SAMPARAN memperdengarkan suara tertawa yang hambar dan dingin. Sebentar ia memandang wajah Mahesa Jenar yang dikagumi. Sorot matanya memancar aneh, sebagai sorot mata anak-anak yang dilepas dari pelukan bapaknya yang akan pergi berperang. Tetapi sekejap kemudian Samparan segera meloncat dengan lincahnya, sambil memutar tombaknya menyerang Wirasaba. Mahesa Jenar melihat segala gerak Samparan dengan terharu. Ia memandang Samparan sebagai seorang anak yang telah hilang, dan kini sedang berusaha untuk kembali ke pangkuan kebenaran. Samparan sedang berjuang untuk menebus segala dosa yang pernah dilakukan. Samparan mulai dengan sebuah tusukan ke arah dada Wirasaba. Sebenarnya gerak Samparan cukup lincah dan mantap. Hanya sayang bahwa ia tidak dapat menyelaraskan gerakan-gerakan kaki dengan tangannya. Sedangkan Wirasaba ternyata memang seorang yang berilmu cukup tinggi. Meskipun ia tidak dapat mempergunakan kakinya, tetapi dengan gerak tangannya yang tampaknya tidak banyak membuang tenaga, ia dapat menangkis serangan-serangan Samparan, sehingga tusukannya meleset ke samping. Bahkan sekaligus ia siap menghantam lengan Samparan dengan tangkai kapaknya. Cepat Samparan menarik serangannya, dan selangkah meloncat ke kiri. Kembali mata tombak Samparan akan mematuk lambung lawannya. Namun Wirasaba cukup cekatan. Dengan tenaganya, ia memutar kapaknya untuk menangkis serangan tombak Samparan. Pertarungan itu semakin lama semakin bertambah sengit. Samparan telah mengeluarkan hampir segenap ilmunya untuk menundukkan lawannya. Sedangkan Wirasaba, bagaimanapun hebatnya, namun karena ia hanya mampu menangkis serangan lawannya dan hanya mampu menyerang dalam jarak yang sangat terbatas, maka tampaklah ia mulai terdesak. Untunglah bahwa ia memiliki sepasang tangan yang kuat dan cekatan, sehingga pada saat-saat yang sangat berbahaya ia masih berhasil membebaskan dirinya dari ujung tombak Samparan.
Mahesa Jenar,
Mantingan dan Ki Asem Gede, yang menyaksikan pertarungan itu, mengikuti dengan
perasaan yang tegang. Berbagai macam gambaran membayang di kepala
masing-masing. Kali ini pun mereka diliputi oleh kecemasan-kecemasan yang
sangat tak menyenangkan. Apalagi Nyai Wirasaba yang tak dapat mengerti
persoalan yang dihadapi saat itu. Hatinya menjadi bergolak sedemikian hebatnya,
sehingga ia tidak berani lagi menyaksikan pertempuran itu. Maka, semakin lama
semakin jelaslah bahwa Samparan akan berhasil menguasai keadaan. Ia
mempergunakan suatu cara yang sangat menguntungkan. Sesaat ia meloncat maju
sambil menyerang, tetapi sesaat apabila serangannya gagal, ia segera meloncat
surut menjauhi Wirasaba untuk menghindari serangan-serangannya yang sangat
berbahaya. Melihat cara Samparan bertempur, Wirasaba menjadi semakin kalap,
disamping rasa penyesalan yang meluap-luap atas cacat kaki yang dideritanya.
Karena itulah maka cara bertempurnya pun semakin lama menjadi semakin kabur.
Sehingga pada suatu saat, dengan gerak tipu yang cepat sekali, tombak Samparan
mengarah ke leher Wirasaba. Wirasaba segera mengangkat tombaknya untuk
menangkis serangan itu. Tetapi selagi kapak Wirasaba bergerak, Samparan
mengubah serangannya. Dengan satu putaran yang cepat tombaknya mengarah ke
perut Wirasaba. Melihat perubahan yang cepat sekali itu Wirasaba terkejut,
secepat kilat ia mengayunkan kapaknya memukul tombak Samparan. Pada saat yang
demikian, kedudukan Wirasaba menjadi lemah sekali. Kalau Samparan menghindari
bentrokan itu, kemudian dengan perubahan sedikit ia memukul kapak Wirasaba
dengan arah yang sama, maka mungkin sekali kapak itu akan terlempar jatuh.
Tetapi pada saat ia akan melakukannya, tiba-tiba terlintaslah di dalam
benaknya, suatu ingatan, bahwa ia tidak benar-benar berhasrat untuk mengalahkan
Wirasaba.
Samparan
datang sekadar untuk membebaskan Mahesa Jenar dari syak wasangka. Kalau ia
betul-betul memenangkan pertarungan itu, maka maksudnya untuk menebus
kesalahannya, tidak akan berhasil. Ia tidak akan dapat mengembalikan suasana
ketenteraman rumah tangga Wirasaba yang telah dirusaknya. Malahan mungkin ia
akan menyaksikan Wirasaba yang akan merasa sangat tersinggung kehormatannya
itu, bunuh diri, bahkan akan disusul pula oleh istrinya. Karena pikiran yang
demikian, maka sesaat Samparan kehilangan pemusatan pikiran. Sementara itu,
waktu yang sesaat itu dapat dipergunakan oleh Wirasaba sebaik-baiknya. Segera
ia dapat memperbaiki keadaan. Dengan suatu gerakan yang dahsyat, kapaknya
mengayun ke arah kepala Samparan. Samparan tersadar tepat pada saatnya. Tetapi
ia tidak lagi dapat menghindar. Segera disilangkannya tombak pendeknya untuk
menangkis kapak Wirasaba. Maka terjadilah suatu benturan yang hebat. Ternyata
tenaga Wirasaba luar biasa kuatnya. Juga tombak Wirasaba yang dipergunakan
Samparan adalah tombak pilihan yang tak terpatahkan oleh kekuatan Wirasaba
sendiri. Tetapi tenaga Samparan lah yang tak dapat menandingi kekuatan-kekuatan
itu, sehingga tangan yang memegang tombak itu tergetar hebat, dan tombak itu
meleset lepas dari pegangannya. Mereka yang menyaksikan kejadian itu darahnya
serasa terhenti. Sebab kelanjutannya tentu akan mengerikan sekali. Mahesa Jenar
yang sudah dapat meramalkan apa yang akan terjadi, hampir saja meloncat maju
untuk mencegahnya. Untunglah segera ia sadar, bahwa kalau ia berbuat demikian,
akibatnya akan sangat tidak menyenangkan bagi dirinya maupun bagi ketenteraman
hati Wirasaba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah mengharap suatu keajaiban
sehingga apa yang ditakutkan itu tidak terjadi. Tetapi rupanya tidak
demikianlah yang terjadi.
