Bagian 100


DI hutan ini pula ia bertemu dengan kakeknya, Ki Ageng Pandan Alas. Dan di hutan ini pula ia hampir di terkam Ular Laut yang mengerikan. Tetapi semuanya itu sudah lampau. Semua pahit getir penghidupan telah dialami. Bahaya yang dilampauinya tidak saja di hutan Mentaok ini, namun kemudian nyawanya pun telah diserahkannya untuk merebut kembali ayahnya dari tangan Harimau betina di Gunung Tidar. Namun ayahnya itu telah mati pula. Kini ia tinggallah seorang gadis yatim piatu. Di hutan itu, di daerah Pliridan yang sepi itulah mereka bermalam kembali. Daerah yang pernah memberi mereka suatu kenangan yang pahit. Tetapi pada malam itu, mereka dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang yang bertubuh besar dan begis. Mereka dengan serta merta mengancungkan senjata-senjata mereka kepada rombongan itu.
“Apakah kehendakmu?” bertanya Sarayuda kepada pemimpin mereka.
“Harta atau nyawa?” gertak mereka.
Sarayuda tertawa. Jawabnya,
“Kenallah kalian kepada kami?”
Orang itu menarik alisnya. Kemudian geramnya,
“Persetan dengan kalian. Aku tidak pernah bertanya, siapakah korbanku kali ini. Semua pedagang yang lewat di daerah ini adalah hidangan buat kami.”
“Kami telah membawa beberapa orang pengantar yang akan dapat melawan kalian.”
“Hem, aku sudah tahu. Kalian pasti membawa beberapa orang pengantar. Nah sekarang biarlah kami bertempur. Pekerjaan ini sudah kami lakukan bertahun-tahun.”

Sekali lagi Sarayuda tertawa. Karena itulah maka pemimpin mereka membentak.
“Jangan tertawa. Ayo, apakah kau pemimpin dari para pengawal.”
Sarayuda maju selangkah. Kemudian katanya,
“Berapa orangkah jumlah kalian?”
“Lima belas orang” sahut orang itu.
“Kalau kami memberi tanda, maka akan datang lagi lima belas orang pula.”
Tiba-tiba sebelum Sarayuda menjawab, maka Mahesa Jenar telah melangkah maju pula. Dengan tenangnya ia berkata.
“Jangan membual. Apakah kau sekarang bergabung dengan sisa anak buah Lawa Ijo?”
Pemimpin rombongan itu terkejut. Diamat-amatinya Mahesa Jenar dengan seksama. Kemudian katanya,
“Siapakah kau?”
“Sakayon” jawab Mahesa Jenar.
“He?” mata orang itu terbelalak.
“Darimana kau tahu namaku?”
“Aku Sakayon dari Gunung Tidar. Dahulu aku adalah anak buah Sima Rodra.”
Orang itu menjadi semakin heran. Namun ketika terpandang olehnya wajah Mahesa Jenar yang semakin lama menjadi semakin jelas, maka terdengar suaranya parau,
“Apakah kau Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar tersenyum. Jawabnya
“Kau masih mengenal aku? Kapankah kau melihat wajahku?”

Sakayon pernah melihat Mahesa Jenar beberapa kali. Ia ikut dengan Sima Rodra ke Gedangan, ia turut pula mencegat laskar Demak di Gunung Telamaya, dan ia melihat Mahesa Jenar bertempur melawan beberapa orang tokoh hitam. Karena itu, setelah Sakayon itu yakin, bahawa yang berdiri dihadapannya itu Mahesa Jenar, maka katanya terbata-bata.
“Mahesa Jenar, kami tidak tahu, bahwa rombongan ini adalah rombonganmu. Karena itu, maka aku mencegatnya. Aku sangka bahwa rombongan ini adalah rombongan para pedagang yang akan menyeberangi hutan ini.”
“Hem. Jadi perbuatan-perbuatan yang demikian itu masih saja kalian lakukan setelah lurahmu mati?”
Sakayon tidak menjawab, tetapi kepalanya ditundukkannya.
“Sakayon, apakah kau percaya, bahwa rombonganku akan dapat menumpas rombonganmu sekarang ini?”
Wajah Sakayon menjadi pucat. Sekali ia berpaling. Dilihatnya beberapa anak buahnya menjadi heran. Tetapi ada di antaranya yang pernah melihat Mahesa Jenar. Bekas anak buah Sima Rodra dan bekas anak buah Lawa Ijo yang bergabung itu, kini diliputi oleh ketegangan. Namun mereka yang baru dalam pekerjaannya, mencoba untuk masih menunjukkan kegarangannya.
“Siapakah orang itu kakang Sakayon?”
“Mahesa Jenar” jawab Sakayon gemetar.
“Apakah orang itu anak gendruwo, sehingga kita takut kepadanya.”
“Bukan saja anak gendruwo” jawab salah seorang di antara mereka bekas anak buah Lawa Ijo.
“Tetapi anak malaekat.”

Orang baru itu menjadi heran. Apalagi ketika ia mendengar Sakayon menjawab.
“Aku percaya Mahesa Jenar. Aku minta maaf.”
“Lihatlah, di antara orang-orang ini adalah prajurit-prajurit pilihan.” berkata Mahesa Jenar menakut-nakuti.
“Kami mendapat tugas untuk memusnahkan gerombolan-gerombolan yang masih saja mengacau di hutan Mentaok ini. Kami harus membersihkan hutan Mentaok, Tambak Baya dan daerah-daerah Beringan dan Pacetokan, seluruhnya.”
“Ampun. Kami minta ampun,” tiba-tiba suara Sakayon menjadi semakin gemetar dan cemas.
“Kami akan mengampuni kalian, tetapi ada syarat-syaratnya!”
Sakayon terdiam. Ia tidak tahu, syarat apakah yang akan dituntut oleh Mahesa Jenar itu. Karena itu, maka ia menunggu Mahesa Jenar berkata,
“Sakayon. Kami mendapat tugas untuk memberantas kejahatan di hutan ini. Kalau kalian berjanji untuk menghentikan kejahatan ini, maka kalian akan aku ampuni. Namun kalau tidak, maka jangan mengharap kalian hidup lebih lama lagi. Kemana saja kalian bersembunyi, maka kami pasti akan dapat menemukan. Kami bawa kalian ke Demak dan kalian akan kami adu melawan harimau di alun-alun sebagai tontonan.”

