WIDURI mendengarkan ceritera itu, dengan penuh minat. Ia menjadi terharu mendengarkan ceritera pengalaman yang pernah dijalani oleh Arya Salaka pada umurnya yang masih sangat muda.
“Kalau malam
ini mereka datang kembali…” kata Arya Salaka,
“Aku tak perlu
berlari-lari lagi.”
“Kau telah
merasa dirimu tak terkalahkan? sahut Widuri.
“Tidak,” jawab
Arya.
“Sebab
sekarang ada kau. Bukankah kalungmu itu menakutkan orang?” Widuri mencibirkan
bibirnya, katanya kepada Wanamerta yang duduk bersama mereka,
“Apakah Eyang
takut juga kepada kalungku ini?”
Wanamerta
tertawa. Jawabnya,
“Aku tidak.
Sebab aku tak bermaksud jelek. Entahlah cucu Arya Salaka.”
“Ah…”
Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi merah. Ia tidak tahu apa sebabnya. Sedang
Arya pun tiba-tiba menundukkan wajahnya. Ketika keadaan menjadi sepi,
terdengarlah di kejauhan gonggong anjing liar yang berkeliaran di lereng-lereng
pegunungan. Dari selatan mengalirlah angin pegunungan membawa udara yang sejuk.
“Cucu Widuri…”
kata Wanamerta kepada gadis lincah itu,
“Aku
persilakan Cucu beristirahat di ruang sebelah. Biarlah aku dan Cucu Arya Salaka
berjaga-jaga di sini.”
Widuri memang
sudah ngantuk. Karena itu segera iapun berdiri dan masuk ke ruang di dalam
rumah itu. Ia sama sekali tidak takut, karena di luar berjaga-jaga Arya Salaka,
Wanamerta dan Bantaran. Sedang di halaman belakang pun ada beberapa orang yang
mengawal. Sementara itu di perbatasan, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Mantingan,
Wirasaba dan para pemimpin laskar Banyubiru yang lain sedang sibuk menyalakan
api untuk mematangkan kijang hasil buruan mereka.
Tidak jauh
dari perapian itu, Rara Wilis bertiduran di atas rumput-rumput kering sambil
menganyam angan-angan. Sekali-kali angan-angannya itu membumbung tinggi,
membelit di antara bintang-bintang di langit, namun sekali-kali ia terlempar
kembali ke dunianya kini. Berbaring di antara batang-batang ilalang. Di antara
laskar yang bersiaga penuh untuk bertempur. Entah besok, entah lusa. Kemudian
apakah sesudah pertempuran itu berakhir ia masih dapat menikmati gemerlapnya bintang
di langit…? Atau kalau Tuhan masih mengurniakan umur panjang kepadanya, apakah
ia masih dapat bertemu dengan Mahesa Jenar…? Rara Wilis tiba-tiba tersentak
karena angan-angannya sendiri. Tidak sengaja ia memandang ke perapian.
Dilihatnya di antara mereka, seorang yang selama ini mengikat hatinya. Tetapi
laki-laki itu tidak menoleh kepadanya. Bahkan ia masih asyik menikmati daging
kijang yang kadang-kadang diselingi oleh tertawanya yang riang. Agaknya Ki
Dalang Mantingan adalah orang yang cukup jenaka, sehingga mereka tertawa-tawa
karena kelucuannya. Rara Wilis menarik nafas panjang. Sebagai seorang gadis ia
kadang-kadang ditakut-takuti oleh umurnya yang bertambah-tambah dari hari ke
hari. Apakah ia harus berjalan dari satu padang rumput ke padang rumput yang
lain? Dari satu perkelahian ke perkelahian yang lain sepanjang hidupnya…?
Tidakkah pada suatu saat ia akan dihadapkan kepada suatu kewajiban yang
seharusnya dijalani oleh setiap wanita…?
Rara Wilis
pada suatu saat pasti ingin melepaskan pedang dari pinggangnya dan menggantinya
dengan pisau dapur yang sederhana. Ia pada suatu saat pasti ingin melepaskan
ikat pinggang kulitnya, yang kasar, dimana pedangnya selalu menggantung, dan
menggantinya dengan selendang yang halus untuk mengemban bayinya. Ya. Ia rindukan
masa yang berbahagia. Masa ia tidak bermain-main dengan nyawanya, tetapi
bermain-main dengan anaknya. Akhirnya, sebagai seorang manusia yang lemah, ia
hanya dapat memanjatkan doa kepada Kekuasaan Yang Tertinggi, mudah-mudahan
sampailah ia pada saatnya, diperkenankan menikmati hidup ini sebagai manusia
biasa, sebagai wanita biasa. Ketika sekali lagi ia memandang ke perapian, ia
masih melihat mereka yang duduk melingkari perapian itu bersenda-gurau. Karena
itu iapun terbawa pula oleh suasana yang gembira itu. Sehingga kemudian ketika
ia mendengar Ki Dalang Mantingan berjenaka, ia pun tersenyum sendiri.
Di langit,
bintang gemintang satu-satu berjalan di dalam garis edarnya. Sedang mega putih
yang membayang di selatan, sebagai selimut yang putih, menaburi punggung bukit
Telamaya. Malam itu berjalan setapak demi setapak menjelang pagi. Baik yang
berada di Banyubiru maupun yang berserak-serak di perbatasan. Meskipun tidak
meninggalkan kewaspadaan, namun mereka dapat menikmati istirahat malam itu dengan
baiknya. Mereka sadar bahwa bahaya pasti tidak akan datang. Baik dari laskar
Lembu Sora maupun dari laskar golongan hitam. Sebab mereka selambat-lambatnya
petang tadi, pasti sudah saling berhadapan. Bahkan mungkin bagian-bagian dari
laskar mereka sudah terlibat dalam bentrokan-bentrokan. Perhitungan mereka
itupun benar. Tak ada apapun yang terjadi sampai matahari muncul di timur,
diantar oleh kicauan burung-burung liar yang hinggap di cabang-cabang pohon
perdu.
Ketika Mahesa
Jenar membuka matanya, setelah beberapa saat ia tertidur dalam kehangatan
perapiannya, ia terkejut melihat sesosok tubuh yang berdiri tidak jauh darinya.
Dalam keremangan cahaya pagi, dilihatnya bayangan itu menggeliat dengan
nyamannya, kemudian tampaklah dadanya yang segar menggelombang dalam tarikan
nafas pagi. Perlahan-lahan Mahesa Jenar bangkit. Seperti terpaku ia melihat
bayang-bayang yang mengesampingkannya. Ia menjadi heran sendiri. Seperti kisah
dalam mimpi, bahwa di tengah-tengah padang ilalang itu, dapat ditemuinya
keindahan yang sempurna menurut selera hatinya. Ketika bayangan itu
perlahan-lahan melangkahkan kakinya, Mahesa Jenar bangkit berdiri. Agaknya
bayangan itu mendengar desis kakinya sehingga terputarlah wajahnya, memandang
Mahesa Jenar yang berjalan perlahan-lahan mengikutinya.
