SAWUNG SARITI menjadi bertambah bingung. Adakah ayahnya bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya ingin menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap lain. Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak kehilangan akal. Karena itu ia menjawab,
“Aku belum
selesai ayah. Aku baru menyampaikan sebagian.”
“Berapa lama
kau perlukan waktu untuk menyampaikan laporan yang dapat kau ucapkan dengan
beberapa kalimat saja?” bentak ayahnya.
“Sudahlah
Lembu Sora.” Ki Ageng Sora menengahi,
“Biarlah
anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum lama datang kepadaku.”
Tetapi
kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya. Kemarahan yang bercampur-baur
dengan penyesalan dan perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata
lagi,
“Jadi kau
belum lama menghadap eyangmu?”
Sawung Sariti
tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia menjawab,
“Ya ayah.”
“Ke mana kau
selama ini?” desak Lembu Sora.
Sawung Sariti
menjadi ragu. Ia tidak berani berkata kepada ayahnya, dari mana ia pergi, karena
ada eyangnya. Biasanya ia tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi terhadap
eyangnya, Sawung Sariti tidak berani berterus terang. Karena itu tanpa
disengaja ia berpaling kepada Galunggung, seakan-akan minta supaya Galunggung
menjawab pertanyaan ayahnya itu. Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena
itu ia menjawab,
“Kami dari
nganglang daerah medan, Ki Ageng.”
“Medan mana?”
Lembu Sora mendesak terus.
Galunggung pun
menjadi ragu. Kenapa Ki Ageng Lembu Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat
lampau ia tidak pernah mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang dilakukan.
Tiba-tiba
seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya berteriak,
“Kau pergi ke
rumah Badra Klenteng kan…?”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengerutkan keningnya, seperti mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora
tentang cucunya itu. Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya
benar-benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain. Kemarahan yang belum
pernah dialaminya. Namun Galunggung tiba-tiba berkata membela diri,
“Tidak, Ki
Ageng. Siapakah yang mengatakan?” Mata Lembu Sora bertambah menyala,
“Kau mau
bohong Galunggung. Kau kira aku tidak tahu?”
“Demi Allah,”
sahut Galunggung, tetapi ia tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena
tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora meloncat dengan garangnya, dan menampar mulut
Galunggung sambil berteriak,
“Jangan sebut
kata-kata itu. Mulutmu terlalu kotor untuk mengucapkannya.”
Galunggung
terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh kalau tubuhnya tidak membentur
dinding. Ketika ia berusaha tegak kembali, terasa cairan yang hangat meleleh
dari mulutnya. Darah merah menyala, seperti kemarahan yang menyala di dalam
dadanya. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu.
“Lembu Sora…”
Ki Ageng Sora Dipayana memanggil anaknya,
“Duduklah.
Biarlah aku bertanya kepada mereka.”
Nafas Lembu
Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia duduk pula di samping ayahnya. Sawung
Sariti sama sekali tidak berani menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya yang
telah mendengar bahwa ia baru saja pergi ke rumah Badra Klenteng. Tiba-tiba
merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya waktu itu. Pengawas
yang melaporkan peristiwa orang-orang golongan hitam itu. Demikian juga
Galunggung. Berkatalah di dalam hatinya,
“Kalau aku
temui orang itu, aku sobek mulutnya dan akan aku kubur ia hidup-hidup.”
Ketika
Galunggung pun telah duduk kembali dan mengusap darah yang meleleh dari
mulutnya dengan lengan bajunya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh,
“Sudahlah
Lembu Sora, segala sesuatu bukanlah terjadi dengan tiba-tiba. Apalagi watak dan
kelakuan. Sekarang tenangkan hatimu. Hari masih panjang. Mudah-mudahan aku
mengalami masa-masa yang cerah. Masa-masa yang cerah bukan bagiku sendiri,
tetapi bagimu, bagi cucuku Sawung Sariti, dan bagi cucuku Arya Salaka.
Kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka, apalagi bagi anak semuda
cucuku Sawung Sariti.”
Lembu Sora
menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia terlempar pada kenyataan akan kesalahan
diri. Penyesalan yang memukul-mukul dinding hatinya menjadi semakin deras.
“Nah, Sawung Sariti…”
Ki Ageng Sora Dipayana melanjutkan,
“Apakah yang
kau katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?”
Sawung Sariti
mengangkat wajahnya, namun segera tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar
ia berkata dengan suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang telah
melaporkan keadaan,
“Orang-orang
dari golongan hitam itu pergi ke Banyubiru, Eyang.”
Ki Ageng Sora
Dipayana terkejut.
“Ke
Banyubiru?” ulangnya.
“Ya,” jawab
Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan yang didengarnya dari pengawas
itu.
“Kapan kau
dengar laporan itu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana. “Beberapa saat yang lalu,”
jawab Sawung Sariti.
“Kenapa baru
sekarang kau sampaikan kepada eyangmu?” bentak Lembu Sora. Sawung Sariti tidak
menjawab. Galunggung pun tidak. Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di
dalam hati,
“Mati kau
pengawas gila.”
Ki Ageng Sora
Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada Sawung Sariti ia berkata,
“Panggillah
kakakmu Arya Salaka.”
Sawung Sariti
ragu sebentar, kemudian ia menjawab,
“Baiklah
Eyang.” Sesaat kemudian iapun berdiri, dan bersama-sama dengan Galunggung ia
meninggalkan rumah itu. Ketika mereka keluar dari pintu, mereka melihat
Wulungan berdiri tegak dengan tangan bersilang dada. Sawung Sariti berhenti
sejenak, kemudian ia bertanya,
“Kau lihat
Kakang Arya?” Wulungan menggelengkan kepala.
“Tidak
Angger.” Kemudian Sawung Sariti melangkah pula dengan tergesa-gesa. Galunggung
sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Ketika mereka telah menjauh,
Wulungan pun pergi di belakang mereka. Di dalam perkemahan itu Lembu Sora
berkata,
“Tak akan
dijumpai Arya di sini.”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil menoleh kepada anaknya ia bertanya,
“Kenapa?”
