TETAPI pertanyaan itu merupakan penegasan dari berita-berita yang mengatakan bahwa di Banyubiru tersebar desas-desus, yang menyatakan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di tempat itu. Karena itu tiba-tiba Kanigara ingin mengetahui dengan pasti, siapakah orang-orang itu. Demikian juga agaknya Mahesa Jenar dan bahkan ketiga kawan-kawannya. Maka bertanyalah kemudian Kebo Kanigara,
“Dari manakah
kalian mendengar berita tentang kedua keris itu?”
Orang berkulit
hitam dan bermata serigala itu tertawa.
“Apakah untungmu
mengetahui dari mana aku mendengarnya?”
Kanigara
menyahut,
“Sayang, kau
mimpi di siang hari. Tak ada keris di tanah perdikan Banyubiru, kecuali kerisku
sendiri serta keris kawan-kawanku ini.”
“Jangan
begitu, Ki Sanak,” potong orang itu.
“Kalau kau mau
menunjukkan kepadaku, kau akan menerima hadiah cukup.”
“Apakah hadiah
itu?” sela Mahesa Jenar.
“Apa saja yang
kau kehendaki. Uang? Emas atau permata?” jawab orang itu.
“Sayang kami
tidak mengetahuinya,” desis Mahesa Jenar. Pandangan orang bermata serigala itu
menjadi semakin tajam. Sekali dua kali ia menengok kepada kawan-kawannya yang
berada di belakangnya, seolah-olah ia ingin mengetahui kesiapsiagaan mereka.
“Memang
orang-orang Banyubiru keras kepala,” gumam orang itu.
“Seperti
kepala daerah perdikannya.”
“Ki Sanak…”
kata Kebo Kanigara kemudian,
“Yang paling
mengetahui segala sesuatu di Banyubiru ini adalah Ki Ageng Lembu Sora. Kalau
kau tadi telah menemuinya, maka kenapa tidak kau tanyakan kepadanya? Atau
barangkali kalau kau sudah menanyakannya dan dijawabnya kedua keris itu tidak
berada di Banyubiru, maka jawaban itu pastilah benar.”
Orang itu
menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya semakin menunjukkan ketidakpuasannya.
Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menyabarkan diri dan berkata
ditahan-tahan.
“Kalian
tinggal memilih. Menunjukkan di mana keris itu berada dan menerima hadiah atau
tidak mau menjawab, tetapi kalian binasa.
Kanigara masih
tetap berkata dengan sabarnya,
“Ki Sanak.
Apakah yang akan kami katakan tentang kedua keris itu, kalau kami benar-benar
tidak mengetahuinya?”
Orang berkulit
hitam itu sekali lagi menengok kepada kawan-kawannya dan seperti orang minta
pertimbangan ia berkata,
“Apakah yang
sebaiknya kami lakukan atas orang-orang ini?”
“Terserah Ki
Lurah,” jawab salah seorang diantara mereka.
“Hem….” ia
menarik nafas.
“Ki sanak,
kami merasa perlu untuk memberi pelajaran kepada kalian, sekaligus memberi
peringatan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Kalau ia akan tetap berkeras kepala,
nasib rakyatnya akan tidak menyenangkan. Sekali lagi aku memberi kesempatan
kepada kalian untuk menunjukkan kepada kami di mana kedua keris itu disimpan.
Menilik sikap, pakaian dan keadaan kalian, kalian adalah orang-orang penting di
Banyubiru ini. Tetapi kalau kalian tetap tidak mau bicara, maka kalian akan menjadi
orang pertama yang akan kami jadikan korban. Kalian akan kami bunuh dengan cara
yang mengerikan. Mata kalian akan kami copot dari batok kepala kalian. Dada
kalian akan kami silang dengan pisau dan isi perut kalian akan kami tumpahkan
keluar. Nah, bukankah itu mengerikan? Setiap hari akan kami lakukan hal yang
serupa sampai kepala daerahmu atau seseorang mau mengatakan kepada kami, baik
karena ketakutan maupun karena ia ingin hadiah, di mana kedua keris itu
berada.”
