Bagian 029


MELIHAT hal itu Mahesa Jenar menjadi semakin bingung. Ia tidak tahu kenapa Pudak Wangi menangis semakin keras. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dengan gemetar ia melangkah kian kemari. Sebentar ia duduk di belakang Pudak Wangi, tetapi sebentar kemudian kembali ia berdiri dan melangkah pula kian-kemari. Sesaat kemudian terasalah malam menjadi semakin sepi. Angin malam yang gemerisik di sela-sela tangis Pudak Wangi, mengantarkan udara yang dingin. Kelelawar yang merajai langit di malam hari, masih tampak berkeliaran di muka tebaran bintang-bintang yang menaburkan cahayanya yang gelisah, segelisah hati Mahesa Jenar. Maka akhirnya Mahesa Jenar menjatuhkan dirinya di samping Pudak Wangi, dan untuk beberapa lama mereka saling berdiam diri.
Ketika di kejauhan terdengar ayam hutan berkokok bersahutan, Mahesa Jenar menjadi seperti tersadar, bahwa ia harus berbuat sesuatu. Mereka tidak dapat terus-menerus berdiam diri di tengah-tengah padang terbuka sampai esok pagi. Kerana itu Mahesa Jenar ingin menghibur hati Pudak Wangi, tetapi karena banyaknya kata-kata yang tersimpan di dalam dadanya, yang keluar hanyalah,
”Adi Pudak Wangi, marilah kita teruskan perburuan kita”.
Pudak Wangi memandang wajah Mahesa Jenar dengan sinar mata yang kecewa. Tetapi ia sendiri tidak tahu kenapa hatinya kecewa. Mungkin hatinya mengharapkan Mahesa Jenar berkata lebih banyak lagi, meskipun ia sendiri takut menduga-duga kata-kata apa yang dinantinya itu.

Namun semuanya itu hanya terjadi dalam sesaat, sebab sesaat kemudian Pudak Wangi segera kembali ke dalam keadaannya kini. Ia adalah seorang pemuda, murid Ki Ageng Pandan Alas. Karena itu segera ia mencoba menguasai perasaannya. Dan dengan gagahnya ia menjawab ajakan Mahesa Jenar,
”Marilah kita berlomba, siapakah yang lebih dahulu berhasil mendapatkan binatang buruan”.
Mendengar jawaban Pudak Wangi itu, Mahesa Jenar tersenyum kecil. Segera ia memungut busurnya dan kemudian mereka bersama-sama meneruskan perburuan mereka diantara gerumbul-gerumbul yang semakin lama semakin hebat. Tetapi meskipun mereka telah berjalan di daerah perburuan, hati mereka sama sekali tidak tertarik kepada binatang-binatang hutan. Itulah sebabnya maka beberapa ekor menjangan yang seharusnya telah mati, mendapat kesempatan untuk masih menikmati segarnya rumput dan akar-akaran. Akhirnya Pudak Wangi menjadi lelah. Maka katanya,
“Kakang, baiklah perlombaan kita tunda sebentar. Aku ingin beristirahat dahulu”.
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum.
”Baiklah, Adi… aku pun lelah,” katanya. Setelah itu, maka segera mereka mencari tempat peristirahatan, di atas batu-batu yang berserakan.
Segera terdengarlah mereka dan Pudak Wangi bercakap-cakap tentang hal-hal yang sama sekali tidak penting. Pembicaran itu beredar dari satu ke lain hal sehingga akhirnya sampai pada diri Mahesa Jenar. Terdengarlah dengan penuh keinginan tahu Pudak Wangi bertanya,
“Kakang Mahesa Jenar, tidakkah Kakang Mahesa Jenar bermaksud untuk kembali ke Demak dan memangku jabatan Kakang kembali?”

MENDENGAR pertanyaan itu, Mahesa Jenar tertegun sebentar. Apakah perlunya maka Pudak Wangi menanyakan hal-hal yang menyangkut dengan kedudukannya?
“Adi…” jawab Mahesa Jenar,
“Jabatan itu memang menyenangkan. Sebagai seorang perwira pasukan pengawal raja aku banyak mempunyai kesempatan untuk berbangga. Baik terhadap orang lain maupun terhadap diri sendiri. Tetapi sayang bahwa aku tidak dapat kembali pada saat-saat yang dekat ini. Apalagi ketika aku merasa bahwa aku wajib untuk ikut menemukan kembali keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Maka keinginanku untuk kembali ke Demak menjadi semakin tipis”.
“Sebagai seorang prajurit,” sela Pudak Wangi,
“Bukankah Kakang akan lebih banyak kesempatan untuk menemukan keris-keris itu?”
“Mungkin demikian,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi mungkin juga sebaliknya. Sebab tugas seorang prajurit adalah beraneka ragam. Kecuali itu Adi, pengabdian seseorang bertebaran pada banyak bidang. Aku sekarang sedang mengabdikan diriku dengan cara ini”.
Pembicaraan mereka jadi terputus ketika mereka mendengar gemersik halus di belakang mereka. Mahesa Janar cepat meloncat berdiri dengan busur di tangan, serta anak panah yang siap meluncur. Sebab yang terdengar itu sama sekali bukan harimau atau babi hutan, tetapi suara langkah manusia. Tetapi meskipun pandangan Mahesa Jenar sangat tajam, namun Mahesa Jenar tidak dapat melihat seseorang di belakangnya. Karena itu ia menjadi curiga. Cepat ia melangkah maju, meskipun dengan penuh kehati-hatian. Sedang Pudak Wangi pun segera mempersiapkan anak panahnya. Namun setelah beberapa lama mereka mencari-cari, tak seorangpun yang mereka jumpai. Maka hati mereka menjadi gelisah. Kalau benar dugaan mereka, bahwa yang didengarnya itu langkah seseorang, pastilah orang itu orang yang sakti.

