Bagian 096


SANTAPATI menggeleng.
“Tidak Kiai. Kami juga menjadi gelisah karenanya. Sehari ini kami tidak dapat menghubungi Kiai Tumenggung, sedang Adi Lurah Karebet pun tidak berada di tempatnya, sehingga beberapa anak buahnya menjadi bingung pula. Tetapi mereka menyangka bahwa Adi Karebet berada di istana. Sehingga karena itu mereka akan menunggu sampai besok pagi.”
“Hem,” Prabasemi menggeram,
“Benar, Karebet berada di istana semalam bersama aku. Tetapi sejak hari ini, Karebet tidak boleh berada di Demak lagi. Setiap prajurit, baik prajurit Wira Tamtama, Nara Manggala, Jala Pati dan apapun, diberi izin untuk membunuhnya tanpa sebab. Karena Karebet telah dibuang dari tata pergaulan masyarakat Demak, dan tidak lagi mendapat perlindungan apapun dari kerajaan.”

Santapati terkejut. Karebet adalah seorang anak muda yang baik, ramah dan menyenangkan. Banyak sekali yang dapat diceriterakan untuk menggembirakan kawan-kawannya. Anak muda itu seakan-akan mengetahui seluruh permukaan pula ini. Ia dapat berceritera tentang bukit-bukit, lembah-lembah, jenis-jenis binatang di dalam hutan-hutan yang hampir tak pernah diambah manusia, sampai ceritera tentang gadis-gadis cantik di daerah-daerah yang pernah dikunjunginya. Karena itu maka dengan serta merta ia bertanya,
“Kenapa Kiai? Kenapa anak yang baik itu diusir dari Demak?”
“Apa katamu? Apakah Karebet anak yang baik?”
Tumenggung itu berhenti sejenak. Tetapi kemudian ia berkata seterusnya,
“Ya. Anak itu memang anak yang baik. Tetapi ia telah berbuat kesalahan. Tanpa setahuku, Karebet telah dihubungi oleh seorang anak muda yang ingin masuk ke dalam lingkungan Wira Tamtama. Namun anak muda itu agaknya telah menyakitkan hati Karebet, sehingga keduanya bertengkar. Namun Karebet memiliki kelebihan dari anak muda yang bernama ….”

PRABASEMI diam sejenak. Direka-rekanya sebuah nama yang pantas. Baru kemudian ia berkata,
“Namanya Dadungawuk.”
Santapati mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Prabasemi berkata,
”Namun sayang. Karebet telah bertindak sendiri. Dadungawuk yang sombong itu dibunuhnya.”
“Hem,” Santapati mengangguk-angguk pula.
“Sayang,” desisnya.
“Tetapi kesalahan itu bukan kesalahan yang terlalu besar. Bukankah Karebet membunuhnya setelah mereka bertengkar?”
“Itu dapat terjadi dalam hubungan perseorangan. Mungkin Karebet tidak bersalah. Tetapi peristiwa ini telah menyeret nama Wira Tamtama ke dalam suatu tempat yang terlalu buruk. Apakah kita, Wira Tamtama tidak ikut menjadi jelek kalau seorang dari kita berbuat sewenang-wenang hanya karena ia seorang Wira Tamtama?”
Santapati mengangguk-angguk kembali. Namun ia bertanya,
“Tetapi apakah hukuman itu sampai sedemikian jauhnya, sehingga setiap orang boleh membunuhnya?”
“Bukankah dengan demikian, berarti bahwa kita, Baginda sendiri, dan semua pemimpin Demak tidak sependapat dengan perbuatannya? Karena itu, jadikanlah peristiwa ini sebagai contoh bagimu.”

Sekali lagi Santapati mengangguk-angguk, namun keheranannya tidak juga berkurang. Belum pernah ia mendengar peristiwa itu kapan terjadi. Dan kalau yang mengatakan kepadanya bukan Tumenggung Prabasemi sendiri, maka ia pasti tidak akan percaya. Tetapi kali ini yang mengatakan adalah atasannya dan atasan Karebet itu pula. Apalagi sebelum peristiwa ini, maka agaknya Tumenggung Prabasemi terlalu dekat dengan anak muda itu.
Tiba-tiba Santapati terkejut ketika Tumenggung Prabasemi itu membentaknya
“He, mengapa kau berdiri seperti patung. Pergi. Sekarang kalian boleh pergi.”
“Oh” Santapati tergagap, seperti orang yang terbangun dari tidurnya yang nyenyak.
“Pergi sekarang, dan panggil kakang Sembada untuk datang kemari malam ini. “
Langkah Santapati terhenti. Kemudian ia memutar tubuhnya kembali menghadap Kiai Tumenggung. Sambil mengangguk dalam ia bertanya,
“Kakang Sembada yang manakah yang Kiai maksud?”
“Gila. Hanya ada satu Sembada yang aku kenal?”
“Tidak Kiai. Yang sudah aku ketahui ada tiga. Lurah Pasar Paing. Yang kedua Jagal di Kedung Wuni dan yang satu lagi Sembada jajar juru taman di Kasatrian.”
“Bodoh kau. Ada lebih seribu Sembada di seluruh Demak. Tetapi kau harus tahu, manakah yang aku panggil kakang di antara mereka.”
Santapati menjadi bingung. Untung-untungan ia berkata.
“Apakah kakang Sembada Lurah Pasar Paing yang kaya raya itu.”
“Oh, alangkah bodohnya kau. Buat apa aku memanggil Lurah Pasar? Panggil Kakang Sembada, jagal dari Kedung Wuni.”

Santapati mengerutkan keningnya. Aneh. Prabasemi memerlukan memanggil seorang jagal dari Kedung Wuni. Apakah Tumenggung ini akan mengadakan selamatan dengan menyembelih beberapa ekor lembu setelah ia mendapatkan sesuatu dari hutan Santi? Tetapi Santapati tidak berani bertanya. Sekali lagi ia menganggukkan kepalanya dalam-dalam, kemudian mohon diri meninggalkan rumah Tumenggungnya itu. Walaupun di sepanjang jalan tak habis-habisnya ia berpikir.
“Buat apakah Kiai Tumenggung memanggil jagal Kedung Wuni?”
Tetapi Santapati tidak mau menjadi pusing karenanya. Ia cukup menyampaikan perintah itu, lalu pulang dan tidur nyenyak.
Sembada malam itu benar-benar menghadap Tumenggung Prabasemi. Jagal Kedung Wuni itu adalah saudara seperguruan Tumenggung yang garang itu. Namun nasib mereka ternyata jauh berbeda. Meskipun Sembada lebih dahulu berguru, namun kecerdasan otak Tumenggung Prabasemi memungkinkan Tumenggung itu melampaui kakak seperguruannya. Apalagi dalam beberapa hal Prabasemi berhasil menunjukkan kekhususannya, sehingga karena itulah maka keadaannya Prabasemi jauh lebih baik dari keadaan kakak seperguruannya itu, juga dalam tataran olah keprajuritan dan tata perkelahian Prabasemi sudah berada diatasnya.

