Bagian 069


DI rumah sebelah, lelaki tua itu mendengar tangis bayi melengking-lengking. Tanpa sesadarnya ia menoleh kepada anak kecilnya yang tidur di pelukan ibunya.
“Jangan menangis,” desisnya kepada anak yang tidur itu. Anak itu memang tidak menangis. Tetapi hati lelaki itulah yang menangis.
Istrinya tahu bahwa suaminya sedang berpikir tentang bayi yang menangis itu, katanya,
“Mengungsi di rumah sebelah.”
Suaminya tidak menjawab. Perlahan-lahan ia duduk di amben beserta empat anak-anaknya tidur berjajar. Wajah anak-anak itu tampak bersih bening; sebening udara pagi hari. Tetapi mereka besok akan menggigil ketakutan; seandainya perang benar-benar berkobar di perbatasan.

Suara kaki-kaki kuda Arya masih menggemuruh, seperti suara guruh yang menjalar sepanjang jalan, menuju ke alun-alun. Dalam kegelapan malam, Arya tidak sempat melihat apakah di alun-alun itu banyak berjaga-jaga laskar Lembu Sora. Yang dilakukan adalah menerobos alun-alun itu tepat di tengah-tengah. Di antaranya sepasang beringin, yang tumbuh di tengah-tengah alun-alun itu. Agaknya alun-alun itu memang sepi. Laskar Lembu Sora hampir seluruhnya telah dikerahkan di pemusatan-pemusatan laskar di garis pertempuran. Namun di muka rumahnya, Arya masih melihat segerombolan orang yang agaknya bertugas menjaga rumah itu. Mereka telah berada dalam kesiagaan penuh, ketika mereka mendengar tanda kentongan yang mengumandang di garis perbatasan. Ketika mereka mendengar derap kuda mendekati, merekapun segera memencar. Dari ujung alun-alun itupun muncul pula segerombolan laskar cadangan. Tetapi demikian mereka siap, demikian Arya telah berada di hadapan hidung mereka. Ketika ujung-ujung senjata mengarah kepadanya, Arya menghentikan kudanya. Demikian juga orang-orang lain dalam rombongan itu.
Dengan tangan kirinya, Arya memegang tombak kebesarannya, sedang tangan kanannya diangkatnya tinggi-tinggi, sebagai suatu pertanda bahwa ia datang untuk tujuan tanpa kekerasan. Sebelum mendengar sebuah pertanyaan pun, para penjaga agaknya telah mengenal beberapa orang diantara rombongan itu.
Wanamerta dan Mahesa Jenar. Karena itu mereka menjadi sangat berhati-hati. Salah seorang dari mereka kemudian melangkah maju. Ia berhenti beberapa langkah di hadapan kuda Arya. Dengan seksama ia mencoba memperhatikan anak muda itu. Tetapi malam cukup gelap dan cahaya obor di kejauhan hanya samar-samar sampai.
Sedang Arya Salaka telah lenyap beberapa tahun semasa ia masih terlalu kecil untuk datang dengan tombak di tangan. Sekarang, di punggung kuda itu duduk seorang anak muda yang perkasa. Karena itu orang itu tidak segera dapat mengenal, bahwa anak muda yang memegang tombak itu adalah Arya Salaka.

Kemudian terdengarlah suara orang itu dengan garangnya,
“Siapakah kau yang datang bersama-sama dengan Kiai Wanamerta dan Mahesa Jenar?”
Arya Salaka tersenyum. Ia kenal orang itu. Ketika masa kecilnya ia sering datang ke Pamingit, dan pernah dikenalnya pengawal pribadi pamannya itu.
Jawab Arya, “Selamat malam Paman Wulungan. Apakah Paman lupa kepadaku?”
Wulungan mengerutkan keningnya.
Sekali lagi ia mengamat-amati anak muda itu. Namun sampai beberapa lama ia masih belum dapat mengenalnya kembali. Tetapi akhirnya ia tidak perlu mengingat-ingatnya. Ia dapat bertanya kepadanya. Tidakkah mustahil bahwa di Banyubiru dan Pamingit ini semua orang mengenalnya sebagai seorang yang dipercaya untuk menjadi pemimpin pengawal pribadi Lembu Sora beserta keluarganya? Karena itu sekali lagi ia berkata garang,
“Jawab pertanyaanku. Siapakah kau?”
Arya masih tersenyum. Namun ia menjawab,
“Arya Salaka.”
“He…?” Orang itu terkejut,
“Jadi kaukah Angger Arya Salaka?”
“Ya,” jawab Arya.
Orang itu mengangguk-anggukan kepalanya. Untuk beberapa saat ia terbenam dalam ingatannya beberapa tahun yang lalu. Ia selalu baik dan hormat terhadap anak ini, sebagai putra Ki Ageng Gajah Sora. Tiba-tiba kali inipun ia bersikap hormat pula. Sambil mengangguk ia berkata,
“Aku benar-benar pelupa. Tetapi Angger telah tumbuh demikian cepatnya.”

Tiba-tiba ia ingat akan tugasnya. Ia ingat tentang apa yang dikatakan Lembu Sora kepadanya, bagaimanakah ia harus bersikap terhadap keturunan Gajah Sora atau pengikut-pengikutnya. Karena itu dengan tiba-tiba pula ia mengubah sikapnya. Ia mencoba untuk berkata dengan garang seperti semula, meskipun kewibawaan
Arya mempengaruhinya.
“Jadi kau yang menamakan diri Arya Salaka?”
Arya sudah tidak tersenyum lagi. Ia melihat perubahan sikap itu.
Dengan tenang ia menjawab, “Ya. Akulah Arya Salaka.”
“Apa perlumu datang kemari?” Wulungan bertanya.
“Aku ingin mengunjungi Kakek Sora Dipayana,” jawab Arya.
“Kau datang dengan laskarmu?” tanya orang itu pula.
Kembali Arya tersenyum, jawabnya,
“Sebagaimana Paman Wulungan lihat. Aku datang hanya berenam.”

