“SELAMAT tinggal paman” berkata Mahesa Jenar kemudian.
Wanamerta
mengangguk. Ingin ia menjawab, namun suaranya tersangkut dikerongkongan.
Yang terdengar
kemudian hanyalah sebuah jawaban pendek,
“Ya, ya
angger.”
Mahesa Jenar
itu pun kemudian meneruskan perjalanannya. Di muka sendiri Demang Sarayuda
mulai mempercepat jalan kudanya. Perjalanan mereka adalah perjalanan yang
panjang. Namun mereka tidak usah takut terhadap siapa pun sehingga mereka tidak
perlu memilih jalan-jalan yang tersembunyi. Atau mereka pun sama sekali tidak
berkepentingan dengan apapun selama perjalanan mereka. Karena itulah maka
perjalanan itu akan tidak terganggu. Disepanjang jalan itu Rara Wilis telah
mulai menganyam angan-angannya menjelang masa-masa yang akan datang. Hal yang
lumrah bagi gadis-gadis yang akan menginjak masa-masa yang telah lama mereka
tunggu-tunggu. Rara Wilis pun adalah seorang gadis biasa. Meskipun kadang-kadang
dilambungnya tersangkut sebilah pedang, dan bahkan pedang yang telah berbekas
darah, namun dalam saat-saat yang demikian ia adalah seorang gadis. Tidak lebih
daripada itu. Karena itulah maka ia mendambakan masa yang berbahagia, masa yang
bagi Rara Wilis sebenarnya telah terlalu lambat.
Sepeninggal
Mahesa Jenar dan Rara Wilis terasa rumah Ki Ageng Gajah Sora menjadi sepi.
Apalagi ketika Ki Ageng Lembu Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana telah kembali ke
Pamingit. Namun meskipun demikian, kehadiran Endang Widuri di Banyubiru, masih
dapat menyejukkan suasana rumah Ki Ageng Gajah Sora itu. Untuk menghilangkan
kejemuannya Endang Widuri bekerja apa saja yang dapat dilakukannya. Menanami
halaman, yang seakan-akan halamannya sendiri. Ikut menanam padi di sawah. Menyiangi
dan pekerjaan-pekerjaan lain. Sebagai seorang gadis Widuri senang juga membantu
Nyai Ageng Gajah Sora di dapur. Menyiapkan makan dan minuman.
Ki Ageng Gajah
Sora pun masih mempunyai kawan bercakap-cakap. Kebo Kanigara, meskipun pada
saat-saat terakhir Kebo Kanigara sering meninggalkan rumah, dan tak pernah ia
berkata tentang apapun juga kepada putrinya. Widuri pun menyadari keadaanya. Ia
merasa masih terlalu kecil untuk berbicara tentang masalah-masalah yang berat
dengan ayahnya. Karena itu, maka jarang sekali Widuri bertanya-tanya tentang
pekerjaan ayahnya. Gadis itu lebih senang bercakap-cakap dengan Arya Salaka di
pendapa atau dengan Nyai Ageng Lembu Sora di belakang.
Meskipun
demikian gadis itu tidak melupakan ilmu yang pernah dipelajarinya. Di saat-saat
tertentu ia berlatih bersama Arya Salaka. Mereka berdua memiliki sumber ilmu
yang sama. Ilmu yang dipancarkan dari perguruan Pengging. Namun sekali-kali
gadis itu teringat pula kepada Rara Wilis. Karena itu, maka sekali-kali ia
bertanya pula kepada ayahnya.
“Ayah, apakah
pekerjaan ayah masih belum selesai?”
Kebo Kanigara
menggeleng,
“Belum
Widuri.”
“Kapan kita
menyusul bibi Wilis?”
“Sebentar
lagi”, sahut ayahnya.
“Sebentar lagi
aku akan pergi ke Karang Tumaritis. Pamanmu Mahesa Jenar berpesan kepadaku,
untuk atas namanya, mohon diri kepada Panembahan. Bukankah Panembahan telah
berjanji untuk pergi ke Gunung Kidul? Kau dengar juga bukan? Nah. Kalau
demikian, sebaiknya kita pergi bersama dengan Panembahan kelak.”
Dengan
kesanggupan itu hati Widuri terhibur pula sedikit. Tetapi dalam pada itu, ia
heran juga, apa sajakah yang dilakukan oleh ayahnya di Banyubiru? Namun Kebo
Kanigara tak pernah menyebut-nyebutnya. Dan Widuripun tidak bertanya-tanya
pula.
WIDURI hilang.
Tiba-tiba terjadilah suatu peristiwa yang menggemparkan Banyubiru yang belum
beberapa lama mengalami ketenangan kini telah diguncangkan kembali dengan suatu
peristiwa yang tak disangka-sangka sama sekali. Pada hari itu, segenap
kentongan tanda bahaya menggema di lerang bukit Telamaya. Tanda bahaya yang
benar-benar mengejutkan setiap orang. Mereka tidak melihat tanda-tanda apapun
yang terjadi, namun tiba-tiba mereka mendengar tanda bahaya itu. Sesaat
kemudian mereka melihat, beberapa orang penunggang kuda berlari-lari memacu
kudanya ke segenap penjuru. Bahkan Arya Salaka sendiri seperti orang yang
menjadi gila. Gajah Sora, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran, Penjawi, Jaladri
dan semua laskar di Banyubiru memencar di atas kuda masing-masing.
“Apakah yang
terjadi?” bertanya seseorang.
Orang yang
ditanyanya menggelengkan kepalanya. Meskipun demikian wajahnya menjadi pucat
pula.
“Entahlah.”
Baru sesaat kemudian, ketika mereka melihat seorang berkuda berlari di hadapan
mereka, maka berteriaklah mereka itu,
“Ada apa?”
“Endang Widuri
hilang.”
“He”, tetapi
orang berkuda itu telah jauh. Dua orang yang lain menyusul pula di belakang
orang berkuda yang pertama. Tetapi kepada orang itu pun mereka tidak sempat
bertanya apa-apa.
Nyai Ageng
Gajah Sora pada saat itu menangis di dalam biliknya. Gadis itu bukan anaknya,
tetapi benar-benar seperti anak gadis yang telah dilahirkannya sendiri. Gadis
itu memang nakal, tetapi menyenangkan. Banyak hal-hal yang menarik dilakukan
oleh gadis itu. Apabila tak seorang pun yang ada, pada saat Nyai Ageng
membutuhkan beberapa butir kelapa, maka dengan tangkasnya gadis itu
memanjatnya. Bahkan sampai batang yang paling tinggi sekalipun. Namun gadis itu
pandai juga memasak dan bercerita. Pandai menjahit dan pandai juga berdendang.
Namun tiba-tiba gadis itu hilang.
