IA dapat memasuki kemah demi kemah dan membinasakan isinya sebelum mereka sempat membunyikan tanda apapun. Kemudian ia akan menghadapi pimpinan mereka, istri Sima Rodra yang pasti akan dapat dibinasakannya pula.
Tetapi
Panembahan Ismaya itu melarangnya untuk berbuat demikian. Dalam kebingungan itu
terdengar kembali Panembahan Ismaya berbisik,
“Anakmas, kita
telah berhasil mengetahui maksud kedatangan mereka. Marilah kita kembali dan
mempertimbangkan apa yang baik aku lakukan untuk menyelesaikan masalah ini”.
Hati Mahesa
Jenar bergolak hebat. Karena itu ia masih duduk diam tak bergerak. Kalau Mahesa
Jenar tidak dapat mengerti apa yang akan dilakukan, apalagi Arya Salaka.
Meskipun ia berdiam diri, namun tubuhnya telah basah oleh keringat dingin.
Bahkan terdengar giginya gemeretak menahan hati. Melihat gelagat itu, maka
Panembahan Ismaya menjadi bertambah cemas. Apalagi ketika ia mendengar Arya
Salaka berdesis dengan suara yang gemetar.
“Cucu Arya
Salaka…” bisik Panembahan Ismaya,
“Apakah
rencanaku itu tidak dapat cucu mengerti?
“Eyang
Panembahan…” jawab Arya Salaka memaksa diri untuk berkata,
“Apakah
salahnya kalau sekarang juga aku bertindak. Menurut Paman Mahesa Jenar, darma
seorang lelaki adalah termasuk menumpas kejahatan. Bukankah saat ini kesempatan
itu ada…?”
“Kau betul
cucu, kau betul. Dan pamanmu Mahesa Jenar pun betul pula. Tetapi adakah untuk
menumpas kejahatan harus dilakukan dengan membinasakan mereka?”
“Bapa
Panembahan…” Mahesa Jenar menyahut,
“Setiap sisa
dari kejahatan akan dapat menjadi benih pada masa yang akan datang”.
“Kau juga
benar Anakmas, kau juga benar,” jawab Panembahan Ismaya, nafasnya menjadi
semakin memburu.
“Tetapi
membunuh sebatang pohon tidak harus memotong dahan-dahan serta cabang-cabang
saja. Yang penting akarnyalah yang harus dibinasakan”.
“Akan sampai
juga saatnya kelak,” potong Arya Salaka.
“Cucu…” sahut
Panembahan Ismaya semakin bingung. Tetapi dari mulutnya meluncur kata-kata yang
menunjukkan kedalaman tanggapannya atas keadaan yang dihadapinya.
“Kalau kau
mulai dengan orang-orang yang menurut pamanmu tidak lebih daripada tikus-tikus
yang rakus itu, cucu, maka kau tidak akan menemukan rajanya. Atau kau akan diterkamnya
tanpa sepengetahuanmu”.
Mendengar
kata-kata Panembahan tua itu, Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia menjadi seperti
orang yang tersadar dari sebuah angan-angan yang dahsyat. Gamblanglah baginya
apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu. Ternyata meskipun orang tua itu
tidak cukup pengalaman dalam dunia keprajuritan, namun pandangannya yang jauh
ternyata sangat bermanfaat. Tetapi agaknya Arya Salaka sama sekali tidak dapat
mengerti pikiran Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab,
“Sekarang atau
nanti, soalnya sudah jelas. Baik setiap anggota gerombolan itu atau setiap
orang yang memegang pimpinan, harus kita binasakan. Apakah bedanya?”
“Arya…” potong
Mahesa Jenar dengan tenang,
“Biarlah kita
urungkan niat kita. Biarlah kita dapat menangkap orang yang kita kehendaki
tanpa korban yang terlalu banyak”.
Mendengar
pendapat Mahesa Jenar, Arya Salaka terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak
mengira bahwa gurunya akan menjadi sedemikian lunak menghadapi gerombolan hitam
yang memuakkan itu. Karena itu wajahnya jadi merah. Jawabnya,
“Guru…
ijinkanlah aku bertindak atas namaku sendiri. Bukankah mereka telah bekerja
sama dengan Paman Lembu Sora untuk mencelakakan ayahku…?”
Sekali lagi
Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia dapat merasakan perasaan anak itu. Tetapi ia
dapat pula merasakan betapa bijaksananya Panembahan Ismaya dengan pendapatnya.
Maka dengan penuh kesabaran seorang guru terhadap murid yang dikasihinya,
Mahesa Jenar berkata,
“Arya Salaka,
kalau ada orang yang benci kepada golongan hitam, akulah orangnya yang akan
berdiri di baris terdepan. Namun demikian, ada beberapa pertimbangan yang harus
kita perhatikan”.
“Paman… potong
Arya Salaka, Haruskah kita menunggu agar mereka menjadi bertambah kuat dan
bersiaga dahulu…? Ataukah kita menunggu sampai mereka menggantung aku
tinggi-tinggi di pohon beringin tua itu…?”
“O cucu,
jangan sebut-sebut peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu,” sahut Panembahan
Ismaya.
“Tetapi hal
itu bisa terjadi, Eyang,” jawab Arya.
“Mula-mula
ayahkulah yang menjadi korban, kemudian apa yang terjadi atas Paman Sawungrana
menambah penjelasan. Dan apakah yang sudah mereka lakukan terhadap orang-orang
Banyubiru dan Pamingit?”
“Arya…” potong
Mahesa Jenar,
“Biarlah aku
selesaikan penjelasanku dahulu. Kita harus mempunyai beberapa pertimbangan.
Pertama kita harus menghormati Bapa Panembahan sebagai tuan rumah. Kedua, kita
tidak mau kehilangan pemimpin mereka. Kalau orang-orang itu telah kita
binasakan, maka pimpinan mereka tidak akan menginjakkan kakinya di daerah ini.
Dengan demikian pekerjaan kita akan bertambah sulit”.
“Kalau
demikian biarlah kita tinggalkan padepokan ini, supaya kita tidak terikat lagi
pada sopan santun. Setelah itu kita bebas untuk bertindak atas orang-orang dari
gerombolan hitam itu,” jawab Arya.
Sehabis
ucapannya itu, tiba-tiba Arya sudah mulai bergerak untuk meninggalkan tempat
itu. Melihat hal itu Mahesa Jenar terkejut sekali. Karena itu segera ia
mencegahnya.
“Arya, apa
yang akan kau lakukan? Ingat aku adalah gurumu. Dan aku telah mengasuhmu sampai
ketingkatan ini”.
Mendengar
suara gurunya yang sudah mulai keras itu Arya menjadi tergetar hatinya.