WULUNGAN mengerutkan keningnya. Arya Salaka memang hanya berenam. Tetapi ia menegaskan,
“Siapakah yang berbaris rapat di perbatasan?”
“Laskarku,” jawab Arya Salaka pendek.
“Apakah dengan demikian kau hanya berenam saja?” tanya Wulungan mendesak.
“Kalau aku datang dengan seluruh laskarku, maka pertempuran pasti sudah berkobar,” jawab Arya.
“Bukankah maksudmu memang demikian?” sahut Wulungan.
Arya memandang Wulungan dengan seksama. Perubahan sikapnya yang tiba-tiba, serta pertanyaannya yang mendesak, mengingatkannya kepada kata-kata Srengga di gardu pertama.
“Duapuluhlima bahu buat menangkap Arya Salaka. Hidup atau mati.”
“Janji yang terkutuk,” desis hatinya.
Kemudian kepada Wulungan ia berkata,
“Memang. Maksudku adalah kembali ke Banyubiru. Disetujui atau tidak oleh Paman Lembu Sora. Karena itu pertempuran bisa saja berkobar setiap saat. Nah, sebelum aku dibunuh atau membunuh, aku ingin menghadap Eyang Sora Dipayana untuk menyampaikan baktiku sebagai seorang cucu, serta mohon restu sebelum aku mulai dengan tugas beratku ini.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa menahan napasnya mendengar jawaban Arya Salaka. Agak terlalu keras. Namun mereka cukup mengerti, bahwa Arya berbicara dengan Wulungan, pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora, tidak lagi kepada Srengga. Dengan demikian Arya tidak perlu terlalu banyak merendahkan dirinya. Terhadap orang seperti Wulungan, Arya memang harus mempertegas maksudnya. Tetapi berbeda dengan dugaan Arya Salaka, Wulungan tidak mendesaknya lagi seperti semula. Di dalam dada orang itu, timbullah kembali rasa hormatnya.

Memang Arya Salaka sejak kecil menunjukkan sifat jantannya. Dengan demikian maka Wulungan menjadi percaya, bahwa Arya Salaka itu benar-benar Arya Salaka yang dikenalnya pada masa kecilnya. Karena itulah, maka ia menjadi lunak. Permintaan Arya untuk bertemu dengan eyangnya bukanlah permintaan yang berlebih-lebihan. Apakah yang akan dilakukan, kalau ia hanya datang berenam? Di hadapan Ki Ageng Sora Dipayana yang sakti, Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti, mereka pasti tidak akan dapat berbuat sesuatu kecuali benar-benar seperti apa yang dikatakan, mohon restu dan menyampaikan bakti seorang cucu.
“Angger Arya Salaka…” jawab Wulungan,
“Permintaan Angger akan kami sampaikan kepada Ki Ageng Sora Dipayana. Terserah keputusan yang akan diambilnya. Menerima atau tidak menerima kehadiran Angger.”
Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan Wanamerta menarik nafas panjang mendengar keputusan Wulungan.
Terdengar Arya Salaka perlahan-lahan berkata,
“Terimakasih Paman Wulungan.”
Tetapi ketika Wulungan memanggil seseorang untuk menyampaikan pesan itu kepada Ki Ageng Sora Dipayana, terdengarlah suara tertawa nyaring, meskipun tidak terlalu keras.
Kemudian dari dalam regol halaman terdengar suara,
“Agaknya kau mempunyai pimpinan baru Paman Wulungan.”
Wulungan terkejut seperti juga Arya Salaka, Wanamerta, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Karena itu tiba-tiba Wulungan terhenti di tempatnya seperti patung. Perlahan-lahan ia menoleh dan mencoba melihat, siapakah yang berkata itu, meskipun dengan mendengar suaranya ia sudah dapat menebaknya.

Sesaat kemudian muncullah seorang anak muda dengan pedang yang besar di pinggangnya. Sawung Sariti. Wulungan mengangguk hormat kepadanya, dan bertanya,
“Apakah maksud Angger?”
“Akulah yang berhak memberikan perintah, mengubah dan mencabut perintah, selain ayah Lembu Sora,” katanya.
“Apa perintahku yang aku ulangi sore tadi?” Wulungan menarik nafas panjang, sebab tiba-tiba nafasnya terasa berhenti di kerongkongan.
Terhadap Sawung Sariti sebenarnya Wulungan agak kurang senang. Sikapnya yang sombong, keras dan menghina orang lain. Meskipun anak muda ini berhati baja pula. Namun ia merasakan perbedaan sifat antara kedua anak muda yang kebetulan dua bersaudara sepupu. Tetapi ia adalah pimpinan laskar pengawal pribadi Lembu Sora. Karena itu ia harus menjalankan pekerjaannya baik-baik.
Maka jawabnya,
“Angger memerintahkan, tak seorangpun boleh memasuki kota, apalagi halaman rumah ini.”
“Bagus,” sahut Sawung Sariti sambil menarik bibirnya.
“Apa yang akan Paman kerjakan?”
“Mencoba menyampaikan pesan angger Arya Salaka untuk Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan.
“Bagaimanakah seharusnya Paman menjawab?” desak Sawung Sariti.
“Menolak permintaan itu,” jawab Wulungan.
Namun ia meneruskan,
“Tetapi ia adalah Angger Arya Salaka, yang sekadar ingin bertemu dengan kakeknya.”
“Justru ia menamakan diri Arya Salaka!” bentak Sawung Sariti. Wulungan terdiam. Ia tahu sifat anak muda itu. Ia biasa membentak-bentaknya di hadapan laskarnya dengan kata-kata yang menyakitkan hati.
Bahkan kemudian Sawung Sariti berkata,
“Malahan ayah Lembu Sora menyanggupkan hadiah duapuluhlima bahu bagi mereka yang dapat menangkap anak muda yang menamakan diri Arya Salaka. Nah sekarang anak itu telah datang menyerahkan dirinya.”
Wulungan masih terdiam. Duapuluhlima bahu baginya sama sekali tidak berarti. Di Pamingit ia memiliki tanah yang berlebihan. Bahkan tenaganya tak mampu lagi untuk menggarap seluruhnya. Namun yang penting baginya, sikap yang demikian bukanlah sikap yang jantan. Bukankah Arya Salaka dengan jantan datang tanpa pasukan untuk menyampaikan sujudnya kepada kekeknya? Meskipun kakeknya berada di pusat kekuasaan lawannya. Tetapi kemudian ia mencoba untuk melupakan tanggapannya itu. Bukankah sudah sekian lama ia sendiri hanyut dalam arus ketidakjantanan sikap Lembu Sora? Akhirnya ia sadar bahwa sikap Sawung Sariti lah yang telah mendesaknya untuk menilai kembali setiap perbuatan yang pernah dilakukan.

