KI PANDAN Alas tersenyum cerah. Sebagai seorang kakek yang sudah tua, ia merasa berbahagia ketika ia mengetahui bahwa cucunya telah mendapat sangkutan yang kuat, yang memiliki segala macam sifat manusia idaman. Lebih dari itu, Rara Wilis adalah satu-satunya orang di dunia ini yang akan melanjutkan aliran darah Ki Ageng Pandan Alas.
“Mahesa
Jenar….”, lanjut Ki Ageng Pandan Alas,
“Aku percaya
sepenuhnya kepadamu. Kau akan dapat menjaga Wilis lahir dan batin. Sebagaimana
kau ketahui, Wilis adalah seorang anak yatim piatu. Dan aku adalah satu-satunya
orang yang berkepentingan atas dirinya, sebelum kau.”
Pandan Alas
berhenti sejenak. Lalu sambungnya,
“Aku akan
lebih berbahagia lagi dengan sebuah harapan bahwa aku akan mendapat seorang
cicit yang akan menyambung saluran keluarga kami.”
Sekali lagi
wajah Mahesa Jenar menjadi kemerah-merahan, namun sambil mengangguk ia
menjawab,
“Mudah-mudahan
demikianlah apa yang akan terjadi Ki Ageng.”
Setelah Ki
Ageng Pandan Alas memberikan berbagai pesan, kemudian sampailah waktunya masa
perpisahan. Ki Ageng dan Sarayuda yang telah hampir sembuh benar dari
penyakitnya, pergi meninggalkan bukit itu, untuk menempuh perjalanan kembali ke
Gunung Kidul.
Sepeninggal
mereka, padepokan di atas bukit kecil itu mengalami kehidupan seperti
sediakala. Mahesa Jenar dan Arya Salaka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
suasana padepokan itu. Bahkan Arya Salaka beberapa waktu kemudian telah menjadi
terampil dan cekatan mengganti pekerjaan Karang Tunggal. Juga Rara Wilis,
meleburkan dirinya dalam kehidupan para endhang. Meskipun dalam saat-saat
tertentu mereka memisahkan diri, untuk memperdalam ilmu kanuragan. Dalam
waktu-waktu luang, Arya Salaka masih selalu berlatih keras di bawah asuhan
gurunya. Sekarang ia sama sekali tidak pernah berpikir bahwa dalam sejarah
perkembangan ilmunya ia pernah mengalami sisipan seorang guru lain, sebab
Mahesa Jenar ternyata memiliki ilmu yang jauh lebih dahsyat daripada yang
diduga semula. Ia sama sekali tidak tahu bahwa di dalam goa itu juga gurunya
menemukan inti dari segenap ilmu yang dipelajari sebelumnya. Demikian pula
agaknya Rara Wilis. Ketika ia melihat Mahesa Jenar dengan lincahnya menyambar dan
membebaskan dirinya dari tangan Jaka Soka dan janda Sima Rodra, ia menjadi agak
keheran-heranan. Bahkan waktu itu ia merasa agak aneh. Kalau saja waktu itu
dapat melihat dengan jelas dan orang yang membebaskannya itu tidak menyebut
dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh, mungkin ia akan
menyangkanya orang lain. Tetapi sekarang ia justru menjadi yakin kalau orang
itu benar-benar Mahesa Jenar, setelah ia melihat perkembangan ilmunya yang luar
biasa.
Tetapi yang
sama sekali tak mereka duga adalah keadaan seorang gadis kecil yang bernama
Widuri. Gadis yang nampaknya hanya dapat berlari-lari, tertawa dan kalau
mencubit sakitnya bukan main, namun ternyata bahwa gadis itu adalah seorang
gadis yang luar biasa pula, seperti saudara sepupunya, Karebet. Hal ini
ternyata pada suatu malam yang cerah, ketika Arya Salaka dengan tekunnya sedang
melatih diri di bawah pengawasan gurunya, tiba-tiba datanglah Kanigara bersama
anak gadisnya. Dan, dengan tidak terduga pula Kanigara berkata,
“Arya, aku
bawa kawan baik bagimu, daripada kau berlatih seorang diri atau terus-menerus
dengan gurumu. Dengan demikian kau akan dapat melakukan berbagai macam
percobaan dan penemuan-penemuan dari macam-macam pengalaman yang kau miliki,
dengan kesegaran baru. Bukankah begitu, Mahesa Jenar…?”
Mahesa Jenar
mengangguk kaku. Ia sama sekali tidak menduga bahwa gadis kecil itu memiliki
ilmu yang cukup untuk berlatih bersama Arya Salaka. Namun demikian ia tidak
bertanya apa-apa. Sebab ia yakin bahwa Kebo Kanigara pasti sudah dapat mengukurnya.
Demikian pula Rara Wilis yang hadir menyaksikan, menjadi sibuk menduga-duga
pula. Ketika ia melihat tingkat ilmu Arya Salaka, ia sudah menjadi keheranan.
Anak itu sudah mencapai tingkat yang sedemikian jauhnya. Ketika Rara Wilis
melihat anak itu bertempur dengan Janda Sima Rodra, dengan cara tikus-tikusan,
ia sudah mengagumi kelincahannya. Tetapi sekarang anak itu sudah mencapai
tingkat yang mungkin sejajar dengan dirinya. Dan sekarang ia akan melihat gadis
kecil itu memperlihatkan kecakapannya melawan Arya Salaka.
“Widuri…” kata
Kebo Kanigara lebih lanjut,
“Kau harus
merasa beruntung juga, bahwa di bukit kecil ini kau akan mendapat lawan
berlatih sepeninggal Karang Tunggal. Nah, bersiaplah. Darinya kau akan mendapat
banyak pelajaran yang berguna.”
Mula-mula
Widuri menjadi agak malu. Ia tidak biasa berlatih di hadapan orang banyak. Yang
biasa dilakukan adalah dengan ayahnya bersembunyi di dalam sebuah ruangan di
dalam goa. Di sanalah ia berlatih keras untuk mencapai tingkatan yang sekarang.
Agaknya darah yang mengalir dalam tubuh Widuri memang sudah disediakan untuk
menjadi orang yang perkasa, seperti saudara-saudara dari aliran darah
Handayaningrat. Apalagi Kanigara sebagai orang yang memiliki kesaktian tinggi,
tidak mempunyai orang lain yang dapat menerima warisan kesaktiannya, kecuali
seorang gadis. Karena itu, meskipun anaknya seorang gadis, namun dilatihnya
sejak kecil, agar kemudian mewarisi ilmunya. Demikianlah pada saat itu. Mahesa
Jenar, Rara Wilis dan Arya Salaka untuk pertama kalinya melihat bahwa Endang
kecil itu pun ternyata memiliki ilmu yang sudah dalam tingkatan yang tinggi.
