Bagian 037


IA dapat memasuki kemah demi kemah dan membinasakan isinya sebelum mereka sempat membunyikan tanda apapun. Kemudian ia akan menghadapi pimpinan mereka, istri Sima Rodra yang pasti akan dapat dibinasakannya pula.

Tetapi Panembahan Ismaya itu melarangnya untuk berbuat demikian. Dalam kebingungan itu terdengar kembali Panembahan Ismaya berbisik,
“Anakmas, kita telah berhasil mengetahui maksud kedatangan mereka. Marilah kita kembali dan mempertimbangkan apa yang baik aku lakukan untuk menyelesaikan masalah ini”.
Hati Mahesa Jenar bergolak hebat. Karena itu ia masih duduk diam tak bergerak. Kalau Mahesa Jenar tidak dapat mengerti apa yang akan dilakukan, apalagi Arya Salaka. Meskipun ia berdiam diri, namun tubuhnya telah basah oleh keringat dingin. Bahkan terdengar giginya gemeretak menahan hati. Melihat gelagat itu, maka Panembahan Ismaya menjadi bertambah cemas. Apalagi ketika ia mendengar Arya Salaka berdesis dengan suara yang gemetar.
“Cucu Arya Salaka…” bisik Panembahan Ismaya,
“Apakah rencanaku itu tidak dapat cucu mengerti?
“Eyang Panembahan…” jawab Arya Salaka memaksa diri untuk berkata,
“Apakah salahnya kalau sekarang juga aku bertindak. Menurut Paman Mahesa Jenar, darma seorang lelaki adalah termasuk menumpas kejahatan. Bukankah saat ini kesempatan itu ada…?”
“Kau betul cucu, kau betul. Dan pamanmu Mahesa Jenar pun betul pula. Tetapi adakah untuk menumpas kejahatan harus dilakukan dengan membinasakan mereka?”
“Bapa Panembahan…” Mahesa Jenar menyahut,
“Setiap sisa dari kejahatan akan dapat menjadi benih pada masa yang akan datang”.
“Kau juga benar Anakmas, kau juga benar,” jawab Panembahan Ismaya, nafasnya menjadi semakin memburu.
“Tetapi membunuh sebatang pohon tidak harus memotong dahan-dahan serta cabang-cabang saja. Yang penting akarnyalah yang harus dibinasakan”.
“Akan sampai juga saatnya kelak,” potong Arya Salaka.
“Cucu…” sahut Panembahan Ismaya semakin bingung. Tetapi dari mulutnya meluncur kata-kata yang menunjukkan kedalaman tanggapannya atas keadaan yang dihadapinya.
“Kalau kau mulai dengan orang-orang yang menurut pamanmu tidak lebih daripada tikus-tikus yang rakus itu, cucu, maka kau tidak akan menemukan rajanya. Atau kau akan diterkamnya tanpa sepengetahuanmu”.
Mendengar kata-kata Panembahan tua itu, Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia menjadi seperti orang yang tersadar dari sebuah angan-angan yang dahsyat. Gamblanglah baginya apa yang dikatakan oleh Panembahan Ismaya itu. Ternyata meskipun orang tua itu tidak cukup pengalaman dalam dunia keprajuritan, namun pandangannya yang jauh ternyata sangat bermanfaat. Tetapi agaknya Arya Salaka sama sekali tidak dapat mengerti pikiran Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab,
“Sekarang atau nanti, soalnya sudah jelas. Baik setiap anggota gerombolan itu atau setiap orang yang memegang pimpinan, harus kita binasakan. Apakah bedanya?”
“Arya…” potong Mahesa Jenar dengan tenang,
“Biarlah kita urungkan niat kita. Biarlah kita dapat menangkap orang yang kita kehendaki tanpa korban yang terlalu banyak”.

Mendengar pendapat Mahesa Jenar, Arya Salaka terkejut bukan buatan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gurunya akan menjadi sedemikian lunak menghadapi gerombolan hitam yang memuakkan itu. Karena itu wajahnya jadi merah. Jawabnya,
“Guru… ijinkanlah aku bertindak atas namaku sendiri. Bukankah mereka telah bekerja sama dengan Paman Lembu Sora untuk mencelakakan ayahku…?”
Sekali lagi Mahesa Jenar menekan dadanya. Ia dapat merasakan perasaan anak itu. Tetapi ia dapat pula merasakan betapa bijaksananya Panembahan Ismaya dengan pendapatnya. Maka dengan penuh kesabaran seorang guru terhadap murid yang dikasihinya, Mahesa Jenar berkata,
“Arya Salaka, kalau ada orang yang benci kepada golongan hitam, akulah orangnya yang akan berdiri di baris terdepan. Namun demikian, ada beberapa pertimbangan yang harus kita perhatikan”.
“Paman… potong Arya Salaka, Haruskah kita menunggu agar mereka menjadi bertambah kuat dan bersiaga dahulu…? Ataukah kita menunggu sampai mereka menggantung aku tinggi-tinggi di pohon beringin tua itu…?”
“O cucu, jangan sebut-sebut peristiwa-peristiwa yang mengerikan itu,” sahut Panembahan Ismaya.
“Tetapi hal itu bisa terjadi, Eyang,” jawab Arya.
“Mula-mula ayahkulah yang menjadi korban, kemudian apa yang terjadi atas Paman Sawungrana menambah penjelasan. Dan apakah yang sudah mereka lakukan terhadap orang-orang Banyubiru dan Pamingit?”
“Arya…” potong Mahesa Jenar,
“Biarlah aku selesaikan penjelasanku dahulu. Kita harus mempunyai beberapa pertimbangan. Pertama kita harus menghormati Bapa Panembahan sebagai tuan rumah. Kedua, kita tidak mau kehilangan pemimpin mereka. Kalau orang-orang itu telah kita binasakan, maka pimpinan mereka tidak akan menginjakkan kakinya di daerah ini. Dengan demikian pekerjaan kita akan bertambah sulit”.
“Kalau demikian biarlah kita tinggalkan padepokan ini, supaya kita tidak terikat lagi pada sopan santun. Setelah itu kita bebas untuk bertindak atas orang-orang dari gerombolan hitam itu,” jawab Arya.

