SANTAPATI menggeleng.
“Tidak Kiai.
Kami juga menjadi gelisah karenanya. Sehari ini kami tidak dapat menghubungi
Kiai Tumenggung, sedang Adi Lurah Karebet pun tidak berada di tempatnya,
sehingga beberapa anak buahnya menjadi bingung pula. Tetapi mereka menyangka
bahwa Adi Karebet berada di istana. Sehingga karena itu mereka akan menunggu
sampai besok pagi.”
“Hem,”
Prabasemi menggeram,
“Benar, Karebet
berada di istana semalam bersama aku. Tetapi sejak hari ini, Karebet tidak
boleh berada di Demak lagi. Setiap prajurit, baik prajurit Wira Tamtama, Nara
Manggala, Jala Pati dan apapun, diberi izin untuk membunuhnya tanpa sebab.
Karena Karebet telah dibuang dari tata pergaulan masyarakat Demak, dan tidak
lagi mendapat perlindungan apapun dari kerajaan.”
Santapati
terkejut. Karebet adalah seorang anak muda yang baik, ramah dan menyenangkan.
Banyak sekali yang dapat diceriterakan untuk menggembirakan kawan-kawannya.
Anak muda itu seakan-akan mengetahui seluruh permukaan pula ini. Ia dapat
berceritera tentang bukit-bukit, lembah-lembah, jenis-jenis binatang di dalam
hutan-hutan yang hampir tak pernah diambah manusia, sampai ceritera tentang
gadis-gadis cantik di daerah-daerah yang pernah dikunjunginya. Karena itu maka
dengan serta merta ia bertanya,
“Kenapa Kiai?
Kenapa anak yang baik itu diusir dari Demak?”
“Apa katamu?
Apakah Karebet anak yang baik?”
Tumenggung itu
berhenti sejenak. Tetapi kemudian ia berkata seterusnya,
“Ya. Anak itu
memang anak yang baik. Tetapi ia telah berbuat kesalahan. Tanpa setahuku,
Karebet telah dihubungi oleh seorang anak muda yang ingin masuk ke dalam
lingkungan Wira Tamtama. Namun anak muda itu agaknya telah menyakitkan hati Karebet,
sehingga keduanya bertengkar. Namun Karebet memiliki kelebihan dari anak muda
yang bernama ….”
PRABASEMI diam
sejenak. Direka-rekanya sebuah nama yang pantas. Baru kemudian ia berkata,
“Namanya
Dadungawuk.”
Santapati
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan Prabasemi berkata,
”Namun sayang.
Karebet telah bertindak sendiri. Dadungawuk yang sombong itu dibunuhnya.”
“Hem,”
Santapati mengangguk-angguk pula.
“Sayang,”
desisnya.
“Tetapi
kesalahan itu bukan kesalahan yang terlalu besar. Bukankah Karebet membunuhnya
setelah mereka bertengkar?”
“Itu dapat
terjadi dalam hubungan perseorangan. Mungkin Karebet tidak bersalah. Tetapi
peristiwa ini telah menyeret nama Wira Tamtama ke dalam suatu tempat yang
terlalu buruk. Apakah kita, Wira Tamtama tidak ikut menjadi jelek kalau seorang
dari kita berbuat sewenang-wenang hanya karena ia seorang Wira Tamtama?”
Santapati
mengangguk-angguk kembali. Namun ia bertanya,
“Tetapi apakah
hukuman itu sampai sedemikian jauhnya, sehingga setiap orang boleh
membunuhnya?”
“Bukankah
dengan demikian, berarti bahwa kita, Baginda sendiri, dan semua pemimpin Demak
tidak sependapat dengan perbuatannya? Karena itu, jadikanlah peristiwa ini
sebagai contoh bagimu.”
Sekali lagi
Santapati mengangguk-angguk, namun keheranannya tidak juga berkurang. Belum
pernah ia mendengar peristiwa itu kapan terjadi. Dan kalau yang mengatakan
kepadanya bukan Tumenggung Prabasemi sendiri, maka ia pasti tidak akan percaya.
Tetapi kali ini yang mengatakan adalah atasannya dan atasan Karebet itu pula.
Apalagi sebelum peristiwa ini, maka agaknya Tumenggung Prabasemi terlalu dekat
dengan anak muda itu.
Tiba-tiba
Santapati terkejut ketika Tumenggung Prabasemi itu membentaknya
“He, mengapa
kau berdiri seperti patung. Pergi. Sekarang kalian boleh pergi.”
“Oh” Santapati
tergagap, seperti orang yang terbangun dari tidurnya yang nyenyak.
“Pergi
sekarang, dan panggil kakang Sembada untuk datang kemari malam ini. “
Langkah
Santapati terhenti. Kemudian ia memutar tubuhnya kembali menghadap Kiai
Tumenggung. Sambil mengangguk dalam ia bertanya,
“Kakang
Sembada yang manakah yang Kiai maksud?”
“Gila. Hanya
ada satu Sembada yang aku kenal?”
“Tidak Kiai.
Yang sudah aku ketahui ada tiga. Lurah Pasar Paing. Yang kedua Jagal di Kedung
Wuni dan yang satu lagi Sembada jajar juru taman di Kasatrian.”
“Bodoh kau.
Ada lebih seribu Sembada di seluruh Demak. Tetapi kau harus tahu, manakah yang
aku panggil kakang di antara mereka.”
Santapati
menjadi bingung. Untung-untungan ia berkata.
“Apakah kakang
Sembada Lurah Pasar Paing yang kaya raya itu.”
“Oh, alangkah
bodohnya kau. Buat apa aku memanggil Lurah Pasar? Panggil Kakang Sembada, jagal
dari Kedung Wuni.”
Santapati
mengerutkan keningnya. Aneh. Prabasemi memerlukan memanggil seorang jagal dari
Kedung Wuni. Apakah Tumenggung ini akan mengadakan selamatan dengan menyembelih
beberapa ekor lembu setelah ia mendapatkan sesuatu dari hutan Santi? Tetapi
Santapati tidak berani bertanya. Sekali lagi ia menganggukkan kepalanya
dalam-dalam, kemudian mohon diri meninggalkan rumah Tumenggungnya itu. Walaupun
di sepanjang jalan tak habis-habisnya ia berpikir.
“Buat apakah
Kiai Tumenggung memanggil jagal Kedung Wuni?”
Tetapi
Santapati tidak mau menjadi pusing karenanya. Ia cukup menyampaikan perintah
itu, lalu pulang dan tidur nyenyak.
