Bagian 077


SAWUNG SARITI menjadi bertambah bingung. Adakah ayahnya bersungguh-sungguh, ataukah ayahnya hanya ingin menghilangkan kesan bahwa ayahnya akan berterima kasih kepadanya. Tetapi tiba-tiba ayahnya bersikap lain. Namun Sawung Sariti adalah anak yang cerdik. Ia tidak kehilangan akal. Karena itu ia menjawab,
“Aku belum selesai ayah. Aku baru menyampaikan sebagian.”
“Berapa lama kau perlukan waktu untuk menyampaikan laporan yang dapat kau ucapkan dengan beberapa kalimat saja?” bentak ayahnya.
“Sudahlah Lembu Sora.” Ki Ageng Sora menengahi,
“Biarlah anakmu meneruskan laporannya. Memang ia belum lama datang kepadaku.”
Tetapi kemarahan Lembu Sora telah memenuhi dadanya. Kemarahan yang bercampur-baur dengan penyesalan dan perasaan yang menekan hatinya. Karena itu ia berkata lagi,
“Jadi kau belum lama menghadap eyangmu?”
Sawung Sariti tidak tahu maksud ayahnya, karena itu ia menjawab,
“Ya ayah.”
“Ke mana kau selama ini?” desak Lembu Sora. 

Sawung Sariti menjadi ragu. Ia tidak berani berkata kepada ayahnya, dari mana ia pergi, karena ada eyangnya. Biasanya ia tidak perlu berahasia kepada ayahnya, tetapi terhadap eyangnya, Sawung Sariti tidak berani berterus terang. Karena itu tanpa disengaja ia berpaling kepada Galunggung, seakan-akan minta supaya Galunggung menjawab pertanyaan ayahnya itu. Ternyata Galunggungpun mengerti pula, karena itu ia menjawab,
“Kami dari nganglang daerah medan, Ki Ageng.”
“Medan mana?” Lembu Sora mendesak terus.
Galunggung pun menjadi ragu. Kenapa Ki Ageng Lembu Sora tidak seperti biasa. Pada saat-saat lampau ia tidak pernah mengurus ke mana ia pergi, dan apa saja yang dilakukan.
Tiba-tiba seperti disambar petir Sawung Sariti mendengar ayahnya berteriak,
“Kau pergi ke rumah Badra Klenteng kan…?”

Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya, seperti mimpi ia mendengar kata-kata Lembu Sora tentang cucunya itu. Mulut Sawung Sariti tiba-tiba seperti terkunci. Ayahnya benar-benar marah kepadanya. Tidak kepada orang lain. Kemarahan yang belum pernah dialaminya. Namun Galunggung tiba-tiba berkata membela diri,
“Tidak, Ki Ageng. Siapakah yang mengatakan?” Mata Lembu Sora bertambah menyala,
“Kau mau bohong Galunggung. Kau kira aku tidak tahu?”
“Demi Allah,” sahut Galunggung, tetapi ia tidak sempat melanjutkan kata-katanya, karena tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora meloncat dengan garangnya, dan menampar mulut Galunggung sambil berteriak,
“Jangan sebut kata-kata itu. Mulutmu terlalu kotor untuk mengucapkannya.”
Galunggung terdorong ke samping. Hampir saja ia jatuh kalau tubuhnya tidak membentur dinding. Ketika ia berusaha tegak kembali, terasa cairan yang hangat meleleh dari mulutnya. Darah merah menyala, seperti kemarahan yang menyala di dalam dadanya. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu.
“Lembu Sora…” Ki Ageng Sora Dipayana memanggil anaknya,
“Duduklah. Biarlah aku bertanya kepada mereka.”
Nafas Lembu Sora menjadi semakin memburu. Tetapi ia duduk pula di samping ayahnya. Sawung Sariti sama sekali tidak berani menatap wajah ayahnya, apalagi eyangnya yang telah mendengar bahwa ia baru saja pergi ke rumah Badra Klenteng. Tiba-tiba merayaplah dendam dadanya kepada orang yang menjumpainya waktu itu. Pengawas yang melaporkan peristiwa orang-orang golongan hitam itu. Demikian juga Galunggung. Berkatalah di dalam hatinya,
“Kalau aku temui orang itu, aku sobek mulutnya dan akan aku kubur ia hidup-hidup.”

Ketika Galunggung pun telah duduk kembali dan mengusap darah yang meleleh dari mulutnya dengan lengan bajunya, terdengar Ki Ageng Sora Dipayana berkata sareh,
“Sudahlah Lembu Sora, segala sesuatu bukanlah terjadi dengan tiba-tiba. Apalagi watak dan kelakuan. Sekarang tenangkan hatimu. Hari masih panjang. Mudah-mudahan aku mengalami masa-masa yang cerah. Masa-masa yang cerah bukan bagiku sendiri, tetapi bagimu, bagi cucuku Sawung Sariti, dan bagi cucuku Arya Salaka. Kesempatan untuk membersihkan diri masih terbuka, apalagi bagi anak semuda cucuku Sawung Sariti.”
Lembu Sora menundukkan wajahnya. Sekali lagi ia terlempar pada kenyataan akan kesalahan diri. Penyesalan yang memukul-mukul dinding hatinya menjadi semakin deras.
“Nah, Sawung Sariti…” Ki Ageng Sora Dipayana melanjutkan,
“Apakah yang kau katakan tentang orang-orang dari golongan hitam itu?”
Sawung Sariti mengangkat wajahnya, namun segera tertunduk kembali. Perlahan-lahan terdengar ia berkata dengan suara yang gemetar penuh dendam kepada pengawas yang telah melaporkan keadaan,
“Orang-orang dari golongan hitam itu pergi ke Banyubiru, Eyang.”
Ki Ageng Sora Dipayana terkejut.
“Ke Banyubiru?” ulangnya.
“Ya,” jawab Sawung Sariti yang kemudian mengulangi laporan yang didengarnya dari pengawas itu.
“Kapan kau dengar laporan itu?” tanya Ki Ageng Sora Dipayana. “Beberapa saat yang lalu,” jawab Sawung Sariti.
“Kenapa baru sekarang kau sampaikan kepada eyangmu?” bentak Lembu Sora. Sawung Sariti tidak menjawab. Galunggung pun tidak. Tetapi seperti berjanji mereka berteriak di dalam hati,
“Mati kau pengawas gila.”

