DI hutan ini pula ia bertemu dengan kakeknya, Ki Ageng Pandan Alas. Dan di hutan ini pula ia hampir di terkam Ular Laut yang mengerikan. Tetapi semuanya itu sudah lampau. Semua pahit getir penghidupan telah dialami. Bahaya yang dilampauinya tidak saja di hutan Mentaok ini, namun kemudian nyawanya pun telah diserahkannya untuk merebut kembali ayahnya dari tangan Harimau betina di Gunung Tidar. Namun ayahnya itu telah mati pula. Kini ia tinggallah seorang gadis yatim piatu. Di hutan itu, di daerah Pliridan yang sepi itulah mereka bermalam kembali. Daerah yang pernah memberi mereka suatu kenangan yang pahit. Tetapi pada malam itu, mereka dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang yang bertubuh besar dan begis. Mereka dengan serta merta mengancungkan senjata-senjata mereka kepada rombongan itu.
“Apakah
kehendakmu?” bertanya Sarayuda kepada pemimpin mereka.
“Harta atau
nyawa?” gertak mereka.
Sarayuda
tertawa. Jawabnya,
“Kenallah
kalian kepada kami?”
Orang itu
menarik alisnya. Kemudian geramnya,
“Persetan
dengan kalian. Aku tidak pernah bertanya, siapakah korbanku kali ini. Semua
pedagang yang lewat di daerah ini adalah hidangan buat kami.”
“Kami telah
membawa beberapa orang pengantar yang akan dapat melawan kalian.”
“Hem, aku
sudah tahu. Kalian pasti membawa beberapa orang pengantar. Nah sekarang biarlah
kami bertempur. Pekerjaan ini sudah kami lakukan bertahun-tahun.”
Sekali lagi
Sarayuda tertawa. Karena itulah maka pemimpin mereka membentak.
“Jangan
tertawa. Ayo, apakah kau pemimpin dari para pengawal.”
Sarayuda maju
selangkah. Kemudian katanya,
“Berapa
orangkah jumlah kalian?”
“Lima belas
orang” sahut orang itu.
“Kalau kami
memberi tanda, maka akan datang lagi lima belas orang pula.”
Tiba-tiba
sebelum Sarayuda menjawab, maka Mahesa Jenar telah melangkah maju pula. Dengan
tenangnya ia berkata.
“Jangan
membual. Apakah kau sekarang bergabung dengan sisa anak buah Lawa Ijo?”
Pemimpin
rombongan itu terkejut. Diamat-amatinya Mahesa Jenar dengan seksama. Kemudian
katanya,
“Siapakah
kau?”
“Sakayon”
jawab Mahesa Jenar.
“He?” mata
orang itu terbelalak.
“Darimana kau
tahu namaku?”
“Aku Sakayon
dari Gunung Tidar. Dahulu aku adalah anak buah Sima Rodra.”
Orang itu
menjadi semakin heran. Namun ketika terpandang olehnya wajah Mahesa Jenar yang
semakin lama menjadi semakin jelas, maka terdengar suaranya parau,
“Apakah kau
Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar
tersenyum. Jawabnya
“Kau masih
mengenal aku? Kapankah kau melihat wajahku?”
Sakayon pernah
melihat Mahesa Jenar beberapa kali. Ia ikut dengan Sima Rodra ke Gedangan, ia
turut pula mencegat laskar Demak di Gunung Telamaya, dan ia melihat Mahesa
Jenar bertempur melawan beberapa orang tokoh hitam. Karena itu, setelah Sakayon
itu yakin, bahawa yang berdiri dihadapannya itu Mahesa Jenar, maka katanya
terbata-bata.
“Mahesa Jenar,
kami tidak tahu, bahwa rombongan ini adalah rombonganmu. Karena itu, maka aku
mencegatnya. Aku sangka bahwa rombongan ini adalah rombongan para pedagang yang
akan menyeberangi hutan ini.”
“Hem. Jadi
perbuatan-perbuatan yang demikian itu masih saja kalian lakukan setelah lurahmu
mati?”
Sakayon tidak
menjawab, tetapi kepalanya ditundukkannya.
“Sakayon,
apakah kau percaya, bahwa rombonganku akan dapat menumpas rombonganmu sekarang
ini?”
Wajah Sakayon
menjadi pucat. Sekali ia berpaling. Dilihatnya beberapa anak buahnya menjadi
heran. Tetapi ada di antaranya yang pernah melihat Mahesa Jenar. Bekas anak
buah Sima Rodra dan bekas anak buah Lawa Ijo yang bergabung itu, kini diliputi
oleh ketegangan. Namun mereka yang baru dalam pekerjaannya, mencoba untuk masih
menunjukkan kegarangannya.
“Siapakah
orang itu kakang Sakayon?”
“Mahesa Jenar”
jawab Sakayon gemetar.
“Apakah orang
itu anak gendruwo, sehingga kita takut kepadanya.”
“Bukan saja
anak gendruwo” jawab salah seorang di antara mereka bekas anak buah Lawa Ijo.
“Tetapi anak
malaekat.”
Orang baru itu
menjadi heran. Apalagi ketika ia mendengar Sakayon menjawab.
“Aku percaya
Mahesa Jenar. Aku minta maaf.”
“Lihatlah, di
antara orang-orang ini adalah prajurit-prajurit pilihan.” berkata Mahesa Jenar
menakut-nakuti.
“Kami mendapat
tugas untuk memusnahkan gerombolan-gerombolan yang masih saja mengacau di hutan
Mentaok ini. Kami harus membersihkan hutan Mentaok, Tambak Baya dan
daerah-daerah Beringan dan Pacetokan, seluruhnya.”
“Ampun. Kami
minta ampun,” tiba-tiba suara Sakayon menjadi semakin gemetar dan cemas.
“Kami akan
mengampuni kalian, tetapi ada syarat-syaratnya!”
Sakayon
terdiam. Ia tidak tahu, syarat apakah yang akan dituntut oleh Mahesa Jenar itu.
Karena itu, maka ia menunggu Mahesa Jenar berkata,
“Sakayon. Kami
mendapat tugas untuk memberantas kejahatan di hutan ini. Kalau kalian berjanji
untuk menghentikan kejahatan ini, maka kalian akan aku ampuni. Namun kalau
tidak, maka jangan mengharap kalian hidup lebih lama lagi. Kemana saja kalian
bersembunyi, maka kami pasti akan dapat menemukan. Kami bawa kalian ke Demak
dan kalian akan kami adu melawan harimau di alun-alun sebagai tontonan.”
Sakayon dan
beberapa orang di dalam gerombolan itu tahu benar siapa Mahesa Jenar itu.
