Bagian 054


KANIGARA menyusup ke semak-semak, mengambil jalan yang memotong. Ia menjadi agak lega dan memperlambat larinya. Apalagi ia terpaksa berusaha mengenal kembali jalan setapak yang dilaluinya itu, supaya ia tidak tersesat. Beberapa lama kemudian sampailah ia di tempat mereka berjanji untuk bertemu. Di situ telah menanti Mahesa Jenar, Bantaran, Nyi Penjawi dan seorang kakek tua ayah Nyi Penjawi. Dengan tersenyum Mahesa Jenar menyambut kedatangan Kebo Kanigara, katanya,
“Sudah puaskah Kakang bermain-main dengan orang Pamingit?”
Sambil duduk di samping Mahesa Jenar, Kanigara menjawab sambil tersenyum pula,
“Mereka adalah kawan bermain yang baik. Orang-orang Pamingit itu ternyata ahli menunggang kuda.”
Dengan tersenyum pula Mahesa Jenar menjawab,
“Sayang mereka tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik mereka naik kuda.”
Kemudian dengan lesu Kanigara berkata seperti kepada diri sendiri,
“Aku terpaksa melukai beberapa orang diantaranya. Sebab aku tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik diantara mereka yang terbunuh.”

Mahesa Jenar sama sekali tidak menyahut. Ia tahu betul perasaan Kebo Kanigara, bahwa bukanlah pada tempatnya, dalam keadaan yang demikian, dimana ia tidak mempunyai persoalan langsung dengan orang-orang Pamingit itu, tangannya terpaksa menumpahkan darah. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tak seorangpun yang akan dapat menyalahkannya. Apalagi Bantaran. Sebagai seorang pemimpin laskar Banyubiru, ia menjadi keheran-heranan, bahwa dalam pertempuran yang berlangsung itu, dimana seorang harus melawan 10 orang bersama-sama, masih juga menyesal kalau ia terpaksa membunuh lawannya. Sesaat kemudian keadaan menjadi sunyi. Masing-masing membiarkan angan-angannya mengembara ke daerah yang berbeda-beda. Kemudian terdengarlah kembali Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran,
“Bantaran… aku masih ingin mendapat beberapa keterangan tentang laskarmu dan laskar Penjawi. Sebab mau tidak mau, apabila Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti tetap pada pendiriannya, kita akan memerlukannya.”
Bantaran menggeser duduknya, kemudian menjawabnya,
“Laskar kami sebenarnya tidaklah begitu banyak, Tuan. Apalagi sampai saat ini kami sama sekali tidak mendapat bimbingan yang baik. Apakah artinya kami berdua. Aku dan Penjawi. Sedang yang kami hadapi adalah Ki Ageng Lembu Sora dan putranya, Sawung Sariti. Sedangkan tingkat keterampilan kami tidaklah lebih daripada pengawal-pengawal Lembu Sora itu.”
“Tetapi bagaimanakah dengan tekad mereka…?” sela Mahesa Jenar.
“Itulah yang mendorong kami untuk tetap berjuang. Mereka ternyata bersedia menunggu pemimpin mereka. Ki Ageng Gajah Sora atau putranya, Arya Salaka yang hilang itu.”
“Bagaimanakah dengan Wanamerta?” Mahesa Jenar mencoba bertanya.
“Orang tua itupun telah meninggalkan Banyubiru.” jawab Bantaran.
“Tetapi kami belum mengetahuinya, di mana ia berada.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata,
“Bantaran, agaknya Wanamerta benar-benar belum berhasil mencari hubungan dengan kalian. Ketahuilah bahwa Wanamerta telah berhasil menyusul putra Ki Ageng Gajah Sora.”
“Arya Salaka…?” potong Bantaran terkejut.
“Ya,” jawab Mahesa Jenar,
“Dan selama ini Arya salaka dalam keadaan selamat.”
“Syukurlah,” sahut Bantaran.
“Memang demikianlah berita yang pernah aku dengar, meskipun aku belum meyakini sebelumnya. Sekarang karena Tuan yang mengatakannya, maka aku dapat mempercayainya.”
“Dari mana kau dengar berita itu?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku tidak jelas sumbernya,” jawab Bantaran.
“Tetapi aku kira dari orang-orang Pamingit. Sebab aku dengar mereka sedang mencari untuk membunuhnya. Bahkan yang kami dengar Arya Salaka selalu bersama-sama dengan Tuan.”
“Berita itu benar. Hampir seluruhnya. Bahkan Sawung Sariti sendiri sudah untuk kedua kalinya berusaha membunuh Arya Salaka dengan tangannya.”
Mendengar keterangan itu, Bantaran mengangkat kepalanya. Bagaimanapun ia merasa tersinggung atas kelakuan Sawung Sariti. Maka katanya,
“Untunglah bahwa Arya Salaka dapat Tuan selamatkan.”
“Ia telah dapat menyelamatkan dirinya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.
Bantaran menjadi heran mendengar jawaban itu. Sawung Sariti pada saat-saat terakhir telah menjadi seorang pemuda yang tangguh, berkat tuntunan kakeknya, Ki Ageng Sora Dipayana. Meskipun seandainya Arya Salaka mendapat tuntunan dari Mahesa Jenar, apakah anak itu akan dapat menyamai ketangguhan Sawung Sariti. Sebab Ki Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang sukar dicari tandingnya. Tetapi Bantaran tidak mau menanyakannya. Ia takut kalau-kalau dengan demikian akan dapat menyinggung perasaan Mahesa Jenar. Mahesa Jenar meneruskan,
“Yang penting bagimu Bantaran, peliharalah tekad dan kesetiaan laskarmu terhadap perjuangan yang telah dirintisnya. Dalam waktu yang singkat aku akan membawa Arya Salaka ke tengah-tengah mereka.”

