Bagian 025


DALAM keremangan bulan yang samar-samar itu, Mahesa Jenar menggandeng Arya berjalan dengan sangat hati-hati menyusup semak-semak untuk menjauhi kota.
“Kita pergi ke mana Paman?” tanya Arya tiba-tiba.
Mendengar pertanyaan itu, Mahesa Jenar menjadi agak bingung. Ia sendiri belum pernah berpikir ke mana Arya akan diajak pergi. Tiba-tiba ia teringat kepada suatu daerah terpencil yang dicikal-bakali oleh Ki Paniling dan Darba. Yaitu daerah di hutan Pudak Pungkuran. Ia mengharapkan Ki Paniling akan mengizinkan ia tinggal untuk sementara bersama Arya di sana. Maka kemudian jawabnya,
“Kita pergi ke Pudak Pungkuran, Arya”.
“Pudak Pungkuran?” ulang Arya. Ia belum pernah mendengar sama sekali daerah itu. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.
Sebenarnya Mahesa Jenar ingin membawa Arya untuk pergi sejauh-jauhnya. Sebab menurut perhitungan Arya, semakin jauh dari Banyubiru, jiwa Arya pasti akan semakin aman. Tetapi untuk sementara ia tetap terikat kepada Banyubiru, kepada Rawa Pening. Sebab meskipun agaknya sudah semakin hambar, namun pertemuan akhir tahun dari golongan hitam akan tetap dilaksanakan.

Kemudian setelah itu Mahesa Jenar dan Arya Salaka tidak bercakap-cakap lagi. Mereka sedang disibukkan oleh pikiran masing-masing. Pikiran tentang keadaan kini serta masa datang. Sedangkan pikiran Mahesa Jenar diganggu oleh Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Bagaimanakah kira-kira yang akan terjadi andaikata kedua keris itu untuk seterusnya tidak dapat diketemukan? Tidakkah ada seseorang yang kelak dapat melangsungkan kejayaan Demak? Sebab menurut kepercayaan, siapa yang kuat memiliki kedua keris itulah, yang kuat pula menerima wahyu kraton. Pikiran-pikiran Mahesa Jenar dirisaukan pula oleh kenyataan adanya dua garis keturunan yang sama-sama berhak atas tahta. Yaitu putra-putra Sultan Demak sekarang, sedangkan yang lain adalah putra almarhum Sekar Seda Lepen yang dalam keadaan belum dewasa telah mewarisi Kadipaten Jipang, bernama Penangsang.
Penangsang sebenarnya memiliki kesempatan yang besar untuk menduduki tahta, seandainya ayahnya tak terbunuh. Meskipun demikian tidak mustahil kalau pada suatu saat ia akan menuntut pula haknya serta mengadakan perhitungan dengan pembunuh ayahnya. Pada saat yang demikianlah akan terjadi suatu perjuangan yang hebat. Kalau mereka sama-sama percaya bahwa Nagasasra dan Sabuk Inten adalah sumber kekuatan untuk menerima wahyu kraton, maka perjuangan untuk mendapatkan kedua pusaka itu pun akan menjadi bertambah ramai.

Tiba-tiba Mahesa Jenar tersadar dari angan-angannya oleh suara derap kuda yang mendatanginya. Segera ia menghentikan langkahnya dan dengan saksama memperhatikan suara itu. Ternyata suara itu semakin lama semakin dekat tepat ke arahnya, sepanjang jalan hutan yang sempit. Karena itu, segera ia menarik Arya untuk segera bersembunyi, sebab ia masih belum tahu siapakah para penunggangnya. Beberapa saat kemudian terdengar derap itu menjadi tidak secepat tadi. Agaknya jalan kuda itu diperlambat ketika menyusup jalan sempit serta banyak rintangan salur-salur pepohonan liar. Ternyata penunggang kuda itu lebih dari 3 atau 4 orang. Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang bersembunyi di dalam semak, segera menahan nafas ketika kuda-kuda itu hampir lewat di depannya. Tiba-tiba terdengar salah seorang berkata,
“Kakang, ke mana kita akan mencari?”
“Entahlah,” jawab yang lain.
“Mencari seseorang di daerah yang seluas ini adalah sulit sekali”.
“Tidak mungkinkah anak itu dilarikan ke Demak untuk melaporkan segala sesuatu yang terjadi kepada Sultan?” kata yang lain pula.
“Telah diperlihatkan untuk memotong jalan. Dan itu tak mungkin dilakukan,” sahut yang lain lagi.
“Kalau orang yang melarikan anak itu bukan orang yang bodoh, ia pasti tidak akan pergi ke Demak. Sebab tidak akan ada gunanya. Kecuali kalau dapat ditunjukkan bukti-buktinya, atau yang berkepentingan tertangkap pada saat itu. Apalagi Sultan sedang murka kepada Gajah Sora”.

Setelah itu, tak terdengar lagi suara mereka. Sedang derap kuda itu semakin lama terdengar semakin jauh dan kemudian menghilang. Ketika sudah tidak ada tanda-tanda yang membahayakan lagi, segera Mahesa Jenar bangkit dan menggandeng Arya untuk berjalan kembali. Mahesa Jenar agak terkejut ketika dirasanya tangan Arya gemetar. Segera ia dapat menduga perasaan anak itu. Meskipun ada juga perasaan takut, tetapi pasti Arya menjadi marah sekali mendengar percakapan orang-orang itu. Ketika baru tiga-empat langkah mereka berjalan, mendadak Mahesa Jenar menghentikan langkahnya. Ia mendapat suatu pikiran bahwa jalan ini pasti merupakan jalan yang berbahaya. Orang-orang tadi dapat dengan segera kembali dan mungkin ada orang lain yang mencari lewat jalan ini pula. Karena itu segera ia mempertimbangkan untuk mengambil jalan lain. Ia tidak mau menanggung akibat tertangkapnya Arya, apabila ia tidak dapat melawan orang-orang yang mencarinya.
“Arya…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Ternyata jalan ini adalah jalan yang berbahaya. Karena itu marilah kita ambil jalan lain”.
Arya tidak menjawab, tetapi ia hanya menganggukkan kepalanya.
Karena pertimbangan itu, segera Mahesa Jenar dan Arya Salaka membelok menyusup hutan untuk mengambil jalan lain.