Sehabis ucapannya itu, tiba-tiba Arya sudah mulai bergerak untuk meninggalkan tempat itu. Melihat hal itu Mahesa Jenar terkejut sekali. Karena itu segera ia mencegahnya.
“Arya, apa yang akan kau lakukan? Ingat aku adalah gurumu. Dan aku telah mengasuhmu sampai ketingkatan ini”.
Mendengar suara gurunya yang sudah mulai keras itu Arya menjadi tergetar hatinya. Rupa-rupanya gurunya benar-benar mempunyai pendapat yang lain dari pendapatnya terhadap orang-orang dari gerombolan hitam yang tinggal memijat hancur itu. Dalam pada itu, tiba-tiba lembah di kaki bukit Karang Tumaritis itu tergetar oleh suara tertawa yang tinggi nyaring. Suara itu jelas suara perempuan. Hati mereka yang sedang bersembunyi di dalam semak-semak itu tiba-tiba menjadi bergetaran dan berdebar-debar. Mahesa Jenar dan Arya Salaka sama sekali tidak melupakan bahwa suara itu adalah suara Istri Sima Rodra dari Gunung Tidar. Suara itu kemudian disahut oleh suatu suara yang tenang berat, meskipun terdengar kurang menyenangkan. Sambil tertawa pendek terdengar laki-laki itu berkata,
“Seharusnya kau sedikit memelihara kecantikanmu daripada terus-menerus merendam kuku-kukumu itu di dalam racun. Dengan begitu aku tidak akan terlalu ngeri memandangmu”.
Sekali lagi terdengar tertawa iblis betina itu, bahkan semakin dekat. Dan ketika sekali lagi terdengar suara laki-laki yang bersamanya, dada Mahesa Jenar bergoncang keras. Suara itu adalah suara berdesis dari Ular Laut Nusakambangan.
“Jangan coba merayu aku,” katanya,
“Kecuali kalau kau benar-benar dapat menangkap gadis yang kau sebut-sebut anak bekas suamimu yang terbunuh itu. Dengan demikian kau berdua akan aku ambil sekaligus sebagai isteri-isteriku”.
“Kau benar-benar serigala,” jawab istri Sima Rodra,
“Tetapi apakah kau tidak takut kepada Pandan Alas?”
“Itu urusanmu. Kau boleh minta pertolongan ayahmu, Sima Rodra tua dari Lodaya, dan barangkali juga Paman Bugel Kaliki akan bersedia pula membantu”.
“Kenapa urusanku?” tanya Istri Sima Rodra.
“Banyak sebabnya,” jawab Jaka Soka yang berwajah tampan itu.
“Pertama, Sima Rodra adalah ayahmu. Karena itu permintaanmu akan mendapat perhatiannya. Kedua, Bugel Kaliki adalah sahabat ayahmu itu. Dan ketiga, kau yang minta aku mengawinimu”.
“He…” potong Istri Sima Rodra terkejut.
”Siapa bilang aku minta kau mengawini aku?”
“Lalu apa maksudmu menyeret aku kemari serta segala macam tingkah lakumu yang aneh-aneh itu?” tanya Jaka Soka keheran-heranan.

Sekali lagi tertawa nyaring yang mengerikan itu meluncur dari mulut harimau betina liar Gunung Tidar itu. Jawabnya,
“Soka… kau benar-benar telah berubah menjadi seorang yang alim. Coba katakan kepadaku, pernahkah kau mengawini segenap perempuan yang kau kumpulkan di Nusakambangan? Sekarang kau tak usah berpura-pura. Aku juga tidak. Kita tidak usah mengikat diri dengan cara apapun. Sebab itu hanya akan menertawakan orang dan mengurangi kemerdekaan kita masing-masing”.
“Gila!” gerutu Jaka Soka.
“Ternyata kau jauh lebih liar dari dugaanku. Tetapi bagaimanapun juga bentuk hubungan kita, namun syaratku tetap. Kau harus membawa gadis itu kepadaku. Terserah cara yang akan kau tempuh”.
“Kau terlalu menyakitkan hatiku, tetapi aku tidak akan marah kepadamu. Jangan takut, gadis itu akan kutangkap dan akan kujadikan umpan untuk memancingmu”.
Lalu suara itu disusul oleh suara tawa dengan nada tinggi yang sangat menyakitkan telinga, yang semakin lama semakin menjauh dan ternyata kemudian memasuki kemah yang agak lebih besar dari kemah-kemah yang lain.

MENDENGAR percakapan itu hati Mahesa Jenar seperti tertusuk sembilu. Ketika ia menoleh ke arah Panembahan Ismaya, orang tua itu menggigil seperti orang kedinginan. Terdengarlah suaranya yang lemah gemetar,
“Ya ampun, ada juga manusia-manusia semacam itu di dunia ini”.
“Itulah pimpinan mereka,” sahut Mahesa Jenar.
“Adakah Panembahan merasa bahwa orang-orang semacam itu dapat diajak berbicara?”
Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia tidak menjawab pertanyaan itu. Malahan ia bertanya tentang hal yang lain.
“Katanya, Anakmas, pernahkah kau mendengar nama-nama yang disebut-sebut tadi? Pandan Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki?”
Sekali lagi Mahesa Jenar terasa seperti terbangunkan dari sebuah angan-angan yang hebat. Kalau orang-orang itu, Sima Rodra dan Bugel Kaliki, berada di tempat ini pula, maka akibatnya akan hebat sekali. Apakah yang dapat dilakukan terhadap kedua tokoh itu? Bagaimanapun juga Mahesa Jenar bukan orang yang dengan mudahnya dapat ditelan oleh perasaan saja tanpa pertimbangan-pertimbangan dan perhitungan, sebagaimana harus dilakukan oleh seorang prajurit.
“Bapa Panembahan…” jawabnya,
“Orang-orang itu adalah orang-orang yang dahsyat, yang memiliki kesaktian luar biasa. Mereka seolah-olah mampu berbuat sesuatu diluar kemampuan manusia biasa”.
Orang tua itu menjadi semakin cemas mendengar keterangan Mahesa Jenar.
“Adakah orang-orang itu di tempat ini pula?” sambungnya.
Mahesa Jenar menggelengkan kepala.
“Entahlah,” jawabnya.

Tetapi sesaat kemudian percakapan mereka terhenti oleh suatu suara,
“He, kau lihat tadi lurah kita?”
Kemudian terdengar jawaban, yang ternyata adalah laki-laki yang sedang menghangatkan tubuh perapian yang hampir padam.
“Ya, aku lihat Nyi Lurah bersama-sama dengan Ular Laut yang sombong itu masuk ke dalam kemah. Apakah ada suatu keperluan?”
“Ya!” jawab orang yang pertama.
“Sima Rodra tua ingin menemuinya”.
Kata-kata yang diucapkan itu, telah cukup menggetarkan dada Mahesa Jenar. Sadarlah ia sekarang bahwa ia berhadapan dengan satu gerombolan lengkap dari Gunung Tidar yang di belakangnya berdiri orang-orang semacam Sima Rodra tua yang dahsyat itu. Apalagi ketika laki-laki itu meneruskan,
“Katakan kepadanya bahwa ayahnya dan tamunya, si bongkok dari Lembah Gunung Cerme sudah menunggu”.
Kemudian sepi kembali. Yang terdengar hanyalah langkah-langkah mereka yang sesaat kemudian telah lenyap ditelan sepi malam. Di langit, bintang-bintang masih bermain dengan riangnya. Sekali-sekali selembar awan putih lewat di depan wajah langit yang biru tua, dihanyutkan oleh angin yang berhembus perlahan-lahan. Dingin malam yang dibasahi oleh tetesan embun terasa menyusup sampai ke tulang.