Sakayon dan beberapa orang di dalam gerombolan itu tahu benar siapa Mahesa Jenar itu. Karena itu maka katanya,
“Baiklah Mahesa Jenar. Aku terima syarat itu.”
Mahesa Jenar tertawa. Katanya,
“Aku sudah mengenal watak kalian. Kalian berjanji hanya apabila kalian menghadapi bahaya. Meskipun demikian aku percaya padamu kali ini. Kembalilah ke rumahmu masing-masing, dan cobalah hidup seperti orang-orang lain. Mereka tidak perlu mengalami kegelisahan seperti yang selalu kau alami. Dengan demikian maka kau akan dapat hidup tentram.”
Sakayon menggeleng. Jawabnya,
“Aku sudah tidak mempunyai rumah dan tempat tinggal. Aku adalah seorang layang kabur kanginan.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Namun kemudian ia berkata,
“Sakayon. Daerah ini adalah daerah yang subur. Dahulu Pliridan adalah daerah yang ditinggali oleh beberapa orang petani. Kau dapat mengusahakan tanah ini. Dengan tekad yang baik, kau akan dapat berhubungan dengan orang-orang lain untuk mengadakan tukar menukar hasil tanah ini dan mungkin hasil hutan yang dapat kau usahakan.”

Sakayon mengangguk-anggukkan kepalanya. Terjadilah suatu pergolakan di dalam hatinya. Kata-kata Mahesa Jenar itu tanpa sesadarnya telah direnungkannya, dan dicernakannya di dalam hatinya, sehingga akhirnya terdengar kata-kata di dalam hatinya,
“Mahesa Jenar berkata sebenarnya.” Ditambah lagi dengan rasa takutnya atas ancaman Mahesa Jenar untuk membawanya ke Demak dan mengadunya dengan harimau di alun-alun. Sedang ia percaya sepenuhnya, bahwa Mahesa Jenar itu pasti akan dapat berbuat demikian. Menangkapnya kemana saja ia bersembunyi. Karena itu maka katanya.
“Mahesa Jenar. Aku berterima kasih atas segala nasehatmu. Akan aku coba untuk mengusahakan tanah ini. Dan aku coba untuk menghubungi keluarga kami dengan tekad yang baik. Mudah-mudahan aku berhasil.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia maju selangkah menepuk bahu Sakayon sambil berkata.
“Sarungkan senjatamu.”
Sakayon tidak dapat berbuat lain daripada menyarungkan goloknya sambil menundukkan kepalanya. Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika di dengarnya seorang daripada anak buahnya, seorang anak muda yang bertubuh tinggi tegap, setegap raksasa kerdil, berkata dengan lantang.
“He, kakang Sakayon. Sejak kapan kau menjadi seorang perempuan cengeng.”
Sakayon mengangkat wajahnya. Jawabnya.
“Jangan melawan Gendon. Tak ada gunanya. Lebih baik kau dengarkan nasihatnya.”

Anak muda yang bernama Gendon itu sama sekali tidak puas. Di samping Sakayon ia merasa orang yang paling penting di dalam gerombolan itu. Karena itu, maka ia melangkah maju sambil menunjuk wajah Mahesa Jenar.
“He apakah kau memiliki guna-guna dan menenung kakang Sakayon sehingga ia menjadi tunduk kepada kemauanmu?”
Mahesa Jenar menggeleng.
“Tidak. Aku tidak dapat merenungnya. Tetapi ia dalah sahabat lamaku.” Gendon menjadi heran. Sekali ia memandang wajah Sakayon, namun betapa pun juga ia tidak yakin akan kata Mahesa Jenar.Maka dengan lantangnya ia berkata,
“Kalau kau tidak ikut kakang Sakayon. Maka biarlah aku selesaikan pekerjaan ini sendiri. Ayo, siapa ikut aku?”
Beberapa orang di antara mereka melangkah maju. Namun mereka menjadi heran, justru orang-orang lama, anak buah Sakayon sendiri dan bekas anak buah Lawa Ijo yang mereka bangga-banggakan sama sekali tidak bergerak. Bahkan diantaranya berkata. “Jangan”.
Tetapi Gendon yang merasa usahanya selama ini selalu berhasil tidak memperdulikannya. Dengan goloknya ia menunjuk wajah Mahesa Jenar.
“Ayo, berikan semua harta bendamu.”
Mahesa Jenar memandang anak muda itu dengan sedih. Anak itu memiliki tubuh yang kokoh kuat dan memiliki sikap yang meyakinkan. Namun sayang. Ia terperosok dalam lingkungan yang kelam. Mahesa Jenar tidak segera menjawab, maka terdengar anak itu membentak kembali.
“Ayo. Cepat”. Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Sambil menunjuk Sarayuda ia berkata.
“Lihatlah. Kawanku itu berpedang pula di lambungnya. Kau tahu gunanya pedang?”
Gendon ragu-ragu sejenak. Kemudian teriaknya.
“Tidak peduli. Serahkan harta benda yang kau bawa.”

Mahesa Jenar menggigit bibirnya. Ketika ia berpaling, masih dilihatnya beberapa orang kawan-kawan Sarayuda duduk dengan tenangnya. Mereka sama sekali hampir tidak tertarik pada gerombolan itu. Sebab mereka yakin benar, apa yang akan dapat dilakukan oleh Sarayuda dan Mahesa Jenar, meskipun ia tidak kehilangan kewaspadaan. Bahkan beberapa di antara mereka telah meraba hulu pedang mereka. Hanya Rara Wilislah yang kemudian bangkit berdiri sambil berkata.
“Sakayon. Apakah kau tidak mau membawa orang-orangmu pergi.”
“Oh” Sakayon tergagap.
Namun Gendon itu berteriak.
“Ha. Ternyata ada seorang gadis pula di antara mereka. Agaknya gadis itu tak kurang cantiknya. Ayo, menyerahlah. Dan serahkan gadis itu kepadaku.”
Tiba-tiba Mahesa Jenar membungkukkan badannya. Katanya,
“Baiklah ambillah gadis itu kalau mau. Tetapi jangan ganggu rombongan ini.”
“Ah” desah Rara Wilis. Ia tahu Mahesa Jenar akan menunjukkan kepada anak muda itu, bahwa ia sedang berhadapan dengan orang-orang yang tak akan mungkin dikalahkannya. Gendon ragu-ragu sesaat. Namun kemudian ia berkata.
“Baiklah, ayo ikut aku. Aku tidak akan mengganggu kalian, asalkan, kecuali gadis ini, semua harta bendamu aku bawa pula.”
Rara Wilis maju beberapa langkah. Tiba-tiba ditariknya pedang dari lambung Sarayuda. Dengan lantang gadis itu berkata.
“Pergilah anak muda. Pergilah.”
Gendon terkejut. Tiba-tiba ia meloncat mundur. Dilihatnya Rara Wilis itu maju lagi sambil mengacungkan pedangnya.
“Pergilah.”
Gendon diam sesaat. Namun yang terdengar suara Mahesa Jenar.
“Anak itu bukan Jaka Soka Wilis.”
“Ah” kembali Rara Wilis mendesah.

