KANIGARA menyusup ke semak-semak, mengambil jalan yang memotong. Ia menjadi agak lega dan memperlambat larinya. Apalagi ia terpaksa berusaha mengenal kembali jalan setapak yang dilaluinya itu, supaya ia tidak tersesat. Beberapa lama kemudian sampailah ia di tempat mereka berjanji untuk bertemu. Di situ telah menanti Mahesa Jenar, Bantaran, Nyi Penjawi dan seorang kakek tua ayah Nyi Penjawi. Dengan tersenyum Mahesa Jenar menyambut kedatangan Kebo Kanigara, katanya,
“Sudah puaskah
Kakang bermain-main dengan orang Pamingit?”
Sambil duduk
di samping Mahesa Jenar, Kanigara menjawab sambil tersenyum pula,
“Mereka adalah
kawan bermain yang baik. Orang-orang Pamingit itu ternyata ahli menunggang
kuda.”
Dengan
tersenyum pula Mahesa Jenar menjawab,
“Sayang mereka
tidak dapat bermain-main dengan senjata sebaik mereka naik kuda.”
Kemudian
dengan lesu Kanigara berkata seperti kepada diri sendiri,
“Aku terpaksa
melukai beberapa orang diantaranya. Sebab aku tidak dapat bermain-main dengan
senjata sebaik diantara mereka yang terbunuh.”
Mahesa Jenar
sama sekali tidak menyahut. Ia tahu betul perasaan Kebo Kanigara, bahwa
bukanlah pada tempatnya, dalam keadaan yang demikian, dimana ia tidak mempunyai
persoalan langsung dengan orang-orang Pamingit itu, tangannya terpaksa
menumpahkan darah. Tetapi dalam keadaan yang demikian, tak seorangpun yang akan
dapat menyalahkannya. Apalagi Bantaran. Sebagai seorang pemimpin laskar
Banyubiru, ia menjadi keheran-heranan, bahwa dalam pertempuran yang berlangsung
itu, dimana seorang harus melawan 10 orang bersama-sama, masih juga menyesal
kalau ia terpaksa membunuh lawannya. Sesaat kemudian keadaan menjadi sunyi.
Masing-masing membiarkan angan-angannya mengembara ke daerah yang berbeda-beda.
Kemudian terdengarlah kembali Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran,
“Bantaran… aku
masih ingin mendapat beberapa keterangan tentang laskarmu dan laskar Penjawi.
Sebab mau tidak mau, apabila Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti tetap pada
pendiriannya, kita akan memerlukannya.”
Bantaran
menggeser duduknya, kemudian menjawabnya,
“Laskar kami
sebenarnya tidaklah begitu banyak, Tuan. Apalagi sampai saat ini kami sama
sekali tidak mendapat bimbingan yang baik. Apakah artinya kami berdua. Aku dan
Penjawi. Sedang yang kami hadapi adalah Ki Ageng Lembu Sora dan putranya,
Sawung Sariti. Sedangkan tingkat keterampilan kami tidaklah lebih daripada
pengawal-pengawal Lembu Sora itu.”
“Tetapi
bagaimanakah dengan tekad mereka…?” sela Mahesa Jenar.
“Itulah yang
mendorong kami untuk tetap berjuang. Mereka ternyata bersedia menunggu pemimpin
mereka. Ki Ageng Gajah Sora atau putranya, Arya Salaka yang hilang itu.”
“Bagaimanakah
dengan Wanamerta?” Mahesa Jenar mencoba bertanya.
“Orang tua
itupun telah meninggalkan Banyubiru.” jawab Bantaran.
“Tetapi kami
belum mengetahuinya, di mana ia berada.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ia berkata,
“Bantaran,
agaknya Wanamerta benar-benar belum berhasil mencari hubungan dengan kalian.
Ketahuilah bahwa Wanamerta telah berhasil menyusul putra Ki Ageng Gajah Sora.”
“Arya
Salaka…?” potong Bantaran terkejut.
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar,
“Dan selama
ini Arya salaka dalam keadaan selamat.”
“Syukurlah,”
sahut Bantaran.
“Memang
demikianlah berita yang pernah aku dengar, meskipun aku belum meyakini
sebelumnya. Sekarang karena Tuan yang mengatakannya, maka aku dapat
mempercayainya.”
“Dari mana kau
dengar berita itu?” tanya Mahesa Jenar.
“Aku tidak
jelas sumbernya,” jawab Bantaran.
“Tetapi aku
kira dari orang-orang Pamingit. Sebab aku dengar mereka sedang mencari untuk
membunuhnya. Bahkan yang kami dengar Arya Salaka selalu bersama-sama dengan
Tuan.”
“Berita itu
benar. Hampir seluruhnya. Bahkan Sawung Sariti sendiri sudah untuk kedua
kalinya berusaha membunuh Arya Salaka dengan tangannya.”
Mendengar
keterangan itu, Bantaran mengangkat kepalanya. Bagaimanapun ia merasa
tersinggung atas kelakuan Sawung Sariti. Maka katanya,
“Untunglah
bahwa Arya Salaka dapat Tuan selamatkan.”
“Ia telah
dapat menyelamatkan dirinya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.
Bantaran
menjadi heran mendengar jawaban itu. Sawung Sariti pada saat-saat terakhir
telah menjadi seorang pemuda yang tangguh, berkat tuntunan kakeknya, Ki Ageng
Sora Dipayana. Meskipun seandainya Arya Salaka mendapat tuntunan dari Mahesa
Jenar, apakah anak itu akan dapat menyamai ketangguhan Sawung Sariti. Sebab Ki
Ageng Sora Dipayana adalah seorang yang sukar dicari tandingnya. Tetapi
Bantaran tidak mau menanyakannya. Ia takut kalau-kalau dengan demikian akan
dapat menyinggung perasaan Mahesa Jenar. Mahesa Jenar meneruskan,
“Yang penting
bagimu Bantaran, peliharalah tekad dan kesetiaan laskarmu terhadap perjuangan
yang telah dirintisnya. Dalam waktu yang singkat aku akan membawa Arya Salaka
ke tengah-tengah mereka.”
TIBA-TIBA dada
Bantaran terasa seolah-olah mengembang karena kegembiraan. Kalau Arya Salaka
berada di tengah-tengah mereka maka laskarnya akan menjadi laskar yang bertekad
baja, yang tidak lagi memperhitungkan hidup dan mati yang memang diluar
kekuasaan manusia.
“Karena itu…”
Mahesa Jenar meneruskan,
“Bersiaplah
menghadapi masa yang menentukan.”
“Baiklah
Tuan,” jawab Bantaran mantap.
“Akan kami
khabarkan hal ini kepada mereka supaya mereka merasa bahwa apa yang mereka
lakukan itu mempunyai arti bagi tanah perdikan mereka.”
“Kalau
demikian, ke manakah aku harus membawa Arya Salaka…?” sahut Mahesa Jenar.