Semua yang
mendengar kata-kata itu terkejut. Apalagi Wanamerta, Bantaran dan Penjawi
sebagai orang-orang Banyubiru yang sebenarnya. Penjawi, yang paling muda
diantara mereka, adalah orang yang berdarah paling panas. Ia segera mendesak
maju. Sebenarnya ia dapat membiarkan saja hal itu berlaku di Banyubiru. Sebab
itu adalah tanggungjawab Lembu Sora pada saat ini. Sedang mereka sendiri pada
saat itu agaknya mungkin sekali untuk menyelamatkan diri. Tetapi sebagai
seorang yang berangan-angan masa depan yang gemilang bagi rakyat Banyubiru, ia
tidak dapat berpangku tangan.
TERBAYANGLAH
di dalam otak Penjawi, masa yang mengerikan akan berlangsung di Banyubiru. Masa
duka yang bersusun-susun. Beban yang berat, serta usaha-usaha penyingkiran yang
dilakukan oleh Lembu Sora atas orang-orang yang setia kepada tanah tercinta,
dengan berbagai macam cara. Bahkan kalau perlu dengan mengadakan pembunuhan.
Akan ditambah lagi dengan pameran pembunuhan oleh pihak lain. Yang dapat
dipastikan, orang-orang itu datang dari golongan hitam. Maka berkatalah Penjawi
dengan lantangnya,
“Ki Sanak.
Dengan semua keteranganmu dan caramu menakut-nakuti kami, kami dapat memastikan
bahwa kalian datang dari daerah yang kelam. Dari dunia yang penuh dengan
noda-noda dan dosa-dosa. Kalian adalah orang-orang yang kami namakan golongan
hitam. Sebab hati kalian adalah hati yang berwarna hitam. Sekarang kalian
mencoba menakut-nakuti kami, dan rakyat kami. Tetapi kami sama sekali tidak
takut. Sebab kami berdiri diatas kebenaran. Meskipun demikian kami ingin
menjelaskan kepadamu sekali lagi, bahwa sebenarnyalah keris-keris itu tidak ada
pada kami. Tidak ada di Banyubiru. Karena itulah, baik kami maupun Lembu Sora
tak akan dapat mengatakan di mana keris itu disimpan.”
Kata-kata
Penjawi terpotong oleh suara tertawa yang mengerikan. Orang yang bermata
serigala itu tiba-tiba menjadi buas. Matanya semakin lama semakin liar dan
berwarna merah. Dengan marahnya ia berteriak,
“Jangan
mengigau. Aku tidak peduli apakah kau menganggap aku orang-orang hitam, merah,
hijau atau apa saja. Tetapi kalau kau tetap berkeras kepala, kami akan
melakukan rencana kami, dan mayat kalian akan kami sebarkan ke segenap sudut
Banyubiru.”
Juga Penjawi
menjadi marah. Wajahnya menjadi tegang dan berwarna darah. Bantaran dan
Wanamerta kemudian segera mempersiapkan diri. Namun dalam ketegangan itu masih
terdengar suara Kanigara tenang,
“Ki Sanak. Apa
yang akan kalian lakukan kepada kami, adalah tanggungjawab kami dan kewajiban
kami untuk melindungi diri. Tetapi agaknya kalian sama sekali belum mengenal
kami. Orang-orang Banyubiru yang berjiwa jantan. Nyawa kami telah lama kami
letakkan di ujung pengabdian kami. Karena itu sebaiknya kalian
mempertimbangkannya sekali lagi.”
Kembali
terdengar orang yang berkulit hitam dan bermata serigala itu tertawa
keras-keras seperti hampir gila. Dengan buasnya ia menjawab,
“Apakah arti
kejantanan orang Banyubiru bagi kami. Selama darah kalian masih merah, serta
kalian masih belum dapat melenyapkan diri dalam satu kerdipan mata, maka kalian
adalah korban-korban kami yang menyenangkan. Ketahuilah, bahwa kami datang dari
Nusa Kambangan mengemban tugas dengan kekuasaan penuh.”