Tetapi Gendon belum mengenal Rara Wilis. Ia menjadi rikuh kepada kawan-kawannya. Ternyata gadis ini akan melawannya. Sarayuda yang membiarkan pedangnya ditarik oleh Rara Wilis tertawa saja sambil bertolak pinggang. Agaknya Rara Wilis yang paling tidak senang melihat gerombolan itu, sebab ingatannya tentang gerombolan semacam itu, benar-benar mendirikan bulu romanya. Karena itu maka segera ia berusaha untuk mengusirnya. Tetapi ketika Gendon menyadari keadaannya, ia menjadi sangat marah. Karena itu dengan serta merta ia menyerang Rara Wilis dengan garangnya, meskipun ia hanya bermaksud untuk menakut-nakuti. Tetapi terjadilah hal yang tak di sangka-sangka. Tiba-tiba Rara Wilis menggerakkan pedangnya dalam putaran untuk melibat golok lawannya. Alangkah terkejutnya Gendon itu. Pedang Rara Wilis itu seakan-akan melilit goloknya dan sebuah tekanan yang kuat telah melemparkan goloknya beberapa langkah. Sebelum ia mampu berbuat sesuatu terasa ujung pedang Rara Wilis melekat di dadanya. Tubuh Gendon itu pun kemudian menjadi gemetar. Terasa bahwa nyawanya tiba-tiba saja telah bergerak ke ubun-ubunnya.
Sebelum Rara Wilis berkata sepatah kata pun, maka terdengar Mahesa Jenar mendahului,
“Bagaimana? Apakah kau benar-benar ingin membawa gadis itu?”
“Tidak-tidak” suara Gendon menjadi gemetar seperti tubuhnya.Sakayon hampir tak dapat menahan tawanya. Namun kemudian ia berkata,
“Aku minta ampun untuknya, Mahesa Jenar.”
“Pergi, pergi” berkata Rara Wilis lantang. Ia menjadi muak melihat orang-orang yang kasar dan bengis itu berdiri saja dimukanya.
“Baiklah” sahut Sakayon,
“Kami akan pergi. Dan kami akan mencoba melakukan nasihat-nasihatmu, Mahesa Jenar.”
“Cobalah” sahut Mahesa Jenar.
“Hari depanmu masih cukup panjang untuk menghapus noda-noda yang melekat pada tubuh dan jiwamu.”
Sakayon itu pun kemudian mengajak kawan-kawannya pergi. Gendon berjalan paling belakang sambil menundukkan wajahnya. Ia tidak dapat mengerti, kenapa ia berjumpa dengan seorang gadis garang itu. Namun akhirnya ia mendengar seluruhnya dari Sakayon. Siapa-siapa saja yang berada di dalam rombongan itu. Terutama Mahesa Jenar dan Rara Wilis.

KETIKA kemudian malam itu telah lampau, dan matahari pergi dengan cerahnya menjengukkan dirinya dari balik kaki langit, maka rombongan itu berangkat pula meneruskan perjalanan mereka. Namun kini mereka tidak melintas hutan Tambak Baya, tetapi mereka menempuh jalan lain, agak ke selatan terus ke Gunung Kidul. Di iringi oleh angin pagi, dan kicau burung-burung liar, mereka berjalan dengan hati yang terang seperti terangnya matahari. Langit yang biru bersih sekali membayang di sela-sela dedaunan di hutan yang semakin lama menjadi semakin tipis. Sehingga akhirnya, mereka menempuh jalan di antara padang-padang rumput dan gerumbul-gerumbul rindang. Setelah mereka berjalan sehari penuh, maka mulailah mereka sampai pada lembah-lembah yang subur di daerah Gunungkidul.
“Kami tidak akan bermalam lagi” berkata Sarayuda.
“Meskipun malam, kami harus memasuki induk Kademangan malam ini juga.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Di pandanginya lembah-lembah yang hijau di penuhi oleh tanaman-tanaman padi yang subur. Di sana-sini, dalam jarak yang cukup jauh, dilihatnya beberapa buah pedesaan seperti pulau yang terapung di tengah-tengah lautan yang hijau.
“Daerah yang luas dan terpencar-pencar.” berkata Sarayuda ketika ia melihat wajah Mahesa Jenar yang bersungguh-sungguh.
“Ya” sahut Mahesa Jenar.
“Dimanakah induk Kademanganmu.”
Sarayuda tertawa.
“Masih jauh,” jawabnya.
“Kami harus mendaki bukit di hadapan kita itu. Nah, di sanalah aku tinggal.”
“Kenapa tidak di lembah yang subur ini?”
“Dari bukit ini aku dapat melihat, hampir seluruh tanah-tanah ngarang yang terbentang di bawah kaki bukit. Bukankah Ki Ageng Gajah Sora membuat rumahnya di lereng Telamaya pula? Tidak di ngarai?”

Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya kembali. Dari segi-segi yang lain, agaknya rumah di atas bukit benar-benar menguntungkan. Seandainya rumah di atas bukit benar-benar menguntungkan. Seandainya harus dilakukan perlawanan atas penyerangan-penyerangan yang kuat, maka kedudukan mereka yang berada di lereng menjadi lebih baik. Sebenarnyalah malam itu mereka memasuki induk desa Kademangan Gunung Kidul. Demikian mereka mendekati pedesaan itu, maka seorang dari para pengikut Sarayuda harus berpacu lebih dahulu menyampaikan kabar kedatangan mereka kepada Ki Ageng Pandan Alas. Sungguh di luar dugaan. Tiba-tiba mereka mendengar kentongan berbunyi bertalu-talu. Kentongan yang agaknya memberi tanda kehadiran Mahesa Jenar dan Rara Wilis di Kademangan Gunungkidul.
“Orang-orang di Gunungkidul telah berpesan kepadaku, apabila kelak aku datang bersama Mahesa Jenar dan Rara Wilis, maka mereka minta supaya mereka diberitahukan. Kentongan itu adalah tanda untuk itu.”
“Hem. Terlalu berlebih-lebihan,” gumam Mahesa Jenar.
“Bukan maksudku. Mereka menganggap bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang aneh. Lebih-lebih lagi adalah Rara Wilis. Setiap orang di Gunung Kidul telah mendengar, bahwa Rara Wilis telah berhasil membinasakan Harimau Betina yang pernah merobek-robek hati ibunya.”