Sesaat Mahesa Jenar terkenang pada pertemuan golongan hitam beberapa tahun yang lampau, ketika ia berlima, dengan Gajah Alit, Paningron, Mantingan dan Wiraraga, terlibat dalam suatu pertempuran melawan Sima Rodra tua itu bersama Pasingsingan. Pada saat itu Sima Rodra dan Pasingsingan bertempur berdua hanya karena mereka bersama-sama ingin membunuh, bukan karena mereka terpaksa menggabungkan kekuatan mereka. Sekarang, bukit kecil ini telah dikepung rapat oleh sejumlah laskar gerombolan hitam yang terkenal, ditambah lagi dengan kehadiran Sima Rodra dan Bugel Kaliki, disamping istri Sima Rodra muda dan Jaka Soka. Gabungan kekuatan mereka akan merupakan suatu tenaga dahsyat yang tak terbayangkan. Disamping itu, ia merasa berterima kasih pula kepada Panembahan Ismaya, yang telah melarangnya bertindak, meskipun itu disebabkan oleh ketakutannya melihat kekerasan. Namun dengan demikian tanpa disengaja Panembahan tua itu telah menyelamatkannya beserta muridnya. Sebentar kemudian kembali terdengar suara Istri Sima Rodra muda yang agaknya telah keluar dari kemahnya.
“Sakayon…” katanya,
“Kau harus menjaga supaya orang itu tidak dapat lolos”.
“Baik Nyi Lurah,” jawab Sakayon.
“Aku akan tinggal di sini,” sela suara yang lain, yang ternyata suara Jaka Soka.
“Kalau ia akan mencoba menerobos, akulah yang akan membinasakan”.
“Kau benar,” jawab Jaka Soka.
“Tetapi aku akan membunuhnya beramai-ramai. Bukankah di sini ada Sakayon dan kawan-kawannya…? Setidak-tidaknya aku akan dapat mencegahnya sampai ayahmu datang untuk membinasakannya”.
Sekali lagi Harimau betina itu tertawa, sahutnya,
“Ternyata kau jujur menghadapi lawanmu. Tetapi jangan mimpi ayahku akan membinasakannya”.
“Kenapa?” potong Jaka Soka.
Istri Sima Rodra muda itu tertawa lebih mengerikan lagi. Jawabnya sangat mengejutkan,
“Aku minta ayah menangkapnya hidup-hidup. Sayang, ia terlalu tampan untuk dibunuh”.
“Gila kau!” bentak Jaka Soka. Dan bersamaan dengan itu dada Mahesa Jenar serasa akan pecah. Tubuhnya menggigil menahan kemuakan hatinya.
Hampir ia kehilangan pengamatan diri, kalau ia tidak mendengar Panembahan tua itu berdesis,
“Adakah Sima Rodra ayah perempuan itu?”
Mahesa Jenar mengangguk, tetapi giginya gemeretak. Sementara itu terdengar suara perempuan itu semakin memuakkan,
“Jangan cemburu Soka. Aku juga tidak cemburu ketika kau ajukan syarat untuk menangkap gadis anak tiriku itu. Dan jangan kira aku tidak tahu, bahwa aku akan kau jadikan alat saja, dan sesudah itu akan kaulempar jauh-jauh. Tetapi kau tidak dapat melakukan itu. Ayahku akan mencekikmu bersama-sama dengan Pandan Alas. Kecuali kalau itu atas kehendakku”.
“Gila kau. Pergilah, pergilah ke ayahmu. Aku tidak mempedulikan apa yang akan kau lakukan. Tetapi ingat, sementara kau perlukan aku, syarat itu harus kau penuhi,” jawab Jaka Soka.

TERDENGAR kembali suara tertawa iblis betina itu, semakin lama semakin jauh dan kemudian hilang di kejauhan. Pertunjukan yang dahsyat dan memuakkan itu telah berakhir. Namun Panembahan tua itu masih menggigil, sedang dada Mahesa Jenar dan Arya Salaka serasa sesak oleh kemarahan dan kemuakan yang meluap-luap.
“Anakmas…” bisik Panembahan Ismaya,
“Sungguh mengerikan”.
“Panembahan…” jawab Mahesa Jenar,
“Aku kira lebih baik Panembahan kembali ke padepokan. Agaknya disini terlalu berbahaya bagi Bapa”.
“O, ngger,” sahut Panembahan itu,
“Aku tidak dapat berjalan sendiri. Tubuhku tiba-tiba jadi lemas seperti segenap otot bayuku dilolosi. Karena itu sudilah angger berdua menuntunku mendaki bukit kecil ini”.
Mahesa Jenar tak dapat menolak permintaan itu. Meskipun ia sebenarnya masih ingin mengetahui lebih banyak lagi tentang kekuatan laskar Gunung Tidar itu. Karena itu, maka perlahan-lahan mereka menggeser semakin dalam menyusup semak-semak dan batang ilalang, untuk kemudian membantu Panembahan tua itu kembali ke Padepokan diatas bukit. Tak ada yang mereka percakapkan sepanjang jalan. Angan-angan mereka masing-masing dicengkam oleh kengerian dengan alasan yang berbeda-beda. Dan karena itu pulalah maka Mahesa Jenar dan Arya Salaka seterusnya sama sekali tak dapat memejamkan mata sekejappun, meskipun mereka menghendaki. Pikiran mereka menjadi kalut tak karuan. Disamping itu, Mahesa Jenar pun harus berpikir pula, bagaimanakah sebaiknya ia menghadapi iblis-iblis yang berkumpul di sekitar bukit kecil itu. Menilik persiapan mereka, maka sudah dapat dipastikan bahwa mereka akan melakukan pengepungan itu untuk waktu yang lama. Bagaimanapun juga orang-orang dari Gunung Tidar tidak mau menganggap Mahesa Jenar sebagai seorang yang tak berdaya menghadapi mereka. Lebih-lebih lagi setelah Mahesa Jenar mendengar percakapan Jaka Soka dengan Janda Sima Rodra.

