DI rumah sebelah, lelaki tua itu mendengar tangis bayi melengking-lengking. Tanpa sesadarnya ia menoleh kepada anak kecilnya yang tidur di pelukan ibunya.
“Jangan
menangis,” desisnya kepada anak yang tidur itu. Anak itu memang tidak menangis.
Tetapi hati lelaki itulah yang menangis.
Istrinya tahu
bahwa suaminya sedang berpikir tentang bayi yang menangis itu, katanya,
“Mengungsi di
rumah sebelah.”
Suaminya tidak
menjawab. Perlahan-lahan ia duduk di amben beserta empat anak-anaknya tidur
berjajar. Wajah anak-anak itu tampak bersih bening; sebening udara pagi hari.
Tetapi mereka besok akan menggigil ketakutan; seandainya perang benar-benar
berkobar di perbatasan.
Suara
kaki-kaki kuda Arya masih menggemuruh, seperti suara guruh yang menjalar
sepanjang jalan, menuju ke alun-alun. Dalam kegelapan malam, Arya tidak sempat
melihat apakah di alun-alun itu banyak berjaga-jaga laskar Lembu Sora. Yang
dilakukan adalah menerobos alun-alun itu tepat di tengah-tengah. Di antaranya
sepasang beringin, yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun itu. Agaknya
alun-alun itu memang sepi. Laskar Lembu Sora hampir seluruhnya telah dikerahkan
di pemusatan-pemusatan laskar di garis pertempuran. Namun di muka rumahnya,
Arya masih melihat segerombolan orang yang agaknya bertugas menjaga rumah itu.
Mereka telah berada dalam kesiagaan penuh, ketika mereka mendengar tanda
kentongan yang mengumandang di garis perbatasan. Ketika mereka mendengar derap
kuda mendekati, merekapun segera memencar. Dari ujung alun-alun itupun muncul
pula segerombolan laskar cadangan. Tetapi demikian mereka siap, demikian Arya
telah berada di hadapan hidung mereka. Ketika ujung-ujung senjata mengarah
kepadanya, Arya menghentikan kudanya. Demikian juga orang-orang lain dalam
rombongan itu.
Dengan tangan
kirinya, Arya memegang tombak kebesarannya, sedang tangan kanannya diangkatnya
tinggi-tinggi, sebagai suatu pertanda bahwa ia datang untuk tujuan tanpa
kekerasan. Sebelum mendengar sebuah pertanyaan pun, para penjaga agaknya telah
mengenal beberapa orang diantara rombongan itu.
Wanamerta dan
Mahesa Jenar. Karena itu mereka menjadi sangat berhati-hati. Salah seorang dari
mereka kemudian melangkah maju. Ia berhenti beberapa langkah di hadapan kuda
Arya. Dengan seksama ia mencoba memperhatikan anak muda itu. Tetapi malam cukup
gelap dan cahaya obor di kejauhan hanya samar-samar sampai.
Sedang Arya
Salaka telah lenyap beberapa tahun semasa ia masih terlalu kecil untuk datang
dengan tombak di tangan. Sekarang, di punggung kuda itu duduk seorang anak muda
yang perkasa. Karena itu orang itu tidak segera dapat mengenal, bahwa anak muda
yang memegang tombak itu adalah Arya Salaka.
Kemudian
terdengarlah suara orang itu dengan garangnya,
“Siapakah kau
yang datang bersama-sama dengan Kiai Wanamerta dan Mahesa Jenar?”
Arya Salaka
tersenyum. Ia kenal orang itu. Ketika masa kecilnya ia sering datang ke
Pamingit, dan pernah dikenalnya pengawal pribadi pamannya itu.
Jawab Arya,
“Selamat malam Paman Wulungan. Apakah Paman lupa kepadaku?”
Wulungan
mengerutkan keningnya.
Sekali lagi ia
mengamat-amati anak muda itu. Namun sampai beberapa lama ia masih belum dapat
mengenalnya kembali. Tetapi akhirnya ia tidak perlu mengingat-ingatnya. Ia
dapat bertanya kepadanya. Tidakkah mustahil bahwa di Banyubiru dan Pamingit ini
semua orang mengenalnya sebagai seorang yang dipercaya untuk menjadi pemimpin
pengawal pribadi Lembu Sora beserta keluarganya? Karena itu sekali lagi ia
berkata garang,
“Jawab
pertanyaanku. Siapakah kau?”
Arya masih
tersenyum. Namun ia menjawab,
“Arya Salaka.”
“He…?” Orang
itu terkejut,
“Jadi kaukah
Angger Arya Salaka?”
“Ya,” jawab
Arya.
Orang itu
mengangguk-anggukan kepalanya. Untuk beberapa saat ia terbenam dalam ingatannya
beberapa tahun yang lalu. Ia selalu baik dan hormat terhadap anak ini, sebagai
putra Ki Ageng Gajah Sora. Tiba-tiba kali inipun ia bersikap hormat pula.
Sambil mengangguk ia berkata,
“Aku
benar-benar pelupa. Tetapi Angger telah tumbuh demikian cepatnya.”
Tiba-tiba ia
ingat akan tugasnya. Ia ingat tentang apa yang dikatakan Lembu Sora kepadanya,
bagaimanakah ia harus bersikap terhadap keturunan Gajah Sora atau
pengikut-pengikutnya. Karena itu dengan tiba-tiba pula ia mengubah sikapnya. Ia
mencoba untuk berkata dengan garang seperti semula, meskipun kewibawaan
Arya
mempengaruhinya.
“Jadi kau yang
menamakan diri Arya Salaka?”
Arya sudah
tidak tersenyum lagi. Ia melihat perubahan sikap itu.
Dengan tenang
ia menjawab, “Ya. Akulah Arya Salaka.”
“Apa perlumu
datang kemari?” Wulungan bertanya.
“Aku ingin
mengunjungi Kakek Sora Dipayana,” jawab Arya.
“Kau datang
dengan laskarmu?” tanya orang itu pula.
Kembali Arya
tersenyum, jawabnya,
“Sebagaimana
Paman Wulungan lihat. Aku datang hanya berenam.”
WULUNGAN
mengerutkan keningnya. Arya Salaka memang hanya berenam. Tetapi ia menegaskan,
“Siapakah yang
berbaris rapat di perbatasan?”
“Laskarku,”
jawab Arya Salaka pendek.
“Apakah dengan
demikian kau hanya berenam saja?” tanya Wulungan mendesak.