Ki Ageng Sora Dipayana menjadi gelisah. Kemudian kepada Sawung Sariti ia berkata,
“Panggillah kakakmu Arya Salaka.”
Sawung Sariti ragu sebentar, kemudian ia menjawab,
“Baiklah Eyang.” Sesaat kemudian iapun berdiri, dan bersama-sama dengan Galunggung ia meninggalkan rumah itu. Ketika mereka keluar dari pintu, mereka melihat Wulungan berdiri tegak dengan tangan bersilang dada. Sawung Sariti berhenti sejenak, kemudian ia bertanya,
“Kau lihat Kakang Arya?” Wulungan menggelengkan kepala.
“Tidak Angger.” Kemudian Sawung Sariti melangkah pula dengan tergesa-gesa. Galunggung sama sekali tidak mengucapkan sepatah katapun. Ketika mereka telah menjauh, Wulungan pun pergi di belakang mereka. Di dalam perkemahan itu Lembu Sora berkata,
“Tak akan dijumpai Arya di sini.”
Ki Ageng Sora Dipayana mengerutkan keningnya. Sambil menoleh kepada anaknya ia bertanya,
“Kenapa?”
“Arya telah pergi ke Banyubiru belum lama,” jawab Lembu Sora.
“He…?” Ki Ageng Sora Dipayana terkejut.
“Sendiri?”
“Tidak. Dengan Adi Mahesa Jenar dan Kakang Putut Karang Jati,” sahut Lembu Sora.
“Mengapa?” tanya ayahnya pula.
“Ia sudah tahu apa yang terjadi,” jawab Lembu Sora.

KI AGENG Sora Dipayana mengangguk-anggukkan kepalanya perlahan-lahan. Kemudian ia bertanya pula,
“Dari mana anak itu mendengar?”
“Langsung dari pengawas itu,” jawab Lembu Sora. Diceriterakannya apa yang diketahuinya mengenai pengawas itu, serta kelambatan Sawung Sariti. Diceriterakannya pula bagaimana Arya Salaka langsung meloncat ke kandang kuda dengan tombaknya dalam genggaman.
“Anak itu sadar akan tanggungjawabnya,” desis kakeknya.
“Namun sayang ia terlalu tergesa-gesa. Bukankah yang pergi ke Banyubiru itu Pasingsingan? Untunglah Anakmas Mahesa Jenar dan anak Putut Karangjati mengetahuinya, sehingga mereka segera menyusul.”
Kepada ayahnya, Lembu Sora menyampaikan pesan Mahesa Jenar, bahwa mereka terpaksa mendahului perintah.
“Mereka tahu benar apa yang harus mereka lakukan,” gumam Ki Ageng Sora Dipayana.
“Mereka orang-orang yang memiliki firasat dan daya pengamatan melampaui kami semuanya di sini. Bahkan mereka adalah orang-orang sakti yang tak ada bandingnya di antara kita.”
“Sayang, laporan yang sampai kepada mereka agak terlambat,” desah Lembu Sora.
“Mudah-mudahan segala sesuatu tidak menjadi lebih buruk karena pokal anakku. Arya dan Banyubiru telah banyak mengalami kesusahan dan kerusakan karena pamrih yang berlebih-lebihan, dan apakah sekarang harus mengalami bencana yang lebih dahsyat lagi?”
“Tenanglah Lembu Sora,” ayahnya menenangkan.
“Mahesa Jenar dan Putut Karangjati akan dapat melakukan pekerjaannya dengan baik. Sekarang beristirahatlah. Kita belum tahu apa yang harus kita lakukan besok pagi. Suruhlah Sawung Sariti beristirahat pula. Demikian juga seluruh laskarmu. Malam tinggal setengahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas dan Titis agaknya telah tidur nyenyak pula.”
“Baiklah ayah,” jawab Lembu Sora sambil berdiri. Kemudian iapun melangkah pergi ke pondoknya untuk beristirahat, meskipun kepalanya masih dipenuhi oleh penyesalan yang melonjak-lonjak. Setiap ia berusaha melupakan, setiap kali dadanya bergetar, kenapa bayang-bayang masa lampaunya datang berturut-turut. Namun demikian ia berusaha untuk beristirahat dengan merebahkan dirinya di atas bale-bale bambu yang direntangi tikar mendong.

Pada saat yang bersamaan, Sawung Sariti sedang mondar-mandir mencari Arya Salaka. Namun sebenarnya yang ingin dijumpainya pertama-tama adalah pengawal yang dianggapnya tumbak-cucukan itu, yang suka melaporkan kesalahan orang lain. Sawung Sariti dan Galunggung sama sekali tidak menyesalkan perbuatan mereka, tetapi mereka menyesalkan pengawas itu. Ketika tiba-tiba mereka melihat pengawas itu duduk bersandar batang nyiur di antara kawan-kawannya yang berbaring tidur, Sawung Sariti menggeram,
“Jahanam.” Ia mengumpat. Kemudian dengan satu loncatan ia telah berdiri di hadapan pengawas itu sambil membentak, “He bangsat kau masih di sini?”
Pengawas itu terkejut, sehingga ia meloncat berdiri.
“Kenapa kau tidak kembali ke tugasmu?” bentak Sawung Sariti.
“Seseorang telah menggantikan tugasku,” jawab orang itu kecemasan.
“Bohong!” sanggah Sawung Sariti.
Orang itu menjadi bingung.
“Benar angger,” jawabnya.
“Aku telah bebas dari tugasku itu.”
“Ha, agaknya kau lebih senang di sini. Mengadu domba antara aku dengan Kakang Arya Salaka,” bentak Sawung Sariti. Orang itu mula-mula tidak mengerti maksud Sawung Sariti itu. Tetapi kemudian disadarinya apa yang terjadi. Sawung Sariti agaknya menjadi marah kepadanya, karena ia telah berkata sebenarnya kepada Ki Ageng Lembu Sora. Mungkin Ki Ageng Lembu Sora itu telah memarahinya. Karena itu ia berkata,
“Angger, jangan menyalahkan aku kalau aku terpaksa mengatakan apa yang aku lihat demi kewajibanku.”
“Pandainya tikus ini,” potong Sawung Sariti.
“Kau bisa berkata hijau atas warna merah, dan kau bisa berkata merah atas warna hijau.”
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Apa yang harus dikatakan? Ia menjadi semakin cemas ketika tiba-tiba Galunggung melangkah maju dengan mata yang menyala-nyala. Katanya,
“Lihatlah, karena mulutmu yang lancang itu, aku ditampar oleh Ki Ageng Lembu Sora.”