Meskipun
orang-orang Banyubiru itu sudah menduga sebelumnya, bahwa gerombolan itu adalah
gerombolan hitam, namun hati mereka tergetar pula. Bahkan kemudian terdengar
Mahesa Jenar menyahut,
“Apakah kalian
anak buah Ular Laut?”
“Nah…” sahut
orang itu.
“Kau pasti
pernah mendengar kebesaran namanya. Dengan tangannya ia akan dapat menyapu
bersih segenap isi Banyubiru”.
“Hem,” gumam
Mahesa Jenar.
“Agaknya
pengetahuanmu terlalu sempit. Kau belum tahu betapa dahsyatnya tangan Ki Ageng
Lembu Sora. Apakah artinya Jaka Soka baginya. Barangkali kau juga belum
mendengar tentang putranya yang bernama Sawung Sariti.”
Orang itu
mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab dengan kasarnya,
“Omong kosong
semuanya. Andaikata kau berkata benar, maka Kyai Nagapasa akan dapat
menyelesaikan dengan sangat mudahnya.”
“Kyai
Nagapasa…?” ulang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hampir bersamaan.
Orang itu
tertawa kembali. Katanya,
“Kau menjadi
pucat seperti mayat mendengar nama itu.”
“Bagaimana aku
menjadi pucat mendengar nama yang tidak berarti itu. Bahkan mendengar pun aku
belum pernah,” jawab Mahesa Jenar.
“Itu pertanda
kepicikan pendengaranmu.” Orang itu menjelaskan dengan bangga.
“Kyai Nagapasa
adalah nama ilmu pamungkas perguruan Nusa Kambangan. Dengan nama itu pula kami
sebut orang yang memiliki dan mengembangkan. Ia adalah guru Jaka Soka.”
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Agaknya benar-benar akan terjadi peristiwa-peristiwa
yang menggemparkan. Kini yang berhadapan bukan saja tokoh-tokoh muda dari
kalangan hitam, namun agaknya tokoh-tokoh tua, guru-guru merekalah yang
mengambil alih persoalan. Dalam sepintas, membayanglah di dalam angan-angan
Mahesa Jenar akan nama-nama Pasingsingan, Umbaran, Sima Rodra dari Lodaya,
Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme, Sura Sarunggi yang telah kehilangan
kedua muridnya dari Rawa Pening, dan sekarang terdengar lagi sebuah nama Kyai
Nagapasa. Namun disamping itu ia menjadi puas karena pancingannya berhasil
untuk mengetahui asal orang-orang itu. Melihat Mahesa Jenar terdiam, orang itu
mengangkat dadanya. Ia merasa bahwa orang-orang Banyubiru itu menjadi
ketakutan. Karena itu sekali lagi ia menggertak,
“Nah, adakah
kalian mau berkata tentang kedua keris itu, setelah kalian mendengar nama-nama
yang berdiri di belakang kami?”
Orang yang
berwajah buas, bermata serigala itu menjadi terkejut sekali ketika ia mendengar
Mahesa Jenar menjawab,
“Sampaikan
salamku kepada Jaka Soka, apabila kau sempat pulang kembali.”
Dengan mata
terbelalak orang itu memandang Mahesa Jenar seperti ingin menelannya
bulat-bulat. Sikapnya yang seolah-olah menganggap Jaka Soka tidak lebih dari
dirinya, menyebabkan orang bermata serigala itu marah bukan kepalang. Ia
menganggap Mahesa Jenar orang yang tak tahu diri. Dengan membentak-bentak ia
berkata,
“Ayo, mintalah
maaf atas kelancangan mulutmu itu. Kalau tidak, kau akan mati dengan
menderita.”
“Penderitaan
bagi laki-laki bukanlah hal yang sangat menakutkan,” jawab Mahesa Jenar.