Di hadapan Nyai
Ageng Gajah Sora itu duduk bersimpuh seorang gadis pula. Gadis itu juga
menangis seperti Nyai Ageng. Dan dari gadis itulah Banyubiru mendengar berita
tentang hilangnya Widuri. Nyai Ageng Gajah Sora, sambil mengusap air matanya
berkata,
“Apakah tak
ada orang lain di belumbang itu?”
Gadis itu
menggeleng,
“Tidak Nyai
Ageng. Waktu aku datang, aku sempat mendengar ceritanya. Ketika aku
berlari-lari menengoknya, aku hanya melihat bayangan seorang anak muda
memapahnya berlari masuk ke dalam semak-semak.”
Nyai Ageng
Gajah Sora termenung sejenak. Adalah aneh sekali, bahwa hal itu dapat terjadi.
Widuri bukanlah gadis biasa seperti gadis yang bersimpuh di hadapannya itu.
Widuri adalah seorang gadis yang memiliki beberapa macam keanehan. Gadis itu
mampu berkelahi seperti laki-laki. Bahkan melampaui kemampuan seorang laskar
Pamingit yang dapat dianggap kuat, Galunggung. Kenapa ia tidak memukul saja
anak muda yang menculiknya itu?
Berbagai
persoalan melingkar-lingkar didalam dadanya. Heran, kecewa menyesal dan berpuluh-puluh
persoalan yang lain.
“Apakah kau
dapat mengira-irakan, kemana Endang Widuri itu dibawa?” bertanya Nyai Ageng itu
pula. Gadis itu menggeleng,
“Aku tidak
tahu Nyai. Namun aku melihat mereka menyusup ke arah Timur. Tetapi untuk
seterusnya aku tidak tahu, sebab aku langsung berlari memberitahukannya
kemari.”
Nyai Ageng
Gajah Sora menarik nafasnya. Dalam kegelapan nalar Nyai Ageng hanya dapat
menangis. Ki Ageng Gajah Sora pun menjadi marah bukan buatan. Gadis itu hilang
di dalam wilayahnya. Endang Widuri baginya adalah seorang tamu. Karena itu,
maka ia merasa bertanggungjawab pula atas kehilangan itu. Dengan menggeratakkan
giginya, Ki Ageng Gajah Sora memacu kudanya pergi ke belumbang yang sebenarnya
tidak begitu jauh. Demikian ia sampai di belumbang, demikian ia meloncat turun,
di ikuti oleh Arya Salaka dan Kebo Kanigara sendiri, disamping beberapa orang
lain. Tanpa mendapat perintah segera mereka memencar diri, mengamat-amati
setiap pertanda yang mungkin dapat dijadikan alasan untuk mengetahui, siapakah yang
telah melakukan perbuatan itu. Di belumbang itu masih tinggal beberapa potong
pakaian Endang Widuri yang belum sempat dicucinya. Beberapa helai telah
dicelupkannya ke dalam air, sedang beberapa helai yang lain masih kering
terletak di tepian.
“Anak itu
tidak banyak mendapat kesempatan,” desis Gajah Sora. Kebo Kanigara memandangi
pakaian anaknya dengan mata yang suram. Namun mulutnya terkatub rapat-rapat.
Tak sepatah kata pun yang diucapkannya. Dengan tangan yang gemetar ia
berjongkok, meraih pakaian-pakaian anaknya itu, dan kemudian dimasukkannya ke
dalam bakul. Perlahan-lahan kemudian terdengar ia bergumam,
“Biarlah
pakaian Widuri ini aku simpan baik-baik. Aku yakin, pada suatu saat ia akan
kembali lagi kepadaku.”
Mendengar
kata-kata Kebo Kanigara itu Gajah Sora hanya dapat menarik nafas. Namun
terucapkan janji didalam hatinya, bahwa kekuatan yang ada di Banyubiru harus
mampu menyerahkan anak itu kembali kepada ayahnya.
Arya Salaka
kemudian tidak mau merenung-renung lebih lama di tepi belumbang itu. Ia telah
mendengar pula, bahwa Widuri di bawa menyusup ke arah timur. Karena itu, maka
ia pun mencoba melihat arah yang dikatakan itu. Di amat-amatinya setiap jengkal
tanah, mungkin ia akan dapat menemukan jejak. Hati Arya Salaka terlonjak ketika
benar-benar ditemukannya jejak itu. Jejak yang benar-benar masuk ke dalam
gerumbul ke arah Timur. Karena itu dengan hati-hati ia mengikuti jejak itu.
Namun alangkah kecewanya anak muda putera Kepala Daerah Tanah Perdikan
Banyubiru itu. Jejak itu hanya dapat di ikuti beberapa langkah. Kemudian hilang
di atas rerumputan yang liar. Betapa pun Arya Salaka mencoba mencarinya, namun
sia-sia saja. Arya Salaka itu pun kemudian menyusup lebih dalam lagi. Ia kini
mencari jejak pada ranting-ranting di sekitarnya. Sekali ia melihat sebuah
ranting yang patah. Namun kembali ia kehilangan kesempatan untuk mengikutinya.
“Setan”, desis
Arya Salaka yang benar-benar menjadi gemetar karena marah.
Namun ia tidak
tahu, bagaimana ia akan menumpahkan kemarahannya. Karena itu, direnggutnya setiap
dahan, ranting dan apa saja yang teraba oleh tangannya. Ketika Arya Salaka itu
sudah yakin, bahwa tidak akan diketemukan tanda-tanda yang dapat menunjukkan
jalan kemana mereka harus mencari, maka segera Arya meninggalkan belumbang itu
langsung meloncat di atas kudanya.
Dengan
kecepatan penuh, Arya berpacu ke arah timur. Tetapi ia tidak tahu pasti, kemana
ia harus pergi. Ia pergi demikian saja karena gelora di dalam dadanya, tanpa
diketahuinya arah yang pasti. Demikian juga para pemimpin dan laskar Banyubiru
yang lain. Mereka berpacu ke segenap arah. Namun mereka pun hanya sekadar
mencoba mencari kemungkinan untuk melihat atau menemukan gadis yang hilang
tanpa pegangan yang pasti. Mereka itu sedang berusaha mencari yang hilang tanpa
petunjuk-petunjuk sama sekali. Karena itu alangkah sulitnya. Sehari itu,
seluruh daerah Banyubiru telah di aduk oleh laskar Banyubiru. Hampir setiap
orang turut serta dalam pencaharian itu. Namun Endang Widuri tidak dapat
diketemukan. Gadis itu seakan-akan hilang di telan oleh retak tanah perdikan
Banyubiru. Bahkan tidak saja kota Banyubiru, namun para penunggang kuda telah
jauh menjorok ke segenap arah. Namun usaha mereka sia-sia belaka. Arya Salaka
sendiri bersama beberapa orang telah sampai ke daerah Rawa Pening. Di obrak-abriknya
daerah bekas sarang Uling Putih dan Uling Kuning, seandainya ada sisa-sisa
gerombolan itu yang sengaja membuat Banyubiru kacau. Namun Endang Widuri tidak
ada di sana, dan tak diketemukannya pertanda, bahwa tempat itu masih didiami
orang.