KETIKA Prabasemi telah menguraikan maksudnya, maka bertanyalah Sembada,
“Kenapa tidak Adi Tumenggung saja yang melakukannya?”
“Tidak mungkin, Kakang. Aku tidak dapat meninggalkan pekerjaanku. Dan apabila kelak Sultan mengetahui maka keadaanku akan menjadi lebih buruk.”
“Tetapi kemungkinan untuk mengetahui bahwa Kakang yang melakukannya adalah sangat kecil. Sedang kalau aku yang melakukannya, maka dengan mudahnya orang dapat menghubungkan setiap peristiwa. Prabasemi tidak ada di rumahnya pada saat orang menemukan mayat Karebet. Tetapi orang tak akan menghiraukannnya, apakah Kakang Sembada berada dirumah atau tidak pada suatu saat.”
Sembada mengerutkan keningnya. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika ia meilihat Prabasemi melepaskan kamus dan timang emasnya. Cahaya berlian yang berkilat-kilat pada timang itu telah menyilaukan mata Sembada. Ketika Prabasemi mempermainkan timang itu, maka bertanyalah Sembada,
“Adi Tumenggung, sebenarnya pekerjaan itu sangat mudah aku lakukan. Tetapi di mana aku harus mencari Karebet?”
Prabasemi tersenyum.
“Tidak terlalu mudah, Kakang. Kakang harus membawa lima atau enam kawan.”
“Lima atau enam?” mata Sembada tiba-tiba terbeliak,
“Apakah anak itu anak setan?”
“Bukan, sama sekali bukan. Tetapi aku ingin kali ini tidak akan gagal. Lebih baik Kakang kelebihan tenaga daripada Kakang harus mengulanginya lain kali.”
“Baik. Baik,” sahut Sembada,
“Tetapi ke mana aku harus mencari?”
“Kakang, aku sangka anak itu akan pergi jauh-jauh. Ia adalah murid seorang perantau. Namun aku sangka ia akan singgah ke rumahnya di Tingkir. Bukankah anak itu terkenal pula bernama Jaka Tingkir? Nah, Kakang dapat mencoba mendahuluinya. Kakang harus melakukan pekerjaan Kakang itu kalau mungkin, sebelum anak itu sempat sampai ke rumahnya dan berceritera tentang dirinya, supaya tak seorang pun yang akan meributkannya. Ibu angkatnya pasti menyangka bahwa anak itu masih berada di istana sampai beberapa lama. Sedang apabila seseorang menemukan mayatnya, maka biarlah orang menyangka bahwa keluarga Dadungawuk yang telah membunuhnya.”
“Siapa Dadungawuk itu?”
“Dadungawuk adalah nama anak muda yang dibunuh oleh Karebet itu.”

Sembada mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan melakukannya Adi Tumenggung. Tetapi kalau aku tidak dapat menemukannya, maka Adi Tumenggung jangan menyalahkan aku.”
“Semuanya harus dicoba. Malam ini sebaiknya Kakang berangkat dengan orang-orang yang barangkali dapat kakang kumpulkan. Ingat, lima, enam atau tujuh orang. Syukur lebih dari itu. Sebab, selama ini ia ada di dalam kesatuanku, maka aku telah dapat menilai betapa anak itu menyimpan ajian di dalam tubuhnya yang dapat melindunginya, Lembu Sekilan.”
“Lembu Sekilan?” Sekali lagi mata Sembada terbelalak.
“Apakah aku mampu melawan Lembu Sekilan?”
“Jangan terlalu merendahkan dirimu. Bukankah Kakang memiliki Aji Sapu Angin seperti aku?”
Sembada termenung sesaat. Aji Sapu Angin memang dapat dibanggakannya, namun ia tidak tahu apakah Sapu Angin-nya yang tidak sempurna mampu menembus Lembu Sekilan. Ketika Sembada baru mencoba menilai diri, maka terdengarlah Prabasemi berkata,
“Lembu Sekilan anak itu masih belum sempurna. Karena itu Kakang jangan cemas karenanya. Meskipun demikian kawan-kawan kakang pun harus mampu menyesuaikan diri dengan ilmu anak itu. Mungkin dengan senjata masih mungkin menembus pertahanan ajian anak itu.”

Dicobanya oleh Sembada berpikir tentang segala kemungkinan. Dicobanya juga untuk menginat-ingat beberapa nama yang pantas untuk melakukan pekerjaan itu. Tiba-tiba ia tersenyum, katanya,
“Kenapa kita tidak minta tolong kepada perguruan Sembirata? Hem, guru itu adalah kawanku. Ia memiliki beberapa kelebihan daripadaku. Sedang beberapa muridnya yang terpercaya dapat aku bawa serta.”
“Terserah kepada Kakang,” kata Prabasemi sambil melemparkan ikat pinggangnya yang bertimang emas dan bertretes berlian. “Inilah, barangkali Kakang perlu menyangkutkan pedang di pinggang Kakang.”
Sembada menggigit bibirnya untuk menahan senyumnya. Ia menjadi sangat gembira atas pemberian itu. Meskipun demikian dengan tamaknya ia berkata,
“Hem. Aku mengucapkan terima kasih atas pemberianmu Adi. Tetapi aku sangka Kiai Sembirata memerlukan juga timang, meskipun tidak sebaik ini.”

“GILA.” Prabasemi mengumpat di dalam hati. Tetapi sebenarnya dirinya pun telah hampir gila pula. Dengan bersungut-sungut ia berjalan masuk ke dalam biliknya.
“Hem, alangkah mahalnya putri itu.”
Namun ia bersungut pula,
“Aku telah banyak kehilangan, belum tentu aku berhasil.”