Sembada malam
itu benar-benar menghadap Tumenggung Prabasemi. Jagal Kedung Wuni itu adalah
saudara seperguruan Tumenggung yang garang itu. Namun nasib mereka ternyata
jauh berbeda. Meskipun Sembada lebih dahulu berguru, namun kecerdasan otak
Tumenggung Prabasemi memungkinkan Tumenggung itu melampaui kakak
seperguruannya. Apalagi dalam beberapa hal Prabasemi berhasil menunjukkan
kekhususannya, sehingga karena itulah maka keadaannya Prabasemi jauh lebih baik
dari keadaan kakak seperguruannya itu, juga dalam tataran olah keprajuritan dan
tata perkelahian Prabasemi sudah berada diatasnya.
KETIKA
Prabasemi telah menguraikan maksudnya, maka bertanyalah Sembada,
“Kenapa tidak
Adi Tumenggung saja yang melakukannya?”
“Tidak
mungkin, Kakang. Aku tidak dapat meninggalkan pekerjaanku. Dan apabila kelak
Sultan mengetahui maka keadaanku akan menjadi lebih buruk.”
“Tetapi
kemungkinan untuk mengetahui bahwa Kakang yang melakukannya adalah sangat
kecil. Sedang kalau aku yang melakukannya, maka dengan mudahnya orang dapat
menghubungkan setiap peristiwa. Prabasemi tidak ada di rumahnya pada saat orang
menemukan mayat Karebet. Tetapi orang tak akan menghiraukannnya, apakah Kakang
Sembada berada dirumah atau tidak pada suatu saat.”
Sembada
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba matanya terbelalak ketika ia meilihat
Prabasemi melepaskan kamus dan timang emasnya. Cahaya berlian yang
berkilat-kilat pada timang itu telah menyilaukan mata Sembada. Ketika Prabasemi
mempermainkan timang itu, maka bertanyalah Sembada,
“Adi
Tumenggung, sebenarnya pekerjaan itu sangat mudah aku lakukan. Tetapi di mana
aku harus mencari Karebet?”
Prabasemi
tersenyum.
“Tidak terlalu
mudah, Kakang. Kakang harus membawa lima atau enam kawan.”
“Lima atau
enam?” mata Sembada tiba-tiba terbeliak,
“Apakah anak
itu anak setan?”
“Bukan, sama
sekali bukan. Tetapi aku ingin kali ini tidak akan gagal. Lebih baik Kakang
kelebihan tenaga daripada Kakang harus mengulanginya lain kali.”
“Baik. Baik,”
sahut Sembada,
“Tetapi ke
mana aku harus mencari?”
“Kakang, aku
sangka anak itu akan pergi jauh-jauh. Ia adalah murid seorang perantau. Namun
aku sangka ia akan singgah ke rumahnya di Tingkir. Bukankah anak itu terkenal
pula bernama Jaka Tingkir? Nah, Kakang dapat mencoba mendahuluinya. Kakang
harus melakukan pekerjaan Kakang itu kalau mungkin, sebelum anak itu sempat
sampai ke rumahnya dan berceritera tentang dirinya, supaya tak seorang pun yang
akan meributkannya. Ibu angkatnya pasti menyangka bahwa anak itu masih berada
di istana sampai beberapa lama. Sedang apabila seseorang menemukan mayatnya,
maka biarlah orang menyangka bahwa keluarga Dadungawuk yang telah membunuhnya.”
“Siapa
Dadungawuk itu?”
“Dadungawuk
adalah nama anak muda yang dibunuh oleh Karebet itu.”
Sembada
mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya,
“Aku akan
melakukannya Adi Tumenggung. Tetapi kalau aku tidak dapat menemukannya, maka
Adi Tumenggung jangan menyalahkan aku.”
“Semuanya
harus dicoba. Malam ini sebaiknya Kakang berangkat dengan orang-orang yang
barangkali dapat kakang kumpulkan. Ingat, lima, enam atau tujuh orang. Syukur
lebih dari itu. Sebab, selama ini ia ada di dalam kesatuanku, maka aku telah
dapat menilai betapa anak itu menyimpan ajian di dalam tubuhnya yang dapat
melindunginya, Lembu Sekilan.”
“Lembu
Sekilan?” Sekali lagi mata Sembada terbelalak.
“Apakah aku
mampu melawan Lembu Sekilan?”
“Jangan
terlalu merendahkan dirimu. Bukankah Kakang memiliki Aji Sapu Angin seperti
aku?”
Sembada
termenung sesaat. Aji Sapu Angin memang dapat dibanggakannya, namun ia tidak
tahu apakah Sapu Angin-nya yang tidak sempurna mampu menembus Lembu Sekilan.
Ketika Sembada baru mencoba menilai diri, maka terdengarlah Prabasemi berkata,
“Lembu Sekilan
anak itu masih belum sempurna. Karena itu Kakang jangan cemas karenanya.
Meskipun demikian kawan-kawan kakang pun harus mampu menyesuaikan diri dengan
ilmu anak itu. Mungkin dengan senjata masih mungkin menembus pertahanan ajian
anak itu.”
Dicobanya oleh
Sembada berpikir tentang segala kemungkinan. Dicobanya juga untuk
menginat-ingat beberapa nama yang pantas untuk melakukan pekerjaan itu.
Tiba-tiba ia tersenyum, katanya,
“Kenapa kita
tidak minta tolong kepada perguruan Sembirata? Hem, guru itu adalah kawanku. Ia
memiliki beberapa kelebihan daripadaku. Sedang beberapa muridnya yang
terpercaya dapat aku bawa serta.”
“Terserah
kepada Kakang,” kata Prabasemi sambil melemparkan ikat pinggangnya yang
bertimang emas dan bertretes berlian. “Inilah, barangkali Kakang perlu
menyangkutkan pedang di pinggang Kakang.”
Sembada
menggigit bibirnya untuk menahan senyumnya. Ia menjadi sangat gembira atas
pemberian itu. Meskipun demikian dengan tamaknya ia berkata,
“Hem. Aku
mengucapkan terima kasih atas pemberianmu Adi. Tetapi aku sangka Kiai Sembirata
memerlukan juga timang, meskipun tidak sebaik ini.”
“GILA.”
Prabasemi mengumpat di dalam hati. Tetapi sebenarnya dirinya pun telah hampir
gila pula. Dengan bersungut-sungut ia berjalan masuk ke dalam biliknya.
“Hem, alangkah
mahalnya putri itu.”
Namun ia
bersungut pula,
“Aku telah
banyak kehilangan, belum tentu aku berhasil.”
Tetapi
kata-kata itu dijawabnya sendiri, “Tetapi aku harus berusaha. Yang pertama,
melenyapkan Karebet, supaya Putri itu tidak selalu mengharapkannya kembali.”