SEBAGAI orang yang jauh lebih tua, Wulungan kadang-kadang merasa sangat terhina oleh pokal anak muda itu. Namun ia tidak dapat berbuat sesuatu, sebab Sawung Sariti adalah putra Ki Ageng Lembu Sora, putra seorang yang memberinya kedudukan dan pangkat. Demikian juga kali ini. Ia tidak dapat berkata apapun, selain menundukkan kepala.
“Tidakkah Paman berusaha menangkapnya?” tanya Sawung Sariti.
“Sekarang Angger ada di sini,” jawab Wulungan,
“Aku menunggu perintah Angger.”
“Kalau aku tidak datang bagaimana?” bentak Sawung Sariti.
Kembali Wulungan terdiam. Arya Salaka, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Wanamerta, yang menyaksikan peristiwa itu, perasaan mereka ikut tersinggung pula. Sikap yang demikian bukanlah sikap yang tahu adat. Wulungan, meskipun ia adalah seorang bawahan saja, namun ia berumur jauh lebih tua dari Sawung Sariti. Apalagi Arya menganggap bahwa sikap Wulungan adalah bijaksana.
Karena itu tiba-tiba timbullah keinginan untuk menarik perhatian Sawung Sariti, katanya,
“Adi Sawung Sariti. Baiklah aku langsung minta ijin kepadamu, untuk menghadap Kakek Sora Dipayana.”
Sawung Sariti menoleh kepada Arya Salaka. Tetapi sesaat saja. Kemudian ia kembali memandangi Wulungan.
“Paman. Baiklah kalau aku harus memberikan perintah berulang kali. Meskipun Paman seorang anggota laskar pengawal ayah Lembu Sora yang sudah kenyang makan garam. Dengarlah Paman, tak seorangpun aku ijinkan masuk ke dalam kota, apalagi ke dalam halaman rumah ini. Siapapun dan dengan alasan apapun.”
Wulungan masih menundukkan kepalanya.
“Kau dengar, Paman…?” tanya Sawung Sariti dengan lantang.
“Ya, aku dengar,” jawab Wulungan.
“Nah. Laksanakan,” perintah Sawung Sariti. Wulungan mengangkat mukanya. Dipandanginya wajah Arya Salaka yang masih duduk di atas kudanya. Kemudian katanya dengan tenang,
“Angger, Angger telah mendengar perintah Angger Sawung Sariti. Tak seorangpun boleh memasuki halaman ini, dengan alasan apapun.”
“Alangkah liciknya anak muda itu,” pikir Arya. Ia hanya berkesempatan untuk berbicara dengan Wulungan, yang hanya dapat menjalankan perintah. Namun demikian ia mencoba untuk sekali lagi berbicara langsung kepada Sawung Sariti, katanya,
“Adi, dapatkah Adi Sawung Sariti berlaku bijaksana? Aku hanya ingin sekadar menghadap Eyang Sora Dipayana.”

Sawung Sariti diam saja. Dengan senyum yang menyakitkan hati ia berkata kepada Wulungan,
“Lakukan tugasmu baik-baik. Aku akan naik ke pendapa.”
“Gila!” Arya Salaka berdesis. Ia adalah anak muda pula. Darahnya masih hangat-hangat panas. Karena itu ia benar-benar merasa terhina. Maka ia berteriak keras-keras,
“Tak seorangpun yang dapat menghalangi aku masuk ke halaman rumahku sendiri. Minggir kalian, atau aku harus membunuh kalian.”
Tiba-tiba pula, tombaknya telah berpindah di tangan kanannya. Ujungnya telah tunduk setinggi dada orang yang berdiri di atas tanah. Semua yang mendengar suara Arya Salaka itupun terkejut. Sawung Sariti terhenti pula. Cepat ia memutar tubuhnya dan tangannya telah melekat di tangkai pedangnya. Ia melihat Arya telah siap menyerangnya. Tetapi sebelum Arya Salaka mendorong kudanya menyerbu, terasa Mahesa Jenar menangkap lengannya. Dengan tenang gurunya itu berkata,
“Tahan dirimu Arya.”
Arya menarik nafas. Wajahnya telah memerah darah, sedang darahnya rasa-rasanya telah mendidih membakar seluruh tubuhnya. Dengan gemetar ia berkata,
“Apa yang dapat aku lakukan. Aku datang ke kampung halamanku sendiri. Kenapa aku harus mengalami penghinaan itu?”
“Sawung Sariti…!” teriaknya,
“Jangan berperisai orang setua Paman Wulungan. Hadapilah kedatanganku. Kasar atau halus.”
Sawung Sariti maju beberapa langkah. Jawabnya,
“Turunlah. Aku bukan pengecut seperti yang kau sangka.”
Hampir saja Arya meloncat turun, kalau sekali lagi Mahesa Jenar tidak mencegahnya.
“Jangan Arya,” katanya,
“Sawung Sariti bukanlah orang yang harus memberi keputusan terakhir.”

Nafas Arya menjadi berdesakan meloncat dari hidungnya. Amat sulitlah baginya untuk dapat menahan diri. Apalagi ketika kemudian terdengar Sawung Sariti berteriak.
“Minggir semua. Biarlah anak itu tahu bahwa Sawung Sariti mampu menjaga daerahnya. Mampu melakukan pekerjaan yang diperintahkan kepada orang lain.”
Tetapi Mahesa Jenar memegangi lengan Arya erat-erat.
“Jangan layani. Kita tunggu perkembangan keadaan. Dengan teriakan-teriakan itu, mungkin pemanmu Lembu Sora akan turun ke halaman dan akan memberikan kesempatan kepadamu.”
Tubuh Arya telah benar-benar gemetar. Tetapi ia masih mencoba menahan diri seperti nasihat gurunya, meskipun ia terpaksa menggigit bibirnya. Wulungan dan anak buahnya menyaksikan peristiwa itu dengan berdebar-debar.
Tiba-tiba saja mereka meloncat mundur, ketika Sawung Sariti memerintahkan mundur. Yang dilihatnya kemudian adalah Sawung Sariti tegak di tanah, dengan dada tengadah. Ia memandang Arya Salaka dengan pandangan menghina seolah-olah Arya Salaka adalah seorang yang sama sekali tidak patut mendapat pelayanan. Sedang di atas punggung kuda, Arya duduk dengan tubuh menggigil menahan diri. Sekali-kali terdengar giginya gemertak. Sedang dari matanya memancar api kemarahan.
Sekali lagi terdengar Sawung Sariti menantang,
“Turunlah. Atau kau akan bertempur di atas kudamu? Seperti cara para penyamun menyerang korbannya, supaya ia dapat cepat melarikan diri?”