Tetapi kata-kata itu dijawabnya sendiri, “Tetapi aku harus berusaha. Yang pertama, melenyapkan Karebet, supaya Putri itu tidak selalu mengharapkannya kembali.” Karena itu betapapun ia mengumpat-umpat di dalam hati, namun diambilnya juga satu ikat pinggang yang lain, bertimang emas pula, namun tidak tidak bertretes berlian. Setelah menerima ikat pinggang itu beserta timangnya, maka Sembada pun minta diri untuk pergi ke Sambirata.
“Kakang, “ kata Prabasemi kemudian,
“Ikat pinggang itu hanyalah Kakang pinjam untuk menyangkutkan pedang. Tetapi kalau pedang itu kemudian sama sekali tak berguna, maka ikat pinggang itupun tak akan berguna pula bagi Kakang, dan biarlah orang lain yang lebih memerlukan memakainya.”
Sembada mengerutkan keningnya. Ia kenal betul sifat-sifat adik seperguruannya. Ia dapat menjadi seorang pemurah yang tidak kepalang tanggung, namun ia dapat menjadi pelit sekeras batu akik. Karena itu ia tidak dapat menjawab, selain menganggukkan kepalanya. Ketika ia telah keluar dari pagar halaman, masih didengarkannya suara Tumenggung Prabasemi,
“Ingat pesanku itu. Yang memakainya ada yang memerlukannya.”
“Setan,” gumam Sembada. Namun ia bertekad untuk memiliki timang berteretes berlian itu. Sudah beberapa tahun ia menginginkan benda serupa itu. Namun pekerjaannnya sebagai jagal tidak memberinya kemungkinan.

Sampai di rumahnya, diajaknya seorang pembantunya yang juga menjadi satu-satunya muridnya yang sangat disayanginya. Dengan perbekalan yang cukup, mereka meninggalkan rumah itu. Sebuah pedang pendek terselip di ikat pinggang masing-masing.
“Kita pergi ke perguruan Sambirata,” kata Sembada.
Muridnya mencoba untuk menanyakan, apakah yang akan mereka lakukan. Tetapi Sembada tidak memberitahukannya.
“Nanti akan kau dengar pula.”
Kiai Sambirata mendengar permintaan sahabatnya dengan ragu-ragu. Sebenarnya Kiai Sambirata memiliki beberapa kelebihan dari Sembada. Apalagi, sudah menjadi kebiasaan Sambirata untuk menerima beberapa permintaan orang-orang lain, mengantarkan mereka ke tempat-tempat yang dianggap berbahaya. Bahkan sekali-kali pernah juga dilakukannya untuk memaksakan beberapa kehendak seseorang atas orang lain. Melamar anak orang dengan sedikit tekanan, dan bermacam-macam lagi. Karena itu nama Sambirata agak tidak disukai oleh beberapa orang. Namun belum dapat dibuktikan, bahwa ia pernah melakukan kejahatan. Kali ini permintaan Sembada adalah terlalu langsung. Pembunuhan. Meskipun demikian, ketika Sembada menjanjikan timang emas itu kepada Sambirata apabila pekerjaan mereka berhasil, terpercik pula keinginannya untuk menerima barang berharga itu. Karena itu, maka kali ini, permintaan itu betapapun beratnya, namun diterimanya pula. Apalagi Kiai Sambirata itu merasa bahwa ia memiliki beberapa kemampuan yang dapat dibanggakannya. Melampaui Sembada itu sendiri. Tetapi sebenarnyalah bahwa Sambirata masih belum melampaui Prabasemi.

Namun otaknya yang tidak begitu cerdik menjadikannya tidak lebih dari seorang pesuruh yang garang. Tetapi mereka kini tidak bekerja seorang demi seorang. Mereka bersama-sama telah bergabung dalam satu kekuatan untuk melenyapkan anak muda yang bernama Karebet. Sambirata pun kemudian membawa beberapa orang muridnya yang dipercaya, sehingga mereka menjadi berjumlah tujuh orang. Rombongan itu sebenarnya menjadi sebuah rombongan yang cukup besar. Namun mereka tidak berjalan bersama-sama. Mereka telah mengadakan persepakatan untuk berjalan sendiri-sendiri. Namun akhirnya mereka akan bertemu di tempat yang telah ditentukan, di sekitar Tingkir. Mereka akan mengawasi jalan dari Demak yang masuk ke pedukuhan itu. Sementara itu Jaka Tingkir pun masih dalam keragu-raguan. Ia belum tahu pasti, ke mana ia akan pergi. Namun akhirnya sampailah ia kepada keputusan yang sama sekali tidak diketahuinya, bahwa bahaya telah menunggunya di setiap saat. Yang mula-mula akan dilakukan oleh Tingkir itu sebenarnyalah kembali ke Tingkir untuk sementara. Ia ingin tinggal di rumah ibu angkatnya untuk sesaat menenangkan pikirannya. Baru dari sana ia akan menentukan apakah yang akan dilakukannya untuk seterusnya.

DENGAN penuh penyesalan, Jaka Tingkir yang juga bernama Mas Karebet itu berjalan menyusur hutan-hutan kecil, kembali ke kampung halamannya, Tingkir. Betapa pun penyesalan itu menghentak-hentak dadanya, namun semuanya itu telah berlalu. Keputusan Baginda telah dijatuhkan atasnya. Dan ia tidak akan dapat mengubahnya. Namun betapapun juga, masih tersimpan harapan di dalam hatinya, bahwa suatu ketika Baginda akan mengampuninya. Bukankah Baginda berkata bahwa ia dibuang dari Demak sampai keputusan itu dicabut? Bukankah dengan demikian, ia masih dapat mengharap Baginda mencabut keputusannya? Tetapi seandainya tidak pun, maka ia tidak akan bersakit hati kepada Baginda. Baginda telah cukup melimpahkan kasih sayangnya kepadanya. Tetapi apabila dikenangnya Tumenggung Prabasemi, maka dadanya seakan-akan meledak karenanya. Kadang-kadang timbul juga penyesalannya, kenapa Tumenggung yang gila itu tidak dibunuhnya? Bagaimanakah kelak, apabila maksud Tumenggung itu, karena kelicikannya dapat tercapai? Terdengar Karebet menggeretakkan giginya. Ia tidak akan dapat melihat putri itu dipersandingkan dengan Tumenggung yang gila itu.
“Akan aku bunuh ia di persandingan,” geramnya. Karebet berjalan terus siang dan malam. Hanya kadang-kadang saja ia berhenti. Menikmati sejuknya udara di hutan-hutan yang rindang. Mendengarkan burung bernyanyi. Namun kalau didengarnya suara angin berdesir lembut, maka hatinya pun berdesir pula. Sekali-kali dikenangnya suara putri Baginda yang lembut di telinganya.
“Hem!” Karebet menarik nafas dalam-dalam.
“Kenapa aku sekarang berpenyakit gila? Bukankah penyakit ini telah hampir sembuh ketika aku berada di Karang Tumaritis?”