Tombak
Samparan yang disilangkan itu berhasil menyelamatkan kepalanya, tetapi kapak
Wirasaba yang terayun demikian derasnya dan digerakkan oleh kekuatan yang luar
biasa itu, tidak seberapa mengalami perubahan arah. Maka terjadilah suatu
goresan panjang merobek dada Samparan. Terdengarlah suatu keluhan yang
tertahan. Samparan terhuyung-huyung surut beberapa langkah. Dari lukanya
menyembur darah yang merah segar. Mahesa Jenar, Mantingan dan Ki Asem Gede
tergoncang hatinya melihat peristiwa itu. Telah berapa puluh kali mereka
melihat darah yang mengucur dari luka, tetapi jarang mereka mengalami kejadian
seperti ini. Wirasaba yang tidak mengetahui latar belakang dari peristiwa itu,
memandang Samparan dengan tak berkedip. Dari wajahnya memancar perasaan puas
dan dendam sedalam lautan. Ia merasa bahwa dengan demikian telah terbalaslah
sebagian rasa sakit hatinya, dan ia merasa bahwa tak ada hutang budi kepada
siapapun. Samparan, yang dadanya terbelah, masih berusaha sekuat sisa tenaganya
untuk keluar dari ruangan itu. Kedua tangannya ditekankan pada dadanya yang
terluka itu. Mahesa Jenar memandangnya dengan penuh haru. Cepat ia menyusul,
diikuti oleh Mantingan dan Ki Asem Gede. Tepat sampai di luar pintu, rupanya
Samparan sudah tidak dapat lagi menguasai keseimbangan badannya. Untunglah
bahwa Mahesa Jenar cepat menangkapnya, ketika ia hampir saja terjatuh. Dan
dengan perlahan-lahan Samparan diletakkan di atas tanah. Meskipun lukanya
sangat membahayakan, tetapi wajah Samparan sama sekali tak menunjukkan rasa
sakit. Bahkan dengan tenangnya ia memandang Mahesa Jenar, Matingan dan Ki Asem
Gede berganti-ganti. Kemudian dengan tersenyum ia berkata,
“Ki Asem Gede.
Ki Dalang Mantingan dan Ki Sanak Mahesa Jenar, aku sudah berusaha untuk
mengurangi kesalahanku.”
“Puaskanlah
hatimu. Nah sekarang biarlah aku mencoba menyembuhkan luka-lukamu,” jawab Ki
Asem Gede sambil mengangguk-angguk.
“Tak ada
gunanya, Ki Asem Gede,” jawab Samparan sambil menggelengkan kepalanya, dengan
suara sangat pelan.
“Biarlah aku
coba,” desak Ki Asem Gede, meskipun ia sendiri sudah melihat, bahwa hampir tak
ada kemungkinan untuk mengobati luka Samparan itu.
Kembali
Samparan memaksa dirinya tersenyum dan menggeleng perlahan-lahan.
“Ki Sanak
Mahesa Jenar …, sebelum aku mati, baiklah aku katakan kepadamu suatu rahasia
yang ingin kau ketahui. Bukankah sekarang aku tidak perlu takut kepada Lawa Ijo
dan kepada siapapun? Kau mau mendengar?” desah Samparan kemudian.
Mahesa Jenar
segera merapatkan dirinya. Lalu jawabnya,
“Aku ingin
mendengar, Samparan. Tetapi sekarang bukan waktunya. Kau terlalu banyak
mengeluarkan darah, karena itu kau harus beristirahat.”
Samparan menarik
nafas dalam-dalam.
“Waktuku
tinggal sedikit. Dengarlah. Menurut Watu Gunung, Lawa Ijo sekarang berada di
Pasiraman. Sebuah telaga kecil di seberang hutan Mentaok. Desa tempat
tinggalnya itu pun bernama Desa Pasiraman pula. Desa itu terletak tepat di tepi
hutan. Agak ke barat sedikit terdapatlah hutan yang hampir dipenuhi oleh pohon
pucang, sehingga hutan itu disebut Alas Pucang Kerep,” kata Samparan. Samparan
berhenti sebentar. Terdengar arus nafasnya semakih cepat.
“Beristirahatlah
Samparan. Keterangan itu sudah cukup bagiku,” jawab Mahesa Jenar
SAMPARAN
berusaha untuk menggeleng.
“Belum cukup.
Di sana Lawa Ijo sedang menggembleng diri. Ia sedang berusaha untuk memulihkan
luka-lukanya yang dideritanya ketika ia sedang berusaha mencuri pusaka-pusaka di
Kraton Demak,” lanjut Samparan sangat lemah.
Mahesa Jenar
agak terkejut mendengar keterangan itu.
“Kalau
demikian, Lawa Ijo inilah yang pernah dilukainya dahulu,” pikir Mahesa Jenar.
“Usaha Lawa
Ijo untuk memulihkan diri, ternyata sekarang sudah berhasil. Ia selalu berada
dalam pengawasan gurunya. Aku belum pernah bertemu dengan gurunya itu, tetapi
seperti apa yang digambarkan oleh Watu Gunung, aku dapat membayangkan bahwa
gurunya itu adalah seorang iblis yang jarang ada duanya,” sambung Samparan
hampir berbisik-bisik.
Mahesa Jenar
menjadi tertarik pada cerita Samparan, sehingga ia lupa bahwa ia berhadapan
dengan seorang yang luka berat. Maka desaknya tidak sabar,
“Siapakah nama
gurunya itu?”
“Ia adalah
seorang yang mempunyai kesaktian luar biasa. Namanya Pasingsingan.”
“Pasingsingan?”
ulang Mahesa Jenar. Terkejutnya bukan alang kepalang.
Mahesa Jenar
pernah mendengar nama itu dari gurunya, baik Syeh Siti Djenar maupun Ki Ageng
Pengging Sepuh. Tetapi tokoh ini sama sekali tak digambarkan sebagai seorang
tokoh yang aneh dan sakti. Tetapi yang didengarnya, Pasingsingan adalah seorang
yang luhur budi. Seorang penolong yang tak pernah memperkenalkan wajah aslinya,
karena ia selalu memakai topeng. Hanya karena topeng itu dibuat sedemikian
kasar dan jelek, maka Pasingsingan digambarkan sebagai seorang yang berwajah
menakutkan. Adakah sesuatu peristiwa yang terjadi sehingga tokoh itu berbalik
diri dari lingkungan putih ke lingkungan hitam? Tetapi sementara itu Samparan
telah mulai berbisik lagi.
“Beberapa
waktu yang lalu …, Lawa Ijo pernah dilukai oleh seorang senapati Demak, waktu
ia sedang berusaha untuk mendapatkan pusaka.”
Mendengar
cerita ini Mahesa Jenar semakin tertarik.
“Ki Sanak,
dalam lingkungan golongan hitam terdapat suatu kepercayaan, bahwa barang siapa memiliki
sepasang pusaka yang mereka perebutkan, adalah suatu pertanda bahwa orang itu
akan dapat merajai seluruh golongan hitam. Dengan demikian akan cukup kekuatan
dan dukungan bila pada suatu saat mendirikan suatu pemerintahan tandingan yang
kekuasaannya akan dapat menyaingi kekuasaan Demak.” Suara Samparan menjadi
semakin perlahan-lahan, tetapi masih cukup jelas.
“Sedangkan
Lawa Ijo, atas petunjuk Pasingsingan, akan mencuri langsung pusaka asli, yang
menurunkan sepasang pusaka yang diperebutkan itu,” lanjut Samparan.