Rupa-rupanya gurunya benar-benar mempunyai pendapat yang lain dari pendapatnya
terhadap orang-orang dari gerombolan hitam yang tinggal memijat hancur itu.
Dalam pada itu, tiba-tiba lembah di kaki bukit Karang Tumaritis itu tergetar
oleh suara tertawa yang tinggi nyaring. Suara itu jelas suara perempuan. Hati
mereka yang sedang bersembunyi di dalam semak-semak itu tiba-tiba menjadi
bergetaran dan berdebar-debar. Mahesa Jenar dan Arya Salaka sama sekali tidak
melupakan bahwa suara itu adalah suara Istri Sima Rodra dari Gunung Tidar.
Suara itu kemudian disahut oleh suatu suara yang tenang berat, meskipun
terdengar kurang menyenangkan. Sambil tertawa pendek terdengar laki-laki itu
berkata,
“Seharusnya
kau sedikit memelihara kecantikanmu daripada terus-menerus merendam kuku-kukumu
itu di dalam racun. Dengan begitu aku tidak akan terlalu ngeri memandangmu”.
Sekali lagi
terdengar tertawa iblis betina itu, bahkan semakin dekat. Dan ketika sekali
lagi terdengar suara laki-laki yang bersamanya, dada Mahesa Jenar bergoncang
keras. Suara itu adalah suara berdesis dari Ular Laut Nusakambangan.
“Jangan coba
merayu aku,” katanya,
“Kecuali kalau
kau benar-benar dapat menangkap gadis yang kau sebut-sebut anak bekas suamimu
yang terbunuh itu. Dengan demikian kau berdua akan aku ambil sekaligus sebagai
isteri-isteriku”.
“Kau
benar-benar serigala,” jawab istri Sima Rodra,
“Tetapi apakah
kau tidak takut kepada Pandan Alas?”
“Itu urusanmu.
Kau boleh minta pertolongan ayahmu, Sima Rodra tua dari Lodaya, dan barangkali
juga Paman Bugel Kaliki akan bersedia pula membantu”.
“Kenapa
urusanku?” tanya Istri Sima Rodra.
“Banyak
sebabnya,” jawab Jaka Soka yang berwajah tampan itu.
“Pertama, Sima
Rodra adalah ayahmu. Karena itu permintaanmu akan mendapat perhatiannya. Kedua,
Bugel Kaliki adalah sahabat ayahmu itu. Dan ketiga, kau yang minta aku
mengawinimu”.
“He…” potong
Istri Sima Rodra terkejut.
”Siapa bilang
aku minta kau mengawini aku?”
“Lalu apa
maksudmu menyeret aku kemari serta segala macam tingkah lakumu yang aneh-aneh
itu?” tanya Jaka Soka keheran-heranan.
Sekali lagi
tertawa nyaring yang mengerikan itu meluncur dari mulut harimau betina liar
Gunung Tidar itu. Jawabnya,
“Soka… kau
benar-benar telah berubah menjadi seorang yang alim. Coba katakan kepadaku,
pernahkah kau mengawini segenap perempuan yang kau kumpulkan di Nusakambangan?
Sekarang kau tak usah berpura-pura. Aku juga tidak. Kita tidak usah mengikat
diri dengan cara apapun. Sebab itu hanya akan menertawakan orang dan mengurangi
kemerdekaan kita masing-masing”.
“Gila!” gerutu
Jaka Soka.
“Ternyata kau
jauh lebih liar dari dugaanku. Tetapi bagaimanapun juga bentuk hubungan kita,
namun syaratku tetap. Kau harus membawa gadis itu kepadaku. Terserah cara yang
akan kau tempuh”.
“Kau terlalu
menyakitkan hatiku, tetapi aku tidak akan marah kepadamu. Jangan takut, gadis
itu akan kutangkap dan akan kujadikan umpan untuk memancingmu”.
Lalu suara itu
disusul oleh suara tawa dengan nada tinggi yang sangat menyakitkan telinga,
yang semakin lama semakin menjauh dan ternyata kemudian memasuki kemah yang
agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.
MENDENGAR
percakapan itu hati Mahesa Jenar seperti tertusuk sembilu. Ketika ia menoleh ke
arah Panembahan Ismaya, orang tua itu menggigil seperti orang kedinginan.
Terdengarlah suaranya yang lemah gemetar,
“Ya ampun, ada
juga manusia-manusia semacam itu di dunia ini”.
“Itulah
pimpinan mereka,” sahut Mahesa Jenar.
“Adakah
Panembahan merasa bahwa orang-orang semacam itu dapat diajak berbicara?”
Panembahan
Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu.
Malahan ia bertanya tentang hal yang lain.
“Katanya,
Anakmas, pernahkah kau mendengar nama-nama yang disebut-sebut tadi? Pandan
Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki?”
Sekali lagi
Mahesa Jenar terasa seperti terbangunkan dari sebuah angan-angan yang hebat.
Kalau orang-orang itu, Sima Rodra dan Bugel Kaliki, berada di tempat ini pula,
maka akibatnya akan hebat sekali. Apakah yang dapat dilakukan terhadap kedua
tokoh itu? Bagaimanapun juga Mahesa Jenar bukan orang yang dengan mudahnya
dapat ditelan oleh perasaan saja tanpa pertimbangan-pertimbangan dan
perhitungan, sebagaimana harus dilakukan oleh seorang prajurit.
“Bapa
Panembahan…” jawabnya,
“Orang-orang
itu adalah orang-orang yang dahsyat, yang memiliki kesaktian luar biasa. Mereka
seolah-olah mampu berbuat sesuatu diluar kemampuan manusia biasa”.
Orang tua itu
menjadi semakin cemas mendengar keterangan Mahesa Jenar.
“Adakah
orang-orang itu di tempat ini pula?” sambungnya.
Mahesa Jenar
menggelengkan kepala.
“Entahlah,”
jawabnya.
Tetapi sesaat
kemudian percakapan mereka terhenti oleh suatu suara,
“He, kau lihat
tadi lurah kita?”
Kemudian
terdengar jawaban, yang ternyata adalah laki-laki yang sedang menghangatkan
tubuh perapian yang hampir padam.
“Ya, aku lihat
Nyi Lurah bersama-sama dengan Ular Laut yang sombong itu masuk ke dalam kemah.
Apakah ada suatu keperluan?”
“Ya!” jawab
orang yang pertama.
“Sima Rodra
tua ingin menemuinya”.
Kata-kata yang
diucapkan itu, telah cukup menggetarkan dada Mahesa Jenar. Sadarlah ia sekarang
bahwa ia berhadapan dengan satu gerombolan lengkap dari Gunung Tidar yang di
belakangnya berdiri orang-orang semacam Sima Rodra tua yang dahsyat itu.
Apalagi ketika laki-laki itu meneruskan,
“Katakan
kepadanya bahwa ayahnya dan tamunya, si bongkok dari Lembah Gunung Cerme sudah
menunggu”.