Karena itu maka katanya,
“Baiklah
Mahesa Jenar. Aku terima syarat itu.”
Mahesa Jenar
tertawa. Katanya,
“Aku sudah
mengenal watak kalian. Kalian berjanji hanya apabila kalian menghadapi bahaya.
Meskipun demikian aku percaya padamu kali ini. Kembalilah ke rumahmu
masing-masing, dan cobalah hidup seperti orang-orang lain. Mereka tidak perlu
mengalami kegelisahan seperti yang selalu kau alami. Dengan demikian maka kau
akan dapat hidup tentram.”
Sakayon
menggeleng. Jawabnya,
“Aku sudah
tidak mempunyai rumah dan tempat tinggal. Aku adalah seorang layang kabur kanginan.”
Mahesa Jenar
menarik nafas. Namun kemudian ia berkata,
“Sakayon.
Daerah ini adalah daerah yang subur. Dahulu Pliridan adalah daerah yang
ditinggali oleh beberapa orang petani. Kau dapat mengusahakan tanah ini. Dengan
tekad yang baik, kau akan dapat berhubungan dengan orang-orang lain untuk
mengadakan tukar menukar hasil tanah ini dan mungkin hasil hutan yang dapat kau
usahakan.”
Sakayon
mengangguk-anggukkan kepalanya. Terjadilah suatu pergolakan di dalam hatinya.
Kata-kata Mahesa Jenar itu tanpa sesadarnya telah direnungkannya, dan
dicernakannya di dalam hatinya, sehingga akhirnya terdengar kata-kata di dalam
hatinya,
“Mahesa Jenar
berkata sebenarnya.” Ditambah lagi dengan rasa takutnya atas ancaman Mahesa
Jenar untuk membawanya ke Demak dan mengadunya dengan harimau di alun-alun.
Sedang ia percaya sepenuhnya, bahwa Mahesa Jenar itu pasti akan dapat berbuat
demikian. Menangkapnya kemana saja ia bersembunyi. Karena itu maka katanya.
“Mahesa Jenar.
Aku berterima kasih atas segala nasehatmu. Akan aku coba untuk mengusahakan
tanah ini. Dan aku coba untuk menghubungi keluarga kami dengan tekad yang baik.
Mudah-mudahan aku berhasil.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia maju selangkah
menepuk bahu Sakayon sambil berkata.
“Sarungkan
senjatamu.”
Sakayon tidak
dapat berbuat lain daripada menyarungkan goloknya sambil menundukkan kepalanya.
Tetapi tiba-tiba ia terkejut ketika di dengarnya seorang daripada anak buahnya,
seorang anak muda yang bertubuh tinggi tegap, setegap raksasa kerdil, berkata
dengan lantang.
“He, kakang
Sakayon. Sejak kapan kau menjadi seorang perempuan cengeng.”
Sakayon
mengangkat wajahnya. Jawabnya.
“Jangan
melawan Gendon. Tak ada gunanya. Lebih baik kau dengarkan nasihatnya.”
Anak muda yang
bernama Gendon itu sama sekali tidak puas. Di samping Sakayon ia merasa orang
yang paling penting di dalam gerombolan itu. Karena itu, maka ia melangkah maju
sambil menunjuk wajah Mahesa Jenar.
“He apakah kau
memiliki guna-guna dan menenung kakang Sakayon sehingga ia menjadi tunduk
kepada kemauanmu?”
Mahesa Jenar
menggeleng.
“Tidak. Aku
tidak dapat merenungnya. Tetapi ia dalah sahabat lamaku.” Gendon menjadi heran.
Sekali ia memandang wajah Sakayon, namun betapa pun juga ia tidak yakin akan
kata Mahesa Jenar.Maka dengan lantangnya ia berkata,
“Kalau kau
tidak ikut kakang Sakayon. Maka biarlah aku selesaikan pekerjaan ini sendiri.
Ayo, siapa ikut aku?”
Beberapa orang
di antara mereka melangkah maju. Namun mereka menjadi heran, justru orang-orang
lama, anak buah Sakayon sendiri dan bekas anak buah Lawa Ijo yang mereka
bangga-banggakan sama sekali tidak bergerak. Bahkan diantaranya berkata.
“Jangan”.
Tetapi Gendon
yang merasa usahanya selama ini selalu berhasil tidak memperdulikannya. Dengan
goloknya ia menunjuk wajah Mahesa Jenar.
“Ayo, berikan
semua harta bendamu.”
Mahesa Jenar
memandang anak muda itu dengan sedih. Anak itu memiliki tubuh yang kokoh kuat
dan memiliki sikap yang meyakinkan. Namun sayang. Ia terperosok dalam
lingkungan yang kelam. Mahesa Jenar tidak segera menjawab, maka terdengar anak
itu membentak kembali.
“Ayo. Cepat”.
Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Sambil menunjuk Sarayuda ia berkata.
“Lihatlah.
Kawanku itu berpedang pula di lambungnya. Kau tahu gunanya pedang?”
Gendon
ragu-ragu sejenak. Kemudian teriaknya.
“Tidak peduli.
Serahkan harta benda yang kau bawa.”
Mahesa Jenar
menggigit bibirnya. Ketika ia berpaling, masih dilihatnya beberapa orang
kawan-kawan Sarayuda duduk dengan tenangnya. Mereka sama sekali hampir tidak
tertarik pada gerombolan itu. Sebab mereka yakin benar, apa yang akan dapat
dilakukan oleh Sarayuda dan Mahesa Jenar, meskipun ia tidak kehilangan
kewaspadaan. Bahkan beberapa di antara mereka telah meraba hulu pedang mereka.
Hanya Rara Wilislah yang kemudian bangkit berdiri sambil berkata.
“Sakayon.
Apakah kau tidak mau membawa orang-orangmu pergi.”
“Oh” Sakayon
tergagap.
Namun Gendon
itu berteriak.
“Ha. Ternyata
ada seorang gadis pula di antara mereka. Agaknya gadis itu tak kurang
cantiknya. Ayo, menyerahlah. Dan serahkan gadis itu kepadaku.”
Tiba-tiba
Mahesa Jenar membungkukkan badannya. Katanya,
“Baiklah
ambillah gadis itu kalau mau. Tetapi jangan ganggu rombongan ini.”
“Ah” desah
Rara Wilis. Ia tahu Mahesa Jenar akan menunjukkan kepada anak muda itu, bahwa
ia sedang berhadapan dengan orang-orang yang tak akan mungkin dikalahkannya.
Gendon ragu-ragu sesaat. Namun kemudian ia berkata.
“Baiklah, ayo
ikut aku. Aku tidak akan mengganggu kalian, asalkan, kecuali gadis ini, semua
harta bendamu aku bawa pula.”