Malam itu,
para pemimpin Banyubiru berkumpul di pendapa rumah Ki Ageng Gajah Sora.
Peristiwa hilangnya Widuri bagi Banyubiru tidak dapat di anggap sebagai suatu
persoalan yang kecil. Pesoalan itu sama besarnya dengan hadirnya golongan hitam
di tanah mereka. Karena itu maka setiap kekuatan yang ada harus dikerahkan
untuk memecahkan peristiwa itu. Namun tak seorang pun yang dapat mengemukakan
pendapat mereka tentang hilangnya Endang Widuri. Mereka diliputi oleh suasana
yang gelap pekat. Tak ada setitik api pun yang dapat memberi petunjuk kepada
mereka, tentang persoalan yang menggemparkan itu. Dalam ketegangan itu
terdengar Arya Salaka berdesis,
“Peristiwa ini
benar-benar memalukan tanah perdikan ini ayah. Karena itu, maka Endang Widuri
harus diketemukan segera.”
Ayahnya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Gajah Sora dan bahkan beberapa orang lain
mengetahui bahwa Arya Salaka tidak saja tersinggung kehormatan atas hilangnya
tamunya itu, namun jauh lebih daripada itu. Hampir setiap orang di pendapa itu
mengetahuinya, bahwa Arya Salaka dan Endang Widuri agaknya telah masuk ke dalam
suatu ikatan dan tidak dapat dirumuskan oleh mereka yang mengalaminya. Karena
itu, maka adalah wajar sekali kalau Arya Salaka benar-benar menjadi sangat
marah dan bingung.
“Aku
sependapat dengan kau Arya”, jawab ayahnya.
“Kini kita
sedang mencari setiap kemungkinan untuk itu.”
“Apa pun yang
akan terjadi, kita harus menemukannya kembali.” sahut Arya pula.
“Ya. Tentu,”
berkata ayahnya pula. Namun terbayang di wajahnya Ki Ageng Gajah Sora
keragu-raguan yang menggelisahkan. Kemana harus dicari anak itu? Sejak pagi, Ki
Ageng Gajah Sora telah memerintahkan beberapa orang yang pergi ke Pamingit.
Memberitahukan kehilangan itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Ki Ageng Sora
Dipayana. Dan ternyata, Pamingit pun telah menjadi gelisah pula. Senja itu
telah datang utusan Ki Ageng Lembu Sora untuk menanyakan apakah Endang Widuri
sudah diketemukan.
Dan utusan itu
pun kembali dengan membawa berita, bahwa persoalan Widuri masih gelap. Dalam
kegelapan pikiran, tiba-tiba Arya Salaka teringat kepada gurunya, Mahesa Jenar.
Meskipun ia kini telah berhadapan dengan berpuluh-puluh orang, dan bahkan ada
di antara mereka, ayahnya dan Kebo Kanigara, ayah gadis itu, namun ada sesuatu
yang menyentuh perasaannya, bahwa gurunya akan dapat membantunya. Mahesa Jenar
bagi Arya Salaka merupakan tempat untuk berlindung hampir enam tahun lamanya.
Tempat Arya Salaka menggantungkan hidup matinya dalam masa-masa yang berbahaya.
Karena itu, hampir dalam semua kesulitan, Arya selalu teringat kepada gurunya
itu.
“Ayah, aku
akan berusaha memberitahukan kehilangan ini kepada paman Mahesa Jenar.”
Ki Ageng Gajah
Sora mengangkat wajahnya. Dilihatnya Kebo Kanigara pun terkejut mendengar
kata-kata Arya itu, sehingga kemudian katanya,
“Jangan Arya.
Jangan mengganggu pamanmu itu.”
Ki Ageng Gajah
Sora ternyata sependapat pula dengan Kebo Kanigara. Karena itu maka ia berkata
pula,
“Ya, Arya.
Biarlah pamanmu Mahesa Jenar beristirahat. Selama ini hampir-hampir seluruh
hidupnya telah dicurahkan untuk kepentingan orang lain. Kepentingan kita.
Karena itu, maka biarlah kali ini pamanmu Mahesa Jenar tidak terganggu. Biarlah
kita yang berada di Banyubiru ini berusaha sekuat-kuat tenaga kita. Tetapi kita
sudah berjanji kepada diri sendiri bahwa Endang Widuri harus diketemukan.”
Arya Salaka
menundukkan wajahnya. Tetapi ia tidak puas dengan jawaban-jawaban itu. Betapa
pun juga, maka dalam kesulitan ini, ia akan merasa lebih tenang apabila gurunya
ada disampingnya.
Kebo Kanigara
melihat perasaan yang tergores di hati Arya Salaka. Maka katanya,
“Arya. Marilah
kita mencoba menyelesaikan masalah ini. Sebenarnya aku sendiri sangat gelisah
atas hilangnya Endang Widuri. Tetapi kita bukanlah orang-orang yang hanya dapat
meratap. Aku sendiri sudah tentu akan berusaha untuk menemukan anak itu. Dan
aku akan berterima kasih seandainya Ki Ageng Gajah Sora, beserta
kekuatan-kekuatan yang ada di Banyubiru untuk membantunya. Namun dengan sepenuh
hati aku tidak pernah meletakkan kesalahan ini kepada orang lain. Apalagi
kepada Banyubiru sebab hal yang demikian itu akan dapat terjadi, kapan saja dan
dimana saja. Karena itu, jangan terlalu menyalahkan diri sendiri dan
Banyubiru.”
Arya Salaka
masih belum menjawab. Dicobanya untuk mencari alasan yang sebaik-baiknya, agar
orang-orang lain tidak mau mengerti, kenapa ia berkepentingan akan hadirnya
Mahesa Jenar.
Sebenarnya
Arya Salaka pun menyadari, apa yang dapat dilakukan oleh gurunya itu. Gurunya
tidak melihat pada saat Endang Widuri itu hilang. Kalau Kebo Kanigara, ayah
gadis itu sendiri yang sedang berada di Banyubiru, tidak segera dapat
menemukannya, apalagi Mahesa Jenar. Arya Salaka itu tahu pasti, bahwa tingkat
kesaktian gurunya tidak akan dapat melampaui Kebo Kanigara itu. Meskipun
demikian, perasaannya selalu mendesaknya supaya memberitahukan peristiwa itu
kepada gurunya. Pendapa Banyubiru itu sesaat menjadi hening sepi. Angin malam
yang lembut menggerakkan daun-daun sawo di halaman. Dikejauhan terdengar
lamat-lamat suara anjing liar di lereng-lereng bukit sedang berjuang berebut
makanan.
