TETAPI kembali ia tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya. Dengan Sura Sarunggi, Pasingsingan segera memasuki rumah untuk mencari pusaka-pusaka yang menggemparkan itu. Ketika kedua orang sakti itu telah lenyap ditelan pintu, mulailah Lawa Ijo menggeram. Kemudian terdengar ia berkata,
“Jaka Soka,
jangan terlalu lama bermain-main. Waktu kita tidak terlalu banyak.”
Jaka Soka
tersenyum. Dengan mata redup ia melangkah maju, dan dengan satu loncatan ia
naik ke pendapa. Pada saat yang bersamaan Rara Wilis telah menyambut pedangnya.
Ia sadar bahwa Ular Laut itu pasti akan menyerangnya. Sekali lagi hatinya
meremang, ketika teringat peristiwa-peristiwa di hutan Tambakbaya. Tetapi
sekarang ia harus menghadapi bajak laut itu dengan senjata di tangan, tidak
untuk bunuh diri, tetapi untuk membunuh lawannya itu. Yang terjadi di sebelah
lain, Wirasaba dengan garangnya meloncat ke arah Wadas Gunung. Kapaknya yang
besar itu berputar dengan dahsyatnya. Sedang Wadas Gunung pun menerima serangan
Wirasaba dengan penuh gairah. Di kedua belah tangannya telah tergenggam dua
buah pisau belati panjang. Sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang sengit.
Kedua-duanya bertubuh tinggi, besar dan berkekuatan luar biasa. Keduanya
memiliki kelincahan dan kecepatan bergerak. Wirasaba kini telah memiliki
seluruh ketangkasannya. Kakinya sudah benar-benar pulih kembali, tidak seperti
pada saat ia menyusul Mahesa Jenar ke Pliridan beberapa tahun yang lampau.
Dengan demikian pertempuran itu menjadi dahsyat sekali. Banturan-benturan
senjata mereka berdentang-dentang menyobek sepi malam. Demikian kerasnya
sehingga berloncatlah bunga api keudara, memercik berhamburan.
Mantingan
melihat Wirasaba telah mulai, dan Rara Wilis telah berhadapan dengan orang yang
berwajah tampan itu. Yang masih berdiri tanpa lawan adalah Lawa Ijo. Lawa Ijo
itu tidak dapat dikalahkan, namun apapun yang terjadi adalah menjadi kewajiban
Mantingan. Karena itu segera Mantingan meloncat menyerang Lawa Ijo.
Terdengarlah Lawa Ijo tertawa. Sesaat kemudian di tangannya telah
berkilat-kilat pisau belati panjang. Dengan tangkasnya ia menyongsong serangan
trisula Mantingan. Maka sesaat kemudian mereka telah terlibat dalam suatu
perkelahian yang sengit. Keduanya bertempur mati-matian. Untuk segera dapat
mengakhiri pertempuran, Lawa Ijo yang garang itu meloncat dengan dahsyatnya,
sedangkan Mantingan pun tidak kalah lincahnya. Karena ia sudah mengenal Lawa
Ijo, maka dalam pertempuran itu, segera ia mempergunakan ilmu gerak yang
dinamainya Pacar Wutah. Dalam saat-saat berikutnya, trisulanya bergerak-gerak
dengan cepatnya menyerang tubuh lawannya dari segala arah. Tetapi Lawa Ijo pun
telah mengenal ilmu itu. Di Gedong Sanga, ia gagal membunuh dalang Mantingan
itu. Sekarang ia akan menebus kegagalannya. Dahulu Dalang Mantingan berhasil
diselamatkan oleh Arya Salaka. Dan sekarang tak ada orang yang akan
menyelamatkannya. Karena itu, maka Lawa Ijo yakin bahwa kali ini ia akan
berhasil. Wirasaba yang bertempur dengan Wadas Gunung pun telah mengerahkan
segenap kekuatannya. Ia ingat apa yang pernah terjadi di Gedong Sanga, waktu
itu pun Wadas Gunung ikut serta. Sehingga dengan demikian, sejak perkelahiannya
di Pliridan, ia pernah melihat tandang Wadas Gunung di Gedong Sanga, meskipun
tidak sedemikian jelas, karena kesempatan yang sempit. Sebab pada saat itu ia
harus bertempur melawan dua orang dari kawanan Alas Mentaok. Tetapi kini ia
harus bertempur melawan orang kedua sesudah Lawa Ijo. Karena itu ia harus
berjuang mati-matian.
Namun
Wirasaba, yang terkenal dengan nama Seruling Gading itupun mempunyai sifat-sifat
yang khusus. Sebagai seorang pengembala yang pernah merantau dari satu tempat
ke tempat lain dengan bekal seruling dan kapaknya itu, maka ia telah memiliki
pengalaman yang tak kalah luasnya dari lawannya, penjahat ulung yang bernama
Wadas Gunung itu. Dengan demikian maka kekuatan keduanya tak dapat
diselisihkan. Masing-masing memiliki kekhususannya yang cukup berbahaya. Wadas
Gunung dengan kedua pisau belati panjangnya menyerang dengan ganasnya.
Bertubi-tubi seperti beribu-ribu pisau belati yang melontar-lontar ke tubuh
Wirasaba. Namun kapak Wirasaba itu seakan-akan dapat berubah menjadi dinding
baja yang membatasinya. Sehingga dengan demikian ujung pisau lawannya sama
sekali tak berhasil menyentuh pakaiannya. Endang Widuri sementara itu masih
berdiri tegak di samping pintu. Ia melihat bagaimana Wirasaba bertempur dengan
dahsyatnya. Dilihatnya pula Ki Dalang Mantingan bertempur mati-matian. Ia
melihat betapa lincahnya Dalang Mantingan itu, dan bagaimana dahsyatnya
trisulanya menyambar-nyambar. Namun dilihatnya pula betapa dahsyatnya Lawa Ijo
itu bertempur. Karena itu hatinyapun menjadi tegang. Yang belum mulai, di
antara mereka adalah Jaka Soka. Ia masih saja berdiri dengan senyumnya yang
aneh. Sekali-kali ia memandang berkeliling, melihat bagaimana Wadas Gunung
menghadapi lawannya, dan di saat lain dipandangnya dengan seksama pertempuran
antara Lawa Ijo dan Dalang Mantingan.
SEBAGAI
seorang yang cukup berilmu, segera Jaka Soka melihat bahwa Mantingan telah
sampai pada puncak perjuangannya, sedang Lawa Ijo masih mungkin untuk
melepaskan ilmu-ilmu pamungkasnya. Karena itu ia tersenyum. Sebentar lagi ia
akan melihat lawan Lawa Ijo itu terbelah dadanya. Karena itu untuk
menakut-nakuti lawannya ia berkata,
“Wilis,
lihatlah. Sebentar lagi kawanmu yang bernama Mantingan itu akan terpenggal
lehernya, atau terbelah dadanya.”