Namun betapa pedih hati anak muda itu. Pedih sebagaimana anak muda yang dipisahkan dari seorang gadis yang telah menambat hatinya, pedih sebagai seorang prajurit yang diusir dari keprajuritannya.
“Salahku, salahku sendiri,” gumamnya. Karebet pun kemudian berjalan terus. Ia ingin cepat-cepat sampai ke Tingkir untuk mencium tangan ibu angkatnya. Akan diciumnya tangan itu sebagai pelepas pedih hatinya yang selama ini seakan-akan menjadi semakin parah. Namun ketika Karebet itu sudah semakin dekat dengan Tingkir, terasa ada sesuatu yang menyentuh-nyentuh hatinya. Firasatnya sebagai seorang yang selalu berkeliaran di tempat-tempat yang berbahaya telah memperingatkannya untuk berhati-hati. Dan sebenarnyalah, sesaat kemudian terasa bahwa jalan di hadapannya yang melintas hutan yang tidak begitu lebat itu, tampak tidak sewajarnya. Jalan itu terlalu sepi. Ia tidak melihat seekor burungpun yang terbang melintas, atau seekor bintang kecil lainnya yang berlari-lari menyeberangi jalan. Karena itu, Karebet menghentikan langkahnya. Kemudian terdengar ia bergumam,
“Kalau kesepian itu disebabkan karena binatang buas, maka biasanya harimau atau ular besarlah sebabnya. Tetapi kalau ada sebab lain, maka tak tahulah.”
Maka Karebet pun kemudian bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan. Harimau, ular atau apa saja. Tetapi untuk beberapa lama tak ada apapun yang dilihatnya. Meskipun demikian, kesepian itu masih meragukannya. Dengan demikian, maka Karebet tidak mau berjalan maju lebih jauh lagi. Bahkan kemudian dengan tenangnya ia duduk bersandar pada sebuah pohon. Namun segenap panca indranya telah dipasangnya baik-baik. Setiap desir angin yang betapa pun lirihnya, pasti akan didengarnya, dan setiap gerak yang betapa pun lembutnya, pasti dilihatnya.

Tetapi alangkah terkejutnya anak muda itu. Ia mendengar suara berdesir di belakangnya. Didengarnya pula dengus nafas perlahan-lahan. Namun sama sekali bukan nafas harimau atau pun dengus ular. Nafas itu adalah nafas seseorang.
“Aneh,” kata Karebet di dalam hatinya.
“Kalau sebab daripada kesenyapan itu adalah manusia. Bukankah jalan ini sering dilewati orang dari dan ke Tingkir? Dan bukankah manusia tidak akan menakut-nakuti binatang-binatang kecil itu?”
Namun akhirnya Karebet sampai pada kesimpulannya bahwa
 “Manusia pun mungkin pula. Mereka pasti berada di dalam semak-semak. Pasti lebih dari satu sehingga binatang-binatang menjadi ketakutan.”
Karena kesimpulannya itulah maka kemudian Karebet menjadi lebih berhati-hati. Manusia, apalagi lebih dari satu, baginya akan lebih berbahaya daripada harimau atau binatang-binatang lain. Dan apa yang diduganya itu segera terjadi. Ketika Karebet mendengar langkah seseorang meloncat di belakangnya, maka segera ia pun melenting tegak pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Kini di hadapannya berdiri seseorang yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang. Dari sela-sela bajunya tampak rambut yang lebat tumbuh di dadanya.

ALANGKAH terkejutnya Karebet melihat orang itu, sehingga dengan serta merta ia menyapanya,
“Kakang Sembada?” Sembada tersenyum.
“Ya akulah,” jawabnya.
Karebet mengerutkan keningnya. Ia melihat wajah Sembada yang garang, karena itu segera ia dapat menyangka, bahwa kedatangannya bukanlah dengan maksud yang baik. Tetapi Karebet tidak mau segera berprasangka jelek. Dicobanya kemudian untuk menghilangkan setiap kesan yang gelap dari wajahnya. Dengan senyum kecil Karebet kemudian berkata,
“Kedatangan Kakang sangat mengejutkan aku.”
Wajah Sembada masih tetap garang. Bahkan kemudian dengan tajamnya ia memandangi tubuh Jaka Tingkir.
“Hem. Tidak seberapa besar,” katanya di dalam hati.
“Apakah dalam tubuh itu benar-benar tersimpan Aji Lembu Sekilan?”
Karena Sembada tidak segera menjawab, maka Karebet bertanya pula,
“Apakah keperluan Kakang, sehingga Kakang sampai kemari?”
Sembada menggeram. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya. Karena itu ia tidak berbicara melingkar-lingkar. Langsung saja dikatakannya apa yang dikehendaki. Dengan nada datar ia berkata,
“Karebet, aku adalah sraya Adi Tumenggung Prabasemi.”

Dada Karebet segera berdesir. Cepat ia dapat menebak. Apakah sebenarnya maksud Sembada itu. Namun ia masih juga bertanya,
“Apakah yang harus Kakang lakukan?”
Sembada menarik nafas. Kemudian setelah menenangkan getar dadanya ia berkata,
“Aku harus membunuh kau.”
Meskipun Karebet telah menyangka, namun pengakuan yang tiba-tiba itu mengejutkannya juga. Sesaat ia terpaku diam. Ditatapnya wajah Sembada yang garang itu.
“Jangan mempersulit pekerjaanku, Karebet. Aku dan kau tidak pernah mempunyai persoalan apapun. Aku tidak pernah menyakiti hatimu, dan kau tidak pernah menyakiti hatiku pula. Karena itu, marilah kita saling berbaik hati. Tolonglah pekerjaanku kali ini supaya segera selesai. Nanti aku akan mendapat sebuah kamus bertimang emas tretes berlian,” kata Sembada.
Karebet mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya dalam nadanya yang khusuk,
“Baik Kakang. Baiklah aku menolongmu. Tetapi aku harus mendapat separo dari kamus dan timang itu.”
Sembada mengerutkan keningnya.
“Hem..”, geramnya dan kemudian katanya di dalam hati,
“Anak ini benar-benar anak yang luar biasa. Tanggapannya atas bahaya yang dihadapi masih saja seperti menyongsong datangnya kekasih.”