“Arya telah
pergi ke Banyubiru belum lama,” jawab Lembu Sora.
“He…?” Ki
Ageng Sora Dipayana terkejut.
“Sendiri?”
“Tidak. Dengan
Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati,” sahut Lembu Sora.
“Mengapa?”
tanya ayahnya pula.
“Ia sudah tahu
apa yang terjadi,” jawab Lembu Sora.
KI AGENG Sora
Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya
pula,
“Dari mana
anak itu mendengar?”
“Langsung dari
pengawas itu,” jawab Lembu Sora. Diceriterakannya apa yang diketahuinya
mengenai pengawas itu, serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula
bagaimana Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda dengan tombaknya dalam
genggaman.
“Anak itu
sadar akan tanggungjawabnya,” desis kakeknya.
“Namun sayang
ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke Banyubiru itu Pasingsingan?
Untunglah Anakmas Mahesa Jenar dan anak Putut Karangjati mengetahuinya,
sehingga mereka segera menyusul.”
Kepada
ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa Jenar, bahwa mereka terpaksa
mendahului perintah.
“Mereka tahu
benar apa yang harus mereka lakukan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana.
“Mereka orang-orang
yang memiliki firasat dan daya pengamatan melampaui kami semuanya di sini.
Bahkan mereka adalah orang-orang sakti yang tak ada bandingnya di antara kita.”
“Sayang,
laporan yang sampai kepada mereka agak terlambat,” desah Lembu Sora.
“Mudah-mudahan
segala sesuatu tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku. Arya dan
Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan karena pamrih yang
berlebih-lebihan, dan apakah sekarang harus mengalami bencana yang lebih
dahsyat lagi?”
“Tenanglah
Lembu Sora,” ayahnya menenangkan.
“Mahesa Jenar
dan Putut Karangjati akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Sekarang
beristirahatlah. Kita belum tahu apa yang harus kita lakukan besok pagi.
Suruhlah Sawung Sariti beristirahat pula. Demikian juga seluruh laskarmu. Malam
tinggal setengahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas dan Titis agaknya telah tidur
nyenyak pula.”
“Baiklah
ayah,” jawab Lembu Sora sambil berdiri. Kemudian iapun melangkah pergi ke
pondoknya untuk beristirahat, meskipun kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan
yang melonjak-lonjak. Setiap ia berusaha melupakan, setiap kali dadanya
bergetar, kenapa bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut. Namun
demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan merebahkan dirinya di atas
bale-bale bambu yang direntangi tikar mendong.
Pada saat yang
bersamaan, Sawung Sariti sedang mondar-mandir mencari Arya Salaka. Namun
sebenarnya yang ingin dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang dianggapnya
tumbak-cucukan itu, yang suka melaporkan kesalahan orang lain. Sawung Sariti
dan Galunggung sama sekali tidak menyesalkan perbuatan mereka, tetapi mereka
menyesalkan pengawas itu. Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk
bersandar batang nyiur di antara kawan-kawannya yang berbaring tidur, Sawung
Sariti menggeram,
“Jahanam.” Ia
mengumpat. Kemudian dengan satu loncatan ia telah berdiri di hadapan pengawas
itu sambil membentak, “He bangsat kau masih di sini?”
Pengawas itu
terkejut, sehingga ia meloncat berdiri.
“Kenapa kau
tidak kembali ke tugasmu?” bentak Sawung Sariti.
“Seseorang
telah menggantikan tugasku,” jawab orang itu kecemasan.
“Bohong!”
sanggah Sawung Sariti.
Orang itu
menjadi bingung.
“Benar
angger,” jawabnya.
“Aku telah
bebas dari tugasku itu.”
“Ha, agaknya
kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara aku dengan Kakang Arya Salaka,”
bentak Sawung Sariti. Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung Sariti
itu. Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi. Sawung Sariti agaknya
menjadi marah kepadanya, karena ia telah berkata sebenarnya kepada Ki Ageng
Lembu Sora. Mungkin Ki Ageng Lembu Sora itu telah memarahinya. Karena itu ia
berkata,
“Angger,
jangan menyalahkan aku kalau aku terpaksa mengatakan apa yang aku lihat demi
kewajibanku.”
“Pandainya
tikus ini,” potong Sawung Sariti.
“Kau bisa
berkata hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata merah atas warna hijau.”
Orang itu
menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus dikatakan? Ia menjadi semakin cemas
ketika tiba-tiba Galunggung melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala.
Katanya,
“Lihatlah, karena
mulutmu yang lancang itu, aku ditampar oleh Ki Ageng Lembu Sora.”
Pengawas itu
masih tetap berdiam diri. Beberapa orang kawan-kawannya menjadi terbangun
karenanya. Tetapi tak seorangpun yang berani mencampurinya. Tiba-tiba
Galunggung itu berkata,
“Ikuti aku.”
“Ke mana?”
orang itu menjadi ketakutan.
“Ikuti aku!”
bentak Galunggung.
Orang itu
tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja di belakang Galunggung dan di
belakangnya berjalan Sawung Sariti. Dengan gelisah ia mencoba menebak, apakah
yang akan dilakukan atas dirinya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah kebenaran yang
diucapkannya itu dapat diputar balik sedemikian rupa sehingga ia perlu mendapat
hukuman. Galunggung berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka menerobos
pagar-pagar halaman dan meloncati dinding desa. Akhirnya mereka sampai di
gerumbul-gerumbul kecil di samping desa Pangrantunan itu. Orang itu menjadi
semakin cemas. Ketika ia melihat Gunung Merbabu dalam keremangan malam,
tampaknya seperti raksasa yang akan menerkamnya.
Orang itu
menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung mencabut pedangnya sambil tertawa
menakutkan, katanya,
“Mulutmulah
yang pertama-tama harus disobek, lalu kau akan aku kubur hidup-hidup.”