JAWABAN itu
kembali sangat mengagetkan anak buah Jaka Soka, sehingga dengan demikian ia
sudah tidak merasa perlu untuk berbicara lebih banyak. Dengan lantangnya ia
berkata kepada anak buahnya,
“Kepung
kelinci-kelinci yang tak tahu diri ini.”
Agaknya
orang-orang Nusa Kambangan itu telah benar-benar terlatih dan berpengalaman.
Sebab demikian mereka mendengar aba itu, dalam waktu sekejap mereka telah
bergerak dengan cepatnya membentuk sebuah gelang yang melingkari Mahesa Jenar
beserta ketempat kawan-kawannya. Bersamaan dengan itu, ternyata Wanamerta,
Bantaran dan Penjawipun telah siap pula dengan keris ditangan kanan dan kendali
kuda ditangan kiri. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tampak masih
tenang-tenang saja. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan seolah-olah
mereka sedang mempertimbangan bersama apakah yang akan mereka lakukan.
Tiba-tiba tampaklah Mahesa Jenar tersenyum. Dengan sangat tenangnya,
seolah-olah tidak terjadi apapun pada saat itu ia berkata kepada orang yang
berkulit hitam dan bermata serigala itu.
“Ki Sanak,
apakah yang akan kalian lakukan?”
Melihat
ketenangan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang itu menjadi heran. Malahan
kemudian ia merasakan betapa besarnya perbawa sanak kadangku.
“Betapa
tangguhnya kalian semuanya ini. Namun apabila seorang diantara para petani di
sawah atau anak-anak yang sedang bermain melihat perkelahian ini, maka dengan
memukul kentongan mereka akan mengerahkan segenap penduduk Banyubiru yang
berjumlah ribuan orang, untuk mengepung kalian, dan justru kalianlah yang akan
ditangkap oleh mereka. Meskipun demikian kalian tak usah cemas, bahwa kalian
akan mengalami siksaan, apalagi dicincang. Sebab kami, penduduk Banyubiru
mendasarkan watak kami kepada ketaatan. Kami mengagungkan nama Tuhan Yang Maha
Esa, yang akan kami ujudkan dalam pengalaman kami dalam hidup sehari-hari.”
Perkataan
Mahesa Jenar itu ternyata berkesan di hati orang bermata serigala itu.
Tampaklah wajahnya yang buas itu menjadi tegang. Alisnya seolah-olah bertemu
satu sama lain di atas hidungnya yang besar. Dengan liarnya ia memandang
jauh-jauh ke sawah di sekitarnya, ke desa yang terdekat, dan ke segenap sudut
dan persimpangan jalan.
Pematang-pematang
di sawah, pagar-pagar batu yang mengelilingi desa-desa terdekat, gunduk-gunduk
padas di tepi jalan, tiba-tiba di mata orang itu berubah menjadi orang-orang
yang dengan cermatnya mengawasi segala gerak-geriknya. Apalagi ketika jauh-jauh
dilihatnya beberapa orang, ya… orang yang sebenarnya sedang menggarap sawahnya.
Hati orang itu
tiba-tiba menjadi kecut. Apalagi kemudian Mahesa Jenar berkata,
“Ki Sanak…
jangan ganggu kami di tanah sendiri. Kalian hanya dapat datang kemari dalam
saat-saat tertentu dan dalam jumlah tertentu. Tetapi kami berada di tempat ini
di segala waktu, dan jumlah kami tak akan terhitung olehmuu.”
Ternyata
perkataan Mahesa Jenar itu merupakan sebuah pukulan terakhir yang benar-benar
tak terlawan oleh orang bermata serigala itu. Apalagi ketika ia melihat
kawan-kawannya menjadi gelisah. Gelisah oleh kata-kata Mahesa Jenar itu. Maka
tiba-tiba terdengarlah ia berteriak nyaring dan bersamaan dengan itu, ia
menarik kendali kudanya untuk kemudian lari secepat-cepatnya meninggalkan
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta Wanamerta, Bantaran dan Penjawi yang
menjadi terheran-heran melihat peristiwa itu. Melihat orang berwajah serigala
itu dengan pucat berlari sejadi-jadinya diikuti oleh seluruh anak buahnya.