Tanpa diketahuinya, bulu kuduknya meremang. Ia sama sekali tidak takut menghadapi kemungkinan yang paling berbahaya sekalipun. Namun terhadap iblis betina itu ia merasa ngeri. Karena itulah dihabiskannya sisa malam itu dengan hati yang berdebar. Pada pagi harinya, sesaat setelah matahari terbit, datanglah Jatirono ke pondok Mahesa Jenar, untuk menyampaikan undangan Panembahan Ismaya. Mahesa Jenar merasa bahwa ada hal yang penting yang akan dibicarakan. Karena itu setelah membersihkan diri, bersama-sama dengan Arya Salaka ia pergi menghadap.
“Anakmas…” kata Panembahan itu kemudian,
“Agaknya keadaan sangat gawat bagi Anakmas. Tetapi untung lah bahwa mereka sama sekali tidak mengetahui dengan pasti bahwa Anakmas masih berada di atas bukit ini”.
“Aku kira tidak demikian Panembahan,” jawab Mahesa Jenar.
”Persiapan mereka menunjukkan bahwa mereka yakin aku masih berada di sini. Hanya barangkali mereka menganggap bahwa untuk menangkap aku, mereka memerlukan waktu yang panjang. Sebab bukit ini banyak sekali relung likunya yang baik sekali untuk bersembunyi. Tetapi Bapa Panembahan, aku sama sekali tidak akan bersembunyi. Kalau mereka naik ke bukit itu, akau akan menemuinya dan apa yang terjadi terserahlah kepada kekuasaan Yang Maha Adil”.
Panembahan Ismaya mengangguk-angguk.
“Katanya, Angger memang seorang jantan tiada taranya. Yang tidak sisip dengan gelar yang Anakmas miliki, Rangga Tohjaya. Namun demikian anakmas, setiap usaha dibenarkan oleh Tuhan Yang Maha Agung. Juga usaha untuk menyelamatkan diri. Sebab tak ada yang dapat dicapai tanpa suatu usaha apapun”.

Ucapan Panembahan tua itu mengena benar di hati Mahesa Jenar. Sebenarnya ia pun sependapat dengan pikiran itu. Bahkan menurut perhitungan, ia pun seharusnya berbuat demikian pula. Tetapi dengan demikian, Panembahan Ismaya akan mengalami akibatnya. Setidak-tidaknya bukit kecil yang telah dipeliharanya dengan baik itu, akan dibongkar oleh rombongan Gunung Tidar yang akan mencarinya.
“Panembahan…” jawab Mahesa Jenar,
”Pendapat Bapa adalah benar sama sekali. Tetapi aku tidak mau menyulitkan Panembahan karena kehadiranku di sini. Sebelum aku diketemukan, mereka pasti akan mengaduk Padepokan ini. Bahkan tidak mustahil kalau Panembahan akan mengalami hal-hal yang tidak diharapkan. Karena itu biarlah mereka menemukan diriku tanpa banyak kesulitan. Karena persoalannya adalah persoalanku, dan sama sekali tidak bersangkut paut dengan Panembahan. Karena aku menghadap kemari itulah sebabnya maka bukit kecil yang tenang dan damai itu mengalami kegoncangan. Karena itu, bahkan aku tidak akan menunggu mereka naik. Akulah yang akan berusaha, kalau mungkin menerobos kepungan mereka”.
Sekali lagi Panembahan tua itu memancarkan pandangan kekaguman. Maka katanya,
“Sekali lagi aku menghormati kejantanan Anakmas. Namun meskipun demikian, berilah aku kesempatan berlaku sebagai tuan rumah yang baik. Aku harap Anakmas tidak menolak permintaanku, supaya aku tidak merasa bersedih. Bukankah aku yang menahan Anakmas supaya tinggal di bukit ini untuk beberapa lama? Nah, kalau demikian aku akan menunjukkan sebuah jalan, sebab menurut pendapatku, setelah aku mendengar keterangan dari Anakmas malam tadi, sulitlah untuk menerobos kepungan mereka. Meskipun aku tahu benar maksud Anakmas, bahwa dengan demikian orang-orang itu tidak lagi akan mendaki bukit ini. Dan Anakmas telah mengatakan pula, bahwa mereka tidak akan tergesa-gesa bertindak”.

“ANAKMAS…,” lanjut Panembahan Ismaya,
“Di lereng sebelah selatan bukit ini ada sebuah goa, Aku tidak tahu, siapakah yang telah membuatnya, atau barangkali hasil perbuatan alam. Goa itu ditakbiri sebuah gerumbul yang cukup besar. Di situ Anakmas dapat menyembunyikan diri dengan aman. Aku yakin bahwa tak seorangpun dapat menemukan mulut goa itu”.
Mendengar keterangan Panembahan Ismaya, Mahesa Jenar menjadi terharu. Rupa-rupanya ia akan mempertanggungjawabkan segala sesuatu mengenai dirinya, hanya karena Panembahan tua itu telah menahannya untuk tetap tinggal dibukit kecil itu.
“Panembahan…” jawab Mahesa Jenar,
“Aku tidak akan dibenarkan oleh perasaanku, seandainya aku berbuat demikian. Dan adakah Panembahan telah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi?”
“Sekali lagi aku minta,” potong Panembahan Ismaya,
“Anakmas jangan membuat aku bersedih. Percayalah bahwa mereka tidak akan berbuat sesuatu atas diriku serta padepokan ini, sebab aku dapat mengingkari kedatangan Anakmas di bukit ini”.
Untuk beberapa lama Mahesa Jenar bimbang, sedang Panembahan Ismaya selalu mendesak-desaknya saja.
“Panembahan…” akhirnya Mahesa Jenar berkata,
“Memang tidak sepantasnya aku menolak, tetapi bagaimanapun juga, aku ingin supaya aku tidak menyulitkan Bapa Panembahan. Karena itu apabila terjadi kesulitan atas Panembahan Ismaya, maka perkenankanlah aku bertindak atas pertimbanganku sendiri”.
“Baiklah Anakmas, saratmu aku terima,” jawab Panembahan itu.