Mahesa Jenar tidak menjawab. Namun ia menjadi terharu ketika tiba-tiba di dengarnya Rara Wilis mengeluh. Betapa pun gadis itu berusaha menahan hatinya, namun sambutan yang berlebih-lebihan itu benar-benar telah meneteskan air matanya. Suara kentongan dan kata-kata Sarayuda telah membangkitkan perasaan yang melonjak-lonjak di dalam hatinya. Tanah yang terbentang di hadapannya benar telah menumbuhkan berbagai kenangan. Kenangan tentang dirinya di masa-masa kanak-kanak, tentang ibunya dan tentang ayahnya. Di kenangnya betapa perempuan yang cantik namun berhati ganas telah merampas ayahnya. Di kenangnya ketika ia mencoba memanggil ayahnya di rumah perempuan itu pada saat ibunya sakit. Namun bukan main marah ayahnya kepadanya. Dan di usirnya seperti anjing di iringi oleh derai tertawa perempuan iblis itu. Tetapi perempuan itu telah mati. Mati karena ujung pedang yang diterimanya dari kakeknya, Ki Pandan Alas, yang oleh penduduk sedesanya dikenal dengan nama Ki Santanu. Dan kini, setelah bertahun-tahun ia meninggalkan kampung halaman yang penuh dengan kenangan pahit itu, ia akan kembali pulang. Dikenangnya, bahwa pada saat ia meninggalkan tanah itu, tak seorang pun yang dipamitinya. Tak seorang pun yang melambaikan tangannya sebagai ucapan selamat jalan. Ia pergi saja seperti ia memang harus pergi.

Tetapi ketika kini ia kembali, maka hampir seluruh penduduk induk Kademangan itu mengelu-elukannya. Menyambutnya sebagai seorang yang sedemikian penting di Kademangan itu.
“Alangkah bahagianya seandainya ibuku menyaksikan sambutan untukku ini,” desah di dalam hatinya.
“Tetapi ibu itu telah meninggal dalam keadaan yang pedih.”
Air mata Rara Wilis itu masih menetes terus. Dan karena itu maka Mahesa Jenar dan Sarayuda sama sekali tidak berkata sepatah kata pun juga. Akhirnya, mereka melihat berpuluh-puluh obor keluar dari induk desa di hadapan mereka. Obor-obor itu berkumpul di sebuah lapangan, seperti sebuah alun-alun kecil di muka rumah Sarayuda. Rumah yang besar dan berhalaman luas. Rumah seorang Demang yang kaya raya. Mahesa Jenar dan Rara Wilis itu menjadi berdebar-debar karenanya. Mereka sama sekali tidak dapat membayangkan bahwa mereka akan mengalami sambutan yang demikian meriahnya. Sambutan yang menurut mereka adalah berlebih-lebihan. Tetapi Sarayuda memang menyambut Rara Wilis dan Mahesa Jenar itu dengan caranya. Ia ingin melenyapkan kesan tentang luka yang pernah terpahat di hatinya. Luka yang sebenarnya tak akan dapat disembuhkannya. Namun dengan jujur Sarayuda telah berusaha. Ia benar-benar melepaskan Rara Wilis dengan hati yang ikhlas. Dan gadis itu kini tidak lebih daripada adik seperguruannya. Mereka memasuki halaman rumah Sarayuda, maka demikian hati Mahesa Jenar dan Rara Wilis berdesir. Di pendapa Kademangan itu telah dibentangkan tikar pandan. Beberapa orang tua-tua telah menunggu mereka di pendapa. Karena mereka melihat rombongan itu memasuki halaman, demikian mereka serentak berdiri dan turun ke halaman.

Rara Wilis tertegun ketika ia melihat seorang perempuan muda datang menyambutnya. Seorang yang pernah dikenalnya dimasa kanak-kanaknya sebagai kawannya bermain. Kini perempuan itu benar-benar menjadi seorang perempuan yang cantik, apalagi dalam pakaian yang cukup baik.
“Kau Rati,” sapa Wilis.
Perempuan itu tersenyum sambil memegang kedua lengan Rara Wilis dengan eratnya.
“Kau tidak lupa kepadaku, Wilis.”
“Tentu tidak” sahut Wilis.
“Kita sama-sama mengalami masa-masa yang pahit pada masa kanak-kanak kita. Kau tahu bahwa hari ini aku akan datang?”
Perempuan yang bernama Rati itu berpaling ke arah Sarayuda. Katanya,
“Kakang Sarayuda memberitahukan kepadaku.”
“Wilis,” berkata Sarayuda.
“Rati kini adalah istriku.”
“Oh” suara Wilis terputus. Tiba-tiba terasa sesuatu yang tak dimengertinya bergolak di dalam dadanya. Dengan cepatnya melintas di dalam angan-angannya, betapa Sarayuda pernah menjadi hampir gila karenanya. Hampir saja Sarayuda binasa dalam perkelahian di Karang Tumaritis karenanya pula.
Kini setelah Sarayuda itu melepaskan niatnya dengan ikhlas, maka dihadapannya berdiri Rati, kawannya bermain di masa kanak-kanaknya, sebagai istri Sarayuda itu. Karena itu maka tiba-tiba ia menjadi terharu. Dan dengan serta merta dipeluknya perempuan itu erat-erat.
“Rati. Aku mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan kau akan menemukan kebahagiaan untuk seterusnya.”