TIBA-TIBA dada Bantaran terasa seolah-olah mengembang karena kegembiraan. Kalau Arya Salaka berada di tengah-tengah mereka maka laskarnya akan menjadi laskar yang bertekad baja, yang tidak lagi memperhitungkan hidup dan mati yang memang diluar kekuasaan manusia.
“Karena itu…” Mahesa Jenar meneruskan,
“Bersiaplah menghadapi masa yang menentukan.”
“Baiklah Tuan,” jawab Bantaran mantap.
“Akan kami khabarkan hal ini kepada mereka supaya mereka merasa bahwa apa yang mereka lakukan itu mempunyai arti bagi tanah perdikan mereka.”
“Kalau demikian, ke manakah aku harus membawa Arya Salaka…?” sahut Mahesa Jenar.
“Ke Gedong Sanga, Tuan,” jawab Bantaran cepat.
“Di sekitar candi itu kami menempatkan laskar kami.”
“Baiklah. Dan beruntunglah aku dapat bertemu dengan kau di sini, sehingga aku mendapat banyak bahan untuk saat-saat terakhir.”
Setelah sekali lagi Mahesa Jenar berjanji akan membawa Arya ke Candi Gedong Sanga, maka bersama dengan Kebo Kanigara ia minta diri untuk segera kembali ke Karang Tumaritis, dimana Arya Salaka pasti telah menunggunya.
Bersamaan dengan itu, berangkat jugalah Bantaran lewat jalan-jalan hutan membawa istri Penjawi beserta ayahnya untuk berkumpul kembali dengan laskarnya, setelah beberapa hari ia berkeliaran di daerah sekitar Banyubiru untuk melihat perkembangan daerah itu. Namun kali ini dengan bangga ia akan dapat berkata kepada laskarnya tentang apa yang disaksikannya di Banyubiru, pertemuannya dengan Mahesa Jenar yang tanpa diduga-duganya. Serta yang terakhir bahwa mereka boleh mengharap, dalam waktu singkat Mahesa Jenar akan membawa Arya Salaka ke tengah-tengah mereka.

Dalam perjalanan kembali ke Karang Tumaritis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tak henti-hentinya memperbincangkan kemunduran-kemunduran yang terjadi di Banyubiru. Kemunduran dalam segala bidang. Namun mereka masih menduga-duga apakah sebabnya Ki Ageng Sora Dipayana masih berdiam diri. Mereka menempuh perjalanan, melintasi padang-padang rumput, hutan hutan yang tidak begitu lebat, mendaki lambung-lambung bukit, serta menuruni lereng-lerengnya, untuk kemudian sampai ke daerah persawahan yang membentang luas di hadapan mereka, setelah mereka bermalam di bawah bentangan langit biru. Pedukuhan yang tampak di hadapan mereka, seperti pulau-pulau yang tersembul dari lautan, adalah pedukuhan Gedangan. Oleh hembusan angin yang cepat-cepat lambat, butir-butir padi yang sudah mulai menguning tampak seperti wajah lautan yang berombak-ombak. Jauh di ujung desa tampaklah beberapa puluh orang perempuan seperti semut yang terapung-apung, sudah mulai menuai padi. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara melihat semuanya itu dengan wajah yang cerah. Mereka ikut bersama-sama dengan para petani Gedangan, merasa gembira bahwa hasil jerih payah mereka selama beberapa bulan kini sudah dapat dipetik hasilnya. Lebih daripada itu, Mahesa Jenar melihat benar-benar kemajuan yang telah dicapai oleh pedukuhan kecil ini dalam bidang pertanian. Setelah puas memandang sawah yang terbentang di hadapan mereka itu, segera mereka menarik kekang kuda masing-masing, dan berjalanlah kuda-kuda mereka seenaknya. Burung-burung liar yang terkejut karena suara telapak kaki kuda itu, beterbangan terpencar-pencar. Sedang butiran-butiran padi yang penuh berisi, seolah-olah merundukkan batang-batang mereka kepada kedua orang yang baru datang itu.

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bagi orang-orang Gedangan adalah orang-orang yang sangat dihormati. Karena mereka berdua telah banyak memberikan jasa mereka kepada pedukuhan kecil itu. Karena itu ketika seseorang melihat kehadiran mereka, ia segera berlari-lari melaporkannya kepada pejabat-pejabat pedukuhan, sehingga sesaat kemudian ributlah pendapa kelurahan Gedangan. Mereka segera bersiap-siap untuk menyambut kedatangan tamu-tamu mereka. Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di halaman kelurahan, bahkan mereka menjadi terkejut. Mula-mula mereka heran, apakah yang terjadi di kelurahan itu sehingga banyak orang hilir-mudik ke sana ke mari. Tetapi ketika akhirnya mereka mengetahui duduk perkaranya, mereka menjadi geli. Hal yang sedemikian itu sebenarnya sama sekali tak mereka kehendaki. Sebab apa yang mereka lakukan tidak lebih dan tidak kurang daripada melakukan kewajiban mereka, sebagai manusia yang mengabdikan diri pada sumbernya serta hasil pancaran dari sumber itu. Tetapi rakyat Gedangan itu menjadi kecewa ketika mereka mengetahui bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tidak dapat terlalu lama tinggal di pedukuhan mereka, sebab suatu kewajiban yang penting telah menanti. Mereka hanya dapat bermalam satu malam saja, untuk seterusnya mereka minta diri meneruskan perjalanan ke Karang Tumaritis. Sedangkan kuda-kuda yang dipinjamnya, masih belum mereka kembalikan, bahkan Mahesa Jenar telah berpesan apabila diperlukan mereka masih akan meminjamnya lebih banyak lagi nanti.
“Berapa ekor lagi yang akan Tuan perlukan…?” tanya Wiradapa.
“Lima atau enam ekor,” jawab Mahesa Jenar kepada Lurah Gedangan itu.
“Baiklah Tuan, kuda-kuda itu akan kami sediakan sejak hari ini,” sahut Wiradapa, dan seterusnya ia berkata,
“Kecuali itu, perkenankan kami mengundang Tuan berdua beserta sahabat dan putra-putra Tuan untuk mengunjungi pedukuhan kami ini pada akhir bulan.”
“Apakah keperluan kalian…?” tanya Mahesa Jenar.
“Kami akan mengadakan upacara bersih desa. Sebagai pernyataan terimakasih dan kegembiraan kami atas karunia Tuhan yang telah menjadikan sawah-sawah kami bertambah subur serta tanaman-tanaman kami selamat dari gangguan hama.”
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tersenyum.
“Baiklah,” jawab mereka hampir bersamaan.

MAHESA JENAR dan Kebo Kanigara segera berangkat ke bukit kecil yang dinamai oleh penghuninya Karang Tumaritis. Ketika matahari telah sampai di atas kepala mereka, sampailah mereka di atas bukit kecil itu. Perjalanan mereka di atas punggung kuda seakan-akan merupakan tamasya yang menyenangkan. Kedatangan mereka disambut dengan meriah oleh penghuni bukit kecil itu. Para cantrik dan endang. Lebih-lebih lagi, betapa gembira hati Endang Widuri yang telah beberapa lama ditinggalkan oleh ayahnya. Untunglah bahwa saat itu ia sudah mempunyai kawan bermain yang dapat melayaninya, yaitu Rara Wilis. Arya Salaka pun menjadi sangat gembira. Sebab hanya dialah yang mengetahui, walaupun hanya sedikit, bahwa apa yang dilakukan oleh gurunya beserta Kebo Kanigara adalah tugas yang berbahaya. Ketika mereka sudah beristirahat beberapa lama, bertanyalah Kebo Kanigara kepada anaknya,
“Widuri, apakah Panembahan dalam keadaan sehat…?”
Dengan manjanya Widuri menjawab,
“Yang aku ketahui, sepeninggal ayah, Panembahan mengurung dirinya di dalam sanggar sampai berhari-hari. Tak seorang pun yang diperkenankan ikut serta. Bahkan makanan pun telah dibawanya sendiri sejak Panembahan mulai dengan samadinya.”