Setelah itu kemudian Panembahan Ismaya memerintahkan kepada cantrik-cantriknya untuk menyediakan perbekalan. Sebab Mahesa Jenar akan tinggal di dalam goa itu untuk waktu yang tidak tertentu. Demikianlah pada hari itu Mahesa Jenar dan Arya Salaka diantar oleh seorang cantrik pergi ke goa di lereng selatan bukit kecil itu. Setelah menyibakkan sebuah gerumbul yang cukup lebat, tampaklah di hadapan mereka sebuah mulut goa yang kecil. Seseorang hanya dapat memasukinya dengan merangkak.
“Di dalam goa itulah kami biasa bermain-main,” kata cantrik yang mengantarkan itu.
“He…?” Mahesa Jenar agak terkejut.
”Kalian bermain-main di dalam goa ini?”
“Ya,” jawab Cantrik itu,
“Di dalam goa itu terdapat sebuah lobang yang tembus ke atas. Dari situlah sinar matahari menerangi bagian dalam goa ini”.
“Kemanakah lubang goa ini tembus?” tanya Mahesa Jenar.
“Kami tidak tahu,” jawab Cantrik itu,
“Kami belum pernah menyusurnya jauh ke dalam. Sebab diujung sebelah dalam goa itu gelap sekali”.
Setelah itu maka masuklah cantrik itu ke dalam goa sambil membawa beberapa macam bekal. Setelah itu baru Mahesa Jenar dan Arya Salaka merangkak masuk. Memang sebenarnyalah di dalam goa itu, agak ke dalam, tampak sinar jatuh dari lubang di atas. Lubang itu tidak seberapa besarnya, namun terdapat lebih dari satu lubang. Sehingga dengan demikian, beberapa berkas sinar cukup untuk menerangi sebagian dari ruangan di dalam goa itu.

Goa itu sebenarnya tidaklah seperti kebiasaan goa-goa. Lantainya licin bersih. Dan yang lebih menyenangkan lagi, di dalam goa itu terdapat sebuah bale-bale bambu. Agaknya para cantrik yang sering bermain-main di dalam goa itu telah membuatnya sebuah bale-bale di dalam.
“Nah, Tuan…” kata cantrik itu kemudian,
“Sekarang perkenankanlah aku meninggalkan Tuan-tuan. Setiap kali aku akan dapat kemari untuk menengok perbekalan Tuan. Menurut pesan Panembahan, tempat ini harus menjadi tempat rahasia. Sebab siapa tahu orang-orang yang mengepung bukit ini telah mengirimkan orang untuk memata-matai keadaan di sekitar bukit ini. Kalau aku terlalu sering datang kemari, atau Tuan keluar dari goa ini jangan-jangan orang-orang mereka dapat melihatnya”.
“Pergilah,” jawab Mahesa Jenar,
“Berilah kami kabar apabila terjadi sesuatu atas padepokan ini, lebih-lebih Bapa Panembahan”.
Cantrik itu mengangguk hormat.
“Pesan Tuan akan kami laksanakan dengan baik,” katanya.
Kemudian pergilah ia keluar lewat lubang sempit itu, dan seterusnya menyibakkan daun-daun gerumbul yang menutup lubang goa itu. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar dan Arya Salaka mengamat-amati dinding goa itu. Dan kemudian mereka menemukan suatu ruangan yang agak lebar dengan lubang-lubang pula di atasnya.
“Arya…” kata Mahesa Jenar,
“Kita tidak tahu berapa lama kita harus meringkuk di dalam lubang ini. Tetapi aku kira sehari dua hari ini Sima Rodra masih belum akan bertindak. Karena itu kita mempunyai cukup waktu untuk menyusur goa ini sebelum kita mendapat kabar dari cantrik tadi”.
Arya Salaka adalah seorang anak yang ingin mengetahui segalanya. Karena itu segera ia menjawab,
“Paman, tidakkah kita mencoba melihat setiap segi goa ini?”
“Marilah,” jawab Mahesa Jenar.
Maka segera dengan hati-hati mereka mulai memasuki ke bagian yang lebih dalam lagi. Di beberapa bagian, lubang-lubang yang menembus ke atas masih saja terdapat. Dan sepanjang bagian yang masih mendapat penerangan itu, ternyata terdapat bekas-bekas tempat bermain para cantrik. Di situ terdapat pula alat-alat memasak dan beberapa perlengkapan lain. Tetapi ketika kemudian mereka sampai ke bagian yang lebih gelap, hilanglah semua bekas-bekas yang menunjukkan bahwa tempat itu pernah didatangi oleh para cantrik. Perlahan-lahan Mahesa Jenar dan Arya Salaka menyusuri lubang goa yang semakin lama menjadi semakin sempit dan gelap.

PADA hari yang pertama, mereka menghentikan pengamatan mereka sampai di situ. Tak ada yang istimewa di dalamnya. Kecuali di beberapa tempat terdapat tetesan-tetesan air yang jernih. Agaknya para cantrik sering menampung air yang tetes itu pula, untuk masak-memasak. Pada hari kedua, Mahesa Jenar dan Arya Salaka kembali menyusuri lubang goa itu jauh lebih ke dalam. Karena pandangan mereka yang sudah agak biasa di dalam gelap, maka meskipun remang-remang mereka dapat melihat di dalam goa itu. Namun yang tampak hanyalah bayangan batu-batu yang menjorok tak teratur. Ada yang runcing, ada yang seperti gerigi, dan ada yang halus licin seperti digosok. Juga pada hari kedua mereka tak mendapatkan apapun yang menarik perhatian. Dengan perasaan jemu mereka kembali ke ujung goa, dimana mereka menemukan cantrik yang mengantarkan mereka, telah berada di situ.
“Ada sesuatu yang terjadi?” tanya Mahesa Jenar tak sabar.
Cantrik itu menggeleng tenang.
“Tak ada,” jawabnya.
“Lalu apakah yang dilakukan oleh orang-orang laskar Gunung Tidar itu selama ini?” sambung Mahesa Jenar.
“Menari dan menyanyi-nyanyi seperti orang gila,” jawab cantrik itu.
”Mereka berbuat aneh-aneh. Kami tidak melihatnya dengan jelas. Tadi malam kami mencoba mengintip mereka, meskipun kami sama sekali tak berani mendekati. Tetapi dari jarak yang sedang, kami melihat mereka menari-nari mengelilingi perapian dengan laku yang aneh-aneh. Lebih mengherankan lagi bahwa diantara mereka terdapat pula laskar-laskar perempuan. Dan apa yang kami lihat adalah sangat mengerikan. Kami hampir tak percaya pada mata kami. Lebih-lebih lagi, perempuan yang mereka anggap pimpinan mereka, yang mendapat gelar Harimau Betina dari Gunung Tidar”.