Setelah Widuri mempersiapkan dirinya, maka segeralah latihan itu dimulai. Tentu
saja mula-mula Arya Salaka menjadi agak segan. Tetapi ketika latihan itu sudah
berjalan beberapa saat, ia benar-benar menjadi heran. Meskipun tidak terlalu
kuat namun Endang Widuri memiliki kelincahan yang luar biasa, seperti yang
selalu diperlihatkan kalau gadis itu sedang bergurau atau berlari-larian. Kali
ini segala geraknya itu diatur dengan rapi sehingga dengan demikian Widuri
telah dapat mengejutkan beberapa orang yang menyaksikan. Maka latihan itu
semakin lama menjadi semakin cepat. Kalau Arya Salaka mula-mula hanya berusaha
untuk melayani, akhirnya ia pun harus bekerja keras untuk sekali-sekali
melakukan tekanan-tekanan pada kawan berlatihnya itu. Bahkan kemudian latihan
itu menjadi semakin sengit, diluar dugaan.
KALAU saja
Endang Widuri seorang laki-laki yang memiliki kekuatan secara kodrati lebih
besar daripada seorang gadis, maka Widuri pada umurnya yang baru kira-kira 15
tahun itu pasti sudah semakin memiliki keperkasaan yang mengejutkan. Bahkan
mungkin dalam saat yang tidak lama akan dapat menyamai Arya Salaka. Pada saat
itu telah disaksikan suatu latihan yang mengherankan dari dua macam ilmu yang
berasal dari satu keturunan. Meskipun dalam perkembangannya agak berbeda namun
jelas bahwa unsur-unsur pokoknya tetap dalam garis yang sama. Gerak-gerak Arya
dipengaruhi oleh gerak berbagai jenis binatang, sedangkan gerak Widuri dilandaskan
pada kecepatan dan kelenturan seuai sifat-sifat alami seorang gadis. Akhirnya
tampak bahwa Endang Widuri masih belum dapat menyejajari Arya Salaka, namun hal
itu dapat diterima sebagai suatu kewajaran. Meskipun andaikata keduanya
benar-benar bertempur, Arya Salaka pun akan dapat dengan mudah mengalahkan
gadis kecil itu. Endang Widuri telah menimbulkan keheranan diantara para
penontonnya. Bahkan ayahnya pun lega menarik nafas panjang, karena jerih
payahnya selama itu ternyata cukup memberinya kepuasan. Yang paling tertarik
dari semuanya adalah Rara Wilis, yang merasa bahwa pada umur-umurnya sebesar
Widuri itu ia baru dapat dengan manjanya menarik-narik ujung baju ibunya.
Merengek dan berbagai polah yang kekanak-kanakan.
Karena itu
Wilis menjadi terharu melihat gadis kecil itu, yang sejak bayi ternyata sudah
tidak beribu lagi. Kemudian atas asuhan ayahnya telah dapat menunjukkan suatu
yang membanggakan, meskipun karena pengaruh keadaan, dimana ia bergaul dengan
rapatnya hanya dengan seorang laki-laki maka seolah-olah tingkah Widuri pun
dalam beberapa hal terpengaruh oleh kelakukan laki-laki. Tetapi agaknya latihan
yang memikat hati itu, tiba-tiba terhenti ketika mereka melihat seorang cantrik
yang berlari-lari dengan nafas terengah-engah. Bahkan Kanigara menjadi agak
terkejut, ketika cantrik itu dengan terputus-putus berkata diantara peredaran
nafasnya yang semakin cepat.
“Tuan… ada
seseorang mencari…”
Kanigara
mengerutkan keningnya, lalu bertanya,
“Siapakah yang
dicari…?”
“Tuan Mahesa
Jenar,” jawab cantrik itu.
“Aku…?” sela
Mahesa Jenar.
“Ya… sejak
tadi aku berkeliling bukit ini mencari Tuan,” sambung cantrik itu.
“Siapa…?”
tanya Mahesa Jenar pula.
“Aku tidak
tahu. Orang itu tidak menyebut namanya. Tetapi aku kenal dan pernah melihat
pengantarnya,” jawab cantrik itu pula.
“Siapakah
pengantarnya?” desak Mahesa Jenar tidak sabar.
“Mereka telah
agak lama menunggu Tuan.”
Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya, kemudian desaknya lagi,
“Ya, tetapi
siapakah dia…? Katamu kau kenal kepadanya.”
“Ya, aku
kenal, Tuan. Yang seorang adalah Ki Wiradapa, Lurah Gedangan, dan seorang
pengawalnya.”
“Wiradapa dari
Gedangan…?” ulang Mahesa Jenar terkejut.
Cantrik itu
menganggukkan kepala.
Maka tanpa
disadari, Mahesa Jenar memandang Kebo Kanigara yang agaknya tertarik juga
dengan pembicaraan itu, untuk mendapat pertimbangan. Namun agaknya Kebo
Kanigara tidak dapat menebak sesuatu. Maka katanya,
“Marilah kita
temui mereka.”
“Di manakah
Panembahan…?” tanya Kanigara kepada cantrik itu.
“Tamu itu tak
mencari Panembahan, Tuan,” jawabnya.
“Ya, tetapi
aku ingin tahu di mana Panembahan sekarang?” ulang Kanigara.
“Beliau ada di
Sanggar,” jawab cantrik itu.
Kanigara
mengangguk-angguk, lalu katanya kepada cantrik itu,
“Nah,
dahululah. Katakan kepada tamu-tamu itu bahwa sebentar lagi kami akan datang.”
Cantrik itu
membungkuk hormat, lalu berjalan meninggalkan tempat itu. Kemudian disusul pula
oleh Kebo Kanigara, Mahesa Jenar serta yang lain. Di salah satu rumah Padepokan
itulah Wiradapa menunggu. Maka ketika dilihatnya kemudian Mahesa Jenar beserta
beberapa orang mendatanginya, cepat-cepat ia bangkit dan dengan hormatnya
menyambut kedatangan mereka. Sedangkan Mahesa Jenar pun segera membungkuk
hormat kepadanya. Tetapi ketika ia melihat seorang lagi, yang mungkin orang
itulah yang diantarkan oleh Wiradapa, dada Mahesa Jenar menjadi bergetar.
Orang itu
adalah seorang yang telah lanjut usia. Rambutnya telah memutih, namun wajahnya
masih memancarkan kebesaran tekad serta keteguhan hati. Ketika orang itu
melihat Mahesa Jenar, untuk beberapa lama ia berdiri mengawasinya. Tetapi
kemudian ia bertanya,
“Bukankah
Anakmas Mahesa Jenar…?”
Mahesa Jenar
dengan agak gugup membungkuk sambil menyahut,
“Ya, Paman…
akulah Mahesa Jenar.”
“Syukurlah…
syukur bahwa aku benar-benar dapat bertemu dengan Anakmas setelah aku menempuh
perjalanan yang sulit. Di manakah cucu Arya Salaka…?” lanjut orang itu.