“Ke Gedong
Sanga, Tuan,” jawab Bantaran cepat.
“Di sekitar
candi itu kami menempatkan laskar kami.”
“Baiklah. Dan
beruntunglah aku dapat bertemu dengan kau di sini, sehingga aku mendapat banyak
bahan untuk saat-saat terakhir.”
Setelah sekali
lagi Mahesa Jenar berjanji akan membawa Arya ke Candi Gedong Sanga, maka
bersama dengan Kebo Kanigara ia minta diri untuk segera kembali ke Karang
Tumaritis, dimana Arya Salaka pasti telah menunggunya.
Bersamaan
dengan itu, berangkat jugalah Bantaran lewat jalan-jalan hutan membawa istri
Penjawi beserta ayahnya untuk berkumpul kembali dengan laskarnya, setelah
beberapa hari ia berkeliaran di daerah sekitar Banyubiru untuk melihat
perkembangan daerah itu. Namun kali ini dengan bangga ia akan dapat berkata
kepada laskarnya tentang apa yang disaksikannya di Banyubiru, pertemuannya
dengan Mahesa Jenar yang tanpa diduga-duganya. Serta yang terakhir bahwa mereka
boleh mengharap, dalam waktu singkat Mahesa Jenar akan membawa Arya Salaka ke
tengah-tengah mereka.
Dalam
perjalanan kembali ke Karang Tumaritis, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tak
henti-hentinya memperbincangkan kemunduran-kemunduran yang terjadi di
Banyubiru. Kemunduran dalam segala bidang. Namun mereka masih menduga-duga
apakah sebabnya Ki Ageng Sora Dipayana masih berdiam diri. Mereka menempuh
perjalanan, melintasi padang-padang rumput, hutan hutan yang tidak begitu
lebat, mendaki lambung-lambung bukit, serta menuruni lereng-lerengnya, untuk
kemudian sampai ke daerah persawahan yang membentang luas di hadapan mereka,
setelah mereka bermalam di bawah bentangan langit biru. Pedukuhan yang tampak
di hadapan mereka, seperti pulau-pulau yang tersembul dari lautan, adalah
pedukuhan Gedangan. Oleh hembusan angin yang cepat-cepat lambat, butir-butir
padi yang sudah mulai menguning tampak seperti wajah lautan yang
berombak-ombak. Jauh di ujung desa tampaklah beberapa puluh orang perempuan
seperti semut yang terapung-apung, sudah mulai menuai padi. Mahesa Jenar dan
Kebo Kanigara melihat semuanya itu dengan wajah yang cerah. Mereka ikut
bersama-sama dengan para petani Gedangan, merasa gembira bahwa hasil jerih
payah mereka selama beberapa bulan kini sudah dapat dipetik hasilnya. Lebih
daripada itu, Mahesa Jenar melihat benar-benar kemajuan yang telah dicapai oleh
pedukuhan kecil ini dalam bidang pertanian. Setelah puas memandang sawah yang
terbentang di hadapan mereka itu, segera mereka menarik kekang kuda
masing-masing, dan berjalanlah kuda-kuda mereka seenaknya. Burung-burung liar
yang terkejut karena suara telapak kaki kuda itu, beterbangan terpencar-pencar.
Sedang butiran-butiran padi yang penuh berisi, seolah-olah merundukkan
batang-batang mereka kepada kedua orang yang baru datang itu.
Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara bagi orang-orang Gedangan adalah orang-orang yang sangat
dihormati. Karena mereka berdua telah banyak memberikan jasa mereka kepada
pedukuhan kecil itu. Karena itu ketika seseorang melihat kehadiran mereka, ia
segera berlari-lari melaporkannya kepada pejabat-pejabat pedukuhan, sehingga
sesaat kemudian ributlah pendapa kelurahan Gedangan. Mereka segera bersiap-siap
untuk menyambut kedatangan tamu-tamu mereka. Ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
sampai di halaman kelurahan, bahkan mereka menjadi terkejut. Mula-mula mereka
heran, apakah yang terjadi di kelurahan itu sehingga banyak orang hilir-mudik
ke sana ke mari. Tetapi ketika akhirnya mereka mengetahui duduk perkaranya,
mereka menjadi geli. Hal yang sedemikian itu sebenarnya sama sekali tak mereka
kehendaki. Sebab apa yang mereka lakukan tidak lebih dan tidak kurang daripada
melakukan kewajiban mereka, sebagai manusia yang mengabdikan diri pada
sumbernya serta hasil pancaran dari sumber itu. Tetapi rakyat Gedangan itu
menjadi kecewa ketika mereka mengetahui bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
tidak dapat terlalu lama tinggal di pedukuhan mereka, sebab suatu kewajiban
yang penting telah menanti. Mereka hanya dapat bermalam satu malam saja, untuk
seterusnya mereka minta diri meneruskan perjalanan ke Karang Tumaritis.
Sedangkan kuda-kuda yang dipinjamnya, masih belum mereka kembalikan, bahkan
Mahesa Jenar telah berpesan apabila diperlukan mereka masih akan meminjamnya
lebih banyak lagi nanti.
“Berapa ekor
lagi yang akan Tuan perlukan…?” tanya Wiradapa.
“Lima atau
enam ekor,” jawab Mahesa Jenar kepada Lurah Gedangan itu.
“Baiklah Tuan,
kuda-kuda itu akan kami sediakan sejak hari ini,” sahut Wiradapa, dan
seterusnya ia berkata,
“Kecuali itu,
perkenankan kami mengundang Tuan berdua beserta sahabat dan putra-putra Tuan
untuk mengunjungi pedukuhan kami ini pada akhir bulan.”
“Apakah
keperluan kalian…?” tanya Mahesa Jenar.
“Kami akan
mengadakan upacara bersih desa. Sebagai pernyataan terimakasih dan kegembiraan
kami atas karunia Tuhan yang telah menjadikan sawah-sawah kami bertambah subur
serta tanaman-tanaman kami selamat dari gangguan hama.”
Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara tersenyum.
“Baiklah,”
jawab mereka hampir bersamaan.
MAHESA JENAR
dan Kebo Kanigara segera berangkat ke bukit kecil yang dinamai oleh penghuninya
Karang Tumaritis. Ketika matahari telah sampai di atas kepala mereka, sampailah
mereka di atas bukit kecil itu. Perjalanan mereka di atas punggung kuda
seakan-akan merupakan tamasya yang menyenangkan. Kedatangan mereka disambut
dengan meriah oleh penghuni bukit kecil itu. Para cantrik dan endang.