“Apa salahku?”
tanya orang itu gemetar.
“Seandainya
aku berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku dihukum mati dengan cara
demikian. Apalagi aku telah berusaha melakukan pekerjaanku
sebaik-baiknya.”
SAWUNG SARITI
menjawab,
“Baik bagimu
tidak selalu baik bagi orang lain. Dengan perbuatanmu itu, nanti kalau terjadi
sesuatu di Banyubiru, akulah yang dipersalahkan. Karena itu, kau harus
dilenyapkan. Dengan demikian, di hadapan Eyang Sora Dipayana, tak ada
seorangpun yang dapat membuktikan kesalahanku.”
Pengawas yang
malang itu menjadi semakin ketakutan. Ia tidak mengerti kenapa kebenaran sama
sekali tidak menjadi pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal kebenaran
dari seginya sendiri. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk membela diri.
“Angger Sawung
Sariti. Kalau angger mengambil keputusan untuk menghukum aku dengan kesaksianku,
maka kesaksianku itu telah diketahui pula oleh Ki Ageng Lembu Sora, Angger Arya
Salaka beserta gurunya serta sahabat gurunya yang telah berhasil membunuh mati
orang sakti dari Nusakambangan.”
Sawung Sariti
mengerutkan keningnya. Ia mengumpat di dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat
sahabat-sahabat yang sedemikian saktinya, sehingga sedikit banyak dapat
mempengaruhi keadaannya?
Namun ia
menjawab,
“Aku dapat
menyangkal kesaksian-kesaksian itu. Kau sangka ayahku itu akan membenarkan
kesaksianmu? Setidak-tidaknya aku dapat memperpendek waktu yang hilang sejak
kau memberikan laporan itu kepadaku sampai waktu yang aku pergunakan untuk
menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana.”
“Kau tak usah
terlalu banyak bicara,” potong Galunggung.
“Nikmatilah
udara terakhir ini sebaik-baiknya. Sesudah itu, kau tak akan mengenalnya lagi.”
Pengawas itu
menjadi semakin gemetar. Namun ia berkata,
“Kalau ada
akibat yang kurang baik bagi kalian berdua, bukankah itu bukan salahku. Kalau
kalian tidak sengaja memperlambat berita itu, maka segala sesuatu akan menjadi
baik.”
“Tutup
mulutmu!” bentak Galunggung.
“Kau tak perlu
mengigau pada saat-saat terakhir.” Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain
didalam dada pengawas itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali telah pernah
dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat. Sekarang kenapa ia takut
menghadapi pedang. Ia merasa berpijak di atas kebenaran. Kalau ia terpaksa, apa
boleh buat ia telah dipepetkan ke suatu sudut dimana ia harus mempertahankan
diri.
Dirasanya
sesuatu terselip di ikat pinggangnya. Keris. Meskipun yang berdiri di hadapan
dua orang yang sama sekali di atas kemampuannya untuk melawan, namun ia tidak
mau mati seperti tikus di tangan seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk
membebaskan diri. Kalau perlu ia akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya, sambil
melawan sedapat-dapatnya.
Galunggung
yang telah terbakar oleh kemarahannya, menjadi kehilangan kesabarannya. Dengan
garangnya ia melangkah maju sambil menggeram,
“Jangan
melawan, sebab kalau kau melawan berarti akan memperlambat saat-saat
kematianmu. Derita yang terakhir adalah selalu tidak menyenangkan.”
Tetapi
pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia meloncat mundur sambil menarik
kerisnya. Melihat orang itu menarik senjatanya. Galunggung tertawa.
“Benar-benar
kau sedang sekarat.”
Kemudian
sambil tertawa ia melangkah maju. Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan
oleh suara yang sama sekali tak diduga oleh mereka. Tenang, namun penuh
pengaruh. Katanya,
“Aku adalah
satu-satunya saksi yang melihat kebenaran diinjak-injak.”
Seperti
disambar petir, Galunggung dan Sawung Sariti mendengar kata-kata itu. Ketika
mereka menoleh, dilihatnya Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada.
Pedangnya tergantung di lambung kirinya. Sawung Sariti menjadi gemetar karena marahnya.
Sambil melangkah maju ia berkata,
“Paman
Wulungan, kau berani mengganggu pekerjaanku?”
“Tidak
Angger,” jawab Wulungan tanpa bergerak.
“Tidak…?”
sahut Sawung Sariti,
“Lalu apa yang
Paman kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu bermanfaat untuk
melawan aku? Kau tahu, bukankah aku murid Sora Dipayana?”
“Ya. Aku tahu
bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan.
“Kau tahu
bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung berdua dengan anak buahnya?” desak Sawung
Sariti.
“Ya.”
“Kau tahu
bahwa aku adalah putra kepala daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru
sekaligus?”
“Ya.”
“Nah, apa yang
akan kau lakukan sekarang?” tanya Sawung Sariti sambil mengangkat dadanya.
WULUNGAN
menjawab,
“Tidak
apa-apa. Aku tidak akan melawan Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak
melakukannya. Aku hanya ingin tahu, apa yang akan Angger lakukan di sini?”
“Apa
kepentingamu? Dan apa pedulimu?” bentak Sawung Sariti.
“Setiap orang
berkepentingan atas tegaknya kebenaran. Aku yang membawa pengawas itu kepada Ki
Ageng Lembu Sora dan Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta kepadanya untuk
mengulangi laporannya.”
“Hem…” geram
Sawung Sariti. “Kau adalah saksi yang kedua sesudah orang ini. Kalau begitu
bagaimana kalau kau aku bunuh sekalian?”
“Itu adalah urusan
Angger Sawung Sariti,” jawab Wulungan masih setenang tadi.
“Kau akan
melawan seperti tikus ini?” desak Sawung Sariti.
“Tidak,” jawab
Wulungan.
“Tak ada
gunanya. Tetapi pernahkan Angger mendengar aku berlomba lari? Aku adalah pelari
tercepat dari setiap kawan-kawanku, baik pada masa kanak-kanakku, maupun kini.”