Mendengar ceritera cantrik itu, mulut Mahesa Jenar serasa terkunci. Tak sepatah katapun ia menjawab. Dadanya berdentang-dentang dengan kerasnya. Apalagi ketika ia sadar bahwa tak ada sesuatu yang dapat dilakukan. Dengan adanya Sima Rodra dari Alas Lodaya dan Bugel Kaliki, maka setiap usahanya pasti akan sia-sia. Karena itu untuk sementara ia terpaksa membiarkan segalanya terjadi sampai ia menemukan suatu cara untuk mengatasinya.
Cantrik itu tidak lama tinggal di dalam goa. Segera setelah ia menambah bekal-bekal buat Mahesa Jenar, ia minta diri. Dengan hati-hati sekali ia mengendap keluar, dan kemudian hilang di balik semak-semak di muka mulut goa. Ceritera cantrik itu menambah prihatin Mahesa Jenar. Ia merasa seperti orang yang sama sekali tak berarti. Alangkah bodoh dan picik pengetahuan yang dimilikinya, sehingga ia terpaksa membiarkan kemaksiatan itu berlaku di hadapannya tanpa suatu daya apapun untuk mencegahnya. Karena kejemuannya pula, maka pada hari ketiga Mahesa Jenar dan Arya Salaka memasuki goa itu lebih dalam lagi. Batu-batu runcing bertebaran di sepanjang dindingnya. Ketika mereka sampai di bagian lebih dalam lagi, tiba-tiba langkah mereka terhenti. Lamat-lamat mereka mendengar gemerisik halus di sekitar tempat itu. Dengan ketajaman pancainderanya Mahesa Jenar mencoba untuk mengetahui sumber bunyi itu. Tetapi sebentar kemudian bunyi itu telah lenyap. Namun meskipun demikian Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi bertambah berhati-hati. Apalagi sesaat kemudian bunyi itu terdengar lagi. Agak lebih dekat. Sekarang jelas bagi Mahesa Jenar, bahwa bunyi itu bunyi langkah manusia. Karena itu ia menggamit Arya Salaka, dan dengan isyarat ia menyuruhnya untuk waspada. Tetapi kemudian suara itu lenyap kembali.Kemudian Mahesa Jenar dan Arya Salaka pun tidak mau berkisar dari tempatnya. Mereka berdua perlahan-lahan sekali mendekat pada dinding goa. Untuk beberapa lama mereka bertahan di situ. Mereka menunggu setiap kemungkinan yang dapat terjadi.

Dan apa yang mereka tunggu-tunggu tiba-tiba muncullah. Di dalam gelap mereka melihat sesosok tubuh berjalan perlahan-lahan sekali dan sangat hati-hati. Tetapi agaknya ia masih belum melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka yang berdiri melekat dinding, meskipun barangkali orang itu telah mendengar langkah mereka, sebab ternyata orang itu berjalan mendekati mereka. Tetapi ketika jarak mereka tinggal beberapa langkah, agaknya orang itu dapat pula melihat Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Cepat ia menghentikan langkahnya, dan tiba-tiba ia meloncat dan berlari menjauh. Mahesa Jenar dan Arya Salaka menjadi curiga. Karena segera mereka menyusulnya. Namun orang itu berlari terus meskipun tidak begitu cepat karena gelap. Sedang Mahesa Jenar dan Arya Salaka tidak dapat berlari cepat. Karang-karang yang runcing terbujur lintang tak tentu arah. Meskipun demikian langkah Mahesa Jenar setidak-tidaknya dapat menyamai langkah orang yang dikejarnya, sehingga jarak mereka tidak menjadi semakin jauh.
Ketika orang itu sadar bahwa ia dikejar, maka ia pun mempercepat langkahnya. Belum sedemikian jauh ia berusaha untuk melenyapkan dirinya, masuk ke dalam sebuah lekuk. Tetapi ternyata bahwa lekuk itu hanya merupakan sebuah mulut saja dari cabang goa itu yang cukup dalam pula. Mula-mula Mahesa Jenar agak ragu. Tetapi karena keinginannya untuk mengetahui siapakah orang itu, maka segera ia mengejarnya ke dalam cabang goa itu. Beberapa lama mereka berkejar-kejaran. Orang itu agaknya sudah amat mengenal keadaan di dalam goa sehingga dengan mudahnya ia memasuki hampir setiap lobang yang ada. Ternyata di dalam goa itu tidak saja terdapat satu dua jalur lubang, tetapi berpuluh-puluh. Karena itulah Mahesa Jenar menjadi sulit untuk mengejar orang yang sudah mengenal tempat itu dengan baik. Akhirnya ketika ia merasa bahwa usahanya tidak akan berhasil, dan orang yang dikejarnya itu sudah tidak nampak pula, segera ia menghentikan langkahnya. Peluh dinginnya telah merembes hampir membasahi seluruh tubuhnya.

TETAPI yang lebih mengejutkan lagi, ketika ia menoleh, Arya Salaka tidak dilihat bersamanya. Mahesa Jenar tertegun untuk beberapa saat. Namun kemudian ia sadar bahwa mungkin anak itu tidak dapat mengikuti kecepatannya. Dalam pada itu Mahesa Jenar jadi gelisah. Gelisah karena kehadiran orang lain didalam goa itu, ditambah dengan terpisahnya Arya Salaka. Karena itu, untuk beberapa saat ia menanti. Mungkin Arya akan segera menyusulnya, atau orang yang dikejarnya itu muncul kembali. Tetapi usahanya itu sia-sia. Telah beberapa lama ia tinggal di situ, namun tak seorang pun yang nampak. Mahesa Jenar kemudian bertambah gelisah lagi. Jangan-jangan Arya Salaka tak dapat menemukan jalan. Bukan itu saja, tetapi dirinya sendiripun menjadi kebingungan pula. Ketika kemudian ia meninggalkan tempat itu dan berusaha kembali ke mulut goa kembali. Beberapa kali ia berputar-putar melingkar-lingkar, namun yang dicarinya tidak dapat diketemukannya. Dengan demikian ia pun yakin bahwa Arya Salakapun pasti kehilangan jalan. Dalam kegelisahannya, kemudian Mahesa Jenar berteriak memanggil-manggil. Namun ia sama sekali tak mendengar suara Arya menyahut. Beberapa kali suaranya sendiri melingkar-lingkar dan kembali meraung-raung di dalam relung-relung goa itu. Akhirnya ia pun kelelahan sendiri. Dibantingkannya dirinya di atas sebuah batu dengan masgulnya. Disekitarnya takbir kegelapan merubunginya. Di sana-sini meremang batu-batu yang menjorok seperti bayangan-bayangan hantu yang akan menerkamnya.