MAHESA JENAR
segera menjawab sambil menarik Arya Salaka,
“Inilah…
Paman.” Kemudian kepada Arya Salaka ia bertanya,
“Lupakah kau
dengan eyangmu…?”
Arya Salaka
tidak menjawab. Tetapi matanya memancarkan sinar yang ganjil. Ia merasa
seolah-olah berada dalam mimpi yang sama sekali tak diduganya.
“Inikah dia…”
tanya orang itu tak percaya.
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar.
“Inilah anak
itu.”
Tiba-tiba
orang itu maju selangkah lagi. Diraihnya anak yang sudah hampir melampaui
dirinya, dan dipeluknya seperti anak-anak. Dari mata orang tua itu membayanglah
suatu perasaan haru yang sangat, yang bahkan kemudian menjadi basah oleh
titik-titik air mata.
“Akhirnya
doaku serta doa seluruh penduduk Banyubiru dikabulkan oleh Tuhan Yang Maha
Adil,” gumam orang itu dengan suara yang sesak parau.
“Sehingga aku
masih berkesempatan bertemu dengan Cucu Arya Salaka sebelum umurku ini
berakhir.”
Arya Salaka
menundukkan wajahnya, seolah-olah ia pun sedang berusaha untuk menyembunyikan
perasaan haru yang dalam. Bahkan terasalah seakan-akan sesuatu menyumbat
tenggorokannya. Sejenak kemudian orang tua itu menggoyang-goyangkan tubuh Arya
Salaka, seolah-olah ingin melihat keperkasaaannya. Katanya kemudian,
“Kau berkembang
dengan suburnya. Tubuhmu menjadi demikian gagahnya, melampaui ayahmu.”
Arya Salaka
masih belum dapat menjawab. Ia menjadi bingung karena pertemuan yang tiba-tiba
itu.
Kemudian
Mahesa Jenar yang mewakili menjawabnya,
“Karena
pangestu Paman, Arya Salaka dapat tumbuh seperti yang aku harapkan.
Mudah-mudahan aku tidak mengecewakan ayahnya.”
Setelah itu
maka dipersilakanlah tamu-tamu itu untuk duduk kembali. Diperkenalkanlah Kebo
Kanigara dengan orang tua itu. Orang pertama di Banyubiru sesudah Ki Ageng Gajah
Sora. Dia adalah Wanamerta. Juga diperkenalkan lurah desa Gedangan, Wiradapa.
“Dari siapakah
Paman dapat mengetahui bahwa aku berada di bukit ini?” tanya Mahesa Jenar.
“Dari Adi
Wiradapa,” jawab Wanamerta. Dan seterusnya berceritalah Wanamerta, bagaimana ia
dapat mengikuti jejak Mahesa Jenar dan Arya Salaka.
“Anakmas, aku
berusaha secepatnya pergi ke Gedangan, suatu daerah yang belum pernah aku
datangi. Sebab dari seseorang kepercayaanku, aku mendengar bahwa Anakmas
beserta Arya Salaka pernah dijumpai oleh Cucunda Sawung Sariti di pedukuhan
itu. Menurut orang itu, Cucu Arya Salaka bahkan terlibat dalam suatu
pertempuran yang katanya dibantu oleh seorang yang tak dikenalnya, dan mengaku
ayahnya. Aku menjadi pasti bahwa orang yang dimaksud adalah Anakmas Mahesa
Jenar. Sebab sejak Cucunda Arya Salaka hilang dari Banyubiru, aku selalu
mengharap agar Cucunda Arya Salaka meninggalkan Banyubiru bersama-sama dengan
Mahesa Jenar, meskipun ada yang menduga bahwa Anakmas menjumpai kesulitan
dengan diketemukannya Kuda Anakmas tanpa penumpang.”
Orang tua itu
berhenti sejenak sambil membetulkan letak duduknya. Setelah menelan ludah,
kemudian ia meneruskan ceritanya, “Beberapa saat setelah Sawung Sariti pulang,
agaknya Pamingit mengadakan persiapan-persiapan baru dengan tidak mengikut
sertakan Laskar Banyubiru. Akhirnya yang aku dengar ialah, Sawung Sariti akan
mengerahkan pasukan yang lebih kuat lagi untuk mencari Anakmas Mahesa Jenar dan
Cucu Arya Salaka ke desa Gedangan. Karena itu aku tidak dapat berbuat lain
kecuali berusaha untuk mendahuluinya, memberitahukan hal itu kepada Anakmas.
Tetapi sampai di Gedangan, atas ancar-ancar orang tadi, Anakmas sudah
meninggalkan desa itu, pergi ke Padepokan Karang Tumaritis. Dan atas kebaikan
hati Adi Wiradapa, ia berkenan mengantarkan aku kemari, sebab katanya Adi
Wiradapa telah lama tidak bertemu dengan Anakmas Mahesa Jenar. Meskipun
mula-mula kami agak cemas, jangan-jangan Anakmas Mahesa Jenar telah
meninggalkan padepokan ini.”
Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya. Apa yang sebenarnya dicemaskan sejak lama, kini ternyata
benar-benar akan terjadi. Karena itu ia menjadi berpikir keras, bagaimanakah
sebaiknya cara yang akan ditempuh untuk menyelamatkan desa Gedangan yang pasti
akan menjadi ajang pertempuran. Dan karena itu pula agaknya Wiradapa sengaja
mengantarkan Wanamerta. Dalam pada itu kembali terdengar Wanamerta meneruskan
ceritanya,
“Yang lebih
mencemaskan lagi, Anakmas… agaknya Sawung Sariti telah bersepakat dengan Janda
Sima Rodra, yang menurut pendengaranku, suaminya terbunuh pula oleh Anakmas.”
Bagaimanapun
dada Mahesa Jenar berdesir. Ini berarti akan datang kekuatan besar. Ia yakin
bahwa dalam pasukan itu akan ikut serta Sima Rodra tua, bahkan mungkin Bugel
Kaliki. Tetapi agaknya Arya Salaka berpikir lain. Sebab tiba-tiba wajahnya
menjadi cerah. Kemudian sahutnya,
“Eyang
Wanamerta… aku akan sangat bergembira apabila Adi Sawung Sariti sudi sekali
lagi menemui aku. Sebab setelah sekian lama aku tidak bertemu, dan sesudah
pertemuan kami yang hanya sekejap, aku menjadi rindu kepadanya.”
“Ah, kau…”
potong Wanamerta.
“Aku memang
mendengar bahwa atas asuhan Anakmas Mahesa Jenar, kau pada waktu itu dapat
mengimbangi Sawung Sariti. tetapi karena itulah maka Sawung Sariti telah
bekerja mati-matian mesu dhiri. Kakang Sora Dipayana agaknya percaya pada
dongengan yang dibuatnya bersama ayahnya, Lembu Sora, sehingga dalam waktu yang
pendek itu ia telah menggembleng Sawung Sariti bukan main. Bahkan ayah-beranak
itu kini memiliki warisan kesaktian yang menakutkan dari Perguruan Banyubiru,
yaitu Lebur Sakethi, meskipun dalam tingkatan yang belum sempurna.”