Lebih-lebih lagi, betapa gembira hati Endang Widuri yang telah beberapa lama
ditinggalkan oleh ayahnya. Untunglah bahwa saat itu ia sudah mempunyai kawan
bermain yang dapat melayaninya, yaitu Rara Wilis. Arya Salaka pun menjadi
sangat gembira. Sebab hanya dialah yang mengetahui, walaupun hanya sedikit,
bahwa apa yang dilakukan oleh gurunya beserta Kebo Kanigara adalah tugas yang
berbahaya. Ketika mereka sudah beristirahat beberapa lama, bertanyalah Kebo
Kanigara kepada anaknya,
“Widuri,
apakah Panembahan dalam keadaan sehat…?”
Dengan
manjanya Widuri menjawab,
“Yang aku
ketahui, sepeninggal ayah, Panembahan mengurung dirinya di dalam sanggar sampai
berhari-hari. Tak seorang pun yang diperkenankan ikut serta. Bahkan makanan pun
telah dibawanya sendiri sejak Panembahan mulai dengan samadinya.”
Kebo Kanigara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi tahulah ia, dan juga Mahesa Jenar tahu,
bahwa sebenarnya Panembahan Ismaya pada saat itu sedang pergi meninggalkan
padepokan untuk menyusulnya ke Pudak Pungkuran, dimana ia bersama-sama dengan
Mahesa Jenar sedang menemui Radite dan Anggara.
“Apakah beliau
sekarang masih berada di dalam sanggar?” tanya Kanigara kemudian.
Widuri
menggeleng. Jawabnya,
“Sudah hampir
seminggu Panembahan wudhar dari samadinya.”
Sambil
memandang kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara berkata,
“Kalau
demikian, baiklah kita menghadap.”
Mahesa Jenar
menyetujuinya pula. Dan ketika mereka sudah melangkah sampai luar pintu pondok,
menyusullah Arya Salaka sambil berbisik,
“Paman,
Panembahan agak menyesal ketika aku katakan tentang kepergian Paman berdua.”
Kanigara dan
Mahesa Jenar terhenti. Tetapi kemudian mereka berdua tersenyum.
Jawab
Kanigara,
“Kami akan
mencoba menjelaskan kepada Panembahan.”
“Mudah-mudahan
Panembahan dapat mengerti,” sahut Arya Salaka.
“Aku kira
demikian,” sahut Mahesa Jenar.
“Nanti sesudah
kami menghadap, aku beritahukan kepadamu.”
Arya Salaka
mengangguk, tetapi hatinya masih juga gelisah. Jangan-jangan Panembahan masih
tetap kecewa terhadap gurunya serta Kebo Kanigara.tetapi ia sudah tidak berani
bertanya lagi.
Ketika Kebo
Kanigara dan Mahesa Jenar sampai di rumah kediaman Panembahan Ismaya,
Panembahan tua itu ternyata sedang duduk dihadap beberapa orang cantrik tertua.
Agaknya ada sesuatu yang sedang mereka perbincangkan. Ketika dilihatnya
kedatangan Kabo Kanigara dan Mahesa Jenar, maka dengan perasaan gembira mereka
berdua disambutnya serta segera dipersilakan masuk.
“Marilah
Angger berdua… beberapa hari aku menjadi gelisah atas kepergianmu berdua.
Syukurlah kalau kau berdua tidak menemui halangan sesuatu.”
Kebo Kanigara
dan Mahesa Jenar mengangguk hormat, sebagai pernyataan bakti mereka kepada
Panembahan tua itu.
“Agaknya kalian
berdua menjadi gembira karena perjalanan itu…? Ternyata wajah kalian bertambah
segar,” sambung Panembahan Ismaya.
Kebo Kanigara
dan Mahesa Jenar tidak menjawab. Mereka hanya menundukkan muka mereka. Sebab
tak ada yang akan mereka katakan, karena Panembahan Ismaya telah mengetahui
seluruhnya. Tetapi tiba-tiba Panembahan Ismaya berkata kepada para cantrik,
“Cantrik-cantrik
sekalian… aku perkenankan kalian meninggalkan ruangan ini. Sediakanlah makan
siangku. Aku ingin setelah ini makan bersama-sama dengan Kanigara dan Mahesa
Jenar.”
Maka mundurlah
para cantrik dari ruangan itu, untuk mempersiapkan makan siang Panembahan
Ismaya. Sepeninggal para cantrik, barulah Panembahan bertanya segala sesuatu
mengenai perjalanan kembali Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Dan kepada
Panembahan itu diceritakan pula bagaimana keadaan Banyubiru sekarang.
Kemunduran dalam segala bidang, terutama kemunduran akhlak.
“Panembahan…”
kata Mahesa Jenar kemudian,
“Menurut
pertimbanganku, segala sesuatu yang terjadi di Banyubiru itu harus segera
dihentikan, dengan mengembalikan Arya Salaka ke sana. Atau lebih-lebih kalau
mungkin Kakang Gajah Sora.”
Panembahan
Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa ditagih janji, sebab merasa
berkesanggupan untuk membebaskan Gajah Sora. Tetapi untuk melaksanakan
kesanggupan itu agaknya tidak terlalu mudah. Karena itu ia menjawab,
“Kau benar
Mahesa Jenar. Bawalah Arya Salaka lebih dahulu. Aku masih belum dapat
membebaskan ayahnya. Aku harap hal itu segera terjadi. Dan bukankah akan sangat
menggembirakan kalau Gajah Sora nanti dapat kembali ke Banyubiru setelah
Banyubiru dapat dipulihkan…? Dan apa yang terjadi sebelum itu, seolah-olah
hanya suatu peristiwa dalam mimpi, meskipun mimpi yang menyedihkan.”
Mahesa Jenar
masih merenungkan masalah-masalah yang akan dihadapinya. Kalau saja tidak ada
persoalan yang lebih besar, yang akan langsung mempengaruhi pemerintahan Demak,
maka cara yang semudah-mudahnya untuk membebaskan Ki Ageng Gajah Sora adalah
menyerahkan kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Tetapi ternyata cara
itu tidak dapat ditempuhnya. Sebab Banyubiru bagi Demak hanyalah merupakan
sebagian saja dari seluruh persoalan. Namun ia percaya kepada Panembahan
Ismaya. Panembahan itu pasti akan menemukan suatu cara untuk membebaskan Gajah
Sora. Dengan atau tanpa Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
SYUKURLAH
kalau kalau nanti Gajah Sora dapat menjumpai tanah perdikan sudah pulih
kembali, meskipun belum seluruhnya. Tetapi setidak-tidaknya Gajah Sora merasa
bahwa ia kembali ke tanahnya sendiri, seperti pada saat ditinggalkan. Kemudian
diceritakan pula oleh Mahesa Jenar pertemuannya dengan Bantaran, salah seorang
pemimpin laskar Banyubiru, serta pasukannya di sekitar Candi Gedong Sanga.
Akhirnya Panembahan Ismaya menyetujui permintaan Mahesa Jenar untuk mengajak
Kanigara serta dalam usahanya mengembalikan Banyubiru ke dalam tangan Arya
Salaka. Sebab tanpa orang-orang yang lebih tua itu, Arya Salaka tidak akan
mampu melakukan pekerjaan berat itu.