Kebo Kanigara mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tahulah ia, dan juga Mahesa Jenar tahu, bahwa sebenarnya Panembahan Ismaya pada saat itu sedang pergi meninggalkan padepokan untuk menyusulnya ke Pudak Pungkuran, dimana ia bersama-sama dengan Mahesa Jenar sedang menemui Radite dan Anggara.
“Apakah beliau sekarang masih berada di dalam sanggar?” tanya Kanigara kemudian.
Widuri menggeleng. Jawabnya,
“Sudah hampir seminggu Panembahan wudhar dari samadinya.”
Sambil memandang kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara berkata,
“Kalau demikian, baiklah kita menghadap.”
Mahesa Jenar menyetujuinya pula. Dan ketika mereka sudah melangkah sampai luar pintu pondok, menyusullah Arya Salaka sambil berbisik,
“Paman, Panembahan agak menyesal ketika aku katakan tentang kepergian Paman berdua.”
Kanigara dan Mahesa Jenar terhenti. Tetapi kemudian mereka berdua tersenyum.
Jawab Kanigara,
“Kami akan mencoba menjelaskan kepada Panembahan.”
“Mudah-mudahan Panembahan dapat mengerti,” sahut Arya Salaka.
“Aku kira demikian,” sahut Mahesa Jenar.
“Nanti sesudah kami menghadap, aku beritahukan kepadamu.”
Arya Salaka mengangguk, tetapi hatinya masih juga gelisah. Jangan-jangan Panembahan masih tetap kecewa terhadap gurunya serta Kebo Kanigara.tetapi ia sudah tidak berani bertanya lagi.

Ketika Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar sampai di rumah kediaman Panembahan Ismaya, Panembahan tua itu ternyata sedang duduk dihadap beberapa orang cantrik tertua. Agaknya ada sesuatu yang sedang mereka perbincangkan. Ketika dilihatnya kedatangan Kabo Kanigara dan Mahesa Jenar, maka dengan perasaan gembira mereka berdua disambutnya serta segera dipersilakan masuk.
“Marilah Angger berdua… beberapa hari aku menjadi gelisah atas kepergianmu berdua. Syukurlah kalau kau berdua tidak menemui halangan sesuatu.”
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar mengangguk hormat, sebagai pernyataan bakti mereka kepada Panembahan tua itu.
“Agaknya kalian berdua menjadi gembira karena perjalanan itu…? Ternyata wajah kalian bertambah segar,” sambung Panembahan Ismaya.
Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar tidak menjawab. Mereka hanya menundukkan muka mereka. Sebab tak ada yang akan mereka katakan, karena Panembahan Ismaya telah mengetahui seluruhnya. Tetapi tiba-tiba Panembahan Ismaya berkata kepada para cantrik,
“Cantrik-cantrik sekalian… aku perkenankan kalian meninggalkan ruangan ini. Sediakanlah makan siangku. Aku ingin setelah ini makan bersama-sama dengan Kanigara dan Mahesa Jenar.”
Maka mundurlah para cantrik dari ruangan itu, untuk mempersiapkan makan siang Panembahan Ismaya. Sepeninggal para cantrik, barulah Panembahan bertanya segala sesuatu mengenai perjalanan kembali Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dan kepada Panembahan itu diceritakan pula bagaimana keadaan Banyubiru sekarang. Kemunduran dalam segala bidang, terutama kemunduran akhlak.
“Panembahan…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Menurut pertimbanganku, segala sesuatu yang terjadi di Banyubiru itu harus segera dihentikan, dengan mengembalikan Arya Salaka ke sana. Atau lebih-lebih kalau mungkin Kakang Gajah Sora.”

Panembahan Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa ditagih janji, sebab merasa berkesanggupan untuk membebaskan Gajah Sora. Tetapi untuk melaksanakan kesanggupan itu agaknya tidak terlalu mudah. Karena itu ia menjawab,
“Kau benar Mahesa Jenar. Bawalah Arya Salaka lebih dahulu. Aku masih belum dapat membebaskan ayahnya. Aku harap hal itu segera terjadi. Dan bukankah akan sangat menggembirakan kalau Gajah Sora nanti dapat kembali ke Banyubiru setelah Banyubiru dapat dipulihkan…? Dan apa yang terjadi sebelum itu, seolah-olah hanya suatu peristiwa dalam mimpi, meskipun mimpi yang menyedihkan.”
Mahesa Jenar masih merenungkan masalah-masalah yang akan dihadapinya. Kalau saja tidak ada persoalan yang lebih besar, yang akan langsung mempengaruhi pemerintahan Demak, maka cara yang semudah-mudahnya untuk membebaskan Ki Ageng Gajah Sora adalah menyerahkan kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Tetapi ternyata cara itu tidak dapat ditempuhnya. Sebab Banyubiru bagi Demak hanyalah merupakan sebagian saja dari seluruh persoalan. Namun ia percaya kepada Panembahan Ismaya. Panembahan itu pasti akan menemukan suatu cara untuk membebaskan Gajah Sora. Dengan atau tanpa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

SYUKURLAH kalau kalau nanti Gajah Sora dapat menjumpai tanah perdikan sudah pulih kembali, meskipun belum seluruhnya. Tetapi setidak-tidaknya Gajah Sora merasa bahwa ia kembali ke tanahnya sendiri, seperti pada saat ditinggalkan. Kemudian diceritakan pula oleh Mahesa Jenar pertemuannya dengan Bantaran, salah seorang pemimpin laskar Banyubiru, serta pasukannya di sekitar Candi Gedong Sanga. Akhirnya Panembahan Ismaya menyetujui permintaan Mahesa Jenar untuk mengajak Kanigara serta dalam usahanya mengembalikan Banyubiru ke dalam tangan Arya Salaka. Sebab tanpa orang-orang yang lebih tua itu, Arya Salaka tidak akan mampu melakukan pekerjaan berat itu.
“Tetapi kau jangan terlalu tergesa-gesa, Mahesa Jenar…” Panembahan Ismaya menasihati,
“Sebab apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka adalah pekerjaan yang sulit. Mula-mula kau harus berusaha untuk menjelaskan masalahnya tanpa pertumpahan darah. Kau dapat membawa laskar yang dipimpin Bantaran hanya untuk membuat keadaan seimbang, supaya keseimbangan itu diperhitungkan pula oleh Lembu Sora. Sebab apabila ia hanya berhadapan dengan kalian berdua beserta Arya Salaka, maka mereka pasti akan berkeras kepala. Selain daripada itu, kau harus mempersiapkan Arya Salaka untuk menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi. Lahir dan batin. Supaya dalam setiap keadaan hatinya tidak terguncang dan kehilangan keseimbangan.”