Karena itu betapapun ia mengumpat-umpat di dalam hati, namun diambilnya juga
satu ikat pinggang yang lain, bertimang emas pula, namun tidak tidak bertretes
berlian. Setelah menerima ikat pinggang itu beserta timangnya, maka Sembada pun
minta diri untuk pergi ke Sambirata.
“Kakang, “
kata Prabasemi kemudian,
“Ikat pinggang
itu hanyalah Kakang pinjam untuk menyangkutkan pedang. Tetapi kalau pedang itu kemudian
sama sekali tak berguna, maka ikat pinggang itupun tak akan berguna pula bagi
Kakang, dan biarlah orang lain yang lebih memerlukan memakainya.”
Sembada
mengerutkan keningnya. Ia kenal betul sifat-sifat adik seperguruannya. Ia dapat
menjadi seorang pemurah yang tidak kepalang tanggung, namun ia dapat menjadi
pelit sekeras batu akik. Karena itu ia tidak dapat menjawab, selain
menganggukkan kepalanya. Ketika ia telah keluar dari pagar halaman, masih
didengarkannya suara Tumenggung Prabasemi,
“Ingat pesanku
itu. Yang memakainya ada yang memerlukannya.”
“Setan,” gumam
Sembada. Namun ia bertekad untuk memiliki timang berteretes berlian itu. Sudah
beberapa tahun ia menginginkan benda serupa itu. Namun pekerjaannnya sebagai
jagal tidak memberinya kemungkinan.
Sampai di
rumahnya, diajaknya seorang pembantunya yang juga menjadi satu-satunya muridnya
yang sangat disayanginya. Dengan perbekalan yang cukup, mereka meninggalkan
rumah itu. Sebuah pedang pendek terselip di ikat pinggang masing-masing.
“Kita pergi ke
perguruan Sambirata,” kata Sembada.
Muridnya
mencoba untuk menanyakan, apakah yang akan mereka lakukan. Tetapi Sembada tidak
memberitahukannya.
“Nanti akan
kau dengar pula.”
Kiai Sambirata
mendengar permintaan sahabatnya dengan ragu-ragu. Sebenarnya Kiai Sambirata
memiliki beberapa kelebihan dari Sembada. Apalagi, sudah menjadi kebiasaan
Sambirata untuk menerima beberapa permintaan orang-orang lain, mengantarkan
mereka ke tempat-tempat yang dianggap berbahaya. Bahkan sekali-kali pernah juga
dilakukannya untuk memaksakan beberapa kehendak seseorang atas orang lain.
Melamar anak orang dengan sedikit tekanan, dan bermacam-macam lagi. Karena itu
nama Sambirata agak tidak disukai oleh beberapa orang. Namun belum dapat
dibuktikan, bahwa ia pernah melakukan kejahatan. Kali ini permintaan Sembada
adalah terlalu langsung. Pembunuhan. Meskipun demikian, ketika Sembada
menjanjikan timang emas itu kepada Sambirata apabila pekerjaan mereka berhasil,
terpercik pula keinginannya untuk menerima barang berharga itu. Karena itu,
maka kali ini, permintaan itu betapapun beratnya, namun diterimanya pula.
Apalagi Kiai Sambirata itu merasa bahwa ia memiliki beberapa kemampuan yang
dapat dibanggakannya. Melampaui Sembada itu sendiri. Tetapi sebenarnyalah bahwa
Sambirata masih belum melampaui Prabasemi.
Namun otaknya
yang tidak begitu cerdik menjadikannya tidak lebih dari seorang pesuruh yang
garang. Tetapi mereka kini tidak bekerja seorang demi seorang. Mereka
bersama-sama telah bergabung dalam satu kekuatan untuk melenyapkan anak muda
yang bernama Karebet. Sambirata pun kemudian membawa beberapa orang muridnya
yang dipercaya, sehingga mereka menjadi berjumlah tujuh orang. Rombongan itu
sebenarnya menjadi sebuah rombongan yang cukup besar. Namun mereka tidak
berjalan bersama-sama. Mereka telah mengadakan persepakatan untuk berjalan
sendiri-sendiri. Namun akhirnya mereka akan bertemu di tempat yang telah
ditentukan, di sekitar Tingkir. Mereka akan mengawasi jalan dari Demak yang
masuk ke pedukuhan itu. Sementara itu Jaka Tingkir pun masih dalam
keragu-raguan. Ia belum tahu pasti, ke mana ia akan pergi. Namun akhirnya
sampailah ia kepada keputusan yang sama sekali tidak diketahuinya, bahwa bahaya
telah menunggunya di setiap saat. Yang mula-mula akan dilakukan oleh Tingkir
itu sebenarnyalah kembali ke Tingkir untuk sementara. Ia ingin tinggal di rumah
ibu angkatnya untuk sesaat menenangkan pikirannya. Baru dari sana ia akan
menentukan apakah yang akan dilakukannya untuk seterusnya.
DENGAN penuh
penyesalan, Jaka Tingkir yang juga bernama Mas Karebet itu berjalan menyusur
hutan-hutan kecil, kembali ke kampung halamannya, Tingkir. Betapa pun
penyesalan itu menghentak-hentak dadanya, namun semuanya itu telah berlalu.
Keputusan Baginda telah dijatuhkan atasnya. Dan ia tidak akan dapat mengubahnya.
Namun betapapun juga, masih tersimpan harapan di dalam hatinya, bahwa suatu
ketika Baginda akan mengampuninya. Bukankah Baginda berkata bahwa ia dibuang
dari Demak sampai keputusan itu dicabut? Bukankah dengan demikian, ia masih
dapat mengharap Baginda mencabut keputusannya? Tetapi seandainya tidak pun,
maka ia tidak akan bersakit hati kepada Baginda. Baginda telah cukup
melimpahkan kasih sayangnya kepadanya. Tetapi apabila dikenangnya Tumenggung
Prabasemi, maka dadanya seakan-akan meledak karenanya. Kadang-kadang timbul
juga penyesalannya, kenapa Tumenggung yang gila itu tidak dibunuhnya?
Bagaimanakah kelak, apabila maksud Tumenggung itu, karena kelicikannya dapat
tercapai? Terdengar Karebet menggeretakkan giginya. Ia tidak akan dapat melihat
putri itu dipersandingkan dengan Tumenggung yang gila itu.
“Akan aku
bunuh ia di persandingan,” geramnya. Karebet berjalan terus siang dan malam.
Hanya kadang-kadang saja ia berhenti. Menikmati sejuknya udara di hutan-hutan
yang rindang. Mendengarkan burung bernyanyi. Namun kalau didengarnya suara
angin berdesir lembut, maka hatinya pun berdesir pula. Sekali-kali dikenangnya
suara putri Baginda yang lembut di telinganya.