“Tetapi kau
jangan terlalu tergesa-gesa, Mahesa Jenar…” Panembahan Ismaya menasihati,
“Sebab apa
yang akan dilakukan oleh Arya Salaka adalah pekerjaan yang sulit. Mula-mula kau
harus berusaha untuk menjelaskan masalahnya tanpa pertumpahan darah. Kau dapat
membawa laskar yang dipimpin Bantaran hanya untuk membuat keadaan seimbang,
supaya keseimbangan itu diperhitungkan pula oleh Lembu Sora. Sebab apabila ia
hanya berhadapan dengan kalian berdua beserta Arya Salaka, maka mereka pasti
akan berkeras kepala. Selain daripada itu, kau harus mempersiapkan Arya Salaka untuk
menghadapi setiap kemungkinan yang akan terjadi. Lahir dan batin. Supaya dalam
setiap keadaan hatinya tidak terguncang dan kehilangan keseimbangan.”
Mahesa Jenar
mendapat banyak sekali bekal yang perlu baginya untuk memenuhi kesanggupannya
kepada Ki Ageng Gajah Sora, pada saat orang itu pergi meninggalkan Banyubiru,
dan menitipkan anaknya kepadanya. Setelah makan siang bersama-sama dengan
Panembahan Ismaya dan Kebo Kanigara, maka segera Mahesa Jenar minta diri untuk
beristirahat. Namun demikian ia tidak dapat melepaskan diri dari
persoalan-persoalan yang selalu membelit hatinya, persoalan Banyubiru. Agaknya
Arya Salaka pun hampir tidak sabar menanti Mahesa Jenar. Ketika ia melihat
gurunya itu datang, segera ia bertanya, apakah Panembahan Ismaya marah kepadanya.
Dengan tersenyum Mahesa Jenar menjawab,
“Panembahan
bukanlah orang yang dapat marah. Apakah kau pernah melihat Panembahan marah?”
Arya
menggeleng, tetapi ia menjawab,
“Aku selalu
cemas bahwa Panembahan akan marah untuk pertama kalinya kepada Paman dan Paman
Kanigara.”
Mahesa Jenar
tertawa kecil. Kemudian sahutnya,
“Tidak.
Panembahan tidak marah. Ia hanya memberi aku dan Kakang Kanigara nasihat. Dan
nasihat-nasihat itu akan sangat berguna bagiku dan Kakang Kanigara.”
Sejak saat itu
Mahesa Jenar mencoba untuk memberi penjelasan kepada Arya Salaka untuk
melengkapi pengetahuannya tentang keadaan sebenarnya yang terjadi di Banyubiru.
Karena Arya Salaka sekarang menurut anggapan Mahesa Jenar telah cukup siap
untuk mengetahui segala-galanya, maka Mahesa Jenar kini tidak lagi
menyembunyikan sesuatu.
Juga
dijelaskan apa yang sekarang terjadi kalau keadaan yang demikian dibiarkan
berlarut-larut. Arya Salaka mendengarkan semua penjelasan itu dengan menekan
dada. Ia telah dapat merasakan betapa jeleknya keadaan Banyubiru sepeninggal
ayahnya. Hampir setiap malam ia duduk bercakap-cakap dengan Mahesa Jenar, yang
kadang-kadang ditemani Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri. Apa yang
mereka percakapkan selalu berkisar pada masalah Banyubiru. Apalagi kalau
Wanamerta berkesempatan untuk ikut serta berbicara. Banyak sekali cerita yang
dapat membakar dada Arya Salaka. Sebagai orang tertua, yang pada saat Gajah
Sora meninggalkan Banyubiru menerima tanda pemerintahan Pusaka Kyai Bancak, dan
yang selajutnya kehadirannya di Banyubiru oleh Ki Ageng Lembu Sora sama sekali
tidak diperhitungkan, bahkan disingkirkan dengan satu cara yang keji, ia
benar-benar sakit hati. Disamping semua penjelasan, untuk mempersiapkan Arya
Salaka menghadapi keadaan-keadaan di Tanah Perdikan yang sudah kira-kira lima
tahun ditinggalkan, ia selalu menerima pula tuntunan-tuntunan lahiriah. Setiap
hari ia masih harus berlatih sekeras-kerasnya. Menambah pengetahuan tata
pertempuran dan olah senjata. Dalam keadaan yang demikian, terasalah betapa
perkembangan jasmaniah Arya Salaka menjadi bertambah cepat setelah orang aneh
yang mengenakan jubah memijiti hampir seluruh tubuhnya pada suatu malam,
setelah ia bertempur melawan Sawung Sariti.
Untunglah
bahwa di bukit kecil itu ia mempunyai banyak kawan berlatih. Endang Widuri yang
memiliki cabang keturunan ilmu yang sama dengan ilmunya. Rara Wilis dari
Perguruan Pandan Alas. Serta Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Meskipun
sebenarnya Arya Salaka kadang-kadang bertanya di dalam hati tentang persamaan yang
sedemikian dekatnya antara Kebo Kanigara dengan gurunya, Mahesa Jenar, namun
pertanyaan itu tetap disimpannya. Sejalan dengan itu, kadang-kadang ia menjadi
heran pula, bahwa ilmu gurunya sendiri agaknya menjadi jauh berkembang,
seolah-olah berkembang dengan sendirinya. tetapi juga keheranan ini disimpannya
di dalam hati. Sudah tentu bahwa dalam keadaan demikian tidak saja Arya Salaka
sendiri yang berhasil memperkuat dirinya lahir-batin, tetapi juga
kawan-kawannya berlatih. Mereka ternyata saling menerima dan memberi. Ilmu
pedang yang luar biasa lincahnya, dari perguruan Pandan Alas, dalam
keserasiannya dengan ilmunya. Sebaliknya, keteguhan serta gerak-geraknya yang
kuat dapat mempengaruhi keterampilan Rara Wilis. Sedangkan kenakalan Endang
Widuri pun kadang-kadang dapat memberi banyak ilham kepada Arya, sehingga dalam
ilmunya kadang-kadang sifat itu terungkap dalam gerak-gerak yang tampaknya
tidak masuk akal dan kurang berhati-hati, namun sebenarnya mempunyai segi-segi
yang mengelabuhi lawan.
KETIKA segala
sesuatunya telah dirasa cukup, sampailah Mahesa Jenar pada taraf terakhir dari
pekerjaannya menjelang keberangkatan mereka ke Banyubiru, yaitu mematangkan
jiwa Arya Salaka menghadapi segala macam kemungkinan. Kemungkinan yang paling
menyenangkan sampai kemungkinan terakhir yang dapat saja terjadi. Yaitu gugur
dalam menunaikan kewajiban sucinya.