Mahesa Jenar mendapat banyak sekali bekal yang perlu baginya untuk memenuhi kesanggupannya kepada Ki Ageng Gajah Sora, pada saat orang itu pergi meninggalkan Banyubiru, dan menitipkan anaknya kepadanya. Setelah makan siang bersama-sama dengan Panembahan Ismaya dan Kebo Kanigara, maka segera Mahesa Jenar minta diri untuk beristirahat. Namun demikian ia tidak dapat melepaskan diri dari persoalan-persoalan yang selalu membelit hatinya, persoalan Banyubiru. Agaknya Arya Salaka pun hampir tidak sabar menanti Mahesa Jenar. Ketika ia melihat gurunya itu datang, segera ia bertanya, apakah Panembahan Ismaya marah kepadanya. Dengan tersenyum Mahesa Jenar menjawab,
“Panembahan bukanlah orang yang dapat marah. Apakah kau pernah melihat Panembahan marah?”
Arya menggeleng, tetapi ia menjawab,
“Aku selalu cemas bahwa Panembahan akan marah untuk pertama kalinya kepada Paman dan Paman Kanigara.”
Mahesa Jenar tertawa kecil. Kemudian sahutnya,
“Tidak. Panembahan tidak marah. Ia hanya memberi aku dan Kakang Kanigara nasihat. Dan nasihat-nasihat itu akan sangat berguna bagiku dan Kakang Kanigara.”
Sejak saat itu Mahesa Jenar mencoba untuk memberi penjelasan kepada Arya Salaka untuk melengkapi pengetahuannya tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di Banyubiru. Karena Arya Salaka sekarang menurut anggapan Mahesa Jenar telah cukup siap untuk mengetahui segala-galanya, maka Mahesa Jenar kini tidak lagi menyembunyikan sesuatu.

Juga dijelaskan apa yang sekarang terjadi kalau keadaan yang demikian dibiarkan berlarut-larut. Arya Salaka mendengarkan semua penjelasan itu dengan menekan dada. Ia telah dapat merasakan betapa jeleknya keadaan Banyubiru sepeninggal ayahnya. Hampir setiap malam ia duduk bercakap-cakap dengan Mahesa Jenar, yang kadang-kadang ditemani Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Apa yang mereka percakapkan selalu berkisar pada masalah Banyubiru. Apalagi kalau Wanamerta berkesempatan untuk ikut serta berbicara. Banyak sekali cerita yang dapat membakar dada Arya Salaka. Sebagai orang tertua, yang pada saat Gajah Sora meninggalkan Banyubiru menerima tanda pemerintahan Pusaka Kyai Bancak, dan yang selajutnya kehadirannya di Banyubiru oleh Ki Ageng Lembu Sora sama sekali tidak diperhitungkan, bahkan disingkirkan dengan satu cara yang keji, ia benar-benar sakit hati. Disamping semua penjelasan, untuk mempersiapkan Arya Salaka menghadapi keadaan-keadaan di Tanah Perdikan yang sudah kira-kira lima tahun ditinggalkan, ia selalu menerima pula tuntunan-tuntunan lahiriah. Setiap hari ia masih harus berlatih sekeras-kerasnya. Menambah pengetahuan tata pertempuran dan olah senjata. Dalam keadaan yang demikian, terasalah betapa perkembangan jasmaniah Arya Salaka menjadi bertambah cepat setelah orang aneh yang mengenakan jubah memijiti hampir seluruh tubuhnya pada suatu malam, setelah ia bertempur melawan Sawung Sariti.

Untunglah bahwa di bukit kecil itu ia mempunyai banyak kawan berlatih. Endang Widuri yang memiliki cabang keturunan ilmu yang sama dengan ilmunya. Rara Wilis dari Perguruan Pandan Alas. Serta Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Meskipun sebenarnya Arya Salaka kadang-kadang bertanya di dalam hati tentang persamaan yang sedemikian dekatnya antara Kebo Kanigara dengan gurunya, Mahesa Jenar, namun pertanyaan itu tetap disimpannya. Sejalan dengan itu, kadang-kadang ia menjadi heran pula, bahwa ilmu gurunya sendiri agaknya menjadi jauh berkembang, seolah-olah berkembang dengan sendirinya. tetapi juga keheranan ini disimpannya di dalam hati. Sudah tentu bahwa dalam keadaan demikian tidak saja Arya Salaka sendiri yang berhasil memperkuat dirinya lahir-batin, tetapi juga kawan-kawannya berlatih. Mereka ternyata saling menerima dan memberi. Ilmu pedang yang luar biasa lincahnya, dari perguruan Pandan Alas, dalam keserasiannya dengan ilmunya. Sebaliknya, keteguhan serta gerak-geraknya yang kuat dapat mempengaruhi keterampilan Rara Wilis. Sedangkan kenakalan Endang Widuri pun kadang-kadang dapat memberi banyak ilham kepada Arya, sehingga dalam ilmunya kadang-kadang sifat itu terungkap dalam gerak-gerak yang tampaknya tidak masuk akal dan kurang berhati-hati, namun sebenarnya mempunyai segi-segi yang mengelabuhi lawan.