“Kalau aku
datang dengan seluruh laskarku, maka pertempuran pasti sudah berkobar,” jawab
Arya.
“Bukankah
maksudmu memang demikian?” sahut Wulungan.
Arya memandang
Wulungan dengan seksama. Perubahan sikapnya yang tiba-tiba, serta pertanyaannya
yang mendesak, mengingatkannya kepada kata-kata Srengga di gardu pertama.
“Duapuluhlima
bahu buat menangkap Arya Salaka. Hidup atau mati.”
“Janji yang
terkutuk,” desis hatinya.
Kemudian
kepada Wulungan ia berkata,
“Memang.
Maksudku adalah kembali ke Banyubiru. Disetujui atau tidak oleh Paman Lembu
Sora. Karena itu pertempuran bisa saja berkobar setiap saat. Nah, sebelum aku
dibunuh atau membunuh, aku ingin menghadap Eyang Sora Dipayana untuk
menyampaikan baktiku sebagai seorang cucu, serta mohon restu sebelum aku mulai
dengan tugas beratku ini.”
Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara terpaksa menahan napasnya mendengar jawaban Arya Salaka. Agak
terlalu keras. Namun mereka cukup mengerti, bahwa Arya berbicara dengan
Wulungan, pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora, tidak lagi kepada
Srengga. Dengan demikian Arya tidak perlu terlalu banyak merendahkan dirinya.
Terhadap orang seperti Wulungan, Arya memang harus mempertegas maksudnya.
Tetapi berbeda dengan dugaan Arya Salaka, Wulungan tidak mendesaknya lagi
seperti semula. Di dalam dada orang itu, timbullah kembali rasa hormatnya.
Memang Arya
Salaka sejak kecil menunjukkan sifat jantannya. Dengan demikian maka Wulungan
menjadi percaya, bahwa Arya Salaka itu benar-benar Arya Salaka yang dikenalnya
pada masa kecilnya. Karena itulah, maka ia menjadi lunak. Permintaan Arya untuk
bertemu dengan eyangnya bukanlah permintaan yang berlebih-lebihan. Apakah yang
akan dilakukan, kalau ia hanya datang berenam? Di hadapan Ki Ageng Sora
Dipayana yang sakti, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, mereka pasti tidak
akan dapat berbuat sesuatu kecuali benar-benar seperti apa yang dikatakan,
mohon restu dan menyampaikan bakti seorang cucu.
“Angger Arya
Salaka…” jawab Wulungan,
“Permintaan
Angger akan kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Terserah keputusan
yang akan diambilnya. Menerima atau tidak menerima kehadiran Angger.”
Arya Salaka,
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan Wanamerta menarik nafas panjang mendengar
keputusan Wulungan.
Terdengar Arya
Salaka perlahan-lahan berkata,
“Terimakasih
Paman Wulungan.”
Tetapi ketika
Wulungan memanggil seseorang untuk menyampaikan pesan itu kepada Ki Ageng Sora
Dipayana, terdengarlah suara tertawa nyaring, meskipun tidak terlalu keras.
Kemudian dari
dalam regol halaman terdengar suara,
“Agaknya kau
mempunyai pimpinan baru Paman Wulungan.”
Wulungan
terkejut seperti juga Arya Salaka, Wanamerta, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.
Karena itu tiba-tiba Wulungan terhenti di tempatnya seperti patung.
Perlahan-lahan ia menoleh dan mencoba melihat, siapakah yang berkata itu,
meskipun dengan mendengar suaranya ia sudah dapat menebaknya.
Sesaat
kemudian muncullah seorang anak muda dengan pedang yang besar di pinggangnya.
Sawung Sariti. Wulungan mengangguk hormat kepadanya, dan bertanya,
“Apakah maksud
Angger?”
“Akulah yang
berhak memberikan perintah, mengubah dan mencabut perintah, selain ayah Lembu
Sora,” katanya.
“Apa
perintahku yang aku ulangi sore tadi?” Wulungan menarik nafas panjang, sebab
tiba-tiba nafasnya terasa berhenti di kerongkongan.
Terhadap
Sawung Sariti sebenarnya Wulungan agak kurang senang. Sikapnya yang sombong,
keras dan menghina orang lain. Meskipun anak muda ini berhati baja pula. Namun
ia merasakan perbedaan sifat antara kedua anak muda yang kebetulan dua
bersaudara sepupu. Tetapi ia adalah pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu
Sora. Karena itu ia harus menjalankan pekerjaannya baik-baik.
Maka jawabnya,
“Angger
memerintahkan, tak seorangpun boleh memasuki kota, apalagi halaman rumah ini.”
“Bagus,” sahut
Sawung Sariti sambil menarik bibirnya.
“Apa yang akan
Paman kerjakan?”
“Mencoba
menyampaikan pesan angger Arya Salaka untuk Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab
Wulungan.
“Bagaimanakah
seharusnya Paman menjawab?” desak Sawung Sariti.
“Menolak
permintaan itu,” jawab Wulungan.
Namun ia
meneruskan,
“Tetapi ia
adalah Angger Arya Salaka, yang sekadar ingin bertemu dengan kakeknya.”
“Justru ia
menamakan diri Arya Salaka!” bentak Sawung Sariti. Wulungan terdiam. Ia tahu
sifat anak muda itu. Ia biasa membentak-bentaknya di hadapan laskarnya dengan
kata-kata yang menyakitkan hati.
Bahkan
kemudian Sawung Sariti berkata,
“Malahan ayah
Lembu Sora menyanggupkan hadiah duapuluhlima bahu bagi mereka yang dapat
menangkap anak muda yang menamakan diri Arya Salaka. Nah sekarang anak itu
telah datang menyerahkan dirinya.”
Wulungan masih
terdiam. Duapuluhlima bahu baginya sama sekali tidak berarti. Di Pamingit ia
memiliki tanah yang berlebihan. Bahkan tenaganya tak mampu lagi untuk menggarap
seluruhnya. Namun yang penting baginya, sikap yang demikian bukanlah sikap yang
jantan. Bukankah Arya Salaka dengan jantan datang tanpa pasukan untuk
menyampaikan sujudnya kepada kekeknya? Meskipun kakeknya berada di pusat kekuasaan
lawannya. Tetapi kemudian ia mencoba untuk melupakan tanggapannya itu. Bukankah
sudah sekian lama ia sendiri hanyut dalam arus ketidakjantanan sikap Lembu
Sora? Akhirnya ia sadar bahwa sikap Sawung Sariti lah yang telah mendesaknya
untuk menilai kembali setiap perbuatan yang pernah dilakukan.