Baru beberapa lama kemudian, ketika mereka sudah menjadi bertambah gelisah, terdengarlah suara tertawa halus di kejauhan. Mendengar suara itu, tiba-tiba Pudak Wangi menundukkan kepalanya. Wajahnya menjadi merah, semerah jambu dersana. Suara itu sangat dikenalnya, sebagai suara seseorang yang mengasuhnya, Ki Ageng Pandan Alas. Mahesa Jenar yang mengenal suara itu, juga menjadi malu. Namun segera ia berkata lantang,
“Adi, lihatlah babi hutan hampir sebesar kerbau”.
Setelah berkata demikian, segera Mahesa Jenar meloncat berlari menyusup ke dalam semak-semak. Pudak Wangi segera tersentak pula. Ia mengira bahwa Mahesa Jenar benar-benar telah melihat seekor binatang buruan. Karena itu, segera ia pun meloncat menyusulnya. Tetapi meskipun mereka telah berlari-lari beberapa lama, namun sama sekali Pudak Wangi tak melihat seekor binatang pun, sampai akhirnya ia melihat Mahesa Jenar berdiri tegak menantinya.
“Manakah binatang itu Kakang?” tanya Pudak Wangi.
Dengan menarik nafas Mahesa Jenar menjawab,
“Sama sekali aku tak melihat seekor binatang pun Adi. Tetapi aku mendengar suara tertawa Ki Ageng Pandan Alas”.
Pudak Wangi menjadi tersenyum jengkel. Namun ia membenarkan pula sikap Mahesa Jenar yang agak rikuh terhadap kakeknya.
Tetapi mereka menjadi terkejut pula ketika tiba-tiba terdengar kembali suara tertawa itu. Suara Ki Ageng Pandan Alas yang justru berada di tempat yang bertentangan dengan arah semula.

Mendengar suara itu, Mahesa Jenar sadar, bahwa ia tidak dapat menjauhkan dirinya dari orang tua yang sakti itu, selama orang tua itu menghendakinya. Teringatlah Mahesa Jenar akan sikap jenaka dari Ki Ageng Pandan Alas. Karena itu akhirnya ia tidak akan menghindar lagi, bahkan segera ia menjatuhkan diri dan duduk di atas rumput-rumput kering. Agaknya Pudak Wangi memaklumi hal itu, dan segera ia pun duduk di samping Mahesa Jenar. Namun untuk beberapa lama mereka sama sekali tidak berkata sepatah pun. Tiba-tiba Mahesa Jenar mendengar kemersik yang disusul oleh dengus seekor binatang. Dengan mata yang tajam, dibalik semak-semak di hadapan mereka tampaklah sesuatu yang bergerak-gerak, dan sesaat kemudian muncullah seekor rusa yang agaknya terbangun dari tidurnya. Dengan isyarat tangan, Mahesa Jenar menunjuk ke arah binatang itu.
Pudak Wangi yang kemudian melihat pula, dengan cepat sekali telah memasang anak panahnya dan sesaat kemudian rusa itu terlonjak dan memekik tinggi. Anak panah tepat mengenai lambungnya. Tetapi sekejap kemudian menancaplah anak panah kedua, yang dilepaskan oleh Mahesa Jenar pada leher binatang itu. Tanpa diulang lagi, rusa itu jatuh dan mati seketika.
“Nah, bukankah aku yang menang?” kata Pudak Wangi diiringi oleh suara-suara tertawanya yang segar.
“Akulah yang pertama-tama mengenainya”.
“Akulah yang menang,” bantah Mahesa Jenar,
“Karena panahkulah binatang itu mati”.
“Tetapi akulah yang lebih dahulu,” bantah Pudak Wangi kembali.
Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Dengan tersenyum, didekatinya rusa yang telah mati itu, kemudian setelah ia membuka baju, dipanggulnya binatang itu.
“Marilah kita pulang, Adi. Rusa ini cukup besar untuk pesta besok. Pesta kemenangan Adi Pudak Wangi atas dua orang yang akan membunuh anakku Arya Salaka,” kata Mahesa Jenar.
“Ah…” potong Pudak Wangi. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Mahesa Jenar pun tidak berkata-kata lagi. Segera mereka dengan seekor rusa di pundak Mahesa Jenar, berjalan kembali pulang.
Di sepanjang jalan pulang, Mahesa Jenar sempat mengamat-amati dengan saksama Pudak Wangi yang berjalan di depannya. Melihat tingkah lakunya, maka Mahesa Jenar semakin yakin bahwa tidak lama lagi Pudak Wangi pasti akan menjadi seorang yang perkasa seperti kakak seperguruannya, Sarayuda. Setidaknya, ia akan dapat memenuhi keinginan kakeknya, gurunya pula, bahwa akhirnya ia pasti akan dapat menandingi ibu tirinya, istri Sima Rodra muda dari Gunung Tidar, anak Sima Rodra dari Lodaya.

MAHESA JENAR membayangkan bahwa persoalannya kemudian akan menjadi bertambah melilit lagi. Persoalan antara mereka yang sedang memperebutkan Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten, ditambah dengan persoalan Rara Wilis dengan ibu tirinya, yang pasti akan sangkut-menyangkut pula dengan usaha Arya untuk menemukan kembali kedudukan ayahnya yang telah dirampas oleh pamannya, Lembu Sora. Sampai di rumah, mereka temui Arya masih tidur nyenyak. Maka tanpa dibangunkannya, rusa hasil buruan itu langsung dibaringkan di samping Arya, untuk mengejutkan anak itu besok pagi. Kemudian Pudak Wangi segera pergi ke pembaringannya untuk beristirahat, sedang Mahesa Jenar seperti biasanya tidur dengan alas anyaman daun kelapa yang direntangkan di atas tumpukan jerami disamping gubug Ki Ageng Pandan Alas. Karena kelelahan serta kantuknya yang sangat maka segera Mahesa Jenar jatuh tertidur. Mahesa Jenar terbangun ketika didengarnya suara orang bercakap-cakap di halaman belakang rumah itu. Tanpa disengaja ia mendengar bahwa mereka yang bercakap-cakap itu adalah Pudak Wangi dengan Sarayuda, sebagai seorang gadis dengan seorang pemuda. Tiba-tiba saja dengan tidak diketahuinya sendiri, darah Mahesa Jenar bergetar membentur dinding-dinding jantung. Maka timbullah keinginannya untuk mendengarkan percakapan mereka lebih lanjut. Dengan masih berpura-pura tidur, ia memasang telinganya untuk mencoba menangkap setiap kata-kata mereka. Dan apa yang didengarnya telah menambah cepat gelora hatinya.