Kemudian sepi
kembali. Yang terdengar hanyalah langkah-langkah mereka yang sesaat kemudian
telah lenyap ditelan sepi malam. Di langit, bintang-bintang masih bermain
dengan riangnya. Sekali-sekali selembar awan putih lewat di depan wajah langit
yang biru tua, dihanyutkan oleh angin yang berhembus perlahan-lahan. Dingin
malam yang dibasahi oleh tetesan embun terasa menyusup sampai ke tulang.
Sesaat Mahesa
Jenar terkenang pada pertemuan golongan hitam beberapa tahun yang lampau,
ketika ia berlima, dengan Gajah Alit, Paningron, Mantingan dan Wiraraga,
terlibat dalam suatu pertempuran melawan Sima Rodra tua itu bersama
Pasingsingan. Pada saat itu Sima Rodra dan Pasingsingan bertempur berdua hanya
karena mereka bersama-sama ingin membunuh, bukan karena mereka terpaksa
menggabungkan kekuatan mereka. Sekarang, bukit kecil ini telah dikepung rapat
oleh sejumlah laskar gerombolan hitam yang terkenal, ditambah lagi dengan
kehadiran Sima Rodra dan Bugel Kaliki, disamping istri Sima Rodra muda dan Jaka
Soka. Gabungan kekuatan mereka akan merupakan suatu tenaga dahsyat yang tak
terbayangkan. Disamping itu, ia merasa berterima kasih pula kepada Panembahan Ismaya,
yang telah melarangnya bertindak, meskipun itu disebabkan oleh ketakutannya
melihat kekerasan. Namun dengan demikian tanpa disengaja Panembahan tua itu
telah menyelamatkannya beserta muridnya. Sebentar kemudian kembali terdengar
suara Istri Sima Rodra muda yang agaknya telah keluar dari kemahnya.
“Sakayon…”
katanya,
“Kau harus
menjaga supaya orang itu tidak dapat lolos”.
“Baik Nyi
Lurah,” jawab Sakayon.
“Aku akan
tinggal di sini,” sela suara yang lain, yang ternyata suara Jaka Soka.
“Kalau ia akan
mencoba menerobos, akulah yang akan membinasakan”.
“Kau benar,”
jawab Jaka Soka.
“Tetapi aku
akan membunuhnya beramai-ramai. Bukankah di sini ada Sakayon dan
kawan-kawannya…? Setidak-tidaknya aku akan dapat mencegahnya sampai ayahmu
datang untuk membinasakannya”.
Sekali lagi
Harimau betina itu tertawa, sahutnya,
“Ternyata kau
jujur menghadapi lawanmu. Tetapi jangan mimpi ayahku akan membinasakannya”.
“Kenapa?”
potong Jaka Soka.
Istri Sima
Rodra muda itu tertawa lebih mengerikan lagi. Jawabnya sangat mengejutkan,
“Aku minta
ayah menangkapnya hidup-hidup. Sayang, ia terlalu tampan untuk dibunuh”.
“Gila kau!”
bentak Jaka Soka. Dan bersamaan dengan itu dada Mahesa Jenar serasa akan pecah.
Tubuhnya menggigil menahan kemuakan hatinya.
Hampir ia
kehilangan pengamatan diri, kalau ia tidak mendengar Panembahan tua itu
berdesis,
“Adakah Sima
Rodra ayah perempuan itu?”
Mahesa Jenar
mengangguk, tetapi giginya gemeretak. Sementara itu terdengar suara perempuan
itu semakin memuakkan,
“Jangan
cemburu Soka. Aku juga tidak cemburu ketika kau ajukan syarat untuk menangkap
gadis anak tiriku itu. Dan jangan kira aku tidak tahu, bahwa aku akan kau
jadikan alat saja, dan sesudah itu akan kaulempar jauh-jauh. Tetapi kau tidak
dapat melakukan itu. Ayahku akan mencekikmu bersama-sama dengan Pandan Alas.
Kecuali kalau itu atas kehendakku”.
“Gila kau.
Pergilah, pergilah ke ayahmu. Aku tidak mempedulikan apa yang akan kau lakukan.
Tetapi ingat, sementara kau perlukan aku, syarat itu harus kau penuhi,” jawab
Jaka Soka.
TERDENGAR
kembali suara tertawa iblis betina itu, semakin lama semakin jauh dan kemudian
hilang di kejauhan. Pertunjukan yang dahsyat dan memuakkan itu telah berakhir.
Namun Panembahan tua itu masih menggigil, sedang dada Mahesa Jenar dan Arya
Salaka serasa sesak oleh kemarahan dan kemuakan yang meluap-luap.
“Anakmas…”
bisik Panembahan Ismaya,
“Sungguh
mengerikan”.
“Panembahan…”
jawab Mahesa Jenar,
“Aku kira
lebih baik Panembahan kembali ke padepokan. Agaknya disini terlalu berbahaya
bagi Bapa”.
“O, ngger,”
sahut Panembahan itu,
“Aku tidak
dapat berjalan sendiri. Tubuhku tiba-tiba jadi lemas seperti segenap otot
bayuku dilolosi. Karena itu sudilah angger berdua menuntunku mendaki bukit
kecil ini”.
Mahesa Jenar
tak dapat menolak permintaan itu. Meskipun ia sebenarnya masih ingin mengetahui
lebih banyak lagi tentang kekuatan laskar Gunung Tidar itu. Karena itu, maka
perlahan-lahan mereka menggeser semakin dalam menyusup semak-semak dan batang
ilalang, untuk kemudian membantu Panembahan tua itu kembali ke Padepokan diatas
bukit. Tak ada yang mereka percakapkan sepanjang jalan. Angan-angan mereka
masing-masing dicengkam oleh kengerian dengan alasan yang berbeda-beda. Dan
karena itu pulalah maka Mahesa Jenar dan Arya Salaka seterusnya sama sekali tak
dapat memejamkan mata sekejappun, meskipun mereka menghendaki. Pikiran mereka
menjadi kalut tak karuan. Disamping itu, Mahesa Jenar pun harus berpikir pula,
bagaimanakah sebaiknya ia menghadapi iblis-iblis yang berkumpul di sekitar
bukit kecil itu. Menilik persiapan mereka, maka sudah dapat dipastikan bahwa
mereka akan melakukan pengepungan itu untuk waktu yang lama. Bagaimanapun juga
orang-orang dari Gunung Tidar tidak mau menganggap Mahesa Jenar sebagai seorang
yang tak berdaya menghadapi mereka. Lebih-lebih lagi setelah Mahesa Jenar mendengar
percakapan Jaka Soka dengan Janda Sima Rodra.