Pengawas itu masih tetap berdiam diri. Beberapa orang kawan-kawannya menjadi terbangun karenanya. Tetapi tak seorangpun yang berani mencampurinya. Tiba-tiba Galunggung itu berkata,
“Ikuti aku.”
“Ke mana?” orang itu menjadi ketakutan.
“Ikuti aku!” bentak Galunggung.
Orang itu tidak berani membantah lagi. Ia berjalan saja di belakang Galunggung dan di belakangnya berjalan Sawung Sariti. Dengan gelisah ia mencoba menebak, apakah yang akan dilakukan atas dirinya. Ia menjadi ragu-ragu, apakah kebenaran yang diucapkannya itu dapat diputar balik sedemikian rupa sehingga ia perlu mendapat hukuman. Galunggung berjalan semakin lama semakin cepat. Mereka menerobos pagar-pagar halaman dan meloncati dinding desa. Akhirnya mereka sampai di gerumbul-gerumbul kecil di samping desa Pangrantunan itu. Orang itu menjadi semakin cemas. Ketika ia melihat Gunung Merbabu dalam keremangan malam, tampaknya seperti raksasa yang akan menerkamnya.
Orang itu menjadi gemetar ketika tiba-tiba Galunggung mencabut pedangnya sambil tertawa menakutkan, katanya,
“Mulutmulah yang pertama-tama harus disobek, lalu kau akan aku kubur hidup-hidup.”
“Apa salahku?” tanya orang itu gemetar.
“Seandainya aku berbuat salah karena laporanku, adalah pantas aku dihukum mati dengan cara demikian. Apalagi aku telah berusaha melakukan pekerjaanku sebaik-baiknya.” 

SAWUNG SARITI menjawab,
“Baik bagimu tidak selalu baik bagi orang lain. Dengan perbuatanmu itu, nanti kalau terjadi sesuatu di Banyubiru, akulah yang dipersalahkan. Karena itu, kau harus dilenyapkan. Dengan demikian, di hadapan Eyang Sora Dipayana, tak ada seorangpun yang dapat membuktikan kesalahanku.”
Pengawas yang malang itu menjadi semakin ketakutan. Ia tidak mengerti kenapa kebenaran sama sekali tidak menjadi pertimbangan Sawung Sariti, yang hanya mengenal kebenaran dari seginya sendiri. Meskipun demikian, ia masih berusaha untuk membela diri.
“Angger Sawung Sariti. Kalau angger mengambil keputusan untuk menghukum aku dengan kesaksianku, maka kesaksianku itu telah diketahui pula oleh Ki Ageng Lembu Sora, Angger Arya Salaka beserta gurunya serta sahabat gurunya yang telah berhasil membunuh mati orang sakti dari Nusakambangan.”
Sawung Sariti mengerutkan keningnya. Ia mengumpat di dalam hati. Kenapa Arya Salaka mendapat sahabat-sahabat yang sedemikian saktinya, sehingga sedikit banyak dapat mempengaruhi keadaannya?
Namun ia menjawab,
“Aku dapat menyangkal kesaksian-kesaksian itu. Kau sangka ayahku itu akan membenarkan kesaksianmu? Setidak-tidaknya aku dapat memperpendek waktu yang hilang sejak kau memberikan laporan itu kepadaku sampai waktu yang aku pergunakan untuk menyampaikan kepada Eyang Sora Dipayana.”
“Kau tak usah terlalu banyak bicara,” potong Galunggung.
“Nikmatilah udara terakhir ini sebaik-baiknya. Sesudah itu, kau tak akan mengenalnya lagi.”
Pengawas itu menjadi semakin gemetar. Namun ia berkata,
“Kalau ada akibat yang kurang baik bagi kalian berdua, bukankah itu bukan salahku. Kalau kalian tidak sengaja memperlambat berita itu, maka segala sesuatu akan menjadi baik.”
“Tutup mulutmu!” bentak Galunggung.
“Kau tak perlu mengigau pada saat-saat terakhir.” Tiba-tiba menjalarlah suatu perasaan lain didalam dada pengawas itu. Ia adalah seorang prajurit. Beberapa kali telah pernah dilihatnya ujung pedang yang berkilat-kilat. Sekarang kenapa ia takut menghadapi pedang. Ia merasa berpijak di atas kebenaran. Kalau ia terpaksa, apa boleh buat ia telah dipepetkan ke suatu sudut dimana ia harus mempertahankan diri.
Dirasanya sesuatu terselip di ikat pinggangnya. Keris. Meskipun yang berdiri di hadapan dua orang yang sama sekali di atas kemampuannya untuk melawan, namun ia tidak mau mati seperti tikus di tangan seekor kucing. Biarlah ia berusaha untuk membebaskan diri. Kalau perlu ia akan berteriak-teriak sekeras-kerasnya, sambil melawan sedapat-dapatnya.

Galunggung yang telah terbakar oleh kemarahannya, menjadi kehilangan kesabarannya. Dengan garangnya ia melangkah maju sambil menggeram,
“Jangan melawan, sebab kalau kau melawan berarti akan memperlambat saat-saat kematianmu. Derita yang terakhir adalah selalu tidak menyenangkan.”
Tetapi pengawas itu tidak peduli. Dengan tangkasnya ia meloncat mundur sambil menarik kerisnya. Melihat orang itu menarik senjatanya. Galunggung tertawa.
“Benar-benar kau sedang sekarat.”
Kemudian sambil tertawa ia melangkah maju. Tetapi tiba-tiba ketegangan itu dipecahkan oleh suara yang sama sekali tak diduga oleh mereka. Tenang, namun penuh pengaruh. Katanya,
“Aku adalah satu-satunya saksi yang melihat kebenaran diinjak-injak.”
Seperti disambar petir, Galunggung dan Sawung Sariti mendengar kata-kata itu. Ketika mereka menoleh, dilihatnya Wulungan berdiri tenang sambil bersilang dada. Pedangnya tergantung di lambung kirinya. Sawung Sariti menjadi gemetar karena marahnya. Sambil melangkah maju ia berkata,
“Paman Wulungan, kau berani mengganggu pekerjaanku?”
“Tidak Angger,” jawab Wulungan tanpa bergerak.
“Tidak…?” sahut Sawung Sariti,
“Lalu apa yang Paman kerjakan sekarang. Apakah kau kira bahwa pedangmu itu bermanfaat untuk melawan aku? Kau tahu, bukankah aku murid Sora Dipayana?”
“Ya. Aku tahu bahwa angger adalah murid Ki Ageng Sora Dipayana,” jawab Wulungan.
“Kau tahu bahwa aku mampu melawan Wadas Gunung berdua dengan anak buahnya?” desak Sawung Sariti.
“Ya.”
“Kau tahu bahwa aku adalah putra kepala daerah Perdikan Pamingit dan Banyubiru sekaligus?”
“Ya.”
“Nah, apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Sawung Sariti sambil mengangkat dadanya. 