Mahesa Jenar sama sekali tidak takut menghadapi keadaan sekitarnya. Tetapi ia bingung karena kehilangan muridnya. Apapun yang terjadi atasnya bukanlah soal, sedangkan Arya masih memiliki masa depan yang panjang dengan penuh harapan-harapan. Sekali lagi ia masih mencoba memanggil Arya. Namun suaranya memercik kembali berulang-ulang. Bagi Mahesa Jenar pantulan suaranya itu terdengar seperti guruh yang memukul-mukul dadanya yang gelisah. Tiba-tiba dalam keriuhan perasaan itu, Mahesa Jenar dikejutkan oleh suara orang tertawa. Suara itu perlahan-lahan sekali, tetapi jelas dan dekat disekitarnya. Mendengar suara itu darah Mahesa Jenar berdesir hebat. Karena itu segera ia meloncat berdiri dan bersiaga. Namun kemudian, suara itu terhenti dan tidak ada apa-apa lagi yang terdengar. Oleh peristiwa itu hatinya menjadi bertambah gelisah. Ia mempunyai dugaan, bahwa seseorang telah sengaja memancingnya sampai ke tempat yang membingungkan ini. Dan mungkin sekaligus memisahkannya dari muridnya. Ketika kemudian suara tertawa itu terdengar lagi, Mahesa Jenar menjadi marah bukan buatan. Dipusatkannya segenap inderanya untuk mengetahui arah suara yang mengganggunya. Mahesa Jenar adalah seorang yang terlatih baik, jasmaniah dan rohaniah. Karena itu, meskipun perlahan-lahan akhirnya ia dapat menemukan sumber suara itu. Maka perlahan-lahan sekali ia berkisar dari tempatnya, menuju ke arah suara yang menyeramkan. Beberapa langkah kemudian ia berhenti di tikungan. Suara itu berasal dari sebuah lubang dinding cabang goa itu. Dengan hati-hati dan penuh kewaspadaan ia memasukinya dengan melekatkan tubuhnya di dinding. Tiba-tiba hampir ia terlonjak ketika suara itu terdengar kembali hampir melekat di hidungnya. Dan bersamaan dengan itu dilihatnya sebuah bayangan bergerak-gerak di hadapannya.

Tetapi agaknya orang itu pun terkejut pula atas kehadiran Mahesa Jenar yang tiba-tiba itu. Ternyata suara tertawanya terputus, dan bayangan itu pun segera bergerak menjauh. Kali ini Mahesa Jenar tidak mau melepaskannya lagi. Ia telah kehilangan muridnya karena mengejar-ngejar bayangan itu. Maka sekarang ia harus menangkapnya untuk dipaksanya menunjukkan segala liku-liku goa untuk mencari muridnya. Kembali terjadi kejar-mengejar di dalam goa yang gelap. Untunglah bahwa penglihatan Mahesa Jenar tajamnya melampaui mata burung hantu, sehingga meskipun agak sulit ia masih dapat terus-menerus membayangi buruannya. Tetapi seperti semula amat sulitlah untuk mendekatinya. Goa itu mempunyai beratus-ratus tikungan yang sangat membingungkan. Hampir meledaklah dada Mahesa Jenar ketika sekali lagi ia kehilangan orang yang dikejarnya itu. Tubuhnya menggigil seperti orang kedinginan. Giginya gemeretak. Kedua tangannya mengepal tinju. Tetapi tak seorang pun yang dihadapinya. Dalam keadaan yang serupa itu, tiba-tiba sekali lagi Mahesa Jenar terperanjat. Tidak beberapa jauh di hadapannya, ia melihat sebuah bayangan sinar yang meremang. Segera perhatiannya beralih kepada bayangan itu. Cepat-cepat ia melangkah mendekati. Dan apa yang diketemukan adalah sebuah lubang yang agak besar. Yang lebih mendebarkan hatinya adalah, di seberang lubang itu, ia melihat cahaya yang lebih terang dari keadaan di dalam goa. Maka dengan hati-hati ia berjongkok dan mengintip keluar. Namun tak ada sesuatu yang mencurigakan. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil keputusan untuk memasuki lubang itu. Dengan penuh kewaspadaan akhirnya ia merangkak masuk. Tetapi alangkah terkejutnya. Ketika seluruh kepalanya telah berada diluar lubang, pertama-tama benda yang disentuhnya adalah batang ilalang. Karena itu segera seperti meloncat ia melontarkan seluruh tubuhnya. Pada saat itulah angin senja menghembus tubuhnya dengan segarnya. Batang-batang ilalang di sekitarnya, yang tingginya melampaui tubuhnya, bergoyang-goyang ditiup angin. Di sebelah barat masih membayang warna-warna merah, tetapi matahari telah tenggelam di bawah kaki langit. Untuk sementara Mahesa Jenar tertegun heran. Tiba-tiba saja ia telah berdiri di luar goa. Tetapi mulut goa ini bukanlah mulut goa dari mana ia masuk. Bagaimanapun juga ia menjadi agak bimbang. Apakah sekarang yang akan dilakukan. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk menghadap Panembahan Ismaya, sebab ia yakin bahwa ia masih berada di bukit Karang Tumaritis.

KETIKA Mahesa Jenar mulai bergerak, kembali ia tertegun. Didengarnya agak jauh di bawah suara kuda meringkik, disusul oleh gelak tertawa dan sorak sorai yang riuh. Sekali lagi perhatiannya teralih. Mahesa Jenar tiba-tiba ingin melihat apakah yang terjadi, dan sekaligus ia mengharap dapat memecahkan teka-tekinya sendiri, serta hilangnya Arya Salaka. Karena itu segera ia melangkahkan kakinya dengan hati-hati ke arah suara yang ramai itu. Ketika suara itu telah semakin dekat, Mahesa Jenar mulai merangkak diantara batang-batang ilalang. Dan pada saat terakhir, ketika ia menyibakkan daun ilalang, ia melihat suatu pemandangan yang hampir membuatnya pingsan. Yang mula-mula dilihatnya adalah perapian. Meskipun malam baru menginjak diambang pintu. Kemudian di dekat perapian itu ia melihat Janda Sima Rodra berdiri bertolak pinggang, sedang di hadapannya, di atas sebuah batu tampak Jaka Soka duduk memandang lidah api yang menjilat-jilat. Sikapnya acuh tak acuh saja kepada Harimau Betina yang buas itu.
“Soka…” kata Janda Sima Rodra,
”Syaratmu telah aku penuhi”.
“Bohong!” jawab Jaka Soka masih acuh tak acuh.
“Jangan pura-pura tidak tahu. Aku lihat pada wajah serigalamu itu suatu kerakusan yang tak tertahan-tahan lagi. Jangan begitu. Gadis itu hanya sekadar syarat. Syaratku. Jadi jelas, akulah yang penting,” sahut perempuan itu.
Jaka Soka menoleh. Lalu dipandangnya orang-orang yang berada di sekitarnya.
“Kenapa kalian berhenti berteriak-teriak?” Tetapi tak seorang pun menjawab. Karena tak seorang pun menjawab, ia melanjutkan, “Teruskan, teruskan. Aku akan ikut serta”.
“Jawab pertanyaanku,” potong Harimau Betina itu.
“Bagus. Bagus kau,” jawab Jaka Soka.
“Aku tak pernah mengingkari janji. Tetapi tunjukkan syarat itu di hadapanku”.
Terdengarlah tertawa iblis betina itu. Sangat mengerikan.
“Kau tidak percaya kepada Sima Rodra tua dari Lodaya? Dan juga Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme?”
“Siapa bilang tidak percaya?” sahut Jaka Soka cepat-cepat.
”Aku hanya minta kau tunjukkan itu kepadaku”.
“Bagus,” jawab Janda Sima Rodra muda.
“Sakayon…” perintahnya,
“Bawa bunga pandan itu kemari. Awas Soka, durinya sangat tajam”.