“Wilis…” terdengar suara Sarayuda jauh di dalam dadanya,
“Sejak kecil aku telah mengenalmu. Mengenal sebagai cucu guruku. Sejak itu aku telah merasakan suatu perbedaan antara pergaulanku denganmu dibanding dengan pergaulanku dengan kawan-kawan lain. Perasaan itulah yang agaknya kemudian berkembang menjadi perasaan seperti yang aku alami kini, dan yang pasti sudah aku ketahui pula. Karena itu Wilis, aku telah berusaha untuk menemukan kau kembali setelah kau melenyapkan diri beberapa saat yang lalu dari Gunung Kidul setelah ibumu meninggal dunia. Dengan menyimpan harapan di dalam hati, bahwa kau akan memiliki perasaan yang demikian pula”.
Kemudian untuk beberapa lama, sama sekali tak terdengar suara. Namun bagi Mahesa Jenar, suara detak jantungnya seolah-olah sedemikian kerasnya sehingga jauh melampaui bunyi bedug.
Tetapi sesaat kemudian terdengar Sarayuda melanjutkan,
“Wilis, kalau beberapa waktu yang lalu aku pulang dari perantauanku, dan untuk beberapa lama aku tak pernah mengatakan perasaan itu kepadamu dan kepada siapapun, itu karena aku merasa bahwa aku masih belum mempunyai syarat-syarat yang cukup. Sekarang aku telah memiliki pekerjaan yang pantas. Yang dilintirkan dari ayahku kepadaku, yaitu jabatan Demang, yang aku kira akan dapat mencukupi bagi jaminan masa depan”.
Kembali Sarayuda diam. Tetapi kali ini juga Rara Wilis sama sekali tidak menjawab. Bahkan akhirnya terdengar isak tangisnya diantara desah angin menjelang fajar, yang bagi Mahesa Jenar seolah-olah merupakan desir suara meluncurnya anak-anak panah yang langsung menembus jantungnya, serta menimbulkan luka yang pedih.
“Wilis…” Sarayuda melanjutkan,
“Aku tidak tahu kenapa kau menangis. Apakah kau terharu, marah, gembira atau kata-kataku telah menyinggung perasaanmu? Tetapi apa yang aku lakukan adalah benar-benar terdorong oleh perasaanku yang bersih”.
Masih belum terdengar Rara Wilis menjawab.
“Bukan maksudku untuk memancingmu dengan janji Wilis,” desak Sarayuda kemudian,
“Tetapi meskipun hanya setapak aku telah memliki tanah, dan walaupun hanya seekor kerbau kurus, aku telah berternak pula”.

Meskipun kata-kata itu terluncur dari mulut Sarayuda tanpa maksud apapun terhadap orang lain, namun bagi Mahesa Jenar, kata-kata itu merupakan sebuah cermin suryakantha yang dapat menimbulkan bayangan seratus kali lipat. Tiba-tiba Mahesa Jenar melihat dirinya dalam kaca itu sebagai seorang pengembara tak berarti. Seorang yang tidak mempunyai rumah dan tempat tinggal, tidak mempunyai tanah yang subur untuk jaminan hidupnya, tanpa ternak dan tanpa kedudukan. Serta dilihatnya pula bayangan Sarayuda sebagai seorang yang memiliki syarat-syarat yang penuh. Tanah hampir seluas tanah yang terbentang di daerah Gunung Kidul yang ditaburi oleh 1000 puncak-puncak pegunungan yang asri. Ternak yang setiap hari memenuhi padang-padang rumput di tebing-tebing pegunungan dan di dataran-dataran, sawah yang subur di lembah-lembah yang luas dipagari oleh lereng-lereng hijau.
Mahesa Jenar… tiba-tiba terdengar hatinya berkata, Apakah kau akan berusaha untuk menyaingi Demang Sarayuda yang kaya raya serta gagah perkasa itu…? Mungkin kau akan dapat berhasil merebut hati Rara Wilis, tetapi dengan demikian kau akan menyiksanya sepanjang umurnya. Wilis akan mengalami hidup yang sulit, penuh dengan kekurangan dan penderitaan. Kalau kau melanjutkan usahamu untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten, lalu apakah yang dapat kau lakukan terhadap Rara Wilis? Kau bawa serta untuk kau binasakan di bawah kekejaman-kekejaman lawan-lawanmu, atau kau umpankan kepada orang-orang golongan hitam sebagai barang permainan? Atau barangkali kau bermaksud meninggalkannya di suatu tempat? Dengan demikian Rara Wilis akan kesepian. Tiap malam ia akan menghitung setiap desir angin yang menyentuh wajahnya dengan mata yang mengaca, dengan penuh harapan pada setiap tarikan nafasnya, menantimu pulang. Tetapi adakah kau akan pulang kembali kepadanya?
Kata-kata hatinya itu mendengung sedemikian kerasnya di dalam kepala Mahesa Jenar. Ditambah dengan berbagai kenangan yang susul-menyusul. Apalagi kalau diingatnya bahwa Sarayuda adalah seorang yang telah menyelamatkan Arya, yang telah melepaskannya dari kemarahan Gajah Sora. Dan tiba-tiba karena semuanya itu, terasa bahwa kepalanya seolah-olah berputar, semakin lama semakin cepat semakin cepat.

MAHESA JENAR memejamkan matanya rapat-rapat. Dengan sekuat tenaga ia berusaha menguasai perasaannya. Namun betapa sulitnya. Malahan kenangan-kenangan masa lalu, yang seolah susul-menyusul, nampak semakin jelas. Bagaimana ia telah berusaha menyelamatkan Rara Wilis dari tangan Jaka Soka, sehingga akibatnya, hampir saja ia dibinasakan oleh Pasingsingan. Tetapi karena tiba-tiba sekarang dirinya merasa tidak berhak lagi untuk mencoba mengambil hatinya, kenapa sekarang tiba-tiba ada orang lain yang menarik garis pemisah? Mengingat hal itu semua, darah Mahesa Jenar bergelora. Bukankah ia seorang laki-laki? Kalau demikian maka untuk mencapai idaman hati, taruhannya adalah nyawa. Ia tahu bahwa Sarayuda termasuk orang yang sakti, yang memiliki ilmu keturunan dari Ki Ageng Pandan Alas, yaitu Cunda Manik. Namun ia yakin bahwa Sasra Birawa tidak pula kalah dahsyatnya. Penyelesaian dari pertempuran itu tidaklah penting. Kalau ia menang, maka ia pasti dapat memiliki Rara Wilis, tetapi kalau ia kalah, adalah kebinasaan. Ini akan lebih baik daripada hidup dengan hati yang kosong. Karena pikiran itu, tiba-tiba darah Mahesa Jenar menggelegak. Apalagi ketika timbul dugaannya, bahwa Sarayuda sengaja menyatakan perasaannya terhadap Rara Wilis untuk dapat didengarnya. Kalau demikian, maka berarti bahwa Sarayuda dengan terang-terangan menantangnya. Maka hampir saja Mahesa Jenar meloncat berdiri, kalau tidak tiba-tiba saja timbul pula pikirannya yang lain. Sehingga terjadilah desak-mendesak antara perasaan yang satu dengan yang lain, pikiran yang satu dengan yang lain.