WULUNGAN menjawab,
“Tidak apa-apa. Aku tidak akan melawan Angger. Sebab aku tahu, betapa aku mampu tak melakukannya. Aku hanya ingin tahu, apa yang akan Angger lakukan di sini?”
“Apa kepentingamu? Dan apa pedulimu?” bentak Sawung Sariti.
“Setiap orang berkepentingan atas tegaknya kebenaran. Aku yang membawa pengawas itu kepada Ki Ageng Lembu Sora dan Angger Arya Salaka. Dan akulah yang minta kepadanya untuk mengulangi laporannya.”
“Hem…” geram Sawung Sariti. “Kau adalah saksi yang kedua sesudah orang ini. Kalau begitu bagaimana kalau kau aku bunuh sekalian?”
“Itu adalah urusan Angger Sawung Sariti,” jawab Wulungan masih setenang tadi.
“Kau akan melawan seperti tikus ini?” desak Sawung Sariti.
“Tidak,” jawab Wulungan.
“Tak ada gunanya. Tetapi pernahkan Angger mendengar aku berlomba lari? Aku adalah pelari tercepat dari setiap kawan-kawanku, baik pada masa kanak-kanakku, maupun kini.”
“Gila!” umpat Sawung Sariti.
“Kau bukan seorang jantan.”
“Aku memang bukan seorang jantan,” jawab Wulungan.
“Tetapi aku mempunyai pertimbangan lain. Aku wajib menyelamatkan kebenaran ini. Kalau aku mati, maka kebenaran ini akan tertanam bersama mayatku. Tetapi kalau aku lari selamat, bukankah aku dapat memberitahukannya kepada Ki Ageng Sora Dipayana…?”
“Gila, Gila….” Sawung Sariti mengumpat tak habis-habisnya. Ketika itu Galunggung mencoba mengingsar dirinya, untuk menutup kemungkinan Wulungan kepada pengawas itu.
“Ki Sanak, baiklah kita berlomba lari. Jangan melawan. Kalau Adi Galunggung melangkah satu langkah lagi, perlombaan akan dimulai tanpa pembicaraan lain.”

Langkah Galunggung terhenti karenanya. Kalau Wulungan benar-benar melarikan dirinya saat itu, dan orang yang pertama itu melarikan diri pula, akan sulitlah untuk menangkap kedua-duanya. Salah satu atau keduanya mungkin akan dapat melenyapkan dirinya di dalam gerumbul-gerumbul yang berserak-serak itu, atau berteriak-teriak minta tolong sehingga apabila terdengar oleh laskar Banyubiru, persoalannya akan menjadi sulit.
“Setan,” gumam Galunggung menahan marah yang memukul-mukul dadanya. Sawung Sariti menjadi semakin marah. Dengan gigi gemeretak ia berkata,
“Lalu apa yang kau kehendaki Wulungan?” Wulungan menarik nafas. Tangannya masih terlipat di dadanya. Ia melihat kegelisahan Sawung Sariti. Meskipun demikian ia tidak boleh kehilangan kewaspadaan. Dengan perlahan-lahan namun penuh dengan tekanan, Wulungan menjawab,
“Tidak banyak Angger. Aku menghendaki orang itu Angger bebaskan dari segala tuntutan pribadi. Sebab Angger memandang persoalannya dari kepentingan diri sendiri.”
“Gila, kau licik seperti demit.” Sawung Sariti mengumpat.
“Kita semua adalah orang-orang yang licik. Penuh nafsu tanpa pengendalian,” jawab Wulungan. Sekali lagi Sawung Sariti menggeram. Katanya,
“Kepalamu memang harus dipenggal.”

Tetapi Wulungan tidak mendengarkan. Ia meneruskan kata-katanya,
“Kau dengar Angger melepaskan orang itu, maka aku berjanji tidak akan mengatakan kepada siapapun juga, apa yang terjadi sekarang di sini. Orang itupun tidak akan membuka mulutnya pula.” Kemudian kepada pengawas itu Wulungan berkata,
“Begitu kan…?”
Pengawas itu mengangguk kosong, meskipun hatinya bergolak. Tetapi ia harus selamat dahulu. Sekali lagi Galunggung menggeram. “Apa jaminanmu?”
“Tidak ada,” jawab Wulungan cepat.
“Bagaimana aku bisa percaya?” desak Galunggung.
“Terserah padamu. Percaya atau tidak,” sahut Wulungan.
“Tetapi aku bukan orang yang suka melihat benturan-benturan diantara keluarga sendiri.”
Kemudian dengan penuh kejengkelan Sawung Sariti berkata,
“Baiklah aku percaya kepadamu Wulungan. Tetapi kalau kau memungkiri kesanggupanmu, aku banyak mempunyai alasan dan cara untuk membunuhmu.”
“Terserah kepada Angger,” jawab Wulungan.
Sawung Sariti tidak menjawab. Tetapi dengan tergesa-gesa ia melangkah pergi. Galunggungpun kemudian mengikutinya di belakang.
“Ikuti aku,” perintah Wulungan kepada pengawas itu. Pengawas itu tidak membantah, namun di dalam dadanya bergelutlah ucapan terima kasih kepada Wulungan. Mereka berdua berjalan tidak begitu jauh di belakang Galunggung. Dengan demikian Wulungan dapat mengetahui langsung apa yang akan dilakukan seandainya orang itu akan mencoba menyergapnya.

Tetapi Sawung Sariti dan Galunggung berjalan terus ke perkemahan. Karena itu Wulungan dan pengawas itu telah merasa dirinya tentram. Ia tahu betul bahwa Sawung Sariti atau Galunggung tidak akan mengganggunya, sebab dengan demikian Wulungan akan segera mengetahui apa yang terjadi atasnya. Sampai di perkemahan, Sawung Sariti masih tetap mengumpat-umpat. Ia sudah kehilangan nafsu untuk mencari Arya Salaka.
“Persetan dengan anak itu,” geramnya.
“Dan persetan dengan Banyubiru.”
“Bagaimana kalau Ki Ageng Sora Dipayana bertanya tentang Arya?” tanya Galunggung.
“Pergilah kepada Eyang Sora Dipayana, katakan kalau Arya tak dapat kami ketemukan,” perintah Sawung Sariti. Dan Galunggung pun segera pergi.