Rara Wilis
mengerutkan keningnya. Ia melihat pula apa yang terjadi. Di Gedong Sanga, Rara
Wilis telah mengetahui pula, bahwa ilmu Mantingan masih belum dapat menyamai
Lawa Ijo. Meskipun demikian ia mencoba untuk tidak terpengaruh karenanya. Sebab
apabila demikian, Ular Laut itu akan dengan mudahnya menangkapnya. Seandainya
ia terbunuh dalam pertempuran itu, ia tidak akan menyesal. Sebab dengan
demikian ia telah mengorbankan dirinya untuk ikut serta mempertahankan hak atas
Banyubiru dan atas Keris Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten yang tak begitu
dimengertinya, sebab Mahesa Jenar tidak begitu banyak menceritakan
pusaka-pusaka itu kepadanya. Namun hal yang sedemikian telah diduganya sejak
semula. Sejak ia menjatuhkan pilihannya atas Mahesa Jenar daripada Sarayuda.
Pada saat itu ia sadar, bahwa Mahesa Jenar mempunyai masalah yang jauh lebih
banyak daripada Demang Gunungkidul yang kaya raya itu. Kalau Sarayuda
seolah-olah telah menyelesaikan perjuangannya untuk merebut keadaannya kini,
sehingga dengan demikian Sarayuda tinggal menikmati hasil jerih payahnya, maka
Mahesa Jenar masih harus berjuang terus. Tetapi Rara Wilis melihat hakekat dari
perjuangan kedua orang itu. Sarayuda berjuang untuk menempatkan dirinya pada
tempat yang sebaik-baiknya, meskipun ia sama sekali tidak merugikan orang lain,
tetapi Mahesa Jenar berjuang untuk kepentingan yang lebih luas, yang justru
mengorbankan dirinya sendiri, kepentingannya sendiri. Seperti halnya usahanya
menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, sama sekali tidak ada
hubungannya dengan kamukten yang akan diharapkan.
Mahesa Jenar
benar-benar berjuang tanpa pamrih, selain pengabdian diri pada tanah kelahiran,
pada kemanusiaan. Sebab apabila keris-keris itu benar-benar jatuh di tangan
golongan hitam, akan musnahlah tata kehidupan manusia, akan musnahlah
sendi-sendi pergaulan manusia. Dan akan lenyap pulalah kesempatan untuk
menjalankan ibadah mereka, memanjatkan bakti kepada Tuhan. Dan jadilah Demak
suatu negara yang bertata pergaulan rimba. Siapakah yang kuat, merekalah yang
berkuasa, tanpa menghiraukan hukum-hukum yang ada. Juga usaha Mahesa Jenar
untuk meletakkan kembali Arya Salaka pada tempatnya, sama sekali adalah
perjuangan tanpa pamrih. Ia sekadar melakukan kewajibannya sebagai manusia yang
melihat kebenaran terinjak-injak. Dengan demikian, sebagai seorang yang telah
menyatakan dirinya bersedia berjuang di samping Mahesa Jenar, Rara Wilis sama
sekali tidak gentar melihat ujung senjata. Jiwanya, raganya, bulat-bulat
diserahkan dalam pengabdian seperti apa yang dilakukan oleh Mahesa Jenar, orang
yang dikaguminya sejak pertemuannya yang pertama. Tetapi ia menjadi ngeri,
kalau Ular Laut akan berhasil menangkapnya, dan membawanya ke Nusakambangan,
seperti yang diidam-idamkannya sejak lama. Ia menjadi ngeri atas kehadiran
tokoh-tokoh Pasingsingan di tempat itu, jangan-jangan ia akan membantu Ular
Laut itu, membuatnya tidak berdaya. Namun karena itu, ia berkeputusan untuk
melawan mati-matian. Kalau ia gagal, lebih baik ia mati di pendapa Banyubiru
itu. Rara Wilis segera mengangkat pedangnya mengarah ke dada Jaka Soka sambil
berkata,
“Jaka Soka,
jangan menakut-nakuti aku. Aku sekarang bukan lagi gadis yang ketakutan melihat
senyum yang aneh serta matamu yang redup. Nah, marilah kita bermain-main dengan
pedang. Kau atau aku yang mati karenanya.”
Jaka Soka
menggigit bibirnya. Tetapi Rara Wilis itu berkata sungguh-sungguh.
“Cabutlah
pedangmu,” desis Rara Wilis,
“Supaya aku
tidak membunuh orang yang tidak bersenjata.” Pedang Rara Wilis terjulur
beberapa jengkal ke arah leher Jaka Soka, sehingga Jaka Soka terpaksa bergeser
mundur.
“Wilis…”
katanya,
“Aku tidak
akan melukai kulitmu. Apakah yang kau tunggu di sini? Mahesa Jenar tidak akan
kembali kepadamu, karena ia telah terbunuh di Pamingit.”
Dada Rara
Wilis berdesir, tetapi kemudian ia menjadi tenang kembali. Katanya,
“Siapakah yang
telah membunuhnya?”
“Paman
Pasingsingan,” jawab Jaka Soka. Rara Wilis tertawa. Tetapi Endang Widuri
tertawa lebih keras.
Katanya,
“Pasingsingan
tak akan mampu melawan Paman Mahesa Jenar. Kau salah hitung, Jaka Soka. Lain
kali kau perlu mempelajari keadaan sebelum kau mencoba berbohong.”
Mata Jaka Soka
menjadi semakin redup. Tetapi ia sudah tidak tersenyum lagi. Sekali lagi ia
melihat Wadas Gunung yang menggeram keras sekali untuk melepaskan marahnya,
karena Wirasaba dapat melawannya dengan baik. Saat yang lain, Jaka Soka
memandang ke arah Lawa Ijo yang nampak makin baik keadaannya. Meskipun demikian
Ki Dalang Mantingan berjuang dengan gigihnya.
Kemudian Jaka
Soka sendiri meloncat selangkah ke belakang dan dalam sekejap tongkatnya telah
terurai. Di tangan kanan, digenggamnya sebuah pedang yang lentur, sedang di
tangan kirinya adalah warangkanya, berupa sebuah tongkat yang berwarna hitam.
Rara Wilis tidak menunggu lebih lama lagi. Ia meloncat ke depan dengan tangan
terjulur lurus. Pedangnya mengarah kedada lawannya.
JAKA SOKA
terkejut melihat gerak yang sedemikian cepatnya. Untunglah bahwa Ular Laut itu
memiliki pengalaman yang luas. Setapak ia menggeser diri sambil berputar,
dengan kerasnya ia memukul pedang Rara Wilis yang menjulur beberapa jari dari
dadanya. Namun Rara Wilis lincah pula. Ia berhasil membebaskan senjatanya,
untuk kemudian diputarnya cepat dan serangannya telah datang pula. Maka segera
mereka terlibat dalam pertempuran yang cepat. Rara Wilis ternyata cukup mampu
mengimbangi kedahsyatan Ular Laut yang bertempur membingungkan itu. Jaka Soka
mencoba untuk mengaburkan perlawanan Rara Wilis, dengan menyerangnya
berputar-putar dari segala arah. Namun Rara Wilis menyadarinya, sehingga
sekali-kali ia melontarkan diri memotong langkah lawannya dengan pedang yang
terayun cepat sekali. Dalam keadaan yang demikian terpaksa Jaka Soka mengumpat
di dalam hati. Ia telah jauh lebih dahulu mendalami ilmu-ilmu perkelahian
daripada gadis itu, namun ternyata gadis itu dapat menyusulnya. Ia menyesal
bahwa selama ini ia lebih senang merantau mencari mangsanya, daripada menekuni
ilmunya.