Tanpa
diketahuinya, bulu kuduknya meremang. Ia sama sekali tidak takut menghadapi
kemungkinan yang paling berbahaya sekalipun. Namun terhadap iblis betina itu ia
merasa ngeri. Karena itulah dihabiskannya sisa malam itu dengan hati yang
berdebar. Pada pagi harinya, sesaat setelah matahari terbit, datanglah Jatirono
ke pondok Mahesa Jenar, untuk menyampaikan undangan Panembahan Ismaya. Mahesa
Jenar merasa bahwa ada hal yang penting yang akan dibicarakan. Karena itu
setelah membersihkan diri, bersama-sama dengan Arya Salaka ia pergi menghadap.
“Anakmas…”
kata Panembahan itu kemudian,
“Agaknya
keadaan sangat gawat bagi Anakmas. Tetapi untung lah bahwa mereka sama sekali
tidak mengetahui dengan pasti bahwa Anakmas masih berada di atas bukit ini”.
“Aku kira
tidak demikian Panembahan,” jawab Mahesa Jenar.
”Persiapan
mereka menunjukkan bahwa mereka yakin aku masih berada di sini. Hanya
barangkali mereka menganggap bahwa untuk menangkap aku, mereka memerlukan waktu
yang panjang. Sebab bukit ini banyak sekali relung likunya yang baik sekali
untuk bersembunyi. Tetapi Bapa Panembahan, aku sama sekali tidak akan
bersembunyi. Kalau mereka naik ke bukit itu, akau akan menemuinya dan apa yang
terjadi terserahlah kepada kekuasaan Yang Maha Adil”.
Panembahan
Ismaya mengangguk-angguk.
“Katanya,
Angger memang seorang jantan tiada taranya. Yang tidak sisip dengan gelar yang
Anakmas miliki, Rangga Tohjaya. Namun demikian anakmas, setiap usaha dibenarkan
oleh Tuhan Yang Maha Agung. Juga usaha untuk menyelamatkan diri. Sebab tak ada
yang dapat dicapai tanpa suatu usaha apapun”.
Ucapan
Panembahan tua itu mengena benar di hati Mahesa Jenar. Sebenarnya ia pun
sependapat dengan pikiran itu. Bahkan menurut perhitungan, ia pun seharusnya
berbuat demikian pula. Tetapi dengan demikian, Panembahan Ismaya akan mengalami
akibatnya. Setidak-tidaknya bukit kecil yang telah dipeliharanya dengan baik
itu, akan dibongkar oleh rombongan Gunung Tidar yang akan mencarinya.
“Panembahan…”
jawab Mahesa Jenar,
”Pendapat Bapa
adalah benar sama sekali. Tetapi aku tidak mau menyulitkan Panembahan karena
kehadiranku di sini. Sebelum aku diketemukan, mereka pasti akan mengaduk
Padepokan ini. Bahkan tidak mustahil kalau Panembahan akan mengalami hal-hal
yang tidak diharapkan. Karena itu biarlah mereka menemukan diriku tanpa banyak
kesulitan. Karena persoalannya adalah persoalanku, dan sama sekali tidak
bersangkut paut dengan Panembahan. Karena aku menghadap kemari itulah sebabnya
maka bukit kecil yang tenang dan damai itu mengalami kegoncangan. Karena itu,
bahkan aku tidak akan menunggu mereka naik. Akulah yang akan berusaha, kalau
mungkin menerobos kepungan mereka”.
Sekali lagi
Panembahan tua itu memancarkan pandangan kekaguman. Maka katanya,
“Sekali lagi
aku menghormati kejantanan Anakmas. Namun meskipun demikian, berilah aku
kesempatan berlaku sebagai tuan rumah yang baik. Aku harap Anakmas tidak
menolak permintaanku, supaya aku tidak merasa bersedih. Bukankah aku yang
menahan Anakmas supaya tinggal di bukit ini untuk beberapa lama? Nah, kalau
demikian aku akan menunjukkan sebuah jalan, sebab menurut pendapatku, setelah
aku mendengar keterangan dari Anakmas malam tadi, sulitlah untuk menerobos
kepungan mereka. Meskipun aku tahu benar maksud Anakmas, bahwa dengan demikian
orang-orang itu tidak lagi akan mendaki bukit ini. Dan Anakmas telah mengatakan
pula, bahwa mereka tidak akan tergesa-gesa bertindak”.
“ANAKMAS…,”
lanjut Panembahan Ismaya,
“Di lereng
sebelah selatan bukit ini ada sebuah goa, Aku tidak tahu, siapakah yang telah
membuatnya, atau barangkali hasil perbuatan alam. Goa itu ditakbiri sebuah
gerumbul yang cukup besar. Di situ Anakmas dapat menyembunyikan diri dengan
aman. Aku yakin bahwa tak seorangpun dapat menemukan mulut goa itu”.
Mendengar
keterangan Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar menjadi terharu. Rupa-rupanya ia
akan mempertanggungjawabkan segala sesuatu mengenai dirinya, hanya karena
Panembahan tua itu telah menahannya untuk tetap tinggal dibukit kecil itu.
“Panembahan…”
jawab Mahesa Jenar,
“Aku tidak
akan dibenarkan oleh perasaanku, seandainya aku berbuat demikian. Dan adakah
Panembahan telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi?”
“Sekali lagi
aku minta,” potong Panembahan Ismaya,
“Anakmas
jangan membuat aku bersedih. Percayalah bahwa mereka tidak akan berbuat sesuatu
atas diriku serta padepokan ini, sebab aku dapat mengingkari kedatangan Anakmas
di bukit ini”.
Untuk beberapa
lama Mahesa Jenar bimbang, sedang Panembahan Ismaya selalu mendesak-desaknya
saja.
“Panembahan…”
akhirnya Mahesa Jenar berkata,
“Memang tidak
sepantasnya aku menolak, tetapi bagaimanapun juga, aku ingin supaya aku tidak
menyulitkan Bapa Panembahan. Karena itu apabila terjadi kesulitan atas
Panembahan Ismaya, maka perkenankanlah aku bertindak atas pertimbanganku
sendiri”.
“Baiklah
Anakmas, saratmu aku terima,” jawab Panembahan itu.
Setelah itu
kemudian Panembahan Ismaya memerintahkan kepada cantrik-cantriknya untuk
menyediakan perbekalan. Sebab Mahesa Jenar akan tinggal di dalam goa itu untuk
waktu yang tidak tertentu. Demikianlah pada hari itu Mahesa Jenar dan Arya
Salaka diantar oleh seorang cantrik pergi ke goa di lereng selatan bukit kecil
itu. Setelah menyibakkan sebuah gerumbul yang cukup lebat, tampaklah di hadapan
mereka sebuah mulut goa yang kecil. Seseorang hanya dapat memasukinya dengan
merangkak.