Rati pernah mendengar, apa yang terjadi atas kawannya itu. Ia pernah mendengar dari Sarayuda sendiri, yang berkata dengan jujur tentang hari-hari lampaunya. Dan Rati sama sekali tidak berkeberatan atas masa lampau itu. Tetapi yang penting baginya, masa lampau adalah sumber perhitungan buat masa depan. Namun masa depan itu sendirilah yang terlebih penting baginya. Dan ia percaya bahwa Sarayuda benar-benar telah melepaskan semua hasratnya terhadap gadis cucu gurunya itu. Rati itu pun menangis pula ketika Rara Wilis menangis sambil memeluknya. Betapa pun garangnya gadis yang bernama Rara Wilis itu, namun ia adalah seorang gadis. Gadis yang dipengaruhi oleh segala macam keadaan di masa kanak-kanaknya, sehingga Rara Wilis benar-benar menjadi seorang gadis perasa. Seorang gadis yang mudah meruntuhkan keharuan. Namun sejenak kemudian pendapa Kademangan Gunung Kidul itu menjadi sangat meriah. Hampir-hampir menyerupai sebuah perhelatan. Meskipun segala macam persiapan dilakukan dengan tergesa-gesa, namun bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis, sambutan itu benar-benar telah mendebarkan jantung mereka. Sambutan yang sama sekali tak disangka-sangkanya.

Ki Santanu sendiri bahkan hampir tak dapat berkata apa pun dalam penyambutan itu. Di lingkungan sanak kadang, maka seakan-akan lenyaplah sifat anehnya, sifat-sifat Pandan Alasnya. Ia tidak lebih dari orang-orang tua yang lain, yang duduk berjajar sambil berkelakar. Namun Ki Santanu benar-benar menjadi terharu, ketika ia melihat, bahwa seorang keturunannya akan mendapat tempat yang baik di dalam perjalanan hidupnya.
“Mudah-mudahan Wilis dapat menyambung darah keturunan Pandan Alas” katanya di dalam hati.
Maka sejak hari itu, Mahesa Jenar dan Rara Wilis hidup dalam lingkungan keluarga Sarayuda. Mereka tidak boleh meninggalkan rumah, meskipun rumah Rara Wilis yang dahulu masih juga ada, ditunggui oleh beberapa orang keluarganya meskipun sudah jauh. Namun Sarayuda minta kepada mereka untuk tinggal bersamanya.
“Rumahku cukup luas Mahesa Jenar,” berkata Sarayuda.
“Biarlah Wilis tinggal di dalam bersama Rati dan biarlah kau tinggal digandok kulon.”
“Terima kasih Sarayuda,” sahut Mahesa Jenar namun terasa sesuatu berdesir di dadanya.
Rumah itu bukan rumahnya sendiri.

Apakah kelak kalau ia telah berkeluarga, ia akan tinggal di rumah orang lain pula? tidak di rumah sendiri? Suatu persoalan yang selama ini belum pernah dipikirkannya. Tetapi Mahesa Jenar tidak menyesal, bahwa selama ini ia telah menyerahkan hampir segala-galanya kepada suatu pengabdian. Pengabdian yang luhur dan ikhlas. Karena itu, maka Mahesa Jenar pun dengan mantap memandang ke depan, ke hari yang akan datang. Teringatlah ia akan kata-kata Rara Wilis, bahwa perkawinan bukanlah pertanda bahwa segalanya telah selesai, namun perkawinan juga merupakan pertanda akan mulainya persoalan-persoalan baru yang tidak kurang rumitnya. Dalam pada itu, Rara Wilis sebagai seorang gadis tidak dapat melupakan sejenak pun akan hari-hari yang dijelangnya. Dari Rati ia mendengar, betapa hari-hari permulaan benar-benar memberinya kebahagiaan. Dan Rara Wilis pun merindukan hari-hari itu. Karena itu, maka hampir setiap saat gadis itu telah mereka-reka apa saja yang harus dilakukan sebagai seorang istri. Kewajiban-kewajiban rumah tangga yang pasti akan jauh berbeda dari yang penah dilakukannya. Tangan yang kecil itu tidak harus lagi bermain-main dengan pedang, namun harus digenggamnya sebilah pisau dapur untuk menyiapkan masakannya.
Tetapi tiba-tiba angan-angan itu digetarkan oleh peristiwa yang benar-benar mengejutkan. Dengan tergesa-gesa seseorang memberitahu, bahwa ada tiga orang tamu yang ingin menemui Mahesa Jenar dan Rara Wilis.
Ketika Mahesa Jenar mendengar berita itu, dadanya pun tergetar pula. Karena itu maka segera ia ingin tahu, siapakah yang datang itu.
“Tiga orang berkuda dari Banyubiru” sahut orang itu.
Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar. Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu telah terjadi. Tetapi sebagai seorang tamu,ia tidak dapat menerima orang itu tanpa setahu Sarayuda. Namun Sarayuda segera berkata,
“Marilah. Persilahkan mereka kemari. Dimanakah mereka sekarang?”
“Mereka masih di alun-alun,” jawab orang itu.
“Seorang anak muda yang sedang bekerja di sawah telah membawa mereka sebagai penunjuk.”

Orang itu pun kemudian mempersilakan tamu-tamu itu masuk ke halaman, desir dada Mahesa Jenar menjadi semakin keras. “Bantaran.” desisnya.
Setelah mereka dipersilakan duduk di pendapa Kademangan, maka dengan ramahnya Demang Sarayuda bertanya-tanya tentang keselamatan mereka, perjalanan mereka dan yang mereka tinggalkan.
“Semuanya baik Ki Demang,” sahut Bantaran.
“Perjalananku baik, dan yang berada di Banyubiru pun baik.”
“Syukurlah” sahut Demang itu. Namun Mahesa Jenar melihat sesuatu yang menggelisahkan di wajah Bantaran. Sehingga setelah mereka bercakap-cakap sejenak, maka Mahesa Jenar yang segera ingin tahu persoalan yang dibawanya itu bertanya.
“Apakah ada sesuatu yang perlu kau sampaikan kepadaku Bantaran, atau kau hanya sekadar melihat jalan yang harus ditempuh, apabila kelak beberapa orang dari Banyubiru akan berkunjung kemari?”
Bantaran menarik nafas panjang. Kemudian setelah ia bergeser sedikit, mulailah ia berbicara tentang keperluannya. Katanya, “Kedatanganku yang pertama-tama memang hanya sekadar melihat, bagaimanakah jalan yang kira-kira akan ditempuh, apabila nanti beberapa orang dari Banyubiru akan berkunjung kemari.” Bantaran itu berhenti sejenak.
Namun Mahesa Jenar menangkap sesuatu di balik kata-kata itu. Meskipun demikian dibiarkannya Bantaran berkata terus.
“Tetapi di samping itu,” berkata Bantaran itu.
“Aku mendapat pesan dari angger Arya Salaka yang harus aku sampaikan kepada kakang Mahesa Jenar di sini.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Apakah pesan itu?”
“Lupakanlah dahulu pesan itu, Adi Bantaran. Tinggallah disini dua atau tiga hari. Baru kau sampaikan pesan itu,” potong Sarayuda.