“Gila!” umpat
Sawung Sariti.
“Kau bukan
seorang jantan.”
“Aku memang
bukan seorang jantan,” jawab Wulungan.
“Tetapi aku
mempunyai pertimbangan lain. Aku wajib menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku
mati, maka kebenaran ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi kalau aku lari
selamat, bukankah aku dapat memberitahukannya kepada Ki Ageng Sora Dipayana…?”
“Gila, Gila….”
Sawung Sariti mengumpat tak habis-habisnya. Ketika itu Galunggung mencoba
mengingsar dirinya, untuk menutup kemungkinan Wulungan kepada pengawas itu.
“Ki Sanak,
baiklah kita berlomba lari. Jangan melawan. Kalau Adi Galunggung melangkah satu
langkah lagi, perlombaan akan dimulai tanpa pembicaraan lain.”
Langkah
Galunggung terhenti karenanya. Kalau Wulungan benar-benar melarikan dirinya
saat itu, dan orang yang pertama itu melarikan diri pula, akan sulitlah untuk
menangkap kedua-duanya. Salah satu atau keduanya mungkin akan dapat melenyapkan
dirinya di dalam gerumbul-gerumbul yang berserak-serak itu, atau
berteriak-teriak minta tolong sehingga apabila terdengar oleh laskar Banyubiru,
persoalannya akan menjadi sulit.
“Setan,” gumam
Galunggung menahan marah yang memukul-mukul dadanya. Sawung Sariti menjadi
semakin marah. Dengan gigi gemeretak ia berkata,
“Lalu apa yang
kau kehendaki Wulungan?” Wulungan menarik nafas. Tangannya masih terlipat di
dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun demikian ia tidak boleh
kehilangan kewaspadaan. Dengan perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan,
Wulungan menjawab,
“Tidak banyak
Angger. Aku menghendaki orang itu Angger bebaskan dari segala tuntutan pribadi.
Sebab Angger memandang persoalannya dari kepentingan diri sendiri.”
“Gila, kau
licik seperti demit.” Sawung Sariti mengumpat.
“Kita semua
adalah orang-orang yang licik. Penuh nafsu tanpa pengendalian,” jawab Wulungan.
Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya,
“Kepalamu
memang harus dipenggal.”
Tetapi
Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan kata-katanya,
“Kau dengar
Angger melepaskan orang itu, maka aku berjanji tidak akan mengatakan kepada
siapapun juga, apa yang terjadi sekarang di sini. Orang itupun tidak akan
membuka mulutnya pula.” Kemudian kepada pengawas itu Wulungan berkata,
“Begitu kan…?”
Pengawas itu
mengangguk kosong, meskipun hatinya bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu.
Sekali lagi Galunggung menggeram. “Apa jaminanmu?”
“Tidak ada,”
jawab Wulungan cepat.
“Bagaimana aku
bisa percaya?” desak Galunggung.
“Terserah
padamu. Percaya atau tidak,” sahut Wulungan.
“Tetapi aku bukan
orang yang suka melihat benturan-benturan diantara keluarga sendiri.”
Kemudian
dengan penuh kejengkelan Sawung Sariti berkata,
“Baiklah aku
percaya kepadamu Wulungan. Tetapi kalau kau memungkiri kesanggupanmu, aku
banyak mempunyai alasan dan cara untuk membunuhmu.”
“Terserah
kepada Angger,” jawab Wulungan.
Sawung Sariti
tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia melangkah pergi. Galunggungpun
kemudian mengikutinya di belakang.
“Ikuti aku,”
perintah Wulungan kepada pengawas itu. Pengawas itu tidak membantah, namun di
dalam dadanya bergelutlah ucapan terima kasih kepada Wulungan. Mereka berdua
berjalan tidak begitu jauh di belakang Galunggung. Dengan demikian Wulungan
dapat mengetahui langsung apa yang akan dilakukan seandainya orang itu akan
mencoba menyergapnya.
Tetapi Sawung
Sariti dan Galunggung berjalan terus ke perkemahan. Karena itu Wulungan dan
pengawas itu telah merasa dirinya tentram. Ia tahu betul bahwa Sawung Sariti
atau Galunggung tidak akan mengganggunya, sebab dengan demikian Wulungan akan
segera mengetahui apa yang terjadi atasnya. Sampai di perkemahan, Sawung Sariti
masih tetap mengumpat-umpat. Ia sudah kehilangan nafsu untuk mencari Arya
Salaka.
“Persetan
dengan anak itu,” geramnya.
“Dan persetan
dengan Banyubiru.”
“Bagaimana
kalau Ki Ageng Sora Dipayana bertanya tentang Arya?” tanya Galunggung.
“Pergilah
kepada Eyang Sora Dipayana, katakan kalau Arya tak dapat kami ketemukan,”
perintah Sawung Sariti. Dan Galunggung pun segera pergi.
MALAM berjalan
terus. Semakin lama menjadi semakin dalam. Bintang-bintang telah jauh berkisar
dari tempatnya. Sementara itu, di jalan yang berbatu-batu menuju ke Banyubiru
berderak-deraklah suara kaki tiga ekor kuda yang dipacu seperti angin. Yang
terdepan adalah Arya Salaka. Beberapa langkah di belakangnya adalah Mahesa
Jenar, sedang rapat di belakangnya adalah Kebo Kanigara. Betapa hati Arya
Salaka menjadi gelisah dan marah mendengar laporan pengawas dari Pamingit itu.