MALAM berjalan terus. Semakin lama menjadi semakin dalam. Bintang-bintang telah jauh berkisar dari tempatnya. Sementara itu, di jalan yang berbatu-batu menuju ke Banyubiru berderak-deraklah suara kaki tiga ekor kuda yang dipacu seperti angin. Yang terdepan adalah Arya Salaka. Beberapa langkah di belakangnya adalah Mahesa Jenar, sedang rapat di belakangnya adalah Kebo Kanigara. Betapa hati Arya Salaka menjadi gelisah dan marah mendengar laporan pengawas dari Pamingit itu. Ia tidak tahu kepada siapa ia harus marah. Mungkin kesalahannya terletak pada Sawung Sariti. Atau pada waktu. Mungkin Sawung Sariti sudah mencarinya untuk menyampaikan khabar itu, tetapi tidak segera ditemuinya. Semakin dalam ia berpikir tentang gerombolan berkuda yang di antaranya terdapat Pasingsingan, semakin gelisahlah hatinya. Karena itu kudanya dipacu semakin cepat. Ia ingin segara sampai. Ketika ia menoleh, dilihatnya dua orang berkuda menyusulnya. Ia berbesar hati. Keduanya pasti gurunya beserta Kebo Kanigara. Ia yakin bahwa kedua orang itu akan mengikutinya, apalagi keduanya mendengar sendiri, bahwa yang pergi ke Banyubiru di antara orang-orang golongan hitam itu terdapat Pasingsingan. Sedangkan di Banyubiru ada Rara Wilis dan Endang Widuri. Arya Salaka tahu benar, bahwa Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara berkepentingan atas keduanya. Mahesa Jenar pasti tidak mau kehilangan Rara Wilis, sedang Kebo Kanigara akan mencemaskan nasib putrinya. Tetapi kenapa ia sendiri menjadi sangat cemas? Siapakah yang ditinggalkan di Banyubiru? Paman Mantingan atau Paman Wirasaba, atau Eyang Wanamerta? Bukan itulah yang pertama-tama kali diingatnya. Tetapi Banyubiru. Mungkin orang-orang dari golongan hitam itu akan membakar rumahnya dan rumah-rumah rakyat yang tak bersalah. Melepaskan dendamnya kepada orang- orang yang dijumpainya. Kepada Eyang Wanamerta, Paman Mantingan, Wirasaba atau Endang Widuri.

Dada Arya tiba-tiba berdesir keras. Dalam keadaan yang demikian ia tidak sempat menyadari bahwa sebenarnya yang mendorongnya untuk memacu kudanya lebih cepat adalah kecemasan atas nasib gadis nakal yang aneh itu. Di malam yang gelap itu Arya Salaka memacu kudanya habis-habisan. Tidak diingatnya bahaya yang menghadang di hadapannya. Lereng-lereng pegunungan dan tebing-tebing yang curam. Dan sebenarnyalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, disamping kesadarannya akan kewajibannya, melindungi Arya Salaka dalam perjuangannya melawan kejahatan dan ketamakan, mereka mempunyai kepentingan masing-masing. Rara Wilis dan Endang Widuri telah memaksa mereka untuk cemas dan gelisah. Suara raung anjing-anjing liar mengumandang dari tebing-tebing pegunungan. Dan malam menjadi semakin garang karenanya. Desah angin pegunungan yang mengalir lewat jurang-jurang yang dalam, terdengar seperti bunyi siul raksasa yang sedang bermalas-malas. Suara-suara malam itu telah membuat Arya menjadi semakin gelisah. Ia menjadi jengkel kepada kudanya, yang seolah-olah berlari dengan segannya, meskipun tumbuh-tumbuhan dan batu-batu besar yang menjorok di tepi- tepi jalan tampak seperti hanyut ke belakang secepat banjir. Namun hatinya ternyata jauh lebih cepat dari kaki-kaki kudanya itu. Dan Banyubiru terbayang di serambi matanya seperti menggapai-gapaikan tangan-tangannya, memanggilnya,
“Arya, tolonglah aku….” Tetapi suara itu seperti seorang gadis. Gadis yang dikenalnya baik-baik, bersenjata rantai perak dengan bandul Cakra yang bercahaya-cahaya. Tetapi senjata yang sakti itu tak berarti di mata orang yang berjubah abu-abu, bertopeng kasar dan menamakan dirinya Pasingsingan. Tiba-tiba iapun tak akan berarti pula. Ia pernah mendengar Mahesa Jenar berceritera, bahwa ayahnya Ki Ageng Gajah Sora yang sedang marahpun tak dapat berbuat sesuatu melawan hantu berjubah abu-abu itu. Ayahnya itu hanya mampu menyobek ujung jubahnya dengan tombak Kyai Bancak itu di Alun-alun Banyubiru. Tanpa disengaja, sekali lagi ia menoleh. Dan dengan serta merta ia bergumam, “Guruku telah mampu membunuh Sima Rodra dari Lodaya, sedang Paman Kebo Kanigara berhasil membinasakan Nagapasa. Apa artinya Pasingsingan bagi mereka?”
“Tetapi….” Hatinya membantah sendiri,
“Kalau segala sesuatu telah terjadi?” Kembali mengiang di telinganya sebuah jerit nyaring. Arya Salaka terkejut. Namun segera ia sadar, bahwa suara itu hanyalah pekik burung hantu yang sedang berkelahi. Terdengar gigi Arya gemeretak. Dan kembali malam menjadi bertambah sepi. Dan malam yang sepi itu benar-benar sedang merajai permukaan bumi. Pangrantunan, Banjar Gede, Pamingit, Gemawang dan seluruh wajah bumi menjadi kelam. Juga Banyubiru. Lereng bukit Telamaya itupun, ditelan oleh hitamnya malam. Sebagian besar dari penduduknya sedang lelap dipeluk mimpi. Mereka telah merasa, betapa mereka terhindar dari bencana. Meskipun ada di antara mereka yang sedang mengenangkan nasib suaminya, anak-anaknya atau kekasihnya yang sedang berjuang di Pamingit. Sedang para penjagapun merasa betapa tenangnya malam.
Pendapa Banyubiru pun tampak sepi. Sepasang obor masih tampak menyala. Api yang menjalar berlenggang dengan malasnya dibelai angin malam. 