SEKALI lagi
dada Mahesa Jenar berdesir. Lebur Sekethi adalah kesaktian yang luar biasa
dahsyatnya. Aji itu dapat disejajarkan dengan aji Cundha Manik dari Perguruan
Pandan Alas, Sasra Birawa dari Perguruan Pengging. Karena itu Ki Ageng Lembu
Sora yang memiliki kekuatan melampaui manusia biasa dengan pedangnya yang tidak
berukuran lumrah pasti akan menjadi seorang yang luar biasa pula. Juga anaknya
yang cerdik itu, pasti akan menjadi anak yang sangat berbahaya. Mahesa Jenar
kemudian menjadi menyesal pada keadaan, sehingga Ki Ageng Sora Dipayana dapat
terseret dalam keadaan yang pasti tidak dikehendaki sendiri. Tetapi kemudian
diingatnya bahwa orang tua itu sendiri berkata kepadanya, bahwa Lembu Sora
adalah anak kesayangan istrinya. Tidak mustahil kalau karena keadaan itu Lembu
Sora dapat memanfaatkannya dengan baik.
“Agaknya…”
lanjut Wanamerta,
“Kakang Sora
Dipayana lebih percaya kepada cerita Lembu Sora bahwa Anakmas Gajah Sora telah
tidak ada lagi. Dengan licinnya ia berpura-pura mengutus seseorang ke Demak
untuk mendapat berita kematiannya. Sebab dalam perjalanan ke Demak, pada saat
Anakmas Gajah Sora ditangkap, Laskar Banyubiru telah mengadakan suatu serangan
secara tiba-tiba.”
“Suatu cerita
atas kebohongan yang maha besar,” sahut Mahesa Jenar,
“Sebab aku
menyaksikan semuanya itu. Bahkan aku tahu pasti bahwa yang menyerang pasukan
Demak adalah orang-orang Lembu Sora sendiri.”
Mendengar
bantahan Mahesa Jenar itu, Wanamerta tersenyum. Lalu katanya,
“Kami, Laskar
Banyubiru, mengetahui kebohongan itu. Sebab andaikata apa yang dikatakan itu
benar, kamilah orang-orangnya yang disebutnya Laskar Banyubiru, atau
setidak-tidaknya aku mengetahui orang-orang itu.”
“Tidakkah
Paman Wanamerta mengatakan hal itu kepada Paman Sora Dipayana?” tanya Mahesa
Jenar.
“Aku sudah
mencobanya,” jawab Wanamerta.
“Tetapi
agaknya keteranganku itu diragukan. Bahkan beberapa saat kemudian Ki Ageng
Lembu Sora mulai bertindak memperkokoh kedudukannya di Banyubiru. Beberapa
orang telah disingkirkan. Sawungrana sebagai kau ketahui telah dibinasakan.
Sebelum itu Pandan Kuning telah dilenyapkan pula.”
“Paman Pandan
Kuning…?” potong Arya Salaka hampir berteriak.
Wanamerta
mengangguk kosong. Wajahnya yang sudah dipenuhi oleh garis-garis umur menjadi
semakin berkerut-kerut.
“Ya, Pandan
Kuning hilang beberapa saat sebelum Sawungrana. Kemudian datang giliran Bantara
dan Panjawi,” tegasnya.
“Juga kedua
paman itu…?” kembali Arya berteriak.
“Untunglah
bahwa kedua orang itu sempat mempertahankan dirinya, meskipun kemudian harus
meninggalkan Banyubiru,” lanjut Wanamerta.
Mendengar
kata-kata terakhir itu, tiba-tiba Arya meloncat maju. Sambil berdiri tegak di
atas kedua kakinya yang kuat, anak itu menengadahkan wajahnya yang keras penuh
gelora yang terlontar dari dadanya. Ia menjadi demikian marahnya sampai
tubuhnya seperti orang kedinginan. Kemudian ia berkata dengan suara gemetar,
“Tidakkah
seorang pun dapat mencegah perbuatan itu…? Eyang Wanamerta, aku tidak akan
menunggu sampai mereka datang mencari aku. Aku yang akan datang ke Banyubiru.
Aku yakin bahwa sebagian besar dari penduduk Banyubiru masih setia kepada ayah
Gajah Sora. Aku akan datang atas nama pimpinan tanah Perdikan Banyubiru yang
sebenarnya.”
Semua yang
menyaksikan tingkah laku Arya Salaka itu dadanya menjadi bergetar. Agaknya
dalam dada anak itu benar-benar mengalir darah kepemimpinan yang kuat dengan
penuh rasa tanggung jawab, meskipun masih dipengaruhi oleh masa remajanya yang
melonjak-lonjak. Lebih–lebih Wanamerta. Sekali lagi hatinya dirangsang oleh
perasaan haru yang mendalam, sehingga kembali matanya tampak mengaca. Tetapi ia
adalah seorang yang telah banyak merasakan pahit manisnya kehidupan. Juga
dialah yang paling mengetahui keadaan Banyubiru yang sebenarnya. Karena itu
dengan sabarnya Wanamerta mencoba menenangkan hati Arya Salaka.
“Duduklah
cucuku Arya Salaka. Kau benar-benar seperti ayahmu pada saat-saat seumur kau
ini. Tetapi dalam segala tindakan haruslah dipikirkan sampai titik-titik yang
sekecil-kecilnya, untung dan ruginya.”
Arya kemudian
menjadi tersadar dari gelora hatinya, sehingga ditundukannya wajahnya. Ia
kemudian menjadi agak malu kepada dirinya sendiri, yang seolah-olah menjadi
seorang perkasa yang tak terlawan. Sedang di dekatnya duduk orang-orang seperti
gurunya Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, dan yang lain.
Kemudian
bahkan keadaan menjadi hening. Yang terdengar hanyalah angin pegunungan yang
berdesir di dedaunan. Udara malam yang dingin terasa mengusap tubuh. Sesaat
kemudian barulah Wanamerta mulai berbicara kembali,
“Anakmas
Mahesa Jenar… terserahlah atas segala pertimbangan Anakmas. Apakah yang
sebaiknya kita lakukan.”
Mahesa Jenar
sekali lagi mengerutkan keningnya. Meskipun sebelum ia sampai ke Banyubiru
beberapa tahun lalu tidak ada sangkut pautnya dengan tanah perdikan itu, namun
sekarang tiba-tiba ia seakan-akan menjadi orang yang ikut bertanggungjawab.
Tetapi ia tidak akan menyingkirkan diri dari kepercayaan Wanamerta kepadanya.
Juga ia sendiri pernah menyatakan kesanggupannya untuk membantu segala
kesulitan yang mungkin timbul atas tanah perdikan itu kepada Gajah Sora.