MEREKA berjalan dengan agak tergesa-gesa. Mahesa Jenar mengharap untuk dapat segera sampai ke Pudak Pungkuran dan menitipkan Arya di sana. Setelah itu ia akan berusaha dengan bersembunyi menemui Wanamerta dan ibu Arya, untuk membeberkan peranan Lembu Sora yang sebenarnya. Ternyata Arya pun adalah anak yang betah berjalan. Meskipun tampaknya ia agak lelah, ketika Mahesa Jenar mengajaknya beristirahat anak itu menolak. Maka mereka pun berjalan terus di dalam gelapnya malam. Mahesa Jenar memang pernah pergi ke Pudak Pungkuran. Dan ia telah pula mengenal jalan dari tempat itu ke Banyubiru. Tetapi sekarang untuk menghindari bahaya, ia menempuh jalan lain. Jalan yang belum pernah dilewatinya. Karena itu ia menjadi agak bingung dan kesulitan untuk menemukan arah yang tepat di dalam gelap serta di dalam hutan yang belum pernah dijamahnya. Maka kemudian ketika fajar menyingsing, serta melemparkan warna kemerahan ke segenap penjuru, insyaflah Mahesa Jenar bahwa jalan yang ditempuh adalah jalan yang sama sekali tidak mengarah ke Pudak Pungkuran.
Karena itu dengan hati berdebar-debar ia berkata,
”Arya.., agaknya aku telah kehilangan jurusan untuk mencapai Pudak Pungkuran”.
Arya memandang Mahesa Jenar dengan pandangan yang tidak mengerti.
“Lalu ke mana kita pergi, Paman?”
Mahesa Jenar menarik nafas. Dengan hilangnya arah Pudak Pungkuran, ia tidak lagi mempunyai suatu tujuan tertentu lagi. Karena itu ia menjawab,
“Arya, tujuan bukanlah hal yang penting bagi kita. Kemanapun kita akan pergi, adalah sama saja. Sebab akhirnya kita akan kembali lagi ke Banyubiru. Karena itu, jangan dirisaukan tujuan kita”.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi badannya sudah bertambah letih. Meskipun demikian Arya masih belum mau untuk beristirahat. Karena itu kembali mereka berjalan menyusur hutan yang tidak begitu lebat. Meskipun perlahan-lahan, namun mereka setapak demi setapak tetap maju.

Ketika matahari sudah mencapai ujung pepohonan, hutan yang ditempuh itu sudah semakin menipis. Sejenak kemudian tuntaslah hutan itu. Mahesa Jenar dan Arya Salaka segera menempuh padang rumput yang tidak begitu luas untuk segera sampai ke daerah yang didiami orang. Di sinilah mereka beristirahat. Orang-orang yang membangun daerah itu menjadi pedesaan, ternyata adalah orang-orang yang ramah dan baik hati. Yang menerima Mahesa Jenar dan Arya Salaka sebagai seorang perantau beserta anaknya, dengan senang hati. Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak dapat untuk seterusnya menetap di tempat itu, sebab menurut pertimbangannya, tempat itu masih terlalu dekat dengan Banyubiru. Karena itu ketika ia beserta Arya telah beristirahat satu malam, mereka minta izin kepada penduduk desa itu untuk segera meneruskan perjalanan. Terpaksa Mahesa Jenar membohongi orang-orang desa itu, dengan mengatakan arah yang bertentangan dengan arah yang sebenarnya hendak ditempuh, untuk menghindari orang-orang yang mencari mereka, kalau-kalau menanyakan kepada penduduk, apabila mereka sampai di tempat itu.

Pada hari berikutnya Mahesa Jenar sampai pula pada sebuah desa yang lain. Penduduk desa ini terdiri dari orang-orang yang baik hati dan ramah pula. Mereka menerima Mahesa Jenar dengan senang hati, serta dengan gembira mereka menerima Mahesa Jenar sebagai warga baru di desa itu. Di daerah ini Mahesa Jenar merasa, bahwa keamanan Arya telah dapat dipertanggungjawabkan. Karena itu ia pun menyatakan diri sebagai keluarga baru serta dengan bekerja keras ia pun segera membangun perumahan serta menebas hutan untuk tanah pertanian, sebagaimana dilakukan oleh setiap pendatang. Di tempat kediamannya yang baru itu Mahesa Jenar dianggap tidak lebih dari seorang petani biasa. Seorang yang seperti kebanyakan penduduk di desa itu, yang datang untuk sekadar dapat memperbaiki nasibnya dengan mengolah tanah yang sedikit lebih subur dibanding daerah mereka semula. Demikianlah Mahesa Jenar dan Arya Salaka telah memulai dengan suatu penghidupan baru, sebagai seorang petani yang bekerja untuk mempertahankan hidupnya. Setiap pagi mereka pergi ke ladang, menggarap tanah seperti yang dikerjakan oleh orang lain pula.
Tetapi disamping itu, yang tak seorang pun mengetahuinya adalah, di dalam setiap kesempatan, terutama apabila matahari telah terbenam, Mahesa Jenar dengan tekunnya menuntun Arya dalam berbagai ilmu. Tidak saja olah kanuragan, tetapi juga tata pergaulan, kesusasteraan dan sebagainya. Lebih dari itu, Mahesa Jenar juga selalu memberi petunjuk-petunjuk tentang keluhuran budi dan mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa, juga sedikit mengenai ilmu keprajuritan dan siasat. Sedikit demi sedikit, namun pasti, Arya setiap saat tumbuh menjadi seorang pemuda yang perkasa serta memiliki berbagai macam pengetahuan.

Sementara itu terjadilah berbagai perubahan di Banyubiru. Pada malam Arya dilarikan oleh Mahesa Jenar, Wanamerta telah mengutus beberapa orang untuk minta perlindungan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Ketika utusan Wanamerta sampai di Pamingit, Lembu Sora justru baru berada di Banyubiru, sehingga utusan itu terpaksa menunggu untuk beberapa lama. Baru beberapa saat kemudian Ki Ageng Lembu Sora dengan tergesa-gesa datang kembali. Tentu saja ia sama sekali tidak mengatakan bahwa ia baru datang dari Banyubiru. Mendengar permintaan utusan Wanamerta itu, hati Lembu Sora menjadi gembira sekali. Tanpa berpikir lagi segera ia menyanggupinya. Pada saat itu pula Ki Ageng Lembu Sora segera mengumpulkan pasukannya, pasukan murni dari Pamingit, yang dianggapnya pilihan serta dapat dipercaya. Ia sendiri kemudian berangkat memimpin orang-orangnya untuk melindungi perdikan Banyubiru. Tetapi ketika pasukan itu sampai, keadaan telah reda. Para penyerang telah menarik diri.