Namun Bantaran itu tersenyum. Katanya,
“Sebenarnya aku ingin berbuat demikian. Tetapi biarlah aku menyampaikan pesan itu. Kalau kemudian aku harus tinggal di sini untuk sementara, aku akan sangat bersenang hati.”
“Baiklah” sahut Mahesa Jenar,
“Sarayuda pasti tidak akan berkeberatan.”
Sarayuda itu pun tertawa.
“Silakanlah. Mungkin Mahesa Jenar segera ingin mendengarnya. Tetapi dengan syarat, bahwa pesan itu tidak akan memberinya rangsang yang menggelisahkan.”
“Entahlah” jawab Bantaran,
“Mudah-mudahan tidak.”
“Nah. Katakanlah,” Mahesa Jenar menjadi tidak sabar.
Bantaran berdiam diri sesaat. Di aturnya detak jantungnya supaya ia dapat mengatakannya dengan baik dan jelas.
“Kakang Mahesa Jenar,” berkata Bantaran itu.
“Pesan itu sangat pendek. Dan mudah-mudahan benar-benar tidak menggelisahkan kakang,” kembali Bantaran berhenti, sedang Mahesa Jenar menjadi semakin tidak sabar. Baru sesaat kemudian Bantaran itu meneruskan.
“Sepeninggal kakang dari Banyubiru, ternyata Endang Widuri telah hilang.”
“He?” alangkah terkejutnya Mahesa Jenar mendengar berita itu. Bukan saja Mahesa Jenar, tetapi juga Sarayuda dan Rara Wilis. Berita itu benar-benar seperti bunyi guruh yang meledak di atas kepala mereka. Sehingga dengan serta merta Rara Wilis bertanya,
“Endang Widuri puteri Kakang Kebo Kanigara maksudmu?”
“Ya” sahut Bantaran.

Tiba-tiba semuanya jadi terbungkam. Berita itu benar-benar merupakan hal yang tidak pernah mereka sangka akan dapat terjadi. Sesaat kemudian berkatalah Mahesa Jenar,
“Apakah kakang Kebo Kanigara sudah pulang ke Karang Tumaritis tanpa Widuri?”
“Belum,” jawab Bantaran.
“Belum?” ulang Mahesa Jenar seakan-akan tidak percaya.
“Ya belum.”
Hal ini pun merupakan suatu keanehan bagi Mahesa Jenar. Kebo Kanigara masih berada di Banyubiru.
“Kenapa anak gadisnya itu dapat hilang dan sampai beberapa waktu tidak segera dapat diketemukan?”
Karena itu maka Mahesa Jenar itu bertanya,
“Apakah yang sudah dilakukan di Banyubiru?”
“Semua orang telah mencoba untuk mencarinya. Ki Ageng Gajah Sora, Kakang Kebo Kanigara sendiri, Arya Salaka dan bahkan Ki Ageng Lembu Sora datang juga ke Banyubiru. Semua orang telah berusaha mencari hampir di setiap sudut Banyubiru. Semua jalan keluar telah dijaga segera setelah diketahui Endang Widuri hilang. Bahkan beberapa orang telah dikirim keluar Banyubiru. Namun Endang Widuri belum diketemukan.”
“Apakah yang dilakukan oleh Kebo Kanigara?”
“Kami tidak tahu. Tetapi Kakang Kebo Kanigara itu mencarinya hampir setiap saat. Hanya pada malam harinya saja kakang Kebo Kanigara pulang ke rumah Ki Ageng. Bahkan malam hari pun kadang-kadang kakang Kebo Kanigara tidak pulang.”

Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Apalagi setelah ia mendengar bahwa di halaman Banyubiru pun telah dikejutkan oleh sebuah bayangan yang tak dapat ditangkap oleh Arya Salaka. Berita tentang hilangnya Endang Widuri telah benar-benar menggoncangkan perasaan Mahesa Jenar. Bagaimana ia akan dapat menikmati hari-hari seterusnya, apabila disadarinya betapa pedih hati Arya Salaka dan orang-orang lain di Banyubiru. Orang-orang yang selama ini berada di dalam suatu lingkungan yang seakan-akan mengalami semua nasib, suka dan duka, manis pahit bersama-sama. Apakah kini ia mampu menutup perasaannya, dan beristirahat dengan tenang sambil menunggu hari-hari yang berbahagia itu? Sedangkan Kebo Kanigara, Arya Salaka, Gajah Sora dan orang-orang lain di Banyubiru sedang berprihatin. Timbullah kemudian persoalan tersendiri di dalam hati Mahesa Jenar. Persoalan yang amat rumit. Kedatangannya di Gunung Kidul merupakan permulaan dan hari-hari yang cerah bagi Rara Wilis sebagai seorang gadis yang merindukan hidup tentram dan wajar. Tiba-tiba kini mereka dikejar lagi oleh suatu persoalan yang tak pernah mereka sangka-sangka akan terjadi.
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu pun bertanya kepada Bantaran.
“Bantaran, apakah setiap orang di Banyubiru yakin bahwa Widuri benar-benar hilang?”
“Ya. Semua orang menganggap demikian.” sahut Bantaran.
“Apakah Widuri tidak sedang merajuk, karena ia tidak diperbolehkan ikut ke Gunungkidul?” bertanya Mahesa Jenar lagi.
“Ada juga dugaan demikian,” jawab Bantaran. “Tetapi ternyata tidak. Seorang gadis melihat Widuri berkelahi, dan seorang laki-laki yang tak dikenal telah menculiknya di belumbang selagi Widuri sedang hendak mencuci pakaiannya.”
“Bukan main” desis Mahesa Jenar.
“Widuri adalah seorang gadis yang kuat. Kalau seseorang berhasil menculiknya, maka orang itu pun pasti orang yang lebih kuat pula.”