Meskipun demikian, untuk kepuasan perasaan mereka, orang-orang Nusa Kambangan
itu masih menggemakan ancaman,
“Awaslah
kalian orang-orang Banyubiru. Aku akan datang pada waktunya dengan seluruh
orang-orang kami.” Gema ancaman itu memukul lereng-lereng bukit kecil yang
banyak berserakan di sekitar daerah itu dan bergulung-gulung berulang beberapa
kali. Namun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya tersenyum saja.
Beberapa saat
kemudian terdengar suara Wanamerta bergumam,
“Angger,
kenapa orang-orang itu dibiarkan saja pergi?”.
Mahesa Jenar
menoleh. Dengan tenang ia menjawab,
“Kami berada
di daerah yang tak kami kenal. Kami tidak yakin bahwa apabila kami bertempur melawan
orang-orang itu, Lembu Sora akan membenarkan sikap kami. Kalau kejadian ini
dianggapnya akan dapat membahayakan ketenteraman Banyubiru, maka ia dapat
mempergunakan persoalan ini sebagai alasan untuk melakukan hal-hal yang tidak
kami inginkan. Karena itu sebaiknya kami menghindarkan diri dari segala
peristiwa yang dapat merugikan perjalanan kami, meskipun kami nyata-nyata tidak
memulainya.”
Wanamerta
mengangguk-anggukkan kepala penuh pengertian. Demikian juga Bantaran dan
Penjawi. Perlahan-lahan mereka menyarungkan keris-keris mereka kembali.
Kemudian rombongan itu meneruskan perjalanannya perlahan-lahan. Tetapi dengan
demikian mereka jadi tertunda untuk beberapa waktu. Namun demikian sesuatu yang
penting telah mereka alami. Yaitu, mereka tidak lagi dapat mengabaikan
desas-desus tentang beradanya kedua pusaka Demak di Tanah Perdikan Banyubiru.
Semakin dekat dengan pusat kota, semakin rapatlah penduduk tanah perdikan itu.
Dan dengan demikian semakin banyak pulalah orang-orang yang melihat kedatangan
Mahesa Jenar, didampingi oleh seorang yang belum mereka kenal, dan di belakang
mereka berdua, tampaklah Bantaran, Penjawi dan tetua tanah perdikan itu,
Wanamerta.
BEBERAPA orang
menjadi terharu karenanya. Dengan dada sesak, mereka melambaikan tangan mereka.
Namun diantara mereka ada pula yang mengumpat di dalam hati, dan yang kemudian
membenahi pakaian dan kekayaan mereka sambil menggerutu,
“Kalau
setan-setan itu lewat, akan celakalah daerah kami ini. Kenapa perampok-perampok
itu tidak mati disambar petir atau tertangkap pada saat mereka merampok…?”
Tetapi ia
tidak berani mengatakannya kepada seorangpun. Meskipun kepada anak atau
adiknya. Sebab ia tahu benar, bahwa pemuda-pemuda Banyubiru memiliki kesetiaan
yang tinggi terhadap tanah mereka, serta sedang berjuang memulihkan hak tanah
itu kepada tempat yang sewajarnya. Laki-laki maupun wanita. Ketika mereka
muncul di alun-alun Banyubiru, tampaklah dari rumah kepala daerah perdikan itu,
beberapa orang berdiri berjajar di depan regol halaman. Mahesa Jenar tersenyumn
melihat sambutan itu. Agaknya seseorang telah melaporkan kedatangannya,
sehingga Ki Ageng Lembu Sora dapat menyiapkan diri, menyambut kedatangan
mereka, meskipun ujud sambutan itu sendiri masih belum diketahuinya. Karena
itulah, meskipun wajah-wajah mereka mengulum senyum segar, namun mereka tidak
meninggalkan kewaspadaan sepenuh-penuhnya. Semakin dekat mereka dengan rumah
kepala daerah itu, senyum Mahesa Jenar menjadi semakin suram. Sebab ia menjadi
semakin jelas bahwa di belakang orang-orang yang berdiri di regol halaman,
tampaklah ujung-ujung tombak yang berjajar-jajar rapat. Dan ketika Mahesa Jenar
melayangkan pandangannya ke sudut-sudut pagar halaman di ujung alun-alun
sebelah-menyebelah, tahulah ia bahwa halaman rumah kepala daerah perdikan
Banyubiru itu dijaga rapat sekali. Beberapa orang siap dengan senjata di tangan
mereka.