“Apakah ujud
dan nama pusaka-pusaka itu?” Tiba-tiba Ki Asem Gede menyela.
Samparan
menarik nafas untuk mengatasi denyut jantungnya yang semakin memburu.
“Pusaka-pusaka
itu berupa keris. Seekor naga bersisik seribu dan sebuah keris lain berlekuk
sebelas dengan pamor yang memancarkan cahaya kebiru biruan.”
“Nagasasra dan
Sabuk Inten,” potong Dalang Mantingan mengejutkan.
“Ya, demikian
mereka menyebut namanya. Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi yang sepasang, yang
mereka perebutkan itu masih meragukan. Pasingsingan mengira bahwa keris itu
hanyalah keturunannya saja, sedang yang asli masih berada di keraton. Untunglah
bahwa pada saat Lawa Ijo akan mencuri pusaka-pusaka itu, ada dua orang prajurit
terlepas dari pengaruh sirepnya yang terkenal. Empat orang anak buah Lawa Ijo
terbunuh, sedangkan Lawa Ijo sendiri terluka di bagian dalam dadanya,” jelas
Samparan.
Sekarang
Mahesa Jenar semakin bertambah jelas bahwa Lawa Ijo yang berusaha memasuki
gedung perbendaharaan itulah yang dimaksud oleh Samparan.
“Untunglah
bahwa ada orang-orang seperti kedua prajurit itu. Alangkah gagahnya. Kemudian
Lawa Ijo dapat mendengar bahwa kedua prajurit itu bernama Rangga Tohjaya dan
Gajah Alit,” tambah Samparan.
Sekarang Ki
Asem Gede dan Mantingan yang terperanjat. Rangga Tohjaja adalah Mahesa Jenar.
Jadi kalau demikian Mahesa Jenar pernah bertempur, bahkan melukai Lawa Ijo.
Dengan tak mereka sadari terloncatlah sebuah pertanyaan dari mulut Ki Asem
Gede, “Jadi Anakmas pernah melukai Lawa Ijo?”
Mendengar
pertanyaan ini Mahesa Jenar menjadi bimbang sebentar. Samparan, yang meskipun
dalam keadaan parah, tampak wajahnya berubah hebat mendengar pertanyaan Ki Asem
Gede itu. Ia menyebutkan bahwa yang melukai Lawa Ijo adalah Rangga Tohjaja dan
Gajah Alit, tetapi kenapa Ki Asem Gede bertanya kepada Mahesa Jenar?
Mahesa Jenar
menangkap perubahan wajah Samparan. Pikirannya mengatakan, tak baik orang yang
pada saat-saat terakhir masih menyimpan teka-teki. Karena itu ia menjawab
pertanyaan Ki Asem Gede. Tetapi jawaban ini ditujukan kepada Samparan.
“Samparan,
barangkali kau heran, bahkan mungkin tak percaya. Tetapi biarlah aku
beritahukan kepadamu supaya kau percaya. Supaya kau menjadi jelas. Akulah
Rangga Tohjaja yang kau maksudkan tadi. Memang aku pernah bertempur dan melukai
Lawa Ijo di halaman dalam Istana Demak. Karena itulah aku akan selalu
mencarinya.”
Belum lagi
Mahesa Jenar selesai berkata, tiba-tiba dilihatnya mata Samparan yang tenang
itu, membasah. Lalu kata-katanya terputus-putus.
“Jadi … inikah
pahlawan itu? Berbahagialah aku dapat bertemu dengan Tuan. Nah, Tuan Rangga
Tohdjaja, mudah-mudahan usahaku yang kecil ini dapat mengurangi dosaku.
Akhirnya hendaklah tuanku ketahui, bahwa Pasingsingan berpendirian, apabila
keturunan dari kedua pusaka itu saja mempunyai kasiat yang demikian, apalagi
pusaka-pusaka aslinya.”
Sejenak
kemudian wajah Samparan menjadi semakin tegang. Beberapa kali ia berusaha
menguasai jalan pernafasannya. Tetapi bagaimanapun, keadaannya bertambah parah.
Darah masih mengalir dari lukanya.
Tiba-tiba
sebagai seorang tabib, tersadarlah Ki Asem Gede bahwa ia harus bertindak
secepatnya untuk menyelamatkan jiwa Samparan, sampai kemungkinan yang terakhir.
“Adi
Mantingan, marilah kita angkat Samparan ini ke Gandok Wetan. Barangkali ada
suatu cara untuk mengobatinya,” kata Ki Asem Gede kepada Mantingan.
Mendengar
kata-kata itu, segera Mantingan bangkit dan siap bersama-sama Ki Asem Gede
mengangkat Samparan.
DENGAN
senyuman yang sayu, Samparan berbisik perlahan.
“Terimakasih
Ki Asem Gede. Tetapi masih ada suatu rahasia lagi yang perlu Tuan ketahui,
Rangga Tohjaja. Besok pada bulan terakhir tahun ini, akan ada suatu pertemuan
para sakti dari aliran hitam untuk menilai ilmu masing-masing, dan sekaligus
mencari seorang tokoh sebagai pemimpin mereka. Kecuali kalau sebelum itu
seseorang diantara mereka dapat membuktikan bahwa ia telah memiliki
pusaka-pusaka Nagasasra dan Sabuk Inten. Dalam hal ini maka mereka hanya akan
menentukan urutan hak saudara tua dari setiap gerombolan.”
Kemudian
denyut jantung Samparan turun dengan cepatnya. Wajahnyapun menjadi semakin
pucat. Meskipun demikian ia masih berusaha untuk melanjutkan ceritanya.
“Bulan
terakhir tahun ini, tepat pada saat purnama naik, di lembah Tanah Rawa-rawa,
akan hadir dalam pertemuan itu antara lain Lawa Ijo dari Mentaok. Sepasang
Uling dari Rawa Pening sebagai tuan rumah, yaitu Uling Kuning dan Uling Putih.
Suami-istri Sima Rodra dari Gunung Tidar, Djaka Soka, Bajak Laut yang berwajah
tampan dari Nusakambangan, yang mendapat julukan Ular Laut.”
Sebenarnya
Samparan masih akan berkata menyebut beberapa nama lagi, tetapi ia sudah
terlalu lemah.
“Sudahlah
Samparan. Jangan pikirkan semua itu. Tenangkanlah dan beristirahatlah,” potong
Ki Asem Gede.
Samparan
tersenyum buat terakhir kalinya. Ia menarik nafas panjang, dan sesudah itu
terhentilah denyut jantungnya. Mereka yang menyaksikannya, untuk sesaat
menundukkan kepala masing-masing dengan rasa haru.
Perlahan-lahan
tubuh itu kemudian diangkat dan diletakkan di atas bale-bale di Gandok Wetan.
Tetapi wajahnya sekarang tidak lagi membayangkan kejahatan seperti yang pernah
dilakukan semasa hidupnya. Wajah itu kini bagaikan kotak kaca yang sudah
dibersihkan isinya dari kotoran-kotoran yang semula memenuhinya. Kemudian Ki
Asem Gede segera memanggil beberapa orang pelayan dan murid-murid Wirasaba.