“Bintang pagi
masih bersinar di tenggara,” tegur Mahesa Jenar dalam nada yang rendah. Rara
Wilis tersenyum.
“Tetapi
matahari telah meninggalkan peraduannya.” Mahesa Jenar menengadahkan wajahnya,
memandang matahari pagi yang masih kemerah-merahan. Sambil tersenyum pula ia
berkata,
“Ia akan
datang pada saat ia harus datang.”
“Dan ia akan
pergi pada saat ia harus pergi,” sahut Wilis.
“Peredaran
jinantra alam yang tak terkendalikan oleh kekuatan apapun, selain oleh Maha
Penciptanya,” kata Mahesa Jenar.
“Karena itu,
milikilah yang harus kau miliki,” potong Wilis.
“Matahari…?”
tanya Mahesa Jenar sambil tersenyum.
“Ya,” jawab
Wilis
“Matahariku
adalah mataharimu,” kata Mahesa Jenar pula. Keduanya tersenyum. Hanya mereka
berdualah yang dapat merasakan betapa indahnya senyum mereka masing-masing.
Seindah bintang pagi di tenggara, seindah matahari pagi di puncak bukit.
“Aku akan
mencuci muka di mata air sebelah,” kata Rara Wilis kemudian.
“Pergilah. Aku
akan menyiapkan api,” jawab Mahesa Jenar.
RARA WILIS berjalan
semakin cepat. Di pinggangnya masih tergantung pedang tipisnya. Mahesa Jenar
memandangi bayangan itu sampai hilang di balik sebuah batu padas. Disanalah
Rara Wilis mendapatkan mata air yang kecil. Hari itupun tak mereka jumpai
persoalan-persoalan yang penting. Bahkan mereka dapat hilir-mudik dari
perbatasan masuk ke dalam kota. Kebo Kanigara telah menjemput puterinya, sedang
Mahesa Jenar dan Arya Salaka malam berikutnya bermalam di Banyubiru. Seperti
malam kemarin. Malam inipun berlalu begitu saja. Namun mereka mengharap bahwa
hari berikutnya Penjawi dan Jaladri telah dapat datang kembali dengan
keterangan-keterangan yang mereka perlukan. Sebelum fajar menyingsing di pagi
yang dingin, datanglah orang yang mereka harap-harapkan itu. Derap dua ekor kuda
yang lari dengan kencangnya, memukul-mukul jalan yang berbatu-batu menuju ke
rumah kepala daerah perdikan Banyubiru. Para pengawal perbatasan segera
berloncatan dari gardu mereka yang bersiaga. Tetapi ketika mereka melihat
Penjawi dan Jaladri yang duduk di punggung-punggung kuda itu, maka mereka
biarkan berlalu. Debu yang dihambur-hamburkan oleh kaki-kaki kuda itu seperti
tumbuh dari dalam tanah, sejalan dengan pertanyaan-pertanyaan yang tumbuh di
dalam dada para pengawal itu.
Kabar apakah
yang dibawa oleh Penjawi dan Jaladri…?
Arya Salaka
dan Mahesa Jenar pun kemudian mendengar derap kuda yang semakin dekat. Segera
mereka bangkit dari pembaringan mereka sambil menebak-nebak, siapakah
orang-orang yang berkuda di pagi-pagi buta ini. Demikian juga Wanamerta dan
Bantaran yang berada di pendapa pun segera bersiaga. Kalau-kalau ada sesuatu
yang tak mereka harapkan terjadi. Tetapi hati mereka menjadi kendor kembali
setelah mereka melihat Penjawi dan Jaladri masuk ke halaman. Ketika kuda-kuda
itu berhenti, berloncatanlah mereka turun dan langsung naik ke pendapa.
Tampaklah wajah-wajah mereka yang kotor karena debu yang tak sempat mereka
usap. Sedang di punggung membekaslah keringat mereka yang mengalir deras. Namun
demikian tampaklah senyum mereka membayang di bibir mereka.
Wanamerta
menerima mereka dengan tergopoh-gopoh. Dipersilahkanlah mereka duduk, dan
kepada seorang pelayan, Wanamerta minta untuk segera disediakan bagi mereka,
minum yang hangat.
“Terima kasih
Kiai,” kata Penjawi di antara desah nafasnya yang mengalir cepat.
“Selamatkah
kalian?” tanya Wanamerta kemudian.
“Baik Kiai,”
jawab mereka hampir bersamaan.
“Syukurlah,”
sambung Wanamerta. Bersamaan dengan itu muncullah Mahesa Jenar dan Arya Salaka
lewat pintu pringgitan. Mereka langsung duduk di hadapan Penjawi dan Jaladri.
Dari wajah-wajah kedua orang itu, Mahesa Jenar dan Arya Salaka mendapat kesan,
bahwa mereka telah menempuh perjalanan yang berat. Merekapun kemudian
menanyakan keselamatan kedua orang itu.
“Perjalanan
yang menyenangkan.”
Namun
terdengarlah suara itu amat perlahan-lahan. Dengan senyum lucu Jaladri
memandang Penjawi, sambil menyebut,
“Cemasnya yang
tak terduga-duga.” Yang mendengar ikut tersenyum pula.
“Kalian tentu
punya ceritera yang panjang,” kata Arya Salaka.
“Tetapi aku
lihat kalian tak sempat mandi di perjalanan. Karena itu, apabila keadaan tidak
mendesak, mandilah kalian dahulu. Kemudian setelah makan pagi, biarlah kalian
berceritera panjang lebar. Akan aku panggil semua pimpinan laskar Banyubiru,
Paman Kebo Kanigara, Bibi Wilis dan Endang Widuri. Aku kira mereka akan senang
pula mendengar ceriteramu.”
“Baiklah,”
jawab Penjawi.
“Kami akan
mandi dahulu, makan pagi, lalu kami akan berceritera, supaya ceritera kami
tidak terlalu banyak tertinggal.” Jaladri tertawa, sambungnya,
“Urutan yang
bijaksana,” Kemudian setelah minum teh hangat dengan gula aren, Penjawi dan
Jaladri segera turun ke mata air di sebelah rumah itu. Mereka mendapat pinjaman
beberapa potong pakaian untuk mengganti pakaian yang telah basah oleh keringat,
dan kotor oleh debu tebal.
Dalam
kesempatan itu, Arya Salaka telah memerintahkan untuk menjemput para pemimpin
laskar Banyubiru yang berada di perbatasan, termasuk Mantingan dan Wirasaba.
Ketika matahari telah naik di ujung cemara, pendapa Banyubiru itupun telah
dipenuhi oleh para pemimpin laskar Banyubiru. Mereka semua mengharap dapat
mendengarkan langsung ceritera Penjawi dan Jaladri. Meskipun masih agak payah,
di pendapa itu hadir juga Sendang Parapat. Penjawi dan Jaladri duduk berjajar
di samping Arya Salaka. Kemudian duduk pula Wanamerta, Bantaran, Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara, Mantingan, Wirasaba, Rara Wilis dan Endang Widuri.
“Nah…” kata
Arya Salaka kemudian,
“Mulailah
dengan kisah cemasmu.”