“Di dalam goa
itulah kami biasa bermain-main,” kata cantrik yang mengantarkan itu.
“He…?” Mahesa
Jenar agak terkejut.
”Kalian
bermain-main di dalam goa ini?”
“Ya,” jawab
Cantrik itu,
“Di dalam goa
itu terdapat sebuah lobang yang tembus ke atas. Dari situlah sinar matahari
menerangi bagian dalam goa ini”.
“Kemanakah
lubang goa ini tembus?” tanya Mahesa Jenar.
“Kami tidak
tahu,” jawab Cantrik itu,
“Kami belum
pernah menyusurnya jauh ke dalam. Sebab diujung sebelah dalam goa itu gelap
sekali”.
Setelah itu
maka masuklah cantrik itu ke dalam goa sambil membawa beberapa macam bekal.
Setelah itu baru Mahesa Jenar dan Arya Salaka merangkak masuk. Memang
sebenarnyalah di dalam goa itu, agak ke dalam, tampak sinar jatuh dari lubang
di atas. Lubang itu tidak seberapa besarnya, namun terdapat lebih dari satu
lubang. Sehingga dengan demikian, beberapa berkas sinar cukup untuk menerangi
sebagian dari ruangan di dalam goa itu.
Goa itu
sebenarnya tidaklah seperti kebiasaan goa-goa. Lantainya licin bersih. Dan yang
lebih menyenangkan lagi, di dalam goa itu terdapat sebuah bale-bale bambu.
Agaknya para cantrik yang sering bermain-main di dalam goa itu telah membuatnya
sebuah bale-bale di dalam.
“Nah, Tuan…”
kata cantrik itu kemudian,
“Sekarang
perkenankanlah aku meninggalkan Tuan-tuan. Setiap kali aku akan dapat kemari
untuk menengok perbekalan Tuan. Menurut pesan Panembahan, tempat ini harus
menjadi tempat rahasia. Sebab siapa tahu orang-orang yang mengepung bukit ini
telah mengirimkan orang untuk memata-matai keadaan di sekitar bukit ini. Kalau
aku terlalu sering datang kemari, atau Tuan keluar dari goa ini jangan-jangan
orang-orang mereka dapat melihatnya”.
“Pergilah,”
jawab Mahesa Jenar,
“Berilah kami
kabar apabila terjadi sesuatu atas padepokan ini, lebih-lebih Bapa Panembahan”.
Cantrik itu
mengangguk hormat.
“Pesan Tuan
akan kami laksanakan dengan baik,” katanya.
Kemudian
pergilah ia keluar lewat lubang sempit itu, dan seterusnya menyibakkan
daun-daun gerumbul yang menutup lubang goa itu. Untuk beberapa saat Mahesa
Jenar dan Arya Salaka mengamat-amati dinding goa itu. Dan kemudian mereka
menemukan suatu ruangan yang agak lebar dengan lubang-lubang pula di atasnya.
“Arya…” kata
Mahesa Jenar,
“Kita tidak
tahu berapa lama kita harus meringkuk di dalam lubang ini. Tetapi aku kira
sehari dua hari ini Sima Rodra masih belum akan bertindak. Karena itu kita
mempunyai cukup waktu untuk menyusur goa ini sebelum kita mendapat kabar dari
cantrik tadi”.
Arya Salaka
adalah seorang anak yang ingin mengetahui segalanya. Karena itu segera ia
menjawab,
“Paman,
tidakkah kita mencoba melihat setiap segi goa ini?”
“Marilah,”
jawab Mahesa Jenar.
Maka segera
dengan hati-hati mereka mulai memasuki ke bagian yang lebih dalam lagi. Di
beberapa bagian, lubang-lubang yang menembus ke atas masih saja terdapat. Dan
sepanjang bagian yang masih mendapat penerangan itu, ternyata terdapat
bekas-bekas tempat bermain para cantrik. Di situ terdapat pula alat-alat
memasak dan beberapa perlengkapan lain. Tetapi ketika kemudian mereka sampai ke
bagian yang lebih gelap, hilanglah semua bekas-bekas yang menunjukkan bahwa
tempat itu pernah didatangi oleh para cantrik. Perlahan-lahan Mahesa Jenar dan
Arya Salaka menyusuri lubang goa yang semakin lama menjadi semakin sempit dan
gelap.
PADA hari yang
pertama, mereka menghentikan pengamatan mereka sampai di situ. Tak ada yang
istimewa di dalamnya. Kecuali di beberapa tempat terdapat tetesan-tetesan air
yang jernih. Agaknya para cantrik sering menampung air yang tetes itu pula,
untuk masak-memasak. Pada hari kedua, Mahesa Jenar dan Arya Salaka kembali
menyusuri lubang goa itu jauh lebih ke dalam. Karena pandangan mereka yang
sudah agak biasa di dalam gelap, maka meskipun remang-remang mereka dapat
melihat di dalam goa itu. Namun yang tampak hanyalah bayangan batu-batu yang
menjorok tak teratur. Ada yang runcing, ada yang seperti gerigi, dan ada yang
halus licin seperti digosok. Juga pada hari kedua mereka tak mendapatkan apapun
yang menarik perhatian. Dengan perasaan jemu mereka kembali ke ujung goa,
dimana mereka menemukan cantrik yang mengantarkan mereka, telah berada di situ.
“Ada sesuatu
yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar tak sabar.
Cantrik itu
menggeleng tenang.
“Tak ada,”
jawabnya.
“Lalu apakah
yang dilakukan oleh orang-orang laskar Gunung Tidar itu selama ini?” sambung
Mahesa Jenar.
“Menari dan
menyanyi-nyanyi seperti orang gila,” jawab cantrik itu.
”Mereka
berbuat aneh-aneh. Kami tidak melihatnya dengan jelas. Tadi malam kami mencoba
mengintip mereka, meskipun kami sama sekali tak berani mendekati. Tetapi dari
jarak yang sedang, kami melihat mereka menari-nari mengelilingi perapian dengan
laku yang aneh-aneh. Lebih mengherankan lagi bahwa diantara mereka terdapat
pula laskar-laskar perempuan. Dan apa yang kami lihat adalah sangat mengerikan.
Kami hampir tak percaya pada mata kami. Lebih-lebih lagi, perempuan yang mereka
anggap pimpinan mereka, yang mendapat gelar Harimau Betina dari Gunung Tidar”.
Mendengar
ceritera cantrik itu, mulut Mahesa Jenar serasa terkunci. Tak sepatah katapun
ia menjawab. Dadanya berdentang-dentang dengan kerasnya. Apalagi ketika ia
sadar bahwa tak ada sesuatu yang dapat dilakukan. Dengan adanya Sima Rodra dari
Alas Lodaya dan Bugel Kaliki, maka setiap usahanya pasti akan sia-sia. Karena
itu untuk sementara ia terpaksa membiarkan segalanya terjadi sampai ia
menemukan suatu cara untuk mengatasinya.