Rara Wilis bukanlah semacam barang yang dapat diperebutkan. Ia adalah seorang manusia yang berhak menjatuhkan pilihan. Meskipun seandainya ia menang dalam perang tanding dengan Sarayuda, tetapi ternyata Rara Wilis sebenarnya tidak memilihnya. Maka yang akan dimilikinya hanya Rara Wilis dalam bentuk wadagnya, bukan keseluruhannya. Apakah artinya bagi Mahesa Jenar, memiliki Rara Wilis tanpa hatinya. Karena itu maka kemauan Mahesa Jenar jadi mengendor lagi. Malahan kembali timbul di dalam dadanya, suatu perasaan yang pedih, ketika ia tiba-tiba teringat kata-kata Rara Wilis di padang ilalang pada saat mereka berburu tadi.
Bukankah pertanyaan itu jelas. Rara Wilis akan berkata kepadanya, bahwa kenapa ia adalah seorang perantau, seorang yang tidak mempunyai tempat tinggal? Kenapa ia hidup sebagai seorang yang selalu berkeliaran di hutan-hutan, bukit-bukit dan lembah-lembah…?
Kalau demikian maka Rara Wilis pasti sedang memperbandingkan dirinya yang tidak hidup seperti lazimnya orang yang berkeluarga. Kenapa ia tidak menjadi Demang seperti Sarayuda yang menguasai tanah dengan seribu bukit, ternak di padang dan sawah yang subur di lembah-lembah…?
Kenapa ia tidak berkata kepada Rara Wilis tentang rumah yang besar serta halaman yang ditumbuhi pohon buah-buahan serta dipagari oleh tanam-tanaman berbunga…?
O…, semuanya itu pasti akan selalu menggugahnya kelak, apabila Rara Wilis kelak benar-benar menjadi istri Mahesa Jenar. Ataupun kalau tak terucapkan, perlahan-lahan pasti akan membakar hati gadis itu. Karena itu sebelum semuanya itu terjadi maka lebih baik Mahesa Jenar menarik diri. Kalau ia ingin melihat Rara Wilis berbahagia, maka ia harus melepaskan kepentingannya sendiri yang dikendalikan oleh nafsu. Tidak! Ia tidak akan membiarkan Wilis menderita dan terlalu banyak berkorban untuknya.
Aku tidak akan mengganggunya, desis Mahesa Jenar.

Kemudian dengan diam-diam dan hati-hati sekali Mahesa Jenar bangkit dari pembaringannya, anyaman daun kelapa di atas jerami. Perlahan-lahan ia memasuki gubug Pandan Alas dari pintu depan, dan tanpa bersuara didukungnya Arya Salaka dari pembaringannya. Kemudian dengan hati-hati ia meninggalkan gubug yang telah menimbulkan peristiwa pahit itu. Arya yang kemudian terbangun, sama sekali tak mengetahui duduk perkaranya. Ia merasa bahwa pamannya berlari kencang sekali, karena itu ia bertanya, Paman…,
“ke mana Paman akan pergi?”
Mahesa Jenar tidak menjawab pertanyaan itu, malahan ia berlari semakin kencang dan kencang, menuju ke gubug yang telah dibangunnya bersama Arya Salaka. Perjalanan mereka menyusup melewati hutan-hutan kecil yang tidak begitu lebat.
Ketika fajar menyingsing, Mahesa Jenar mencoba untuk menguasai dirinya. Ia berusaha untuk tidak menimbulkan kesan yang asing bagi orang-orang yang dijumpainya di jalanan. Karena itu Arya segera diturunkannya dari dukungan. Orang-orang yang sedang ke sawah serta orang-orang yang pergi mencari kayu di hutan, hanya memandang Mahesa Jenar sepintas saja, meskipun kadang-kadang ada yang heran pula, Dari manakah sepagi itu, ayah-beranak sudah berada di perjalanan? Tetapi Mahesa Jenar sudah sama sekali tidak memperhatikannya lagi. Ia berjalan terus dengan kecepatan yang penuh, tanpa beristirahat.

AKHIRNYA Arya menjadi kelelahan.
Maka bertanyalah ia,
“Paman…, kemanakah kita pergi?”
Mahesa Jenar tidak menjawab pertanyaan itu. Ia masih saja berjalan cepat-cepat. Karena itu Arya kadang-kadang terpaksa berlari-lari untuk mengikuti langkah Mahesa Jenar.
“Paman…, tunggulah!” teriak Arya.
Mahesa Jenar yang sedang diliputi oleh berpuluh ribu masalah itu hampir tak mendengar suara Arya. Ia masih saja berjalan cepat tanpa menoleh. Mendengar Arya berteriak-teriak, Mahesa Jenar berhenti menoleh. Tetapi, Arya yang biasanya mendapat perhatian sepenuhnya dari Mahesa Jenar, kini rasa-rasanya sangat menjengkelkan sekali. Dengan keras pula Mahesa Jenar berteriak,
“Arya…, tidakkah kau dapat berjalan lebih cepat?”
“Aku lelah sekali Paman,” jawab Arya.
“Baru beberapa langkah kau berjalan. Ayo belajarlah menjadi seorang laki-laki. Apakah kau, yang sudah sebesar itu masih harus selalu dimanjakan…? Didukung sampai punggungku patah?” teriak Mahesa Jenar dengan kasarnya.

Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Arya terkejut bercampur heran. Ia belum pernah melihat Mahesa Jenar bertindak sekasar itu terhadapnya. Padahal ia sama sekali tidak merasa berbuat suatu kesalahan. Ia ingat jelas bahwa pamannya kemarin berkata kepadanya agar ia tidur saja, pamannya akan pergi berburu. Kemudian ketika ia terbangun, ia sedang didukung oleh pamannya sambil berlari-lari. Dan sekarang tiba-tiba saja pamannya marah kepadanya.
Sedang Arya kebingungan, terdengar kembali suara Mahesa Jenar,
“Arya…, tidakkah kau mau berjalan?”
Arya tersentak, cepat ia melangkah menyusul. Namun di hatinya terasa ada sesuatu yang mengeram. Dan tiba-tiba saja terasa tenggorokannya tersumbat. Alangkah asingnya sikap pamannya. Sikap yang belum pernah dirasakannya selama ia bertemu dengannya. Apalagi sejak ayahnya meninggalkan Banyubiru, dan sejak beberapa orang selalu mengejar-ngejarnya dan akan membunuhnya. Pamannya selama itu selalu melindunginya dengan saksama. Tetapi sekarang sikap Paman Mahesa Jenar itu tiba-tiba berubah. Maka tanpa dirasanya matanya jadi membasah.
Dengan susah payah Arya berusaha untuk mencegah air mata yang hampir pecah. Namun akhirnya Arya Salaka tidak tahan lagi. Apalagi ketika didengarnya Mahesa Jenar membentaknya,
”Arya, kau anak laki-laki yang sudah sebesar itu masih juga menangis? Ayo, berlarilah kalau kau masih mau beserta aku. Kalau tidak, terserahlah kepadamu”.
Setelah berkata demikian, Mahes Jenar melangkah melanjutkan perjalanannya. Meskipun kemudian terdengar suara Arya memanggil-manggilnya,
”Paman…, Paman…!”