Bantaran mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan kata-kata Mahesa Jenar itu, kata-kata serupa pernah juga didengarnya di Banyubiru. Pendapa itu pun kemudian menjadi sepi. Masing-masing hanyut dalam arus perasaan sendiri. Mahesa Jenar menjadi gelisah karenanya. Sekilas ditatapnya wajah Rara Wilis. Dan terasa dada Mahesa Jenar berdesir. Dilihatnya gadis itu menundukkan wajahnya yang muram. Mahesa Jenar tidak dapat meraba, apakah sebenarnya yang sedang dipikirkan oleh Rara Wilis. Apakah ia sedang berpikir dan berduka karena hilangnya Widuri ataukah ia sedang mencemaskan dirinya, bahwa kebahagiaan yang ditunggu-tunggunya itu akan mengalami gangguan pula. Tetapi sudah pasti bahwa Mahesa Jenar tidaka akan dapat berdiam diri mendengar hal itu. Meskipun Bantaran kemudian menjelaskan, bahwa kedatangannya hanyalah sekadar memberitahukan, namun pemberitahuan atas permintaan Arya Salaka itu sudah pasti mempunyai nilai tersendiri di dalam hatinya. Arya Salaka adalah muridnya. Pada saat nyawa anak itu terancam oleh bahaya maut dari setiap penjuru. Pada saat anak itu ditinggalkan oleh ayahnya yang dikasihinya. Lima enam tahun ia mengolah anak itu supaya ia dapat memenuhi permintaan ayahnya menjadikan anak itu anak yang kuat lahir dan batinnya, mempersiapkan anak itu untuk kedudukannya yang akan datang. Bukan, bukan itu saja yang mendorongnya menempa Arya Salaka, tetapi rasa keadilannya memang menuntut demikian. Kini, setelah pekerjaan itu selesai, apakah ia tega melihat anak itu berduka karena sebuah persoalan yang sangat pokok baginya. Persoalan kegairahan hidup di masa depan. Mahesa Jenar tahu benar perasaan yang bergolak di dalam hati muridnya itu. Apabila Endang Widuri tidak dapat diketemukan, maka Arya Salaka akan kehilangan sebagian dari masa depannya pula.

Ketika kemudian Bantaran itu beristirahat bersama-sama kawan-kawannya, maka di gandok kulon, Mahesa Jenar memerlukan duduk bersama dengan Rara Wilis. Mahesa Jenar ingin mencoba menyatakan perasaannya kepada gadis itu, dan ia mengharap mudah-mudahan Rara Wilis akan mengetahui dan mengertinya pula. Karena itulah maka ia menjadi gelisah. Apalagi ketika dilihatnya Rara Wilis selalu menundukkan wajahnya yang suram. Maka kebimbangan yang tajam telah melanda dada Mahesa Jenar. Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang sebaiknya dilakukan? Apakah ia akan membiarkan Widuri hilang dan Arya Salaka menyesali peristiwa itu sepanjang hidupnya? Betapa pun sulitnya, namun kemudian Mahesa Jenar itu pun berkata pula.
“Wilis, bagaimanakah tanggapanmu atas berita yang dibawa oleh Bantaran?”
Mahesa Jenar menjadi semakin berdebar-debar ketika Rara Wilis sama sekali tidak mengangkat wajahnya. Namun meskipun demikian gadis itu menjawab,
“Kasihan anak itu.”
“Ya. Kasihan Widuri, dan kasihan pula Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar. Rara Wilis hanya menganggukkan kepalanya. Dan ia tidak lagi berkata apa-apa.
Mahesa Jenar menjadi semakin bimbang. Dengan hati-hati dicobanya untuk menuntun pembicaraan ke arah yang dikehendaki, katanya,
“Tetapi bagaimana pun juga anak itu harus diketemukan.”
“Ya” sahut Rara Wilis.

Sebenarnya hati Rara Wilis pun terganggu pula oleh peristiwa itu. Endang Widuri yang nakal itu tak pernah dapat dilupakan. Setiap kali wajah anak itu terbayang di dalam rongga matanya. Kenakalan dan kelincahan serta sifat kanak-kanaknya yang jujur kadang-kadang menimbulkan rasa rindunya untuk segera bertemu dengan anak itu. Namun tiba-tiba anak itu hilang. Karena itulah maka mau tidak mau terbersit pula suatu perasaan yang dalam di dalam hatinya. Tetapi ia sendiri sedang menghadapi persoalan yang sangat penting dari segenap umurnya. Hari-hari yang diharapkannya akan segera datang. Ia mengharap kedatangan beberapa tamu, terutama dari Karang Tumaritis. Namun tamu itu pasti tidak akan segera datang. Rara Wilis itu pun menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada mengatakan maksudnya. Maksud itu memang harus dikatakannya. Nanti atau sekarang. Sebab ia tidak dapat menghindari kejaran perasaan tentang hilangnya Endang Widuri. Karena itu, maka dengan susah payah ia pun berkata.
“Wilis, apakah kau akan sependapat seandainya aku pergi ke Banyubiru untuk membantu mencari anak yang hilang itu?”
Rara Wilis sudah tahu sebelumnya bahwa Mahesa Jenar akan berkata demikian. Bahwa Mahesa Jenar akan meninggalkan lagi untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Rara Wilis tidak segera dapat menjawab. Meskipun pertanyaan itu sudah diduganya, namun hatinya berdesir juga mendengar pertanyaan itu diucapkan. Dan sebenarnyalah ia menjadi bersedih. Hari-hari yang dinantikannya itu seakan-akan menjadi semakin jauh daripadanya. Kalau mula-mula ia merasa bahwa hari-hari yang dinantikan itu telah berada di ambang pintu, maka kini pintu itu tiba-tiba tertutup kembali.

Tetapi Rara Wilis tidak akan dapat menyalahkan siapa-siapa. Mahesa Jenar tidak bersalah. Sejak semula ia mengenal laki-laki itu sebagai seorang yang lebih pasrah pada tanggungjawab atas kewajibannya, serta pengabdian terhadap kemanusiaan daripada keperluan-keperluan dirinya sendiri, maka seharusnya ia dapat mengertinya. Arya Salaka juga tidak dapat dipersalahkannya. Ia telah menderita pula karena hilangnya gadis itu. Dan sama sekali bukanlah kehendaknya, bahwa Widuri harus hilang supaya Mahesa Jenar datang kembali ke Banyubiru. Gajah Sora, Lembu Sora, dan Sora Dipayana juga tidak. Widuri pun tidak. Ia akan mengalami ketakutan dan kecemasan selama ia berada di tangan orang yang tidak dikenal itu. Lalu siapa? Orang yang menculiknya itu? Orang itu sama sekali tidak bersangkut paut dengan Mahesa Jenar. Tetapi itulah penyebab dari kedukaannya kali ini. Lalu bagaimanakah dengan Kebo Kanigara? Kebo Kanigara adalah seorang yang sakti. Bahkan lebih matang dari Mahesa Jenar sendiri. Tetapi kenapa ia tidak mampu menemukannya? Apalagi Mahesa Jenar. Mahesa Jenar melihat pergolakan di dasar hati Rara Wilis itu. Meskipun di usahakannya untuk membayangkan pergolakan itu, namun wajahnya yang mendung adalah pernyataan yang tidak dapat disembunyikan.
“Rara Wilis” desis Mahesa Jenar kemudian,
“Aku harap kau dapat mengerti.”
Rara Wilis terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga dengan demikian ia mengangkat wajahnya. Dengan tajamnya dipandangnya wajah Mahesa Jenar. Katanya,
“Apakah aku tidak dapat mengerti persoalan yang sedang kau hadapi kakang?”