Melihat
daun-daun sawo itu yang bergerak-gerak itu, tiba-tiba bulu kuduk Wanamerta
berdiri. Meskipun ia tidak takut, namun apabila teringat bahwa ia pernah
melihat daun-daun itu bergetar, dan kemudian terjunlah seseorang yang menamakan
dirinya Wadas Gunung, hatinya masih saja berdesir. Untunglah bahwa kekuasaan
Yang Maha Kuasa ternyata telah menyelamatkan Banyubiru. Dalam keheningan itulah
kemudian terdengar Arya Salaka berkata perlahan-lahan, namun jelas terdengar
kata demi kata.
“Ayah. Aku
tidak ingin mengganggu paman Mahesa Jenar. Aku sudah cukup menerima
perlindungan dan bahkan apa saja yang ada pada paman Mahesa Jenar itu. Ilmunya
dan ajaran-ajaran yang sangat berguna. Tetapi karena itulah barangkali yang
telah mengikat aku dalam satu sikap, seakan-akan semuanya tergantung kepada
paman Mahesa Jenar. Kalau kali ini aku masih akan memberitahukan hilangnya
Endang Widuri kepada paman Mahesa Jenar, maka hal itu pasti juga karena
terpengaruh oleh perasaanku itu. Tetapi seandainya demikian, seandainya aku
masih harus mengganggu guru, mudah-mudahan kali ini untuk yang terakhir
kalinya. Dan biarlah aku hanya sekadar memberitahukan akan kehilangan itu.
Kalau paman Mahesa Jenar masih belum sempat berbuat sesuatu, biarlah guru tidak
usah datang ke Banyubiru.”
Ki Ageng Gajah
Sora menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat merasakan apa yang sedang bergolak
didalam dada anak itu. Anak itu pasti akan merasa bersalah kelak, apabila
gurunya bertanya kepadanya, kenapa hal itu tidak diberitahukannya. Karena itu,
maka akhirnya Ki Ageng Gajah Sora itu berkata.
“Arya. Kalau
kau akan memberitahukan kepada pamanmu, baiklah. Tetapi ingat, hanya sekadar
memberitahukan. Jangan sekali-kali kau mengharap pamanmu itu datang kemari
apabila tidak atas kehendaknya sendiri.”
Arya kemudian mengangkat
wajahnya. Ia menjadi bergembira mendengar jawaban ayahnya. Dengan gurunya
setidak-tidaknya nasehatnya, Arya merasa, bahwa kekuatannya akan bertambah.
Namun di samping itu timbul pula perasaan malunya, bagaimana nanti kalau
gurunya itu menganggap bahwa ia masih saja tidak mampu berbuat sendiri. Tetapi
kali ini ia memandang kejadian itu sangat pentingnya. Endang Widuri telah
melakukan banyak hal dalam lingkungan bersama dengan gurunya dan Rara Wilis.
Maka mau tidak mau, pasti ada sesuatu ikatan yang menghubungkan mereka.
Sehingga tidaklah akan berlebihan apabila hal itu diberitahukannya kepada
gurunya.
Namun Kebo
Kanigara agaknya menjadi kecewa atas keputusan Ki Ageng Sora Dipayana. Dengan
nada yang rendah ia berkata,
“Ki Ageng, aku
akan sangat berterima kasih atas segala susah payah yang telah Ki Ageng
lakukan. Tidak saja pada saat-saat anakku satu-satunya itu hilang. Tetapi
selama ini, aku telah mendapat tempat yang sangat baik di Banyubiru. Karena itu
tidak sewajarnya kalau aku akan selalu terus menerus membebani Ki Ageng dengan
persoalan-persoalanku. Kini persoalan hilangnya Widuri. Juga terhadap Mahesa
Jenar yang selama ini hampir tidak pernah dapat menikmati hari-hari yang
tenang. Karena itu, biarlah aku mencoba untuk mencarinya. Tanpa mengurangi
penghargaan atas segala bantuan Ki Ageng, namun adalah menjadi bubuhanku bahwa
Endang Widuri harus diketemukan.”
“Tidak paman,”
tiba-tiba Arya menyahut. “Tidak saja paman, tetapi kami, kita semua kebubuhan
mencarinya. Juga paman Mahesa Jenar, wajib diberitahu atas peristiwa ini.”
Kebo Kanigara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora
menyambung,
“Arya benar,
kakang Kebo Kanigara. Apa yang kami lakukan adalah kewajiban, disamping sebagai
pernyataan terima kasih atas apa saja yang pernah kakang lakukan di Banyubiru
dan Pamingit. Dan apa yang pernah dilakukan oleh Endang Widuri sendiri.”
Kebo Kanigara
sudah barang tentu tidak dapat menolak uluran tangan itu. Maka jawabnya,
“Terima kasih
Ki Ageng.”
Sekali lagi
pendapa itu diterkam oleh kesepian. Sekali-kali Wanamerta melihat daun-daun
sawo bergoyang-goyang. Dan sekali lagi dadanya berdesir karenanya. Tetapi
ketika ia melihat daun-daun yang lain pun bergoyang pula, maka katanya di dalam
hati, “Hem. Angin yang nakal telah menggodaku.”
Dalam
keheningan itu tiba-tiba mereka mendengar derap kuda di antara desir angin
malam. Beberapa orang yang mendengar suara itu segera mengangkat wajah mereka.
Dan mereka sependapat bahwa suara itu adalah suara serombongan orang-orang
berkuda yang telah memasuki alun-alun. Namun karena mereka tidak mendengar
suara kentongan dan tanda-tanda yang lain, maka suasana di pendapa itu masih
tetap dalam ketenangan. Beberapa saat kemudian, para penjaga regol telah
menghentikan beberapa ekor kuda yang akan memasuki halaman. Namun ketika mereka
melihat para penumpangnya, maka mereka segera menganggukkan kepalanya sambil
mempersilakan para penunggang kuda itu untuk masuk.
“Siapa?”
terdengar Ki Ageng Gajah Sora bertanya.
“Ki Ageng
Lembu Sora beserta beberapa orang pengiringnya,” sahut orang yang berdiri di
dalam gardu.
“Oh”, desis Ki
Ageng. Dan orang-orang yang berada di pendapa itu pun segera berdiri menyambut
kedatangan tamu-tamu mereka.
Sebelum duduk,
Ki Ageng Lembu Sora sudah bertanya,
“Bagaimana
dengan Endang Widuri?”
Ki Ageng Gajah
Sora menggeleng,
“Belum kami
ketemukan.”
