wajah Arya Salaka. Dilihatnya keringat mengalir dari keningnya. Matanya tajam menatap lantai di hadapannya. Pendapa itu kembali digenggam oleh kesepian. Ceritera Penjawi dan Jaladri menumbuhkan perasaan yang aneh. Tidak saja pada Arya Salaka, tetapi juga setiap hati para pemimpin laskar Banyubiru.
Berkali-kali terngiang di telinga mereka,
“Korban berjatuhan. Korban berjatuhan. Dan korban pada laskar Pamingit itu masih akan bertambah-tambah.” 

DALAM kediaman itu terdengar Mahesa Jenar bertanya,
“Penjawi atau Jaladri, tahukah engkau bagaimana bentuk tubuh orang yang tak kau kenal itu?”
Penjawi menggeleng, tetapi Jaladri menjawab,
“Sungguh tak tersangka bahwa orang itu mempunyai kesaktian yang mengaggumkan. Tubuhnya tidak lebih gagah dari seorang perempuan. Suaranyapun kecil, nyaring seperti suara perempuan.”
“Titis Anganten…” potong Mahesa Jenar cepat-cepat.
“Orang sakti dari Banyuwangi.”
“Titis Anganten…?” ulang Kebo Kanigara dan Arya Salaka hampir berbareng.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku pernah ditolongnya pula dari terkaman Sima Rodra tua.”
“Aku pernah mendengar namanya,” gumam Kebo Kanigara,
“Ayah pernah menyebut-nyebutnya.”
“Ia datang tepat pada waktunya,” sahut Mahesa Jenar.
Lalu suasana menjadi sepi kembali. Masing-masing hanyut dalam angan-angan mereka sendiri. Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka,
“Nah, kalian telah mendengar apa yang telah terjadi di Pamingit.”
Tak seorangpun yang menyahut. Mereka masih tetap dalam kediaman yang beku. Ketika tak seorangpun yang bersuara, bertanyalah Mahesa Jenar,
“Apakah yang akan kau lakukan Arya?”
Arya tidak segera menjawab. Ia memandang berkeliling, seolah-olah ia minta pertimbangan dari mereka. Meskipun demikian, otaknya yang cerdas segera menangkap maksud pertanyaan gurunya. Di dalam dadanya selalu berdentang pesan eyangnya kepada Jaladri: Aku tidak tahu apakah kami akan berhasil mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit, dan seterusnya. Entahlah, apakah aku masih dapat bertemu dengan cucuku itu.-

Maka kemudian iapun berkata lantang,
“Nah, apa kata kalian? Bukankah dalam keadaan yang sulit itu, kita dapat mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya? Hari ini kita akan dapat menghancurkan laskar Pamingit itu. Dengan demikian Banyubiru akan menjadi milik kita. Bahkan Pamingit pun kemudian akan kita duduki setelah kita berhasil menumpas laskar dari golongan hitam.”

Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba terkejut mendengar kata-kata Arya Salaka. Meskipun mereka datang ke perbatasan untuk maksud itu, namun tiba-tiba terasa sesuatu keganjilan di dalam dada mereka.
“Kenapa kalian diam?” tanya Arya Salaka.
“Kesempatan ini tak akan berulang.”
Para pemimpin Banyubiru itu masih diam. Mereka tidak tahu perasaan apa yang bergolak di dalam dada mereka sendiri. Hanya Mahesa Jenar yang kemudian menjadi gelisah. Namun ia masih berdiam diri pula. Ia sedang meraba-raba maksud pertanyaan muridnya itu, dengan suatu kepercayaan yang penuh, bahwa muridnya adalah seorang yang berhati jantan, namun berotak cemerlang. Karena itu ia masih menanti maksud Arya Salaka. Memang Arya Salaka benar-benar seorang pemuda yang cakap. Ia dapat melihat keadaan dengan cermat. Dalam saat yang pendek, ia dapat merasa bahwa hatinya bergolak ketika ia mendengar ceritera Panjawi dan Jaladri. Demikian pula agaknya perasaan yang bergetar di dalam dada setiap pemimpin laskar Banyubiru itu. Bagaimanapun mereka membenci dan bahkan mereka telah berjanji untuk berjuang mati-matian mengusir orang-orang Pamingit dari Banyubiru, serta kalau perlu mereka akan saling membunuh untuk mempertahankan kesetiaan mereka, namun demikian, ketika mereka mendengar bahwa orang-orang Pamingit mengalami tekanan yang berat dari golongan hitam, timbullah perasaan yang lain di dalam diri mereka. Sebab apapun yang terjadi di antara mereka, permusuhan yang bagaimanapun tajamnya, namun orang Banyubiru dan Pamingit adalah orang-orang dari cabang aliran darah yang sama. Mereka semula adalah orang-orang dari daerah perdikan Pangrantunan. Ayah-ayah mereka, kakek-kakek mereka telah bersama-sama bekerja untuk tanah ini. Banyubiru dan Pamingit.
Bagi orang Banyubiru, orang-orang Pamingit adalah orang-orang yang masih bersangkut paut dengan darah keturunan mereka. Di Pamingit tinggallah kemenakan-kemenakan mereka, atau sepupu mereka atau paman mereka. Demikian pula sebaliknya. Sehingga dengan demikian, apakah mereka akan merelakan darah mereka yang mengalir didalam tubuh saudara-saudara mereka itu memercik dari luka-luka mereka, karena pokal orang-orang golongan hitam? Karena pertanyaan-pertanyaan itulah, maka mereka masih tetap berdiam diri.

Agaknya Arya Salaka telah mengamati keadaan dengan tepatnya. Sekali lagi ia memandang gurunya. Demikian Mahesa Jenar memandang langsung mata muridnya, tahulah ia apa yang tersirat di hatinya. Karena itu iapun menjadi terharu. Tetapi ia tidak berkata apapun, selain beberapa kali mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang terdengar kemudian adalah suara Arya Salaka.
“Paman-paman sekalian, pemimpin laskar Banyubiru yang setia. Agaknya aku tahu apa yang tersimpan di dalam dada kalian. Ketika aku ajukan beberapa pertanyaan kepada kalian, tetap berdiam diri, sebab kalian tidak menyakini apa yang bergolak didalam dada kalian. Karena itu, cobalah, biar aku menebaknya. Bukankah kalian merasa bahwa kalian tidak rela mendengar ceritera bahwa saudara-saudara kalian terpaksa mengalami tekanan yang berat dari golongan hitam? Bukankah kalian tidak rela bahwa orang-orang hitam itu akan menguasai Pamingit? Gumpalan dari tanah perdikan Pangrantunan yang perkasa? Tanah Perdikan yang dengan susah payah dibangun oleh Eyang Sora Dipayana beserta kakek-kakek serta ayah-bunda kalian?”
Para pemimpin laskar Banyubiru itu masih agak bingung. Mereka belum tahu benar arah pembicaraan Arya Salaka.

AKHIRNYA Arya Salaka berkata dengan terangnya, seperti terangnya matahari di siang yang panas itu.
“Nah, paman-paman sekalian. Yakinlah bahwa aku sependapat dengan kalian. Dengan pertanyaan-pertanyaanku yang pertama, sebenarnya aku hanya ingin mendapatkan keyakinan akan hati nurani kalian. Apakah kalian masih marah dan mendendam kepada saudara-saudara kita dari Pamingit itu. Tetapi ternyata kalian telah menempuh pergolakan perasaan, yang membendung perasaan dendam itu. Memang kita seharusnya tidak mendendamnya, meskipun seandainya saudara-saudara kita dari Pamingit itu masih tetap berada di pendapa ini. Kita datang untuk menegakkan kebenaran, bukan untuk melepaskan dendam kita.”
Para pemimpin laskar Banyubiru itu tiba-tiba menegakkan kepala mereka. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan.
“Kalau demikian…” Arya meneruskan,
“Paman-paman yang perkasa, tinggalkan pendapa ini segera. Kembalilah ke dalam pasukan kalian, dan siapkanlah mereka. Kita bawa separo dari seluruh laskar Banyubiru ke Pamingit.


<<< Bagian 071                                                                                              Bagian 073 >>>

No comments:

Post a Comment