Tiba-tiba saja langkah Mahesa Jenar terhenti. Dilihatnya di pinggir jalan sempit di tepi hutan itu seseorang berdiri seperti menantinya. Ketika Mahesa Jenar berhenti, tampaklah orang itu melambaikan tangannya memanggil. Hati Mahesa Jenar jadi berdebar-debar, apalagi kemudian ketika dikenalnya orang itu adalah Ki Ageng Pandan Alas. Kakek dan guru Rara Wilis, yang telah memecahkan hatinya. Tetapi ketika Mahesa Jenar sadar bahwa ia tidak dapat bermain-main dengan orang tua itu, maka dengan langkah yang berat ia pergi mendekatinya.
“Mahesa Jenar…” kata orang tua itu setelah Mahesa Jenar berdiri di hadapannya,
“Aku menangkap suatu sikap yang aneh padamu”.
Mahesa Jenar menundukkan kepalanya tanpa menjawab.
“Kenapa kau pergi tanpa pamit kepadaku?” lanjut Ki Ageng Pandan Alas.
Juga kali ini Mahesa Jenar tidak menjawab.
Terdengarlah orang tua itu tertawa lirih, namun wajahnya tidak secerah biasanya.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar mengangkat wajahnya. Tetapi ketika pandangannya membentur mata orang tua itu, kembali ia menundukkan mukanya. Dengan suara yang berat ia menjawab,
“Ki Ageng…, aku adalah orang yang tak berarti, yang tidak sepantasnya tinggal bersama-sama dengan Ki Ageng, Adi Pudak Wangi dan Demang Sarayuda yang kaya raya”.
Sekali lagi Ki Ageng Pandan Alas tersenyum.
“Mahesa Jenar…, aku telah mendengar seluruhnya percakapanmu dengan Rara Wilis di padang perburuan. Aku juga melihat bagaimana kau menyaksikan Rara Wilis berkelahi melawan dua orang yang kemudian kau bunuh dengan lemparan batu. Tetapi seterusnya, menurut gagapanku, kau menjadi tersinggung karenanya. Maka segera aku menyusulmu untuk mendapat penjelasan. Tetapi mendengar kata-katamu tadi, aku dapat mengambil kesimpulan bahwa kau merasa disisihkan, karena kau bukan seorang yang kaya seperti Sarayuda,” kata Ki Pandan Alas.

Mahesa Jenar mengangguk perlahan-lahan.
“Ki Ageng…, bukankah Ki Ageng mendengar sendiri, bagaimana Rara Wilis menanyakan kepadaku? Kenapa aku tidak menjabat kedudukanku kembali? Bukankah itu sudah jelas, bahwa Rara Wilis sama sekali tidak senang melihat seseorang yang merantau memperjuangkan keyakinannya?”
“Bukan tidak senang, Mahesa Jenar…” jawab Ki Ageng Pandan Alas,
“Tetapi sebagai seorang gadis, pastilah ia berangan-angan. Angan-angan itu akan dapat dipenuhi oleh Ki Demang Sarayuda, yang memiliki tanah, ternak dan pangkat. Apalagi ia adalah seorang yang sakti pula, yang akan dapat melindungi keselamatan Rara Wilis,” sela Mahesa Jenar.
Mendengar kata Mahesa Jenar itu, wajah Ki Ageng Pandan Alas nampak berkerut. Alisnya bergerak-gerak, sedang matanya memancarkan perasaannya yang kecewa.
“Mahesa Jenar…, meskipun Sarayuda itu muridku, namun aku melihat beberapa kelebihan ada padamu. Tetapi ternyata bahwa kau juga mempunyai kekurangan yang besar. Hatimu keras seperti baja, tetapi getas seperti baja pula. Kalau demikian… baiklah, aku akan berusaha untuk membentuk Sarayuda lebih lanjut, untuk melenyapkan kekurangan-kekurangannya agar dapat menyamaimu”.

SETELAH mengucapkan kata-kata itu, dalam sekejap saja Ki Ageng Pandan Alas telah melangkah jauh. Ketika Mahesa Jenar akan menjawab, orang tua itu telah hilang masuk ke dalam hutan. Maka, tiba-tiba timbullah penyesalan di hati Mahesa Jenar. Mungkin ia sudah menyakitkan hati orang tua itu. Sehingga dengan demikian kemungkinan untuk dapat kembali kepada Rara Wilis menjadi semakin tipis. Karena itu tiba-tiba menggeloralah kembali kejengkelan di dalam dadanya. Dunia ini menjadi seolah-olah gelap dan tanpa masa depan. Hidupnya menjadi tak berarti sama sekali. Kalau demikian buat apa ia mesti berjuang untuk masa depan. Masa yang akan dipenuhi oleh kepahitan hidup…? Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada Ki Paniling yang sebenarnya bernama Radite, yang menjauhkan diri dari pergaulan ramai. Yang kemudian lebih senang hidup diantara para petani miskin tanpa berpikir tentang masa depan. Tentang negara, tentang bangsa.
O…, adakah demikian balas jasa yang diterimanya atas perjuangan yang dilakukan selama ini? Kalau demikian maka alangkah tenteramnya hidup Paniling.
“Paman…” tiba-tiba terdengar suara Arya dekat di belakang Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar agak terkejut mendengar suara itu. Tetapi ketika ia menoleh dan nampak wajah Arya yang kuyu, kembali terungkitlah kejengkelannya. Anak itu adalah isi dari masa depan yang gelap, yang pahit, yang akan menyiksanya. Buat apa ia harus ikut serta membinanya. Anak itu bukanlah anaknya. Biarlah Gajah Sora sendiri bertanggung jawab atasnya. Kalau kelak ia marah kepadanya, biarlah Gajah Sora mencoba mengukur lebar dadanya.
Karena pengaruh pikirannya yang kelam itu berteriaklah Mahesa Jenar membentak,
“Pergi…, pergi kau kelinci cengeng. Buat apa kau ikuti aku?”