“Hem”
terdengar seseorang menggeram. Ketika Ki Ageng Gajah Sora berpaling kepada
orang itu, maka dilihatnya Wulungan menggigit bibirnya. Bahkan kemudian ia
berguman,
“Angger Widuri
telah menyelamatkan aku. Ketika Adi Galunggung menjadi gila dan menaburkan
pasir ke mataku pada saat kami berkelahi, maka nyawaku telah berada di ujung
pedangnya. Namun untunglah, angger Widuri berhasil mencegahnya, sehingga
akhirnya aku pun selamat.”
Ki Ageng Gajah
Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan dipersilakan tamunya duduk di pendapa
itu pula. Pembicaraan tentang Widuri menjadi semakin riuh. Semua orang di
pendapa bertekad untuk menemukannya. Bahkan Ki Ageng Lembu Sora berkata,
“Aku dapat
mengerahkan setiap orang di Pamingit untuk ikut serta mencarinya, kakang.”
“Terima kasih”
jawab Ki Ageng Gajah Sora.
Tetapi Kebo
Kanigara masih saja menundukkan kepalanya. Pembicaraan yang didengarnya tentang
anaknya benar-benar telah mengharukannya, sehingga malahan ia tidak dapat
berkata apa-apa tentang itu.
Beberapa orang
yang sempat menatap wajahnya menjadi terharu pula. Widuri adalah satu-satunya
kawan hidupnya. Bahkan hidupnya sendiri agaknya tidak sedemikian menarik
dibanding dengan hidup anaknya itu. Anak satu-satunya yang akan dapat menjadi
penyambung masa depannya. Namun tiba-tiba anak itu hilang. Hilang seperti
tenggelam dalam kekelaman malam. Malam itu orang-orang yang berkumpul di
pendapa Banyubiru, sama sekali tidak dapat menarik kesimpulan apa pun tentang
hilangnya Endang Widuri. Namun mereka tidak dapat menolak, bahwa besok Arya
Salaka akan mengirim utusan ke Gunung Kidul untuk memberitahukan hilangnya
Endang Widuri dari Banyubiru.
Malam itu pun
berjalan menurut ketentuannya sendiri, sama sekali tidak menghiraukan kerisauan
hati Arya Salaka yang berputar-putar di dalam biliknya. Betapa hatinya menjadi
gelisah, marah dan bermacam perasaan lagi bercampur baur di dalam dadanya.
Karena itu, maka ia sama sekali tidak dapat memejamkan matanya. Angan-angannya
hilir mudik tidak tentu arah. Siapakah yang akan dipersalahkan atas hilangnya
Widuri.
“Seandainya
aku tahu siapa yang mengambilnya, maka baginya tak ada ampun lagi. Aku bunuh
dengan tanganku.” Anak muda itu menjerit di dalam hatinya. Tapi tak seorang pun
yang dapat memberitahukan kepadanya, siapakah yang telah mengambil Endang
Widuri.
Akhirnya Arya
Salaka itu tidak betah lagi tersekap di dalam biliknya. Perlahan-lahan ia
berjalan keluar. Lewat longkangan gandok kulon Arya muncul di pintu butulan.
Tiba-tiba Arya
Salaka itu berdesir. Dilihatnya sesosok bayangan bergerak di halaman belakang
rumahnya. Cepat seperti kilat anak muda itu meloncat memburu ke arah bayangan
itu. Namun sesaat ia kehilangan jejaknya.
Tetapi Arya
Salaka adalah seorang anak muda yang terlatih dalam menghadapi segala macam
persoalan. Cepat ia berjongkok dan memasang telinganya baik-baik. Namun ia
masih belum mendengar sesuatu.
Alangkah
terkejutnya hati anak muda itu, ketika tiba-tiba ia melihat bayangan yang
dikejarnya, telah meloncat pagar halamannya yang cukup tinggi itu.
“Gila”
desisnya. Terdengarlah giginya gemeretak karena marah. Tetapi ia tidak mau
kehilangan bayangan itu, meskipun disadarinya, bahwa tidak semua orang dapat
berbuat serupa itu. Meloncat pagar yang sedemikian tingginya hampir tanpa
bersuara adalah suatu pekerjaan yang sulit. Karena itu, maka segera ia pun
berlari ke arah bayangan itu dan meloncat pula ke atas dinding. Ia masih
melihat bayangan itu berlari sepanjang dinding halaman dan kemudian masuk
menyuruk ke dalam rimbunnya semak-semak. Arya pun berlari menyusulnya. Sesaat
ia masih dapat mengikutinya dituntun oleh suara desah langkah bayangan itu
serta batang-batang yang terdengar. Bahkan akhirnya Arya sempat melihat orang
itu meloncati parit dan berlari ke tengah-tengah rumpun bambu. Dengan segenap
kemampuan yang ada padanya, maka Arya mempercepat larinya. Diterobosnya
rimbunnya rumpun-rumpun bambu itu tanpa menghiraukan apa saja yang dapat
terjadi atasnya. Tetapi kali ini ia gagal. Bayangan itu seakan-akan lenyap
begitu saja di tengah-tengah rumpun bambu itu. Dengan penuh kemarahan Arya
mencarinya, menghentak-hentakkan setiap batangnya, bahkan beberapa batang telah
dipatahkannya dengan suara yang berderak-derak. Namun bayangan itu benar-benar
telah hilang. Suara berderak bambu-bambu patah itu, telah mengejutkan beberapa
orang di sekitarnya. Bahkan ada pula di antara mereka yang keluar rumah dengan
obor-obor di tangan.
Ketika Arya
Salaka melihat obor-obor itu, maka terdengarlah ia berteriak.
“Bawa obor itu
kemari.”
“Siapa kau?”
orang yang membawa obor itu bertanya.
“Arya Salaka”
sahut Arya.
“Oh, kaukah
itu ngger”
Orang yang
membawa obor itu kemudian berlari-lari ke arah suara Arya Salaka. Orang itu
terkejut melihat Arya berada di tengah-tengah rumpun bambu-bambu di malam yang
gelap. Karena itu maka dengan serta merta orang itu bertanya.
“Hem ngger.
Kenapa angger berada di dalam rumpun bambu di malam buta? Apakah angger tadi di
gondol wewe?”
Arya
menggeram,
“Omong kosong.
Aku tidak dicuri oleh kunthilanak itu. Aku sedang mencari seseorang. Berikan
obormu itu.”
Orang itu
ragu-ragu sejenak. Apakah betul Arya Salaka yang berdiri di tengah-tengah
rumpun bambu itu.?
Karena orang
itu tidak mau mendekat, maka dengan jengkelnya Arya Salaka meloncat dari rumpun
itu dan merampas obor yang masih menyala-nyala sambil berkata,
“Aku bukan
anak gendruwo. Aku Arya Salaka.”