Namun Sembada tidak mau terpengaruh oleh wibawa Joko Tingkir. Karena itu ia membentak,
“Aku tidak sedang berkelakar, Karebet.” Justru Karebet yang aneh itu kini tertawa. Katanya,
“Kita tidak pernah saling menyakiti hati masing-masing. Jangan membentak-bentak, Kakang. Lebih baik kita bergurau setelah kita lama tidak bertemu.”
“Diam!” bentak Sembada yang sama sekali tidak berhasil menakut-nakuti Karebet. Meskipun demikian sekali lagi ia menggertak, “Hem.. mati dan mati ada seribu jalan. Apalagi di hutan ini. Di pembaringan pun orang dapat sekarat. Ayo, tundukkan kepalamu supaya kau tidak mengalami derita di saat-saat terakhir.”
Sembada menjadi marah bukan buatan ketika Karebet malahan tertawa bergelak-gelak. Dengan memegang perutnya, anak muda itu berkata,
“Ah, Kakang. Masih saja Kakang teringat akan pekerjaan Kakang. Kita sekarang tidak sedang berada di pembantaian, Kakang.”
Wajah Sembada menjadi merah padam. Namun sebelum ia membentak-bentak lagi, Karebet pun terkejut. Ia mendengar desir di semak-semak. Karena itu maka katanya di dalam hati.
“Benar dugaanku. Tidak hanya seorang.”

SESAAT kemudian Karebet menggeser kakinya. Dari sisinya melontarlah seorang yang akan lebih tua dari Sembada. Namun tampaklah betapa orang itu jauh lebih tenang dan meyakinkan. Orang itulah Kiai Sambirata. Dengan lemahnya Kiai Sambirata menganggukan kepalanya. Dengan sareh ia berkata,
“Apakah Angger yang bernama Karebet?”
Karebet mengangguk. Namun terasa bahwa ia harus lebih waspada karenanya. Meskipun ia tidak bergerak dari tempatnya, namun ia benar-benar tidak mau menjadi lembu bantaian. Karena itu segera dengan diam-diam diterapkannya Ajinya yang dahsyat, Lembu Sekilan.
Sambirata melihat wajah Karebet yang tegang. Tetapi ia tidak segera menyadari, bahwa dengan sikap yang sederhana itu, Karebet telah matek Ajinya Lembu Sekilan. Karena itu, masih saja Kiai Sambirata yang terlalu percaya kepada dirinya itu berkata,
“Benarkah aku berhadapan dengan Angger Jaka Tingkir?”
Karebet mengangguk,
“Ya. Akulah Karebet, yang juga disebut orang, Jaka Tingkir.”
Kiai Sambirata mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Akulah yang bernama Sambirata.”

Karebet memandang orang itu dengan seksama. Di Demak, nama itu memang pernah didengarnya. Tetapi ia tidak pernah menaruh perhatian. Kini tiba-tiba orang itu datang kepadanya dengan maksud yang tidak sewajarnya. Dengan demikian, maka Karebet itu benar-benar harus berhati-hati. Ia tahu benar benar bahwa Sembada adalah kakak seperguruan Prabasemi dan Sambirata adalah orang yang kurang disenangi oleh masyarakat Demak karena pekerjaannya. Ternyata kini mereka berdua bergabung untuk melenyapkannya. Meskipun demikian sebenarnya Karebet sama sekali tidak gentar.
“Kalau perlu, aku terpaksa membunuh untuk mempertahankan hidupku,” katanya.
Yang berbicara kemudian adalah Sambirata.
“Angger. Baiklah aku berterus terang. Kami berdua dengan beberapa murid-muridku datang untuk membunuh Angger. Kalau Angger ingin mencoba, lawanlah kami. Kami tidak mampunyai banyak waktu.”
Sekali lagi Karebet terkejut. Ternyata mereka tidak hanya berdua. Tetapi justru karena itu timbullah marahnya. Wajahnya yang riang menjadi kemerah-merahan karena nyala api kemarahan yang membakar dadanya. Dengan lantang anak dari Tingkir itu menjawab,
“Paman dan Kakang Sembada. Kita adalah manusia yang mempunyai sifat mempertahankan hidup yang dikaruniakan kepada kita. Aku harus mencoba mempertahankan hidup itu sekuat-kuat tenagaku. Kalau Yang Maha Esa berkenan, maka jangan menyesal kalau kalian berdualah yang akan mendahului aku.”
“Jangan membual. Meskipun kau kekasih Jim, Setan, Peri, Prayangan, namun kalau tidak mampu menangkap angin, jangan mencoba menengadahkan kepalamu,” bentak Sembada dengan kasarnya.
“Langit dan bumi menjadi saksi. Kalau terjadi pertumpahan darah di sini, bukan akulah yang bersalah,” sahut Karebet.

Sembada sudah tidak dapat menahan diri lagi. Timang emas bertretes berlian benar-benar menarik hati, apalagi anak muda itu benar-benar telah membakar telinganya. Karena itu, cepat-cepat ia meloncat dan memukul dada Karebet sekuat-kuatnya. Karebet melihat gerak Sembada itu, namun ia sama sekali tidak menghindarinya. Namun wajahnya menjadi tegang dalam penerapan ajian yang setinggi-tingginya, daya pertahanan dalam Aji Lembu Sekilan. Tenaga Sembada adalah tenaga yang luar biasa kuatnya. Namun ia masih mempergunakan kekuatan jasmaniah melulu. Karena itu, ketika tangannya membentur dada Karebet alangkah terkejutnya. Karebet itu masih saja tegak seperti tonggak. Sedang kedua kakinya yang kokoh kuat seakan-akan berakar jauh menghujam ke pusat bumi. Bahkan terasa, seakan-akan tangan Sembada itu menghantam sesuatu yang tak dapat dilihatnya. Tetapi tangannya itu seakan-akan sama sekali tidak menyentuh dada Karebet. Ketika ia menyadari serangannya itu gagal, maka segera ia meloncat surut. Dengan marahnya ia menggeram, sambil menunjuk wajah Karebet itu dengan ujung jarinya.
“Setan, gendruwo. He Karebet. Apa kau sangka Aji Lembu Sekilan itu tak akan berlawan?”
Karebet tidak menjawab. Namun sekilas ia melihat Sambirata bergeser. Orang itu menghentakkan kedua tangannya dan dengan satu gerakan yang cepat, tangan itu ditariknya ke samping.
“Hem,” geram Karebet. “Aji apalagi yang akan kau pamerkan?”