Ia tidak tahu kepada siapa ia harus marah. Mungkin kesalahannya terletak pada
Sawung Sariti. Atau pada waktu. Mungkin Sawung Sariti sudah mencarinya untuk
menyampaikan khabar itu, tetapi tidak segera ditemuinya. Semakin dalam ia
berpikir tentang gerombolan berkuda yang di antaranya terdapat Pasingsingan,
semakin gelisahlah hatinya. Karena itu kudanya dipacu semakin cepat. Ia ingin
segara sampai. Ketika ia menoleh, dilihatnya dua orang berkuda menyusulnya. Ia
berbesar hati. Keduanya pasti gurunya beserta Kebo Kanigara. Ia yakin bahwa
kedua orang itu akan mengikutinya, apalagi keduanya mendengar sendiri, bahwa
yang pergi ke Banyubiru di antara orang-orang golongan hitam itu terdapat
Pasingsingan. Sedangkan di Banyubiru ada Rara Wilis dan Endang Widuri. Arya
Salaka tahu benar, bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berkepentingan atas
keduanya. Mahesa Jenar pasti tidak mau kehilangan Rara Wilis, sedang Kebo
Kanigara akan mencemaskan nasib putrinya. Tetapi kenapa ia sendiri menjadi
sangat cemas? Siapakah yang ditinggalkan di Banyubiru? Paman Mantingan atau
Paman Wirasaba, atau Eyang Wanamerta? Bukan itulah yang pertama-tama kali
diingatnya. Tetapi Banyubiru. Mungkin orang-orang dari golongan hitam itu akan
membakar rumahnya dan rumah-rumah rakyat yang tak bersalah. Melepaskan
dendamnya kepada orang- orang yang dijumpainya. Kepada Eyang Wanamerta, Paman
Mantingan, Wirasaba atau Endang Widuri.
Dada Arya
tiba-tiba berdesir keras. Dalam keadaan yang demikian ia tidak sempat menyadari
bahwa sebenarnya yang mendorongnya untuk memacu kudanya lebih cepat adalah
kecemasan atas nasib gadis nakal yang aneh itu. Di malam yang gelap itu Arya
Salaka memacu kudanya habis-habisan. Tidak diingatnya bahaya yang menghadang di
hadapannya. Lereng-lereng pegunungan dan tebing-tebing yang curam. Dan
sebenarnyalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, disamping kesadarannya akan kewajibannya,
melindungi Arya Salaka dalam perjuangannya melawan kejahatan dan ketamakan,
mereka mempunyai kepentingan masing-masing. Rara Wilis dan Endang Widuri telah
memaksa mereka untuk cemas dan gelisah. Suara raung anjing-anjing liar
mengumandang dari tebing-tebing pegunungan. Dan malam menjadi semakin garang
karenanya. Desah angin pegunungan yang mengalir lewat jurang-jurang yang dalam,
terdengar seperti bunyi siul raksasa yang sedang bermalas-malas. Suara-suara
malam itu telah membuat Arya menjadi semakin gelisah. Ia menjadi jengkel kepada
kudanya, yang seolah-olah berlari dengan segannya, meskipun tumbuh-tumbuhan dan
batu-batu besar yang menjorok di tepi- tepi jalan tampak seperti hanyut ke
belakang secepat banjir. Namun hatinya ternyata jauh lebih cepat dari kaki-kaki
kudanya itu. Dan Banyubiru terbayang di serambi matanya seperti
menggapai-gapaikan tangan-tangannya, memanggilnya,
“Arya,
tolonglah aku….” Tetapi suara itu seperti seorang gadis. Gadis yang dikenalnya
baik-baik, bersenjata rantai perak dengan bandul Cakra yang bercahaya-cahaya.
Tetapi senjata yang sakti itu tak berarti di mata orang yang berjubah abu-abu,
bertopeng kasar dan menamakan dirinya Pasingsingan. Tiba-tiba iapun tak akan
berarti pula. Ia pernah mendengar Mahesa Jenar berceritera, bahwa ayahnya Ki
Ageng Gajah Sora yang sedang marahpun tak dapat berbuat sesuatu melawan hantu
berjubah abu-abu itu. Ayahnya itu hanya mampu menyobek ujung jubahnya dengan
tombak Kyai Bancak itu di Alun-alun Banyubiru. Tanpa disengaja, sekali lagi ia
menoleh. Dan dengan serta merta ia bergumam, “Guruku telah mampu membunuh Sima
Rodra dari Lodaya, sedang Paman Kebo Kanigara berhasil membinasakan Nagapasa.
Apa artinya Pasingsingan bagi mereka?”
“Tetapi….”
Hatinya membantah sendiri,
“Kalau segala
sesuatu telah terjadi?” Kembali mengiang di telinganya sebuah jerit nyaring.
Arya Salaka terkejut. Namun segera ia sadar, bahwa suara itu hanyalah pekik
burung hantu yang sedang berkelahi. Terdengar gigi Arya gemeretak. Dan kembali
malam menjadi bertambah sepi. Dan malam yang sepi itu benar-benar sedang
merajai permukaan bumi. Pangrantunan, Banjar Gede, Pamingit, Gemawang dan
seluruh wajah bumi menjadi kelam. Juga Banyubiru. Lereng bukit Telamaya itupun,
ditelan oleh hitamnya malam. Sebagian besar dari penduduknya sedang lelap
dipeluk mimpi. Mereka telah merasa, betapa mereka terhindar dari bencana.
Meskipun ada di antara mereka yang sedang mengenangkan nasib suaminya,
anak-anaknya atau kekasihnya yang sedang berjuang di Pamingit. Sedang para
penjagapun merasa betapa tenangnya malam.
Pendapa
Banyubiru pun tampak sepi. Sepasang obor masih tampak menyala. Api yang
menjalar berlenggang dengan malasnya dibelai angin malam.
DUA orang
penjaga berdiri menahan kantuknya di regol halaman. Sedang beberapa orang lain
duduk di gardu dengan mata yang redup. Sekali-kali Wanamerta yang masih duduk
di pendapa bersama Ki Dalang Mantingan tampak menguap.
“Beristirahatlah
Paman.”
Terdengar
suara Mantingan lemah.
“Malam terlalu
dingin,” gumam orang tua itu.
“Ya,” sahut
Mantingan.
“Tetapi hatiku
gelisah.” Orang tua itu meneruskan.
Mantingan
tidak menjawab. Tetapi pandangan matanya terlempar ke halaman, menembus kelam.
Perlahan-lahan Mantingan menarik nafas dalam.