Tentang Ki Ageng Sora Dipayana, Mahesa Jenar menduga pastilah ada sebab-sebab
lain kenapa orang tua itu berbuat demikian.
Sementara itu
kembali terdengar Wanamerta meneruskan,
“Kelakuan
Anakmas Lembu Sora tidak berhenti sampai sekian. Yang terakhir adalah usahanya
untuk menyingkirkan aku pula. Tetapi agaknya ia menemui kesulitan sehingga
rencana itu tertunda-tunda. Sedang aku sendiri sempat pula berusaha untuk
menjaga diriku. Sampai kemudian aku mendengar khabar akan usahanya untuk
mencari kembali Anakmas Mahesa Jenar dan cucuku Arya Salaka. Demikianlah,
Anakmas, keadaan Banyubiru. Sedemikian rumitnya sehingga aku tidak sabar
menunggu sampai besok.”
MAHESA Jenar
kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. beberapa saat kemudian ia menjawab
seperti orang bergumam kepada diri sendiri,
“Tetapi
agaknya mereka tidak akan ke Gedangan. Sebab Sima Rodra itu tahu pasti bahwa
aku dan Arya Salaka telah meninggalkan pedukuhan itu. Bahkan merekapun telah
pernah mengepung bukit kecil ini.”
“Tetapi mereka
tidak menemukan Anakmas di sini,” sahut Wanamerta.
“Aku telah
mendengar hal itu pula. Namun agaknya Anakmas Sawung Sariti masih menduga bahwa
Anakmas dan Cucu Arya berada di sekitar Gedangan dan Karang Tumaritis.”
Masalahnya
ternyata akan menjadi luas. Menyangkut daerah Gedangan dan sekaligus padepokan
yang damai ini. Beberapa saat yang lalu, daerah yang seolah-olah tidak pernah
tersentuh tangan – tangan dari luar padepokan ini telah dikacaukan oleh
kedatangan gerombolan orang-orang Sima Rodra untuk mencarinya, sekarang agaknya
akan mengalami keributan sekali lagi.
Apalagi ketika
kemudian terdengar Wiradapa berkata,
“Adimas Mahesa
Jenar, agaknya aku tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan hidup mati
rakyatku kepada Adimas. Sebab aku tahu apa yang akan terjadi seandainya kami,
orang-orang Gedangan sendiri yang harus mempertahankan diri atas dendam Sawung
Sariti yang menemui kegagalan di desa kami, dan sekaligus dendam yang tersimpan
di dada Janda Sima Rodra atas kematian suaminya.”
Mahesa Jenar
dapat mengerti sepenuhnya keadaan itu. Karena itu ia harus menemukan suatu cara
untuk mengatasi keadaan.
Tiba-tiba
bertanyalah ia kepada Wanamerta,
“Paman…, di
manakah Bantaran dan Panjawi sekarang?”
“Aku sudah
mencoba untuk menghubungi,” jawabnya. Mahesa Jenar menjadi semakin tertarik
pada keterangan itu, katanya,
“Apakah Paman
berhasil…?”
Wanamerta
menggelengkan kepalanya, jawabnya,
“Sayang…,
tidak. Tetapi setidak-tidaknya aku pernah mendengar kabar tentang kedua orang
itu. Agaknya mereka telah berhasil menyusun barisan meskipun masih terlalu
lemah. Bahkan diantara mereka ada beberapa orang yang belum kami kenal, yang
datang dari daerah Candi Jonggrang. Ia menggabungkan dirinya karena ia sudah
mengenal beberapa hal mengenai keadaan Banyubiru.”
“Siapa orang
itu…?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku belum
tahu pasti,” jawab Wanamerta.
“Menurut
pendengaran diantaranya bernama Mantingan dan Wirasaba.”
“Mantingan dan
Wirasaba…?” ulang Mahesa Jenar hampir berteriak.
Wanamerta
mengangguk. Namun ia menjadi keheranan. Agaknya Mahesa Jenar pernah mendengar
nama-nama itu. Karena itu ia bertanya,
“Adakah
Anakmas pernah mengenal mereka?”
Mahesa Jenar
mengangguk lemah. Jawabnya,
“Ya, aku
pernah mengenal mereka. Mantingan memang pernah datang ke daerah Banyubiru. Ia
tahu mengenai persoalan Arya. Aku pernah mengatakan kepadanya.”
“Syukurlah,”
gumam Wanamerta,
“Ada juga
kawan-kawan yang akan membantu kami.”
Kembali
suasana dicekam oleh kesepian. Masing-masing dengan angan-angannya sendiri.
Kebo Kanigara yang sejak tadi berdiam diri, nampak juga berpikir. Sebab ia pun
akhirnya akan langsung berkepentingan seandainya pasukan Sawung Sariti tiba.
Panembahan
Ismaya sama sekali tidak menghendaki kekerasan. Namun apakah ia akan tinggal
diam seandainya sekali lagi ada orang lain yang ingin merusakkan kedamaian
bukit ini.
Sedang Mahesa
Jenar ternyata kemudian tidak pula dapat meningggalkan Kebo Kanigara. Sebab
dalam anggapannya, sepeninggal gurunya, maka Kebo Kanigara yang dijumpainya
kemudian itu, dapat dianggap sebagai gantinya, meskipun umurnya jauh dibawah
umur gurunya.
Karena itu
maka kemudian terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Bagaimana
sebaiknya Kakang Kanigara…?”
“Kapankah
kira-kira Sawung Sariti akan membawa orang-orangnya…?” ia bertanya langsung
kepada Wanamerta.
“Segera
Anakmas,” jawab Wanamerta,
“Pada saat aku
berangkat, semua persiapan sudah selesai.”
Kanigara
mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Mereka datang
dengan pasukan, Mahesa Jenar. Kau tidak akan dapat melawannya seorang diri,
atau bersama-sama dengan dua tiga orang saja.”
“Ya,” sahut
Mahesa Jenar,
“Aku juga
harus melawannya dengan pasukan.”
Tiba-tiba
menyelalah Lurah Gedangan,
“Adimas Mahesa
Jenar, meskipun sedikit ada juga laskar di Gedangan. Apabila mereka berada
dalam pimpinan yang kuat, aku kira mereka tidak akan terlalu mengecewakan.
Bagaimanapun juga mereka akan menyerahkan dirinya untuk mempertahankan kampung
halamannya.”
Mahesa Jenar
dan Kanigara bersama-sama mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya mereka
sependapat bahwa kemungkinan untuk mempergunakan laskar Gedangan tidak dapat
dihindari lagi. Tetapi diantara mereka tampaklah Arya Salaka menundukkan
kepalanya. Didalam hatinya melilitlah suatu perasaan sesal yang dalam. Ia
menyesal pada keadaannya yang kurang baik. Ia menyesal pada keadaan keluarganya.