SAMBIRATA benar-benar tersinggung. Ia memang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan orang-orang kebanyakan. Dengan pemusatan pikiran dan kehendak, maka Sambirata dapat menyalurkan kekuatan itu. Namun ia sama sekali tak peduli, apakah nama dari kekuatan yang tersimpan dalam dirinya. Dan Sambirata memang tidak berpikir tentang nama itu meskipun dahulu gurunya menyebutnya, Aji Wilet, namun yang dimilikinya telah banyak mengalami perubahan, sehingga ia tidak menyebutnya demikian. Tetapi betapa pun juga, ia mampu menerapkan ilmunya yang dahsyat itu. Ketika ia menyadari, bahwa lawannya sejak permulaan itu telah mempergunakan Aji Lembu Sekilan, maka Sambirata pun segera mempergunakan ilmunya itu. Dengan serta merta, Sambirata meloncat pula dan langsung memukul wajah Karebet. Karebet melihat serangan itu, dan ia pun menyadari, bahwa Sambirata tidak sekadar menyerangnya dengan tenaganya, namun pasti sudah dilambari dengan suatu ilmu yang berbahaya. Karena itu, Karebet pun segera menarik diri satu langkah ke samping, sehingga serangan Sambirata dapat dihindari. Namun Sambirata benar-benar lincah. Sekali lagi ia melenting seperti sikat, dan Karebet tidak sempat untuk menghindari, ketika kaki Sambirata itu langsung menghantam lambungnya. Terjadilah suatu benturan yang tajam, antara kekuatan ilmu Sambirata melawan Lembu Sekilan. Akibatnya pun dahsyat pula. Dan sekali ia berguling. Sedang Sambirata pun terdorong oleh kekuatannya sendiri yang seakan-akan membentur dinding baja. Terasa pula dadanya menjadi pedih. Karena itu segera ia memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk melawan tekanan yang seakan-akan menghentak-hentak di dalam dadanya itu.

Karebet yang baru saja berhasil menguasai dirinya, setelah Aji Lembu Sekilan berhasil ditembus, meskipun tidak terlalu berbahaya oleh Sambirata, terkejut sekali melihat serangan Sembada. Sekilas ia masih sempat melihat Sembada itu menjulurkan kedua tangannya ke belakang, sedang kedua tangannya kemudian mengepal ke lambungnya.
“Seperti yang dilakukan Prabasemi,” geramnya. Namun serangan itu telah tiba, sedemikian cepatnya, sehingga kali inipun Karebet tidak dapat menghindar. Karena itu, maka sekali lagi Aji Lembu Sekilan yang baru saja digoncangkan oleh Sambirata itu kembali berguncang. Aji Sembada menembus Aji Lembu Sekilan yang belum mapan kembali. Sekali lagi Karebet berguncang dan terbanting di tanah. Kali ini ia harus berguling beberapa kali untuk mendapatkan jarak dari lawan-lawannya. Namun sekali lagi Karebet terkejut. Tiba-tiba saja ia melihat beberapa orang bersama-sama muncul dari dalam belukar di sekitarnya. Mereka berebutan menyerangnya dengan pedang pendek, seperti ingin mencincangnya. Namun Karebet adalah seorang yang aneh, yang memiliki ketangkasan dan keperkasaan yang mengagumkan. Ketika ia melihat serangan itu datang, maka secepatnya ia melanting berdiri, dan dengan sekali loncat, ia telah berhasil menjauhkan dirinya dari orang-orang itu.

Tetapi kemudian datanglah serangan Sambirata memotong gerakannya. Karebet menggeram. Betapa ia menjadi marah bukan main. Kini ia tidak boleh ragu-ragu lagi. Kalau ia terpaksa membunuh, maka sekali lagi ia meyakinkan dirinya, bukan salahnya. Dengan demikian, maka kembali Karebet menerapkan Aji Lembu Sekilan dalam puncak kemampuannya. Ia sadar bahwa Sambirata masih akan berhasil menembus ajiannya itu. Namun pasti tidak akan berbahaya. Juga Sembada tidak akan membahayakan jiwanya. Tetapi senjata-senjata tajam itu pun perlu mendapat perhatiannya. Dengan kekuatan yang baik, maka senjata tajam itu pun akan mampu menembus benteng pertahanannya, meskipun tidak akan dapat membunuhnya dengan sekali tusuk. Namun kalau luka itu menjadi bertambah-tambah dan darahnya mengalir terlalu banyak, maka keadaan itu pun pasti akan menimbulkan bahaya. Kini Karebet pun sudah siap dengan puncak keterampilannya. Seperti sikatan berloncatan di rerumputan hijau. Karebet menghindari setiap serangan lawannya, dan bahkan beberapa orang telah terpelanting dan terbanting jatuh. Namun sentuhan-sentuhan Karebet yang harus mempertahankan diri dari setiap serangan itu, maka tekanan-tekanan lawan-lawannya masih saja terasa menjadi semakin berat. Meskipun demikian Karebet sama sekali tidak gentar. Ia melihat, bahwa hanya dua orang di antara mereka yang harus mendapat perhatiannya yang khusus. Sambirata dan Sembada dari Kedung Wuni. Maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin seru. Beberapa orang murid Sambirata itu sama sekali tak berdaya menghadapi kelincahan Karebet.