Sendang
Parapat berdiri seperti patung melihat lingkaran-lingkaran perkelahian. Ia
melihat betapa Dalang Mantingan berjuang mati-matian untuk melawan Lawa Ijo.
Wirasaba dengan garangnya mengayunkan kapak raksasanya, sedang Rara Wilis
dengan lincahnya bergulat di antara hidup dan mati. Dengan demikian, ia merasa
bahwa tenaganya tak akan berguna sama sekali seandainya ia mencoba untuk
membantu salah seorang di antaranya. Malahan mungkin ia akan mengganggu
kelincahan mereka. Para penjaga halaman itu juga menjadi pening. Mereka tidak
bersiap untuk bertempur menghadapi tokoh-tokoh itu. Apalagi lingkaran-lingkaran
pertempuran itu seolah-olah telah menjadi sedemikian sulitnya untuk
dipisah-pisahkan lagi di antara lawan dan kawan. Yang tampak di mata mereka
adalah bayangan yang melontar berputar-putar dengan cepatnya. Karena itu, perhatian
mereka segera tertuju kepada kawan-kawan mereka yang luka. Empat orang. Hanya
Endang Widuri lah yang dapat mengerti betapa suasana maut telah
melingkar-lingkar di halaman itu. Kali ini gadis yang nakal itu benar-benar
menjadi tegang. Ia tidak dapat lagi bergurau dalam keadaan yang demikian,
sehingga senyumnya sama sekali telah lenyap dari bibirnya. Matanya yang bening
itupun menjadi tajam, setajam gerigi yang melingkari cakranya. Ia melihat
betapa Wirasaba dapat menyesuaikan diri melawan kekasaran Wadas Gunung. Bahkan
pengembala itupun dapat bertempur dengan kasar pula. Kapaknya mendesing-desing
mengerikan. Sekali terayun ke dada Wadas Gunung, namun kemudian tangkainya
mengarah ke tengkuk lawannya. Namun dua pisau belati panjang di tangan Wadas
Gunung itupun bergerak dengan cepatnya pula. Mematuk-matuk ke segenap tubuh
Wirasaba, sehingga kemudian yang tampak hanyalah seleret-leret sinar-sinar yang
silau.
Rara Wilis pun
dengan lincahnya menggerakkan pedangnya dengan ilmu yang khusus. Ujung pedang
yang tipis itu selalu bergerak-gerak dengan cepatnya. Kalau Jaka Soka dapat
bertempur seperti Ular yang membelit, melingkar untuk kemudian meloncat,
mematuk dengan ujung pedangnya, maka Rara Wilis berhasil melawannya seperti
seekor sikatan yang dengan lincahnya menari-nari dengan sayap-sayapnya yang
cepat cekatan. Demikian ia meloncat-loncat seperti anak-anak yang menari-nari
riang namun ketika tiba-tiba seekor ular mematuknya, cepat-cepat ia meloncat
melenting, untuk kemudian dengan lincahnya, ujung pedangnya menyambar lambung
lawannya. Dengan demikian, maka keringat yang dingin segera mengalir membasahi
pakaian Jaka Soka yang gemebyar karena tretes intan pada timang dan anak
kancing bajunya. Tiba-tiba ia merasa malu. Seandainya gadis itu benar-benar
dapat dibawanya ke Nusakambangan, bahkan seandainya gadis itu bersedia untuk
menjadi isterinya, maka apabila pada suatu saat timbul perselisihan antara
mereka, meskipun tidak terlalu tajam, maka apakah ia mampu untuk mengatasinya.
Karena itu kemudian yang menjalar dalam hati Jaka Soka bukan lagi perasaan
seorang laki-laki terhadap seorang gadis seperti beberapa saat yang lampau.
Ketika jiwa Jaka Soka telah benar-benar terancam, maka yang ada di dada Jaka
Soka kemudian adalah kemarahan yang menyala-nyala. Dengan setinggi gunung atas
kematian gurunya, Nagapasa. Karena itu, ia harus membunuh siapa saja yang dapat
dibunuhnya. Juga gadis yang garang ini harus dibinasakan. Kemudian Jaka Soka
telah kehilangan kegairahannya. Ia sudah tidak lagi melihat seorang gadis
cantik yang mempesona, tetapi yang tampak adalah seorang yang berbahaya bagi
jiwanya. Namun ternyata seimbang dengan itu, Rara Wilis bertambah marah pula.
Baginya pertempuran kali ini adalah pertempuran yang menentukan. Kalau ia
terbunuh, biarlah ia mengorbankan dirinya, namun kalau ia berhasil membinasakan
laki-laki itu, maka ia akan terbebas dari kecemasan dan kengerian yang
mengejar-ngejarnya sepanjang umurnya. Tetapi berbeda dengan mereka berdua.
Mantingan benar-benar dalam keadaan yang sulit. Meskipun ia telah melawan Lawa
Ijo dalam puncak ilmu Pacar Wutah, namun Lawa Ijo benar-benar memiliki beberapa
kelebihan daripadanya. Lawa Ijo itu dapat ilmu yang paling licik disamping
ilmunya yang memang dahsyat dan bertempur dengan segala macam cara. Yang paling
kasar, sampai yang menakutkan. Setapak demi setapak Mantingan terdesak terus.
Hanya karena ketabahan dan kepercayaannya pada Kekuasaan Yang Tertinggi, ia
masih mampu bertahan dalam ketenangan. Melihat keadaan itu, Widuri menjadi
cemas. Ia telah kehilangan sifat kenak-kanakannya dalam keadaan bahaya yang
benar-benar mengerikan seperti saat itu. Karena itu, dengan penuh tekad dan
keberanian, mendidihlah darah Pengging Sepuh di dalam tubuhnya.
KETIKA Widuri
melihat Mantingan terdesak, maka ia tidak mau membiarkannya. Dengan lincahnya
ia meloncat sambil berkata nyaring di antara desing rantainya yang berputar
seperti baling-baling,
“Paman
Mantingan, biarlah aku ikut serta.”
Mantingan
memadang dalam sekejap, gadis itu melontarkan diri seperti terbang ke arah Lawa
Ijo. Dan dilihatnya Lawa Ijo menjadi terkejut karenanya. Sehingga iblis dari
Mentaok itu meloncat beberapa langkah surut. Dengan liarnya matanya memandang
kepada Dalang Mantingan yang sudah hampir sampai pada saat terakhir itu, namun
kemudian mata Lawa Ijo itu menjadi suram ketika memandang Widuri yang sudah
berdiri dihadapannya dengan senjatanya yang berbahaya itu. Tiba-tiba terdengar
suara Lawa Ijo itu perlahan-lahan,
“Ngger, jangan
ikut campur dengan persoalan kami. Biarlah kami orang tua-tua menyelesaikan
masalah kami dengan cara yang kami senangi.”