Mereka diminta merawat mayat Samparan. Mayat seorang yang pernah menggemparkan
Pucangan dengan kejahatan-kejahatan. Selain itu, kepada murid-murid Wirasaba
bahkan kepada Nyi Wirasaba, Ki Asem Gede minta supaya tidak mengatakan suatu
apapun tentang peristiwa Samparan dan kawan-kawannya kepada Ki Wirasaba. Maka,
Samparan adalah satu-satunya diantara kelima orang gerombolannya yang mendapat
penghormatan terakhir pada saat penguburannya. Pengorbanan Samparan sebagai
penebus dosa tidaklah sia-sia. Untuk beberapa lama Ki Wirasaba dapat menikmati
ketenteraman hidupnya kembali di samping istrinya yang setia.
Pada malam
setelah semua peristiwa itu terjadi, Mantingan dan Mahesa Jenar diminta untuk
tinggal di rumah Ki Wirasaba bersama-sama Ki Asem Gede. Tetapi untuk
menghindari hal-hal yang dapat menimbulkan salah faham, maka sengaja Mantingan
dan Mahesa Jenar tidak banyak bercakap-cakap dengan Ki Wirasaba. Hanya dalam
kesempatan itu, ketika mereka duduk-duduk bertiga, Mahesa Jenar, Ki Dalang
Mantingan dan Ki Asem Gede, berceriteralah orang itu, tentang sebab-sebabnya Ki
Wirasaba menjadi lumpuh.
“Wirasaba
adalah seorang pilihan dalam kalangannya. Yaitu para penggembala. Ia mendapat
gelar Seruling Gading karena kepandaiannya meniup seruling. Pada usia yang
masih sangat muda, ia mulai dengan perantauannya dari satu daerah ke daerah
yang lain untuk menuruti keinginannya yang melonjak-lonjak di dalam dadanya. Ia
sebenarnya berasal dari Karang Pandan, di kaki Gunung Lawu. Sehingga pada suatu
saat sampailah ia ke Prambanan. Kedatangannya bagiku sangat menguntungkan.
Sebab pada saat itu aku sedang dibingungkan oleh sebuah lamaran yang
mengerikan. Anakku, istri Wirasaba itu, pada saat itu sedang menerima lamaran
dari seorang yang sangat ditakuti di daerah kami. Tetapi orang itu bukanlah
orang baik-baik. Adatnya sangat kasar dan angkuh. Sehingga anakku bersumpah di
hadapanku, kalau terpaksa ia harus menjalani perkawinan itu, berarti bahwa
hidupnya harus diakhiri,” cerita Ki Asem Gede.
“Kehadiran
Wirasaba merupakan angin baru bagi anakku. Perkenalan mereka semakin lama
menjadi semakin erat. Sebagai orang tua aku segera mengetahui bahwa hati mereka
terjalin. Pradangsa, orang yang ingin mengawini anakku itu, melihat hubungan
yang semakin erat itu. Ia menjadi marah bukan kepalang. Sebagai seorang yang
merasa dirinya tak terkalahkan, ia berusaha menyelesaikan persoalan itu dengan
caranya. Ditantangnya Wirasaba untuk berkelahi. Aku yang belum mengetahui
tingkat ilmu yang dimiliki oleh Wirasaba, menjadi cemas. Tetapi Wirasaba
sendiri menerima tantangan itu dengan senang hati,” lanjut Ki Asem Gede.
“Pada suatu
hari yang telah ditentukan, dilangsungkanlah pertemuan itu di atas sebuah
gundukan pasir di pinggir sungai Opak. Aku yang selalu kecemasan, memerlukan
dengan diam-diam berusaha untuk dapat mengikuti pertemuan yang tidak
menyenangkan itu. Yang mula-mula datang ke tempat itu adalah Wirasaba, tepat
pada saat warna merah di langit yang terakhir terbenam ke dalam warna kelam.
Rupanya sengaja ia datang lebih awal untuk mengetahui keadaan tempat itu.
Setelah beberapa saat ia mengamati tempat itu sejengkal demi sejengkal, maka
duduklah Wirasaba di atas sebuah batu di tepi sungai yang mengalirkan airnya
yang jernih. Dari dalam bajunya dikeluarkannya sebuah seruling yang terbuat dari
pring gadhing. Sambil menunggu kedatangan lawannya, ia mulai berlagu dengan
serulingnya itu. Baru sekali itu aku mendengar Wirasaba meniup serulingnya. Dan
memang sudah sewajarnyalah kalau ia mendapat sebutan Seruling Gading,” kata Ki
Asem Gede.
“Mula-mula
serulingnya itu membawakan lagu yang sejuk menyongsong datangnya bulan. Nadanya
seperti silirnya angin senja. Kemudian lagu itu menurun makin dalam, tetapi
sesaat kemudian melonjak riang, seriang wajah gadis yang menyongsong datangnya
kekasih. Sesaat kemudian berubahlah lagu Wirasaba mendendangkan kisah cinta.
Sambil menatap wajah bulan, ia berlagu dengan lembutnya. Tetapi sebentar
kemudian ia meloncat berdiri. Sedang serulingnya masih saja berlagu.
Dipandangnya tenang-tenang Candi Jonggrang sebagai lambang keagungan cinta yang
tiada taranya. Kesanggupan Yang Maha Besar, yang dilahirkan karena cinta. Candi
Jonggrang yang mengagumkan itu dapat diciptakan hanya dalam waktu satu malam,
sebagai suatu usaha raksasa untuk memenuhi tuntutan cinta. Maka beralunlah
seruling Wirasaba dengan lembut dan mesra. Seakan-akan ia mengungkapkan suatu
ceritera rakyat tentang cinta abadi antara Bapa Angkasa dan Ibu Pertiwi. Dan
karena itulah maka lahir segala isi bumi ini. Wirasaba sebagai lazimnya
penggembala, tiada dapat terpisah dari serulingnya. Sahabat pada saat-saat
sepi, pada saat-saat binatang gembalanya asyik bermain di padang rumput. Karena
itulah maka setiap lagu yang dipancarkan dari serulingnya, selalu melukiskan
kisah yang terjalin di hatinya. Sebagai seorang yang hidup bebas di
padang-padang terbuka, dalam berlagu pun Wirasaba ternyata tidak mau terikat
pada gending-gending yang sudah ada. Lagunya menjangkau jauh melampaui batas
gending-gending yang dirasanya terlalu miskin untuk mengungkapkan seluruh
perasaannya. Karena itu lagunya bebas terlontar tanpa ikatan. Namun demikian
dapat melukiskan segenap warna dalam jiwanya. Tetapi, ketika ia sedang asyik
tenggelam dalam lagunya, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang
merobek-robek kekhusukan lagu yang hampir sampai ke puncak keindahannya.
Aku segera
mengenal suara itu. Suara Pradangsa. Kali ini rupanya ia ingin memperlihatkan
kesaktiannya dengan menyalurkannya lewat suara tertawanya yang mengerikan.
Cepat-cepat aku berusaha untuk tidak hanyut ke dalam pengaruhnya. Tetapi
disamping itu aku pun menjadi cemas kembali. Wirasaba memang seorang ahli
meniup seruling. Tetapi Pradangsa bukanlah seorang penggemar lagu. Ia adalah
seorang yang kasar dan hanya dapat menghargai kekuatan tenaga. Bukan kemesraan
dan kelembutan.”