DALAM pertemuan yang diadakan oleh Lembu Sora dengan para pemimpin Banyubiru, karena kelincahan Lembu Sora, maka dicapai suatu persetujuan bahwa selama Gajah Sora belum kembali, serta Arya Salaka belum diketemukan, Banyubiru langsung berada di bawah pemerintahan Lembu Sora di Pamingit. Tetapi untuk kelancaran tata pemerintahan, Lembu Sora diberi wewenang untuk menempatkan beberapa orangnya di Banyubiru. Inilah titik permulaan dari kemunduran secara menyeluruh bagi Banyubiru. Sebenarnya perjanjian perlindungan itu tidak menyenangkan hati beberapa orang diantara para pemimpin Banyubiru. Wanamerta sendiri akhirnya menyesal pula. Apalagi pemuda-pemuda yang mempunyai cita-cita buat masa depannya, yaitu Bantaran dan Panjawi. Untuk sementara mereka tidak berbuat apa-apa. Sebab mereka tahu bahwa bagaimanapun Lembu Sora adalah seorang yang perkasa. Yang memiliki ilmu seperti yang dimiliki oleh kakaknya, meskipun dalam tingkatan yang lebih rendah.

Dalam pada itu, diam-diam Lembu Sora selalu berusaha untuk menemukan Arya. Kepada orang-orang Banyubiru, ia memerintahkan mencari anak itu sebagai pewaris tanah perdikan, sedang kepada orang-orangnya yang dipercaya, diperintahkannya untuk menemukan Arya dan membunuhnya. Sebab selama anak itu masih hidup, rasa-rasanya masih saja ada duri di dalam dagingnya. Karena apabila tiba-tiba Arya muncul, maka akan terjadilah suatu perjuangan yang lebih berat lagi. Apalagi Arya membawa tanda kebesaran Banyubiru, yaitu tombak pendek yang bernama Kyai Bancak, sebuah pusaka yang menjadi kebanggaan Gajah Sora. Itulah sebabnya ia bekerja mati-matian untuk membinasakannya. Disamping Arya Salaka, masih ada pula hal-hal yang sangat merisaukan Ki Ageng Lembu Sora, yaitu pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Ia sadar sepenuhnya, apabila pada suatu saat ada kemungkinan ia berhadapan dengan sekutu-sekutunya, tokoh-tokoh golongan hitam, sebagai lawan yang akan saling membinasakan. Pertolongan ayahnya, Ki Ageng Sora Dipayana, belum tentu dapat diharapkan. Apalagi kalau ayahnya itu mengetahui bagaimana ia telah menyingkirkan kakaknya, Ki Ageng Gajah Sora.

Karena itu, usahanya yang pertama adalah memperkuat diri. Ia selalu berusaha memperbesar pasukannya dengan biaya yang besar, tanpa mempedulikan tata penghidupan rakyat yang menjadi semakin sempit. Cita-citanya tidak hanya menguasai seluruh daerah perdikan yang dulu berada di bawah pemerintahan ayahnya, tetapi kelak bila ia berhasil mendapat Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, maka kekuatan itu sangat diperlukan. Dengan kedua pusaka itu ia akan mempunyai kemungkinan terbesar menerima wahyu kraton. Dengan demikian ia akan dengan mudahnya dapat menghancurkan kekuatan Demak. Tetapi meskipun demikian ia masih selalu berusaha bahwa tokoh-tokoh golongan hitam akan dapat dijadikan landasan kekuatan pula, sesuai dengan kepercayaan mereka, bahwa barang siapa yang telah memiliki kedua keris pusaka itu akan dianggap sebagai pemimpin mereka. Itulah sebabnya maka Lembu Sora selalu banyak memberi keleluasaan bergerak kepada sekutu-sekutunya, di daerahnya sendiri serta daerah perlindungannya. Disamping itu, Lembu Sora juga selalu berusaha mencari Arya Salaka, sekaligus memerintahkan untuk mendapatkan keterangan mengenai Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Sementara itu waktu berjalan terus tanpa henti-hentinya. Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Maka semakin dekatlah waktu yang akan diselenggarakan tokoh-tokoh hitam untuk mendapatkan seseorang yang dapat menjadi pemimpin mereka. Tetapi rasanya nafsu mereka sudah jauh berkurang sejak mereka mengetahui dengan pasti bahwa keris-keris pusaka yang mereka harapkan telah lenyap serta jatuh ke tangan seseorang yang tak dikenal. Demikianlah akhirnya bulan terakhir itu datang juga. Pada saat itu Mahesa Jenar kemudian bersedia pula untuk menyaksikan pertemuan itu, meskipun ia sadar bahwa untuk melihatnya pasti akan sangat sulit. Karena itu ia harus berangkat beberapa hari sebelum purnama naik, untuk mendapatkan keterangan di mana pertemuan itu berlangsung. Menurut keterangan yang pernah didengar Mahesa Jenar, dalam pertemuan itu Uling Putih serta Uling Kuning akan bertindak sebagai tuan rumah. Karena itu menurut perkiraan Mahesa Jenar, pertemuan itu akan dilangsungkan di sekitar daerah Rawa Pening. Mahesa Jenar juga pernah mendapat petunjuk tentang sarang Uling itu, yaitu di dalam rimba di ujung rawa yang menjorok ke utara.
Mahesa Jenar semula mengharap bahwa menyaksikan pertemuan itu ia akan dapat mengukur kekuatan tokoh-tokoh golongan hitam. Tetapi sebenarnya sekarang tanpa menyaksikan pun ia sudah mendapat gambaran jelas tentang kekuatan mereka, bahkan tentang orang-orang angkatan tua yang berdiri di belakang mereka. Tetapi bagaimanapun, Mahesa Jenar tetap berkeinginan menyaksikan pertemuan itu.

SETELAH mendekati waktu yang ditentukan, Mahesa Jenar pun segera mempersiapkan diri. Sebenarnya yang agak memusingkan kepalanya, adalah Arya Salaka. Ia sebenarnya agak keberatan untuk meninggalkan anak itu. Tetapi sebaliknya, membawa Arya adalah sangat berbahaya pula. Tetapi akhirnya Mahesa Jenar menganggap bahwa lebih aman bagi Arya, serta lebih ringan pula tanggungjawabnya apabila Arya ditinggal saja di rumah, dengan pesan agar anak itu tidak membahayakan dirinya sendiri. Sebaiknya selama Mahesa Jenar pergi, ia tidak usah pergi keluar rumah untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan. Maka pada suatu hari, sepekan sebelum purnama naik, Mahesa Jenar berangkat untuk melakukan suatu pekerjaan yang berbahaya, setelah ia menitipkan Arya kepada penduduk, serta pamit kepada mereka itu, bahwa ia akan mengunjungi orang tuanya di daerahnya yang lama. Dengan memakai pakaiannya yang kumal, Mahesa Jenar mengharap bahwa dirinya tidak segera dapat dikenali. Karena itu pula ia selalu menghindari setiap pertemuan dengan orang-orang Banyubiru. Apabila kehadirannya sampai diketahui orang, maka usahanya akan menjadi terhalang. Apalagi kalau hal itu sampai terdengar Ki Ageng Lembu Sora, yang pasti menduganya telah lenyap, ketika ia tergelincir ke dalam jurang.