SEBAGAI orang
yang jauh lebih tua, Wulungan kadang-kadang merasa sangat terhina oleh pokal
anak muda itu. Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu, sebab Sawung Sariti adalah
putra Ki Ageng Lembu Sora, putra seorang yang memberinya kedudukan dan pangkat.
Demikian juga kali ini. Ia tidak dapat berkata apapun, selain menundukkan
kepala.
“Tidakkah
Paman berusaha menangkapnya?” tanya Sawung Sariti.
“Sekarang
Angger ada di sini,” jawab Wulungan,
“Aku menunggu
perintah Angger.”
“Kalau aku
tidak datang bagaimana?” bentak Sawung Sariti.
Kembali
Wulungan terdiam. Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta, yang
menyaksikan peristiwa itu, perasaan mereka ikut tersinggung pula. Sikap yang
demikian bukanlah sikap yang tahu adat. Wulungan, meskipun ia adalah seorang
bawahan saja, namun ia berumur jauh lebih tua dari Sawung Sariti. Apalagi Arya
menganggap bahwa sikap Wulungan adalah bijaksana.
Karena itu
tiba-tiba timbullah keinginan untuk menarik perhatian Sawung Sariti, katanya,
“Adi Sawung
Sariti. Baiklah aku langsung minta ijin kepadamu, untuk menghadap Kakek Sora
Dipayana.”
Sawung Sariti
menoleh kepada Arya Salaka. Tetapi sesaat saja. Kemudian ia kembali memandangi
Wulungan.
“Paman.
Baiklah kalau aku harus memberikan perintah berulang kali. Meskipun Paman
seorang anggota laskar pengawal ayah Lembu Sora yang sudah kenyang makan garam.
Dengarlah Paman, tak seorangpun aku ijinkan masuk ke dalam kota, apalagi ke
dalam halaman rumah ini. Siapapun dan dengan alasan apapun.”
Wulungan masih
menundukkan kepalanya.
“Kau dengar,
Paman…?” tanya Sawung Sariti dengan lantang.
“Ya, aku
dengar,” jawab Wulungan.
“Nah.
Laksanakan,” perintah Sawung Sariti. Wulungan mengangkat mukanya. Dipandanginya
wajah Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya. Kemudian katanya dengan
tenang,
“Angger,
Angger telah mendengar perintah Angger Sawung Sariti. Tak seorangpun boleh
memasuki halaman ini, dengan alasan apapun.”
“Alangkah
liciknya anak muda itu,” pikir Arya. Ia hanya berkesempatan untuk berbicara
dengan Wulungan, yang hanya dapat menjalankan perintah. Namun demikian ia
mencoba untuk sekali lagi berbicara langsung kepada Sawung Sariti, katanya,
“Adi, dapatkah
Adi Sawung Sariti berlaku bijaksana? Aku hanya ingin sekadar menghadap Eyang
Sora Dipayana.”
Sawung Sariti
diam saja. Dengan senyum yang menyakitkan hati ia berkata kepada Wulungan,
“Lakukan
tugasmu baik-baik. Aku akan naik ke pendapa.”
“Gila!” Arya
Salaka berdesis. Ia adalah anak muda pula. Darahnya masih hangat-hangat panas.
Karena itu ia benar-benar merasa terhina. Maka ia berteriak keras-keras,
“Tak
seorangpun yang dapat menghalangi aku masuk ke halaman rumahku sendiri. Minggir
kalian, atau aku harus membunuh kalian.”
Tiba-tiba
pula, tombaknya telah berpindah di tangan kanannya. Ujungnya telah tunduk
setinggi dada orang yang berdiri di atas tanah. Semua yang mendengar suara Arya
Salaka itupun terkejut. Sawung Sariti terhenti pula. Cepat ia memutar tubuhnya
dan tangannya telah melekat di tangkai pedangnya. Ia melihat Arya telah siap menyerangnya.
Tetapi sebelum Arya Salaka mendorong kudanya menyerbu, terasa Mahesa Jenar
menangkap lengannya. Dengan tenang gurunya itu berkata,
“Tahan dirimu
Arya.”
Arya menarik
nafas. Wajahnya telah memerah darah, sedang darahnya rasa-rasanya telah mendidih
membakar seluruh tubuhnya. Dengan gemetar ia berkata,
“Apa yang
dapat aku lakukan. Aku datang ke kampung halamanku sendiri. Kenapa aku harus
mengalami penghinaan itu?”
“Sawung
Sariti…!” teriaknya,
“Jangan
berperisai orang setua Paman Wulungan. Hadapilah kedatanganku. Kasar atau
halus.”
Sawung Sariti
maju beberapa langkah. Jawabnya,
“Turunlah. Aku
bukan pengecut seperti yang kau sangka.”
Hampir saja
Arya meloncat turun, kalau sekali lagi Mahesa Jenar tidak mencegahnya.
“Jangan Arya,”
katanya,
“Sawung Sariti
bukanlah orang yang harus memberi keputusan terakhir.”
Nafas Arya
menjadi berdesakan meloncat dari hidungnya. Amat sulitlah baginya untuk dapat
menahan diri. Apalagi ketika kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak.
“Minggir
semua. Biarlah anak itu tahu bahwa Sawung Sariti mampu menjaga daerahnya. Mampu
melakukan pekerjaan yang diperintahkan kepada orang lain.”
Tetapi Mahesa
Jenar memegangi lengan Arya erat-erat.
“Jangan
layani. Kita tunggu perkembangan keadaan. Dengan teriakan-teriakan itu, mungkin
pemanmu Lembu Sora akan turun ke halaman dan akan memberikan kesempatan
kepadamu.”
Tubuh Arya
telah benar-benar gemetar. Tetapi ia masih mencoba menahan diri seperti nasihat
gurunya, meskipun ia terpaksa menggigit bibirnya. Wulungan dan anak buahnya
menyaksikan peristiwa itu dengan berdebar-debar.
Tiba-tiba saja
mereka meloncat mundur, ketika Sawung Sariti memerintahkan mundur. Yang
dilihatnya kemudian adalah Sawung Sariti tegak di tanah, dengan dada tengadah.
Ia memandang Arya Salaka dengan pandangan menghina seolah-olah Arya Salaka
adalah seorang yang sama sekali tidak patut mendapat pelayanan. Sedang di atas
punggung kuda, Arya duduk dengan tubuh menggigil menahan diri. Sekali-kali
terdengar giginya gemertak. Sedang dari matanya memancar api kemarahan.