Mendengar suara kasar itu, dada Arya Salaka rasa-rasanya seperti tersambar petir, sehingga tubuhnya menggigil ketakutan. Belum lagi ia dapat bersuara, Mahesa Jenar telah melompat berlari. Berlari kencang-kencang seperti orang yang kehilangan ingatan. Meskipun kemudian terdengar jerit Arya Salaka,
“Paman…, Paman…” namun suara itu semakin lama semakin jauh semakin jauh di belakangnya.
Suara Arya Salaka itu akhirnya lenyap menghantam batas-batas hutan. Sedang Mahesa Jenar masih saja berlari menyusup semak-semak seperti orang gila. Dengan napas yang terengah-engah, ia mendaki bukit kecil sambil masih terus berlari, menjauhi manusia. Ia akan pergi ke suatu tempat dimana hidupnya tak tersentuh oleh apapun. Di puncak sebuah bukit, atau di pusat hutan yang lebat, ia akan bertapa. Menghadapkan hidupnya melulu buat masa langgeng. Akan ditinggalkannya dunia yang penuh dengan bayangan dan angan-angan seperti mimpi yang nikmat, tetapi kemudian yang membantingnya ke dalam jurang kekecewaan yang maha dalam. Tetapi, tiba-tiba Mahesa Jenar terkejut melihat sebuah bayangan menghadang perjalanannya di tempat yang temaram oleh bayangan pepohonan. Karena itu segera ia memperlambat langkahnya. Ia menjadi semakin terkejut lagi ketika dari kejauhan dilihatnya bayangan itu mengenakan jubah abu-abu.
Pasingsingan… desisnya. Hatinya kemudian agak gelisah. Tetapi tiba-tiba ia tersenyum sendiri.
Bagus, desisnya. Kalau Pasingsingan mau membunuh aku pula, aku akan mengucapkan terima kasih kepadanya.
Mendapat pikiran itu, kembali Mahesa Jenar berlari, ke arah orang yang berjubah abu-abu yang disangkanya Pasingsingan itu. Tetapi kembali ia terkejut bukan kepalang, ketika ternyata orang yang berjubah abu-abu itu tidak mengenakan topeng kasar seperti yang biasa dipergunakan oleh Pasingsingan.

Apalagi ketika Mahesa Jenar sempat memandang wajah orang itu. Kurus dan janggutnya yang sudah putih tumbuh lebat pepat, menutup sebagian dari mukanya, sedang rambutnya yang sudah putih dibiarkannya terurai menjuntai dari bawah ikat kepalanya. Menilik garis-garis umur yang tergores di keningnya, nyatalah bahwa umur orang itu sudah sangat tua, namun tubuhnya masih nampak segar dan kuat. Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang yang telah mengambil keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten di Banyubiru. Orang itu berpakaian mirip dengan jubah Pasingsingan, namun bukan Pasingsingan. Sedang rambutnya yang putih itu, dapat saja pada waktu ia mengambil keris di Banyubiru digelungnya di bawah ikat kepalanya. Adapun wajahnya, tak seorangpun yang mengetahuinya. Karena itu tiba-tiba timbul dugaannya bahwa orang inilah yang telah mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.
Maka dengan tiba-tiba pula Mahesa Jenar berteriak,
“He Kyai…, adakah kau yang mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten?”
Orang itu sama sekali tidak menjawab dan tidak bergerak. Hanya matanya saja yang tajam bersinar memandang ke arah Mahesa Jenar tanpa berkedip.
Karena pandangan mata itu, hati Mahesa Jenar jadi gelisah. Seolah-olah ada suatu pengaruh yang aneh pada dirinya. Maka untuk mengatasi kegelisahannya, kembali ia berteriak,
“He, siapakah kau, yang telah berani mengambil pusaka-pusaka Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dari Banyu Biru…?”
Orang itu masih belum menjawab. Tetapi pandangan matanya semakin dalam menembus dada Mahesa Jenar yang menjadi semakin gelisah. Dan seperti orang yang bingung, Mahesa Jenar membentak-bentak,
“Kau yang mengambil, he..? Ayo bilang, tak usah kau ingkari. Kalau demikian, kembalikan keris itu kepadaku. Kembalikan…!”
Karena orang itu masih saja tidak menjawab, perasaan Mahesa Jenar menjadi semakin melonjak-lonjak. Timbullah suatu perasaan kecut dan ngeri di dalam dirinya. Seolah-olah orang yang berdiri di hadapannya itu memancarkan suatu perbawa yang aneh. Sehingga kemudian Mahesa Jenar tidak dapat mengendalikan kecemasannya, bercampur-baur dengan perasaan bingung dan pepat.

MAHESA JENAR mundur beberapa langkah, disilangkan satu tangannya di depan dada, satu lagi diangkat tinggi-tinggi. Sambil memusatkan segala tenaganya, Mahesa Jenar mengangkat satu kakinya dan ditekuknya ke depan. Sambil berteriak nyaring Mahesa Jenar meloncat maju,
“Kembalikan keris-keris itu atau kau binasa”.
Setelah itu, tangannya terayun deras dengan aji Sasra Birawa tersimpan di dalamnya. Tetapi terjadilah suatu peristiwa yang sama sekali tak terkirakan. Dengan cekatan, tangan orang tua itu bergerak dan dalam sekejap tangan Mahesa Jenar yang sedang mengayunkan Sasra Birawa itu dengan tenang ditangkapnya. Dengan demikian maka Mahesa Jenar tersentak oleh kekuatannya yang tidak tersalur itu, sehingga seolah-olah suatu pukulan yang dahsyat telah menghantam dadanya. Tetapi hanya sebentar. Sebab sesaat kemudian terasalah seolah-olah udara yang sejuk mengalir ke seluruh tubuhnya, sehingga dengan demikian tubuhnya sama sekali tidak merasakan suatu gangguan apapun. Mengalami peristiwa itu, jantung Mahesa Jenar berdesir hebat sekali. Sadarlah ia bahwa yang berdiri di hadapannya itu adalah seorang yang maha sakti. Yang memiliki kedahsyatan ilmu lahir dan batin. Karena itu, ketika tangannya telah dilepaskan, Mahesa Jenar segera mundur beberapa langkah dan kemudian seperti orang yang tak berdaya, Mahesa Jenar menjatuhkan dirinya duduk bersila menghadap kepada orang yang tak dikenalnya itu.
Dengan gemetar Mahesa Jenar berkata,
“Maafkanlah kelancanganku Kyai, dan perkenankanlah aku mengetahui siapakah sebenarnya Tuan?”
Terdengarlah orang tua berjubah abu-abu itu tersenyum.
“Sudahlah Mahesa Jenar, kau tak perlu terlalu merasa bersalah. Bahkan aku menjadi gembira ketika kau masih ingat kepada kewajibanmu untuk menemukan kembali Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, sehingga kau berani bertindak terhadap apapun dan siapapun. Dengan demikian maka masa depanmu tidaklah akan gelap sama sekali,” jawabnya.