Widuri melihat
mata yang suram itu. Namun ia tidak mau terpengaruh oleh keadaan yang tak
diketahui sebabnya itu. Maka jawabnya,
“Biarlah Lawa
Ijo. Kau datang dengan membawa senjata dan hasrat yang hitam di dalam hatimu.
Bukankah kau telah dibekali oleh nafsu untuk membunuh…? Marilah, kami telah
bersedia untuk melawannya. Kami bukan sebangsa cacing yang membiarkan diri kami
terbunuh tanpa perlawanan. Karena kami sadar bahwa saat ini adalah saat-saat
kami terakhir. Sebab seandainya kami berdua dengan Paman Mantingan berhasil
membebaskan diri dari tanganmu, hantu-hantu hitam yang berada didalam rumah
inipun segera akan menangkap kami dan membunuh kami bersama. Terhadap mereka,
kami tak akan dapat berbuat sesuatu. Karena itu, biarlah kami melawan selagi
kami masih sempat. Nah, lihatlah dada kami yang tengadah di hadapan ujung-ujung
belatimu itu.”
Lawa Ijo
menarik nafas panjang. Tetapi matanya yang suram itu menjadi menyala.
Katanya,
“Aku sudah
berusaha untuk mencegahmu, gadis yang nakal. Agaknya kau benar-benar keras
kepala.”
Widuri tidak
peduli lagi, ia melangkah semakin dekat sambil menjawab,
“Kenapa kau
mencegah aku? Bukankah kau datang untuk melepaskan nafsumu? Membunuh dan
kemudian kau sangka akan kau temukan keris-keris itu di sini…?”
Lawa Ijo
bukanlah seorang yang berdada longgar. Karena itu ia menjadi semakin marah.
Namun sekali lagi ia mencoba memperingatkan,
“Kalau kau mau
menyingkir, aku akan membebaskan kau. Guruku pun tak akan mengusikmu. Biarlah
aku membunuh Ki Dalang yang masyhur ini.”
Tetapi Widuri
tidak takut. Dengan nyaring ia menjawab,
“Kami
mempunyai pendirian yang berbeda dengan golonganmu. Kami memiliki
kesetiakawanan yang dalam untuk menegakkan kemanusiaan. Bunuhlah Paman
Mantingan bersama kami semua.”
Lawa Ijo
menggeram,
“Sekehendakmulah,”
desisnya. Lalu ia mulai bergerak. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang
Mantingan. Untunglah Mantingan selalu berhati-hati, sehingga ia masih sempat
untuk menghindarkan dirinya. Ketika Lawa Ijo telah mulai kembali dengan
serangannya yang dahsyat, Widuri pun mulai. Senjatanya berputar cepat seperti
baling-baling dengan putaran-putaran yang berbahaya. Sekali cakranya mengarah
ke leher. Mendapat lawan baru yang lincah disamping lawan lamanya, Lawa Ijo
merasakan, bahwa keadaan pertempuran itu menjadi jauh berubah. Kembali ia
mengagumi gadis itu. Betapa berbahayanya permainan rantai yang berputar-putar,
disamping ujung trisula Mantingan yang mematuk-matuk dalam ilmu gerak Pacar
Wutah.
Dengan
kerasnya Lawa Ijo menggeram. Sambil memusatkan segenap tenaganya ia mencoba
untuk mengatasi desakan lawan. Betapa ganasnya kelelawar yang buas itu
bertempur. Kedua pisau belatinya seakan-akan merupakan kuku yang panjang
diujung sayap-sayapnya yang mengembang dan bergerak gerak dengan cepatnya.
Namun untuk menghadapi dua orang sekaligus terasa betapa beratnya. Mantingan
dan Widuri, meskipun keduanya memiliki bekal yang berbeda, namun meeka berusaha
untuk menyesuaikan dirinya. Ternyata gadis itu tidak kalah tangkasnya dengan Mantingan.
Dengan gerak-gerak yang tangguh Endang Widuri berjuang dengan berani. Darah Ki
Ageng Pengging Sepuh yang mengalir didalam tubuhnya telah membekalinya dengan
api yang menyala nyala didalam dada gadis itu. Api yang mengobarkan semangat
berjuang dan keteguhan hati. Diam-diam Lawa Ijo berteka teki didalam hatinya.
Ia pernah bertempur melawan Mahesa Jenar, kemudian melawan muridnya yang
bernama Arya Salaka. Sekarang berhadapan dengan gadis yang bernama Endnag
Widuri. Namun gadis ini memiliki tatanan berkelahi sama hebatnya dengan Arya
dan Mahesa. Apakah Widuri ini juga muridnya Mahesa?. Namun Lawa Ijo tidak
sempat menemukan jawabannya, sebab lawannya semakin lama semakin mendesaknya
kedalam bahaya. Mantingan melihat keadaan itu. Juga Widura dapat merasakan
bahwa akhirnya mereka akan dapat menguasai keadaan. karena itu Endang Widuri
dan Mantingan berjuang semakin hebat untuk menghancurkan orang lain yang
mencoba mengacau Banyubiru.
Tetapi Lawa
Ijo adalah seorang yang luar biasa. Ketika lawan-lawannya semakin mendesaknya,
akhirnya ia melompat mundur beberapa langkah. Kemudian terdengarlah ia
menggeram dengan keras. Dengan gerak yang dahsyat ia memutar tubuhnya, kemudian
sekali lagi ia menggeram keras.
YANG kemudian
terasa, betapa udara yang hangat mengalir perlahan-lahan, bergelombang
menyentuh tubuh-tubuh Mantingan dan Endang Widuri. Semakin lama semakin hangat,
dan akhirnya jadi panas. Sejalan dengan itu, Lawa Ijo telah meloncat menerkam
Mantingan dengan garangnya. Mantingan sadar, bahwa bahaya yang mengerikan telah
mengancam dirinya. Lawa Ijo telah mempergunakan ilmunya Alas Kobar. Demikian
pula Endang Widuri, merasa betapa ia terlalu tergesa-gesa merasakan
kemenangan-kemenangan kecil atas lawannya itu. Kini ternyata betapa maut telah
mengancam jiwanya. Mantingan masih berusaha sekuat-kuatnya untuk mempertahankan
diri. Widuri pun tidak membiarkan Lawa Ijo dapat berbuat sekehendak hatinya.
Meskipun Lawa Ijo itu telah berhasil memancarkan ilmunya, namun Widuri masih
sempat menyerangnya, sehingga dengan demikian Lawa Ijo terpaksa berusaha
menghindarkan diri dari sambaran gigi-gigi cakra yang sangat berbahaya. Tetapi
sesaat kemudian Mantingan dan Widuri telah tidak dapat bertahan lagi dari
serangan Aji Alas Kobar. Udara disekeliling Lawa Ijo itu tiba-tiba telah
menjadi panas.