“Hem!” Karebet
menarik nafas dalam-dalam.
“Kenapa aku
sekarang berpenyakit gila? Bukankah penyakit ini telah hampir sembuh ketika aku
berada di Karang Tumaritis?”
Namun betapa
pedih hati anak muda itu. Pedih sebagaimana anak muda yang dipisahkan dari
seorang gadis yang telah menambat hatinya, pedih sebagai seorang prajurit yang
diusir dari keprajuritannya.
“Salahku,
salahku sendiri,” gumamnya. Karebet pun kemudian berjalan terus. Ia ingin
cepat-cepat sampai ke Tingkir untuk mencium tangan ibu angkatnya. Akan
diciumnya tangan itu sebagai pelepas pedih hatinya yang selama ini seakan-akan
menjadi semakin parah. Namun ketika Karebet itu sudah semakin dekat dengan
Tingkir, terasa ada sesuatu yang menyentuh-nyentuh hatinya. Firasatnya sebagai
seorang yang selalu berkeliaran di tempat-tempat yang berbahaya telah
memperingatkannya untuk berhati-hati. Dan sebenarnyalah, sesaat kemudian terasa
bahwa jalan di hadapannya yang melintas hutan yang tidak begitu lebat itu,
tampak tidak sewajarnya. Jalan itu terlalu sepi. Ia tidak melihat seekor
burungpun yang terbang melintas, atau seekor bintang kecil lainnya yang
berlari-lari menyeberangi jalan. Karena itu, Karebet menghentikan langkahnya.
Kemudian terdengar ia bergumam,
“Kalau
kesepian itu disebabkan karena binatang buas, maka biasanya harimau atau ular
besarlah sebabnya. Tetapi kalau ada sebab lain, maka tak tahulah.”
Maka Karebet
pun kemudian bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan. Harimau, ular atau apa
saja. Tetapi untuk beberapa lama tak ada apapun yang dilihatnya. Meskipun
demikian, kesepian itu masih meragukannya. Dengan demikian, maka Karebet tidak mau
berjalan maju lebih jauh lagi. Bahkan kemudian dengan tenangnya ia duduk
bersandar pada sebuah pohon. Namun segenap panca indranya telah dipasangnya
baik-baik. Setiap desir angin yang betapa pun lirihnya, pasti akan didengarnya,
dan setiap gerak yang betapa pun lembutnya, pasti dilihatnya.
Tetapi
alangkah terkejutnya anak muda itu. Ia mendengar suara berdesir di belakangnya.
Didengarnya pula dengus nafas perlahan-lahan. Namun sama sekali bukan nafas
harimau atau pun dengus ular. Nafas itu adalah nafas seseorang.
“Aneh,” kata
Karebet di dalam hatinya.
“Kalau sebab
daripada kesenyapan itu adalah manusia. Bukankah jalan ini sering dilewati
orang dari dan ke Tingkir? Dan bukankah manusia tidak akan menakut-nakuti
binatang-binatang kecil itu?”
Namun akhirnya
Karebet sampai pada kesimpulannya bahwa
“Manusia pun mungkin pula. Mereka pasti berada
di dalam semak-semak. Pasti lebih dari satu sehingga binatang-binatang menjadi
ketakutan.”
Karena
kesimpulannya itulah maka kemudian Karebet menjadi lebih berhati-hati. Manusia,
apalagi lebih dari satu, baginya akan lebih berbahaya daripada harimau atau
binatang-binatang lain. Dan apa yang diduganya itu segera terjadi. Ketika
Karebet mendengar langkah seseorang meloncat di belakangnya, maka segera ia pun
melenting tegak pada kedua kakinya yang kokoh kuat. Kini di hadapannya berdiri
seseorang yang bertubuh tinggi tegap dan berdada bidang. Dari sela-sela bajunya
tampak rambut yang lebat tumbuh di dadanya.
ALANGKAH
terkejutnya Karebet melihat orang itu, sehingga dengan serta merta ia
menyapanya,
“Kakang
Sembada?” Sembada tersenyum.
“Ya akulah,”
jawabnya.
Karebet
mengerutkan keningnya. Ia melihat wajah Sembada yang garang, karena itu segera
ia dapat menyangka, bahwa kedatangannya bukanlah dengan maksud yang baik.
Tetapi Karebet tidak mau segera berprasangka jelek. Dicobanya kemudian untuk
menghilangkan setiap kesan yang gelap dari wajahnya. Dengan senyum kecil
Karebet kemudian berkata,
“Kedatangan
Kakang sangat mengejutkan aku.”
Wajah Sembada
masih tetap garang. Bahkan kemudian dengan tajamnya ia memandangi tubuh Jaka
Tingkir.
“Hem. Tidak
seberapa besar,” katanya di dalam hati.
“Apakah dalam
tubuh itu benar-benar tersimpan Aji Lembu Sekilan?”
Karena Sembada
tidak segera menjawab, maka Karebet bertanya pula,
“Apakah
keperluan Kakang, sehingga Kakang sampai kemari?”
Sembada
menggeram. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya. Karena itu ia tidak
berbicara melingkar-lingkar. Langsung saja dikatakannya apa yang dikehendaki.
Dengan nada datar ia berkata,
“Karebet, aku
adalah sraya Adi Tumenggung Prabasemi.”
Dada Karebet
segera berdesir. Cepat ia dapat menebak. Apakah sebenarnya maksud Sembada itu.
Namun ia masih juga bertanya,
“Apakah yang
harus Kakang lakukan?”
Sembada
menarik nafas. Kemudian setelah menenangkan getar dadanya ia berkata,
“Aku harus
membunuh kau.”
Meskipun
Karebet telah menyangka, namun pengakuan yang tiba-tiba itu mengejutkannya
juga. Sesaat ia terpaku diam. Ditatapnya wajah Sembada yang garang itu.
“Jangan
mempersulit pekerjaanku, Karebet. Aku dan kau tidak pernah mempunyai persoalan
apapun. Aku tidak pernah menyakiti hatimu, dan kau tidak pernah menyakiti
hatiku pula. Karena itu, marilah kita saling berbaik hati. Tolonglah
pekerjaanku kali ini supaya segera selesai. Nanti aku akan mendapat sebuah
kamus bertimang emas tretes berlian,” kata Sembada.
Karebet
mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian jawabnya dalam nadanya yang khusuk,
“Baik Kakang.
Baiklah aku menolongmu. Tetapi aku harus mendapat separo dari kamus dan timang
itu.”
Sembada
mengerutkan keningnya.