Satu-satunya pamannya yang seharusnya memberi pengayoman kepadanya, justru
telah mengkhianatinya.
Dalam pada itu
malam menjadi semakin dalam. Bintang-bintang di langit berkedipan dengan
lelahnya. Embun malam satu-satu mulai menggantung di dedaunan. Sesaat kemudian
dipersilahkanlah tamu-tamu itu untuk beristirahat. Sedang di ruang itu kemudian
tinggallah Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Rara Wilis. Namun pembicaraan mereka
masih belum berkisar sama sekali dari masalah pasukan-pasukan Pamingit yang
bakal datang.
“Mahesa
Jenar…” kata Kebo Kanigara,
“Kau adalah
seorang bekas prajurit yang mumpuni. Aku kira dalam hal ini kau lebih
berpengalaman daripadaku. Karena itu, aku minta kau mengusahakan agar apa yang
akan terjadi nanti tidak mengganggu ketenteraman hidup di atas bukit kecil
ini.”
MAHESA JENAR
nampak berpikir keras. Akhirnya ia menjawab,
“Kakang…, aku
kira pasukan itu akan benar-benar merupakan pasukan yang kuat. Karena itu,
menurut perhitunganku, sebaiknya kami tidak menunggu pasukan itu sampai datang
di daerah bukit ini atau pedukuhan Gedangan. Tetapi sebaiknya kami harus
menyongsong pasukan itu. Kami sergap mereka di perjalanan. Mudah-mudahan mereka
tidak akan menduga bahwa hal itu akan terjadi.”
Kebo Kanigara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya rencana itu baik. Karena itu jawabnya,
“Bagus…. Aku
sependapat dengan kau. Daerah yang berbukit-bukit ini akan banyak memberikan
keuntungan pada kita.”
Demikianlah
akhirnya mereka bersepakat, bahwa mereka tidak akan menanti pasukan Pamingit
itu sampai ke daerah ini, tetapi mereka akan mempergunakan laskar dari Gedangan
untuk menyongsongnya. Malam itu hampir tak ada seorang pun yang dapat tidur.
Apalagi Arya Salaka. Kepalanya dipenuhi oleh berbagai masalah yang
menghentak-hentak. Namun ia bersyukurlah kepada Tuhan Yang Maha Pengasih, bahwa
meskipun pamannya sendiri sampai hati untuk membinasakan, tetapi diletakkan-Nya
orang lain, yang sebenarnya tidak ada sangkut paut apapun, untuk melindunginya.
Pagi itu, ketika di timur fajar merekah, Kanigara telah menghadap Panembahan
Ismaya. Diuraikan semuanya yang didengar dari Wanamerta, Wiradapa dan Mahesa
Jenar tentang kemungkinan kemungkinan yang bakal terjadi. Tampaklah betapa
pedih hati orang tua itu. Sebenarnya ia sama sekali tidak mau melihat atau
mendengar tentang pertempuran-pertempuran dan perkelahian-perkelahian.
“Panembahan…”
Kanigara mencoba menjelaskan,
“Apa yang akan
kami lakukan adalah suatu usaha untuk menghindarkan pertumpahan darah yang
dapat mengganggu ketenteraman bukit kecil ini. Karena itu dengan terpaksa kami
harus menyambut kedatangan mereka sejauh mungkin dari tempat ini. Sebab kalau
tidak, akibatnya akan tidak menyenangkan sekali. Jauh lebih tidak menyenangkan
dari kedatangan rombongan yang kemarin mengepung bukit ini.”
Panembahan
Ismaya tidak dapat mengatasi keterangan Kanigara lagi. Karena itu katanya,
“Terserahlah
kepadamu Kanigara. Tetapi janganlah menjadi kebiasaan, bahwa sesuatu masalah,
harus diselesaikan dengan pertumpahan darah.”
Kanigara
menundukkan kepala. Perkataan Panembahan Ismaya itu merupakan suatu peringatan
langsung kepadanya, bahwa bagaimanapun juga, Panembahan itu lebih senang
apabila setiap persoalan dapat diselesaikan dengan musyawarah. Tetapi keadaan
kali ini adalah sedemikian sukarnya untuk diatasi dengan jalan itu. Masalahnya
adalah pertentangan kepentingan yang sama sekali berlawanan. Satu pihak ingin
menelan suatu daerah yang sama sekali bukan haknya, sedang satu pihak yang lain
ingin mempertahankan haknya atas daerah itu. Apapun alasannya kemudian, tetapi
hakekatnya adalah perkembangan dari masalah itu juga. Maka mereka yang merasa
berkepentingan segera mempersiapkan dirinya. Baik jasmaniah maupun rohaniah.
Mereka masing-masing telah membulatkan tekad, untuk melawan kekuatan yang
merupakan pengejawantahan dari keserakahan itu dengan mati-matian. Pagi hari
itu juga, Wanamerta, Wiradapa dan Mahesa Jenar, dibawa menghadap Panembahan
Ismaya. Kecuali untuk memperkenalkan diri, sekaligus mereka mohon pangestu
untuk menjalani kewajiban luhurnya. Setelah mendapat beberapa petunjuk dan
nasehat, segera mereka meninggalkan bukit kecil itu, menuju ke Gedangan.
Kanigara, Rara Wilis, Arya Salaka tidak ketinggalan. Bahkan Widuri pun tidak
mau berpisah dengan ayahnya. Karena itu, iapun ikut serta dalam rombongan kecil
itu. Ketika mereka sampai di padukuhan Gedangan, segera terjadilah kesibukan.
Mahesa Jenar mulai mengatur segala persiapan yang diperlukan. Laskar Gedangan
dibaginya dalam beberapa kelompok. Dalam waktu yang singkat ia harus sudah
dapat membentuk laskar itu menjadi laskar yang siap untuk bertempur melawan
laskar yang mempunyai pengalaman luas dalam peperangan.