Mahesa Jenar
menoleh kepada Kebo Kanigara. Agaknya orang itupun sedang memperhatikan keadaan
dengan seksama. Lebih seksama lagi daripada Mahesa Jenar. Sebab kecuali ia
melihat ujung-ujung senjata yang gemerlapan karena cahaya matahari, juga karena
ia sama sekali belum pernah datang ke tempat itu sebelumnya. Karena itu sebagai
seorang yang sudah cukup makan garam, maka untuk menghadapi setiap kemungkinan,
ia perlu mengetahui keadaan di mana ia sedang berada. Wanamerta, Bantaran dan
Penjawi pun melihat suasana itu. Hati mereka menjadi berdebar-debar. Mereka
adalah orang-orang yang termasuk dalam catatan Lembu Sora untuk dilenyapkan.
Bahkan mereka adalah orang-orang yang pertama-tama. Dalam pada itu, mereka
menjadi ragu. Apakah kedatangan mereka itu tidak hanya sekadar mengantarkan
nyawa mereka. Dan bukankah mereka sudah mengusulkan kepada Mahesa Jenar, bahwa
cara yang demikian itu sangatlah berbahaya. Tetapi mereka sudah berada di depan
hidung Lembu Sora. Apapun yang akan terjadi harus mereka hadapi sebagai seorang
jantan. Apalagi ketika mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang masih
tetap tenang, meskipun wajah-wajah mereka menjadi bersungguh-sungguh pula.
Rombongan itu semakin lama menjadi semakin dekat. Beberapa orang yang berdiri
di regol halaman itupun telah mulai bergerak maju untuk menyambutnya. Dan yang
paling depan dari mereka adalah Lembu Sora sendiri dan Sawung Sariti.
Ketika mereka
sudah lebih dekat lagi, segera Mahesa Jenar menghentikan kudanya dan langsung
meloncat turun diikuti oleh kawan-kawannya. Beberapa orang anak buah Lembu Sora
segera berlari-larian menerima kuda-kuda mereka. Berbeda dengan pada saat
Mahesa Jenar berjumpa untuk pertama kalinya dengan Lembu Sora, kali ini kepala
daerah perdikan Pamingit itu menyambutnya dengan tertawa-tawa, meskipun
sikapnya yang sombong itu masih saja memancar dari wajahnya yang tengadah.
“Marilah, Adi
Mahesa Jenar…” sambutnya.
“Aku merasa
bergembira sekali mendapat kunjunganmu.”
Mahesa Jenar
mengangguk hormat sambil menjawab,
“Sebagai
seorang yang pernah menerima kebaikan hati dari penduduk Banyubiru, sekali-kali
aku ingin menengoknya kembali.”
“Bagus-bagus…”
sahut Lembu Sora.
“Marilah kami
persilahkan kalian masuk dan naik ke pendapa yang memang telah kami persiapkan
untuk menyambut kedatangan kalian.”
Maka
berjalanlah mereka beriring-iring naik ke pendapa yang sudah direntangi tikar
pandan yang putih bersih. Pendapa yang lima tahun lalu pernah dikenal pula oleh
Mahesa Jenar sebagai tempat untuk duduk-duduk menghirup hawa sejuk yang
mengalir di sepanjang lereng-lereng pegunungan Telamaya. Sebagai tempat untuk
bermain-main Arya Salaka bersama-sama dengan ayahnya, Ki Ageng Gajah Sora. Juga
sebagai tempat untuk memulai memberikan dasar-dasar ilmu tata berkelahi dan
dasar-dasar tempaan jiwa oleh Gajah Sora kepada putra tunggalnya, Arya Salaka.