Cantrik itu
tidak lama tinggal di dalam goa. Segera setelah ia menambah bekal-bekal buat
Mahesa Jenar, ia minta diri. Dengan hati-hati sekali ia mengendap keluar, dan
kemudian hilang di balik semak-semak di muka mulut goa. Ceritera cantrik itu
menambah prihatin Mahesa Jenar. Ia merasa seperti orang yang sama sekali tak
berarti. Alangkah bodoh dan picik pengetahuan yang dimilikinya, sehingga ia
terpaksa membiarkan kemaksiatan itu berlaku di hadapannya tanpa suatu daya
apapun untuk mencegahnya. Karena kejemuannya pula, maka pada hari ketiga Mahesa
Jenar dan Arya Salaka memasuki goa itu lebih dalam lagi. Batu-batu runcing
bertebaran di sepanjang dindingnya. Ketika mereka sampai di bagian lebih dalam
lagi, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Lamat-lamat mereka mendengar gemerisik
halus di sekitar tempat itu. Dengan ketajaman pancainderanya Mahesa Jenar
mencoba untuk mengetahui sumber bunyi itu. Tetapi sebentar kemudian bunyi itu
telah lenyap. Namun meskipun demikian Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi
bertambah berhati-hati. Apalagi sesaat kemudian bunyi itu terdengar lagi. Agak
lebih dekat. Sekarang jelas bagi Mahesa Jenar, bahwa bunyi itu bunyi langkah
manusia. Karena itu ia menggamit Arya Salaka, dan dengan isyarat ia menyuruhnya
untuk waspada. Tetapi kemudian suara itu lenyap kembali.Kemudian Mahesa Jenar
dan Arya Salaka pun tidak mau berkisar dari tempatnya. Mereka berdua
perlahan-lahan sekali mendekat pada dinding goa. Untuk beberapa lama mereka
bertahan di situ. Mereka menunggu setiap kemungkinan yang dapat terjadi.
Dan apa yang
mereka tunggu-tunggu tiba-tiba muncullah. Di dalam gelap mereka melihat sesosok
tubuh berjalan perlahan-lahan sekali dan sangat hati-hati. Tetapi agaknya ia
masih belum melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang berdiri melekat dinding,
meskipun barangkali orang itu telah mendengar langkah mereka, sebab ternyata
orang itu berjalan mendekati mereka. Tetapi ketika jarak mereka tinggal beberapa
langkah, agaknya orang itu dapat pula melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka.
Cepat ia menghentikan langkahnya, dan tiba-tiba ia meloncat dan berlari
menjauh. Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi curiga. Karena segera mereka
menyusulnya. Namun orang itu berlari terus meskipun tidak begitu cepat karena
gelap. Sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka tidak dapat berlari cepat.
Karang-karang yang runcing terbujur lintang tak tentu arah. Meskipun demikian
langkah Mahesa Jenar setidak-tidaknya dapat menyamai langkah orang yang
dikejarnya, sehingga jarak mereka tidak menjadi semakin jauh.
Ketika orang
itu sadar bahwa ia dikejar, maka ia pun mempercepat langkahnya. Belum
sedemikian jauh ia berusaha untuk melenyapkan dirinya, masuk ke dalam sebuah
lekuk. Tetapi ternyata bahwa lekuk itu hanya merupakan sebuah mulut saja dari
cabang goa itu yang cukup dalam pula. Mula-mula Mahesa Jenar agak ragu. Tetapi
karena keinginannya untuk mengetahui siapakah orang itu, maka segera ia
mengejarnya ke dalam cabang goa itu. Beberapa lama mereka berkejar-kejaran.
Orang itu agaknya sudah amat mengenal keadaan di dalam goa sehingga dengan
mudahnya ia memasuki hampir setiap lobang yang ada. Ternyata di dalam goa itu
tidak saja terdapat satu dua jalur lubang, tetapi berpuluh-puluh. Karena itulah
Mahesa Jenar menjadi sulit untuk mengejar orang yang sudah mengenal tempat itu
dengan baik. Akhirnya ketika ia merasa bahwa usahanya tidak akan berhasil, dan
orang yang dikejarnya itu sudah tidak nampak pula, segera ia menghentikan
langkahnya. Peluh dinginnya telah merembes hampir membasahi seluruh tubuhnya.
TETAPI yang
lebih mengejutkan lagi, ketika ia menoleh, Arya Salaka tidak dilihat
bersamanya. Mahesa Jenar tertegun untuk beberapa saat. Namun kemudian ia sadar
bahwa mungkin anak itu tidak dapat mengikuti kecepatannya. Dalam pada itu
Mahesa Jenar jadi gelisah. Gelisah karena kehadiran orang lain didalam goa itu,
ditambah dengan terpisahnya Arya Salaka. Karena itu, untuk beberapa saat ia
menanti. Mungkin Arya akan segera menyusulnya, atau orang yang dikejarnya itu
muncul kembali. Tetapi usahanya itu sia-sia. Telah beberapa lama ia tinggal di
situ, namun tak seorang pun yang nampak. Mahesa Jenar kemudian bertambah
gelisah lagi. Jangan-jangan Arya Salaka tak dapat menemukan jalan. Bukan itu
saja, tetapi dirinya sendiripun menjadi kebingungan pula. Ketika kemudian ia
meninggalkan tempat itu dan berusaha kembali ke mulut goa kembali. Beberapa
kali ia berputar-putar melingkar-lingkar, namun yang dicarinya tidak dapat
diketemukannya. Dengan demikian ia pun yakin bahwa Arya Salakapun pasti
kehilangan jalan. Dalam kegelisahannya, kemudian Mahesa Jenar berteriak
memanggil-manggil. Namun ia sama sekali tak mendengar suara Arya menyahut.
Beberapa kali suaranya sendiri melingkar-lingkar dan kembali meraung-raung di
dalam relung-relung goa itu. Akhirnya ia pun kelelahan sendiri. Dibantingkannya
dirinya di atas sebuah batu dengan masgulnya. Disekitarnya takbir kegelapan
merubunginya. Di sana-sini meremang batu-batu yang menjorok seperti
bayangan-bayangan hantu yang akan menerkamnya.