Penjawi
membetulkan letak duduknya, sambil menarik nafas ia berkata,
“Baiklah.
Setelah perutku kenyang, ingatanku menjadi baik, sehingga banyaklah yang akan
aku ceriterakan kepada kalian.” Yang hadir di pendapa itu telah siap untuk
mendengar apakah yang telah terjadi di Pamingit.
PENJAWI segera
mulai ceritanya,
“Lusa aku dan
Adi Jaladri berangkat ke Pamingit, beberapa saat setelah Ki Ageng Sora Dipayana
meninggalkan Banyubiru. Namun demikian, kami masih dapat mendahului laskar
Pamingit itu. Kami titipkan kuda kami dirumah paman Derpa, dan mulailah kami
dengan pekerjaan kami. Ki Ageng Lembu Sora ternyata benar-benar seorang yang
memiliki ketangkasan berpikir. Kami terkejut ketika kami diketahui, bahwa
beberapa bagian laskarnya langsung menerobos lewat Randu Putih, dan menduduki
Kepandak. Sedang induk pasukannya masih tetap menuju pusat pemerintahan
Pamingit, dan setelah terlibat dalam bentrokan tak berarti, induk pasukan itu
bermalam di Sumber Panas. Ini adalah suatu keadaan yang sama sekali tak diduga
oleh golongan hitam. Karena itu, dengan mudahnya mereka dapat didesak dari tempat-tempat
itu. Tetapi karena itu pulalah maka mereka agaknya menjadi marah. Menjelang
pagi, aku dan adi Jaladri melihat-lihat pertempuran yang akan berkobar di
Kepandak. Kami berjanji bahwa malam hari kami bertemu di rumah Paman Darpa,
setelah kami mendapat gambaran dari kedua garis pertempuran itu. Pekerjaan
kamipun menjadi agak sulit, sebab kami tidak mau diketahui oleh kedua belah
pihak. Untunglah bahwa aku dapat menghubungi beberapa orang Banyubiru yang
berada di dalam Laskar Lembu Sora, ketika mereka sedang mengambil air untuk
keperluan laskar itu. Tetapi pekerjaan Adi Jaladri agak lebih sulit.”
Penjawi
berhenti sejenak. Ia memandang kepada Jaladri, katanya,
“Tidak ada
orang yang lebih mengetahui daripada Adi sendiri. Nah ceriterakanlah.”
Jaladri
mengangguk. Sambil tertawa kecil ia berkata,
“Bukan lebih
sulit. Tetapi aku justru lebih beruntung.”
Jaladri
berhenti sebentar lalu meneruskan,
“Pagi-pagi
buta aku mencoba untuk mencari tempat yang baik. Aku ingin tahu, siapakah yang
berada di dalam kedua pasukan yang akan bertempur itu. Tetapi baru saja aku
mendapat tempat yang baik menurut pikiranku, tiba-tiba terdengar suara berdesir
di belakangku. Aku terkejut, dan aku menjadi berdesir ketika tiba-tiba aku
ketahui, menurut ciri-ciri yang pernah aku dengar, seorang tua, bertubuh
bongkok dengan wajah yang mengerikan.”
“Bugel
Kaliki?” potong Wanamerta.
“Ya, Bugel
Kaliki,” sahut Jaladri.
“Dengan mata
yang mengandung kebencian ia memandang kepalaku. Akhirnya ia tertawa
terkekeh-kekeh dan berkata, ‘Hai kelinci yang malang. Siapakah namamu, dan
apakah kerjamu di sini?’ Aku menjadi gemetar. Aku tahu siapakah orang itu.
Karena itu tiba-tiba terbayanglah di dalam otakku, gambaran Yamadipati datang
untuk menagih janji. Mengambil kembali nyawa yang dititipkan di dalam raga ini.”
“Apa yang
dikerjakan oleh hantu itu? bertanya Sendang Papat tidak sabar.
“Menakut-nakuti
aku,” jawab Jaladri.
“Dan aku
benar-benar takut kepadanya. Apalagi kemudian ia bertanya kepadaku pula
‘Kenalkah kau kepadaku?’ Aku tahu bahwa aku bukan musuhnya. Karena itu aku
tidak mau kehilangan kesempatan. Tanpa menjawab pertanyaannya, segera aku
menarik kerisku, dan langsung aku menusuk ke arah telungkup. Nah, kau lihat
jalur-jalur di mukaku ini?”
“Tetapi kau
tetap hidup,” sela Bantaran ingin tahu.
“Ya. Aku tetap
hidup,” sambung Jaladri,
“Bukan karena
aku sekarang telah mampu melawan Bogel Kaliki, atau aku dapat melepaskan diri
dari tangannya.”
“Ya. Lalu
kenapa?” Sendang Parapat menjadi tidak sabar,
“Apakah kau
dibiarkan pergi?”
Jaladri
tertawa.
“Jangan terlalu
tergesa-gesa. Dengar urutan ceriteraku. Aku kemudian bangkit, dan dengan tekad
yang bulat aku akan mati sebagai laki-laki. Berjuang dengan tenaga yang ada
padaku. Tetapi tiba-tiba Tuhan menyelamatkan aku. Ketika Bugel Kaliki itu
dengan marahnya menggeram, dan hampir menerkam kepalaku, terdengar suara di
belakangku. ‘Jangan Kaliki. Jangan mengganggu anak-anak’. Bugel Kaliki
terkejut. Aku juga terkejut. Kalau seseorang dapat hadir di tempat itu tanpa
diketahui oleh Bugel Kaliki, maka aku mengharap bahwa setidak-tidaknya orang
itu akan dapat menyelamatkan aku.”
“Siapakah
orang itu?” tanya Sendang Parapat.
“Aku tidak
tahu,” jawab Jaladri.
“Hus!” sahut
orang yang berada di pendapa itu hampir berbareng.
“Jangan
teka-teki.”
“He…” jawab
Jaladri,
“Siapa yang berteka-teki?
Aku benar-benar tidak tahu, Kakang Penjawi juga tidak tahu. Siapakah dia.”
Arya tertarik
pada ceritera itu. Tampak alisnya berkerut. Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara dan orang-orang lain.
“Apa yang
dilakukan?” tanya Arya Salaka kemudian. Jaladri mengingsar duduknya, ia
meneruskan,
“Bugel Kaliki
terkejut atas kehadirannya. Ia mengurungkan niatnya untuk memecahkan kepalaku.
Tetapi segera ia bersiaga untuk menghadapi musuh barunya. ‘Jangan ganggu aku’
ia berdesis. Tetapi orang yang datang itu tertawa. Suaranya nyaring. ‘Aku
mengembara dari satu tempat ke tempat lain tanpa tujuan. Karena itu akupun
kadang-kadang melakukan pekerjaan-pekerjaan tanpa tujuan. Antara lain
mengganggumu’. Bugel Kaliki benar-benar marah. Terdengar suaranya menggeram
seperti serigala. Namun orang asing itu masih tertawa-tawa saja. Akhirnya
keduanya terlibat dalam satu perkelahian tanpa kata-kata lain. Aku tidak tahu
bagaimana aku harus menilai pertempuran itu. Mereka bergerak-gerak dengan
cepatnya. Kadang-kadang mereka melontarkan diri mereka seperti bintang beralih.