Yang dapat
membantunya dalam pembentukan dan persiapan itu hanyalah Kanigara dan
Wanamerta. Sebab meskipun Wilis dan Arya mempunyai ilmu yang cukup, namun
mereka belum berpengalaman dalam gelar perang. Mereka hanya memiliki kemampuan
dalam hal berkelahi seorang lawan seorang. Meskipun demikian, Mahesa Jenar
dapat memanfaatkan pula Arya Salaka. Dilatihnya anak itu untuk menjadi salah
seorang pimpinan kelompok. Sedang kelompok-kelompok yang lain diserahkannya
kepada Wanamerta, Kanigara dan dirinya sendiri. Pada hari kelima, sejak mereka
mulai mengadakan persiapan-persiapan, datanglah seseorang berkuda ke pedukuhan
itu. Ternyata orang itu adalah salah seorang yang ditugaskan oleh Wanamerta
untuk mengamati gerak-gerik pasukan Pamingit. Menurut laporannya, pasukan
Pamingit telah mulai bergerak. Mereka mengambil jalan selatan, lewat Gunung
Tidar dan kemudian menyusur hutan-hutan yang tak begitu lebat diantara gunung
Sumbing dan Sindara, untuk kemudian sampai ke Wanasaba. Dari sana mereka
menyusun panjatan langsung dan menyebarkan orang-orangnya mencari Mahesa Jenar
dan Arya Salaka. Mendengar laporan itu Mahesa Jenar berpikir keras. Mereka
harus mengusahakan agar pasukan dari Pamingit yang bergabung dengan gerombolan
Gunung Tidar itu datang bersama-sama, supaya rencana penyergapan dapat
berlangsung. Sambil mencari jalan sebaik-baiknya untuk menjebak pasukan dari
Pamingit itu, mereka dengan semangat yang menyala-nyala melatih diri. Siang dan
malam tak henti-hentinya. Disamping itu, setiap orang berusaha untuk
meningkatkan kemampuan perseorangan pula. Tidak saja laskar Gedangan, tetapi
juga Arya Salaka, Rara Wilis, bahkan Mahesa Jenar sendiri. Mereka dalam
waktu-waktu yang luang, betapapun sempitnya, selalu dipergunakan
sebaik-baiknya.
PADA hari yang
keduabelas, sekali lagi datang seorang berkuda. Orang itu juga salah seorang
petugas Wanamerta. Ia datang dengan membawa laporan bahwa orang-orang Pamingit
bersama-sama rombongan dari Gunung Tidar telah berada di sekitar Wanasaba.
Bahkan mereka sudah bergeser lagi sedikit ke utara. Dari sana mereka berusaha
untuk menyebar orang-orangnya di seluruh daerah pegunungan ini sampai ke
daerah-daerah di sekitarnya. Sebab menurut mereka, usaha ini harus merupakan
usaha yang terakhir. Arya Salaka haus dapat ditangkap hidup atau mati.
“Siapa yang
ikut dalam rombongan itu?” tanya Mahesa Jenar.
“Sawung
Sariti, Janda Sima Rodra, Jaka Soka…” jelas orang itu.
“Juga Jaka
Soka?” tanya Mahesa Jenar kembali.
“Ya, agaknya
iapun merasa mempunyai kepentingan,” jawab orang itu.
Mendengar
keterangan itu, meremanglah bulu-bulu kuduk Rara Wilis. Sekarang sebenarnya ia
sudah tidak perlu takut lagi apabila ia harus berhadapan dengan orang itu
sebagai lawan, meskipun ia masih kalah pengalaman. Namun setidak-tidaknya ia
akan dapat menjaga dirinya. Meskipun demikian, apabila ia mendengar nama itu,
tubuhnya terasa juga meremang. Sebab ia sudah terlanjur ngeri mendengar nama
itu.
“Orang lain
lagi…?” desak Mahesa Jenar.
“Yang mengerikan
diantaranya mereka terdapat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki,” jawabnya.
“Sudah kami
duga sebelumnya,” sahut Mahesa Jenar.
Oleh
keterangan-keterangan itu, maka Mahesa Jenar harus menyesuaikan rencananya.
Tetapi belum lagi ia dapat menemukan pemecahan yang baik, tiba-tiba pada hari
kelimabelas datanglah seroang dengan keterangan yang mengejutkan. Katanya,
“Sebuah
rombongan kecil telah menyusur lambung Gunung Perahu, menuju ke daerah ini
juga. Mereka dipimpin langsung oleh Sepasang Uling dari Rawa Pening.
Wanamerta
mengerutkan keningnya. Dari wajahnya yang tua itu, memancarlah api kemarahan
tiada terhingga.
“Sungguh
merupakan usaha gila-gilaan. Uling itu akan bersyukur juga kalau Banyubiru
jatuh ke tangan Lembu Sora. Sebab dengan demikian ia akan semakin leluasa
bergerak di daerah Rawa Pening,” katanya geram.
“Bukan itu
saja Paman…” potong Mahesa Jenar,
“Tetapi
sebentar lagi daerah-daerah itu akan
ditelannya.
Pamingit oleh Sima Rodra, dan Banyubiru oleh sepasang Uling itu.”
Kembali
terdengar gigi orang tua itu menggeretak. Lembu Sora baginya tidak kurang dan
tidak lebih dari seorang yang sama sekali mengabdi kepada kepentingan sendiri,
yang bahkan tega mengorbankan saudara tuanya. Tetapi mereka tidak cukup dengan
mengumpat-umpat saja. Untuk mengatasi bahaya yang akan datang, Mahesa Jenar dan
kawan-kawannya harus bersiaga. Mereka menempatkan beberapa orang untuk dapat
mengawasi setiap gerakan yang mencurigakan. Ketika Mahesa Jenar telah merasa
bersiap, maka ia tidak perlu lagi menunggu lebih lama. Bahkan kalau mungkin ia
melawan rombongan itu satu demi satu. Sebab apabila kekuatan kedua rombongan
itu bergabung, akan merupakan kekuatan yang mungkin sulit untuk diimbangi.
Namun meskipun demikian, pantang ia menyingkirkan diri. Sebab dengan demikian
ia akan membebankan segala dendam kepada penduduk Gedangan. Maka yang mula-mula
dilakukan adalah memancing pertempuran dengan rombongan Sawung Sariti
secepatnya. Tetapi cara yang mula-mula dipikirkan, untuk mencegat rombongan
itu, terpaksa dipertimbangkan kembali. Sebab setiap saat rombongan Uling dapat
datang dari jurusan lain.
Ketika pada
suatu hari beberapa orang pengawas dapat menangkap seorang yang dicurigai,
Mahesa Jenar berhasrat untuk melakukan maksudnya. Setelah Mahesa Jenar mempersiapkan
pasukannya dalam kesiagaan penuh, dipanggilnya orang tangkapan itu menghadap.
Maka bertanyalah ia kepadanya,
“Siapakah
kau?”
“Aku seorang
perantau, Tuan…, yang berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk menyambung
hidup,” jawabnya.
Mahesa Jenar
tersenyum, lalu katanya,
“Dari manakah
asalmu?” Orang itu ragu sebentar, kemudian jawabnya,
“Banyubiru,
Tuan.”
“Bagus…” desis
Mahesa Jenar.
“Katakan
kepadaku siapakah kepala daerah perdikanmu?” Kembali orang itu ragu. Namun
akhirnya ia menjawab pula,
“Ki Ageng
Lembu Sora.”
“Bagus, kau
berkata sebenarnya,” sahut Mahesa Jenar.
“Di mana
sekarang Lembu Sora itu?”
“Di Banyubiru,
Tuan” jawabnya.
“Di mana
anaknya?” desak Mahesa Jenar.
Orang itu diam
merenung. Tampaklah wajahnya mulai gelisah.
“Di mana?”
bentak Mahesa Jenar.
“Di Pamingit,
Tuan” jawabnya.