ARYA SALAKA benar-benar terbakar. Ia benar-benar lupa diri. Dengan tidak diduga-duga Arya merenggut lengannya dari pegangan gurunya. Dan sekali loncat ia sudah berdiri di atas tanah dengan tombak Kyai Bancak siap di tangannya. Pada saat yang bersamaan, berkilat-kilatlah pedang Sawung Sariti yang besar dan panjang dalam genggaman jari-jarinya yang kokoh. Keadaan berkembang sedemikian cepatnya. Ketika Mahesa Jenar menyusul, meloncat turun dari kudanya, ia sudah terlambat. Kedua anak muda itu telah terlibat dalam suatu perkelahian.
“Arya….” Terdengar Mahesa Jenar memanggil.
Tetapi Arya Salaka tidak mendengar suara gurunya. Dengan garangnya ia meloncat langsung menghadapi pedang Sawung Sariti yang berputar-putar seperti baling-baling. Arya Salaka pun dengan lincahnya menggerakkan tombak pusakanya. Sekali-kali melingkar dan sekali-kali mematuk. Cahayanya yang kebiru-biruan memancar berkilau-kilau memantulkan sinar-sinar obor yang samar-samar sampai. Keduanya bertempur dengan kemarahan yang menekan dada masing-masing. Wulungan dan anak buahnya berdiri saja seperti patung. Mereka memang pernah mengenal cara Sawung Sariti bertempur. Tangkas, tangguh dan lincah. Sebagai seorang cucu dari Ki Ageng Sora Dipayana yang langsung mendapat tuntunan darinya, Sawung Sariti benar-benar tidak mengecewakan. Seperti ayahnya, ia mampu menggerakkan pedang yang sedemikian besarnya, seperti menggerakkan lidi. Karena itu, alangkah berbahayanya pedang itu. Menyambar seperti burung elang, tetapi sekali-kali memagut seperti ular, disertai angin yang berdesis mengerikan. Betapa kuatnya tangan anak muda itu. Tetapi mereka menjadi kagum pula melihat lawan Sawung Sariti itu. Dengan tombak pendek di tangan, ia mirip seperti burung rajawali yang bertempur dengan kuku-kukunya yang tajam. Sekali Arya meloncat menjauhi lawannya, tetapi tiba-tiba ujung tombaknya sudah menyambar dada Sawung Sariti, bahkan tombak itu seperti menyerangnya dari segenap arah. Cahaya kebiru-biruan yang dipancarkan dari mata tombak itu tampak melingkar-lingkar membingungkan.

Kedua anak muda itu bertempur dengan sengitnya. Masing-masing memiliki ketangkasan, ketangguhan dan keteguhan hati, disertai keahlian mereka menguasai senjata masing-masing. Sehingga senjata-senjata mereka itu seperti dapat bergerak dengan sendirinya, bahkan di ujung-ujung senjata itu seperti terdapat biji-biji mata. Mahesa Jenar pun kemudian terikat pada pertempuran itu. Ia menempatkan dirinya di muka regol halaman untuk menanti kemungkinan-kemungkinan yang tak diharapkan. Sedang Kebo Kanigara untuk sementara masih berada di atas kudanya. Ia masih sempat melihat berkeliling. Melihat para pengawal yang berdiri dengan mulut ternganga. Melihat Wulungan yang tegak seperti patung, namun tangannya telah meraba hulu pedangnya. Di halaman itupun ternyata para pengawal telah siap dengan senjata masing-masing. Apalagi jatuh perintah Sawung Sariti untuk bergerak, mereka akan serentak bergerak. Di pendapa, Kebo Kanigara melihat seorang yang bertubuh besar, berdada bidang dengan kumis yang lebat di atas bibirnya. Ia tidak begitu jelas, apakah tanggapannya terhadap perkelahian yang terjadi itu.
Namun segera Kebo Kanigara mengenal orang itu, Ki Ageng Lembu Sora. Ia melihat sepintas kepada Wanamerta. Wanamerta pun kemudian meloncat turun. Demikian juga kedua orang anak buahnya. Mereka segera meloncat turun pula. Di tangan mereka erat tergenggam masing-masing sebuah obor, dan di dada mereka tersangkut sebuah gendewa.
“Nyalakan obor,” perintah Wanamerta.
“Obor akan dapat menjadi senjata yang baik kalau diperlukan. Siapkan gendewamu dan anak panah yang mungkin akan kita pergunakan.”
Kedua orang itupun segera mempersiapkan alat-alat mereka. Yang seorang kemudian menyalakan obornya, yang seorang lagi menyiapkan bumbung panahnya, dan menyangkutkan bumbung itu di ikat pinggangnya. Gendewanya telah siap di tangannya pula.

Di halaman itu pertempuran semakin bertambah sengit. Sawung Sariti yang bersenjata pedang, bertempur dengan garangnya. Bahkan kemudian tampaklah pedangnya seperti gulungan sinar putih yang mengerikan menyerang Arya Salaka dari segala arah. Namun di antara sinar putih itu tampaklah cahaya yang kebiru-biruan, sekali-kali melingkar dan sekali-kali meluncur dengan cepatnya seperti anak panah yang lari dari busurnya mengarah ke tubuh lawannya. Kebo Kanigara pun kemudian turun dari kudanya. Ia mengambil tempat yang cukup baik, menghadap ke arah pendapa. Dengan demikian ia dapat langsung melihat apakah Ki Ageng Lembu Sora akan mengambil sikap. Tetapi untuk sekian lama, orang itu tetap tegak tanpa bergerak. Agaknya ia benar-benar tertarik melihat perkelahian itu. Kalau semula ia yakin bahwa Sawung Sariti memiliki kekuatan dan keteguhan ilmu yang membanggakan, namun dengan kenyataan itu ia melihat bahwa anak yang bernama Arya Salaka itupun mampu mengimbanginya. Dengan permainan tombak yang manis dan cepat, Arya Salaka sama sekali tidak dapat ditembus oleh serangan Sawung Sariti. Bahkan kalau Sawung Sariti merasa memiliki kekuatan yang mengagumkan, tiba-tiba ia harus mengakui bahwa kekuatannya setidak-tidaknya tidak melampaui kekuatan Arya. Lembu Sora terkejut, ketika ia melihat pedang anaknya membentur tombak Arya, ia mengharap tangan Arya menjadi sakit, dan bahkan ia mengharap tombaknya terlepas dari tangannya. Tetapi ia menyesal. Tidak saja tombak anak muda itu yang terpental, tetapi pedang Sawung Sariti pun ternyata seperti membentur dinding besi. Bahkan Sawung Sariti terpaksa meloncat mundur untuk memperbaiki pegangannya atas pedangnya. Karena itulah ia terpaksa melihat perkelahian itu dengan menegang nafas.