Tetapi jiwa
Arya memang sudah mendapat tempaan yang luar biasa sejak bertahun-tahun
terakhir. Kesulitan hidup yang hampir setiap hari dijalani, sulit lahir-batin,
adalah bekal yang baik dalam pekerjaannya itu. Disamping itu, Mahesa Jenar
tidak pula lupa menunjukkan, bahwa apa yang akan dilakukan itu adalah suatu
usaha. Usaha yang wajib diperjuangkan oleh manusia untuk mencapai cita-citanya,
namun segala keputusan terakhir dari semua masalah, terletak ditangan Tuhan
Yang Maha Kuasa. Akhirnya Mahesa Jenar menyampaikan segala macam persiapan dan
anggapannya, bahwa segala sesuatunya sudah cukup, kepada Panembahan Ismaya.
Bersamaan dengan itu, ia mohon diri bersama muridnya untuk menunaikan
kewajibannya, serta sekali lagi ia mohon kepada Panembahan untuk mengizinkan
Kebo Kanigara pergi bersamanya. Panembahan Ismaya memandang Mahesa Jenar dengan
hampir tak berkedip. Ini adalah suatu masalah yang paling rumit, yang selalu tumbuh
hampir setiap saat. Alangkah menyedihkan, bahwa seseorang melakukan persiapan
sampai seteliti-telitinya untuk melakukan tindakan kekerasan. Padahal,
seharusnya setiap bentuk kekerasan pasti harus ditentang. Tetapi ia tidak dapat
menyembunyikan kenyataan, bahwa diantara anak manusia di dunia ini masih saja
ada yang sama sekali tidak menghiraukan kemanusiaannya, yang dengan segala
macam cara, menindas manusia-manusia yang lain.
Dan terhadap
manusia-manusia yang demikian itu, wajarlah bahwa ada usaha-usaha untuk
mencegahnya. Usaha terakhir pencegahan itu adalah dengan cara yang sama sekali
menyimpang dari tuntutan cinta kasih manusia. Sebab kadang-kadang yang harus
dilakukan adalah nampaknya berlawanan dengan ungkapan cinta kasih itu sendiri.
Yaitu kekerasan, perkelahian dan bahkan kadang-kadang persoalan hidup dan mati.
Karena persoalan-persoalan yang sedemikian itulah, maka selalu timbul
pertentangan di dalam diri. Pertentangan antara hakekat dari pengabdian diri
terhadap manusia sebagai tempat untuk meletakkan pengabdian yang tertinggi
dengan penuh cinta kasih sebagaimana Tuhan melimpahkan cinta kasihnya kepada
manusia, serta kenyataan bahwa manusia itu sendiri telah menodainya. Di sinilah
kadang-kadang dijumpainya persimpangan jalan antara tujuan dengan cara
pengabdian. Namun demikian bukanlah segala cara dapat dibenarkan untuk mencapai
tujuan. Sebab dalam hal yang demikian kaburlah batas antara tujuan yang hendak
dicapai dengan mengorbankan tujuan itu sendiri, sebagai puncak pengabdian.
Dalam hal yang demikian itu, apabila segala macam cara dapat dibenarkan, maka
akan timbullah fitnah, kebiadaban, kekejaman dan kesewenang-wenangan, yang
justru menghilangkan nilai tertinggi dan tujuannya, yaitu manusia.
Terhadap
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, Panembahan Ismaya tidak tedheng aling-aling.
Dan karena itulah maka Panembahan Ismaya sendiri masih mempergunakan dua bentuk
selama ini. Orang berjubah abu-abu yang sakti dan seorang Panembahan yang
menjauhkan diri dari daerah keduniawian. Mendengar uraian itu Kebo Kanigara dan
Mahesa Jenar hanya dapat menundukkan wajah mereka dengan takzimnya. Namun
didalam dada mereka bergolaklah pertanyaan-pertanyaan yang tak terucapkan.
Pertanyaan tentang diri mereka, tentang Arya Salaka yang terusir dari
Banyubiru, dan tentang hak yang sudah terampas dari tangannya. Namun meskipun
pertanyaan itu tidak terucapkan, agaknya Panembahan Ismaya dapat mengertinya.
Karena itu katanya, “Karena itu Mahesa Jenar, kau harus dapat mencari
keserasian dari cara dan tujuan pengabdian. Dan dari sinilah nanti akan tampak,
bahwa seseorang memiliki ketinggian budi yang tidak sama. Ada orang yang
berbudi luhur dan berjiwa besar dan ada orang yang berbudi rendah dan berjiwa
kecil. Ada orang yang mengumandangkan nilai-nilai kemanusiaan, namun akan seribu
satu macam semboyan, tetapi nilai-nilai kemanusiaan itu tercermin dalam tindak
tanduknya sehari-hari. Seorang yang menganggap dirinya pendukung nilai-nilai
kemanusiaan, tetapi ia mengorbankan manusia untuk mempertahankan kepentingan
diri sendiri yang dipancangkannya di atas tumpukan bangkai-bangkai. Namun
sebaliknya ada orang yang dengan berdiam diri membangun nilai-nilai itu dalam
lingkungan yang jauh dari pamrih untuk mencemerlangkan diri.
SETELAH
berhenti sejenak, Panembahan Ismaya meneruskan,
“Karena itulah
Mahesa Jenar, aku tidak dapat mencegah Arya Salaka untuk mengambil haknya
kembali. Untuk mengambil kekuasaan yang ada di Banyubiru dari tangan adik atau
pamannya. Sedang kekuasaan itu sendiri bukanlah hal yang selalu baik atau tidak
baik. Hampir semua orang di dunia ini menginginkan kekuasaan. Dalam bentuk yang
besar atau dalam ujud yang lebih kecil serta dalam lingkungan yang kecil pula.
Namun yang harus dinilai kemudian adalah bagaimana kekuasaan itu dipergunakan.”
Kemudian
Panembahan Ismaya meneruskan lagi,
“Akhirnya,
bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan itulah, yang menentukan bentuk dari
kekuasaan yang berada di dalam tangannya. Apakah ia mengabdikan kekuasaan itu
untuk nilai-nilai kemanusiaan ataukah dengan kekuasaannya ia justru
menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan itu.”
Setelah
berhenti sejenak, Panembahan kembali berkata,
“Mahesa Jenar,
aku harap kau dapat memahaminya. Selanjutnya aku mengharap, bahwa Arya Salaka
akan dapat mendengarnya pula darimu. Karena kau adalah gurunya, maka aku kira kaulah
orang paling dekat di hatinya. Kaulah yang akan dapat memberitahukan kepadanya,
bahwa kekuasaan yang berada kembali ditangannya nanti harus menemukan titik
sasaran yang benar. Seperti tombak lambang kebesaran Banyubiru yang dibawanya
itu. Tombak itu dapat dipergunakannya untuk melindungi diri serta orang lain.