Sekali lagi
terdengar Sawung Sariti menantang,
“Turunlah.
Atau kau akan bertempur di atas kudamu? Seperti cara para penyamun menyerang
korbannya, supaya ia dapat cepat melarikan diri?”
ARYA SALAKA
benar-benar terbakar. Ia benar-benar lupa diri. Dengan tidak diduga-duga Arya
merenggut lengannya dari pegangan gurunya. Dan sekali loncat ia sudah berdiri
di atas tanah dengan tombak Kyai Bancak siap di tangannya. Pada saat yang
bersamaan, berkilat-kilatlah pedang Sawung Sariti yang besar dan panjang dalam
genggaman jari-jarinya yang kokoh. Keadaan berkembang sedemikian cepatnya.
Ketika Mahesa Jenar menyusul, meloncat turun dari kudanya, ia sudah terlambat.
Kedua anak muda itu telah terlibat dalam suatu perkelahian.
“Arya….”
Terdengar Mahesa Jenar memanggil.
Tetapi Arya
Salaka tidak mendengar suara gurunya. Dengan garangnya ia meloncat langsung
menghadapi pedang Sawung Sariti yang berputar-putar seperti baling-baling. Arya
Salaka pun dengan lincahnya menggerakkan tombak pusakanya. Sekali-kali
melingkar dan sekali-kali mematuk. Cahayanya yang kebiru-biruan memancar
berkilau-kilau memantulkan sinar-sinar obor yang samar-samar sampai. Keduanya
bertempur dengan kemarahan yang menekan dada masing-masing. Wulungan dan anak
buahnya berdiri saja seperti patung. Mereka memang pernah mengenal cara Sawung
Sariti bertempur. Tangkas, tangguh dan lincah. Sebagai seorang cucu dari Ki
Ageng Sora Dipayana yang langsung mendapat tuntunan darinya, Sawung Sariti
benar-benar tidak mengecewakan. Seperti ayahnya, ia mampu menggerakkan pedang
yang sedemikian besarnya, seperti menggerakkan lidi. Karena itu, alangkah
berbahayanya pedang itu. Menyambar seperti burung elang, tetapi sekali-kali
memagut seperti ular, disertai angin yang berdesis mengerikan. Betapa kuatnya
tangan anak muda itu. Tetapi mereka menjadi kagum pula melihat lawan Sawung
Sariti itu. Dengan tombak pendek di tangan, ia mirip seperti burung rajawali
yang bertempur dengan kuku-kukunya yang tajam. Sekali Arya meloncat menjauhi
lawannya, tetapi tiba-tiba ujung tombaknya sudah menyambar dada Sawung Sariti,
bahkan tombak itu seperti menyerangnya dari segenap arah. Cahaya kebiru-biruan
yang dipancarkan dari mata tombak itu tampak melingkar-lingkar membingungkan.
Kedua anak
muda itu bertempur dengan sengitnya. Masing-masing memiliki ketangkasan,
ketangguhan dan keteguhan hati, disertai keahlian mereka menguasai senjata
masing-masing. Sehingga senjata-senjata mereka itu seperti dapat bergerak
dengan sendirinya, bahkan di ujung-ujung senjata itu seperti terdapat biji-biji
mata. Mahesa Jenar pun kemudian terikat pada pertempuran itu. Ia menempatkan
dirinya di muka regol halaman untuk menanti kemungkinan-kemungkinan yang tak
diharapkan. Sedang Kebo Kanigara untuk sementara masih berada di atas kudanya.
Ia masih sempat melihat berkeliling. Melihat para pengawal yang berdiri dengan
mulut ternganga. Melihat Wulungan yang tegak seperti patung, namun tangannya
telah meraba hulu pedangnya. Di halaman itupun ternyata para pengawal telah
siap dengan senjata masing-masing. Apalagi jatuh perintah Sawung Sariti untuk
bergerak, mereka akan serentak bergerak. Di pendapa, Kebo Kanigara melihat
seorang yang bertubuh besar, berdada bidang dengan kumis yang lebat di atas
bibirnya. Ia tidak begitu jelas, apakah tanggapannya terhadap perkelahian yang
terjadi itu.
Namun segera
Kebo Kanigara mengenal orang itu, Ki Ageng Lembu Sora. Ia melihat sepintas
kepada Wanamerta. Wanamerta pun kemudian meloncat turun. Demikian juga kedua
orang anak buahnya. Mereka segera meloncat turun pula. Di tangan mereka erat
tergenggam masing-masing sebuah obor, dan di dada mereka tersangkut sebuah
gendewa.
“Nyalakan
obor,” perintah Wanamerta.
“Obor akan
dapat menjadi senjata yang baik kalau diperlukan. Siapkan gendewamu dan anak
panah yang mungkin akan kita pergunakan.”
Kedua orang
itupun segera mempersiapkan alat-alat mereka. Yang seorang kemudian menyalakan
obornya, yang seorang lagi menyiapkan bumbung panahnya, dan menyangkutkan
bumbung itu di ikat pinggangnya. Gendewanya telah siap di tangannya pula.
Di halaman itu
pertempuran semakin bertambah sengit. Sawung Sariti yang bersenjata pedang,
bertempur dengan garangnya. Bahkan kemudian tampaklah pedangnya seperti
gulungan sinar putih yang mengerikan menyerang Arya Salaka dari segala arah.
Namun di antara sinar putih itu tampaklah cahaya yang kebiru-biruan,
sekali-kali melingkar dan sekali-kali meluncur dengan cepatnya seperti anak
panah yang lari dari busurnya mengarah ke tubuh lawannya. Kebo Kanigara pun
kemudian turun dari kudanya. Ia mengambil tempat yang cukup baik, menghadap ke
arah pendapa. Dengan demikian ia dapat langsung melihat apakah Ki Ageng Lembu
Sora akan mengambil sikap. Tetapi untuk sekian lama, orang itu tetap tegak
tanpa bergerak. Agaknya ia benar-benar tertarik melihat perkelahian itu. Kalau
semula ia yakin bahwa Sawung Sariti memiliki kekuatan dan keteguhan ilmu yang
membanggakan, namun dengan kenyataan itu ia melihat bahwa anak yang bernama
Arya Salaka itupun mampu mengimbanginya. Dengan permainan tombak yang manis dan
cepat, Arya Salaka sama sekali tidak dapat ditembus oleh serangan Sawung
Sariti. Bahkan kalau Sawung Sariti merasa memiliki kekuatan yang mengagumkan,
tiba-tiba ia harus mengakui bahwa kekuatannya setidak-tidaknya tidak melampaui
kekuatan Arya. Lembu Sora terkejut, ketika ia melihat pedang anaknya membentur
tombak Arya, ia mengharap tangan Arya menjadi sakit, dan bahkan ia mengharap
tombaknya terlepas dari tangannya. Tetapi ia menyesal. Tidak saja tombak anak
muda itu yang terpental, tetapi pedang Sawung Sariti pun ternyata seperti
membentur dinding besi. Bahkan Sawung Sariti terpaksa meloncat mundur untuk
memperbaiki pegangannya atas pedangnya. Karena itulah ia terpaksa melihat
perkelahian itu dengan menegang nafas.