Udara yang
panas itu bahkan seolah-olah menyusup ke dalam tulang sungsum mereka.
Demikianlah akhirnya Mantingan dan Endang Widuri terpaksa menghindarkan diri
dengan meloncat menjauhi lawannya. Namun Lawa Ijo tidak mau melepaskan mereka
lagi. Apalagi Ki Dalang Mantingan. Karena itu ketika Mantingan meloncat mundur,
Lawa Ijo segera memburunya. Karena pancaran aji Alas Kobar yang melibatnya,
akhirnya Mantingan merasa bahwa seakan-akan kakinya menjadi kejang. Ia sudah
tidak sempat meloncat lagi. Yang dapat dilakukan kemudian hanyalah menanti Lawa
Ijo menerkamnya, sementara itu betapa udara yang panas telah menyengat-nyengat
kulitnya. Dalam keadaan yang terakhir itu, Mantingan masih mencoba untuk
mengangkat trisulanya menanti saat-saat terakhir yang mengerikan.
Widuri yang
meloncat ke arah yang berlawanan, melihat, betapa maut menerkam Ki Dalang
Mantingan. Karena itu wajahnya menjadi tegang dan dadanya bergolak hebat.
Apakah ia akan berdiam diri melihat kawan sepenanggungan itu binasa? Tetapi ia
tidak dapat bergerak maju. Ia tidak mampu untuk menerobos kekuatan Aji Alas
Kobar yang dahsyat itu. Sebab demikian ia melangkah mendekat, tubuhnya menjadi
seolah-olah terbakar hangus. Namun meskipun demikian, Widuri bukanlah seorang
yang mudah berputus asa. Dari ayahnya ia mendapat beberapa petunjuk bagaimana
seharusnya apabila seseorang berada dalam kesulitan. Ayahnya itu pernah berkata
kepadanya, bahwa manusia tidak boleh berputus asa. Meskipun keputusan terakhir
berada dalam kekuasaan Yang Maha Tinggi, namun manusia diwajibkan berusaha.
Berusaha sampai kemungkinan terakhir. Demikianlah akhirnya Widuri mengambil
suatu keputusan yang dapat dilakukan dalam keadaan yang demikian itu. Ketika ia
melihat Lawa Ijo dengan wajahnya yang menyeringai seperti serigala meloncat
memburu Dalang Mantingan, berputarlah cakranya beberapa kali di udara. Kemudian
dengan sekuat tenaga, sebagai usahanya terakhir untuk melawan Kelelawar
Serigala dari Mentaok itu, cakra itu dilepaskannya beserta rantainya sekaligus.
Suatu hal yang tak terduga. Apalagi pada saat itu Lawa Ijo sedang memusatkan
perhatiannya kepada Dalang Mantingan. Kepada Mantingan itulah dendam Lawa Ijo
tersimpan. Tetapi, demikian ia meloncat, demikian senjata Widuri melayang ke
arahnya, sedemikian cepatnya seperti kilat menyambar kepalanya.
Lawa Ijo
terkejut bukan alang kepalang. Tetapi ia terlambat. Ketika ia berusaha
menghindar, cakra itu dengan derasnya mengenai kepalanya dengan tepat. Terasa
betapa kulit kepalanya terkelupas oleh gerigi-gerigi yang tajam. Lawa Ijo
terhuyung ke samping. Perasaan nyeri telah menelan dirinya sedemikian kerasnya.
Cakra pemberian Kebo Kanigara itu benar-benar senjata yang luar biasa. Yang
terdengar kemudian adalah suatu pekik yang tertahan. Dengan kedua belah
tangannya, Lawa Ijo memegang kepalanya yang terluka itu erat-erat, seperti
takut bahwa kepalanya itu akan terlepas. Namun demikian, luka itu menjadi
semakin nyeri, dan darah yang mengalir dari luka itu menjadi semakin keras.
Dalang Mantingan untuk sesaat tertegun. Ia melihat hantu itu kesakitan. Namun
karena tekanan yang tajam pada saat yang mengerikan, yang hampir saja merampas
nyawanya, Mantingan menjadi seperti orang yang kebingungan. Tetapi cepat ia
menguasai kesadarannya kembali. Ia merasa bahwa Kekuasaan Tertinggi dengan Tangan-tangannya
yang Adil telah membebaskannya. Karena itu, ketika ia melihat kesempatan
terbuka di hadapannya, dengan sisa-sisa tenaganya yang terakhir, ia mengangkat
trisulanya. Trisula Mantingan itupun bukan senjata yang dibelinya dari pandai
besi. Trisulanya itu adalah pemberian gurunya, Ki Ageng Supit. Karena itu
trisulanya pun memiliki kekuatan yang luar biasa. Dengan berdoa di dalam hati,
yang dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Adil, Mantingan melontarkan trisulanya.
Lawa Ijo yang telah kehilangan keseimbangan diri, tidak melihat trisula itu
meluncur menyambar dadanya. Karena itu, tiba-tiba terasa dadanya terbelah. Kini
benar-benar serigala dari Mentaok itu berteriak tinggi. Dan kemudian iapun
terhuyung sekali lagi, dan akhirnya jatuh terkulai di tanah yang telah dibasahi
oleh darahnya.
Halaman
Banyubiru itu benar-benar dicengkam oleh kengerian. Teriakan Lawa Ijo itu
benar-nenar telah menggetarkan udara Banyubiru. Daun-daun kuning pun berguguran
di tanah, sedang ranting-ranting yang kering berpatahan. Mendengar teriakan
Lawa Ijo itu, Widuri menjadi gemetar. Ia tahu perasaan apa yang menjalar di
dalam dirinya. Namun tiba-tiba ia merasa segenap bulu-bulunya tegak berdiri.
Karena itu ketika Lawa Ijo itu sudah tidak mampu lagi untuk berdiri, tanpa
disengaja Endang Widuri menghindar pandang. Wajah Widuri pun jatuh tertunduk di
tanah yang hitam-hitam gelap di dalam cahaya obor yang remang-remang.
WADAS GUNUNG
juga tak kalah terkejutnya mendengar pekik yang memekakkan telinga itu. Ketika
ia pertama-tama mendengar Lawa Ijo menggeram keras-keras, ia merasa bahwa
pekerjaan kakak seperguruannya itu hampir selesai. Sebab pada saat itu Lawa Ijo
telah mempergunakan Aji Alas Kobar. Namun kemudian yang terdengar adalah jerit
kesakitan. Karena itu hatinya pun berdesir dengan kerasnya. Bahkan seolah-olah
dirinya sendirilah yang kehilangan kekuatannya. Demikianlah Wadas Gunung yang
gagah dan mempunyai kekuatan raksasa itu, kehilangan pemusatan pikiran. Ketika
ia mencoba melihat apa yang terjadi pada kakak seperguruannya itu, ternyata ia
dihadapkan pada saat yang menentukan. Wirasaba tidak mau terpengaruh oleh
keadaan sekelilingnya. Ia menghadapi lawannya dengan segenap perhatian dan
kemampuan. Karena itu, ketika sebagian dari perhatian Wadas Gunung direnggut
oleh jerit ngeri kakak seperguruannya, Wirasaba melihat kelemahan itu. Setelah
ia bertempur beberapa lama, dalam keadaan yang seimbang, maka saat yang pendek
itu banyak mempunyai arti baginya. Wadas Gunung melihat seleret sinar yang
menyambar tubuhnya pada saat ia melihat Lawa Ijo terdorong beberapa langkah
untuk kemudian jatuh tak berdaya. Cepat ia berusaha untuk melawan sambaran
senjata lawannya, namun ia tak berhasil mempergunakan segenap kekuatannya.