Rara Wilis
maju beberapa langkah. Tiba-tiba ditariknya pedang dari lambung Sarayuda.
Dengan lantang gadis itu berkata.
“Pergilah anak
muda. Pergilah.”
Gendon
terkejut. Tiba-tiba ia meloncat mundur. Dilihatnya Rara Wilis itu maju lagi
sambil mengacungkan pedangnya.
“Pergilah.”
Gendon diam
sesaat. Namun yang terdengar suara Mahesa Jenar.
“Anak itu
bukan Jaka Soka Wilis.”
“Ah” kembali
Rara Wilis mendesah.
Tetapi Gendon
belum mengenal Rara Wilis. Ia menjadi rikuh kepada kawan-kawannya. Ternyata
gadis ini akan melawannya. Sarayuda yang membiarkan pedangnya ditarik oleh Rara
Wilis tertawa saja sambil bertolak pinggang. Agaknya Rara Wilis yang paling
tidak senang melihat gerombolan itu, sebab ingatannya tentang gerombolan
semacam itu, benar-benar mendirikan bulu romanya. Karena itu maka segera ia
berusaha untuk mengusirnya. Tetapi ketika Gendon menyadari keadaannya, ia
menjadi sangat marah. Karena itu dengan serta merta ia menyerang Rara Wilis
dengan garangnya, meskipun ia hanya bermaksud untuk menakut-nakuti. Tetapi
terjadilah hal yang tak di sangka-sangka. Tiba-tiba Rara Wilis menggerakkan
pedangnya dalam putaran untuk melibat golok lawannya. Alangkah terkejutnya
Gendon itu. Pedang Rara Wilis itu seakan-akan melilit goloknya dan sebuah
tekanan yang kuat telah melemparkan goloknya beberapa langkah. Sebelum ia mampu
berbuat sesuatu terasa ujung pedang Rara Wilis melekat di dadanya. Tubuh Gendon
itu pun kemudian menjadi gemetar. Terasa bahwa nyawanya tiba-tiba saja telah
bergerak ke ubun-ubunnya.
Sebelum Rara
Wilis berkata sepatah kata pun, maka terdengar Mahesa Jenar mendahului,
“Bagaimana?
Apakah kau benar-benar ingin membawa gadis itu?”
“Tidak-tidak”
suara Gendon menjadi gemetar seperti tubuhnya.Sakayon hampir tak dapat menahan
tawanya. Namun kemudian ia berkata,
“Aku minta
ampun untuknya, Mahesa Jenar.”
“Pergi, pergi”
berkata Rara Wilis lantang. Ia menjadi muak melihat orang-orang yang kasar dan
bengis itu berdiri saja dimukanya.
“Baiklah”
sahut Sakayon,
“Kami akan
pergi. Dan kami akan mencoba melakukan nasihat-nasihatmu, Mahesa Jenar.”
“Cobalah”
sahut Mahesa Jenar.
“Hari depanmu
masih cukup panjang untuk menghapus noda-noda yang melekat pada tubuh dan
jiwamu.”
Sakayon itu
pun kemudian mengajak kawan-kawannya pergi. Gendon berjalan paling belakang
sambil menundukkan wajahnya. Ia tidak dapat mengerti, kenapa ia berjumpa dengan
seorang gadis garang itu. Namun akhirnya ia mendengar seluruhnya dari Sakayon.
Siapa-siapa saja yang berada di dalam rombongan itu. Terutama Mahesa Jenar dan
Rara Wilis.
KETIKA
kemudian malam itu telah lampau, dan matahari pergi dengan cerahnya
menjengukkan dirinya dari balik kaki langit, maka rombongan itu berangkat pula
meneruskan perjalanan mereka. Namun kini mereka tidak melintas hutan Tambak
Baya, tetapi mereka menempuh jalan lain, agak ke selatan terus ke Gunung Kidul.
Di iringi oleh angin pagi, dan kicau burung-burung liar, mereka berjalan dengan
hati yang terang seperti terangnya matahari. Langit yang biru bersih sekali
membayang di sela-sela dedaunan di hutan yang semakin lama menjadi semakin
tipis. Sehingga akhirnya, mereka menempuh jalan di antara padang-padang rumput
dan gerumbul-gerumbul rindang. Setelah mereka berjalan sehari penuh, maka
mulailah mereka sampai pada lembah-lembah yang subur di daerah Gunungkidul.
“Kami tidak
akan bermalam lagi” berkata Sarayuda.
“Meskipun
malam, kami harus memasuki induk Kademangan malam ini juga.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Di pandanginya lembah-lembah yang hijau di
penuhi oleh tanaman-tanaman padi yang subur. Di sana-sini, dalam jarak yang
cukup jauh, dilihatnya beberapa buah pedesaan seperti pulau yang terapung di
tengah-tengah lautan yang hijau.
“Daerah yang
luas dan terpencar-pencar.” berkata Sarayuda ketika ia melihat wajah Mahesa
Jenar yang bersungguh-sungguh.
“Ya” sahut
Mahesa Jenar.
“Dimanakah
induk Kademanganmu.”
Sarayuda
tertawa.
“Masih jauh,”
jawabnya.
“Kami harus
mendaki bukit di hadapan kita itu. Nah, di sanalah aku tinggal.”
“Kenapa tidak
di lembah yang subur ini?”
“Dari bukit
ini aku dapat melihat, hampir seluruh tanah-tanah ngarang yang terbentang di
bawah kaki bukit. Bukankah Ki Ageng Gajah Sora membuat rumahnya di lereng
Telamaya pula? Tidak di ngarai?”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya kembali. Dari segi-segi yang lain, agaknya rumah
di atas bukit benar-benar menguntungkan. Seandainya rumah di atas bukit
benar-benar menguntungkan. Seandainya harus dilakukan perlawanan atas
penyerangan-penyerangan yang kuat, maka kedudukan mereka yang berada di lereng
menjadi lebih baik. Sebenarnyalah malam itu mereka memasuki induk desa
Kademangan Gunung Kidul. Demikian mereka mendekati pedesaan itu, maka seorang
dari para pengikut Sarayuda harus berpacu lebih dahulu menyampaikan kabar
kedatangan mereka kepada Ki Ageng Pandan Alas. Sungguh di luar dugaan.
Tiba-tiba mereka mendengar kentongan berbunyi bertalu-talu. Kentongan yang
agaknya memberi tanda kehadiran Mahesa Jenar dan Rara Wilis di Kademangan
Gunungkidul.
“Orang-orang
di Gunungkidul telah berpesan kepadaku, apabila kelak aku datang bersama Mahesa
Jenar dan Rara Wilis, maka mereka minta supaya mereka diberitahukan. Kentongan
itu adalah tanda untuk itu.”