PERKELAHIAN yang sengit antara dua orang anak muda yang berdarah panas, yang sedang dikuasai oleh kemarahan yang memuncak. Maka pada malam yang gelap itu, berkali-kali terdengar dentang senjata beradu dibungai oleh percikan api yang meloncat-loncat dari titik benturan kedua senjata itu. Mereka masing-masing mencoba untuk menguasai keadaan. Bahkan masing-masing telah mengerahkan segenap kekuatan dan ilmu mereka. Namun ternyata bahwa penderitaan Arya selama ini, lahir dan batin, memberinya keteguhan lahir dan batin pula, sehingga ia memiliki naluri yang lebih baik dalam pengerahan tenaga daripada Sawung Sariti. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar adalah dua orang yang cukup masak untuk menilai keadaan. Ketika ia mulai melihat bahwa keadaan Arya Salaka masih lebih baik daripada keadaan Sawung Sariti, mereka menjadi cemas. Tidak aneh bahwa karena itu, maka Ki Ageng Lembu Sora akan bertindak. Mengerahkan laskarnya untuk menangkap Arya. Kalau demikian halnya, maka mereka berdua bersama Wanamerta terpaksa ikut pula bermain-main, meskipun malam yang gelap itu dinginnya bukan main. Dengan demikian Mahesa Jenar pun harus menilai keadaan di sekitar perkelahian itu. Iapun kemudian mengamati Lembu Sora yang berdiri di pendapa. Seperti Kebo Kanigara, iapun menaruh perhatian padanya. Kalau-kalau ia dengan tiba-tiba bertindak, maka adalah kewajibannya untuk melindungi Arya Salaka. Meskipun ia menjadi kecewa bahwa kedatangan rombongan kecil ini tiba-tiba telah berkisar dari tujuan, namun Mahesa Jenar tidak dapat menyalahkan Arya Salaka. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terpaksa berkisar pula ketika mereka melihat Lembu Sora turun dari pendapa dan perlahan-lahan berjalan mendekati titik perkelahian. Dalam usapan sinar obor, tampaklah garis-garis wajahnya yang tegang. Sekali-kali ia mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi sekali-kali ia menahan nafasnya. Perkelahian antara kedua anak muda itupun memang menjadi bertambah sengit. Kedua senjata itupun menjadi semakin cepat bergerak dan semakin berbahaya. Agaknya kedua-duanya telah memutuskan untuk menyelesaikan perkelahian itu dengan membunuh lawannya atau dirinyalah yang terbunuh. Dengan demikian keadaan menjadi semakin tegang.
Tetapi ketika ketegangan telah memuncak, muncullah seorang tua dari antara laskar Banyubiru yang berdiri berjajar mengeliling perkelahian itu. Dengan suara yang nyaring terdengarlah ia berkata,
“Berhentilah. Berhentilah berkelahi.”

Suara itu mengumandang memenuhi halaman rumah itu. Namun karena Arya Salaka dan Sawung Sariti benar-benar telah kehilangan pengamatan diri, maka suara itpun hampir tak mereka dengar. Sehingga orang tua itu terpaksa meloncat mendekati sambil mengulangi kata-katanya.
“Berhentilah Sawung Sariti, berhentilah Arya Salaka.”
Bagaimanapun juga Sawung Sariti dan Arya Salaka memusatkan segala perhatian mereka kepada lawan masing-masing, namun orang tua itu berdiri dekat di sisi mereka, sehingga bagaimanapun juga suara itupun mempengaruhi gerak-gerak mereka. Ketika gerak mereka menjadi kendor, orang tua itupun meloncat semakin dekat dan mengangkat kedua tangannya sambil berkata,
“Sudahlah. Berhentilah. Lihatlah aku.”
Suara itu benar-benar berpengaruh. Sawung Sariti dan Arya Salaka itupun tak dapat berbuat lain, karena kewibawaan orang tua itu, selain berloncatan mundur.
“Bagus,” kata orang tua itu kemudian.
“Kalian berdua benar-benar mengagumkan. Berbanggalah aku mempunyai dua cucu yang perkasa tiada taranya. Kalian berdua telah menunjukkan, betapa darah orangtua kalian mengalir di dalam tubuh kalian. Sawung Sariti bertempur sebagai seekor harimau yang garang, sedang Arya Salaka dapat menjadikan dirinya burung rajawali yang perkasa. Berbahagialah aku. Berbahagialah aku.”
Orang tua itu berhenti sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Sawung Sariti surut beberapa langkah. Ia mengangguk kepada kakeknya. Tetapi ia tidak berkata sepatah katapun. Namun demikian matanya yang merah, masih menyorotkan sinar kemarahan kepada Arya Salaka yang diam terpaku di tanah. Dengan seksama Arya mengamat-amati orang tua itu. Lima tahun lebih ia tidak bertemu. Dan tiba-tiba orang tua itu kini berdiri dihadapannya dengan wajah sayu. Dan tiba-tiba pula Arya teringat kepada maksud kedatangannya. Sebelum pecah perang antarsaudara itu, ia benar-benar ingin bersujud di bawah kaki kakeknya serta mohon restu kepadanya. Karena itulah maka tiba-tiba Arya meloncat maju. Betapa rasa haru menguasai dirinya pada waktu itu, sehingga Arya Salaka pun kemudian menjatuhkan diri pada lututnya di hadapan kakeknya sambil memeluk kaki orang tua itu.
“Eyang…” desisnya.