Ketika ia memutar tubuhnya menghadap arah sambaran kapak lawannya, dan menyilangkan
kedua pisaunya untuk menahan serangan itu, Wirasaba sempat menarik senjatanya,
dan dengan tangkai kapaknya itu ia menyerang tengkuk Wadas Gunung. Serangan ini
tidak begitu keras, namun benar-benar telah menghilangkah keseimbangan
perlawanan Wadas Gunung. Ketika Wadas Gunung berusaha menghindar, kapak
Wirasaba telah berubah arah. Dengan kerasnya senjata raksasa itu menyampar
punggung Wadas Gunung.
Kini sekali
lagi halaman itu digetarkan oleh sebuah teriakan ngeri. Wadas Gunung terbanting
di tanah untuk tidak akan bangun kembali. Sesaat kemudian, halaman itu menjadi
sepi. Jaka Soka telah melontar mundur beberapa langkah. Ternyata, karena
pengalamannya, ia lebih hati-hati dari Wadas Gunung. Dihindarinya lawannya
jauh-jauh, supaya ia dapat melihat apa yang terjadi. Sesaat darahnya berdesir
cepat, jantungnya seperti berdetang-detang akan pecah. Dua kakak-beradik
seperguruan telah jatuh dalam pertempuran itu. Sebenarnya Jaka Soka tidak akan
terpengaruh kedudukannya sebagai kepala gerombolan di Nusakambangan. Kematian
Lawa Ijo dan Wadas Gunung adalah akibat yang wajar dari usahanya. Mukti atau
mati. Jaka Soka sendiripun sadar, bahwa akibat yang demikian dapat juga terjadi
atas dirinya. Namun kekalahan yang berturut-turut, baik di Pamingit maupun di
Banyubiru ini sangat memanaskan hatinya. Bahkan di Pamingit, gurunya yang
dibangga-banggakan telah jatuh. Sekarang kawan-kawan segolongannya terbunuh
pula. Karena itu darah di dalam tubuhnya serasa menggelegak seperti banjir yang
melanda dinding jantungnya. Diawasinya orang-orang yang berdiri di sekitar
pendapa itu. Wirasaba, yang masih gemetar berdiri bersandar tangkai kapaknya
yang diwarnai oleh darah Wadas Gunung. Mantingan dan Widuri pun masih saja
berdiri seperti patung. Sedang Rara Wilis, sebagai seorang gadis, hatinyapun
berdebar-debar pula. Untunglah bahwa ia tidak kehilangan kewaspadaannya.
Dihadapannya masih berdiri Ular Laut yang menggelisahkan. Sesaat kemudian dari
pintu rumah itu muncullah orang berjubah abu-abu, bersama-sama dengan orang
yang berkepala besar. Dengan kesan yang mengerikan, ia memandang berkeliling.
Ia menggeram ketika dilihatnya kedua muridnya terkulai di tanah. Kemudian
seperti bayang-bayang, ia melayang ke arah Lawa Ijo, yang masih bergerak-gerak
dalam pergulatannya melawan maut.
“Lawa Ijo…”
desis Pasingsingan itu. Lawa Ijo hanya mampu berdesis perlahan-lahan. Dan
kembali Pasingsingan memanggilnya,
“Lawa Ijo….”
“Hem…” Lawa
Ijo berusaha untuk menjawab. Ternyata orang itu memiliki daya tahan yang luar
biasa. Meskipun darahnya telah mengalir dari luka-luka di kepala dan dadanya,
namun ia masih dapat membuka matanya.
Pasingsingan
kemudian tegak berdiri di samping tubuh murid kesayangan itu. Pandangannya
dengan tajam bergerak dari Mantingan, Endang Widuri, Wirasaba kemudian Rara
Wilis. Sendang Parapat dan para penjaga yang kaku di tempat masing-masing itu
sama sekali tak diperhitungkan.
“Aku tidak
menyangka…” Hantu bertopeng itu menggeram.
“Bahwa kalian
mampu membunuh muridku. Ketika aku mendengar ia memekik, aku menyangka lain.
Tetapi aku menjadi ragu-ragu. Akhirnya aku sadar bahwa kedua muridku pasti
terluka. Ternyata mereka tidak saja terluka, tetapi jiwanya telah terancam.”
KEMUDIAN
tangan hantu itu perlahan-lahan terangkat dan menunjuk kepada setiap orang yang
berada di halaman itu. Mula-mula Mantingan, kemudian berturut-turut Endang
Widuri, Wirasaba dan Rara Wilis.
“Kau, kau, kau
dan kau. Hem. Alangkah sombongnya kalian. Kalian berani membunuh murid
Pasingsingan di hadapan gurunya. Benar-benar suatu perbuatan yang gila. Karena
itu kalian harus mati dengan cara yang paling menyedihkan. Tidak oleh tangan
Pasingsingan. Aku tidak mau dikotori dengan darah kalian. Tetapi kalian akan
kami ikat di belakang kuda kami. Akan kami arahkan kuda-kuda kami ke Pamingit.
Besok sahabat-sahabat di sana akan menemukan mayat kalian yang sudah terkelupas
seperti pisang.”
Semua yang
mendengar kata-kata itu menjadi gemetar. Meskipun mereka tidak takut mati,
namun mati dengan cara yang demikian benar-benar tidak menyenangkan. Meskipun
ada senjata di tangan mereka, namun kalau Pasingsingan itu benar-benar
bermaksud demikian maka pastilah mereka tidak akan mampu mengelakkan diri.
Dengan satu pukulan di tengkuk mereka, atau satu tekanan di dada mereka, maka
hantu itu benar-benar akan dapat membuat mereka lumpuh. Rara Wilis menjadi
semakin ngeri, kalau-kalau tiba-tiba Jaka Soka berbuat lain. Sebab Jaka Soka
akan dapat mengajukan permintaan kepada Pasingsingan mengenai dirinya.
Tetapi dalam
ketegangan itu tiba-tiba suara Lawa Ijo gemetar,
“Guru,
dapatkah guru mendengar permintaanku terakhir?”
Pasingsingan
menoleh kepada muridnya. Dengan isyarat-isyarat ia minta Sura Sarunggi
mengawasi orang-orang yang berdiri dihalaman itu. Kemudian iapun berjongkok di
samping muridnya. Ketika ia melihat luka Lawa Ijo, Pasingsingan itupun
mengerti, bahwa nyawa Lawa Ijo tak akan dapat diselamatkan.