Mahesa Jenar
sama sekali tidak takut menghadapi keadaan sekitarnya. Tetapi ia bingung karena
kehilangan muridnya. Apapun yang terjadi atasnya bukanlah soal, sedangkan Arya
masih memiliki masa depan yang panjang dengan penuh harapan-harapan. Sekali
lagi ia masih mencoba memanggil Arya. Namun suaranya memercik kembali
berulang-ulang. Bagi Mahesa Jenar pantulan suaranya itu terdengar seperti guruh
yang memukul-mukul dadanya yang gelisah. Tiba-tiba dalam keriuhan perasaan itu,
Mahesa Jenar dikejutkan oleh suara orang tertawa. Suara itu perlahan-lahan
sekali, tetapi jelas dan dekat disekitarnya. Mendengar suara itu darah Mahesa
Jenar berdesir hebat. Karena itu segera ia meloncat berdiri dan bersiaga. Namun
kemudian, suara itu terhenti dan tidak ada apa-apa lagi yang terdengar. Oleh
peristiwa itu hatinya menjadi bertambah gelisah. Ia mempunyai dugaan, bahwa
seseorang telah sengaja memancingnya sampai ke tempat yang membingungkan ini.
Dan mungkin sekaligus memisahkannya dari muridnya. Ketika kemudian suara
tertawa itu terdengar lagi, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan.
Dipusatkannya segenap inderanya untuk mengetahui arah suara yang mengganggunya.
Mahesa Jenar adalah seorang yang terlatih baik, jasmaniah dan rohaniah. Karena
itu, meskipun perlahan-lahan akhirnya ia dapat menemukan sumber suara itu. Maka
perlahan-lahan sekali ia berkisar dari tempatnya, menuju ke arah suara yang
menyeramkan. Beberapa langkah kemudian ia berhenti di tikungan. Suara itu
berasal dari sebuah lubang dinding cabang goa itu. Dengan hati-hati dan penuh
kewaspadaan ia memasukinya dengan melekatkan tubuhnya di dinding. Tiba-tiba
hampir ia terlonjak ketika suara itu terdengar kembali hampir melekat di
hidungnya. Dan bersamaan dengan itu dilihatnya sebuah bayangan bergerak-gerak
di hadapannya.
Tetapi agaknya
orang itu pun terkejut pula atas kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu.
Ternyata suara tertawanya terputus, dan bayangan itu pun segera bergerak
menjauh. Kali ini Mahesa Jenar tidak mau melepaskannya lagi. Ia telah kehilangan
muridnya karena mengejar-ngejar bayangan itu. Maka sekarang ia harus
menangkapnya untuk dipaksanya menunjukkan segala liku-liku goa untuk mencari
muridnya. Kembali terjadi kejar-mengejar di dalam goa yang gelap. Untunglah
bahwa penglihatan Mahesa Jenar tajamnya melampaui mata burung hantu, sehingga
meskipun agak sulit ia masih dapat terus-menerus membayangi buruannya. Tetapi
seperti semula amat sulitlah untuk mendekatinya. Goa itu mempunyai
beratus-ratus tikungan yang sangat membingungkan. Hampir meledaklah dada Mahesa
Jenar ketika sekali lagi ia kehilangan orang yang dikejarnya itu. Tubuhnya
menggigil seperti orang kedinginan. Giginya gemeretak. Kedua tangannya mengepal
tinju. Tetapi tak seorang pun yang dihadapinya. Dalam keadaan yang serupa itu,
tiba-tiba sekali lagi Mahesa Jenar terperanjat. Tidak beberapa jauh di
hadapannya, ia melihat sebuah bayangan sinar yang meremang. Segera perhatiannya
beralih kepada bayangan itu. Cepat-cepat ia melangkah mendekati. Dan apa yang
diketemukan adalah sebuah lubang yang agak besar. Yang lebih mendebarkan
hatinya adalah, di seberang lubang itu, ia melihat cahaya yang lebih terang
dari keadaan di dalam goa. Maka dengan hati-hati ia berjongkok dan mengintip
keluar. Namun tak ada sesuatu yang mencurigakan. Akhirnya Mahesa Jenar
mengambil keputusan untuk memasuki lubang itu. Dengan penuh kewaspadaan
akhirnya ia merangkak masuk. Tetapi alangkah terkejutnya. Ketika seluruh
kepalanya telah berada diluar lubang, pertama-tama benda yang disentuhnya
adalah batang ilalang. Karena itu segera seperti meloncat ia melontarkan
seluruh tubuhnya. Pada saat itulah angin senja menghembus tubuhnya dengan
segarnya. Batang-batang ilalang di sekitarnya, yang tingginya melampaui
tubuhnya, bergoyang-goyang ditiup angin. Di sebelah barat masih membayang
warna-warna merah, tetapi matahari telah tenggelam di bawah kaki langit. Untuk
sementara Mahesa Jenar tertegun heran. Tiba-tiba saja ia telah berdiri di luar
goa. Tetapi mulut goa ini bukanlah mulut goa dari mana ia masuk. Bagaimanapun
juga ia menjadi agak bimbang. Apakah sekarang yang akan dilakukan. Akhirnya ia
mengambil keputusan untuk menghadap Panembahan Ismaya, sebab ia yakin bahwa ia
masih berada di bukit Karang Tumaritis.
KETIKA Mahesa
Jenar mulai bergerak, kembali ia tertegun. Didengarnya agak jauh di bawah suara
kuda meringkik, disusul oleh gelak tertawa dan sorak sorai yang riuh. Sekali
lagi perhatiannya teralih. Mahesa Jenar tiba-tiba ingin melihat apakah yang
terjadi, dan sekaligus ia mengharap dapat memecahkan teka-tekinya sendiri,
serta hilangnya Arya Salaka. Karena itu segera ia melangkahkan kakinya dengan
hati-hati ke arah suara yang ramai itu. Ketika suara itu telah semakin dekat,
Mahesa Jenar mulai merangkak diantara batang-batang ilalang. Dan pada saat
terakhir, ketika ia menyibakkan daun ilalang, ia melihat suatu pemandangan yang
hampir membuatnya pingsan. Yang mula-mula dilihatnya adalah perapian. Meskipun
malam baru menginjak diambang pintu. Kemudian di dekat perapian itu ia melihat
Janda Sima Rodra berdiri bertolak pinggang, sedang di hadapannya, di atas
sebuah batu tampak Jaka Soka duduk memandang lidah api yang menjilat-jilat.
Sikapnya acuh tak acuh saja kepada Harimau Betina yang buas itu.
“Soka…” kata
Janda Sima Rodra,
”Syaratmu
telah aku penuhi”.
“Bohong!”
jawab Jaka Soka masih acuh tak acuh.
“Jangan
pura-pura tidak tahu. Aku lihat pada wajah serigalamu itu suatu kerakusan yang
tak tertahan-tahan lagi. Jangan begitu. Gadis itu hanya sekadar syarat.
Syaratku. Jadi jelas, akulah yang penting,” sahut perempuan itu.
Jaka Soka
menoleh. Lalu dipandangnya orang-orang yang berada di sekitarnya.