KETIKA segala sesuatunya telah dirasa cukup, sampailah Mahesa Jenar pada taraf terakhir dari pekerjaannya menjelang keberangkatan mereka ke Banyubiru, yaitu mematangkan jiwa Arya Salaka menghadapi segala macam kemungkinan. Kemungkinan yang paling menyenangkan sampai kemungkinan terakhir yang dapat saja terjadi. Yaitu gugur dalam menunaikan kewajiban sucinya.
Tetapi jiwa Arya memang sudah mendapat tempaan yang luar biasa sejak bertahun-tahun terakhir. Kesulitan hidup yang hampir setiap hari dijalani, sulit lahir-batin, adalah bekal yang baik dalam pekerjaannya itu. Disamping itu, Mahesa Jenar tidak pula lupa menunjukkan, bahwa apa yang akan dilakukan itu adalah suatu usaha. Usaha yang wajib diperjuangkan oleh manusia untuk mencapai cita-citanya, namun segala keputusan terakhir dari semua masalah, terletak ditangan Tuhan Yang Maha Kuasa. Akhirnya Mahesa Jenar menyampaikan segala macam persiapan dan anggapannya, bahwa segala sesuatunya sudah cukup, kepada Panembahan Ismaya. Bersamaan dengan itu, ia mohon diri bersama muridnya untuk menunaikan kewajibannya, serta sekali lagi ia mohon kepada Panembahan untuk mengizinkan Kebo Kanigara pergi bersamanya. Panembahan Ismaya memandang Mahesa Jenar dengan hampir tak berkedip. Ini adalah suatu masalah yang paling rumit, yang selalu tumbuh hampir setiap saat. Alangkah menyedihkan, bahwa seseorang melakukan persiapan sampai seteliti-telitinya untuk melakukan tindakan kekerasan. Padahal, seharusnya setiap bentuk kekerasan pasti harus ditentang. Tetapi ia tidak dapat menyembunyikan kenyataan, bahwa diantara anak manusia di dunia ini masih saja ada yang sama sekali tidak menghiraukan kemanusiaannya, yang dengan segala macam cara, menindas manusia-manusia yang lain.

Dan terhadap manusia-manusia yang demikian itu, wajarlah bahwa ada usaha-usaha untuk mencegahnya. Usaha terakhir pencegahan itu adalah dengan cara yang sama sekali menyimpang dari tuntutan cinta kasih manusia. Sebab kadang-kadang yang harus dilakukan adalah nampaknya berlawanan dengan ungkapan cinta kasih itu sendiri. Yaitu kekerasan, perkelahian dan bahkan kadang-kadang persoalan hidup dan mati. Karena persoalan-persoalan yang sedemikian itulah, maka selalu timbul pertentangan di dalam diri. Pertentangan antara hakekat dari pengabdian diri terhadap manusia sebagai tempat untuk meletakkan pengabdian yang tertinggi dengan penuh cinta kasih sebagaimana Tuhan melimpahkan cinta kasihnya kepada manusia, serta kenyataan bahwa manusia itu sendiri telah menodainya. Di sinilah kadang-kadang dijumpainya persimpangan jalan antara tujuan dengan cara pengabdian. Namun demikian bukanlah segala cara dapat dibenarkan untuk mencapai tujuan. Sebab dalam hal yang demikian kaburlah batas antara tujuan yang hendak dicapai dengan mengorbankan tujuan itu sendiri, sebagai puncak pengabdian. Dalam hal yang demikian itu, apabila segala macam cara dapat dibenarkan, maka akan timbullah fitnah, kebiadaban, kekejaman dan kesewenang-wenangan, yang justru menghilangkan nilai tertinggi dan tujuannya, yaitu manusia.

Terhadap Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya tidak tedheng aling-aling. Dan karena itulah maka Panembahan Ismaya sendiri masih mempergunakan dua bentuk selama ini. Orang berjubah abu-abu yang sakti dan seorang Panembahan yang menjauhkan diri dari daerah keduniawian. Mendengar uraian itu Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajah mereka dengan takzimnya. Namun didalam dada mereka bergolaklah pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan. Pertanyaan tentang diri mereka, tentang Arya Salaka yang terusir dari Banyubiru, dan tentang hak yang sudah terampas dari tangannya. Namun meskipun pertanyaan itu tidak terucapkan, agaknya Panembahan Ismaya dapat mengertinya. Karena itu katanya, “Karena itu Mahesa Jenar, kau harus dapat mencari keserasian dari cara dan tujuan pengabdian. Dan dari sinilah nanti akan tampak, bahwa seseorang memiliki ketinggian budi yang tidak sama. Ada orang yang berbudi luhur dan berjiwa besar dan ada orang yang berbudi rendah dan berjiwa kecil. Ada orang yang mengumandangkan nilai-nilai kemanusiaan, namun akan seribu satu macam semboyan, tetapi nilai-nilai kemanusiaan itu tercermin dalam tindak tanduknya sehari-hari. Seorang yang menganggap dirinya pendukung nilai-nilai kemanusiaan, tetapi ia mengorbankan manusia untuk mempertahankan kepentingan diri sendiri yang dipancangkannya di atas tumpukan bangkai-bangkai. Namun sebaliknya ada orang yang dengan berdiam diri membangun nilai-nilai itu dalam lingkungan yang jauh dari pamrih untuk mencemerlangkan diri.

SETELAH berhenti sejenak, Panembahan Ismaya meneruskan,
“Karena itulah Mahesa Jenar, aku tidak dapat mencegah Arya Salaka untuk mengambil haknya kembali. Untuk mengambil kekuasaan yang ada di Banyubiru dari tangan adik atau pamannya. Sedang kekuasaan itu sendiri bukanlah hal yang selalu baik atau tidak baik. Hampir semua orang di dunia ini menginginkan kekuasaan. Dalam bentuk yang besar atau dalam ujud yang lebih kecil serta dalam lingkungan yang kecil pula. Namun yang harus dinilai kemudian adalah bagaimana kekuasaan itu dipergunakan.”
Kemudian Panembahan Ismaya meneruskan lagi,
“Akhirnya, bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan itulah, yang menentukan bentuk dari kekuasaan yang berada di dalam tangannya. Apakah ia mengabdikan kekuasaan itu untuk nilai-nilai kemanusiaan ataukah dengan kekuasaannya ia justru menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan itu.”
Setelah berhenti sejenak, Panembahan kembali berkata,
“Mahesa Jenar, aku harap kau dapat memahaminya. Selanjutnya aku mengharap, bahwa Arya Salaka akan dapat mendengarnya pula darimu. Karena kau adalah gurunya, maka aku kira kaulah orang paling dekat di hatinya. Kaulah yang akan dapat memberitahukan kepadanya, bahwa kekuasaan yang berada kembali ditangannya nanti harus menemukan titik sasaran yang benar. Seperti tombak lambang kebesaran Banyubiru yang dibawanya itu. Tombak itu dapat dipergunakannya untuk melindungi diri serta orang lain. Namun tombak itu di tangan orang yang tidak bertanggungjawab dapat dipergunakan untuk membunuh kawan seiring. Nah Mahesa Jenar, pergilah. Ingat, pengabdianmu harus kau tujukan kepada manusia. Tidak kepada kedudukan, harta benda dan nafsu. Dan pengabdianmu itu merupakan unsur terpenting dari kebaktianmu yang tertinggi. Bakti dengan tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa.”

Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya semakin dalam. Tak ada satu patah kata pun yang sisip dari hatinya, dari pendiriannya. Memang demikianlah tujuan pengabdian yang selama ditempuhnya. Karena itu, setiap kata yang diucapkan oleh Panembahan Ismaya itu telah mempertebal keyakinannya. Di dalam hati ia berjanji untuk menuangkan pengertiannya itu sejauh-jauhnya kepada Arya Salaka. Sebab di tangan Arya Salakalah letak kekuasaan Banyubiru di masa datang. Rombongan itu mula-mula singgah di Gedangan untuk mendapat pinjaman kuda, disamping mereka memenuhi undangan Wiradapa untuk mengunjungi upacara bersih desa. Upacara yang diselenggarakan setiap para penduduk Gedangan selesai dengan musim menuai padi. Demikian pula kali ini. Mereka bersuka ria karena panenan mereka berhasil. Pada malam itu, ketika rombongan Mahesa Jenar bermalam di Gedangan, suasana desa itu benar-benar meriah. Mereka menyelenggarakan peralatan bersama di sebuah tanah lapang kecil di tengah-tengah desa mereka. Setiap keluarga datang dengan membawa ancak berisi berbagai macam makanan. Nasi beserta lauk-pauknya dan bermacam-macam jenis masakan yang lain. Bahkan ada yang membawa jodhang penuh dengan masakan yang enak. Makanan juadah, jenang alot, tasikan, sagon, lapis dan sebagainya.

Maka apabila upacara-upacara adat telah selesai, maka segera makanan mereka itu dibagi bersama-sama dan dimakan bersama-sama pula. Peralatan itu benar-benar merupakan peralatan yang meriah. Sedangkan hampir seluruh desa mereka dihiasi dengan janur-janur kuning yang mereka sangkutkan di setiap regol halaman. Dan di hadapan regol desa mereka letakkan hiasan yang termeriah, dengan janur-janur kuning, daun topengan dan daun-daun yang berwarna-warni. Merah, kuning, hijau dan berbelang-belang. Demikian pula dinding yang melingkari desa mereka serta sepanjang dinding halaman rumah-rumah, terpancang berpuluh-puluh bahkan beratus-ratus oncor yang menjadikan desa mereka terang-benderang seolah-olah siang. Anak-anak Gedangan pun mendapat bagian pula. Semalam suntuk mereka tidak tidur. Setelah mereka lelah berlari-larian ke sana ke mari, mereka dapat menikmati pertunjukan wayang beber. Pertunjukan yang mengisahkan kepahlawanan, yang dipetik dari ceritera Mahabarata. Rombongan kecil Mahesa Jenar dapat ikut pula menikmati kemeriahan malam bersih desa di Gedangan itu. Mereka ikut serta bergembira bersama-sama penduduk Gedangan dan kemudian ikut serta dengan mereka mengunjungi pertemuan di pendapa Kelurahan serta menikmati upacara tari-tarian sebagai pernyataan terima kasih pula atas panenan mereka yang berhasil.

Tetapi dalam pada itu, Arya Salaka menjadi semakin trenyuh di dalam hati. Teringatlah segala kemeriahan upacara di Tanah Perdikan Banyubiru pada masa kecilnya. Pada masa ayahnya masih memimpin tanah itu. Dan karena itulah tekadnya menjadi semakin bulat. Ia harus mendapatkan kembali tanah itu. Ia berjanji di dalam hatinya, apabila ia harus mewakili ayahnya dalam pemerintahan tanah perdikan itu, yang dilakukannya harus menguntungkan rakyatnya. Membina kembali Banyubiru dalam segala seginya. Dan ia harus dapat menjadikan Banyubiru sebagai idaman ayahnya. Menjadikan Banyubiru gemah ripah lohjinawi kertaraharja. Dimana setiap orang dapat menikmati kesuburan tanah kampung halamannya, dimana setiap orang dapat menikmati cerahnya matahari dan bulatnya bulan di malam hari. Menikmati ketenteraman hidup dan tanpa kegelisahan menjelang hari tuanya. Cukup sandang, cukup pangan. Sejahtera lahir dan batin. Setelah mereka bermalam dua malam di Gedangan, rombongan kecil itu melanjutkan perjalanan. Mereka diantar oleh hampir segenap penduduk Gedangan sampai ke regol desa mereka. Dengan penuh kebanggaan mereka memandang debu yang mengepul dilemparkan oleh derap kaki-kaki kuda yang berlari seenaknya. Seolah-olah mereka melihat rombongan pasukan berkuda yang tak terkalahkan menuju ke medan pertempuran.

SETELAH Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan rombongannya bermalam satu malam, maka pada hari berikutnya ketika matahari telah condong ke barat, sampailah mereka di daerah pegunungan Sumawana. Suatu daerah pegunungan yang menurut dongeng rakyat, adalah pegunungan dimana Prabu Dasamuka ditimbun dengan tanah oleh Pahlawan Kera yang berbulu putih, Hanoman. Karena kepercayaan itulah maka di daerah pegunungan itu, tidak diperkenankan membawa tuak atau semacam minuman keras yang lain. Sebab apabila ada orang yang melanggar pantangan itu, Prabu Dasamuka, yang tidak dapat mati, akan menggeram dan mengguncang-guncang gunung yang menimbuninya, sebab tuak adalah jenis minuman yang sangat digemarinya. Rakyat yang hidup di daerah itu, meskipun sangat jarang, tidak pernah takut seandainya Prabu Dasamuka itu dapat menjebol tanah yang menimbuninya. Sebab di dekatnya adalah bukit yang terkenal bernama Kendalisada. Di bukit itulah Hanoman bertapa dan sekaligus menunggui gunung yang dipakainya untuk menimbun tubuh Prabu Dasamuka. Ketika rombongan kecil itu sampai di sekitar bukit Sumawana, mereka menghentikan perjalanan mereka. Daerah ini sudah dekat benar dengan daerah Candi Gedong Sanga. Karena itu mereka harus berhati-hati. Sebab apabila ada salah paham, mungkin akan menimbulkan hal-hal yang tidak mereka kehendaki. Karena itu mereka tidak maju lagi, tetapi mereka bermaksud bermalam di daerah itu.