DUA orang penjaga berdiri menahan kantuknya di regol halaman. Sedang beberapa orang lain duduk di gardu dengan mata yang redup. Sekali-kali Wanamerta yang masih duduk di pendapa bersama Ki Dalang Mantingan tampak menguap.
“Beristirahatlah Paman.”
Terdengar suara Mantingan lemah.
“Malam terlalu dingin,” gumam orang tua itu.
“Ya,” sahut Mantingan.
“Tetapi hatiku gelisah.” Orang tua itu meneruskan.
Mantingan tidak menjawab. Tetapi pandangan matanya terlempar ke halaman, menembus kelam. Perlahan-lahan Mantingan menarik nafas dalam.
“Apakah Angger Wilis dan cucuku Widuri telah tidur?” tanya Wanamerta.
“Mungkin,” jawab Mantingan.
“Baru saja aku selesai berceritera. Anak itu minta aku berceritera tentang Gatotkaca, Pergiwa dan Pergiwati.” Wanamerta tersenyum. Tetapi ia berdiam diri. Yang terdengar kemudian adalah suara seruling. Sayup-sayup dibawa angin. Namun suaranya demikian merdu. Seirama dengan heningnya malam.
“Seruling Kakang Wirasaba,” desis Mantingan.
“Pantaslah ia bergelar Seruling Gading,” sahut Wanamerta.
Sebagai biasa Wirasaba berlagu melampaui batas gending-gending yang ada. Lagunya seperti lagu angin malam. Hening sepi, namun penuh kemesraan hati manusia.
“Di manakah Angger Wirasaba?” tanya Wanamerta.
“Di gardu belakang. Bersama-sama Sendang Parapat,” jawab Mantingan. Wanamerta mengangguk-angguk. Namun kegelisahan di hatinya semakin terasa. Sebagai orang tua, firasatnya bertambah hari bertambah tajam. Ia terkejut ketika tiba-tiba daun-daun sawo di halaman bergoyang ditiup angin yang bertambah kencang. Mantingan mengikuti arah pandangan Wanamerta. Tetapi yang dilihatnya pun hanyalah daun sawo yang bergerak-gerak.
“Aneh,” gumam Wanamerta.
“Apakah yang aneh?” tanya Mantingan.
“Aku tidak tahu. Tetapi aku menjadi gelisah seperti daun-daun sawo di halaman itu,” jawab Wanamerta. Mantingan mengerutkan keningnya. Terasa pula hatinya berdesir halus.

“Sepi yang menggelisahkan,” sahutnya. Suara seruling Wirasaba pun tiba-tiba berubah. Nadanya menjadi bertambah tinggi. Terasa betapa hatinya menjadi gelisah. Namun betapa merdunya suara seruling itu. Tetapi sesaat kemudian suara seruling itu berhenti. Mantingan mengangkat wajahnya.
“Berhenti,” desisnya.
“Ya,” sahut Wanamerta,
“Agaknya Angger Wirasaba kedinginan.”

Mantingan mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab. Hanya matanya yang kembali beredar mondar-mandir di halaman. Karena hatinya yang gelisah, pandangannya pun menjadi gelisah. Mantingan mencoba mengamati setiap benda yang ada di halaman. Pohon sawo, pohon jambu, dinding-dinding halaman, pohon-pohon kelapa. Semuanya diam beku. Yang bergerak-gerak hanyalah para penjaga yang berjalan hilir mudik di luar regol. Tiba-tiba keduanya terkejut ketika terdengar langkah naik ke pendapa. Ketika menoleh, dilihatnya Ki Wirasaba berjalan dengan malasnya menjinjing kapaknya. Di belakangnya berjalan Sedang Parapat yang telah hampir sembuh. Mantingan dan Wanamerta menarik nafas panjang.
“Ah….” gumam Wanamerta.
“Kenapa aku berubah menjadi penakut?”
“Kenapa…?” tanya Wirasaba sambil duduk di samping mereka.
“Aku terkejut mendengar langkah Angger seperti mendengar langkah hantu,” jawab Wanamerta.
Wirasaba mengangguk-angguk lemah. Hatinya pun dirayapi perasaan-perasaan aneh. Serulingnya terselip di ikat pinggangnya, sedang tangannya menggenggam kapaknya. Tiba-tiba mata Mantingan sekali lagi menatap daun-daun sawo yang bergerak-gerak ditiup angin malam. Kemudian matanya menatap daun-daun jambu di sebelahnya. Aneh. Daun jambu itu tidak bergoyang terlalu keras seperti daun- daun sawo itu. Karena itu ia menjadi curiga. Ketika sekali lagi ia melihat daun itu bergerak-gerak, dengan serta merta ia berdiri dengan trisulanya di tangan, kemudian dengan tangkasnya ia meloncat sambil berkata lantang, “Siapakah yang mencoba membuat permainan itu?” Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat pun terkejut ketika mereka melihat Mantingan meloncat. Mereka masih belum tahu apa yang dimaksudnya. Tetapi ketika pandangan mereka mengikuti arah pandangan mata Mantingan, merekapun melihat bahwa daun-daun sawo itu bergoyang-goyang. Tiba-tiba terdengarlah suara tertawa yang menyeramkan dari pohon sawo itu. Suara yang sudah mereka kenal baik-baik. Para penjaga dan para pengawalpun terkejut pula. Bahkan Mantingan terpaksa menghentikan langkahnya.
“Lawa Ijo,” gumamnya.
Sesaat kemudian dilihatnya bayangan yang melontar turun dari pohon sawo di halaman itu. Seorang yang bertubuh tinggi besar dan berdada tegak. Sekali lagi Mantingan terkejut melihat orang itu. Bukan Lawa Ijo, tetapi agaknya ia pernah melihatnya. Tiba-tiba ia menjadi ngeri. Bukankah Watu Gunung telah dibinasakan oleh Mahesa Jenar? Apakah ia dapat hidup kembali…? Namun sebelum ia sempat bertanya terdengar Wirasaba menggeram,
“Hem, kau Wadas Gunung.”