“Kenapa kalian
berhenti berteriak-teriak?” Tetapi tak seorang pun menjawab. Karena tak seorang
pun menjawab, ia melanjutkan, “Teruskan, teruskan. Aku akan ikut serta”.
“Jawab pertanyaanku,”
potong Harimau Betina itu.
“Bagus. Bagus
kau,” jawab Jaka Soka.
“Aku tak
pernah mengingkari janji. Tetapi tunjukkan syarat itu di hadapanku”.
Terdengarlah
tertawa iblis betina itu. Sangat mengerikan.
“Kau tidak
percaya kepada Sima Rodra tua dari Lodaya? Dan juga Bugel Kaliki dari Lembah
Gunung Cerme?”
“Siapa bilang
tidak percaya?” sahut Jaka Soka cepat-cepat.
”Aku hanya
minta kau tunjukkan itu kepadaku”.
“Bagus,” jawab
Janda Sima Rodra muda.
“Sakayon…”
perintahnya,
“Bawa bunga
pandan itu kemari. Awas Soka, durinya sangat tajam”.
Jaka Soka
tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja. Senyuman yang sudah pernah dikenal
oleh Mahesa Jenar sebagai senyuman Ular yang bisanya tajam bukan buatan. Dan
karena senyuman itu pulalah dahulu ia mengikutinya sampai ke tengah-tengah
hutan Tambak Baya, sehingga ia dapat menyelamatkan Rara Wilis. Dan sekarang,
agaknya Ular Laut itu masih belum menyerah. Dengan segala cara ia agaknya
berhasil memperalat Janda Sima Rodra itu untuk menangkap gadis itu. Sebentar
kemudian darah Mahesa Jenar serasa berhenti mengalir. Tiba-tiba saja dadanya
bergetaran dan kepalanya menjadi pening ketika ia melihat dari dalam salah
sebuah kemah, seorang yang digiring keluar dengan tangan terikat. Orang itu
tidak lain adalah Pudak Wangi, yang dikenalnya dalam keadaannya sebagai seorang
gadis bernama Rara Wilis. Sampai di tepi lingkaran laskar Gunung Tidar, Pudak
Wangi itu berhenti. Matanya yang merah menyala-nyala karena marahnya, beredar
pada setiap wajah yang berada di lingkaran itu. Pada saat itu seorang pengawal
dengan sombongnya mendorong punggung Pudak Wangi dengan kerasnya. Karena itu
Pudak Wangi yang tidak bersedia, terdorong dua langkah ke depan. Tetapi setelah
itu tiba-tiba ia memutar tubuhnya, dan dengan cepatnya kakinya bergerak. Malanglah
nasib pengawal yang sombong itu, ketika tumit Pudak Wangi mengenai perutnya.
Meskipun tendangan itu tidak terlalu keras, tetapi karena tepat mengenai arah
ulu hati, maka segera orang itu jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Melihat
peristiwa itu, dengan cepatnya Janda Sima Rodra meloncat maju, dengan marahnya.
Teriaknya,
“Dalam
keadaanmu itu kau masih berani menyombongkan diri di hadapanku?” Tetapi sebelum
Harimau Betina itu dengan kuku-kukunya menyobek wajah Pudak Wangi, terdengar
tertawa yang rendah memuakkan. Dan terdengarlah Jaka Soka berkata,
“Kau
benar-benar seorang pemarah. Kalau syarat yang kau bawa itu kau rusakkan,
batallah perjanjian kita”.
Langkah Janda
Sima Rodra muda terhenti. Setelah merenung sejenak ia menjawab,
“Ular Laut,
kau benar-benar membuat aku gila dan berbuat hal-hal yang sangat bertentangan
dengan kehendakku. Tetapi biarlah. Akan aku serahkan umpan ini dengan utuh
kepadamu”.
Sekali lagi
terdengar Jaka Soka tertawa pendek. Matanya yang redup tetapi memancarkan sinar
yang mengerikan memandangi Pudak Wangi dari ujung rambutnya sampai ke ujung
kakinya.
“Jangan
memandang begitu,” kata Janda Sima Rodra,
“Kalau aku
yang kau pandang demikian, mungkin aku sudah pingsan”.
Jaka Soka
tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dan melangkah ke arah Pudak Wangi yang masih
berdiri terpaku dengan wajah yang merah membara. Ketika Janda Sima Rodra muda
itu melihatnya, maka dengan tertawa nyaring berkata,
“Jaka Soka,
aku masih belum menyerahkannya kepadamu”.
“Apa lagi yang
ditunggu?” sahut Jaka Soka.
“Aku akan menyerahkan
kepadamu dalam satu upacara resmi di hadapan laskarku sebagai saksi. Tetapi
tidak sekarang. Aku masih memerlukannya. Sebab dengan adanya gadis itu di dalam
tanganku, aku mengharap kehadiran seorang lagi”.
Wajah Jaka
Soka seketika berubah menjadi merah. Tetapi ia masih mengendalikan dirinya.
“Kau
benar-benar setan betina. Terserahlah kepadamu. Kalau dengan demikian kau akan
mengangkat harga diriku, kau akan kecewa. Sebab kedatanganku kemari adalah atas
permintaanmu”.
SEKALI lagi
keadaan jadi tenang karena suara tertawa Iblis betina yang bergetar membentur
dinding-dinding pegunungan memenuhi lembah. Lalu kemudian ia berkata lantang,
“Marilah kita
berpesta. Kita ajak tamu kita ini serta, mungkin dengan demikian ia akan
mendapatkan kegembiraan”.
Sesaat
kemudian ia telah memerintahkan kepada laskarnya untuk mulai dengan
teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang sama sekali tak menyedapkan. Pada
saat itu, Mahesa Jenar yang bersembunyi di belakang semak-semak menjadi
gemetar. Ia ingat pada peritiwa yang pernah diketemukan bekas-bekasnya di atas
Gunung Ijo, Prambanan. Pada saat itu ia masih belum dapat membayangkan, apakah
yang terjadi. Tetapi sekarang, barulah agak jelas baginya, bahwa benar-benar
rombongan Sima Rodra yang sering menculik gadis-gadis itu mempunyai kebiasaan
yang mengerikan. Mengingat kerangka-kerangka gadis-gadis di Gunung Ijo itu bulu
Mahesa Jenar meremang. Dan sekarang dihadapannya ia melihat upacara itu
berlangsung. Teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang tak sedap, yang keluar
dari mulut-mulut yang kasar itu semakin lama semakin menjadi-jadi. Mereka
bergerak semakin cepat mengelilingi perapian. Janda Sima Rodra dan Jaka Soka
yang berdiri sebelah-menyebelah dengan Pudak Wangi, berada di luar lingkaran.
Tetapi wajah mereka membayangkan bahwa perasaan mereka telah hanyut pula dalam
keadaan yang hampir tak sadar.
No comments:
Post a Comment