PERKELAHIAN
yang sengit antara dua orang anak muda yang berdarah panas, yang sedang dikuasai
oleh kemarahan yang memuncak. Maka pada malam yang gelap itu, berkali-kali
terdengar dentang senjata beradu dibungai oleh percikan api yang
meloncat-loncat dari titik benturan kedua senjata itu. Mereka masing-masing
mencoba untuk menguasai keadaan. Bahkan masing-masing telah mengerahkan segenap
kekuatan dan ilmu mereka. Namun ternyata bahwa penderitaan Arya selama ini,
lahir dan batin, memberinya keteguhan lahir dan batin pula, sehingga ia
memiliki naluri yang lebih baik dalam pengerahan tenaga daripada Sawung Sariti.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar adalah dua orang yang cukup masak untuk menilai
keadaan. Ketika ia mulai melihat bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik
daripada keadaan Sawung Sariti, mereka menjadi cemas. Tidak aneh bahwa karena
itu, maka Ki Ageng Lembu Sora akan bertindak. Mengerahkan laskarnya untuk
menangkap Arya. Kalau demikian halnya, maka mereka berdua bersama Wanamerta
terpaksa ikut pula bermain-main, meskipun malam yang gelap itu dinginnya bukan
main. Dengan demikian Mahesa Jenar pun harus menilai keadaan di sekitar
perkelahian itu. Iapun kemudian mengamati Lembu Sora yang berdiri di pendapa.
Seperti Kebo Kanigara, iapun menaruh perhatian padanya. Kalau-kalau ia dengan
tiba-tiba bertindak, maka adalah kewajibannya untuk melindungi Arya Salaka.
Meskipun ia menjadi kecewa bahwa kedatangan rombongan kecil ini tiba-tiba telah
berkisar dari tujuan, namun Mahesa Jenar tidak dapat menyalahkan Arya Salaka.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa berkisar pula ketika mereka melihat
Lembu Sora turun dari pendapa dan perlahan-lahan berjalan mendekati titik
perkelahian. Dalam usapan sinar obor, tampaklah garis-garis wajahnya yang
tegang. Sekali-kali ia mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sekali-kali ia
menahan nafasnya. Perkelahian antara kedua anak muda itupun memang menjadi
bertambah sengit. Kedua senjata itupun menjadi semakin cepat bergerak dan
semakin berbahaya. Agaknya kedua-duanya telah memutuskan untuk menyelesaikan
perkelahian itu dengan membunuh lawannya atau dirinyalah yang terbunuh. Dengan
demikian keadaan menjadi semakin tegang.
Tetapi ketika
ketegangan telah memuncak, muncullah seorang tua dari antara laskar Banyubiru
yang berdiri berjajar mengeliling perkelahian itu. Dengan suara yang nyaring
terdengarlah ia berkata,
“Berhentilah.
Berhentilah berkelahi.”
Suara itu
mengumandang memenuhi halaman rumah itu. Namun karena Arya Salaka dan Sawung
Sariti benar-benar telah kehilangan pengamatan diri, maka suara itpun hampir
tak mereka dengar. Sehingga orang tua itu terpaksa meloncat mendekati sambil
mengulangi kata-katanya.
“Berhentilah
Sawung Sariti, berhentilah Arya Salaka.”
Bagaimanapun
juga Sawung Sariti dan Arya Salaka memusatkan segala perhatian mereka kepada
lawan masing-masing, namun orang tua itu berdiri dekat di sisi mereka, sehingga
bagaimanapun juga suara itupun mempengaruhi gerak-gerak mereka. Ketika gerak
mereka menjadi kendor, orang tua itupun meloncat semakin dekat dan mengangkat
kedua tangannya sambil berkata,
“Sudahlah.
Berhentilah. Lihatlah aku.”
Suara itu
benar-benar berpengaruh. Sawung Sariti dan Arya Salaka itupun tak dapat berbuat
lain, karena kewibawaan orang tua itu, selain berloncatan mundur.
“Bagus,” kata
orang tua itu kemudian.
“Kalian berdua
benar-benar mengagumkan. Berbanggalah aku mempunyai dua cucu yang perkasa tiada
taranya. Kalian berdua telah menunjukkan, betapa darah orangtua kalian mengalir
di dalam tubuh kalian. Sawung Sariti bertempur sebagai seekor harimau yang
garang, sedang Arya Salaka dapat menjadikan dirinya burung rajawali yang
perkasa. Berbahagialah aku. Berbahagialah aku.”
Orang tua itu
berhenti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sawung Sariti surut beberapa
langkah. Ia mengangguk kepada kakeknya. Tetapi ia tidak berkata sepatah
katapun. Namun demikian matanya yang merah, masih menyorotkan sinar kemarahan
kepada Arya Salaka yang diam terpaku di tanah. Dengan seksama Arya
mengamat-amati orang tua itu. Lima tahun lebih ia tidak bertemu. Dan tiba-tiba
orang tua itu kini berdiri dihadapannya dengan wajah sayu. Dan tiba-tiba pula
Arya teringat kepada maksud kedatangannya. Sebelum pecah perang antarsaudara
itu, ia benar-benar ingin bersujud di bawah kaki kakeknya serta mohon restu
kepadanya. Karena itulah maka tiba-tiba Arya meloncat maju. Betapa rasa haru
menguasai dirinya pada waktu itu, sehingga Arya Salaka pun kemudian menjatuhkan
diri pada lututnya di hadapan kakeknya sambil memeluk kaki orang tua itu.
“Eyang…”
desisnya.
Lalu suaranya
terputus oleh sesuatu yang seolah-olah menyekat kerongkongannya. Di dalam
dadanya banyak sekali kata-kata yang melingkar-lingkar, yang akan disampaikan
kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari
mulutnya.