Mendengar kata-kata orang tua yang sama sekali tidak menjawab pertanyaannya itu, Mahesa Jenar menjadi tertegun heran. Apakah gerangan maksudnya? Kemudian terdengarlah orang tua itu melanjutkan,
“Mahesa Jenar…, apakah sebenarnya yang kau cari, sehingga kau sampai ke tempat ini?”
Perasaan Mahesa Jenar terasa seperti disentakkan mendengar pertanyaan itu. Yah, apakah sebetulnya yang dikehendaki sehingga sampai ke tempat ini…?
Teringatlah kemudian apa yang pernah dialami akhir-akhir ini, yang masalahnya berkisar di sekitar Rara Wilis. Namun untuk menguraikan kepada orang tua itu, Mahesa Jenar masih merasa kurang enak. Karena itu ia jadi bimbang sehingga beberapa lama ia tidak menjawab. Karena Mahesa Jenar masih berdiam diri, terdengarlah orang tua itu meneruskan,
“Aku kira, aku dapat menduga-duga apa yang sebenarnya telah kau alami Mahesa Jenar. Dan ketika aku melihat kau berlari-lari ke arah yang sama sekali tak kau ketahui, aku pun dapat mengira-ngira pula, apa yang akan kau lakukan. Sebab sebagian besar dari percakapanmu dengan Kyai Ageng Pandan Alas, serta kemarahanmu kepada Arya Salaka dapat aku dengar. Ditambah lagi dengan beberapa kejadian akhir-akhir ini yang dapat aku lihat pula. Hubunganmu dengan cucu Ki Ageng Pandan Alas serta murid Ki Ageng Pandan Alas yang bernama Sarayuda”.
Mendengar uraian orang tua itu, Mahesa Jenar seperti orang yang dihadapkan pada suatu peristiwa yang diluar kemampuan jalan pikirannya. Demikian banyaknya masalah yang dapat diketahui oleh orang tua itu. Kalau demikian maka orang tua itu pasti telah beberapa hari mengikutinya. Karena itu, pasti orang itu adalah orang yang sama sekali tidak bermaksud jahat kepadanya. Dengan demikian ia menjadi agak berani pula.
Maka katanya,
“Apa yang Tuan katakan adalah benar”.
Maka terdengarlah orang tua itu tertawa.
“Bagus… katanya. Kau sadari semua itu, dan sekarang kau akan pergi kemana?”

Kembali Mahesa Jenar kebingungan. Apakah sebaiknya ia bekata terus terang? Sebab andaikata ia berbohong maka orang tua itupun agaknya dapat mengetahui pula.
Karena itu jawabnya,
“Aku akan pergi bertapa, Kyai. Menjauhi kesibukan kesibukan duniawi yang menjemukan”.
Sekali lagi orang tua itu tertawa.
“Apakah dengan bertapa serta menjauhkan diri dari persoalan manusia itu, kemudian keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten akan datang kepadamu dengan sendirinya?”
Sedikit-sedikit arah pembicaraan orang tua itu sudah dapat ditangkap oleh Mahesa Jenar. Ia menjadi bertanya pula pada diri sendiri, apakah sebenarnya yang dicarinya selama ini?
“Mahesa Jenar…” lanjut orang tua itu,
“Kau adalah seorang kesatria, bukan seorang brahmana atau pertapa. Kewajiban kesatria adalah membina kesejahteraan umat manusia, kesejahteraan bangsanya dan tanah airnya. Apakah yang dapat kau lakukan apabila kau mengasingkan dirimu di puncak gunung atau di tengah-tengah hutan yang lebat? Di dalam goa-goa atau di bawah pohon beringin tua? Mahesa Jenar, aku sudah tua. Aku adalah gambaran dari orang-orang yang tak berarti. Tinggal di dalam goa yang jauh dari masalah-masalah bangsa dan tanah air, dimana aku meneguk air jika aku haus serta mencari ketenteraman diri. Tetapi dengan demikian masalah keluarga besar kita tak akan dapat diselesaikan. Sekarang adakah kau mau memperbanyak jumlah dari orang-orang yang demikian itu?”
Kata-kata orang tua itu memancar ke hati Mahesa Jenar seperti sinar matahari yang memecahkan gelapnya malam. Meskipun ia masih duduk tepekur, namun dadanya telah menyala kembali dengan api kekesatriaannya.
“Masihkah kau akan melanjutkan mencari pusaka-pusaka yang hilang itu?” tanya orang tua itu.
Karena pertanyaan itu Mahesa Jenar tersentak. Jawabnya tergagap,
“Ya… Tuan, aku tetap mencarinya. Dan adakah Tuan mengetahui di manakah kedua keris itu sekarang?”

ORANGTUA itu tersenyum, lalu jawabnya,
“Aku tahu. Kedua keris itu berada di dalam kekerasan hatimu serta usahamu”.
Kembali Mahesa Jenar tertunduk. Tepat benar jawaban orang tua itu.
“Mahesa Jenar…” lanjut orang itu,
“hati-hatilah kelak akan memilih. Ada dua keturunan yang merasa berhak memiliki keris itu. Keturunan Trenggana dan keturunan Sekar Seda Lepen. Pilihlah siapa diantara mereka yang mengutamakan kepentingan rakyat serta kesejahteraan negerinya. Kepadanyalah keris itu kau serahkan. Seterusnya kau masih mempunyai satu kewajiban lagi. Membina masa depan. Dan sekarang kau sia-siakan satu tugas kekuatan masa depan itu”.
Orang tua itu diam sesaat, lalu bertanya kepada Mahesa Jenar,
“Dengarlah siapakah yang menyebut-nyebut namamu?”
Lamat-lamat ketajaman pendengaran Mahesa Jenar mendengar suara memanggil-manggilnya,
“Paman…, Paman Mahesa Jenar…, di manakah kau Paman…?”
Mendengar suara itu, terbantinglah hati Mahesa Jenar seperti kaca yang menimpa batu. Itu adalah suara Arya Salaka, putra Gajah Sora.
“Apa salah anak itu kepadamu Mahesa Jenar?” tanya orang tua itu sambil tersenyum.
Karena pertanyaan itu hati Mahesa Jenar merasa semakin pecah-pecah. Teringatlah ia, bagaimana ia membentak-bentak anak itu, meninggalkannya dalam kebingungan dan kekalutan pikiran.
“Mahesa Jenar…” terdengarlah kembali kata-kata orang tua itu,
Masa depan tidaklah kalah pentingnya dengan masa kini. Justru apa yang kau lakukan adalah buat kepentingan masa depan. Karena itu peliharalah tunas-tunas buat masa depan itu dengan baik-baik. Kali ini kau telah mendapatkan pengalaman untuk dapat kau pergunakan sebagai cermin pada masa-masa yang akan datang. Setiap usaha pasti mengalami rintangan-rintangan. Apabila kau terperosok pada kepatahan hati maka tak akan ada usahamu yang berhasil. Aku setuju dengan kata-kata Pandan Alas, hatimu sekeras baja, tetapi getas seperti baja pula. Nah sekarang hayatilah tugasmu kembali. Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten serta anak Gajah Sora yang dititipkan kepadamu itu”.
Mahesa Jenar membungkuk hormat, namun masih juga ia mencoba bertanya,
“Siapakah sebenarnya Tuan?”