“Hem..”,
geramnya dan kemudian katanya di dalam hati,
“Anak ini
benar-benar anak yang luar biasa. Tanggapannya atas bahaya yang dihadapi masih
saja seperti menyongsong datangnya kekasih.”
Namun Sembada
tidak mau terpengaruh oleh wibawa Joko Tingkir. Karena itu ia membentak,
“Aku tidak
sedang berkelakar, Karebet.” Justru Karebet yang aneh itu kini tertawa.
Katanya,
“Kita tidak
pernah saling menyakiti hati masing-masing. Jangan membentak-bentak, Kakang.
Lebih baik kita bergurau setelah kita lama tidak bertemu.”
“Diam!” bentak
Sembada yang sama sekali tidak berhasil menakut-nakuti Karebet. Meskipun
demikian sekali lagi ia menggertak, “Hem.. mati dan mati ada seribu jalan.
Apalagi di hutan ini. Di pembaringan pun orang dapat sekarat. Ayo, tundukkan
kepalamu supaya kau tidak mengalami derita di saat-saat terakhir.”
Sembada
menjadi marah bukan buatan ketika Karebet malahan tertawa bergelak-gelak.
Dengan memegang perutnya, anak muda itu berkata,
“Ah, Kakang.
Masih saja Kakang teringat akan pekerjaan Kakang. Kita sekarang tidak sedang
berada di pembantaian, Kakang.”
Wajah Sembada
menjadi merah padam. Namun sebelum ia membentak-bentak lagi, Karebet pun
terkejut. Ia mendengar desir di semak-semak. Karena itu maka katanya di dalam
hati.
“Benar
dugaanku. Tidak hanya seorang.”
SESAAT
kemudian Karebet menggeser kakinya. Dari sisinya melontarlah seorang yang akan
lebih tua dari Sembada. Namun tampaklah betapa orang itu jauh lebih tenang dan
meyakinkan. Orang itulah Kiai Sambirata. Dengan lemahnya Kiai Sambirata
menganggukan kepalanya. Dengan sareh ia berkata,
“Apakah Angger
yang bernama Karebet?”
Karebet
mengangguk. Namun terasa bahwa ia harus lebih waspada karenanya. Meskipun ia
tidak bergerak dari tempatnya, namun ia benar-benar tidak mau menjadi lembu
bantaian. Karena itu segera dengan diam-diam diterapkannya Ajinya yang dahsyat,
Lembu Sekilan.
Sambirata
melihat wajah Karebet yang tegang. Tetapi ia tidak segera menyadari, bahwa
dengan sikap yang sederhana itu, Karebet telah matek Ajinya Lembu Sekilan.
Karena itu, masih saja Kiai Sambirata yang terlalu percaya kepada dirinya itu
berkata,
“Benarkah aku
berhadapan dengan Angger Jaka Tingkir?”
Karebet
mengangguk,
“Ya. Akulah
Karebet, yang juga disebut orang, Jaka Tingkir.”
Kiai Sambirata
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Akulah yang
bernama Sambirata.”
Karebet
memandang orang itu dengan seksama. Di Demak, nama itu memang pernah
didengarnya. Tetapi ia tidak pernah menaruh perhatian. Kini tiba-tiba orang itu
datang kepadanya dengan maksud yang tidak sewajarnya. Dengan demikian, maka
Karebet itu benar-benar harus berhati-hati. Ia tahu benar benar bahwa Sembada
adalah kakak seperguruan Prabasemi dan Sambirata adalah orang yang kurang
disenangi oleh masyarakat Demak karena pekerjaannya. Ternyata kini mereka
berdua bergabung untuk melenyapkannya. Meskipun demikian sebenarnya Karebet
sama sekali tidak gentar.
“Kalau perlu,
aku terpaksa membunuh untuk mempertahankan hidupku,” katanya.
Yang berbicara
kemudian adalah Sambirata.
“Angger.
Baiklah aku berterus terang. Kami berdua dengan beberapa murid-muridku datang
untuk membunuh Angger. Kalau Angger ingin mencoba, lawanlah kami. Kami tidak
mampunyai banyak waktu.”
Sekali lagi
Karebet terkejut. Ternyata mereka tidak hanya berdua. Tetapi justru karena itu
timbullah marahnya. Wajahnya yang riang menjadi kemerah-merahan karena nyala
api kemarahan yang membakar dadanya. Dengan lantang anak dari Tingkir itu
menjawab,
“Paman dan
Kakang Sembada. Kita adalah manusia yang mempunyai sifat mempertahankan hidup
yang dikaruniakan kepada kita. Aku harus mencoba mempertahankan hidup itu
sekuat-kuat tenagaku. Kalau Yang Maha Esa berkenan, maka jangan menyesal kalau
kalian berdualah yang akan mendahului aku.”
“Jangan
membual. Meskipun kau kekasih Jim, Setan, Peri, Prayangan, namun kalau tidak
mampu menangkap angin, jangan mencoba menengadahkan kepalamu,” bentak Sembada
dengan kasarnya.
“Langit dan
bumi menjadi saksi. Kalau terjadi pertumpahan darah di sini, bukan akulah yang
bersalah,” sahut Karebet.
Sembada sudah
tidak dapat menahan diri lagi. Timang emas bertretes berlian benar-benar
menarik hati, apalagi anak muda itu benar-benar telah membakar telinganya.
Karena itu, cepat-cepat ia meloncat dan memukul dada Karebet sekuat-kuatnya.
Karebet melihat gerak Sembada itu, namun ia sama sekali tidak menghindarinya.
Namun wajahnya menjadi tegang dalam penerapan ajian yang setinggi-tingginya,
daya pertahanan dalam Aji Lembu Sekilan. Tenaga Sembada adalah tenaga yang luar
biasa kuatnya. Namun ia masih mempergunakan kekuatan jasmaniah melulu. Karena
itu, ketika tangannya membentur dada Karebet alangkah terkejutnya. Karebet itu
masih saja tegak seperti tonggak. Sedang kedua kakinya yang kokoh kuat
seakan-akan berakar jauh menghujam ke pusat bumi. Bahkan terasa, seakan-akan
tangan Sembada itu menghantam sesuatu yang tak dapat dilihatnya. Tetapi
tangannya itu seakan-akan sama sekali tidak menyentuh dada Karebet. Ketika ia
menyadari serangannya itu gagal, maka segera ia meloncat surut. Dengan marahnya
ia menggeram, sambil menunjuk wajah Karebet itu dengan ujung jarinya.
“Setan,
gendruwo. He Karebet. Apa kau sangka Aji Lembu Sekilan itu tak akan berlawan?”
Karebet tidak
menjawab. Namun sekilas ia melihat Sambirata bergeser. Orang itu menghentakkan
kedua tangannya dan dengan satu gerakan yang cepat, tangan itu ditariknya ke samping.