Pada malam itulah Mahesa Jenar berhasrat memancing orang-orang Banyubiru yang bersembunyi di sekitar daerah itu dibawah pimpinan Bantaran dan Penjawi. Karena itu, maka ketika malam telah turun dengan kelamnya, segera Mahesa Jenar menyalakan api sebesar-besarnya. Ia yakin bahwa laskar Pamingit tidak akan sampai berkeliaran sedemikian jauhnya, apalagi mereka mengerti bahwa sebagian laskar Bantaran dan Penjawi ada di sekitar daerah Banyubiru. Dan apa yang diharapkan terjadilah. Ketika mereka sedang menikmati jadah sisa bekal mereka dari Gedangan yang mereka panggang di atas api, tiba-tiba terdengarlah gemersik daun-daun di sekitarnya. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan hampir semua orang dalam rombongan itu mengetahuinya, namun mereka masih berpura-pura tidak mendengarnya. Sebentar kemudian terdengarlah beberapa orang berloncatan dengan senjata di tangan.
Dengan lantangnya seorang yang memimpin laskar itu berkata,
“Ki Sanak, aku harap Ki Sanak tidak melawan. Kami tidak ingin berbuat jahat, tetapi kami ingin mengetahui siapakah kalian.”
Mahesa Jenar mengangkat mukanya. Ia sama sekali tidak berkata apa-apa. Sambil tersenyum ia mengangkat tangannya menunjuk Wanamerta yang duduk di sudut perapian sambil membenamkan dirinya di dalam kainnya. Ketika orang itu melihat Wanamerta, tiba-tiba wajahnya jadi tegang. Untuk beberapa saat ia bahkan berdiam diri seperti patung, tetapi tiba-tiba ia meloncat dan berjongkok di hadapannya sambil berteriak,
“Kiai, adakah benar ini Kiai Wanamerta.”
Orang tua itu tersenyum. Tersenyum lucu sekali. Tetapi semua orang yang menyaksikannya menjadi ikut terharu ketika di sela-sela senyumnya tampak diantara pelupuk mata orang tua itu membayang butiran-butiran air mata.
Serta dengan suara parau ia menjawab,
“Ya, inilah Wanamerta yang tua. Bukankah kau Jaladri?”
“Ya,” sahut pemimpin laskar itu.
“Bagaimanakah Kiai dapat sampai di tempat ini?”
“Hemm….” desis Wanamerta, lalu katanya,
“Kenalkah kau dengan Anakmas Mahesa Jenar?”
“Mahesa Jenar…?” ulang Jaladri,
“Ya tentu aku mengenalnya. Lima tahun yang lalu, ia pernah tinggal di Banyubiru untuk beberapa lama.”
“Itulah dia,” potong Wanamerta sambil menunjuk Mahesa Jenar.

Jaladri menoleh kepada Mahesa Jenar. Memang ia pernah mengenalnya. Lima tahun yang lalu. Karena itu ia agak pangling. Baru ketika ia telah memperhatikan beberapa lama, ia menjadi jelas, bahwa memang orang itulah yang pernah dikenalnya bernama Mahesa Jenar. Karena itu segera ia menggeser diri duduk sambil membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar, sambil berkata,
“Maafkan kami, Tuan. Kami hampir tidak dapat mengenal Tuan setelah sekian lama berpisah. Apalagi sebelumnyapun aku tidak begitu dekat dengan Tuan.”
Mahesa Jenar menjawab dengan hormatnya pula.
“Adalah hal yang wajar kalau kau tidak mengenal aku lagi. Waktu itu aku tidak mempunyai waktu banyak untuk tinggal lebih lama lagi di Banyubiru. Apalagi kita sudah terlalu lama tidak bertemu. Tetapi untunglah bahwa kau mengenal Paman Wanamerta.”
“Kepada Kiai Wanamerta, berapa puluh tahun aku terpisah, namun aku masih akan dapat mengenalnya. Dan bahkan semua orang Banyubirupun akan tetap mengenalnya,” jawab Jaladri.
“Bagus,” sahut Mahesa Jenar.
“Sebab ia adalah tetua Banyubiru. Kalau kau lupa kepadanya, berarti kau telah lupa kepada kampung halaman itu”.
“Benar Tuan,” jawab Jaladri, kemudian dengan agak ragu-ragu ia bertanya,
“Tetapi, menurut Kakang Bantaran, bukankah Tuan berjanji untuk membawa Arya Salaka kepada kami?”
Mahesa Jenar tersenyum. Agaknya Bantaran telah mengumumkan kesanggupannya itu kepada anak buahnya. Kemudian dengan tertawa lirih ia berkata.
“Cobalah Jaladri, carilah diantara kami, adakah Arya Salaka serta?”
Jaladri menjadi ragu. Ia memandang satu persatu kawan-kawan seperjalanan Mahesa jenar. Mahesa Jenar sendiri, lalu seorang yang berumur agak lebih tua sedikit dari Mahesa Jenar, disampingnya duduk bersimpuh seorang gadis kecil. Di dekatnya duduk bersila seorang gadis yang berpakaian laki-laki, dan di ujung duduk bersilah pula seorang pemuda yang gagah, kuat sentosa. Di pinggangnya terselip sehelai tombak yang bertangkai pendek.

JALADRI masih tetap ragu-ragu. Ia tidak berani menebak satu diantaranya. Meskipun apabila Arya Salaka ada diantaranya, yang paling mungkin adalah pemuda yang gagah itu. setelah beberapa lama ia menimbang-nimbang, akhirnya ia menjawab,
“Aku tidak tahu Tuan Arya Salaka. Pada saat meninggalkan Banyubiru masih terlalu kecil bagi yang ada sekarang.”
Meskipun demikian mata Jaladri tidak lepas dari pemuda tegap yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya. Mahesa Jenar tertawa pendek, demikian pula Kebo Kanigara. Tetapi dengan demikian, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta, dan bahkan Arya Salaka sendiri. Jaladri mempunyai dugaan yang benar. Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak segera membenarkan dugaan itu.
Dengan tegak berdiri ia berkata,
“Jaladri… antarkanlah kami sekarang kepada Bantaran.”
“Baik Tuan,” jawab Jaladri cepat, seperti demikian saja meloncat dari mulutnya.
Kemudian Mahesa Jenar berkata kepada Wanamerta, Kebo Kanigara dan kawan-kawan seperjalanannya.
“Marilah, kita selesaikan perjalanan kita yang tinggal beberapa langkah saja.”
Semuanya segera mempersiapkan diri mereka pula. Dan sesaat kemudian mereka meneruskan perjalanan yang sudah tidak jauh lagi. Jaladri lebih dahulu telah mengirimkan dua orangnya untuk mendahului dan memberitahukan kedatangan Mahesa Jenar, agar Bantaran dapat mempersiapkan sambutan sekadarnya. Tidak terlalu lama, mereka telah sampai ke daerah Candi Gedong Sanga, di lereng Gunung Ungaran. Oleh Jaladri, mereka dibawa menyusup ke sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Di dalam hutan yang tipis itu terdapatlah sebuah barak besar dikelilingi beberapa barak kecil. Itulah perkemahan laskar Banyubiru yang dipimpin oleh Bantaran dan Penjawi.