“Apakah Angger
Wilis dan cucuku Widuri telah tidur?” tanya Wanamerta.
“Mungkin,”
jawab Mantingan.
“Baru saja aku
selesai berceritera. Anak itu minta aku berceritera tentang Gatotkaca, Pergiwa
dan Pergiwati.” Wanamerta tersenyum. Tetapi ia berdiam diri. Yang terdengar
kemudian adalah suara seruling. Sayup-sayup dibawa angin. Namun suaranya
demikian merdu. Seirama dengan heningnya malam.
“Seruling
Kakang Wirasaba,” desis Mantingan.
“Pantaslah ia
bergelar Seruling Gading,” sahut Wanamerta.
Sebagai biasa
Wirasaba berlagu melampaui batas gending-gending yang ada. Lagunya seperti lagu
angin malam. Hening sepi, namun penuh kemesraan hati manusia.
“Di manakah
Angger Wirasaba?” tanya Wanamerta.
“Di gardu
belakang. Bersama-sama Sendang Parapat,” jawab Mantingan. Wanamerta
mengangguk-angguk. Namun kegelisahan di hatinya semakin terasa. Sebagai orang
tua, firasatnya bertambah hari bertambah tajam. Ia terkejut ketika tiba-tiba
daun-daun sawo di halaman bergoyang ditiup angin yang bertambah kencang.
Mantingan mengikuti arah pandangan Wanamerta. Tetapi yang dilihatnya pun
hanyalah daun sawo yang bergerak-gerak.
“Aneh,” gumam
Wanamerta.
“Apakah yang
aneh?” tanya Mantingan.
“Aku tidak
tahu. Tetapi aku menjadi gelisah seperti daun-daun sawo di halaman itu,” jawab
Wanamerta. Mantingan mengerutkan keningnya. Terasa pula hatinya berdesir halus.
“Sepi yang
menggelisahkan,” sahutnya. Suara seruling Wirasaba pun tiba-tiba berubah.
Nadanya menjadi bertambah tinggi. Terasa betapa hatinya menjadi gelisah. Namun
betapa merdunya suara seruling itu. Tetapi sesaat kemudian suara seruling itu
berhenti. Mantingan mengangkat wajahnya.
“Berhenti,”
desisnya.
“Ya,” sahut
Wanamerta,
“Agaknya
Angger Wirasaba kedinginan.”
Mantingan
mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Hanya matanya yang kembali beredar
mondar-mandir di halaman. Karena hatinya yang gelisah, pandangannya pun menjadi
gelisah. Mantingan mencoba mengamati setiap benda yang ada di halaman. Pohon
sawo, pohon jambu, dinding-dinding halaman, pohon-pohon kelapa. Semuanya diam
beku. Yang bergerak-gerak hanyalah para penjaga yang berjalan hilir mudik di
luar regol. Tiba-tiba keduanya terkejut ketika terdengar langkah naik ke
pendapa. Ketika menoleh, dilihatnya Ki Wirasaba berjalan dengan malasnya
menjinjing kapaknya. Di belakangnya berjalan Sedang Parapat yang telah hampir
sembuh. Mantingan dan Wanamerta menarik nafas panjang.
“Ah….” gumam
Wanamerta.
“Kenapa aku
berubah menjadi penakut?”
“Kenapa…?”
tanya Wirasaba sambil duduk di samping mereka.
“Aku terkejut
mendengar langkah Angger seperti mendengar langkah hantu,” jawab Wanamerta.
Wirasaba
mengangguk-angguk lemah. Hatinya pun dirayapi perasaan-perasaan aneh.
Serulingnya terselip di ikat pinggangnya, sedang tangannya menggenggam
kapaknya. Tiba-tiba mata Mantingan sekali lagi menatap daun-daun sawo yang
bergerak-gerak ditiup angin malam. Kemudian matanya menatap daun-daun jambu di
sebelahnya. Aneh. Daun jambu itu tidak bergoyang terlalu keras seperti daun-
daun sawo itu. Karena itu ia menjadi curiga. Ketika sekali lagi ia melihat daun
itu bergerak-gerak, dengan serta merta ia berdiri dengan trisulanya di tangan,
kemudian dengan tangkasnya ia meloncat sambil berkata lantang, “Siapakah yang
mencoba membuat permainan itu?” Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat pun
terkejut ketika mereka melihat Mantingan meloncat. Mereka masih belum tahu apa
yang dimaksudnya. Tetapi ketika pandangan mereka mengikuti arah pandangan mata
Mantingan, merekapun melihat bahwa daun-daun sawo itu bergoyang-goyang.
Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang menyeramkan dari pohon sawo itu.
Suara yang sudah mereka kenal baik-baik. Para penjaga dan para pengawalpun
terkejut pula. Bahkan Mantingan terpaksa menghentikan langkahnya.
“Lawa Ijo,”
gumamnya.
Sesaat
kemudian dilihatnya bayangan yang melontar turun dari pohon sawo di halaman
itu. Seorang yang bertubuh tinggi besar dan berdada tegak. Sekali lagi
Mantingan terkejut melihat orang itu. Bukan Lawa Ijo, tetapi agaknya ia pernah
melihatnya. Tiba-tiba ia menjadi ngeri. Bukankah Watu Gunung telah dibinasakan
oleh Mahesa Jenar? Apakah ia dapat hidup kembali…? Namun sebelum ia sempat
bertanya terdengar Wirasaba menggeram,
“Hem, kau
Wadas Gunung.”
MANTINGAN
menoleh ke arah Wirasaba. Ia mengulang perlahan,
“Wadas Gunung.
Siapakah dia?”
“Adik
seperguruan Lawa Ijo,” jawab Wirasaba.
“Watu Gunung
yang kau maksud…?” Ia bertanya pula. Wirasaba menggeleng.
“Bukan.
Saudara kembarnya. Orang ini pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di
Pliridan bersama-sama dengan 20 orang kawannya.”