Kemudian tidak
hanya orang itu saja yang keluar dari rumahnya. Suara Arya Salaka mengumandang
dari rumah yang satu menyusup ke dinding rumah yang lain. Karena itulah maka di
bawah rumpun bambu itu kemudian menjadi ribut. Beberapa orang bertanya-tanya,
apakah yang sedang dicarinya.
“Orang” jawab
Arya.
“Aku mengejar
seseorang yang memasuki halaman rumahku. Ia bersembunyi di dalam rumpun bambu
ini. Tetapi tiba-tiba orang itu hilang.”
Beberapa orang
kemudian mengucapkan kata-kata yang tidak jelas di dalam mulutnya sambil
gemetar. Bahkan salah seorang berbisik,
“Itu adalah
Kiai Jenggot ngger. Jangan dicari lagi.”
“Bohong. Aku
melihatnya di halaman rumahku. Bukan Kiai Jenggot. Tetapi seseorang.”
Berita itu pun
kemudian menjalar sampai ke gardu penjagaan regol rumah Arya Salaka, dan
penjaga gardu itu melaporkannya ke Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi yang terbangun
kemudian tidak saja Ki Ageng Gajah Sora , namun juga Ki Ageng Lembu Sora,
beberapa orang pengiringnya dan Kebo Kanigara. Mereka bersama-sama pergi, ke
rumpun bambu di mana orang yang dikejar oleh Arya Salaka itu melenyapkan
dirinya. Sesaat kemudian di bawah rumpun bambu itu telah menyala lebih dari
sepuluh buah obor. Semua orang berusaha untuk ikut mencari orang yang telah
bersembunyi di bawah rumpun bambu itu. Tetapi orang itu tidak dapat
diketemukan.
“Aneh” desis
Arya Salaka.
“Aku telah
mengejarnya, sedang jarak kita menjadi semakin dekat. Aku pasti, bahwa orang
itu menyusup ke dalam rumpun ini, namun tiba-tiba ia telah hilang.”
Semua orang
menjadi tegang. Apakah perisitwa ini ada hubungannya dengan hilangnya Widuri?
Tetapi kalau demikian, maka apalagi yang akan dicarinya di rumah Ki Ageng Gajah
Sora?
Tanpa mereka
sengaja maka sebagian dari mereka segera menghubungkan peristiwa itu dengan
hal-hal yang gaib, yang tidak dapat dikupas dengan nalar. Tetapi Ki Ageng Gajah
Sora, Lembu Sora, Wanamerta segera menghubungkannya dengan keris-keris Kiai
Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten.
“Apakah masih ada
yang menyangka bahwa keris-keris itu berada di Banyubiru?” berkata mereka di
dalam hati mereka.
“Seandainya
demikian, siapakah yang masih akan mencoba mencurinya?”
Yang paling
mungkin adalah mereka, sisa-sisa dari gerombolan hitam yang masih belum punah
benar. Tetapi di antara mereka, sudah tidak ada seorang pun yang akan mampu
mengganti kedudukan pemimpin-pemimpin mereka. Kecuali apabila ada
pendatang-pendatang baru yang akan merebut kedudukan golongan itu. Setelah puas
mereka mencari, dan ternyata mereka tidak menemukan apa-apa, maka segera mereka
kembali ke rumah Ki Ageng Gajah Sora. Sedang beberapa orang di sekitarnya
kembali pula ke rumah-rumah masing-masing sambil bergumam.
“Hem, Kiai
Jenggot itu kini mengganggu lagi.”
Kembali di
pendapa Banyubiru, beberapa orang berkumpul membicarakan keanehan yang baru
saja di lihat oleh Arya Salaka. Dalam kesibukan pembicaraan itu, maka
berkatalah Ki Ageng Gajah Sora.
“Arya, apakah
kau benar-benar melihat seseorang, atau hanya karena hatimu yang sedang gelap
itu saja, maka kau seolah-olah melihat seseorang di halaman ini?”
“Aku melihat
sebenarnya ayah”, jawab Arya. Namun tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ia
merasa bahwa ia melihat seseorang.
Melihat
keragu-raguan itu, maka berkatalah Ki Ageng Gajah Sora,
“Atau sebuah
mimpi yang buruk?”
Arya menggigit
bibirnya. Namun kemudian ia berkata.
“Marilah kita
lihat.”
Arya tidak
menunggu jawaban dari siapa pun. Segera ia turun ke halaman dan menyuruh
beberapa orang penjaga menyalakan obornya.
Ayahnya,
pamannya, Kebo Kanigara dan orang-orang lain segera mengikutinya. Mereka pergi
ke halaman belakang dengan obor di tangan. Beberapa saat kemudian terdengar
Arya itu berteriak.
“Inilah ayah.
Lihatlah bekas-bekasnya. Apakah hanya bekas kakiku sendiri?”
Semua orang
kemudian mendekatinya. Di bawah dinding mereka melihat beberapa berkas bekas
kaki. Seberkas adalah kaki Arya Salaka, sedang beberapa langkah di sampingnya
diketemukan pula seberkas telapak kaki. Salah satu dari berkas-berkas itu
adalah kaki orang yang dikejarnya.
Semuanya
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mereka kini percaya bahwa seseorang telah
memasuki halaman ini tanpa diketahui, meskipun Gajah Sora untuk sementara masih
perlu menempatkan beberapa orang penjaga di sekitar rumahnya.
“Aneh” gumam
mereka. Dan sebenarnyalah bahwa hal itu sangat mengherankan beberapa orang
penjaga di sekitar rumahnya. Malam itu, kemudian hampir tak seorang pun dari
mereka yang berada di pendapa, sempat untuk pergi tidur. Mereka mondar-mandir
saja ke sana ke mari. Meskipun kemudian Lembu Sora masuk juga ke gandok wetan,
namu orang itu tidak juga dapat tidur. Sedang Kebo Kanigara masih belum
beranjak dari tempatnya di pendapa Banyubiru. Hanya kini ia duduk bersandar
tiang. Pandangan matanya jauh menyusup ke dalam gelapnya malam, menyentuh ujung
pepohonan di kejauhan. Gelap. Malam itu semakin gelapnya. Ketika ia melihat
Arya Salaka naik ke pendapa dan duduk di sampingnya, maka terdengar Kebo
Kanigara itu bertanya lirih.
“Kenapa kau
tidak membangunkan seorang pun Arya.”
Arya duduk
dengan gelisahnya. Kemudian jawabnya,
“Aku
tergesa-gesa paman. Aku lupa segala-galanya. Aku hanya mengharap untuk dapat
menangkapnya.”
“Orang itu
bukan orang kebanyakan. Sangat berbahaya bagimu Arya. Siapa tahu ia memiliki
sesuatu yang lebih berbahaya dari Sasra Birawa.”