“Kau mulai
tidak berkata sebenarya,” sahut Mahesa Jenar.
“Aku akan
mencoba memaksamu supaya kau tidak berkata demikian.”
ORANG itu
menjadi semakin gelisah. Apalagi ketika tiba-tiba Mahesa Jenar minta seseorang memanggil
Wanamerta. Demikian Wanamerta muncul, mengalirlah keringat dingin di punggung
orang itu. Sebagai seorang laskar Pamingit, ia pernah mengenal Wanamerta
sebagai orang kedua di Banyubiru, yang harus selalu berhubungan dengan Ki Ageng
Lembu Sora dalam hal pemerintahan, meskipun ada usaha-usaha untuk
menyingkirkannya. Melihat orang itu, Wanamerta tersenyum. Ia pun sekali dua
kali pernah melihat orang itu. Karena itu bertanyalah Wanamerta,
“Aku
mengucapkan selamat atas kedatanganmu Ki Sanak.”
Keringat dingin
di punggungnya menjadi semakin banyak mengalir. Ia sama sekali tidak menduga
bahwa Wanamerta berada di tempat itu. Karena itu ia sama sekali tidak dapat
menjawab sapanya. Sehingga kembali terdengar Wanamerta meneruskan,
“Aku sudah
lama menunggu salah seorang sanak keluarga dari Pamingit yang sudah menengokku
di sini. Sekarang agaknya ada juga yang datang, malahan agaknya dalam jumlah
yang cukup banyak.”
Orang itu
masih berdiam diri. Ia tidak tahu apa yang akan dikatakan. Sebab agaknya
Wanamerta telah mengetahui gerakan yang dilakukannya.
“Ki Sanak…”
kata Mahesa Jenar kemudian,
“Kau tidak
usah takut. Bukankah kau mendapat perintah untuk mencari Arya Salaka…?”
“Tidak Tuan,”
jawab orang itu bergetar mencoba menutupi kesalahannya.
“Jangan
bohong. Aku tidak apa-apa. Bahkan aku akan membantumu. Katakan kepada
pimpinanmu, bahwa apa yang dicarinya masih ada di Gedangan. Tidak usah ia
mencari kemana-mana. Juga tidak usah ke Karang Tumaritis.”
Orang itu
menjadi semakin bingung. Apalagi dalam pada itu tiba-tiba dilihatnya Wanamerta
menarik belati dari pinggangnya.
“Ampun…, ampun
tuan….” teriak orang itu.
Wanamerta
tersenyum, katanya,
“Ki Sanak.
Telah sekian lama aku menahan diri. Sekarang aku ingin menumpahkan kemarahanku
kepadamu. Bukankah kau salah seorang dari mereka yang telah mengeruhkan suasana
Banyubiru…?”
“Tidak Tuan,
aku hanya sekedar mendapat perintah,” jawab orang itu ketakutan.
Dalam pada itu
Mahesa Jenar pun kemudian menjadi cemas. Ia tidak berhasrat untuk menciderai
orang yang hanya merupakan seorang pesuruh saja. Apalagi dengan demikian,
maksudnya untuk memancing pertempuran akan tertunda.
Agaknya
Wanamerta mengetahui perasahaan Mahesa Jenar itu. Maka katanya,
“Jangan takut
Ki Sanak. Aku tidak akan membunuhmu. Tetapi aku ingin membuat suatu kenang-kenangan
padamu, bahkan suatu bukti bahwa kau telah melakukan kewajibanmu dengan baik.”
Sehabis
berkata demikian, Wanamerta yang sudah tua itu meloncat dengan garangnya, dan
hampir tak dapat diikuti gerakannya, tiba-tiba di dahi orang itu telah terdapat
dua goresan bersilang. Baru kemudian disusul oleh sebuah jeritan kesakitan.
Dari luka itu mengalirlah darah yang merah segar. Mahesa Jenar sendiri terkejut
melihat hal itu. Namun ia tidak dapat mencegahnya. Ia menyadari betapa geram
orang tua itu terhadap Lembu Sora dan orang-orangnya.
“Nah…” kata
Wanamerta kemudian,
“Pergilah.
Katakan kepada Sawung Sariti, bahwa Arya Salaka dan Mahesa jenar masih berada
di Gedangan. Bahkan Wanamerta yang tua pun berada di sana. Dengan demikian kau
akan mendapat tanda jasa atas hasil pekerjaan yang kau lakukan.”
Bagaimanapun
juga orang itu adalah seorang laki-laki. Karena itu ia menjadi tersinggung
sekali atas perlakuan itu. Dihina terasa pedih sekali, sedang darah yang
mengucur dari luka itu telah membasahi baju serta kainnya, membuat
gambaran-gambaran merah yang mengerikan. Tetapi dalam pada itu ia merasa bahwa
ia tidak akan dapat melawan Wanamerta dan Mahesa Jenar. Maka yang dapat
dilakukan kemudian hanyalah mengumpat habis-habisan,
“Tuan-tuan
telah menghina aku. Ini berarti bahwa Tuan-tuan telah menghina pimpinanku.
Jangan Tuan mengira bahwa Tuan akan luput dari hukumannya. Tunggulah Tuan…. Aku
akan kembali sekali lagi dan menggoreskan silang ke dahi Tuan.”
Sekali lagi
Wanamerta tersenyum aneh, jawabnya,
“Pergilah
sebelum aku menambah kenang-kenangan pada tubuhmu. Katakan kepada pemimpinmu,
bahwa seandainya mereka yang datang, pada dahi merekalah aku akan membuat tanda
silang itu.”
Penghinaan itu
sudah melampaui batas. karena itu, orang itu sudah tidak mau menunggu lagi.
Cepat ia meloncat lari secepat-cepatnya kembali menghadap Sawung Sariti.
Sepeninggal orang itu, segera Mahesa Jenar mengatur pasukannya. Sebab orang
yang dilukai oleh Wanamerta itu pasti akan menambah-nambah cerita. Dan kalau
demikian maka keadaan akan menguntungkan sekali. Sehingga Mahesa Jenar tidak
harus melawan dua rombongan dari jurusan yang berbeda sekaligus, dibawah
pimpinan masing-masing, orang-orang buas yang sakti. Apa yang diharapkan itu
datanglah. Pada pagi berikutnya, seorang pengawas melaporkan bahwa dari arah
selatan tampaklah barisan berobor, mendekati Gedangan. Itulah barisan Sawung
Sariti.
Mahesa Jenar
cepat menyiapkan orang-orangnya. Ia sendiri beserta Kanigara memimpin laskar
yang langsung akan melawan pasukan yang datang, sedang Arya dan Wanamerta
dibantu oleh Wiradapa diperintahkannya untuk kemudian menyerang dari sayap kiri
dan kanan. Dengan demikian Mahesa Jenar dan Kanigara akan dapat lebih dahulu
memilih lawan-lawannya.
No comments:
Post a Comment