Jaka Soka tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja. Senyuman yang sudah pernah dikenal oleh Mahesa Jenar sebagai senyuman Ular yang bisanya tajam bukan buatan. Dan karena senyuman itu pulalah dahulu ia mengikutinya sampai ke tengah-tengah hutan Tambak Baya, sehingga ia dapat menyelamatkan Rara Wilis. Dan sekarang, agaknya Ular Laut itu masih belum menyerah. Dengan segala cara ia agaknya berhasil memperalat Janda Sima Rodra itu untuk menangkap gadis itu. Sebentar kemudian darah Mahesa Jenar serasa berhenti mengalir. Tiba-tiba saja dadanya bergetaran dan kepalanya menjadi pening ketika ia melihat dari dalam salah sebuah kemah, seorang yang digiring keluar dengan tangan terikat. Orang itu tidak lain adalah Pudak Wangi, yang dikenalnya dalam keadaannya sebagai seorang gadis bernama Rara Wilis. Sampai di tepi lingkaran laskar Gunung Tidar, Pudak Wangi itu berhenti. Matanya yang merah menyala-nyala karena marahnya, beredar pada setiap wajah yang berada di lingkaran itu. Pada saat itu seorang pengawal dengan sombongnya mendorong punggung Pudak Wangi dengan kerasnya. Karena itu Pudak Wangi yang tidak bersedia, terdorong dua langkah ke depan. Tetapi setelah itu tiba-tiba ia memutar tubuhnya, dan dengan cepatnya kakinya bergerak. Malanglah nasib pengawal yang sombong itu, ketika tumit Pudak Wangi mengenai perutnya. Meskipun tendangan itu tidak terlalu keras, tetapi karena tepat mengenai arah ulu hati, maka segera orang itu jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Melihat peristiwa itu, dengan cepatnya Janda Sima Rodra meloncat maju, dengan marahnya. Teriaknya,
“Dalam keadaanmu itu kau masih berani menyombongkan diri di hadapanku?” Tetapi sebelum Harimau Betina itu dengan kuku-kukunya menyobek wajah Pudak Wangi, terdengar tertawa yang rendah memuakkan. Dan terdengarlah Jaka Soka berkata,
“Kau benar-benar seorang pemarah. Kalau syarat yang kau bawa itu kau rusakkan, batallah perjanjian kita”.
Langkah Janda Sima Rodra muda terhenti. Setelah merenung sejenak ia menjawab,
“Ular Laut, kau benar-benar membuat aku gila dan berbuat hal-hal yang sangat bertentangan dengan kehendakku. Tetapi biarlah. Akan aku serahkan umpan ini dengan utuh kepadamu”.
Sekali lagi terdengar Jaka Soka tertawa pendek. Matanya yang redup tetapi memancarkan sinar yang mengerikan memandangi Pudak Wangi dari ujung rambutnya sampai ke ujung kakinya.
“Jangan memandang begitu,” kata Janda Sima Rodra,
“Kalau aku yang kau pandang demikian, mungkin aku sudah pingsan”.
Jaka Soka tidak menjawab. Tetapi ia berdiri dan melangkah ke arah Pudak Wangi yang masih berdiri terpaku dengan wajah yang merah membara. Ketika Janda Sima Rodra muda itu melihatnya, maka dengan tertawa nyaring berkata,
“Jaka Soka, aku masih belum menyerahkannya kepadamu”.
“Apa lagi yang ditunggu?” sahut Jaka Soka.
“Aku akan menyerahkan kepadamu dalam satu upacara resmi di hadapan laskarku sebagai saksi. Tetapi tidak sekarang. Aku masih memerlukannya. Sebab dengan adanya gadis itu di dalam tanganku, aku mengharap kehadiran seorang lagi”.
Wajah Jaka Soka seketika berubah menjadi merah. Tetapi ia masih mengendalikan dirinya.
“Kau benar-benar setan betina. Terserahlah kepadamu. Kalau dengan demikian kau akan mengangkat harga diriku, kau akan kecewa. Sebab kedatanganku kemari adalah atas permintaanmu”.

SEKALI lagi keadaan jadi tenang karena suara tertawa Iblis betina yang bergetar membentur dinding-dinding pegunungan memenuhi lembah. Lalu kemudian ia berkata lantang,
“Marilah kita berpesta. Kita ajak tamu kita ini serta, mungkin dengan demikian ia akan mendapatkan kegembiraan”.
Sesaat kemudian ia telah memerintahkan kepada laskarnya untuk mulai dengan teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang sama sekali tak menyedapkan. Pada saat itu, Mahesa Jenar yang bersembunyi di belakang semak-semak menjadi gemetar. Ia ingat pada peritiwa yang pernah diketemukan bekas-bekasnya di atas Gunung Ijo, Prambanan. Pada saat itu ia masih belum dapat membayangkan, apakah yang terjadi. Tetapi sekarang, barulah agak jelas baginya, bahwa benar-benar rombongan Sima Rodra yang sering menculik gadis-gadis itu mempunyai kebiasaan yang mengerikan. Mengingat kerangka-kerangka gadis-gadis di Gunung Ijo itu bulu Mahesa Jenar meremang. Dan sekarang dihadapannya ia melihat upacara itu berlangsung. Teriakan-teriakan dan nyanyian-nyanyian yang tak sedap, yang keluar dari mulut-mulut yang kasar itu semakin lama semakin menjadi-jadi. Mereka bergerak semakin cepat mengelilingi perapian. Janda Sima Rodra dan Jaka Soka yang berdiri sebelah-menyebelah dengan Pudak Wangi, berada di luar lingkaran. Tetapi wajah mereka membayangkan bahwa perasaan mereka telah hanyut pula dalam keadaan yang hampir tak sadar.


<<< Bagian 036                                                                                              Bagian 038 >>>

No comments:

Post a Comment