Arya
menundukkan kepalanya. Kata-kata Kebo Kanigara itu dapat dimengertinya. Namun
ia benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk berbuat banyak. Malam itu
Banyubiru diliputi oleh suasana yang aneh. Mirip dengan suasana yang pernah
mereka alami sebelum Arya Salaka hilang dari lingkungan rakyat Banyubiru.
Demikian pula suasana di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Dahulu mereka juga berjaga
di pendapa itu. Dahulu mereka duduk dengan kesiagaan penuh di pendapa, di luar
pendapa bahkan beberapa orang berjaga-jaga di halaman belakang. Namun
keris-keris yang mereka simpan ternyata lenyap pula.
Kebo Kanigara
menarik nafas.
“Hem”,
desahnya
“Waktu itu
ternyata Panembahan Ismaya berusaha menyelamatkan pusaka-pusaka itu. Tetapi
sekarang siapa? Apakah Panembahan itu pula?”
Kebo Kanigara
itu menggeleng dengan sendirinya Panembahan Ismaya tidak akan membuat mereka
menjadi bingung lagi tanpa maksud-maksud tertentu yang tidak mereka mengerti
sebelumnya.
“Apakah kali
ini juga terkandung maksud seperti itu?”
Namun tak
seorang pun yang dapat duduk dengan tenang. Wanamerta pun menjadi gelisah.
Bantaran, Penjawi, Jaladri berjalan hilir mudik di halaman dengan pedang di
pinggang masing-masing. Bahkan Jaladri tidak lupa pula membawa senjatanya yang
aneh, canggah, tombak bermata dua. Halaman rumah Ki Ageng Gajah Sora
benar-benar di kuasai oleh ketegangan. Suasananya mirip benar dengan suasana
peperangan. Tetapi mereka tidak tahu pasti siapakah musuh yang harus mereka
hadapi.
Malam itu pun
semakin lama menjadi semakin tipis. Ketika di timur telah membayang warna
merah, maka terdengarlah ayam jantan berkokok bersahut-sahutan untuk yang
terakhir kalinya. Kabut yang tebal turun membawakan udara yang sangat dingin.
Sehingga kepekatan malam itu pun kemudian disusul dengan kabut yang keputih-putihan
memagari pandangan. Meskipun malam telah hampir lenyap, namun lereng Telamaya
itu kini seakan-akan berselimut dengan kabut yang tebal, seperti seorang
raksasa yang berbaring kedinginan. Tetapi malam itu telah dilampauinya tanpa
terjadi sesuatu yang menggoncangkan suasana. Mereka memasuki hari mendatang
dengan nafas lega. Meskipun demikian, apa yang terjadi pada malam itu sangat
mempengaruhi ketentraman hati para pemimpin Banyubiru.
Pagi itu Arya
Salaka telah mengutus tiga orang untuk menyampaikan kabar tentang hilangnya
Endang Widuri ke Gunung Kidul. Arya telah berpesan dengan sungguh-sungguh,
bahwa mereka hanya menyampaikan pemberitahuan saja. Segala sesuatunya kemudian
terserah kepada Mahesa Jenar sendiri, meskipun di dalam hati Arya mengharap agar
gurunya itu mengambil keputusan untuk datang ke Banyubiru. Arya yang masih muda
itu sama sekali tidak dapat mempertimbangkan persoalan-persoalan lain yang
menyangkut kehidupan gurunya. Maka ketiga orang itu, yang dipimpin oleh
Bantaran berpacu menunju ke Gunungkidul. Suara kaki-kaki kuda berderak-derak
memecah kesunyian pagi. Beberapa orang melihat Bantaran memacu kudanya secepat
angin. Maka timbullah beberapa pertanyaan di hati mereka. Ke manakah Bantaran
sepagi ini?
Sepeninggalan
Bantaran orang-orang di Banyubiru masih meneruskan usaha mereka mencari Endang
Widuri. Arya Salaka sendiri menjelajahi segenap sudut Banyubiru. Namun Endang
Widuri benar-benar lenyap. Karena itu, maka Arya Salaka menjadi gelisah, cemas
dan marah yang meluap-luap. Ia tidak akan menjadi sedemikian gelisah,
seandainya ia harus mencari apa-apa yang hilang, bahkan pusaka Banyubiru
sekalipun. Sebab ia akan dapat mempergunakan waktu yang panjang. Seminggu,
sebulan bahkan setahun dua tahun sebelum benda itu diketemukan. Namun tidak akan
dapat terjadi demikian dengan Endang Widuri. Ia tidak dapat menunggu sebulan,
dua bulan atau lebih. Sebab dengan demikian banyak hal yang akan dapat terjadi
dengan gadis itu. Hal-hal yang tidak akan dapat terjadi dengan pusaka-pusaka
atau benda-benda lain. Sebenarnyalah bahwa Endang Widuri bukanlah benda-benda
itu.
Dalam keadaan
yang demikian itulah, maka terasa sekali pada Arya Salaka, bahwa ia tidak
sekadar kehilangan tamu atau kawan bermain baginya. Tetapi, bahwa dengan
hilangnya Endang Widuri, terasa ada sesuatu yang hilang pula dari hatinya.
Sesuatu yang tidak jelas dapat dikatakannya. Namun dapat dirasakannya. Ibunya,
Nyai Ageng Gajah Sora menjadi sangat bersedih pula. Bukan saja karena Widuri
sudah menjadi sangat cumbu padanya. Namun sebagai seorang ibu, segera ia dapat
melihat, luka yang tergores di hati anaknya. Nyai Ageng sangat iba melihat Arya
Salaka kadang-kadang merenungi titik-titik di kejauhan, namun kadang-kadang ia
menjadi sangat gelisah. Bahkan anak muda itu sering sekali dengan serta merta
meloncat di atas punggung kudanya dan berlari menghambur ke tempat yang tak
diketahuinya, apabila perasaannya mendesaknya untuk segera menemukan Endang
Widuri. Namun kemudian Arya Salaka kembali pulang dengan wajah yang pedih.
Widuri belum diketemukan.
Tidak saja
Arya Salaka yang mencarinya hampir sepanjang hari di setiap hari. Namun Kebo
Kanigara pun kemudian jarang-jarang tampak di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Hampir
setiap hari apabila matahari telah terbit di Timur, Kebo Kanigara segera minta
diri untuk mencari anaknya. Dengan seekor kuda yang dipinjamnya dari Banyubiru,
Kebo Kanigara berputar ke segenap penjuru. Tetapi seperti Arya Salaka, maka
Kebo Kanigara itu pun kemudian pulang seorang diri.
Sehingga
akhirnya, Kebo Kanigara itu berkata kepada Ki Ageng Gajah Sora,
“Ki Ageng.
Apabila Endang Widuri tidak segera dapat aku ketemukan, maka aku akan mohon
diri untuk mencarinya. Aku tidak akan dapat mengatakan, berapa lama waktu yang
akan aku pergunakan untuk itu.”