Sambar-menyambar. Aku pernah menyaksikan dua ekor elang berkelahi. Gagah benar.
Namun itu lebih cepat seperti Sikatan. Si Bongkok itupun sungguh luar biasa.
Aku heran kenapa bongkoknya itu sama sekali tidak mengganggu.”
JALADRI diam
sejenak. Kemudian meneruskan ceriteranya,
“Melihat
perkelahian itu aku menjadi malu pada diri sendiri. Apakah yang terjadi
seandainya aku yang harus bertempur melawan Bugel Kaliki itu. Namun demikian
aku tidak mau lari. Aku akan menunggu sampai pertempuran itu berakhir. Kalau
penolongku itu kalah dan binasa, biarlah aku binasa pula. Tetapi kalau ia
menang, biarlah aku sempat mengucapkan terima kasih kepadanya. Tetapi
pertempuran itu kemudian terganggu. Aku melihat bayangan lain yang datang di
tempat itu pula. Bersamaan dengan kehadiran orang kedua itu, aku lihat Bugel
Keliki berteriak nyaring, untuk kemudian melontar mundur dan lenyap di dalam
keremangan pagi. Orang yang bertempur melawannya sama sekali tidak mengejarnya.
Ia, sekarang berhadapan dengan orang yang datang terakhir. Namun agaknya mereka
tidak akan bertempur. Bahkan mereka berdua tampaknya seperti dua orang sahabat
yang baru bertemu. Mereka saling mengguncang tangan masing-masing.”
“Siapakah yang
datang kemudian? Juga tidak tahu?” tanya Wanamerta.
Jaladri
tertawa. Penjawi pun tertawa.
“Kiai…” jawab
Jaladri,
“Kepada orang
yang terakhir itu, aku sudah mengenalnya. Bahkan kalian juga mengenalnya.”
“Ya, siapa?
Kalau kau sudah mengenal, kami mengenal pula.” Sendang Parapat semakin tidak
sabar.
“Ki Ageng Sora
Dipayana,” jawab Jaladri.
“Oh….”
Terdengar orang-orang yang mendengar bergumam. Mereka menarik nafas lega,
seolah-olah merekalah yang terlepas dari ancaman maut. Jaladri berhenti pula
untuk sesaat. Kemudian ia meneruskan,
“Aku hanya
sempat mengucapkan terima kasih kepada orang yang tak kukenal itu. Tetapi aku
tidak sempat bertanya tentang dirinya sebab kemudian Ki Ageng Sora Dipayana
bertanya kepadaku, ‘Apa kerjamu di sini Jaladri?’ Aku menjadi ragu sebentar.
Tetapi kepada Ki Ageng Sora Dipayana aku tak dapat berkata lain, kecuali
mengatakan yang sebenarnya. Mula-mula aku menjadi cemas, jangan-jangan hal itu
tak dikehendaki oleh Ki Ageng, namun tiba-tiba Ki Ageng Sora Dipayana berkata,
‘Marilah. Hari hampir pagi. Sebentar lagi pertempuran akan dimulai’. Aku tak
dapat membantah. Aku ikuti Ki Ageng kembali ke pasukan Pamingit. Agaknya Ki
Ageng Sora Dipayana berada di dalam laskar yang menduduki Kepandak. Laskar ini
dipimpin oleh Wulungan. Sedang menurut Ki Ageng Sora Dipayana, induk pasukan
yang berada di Sumber Panas dipimpin langsung oleh Ki Ageng Lembu Sora sendiri.
Ketika kami hampir sampai, aku hanya mendengar orang asing itu berkata, ‘Kau
biarkan anakmu sendiri?’ ‘Tak ada pilihan lain’ jawab Ki Ageng Sora Dipayana. ‘Kalau
aku tak ada di sini, dan ada salah seorang dari setan-setan itu datang kemari,
seperti apa yang dilakukan oleh Bugel Kaliki itu, maka laskar ini akan habis
ludas’. ‘Kalau mereka beberapa orang menempatkan diri mereka untuk melawan
anakmu?’ jawab orang asing itu. ‘Ia membawa laskar lebih banyak. Aku sudah
menasehatkan untuk bertempur dalam kelompok-kelompok, untuk menghadapi mereka.
Dengan senjata jarak jauh atau senjata bertangkai panjang. Dan Lembu Sora telah
menyiapkan laskar panah sebaik-baiknya’. ‘Belum cukup’ jawab orang asing itu.
‘Untuk sementara, tak ada cara yang lebih baik. Tetapi aku percaya, kalau Lembu
Sora berotak cair, maka sedikit demi sedikit ia akan dapat mengatasi keadaan’
jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Ternyata ia kemudian meneruskan, ‘Soalnya
terserah kepada nasibnya. Mudah-mudahan Tuhan memaafkan
kesalahan-kesalahannya’. ‘Kalau begitu…’ orang asing itu menjawab, ‘biarlah aku
ikut serta dalam permainan ini. Aku akan bekerja bersama-sama dengan anakmu’.
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut, sampai langkahnya terhenti. ‘Kau…’ terdengar
suaranya dalam. Orang itu mengangguk, lalu terdengarlah ia tertawa. Sebelum Ki
Ageng Sora Dipayana menjawab orang itu telah melontarkan dirinya sambil
berkata, ‘Sebelum pagi, mudah-mudahan aku tidak terlambat’. Ki Ageng Sora
Dipayana hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Perlahan-lahan terdengar
gumamnya, ‘Terimakasih, terima kasih’. Tiba-tiba saja Ki Ageng Sora Dipayana
terkejut oleh suara kentongan jauh di Pamingit. Agaknya laskar orang-orang
hitam itu telah mempersiapkan diri mereka. ‘Ayolah, sebelum kita digilas oleh
hantu-hantu yang tak kenal perikemanusiaan itu’. Aku mengikuti di belakang Ki
Ageng. Di Kepandak, laskar Pamingitpun telah siap. Di hadapan mereka berdiri
dengan gagahnya, Wulungan. Di pinggangnya terselip sebuah pedang panjang,
sedang dilambungnya tampaklah sebilah keris. Ketika ia melihat Ki Ageng Sora
Dipayana datang, segera ia membungkukkan dirinya, tetapi ketika ia melihat aku,
tampaklah perubahan di wajahnya. Ki Ageng Sora Dipayana tahu perasaannya,
katanya, ‘Jangan hiraukan kehadiran Jaladri. Aku yang membawanya. Ia tidak akan
mengganggu kalian’. Wulungan tidak membantah, ia hanya mengangguk hormat.
Ketika cahaya merah di atas bukit-bukit sebelah timur telah semakin merata,
mulailah laskar Pamingit bergerak. Laskar inipun seperti laskar yang dipimpin
oleh Ki Ageng Lembu Sora, bergerak dalam kelompok-kelompok, dan bersenjata
jarak jauh. Agaknya mereka benar dipersiapkan untuk menghadapi setiap tokoh
dari golongan hitam itu, kelompok demi kelompok. Aku sendiri, yang tidak
tergabung dalam laskar itu, hanya selalu mengikuti kemana Ki Sora Dipayana
pergi. Dan Ki Agengpun sama sekali tidak keberatan.