Di dalam
dadanya banyak sekali kata kata yang melingkar lingkar, yang akan disampaikan
kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari
mulutnya. Ki Ageng Sora Dipayana memandang anak itu dengan mata suram. Di dalam
dadanya tersimpan pula rasa rindu kepada anak itu, yang telah sekian lama
hilang dari Banyu Biru. Karena itu, maka mata orang tua itu menjadi redup.
Dibelainya kepala Arya Salaka dengan kasih sayang seorang kakek kepada cucunya.
Kemudian dipegangnya lengan anak itu dan ditariknya berdiri.
“Berdirilah
Arya,” katanya perlahan.
Aryapun
kemudian berdiri. Tetapi wajahnya tunduk ke tanah. ia merasa bahwa ia tak
berani memandang wajah kakeknya. Tetapi orang tua itu mengangkat wajah Arya
sambil berkata
“Aku kagum
kepadamu cucu, seperti aku kagum kepada Sawung Sariti. Dengan demikian, tidak
sia sialah aku memiliki keturunan seperti kalian berdua.”
Arya Salaka
masih berdiam diri. Belum ada kata kata yang mampu melontar dari mulutnya.
Ketika tiba-tiba matanya menjadi panas. Arya menengadahkan wajahnya ke langit
seperti ia belum pernah melihat bintang yang bertaburan. Sementara itu Ki Ageng
Sora Dipayana memandang berkeliling halaman.
“Kakang
Wanamerta,” gumamnya.
Wanamerta
mendekati Ki Ageng Sora Dipayana yang telah bersama-sama memerintah tanah
perdikan ini puluhan tahun. Ki Ageng Sora Dipayana menepuk bahu Wanamerta
sambil berkata
“Syukurlah
kalau kau asuh cucuku ini dengan baik.”
Wanamerta
menggeleng
“bukan aku,
tetapi tuan berdua ini.”
Ki Ageng Sora
Dipayana memandangi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan mata yang berkilat
kilat. Katanya
“tuan ternyata
luar biasa. Cucuku benar benar telah menjelma menjadi murid dari cabang
perguruan Pengging yang perkasa. Ketika aku melihat caranya bertempur dengan
tombak pendeknya, segera aku teringat kepada sahabatku Ki Ageng Pengging Sepuh.
Namun karena sahabatku itu telah tiada lagi, maka aku yakin bahwa anggerlah yang
menjadi saluran ilmu itu.”
Mahesa Jenar
mengangguk sambil menjawab
“Sekedar untuk
memenuhi permintaan kakang GajahSora, supaya Arya Salaka mempunyai bekal buat
masa depannya.”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata
“Lembu Sora,
kenapa tidak kau persilahkan tamu tamumu untuk naik ke pendapa?.”
Lembu Sora
menggeram. tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Karena itu, dengan berat hati,
dipersilakan tamu tamunya untuk naik. Ketika para tamu bersama sama dengan Ki
Ageng Sora Dipayana dan Lembu Sora naik ke pendapa, Sawung Sariti menggigit
bibirnya. Ia tidak ikut serta dengan mereka, tetapi segera masuk rumahnya
dengan wajah tegang.
Wulungan serta
anak buahnyapun menjadi seperti orang tersadar dari mimpi. Pertempuran itu bagi
mereka merupakan suatu pertunjukan yang mengagumkan. Dua anak yang masih semuda
itu, telah dapat menunjukkan kemampuan mereka yang luar biasa.
“Yang seorang
adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana selain cucunya, karena itu wajar bahwa anak
muda itu menjadi perkasa,” berbisik Wulungan kepada anak buahnya.
“Namun yang
seorang itupun sangat mengagumkan. Siapakah gurunya itu?”
“Mahesa
Jenar,” jawab salah seorang anak buahnya.
“Aku sudah
tahu,” bentak Wulungan, namun perlahan lahan pula,
“tetapi maksudku,
siapakah Mahesa Jenar itu? menurut dugaanku serta menurut cerita yang aku
dengar Mahesa Jenar memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun ia tidak
lebih dari pada Sora Dwipayana sendiri. lalu bagaimana mungkin muridnya
menyamai murid Sora Dwipayana yang sakti itu?.”
Anak buahnya
mengangguk anggukkan kepala mereka. Pemimpinnya menjadi heran oleh kenyataan
itu, apalagi mereka.
Di pendapa,
Sora Dwipayana segera mempersilahkan tamunya untuk duduk melingkar diatas tikar
pandan yang putih. Dengan ramah ia menemui mereka seperti ia menemui sahabat
lama yang telah lama berpisah. Apalagi kepada Arya Salaka. Betapa rindu seorang
kakek terhadap cucunya, seperti juga betapa rindu Arya kepada kakeknya. Dengan
memandangi tubuh Arya, seperti tak akan pernah puas, Sora Dwipayana berkata
“Tubuhmu mekar
seperti ilalang di musim hujan Arya. Meskipun diwajahmu tersirat, betapa keras
derita yang kau alami selama ini, namun demikian kau menjadi batu karang yang
kokoh kuat, tak hanyut oleh banjir yang bagaimanapun besarnya, tak goyah oleh
angin yang bagaimanapun kencangnya.”
Arya
menundukkan wajahnya. Ia menjadi terharu kembali mendengar pujian itu, seperti
anak-anak yang terjatuh dan ditanyakan kepadanya
“apakah kau
terjatuh, sayang.”
Lembu Sora
menjadi tidak senang mendengar pujian itu. Sebagai seseorang yang selalu
membanggakan diri serta putera satu satunya Sawung Sariti, maka baginya pujian
itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, tiba-tiba ia minta diri kepada
ayahnya, untk sesuatu keperluan di belakang. Sora Dwipayana mengerti perasaan
putera bungsunya itu. Karena itu tidak melarangnya. Sepeninggal Lembu Sora,
Mahesa Jenar merasa lebih bebas untuk mengemukakan pendapatnya sebab dengan
demikian, ia dapat mengatakan apa saja yang tersimpan didalam hatinya, didalam hati
muridnya.
“Ki, Ageng,”
berkata Mahesa Jenar kemudian,
“aku telah
mencoba memenuhi perintah ki Ageng, membawa Arya Salaka kemari. Mudah-mudahan
Ki Ageng dapat menerima bhaktinya. Selain suatu kemungkinan yang baik bagi masa
depannya, dan bagi rakyatnya. Tetapi aki menyesal bahwa kehadirannya telah
ditandai oleh suatu perkelahian yang sama sekali tak dikehendakinya. Namun itu
sama sekali bukan salahnya.”