“Hem. Terlalu
berlebih-lebihan,” gumam Mahesa Jenar.
“Bukan
maksudku. Mereka menganggap bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang aneh.
Lebih-lebih lagi adalah Rara Wilis. Setiap orang di Gunung Kidul telah
mendengar, bahwa Rara Wilis telah berhasil membinasakan Harimau Betina yang
pernah merobek-robek hati ibunya.”
Mahesa Jenar
tidak menjawab. Namun ia menjadi terharu ketika tiba-tiba di dengarnya Rara
Wilis mengeluh. Betapa pun gadis itu berusaha menahan hatinya, namun sambutan
yang berlebih-lebihan itu benar-benar telah meneteskan air matanya. Suara
kentongan dan kata-kata Sarayuda telah membangkitkan perasaan yang
melonjak-lonjak di dalam hatinya. Tanah yang terbentang di hadapannya benar
telah menumbuhkan berbagai kenangan. Kenangan tentang dirinya di masa-masa
kanak-kanak, tentang ibunya dan tentang ayahnya. Di kenangnya betapa perempuan
yang cantik namun berhati ganas telah merampas ayahnya. Di kenangnya ketika ia
mencoba memanggil ayahnya di rumah perempuan itu pada saat ibunya sakit. Namun
bukan main marah ayahnya kepadanya. Dan di usirnya seperti anjing di iringi
oleh derai tertawa perempuan iblis itu. Tetapi perempuan itu telah mati. Mati
karena ujung pedang yang diterimanya dari kakeknya, Ki Pandan Alas, yang oleh
penduduk sedesanya dikenal dengan nama Ki Santanu. Dan kini, setelah
bertahun-tahun ia meninggalkan kampung halaman yang penuh dengan kenangan pahit
itu, ia akan kembali pulang. Dikenangnya, bahwa pada saat ia meninggalkan tanah
itu, tak seorang pun yang dipamitinya. Tak seorang pun yang melambaikan
tangannya sebagai ucapan selamat jalan. Ia pergi saja seperti ia memang harus
pergi.
Tetapi ketika
kini ia kembali, maka hampir seluruh penduduk induk Kademangan itu
mengelu-elukannya. Menyambutnya sebagai seorang yang sedemikian penting di
Kademangan itu.
“Alangkah
bahagianya seandainya ibuku menyaksikan sambutan untukku ini,” desah di dalam
hatinya.
“Tetapi ibu
itu telah meninggal dalam keadaan yang pedih.”
Air mata Rara
Wilis itu masih menetes terus. Dan karena itu maka Mahesa Jenar dan Sarayuda
sama sekali tidak berkata sepatah kata pun juga. Akhirnya, mereka melihat
berpuluh-puluh obor keluar dari induk desa di hadapan mereka. Obor-obor itu
berkumpul di sebuah lapangan, seperti sebuah alun-alun kecil di muka rumah
Sarayuda. Rumah yang besar dan berhalaman luas. Rumah seorang Demang yang kaya
raya. Mahesa Jenar dan Rara Wilis itu menjadi berdebar-debar karenanya. Mereka
sama sekali tidak dapat membayangkan bahwa mereka akan mengalami sambutan yang
demikian meriahnya. Sambutan yang menurut mereka adalah berlebih-lebihan.
Tetapi Sarayuda memang menyambut Rara Wilis dan Mahesa Jenar itu dengan
caranya. Ia ingin melenyapkan kesan tentang luka yang pernah terpahat di
hatinya. Luka yang sebenarnya tak akan dapat disembuhkannya. Namun dengan jujur
Sarayuda telah berusaha. Ia benar-benar melepaskan Rara Wilis dengan hati yang
ikhlas. Dan gadis itu kini tidak lebih daripada adik seperguruannya. Mereka
memasuki halaman rumah Sarayuda, maka demikian hati Mahesa Jenar dan Rara Wilis
berdesir. Di pendapa Kademangan itu telah dibentangkan tikar pandan. Beberapa orang
tua-tua telah menunggu mereka di pendapa. Karena mereka melihat rombongan itu
memasuki halaman, demikian mereka serentak berdiri dan turun ke halaman.
Rara Wilis
tertegun ketika ia melihat seorang perempuan muda datang menyambutnya. Seorang
yang pernah dikenalnya dimasa kanak-kanaknya sebagai kawannya bermain. Kini
perempuan itu benar-benar menjadi seorang perempuan yang cantik, apalagi dalam
pakaian yang cukup baik.
“Kau Rati,”
sapa Wilis.
Perempuan itu
tersenyum sambil memegang kedua lengan Rara Wilis dengan eratnya.
“Kau tidak
lupa kepadaku, Wilis.”
“Tentu tidak”
sahut Wilis.
“Kita
sama-sama mengalami masa-masa yang pahit pada masa kanak-kanak kita. Kau tahu
bahwa hari ini aku akan datang?”
Perempuan yang
bernama Rati itu berpaling ke arah Sarayuda. Katanya,
“Kakang
Sarayuda memberitahukan kepadaku.”
“Wilis,”
berkata Sarayuda.
“Rati kini
adalah istriku.”
“Oh” suara
Wilis terputus. Tiba-tiba terasa sesuatu yang tak dimengertinya bergolak di
dalam dadanya. Dengan cepatnya melintas di dalam angan-angannya, betapa
Sarayuda pernah menjadi hampir gila karenanya. Hampir saja Sarayuda binasa
dalam perkelahian di Karang Tumaritis karenanya pula.
Kini setelah
Sarayuda itu melepaskan niatnya dengan ikhlas, maka dihadapannya berdiri Rati,
kawannya bermain di masa kanak-kanaknya, sebagai istri Sarayuda itu. Karena itu
maka tiba-tiba ia menjadi terharu. Dan dengan serta merta dipeluknya perempuan
itu erat-erat.
“Rati. Aku
mengucapkan selamat kepadamu. Mudah-mudahan kau akan menemukan kebahagiaan
untuk seterusnya.”
Rati pernah
mendengar, apa yang terjadi atas kawannya itu. Ia pernah mendengar dari
Sarayuda sendiri, yang berkata dengan jujur tentang hari-hari lampaunya. Dan
Rati sama sekali tidak berkeberatan atas masa lampau itu. Tetapi yang penting
baginya, masa lampau adalah sumber perhitungan buat masa depan. Namun masa
depan itu sendirilah yang terlebih penting baginya. Dan ia percaya bahwa
Sarayuda benar-benar telah melepaskan semua hasratnya terhadap gadis cucu
gurunya itu. Rati itu pun menangis pula ketika Rara Wilis menangis sambil
memeluknya. Betapa pun garangnya gadis yang bernama Rara Wilis itu, namun ia
adalah seorang gadis. Gadis yang dipengaruhi oleh segala macam keadaan di masa
kanak-kanaknya, sehingga Rara Wilis benar-benar menjadi seorang gadis perasa.