“Apakah
permintaamu?” jawab Pasingsingan.
“Pertama…”
Suara Lawa Ijo menjadi semakin gemetar. Terasa betapa dendamnya masih menguasai
dirinya.
“Nyawa Dalang
Mantingan.”
“Hem…”
Pasingsingan menggeram sambil memandang Dalang Mantingan yang berdiri seperti
tonggak. Lamat-lamat ia mendengar juga apa yang dikatakan oleh Lawa Ijo itu.
Namun ia sudah tidak terkejut.
“Kedua…” Lawa
Ijo meneruskan,
“Jangan bunuh
gadis nakal itu.”
Pasingsingan
menarik nafas.
“Kenapa…?” Ia
bertanya. Tiba-tiba Lawa Ijo berusaha mengangkat kepalanya dan dipandanginya
Endang Widuri yang tegak kaku seperti tiang pendapa.
“Guru…” desis
Lawa Ijo,
“Dapatkah aku
melihat senjata itu?” Pasingsingan menjulurkan tangannya. Rantai dan cakra yang
mengenai kepala Lawa Ijo masih menggeletak di sampingnya. Kemudian senjata
itupun diserahkan kepada muridnya.
Lawa IJo
dengan tangan yang lemah mengamat-amati senjata itu.
“Luar biasa,”
desisnya.
“Lumrah kalau
Lawa Ijo terbunuh karena senjata yang ampuh ini,” katanya pula.
Pasingsingan
tidak tahu apa yang dimaksud muridnya itu, namun ia masih berdiam diri. Langit
di sebelah barat masih ditandai oleh warna merah, karena api yang masih
berkobar-kobar menelan beberapa rumah yang sama sekali tak bersalah.
“Widuri,
kemarilah….” Terdengar Lawa Ijo memanggil. Panggilan itu terasa aneh. Widuri
mula-mula tidak percaya pada pendengarannya. Apakah benar-benar Lawa Ijo itu
memanggilnya dengan nada yang lunak tanpa rasa dendam? Ketika Endang Widuri
sedang menebak-nebak di dalam hati, terdengar kembali Lawa Ijo memanggil, lebih
keras,
“Widuri,
kemarilah.”
Widuri menjadi
semakin bingung. Bahkan Pasingsingan tidak tahu apa maksud muridnya itu. Namun
dalam nada suaranya, Lawa Ijo sama sekali tak bermaksud jahat. Widuri masih
belum beranjak dari tempatnya. Sehingga sekali lagi Lawa Ijo berkata kepada
gurunya,
“Guru,
panggilkan gadis itu. Aku tak akan berbuat jahat. Dan sekali lagi aku minta
jangan ganggu dia.”
Pasingsinganpun
menjadi bingung. Namun ia berusaha untuk memenuhi permintaan muridnya itu.
Perlahan-lahan ia berkata,
“Gadis kecil,
Lawa Ijo memanggilmu.” Widuri masih belum bergerak. Sedang Rara Wilis menjadi
cemas. Katanya,
“Jangan,
Widuri.”
“Hem…” Lawa
Ijo menarik nafas. Berat sekali, seakan-akan nafasnya sudah terputus di
dadanya,
“Sebelum aku
mati..”, mintanya.
Widuri masih
tegak sepergi tonggak. Mantingan sudah kehilangan ingatannya untuk mencegah
atau menyetujuinya. Demikian juga Wirasaba. Nafasnya masih memburu berebut
dahulu setelah ia berjuang mati-matian, serta dengan sekuat tenaga mengayunkan
kapaknya pada saat terakhir.
Kini ia tidak
tahu apa yang akan dikatakan dan apa yang akan diperbuat tentang Widuri.
“Guru…”
tiba-tiba Lawa Ijo berkata,
“Silahkan guru
meninggalkan aku. Agaknya gadis itu takut kepada Guru.”
“Apakah
sebenarnya yang sedang kau lakukan, Lawa Ijo…? tanya Pasingsingan.
“Gadis itu.
Aku sedang mengenangkan almarhum anakku. Pada wajah gadis itu, sejak aku
melihat untuk pertama kalinya, seakan-akan terbayang wajah anakku. Kini aku
melihat wajah itu pula, tersenyum kepadaku dan melambaikan tangannya, mengajak
aku pergi mengantarkannya. Anakku itu seandainya ia masih hidup, ia pasti
sebesar gadis itu dan tangkas pula. Setangkas anak itu,” jawab Lawa Ijo.
Pasingsingan
menggeram. Ia mengutuk di dalam hati. Kenapa Lawa Ijo berbuat hal yang
aneh-aneh seperti perempuan cengeng. Namun pada saat-saat muridnya yang
disayangnya itu hampir berpelukan dengan maut, ia terpaksa memenuhinya.
Perlahan-lahan ia berdiri untuk kemudian mundur beberapa langkah sambil berkata
kasar,
“Mendekatlah.
Aku tidak akan mengganggumu.”
LAWA IJO yang
lemah itu kemudian berusaha untuk melemparkan senjata-senjatanya. Pisau belati
yang selama ini menjadi ciri-ciri kekejamannya, yang kadang-kadang diikatnya
dengan kain bergambar kelelawar hijau berkepala serigala.
Endang Widuri
melihat semuanya dengan jantung yang berdentangan. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi
ada sesuatu yang mendesak-desaknya untuk memenuhi panggilan Lawa Ijo itu.
Tiba-tiba ia bergerak-gerak maju. Bersamaan dengan itu, Rara Wilis pun meloncat
ke arahnya, sambil berkata,
“Widuri.”
Kembali
langkah Widuri terhenti. Ia menoleh kepada Rara Wilis. Nafas Rara Wilis pun
kemudian menjadi sesak oleh ketegangan yang memuncak. Lawa Ijo yang sudah
hampir sampai pada akhir hayatnya melihat Rara Wilis berusaha mencegah gadis
kecil itu. Maka perlahan-lahan ia berkata,
“Aku adalah
manusia seperti kalian, meskipun apa yang aku lakukan selama ini tidak ubahnya
seperti binatang. Aku tidak tahu apa yang akan aku alami, sesudah aku menginjak
alam lain, namun di perbatasan ini aku tidak akan menambah dosa.”
Tiba-tiba hati
Rara Wilis tersentuh pula. Sebagai seorang gadis, perasaannya tidaklah sekeras
baja. Ketika Widuri memandangnya, tanpa sesadarnya ia mengangguk. Sehingga
Widuri kemudian perlahan-lahan melangkah maju mendekati hantu dari Alas Mentaok
yang hampir sampai ajalnya itu.
“Senjatamu
benar-benar ampuh, melampaui senjata yang pernah aku kenal,” desis Lawa Ijo.