Ketika Mahesa Jenar sampai ke tempat itu, sibuklah mereka mengadakan penyambutan. Berdesak-desakan mereka berebut muka, sehingga Mahesa Jenar dan kawan-kawan tidak dapat bergerak maju lagi. Sampai Bantaran berdiri dan berteriak,
“Berilah jalan supaya mereka dapat masuk ke dalam pondok ini.”
Akhirnya Mahesa Jenar dan kawan-kawannya dipersilakan masuk ke dalam pondok yang terbesar itu. Di dalamnya terdapat sebuah ruangan yang cukup luas. Dan di sanalah pemimpin-pemimpin laskar itu telah siap menanti. Mahesa jenar dan kawan-kawannya dipersilakan duduk di ujung pertemuan itu. Tetapi demikian ia mulai memperhatikan satu demi satu dari setiap wajah di dalam ruangan itu, tiba-tiba ia terkejut ketika melihat yang duduk berjajar di samping Penjawi. Karena itu segera Bantaran memperkenalkan kedua orang itu kepada Mahesa Jenar.
“Tuan, barangkali Tuan belum mengenalnya. Mereka adalah orang baru di sini. Tetapi mereka melihat kebenaran perjuangan kami. Karena itu mereka di pihak kami.”
Tiba-tiba meloncatlah dari mulut Mahesa Jenar sapaan yang akrab,
“Kakang Mantingan dan Wirasaba, adakah kalian telah lama berada di tempat ini?”
Dalang Mantingan dan Wirasaba menganggukkan kepalanya. Terdengarlah Mantingan menjawab,
“Sudah… Adi. Aku sudah beberapa bulan bergaul dengan anak-anak Banyubiru, meskipun kadang-kadang aku juga memerlukan kembali ke Wanakerta atau Prambanan bersama-sama dengan Adi Wirasaba.”

Teringatlah Mahesa Jenar pada saat mereka baru saja menyaksikan bahkan terlibat dalam suatu bentrokan melawan golongan hitam yang sedang mempersiapkan sebuah pertemuan di daerah Rawa Pening. Pada saat itu Mahesa Jenar dengan empat orang teman, yaitu Mantingan, Wirasaba, Gajah Alit dan Paningron, harus bertempur melawan seluruh kalangan hitam dari angkatan sebayanya, yang kemudian mendapat bantuan dari Sima Rodra tua dan Pasingsingan. Untunglah pada saat itu muncul Radite dan Anggara yang menyelamatkan mereka berlima. Pada saat itu ia memang berpesan kepada Mantingan untuk berusaha melihat-lihat keadaan Banyubiru. Agaknya Mantingan benar-benar melaksanakan pesan Radite dan Anggara, bahkan akhirnya mengambil keputusan untuk tinggal bersama-sama dengan mereka. Kemudian sibuklah pertemuan itu dengan pernyataan keselamatan masing-masing. Wanamerta yang menjadi semakin terharu melihat anak-anak Banyubiru yang masih setia kepada pimpinannya itu, malahan menjadi seperti patung. Ia hanya dapat mendengarkan percakapan-percakapan yang semakin ramai dan gembira, dan sesekali menoleh kesana kemari, tanpa tujuan. Tiba-tiba dari sela-sela keriuhan percakapan itu terdengarlah Bantaran bertanya,
“Tuan. bukankah Tuan telah menyanggupkan kepada kami untuk membawa Arya Salaka…?”
Mahesa Jenar tertawa. Memang, ia menanti pertanyaan itu, sehingga dengan sengaja tidak memperkenalkan kawan-kawan seperjalanannya. Karena itu baru kemudian ia menjawab untuk memperkenalkan mereka.
“Saudara-saudaraku dari Banyubiru…. Baiklah aku memperkenalkan kawan seperjalananku satu persatu.”
Kemudian sambil menunjuk, Mahesa Jenar meneruskan,
“Ini, yang duduk di sebelahku adalah Rara Wilis, seorang gadis yang lebih senang menamakan dirinya Pudak Wangi, cucu seorang sakti bernama Pandan Alas. Di sampingnya adalah Endang Widuri, putri Kakang Kebo Kanigara yang duduk di sebelahnya. Dan yang seorang lagi adalah Bagus Handaka.”
Semua mata mengikuti jari Mahesa Jenar. Namun ketika sampai orang yang terakhir, ia tidak menyebut nama Arya Salaka, anak-anak Banyubiru menjadi bertanya-tanya dalam hati.
Bahkan kemudian terdengar suara Penjawi,
“Lalu bagaimanakah dengan Arya Salaka…?”
Tetapi seperti juga Jaladri, Penjawi memandang Arya Salaka yang disebut bernama Bagus Handaka itu tanpa berkedip. Sebab pada masa kanak-kanaknya, dengan Penjawi-lah Arya Salaka paling banyak bergaul. Karena itu sedikit banyak ia masih dapat mengenal wajah itu, meskipun sudah jauh berbeda.

MAHESA JENAR tidak menjawab, ia hanya tertawa kecil. Dan karena itulah maka Penjawi tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya ia berjalan jongkok ke arah Arya Salaka dan dengan suara parau ia berkata hampir berteriak sambil memukul-mukul lengan Arya yang sudah menjadi sekeras baja itu.
“Arya, alangkah mengagumkan kau. Benar-benar kau telah menjadi seekor banteng muda yang luar biasa kuatnya. Ah, alangkah malunya aku, yang semakin lama menjadi semakin kering.”
Bersamaan dengan itu tiba-tiba, hampir meledaklah suara membahana,
“Arya Salaka telah datang, Arya Salaka telah datang.”
Kemudian tampaklah laskar Banyubiru itu berdesak-desakan di pintu pondok sehingga pintu itu seolah-olah akan mereka tumbangkan karena menghalang-halangi mereka yang ingin melihat kehadiran Arya Salaka diantara mereka. Semua yang menyaksikan peristiwa itu menjadi sangat terharu. Bahkan Rara Wilis sampai menekan dadanya karena tiba-tiba terasa sesuatu menyumbat kerongkongannya.


<<< Bagian 053                                                                                              Bagian 055 >>>

No comments:

Post a Comment