Tetapi sebelum itu Mahesa Jenar masih harus berusaha untuk bertemu dengan seseorang yang telah berjanji kepadanya untuk bersama-sama ke Rawa Pening, yaitu Ki Dalang Mantingan. Usahanya mula-mula adalah mencari tempat yang kira-kira akan dipergunakan untuk mengadakan pertemuan itu. Hampir setiap saat ia bersembunyi di semak-semak di sekitar daerah Rawa Pening yang menjorok ke utara. Meskipun di daerah itu nampaknya tidak ada jalan, tetapi Mahesa Jenar dapat mengenal bahwa ada sebuah lorong rahasia yang sengaja dikaburkan dengan semak-semak dan pepohonan kecil lainnya. Tetapi ia sama sekali belum berani untuk memasuki lorong itu, sebelum mendapat beberapa kenyataan yang tidak terlalu membahayakan. Pada hari kedua, Mahesa Jenar melihat seseorang berkuda memasuki lorong itu. Orang itu bertubuh tegap kekar. Matanya bersinar-sinar. Hidungnya melengkung, serta dagunya jauh menggantung di bawah mulutnya. Menilik wajahnya, Mahesa Jenar menduga bahwa orang yang demikian itu, dapat berbuat sesuatu tanpa tanggung-tanggung. Ia dapat menjadi kejam seperti iblis.

Melihat orang itu lewat, Mahesa Jenar menahan nafas. Ia masih belum pernah mengenalnya. Di pinggang orang itu tergantung sebuah pedang. Meskipun demikian, Mahesa Jenar dapat mengenal bahwa orang itu pasti anggota gerombolan Uling Rawa Pening, karena orang itu mengenakan ikat pinggang kulit lebar, bergambar sepasang Uling yang saling membelit. Hal itu bagi Mahesa Jenar adalah sangat menguntungkan. Ketika suara derap kudanya sudah tak terdengar lagi, dengan hati-hati sekali Mahesa Jenar keluar dari persembunyiannya, untuk kemudian menyusuri lorong itu, mengikuti bekas telapak kaki kuda yang baru saja lewat. Ia mengharap dengan demikian akan dapat mendekati, setidaknya mendekati sarang gerombolan Uling Rawa Pening. Ternyata bahwa lorong itu sengaja dibuat berkelok-kelok. Beberapa kali Mahesa Jenar menganggap bahwa seterusnya daerah itu sangat sulit dilewati, namun dengan menerobos semak yang tipis saja, ia sampai pada tempat yang tidak lagi ada kesukaran-kesukaran untuk dilaluinya. Mahesa Jenar dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan selalu mengikuti jejak kuda yang dinaiki oleh orang yang belum dikenalnya.

Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar tidak jauh di hadapannya lamat-lamat suara orang tertawa. Cepat ia menghentikan langkahnya, dan segera menyelinap ke semak-semak. Sesaat kemudian suara tertawa itu berhenti, tetapi kemudian terdengar orang bercakap-cakap perlahan-lahan. Karena itu Mahesa Jenar tidak dapat menangkap isi percakapan mereka. Dengan sangat hati-hati, Mahesa Jenar berusaha untuk mendekati orang yang sedang bercakap-cakap itu. Tetapi ketika ia telah menjadi bertambah dekat, suara percakapan itu telah berhenti. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih mendengar salah seorang berkata,
“Silahkan Kakang Sri Gunting…, kudamu telah lelah sekali”. Tahulah Mahesa Jenar, bahwa orang yang berkuda itu adalah Sri Gunting. Orang pertama di dalam gerombolan Uling Rawa Pening sesudah sepasang Uling itu sendiri. Sejenak kemudian, terdengar kembali suara langkah kuda Sri Gunting disusul dengan langkah kuda lain ke arah yang berlawanan. Sesaat kemudian Mahesa Jenar melihat orang lain lewat di depannya. Orang itu pernah dikenalnya beberapa waktu yang lalu. Ia adalah Yuyu Rumpung, yang bersama-sama dengan Gemak Paron berusaha untuk mencuri kedua pusaka kraton di Bukit Tidar.
Mahesa Jenar sama sekali tidak mempedulikan orang itu lewat. Tetapi dengan demikian ia harus semakin hati-hati. Ternyata lorong itu memang merupakan pintu masuk ke sarang Uling Rawa Pening. Pantaslah kalau jalan itu selalu dirondai dengan cermat. Beberapa langkah kemudian, kembali Mahesa Jenar mendengar suara orang bercakap-cakap. Juga perlahan-lahan. Tetapi agaknya lebih dari dua orang. Ketika Mahesa Jenar berhasil mengintip dari jarak yang agak jauh, dilihatnya Sri Gunting sedang bercakap-cakap dengan dua-tiga orang yang bersenjatakan tombak. Tetapi juga kali ini ia tidak mendengar isi percakapan mereka, sampai akhirnya Sri Gunting meneruskan perjalanannya.

SAMPAI di situ, Mahesa Jenar tidak berani lagi menuruti jejak kuda itu secara langsung. Sebab kemungkinan untuk bertemu orang-orang gerombolan Uling akan bertambah besar. Meskipun andaikata ia dapat memenangkan perkelahian melawan tiga-empat orang, namun dengan demikian kedatangannya sudah diketahui lebih dahulu. Karena itu Mahesa Jenar berusaha untuk mengikuti kuda Sri Gunting dari semak-semak di sekitar lorong itu, meskipun kadang-kadang ia harus merangkak-rangkak menerobos pohon-pohon liar serta sulur-sulur dan tumbuh-tumbuhan merambat lainnya. Dugaan Mahesa Jenar bahwa penjagaan semakin lama semakin rapat ternyata benar. Beberapa langkah kemudian kembali terdapat beberapa orang penjaga. Dengan demikian, Mahesa Jenar mengharap bahwa tidak lama lagi ia akan sampai ke sarang sepasang Uling Rawa Pening. Ketika Mahesa Jenar maju lagi, tiba-tiba sampailah ia pada daerah tumbuh-tumbuhan yang rapat sekali. Pohon-pohon berduri tumbuh rapat diseling dengan tanaman-tanaman menjalar dan beberapa tanaman yang sangat gatal apabila menyinggung tubuh, misalnya pohon rawe, serta pohon-pohon yang mengandung lugut dari jenis bambu.