MEREKA menjadi benar-benar tidak dapat mengerti, bahwa setiap kali mereka menusukkan pedang-pedang mereka, maka seakan-akan mereka sama sekali tak menyentuh tubuh lawannya, meskipun lawannya tidak berusaha untuk menghindar. Hanya dalam kesempatan-kesempatan yang sangat baik, selagi mereka sempat mengerahkan segenap kekuatannya, maka pedangnya dapat menggores kulit Karebet. Dan beberapa tetes darah mengalir dari luka itu. Namun setiap tetes darah yang tumpah, seakan-akan merupakan tetesan minyak yang menyirami api kemarahan di dalam dada anak muda dari Tingkir itu. Betapa kemudian ia tidak lagi mengendalikan dirinya. Dengan kecepatannya bergerak, maka ia pun segera berhasil menjatuhkan beberapa lawannya. Murid-murid Sambirata itu, jatuh bangun tak henti-hentinya. Sekali-kali mereka merasa bahwa lawannya yang hanya seorang itu akan segera binasa. Namun lain kali, seakan-akan terasa gunung runtuh menimpa dadanya. Seperti beribu-ribu kunang terbang di sekitar rongga mata mereka. Dalam kesesakan nafas itu, mereka sekali-kali mendengar kawan-kawannya yang mengaduh, dan jatuh menimpanya. Apabila seorang di antara mereka mampu merangkak bangun, maka seorang yang lain terbanting jatuh. Sehingga mereka seakan-akan sama sekali tak berarti. Tetapi mereka sedang bertempur di hadapan guru mereka. Betapa pun pungggung mereka serasa telah patah, tetapi dengan kekuatan-kekuatan mereka yang terakhir, mereka masih juga mencoba bangun. Berdiri dan bergeser setapak demi setapak di sekitar perkelahian itu, untuk sesaat kemudian dada mereka serasa meledak karena sentuhan-sentuhan tangan atau kaki Karebet.

Dalam saat-saat berikutnya, meskipun tampaknya beberapa orang masih juga berdiri mengitari tempat perkelahian itu, namun sebenarnya tidak lebih dari Sembada dan Sambirata berdualah yang berkelahi mati-matian. Dengan kekuatan ajian masing-masing, mereka mencoba untuk membunuh anak yang aneh itu. Dalam pada itu, Karebet pun merasakan tekanan-tekanan yang berat dari kedua orang itu. Mereka masing-masing ternyata tidak lebih dari Tumenggung Prabasemi. Namun karena kekuatan mereka bergabung, maka Karebet benar-benar menghadapi pekerjaan yang sangat berat. Aji Lembu Sekilannya terasa sesekali terguncang. Dan sekali-kali terasa bahwa dalam kesempatan-kesempatan itu, kekuatan-kekuatan ajian lawannya berganti-ganti dapat menembusnya meskipun tidak terlalu dalam. Namun apabila hal itu berlangsung lama, maka ada kemungkinan pertahanannya menjadi semakin lemah. Meskipun orang-orang lain, kecuali kedua orang itu hampir tak berarti bagi Karebet, namun mereka telah memecahkan beberapa pemusatan perhatiannya. Sehingga sesaat kemudian dengan penuh kemarahan, maka orang-orang itu satu demi satu dilumpuhkannya.
Dan kini yang terakhir adalah Sembada dan Sambirata. Keduanya tampaknya masih cukup segar utuk melawannya. Meskipun kedua orang itu pun sebenarnya menjadi gelisah pula menghadapi Aji Lembu Sekilan.

Kini Karebet benar-benar dapat memusatkan segenap perhatiannya. Sekali-kali ia berpaling kepada orang-orang yang bergelimpangan di sana-sini. Ada di antara mereka yang masih mencoba bangkit, namun ternyata tenaga mereka seakan-akan telah terhisap habis, sehingga kembali mereka tak berdaya jatuh di tanah. Sambirata yang melihat muridnya tak berdaya itu mengumpat tak habis-habisnya, katanya,
“Tikus-tikus malang. Ternyata kalian sama sekali tak dapat dibanggakan sebagai seorang murid Sambirata.”
Murid-murid itu pun mengeluh di dalam hati. Tetapi mereka bergumam pula didalam hati.
“Jangankan aku, sedang guru sendiri pun tidak juga segera dapat menguasai lawan yang hanya seorang itu.”
Karebet kemudian sama sekali tak memperhatikan lagi mereka yang telah terkapar di tanah. Yang dihadapinya kini adalah Sembada dan Sambirata. Kedua orang ini benar-benar berhasrat akan membunuhnya. Sesaat kemudian pertempuran pun berkobar pula dengan sengitnya. Sembada dan Sambirata berjuang dengan sepenuh tenaga. Meskipun mereka bukan datang dari perguruan yang sama, namun mereka segera dapat menyesuaikan diri mereka. Berganti-ganti mereka menyerang dengan kedahsyatan ajian masing-masing. Seperti sepasang burung alap-alap yang menyambar-nyambar mangsanya.
Tetapi Karebet benar-benar memiliki kelincahan yang tak mereka sangka-sangka, disamping perisainya yang luar biasa Aji Lembu Sekilan. Betapa dahsyatnya serangan-serangan Sembada dan Sambirata, namun Mas Karebet itu masih saja mampu mempertahankan dirinya. Meskipun demikian, sekali-kali pertahanannya terguncang pula oleh kekuatan-kekuatan Aji lawannya. Sehingga sekali-kali Mas Karebet mampu pula didorongnya jatuh. Namun demikian ia jatuh segera ia melanting berdiri, siap melawan dengan lambaran ilmunya, Lembu Sekilan.

TETAPI betapapun Karebet berjuang dalam keadaannya itu, namun ternyata bahwa lawannya bukan seorang Prabasemi. Tetapi kini lawannnya yang berjumlah dua orang itu, ternyata berhasil menggabungkan kekuatan mereka dengan baiknya. Sehingga sekali-kali mereka berdua berhasil bersama-sama menghantamkan kekuatan ajinya atas tubuh Mas Karebet yang masih muda itu. Dengan demikian, maka Mas Karebet itu semakin lama menjadi semakin terdesak karenanya. Dan tekanan ini telah membakar jantungnya. Kemarahan semakin lama menjadi kian memuncak, seakan-akan telah mendidihkan seluruh darahnya. Ia tidak mau mati karena pokal Prabasemi. Meskipun pusat kemarahannya berkisar kepada Tumenggung Prabasemi, dan meskipun disadarinya bahwa kedua orang yang datang bersama murid-muridnya itu tidak lebih dari orang-orang suruhan yang ingin mendapatkan upah karena perbuatannya itu, namun apabila tak dimilikinya cara lain, maka cara satu-satunya untuk menyelamatkan dirinya adalah membunuh lawan-lawannya. Karena itu, Karebet yang marah itu, masih mencoba untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukannya. Kalau ia terpaksa membunuh, dan perbuatannya itu didengar oleh Sultan, maka apakah Sultan tidak menjadi semakin murka kepadanya. Karena itu, maka untuk terakhir kalinya Karebet itu mencoba mencegah bencana yang semakin berlarut-larut. Katanya,
“Kakang Sembada. Aku minta kakang berpikir sekali lagi, apakah yang kakang lakukan itu sudah kakang anggap benar?”
Sembada masih menyerang Karebet dengan dahsyatnya. Meskipun demikian ia sempat juga menjawab,
“Jangan banyak bicara. Aku bukan anak-anak.”