Seorang gadis yang mudah meruntuhkan keharuan. Namun sejenak kemudian pendapa
Kademangan Gunung Kidul itu menjadi sangat meriah. Hampir-hampir menyerupai
sebuah perhelatan. Meskipun segala macam persiapan dilakukan dengan
tergesa-gesa, namun bagi Mahesa Jenar dan Rara Wilis, sambutan itu benar-benar
telah mendebarkan jantung mereka. Sambutan yang sama sekali tak
disangka-sangkanya.
Ki Santanu
sendiri bahkan hampir tak dapat berkata apa pun dalam penyambutan itu. Di
lingkungan sanak kadang, maka seakan-akan lenyaplah sifat anehnya, sifat-sifat
Pandan Alasnya. Ia tidak lebih dari orang-orang tua yang lain, yang duduk
berjajar sambil berkelakar. Namun Ki Santanu benar-benar menjadi terharu,
ketika ia melihat, bahwa seorang keturunannya akan mendapat tempat yang baik di
dalam perjalanan hidupnya.
“Mudah-mudahan
Wilis dapat menyambung darah keturunan Pandan Alas” katanya di dalam hati.
Maka sejak
hari itu, Mahesa Jenar dan Rara Wilis hidup dalam lingkungan keluarga Sarayuda.
Mereka tidak boleh meninggalkan rumah, meskipun rumah Rara Wilis yang dahulu
masih juga ada, ditunggui oleh beberapa orang keluarganya meskipun sudah jauh.
Namun Sarayuda minta kepada mereka untuk tinggal bersamanya.
“Rumahku cukup
luas Mahesa Jenar,” berkata Sarayuda.
“Biarlah Wilis
tinggal di dalam bersama Rati dan biarlah kau tinggal digandok kulon.”
“Terima kasih
Sarayuda,” sahut Mahesa Jenar namun terasa sesuatu berdesir di dadanya.
Rumah itu
bukan rumahnya sendiri.
Apakah kelak
kalau ia telah berkeluarga, ia akan tinggal di rumah orang lain pula? tidak di
rumah sendiri? Suatu persoalan yang selama ini belum pernah dipikirkannya.
Tetapi Mahesa Jenar tidak menyesal, bahwa selama ini ia telah menyerahkan
hampir segala-galanya kepada suatu pengabdian. Pengabdian yang luhur dan ikhlas.
Karena itu, maka Mahesa Jenar pun dengan mantap memandang ke depan, ke hari
yang akan datang. Teringatlah ia akan kata-kata Rara Wilis, bahwa perkawinan
bukanlah pertanda bahwa segalanya telah selesai, namun perkawinan juga
merupakan pertanda akan mulainya persoalan-persoalan baru yang tidak kurang
rumitnya. Dalam pada itu, Rara Wilis sebagai seorang gadis tidak dapat
melupakan sejenak pun akan hari-hari yang dijelangnya. Dari Rati ia mendengar,
betapa hari-hari permulaan benar-benar memberinya kebahagiaan. Dan Rara Wilis
pun merindukan hari-hari itu. Karena itu, maka hampir setiap saat gadis itu
telah mereka-reka apa saja yang harus dilakukan sebagai seorang istri.
Kewajiban-kewajiban rumah tangga yang pasti akan jauh berbeda dari yang penah
dilakukannya. Tangan yang kecil itu tidak harus lagi bermain-main dengan
pedang, namun harus digenggamnya sebilah pisau dapur untuk menyiapkan
masakannya.
Tetapi
tiba-tiba angan-angan itu digetarkan oleh peristiwa yang benar-benar
mengejutkan. Dengan tergesa-gesa seseorang memberitahu, bahwa ada tiga orang
tamu yang ingin menemui Mahesa Jenar dan Rara Wilis.
Ketika Mahesa
Jenar mendengar berita itu, dadanya pun tergetar pula. Karena itu maka segera
ia ingin tahu, siapakah yang datang itu.
“Tiga orang
berkuda dari Banyubiru” sahut orang itu.
Mahesa Jenar
menjadi semakin berdebar-debar. Firasatnya mengatakan bahwa sesuatu telah
terjadi. Tetapi sebagai seorang tamu,ia tidak dapat menerima orang itu tanpa
setahu Sarayuda. Namun Sarayuda segera berkata,
“Marilah.
Persilahkan mereka kemari. Dimanakah mereka sekarang?”
“Mereka masih
di alun-alun,” jawab orang itu.
“Seorang anak
muda yang sedang bekerja di sawah telah membawa mereka sebagai penunjuk.”
Orang itu pun
kemudian mempersilakan tamu-tamu itu masuk ke halaman, desir dada Mahesa Jenar
menjadi semakin keras. “Bantaran.” desisnya.
Setelah mereka
dipersilakan duduk di pendapa Kademangan, maka dengan ramahnya Demang Sarayuda
bertanya-tanya tentang keselamatan mereka, perjalanan mereka dan yang mereka
tinggalkan.
“Semuanya baik
Ki Demang,” sahut Bantaran.
“Perjalananku
baik, dan yang berada di Banyubiru pun baik.”
“Syukurlah”
sahut Demang itu. Namun Mahesa Jenar melihat sesuatu yang menggelisahkan di
wajah Bantaran. Sehingga setelah mereka bercakap-cakap sejenak, maka Mahesa Jenar
yang segera ingin tahu persoalan yang dibawanya itu bertanya.
“Apakah ada
sesuatu yang perlu kau sampaikan kepadaku Bantaran, atau kau hanya sekadar
melihat jalan yang harus ditempuh, apabila kelak beberapa orang dari Banyubiru
akan berkunjung kemari?”
Bantaran
menarik nafas panjang. Kemudian setelah ia bergeser sedikit, mulailah ia
berbicara tentang keperluannya. Katanya, “Kedatanganku yang pertama-tama memang
hanya sekadar melihat, bagaimanakah jalan yang kira-kira akan ditempuh, apabila
nanti beberapa orang dari Banyubiru akan berkunjung kemari.” Bantaran itu
berhenti sejenak.
Namun Mahesa
Jenar menangkap sesuatu di balik kata-kata itu. Meskipun demikian dibiarkannya
Bantaran berkata terus.
“Tetapi di
samping itu,” berkata Bantaran itu.
“Aku mendapat pesan
dari angger Arya Salaka yang harus aku sampaikan kepada kakang Mahesa Jenar di
sini.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Apakah pesan
itu?”