Namun tombak itu di tangan orang yang tidak bertanggungjawab dapat dipergunakan
untuk membunuh kawan seiring. Nah Mahesa Jenar, pergilah. Ingat, pengabdianmu
harus kau tujukan kepada manusia. Tidak kepada kedudukan, harta benda dan
nafsu. Dan pengabdianmu itu merupakan unsur terpenting dari kebaktianmu yang
tertinggi. Bakti dengan tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara menundukkan wajahnya semakin dalam. Tak ada satu patah kata
pun yang sisip dari hatinya, dari pendiriannya. Memang demikianlah tujuan
pengabdian yang selama ditempuhnya. Karena itu, setiap kata yang diucapkan oleh
Panembahan Ismaya itu telah mempertebal keyakinannya. Di dalam hati ia berjanji
untuk menuangkan pengertiannya itu sejauh-jauhnya kepada Arya Salaka. Sebab di
tangan Arya Salakalah letak kekuasaan Banyubiru di masa datang. Rombongan itu
mula-mula singgah di Gedangan untuk mendapat pinjaman kuda, disamping mereka
memenuhi undangan Wiradapa untuk mengunjungi upacara bersih desa. Upacara yang
diselenggarakan setiap para penduduk Gedangan selesai dengan musim menuai padi.
Demikian pula kali ini. Mereka bersuka ria karena panenan mereka berhasil. Pada
malam itu, ketika rombongan Mahesa Jenar bermalam di Gedangan, suasana desa itu
benar-benar meriah. Mereka menyelenggarakan peralatan bersama di sebuah tanah
lapang kecil di tengah-tengah desa mereka. Setiap keluarga datang dengan
membawa ancak berisi berbagai macam makanan. Nasi beserta lauk-pauknya dan
bermacam-macam jenis masakan yang lain. Bahkan ada yang membawa jodhang penuh
dengan masakan yang enak. Makanan juadah, jenang alot, tasikan, sagon, lapis
dan sebagainya.
Maka apabila
upacara-upacara adat telah selesai, maka segera makanan mereka itu dibagi
bersama-sama dan dimakan bersama-sama pula. Peralatan itu benar-benar merupakan
peralatan yang meriah. Sedangkan hampir seluruh desa mereka dihiasi dengan
janur-janur kuning yang mereka sangkutkan di setiap regol halaman. Dan di
hadapan regol desa mereka letakkan hiasan yang termeriah, dengan janur-janur
kuning, daun topengan dan daun-daun yang berwarna-warni. Merah, kuning, hijau
dan berbelang-belang. Demikian pula dinding yang melingkari desa mereka serta
sepanjang dinding halaman rumah-rumah, terpancang berpuluh-puluh bahkan
beratus-ratus oncor yang menjadikan desa mereka terang-benderang seolah-olah
siang. Anak-anak Gedangan pun mendapat bagian pula. Semalam suntuk mereka tidak
tidur. Setelah mereka lelah berlari-larian ke sana ke mari, mereka dapat
menikmati pertunjukan wayang beber. Pertunjukan yang mengisahkan kepahlawanan,
yang dipetik dari ceritera Mahabarata. Rombongan kecil Mahesa Jenar dapat ikut
pula menikmati kemeriahan malam bersih desa di Gedangan itu. Mereka ikut serta
bergembira bersama-sama penduduk Gedangan dan kemudian ikut serta dengan mereka
mengunjungi pertemuan di pendapa Kelurahan serta menikmati upacara tari-tarian
sebagai pernyataan terima kasih pula atas panenan mereka yang berhasil.
Tetapi dalam
pada itu, Arya Salaka menjadi semakin trenyuh di dalam hati. Teringatlah segala
kemeriahan upacara di Tanah Perdikan Banyubiru pada masa kecilnya. Pada masa
ayahnya masih memimpin tanah itu. Dan karena itulah tekadnya menjadi semakin
bulat. Ia harus mendapatkan kembali tanah itu. Ia berjanji di dalam hatinya,
apabila ia harus mewakili ayahnya dalam pemerintahan tanah perdikan itu, yang
dilakukannya harus menguntungkan rakyatnya. Membina kembali Banyubiru dalam
segala seginya. Dan ia harus dapat menjadikan Banyubiru sebagai idaman ayahnya.
Menjadikan Banyubiru gemah ripah lohjinawi kertaraharja. Dimana setiap orang
dapat menikmati kesuburan tanah kampung halamannya, dimana setiap orang dapat
menikmati cerahnya matahari dan bulatnya bulan di malam hari. Menikmati
ketenteraman hidup dan tanpa kegelisahan menjelang hari tuanya. Cukup sandang,
cukup pangan. Sejahtera lahir dan batin. Setelah mereka bermalam dua malam di
Gedangan, rombongan kecil itu melanjutkan perjalanan. Mereka diantar oleh
hampir segenap penduduk Gedangan sampai ke regol desa mereka. Dengan penuh
kebanggaan mereka memandang debu yang mengepul dilemparkan oleh derap kaki-kaki
kuda yang berlari seenaknya. Seolah-olah mereka melihat rombongan pasukan
berkuda yang tak terkalahkan menuju ke medan pertempuran.
SETELAH Mahesa
Jenar, Kebo Kanigara dan rombongannya bermalam satu malam, maka pada hari
berikutnya ketika matahari telah condong ke barat, sampailah mereka di daerah
pegunungan Sumawana. Suatu daerah pegunungan yang menurut dongeng rakyat,
adalah pegunungan dimana Prabu Dasamuka ditimbun dengan tanah oleh Pahlawan
Kera yang berbulu putih, Hanoman. Karena kepercayaan itulah maka di daerah
pegunungan itu, tidak diperkenankan membawa tuak atau semacam minuman keras
yang lain. Sebab apabila ada orang yang melanggar pantangan itu, Prabu
Dasamuka, yang tidak dapat mati, akan menggeram dan mengguncang-guncang gunung
yang menimbuninya, sebab tuak adalah jenis minuman yang sangat digemarinya.
Rakyat yang hidup di daerah itu, meskipun sangat jarang, tidak pernah takut
seandainya Prabu Dasamuka itu dapat menjebol tanah yang menimbuninya. Sebab di
dekatnya adalah bukit yang terkenal bernama Kendalisada. Di bukit itulah
Hanoman bertapa dan sekaligus menunggui gunung yang dipakainya untuk menimbun
tubuh Prabu Dasamuka. Ketika rombongan kecil itu sampai di sekitar bukit
Sumawana, mereka menghentikan perjalanan mereka. Daerah ini sudah dekat benar
dengan daerah Candi Gedong Sanga. Karena itu mereka harus berhati-hati. Sebab
apabila ada salah paham, mungkin akan menimbulkan hal-hal yang tidak mereka
kehendaki. Karena itu mereka tidak maju lagi, tetapi mereka bermaksud bermalam
di daerah itu.