Sora Dwipayana
mengangguk anggukkan kepalanya.
KI AGENG Sora
Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku tahu
Angger. Memang Arya Salaka tidak dapat dipersalahkan kalau ia terpaksa turun
dari kudanya dan langsung terlibat dalam perkelahian itu. Sebagai anak muda
yang pernah aku alami pula, darahnya tak sedingin darah orang tua-tua ini.”
Mahesa Jenar
mengangkat wajahnya, sahutnya,
“Jadi Ki Ageng
melihat sejak awal kejadian itu?”
“Ya,” jawab Ki
Ageng Sora Dipayana.
“Aku melihat
sejak semula dari antara laskar Lembu Sora. Tetapi sengaja aku membiarkan
mereka bertempur, sebab tiba-tiba timbullah keinginanku untuk mengetahui,
sampai di mana kemampuan Arya Salaka. Sudah sekian lama anak itu meninggalkan
aku. Dan sekarang ia dihadapankan pada suatu tugas yang berat, yang mungkin
harus dihadapi dengan tenaganya.”
“Sekarang Ki
Ageng telah melihatnya,” kata Mahesa Jenar.
“Aku telah
melihatnya. Dan aku kagum atas apa yang aku lihat.”
Ki Ageng
Dipayana meneruskan,
“Seperti
pernah aku katakan kepada Angger beberapa saat yang lalu, bahwa aku harus
menjadikan Lembu Sora dan Sawung Sariti benteng pertahanan terakhir atas
Banyubiru dan Pamingit sepeninggal Gajah Sora. Aku tak mempunyai pilihan lain.
Sebab orang-orang dari golongan hitam selalu mengarahkan matanya ke daerah kami
yang sangat kami cintai ini. Dengan sekuat tenaga aku telah berhasil memisahkannya
dari antara mereka, dari pergaulan yang menyedihkan. Aku asah mereka pagi dan
sore, siang dan malam. Dan aku berbangga atas hasilnya, meskipun secara batin
belum memenuhi tuntutan hatiku. Sayang bahwa selama itu, aku tidak sempat
menemukan Arya Salaka. Pernah aku meninggalkan Banyubiru untuk mencari cucuku
itu. Namun aku tak berhasil menemukan. Sedang daerah ini tak dapat aku
tinggalkan terlalu lama. Karena itu akupun segera kembali sebelum berhasil.
Mangsa kasanga tahun yang lewat, aku pernah menyusur pantai utara. Aku pernah
menemukan jejaknya, tetapi kemudian lenyap kembali.”
“Mangsa
kasanga tahun lampau?” Mahesa Jenar mengulangi kata-kata itu di dalam hatinya
seperti juga Kebo Kanigara dan Arya Salaka sendiri. Masa itu adalah masa
pembajaan yang mahaberat. Dimana ia terpaksa bersembunyi di atas bukit Karang
Tumaritis, di bawah sejuknya rumpun-rumpun bambu yang bersih di Padepokan
Panembahan Ismaya.
“Aku terlalu
tergesa-gesa…” Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan,
“Karena aku
tidak sampai hati meninggalkan Banyubiru seperti kataku tadi. Apalagi pada
saat-saat terakhir, sekejappun aku tak berani. Namun suatu keyakinan telah
tertanam di dalam hatiku bahwa cucuku Arya Salaka masih selamat.”
Orang itu
berhenti sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu sambungnya,
“Tetapi aku
belum tahu, apakah yang telah didapat anak itu selama perjalanannya di bawah
asuhan Angger Mahesa Jenar. Tiba-tiba aku menyaksikan sesuatu yang sama sekali
membuat hatiku mongkok. Arya Salaka telah menjadi anak muda yang luar biasa.”
Arya Salaka
menundukkan wajahnya. Ia berbangga bukan karena ia merasa dirinya perkasa,
tetapi ia berbangga karena eyangnya merasa bangga kepadanya. Dalam pada itu
terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Semuanya
adalah karena pangestu Ki Ageng serta karena darah yang mengalir di dalam tubuh
anak itu. Apa yang aku lakukan hanyalah sekadar memberinya petunjuk-petunjuk.”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengangguk-angguk sambil tersenyum. Namun di dalam hatinya tersiratlah
perasaan kagum dan heran. Mahesa Jenar ternyata mampu berbuat di luar dugaannya
pula. Kalau ia dapat menjadikan Arya Salaka sedemikian mengagumkan,
bagaimanakah dengan Mahesa Jenar itu sendiri? Pada saat ia berpisah dengan
Mahesa Jenar itu, beberapa tahun lampau, Mahesa Jenar baru berada dalam
tingkatan yang sejajar dengan Gajah Sora. Apakah yang sudah dicapainya selama
ini? Sedang gurunya sudah lama tidak dapat memberinya tuntunan, sejak Ki Ageng
Pengging Sepuh itu meninggal dunia.
“Ki Ageng…” Ki
Ageng Sora Dipayana mengangkat mukanya mendengar Mahesa Jenar berkata.
“Barangkali Ki
Ageng telah mengetahui maksud kedatangan kami. Karena itu kami serahkan
persoalan kami kepada kebijaksanaan Ki Ageng. Bukankah maksud kami telah kami
kemukakan pada hari kedatangan kami yang pertama?”
“Ya,” jawab Ki
Ageng.
“Aku sudah mengetahuinya.
Dan aku menjadi berdebar-debar karenanya.”
“Mudah-mudahan
Ki Ageng dapat menemukan kebijaksanaan,” sahut Mahesa Jenar.
“Bagi kami,
pertumpahan darah harus dihindari sejauh-jauh mungkin.”
“Aku
sependapat,” jawab Ki Ageng pula.
“Namun apakah
yang dapat aku lakukan adalah suatu ikhtiar. Aku sudah mencoba perlahan-lahan
untuk mengubah pendirian Lembu Sora.”
“Adakah Ki
Ageng berhasil?” tanya Mahesa Jenar.
“Belum. Ia
masih tetap pada pendiriannya,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Aku belum
berani memaksanya. Sebab ia akan dapat terjerumus ke dalam lingkaran hitam,
atau usaha yang lain. Meskipun aku tahu, bahwa pertentangan antara Lembu Sora
dengan golongan hitam itupun tak akan dapat dihindari pula.”