“Hem,” geram
Karebet. “Aji apalagi yang akan kau pamerkan?”
SAMBIRATA
benar-benar tersinggung. Ia memang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatan
orang-orang kebanyakan. Dengan pemusatan pikiran dan kehendak, maka Sambirata
dapat menyalurkan kekuatan itu. Namun ia sama sekali tak peduli, apakah nama
dari kekuatan yang tersimpan dalam dirinya. Dan Sambirata memang tidak berpikir
tentang nama itu meskipun dahulu gurunya menyebutnya, Aji Wilet, namun yang
dimilikinya telah banyak mengalami perubahan, sehingga ia tidak menyebutnya
demikian. Tetapi betapa pun juga, ia mampu menerapkan ilmunya yang dahsyat itu.
Ketika ia menyadari, bahwa lawannya sejak permulaan itu telah mempergunakan Aji
Lembu Sekilan, maka Sambirata pun segera mempergunakan ilmunya itu. Dengan
serta merta, Sambirata meloncat pula dan langsung memukul wajah Karebet.
Karebet melihat serangan itu, dan ia pun menyadari, bahwa Sambirata tidak
sekadar menyerangnya dengan tenaganya, namun pasti sudah dilambari dengan suatu
ilmu yang berbahaya. Karena itu, Karebet pun segera menarik diri satu langkah
ke samping, sehingga serangan Sambirata dapat dihindari. Namun Sambirata
benar-benar lincah. Sekali lagi ia melenting seperti sikat, dan Karebet tidak
sempat untuk menghindari, ketika kaki Sambirata itu langsung menghantam
lambungnya. Terjadilah suatu benturan yang tajam, antara kekuatan ilmu
Sambirata melawan Lembu Sekilan. Akibatnya pun dahsyat pula. Dan sekali ia
berguling. Sedang Sambirata pun terdorong oleh kekuatannya sendiri yang
seakan-akan membentur dinding baja. Terasa pula dadanya menjadi pedih. Karena
itu segera ia memusatkan segenap kekuatan lahir dan batinnya untuk melawan
tekanan yang seakan-akan menghentak-hentak di dalam dadanya itu.
Karebet yang
baru saja berhasil menguasai dirinya, setelah Aji Lembu Sekilan berhasil
ditembus, meskipun tidak terlalu berbahaya oleh Sambirata, terkejut sekali
melihat serangan Sembada. Sekilas ia masih sempat melihat Sembada itu
menjulurkan kedua tangannya ke belakang, sedang kedua tangannya kemudian mengepal
ke lambungnya.
“Seperti yang
dilakukan Prabasemi,” geramnya. Namun serangan itu telah tiba, sedemikian
cepatnya, sehingga kali inipun Karebet tidak dapat menghindar. Karena itu, maka
sekali lagi Aji Lembu Sekilan yang baru saja digoncangkan oleh Sambirata itu
kembali berguncang. Aji Sembada menembus Aji Lembu Sekilan yang belum mapan
kembali. Sekali lagi Karebet berguncang dan terbanting di tanah. Kali ini ia
harus berguling beberapa kali untuk mendapatkan jarak dari lawan-lawannya.
Namun sekali lagi Karebet terkejut. Tiba-tiba saja ia melihat beberapa orang
bersama-sama muncul dari dalam belukar di sekitarnya. Mereka berebutan
menyerangnya dengan pedang pendek, seperti ingin mencincangnya. Namun Karebet
adalah seorang yang aneh, yang memiliki ketangkasan dan keperkasaan yang
mengagumkan. Ketika ia melihat serangan itu datang, maka secepatnya ia
melanting berdiri, dan dengan sekali loncat, ia telah berhasil menjauhkan
dirinya dari orang-orang itu.
Tetapi
kemudian datanglah serangan Sambirata memotong gerakannya. Karebet menggeram.
Betapa ia menjadi marah bukan main. Kini ia tidak boleh ragu-ragu lagi. Kalau
ia terpaksa membunuh, maka sekali lagi ia meyakinkan dirinya, bukan salahnya.
Dengan demikian, maka kembali Karebet menerapkan Aji Lembu Sekilan dalam puncak
kemampuannya. Ia sadar bahwa Sambirata masih akan berhasil menembus ajiannya
itu. Namun pasti tidak akan berbahaya. Juga Sembada tidak akan membahayakan
jiwanya. Tetapi senjata-senjata tajam itu pun perlu mendapat perhatiannya.
Dengan kekuatan yang baik, maka senjata tajam itu pun akan mampu menembus
benteng pertahanannya, meskipun tidak akan dapat membunuhnya dengan sekali
tusuk. Namun kalau luka itu menjadi bertambah-tambah dan darahnya mengalir
terlalu banyak, maka keadaan itu pun pasti akan menimbulkan bahaya. Kini
Karebet pun sudah siap dengan puncak keterampilannya. Seperti sikatan
berloncatan di rerumputan hijau. Karebet menghindari setiap serangan lawannya,
dan bahkan beberapa orang telah terpelanting dan terbanting jatuh. Namun sentuhan-sentuhan
Karebet yang harus mempertahankan diri dari setiap serangan itu, maka
tekanan-tekanan lawan-lawannya masih saja terasa menjadi semakin berat.
Meskipun demikian Karebet sama sekali tidak gentar. Ia melihat, bahwa hanya dua
orang di antara mereka yang harus mendapat perhatiannya yang khusus. Sambirata
dan Sembada dari Kedung Wuni. Maka perkelahian itu menjadi semakin lama semakin
seru. Beberapa orang murid Sambirata itu sama sekali tak berdaya menghadapi
kelincahan Karebet.
MEREKA menjadi
benar-benar tidak dapat mengerti, bahwa setiap kali mereka menusukkan
pedang-pedang mereka, maka seakan-akan mereka sama sekali tak menyentuh tubuh
lawannya, meskipun lawannya tidak berusaha untuk menghindar. Hanya dalam
kesempatan-kesempatan yang sangat baik, selagi mereka sempat mengerahkan
segenap kekuatannya, maka pedangnya dapat menggores kulit Karebet. Dan beberapa
tetes darah mengalir dari luka itu. Namun setiap tetes darah yang tumpah,
seakan-akan merupakan tetesan minyak yang menyirami api kemarahan di dalam dada
anak muda dari Tingkir itu. Betapa kemudian ia tidak lagi mengendalikan
dirinya. Dengan kecepatannya bergerak, maka ia pun segera berhasil menjatuhkan
beberapa lawannya. Murid-murid Sambirata itu, jatuh bangun tak henti-hentinya.