“Lupakanlah
dahulu pesan itu, Adi Bantaran. Tinggallah disini dua atau tiga hari. Baru kau
sampaikan pesan itu,” potong Sarayuda.
Namun Bantaran
itu tersenyum. Katanya,
“Sebenarnya
aku ingin berbuat demikian. Tetapi biarlah aku menyampaikan pesan itu. Kalau
kemudian aku harus tinggal di sini untuk sementara, aku akan sangat bersenang
hati.”
“Baiklah”
sahut Mahesa Jenar,
“Sarayuda
pasti tidak akan berkeberatan.”
Sarayuda itu
pun tertawa.
“Silakanlah.
Mungkin Mahesa Jenar segera ingin mendengarnya. Tetapi dengan syarat, bahwa
pesan itu tidak akan memberinya rangsang yang menggelisahkan.”
“Entahlah”
jawab Bantaran,
“Mudah-mudahan
tidak.”
“Nah.
Katakanlah,” Mahesa Jenar menjadi tidak sabar.
Bantaran
berdiam diri sesaat. Di aturnya detak jantungnya supaya ia dapat mengatakannya
dengan baik dan jelas.
“Kakang Mahesa
Jenar,” berkata Bantaran itu.
“Pesan itu
sangat pendek. Dan mudah-mudahan benar-benar tidak menggelisahkan kakang,”
kembali Bantaran berhenti, sedang Mahesa Jenar menjadi semakin tidak sabar.
Baru sesaat kemudian Bantaran itu meneruskan.
“Sepeninggal
kakang dari Banyubiru, ternyata Endang Widuri telah hilang.”
“He?” alangkah
terkejutnya Mahesa Jenar mendengar berita itu. Bukan saja Mahesa Jenar, tetapi
juga Sarayuda dan Rara Wilis. Berita itu benar-benar seperti bunyi guruh yang
meledak di atas kepala mereka. Sehingga dengan serta merta Rara Wilis bertanya,
“Endang Widuri
puteri Kakang Kebo Kanigara maksudmu?”
“Ya” sahut
Bantaran.
Tiba-tiba
semuanya jadi terbungkam. Berita itu benar-benar merupakan hal yang tidak
pernah mereka sangka akan dapat terjadi. Sesaat kemudian berkatalah Mahesa Jenar,
“Apakah kakang
Kebo Kanigara sudah pulang ke Karang Tumaritis tanpa Widuri?”
“Belum,” jawab
Bantaran.
“Belum?” ulang
Mahesa Jenar seakan-akan tidak percaya.
“Ya belum.”
Hal ini pun
merupakan suatu keanehan bagi Mahesa Jenar. Kebo Kanigara masih berada di
Banyubiru.
“Kenapa anak
gadisnya itu dapat hilang dan sampai beberapa waktu tidak segera dapat
diketemukan?”
Karena itu
maka Mahesa Jenar itu bertanya,
“Apakah yang
sudah dilakukan di Banyubiru?”
“Semua orang
telah mencoba untuk mencarinya. Ki Ageng Gajah Sora, Kakang Kebo Kanigara
sendiri, Arya Salaka dan bahkan Ki Ageng Lembu Sora datang juga ke Banyubiru.
Semua orang telah berusaha mencari hampir di setiap sudut Banyubiru. Semua
jalan keluar telah dijaga segera setelah diketahui Endang Widuri hilang. Bahkan
beberapa orang telah dikirim keluar Banyubiru. Namun Endang Widuri belum
diketemukan.”
“Apakah yang
dilakukan oleh Kebo Kanigara?”
“Kami tidak
tahu. Tetapi Kakang Kebo Kanigara itu mencarinya hampir setiap saat. Hanya pada
malam harinya saja kakang Kebo Kanigara pulang ke rumah Ki Ageng. Bahkan malam
hari pun kadang-kadang kakang Kebo Kanigara tidak pulang.”
Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya. Apalagi setelah ia mendengar bahwa di halaman Banyubiru
pun telah dikejutkan oleh sebuah bayangan yang tak dapat ditangkap oleh Arya
Salaka. Berita tentang hilangnya Endang Widuri telah benar-benar menggoncangkan
perasaan Mahesa Jenar. Bagaimana ia akan dapat menikmati hari-hari seterusnya,
apabila disadarinya betapa pedih hati Arya Salaka dan orang-orang lain di
Banyubiru. Orang-orang yang selama ini berada di dalam suatu lingkungan yang
seakan-akan mengalami semua nasib, suka dan duka, manis pahit bersama-sama.
Apakah kini ia mampu menutup perasaannya, dan beristirahat dengan tenang sambil
menunggu hari-hari yang berbahagia itu? Sedangkan Kebo Kanigara, Arya Salaka,
Gajah Sora dan orang-orang lain di Banyubiru sedang berprihatin. Timbullah kemudian
persoalan tersendiri di dalam hati Mahesa Jenar. Persoalan yang amat rumit.
Kedatangannya di Gunung Kidul merupakan permulaan dan hari-hari yang cerah bagi
Rara Wilis sebagai seorang gadis yang merindukan hidup tentram dan wajar.
Tiba-tiba kini mereka dikejar lagi oleh suatu persoalan yang tak pernah mereka
sangka-sangka akan terjadi.
Tiba-tiba
Mahesa Jenar itu pun bertanya kepada Bantaran.
“Bantaran,
apakah setiap orang di Banyubiru yakin bahwa Widuri benar-benar hilang?”
“Ya. Semua
orang menganggap demikian.” sahut Bantaran.
“Apakah Widuri
tidak sedang merajuk, karena ia tidak diperbolehkan ikut ke Gunungkidul?”
bertanya Mahesa Jenar lagi.
“Ada juga
dugaan demikian,” jawab Bantaran. “Tetapi ternyata tidak. Seorang gadis melihat
Widuri berkelahi, dan seorang laki-laki yang tak dikenal telah menculiknya di
belumbang selagi Widuri sedang hendak mencuci pakaiannya.”
“Bukan main”
desis Mahesa Jenar.
“Widuri adalah
seorang gadis yang kuat. Kalau seseorang berhasil menculiknya, maka orang itu
pun pasti orang yang lebih kuat pula.”