Lalu suaranya terputus oleh sesuatu yang seolah-olah menyekat kerongkongannya. Di dalam dadanya banyak sekali kata-kata yang melingkar-lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya.
Di dalam dadanya banyak sekali kata kata yang melingkar lingkar, yang akan disampaikan kepada kakeknya itu, namun hanya satu kata itulah yang dapat meluncur dari mulutnya. Ki Ageng Sora Dipayana memandang anak itu dengan mata suram. Di dalam dadanya tersimpan pula rasa rindu kepada anak itu, yang telah sekian lama hilang dari Banyu Biru. Karena itu, maka mata orang tua itu menjadi redup. Dibelainya kepala Arya Salaka dengan kasih sayang seorang kakek kepada cucunya. Kemudian dipegangnya lengan anak itu dan ditariknya berdiri.
“Berdirilah Arya,” katanya perlahan.
Aryapun kemudian berdiri. Tetapi wajahnya tunduk ke tanah. ia merasa bahwa ia tak berani memandang wajah kakeknya. Tetapi orang tua itu mengangkat wajah Arya sambil berkata
“Aku kagum kepadamu cucu, seperti aku kagum kepada Sawung Sariti. Dengan demikian, tidak sia sialah aku memiliki keturunan seperti kalian berdua.”
Arya Salaka masih berdiam diri. Belum ada kata kata yang mampu melontar dari mulutnya. Ketika tiba-tiba matanya menjadi panas. Arya menengadahkan wajahnya ke langit seperti ia belum pernah melihat bintang yang bertaburan. Sementara itu Ki Ageng Sora Dipayana memandang berkeliling halaman.
“Kakang Wanamerta,” gumamnya.

Wanamerta mendekati Ki Ageng Sora Dipayana yang telah bersama-sama memerintah tanah perdikan ini puluhan tahun. Ki Ageng Sora Dipayana menepuk bahu Wanamerta sambil berkata
“Syukurlah kalau kau asuh cucuku ini dengan baik.”
Wanamerta menggeleng
“bukan aku, tetapi tuan berdua ini.”
Ki Ageng Sora Dipayana memandangi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dengan mata yang berkilat kilat. Katanya
“tuan ternyata luar biasa. Cucuku benar benar telah menjelma menjadi murid dari cabang perguruan Pengging yang perkasa. Ketika aku melihat caranya bertempur dengan tombak pendeknya, segera aku teringat kepada sahabatku Ki Ageng Pengging Sepuh. Namun karena sahabatku itu telah tiada lagi, maka aku yakin bahwa anggerlah yang menjadi saluran ilmu itu.”
Mahesa Jenar mengangguk sambil menjawab
“Sekedar untuk memenuhi permintaan kakang GajahSora, supaya Arya Salaka mempunyai bekal buat masa depannya.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk anggukkan kepalanya. Kemudian kepada Lembu Sora ia berkata
“Lembu Sora, kenapa tidak kau persilahkan tamu tamumu untuk naik ke pendapa?.”
Lembu Sora menggeram. tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Karena itu, dengan berat hati, dipersilakan tamu tamunya untuk naik. Ketika para tamu bersama sama dengan Ki Ageng Sora Dipayana dan Lembu Sora naik ke pendapa, Sawung Sariti menggigit bibirnya. Ia tidak ikut serta dengan mereka, tetapi segera masuk rumahnya dengan wajah tegang.
Wulungan serta anak buahnyapun menjadi seperti orang tersadar dari mimpi. Pertempuran itu bagi mereka merupakan suatu pertunjukan yang mengagumkan. Dua anak yang masih semuda itu, telah dapat menunjukkan kemampuan mereka yang luar biasa.
“Yang seorang adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana selain cucunya, karena itu wajar bahwa anak muda itu menjadi perkasa,” berbisik Wulungan kepada anak buahnya.
“Namun yang seorang itupun sangat mengagumkan. Siapakah gurunya itu?”
“Mahesa Jenar,” jawab salah seorang anak buahnya.
“Aku sudah tahu,” bentak Wulungan, namun perlahan lahan pula,
“tetapi maksudku, siapakah Mahesa Jenar itu? menurut dugaanku serta menurut cerita yang aku dengar Mahesa Jenar memang memiliki kemampuan yang luar biasa, namun ia tidak lebih dari pada Sora Dwipayana sendiri. lalu bagaimana mungkin muridnya menyamai murid Sora Dwipayana yang sakti itu?.”
Anak buahnya mengangguk anggukkan kepala mereka. Pemimpinnya menjadi heran oleh kenyataan itu, apalagi mereka.

Di pendapa, Sora Dwipayana segera mempersilahkan tamunya untuk duduk melingkar diatas tikar pandan yang putih. Dengan ramah ia menemui mereka seperti ia menemui sahabat lama yang telah lama berpisah. Apalagi kepada Arya Salaka. Betapa rindu seorang kakek terhadap cucunya, seperti juga betapa rindu Arya kepada kakeknya. Dengan memandangi tubuh Arya, seperti tak akan pernah puas, Sora Dwipayana berkata
“Tubuhmu mekar seperti ilalang di musim hujan Arya. Meskipun diwajahmu tersirat, betapa keras derita yang kau alami selama ini, namun demikian kau menjadi batu karang yang kokoh kuat, tak hanyut oleh banjir yang bagaimanapun besarnya, tak goyah oleh angin yang bagaimanapun kencangnya.”
Arya menundukkan wajahnya. Ia menjadi terharu kembali mendengar pujian itu, seperti anak-anak yang terjatuh dan ditanyakan kepadanya
“apakah kau terjatuh, sayang.”
Lembu Sora menjadi tidak senang mendengar pujian itu. Sebagai seseorang yang selalu membanggakan diri serta putera satu satunya Sawung Sariti, maka baginya pujian itu sangat menyakitkan hatinya. Karena itu, tiba-tiba ia minta diri kepada ayahnya, untk sesuatu keperluan di belakang. Sora Dwipayana mengerti perasaan putera bungsunya itu. Karena itu tidak melarangnya. Sepeninggal Lembu Sora, Mahesa Jenar merasa lebih bebas untuk mengemukakan pendapatnya sebab dengan demikian, ia dapat mengatakan apa saja yang tersimpan didalam hatinya, didalam hati muridnya.
“Ki, Ageng,” berkata Mahesa Jenar kemudian,
“aku telah mencoba memenuhi perintah ki Ageng, membawa Arya Salaka kemari. Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menerima bhaktinya. Selain suatu kemungkinan yang baik bagi masa depannya, dan bagi rakyatnya. Tetapi aki menyesal bahwa kehadirannya telah ditandai oleh suatu perkelahian yang sama sekali tak dikehendakinya. Namun itu sama sekali bukan salahnya.”
Sora Dwipayana mengangguk anggukkan kepalanya.