MANTINGAN menoleh ke arah Wirasaba. Ia mengulang perlahan,
“Wadas Gunung. Siapakah dia?”
“Adik seperguruan Lawa Ijo,” jawab Wirasaba.
“Watu Gunung yang kau maksud…?” Ia bertanya pula. Wirasaba menggeleng.
“Bukan. Saudara kembarnya. Orang ini pernah bertempur melawan Adi Mahesa Jenar di Pliridan bersama-sama dengan 20 orang kawannya.”
Sementara itu Wadas Gunung telah berjalan beberapa langkah maju. Sambil tertawa pendek ia berkata,
“Nah, kau orang berkapak yang membantu Mahesa Jenar di Pliridan dahulu? Kau masih mengenal aku dengan baik.”
Wirasaba juga maju.
“Kau datang pula ke Gedong Songo beberapa hari yang lalu,” pikirnya.
Dan kapaknya tiba-tiba bergetar di tangannya. Ketika ia hampir meloncat menyerbu, terdengar Wanamerta yang tua itu berbisik,
“Hati-hatilah Angger. Ia pasti tidak datang sendiri.”
Belum lagi Wanamerta selesai berkata, terdengarlah suara kentongan bertalu-talu tiga kali berturut-turut.
“Kebakaran,” desis Wanamerta. Sekali lagi Wadas Gunung tertawa. Katanya,
“Kebakaran. Jangan terkejut. Banyubiru telah dikepung.”
Wajah Sendang Parapat menjadi merah. Ia harus segera menggerakkan segenap laskar cadangan yang ada. Tetapi ketika ia melangkah ke gardu penjagaan, sebelum turun dari pendapa, muncullah seorang lagi di hadapannya. Sendang tertegun. Ia belum pernah melihat orang itu. Seorang yang berwajah tampan, berkulit kuning dan berpakaian rapi. Di tangannya tergenggam sebuah tongkat warna hitam.
“Siapakah kau…?” Tiba-tiba Sendang Parapat bertanya.
Orang itu tersenyum. Senyumnya tampak aneh. Katanya,
“Jangan risaukan siapa aku.” Sendang Parapat menjadi marah. Tetapi ia tidak mendapat banyak kesempatan. Karena itu ia berteriak saja dari pendapa,
“Bunyikan tanda, gerakkan segenap laskar cadangan.”

Sesaat kemudian, orang-orang di gardu penjagaan menjadi sadar akan bahaya yang datang. Seseorang kemudian meloncat memukul kentongan titir. Tetapi suara titir itu terputus ketika tiba-tiba pemukul kentongan itu terpelanting jatuh. Sendang Parapat terkejut. Karena itu ia menjadi semakin marah. Untunglah bahwa suara titir yang pendek itu telah terdengar dari gardu di luar halaman yang terdekat, sehingga suara titir itupun segera bersambut. Apalagi ketika seorang yang lain segera merebut pemukul kentongan dari tangan orang pertama. Kemudian dengan tanpa takut-takut iapun mengulang memukul kentongan itu dengan irama yang sama, titir. Namun orang kedua inipun kemudian terjatuh pula dengan luka di kepalanya. Sebuah batu telah membenturnya. Tetapi suara titir telah menjalar ke segenap penjuru Banyubiru. Banyubiru yang sedang tidur lelap itu menjadi terbangun dengan tiba-tiba. Suara kentongan tiga kali berturut-turut telah mengejutkan hati mereka. Apalagi kemudian terdengar bunyi titir yang merayap-rayap di seluruh lereng bukit itu. Laskar Banyubiru pun menjadi terkejut. Untunglah bahwa mereka telah terlatih dengan baik. Sehingga dalam waktu yang singkat mereka telah siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Ketika terdengar suara titir bersahutan, sadarlah mereka bahwa bahaya yang besar telah datang. Para pemimpin kelompok itupun segera tahu apa yang harus dilakukan. Sebagian dari laskar itu segera berangkat dengan tergesa-gesa ke tempat kebakaran. Orang yang berwajah tampan itupun mengangkat wajahnya ketika suara titir telah menjalar ke segenap arah. Ia mengerutkan keningnya, kemudian katanya kepada Sendang Parapat,
“Jangan berdiri saja di situ, pergilah supaya umurmu panjang.” Betapa marahnya Sendang Parapat. Segera ia menarik pedangnya.
Dengan penuh nafsu ia berhasrat menyerang orang itu. Tetapi langkahnya terhenti ketika terdengar suara halus di belakangnya,
“Sendang, jangan tergesa-gesa. Ia bukan lawanmu.”
Sendang Parapat menghentikan langkahnya. Iapun segera menoleh. Bahkan semua orang memandang ke arah suara itu. Ternyata Rara Wilis telah berdiri di ambang pintu. Mula-mula ia menjadi ngeri melihat kehadiran Jaka Soka. Bukan karena ia takut seandainya ia harus bertempur. Tetapi sebagai seorang gadis, ia merasa bahwa Jaka Soka adalah orang yang pernah menjadi gila karena dirinya. Ketika Jaka Soka melihat gadis itu, hatinya bergetar cepat. Ia masih belum dapat melupakan, betapa wajah gadis itu selalu terbayang.
Karena itu tiba-tiba kembali ia tersenyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba saja Jaka Soka merasakan adanya suatu kurnia bagi dirinya. Kalau ia turut ke Banyubiru bersama beberapa orang dan laskar golongan hitam, adalah karena dendamnya yang meluap-luap. Ia ingin membunuh siapa saja yang dapat dibunuhnya, sebagai ganti kematian gurunya. Tetapi tiba-tiba ia bertemu dengan gadis ini. Matanya yang redup itupun menjadi bersinar-sinar. Dan pandangan mata yang demikian itulah yang menyebabkan seluruh bulu tengkuk Wilis berdiri. Namun, kemudian gadis itu merasa, bahwa menjadi kewajibannya untuk turut serta mengamankan rumah ini, sebagai lambang pemerintahan Banyubiru. Karena itu iapun melangkah maju sambil berkata,
“Jaka Soka, apakah kerjamu di sini? Apakah pekerjaanmu di Pamingit sudah selesai…?”
Wadas Gunung pun menjadi keheran-heranan. Apakah yang dilakukan oleh Jaka Soka itu? Dimanakah ia berkenalan dengan gadis manis yang menyapanya ‘Hem, agaknya kau mendapat pekerjaan baru di sini Jaka Soka’.