JALADRI
meneruskan ceriteranya,
“Akhirnya Ki
Ageng itu memberi aku sebatang tombak sambil berkata, ‘Kalau kau terpaksa
mempertahankan dirimu Jaladri, pergunakan tombak ini. Kerismu terlalu pendek
untuk melawan Lawa Ijo atau Jaka Soka, atau kalau kau bertemu sekali lagi
dengan Bugel Kaliki’. Hatiku jadi berdebar-debar mendengar kata-kata itu. Laskar
Pamingit dapat melawan mereka dengan kelompok-kelompok mereka. Aku bagaimana?
Agaknya Ki Ageng Sora Dipayana memaklumi perasaanku, karena itu terdengar kata-
katanya ‘Kaupun harus membentuk kelompok tersendiri Jaladri. Nah, akulah orang
yang termasuk dalam kelompok kecilmu’. Aku menundukkan kepalaku, karena malu.
Ki Wulungan membawa laskarnya, melingkar ke Selatan dengan gelar Jinantra
Sawur. Lingkaran-lingkaran kecil yang bergerak bersama-sama dalam satu garis
yang menebar. Sungguh suatu yang bagus untuk melawan toko-tokoh yang biasa
bertempur perseorangan dan mempunyai kesaktian yang luar biasa seperti tokoh-
tokoh golongan hitam. Ketika terdengar sebuah tengara dari Wulungan, maka
dengan kecepatan yang sedang, laskar itu langsung menyerbu ke dalam pemusatan
laskar-laskar hitam. Dalam sepintas dari laskar hitam yang disediakan untuk
melawan mereka. Namun diujung laskar golongan hitam itu aku melihat dua orang
yang mengerikan. Seorang yang sudah aku kenal Bugel Kaliki, dan yang seorang
lagi, aku dengar namanya dari Ki Ageng Sora Dipayana, bernama Nagapasa”.
“Nagapasa…?”
Mahesa Jenar mengulang nama itu.
“Ya,” sahut
Jaladri.
“Melihat
mereka berdua Ki Ageng Sora Dipayana memanggil Wulungan, katanya, ‘Wulungan,
lawanlah Bugel Kaliki. Bawalah sedikitnya dua kelompok laskar panahmu. Jaga,
jangan sampai salah seorang dari kamu mendekat, dan jagalah supaya kau dan
kelompokmu tidak kehabisan tenaga. Orang itu mampu bertempur sehari penuh
dengan kesegaran yang sama, bahkan berhari-hari’. Wulungan mengangguk sambil
menjawab, ‘Baik Ki Ageng, akan aku bawa tiga kelompok terkuat dari anak buahku.
Yang lain akan dipimpin oleh adi Gupita, melawan laskar hitam itu’. ‘Bagus’
jawab Ki Ageng Sora Dipayana. Kemudian kepadaku Ki Ageng itu berkata, ‘Jaladri.
Aku harus melayani musuh yang tak dapat diduga-duga tabiatnya. Ia dapat berlaku
lunak, tetapi ia dapat bengis seperti setan. Karena itu lebih baik bagimu untuk
memperkuat kelompok-kelompok yang akan dibawa oleh Wulungan melawan musuhmu
pagi tadi’. Aku tak dapat membantah, meskipun aku tahu bahwa Wulungan agak
bimbang menerima titipan itu. Ketika aku berjalan di samping Wulungan menuju
kekelompok pertama, aku berkata kepadanya, ‘Jangan curigai aku. Aku tak akan
mengganggumu. Sebab hidup matiku sekarang berada di dalam kerjasama antara kita
dan laskarmu’. Wulungan tersenyum. Jawabnya, ‘Aku mempercayaimu. Aku kira
setiap orang didalam laskar Arya Salaka berlaku jantan seperti pimpinan
mereka’. Aku tidak tahu maksudnya. Apakah ia benar-benar memuji, ataukah ia
sedang menyindir aku. Tetapi kemudian kami tak sempat berkata-kata lagi.
Wulungan memerintahkan beberapa orang untuk memberitahukan tugas-tugas mereka.
Tiga kelompok kemudian saling mendekat dan menuju satu sasaran, sedang yang
lain masih di tempatnya masing-masing, di bawah pimpinan seorang yang cukup
mempunyai wibawa, Gupita. Laskar hitam itupun kemudian maju menyongsong lawan
mereka. Mereka sama sekali tidak mempergunakan gelar perang, atau gelar mereka
mirip dengan gelar Gelatik Neba. Namun tampaklah betapa mereka percaya pada
diri mereka masing-masing. Terbayanglah diwajah mereka, kebiadaban dan
keganasan yang pernah mereka lakukan dan akan mereka lakukan. Di dalam mata
mereka seolah-olah tampaklah goresan-goresan nama-nama dari korban-korban
mereka yang berpuluh-puluh jumlahnya. Aku pernah mengalami beberapa kali
pertempuran. Namun kali ini aku benar-benar berdebar-debar. Di sekitarku berjalan
orang-orang yang kurang aku kenal, baik tabiatnya maupun cara-cara mereka
mempergunakan senjata. Akupun tidak mengetahui apakah mereka menganggap aku
lawan mereka atau musuh mereka. Namun demikian akhirnya aku harus melekatkan
kepercayaan kepada diri sendiri. Betapapun ringkihnya aku ini, namun aku hanya
dapat mengeluh dan menyadarkan diri kepada kepercayaan itu, dilambari oleh
pasrah diri kepada pepestan, kepada kuasa tangan Yang Maha Kuasa. Demikianlah
akhirnya kedua laskar ini bertemu. Sesaat sebelum pertempuran berkobar,
Wulungan berbisik kepadaku, ‘Jaladri, kami saat ini akan bertempur di atas
tanah persawahan. Batang-batang padi ini sebentar lagi akan hancur
terinjak-injak oleh kaki-kaki kami. Namun tanah persawahan ini akan memberikan
kesegaran dalam jiwa kami. Karena untuk tanah inilah kami sekarang sedang
menyabung nyawa. Meskipun batang-batang padi ini akan hancur, namun besok di
atasnya akan dapat kami tanami kembali, dengan batang-batang padi yang lebih
segar. Sebab kami tebarkan pupuk di tanah ini dengan darah putra-putra terbaik
dari tanah ini’. Aku terharu mendengar kata-katanya. Sedang dari matanya
terpancar ketulusan hatinya serta kesediaannya berkorban untuk tanahnya. Sesaat
kemudian kami dikejutkan oleh teriakan-teriakan ngeri. Orang-orang hitam itu
berloncatan sambil memekik-mekik. Senjata-senjata mereka gemerlapan dalam
cahaya pagi. Pada saat yang hampir bersamaan, melontarlah senjata-senjata
anak-anak Pamingit. Berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus anak panah bertebaran
di udara. Tetapi orang-orang golongan hitam itu memutar senjata mereka menjadi
gulungan perisai yang sangat rapat. Akhirnya pertempuran tak dapat dihindari.