Melihat kerapatan pepohonan itu, Mahesa Jenar tertegun sebentar. Ketika ia memandang ke arah Sri Gunting, yang juga maju dengan perlahan-lahan di atas kudanya, dilihatnya ia membelok menyusur tanaman-tanaman berduri itu ke arah timur. Perlahan-lahan dan sangat hati-hati Mahesa Jenar berusaha untuk mengikutinya. Beberapa langkah kemudian tampaklah sebuah pohon yang tidak terlalu tinggi, tetapi daunnya sangat lebat. Dibalik pohon itulah Mahesa Jenar melihat Sri Gunting menghilang. Tahulah kini Mahesa Jenar bahwa pohon-pohon yang tumbuh rapat sekali itu, memang sengaja diatur demikian, sehingga merupakan benteng hidup yang mengelilingi pusat sarang Uling Rawa Pening. Gerombolan yang mempunyai nama tidak kalah menggetarkan daripada nama Lawa Ijo, yang ditakuti di daerah pantai utara. Sampai di situ, Mahesa Jenar terpaksa tidak dapat mengikuti Sri Gunting untuk seterusnya. Ia tidak mau tergesa-gesa menyusup pohon yang rimbun itu, sebab ia masih belum mengetahui apakah kira-kira yang berada di belakangnya. Mungkin setelah menyusup pohon itu, langsung akan memasuki sebuah gardu perondaan, atau malah sampai ke barak Uling sendiri. Karena itu, Mahesa Jenar terpaksa berhenti di semak-semak sambil beristirahat. Ia mencoba memutar otak, bagaimana dapat memasuki, setidak-tidaknya mengetahui keadaan di dalam sarang itu.

Akhirnya Mahesa Jenar menemukan cara juga. Meskipun ia tidak pasti akan dapat masuk, tetapi ia akan mendapat gambaran tentang keadaan dibalik benteng tanaman itu. Sebagai seorang prajurit, ia pernah mendapat latihan panjat-memanjat, menggantung, dan berayun dengan tali yang cukup tinggi. Dengan hati-hati, Mahesa Jenar pun segera memanjat. Dari pohon yang tidak terlalu besar, menjalar ke pohon lain, sehingga akhirnya Mahesa Jenar berada di atas dahan sebuah pohon yang memungkinkan ia dapat melihat keadaan di dalam, keadaan pusat sarang sepasang Uling. Ternyata di dalam benteng itu ada sebuah lapangan yang tidak begitu luas. Di pinggir-pinggir lapangan tampaklah beberapa rumah. Menurut dugaan Mahesa Jenar, rumah-rumah itu terlalu sedikit untuk dapat didiami oleh anak buah Uling yang banyak jumlahnya. Karena itu, di tempat lain pasti masih ada tempat-tempat tinggal serupa itu. Di lapangan itu Mahesa Jenar melihat Sri Gunting berkuda melintas. Kemudian ia berhenti di depan salah satu dari rumah-rumah yang berjajar di pinggir lapangan. Seorang telah menerima kudanya, lalu mengikatnya pada sebuah pohon, sedang Sri Gunting sendiri langsung memasuki rumah itu.

Beberapa saat kemudian dilihatnya Sri Gunting keluar lagi. Dipanggilnya dua orang laskarnya, kemudian berjalan melintas lapangan dan menyusup ke balik sebuah pohon. Pohon itulah rupanya pintu keluar-masuk benteng yang tadi juga dilewati Sri Gunting. Ternyata dibalik pohon itu sama sekali tidak terdapat sebuah gardu. Memang beberapa orang tampak mengawalnya, sebagai pengawal pintu gerbang. Ketika Mahesa Jenar sedang sibuk menduga-duga, di manakah pertemuan akan dilangsungkan, tiba-tiba dilihatnya keluar dari salah satu diantara rumah-rumah itu, dua orang yang bertubuh tinggi, tetapi tidak begitu besar. Berwajah runcing dan berhidung tajam. Itulah sepasang Uling Rawa Pening, yang di tangan mereka selalu tergenggam sebuah cemeti besar. Di belakang mereka berjalan Sri Gunting dan dua orang lainnya. Melihat mereka, mau tidak mau Mahesa Jenar terpaksa menahan nafas. Bagaimanapun kedua orang itu termasuk dalam tingkatan yang cukup tinggi, sehingga pancaindera mereka pun. Beberapa saat kemudian Mahesa Jenar melihat orang-orang mereka menyediakan kuda, lalu dengan kuda-kuda itu Uling Rawa Pening beserta tiga orang yang mengiringinya, pergi melintasi lapangan dan menyusup pohon yang merupakan pintu gerbang benteng itu, untuk kemudian muncul di luar benteng. Mahesa Jenar jadi menduga-duga. Kemanakah mereka pergi? Cepat ia turun dengan sangat hati-hati. Tetapi ketika sepasang Uling itu menyusur benteng ke arahnya, ia jadi diam, dan bersembunyi dibalik daun-daun yang agak rimbun, apalagi ketika mereka lewat dekat di bawahnya.

Adalah suatu keuntungan, ketika Mahesa Jenar mendengar mereka bercakap-cakap. Terdengar Uling Putih berkata,
“Jadi kau yakin bahwa tempat itu telah disiapkan dengan baik?”
Terdengar Sri Gunting menjawab,
“Sudah, Ki Lurah. Cuma satu-dua barak yang belum siap benar”.
“Bagus!” Uling Putih meneruskan,
“Pasingsingan dan Sima Rodra dari Lodaya akan hadir dalam pertemuan itu”.
“Tidakkah mereka akan berpihak?” sela Uling Kuning.
“Tidak, mereka pasti akan menghargai nama mereka masing-masing,” jawab Uling Putih.
Setelah itu mereka tidak berkata-kata lagi. Baru kemudian terdengar Sri Gunting mengatakan sesuatu, tetapi Mahesa Jenar sudah tidak dapat mendengar lagi.

DENGAN mendengar percakapan mereka, Mahesa Jenar dapat mengambil kesimpulan bahwa pertemuan tokoh-tokoh hitam itu nanti, tidak akan dilakukan di dalam benteng itu, tetapi di tempat lain. Hal ini mungkin atas pertimbangan pertimbangan keselamatan benteng itu atau untuk tetap merahasiakan sarang gerombolan Uling Rawa Pening. Karena itu segera Mahesa Jenar turun dan bergantungan pada sebuah sulur. Demikian ia sampai di tanah, cepat-cepat ia berusaha untuk dapat mengikuti kuda sepasang Uling itu. Untuk itu Mahesa Jenar tidak banyak menemui kesulitan. Kecuali ia sudah mengenal jalan sempit yang menuju keluar dari benteng, juga kuda-kuda itu tidak dapat berjalan cepat di jalan yang banyak rintangan itu. Beberapa ratus langkah kemudian, rombongan Uling membelok meninggalkan lorong semula dan menempuh jalan lain yang lebih sulit. Namun bagaimanapun juga Mahesa Jenar tetap dapat mengikutinya, meskipun kadang-kadang ia harus berlari-lari kecil, merangkak, meloncat dan merunduk, sehingga akhirnya Mahesa Jenar melihat di depannya terbentang sebuah padang rumput yang luas. Di pinggir padang itu sedang dibangun beberapa barak yang sebagian masih dikerjakan. Itulah tempat yang akan dipergunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan suatu pertemuan dari tokoh-tokoh golongan hitam. Mengingat apa yang akan terjadi di lapangan itu, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar juga.