Ki Asem Gede
melanjutkan ceritanya.
“Apalagi
ternyata suara tertawa itu tidak segera berhenti. Tetapi gelombang demi
gelombang terdengar seperti susul-menyusul. Seperti datangnya ombak lautan
segulung demi segulung menghantam tebing. Dalam kecemasanku itu, tiba-tiba aku
dikejutkan lagi oleh suara seruling Wirasaba. Tetapi setelah itu aku menjadi
bersyukur. Bahkan aku menjadi berbangga hati. Suara seruling yang mesra lembut
itu segera berubah melengking tajam. Kemudian Wirasaba berteriak penuh
kemarahan karena cintanya terganggu. Yang sama sekali tak aku duga, adalah
bahwa kemarahan Wirasaba yang dilontarkan lewat nada-nada serulingnya itu pun
ternyata mengandung pengaruh yang luar biasa pula. Maka kemudian seakan-akan
terjadilah benturan dahsyat antara suara tertawa Pradangsa dengan nada-nada
seruling. Wirasaba yang sebentar melonjak, naik tajam, dan kemudian turun
menukik kembali, lalu menggelegar seperti guruh yang dengan penuh kemarahan
menghantam gunung,” cerita Ki asem Gede.
“Karena
benturan itulah maka seolah-olah tercapailah suatu keseimbangan, sehingga kedua
suara itu semakin lama semakin lirih … semakin lirih. Bahkan akhirnya keduanya
berhenti dengan sendirinya. Tepat pada saat suara itu berhenti, meloncatlah
sebuah bayangan dari seberang, dengan tangkasnya dari batu ke batu menyeberangi
sungai Opak. Dari geraknya yang cepat dan tangkas, sudah dapat dikira sampai
dimana kekuatan tenaganya. Belum lagi Pradangsa menjejakkan kakinya di tepian,
mulutnya sudah mendahului berteriak dengan suara gunturnya.
‘Hai anak
cengeng. Rupanya kau hanya mampu menjadi seorang peniup seruling. Itu saja kau
hanya bisa membawakan lagu-lagu cengeng seperti apa yang baru saja kau
lagukan’. Wirasaba adalah seorang yang tinggi hati. Mendengar dirinya disebut
anak cengeng, segera bangkitlah kesombongannya.
‘Memang, aku
hanya mampu melagukan lagu-lagu cengeng. Lagu-lagu cinta dan kasih. Tetapi aku
adalah orang yang tahu diri. Sekali dua kali aku pernah bercermin, meskipun
hanya di permukaan air. Maka sadarlah aku bahwa wajahku jauh lebih tampan
daripada wajahmu yang kasar itu. Karena itulah aku berhak melagukan lagu cinta
dan kasih. Tidak saja lagu maut seperti yang kau miliki satu-satunya’.
Pradangsa adalah seorang yang kasar dan sombong. Ia tidak pernah menerima
hinaan yang sampai sedemikian. Karena itu segera darahnya naik ke kepala.
‘Setan! Aku
tidak pernah menyesal bahwa wajahku kasar dan jelek. Tetapi dengan tenaga yang
aku miliki, aku mampu berbuat apapun. Aku mampu memperistri setiap perempuan
yang aku kehendaki. Nah, kau sekarang mencoba mengganggu kebiasaanku itu.
Karena itu bersediakah untuk mati?’ jawab Pradangsa. Wirasaba tidak mau banyak
bicara lagi. Diselipkannya seruling pring gadingnya ke dalam bajunya.
‘Kau hanya mau
berbicara saja?’ potongnya. Pradangsa bergumam di dalam mulutnya, dan kemudian
kembali ia tertawa nyaring. Tetapi suara tertawanya terputus ketika Wirasaba
membentak.
‘Aku tidak
banyak waktu, bersiaplah.’
Pradangsapun
rupanya juga menganggap bahwa waktunya telah tiba. Karena itu ia pun segera
bersiap. Dengan tidak banyak lagi persoalan, segera mereka terlibat dalam
sebuah perkelahian. Dalam bagian permulaan nampak bahwa Wirasaba dapat melayani
Pradangsa dengan baik, seperti suara serulingnya yang mengimbangi suara tertawa
lawannya. Geraknya cukup cekatan. Tetapi yang masih meragukan, apakah ia dapat
mengimbangi perkelahian ini? Pradangsa hampir tidak pernah menghindarkan diri
dari setiap serangan. Setiap serangan itu selalu dibenturnya dengan serangan
pula, sebab ia sangat percaya pada kekuatannya. Demikian pula agaknya pada saat
itu. Pradangsa sama sekali tidak menghindarkan diri ketika Wirasaba
menyerangnya dengan dahsyat. Rupanya Pradangsa mengira bahwa Wirasaba hanya
mampu meniup serulingnya saja. Memang bentuk tubuh Wirasaba tidaklah sebesar
Pradangsa. Tetapi apa yang telah terjadi? Saat itu, ketika Pradangsa membalas
serangan Wirasaba yang dahsyat, ternyata dalam tubuh Wirasaba yang tidak
sebesar lawannya itu tersimpan suatu tenaga yang hebat sekali, yang sama sekali
tak diduga oleh Pradangsa. Sedangkan Pradangsa sendiri adalah seorang yang
memiliki tenaga raksasa pula. Tetapi ternyata, Wirasaba yang telah sekian kali
merantau, menjelajahi beberapa daerah, memiliki pengalaman yang lebih banyak.
Sedangkan Pradangsa hanyalah seorang tokoh lokal yang telah mencapai puncak
kekuatannya. Ia sudah merasa tak terkalahkan. Memang Pradangsa adalah seorang
kuat atas pemberian alam. Maka ketika terjadi benturan itu, tampaklah betapa
picik pengetahuan Pradangsa. Ia hanya memusatkan tenaga serta perhatiannya pada
kedua belah tangannya. Dengan sepenuh tenaga yang ada padanya menghantam tangan
Wirasaba yang menyerang dadanya. Ia sama sekali tidak menduga bahwa pada
sekejap sebelum benturan itu terjadi, Wirasaba mengubah serangannya dengan menarik
tangan kirinya. Ketika tangan kanannya membentur tangan Pradangsa, ibu jari
tangan kirinya sempat mengetuk leher Pradangsa. Akibat benturan itu pun sangat
hebat sekali. Bagaimanapun uletnya Wirasaba, ia tergetar surut. Demikian juga
Pradangsa, terdorong mundur. Karena ketukan jari pada lehernya, Pradangsa
merasa bahwa nafasnya menjadi sesak. Inilah sumber kekalahan Pradangsa. Sebab
dalam perkelahian seterusnya, Pradangsa selalu diganggu oleh peredaran nafasnya
yang semakin lama terasa semakin sesak dan sakit. Meskipun demikian,
pertempuran itu masih juga berlangsung lama. Mereka tampaknya seperti dua ekor
ular yang saling berlilitan dan timbul-tenggelam diantara lawannya. Tetapi
sampai sekian, kepastian dari akhir pertempuran itu sudah jelas. Sebab Wirasaba
jauh berpengalaman. Apalagi ia bertempur tidak saja dengan tenaganya, tetapi
juga dengan otaknya. Sedangkan Pradangsa hanyalah mirip seekor babi yang
terlalu percaya pada kekuatannya. Meskipun ia memiliki kelincahan, namun dalam
beberapa saat kemudian ia sudah benar-benar dikuasai oleh serangan-serangan
Wirasaba yang menjadi semakin keras. Akhirnya Pradangsa menjadi semakin
terdesak. Dan tampaklah bahwa pertempuran itu sudah hampir selesai. Tetapi
tiba-tiba terjadilah suatu hal yang sangat mengejutkan. Ketika Pradangsa merasa
bahwa ia tidak mampu mengalahkan lawannya, dilakukannya suatu kelicikan.