Sekali-kali mereka merasa bahwa lawannya yang hanya seorang itu akan segera
binasa. Namun lain kali, seakan-akan terasa gunung runtuh menimpa dadanya.
Seperti beribu-ribu kunang terbang di sekitar rongga mata mereka. Dalam
kesesakan nafas itu, mereka sekali-kali mendengar kawan-kawannya yang mengaduh,
dan jatuh menimpanya. Apabila seorang di antara mereka mampu merangkak bangun,
maka seorang yang lain terbanting jatuh. Sehingga mereka seakan-akan sama
sekali tak berarti. Tetapi mereka sedang bertempur di hadapan guru mereka. Betapa
pun pungggung mereka serasa telah patah, tetapi dengan kekuatan-kekuatan mereka
yang terakhir, mereka masih juga mencoba bangun. Berdiri dan bergeser setapak
demi setapak di sekitar perkelahian itu, untuk sesaat kemudian dada mereka
serasa meledak karena sentuhan-sentuhan tangan atau kaki Karebet.
Dalam
saat-saat berikutnya, meskipun tampaknya beberapa orang masih juga berdiri
mengitari tempat perkelahian itu, namun sebenarnya tidak lebih dari Sembada dan
Sambirata berdualah yang berkelahi mati-matian. Dengan kekuatan ajian
masing-masing, mereka mencoba untuk membunuh anak yang aneh itu. Dalam pada
itu, Karebet pun merasakan tekanan-tekanan yang berat dari kedua orang itu.
Mereka masing-masing ternyata tidak lebih dari Tumenggung Prabasemi. Namun karena
kekuatan mereka bergabung, maka Karebet benar-benar menghadapi pekerjaan yang
sangat berat. Aji Lembu Sekilannya terasa sesekali terguncang. Dan sekali-kali
terasa bahwa dalam kesempatan-kesempatan itu, kekuatan-kekuatan ajian lawannya
berganti-ganti dapat menembusnya meskipun tidak terlalu dalam. Namun apabila
hal itu berlangsung lama, maka ada kemungkinan pertahanannya menjadi semakin
lemah. Meskipun orang-orang lain, kecuali kedua orang itu hampir tak berarti
bagi Karebet, namun mereka telah memecahkan beberapa pemusatan perhatiannya.
Sehingga sesaat kemudian dengan penuh kemarahan, maka orang-orang itu satu demi
satu dilumpuhkannya.
Dan kini yang
terakhir adalah Sembada dan Sambirata. Keduanya tampaknya masih cukup segar
utuk melawannya. Meskipun kedua orang itu pun sebenarnya menjadi gelisah pula
menghadapi Aji Lembu Sekilan.
Kini Karebet
benar-benar dapat memusatkan segenap perhatiannya. Sekali-kali ia berpaling
kepada orang-orang yang bergelimpangan di sana-sini. Ada di antara mereka yang
masih mencoba bangkit, namun ternyata tenaga mereka seakan-akan telah terhisap
habis, sehingga kembali mereka tak berdaya jatuh di tanah. Sambirata yang
melihat muridnya tak berdaya itu mengumpat tak habis-habisnya, katanya,
“Tikus-tikus
malang. Ternyata kalian sama sekali tak dapat dibanggakan sebagai seorang murid
Sambirata.”
Murid-murid
itu pun mengeluh di dalam hati. Tetapi mereka bergumam pula didalam hati.
“Jangankan
aku, sedang guru sendiri pun tidak juga segera dapat menguasai lawan yang hanya
seorang itu.”
Karebet
kemudian sama sekali tak memperhatikan lagi mereka yang telah terkapar di
tanah. Yang dihadapinya kini adalah Sembada dan Sambirata. Kedua orang ini
benar-benar berhasrat akan membunuhnya. Sesaat kemudian pertempuran pun
berkobar pula dengan sengitnya. Sembada dan Sambirata berjuang dengan sepenuh
tenaga. Meskipun mereka bukan datang dari perguruan yang sama, namun mereka
segera dapat menyesuaikan diri mereka. Berganti-ganti mereka menyerang dengan
kedahsyatan ajian masing-masing. Seperti sepasang burung alap-alap yang
menyambar-nyambar mangsanya.
Tetapi Karebet
benar-benar memiliki kelincahan yang tak mereka sangka-sangka, disamping
perisainya yang luar biasa Aji Lembu Sekilan. Betapa dahsyatnya
serangan-serangan Sembada dan Sambirata, namun Mas Karebet itu masih saja mampu
mempertahankan dirinya. Meskipun demikian, sekali-kali pertahanannya terguncang
pula oleh kekuatan-kekuatan Aji lawannya. Sehingga sekali-kali Mas Karebet
mampu pula didorongnya jatuh. Namun demikian ia jatuh segera ia melanting
berdiri, siap melawan dengan lambaran ilmunya, Lembu Sekilan.
TETAPI
betapapun Karebet berjuang dalam keadaannya itu, namun ternyata bahwa lawannya
bukan seorang Prabasemi. Tetapi kini lawannnya yang berjumlah dua orang itu,
ternyata berhasil menggabungkan kekuatan mereka dengan baiknya. Sehingga
sekali-kali mereka berdua berhasil bersama-sama menghantamkan kekuatan ajinya
atas tubuh Mas Karebet yang masih muda itu. Dengan demikian, maka Mas Karebet
itu semakin lama menjadi semakin terdesak karenanya. Dan tekanan ini telah
membakar jantungnya. Kemarahan semakin lama menjadi kian memuncak, seakan-akan
telah mendidihkan seluruh darahnya. Ia tidak mau mati karena pokal Prabasemi.
Meskipun pusat kemarahannya berkisar kepada Tumenggung Prabasemi, dan meskipun
disadarinya bahwa kedua orang yang datang bersama murid-muridnya itu tidak
lebih dari orang-orang suruhan yang ingin mendapatkan upah karena perbuatannya
itu, namun apabila tak dimilikinya cara lain, maka cara satu-satunya untuk
menyelamatkan dirinya adalah membunuh lawan-lawannya. Karena itu, Karebet yang
marah itu, masih mencoba untuk mengurangi kesalahan-kesalahan yang mungkin
dilakukannya. Kalau ia terpaksa membunuh, dan perbuatannya itu didengar oleh
Sultan, maka apakah Sultan tidak menjadi semakin murka kepadanya. Karena itu,
maka untuk terakhir kalinya Karebet itu mencoba mencegah bencana yang semakin
berlarut-larut. Katanya,
“Kakang
Sembada. Aku minta kakang berpikir sekali lagi, apakah yang kakang lakukan itu
sudah kakang anggap benar?”