Kemudian teringatlah ia kepada Ki Dalang Mantingan. Apakah orang itu sudah datang di daerah Rawa Pening ataukah belum. Dan mungkinkah Ki Dalang Mantingan dapat menemukan tempat pertemuan itu. Mengingat hal itu, Mahesa Jenar merasa perlu untuk berusaha menemui Ki Dalang Mantingan sebelum mereka menyaksikan pertemuan tokoh-tokoh hitam itu. Beberapa lama kemudian, setelah sepasang Uling itu berkeliling dan memeriksa barak-barak yang sedang diselesaikan itu, mereka pun pergi meninggalkan padang rumput itu kembali ke dalam benteng mereka. Mahesa Jenar pun menganggap bahwa ia tidak perlu terlalu lama lagi tinggal di situ. Ia masih mempunyai beberapa waktu menjelang hari yang ditentukan, untuk dapat melihat-lihat keadaan di sekeliling tempat itu, serta untuk menemui Ki Dalang Mantingan. Sementara itu, langit telah bertambah samar-samar. Matahari telah menghilang di bawah garis pertemuan bumi dan langit. Perlahan-lahan malam yang kelam turun menyeluruh, sedang di langit bintang-bintang timbul berebutan. Tetapi tidak lama kemudian, cahaya kuning memulai perjalanannya. Seolah-olah memberi peringatan kepada Mahesa Jenar bahwa dua hari menjelang, purnama penuh akan menyinari padang terbuka yang akan menjadi ajang pertemuan tokoh-tokoh dari golongan hitam.

Perlahan-lahan dan hati-hati Mahesa Jenar menyusup menjauhi padang rumput itu. Dengan mengenal daerah di sekitarnya, maka ia akan menjadi lebih aman. Gajah Sora pernah memperingatkan kecerobohannya pada saat ia memasuki sarang Harimau Gunung Tidar. Karena itu ia tidak mau mengulangi kesalahannya lagi. Setelah puas, Mahesa Jenar berputar-putar, dan segera menyusur tepi Rawa Pening, untuk mencapai daerah Banyubiru. Mungkin Mantingan masih berada di sekitar daerah itu, atau ia juga sedang berusaha untuk menemukan tempat yang akan dipergunakan untuk mengadakan pertemuan. Terhadap Mantingan, sebenarnya Mahesa Jenar masih agak was-was. Ia memang cukup berilmu. Tetapi berhadapan dengan Lawa Ijo, Jaka Soka dan sebagainya, Mantingan masih kalah setingkat. Ia pernah berkelahi dengan Mantingan, juga pernah berkelahi dengan tokoh-tokoh hitam, sehingga ia mempunyai ukuran dalam memperbandingkan kemampuan mereka. Tetapi yang belum pernah dilihatnya, bagaimana Mantingan menggerakkan trisulanya yang terkenal itu. Mudah-mudahan keahliannya menggunakan trisula akan dapat menandingi Lawa Ijo dengan pisau belatinya, atau Jaka Soka dengan tongkat hitamnya. Namun Mahesa Jenar yakin, bahwa waktu yang sedikit menjelang kepergiannya ke Rawa Pening, Mantingan pasti telah mendapatkan sesuatu dari gurunya, Kiai Ageng Supit. Kiai Ageng Supit adalah tokoh sakti yang tidak begitu dikenal, karena orang itu tidak banyak melakukan perbuatan-perbuatan yang menonjol di luar padepokannya. Tetapi muridnya, Mantingan, dalam setiap kesempatan selalu berusaha untuk menunjukkan jasanya kepada masyarakat di sekitarnya. Mungkin gurunya sengaja memerintahkannya berbuat demikian untuk mewakilinya.

Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar yang sedang berangan-angan, terkejut. Di tepi rawa itu ia melihat bayangan dua orang yang sedang berkelahi dengan dahsyatnya. Mahesa Jenar menjadi menduga-duga, siapakah mereka itu. Karena itu segera dengan hati-hati ia pun mendekatinya. Semakin dekat Mahesa Jenar dengan orang yang sedang bertempur itu, debar hatinya menjadi semakin keras pula. Di dalam sinar bulan yang hampir purnama itu Mahesa Jenar dapat melihat dengan jelas, bahwa kedua-duanya adalah pasti orang-orang yang berilmu tinggi. Tiba-tiba debar jantung Mahesa Jenar berubah menjadi degupan yang menghentak-hentak dadanya. Di dalam cahaya bulan yang kekuning-kuningan itu tampaklah berkilat-kilat sinar yang memantul dari senjata orang yang sedang bertempur itu. Senjata yang cukup dikenalnya, yaitu trisula. Karena itu cepat Mahesa Jenar mengetahui bahwa salah seorang dari mereka adalah Mantingan. Maka, Mahesa Jenar segera berusaha untuk semakin mendekat lagi. Tetapi sekali lagi detak jantungnya menyentak dan berdegupan dengan riuhnya, ketika ia melihat lawan Mantingan itu bersenjata bola besi yang diikat di ujung rantai. Juga senjata itu pernah dikenalnya. Yaitu senjata andalan dari kawan seangkatannya, seorang perwira dalam pasukan pengawal raja, yang bertubuh gemuk pendek, yakni Gajah Alit.

MAHESA JENAR menjadi agak keheran-heranan. Apakah kerja Gajah Alit di sini? Melihat cara Mantingan berkelahi, Mahesa Jenar menjadi kagum. Alangkah cepatnya ia mendapat kemajuan. Langkahnya jauh lebih lincah dari beberapa saat yang lalu, ketika ia harus menghadapinya sebagai lawan, serta unsur-unsur geraknya menjadi banyak dan berbahaya. Tetapi yang lebih mengagumkan Mahesa Jenar adalah cara Mantingan mempergunakan trisulanya. Ketiga ujung trisula itu seolah-olah berubah menjadi tangan-tangan besi yang siap menangkap dan membunuh setiap tubuh apapun yang tersinggung olehnya. Mahesa Jenar melihat bahwa sebenarnya Mantingan, pasti sudah menerima ilmu-ilmu baru dari gurunya. Tangannya yang satu lagi selalu bergerak, menjulur, dan trisulanya mendesing-desing menimbulkan sambaran-sambaran angin yang menakutkan. Karena itu, sekarang Mahesa Jenar tidak berwas-was lagi terhadap Mantingan. Dengan ilmunya itu Mantingan sudah dapat disejajarkan dengan Lawa Ijo, Jaka Soka, Sima Rodra dan sepasang Uling dari Rawa Pening. Seandainya dirinya tidak memiliki pengalaman yang lebih banyak, serta mendapat kesempatan untuk memiliki Aji Sasra Birawa, maka untuk dapat mengalahkan Mantingan dengan trisulanya adalah terlalu sulit.