Bantaran
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sependapat dengan kata-kata Mahesa Jenar
itu, kata-kata serupa pernah juga didengarnya di Banyubiru. Pendapa itu pun
kemudian menjadi sepi. Masing-masing hanyut dalam arus perasaan sendiri. Mahesa
Jenar menjadi gelisah karenanya. Sekilas ditatapnya wajah Rara Wilis. Dan
terasa dada Mahesa Jenar berdesir. Dilihatnya gadis itu menundukkan wajahnya
yang muram. Mahesa Jenar tidak dapat meraba, apakah sebenarnya yang sedang
dipikirkan oleh Rara Wilis. Apakah ia sedang berpikir dan berduka karena
hilangnya Widuri ataukah ia sedang mencemaskan dirinya, bahwa kebahagiaan yang
ditunggu-tunggunya itu akan mengalami gangguan pula. Tetapi sudah pasti bahwa
Mahesa Jenar tidaka akan dapat berdiam diri mendengar hal itu. Meskipun
Bantaran kemudian menjelaskan, bahwa kedatangannya hanyalah sekadar
memberitahukan, namun pemberitahuan atas permintaan Arya Salaka itu sudah pasti
mempunyai nilai tersendiri di dalam hatinya. Arya Salaka adalah muridnya. Pada
saat nyawa anak itu terancam oleh bahaya maut dari setiap penjuru. Pada saat
anak itu ditinggalkan oleh ayahnya yang dikasihinya. Lima enam tahun ia
mengolah anak itu supaya ia dapat memenuhi permintaan ayahnya menjadikan anak
itu anak yang kuat lahir dan batinnya, mempersiapkan anak itu untuk
kedudukannya yang akan datang. Bukan, bukan itu saja yang mendorongnya menempa
Arya Salaka, tetapi rasa keadilannya memang menuntut demikian. Kini, setelah
pekerjaan itu selesai, apakah ia tega melihat anak itu berduka karena sebuah
persoalan yang sangat pokok baginya. Persoalan kegairahan hidup di masa depan.
Mahesa Jenar tahu benar perasaan yang bergolak di dalam hati muridnya itu.
Apabila Endang Widuri tidak dapat diketemukan, maka Arya Salaka akan kehilangan
sebagian dari masa depannya pula.
Ketika
kemudian Bantaran itu beristirahat bersama-sama kawan-kawannya, maka di gandok
kulon, Mahesa Jenar memerlukan duduk bersama dengan Rara Wilis. Mahesa Jenar
ingin mencoba menyatakan perasaannya kepada gadis itu, dan ia mengharap
mudah-mudahan Rara Wilis akan mengetahui dan mengertinya pula. Karena itulah
maka ia menjadi gelisah. Apalagi ketika dilihatnya Rara Wilis selalu
menundukkan wajahnya yang suram. Maka kebimbangan yang tajam telah melanda dada
Mahesa Jenar. Untuk sesaat ia menjadi ragu-ragu. Apakah yang sebaiknya
dilakukan? Apakah ia akan membiarkan Widuri hilang dan Arya Salaka menyesali
peristiwa itu sepanjang hidupnya? Betapa pun sulitnya, namun kemudian Mahesa
Jenar itu pun berkata pula.
“Wilis,
bagaimanakah tanggapanmu atas berita yang dibawa oleh Bantaran?”
Mahesa Jenar
menjadi semakin berdebar-debar ketika Rara Wilis sama sekali tidak mengangkat
wajahnya. Namun meskipun demikian gadis itu menjawab,
“Kasihan anak
itu.”
“Ya. Kasihan
Widuri, dan kasihan pula Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar. Rara Wilis hanya
menganggukkan kepalanya. Dan ia tidak lagi berkata apa-apa.
Mahesa Jenar
menjadi semakin bimbang. Dengan hati-hati dicobanya untuk menuntun pembicaraan
ke arah yang dikehendaki, katanya,
“Tetapi
bagaimana pun juga anak itu harus diketemukan.”
“Ya” sahut
Rara Wilis.
Sebenarnya
hati Rara Wilis pun terganggu pula oleh peristiwa itu. Endang Widuri yang nakal
itu tak pernah dapat dilupakan. Setiap kali wajah anak itu terbayang di dalam
rongga matanya. Kenakalan dan kelincahan serta sifat kanak-kanaknya yang jujur
kadang-kadang menimbulkan rasa rindunya untuk segera bertemu dengan anak itu.
Namun tiba-tiba anak itu hilang. Karena itulah maka mau tidak mau terbersit
pula suatu perasaan yang dalam di dalam hatinya. Tetapi ia sendiri sedang
menghadapi persoalan yang sangat penting dari segenap umurnya. Hari-hari yang
diharapkannya akan segera datang. Ia mengharap kedatangan beberapa tamu,
terutama dari Karang Tumaritis. Namun tamu itu pasti tidak akan segera datang. Rara
Wilis itu pun menarik nafas dalam-dalam. Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat
berbuat lain daripada mengatakan maksudnya. Maksud itu memang harus
dikatakannya. Nanti atau sekarang. Sebab ia tidak dapat menghindari kejaran
perasaan tentang hilangnya Endang Widuri. Karena itu, maka dengan susah payah
ia pun berkata.
“Wilis, apakah
kau akan sependapat seandainya aku pergi ke Banyubiru untuk membantu mencari
anak yang hilang itu?”
Rara Wilis
sudah tahu sebelumnya bahwa Mahesa Jenar akan berkata demikian. Bahwa Mahesa
Jenar akan meninggalkan lagi untuk waktu yang tidak dapat ditentukan. Rara
Wilis tidak segera dapat menjawab. Meskipun pertanyaan itu sudah diduganya,
namun hatinya berdesir juga mendengar pertanyaan itu diucapkan. Dan
sebenarnyalah ia menjadi bersedih. Hari-hari yang dinantikannya itu seakan-akan
menjadi semakin jauh daripadanya. Kalau mula-mula ia merasa bahwa hari-hari
yang dinantikan itu telah berada di ambang pintu, maka kini pintu itu tiba-tiba
tertutup kembali.
Tetapi Rara
Wilis tidak akan dapat menyalahkan siapa-siapa. Mahesa Jenar tidak bersalah.
Sejak semula ia mengenal laki-laki itu sebagai seorang yang lebih pasrah pada
tanggungjawab atas kewajibannya, serta pengabdian terhadap kemanusiaan daripada
keperluan-keperluan dirinya sendiri, maka seharusnya ia dapat mengertinya. Arya
Salaka juga tidak dapat dipersalahkannya. Ia telah menderita pula karena
hilangnya gadis itu. Dan sama sekali bukanlah kehendaknya, bahwa Widuri harus
hilang supaya Mahesa Jenar datang kembali ke Banyubiru. Gajah Sora, Lembu Sora,
dan Sora Dipayana juga tidak. Widuri pun tidak. Ia akan mengalami ketakutan dan
kecemasan selama ia berada di tangan orang yang tidak dikenal itu. Lalu siapa?