Orang tua itu tersenyum.
“Tak banyak gunanya kau mengetahui siapakah aku ini. Sebab aku adalah orang yang tak berarti. Salah satu dari gambaran orang-orang yang tidak bertanggungjawab buat membina bebrayan agung. Namun aku masih ingin menitipkan sumbangsihku atas tanah ini kepadamu, dengan mencegah kehendakmu untuk menambah barisan orang-orang yang tak berarti seperti aku ini. Nah selamat bekerja Mahesa Jenar. Seharusnya kau memiliki keagungan seperti gurumu, Pangeran Handayaningrat”.
Setelah mengucapkan kata-kata itu, orang tua yang berkumis dan berjanggut lebat itu melangkah pergi. Mahesa Jenar yang masih belum puas itu segera akan mengikutinya, tetapi tiba-tiba kembali didengarnya suara sayup-sayup menyusup dedaunan,
“Paman…, Paman Mahesa Jenar…. Kenapa aku kau tinggalkan sendiri, Paman…?”
Suara yang timbul-tenggelam diantara desir angin di hutan itu telah menyentuh-nyentuh perasaan Mahesa Jenar seperti panasnya bara api. Cepat ia menyadari kesalahannya telah meninggalkan anak yang tak bersalah itu. Karena itu ia berteriak pula,
“Arya…, tunggulah Paman segera datang”.
Setelah itu segera ia meloncat berlari sekencang-kencangnya menuju ke arah suara Arya Salaka, yang ketika mendengar suara Mahesa Jenar, berteriak lebih keras lagi,
“Paman…, Paman….”
Ketika Arya Salaka melihat Mahesa Jenar yang tiba-tiba muncul dari rimbunnya hutan, segera ia berlari menyongsongnya. Tetapi karena tubuhnya sudah sangat lelah, maka ia pun terjatuh lemas. Melihat kadaan Arya, Mahesa Jenar jadi terharu. Cepat ia menangkap tubuh Arya yang sudah hampir terjerembab, dan dengan hati-hati anak itu didudukkan di atas rumput-rumputan.
“Arya….” bisik Mahesa Jenar.
Arya tidak menjawab, karena kerongkongannya terasa buntu. Namun air matanya mengalir seperti tanggul yang pecah. Arya Salaka yang sebenarnya bukanlah anak cengeng, pada saat itu tangisnya tak tertahankan lagi, seperti berdesak-desakan berebut jalan.
“Arya… kata Mahesa Jenar, Anak laki-laki tidak sepantasnya menangis. Diamlah”.
Meskipun nada suara Mahesa Jenar sudah menjadi lunak, namun Arya masih ketakutan kalau-kalau pamannya akan marah kembali. Karena itu ditahannya tangisnya kuat-kuat. Tetapi karena itu pula maka dadanya menjadi sesak karena isaknya yang tersekat, sehingga tubuhnya berguncang-guncang.
“Sudahlah Arya…” sambung Mahesa Jenar,
“Kalau kau terlalu lama menangis kau dapat kemasukan angin”.
“Aku takut” kata Arya.
“Takut…?” tanya Mahesa Jenar.
“Apa yang kau takutkan?”
“Aku takut kalau Paman meninggalkan aku sendiri,” jawab Arya.

MENDENGAR jawaban itu hati Mahesa Jenar tergetar. Adalah wajar kalau seorang anak sebesar Arya Salaka menjadi ketakutan ditinggalkan seorang diri di padang ilalang di pinggir hutan yang sama sekali tak dikenalnya, bagaimanapun beraninya anak itu.
“Tidak Arya…, Paman tak akan meninggalkan kau sendiri,” kata Mahesa Jenar membesarkan hati anak itu.
“Tetapi tadi Paman berlari kencang sekali,” potong Arya.
Mendengar kata-kata Arya itu, Mahesa Jenar tersenyum. Senyuman yang pahit bagi dirinya sendiri.
Namun jawabnya,
“Tadi Paman tidak akan meninggalkan kau, Arya. Tetapi karena ada sesuatu yang harus aku kerjakan, dan tidak boleh orang lain tahu, apalagi anak-anak. Karena hal itu adalah rahasia besar, maka aku pergi mendahuluimu untuk beberapa lama”.
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan pandangan yang penuh keragu-raguan. Apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar tadi menurut anggapannya bukanlah sekadar mendahului, tetapi benar-benar telah berusaha untuk meninggalkannya.
Karena itu ia bertanya,
“Tetapi tadi Paman marah kepadaku”.
Sekali lagi Mahesa Jenar tersenyum. Namun hatinya mengeluh.
“Sudahlah Arya, sekarang dan seterusnya Paman tak akan meninggalkan kau lagi”.
Arya mengangguk-anggukkan kepalanya, meskipun hatinya masih tetap ragu.
“Kemana Paman pergi, aku ikut Paman”.
“Bagus Arya, bagus,” jawab Mahesa Jenar.
“Nah, sekarang kemana?”
“Terserahlah kepada Paman,” jawab Arya.
“Kau lelah?” tanya Mahesa Jenar.
“Tidak, kalau berjalan dengan Paman aku masih kuat,” jawab Arya dengan mantapnya, meskipun sebenarnya kakinya sudah terlalu letih. Agaknya Mahesa Jenar mengetahui pula kelelahan Arya, karena itu katanya,
“Kita beristirahat sebentar Arya, nanti kalau kau sudah tidak begitu letih, kita berjalan kembali”.


<<< Bagian 028                                                                                              Bagian 030 >>>

No comments:

Post a Comment