Sementara itu
Wadas Gunung telah berjalan beberapa langkah maju. Sambil tertawa pendek ia
berkata,
“Nah, kau
orang berkapak yang membantu Mahesa Jenar di Pliridan dahulu? Kau masih
mengenal aku dengan baik.”
Wirasaba juga
maju.
“Kau datang
pula ke Gedong Songo beberapa hari yang lalu,” pikirnya.
Dan kapaknya
tiba-tiba bergetar di tangannya. Ketika ia hampir meloncat menyerbu, terdengar
Wanamerta yang tua itu berbisik,
“Hati-hatilah
Angger. Ia pasti tidak datang sendiri.”
Belum lagi
Wanamerta selesai berkata, terdengarlah suara kentongan bertalu-talu tiga kali
berturut-turut.
“Kebakaran,”
desis Wanamerta. Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya,
“Kebakaran.
Jangan terkejut. Banyubiru telah dikepung.”
Wajah Sendang
Parapat menjadi merah. Ia harus segera menggerakkan segenap laskar cadangan
yang ada. Tetapi ketika ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun dari
pendapa, muncullah seorang lagi di hadapannya. Sendang tertegun. Ia belum
pernah melihat orang itu. Seorang yang berwajah tampan, berkulit kuning dan
berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat warna hitam.
“Siapakah
kau…?” Tiba-tiba Sendang Parapat bertanya.
Orang itu
tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya,
“Jangan
risaukan siapa aku.” Sendang Parapat menjadi marah. Tetapi ia tidak mendapat
banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja dari pendapa,
“Bunyikan
tanda, gerakkan segenap laskar cadangan.”
Sesaat
kemudian, orang-orang di gardu penjagaan menjadi sadar akan bahaya yang datang.
Seseorang kemudian meloncat memukul kentongan titir. Tetapi suara titir itu
terputus ketika tiba-tiba pemukul kentongan itu terpelanting jatuh. Sendang
Parapat terkejut. Karena itu ia menjadi semakin marah. Untunglah bahwa suara
titir yang pendek itu telah terdengar dari gardu di luar halaman yang terdekat,
sehingga suara titir itupun segera bersambut. Apalagi ketika seorang yang lain
segera merebut pemukul kentongan dari tangan orang pertama. Kemudian dengan
tanpa takut-takut iapun mengulang memukul kentongan itu dengan irama yang sama,
titir. Namun orang kedua inipun kemudian terjatuh pula dengan luka di
kepalanya. Sebuah batu telah membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar ke
segenap penjuru Banyubiru. Banyubiru yang sedang tidur lelap itu menjadi
terbangun dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali berturut-turut telah
mengejutkan hati mereka. Apalagi kemudian terdengar bunyi titir yang merayap-rayap
di seluruh lereng bukit itu. Laskar Banyubiru pun menjadi terkejut. Untunglah
bahwa mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu yang singkat
mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ketika terdengar suara
titir bersahutan, sadarlah mereka bahwa bahaya yang besar telah datang. Para
pemimpin kelompok itupun segera tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari
laskar itu segera berangkat dengan tergesa-gesa ke tempat kebakaran. Orang yang
berwajah tampan itupun mengangkat wajahnya ketika suara titir telah menjalar ke
segenap arah. Ia mengerutkan keningnya, kemudian katanya kepada Sendang
Parapat,
“Jangan
berdiri saja di situ, pergilah supaya umurmu panjang.” Betapa marahnya Sendang
Parapat. Segera ia menarik pedangnya.
Dengan penuh
nafsu ia berhasrat menyerang orang itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika
terdengar suara halus di belakangnya,
“Sendang,
jangan tergesa-gesa. Ia bukan lawanmu.”
Sendang
Parapat menghentikan langkahnya. Iapun segera menoleh. Bahkan semua orang
memandang ke arah suara itu. Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu.
Mula-mula ia menjadi ngeri melihat kehadiran Jaka Soka. Bukan karena ia takut
seandainya ia harus bertempur. Tetapi sebagai seorang gadis, ia merasa bahwa
Jaka Soka adalah orang yang pernah menjadi gila karena dirinya. Ketika Jaka
Soka melihat gadis itu, hatinya bergetar cepat. Ia masih belum dapat melupakan,
betapa wajah gadis itu selalu terbayang.
Karena itu
tiba-tiba kembali ia tersenyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba saja Jaka Soka
merasakan adanya suatu kurnia bagi dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama
beberapa orang dan laskar golongan hitam, adalah karena dendamnya yang
meluap-luap. Ia ingin membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya, sebagai ganti
kematian gurunya. Tetapi tiba-tiba ia bertemu dengan gadis ini. Matanya yang
redup itupun menjadi bersinar-sinar. Dan pandangan mata yang demikian itulah
yang menyebabkan seluruh bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis itu
merasa, bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta mengamankan rumah ini,
sebagai lambang pemerintahan Banyubiru. Karena itu iapun melangkah maju sambil
berkata,
“Jaka Soka,
apakah kerjamu di sini? Apakah pekerjaanmu di Pamingit sudah selesai…?”
Wadas Gunung
pun menjadi keheran-heranan. Apakah yang dilakukan oleh Jaka Soka itu?
Dimanakah ia berkenalan dengan gadis manis yang menyapanya ‘Hem, agaknya kau
mendapat pekerjaan baru di sini Jaka Soka’.
JAKA SOKA
tersenyum, jawabnya,
“Bukan Wadas
Gunung. Bukan pekerjaan baru. Aku sudah berjanji akan datang kepadanya beberapa
tahun yang lampau. Dan agaknya iapun tetap menanti.”