Tangannya tiba-tiba menggenggam potongan-potongan besi lembut dari kantongnya,
yang kemudian dilemparkan ke arah Wirasaba. Tampaklah betapa terkejutnya Wirasaba.
Potongan-potongan besi itu bertebaran mengarah hampir ke segenap bagian
tubuhnya. Untunglah bahwa Wirasaba berpikir cepat. Dengan tangkasnya ia
meloncat tinggi-tinggi. Namun tindakannya itu tidak dapat menyelamatkan seluruh
tubuhnya. Beberapa potong besi itu masih juga mengenai kakinya. Akibatnya hebat
sekali. Waktu ia terjun kembali, ternyata ia sudah tidak dapat tegak lagi di
atas kedua kakinya yang luka-luka. Mengalami peristiwa itu, Wirasaba menjadi
marah sekali. Ia menjerit nyaring. Tiba-tiba saja tangannya sudah menggenggam
sebuah kapak kecil, suatu jenis senjata yang digemari. Dengan penuh kemarahan
kapak kecil itu dilemparkannya ke arah lawannya. Demikian kerasnya lemparan
itu, sehingga yang tampak hanyalah seleretan sinar yang menyambar dada Pradangsa,
yang kemudian disusul sebuah jerit ngeri dan suara tubuh Pradangsa yang
terbanting jatuh, untuk tidak bangun kembali”.
Ki Asem Gede
berhenti. Beberapa kali ia menelan ludah. Agaknya ia menjadi haus setelah
berceritera demikian panjangnya. Meskipun demikian ia masih meneruskan
ceritanya.
”Pada saat
itulah aku berlari-lari kepada Wirasaba yang masih terduduk di tanah. Wirasaba
terkejut melihat kedatanganku. Ia mengangguk hormat meskipun sambil menyeringai
kesakitan. Tetapi aku tidak sempat membalasnya. Perhatianku hanya terpusat pada
kakinya. Aku mempunyai dugaan bahwa potongan-potongan besi itu berbisa. Sebab
seorang seperti Pradangsa itu tidak mustahil berbuat demikian. Dan dugaanku itu
benar. Ketika luka-luka itu aku teliti, ternyata tak mengeluarkan darah setetes
pun. Maka cepat-cepat aku suruh Wirasaba menelan ramuan-ramuan obat pelawan
bisa. Tetapi hasilnya tidak seperti yang aku harapkan.”
“Biasanya,”
lanjut Ki Asem Gede,
“setiap luka
yang mengandung bisa, setelah menelan ramuan obatku itu segera mengeluarkan
darah yang berwarna kebiru-biruan. Ramuan itu juga menghanyutkan segala racun
yang telah menyusup ke dalam darah daging. Tetapi tidak demikianlah kaki
Wirasaba itu. Luka-luka di kakinya tetap tidak mengalirkan darah. Bahkan di
sekitar luka itu tumbuhlah bengkak-bengkak. Maka dapatlah aku mengambil
kesimpulan bahwa bisa yang dipergunakan oleh Pradangsa adalah bisa yang keras
sekali. Karena itu aku tidak berani memperpanjang waktu. Ramuan obat yang aku
berikan hanya sekadar menahan bisa itu saja. Tetapi karena kaki Wirasaba
kedua-duanya hampir tak dapat lagi dipergunakan, terpaksa aku memapahnya,” ujar
Ki Asem Gede.
”Baru ketika
sampai di rumah, di bawah cahaya lampu, aku dapat mengetahui dengan pasti bahwa
potongan-potongan besi itu direndam dalam ramuan warangan yang kuat sekali. Aku
mempunyai dugaan bahwa warangan itu dicampur dengan bisa sejenis laba-laba
hijau yang terdapat di hutan Tambak Baya,” tambahnya.
Meskipun Ki
Asem Gede sudah berusaha keras sebagai seorang tabib, tetapi sama sekali tak
berhasil melawan bisa itu. Yang dapat dilakukan hanyalah membatasi menjalarnya
racun itu ke bagian tubuh yang lain.
”Itulah
Anakmas Mahesa Jenar dan Adi Mantingan, sebab-sebab yang menimbulkan cacat pada
Wirasaba. Tetapi hal yang membesarkan hatiku adalah, bahwa anakku tetap setia
pada janjinya, meskipun laki-laki yang dikaguminya itu telah cacat. Sehingga
perkawinan mereka pun dapat dilangsungkan,” jelas Ki Asem Gede.
Ki Asem Gede
mengakhiri ceriteranya dengan suatu tarikan nafas yang dalam. Seolah-olah
sesuatu yang menyumbat hatinya kini telah terlontar keluar. Meskipun demikian
nampak juga suatu perasaan kecewa yang tersirat di wajahnya.
Sebagai
seorang tabib kenamaan, Ki Asem Gede merasa mendapat suatu peringatan langsung
dari Tuhan Yang Maha Kuasa, bahwa bagaimanapun usaha anak manusia, namun
keputusan terakhir berada di tangan-Nya. Sudah beratus-ratus bahkan beribu-ribu
orang yang ditolongnya, diobati dan disembuhkan. Namun terhadap sakit
menantunya sendiri, yang bergaul hampir setiap hari, ia tak mampu berbuat
apa-apa.
”Tak adakah
obat yang dapat menyembuhkannya?” tanya Mahesa Jenar.
”Tidak ada,”
jawab Ki Asem Gede. Mata Ki Asem Gede jadi suram dan gelisah.
”Bahkan obat
yang aku berikan itu pun tak dapat menanggulangi sepenuh-penuhnya. Mungkin bisa
itu tak menjalar ke bagian tubuh yang lain, tetapi pada bagian yang terluka
bisa itu seperti api yang tersimpan di dalam sekam. Sedikit demi sedikit
membunuh setiap bagian tubuh di sekitar luka itu,” lanjutnya.
Ki Asem Gede
terdiam sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tiba-tiba ia
berkata,
”Ada Anakmas
…, ada.”
”Ada?” ulang
Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
Namun kemudian
tampaknya Ki Asem Gede menjadi kendor kembali.
KI Asem Gede
terdiam sebentar. Seperti orang yang terbangun dari tidur, dan tiba-tiba ia
berkata,
“Ada Anakmas
…, ada.”
“Ada?” ulang
Mahesa Jenar dan Mantingan berbareng.
Namun kemudian
tampaknya Ki Asem Gede menjadi kendor kembali.