“Aku kira
kemungkinan itu kecil sekali Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar.
“Bukankah
golongan hitam telah mulai bertindak sendiri? Bahkan mereka telah mencoba untuk
memaksa Lembu Sora menyerahkan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang
mereka duga berada di Banyubiru atau Pamingit?”
“Angger
benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Tetapi Angger
belum mendengar perkembangan yang terakhir. Sejak Lembu Sora terpaksa berdiri,
ia telah membuat hubungan baru dengan para bangsawan yang tidak puas atas
pemerintahan Demak. Bukankah di Demak ada golongan yang merasa dirinya
disingkirkan oleh Sultan?”
“Sekar Seda
Lepen?” tanya Mahesa Jenar terkejut.
“Ya. Dengan
para emban dari Arya Penangsang,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Sudah
seberapa jauhnya hubungan mereka?” tanya Mahesa Jenar pula dengan cemas.
KI AGENG Sora
Dipayana diam sejenak. Tampaklah alisnya berkerut.
“Untunglah…”
jawabnya,
“Belum terlalu
jauh. Karena itu aku tidak akan mendesaknya lebih dalam lagi.”
Mahesa Jenar
pun menjadi tertegun diam. Persoalan ini menjadi bertambah rumit. Memang dengan
tersisihkannya Arya Penangsang, Demak telah menyimpan sebuah persoalan yang
mungkin akan meledak pada suatu saat. Tetapi Mahesa Jenar yakin, selama Sultan
Trenggana masih memegang pimpinan pemerintahan, perpecahan itu akan dapat
dibatasi.
Tetapi
bagaimanakah kemudian…? Yang dihadapi Mahesa Jenar sekarang adalah persoalan
Banyubiru. Di perbatasan kota ini telah berbaris dalam kesiagaan tempur laskar
Arya Salaka. Mereka menunggu sampai tengah malam atau sampai mereka melihat
tanda panah api naik ke udara. Sehingga dengan demikian waktu mereka tidak
terlalu banyak.
“Ki Ageng…”
kata Mahesa Jenar,
“Laskar Arya
Salaka telah siap di perbatasan. Mereka menunggu keputusan sebelum tengah
malam.”
Sekali lagi
wajah Ki Ageng Sora Dipayana berkerut-kerut.
Tampaklah
betapa suram hati orang tua itu. Pada saat yang sempit, ia dihadapkan pada
pilihan yang sangat sulit.
“Berilah aku
waktu sampai besok,” jawabnya.
“Sayang, Ki
Ageng…” jawab Mahesa Jenar,
“Kalau tengah
malam ini Arya tidak datang kembali, mereka akan bergerak.”
Orang tua itu
menarik nafas panjang. Tetapi ia belum menjawab.
Mahesa Jenar,
Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka, kemudian menjadi iba melihat orang
tua itu menghadapi persoalan yang hampir tak terpecahkan. Tetapi apakah yang
dapat dilakukannya?
“Angger…”
Tiba-tiba orang tua itu berkata,
“Marilah kita
usahakan agar setidak-tidaknya pertempuran tidak berkobar besok pagi.”
Mahesa Jenar
tidak segera menjawab. Baginya sendiri, usaha ini adalah usaha yang paling
baik. Bahkan kalau mungkin untuk seterusnya. Tetapi bagaimana?
“Persoalannya
akan menjadi sederhana kalau Lembu Sora dapat menarik diri dan menyerahkan
tanah ini.”
Orang tua itu
meneruskan,
“Dan aku akan
mengusahakannya. Tetapi tidak sekarang, dimana ia baru saja dibakar oleh
kemarahan melihat anaknya tak dapat menguasai lawannya.”
Ia berhenti
sejenak.
“Berilah aku
waktu. Biarlah satu atau dua orang pengikutmu itu kembali ke pasukanmu.”
Ki Ageng Sora
Dipayana berkata kepada Arya,
“Biarlah ia
membawa perintah darimu supaya laskarmu menunggumu sampai besok.”
“Apakah ia
dapat melewati laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya, yang agaknya ingin
memenuhi permintaan kakeknya.
Mahesa Jenar
menjadi agak berlega hati mendengar pertanyaan itu. Mudah-mudahan Arya sempat
menahan dirinya, sehari atau dua hari. Kalau anak itu yang memerintahkan, ia
mengharap laskarnya akan mentaatinya.
“Ia akan
diantar oleh orang-orang pamanmu,” jawab Sora Dipayana.
Arya Salaka
memandang wajah Mahesa Jenar minta pertimbangan. Maka berkatalah Mahesa Jenar,
“Tidakkah
laskar Lembu Sora akan mendahului besok pagi?”
“Aku akan
mencoba untuk mencegahnya. Setidak-tidaknya menunda sampai lusa,” jawab orang
tua itu.
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata,
“Arya, kau
dapat memerintahkan dua orangmu kembali. Eyangmu akan menyelamatkan
perjalanannya.”
“Terserahlah
kepada Paman,” jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenar
menarik nafas. Timbullah kembali harapannya untuk menyelesaikan setiap
persoalan tanpa pertumpahan darah. Maka iapun kemudian berkata,
“Kalau kau
sependapat Arya, kau dapat minta sehelai rotan, tulislah perintah itu.”
Arya
melaksanakan nasehat gurunya. Dari kakeknya ia mendapat sehelai rotan, yang
kemudian ditulisnya perintahnya, singkat namun jelas.
“Tunggu aku
kembali, jangan bergerak sendiri-sendiri sebelum ada perintahku. Aku akan
berada di antara kalian sebelum tengah hari besok. Teruskan perintah ini ke
sayap pasukan. Laskar Pamingit tak akan bergerak besok.”
Sebelum Arya
memerintahkan dua orangnya yang semula membawa obor untuk kembali ke induk
pasukan, Ki Ageng Sora Dipayana memanggil Lembu Sora duduk di antara mereka.
Dengan nada
seorang ayah ia berkata,
“Lembu Sora.
Aku minta orangmu untuk mengantarkan orang Arya Salaka kembali ke pasukannya
dengan membawa pesan dari kemenakanmu itu.”
Lembu Sora
memandangi ayahnya dengan tegang.
“Apakah pesan
itu?” Terdengarlah ia bertanya. Ki Ageng Sora Dipayana tidak menjawab. Ia minta
Arya menunjukkan pesannya, yang kemudian dibaca oleh Lembu Sora dengan dahi
yang berkerut.
No comments:
Post a Comment