Tetapi lawan Mantingan itu bukan orang kebanyakan pula. Ia adalah setingkat pula dengan Mahesa Jenar tanpa aji Sasra Birawa. Bahkan mungkin sepeninggal Mahesa Jenar, Gajah Alit yang dipercaya untuk mengisi kedudukannya. Ketika trisula Mantingan dengan dahsyat mematuk-matuk hampir mencapai tingkat tertinggi, maka pertempuran itu menjadi dahsyat sekali. Mahesa Jenar kemudian menjadi cemas ketika dilihatnya bahwa agaknya pertempuran itu telah mencapai puncaknya. Masing-masing telah mengeluarkan segala kemampuan yang ada untuk membinasakan lawannya. Melihat hal itu Mahesa Jenar menjadi ragu. Kalau ia melerai mereka, maka Gajah Alit pasti akan mengenalnya. Tetapi bila dibiarkan, pertempuran itu pasti akan membawa korban. Selagi Mahesa Jenar termangu-mangu, pertempuran itu menjadi semakin sengit. Trisula Mantingan bergerak dengan cepatnya seperti petir menyambar-nyambar, sedang senjata Gajah Alit berputar semakin cepat pula sehingga yang tampak hanyalah bayangan hitam yang bergulung-gulung mengerikan, seperti awan gelap yang hendak melanda dengan dahsyatnya. Beberapa kali rantai berkepala bola besi Gajah Alit berhasil melilit senjata lawannya, tetapi ia sama sekali tak berhasil merampasnya. Bahkan kadang-kadang mereka sampai lama berputar-putar, tarik-menarik senjata masing-masing, sehingga akhirnya terpaksa mereka berusaha untuk mengurai lilitan rantai itu.

Demikian senjata mereka terurai, demikian senjata-senjata itu kembali berputar, menyambar dan menusuk-nusuk dengan dahsyatnya. Melihat semuanya itu akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk melerai mereka. Karena itu segera ia meloncat maju mendekati arena pertempuran itu sambil berteriak nyaring,
“Tahan dirimu masing-masing. Hentikan pertempuran ini”.
Tetapi agaknya mereka yang bertempur itu sama sekali tak mendengarnya, sebab pendengaran mereka dikacaukan oleh bunyi senjata mereka yang berdesing-desing dan berdentangan saling beradu. Sedang perhatian mereka seluruhnya tertumpah pada upaya mempertahankan jiwa masing-masing. Karena itu sekali lagi Mahesa Jenar berteriak, lebih keras dari semula sambil meloncat lebih dekat lagi,
“Kakang Mantingan dan Adi Gajah Alit, hentikan pertempuran”.
Baru ketika mereka mendengar nama-nama mereka disebut, mereka menjadi terkejut. Apalagi, ketika mereka lihat seseorang mendekat, Mantingan dan Gajah Alit hampir berbareng meloncat surut, dan dengan herannya memandang kepada Mahesa Jenar yang kemudian meloncat diantara mereka. Tetapi untuk sesaat mereka tidak segera mengenal siapakah yang telah melerai mereka itu, sampai Mahesa Jenar berkata,
“Kakang Mantingan dan Adi Gajah Alit…. Adakah sesuatu yang tidak wajar, sehingga kalian terpaksa bertempur?”

Mantingan dan Gajah Alit, segera mengenal suara itu. Karena itu hampir berbareng mereka menyebut nama Mahesa Jenar.
“Ya, inilah aku,” jawab Mahesa Jenar.
Mendengar jawaban itu, segera mereka berloncatan maju sambil berebutan memberi salam.
“Kemanakah kau selama ini, Kakang?” tanya Gajah Alit,
“Kau begitu saja menghilang seperti hantu”.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab pertanyaan ini, tetapi malahan ia bertanya,
“Kenapa kalian bertempur?”
Mantingan dan Gajah Alit kemudian saling berpandangan. Memang sebenarnya mereka tidak mempunyai suatu alasan yang kuat, kecuali mereka sebenarnya hanya saling curiga.
“Aku tidak tahu sekarang,” jawab Gajah Alit sambil tersenyum-senyum. Wajahnya yang bulat itu masih saja memancarkan kejenakaannya.
“Kami sebenarnya tidak mempunyai urusan,” jawab Mantingan.
“Lalu apakah sebabnya?” tanya Mahesa Jenar heran.
“Sebenarnya kami belum saling mengenal,” jelas Mantingan.

MENDENGAR kata-kata itu, barulah Mahesa Jenar sadar bahwa sebaiknya ia memperkenalkan kedua orang yang baru saja bertempur itu. Dengan mengenal siapakah mereka masing-masing, hati Mantingan maupun Gajah Alit bergetaran. Bagi Mahesa Jenar, Gajah Alit adalah seorang perwira prajurit pengawal raja, yang pasti seorang prajurit pilihan. Sebaliknya nama Mantingan pernah didengar oleh Gajah Alit, sebagaimana Mahesa Jenar dahulu juga sudah mendengarnya, sebagai seorang yang telah berhasil membinasakan tiga orang perampok yang menamakan diri mereka Samber Nyawa. Dalam hati Mantingan merasa bersyukur bahwa ia masih tetap dapat mempertahankan dirinya terhadap Gajah Alit. Andaikata ia masih belum menerima ilmu Pacar Wutah dari gurunya, entahlah apa yang akan terjadi atas dirinya. Dan karena ilmu itulah maka Mantingan menjadi seorang yang perkasa. Gurunya sengaja memberikan ilmu itu sebagai bekal perjalanannya yang akan sangat berbahaya. Sejenak kemudian, kembali terdengar Mahesa Jenar bertanya kepada Mantingan dan Gajah Alit,
“Apakah urusan kalian, sehingga kalian sampai mempertaruhkan nyawa kalian?”
Gajah Alit tidak menjawab pertanyaan itu. Malahan ia menundukkan kepalanya dalam-dalam. Sebaliknya Mantingan mencoba untuk memberi penjelasan.
“Entahlah Adi, tetapi kami tadi telah berjumpa di tempat ini. Karena barangkali kami sama-sama tidak mau mengatakan keperluan kami, maka kami menjadi saling curiga. Aku mengira bahwa orang itu adalah salah seorang anggota golongan hitam, barangkali ia pun mengira aku demikian pula, sehingga akhirnya kami berkelahi. Mula-mulai kami tidak bersungguh-sungguh tetapi akhirnya kami jadi mata gelap”.