“Ada Anakmas,
tetapi aku kira obat itu tidak dapat diketemukan.”
“Sudahkah
Bapak berusaha?” tanya Mahesa Jenar lebih lanjut.
Ki Asem Gede
menggelengkan kepalanya.
“Mustahil …,
mustahil,” desisnya.
“Katakanlah Ki
Asem Gede, mungkin di antara kami ada yang pernah mendengar atau melihatnya,”
desak Mahesa Jenar.
Ki Asem Gede
tampak ragu-ragu sebentar, tetapi akhirnya ia berkata.
“Anakmas,
memang ada obat untuk melawan bisa yang bagaimanapun kerasnya. Tetapi obat itu
hampir hanyalah merupakan dongeng belaka.”
Mahesa Jenar
dan Mantingan mengerutkan keningnya bersama-sama seperti berjanji. Kemudian
terdengarlah Mahesa Jenar bertanya.
“Kenapa Ki
Asem Gede? Apakah obat itu terlalu sulit untuk didapatkan?”
“Anakmas
benar. Sebab obat yang dapat melawan segala bisa itu, sepengetahuanku adalah
bisa Ular Gundala,” sahut Ki Asem Gede sambil mengangguk.
“Ular
Gundala?” ulang Mahesa Jenar.
“Aku pernah
mendengar nama ular itu,” sela Mantingan.
“Ya, ular
Gundala,” tegas Ki Asem Gede.
“Ada dua macam
ular Gundala. Yaitu ular Gundala Seta dan Ular Gundala Wereng. Kedua-duanya
mempunyai jenis bisa yang tak terlawan. Tetapi kedua-duanya mempunyai sifat
yang berlawanan. Bisa ular Gundala Wereng, bekerja seperti pada umumnya bisa,
meskipun ketajamannya berlipat-lipat. Tetapi bisa ular Gundala Putih bekerja
sebaliknya. Kalau kedua jenis ular bisa itu berbenturan maka akhirnya akan
menjadi tawar. Karena itulah maka bisa ular Gundala Putih lah yang dapat
menjadi obat yang sangat mujarab untuk menawarkan segala macam bisa, meskipun
kalau bisa itu berdiri sendiri akan mempunyai akibat yang berbeda.”
“Itu adalah
pengertian secara umum saja. Sebab disamping itu masih ada sebab-sebab lain,
kenapa bisa ular Gundala itu sedemikian ampuhnya. Menurut ceritera, ular
Gundala adalah semacam senjata dari para Dewa. Ular Gundala Wereng adalah
senjata dari Sang Batara Kala, sedangkan ular Gundala Seta adalah senjata
Batara Wisnu. Kalau senjata-senjata itu sedang dipergunakan, maka memancarlah
bunga-bunga api di udara. Kalau sinarnya putih kebiru-biruan, itulah pancaran
dari ular Gundala Seta, senjata Wisnu. Sedangkan ular Gundala Wereng
memancarkan cahaya merah membara agak kehitam-hitaman,” jelas Ki Asem Gede.
Wajah Ki Asem
Gede masih membayangkan kekecewaan. Bahkan mendekati putus asa. Tetapi ketika
Mahesa Jenar mendengar ceritera ini, ia menjadi teringat kepada sahabat
karibnya semasa mereka masih muda. Pada saat mereka baru menginjak ambang pintu
kedewasaan. Yaitu seorang yang kemudian terkenal bergelar Ki Ageng Sela, yang
pada masa anak-anaknya bernama Anis atau beberapa orang memanggilnya Nis dari
Sela. Sela adalah seorang yang luar biasa. Geraknya cepat melampaui kilat.
Bahkan sampai beberapa orang mengatakan bahwa ia mewarisi kecepatan bergerak
ayahnya yang juga bergelar Ki Ageng Sela, yang menurut ceritera dapat menangkap
petir. Pada suatu kali, ketika Ki Ageng Sela sedang menyepi di tepi sendang
Jalatunda, tiba-tiba ia disambar oleh semacam sinar putih kebiru-biruan.
Untunglah bahwa ia dapat bergerak cepat luar biasa, sehingga ia dapat
menghindari sambaran sinar itu. Bahkan ia masih juga sempat menangkapnya.
Tetapi demikian tangannya menyentuh benda itu, terkejutlah ia bukan kepalang.
Sebab pada saat itu tangannya terasa telah menangkap seekor binatang yang bulat
panjang.
Untunglah
bahwa sebelumnya ia pernah mendengar ceritera tentang seekor ular yang pandai
terbang dan bercahaya. Ular yang diceriterakan menjadi penggembala hujan. Maka
secepat kilat benda yang ditangkapnya itu sebelum sempat menggigitnya,
dibantingnya ke tanah. Adalah suatu keuntungan bahwa binatang itu tidak
dihantamkan pada sebatang pohon atau batu. Sebab kalau demikian, binatang itu
pasti akan remuk. Saat itu, ia dapatkan binatang itu masih utuh, meskipun
terbenam lebih dari sejengkal ke dalam tanah. Kemudian bangkai ular itu
diambilnya. Ternyata ular itu adalah seekor ular yang aneh. Panjangnya
dibanding dengan besarnya dapat dikatakan terlalu pendek. Sisiknya berwarna
putih mengkilap agak kebiru-biruan. Pada bagian kepalanya tergoreslah semacam
lukisan jamang, sedangkan pada ujung ekornya melingkarlah warna kuning
keemasan. Ketika ular aneh itu dibawa pulang, terlihatlah binatang itu oleh Ki
Ageng Warana. Melihat bangkai ular itu, Ki Ageng Warana terperanjat, apalagi
ketika ia mendapat keterangan dari Sela. Maka segera orang tua itu minta izin
kepada Sela untuk mengambil bisanya.
Sela yang
menganggap binatang itu hanya sebagai barang yang aneh, sama sekali tidak
keberatan. Ia tidak mengira kalau karena itu ia mendapat semacam obat yang tak
ada bandingnya. Obat penawar segala macam bisa yang bagaimanapun tajamnya.
Racun dari bisa binatang maupun tumbuh-tumbuhan. Oleh Ki Ageng Warana, binatang
itu diperas bisanya. Dengan mempergunakan keahliannya, ia dapat menampung bisa
itu. Kemudian dengan berbagai ramuan, bisa itu berhasil dipadatkan. Tetapi
hanya tinggal kecil sekali, hanya kira-kira sebesar biji kacang tanah. Biji
sari bisa ular ajaib itu dihadiahkan kepada Ki Ageng Sela. Meskipun Ki Ageng
Warana minta sebagian kecil, Ki Ageng Sela pun sama sekali tidak keberatan.
Dengan biji
bisa itu, Ki Ageng Warana telah membebaskan dirinya sendiri dari berbagai macam
bisa. Juga Ki Ageng Sela dan bahkan Mahesa Jenar sebagai seorang sahabat karib
Nis dari Sela, mendapat kesempatan untuk menikmati kasiatnya pula. Oleh Ki
Ageng Warana, biji bisa ular itu direndamnya dalam air, yang kemudian dengan
mempergunakan duri yang telah direndam di dalam air itu, untuk menusuk
simpul-simpul jalan darah. Dengan demikian, mereka tawar dari segala macam
bisa. Mahesa Jenar sebagai sahabat paling dekat Ki Ageng Sela, tidak hanya
mendapat kesempatan membebaskan diri dari segala pengaruh bisa dan racun,
tetapi ia juga mendapat hadiah dari sahabatnya, sebagian dari biji bisa itu.