Mahesa Jenar menjadi bingung. Ternyata dirinya sendirilah yang tidak dapat mengerti perasaan Rara Wilis itu. Karena itu maka segera ia berkata,
“Maaf Wilis. Maksudku, apakah kau menyetujuinya?” Kembali Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Hilangnya Widuri benar-benar telah menggoncangkan ketentramannya.
Sesaat kemudian maka Rara Wilis itu pun menjawab.
“Kakang, aku sama sekali tidak akan bermaksud menghalangi pekerjaan kakang. Tetapi aku berkata demikian kakang, bukan perasaanku. Kalau aku berkata demikian kakang, bukan berarti aku tidak menyetujui kakang untuk pergi ke Banyubiru. Pergilah kakang. Aku pun merasa kehilangan pula. Tetapi jangan menganggap kepedihan ini karena aku terlalu mementingkan diriku sendiri.”
Mahesa Jenar memalingkan wajahnya. Ia tidak mau menatap wajah Rara Wilis terlalu lama. Ia melihat air di dalam mata yang buram. Dan ia tidak tahan melihatnya. Dilemparkannya pandangan matanya jauh-jauh ke luar, menorobos sela-sela pintu yang tidak terkatup rapat. Dilihatnya daun-daun di halaman berguncang disentuh angin yang bertiup dari lautan. Suaranya semiut seperti sebuah lagu yang rawan.

SESAAT mereka berdiam diri dalam keheningan. Tetapi Mahesa Jenar tidak mendengar Rara Wilis terisak-isak. Perlahan-lahan ia berpaling, dan dilihatnya Wilis masih duduk dalam sikapnya. Tetapi ia tidak menangis. Mahesa Jenar itu pun kemudian berkata,
“Wilis. Aku dapat mengerti pula perasaanmu seperti kau dapat mengerti perasaanku. Kini kau sedang mulai menghayati ketentraman hidup dalam keluarga yang wajar. Tetapi baru saja kau menikmati ketenangan ini setelah bertahan-tahun lamanya kau terguncang-guncang oleh arus yang tak kau ketahui ujung pangkalnya, maka kembali kau diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang sama sekali tidak bersangkut-paut dengan masa depan sendiri. Tetapi aku berjanji Wilis, bahwa kali ini adalah kali terakhir.”
“Jangan berjanji kakang”, potong Rara Wilis.
“Aku tidak ingin mendengar janji apapun daripadamu. Marilah kita jalani jalan kita dengan janji di dalam hati. Sebab bagiku, janji bukanlah satu-satunya tempat untuk menyangkutkan harapan. Tetapi apa yang akan kita lakukan akan mengatakan kepada kita masing-masing, janji yang tersimpan di dalam hati itu.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti kata-kata Rara Wilis itu. Dan ia adalah orang yang mantap pada janjinya. Janji yang terpateri di dalam hati. Ia tidak pernah berjanji kepada Baginda Sultan Trenggana untuk menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi janji itu dipenuhinya. Janji yang disimpannya di dalam dadanya. Dan kini ia telah mengucapkan janji itu pula di dalam hatinya itu. Janji pribadi.
Akhirnya Mahesa Jenar telah mengambil keputusan untuk pergi ke Banyubiru besok bersama Bantaran. Keputusan yang sangat berat, namun harus dilakukan menurut panggilan hatinya. Sekali lagi ia terpaksa mengorbankan kepentingannya sendiri. Kepentingan yang sangat berharga bagi hidupnya. Dan sekali lagi ia mengorbankan perasaan seorang gadis yang dicintainya. Meskipun Rara Wilis itu dapat mengerti sepenuhnya. Tetapi ia kecewa. Kecewa terhadap keadaan. Keadaan yang belum memungkinkan menikmati ketentraman dan ketenangan hidup. Lebih-lebih lagi hidup dalam lingkungan keluarga yang diimpikan.

Ki Ageng Pandan Alas melihat pula kerisauan di dalam hati cucunya. Ia pun menjadi kecewa seperti kekecewaan Rara Wilis sendiri. Orang tua itu benar-benar ingin melihat keturunannya tidak lenyap sama sekali. Karena itu, alangkah rindunya ia akan keluarga cucunya itu. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menentang keadaan yang tiba-tiba saja dihadapkannya kepadanya, kepada cucunya dan kepada cita-citanya. Karena itu maka ketika Mahesa Jenar bermohon diri kepadanya, maka katanya serta merta,
“Aku turut angger ke Banyubiru.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Juga Rara Wilis terkejut. Namun orang tua itu kemudian berkata pula dengan wajah yang suram.
“Wilis, aku akan berbuat untukmu. Aku tidak tahu, apakah tenagaku yang tua ini akan berguna, namun aku ingin membantu mencari yang hilang itu. Betapa kecil arti usahaku, tetapi aku percaya semakin banyak orang yang berusaha mencari, maka semakin cepatlah cucu Widuri itu akan diketemukan. Dengan demikian, maka angger Mahesa Jenar pun akan semakin cepat selesai pula dengan pekerjaannya.”
Kata-kata itu berdenyut di dalam dada Rara Wilis dan Mahesa Jenar. Terasa betapa orang tua itu menjadi sedih karena keadaan. Tetapi orang tua yang penuh dengan pengertian itu, tidak saja hanya meratap, namun ia berbuat sesuatu untuk mempercepat penyelesaian.


<<< Bagian 099                                                                                              Bagian 101 >>>

No comments:

Post a Comment