Dengan tangkasnya Karebet menghindari serangan yang ganas itu. Namun tiba-tiba Sambirata memotong geraknya sambil berputar setengah lingkaran. Tangan Sambirata yang terjulur itu tidak mengenai sasarannya, tetapi cepat ia meloncat sekali lagi. Ajinya yang dahsyat terayun tepat mengarah tengkuk Karebet. Karebet masih berusaha untuk menghindar, namun kesempatannya terlalu sempit. Yang dapat dilakukan adalah meloncat surut selagi ia masih berjongkok. Gerakan-gerakan khusus yang sulit dilakukan oleh orang lain. Karena itu Sambirata terkejut bukan buatan. Sekali lagi serangannya tak mengenai lawannya. Tetapi dalam pada itu Sembada telah siap dengan serangannya pula. Demikian Karebet menyentuh tanah, Sembada meloncat dengan cepatnya melontarkan Aji Sapu Anginnya kearah punggung lawannya. Kali ini kesempatan Karebet benar-benar sangat sempit. Karena itu ia hanya dapat berputar dan dengan puncak kekuatan Aji Lembu Sekilan yang dimiliki ia melawan pukulan Aji Sapu Angin. Ternyata dengan gerakan yang pendek itu, pukulan Sembada tidak tepat mengenai sasarannya. Tangannya itu hanya mampu menyentuh pundak Karebet. Sedang pundak Karebet telah dilindungi pula oleh Lembu Sekilan, sehingga pukulan yang melesat itu sama sekali tak mampu menerobos perisai Karebet yang dahsyat itu.

Sembada menggeram. Namun kali ini serangan Karebetlah yang menyambar perutnya. Dengan berputar pada satu kakinya, Karebet membuat serangan dengan kakinya menyambar lawannya dengan dahsyatnya. Sedangan yang tidak disangka-sangka. Karena itu, maka Sembada dengan tergesa-gesa meloncat surut. Namun Karebet tidak membiarkannya, sekali ia meloncat maju, dan sekali lagi kakinya menjulur lurus kedada lawannya. Serangan itu sedemikian cepatnya, sehingga Sembada tak mampu lagi untuk mengelak. Karena itu, maka dengan sepenuh tenaga, dilawannya serangan Karebet itu dengan Aji Sapu Angin, sehingga terjadilah benturan yang dahsyat antara Aji Lembu Sekilan yang melindungi serangan Karebet, melawan Aji Sapu Angin. Sembada itu pun tergetar surut beberapa langkah, namun Karebet pun terlontar pula mundur. Aji Lembu Sekilan dalam patrap penyerangan memang tidak sekuat dalam patrap pertahanan. Karena itu terasa pula, nyeri-nyeri menjalari tubuh anak muda dari Tingkir itu. Apalagi sesaat kemudian Sambirata telah melontarkan serangannya pula, sehingga Karebet yang belum memiliki keseimbangan yang mantap itu terpaksa menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali menghindari kekuatan Aji Sambirata.

Keadaan Karebet semakin lama benar-benar menjadi semakin sulit. Aji Lembu Sekilannya beberapa kali telah berhasil digoncangkan oleh kekuatan Aji kedua lawannya bersama-sama. Meskipun demikian ia masih berteriak.
“Kakang Sembada dan paman Sambirata. Aku kini memperingatkan kalian untuk yang terakhir kalinya. Pergilah dan katakan kepada Prabasemi bahwa Karebet telah mati. Aku tidak akan datang ke Demak sebelum Sultan mengampunkan kesalahanku. Dalam waktu yang tidak tertentu itu, mudah-mudahan Prabasemi telah melupakan dendamnya kepadaku.”
Yang terdengar kemudian adalah suara Sembada dan Sambirata tertawa hampir berbarengan. Tetapi tawa Sembada ternyata jauh lebih keras.
“Hai anak yang bernasib jelek. Sesaat sebelum kau mati, kau masih punya waktu untuk menyombongkan dirimu.”
Dan terdengar Sambirata berkata pula,
“Angger ternyata menyadari kesulitan yang angger alami. Menyerahlah supaya angger tidak menjadi lelah. Perjalanan ke akhirat masih panjang, dengan demikian angger masih menyimpan sisa tenaga untuk perjalanan itu.”
Karebet menjadi marah bukan alang kepalang. Matanya kini memancar hijau kebiru-biruan sebagaimana sinar mata harimau dikegelapan. Dengan parau terdengar suaranya gemetar karena marah,
“kalau begitu terserahlah. Aku tidak mau mati. Bagiku lebih baik membunuh daripada dibunuh.”

Sekali lagi Sembada dan Sambirata tertawa. Tetapi tiba-tiba suaranya terputus karena melihat Karebet meloncat mundur. Dengan pancaran mata yang aneh, biru kehijauan Karebet memandang kedua lawannya berganti-ganti. Kemudian dengan wajah tegang anak muda itu menggosokkan kedua telapak tangannya, meloncat dengan garangnya dan tegak diatas kedua kakinya yang renggang. Sesaat kemudian ditekuknya kedua lututnya, siap melontarkan serangan yang dahsyat, aji Rog-rog Asem. Sebenarnyalah Karebet pada saat itu telah benar-benar kehilangan pengamatan diri. Karena goncangan pada Aji Lembu Sekilan, maka hatinyapun serasa diguncang-guncang. Karena itu, maka pada saat terakhir ia tidak mampu menahan kemarahannya. Sehingga bulatlah tekadnya untuk membunuh saja kedua lawannya dengan aji Rog-rog Asem. Sembada dan Sambirata yang melihat sikap Karebet segera menyadari keadaan mereka. Selagi Karebet belum menggunakan Aji lain daripada Lembu Sekilan, mereka telah menemui banyak kesulitan untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Apalagi kalau anak muda itu kemudian mempergunakan kekuatan terakhirnya. Karena itu tanpa saling berjanji mereka menyiapkan kekuatan Aji untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.

Tetapi tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka. Tidak oleh Karebet, maupun Sembada dan Sambirata. Ketika mereka telah hampir sampai pada puncak pengerahan Aji masing-masing, maka demikian derasnya, namun benar-benar langsung mempengaruhi isi dada mereka.


<<< Bagian 095                                                                                              Bagian 097 >>>

No comments:

Post a Comment