KI AGENG Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya,
“Aku tahu Angger. Memang Arya Salaka tidak dapat dipersalahkan kalau ia terpaksa turun dari kudanya dan langsung terlibat dalam perkelahian itu. Sebagai anak muda yang pernah aku alami pula, darahnya tak sedingin darah orang tua-tua ini.”
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya, sahutnya,
“Jadi Ki Ageng melihat sejak awal kejadian itu?”
“Ya,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Aku melihat sejak semula dari antara laskar Lembu Sora. Tetapi sengaja aku membiarkan mereka bertempur, sebab tiba-tiba timbullah keinginanku untuk mengetahui, sampai di mana kemampuan Arya Salaka. Sudah sekian lama anak itu meninggalkan aku. Dan sekarang ia dihadapankan pada suatu tugas yang berat, yang mungkin harus dihadapi dengan tenaganya.”
“Sekarang Ki Ageng telah melihatnya,” kata Mahesa Jenar.
“Aku telah melihatnya. Dan aku kagum atas apa yang aku lihat.”
Ki Ageng Dipayana meneruskan,
“Seperti pernah aku katakan kepada Angger beberapa saat yang lalu, bahwa aku harus menjadikan Lembu Sora dan Sawung Sariti benteng pertahanan terakhir atas Banyubiru dan Pamingit sepeninggal Gajah Sora. Aku tak mempunyai pilihan lain. Sebab orang-orang dari golongan hitam selalu mengarahkan matanya ke daerah kami yang sangat kami cintai ini. Dengan sekuat tenaga aku telah berhasil memisahkannya dari antara mereka, dari pergaulan yang menyedihkan. Aku asah mereka pagi dan sore, siang dan malam. Dan aku berbangga atas hasilnya, meskipun secara batin belum memenuhi tuntutan hatiku. Sayang bahwa selama itu, aku tidak sempat menemukan Arya Salaka. Pernah aku meninggalkan Banyubiru untuk mencari cucuku itu. Namun aku tak berhasil menemukan. Sedang daerah ini tak dapat aku tinggalkan terlalu lama. Karena itu akupun segera kembali sebelum berhasil. Mangsa kasanga tahun yang lewat, aku pernah menyusur pantai utara. Aku pernah menemukan jejaknya, tetapi kemudian lenyap kembali.”
“Mangsa kasanga tahun lampau?” Mahesa Jenar mengulangi kata-kata itu di dalam hatinya seperti juga Kebo Kanigara dan Arya Salaka sendiri. Masa itu adalah masa pembajaan yang mahaberat. Dimana ia terpaksa bersembunyi di atas bukit Karang Tumaritis, di bawah sejuknya rumpun-rumpun bambu yang bersih di Padepokan Panembahan Ismaya.
“Aku terlalu tergesa-gesa…” Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan,
“Karena aku tidak sampai hati meninggalkan Banyubiru seperti kataku tadi. Apalagi pada saat-saat terakhir, sekejappun aku tak berani. Namun suatu keyakinan telah tertanam di dalam hatiku bahwa cucuku Arya Salaka masih selamat.”

Orang itu berhenti sejenak. Ia menarik nafas dalam-dalam, lalu sambungnya,
“Tetapi aku belum tahu, apakah yang telah didapat anak itu selama perjalanannya di bawah asuhan Angger Mahesa Jenar. Tiba-tiba aku menyaksikan sesuatu yang sama sekali membuat hatiku mongkok. Arya Salaka telah menjadi anak muda yang luar biasa.”
Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia berbangga bukan karena ia merasa dirinya perkasa, tetapi ia berbangga karena eyangnya merasa bangga kepadanya. Dalam pada itu terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Semuanya adalah karena pangestu Ki Ageng serta karena darah yang mengalir di dalam tubuh anak itu. Apa yang aku lakukan hanyalah sekadar memberinya petunjuk-petunjuk.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengangguk-angguk sambil tersenyum. Namun di dalam hatinya tersiratlah perasaan kagum dan heran. Mahesa Jenar ternyata mampu berbuat di luar dugaannya pula. Kalau ia dapat menjadikan Arya Salaka sedemikian mengagumkan, bagaimanakah dengan Mahesa Jenar itu sendiri? Pada saat ia berpisah dengan Mahesa Jenar itu, beberapa tahun lampau, Mahesa Jenar baru berada dalam tingkatan yang sejajar dengan Gajah Sora. Apakah yang sudah dicapainya selama ini? Sedang gurunya sudah lama tidak dapat memberinya tuntunan, sejak Ki Ageng Pengging Sepuh itu meninggal dunia.
“Ki Ageng…” Ki Ageng Sora Dipayana mengangkat mukanya mendengar Mahesa Jenar berkata.
“Barangkali Ki Ageng telah mengetahui maksud kedatangan kami. Karena itu kami serahkan persoalan kami kepada kebijaksanaan Ki Ageng. Bukankah maksud kami telah kami kemukakan pada hari kedatangan kami yang pertama?”
“Ya,” jawab Ki Ageng.
“Aku sudah mengetahuinya. Dan aku menjadi berdebar-debar karenanya.”
“Mudah-mudahan Ki Ageng dapat menemukan kebijaksanaan,” sahut Mahesa Jenar.
“Bagi kami, pertumpahan darah harus dihindari sejauh-jauh mungkin.”
“Aku sependapat,” jawab Ki Ageng pula.
“Namun apakah yang dapat aku lakukan adalah suatu ikhtiar. Aku sudah mencoba perlahan-lahan untuk mengubah pendirian Lembu Sora.”
“Adakah Ki Ageng berhasil?” tanya Mahesa Jenar.
“Belum. Ia masih tetap pada pendiriannya,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Aku belum berani memaksanya. Sebab ia akan dapat terjerumus ke dalam lingkaran hitam, atau usaha yang lain. Meskipun aku tahu, bahwa pertentangan antara Lembu Sora dengan golongan hitam itupun tak akan dapat dihindari pula.”
“Aku kira kemungkinan itu kecil sekali Ki Ageng,” sahut Mahesa Jenar.
“Bukankah golongan hitam telah mulai bertindak sendiri? Bahkan mereka telah mencoba untuk memaksa Lembu Sora menyerahkan keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten yang mereka duga berada di Banyubiru atau Pamingit?”
“Angger benar,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Tetapi Angger belum mendengar perkembangan yang terakhir. Sejak Lembu Sora terpaksa berdiri, ia telah membuat hubungan baru dengan para bangsawan yang tidak puas atas pemerintahan Demak. Bukankah di Demak ada golongan yang merasa dirinya disingkirkan oleh Sultan?”
“Sekar Seda Lepen?” tanya Mahesa Jenar terkejut.
“Ya. Dengan para emban dari Arya Penangsang,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Sudah seberapa jauhnya hubungan mereka?” tanya Mahesa Jenar pula dengan cemas.