Orang-orang Pamingit terpaksa meletakkan busur-busur mereka dan menarik
pedang-pedang mereka. Sehingga sesaat kemudian, riuhlah pertempuran itu dengan
dentang senjata beradu, pekik yang mengejutkan dari orang-orang golongan hitam
itu. Wulungan dengan kelompoknya langsung menyiapkan diri mereka dan memancing
Bugel Kaliki untuk melibatkan dirinya. Anak-anak dalam kelompok ini agaknya
benar-benar terpilih. Mereka tidak melemparkan panah mereka berlebih-lebihan.
Satu-satu saja, mengarah kepada si Bongkok yang mengerikan itu. Akhirnya
marahlah Bugel Kaliki. Seperti serigala yang menggeram, kemudian langsung
melompat dan menyerbu kedalam laskar Wulungan. Cepat anak buah Wulungan
memencar diri. Mereka menyerang dengan panah mereka. Tak berhambur-hamburan,
namun cukup memberi perlawanan yang kuat terhadap hantu dari Gunung Cerme itu.
Bugel Kaliki kemudian menjadi benar-benar marah. Agaknya ia benar-benar tidak
biasa mempergunakan senjata. Sehingga ketika anak panah menyambar-nyambar
semakin banyak, ia menjadi agak bingung. Aku menduga bahwa orang itu sama
sekali tidak kebal dari senjata. Tiba-tiba terjadilah suatu yang tidak kami duga-duga.
Bugel Kaliki melepas kain panjangnya. Sesaat kemudian kain itupun telah
berputar dan menyambar setiap anak panah yang diarahkan kepadanya. ‘Gila,’
gerutu Wulungan, namun anak buahnya menyerang terus. Bugel Kaliki berloncat
seperti kijang, dan sekali-kali ia menyambar orang-orang terdekat. Namun
demikian ia menyerang, sehingga ia terpaksa untuk menangkisnya. Demikianlah
pertempuran yang aneh itu berlangsung. Meskipun demikian, hantu yang bongkok
itu berhasil pula mendapatkan beberapa orang korban. Sungguh suatu kejadian di
luar kemampuan untuk mengatakan, apakah yang sudah dilakukannya. Namun Wulungan
dengan anak buahnya berjuang dengan gigihnya. Hanya karena jumlah mereka yang
sangat banyaklah maka Bugel Kaliki tidak dapat membunuh mereka. Apa yang dikatakan
oleh Ki Ageng Sora Dipayana ternyata benar. Bugel Kaliki itu benar-benar tidak
berkurang tenaganya. Ketika matahari telah mencapai puncaknya, orang itu masih
saja segar seperti semula. Untunglah bahwa Wulungan telah mengatur anak
buahnya, sehingga mereka tidak menumpahkan seluruh tenaga mereka.
Berganti-ganti mereka menempatkan diri mereka di garis pertama, sehingga dengan
demikian mereka telah menghemat tenaga mereka. Gupita pun ternyata adalah
seorang pemimpin yang baik. Ia dapat menguasai laskarnya sebaik-baiknya.
Meskipun orang-orang dari golongan hitam itu menyerbu dengan tak teratur, namun
mereka tetap melawan dalam gelar yang baik. Pada dasarnya setiap orang dari
golongan hitam itu mempunyai kelebihan dari setiap orang di dalam laskar Gupita,
namun karena kerja sama mereka lebih rapi serta jumlah mereka lebih banyak,
maka merekapun dapat memberikan perlawanan yang cukup. Sedang di tempat lain,
aku lihat Ki Ageng Sora Dipayana terikat dalam pertempuran melawan Nagapasa.
Mereka berdua ternyata memiliki banyak kelebihan daripada manusia biasa seperti
aku ini. Melihat cara Ki Ageng bertempur, aku menjadi bangga hati. Seolah-olah
terbayang kembali masa kanak-kanakku. Masa Daerah Perdikan Pangrantunan
mengalami masa-masa yang cemerlang. Tak seorangpun yang mengganggu perkelahian
kedua orang itu. Baik laskar dari golongan hitam maupun laskar Pamingit.
Seolah-olah mereka dibiarkan berbuat sesuka hati mereka. Tetapi aku tak sempat
menyaksikan lebih lama. Sebab di hadapanku menyambar-nyambar dengan dahsyatnya
Si Bongkok dari Gunung Cerme. Aku tidak mau menjadi korban begitu saja. Karena
itu, akupun berusaha untuk melindungi diriku sebaik-baiknya. Bahkan ternyata
orang-orang Pamingit itupun tidak membiarkan aku terbunuh tanpa pembelaan.
Setiap Bugel
Kaliki mencoba menyambar aku, orang-orang Pamingit itupun selalu melindungi aku
dengan panah-panahnya, atau dengan pedang-pedangnya. Demikian pertempuran itu
berlangsung sehari penuh. Tak dapat dikatakan siapa yang memperoleh kemenangan,
selain korban jatuh satu demi satu dari keduabelah pihak. Pertempuran itupun
masih belum berkisar dari medan yang sama. Meskipun keduabelah pihak berusaha
keras untuk mendesak lawan-lawan mereka. Orang-orang hitam yang marah itu
mencoba mengusir orang-orang Pamingit dari Kepandak, sedang orang-orang
Pamingit berusaha untuk mendesak orang-orang hitam itu masuk ke dalam kota,
atau meninggalkan Pamingit sama sekali. Namun mereka masing-masing terpaksa
mengakui kegigihan lawan. Sehingga ketika matahari telah tenggelam di balik
ujung-ujung perbukitan di sebelah barat, terasa betapa letih menyusup ke dalam
tubuh. Karena itu, ketika terdengar tanda-tanda untuk menghentikan pertempuran,
kedua belah pihak yang telah tenggelam dalam kepayahan yang sangat, segera
menarik diri mereka masing-masing.
Orang dari
golongan hitam, yang biasanya tidak mengenal waktu untuk bertempur, saat itupun
agaknya benar-benar telah kehabisan tenaganya. Merekapun segera menarik pasukan
mereka, dan mengundurkan diri dari garis pertempuran. Hanya Wulungan lah yang
agak sulit melepaskan diri dari serangan-serangan Bugel Kaliki. Meskipun malam
menjadi semakin gelap. Untunglah bahwa orang tua itupun akhirnya merasa perlu
untuk menghentikan pertempuran, sebab di dalam gelap malam, panah-panah orang
Pamingit itu menjadi semakin tidak jelas, dan dengan demikian Bugel Kaliki
merasa bahwa bahayanya menjadi semakin besar. Ki Ageng Sora Dipayanapun
menghentikan pertempuran pula. Aku tidak tahu, bagaimana mereka berjanji,
sehingga mereka masing-masing meninggalkan medan itu pula. Pertempuran di hari
pertama itu berakhir. Dan berakhir pula ceriteraku. Malam itu aku mohon ijin
untuk meninggalkan Pamingit. Sebab aku telah berjanji dengan Kakang Penjawi. Ki
Ageng Sora Dipayanapun tidak menahan. Namun demikian Ki Ageng berpesan, ‘Jaladri.