JAKA SOKA tersenyum, jawabnya,
“Bukan Wadas Gunung. Bukan pekerjaan baru. Aku sudah berjanji akan datang kepadanya beberapa tahun yang lampau. Dan agaknya iapun tetap menanti.”
Wajah Rara Wilis menjadi merah. Sekali dilayangkan pandangannya sekeliling pendapa itu. Di situ masih berdiri Mantingan, Wanamerta, Wirasaba dan Sendang Parapat. Sedang di bawah tangga berdiri Wadas Gunung dan di sebelah lain Jaka Soka. Ketika ia melihat para penjaga yang berdiri tidak lebih dari lima orang itupun telah bersiap pula. Ia menarik nafas panjang. Kalau hanya kedua orang itu saja, mungkin masih akan dapat diatasi. Tetapi ia terkejut ketika terdengar suara yang seram dari dalam gelap. Lebih seram dari suara Wadas Gunung. Kemudian disusul dengan bayangan yang remang-remang semakin lama semakin jelas. Lawa Ijo. Mantingan menarik nafas. Agaknya bahaya yang mendatang benar-benar menggetarkan dadanya. Lawa IJo itu kemudian berdiri saja disamping Jaka Soka. Sambil tertawa pendek ia berkata,
“Jaka Soka. Apa kau masih mengharapkan gadis itu?”
“Ia tetap menanti aku dengan setia,” jawab Jaka Soka. Lawa Ijo menjadi marah.
Namun gadis itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah suara gadis lain, Endang Widuri. Katanya,
“Benar Paman Soka. Bibi Wilis menantimu. Sebab sepeninggalmu, kuda-kuda kami menjadi kekurangan rumput.”
Jaka Soka mengerutkan keningnya. Ia memandang gadis yang berdiri di pintu itu dengan sinar mata yang seram.
Tetapi Lawa Ijo tertawa mendengar jawaban itu. Katanya,
“Ha, dengar. Apa yang dikatakan gadis nakal itu. Dan barangkali memang sepantasnya kau menjadi pekatiknya, mencari rumput bagi kuda-kudanya.”
Jaka Soka pernah bertempur dengan Widuri di Gedangan. Pada saat itu ia benar-benar keheranan, bahwa gadis sebesar itu telah mampu bertempur sedemikian hebatnya. Dan kini tiba-tiba gadis itu muncul kembali. Karena itu Jaka Soka menjadi tak senang sama sekali, katanya,
“He monyet kecil. Jangan ganggu aku lagi. Aku benar-benar akan membunuhmu.”
Ketika mendengar kata-kata itu, Widuri menjadi tertawa, sedang Lawa Ijopun tertawa pula.
Terdengar Lawa Ijo menyahut,
“Jangan marah kepada gadis kecil itu Soka. Ia berkata sebenarnya.”

Mata Jaka Soka menjadi semakin seram. Dengan tajamnya ia memandang gadis kecil yang nakal itu. Namun ia tidak bisa meloncat saja kepadanya. Di hadapannya berdiri Rara Wilis. Kalau saja Rara Wilis lima enam tahun yang lampau, mungkin ia tidak perlu memperhitungkan dalam tindakan-tindakannya. Tetapi Rara Wilis yang berdiri di hadapannya dengan pedang yang tergantung di lambungnya, adalah Rara Wilis yang telah berhasil membunuh istri Sima Rodra. Karena itu Jaka Soka masih berdiri saja di tempatnya. Sedangkan Endang Widuri, betapapun nakalnya, namun ia tahu juga bahwa keadaan pendapa Banyubiru itu benar-benar dalam bahaya. Karena itu rantainya sudah tidak tergantung lagi di lehernya, tetapi dengan jari-jarinya yang kecil, ia bermain-main dengan senjata itu. Bahkan cakranya pun telah melekat di ujungnya. Benda yang berkiliat-kilat, berbentuk bulat bergerigi itu tidak lepas dari perhatian Jaka Soka. Senjata yang demikian benar-benar berbahaya. Tetapi ia percaya kepada tongkat hitamnya serta pedang yang terselip di dalamnya. Namun sesaat kemudian kembali pendapa itu digetarkan oleh dua bayangan yang datang memasuki regol halaman. Ketika penjaga-penjaga di regol halaman itu berusaha mencegahnya, mereka terpelanting jatuh, dan tidak bangun kembali. Para penjaga yang lain pun terkejut.
Tetapi mereka terpaku di tempatnya ketika mereka melihat orang yang datang itu. Yang seorang berjubah abu-abu bertopeng jelek, dan seorang bertubuh tinggi besar dan berkepala besar pula. Mereka adalah Pasingsingan dan Sura Sarunggi. Kedua orang itu berjalan seenaknya ke pendapa. Tetapi kemudian terdengar suaranya menggeram.
“Lawa Ijo. Permainan apa yang sedang kau lakukan? Kau masih berdiri saja mengagumi kecantikan gadis-gadis itu? Waktu kita tidak banyak. Aku telah memberikan petunjuk-petunjuk bagaimana laskarmu menghindari orang-orang Banyubiru yang sudah menjadi gila di tempat kebakaran. Waktu kita tidak banyak.”
Lawa Ijo sadar, bahwa seseorang telah melihat mereka di Pamingit. Sehingga dengan demikian ada kemungkinan mereka menyusul ke Banyubiru. Karena itu ia berkata,
“Baiklah Guru. Dan apakah yang akan Guru lakukan sekarang?”
“Bunuhlah orang-orang ini semuanya. Kecuali kalau Jaka Soka masih menghendaki gadis itu. Tetapi buatlah ia tidak berdaya. Aku akan melihat isi rumah, apakah Nagasasra dan Sabuk Inten benar-benar masih ada di sini.”
Terdengar Mantingan dan Wirasaba menggeram. Namun ia sadar betapa dahsyatnya kekuatan yang datang itu. Ia sadar pula, bahwa kebakaran di ujung kota adalah suatu cara untuk memancing laskar Banyubiru. Pasingsingan dan Sura Sarunggi itu tidak memperhatikan apa-apa lagi. Mereka langsung berjalan naik pendapa dengan seenaknya. 

KETIKA Pasingsingan dan Sura Sarunggi berjalan melintasi pendapa, tak seorangpun berusaha mencegahnya. Mereka memandang saja seperti memandang hantu. Mantingan dengan trisula di tangannya, hanya gemetar saja di tempatnya, sedang Wirasaba tegak seperti patung dengan kapak di tangan. Meskipun tangan Rara Wilis sudah melekat di hulu pedangnya, ia pun tidak berbuat apa-apa. Kali ini Widuri pun tidak berani bermain-main. Ia telah pernah melihat hantu berjubah dan bertopeng kasar itu bertempur melawan Mahesa Jenar di Gedong Songo. Karena itu ketika kedua orang itu berjalan ke pintu, Widuri menggeser diri. Sesaat Pasingsingan berhenti pula dan memandangi wajah gadis yang jernih itu. Tanpa disengaja ia kemudian menoleh kepada Lawa Ijo.


<<< Bagian 076                                                                                              Bagian 078 >>>

No comments:

Post a Comment