“Namun ia akan
bertambah ampuh kalau kau lekatkan akik ini di lingkaran bergerigi itu.” Widuri
tidak menjawab. Ia berdiri tegak di samping Lawa Ijo yang masih memegang rantai
beserta cakranya. Ia tidak tahu apa yang dimaksud dengan Lawa Ijo itu. Lawa Ijo
kemudian menarik sesuatu di jari-jarinya. Cincin dengan mata akik yang berwarna
merah menyala.
“Lawa Ijo…!”
Pasingsingan berkata lantang.
“Apakah yang
kau berikan itu?”
“Kelabang
Sayuta,” jawab Lawa Ijo lemah.
“Gila, jangan
kau lakukan,” sahut Pasingsingan.
“Akik Kelabang
Sayuta adalah ciri Pasingsingan yang hanya aku pinjamkan kepadamu.”
“Biarlah Guru.
Aku berikan akik itu kepada anakku,” bantah Lawa Ijo dengan suara gemetar.
Pasingsingan menahan dirinya untuk tidak melukai hati muridnya yang hampir mati
itu. Namun dengan demikian, tanpa dikehendaki, Lawa Ijo justru menanamkan
bahaya dalam tubuh Endang Widuri. Sebab tiba-tiba Pasingsingan mendapat
pemecahan yang mengerikan.
“Biarlah akik
itu diberikan,” namun gadis itu tidak akan mampu melepaskan diri dari
tangannya. Kemudian Pasingsingan tidak mencegahnya ketika Lawa Ijo menyerahkan
cincin beserta rantai Widuri sendiri kepada gadis itu. Widuri pun seperti orang
yang kehilangan dirinya. Ia bergerak saja tanpa sesadarnya menerima pemberian
Lawa Ijo itu. Hanya Rara Wilis yang bagaimanapun juga, tidak dapat melepaskan
Widuri seorang diri berhadapan dengan hantu itu. Karena itu iapun mendekatinya
dengan pedang terhunus di tangannya.
“Kutuk anakku
itu telah sampai pada suatu kenyataan.” Terdengar suara Lawa Ijo gemetar.
“Mudah-mudahan
aku dapat mengurangi beban pada saat kematianku. Setelah kau menerima cincin
itu, terasa betapa lapang jalan yang akan aku tempuh. Hati-hatilah dengan
cincin itu. Setiap goresannya, pasti berakibat maut, kecuali Mahesa Jenar. Aku
tidak tahu kenapa ia berhasil membebaskan dirinya. Pergunakan akik itu menurut
jalan hidupmu. Kalau kau benci kepada kejahatan, mudah-mudahan ia dapat
menolongmu.” Lawa Ijo berhenti.
Nafasnya
menjadi semakin sesak. Tiba-tiba ia menggeliat dan terdengar ia mengeluh.
Widuri yang masih berdiri di samping Lawa Ijo itupun tiba-tiba berjongkok.
Kalau mula-mula ia ngeri melihat wajah yang keras dan kejam itu, maka kini
perasaan itu telah hilang.
“Widuri…”
bisiknya.
“Bukankah
namamu Widuri?” Widuri mengangguk.
“Aku telah
membunuh anakku tanpa aku sengaja. Ketika aku menyangka ibunya berbuat sedheng
dengan laki-laki lain, aku bunuh laki-laki itu. Kemudian aku bunuh pula
istriku. Namun tanpa aku ketahui anak gadisku satu-satunya yang masih kecil,
memeluk kaki ibunya, sehingga ketika aku dengan membabi buta menusuk tubuh
perempuan itu, sebuah goresan melukai anakku itu. Goresan yang dalam di
lehernya, sehingga gadis itu kemudian mati pula dua hari setelah mayat ibunya
aku lempar ke sungai.”
Lawa Ijo
berhenti sejenak. Nafasnya menjadi semakin tak teratur. Sekali-kali ia
menggeliat lemah. Kemudian berbisik kembali perlahan-lahan.
“Tetapi
ternyata aku salah sangka.” Kembali Lawa Ijo berhenti. Ia masih berusaha untuk
membuka matanya, lalu meneruskan, “Istriku tidak berbuat sedheng. Tetapi lelaki
itu yang berbuat bengis. Berbuat di luar batas perikemanusiaan, sedang istriku
adalah korban nafsu kebinatangannya. Namun istriku itu telah mati tersia-sia.
Aku jadi menyesal. Apalagi ketika satu-satunya anakku itu mati pula. Akhirnya
aku kehilangan keseimbangan. Dan jadilah aku seekor binatang pula. Tetapi aku
tidak mau mendekatkan diri kepada perempuan. Perempuan yang bagaimanapun juga.
Aku hanya ingin membunuh, berkelahi dan membuat orang lain menjadi putus asa
dan menderita. Kadang-kadang aku rampas harta bendanya, pusaka-pusakanya dan
kadang-kadang aku bunuh keluarganya, anak-anaknya yang tak berdosa. Akhirnya
aku namakan diriku Lawa Ijo setelah aku berguru kepada Bapa Pasingsingan.”
Pasingsingan
menggeram. Ia tidak senang mendengar penyesalan itu, sebagai suatu perbuatan
cengeng. Seharusnya Lawa Ijo mati dengan janji seorang pemimpin dari golongan
hitam. Tetapi ia berdiam diri. Namun di dalam hatinya bergolak nafsunya yang
mendidih.
“Matilah
segera Lawa Ijo,” kata hatinya.
PASINGSINGAN
sudah tidak mempunyai harapan untuk menyembuhkan luka-luka muridnya.
“Sesudah itu
aku akan membunuh setiap orang di sini. Mantingan,Wirasaba, Rara Wilis dan
gadis yang telah meruntuhkan kejantanan Lawa Ijo di matanya untuk mendapatkan
akiknya kembali. Mengikat mereka di belakang kuda dan dipacunya ke Pamingit
untuk meruntuhkan keberanian dan ketahanan perlawanan orang-orang Banyubiru,”
kata hatinya kemudian. Sesaat kemudian Lawa Ijo memejamkan matanya. Nafasnya
satu-satu masih mengalir lewat hidungnya. Tetapi sesaat kemudian ia berusaha
untuk tersenyum. Bersamaan dengan itu, dadanya terangkat dan melontarlah
nafasnya yang terakhir. Rara Wilis menjadi terkulai karenanya. Hatinya terketuk
oleh kata-kata terakhir Lawa Ijo. Agaknya orang ini telah kehilangan masa
depannya, karena ia salah duga terhadap istrinya. Sifat-sifat kekerasan dan
kekerasan yang memang telah dimiliki, menjadi berkembang dengan pesatnya,
sehingga menemukan bentuk puncaknya. Endang Widuri masih berjongkok di samping
Lawa Ijo. Terasa matanya menjadi panas. Kematian lawannya itu ternyata
mempengaruhi jiwanya pula. Tanpa sesadarnya ia mengamat-amati benda pemberian
Lawa Ijo itu. Cincin bermata batu akik yang merah menyala. Kelabang Sayuta.
Tetapi ia
menjadi terkejut ketika terdengar Pasingsingan berkata dengan suara yang
seperti bergulung-gulung di dalam perutnya.
No comments:
Post a Comment