Sampaikan apa yang kau lihat kepada cucuku. Katakan bahwa hari ini, berapa
puluh orang dari Pamingit telah jatuh menjadi korban di Kepandak dan mungkin
juga di Sumber Panas. Aku mengharap, sebentar lagi Lembu Sora akan mengirimkan
orangnya kemari, mengabarkan apa yang telah terjadi. Tetapi yang pasti, bahwa
besok akan jatuh pula korban-korban baru. Aku tidak tahu berapa hari
pertempuran akan berlangsung. Dan aku tidak tahu apakah kami akan berhasil
mengusir orang-orang golongan hitam itu dari Pamingit. Salamku buat cucuku,
buat Angger Mahesa Jenar serta sahabat-sahabatnya, serta buat Wanamerta yang
setia. Kalau laskar Pamingit tidak mampu lagi bertahan di Kepandak, kami akan
mundur ke Pangrantunan, sedang laskar Lembu Sora harus bergabung pula ke sana’.
Suara Ki Ageng Sora Dipayana kemudian menurun ‘Entahlah. Apakah aku masih akan
dapat bertemu dengan cucuku itu’.”
Jaladri
mengakhiri ceriteranya. Dari wajahnya terbayang perasaannya yang muram. Agaknya
pesan Ki Ageng Sora Dipayana itu sangat berkesan di hatinya. Suasana di pendapa
itu menjadi sepi hening. Masing-masing duduk dengan tenangnya. Ada sesuatu yang
tersangkut di dalam dada mereka. Sehingga akhirnya suasana sepi itu dipecahkan
oleh suara Arya Salaka mengejutkan,
“Apa yang kau
lihat di Sumber Panas, Kakang Penjawi?”
Penjawi
terkejut. Ia mengangkat wajahnya memandang Arya Salaka. Kemudian
diperhatikannya satu demi satu setiap wajah dari mereka yang duduk di pendapa
itu. Setelah menarik nafas dalam-dalam iapun menjawab,
“Aku tidak
mengalami pertempuran seperti Adi Jaladri. Namun aku dapat menyaksikan sebagian
darinya, sedang sebagian aku dengar dari orang Banyubiru yang telah aku hubungi
sebelumnya. Di Sumber Panas, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti pun
mempunyai pekerjaan yang berat. Sebab di antara orang-orang hitam yang harus
dilawannya terdapat Sima Rodra, Pasingsingan dan Sura Sarunggi.”
“Ketiga-tiganya
berkumpul?” potong Arya.
“Ya, ditambah
dengan Lawa Ijo dan Jaka Soka,” sambung Penjawi.
“Gila….” desis
Wanamerta.
“Ya…” Penjawi
meneruskan,
“Karena itulah
maka mereka mengalami tekanan yang luar biasa. Untunglah bahwa orang asing yang
diceriterakan oleh Adi Jaladri, benar-benar datang ke Sumber Panas. Dari jauh
aku tidak dapat melihat bagaimanakah bentuk tubuh serta wajahnya. Namun dari
sekian banyak orang, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa orang itu memiliki
kesaktian yang tak ada bandingnya. Ia dapat melawan salah seorang dari tokoh
hitam itu seorang diri, sedang Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti,
masing-masing memerlukan beberapa puluh orang untuk membantunya. Apalagi
kelompok-kelompok lain. Mereka harus berjuang mati-matian melawan Lawa Ijo dan
Jaka Sora.”
Ketika Penjawi
berhenti berceritera, kembali pendapa itu menjadi sepi. Sehingga tarikan nafas
mereka yang lebih cepat dari biasa, menjadi semakin terang. Sesaat kemudian
Penjawi meneruskan,
“Korban
berjatuhan. Namun laskar Pamingit jauh lebih banyak dari laskar golongan hitam
itu, sehingga pekerjaan orang dari golongan hitam itupun tidak ringan. Meskipun
demikian, tampaklah setapak demi setapak mereka mendesak maju. Ki Ageng Lembu
Sora terpaksa menarik diri, dan mempergunakan segenap tenaga cadangan yang ada.
Sehingga dengan demikian korbannyapun menjadi semakin banyak. Meskipun beberapa
puluh orang dari golongan hitam itu jatuh pula, namun keadaan laskar Ki Ageng
Lembu Sora tak menyenangkan. Kekuatan Ki Ageng Lembu Sora telah dikerahkan
ketika matahari telah berada sejengkal di atas punggung bumi. Namun karena
tekanan yang dahsyat, maka laskar itupun terpaksa menarik diri. Untunglah bahwa
senja turun. Sehingga ketika laskar Pamingit telah mempergunakan kekuatan
terakhirnya, jatuhlah malam dengan cepatnya. Sungguh suatu pertolongan yang
tiada taranya. Ketika itu, laskar Pamingit telah terpaksa meninggalkan Sumber
Panas dan mundur beberapa tonggak ke pedukuhan di belakangnya. Aku sekali lagi
mencoba mencari orang-orang Banyubiru yang berjanji akan memberi aku beberapa
keterangan. Dari orang itulah aku mendengar bahwa orang asing yang tak kukenal
itu mencoba memberi beberapa petunjuk kepada Lembu Sora. Ia mengharap
setidak-tidaknya besok pagi, laskar Lembu Sora dapat bertahan di tempatnya.
Tetapi aku tidak sempat melihat pertempuran hari ini. Mudah-mudahan orang asing
itu dapat memberi sekedar nafas kepada laskar Pamingit.”
Penjawi
berhenti berceritera. Sekali lagi ia memandang wajah Arya Salaka. Dilihatnya
keringat mengalir dari keningnya. Matanya tajam menatap lantai di hadapannya.
Pendapa itu kembali digenggam oleh kesepian. Ceritera Penjawi dan Jaladri
menumbuhkan perasaan yang aneh. Tidak saja pada Arya Salaka, tetapi juga setiap
hati para pemimpin laskar Banyubiru.
Berkali-kali
terngiang di telinga mereka,
“Korban
berjatuhan. Korban berjatuhan. Dan korban pada laskar Pamingit itu masih akan
bertambah-tambah.”
DALAM kediaman
itu terdengar Mahesa Jenar bertanya,
“Penjawi atau
Jaladri, tahukah engkau bagaimana bentuk tubuh orang yang tak kau kenal itu?”
Penjawi
menggeleng, tetapi Jaladri menjawab,
“Sungguh tak
tersangka bahwa orang itu mempunyai kesaktian yang mengaggumkan. Tubuhnya tidak
lebih gagah dari seorang perempuan. Suaranyapun kecil, nyaring seperti suara
perempuan.”
“Titis
Anganten…” potong Mahesa Jenar cepat-cepat.
“Orang sakti
dari Banyuwangi.”
“Titis
Anganten…?” ulang Kebo Kanigara dan Arya Salaka hampir berbareng.
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar.
“Aku pernah
ditolongnya pula dari terkaman Sima Rodra tua.”
“Aku pernah
mendengar namanya,” gumam Kebo Kanigara,
“Ayah pernah
menyebut-nyebutnya.”