Wajah Rara
Wilis menjadi merah. Sekali dilayangkan pandangannya sekeliling pendapa itu. Di
situ masih berdiri Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat. Sedang
di bawah tangga berdiri Wadas Gunung dan di sebelah lain Jaka Soka. Ketika ia
melihat para penjaga yang berdiri tidak lebih dari lima orang itupun telah
bersiap pula. Ia menarik nafas panjang. Kalau hanya kedua orang itu saja,
mungkin masih akan dapat diatasi. Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara
yang seram dari dalam gelap. Lebih seram dari suara Wadas Gunung. Kemudian
disusul dengan bayangan yang remang-remang semakin lama semakin jelas. Lawa
Ijo. Mantingan menarik nafas. Agaknya bahaya yang mendatang benar-benar
menggetarkan dadanya. Lawa IJo itu kemudian berdiri saja disamping Jaka Soka.
Sambil tertawa pendek ia berkata,
“Jaka Soka.
Apa kau masih mengharapkan gadis itu?”
“Ia tetap
menanti aku dengan setia,” jawab Jaka Soka. Lawa Ijo menjadi marah.
Namun gadis
itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah suara gadis lain, Endang Widuri.
Katanya,
“Benar Paman
Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab sepeninggalmu, kuda-kuda kami menjadi
kekurangan rumput.”
Jaka Soka
mengerutkan keningnya. Ia memandang gadis yang berdiri di pintu itu dengan
sinar mata yang seram.
Tetapi Lawa
Ijo tertawa mendengar jawaban itu. Katanya,
“Ha, dengar.
Apa yang dikatakan gadis nakal itu. Dan barangkali memang sepantasnya kau
menjadi pekatiknya, mencari rumput bagi kuda-kudanya.”
Jaka Soka
pernah bertempur dengan Widuri di Gedangan. Pada saat itu ia benar-benar
keheranan, bahwa gadis sebesar itu telah mampu bertempur sedemikian hebatnya.
Dan kini tiba-tiba gadis itu muncul kembali. Karena itu Jaka Soka menjadi tak
senang sama sekali, katanya,
“He monyet
kecil. Jangan ganggu aku lagi. Aku benar-benar akan membunuhmu.”
Ketika
mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa, sedang Lawa Ijopun tertawa
pula.
Terdengar Lawa
Ijo menyahut,
“Jangan marah
kepada gadis kecil itu Soka. Ia berkata sebenarnya.”
Mata Jaka Soka
menjadi semakin seram. Dengan tajamnya ia memandang gadis kecil yang nakal itu.
Namun ia tidak bisa meloncat saja kepadanya. Di hadapannya berdiri Rara Wilis.
Kalau saja Rara Wilis lima enam tahun yang lampau, mungkin ia tidak perlu
memperhitungkan dalam tindakan-tindakannya. Tetapi Rara Wilis yang berdiri di
hadapannya dengan pedang yang tergantung di lambungnya, adalah Rara Wilis yang
telah berhasil membunuh istri Sima Rodra. Karena itu Jaka Soka masih berdiri
saja di tempatnya. Sedangkan Endang Widuri, betapapun nakalnya, namun ia tahu
juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu benar-benar dalam bahaya. Karena itu
rantainya sudah tidak tergantung lagi di lehernya, tetapi dengan jari-jarinya
yang kecil, ia bermain-main dengan senjata itu. Bahkan cakranya pun telah
melekat di ujungnya. Benda yang berkiliat-kilat, berbentuk bulat bergerigi itu
tidak lepas dari perhatian Jaka Soka. Senjata yang demikian benar-benar
berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat hitamnya serta pedang yang terselip
di dalamnya. Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu digetarkan oleh dua
bayangan yang datang memasuki regol halaman. Ketika penjaga-penjaga di regol
halaman itu berusaha mencegahnya, mereka terpelanting jatuh, dan tidak bangun
kembali. Para penjaga yang lain pun terkejut.
Tetapi mereka
terpaku di tempatnya ketika mereka melihat orang yang datang itu. Yang seorang
berjubah abu-abu bertopeng jelek, dan seorang bertubuh tinggi besar dan
berkepala besar pula. Mereka adalah Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Kedua orang
itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi kemudian terdengar suaranya
menggeram.
“Lawa Ijo.
Permainan apa yang sedang kau lakukan? Kau masih berdiri saja mengagumi
kecantikan gadis-gadis itu? Waktu kita tidak banyak. Aku telah memberikan
petunjuk-petunjuk bagaimana laskarmu menghindari orang-orang Banyubiru yang
sudah menjadi gila di tempat kebakaran. Waktu kita tidak banyak.”
Lawa Ijo
sadar, bahwa seseorang telah melihat mereka di Pamingit. Sehingga dengan
demikian ada kemungkinan mereka menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata,
“Baiklah Guru.
Dan apakah yang akan Guru lakukan sekarang?”
“Bunuhlah
orang-orang ini semuanya. Kecuali kalau Jaka Soka masih menghendaki gadis itu.
Tetapi buatlah ia tidak berdaya. Aku akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra
dan Sabuk Inten benar-benar masih ada di sini.”
Terdengar
Mantingan dan Wirasaba menggeram. Namun ia sadar betapa dahsyatnya kekuatan
yang datang itu. Ia sadar pula, bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu cara
untuk memancing laskar Banyubiru. Pasingsingan dan Sura Sarunggi itu tidak
memperhatikan apa-apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa dengan
seenaknya.
KETIKA
Pasingsingan dan Sura Sarunggi berjalan melintasi pendapa, tak seorangpun
berusaha mencegahnya. Mereka memandang saja seperti memandang hantu. Mantingan
dengan trisula di tangannya, hanya gemetar saja di tempatnya, sedang Wirasaba
tegak seperti patung dengan kapak di tangan. Meskipun tangan Rara Wilis sudah
melekat di hulu pedangnya, ia pun tidak berbuat apa-apa. Kali ini Widuri pun
tidak berani bermain-main. Ia telah pernah melihat hantu berjubah dan bertopeng
kasar itu bertempur melawan Mahesa Jenar di Gedong Songo. Karena itu ketika
kedua orang itu berjalan ke pintu, Widuri menggeser diri. Sesaat Pasingsingan
berhenti pula dan memandangi wajah gadis yang jernih itu. Tanpa disengaja ia
kemudian menoleh kepada Lawa Ijo.
No comments:
Post a Comment