Pada malam
itulah Mahesa Jenar berhasrat memancing orang-orang Banyubiru yang bersembunyi
di sekitar daerah itu dibawah pimpinan Bantaran dan Penjawi. Karena itu, maka
ketika malam telah turun dengan kelamnya, segera Mahesa Jenar menyalakan api
sebesar-besarnya. Ia yakin bahwa laskar Pamingit tidak akan sampai berkeliaran
sedemikian jauhnya, apalagi mereka mengerti bahwa sebagian laskar Bantaran dan Penjawi
ada di sekitar daerah Banyubiru. Dan apa yang diharapkan terjadilah. Ketika
mereka sedang menikmati jadah sisa bekal mereka dari Gedangan yang mereka
panggang di atas api, tiba-tiba terdengarlah gemersik daun-daun di sekitarnya.
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan hampir semua orang dalam rombongan itu
mengetahuinya, namun mereka masih berpura-pura tidak mendengarnya. Sebentar
kemudian terdengarlah beberapa orang berloncatan dengan senjata di tangan.
Dengan
lantangnya seorang yang memimpin laskar itu berkata,
“Ki Sanak, aku
harap Ki Sanak tidak melawan. Kami tidak ingin berbuat jahat, tetapi kami ingin
mengetahui siapakah kalian.”
Mahesa Jenar
mengangkat mukanya. Ia sama sekali tidak berkata apa-apa. Sambil tersenyum ia
mengangkat tangannya menunjuk Wanamerta yang duduk di sudut perapian sambil
membenamkan dirinya di dalam kainnya. Ketika orang itu melihat Wanamerta,
tiba-tiba wajahnya jadi tegang. Untuk beberapa saat ia bahkan berdiam diri
seperti patung, tetapi tiba-tiba ia meloncat dan berjongkok di hadapannya
sambil berteriak,
“Kiai, adakah
benar ini Kiai Wanamerta.”
Orang tua itu
tersenyum. Tersenyum lucu sekali. Tetapi semua orang yang menyaksikannya
menjadi ikut terharu ketika di sela-sela senyumnya tampak diantara pelupuk mata
orang tua itu membayang butiran-butiran air mata.
Serta dengan
suara parau ia menjawab,
“Ya, inilah
Wanamerta yang tua. Bukankah kau Jaladri?”
“Ya,” sahut
pemimpin laskar itu.
“Bagaimanakah
Kiai dapat sampai di tempat ini?”
“Hemm….” desis
Wanamerta, lalu katanya,
“Kenalkah kau
dengan Anakmas Mahesa Jenar?”
“Mahesa
Jenar…?” ulang Jaladri,
“Ya tentu aku
mengenalnya. Lima tahun yang lalu, ia pernah tinggal di Banyubiru untuk
beberapa lama.”
“Itulah dia,”
potong Wanamerta sambil menunjuk Mahesa Jenar.
Jaladri
menoleh kepada Mahesa Jenar. Memang ia pernah mengenalnya. Lima tahun yang
lalu. Karena itu ia agak pangling. Baru ketika ia telah memperhatikan beberapa
lama, ia menjadi jelas, bahwa memang orang itulah yang pernah dikenalnya
bernama Mahesa Jenar. Karena itu segera ia menggeser diri duduk sambil
membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar, sambil berkata,
“Maafkan kami,
Tuan. Kami hampir tidak dapat mengenal Tuan setelah sekian lama berpisah.
Apalagi sebelumnyapun aku tidak begitu dekat dengan Tuan.”
Mahesa Jenar
menjawab dengan hormatnya pula.
“Adalah hal
yang wajar kalau kau tidak mengenal aku lagi. Waktu itu aku tidak mempunyai
waktu banyak untuk tinggal lebih lama lagi di Banyubiru. Apalagi kita sudah
terlalu lama tidak bertemu. Tetapi untunglah bahwa kau mengenal Paman Wanamerta.”
“Kepada Kiai
Wanamerta, berapa puluh tahun aku terpisah, namun aku masih akan dapat
mengenalnya. Dan bahkan semua orang Banyubirupun akan tetap mengenalnya,” jawab
Jaladri.
“Bagus,” sahut
Mahesa Jenar.
“Sebab ia
adalah tetua Banyubiru. Kalau kau lupa kepadanya, berarti kau telah lupa kepada
kampung halaman itu”.
“Benar Tuan,”
jawab Jaladri, kemudian dengan agak ragu-ragu ia bertanya,
“Tetapi,
menurut Kakang Bantaran, bukankah Tuan berjanji untuk membawa Arya Salaka
kepada kami?”
Mahesa Jenar
tersenyum. Agaknya Bantaran telah mengumumkan kesanggupannya itu kepada anak
buahnya. Kemudian dengan tertawa lirih ia berkata.
“Cobalah
Jaladri, carilah diantara kami, adakah Arya Salaka serta?”
Jaladri
menjadi ragu. Ia memandang satu persatu kawan-kawan seperjalanan Mahesa jenar.
Mahesa Jenar sendiri, lalu seorang yang berumur agak lebih tua sedikit dari
Mahesa Jenar, disampingnya duduk bersimpuh seorang gadis kecil. Di dekatnya
duduk bersila seorang gadis yang berpakaian laki-laki, dan di ujung duduk
bersilah pula seorang pemuda yang gagah, kuat sentosa. Di pinggangnya terselip
sehelai tombak yang bertangkai pendek.
JALADRI masih
tetap ragu-ragu. Ia tidak berani menebak satu diantaranya. Meskipun apabila
Arya Salaka ada diantaranya, yang paling mungkin adalah pemuda yang gagah itu.
setelah beberapa lama ia menimbang-nimbang, akhirnya ia menjawab,
“Aku tidak
tahu Tuan Arya Salaka. Pada saat meninggalkan Banyubiru masih terlalu kecil
bagi yang ada sekarang.”
Meskipun
demikian mata Jaladri tidak lepas dari pemuda tegap yang duduk bersila sambil
menundukkan mukanya. Mahesa Jenar tertawa pendek, demikian pula Kebo Kanigara.
Tetapi dengan demikian, Rara Wilis, Widuri, Wanamerta, dan bahkan Arya Salaka
sendiri. Jaladri mempunyai dugaan yang benar. Meskipun demikian Mahesa Jenar
tidak segera membenarkan dugaan itu.
Dengan tegak
berdiri ia berkata,
“Jaladri…
antarkanlah kami sekarang kepada Bantaran.”
“Baik Tuan,”
jawab Jaladri cepat, seperti demikian saja meloncat dari mulutnya.
Kemudian
Mahesa Jenar berkata kepada Wanamerta, Kebo Kanigara dan kawan-kawan
seperjalanannya.
“Marilah, kita
selesaikan perjalanan kita yang tinggal beberapa langkah saja.”