Maka,
diceriterakannya semua itu kepada Ki Asem Gede. Tentang ular yang bersinar
putih kebiru-biruan serta tentang biji bisa Ular itu. Barangkali biji bisa itu
dapat dipergunakan untuk mengobati kaki Wirasaba sebagaimana bisa ular Gundala
Seta.
Ki Asem Gede
dan Mantingan mendengar ceritera itu dengan penuh perhatian. Wajah Ki Asem Gede
sebentar tampak berkerut, sebentar terkejut, kemudian sebentar menjadi cerah,
untuk seterusnya muram kembali. Tetapi kemudian tiba-tiba jadi bersinar terang.
“Anakmas,”
kata Ki Asem Gede kemudian setelah Mahesa Jenar selesai berceritera,
” Ki Ageng
Warana adalah raja dari segala tabib. Sayang aku sampai sekarang belum pernah
berkesempatan bertemu dengan beliau. Sebab beliau adalah seorang yang aneh.
Sebentar nampak, sebentar menghilang. Berbahagialah anakmas Nis dari Sela dapat
bertemu dengan orang tua yang aneh itu. Dan berbahagia pulalah Anakmas Mahesa
Jenar bersahabat dengan Anakmas Sela. Sebab menurut ciri-ciri yang Anakmas
ceriterakan itu, ular yang menyambar demikianlah yang bernama ular Gundala.”
“Tetapi Ki
Ageng Warana tidak menamakan ular itu ular Gundala, tetapi disebutnya ular
Gundala seta.” Mahesa Jenar menjelaskan.
Tiba-tiba
cahaya mata Ki Asem Gede menjadi cerah secerah matahari pagi yang memercik
diatas rumput-rumput hijau.
“Ya itulah
Anakmas…. Memang terdapat beberapa dongeng mengenai ular ajaib itu.Sebagai
senjata dewa-dewa, ia disebut Ular Gundala. Tetapi sebagai penggembala air di
langit ia disebut ular Candrasa Seta,” katanya hampir berteriak.
Kemudian
Mahesa Jenar mengambil sebuah tabung bambu kecil yang diikatkan di bagian dalam
pakaiannya. Tetapi meskipun obat itu tak pernah terpisah dari tubuhnya, bahkan
ia pernah mendapat tusukan di simpul jalan darahnya oleh Ki Ageng Warana, namun
ia masih belum pernah melihat bukti kasiatnya.
Ki Asem Gede
menerima benda itu dengan dada berdebar. Diamat-amatinya benda itu dengan
saksama.
“Anakmas
Mahesa Jenar, marilah kita lihat kasiat benda ini,” katanya. Kemudian Ki Asem
Gedepun segera mengambil sebuah cawan tembikar dan bumbung berisi bisa. Segera
biji bisa ular itu direndamnya di dalam air, lalu diteteskannya bisa dari dalam
bumbungnya ke dalam air rendaman itu, setelah biji bisanya disisihkan ke dalam
tempat yang lain. Apa yang terjadi sangatlah mengejutkan. Air di dalam cawan
itu menjadi seakan-akan menggelegak dan mendidih. Maka setelah timbul beberapa
gumpal asap, air di dalam cawan itu menjadi surut. Akhirnya sesaat kemudian air
itu menjadi tenang kembali. Semuanya memandang peristiwa itu tanpa berkedip.
Kemudian berkatalah Ki Asem Gede,
“Ini adalah
suatu benturan langsung antara dua jenis bisa tanpa perantara. Maksudnya
adalah, bahwa kedua jenis bisa itu tidak bekerja atas sesuatu zat, misalnya
yang satu membekukan sedang yang lain mencairkan darah. Dan anakmas dapat
menyaksikan sendiri betapa hebatnya bisa Ular Gundala atau Candrasa itu.”
Mahesa jenar
termenung sejenak. Lalu katanya,
“Kalau begitu,
dapatkah Ki Asem Gede mengobati kaki kakang Wirasaba?”
“Akan aku
coba, tetapi harus perlahan-lahan. Sebab bisa di dalam tubuh Wirasaba telah
bekerja terlalu lama. Kalau tubuhnya itu tidak mempunyai daya tahan yang luar
biasa, ia telah lama binasa. Karena itu aku tidak berani mengobatinya sekaligus.
Benturan yang berlebihan di dalam tubuhnya antara dua jenis bisa itu akan dapat
membunuhnya. Dan untuk itu akan memerlukan waktu,” jawab Ki Asem Gede.
Akhirnya Ki
Asem Gede minta kepada Mahesa Jenar untuk diizinkan meminjam biji bisa itu. Ia
akan mencoba sedikit demi sedikit mengobati kaki Wirasaba yang bertahun-tahun
tak dapat dipergunakan.
Sementara itu
malam menjadi semakin dalam. Bunyi jangkrik terdengar saling bersahutan dengan
kemersik daun yang digerakkan oleh angin malam sejuk. Sementara itu, Ki Asem
Gede atas nama anak menantunya mempersilahkan kedua tamunya itu untuk
beristirahat. Tetapi malam itu Mahesa Jenar sama sekali tidak berhasrat untuk
tidur. Ketika ia sudah membaringkan dirinya, teringatlah kembali semua
peristiwa yang dialaminya pada hari-hari terakhir. Maka barulah terasa
penat-penat di bagian-bagian anggota badannya. Selain itu terngianglah kembali
semua ceritera Samparan pada saat terakhir sebelum menghembuskan nafasnya yang
penghabisan. Tentang Lawa Ijo, tentang pertemuan yang akan diadakan oleh
golongan hitam, tentang pusaka-pusaka Kiai Nagasasra dan Sabuk Inten, dan
tentang seorang yang disebut oleh Samparan bernama Pasingsingan. Semuanya itu
masing-masing bagi Mahesa Jenar memerlukan perhatian-perhatian khusus.
SEBENARNYA
kalau Lawa Ijo atas petunjuk Pasingsingan ingin mendapat pusaka Kiai Nagasasra
dan Sabuk Inten dengan memasuki Gedung Perbendaharaan Istana, ia pasti akan
kecewa. Sebab kedua pusaka itu sedang jengkar meninggalkan tempat
penyimpanannya. Tak seorang pun yang mengetahui, kemana perginya dan siapa yang
membawanya. Sedangkan kepada Pasingsingan sendiri, Mahesa Jenar tak habis-habis
heran. Bahkan hampir tak masuk akal, kalau sampai Pasingsingan mempunyai
seorang murid semacam Lawa Ijo. Mengenai pertemuan golongan hitam itu pun akan
merupakan suatu peristiwa yang cukup menarik. Kecuali itu, bila Lawa Ijo telah
menyatakan diri untuk mengambil bagian dalam pertemuan itu, pastilah bahwa
pagi-pagi ia telah mempersiapkan diri.
No comments:
Post a Comment