“Ia datang
tepat pada waktunya,” sahut Mahesa Jenar.
Lalu suasana
menjadi sepi kembali. Masing-masing hanyut dalam angan-angan mereka sendiri.
Dalam keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara Arya Salaka,
“Nah, kalian
telah mendengar apa yang telah terjadi di Pamingit.”
Tak seorangpun
yang menyahut. Mereka masih tetap dalam kediaman yang beku. Ketika tak
seorangpun yang bersuara, bertanyalah Mahesa Jenar,
“Apakah yang
akan kau lakukan Arya?”
Arya tidak
segera menjawab. Ia memandang berkeliling, seolah-olah ia minta pertimbangan
dari mereka. Meskipun demikian, otaknya yang cerdas segera menangkap maksud
pertanyaan gurunya. Di dalam dadanya selalu berdentang pesan eyangnya kepada
Jaladri: Aku tidak tahu apakah kami akan berhasil mengusir orang-orang golongan
hitam itu dari Pamingit, dan seterusnya. Entahlah, apakah aku masih dapat
bertemu dengan cucuku itu.-
Maka kemudian
iapun berkata lantang,
“Nah, apa kata
kalian? Bukankah dalam keadaan yang sulit itu, kita dapat mempergunakan
kesempatan sebaik-baiknya? Hari ini kita akan dapat menghancurkan laskar
Pamingit itu. Dengan demikian Banyubiru akan menjadi milik kita. Bahkan
Pamingit pun kemudian akan kita duduki setelah kita berhasil menumpas laskar
dari golongan hitam.”
Para pemimpin
laskar Banyubiru itu tiba-tiba terkejut mendengar kata-kata Arya Salaka.
Meskipun mereka datang ke perbatasan untuk maksud itu, namun tiba-tiba terasa
sesuatu keganjilan di dalam dada mereka.
“Kenapa kalian
diam?” tanya Arya Salaka.
“Kesempatan
ini tak akan berulang.”
Para pemimpin
Banyubiru itu masih diam. Mereka tidak tahu perasaan apa yang bergolak di dalam
dada mereka sendiri. Hanya Mahesa Jenar yang kemudian menjadi gelisah. Namun ia
masih berdiam diri pula. Ia sedang meraba-raba maksud pertanyaan muridnya itu,
dengan suatu kepercayaan yang penuh, bahwa muridnya adalah seorang yang berhati
jantan, namun berotak cemerlang. Karena itu ia masih menanti maksud Arya
Salaka. Memang Arya Salaka benar-benar seorang pemuda yang cakap. Ia dapat
melihat keadaan dengan cermat. Dalam saat yang pendek, ia dapat merasa bahwa
hatinya bergolak ketika ia mendengar ceritera Panjawi dan Jaladri. Demikian
pula agaknya perasaan yang bergetar di dalam dada setiap pemimpin laskar
Banyubiru itu. Bagaimanapun mereka membenci dan bahkan mereka telah berjanji
untuk berjuang mati-matian mengusir orang-orang Pamingit dari Banyubiru, serta
kalau perlu mereka akan saling membunuh untuk mempertahankan kesetiaan mereka,
namun demikian, ketika mereka mendengar bahwa orang-orang Pamingit mengalami
tekanan yang berat dari golongan hitam, timbullah perasaan yang lain di dalam
diri mereka. Sebab apapun yang terjadi di antara mereka, permusuhan yang
bagaimanapun tajamnya, namun orang Banyubiru dan Pamingit adalah orang-orang
dari cabang aliran darah yang sama. Mereka semula adalah orang-orang dari
daerah perdikan Pangrantunan. Ayah-ayah mereka, kakek-kakek mereka telah
bersama-sama bekerja untuk tanah ini. Banyubiru dan Pamingit.
Bagi orang
Banyubiru, orang-orang Pamingit adalah orang-orang yang masih bersangkut paut
dengan darah keturunan mereka. Di Pamingit tinggallah kemenakan-kemenakan
mereka, atau sepupu mereka atau paman mereka. Demikian pula sebaliknya.
Sehingga dengan demikian, apakah mereka akan merelakan darah mereka yang
mengalir didalam tubuh saudara-saudara mereka itu memercik dari luka-luka
mereka, karena pokal orang-orang golongan hitam? Karena pertanyaan-pertanyaan
itulah, maka mereka masih tetap berdiam diri.
Agaknya Arya
Salaka telah mengamati keadaan dengan tepatnya. Sekali lagi ia memandang
gurunya. Demikian Mahesa Jenar memandang langsung mata muridnya, tahulah ia apa
yang tersirat di hatinya. Karena itu iapun menjadi terharu. Tetapi ia tidak
berkata apapun, selain beberapa kali mengangguk-anggukkan kepalanya. Yang
terdengar kemudian adalah suara Arya Salaka.
“Paman-paman
sekalian, pemimpin laskar Banyubiru yang setia. Agaknya aku tahu apa yang tersimpan
di dalam dada kalian. Ketika aku ajukan beberapa pertanyaan kepada kalian,
tetap berdiam diri, sebab kalian tidak menyakini apa yang bergolak didalam dada
kalian. Karena itu, cobalah, biar aku menebaknya. Bukankah kalian merasa bahwa
kalian tidak rela mendengar ceritera bahwa saudara-saudara kalian terpaksa
mengalami tekanan yang berat dari golongan hitam? Bukankah kalian tidak rela
bahwa orang-orang hitam itu akan menguasai Pamingit? Gumpalan dari tanah
perdikan Pangrantunan yang perkasa? Tanah Perdikan yang dengan susah payah
dibangun oleh Eyang Sora Dipayana beserta kakek-kakek serta ayah-bunda kalian?”
Para pemimpin
laskar Banyubiru itu masih agak bingung. Mereka belum tahu benar arah
pembicaraan Arya Salaka.
AKHIRNYA Arya
Salaka berkata dengan terangnya, seperti terangnya matahari di siang yang panas
itu.
“Nah,
paman-paman sekalian. Yakinlah bahwa aku sependapat dengan kalian. Dengan
pertanyaan-pertanyaanku yang pertama, sebenarnya aku hanya ingin mendapatkan
keyakinan akan hati nurani kalian. Apakah kalian masih marah dan mendendam
kepada saudara-saudara kita dari Pamingit itu. Tetapi ternyata kalian telah
menempuh pergolakan perasaan, yang membendung perasaan dendam itu. Memang kita
seharusnya tidak mendendamnya, meskipun seandainya saudara-saudara kita dari
Pamingit itu masih tetap berada di pendapa ini. Kita datang untuk menegakkan
kebenaran, bukan untuk melepaskan dendam kita.”
Para pemimpin
laskar Banyubiru itu tiba-tiba menegakkan kepala mereka. Untuk beberapa saat
mereka saling berpandangan.
“Kalau
demikian…” Arya meneruskan,
“Paman-paman
yang perkasa, tinggalkan pendapa ini segera. Kembalilah ke dalam pasukan
kalian, dan siapkanlah mereka. Kita bawa separo dari seluruh laskar Banyubiru
ke Pamingit.
No comments:
Post a Comment