Semuanya
segera mempersiapkan diri mereka pula. Dan sesaat kemudian mereka meneruskan
perjalanan yang sudah tidak jauh lagi. Jaladri lebih dahulu telah mengirimkan
dua orangnya untuk mendahului dan memberitahukan kedatangan Mahesa Jenar, agar
Bantaran dapat mempersiapkan sambutan sekadarnya. Tidak terlalu lama, mereka
telah sampai ke daerah Candi Gedong Sanga, di lereng Gunung Ungaran. Oleh
Jaladri, mereka dibawa menyusup ke sebuah hutan yang tidak terlalu lebat. Di
dalam hutan yang tipis itu terdapatlah sebuah barak besar dikelilingi beberapa
barak kecil. Itulah perkemahan laskar Banyubiru yang dipimpin oleh Bantaran dan
Penjawi.
Ketika Mahesa
Jenar sampai ke tempat itu, sibuklah mereka mengadakan penyambutan.
Berdesak-desakan mereka berebut muka, sehingga Mahesa Jenar dan kawan-kawan
tidak dapat bergerak maju lagi. Sampai Bantaran berdiri dan berteriak,
“Berilah jalan
supaya mereka dapat masuk ke dalam pondok ini.”
Akhirnya
Mahesa Jenar dan kawan-kawannya dipersilakan masuk ke dalam pondok yang
terbesar itu. Di dalamnya terdapat sebuah ruangan yang cukup luas. Dan di
sanalah pemimpin-pemimpin laskar itu telah siap menanti. Mahesa jenar dan
kawan-kawannya dipersilakan duduk di ujung pertemuan itu. Tetapi demikian ia
mulai memperhatikan satu demi satu dari setiap wajah di dalam ruangan itu,
tiba-tiba ia terkejut ketika melihat yang duduk berjajar di samping Penjawi.
Karena itu segera Bantaran memperkenalkan kedua orang itu kepada Mahesa Jenar.
“Tuan,
barangkali Tuan belum mengenalnya. Mereka adalah orang baru di sini. Tetapi
mereka melihat kebenaran perjuangan kami. Karena itu mereka di pihak kami.”
Tiba-tiba
meloncatlah dari mulut Mahesa Jenar sapaan yang akrab,
“Kakang
Mantingan dan Wirasaba, adakah kalian telah lama berada di tempat ini?”
Dalang
Mantingan dan Wirasaba menganggukkan kepalanya. Terdengarlah Mantingan
menjawab,
“Sudah… Adi.
Aku sudah beberapa bulan bergaul dengan anak-anak Banyubiru, meskipun
kadang-kadang aku juga memerlukan kembali ke Wanakerta atau Prambanan
bersama-sama dengan Adi Wirasaba.”
Teringatlah
Mahesa Jenar pada saat mereka baru saja menyaksikan bahkan terlibat dalam suatu
bentrokan melawan golongan hitam yang sedang mempersiapkan sebuah pertemuan di
daerah Rawa Pening. Pada saat itu Mahesa Jenar dengan empat orang teman, yaitu
Mantingan, Wirasaba, Gajah Alit dan Paningron, harus bertempur melawan seluruh
kalangan hitam dari angkatan sebayanya, yang kemudian mendapat bantuan dari
Sima Rodra tua dan Pasingsingan. Untunglah pada saat itu muncul Radite dan
Anggara yang menyelamatkan mereka berlima. Pada saat itu ia memang berpesan
kepada Mantingan untuk berusaha melihat-lihat keadaan Banyubiru. Agaknya
Mantingan benar-benar melaksanakan pesan Radite dan Anggara, bahkan akhirnya
mengambil keputusan untuk tinggal bersama-sama dengan mereka. Kemudian sibuklah
pertemuan itu dengan pernyataan keselamatan masing-masing. Wanamerta yang
menjadi semakin terharu melihat anak-anak Banyubiru yang masih setia kepada
pimpinannya itu, malahan menjadi seperti patung. Ia hanya dapat mendengarkan
percakapan-percakapan yang semakin ramai dan gembira, dan sesekali menoleh
kesana kemari, tanpa tujuan. Tiba-tiba dari sela-sela keriuhan percakapan itu
terdengarlah Bantaran bertanya,
“Tuan.
bukankah Tuan telah menyanggupkan kepada kami untuk membawa Arya Salaka…?”
Mahesa Jenar
tertawa. Memang, ia menanti pertanyaan itu, sehingga dengan sengaja tidak
memperkenalkan kawan-kawan seperjalanannya. Karena itu baru kemudian ia
menjawab untuk memperkenalkan mereka.
“Saudara-saudaraku
dari Banyubiru…. Baiklah aku memperkenalkan kawan seperjalananku satu persatu.”
Kemudian
sambil menunjuk, Mahesa Jenar meneruskan,
“Ini, yang
duduk di sebelahku adalah Rara Wilis, seorang gadis yang lebih senang menamakan
dirinya Pudak Wangi, cucu seorang sakti bernama Pandan Alas. Di sampingnya
adalah Endang Widuri, putri Kakang Kebo Kanigara yang duduk di sebelahnya. Dan
yang seorang lagi adalah Bagus Handaka.”
Semua mata
mengikuti jari Mahesa Jenar. Namun ketika sampai orang yang terakhir, ia tidak
menyebut nama Arya Salaka, anak-anak Banyubiru menjadi bertanya-tanya dalam
hati.
Bahkan
kemudian terdengar suara Penjawi,
“Lalu
bagaimanakah dengan Arya Salaka…?”
Tetapi seperti
juga Jaladri, Penjawi memandang Arya Salaka yang disebut bernama Bagus Handaka
itu tanpa berkedip. Sebab pada masa kanak-kanaknya, dengan Penjawi-lah Arya
Salaka paling banyak bergaul. Karena itu sedikit banyak ia masih dapat mengenal
wajah itu, meskipun sudah jauh berbeda.
MAHESA JENAR
tidak menjawab, ia hanya tertawa kecil. Dan karena itulah maka Penjawi tidak
menunggu lebih lama lagi. Dengan cepatnya ia berjalan jongkok ke arah Arya
Salaka dan dengan suara parau ia berkata hampir berteriak sambil memukul-mukul
lengan Arya yang sudah menjadi sekeras baja itu.
“Arya,
alangkah mengagumkan kau. Benar-benar kau telah menjadi seekor banteng muda
yang luar biasa kuatnya. Ah, alangkah malunya aku, yang semakin lama menjadi
semakin kering.”
Bersamaan
dengan itu tiba-tiba, hampir meledaklah suara membahana,
“Arya Salaka
telah datang, Arya Salaka telah datang.”
Kemudian
tampaklah laskar Banyubiru itu berdesak-desakan di pintu pondok sehingga pintu
itu seolah-olah akan mereka tumbangkan karena menghalang-halangi mereka yang
ingin melihat kehadiran Arya Salaka diantara mereka. Semua yang menyaksikan
peristiwa itu menjadi sangat terharu. Bahkan Rara Wilis sampai menekan dadanya
karena tiba-tiba terasa sesuatu menyumbat kerongkongannya.
No comments:
Post a Comment