Sembada masih
menyerang Karebet dengan dahsyatnya. Meskipun demikian ia sempat juga menjawab,
“Jangan banyak
bicara. Aku bukan anak-anak.”
Dengan
tangkasnya Karebet menghindari serangan yang ganas itu. Namun tiba-tiba
Sambirata memotong geraknya sambil berputar setengah lingkaran. Tangan
Sambirata yang terjulur itu tidak mengenai sasarannya, tetapi cepat ia meloncat
sekali lagi. Ajinya yang dahsyat terayun tepat mengarah tengkuk Karebet.
Karebet masih berusaha untuk menghindar, namun kesempatannya terlalu sempit. Yang
dapat dilakukan adalah meloncat surut selagi ia masih berjongkok.
Gerakan-gerakan khusus yang sulit dilakukan oleh orang lain. Karena itu
Sambirata terkejut bukan buatan. Sekali lagi serangannya tak mengenai lawannya.
Tetapi dalam pada itu Sembada telah siap dengan serangannya pula. Demikian
Karebet menyentuh tanah, Sembada meloncat dengan cepatnya melontarkan Aji Sapu
Anginnya kearah punggung lawannya. Kali ini kesempatan Karebet benar-benar
sangat sempit. Karena itu ia hanya dapat berputar dan dengan puncak kekuatan
Aji Lembu Sekilan yang dimiliki ia melawan pukulan Aji Sapu Angin. Ternyata
dengan gerakan yang pendek itu, pukulan Sembada tidak tepat mengenai
sasarannya. Tangannya itu hanya mampu menyentuh pundak Karebet. Sedang pundak
Karebet telah dilindungi pula oleh Lembu Sekilan, sehingga pukulan yang melesat
itu sama sekali tak mampu menerobos perisai Karebet yang dahsyat itu.
Sembada
menggeram. Namun kali ini serangan Karebetlah yang menyambar perutnya. Dengan
berputar pada satu kakinya, Karebet membuat serangan dengan kakinya menyambar
lawannya dengan dahsyatnya. Sedangan yang tidak disangka-sangka. Karena itu,
maka Sembada dengan tergesa-gesa meloncat surut. Namun Karebet tidak
membiarkannya, sekali ia meloncat maju, dan sekali lagi kakinya menjulur lurus
kedada lawannya. Serangan itu sedemikian cepatnya, sehingga Sembada tak mampu
lagi untuk mengelak. Karena itu, maka dengan sepenuh tenaga, dilawannya
serangan Karebet itu dengan Aji Sapu Angin, sehingga terjadilah benturan yang
dahsyat antara Aji Lembu Sekilan yang melindungi serangan Karebet, melawan Aji
Sapu Angin. Sembada itu pun tergetar surut beberapa langkah, namun Karebet pun
terlontar pula mundur. Aji Lembu Sekilan dalam patrap penyerangan memang tidak
sekuat dalam patrap pertahanan. Karena itu terasa pula, nyeri-nyeri menjalari
tubuh anak muda dari Tingkir itu. Apalagi sesaat kemudian Sambirata telah
melontarkan serangannya pula, sehingga Karebet yang belum memiliki keseimbangan
yang mantap itu terpaksa menjatuhkan diri dan berguling beberapa kali
menghindari kekuatan Aji Sambirata.
Keadaan
Karebet semakin lama benar-benar menjadi semakin sulit. Aji Lembu Sekilannya
beberapa kali telah berhasil digoncangkan oleh kekuatan Aji kedua lawannya
bersama-sama. Meskipun demikian ia masih berteriak.
“Kakang
Sembada dan paman Sambirata. Aku kini memperingatkan kalian untuk yang terakhir
kalinya. Pergilah dan katakan kepada Prabasemi bahwa Karebet telah mati. Aku
tidak akan datang ke Demak sebelum Sultan mengampunkan kesalahanku. Dalam waktu
yang tidak tertentu itu, mudah-mudahan Prabasemi telah melupakan dendamnya
kepadaku.”
Yang terdengar
kemudian adalah suara Sembada dan Sambirata tertawa hampir berbarengan. Tetapi
tawa Sembada ternyata jauh lebih keras.
“Hai anak yang
bernasib jelek. Sesaat sebelum kau mati, kau masih punya waktu untuk
menyombongkan dirimu.”
Dan terdengar
Sambirata berkata pula,
“Angger
ternyata menyadari kesulitan yang angger alami. Menyerahlah supaya angger tidak
menjadi lelah. Perjalanan ke akhirat masih panjang, dengan demikian angger
masih menyimpan sisa tenaga untuk perjalanan itu.”
Karebet
menjadi marah bukan alang kepalang. Matanya kini memancar hijau kebiru-biruan
sebagaimana sinar mata harimau dikegelapan. Dengan parau terdengar suaranya
gemetar karena marah,
“kalau begitu
terserahlah. Aku tidak mau mati. Bagiku lebih baik membunuh daripada dibunuh.”
Sekali lagi
Sembada dan Sambirata tertawa. Tetapi tiba-tiba suaranya terputus karena
melihat Karebet meloncat mundur. Dengan pancaran mata yang aneh, biru kehijauan
Karebet memandang kedua lawannya berganti-ganti. Kemudian dengan wajah tegang
anak muda itu menggosokkan kedua telapak tangannya, meloncat dengan garangnya
dan tegak diatas kedua kakinya yang renggang. Sesaat kemudian ditekuknya kedua
lututnya, siap melontarkan serangan yang dahsyat, aji Rog-rog Asem.
Sebenarnyalah Karebet pada saat itu telah benar-benar kehilangan pengamatan
diri. Karena goncangan pada Aji Lembu Sekilan, maka hatinyapun serasa
diguncang-guncang. Karena itu, maka pada saat terakhir ia tidak mampu menahan
kemarahannya. Sehingga bulatlah tekadnya untuk membunuh saja kedua lawannya
dengan aji Rog-rog Asem. Sembada dan Sambirata yang melihat sikap Karebet
segera menyadari keadaan mereka. Selagi Karebet belum menggunakan Aji lain
daripada Lembu Sekilan, mereka telah menemui banyak kesulitan untuk
menyelesaikan pekerjaan mereka. Apalagi kalau anak muda itu kemudian
mempergunakan kekuatan terakhirnya. Karena itu tanpa saling berjanji mereka
menyiapkan kekuatan Aji untuk menyelesaikan pekerjaan mereka.
Tetapi
tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sama sekali tidak mereka sangka-sangka.
Tidak oleh Karebet, maupun Sembada dan Sambirata. Ketika mereka telah hampir
sampai pada puncak pengerahan Aji masing-masing, maka demikian derasnya, namun
benar-benar langsung mempengaruhi isi dada mereka.
No comments:
Post a Comment