Mendengar keterangan Ki Dalang Mantingan, Mahesa Jenar tersenyum. Memang kadang-kadang kita harus mengalami peristiwa-peristiwa yang aneh, seperti apa yang pernah dialaminya di Prambanan dan Pucangan.
“Benarkah begitu, Adi Gajah Alit?” Mahesa Jenar menegaskan.
“Begitulah, Kakang,” jawab Gajah Alit,
“Sebab kami belum pernah saling mengenal. Untunglah bahwa Kakang Mahesa Jenar sempat melerai kami. Kalau tidak, barangkali ada bangkai Gajah tanpa belalai jadi makanan Gagak”.
Mahesa Jenar tertawa perlahan-lahan. Segera terdengar Mantingan berkata,
“Tuan terlalu merendahkan diri. Bersyukurlah aku, kalau sekarang aku masih sempat memandang bulan”.
“Aku tidak dapat mengatakan,” potong Mahesa Jenar,
“Siapakah yang lebih unggul diantara kalian. Karena itu kalian akan menjadi kawan yang baik bagiku di sini, di dekat sarang sepasang Uling Rawa Pening”.
Mahesa Jenar diam sebentar, kemudian ia meneruskan,
“Apakah sebenarnya kepentingan Adi Gajah Alit kemari?”
Gajah Alit menarik nafas. Ia akan menjawab, tetapi agak ragu-ragu sambil memandang Ki Dalang Mantingan, sampai Mahesa Jenar mendesaknya,
“Katakanlah. Kakang Mantingan adalah orang yang tahu membawa masalah”.
“Kakang….” Gajah Alit memulai,
“Kedatanganku adalah atas perintah Sultan. Sebab terdengar keterangan dari penjabat-penjabat rahasia, bahwa di sekitar rawa ini akan terjadi suatu pertemuan dari tokoh-tokoh golongan hitam. Karena itu aku mendapat perintah untuk mengadakan penyelidikan atas kebenaran berita itu. Maka dikirimkannyalah aku kemari”.

Mendengar keterangan Gajah Alit, Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Jadi kalangan istana sudah mendengar akan adanya pertemuan tengah bulan ini?”
“Ya,” Jawab Gajah Alit,
“Bahkan aku tidak seorang diri”.
“Kau tidak seorang diri?” ulang Mahesa Jenar.
“Aku dikirim bersama dengan Kakang Paningron”. Gajah Alit meneruskan.
Mendengar kata-kata Gajah Alit itu hati Mahesa Jenar jadi berdebar-debar juga. Paningron adalah salah seorang perwira dari jabatan rahasia. Ilmunya tidak kalah dengan ilmu yang dimiliki oleh Gajah Alit.
“Di manakah Adi Paningron sekarang?” tanya Mahesa Jenar.
“Sejak senja kami berpisah,” jawab Gajah Alit.
“Kami berusaha untuk menemukan tempat pertemuan Golongan Hitam itu. Tengah malam kami akan bertemu. Kalau malam ini tempat itu belum kami temukan, besok kami masih harus bekerja keras”.
Sesaat kemudian Mahesa Jenar jadi ragu. Kalau dari penjabat rahasia telah dapat mengetahui keberadaannya, maka ada kemungkinan dirinya dipanggil menghadap.
Kepada Gajah Alit, ia masih mungkin untuk memintanya tidak berkata apa-apa tentang dirinya. Tetapi bagaimana dengan Paningron? Agaknya Gajah Alit dapat menangkap perasaan Mahesa Jenar. Karena itu ia berkata,
“Kakang Mahesa Jenar tidak perlu khawatir tentang Kakang Paningron. Ia adalah seorang penjabat yang baik, tetapi juga bukan jenis orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain”.

Mendengar keterangan Gajah Alit, Mahesa Jenar tertawa pendek.
“Kau pandai menebak perasaan orang Adi. Mudah-mudahan demikianlah hendaknya”.
“Percayakan itu padaku,” tegas Gajah Alit.
“Baiklah…” kata Mahesa Jenar,
“Kalau demikian aku bersamamu menunggu kedatangannya. Juga adalah suatu keuntungan bahwa kau tidak berjalan bersama-sama dengan Adi Paningron. Sebab dengan demikian mungkin kalian telah menangkap Kakang Mantingan yang pergi seorang diri”.
Mendengar percakapan itu Mantingan tertawa pula, serta diantara tertawanya terdengar ia berkata,
“Aku pun tidak pergi seorang diri, Adi”.
“He…?” Mahesa Jenar dan Gajah Alit agak terkejut mendengar itu.
“Dengan siapa Kakang pergi?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku pergi bersama Kakang Wiraraga, kakak seperguruanku,” jawab Mantingan.

MAHESA JENAR dan Gajah Alit berbareng mengangguk-angguk. Terlintaslah dalam angan-angan mereka, bahwa kakak seperguruan Mantingan setidak-tidaknya adalah setingkat dengan Mantingan. Dan memang sebenarnyalah demikian. Kakak seperguruannya itu pun baru saja menerima ilmu Pacar Wutah berbareng dengan Mantingan, menjelang keberangkatan mereka. Meskipun Wiraraga lebih lama menekuni pelajaran gurunya, tetapi karena sifatnya yang pendiam dan jarang-jarang keluar dari padepokan seperti gurunya, maka Mantingan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas. Karena itu, keperkasaan Mantingan tidaklah kalah dengan kakak seperguruannya itu. Dalam perjalanannya yang berbahaya itu, Ki Ageng Supit tidak sampai hati melepaskan Mantingan pergi sendiri, sebab ia pernah mendengar siapa saja yang tergolong dalam lingkaran hitam. Karena itu ia minta Wiraraga menyertainya.
“Di manakah kakak seperguruan Kakang itu?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Seperti juga Adi Gajah Alit, Kakang Wiraraga memisahkan diri sejak kemarin. Malam ini kami berjanji akan bertemu. Meskipun tempat yang kita cari itu masih belum dapat kami temukan”.
“Mudah-mudahan Kakang Paningron tidak bertemu dan bertempur dengan kakak seperguruan Kakang Mantingan,” sela Gajah Alit sambil tertawa lucu.
“Mudah-mudahan,” jawab Mahesa Jenar.
“Kalau demikian…” lanjut Mahesa Jenar,
“Aku tunggu di sini. Kalian cari kawan-kawan kalian itu, dan bawalah mereka kemari. Tempat pertemuan itu tak usah kalian cari-cari lagi”.


<<< Bagian 024                                                                                              Bagian 026 >>>

No comments:

Post a Comment