Orang yang menculiknya itu? Orang itu sama sekali tidak bersangkut paut dengan Mahesa
Jenar. Tetapi itulah penyebab dari kedukaannya kali ini. Lalu bagaimanakah
dengan Kebo Kanigara? Kebo Kanigara adalah seorang yang sakti. Bahkan lebih
matang dari Mahesa Jenar sendiri. Tetapi kenapa ia tidak mampu menemukannya?
Apalagi Mahesa Jenar. Mahesa Jenar melihat pergolakan di dasar hati Rara Wilis
itu. Meskipun di usahakannya untuk membayangkan pergolakan itu, namun wajahnya
yang mendung adalah pernyataan yang tidak dapat disembunyikan.
“Rara Wilis”
desis Mahesa Jenar kemudian,
“Aku harap kau
dapat mengerti.”
Rara Wilis
terkejut mendengar kata-kata itu, sehingga dengan demikian ia mengangkat
wajahnya. Dengan tajamnya dipandangnya wajah Mahesa Jenar. Katanya,
“Apakah aku
tidak dapat mengerti persoalan yang sedang kau hadapi kakang?”
Mahesa Jenar
menjadi bingung. Ternyata dirinya sendirilah yang tidak dapat mengerti perasaan
Rara Wilis itu. Karena itu maka segera ia berkata,
“Maaf Wilis.
Maksudku, apakah kau menyetujuinya?” Kembali Rara Wilis menarik nafas
dalam-dalam. Hilangnya Widuri benar-benar telah menggoncangkan ketentramannya.
Sesaat
kemudian maka Rara Wilis itu pun menjawab.
“Kakang, aku
sama sekali tidak akan bermaksud menghalangi pekerjaan kakang. Tetapi aku
berkata demikian kakang, bukan perasaanku. Kalau aku berkata demikian kakang, bukan
berarti aku tidak menyetujui kakang untuk pergi ke Banyubiru. Pergilah kakang.
Aku pun merasa kehilangan pula. Tetapi jangan menganggap kepedihan ini karena
aku terlalu mementingkan diriku sendiri.”
Mahesa Jenar
memalingkan wajahnya. Ia tidak mau menatap wajah Rara Wilis terlalu lama. Ia
melihat air di dalam mata yang buram. Dan ia tidak tahan melihatnya.
Dilemparkannya pandangan matanya jauh-jauh ke luar, menorobos sela-sela pintu
yang tidak terkatup rapat. Dilihatnya daun-daun di halaman berguncang disentuh
angin yang bertiup dari lautan. Suaranya semiut seperti sebuah lagu yang rawan.
SESAAT mereka
berdiam diri dalam keheningan. Tetapi Mahesa Jenar tidak mendengar Rara Wilis
terisak-isak. Perlahan-lahan ia berpaling, dan dilihatnya Wilis masih duduk
dalam sikapnya. Tetapi ia tidak menangis. Mahesa Jenar itu pun kemudian
berkata,
“Wilis. Aku
dapat mengerti pula perasaanmu seperti kau dapat mengerti perasaanku. Kini kau
sedang mulai menghayati ketentraman hidup dalam keluarga yang wajar. Tetapi
baru saja kau menikmati ketenangan ini setelah bertahan-tahun lamanya kau
terguncang-guncang oleh arus yang tak kau ketahui ujung pangkalnya, maka
kembali kau diganggu oleh peristiwa-peristiwa yang sama sekali tidak
bersangkut-paut dengan masa depan sendiri. Tetapi aku berjanji Wilis, bahwa
kali ini adalah kali terakhir.”
“Jangan
berjanji kakang”, potong Rara Wilis.
“Aku tidak
ingin mendengar janji apapun daripadamu. Marilah kita jalani jalan kita dengan
janji di dalam hati. Sebab bagiku, janji bukanlah satu-satunya tempat untuk
menyangkutkan harapan. Tetapi apa yang akan kita lakukan akan mengatakan kepada
kita masing-masing, janji yang tersimpan di dalam hati itu.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia dapat mengerti kata-kata Rara Wilis itu. Dan
ia adalah orang yang mantap pada janjinya. Janji yang terpateri di dalam hati.
Ia tidak pernah berjanji kepada Baginda Sultan Trenggana untuk menemukan
keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi janji itu dipenuhinya. Janji yang
disimpannya di dalam dadanya. Dan kini ia telah mengucapkan janji itu pula di
dalam hatinya itu. Janji pribadi.
Akhirnya
Mahesa Jenar telah mengambil keputusan untuk pergi ke Banyubiru besok bersama
Bantaran. Keputusan yang sangat berat, namun harus dilakukan menurut panggilan
hatinya. Sekali lagi ia terpaksa mengorbankan kepentingannya sendiri.
Kepentingan yang sangat berharga bagi hidupnya. Dan sekali lagi ia mengorbankan
perasaan seorang gadis yang dicintainya. Meskipun Rara Wilis itu dapat mengerti
sepenuhnya. Tetapi ia kecewa. Kecewa terhadap keadaan. Keadaan yang belum
memungkinkan menikmati ketentraman dan ketenangan hidup. Lebih-lebih lagi hidup
dalam lingkungan keluarga yang diimpikan.
Ki Ageng
Pandan Alas melihat pula kerisauan di dalam hati cucunya. Ia pun menjadi kecewa
seperti kekecewaan Rara Wilis sendiri. Orang tua itu benar-benar ingin melihat
keturunannya tidak lenyap sama sekali. Karena itu, alangkah rindunya ia akan
keluarga cucunya itu. Namun tiba-tiba ia tidak dapat menentang keadaan yang
tiba-tiba saja dihadapkannya kepadanya, kepada cucunya dan kepada cita-citanya.
Karena itu maka ketika Mahesa Jenar bermohon diri kepadanya, maka katanya serta
merta,
“Aku turut
angger ke Banyubiru.”
Mahesa Jenar
terkejut mendengar jawaban itu. Juga Rara Wilis terkejut. Namun orang tua itu
kemudian berkata pula dengan wajah yang suram.
“Wilis, aku
akan berbuat untukmu. Aku tidak tahu, apakah tenagaku yang tua ini akan
berguna, namun aku ingin membantu mencari yang hilang itu. Betapa kecil arti
usahaku, tetapi aku percaya semakin banyak orang yang berusaha mencari, maka
semakin cepatlah cucu Widuri itu akan diketemukan. Dengan demikian, maka angger
Mahesa Jenar pun akan semakin cepat selesai pula dengan pekerjaannya.”
Kata-kata itu
berdenyut di dalam dada Rara Wilis dan Mahesa Jenar. Terasa betapa orang tua
itu menjadi sedih karena keadaan. Tetapi orang tua yang penuh dengan pengertian
itu, tidak saja hanya meratap, namun ia berbuat sesuatu untuk mempercepat
penyelesaian.
No comments:
Post a Comment