Ki Ageng Gajah
Sora menjadi gelisah pula. Namun jawabnya,
“Jangan
tergesa-gesa meninggalkan Banyubiru kakang. Kita disini masih berharap untuk
menemukannya.”
“Tetapi
bagaimanakah kalau Widuri telah di bawa orang meninggalkan Banyubiru.”
Ki Ageng Gajah
Sora tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Sebenarnya akan sangat menggelisahkan
apabila diketahui bahwa Endang Widuri sudah tidak berada di Banyubiru lagi.
Tetapi bagaimana?
Bahkan
kemudian Ki Ageng Gajah Sora itu telah sampai pada suatu keputusan, untuk
menyebar orang-orangnya jauh ke luar Banyubiru, di samping para pengawas yang
telah di tempatkan di setiap pintu kota, dan di garis batas. Mungkin Endang
Widuri berada di Demak, di Pajang, Jipang atau Bergota. Namun ia masih
menunggu, apakah yang akan dikatakan oleh Bantaran setelah ia kembali dari Gunung
Kidul.
“Biarlah aku
menunggu Bantaran itu pulang Ki Ageng” berkata Kebo Kanigara.
“Mudah-mudahan
tidak terlalu lama, sehingga aku tidak akan terlambat.”
Ki Ageng Gajah
Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia mencoba ikut merasakan apa yang
menyebabkan Kebo Kanigara menjadi sangat murung dan pendiam. Apalagi kalau Ki
Ageng itu melihat Arya Salaka menjadi seperti anak yang kehilangan sikap.
Sekali-kali ia berbaring di biliknya, namun tiba-tiba ia berlari keluar untuk
hanya sekedar duduk di bawah pohon sawo sambil bertopang dagu.
Bantaran yang
mendapat tugas untuk pergi ke Gunung Kidul, berusaha melakukan pekerjaannya
sebaik-baiknya. Dengan kecepatan yang sebesar-besarnya ia memacu kudanya di
atas jalan berbatu-batu. Di turuninya lereng bukit Telamaya, dan kemudian di
atas jalan-jalan ngarai ia menerobos hutan-hutan rindang menempuh jalan yang
telah di ancar-ancarkan. Namun Bantaran itu menyadari, bahwa perjalanannya
bukan perjalanan yang ringan. Sekali-kali ia harus menempuh belukar yang pepat
dan jarang-jarang dilewati orang. Karena itulah maka di sisi kudanya tersangkut
pula sebuah busur dan endong yang penuh dengan anak panah. Apabila keadaan
memaksa, maka dengan senjata itu ia dapat mempertahankan dirinya dalam jarak
yang jauh sambil berkuda. Namun yang penting baginya apabila mereka harus
bermalam di perjalanan senjata itu akan dapat dipakainya untuk berburu
binatang. Selain panah-panah itu, dilambungnya tersangkut pula sebilah pedang
panjang. Senjatanya itu hampir tak pernah berpisah dari tubuhnya sejak ia
menyingkir ke Gedong Sanga.
Sementara itu,
Mahesa Jenar dan Rara Wilis telah sampai ke Gunungkidul. Perjalanan yang mereka
tempuh adalah benar-benar perjalanan yang mengasyikkan. Apabila sebelumnya
mereka selalu berada dalam perjalanan yang diliputi oleh ketegangan-ketegangan
yang mendebarkan, maka perjalanan kali ini selalu diliputi oleh sendau gurau
yang riang. Meskipun dapat di tempuh jalan lain yang lebih baik, seperti yang
telah diberitahukan oleh Sarayuda kepada Kebo Kanigara apabila ia akan menyusul
kelak, namun kali ini Sarayuda sengaja menempuh jalan yang lain. Jalan yang
sangat sulit. Tetapi kesulitan itu benar-benar tidak terasa oleh Rara Wilis.
Karena itu, maka perjalanan mereka kali ini melewati daerah-daerah yang sukar.
Mereka ternyata memasuki hutan-hutan yang pepat. Bahkan kemudian mereka
melewati daerah Gelangan dan menjelujur di kaki bukit Tidar. Mahesa Jenar yang
pernah bertempur di atas bukit itu melawan Ki Ageng Gajah Sora memandangi bukit
kecil itu dengan kesan yang aneh. Sebuah kenangan telah menggores di dadanya.
Seandainya pada saat itu, Aji Sasra Birawa yang ada padanya tidak seimbang
dengan Aji Lebur Saketi yang dimiliki oleh Ki Ageng Gajah Sora, maka entahlah
apa yang terjadi. Namun agaknya Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar telah
mengukur kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya waktu itu, dan
kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam diri anaknya.
TETAPI saat
ini Sarayuda tidak mengambil jalan ke arah Pangrantunan, namun perjalanan itu
mengarah terus ke selatan. Setelah bermalam diperjalanan, sampailah mereka ke
hutan yang cukup lebat. Mentaok.
“Apakah kita
akan ke hutan ini Sarayuda?” bertanya Mahesa Jenar.
“Ya” sahut
Sarayuda
“Jalan yang
paling dekat”.
Mahesa Jenar meragukan jawaban itu. Tetapi ia
tidak menjawab. Diikutinya saja Sarayuda yang berkuda lewat jalur jalan yang
dahulu pernah dilalui. Mereka akhirnya sampai juga di Pliridan dan tanpa setahu
Mahesa Jenar, tiba-tiba mereka sudah berada di depan sebuah goa. Mahesa Jenar
terkejut melihat goa itu. Goa yang pernah ditinggal oleh Ki Ageng Pandan Alas.
“Apakah kau
pernah melihat goa itu Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar
tersenyum. Kemudian katanya,
“Entahlah,
bertanyalah kepada Wilis”. Rara Wilis hanya dapat menundukkan wajahnya.
Kenangan itu tiba-tiba telah menerkam hatinya. Tetapi ia adalah seorang gadis.
Tanggapannya atas kenangan itu tidak seperti Mahesa Jenar. Karenanya tiba-tiba
matanya terasa sangat panas. Dan setetes air mata jatuh dipangkuannya.
Sarayuda dan
Mahesa Jenar kemudian berdiam diri. Tetapi mereka tidak menjadi cemas, meskipun
mereka melihat Rara Wilis itu menangis. Sebab mereka tahu, bahwa gadis itu
sedang di ganggu oleh sebuah kenangan. Kenangan yang menakutkan seperti terjadi
saja di dalam mimpi. Sebenarnya memang Rara Wilis sedang mengenangkan masa-masa
lampaunya. Di hutan inilah ia dahulu hampir saja membunuh dirinya, seandainya
tidak ada seorang yang bernama Mahesa Jenar itu, yang sekarang ini berada di
dekatnya sebagai seorang yang telah merampas segenap hatinya.
No comments:
Post a Comment