KI AGENG Sora Dipayana diam sejenak. Tampaklah alisnya berkerut.
“Untunglah…” jawabnya,
“Belum terlalu jauh. Karena itu aku tidak akan mendesaknya lebih dalam lagi.”
Mahesa Jenar pun menjadi tertegun diam. Persoalan ini menjadi bertambah rumit. Memang dengan tersisihkannya Arya Penangsang, Demak telah menyimpan sebuah persoalan yang mungkin akan meledak pada suatu saat. Tetapi Mahesa Jenar yakin, selama Sultan Trenggana masih memegang pimpinan pemerintahan, perpecahan itu akan dapat dibatasi.
Tetapi bagaimanakah kemudian…? Yang dihadapi Mahesa Jenar sekarang adalah persoalan Banyubiru. Di perbatasan kota ini telah berbaris dalam kesiagaan tempur laskar Arya Salaka. Mereka menunggu sampai tengah malam atau sampai mereka melihat tanda panah api naik ke udara. Sehingga dengan demikian waktu mereka tidak terlalu banyak.
“Ki Ageng…” kata Mahesa Jenar,
“Laskar Arya Salaka telah siap di perbatasan. Mereka menunggu keputusan sebelum tengah malam.”
Sekali lagi wajah Ki Ageng Sora Dipayana berkerut-kerut.
Tampaklah betapa suram hati orang tua itu. Pada saat yang sempit, ia dihadapkan pada pilihan yang sangat sulit.
“Berilah aku waktu sampai besok,” jawabnya.
“Sayang, Ki Ageng…” jawab Mahesa Jenar,
“Kalau tengah malam ini Arya tidak datang kembali, mereka akan bergerak.”
Orang tua itu menarik nafas panjang. Tetapi ia belum menjawab.

Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka, kemudian menjadi iba melihat orang tua itu menghadapi persoalan yang hampir tak terpecahkan. Tetapi apakah yang dapat dilakukannya?
“Angger…” Tiba-tiba orang tua itu berkata,
“Marilah kita usahakan agar setidak-tidaknya pertempuran tidak berkobar besok pagi.”
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Baginya sendiri, usaha ini adalah usaha yang paling baik. Bahkan kalau mungkin untuk seterusnya. Tetapi bagaimana?
“Persoalannya akan menjadi sederhana kalau Lembu Sora dapat menarik diri dan menyerahkan tanah ini.”
Orang tua itu meneruskan,
“Dan aku akan mengusahakannya. Tetapi tidak sekarang, dimana ia baru saja dibakar oleh kemarahan melihat anaknya tak dapat menguasai lawannya.”
Ia berhenti sejenak.
“Berilah aku waktu. Biarlah satu atau dua orang pengikutmu itu kembali ke pasukanmu.”
Ki Ageng Sora Dipayana berkata kepada Arya,
“Biarlah ia membawa perintah darimu supaya laskarmu menunggumu sampai besok.”
“Apakah ia dapat melewati laskar Paman Lembu Sora?” tanya Arya, yang agaknya ingin memenuhi permintaan kakeknya.
Mahesa Jenar menjadi agak berlega hati mendengar pertanyaan itu. Mudah-mudahan Arya sempat menahan dirinya, sehari atau dua hari. Kalau anak itu yang memerintahkan, ia mengharap laskarnya akan mentaatinya.
“Ia akan diantar oleh orang-orang pamanmu,” jawab Sora Dipayana.
Arya Salaka memandang wajah Mahesa Jenar minta pertimbangan. Maka berkatalah Mahesa Jenar,
“Tidakkah laskar Lembu Sora akan mendahului besok pagi?”
“Aku akan mencoba untuk mencegahnya. Setidak-tidaknya menunda sampai lusa,” jawab orang tua itu.

Mahesa Jenar mengangguk-anggukan kepalanya. Kemudian kepada Arya Salaka ia berkata,
“Arya, kau dapat memerintahkan dua orangmu kembali. Eyangmu akan menyelamatkan perjalanannya.”
“Terserahlah kepada Paman,” jawab Arya Salaka.
Mahesa Jenar menarik nafas. Timbullah kembali harapannya untuk menyelesaikan setiap persoalan tanpa pertumpahan darah. Maka iapun kemudian berkata,
“Kalau kau sependapat Arya, kau dapat minta sehelai rotan, tulislah perintah itu.”
Arya melaksanakan nasehat gurunya. Dari kakeknya ia mendapat sehelai rotan, yang kemudian ditulisnya perintahnya, singkat namun jelas.
“Tunggu aku kembali, jangan bergerak sendiri-sendiri sebelum ada perintahku. Aku akan berada di antara kalian sebelum tengah hari besok. Teruskan perintah ini ke sayap pasukan. Laskar Pamingit tak akan bergerak besok.”
Sebelum Arya memerintahkan dua orangnya yang semula membawa obor untuk kembali ke induk pasukan, Ki Ageng Sora Dipayana memanggil Lembu Sora duduk di antara mereka.
Dengan nada seorang ayah ia berkata,
“Lembu Sora. Aku minta orangmu untuk mengantarkan orang Arya Salaka kembali ke pasukannya dengan membawa pesan dari kemenakanmu itu.”
Lembu Sora memandangi ayahnya dengan tegang.
“Apakah pesan itu?” Terdengarlah ia bertanya. Ki Ageng Sora Dipayana tidak menjawab. Ia minta Arya menunjukkan pesannya, yang kemudian dibaca oleh Lembu Sora dengan dahi yang berkerut.


<<< Bagian 068                                                                                              Bagian 070 >>>

No comments:

Post a Comment