Sekarang ia kembali berada di pendapa itu sebagai tamu. Tamu yang membawa tugas
berat dari anak Ki Ageng Gajah Sora untuk menyampaikan permintaan yang amat
penting. Yaitu haknya kembali atas tanah perdikan ini.
Setelah mereka
melingkar di atas tikar pandan itu, mulailah Lembu Sora mengucapkan selamat
atas kedatangan tamu-tamunya itu.
“Adi Mahesa
Jenar, kami keluarga Banyubiru dan Pamingit mengucapkan selamat datang kepada
Adi bersama-sama dengan rombongan, kepada kawan Adi yang belum aku kenal, dan
kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi.”
Mahesa Jenar
mengangguk. Jawabnya,
“Terimakasih
Kakang. Mudah-mudahan segenap keluarga Pamingit dan keluarga Banyubiru selamat
dan sejahtera. Kecuali itu perkenankanlah aku memperkenalkan kawanku ini. Ia
adalah seorang Putut dari Karang Tumaritis, bernama Karang Jati.”
Lembu Sora
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pernah mendengar nama tempat itu. Karang Tumaritis.
SEBELUM Lembu
Sora ingat nama Karang Tumaritis, tiba-tiba terdengar Sawung Sariti menyela,
“Aku sudah
pernah datang ke tempat itu. Karang Tumaritis tempat tinggal Panembahan Ismaya.
Orang yang mengaku dirinya waskita tetapi tak sesuatupun yang diketahuinya.”
“Ya, kepada
Panembahan itulah aku menghambakan diri,” sela Kebo Kanigara.
Sawung Sariti
memandang Kebo Kanigara dengan sikapnya yang khusus. Seperti juga ayahnya, ia
mewarisi sikap sombong. Tetapi tiba-tiba sikapnya segera berubah. Ia melihat
Kebo Kanigara justru tidak di Karang Tumaritis, tetapi di Gedangan ketika ia
pada saat itu membawa laskarnya bersama-sama dengan Sima Rodra, Bugel Kaliki
dan laskar sepasang Uling dari Rawa Pening.
Tetapi untuk
sementara ia tidak berkata apa-apa dan berusaha untuk menghilangkan kesan
perasaannya itu dari wajahnya. Sebab mau tidak mau, dan meskipun ia tidak
sempat menyaksikan Kebo Kanigara bertempur pada saat itu, karena ia sendiri
segera terlibat dalam perkelahian dengan Arya Salaka, namun bahwa Bugel Kaliki,
Sima Rodra tua, dan Jaka Soka dapat diusir dan malahan Janda Sima Rodra
terbunuh pula, maka mau tidak mau kekuatan orang itu harus diperhitungkan,
disamping kesaktian Mahesa Jenar yang mengagumkan. Disusul kemudian berita
kematian sepasang Uling dari Rawa Pening.
Kemudian,
setelah mereka tenang sejenak, kembali terdengar Lembu Sora berkata kepada
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi,
“Paman
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, sudah lama rakyat Banyubiru merindukan kalian.
Kemanakah kalian? Kemanakah kalian pergi selama ini? Dan apakah keperluan
kalian? Sebenarnya tenaga kalian sangat kami perlukan di sini untuk membantuku
selama ini.”
Sambil
mengangguk-angguk Wanamerta menjawab,
“Anakmas Lembu
Sora, aku semakin lama semakin menjadi tua. Dan apakah arti hidupku ini bagi
Banyubiru, kalau tidak dapat berbuat sesuatu untuknya. Karena itu aku mencoba
untuk menemukan putra Anakmas Gajah Sora, Arya Salaka.”
Warna merah
membersit di wajah Ki Ageng Lembu Sora. Namun segera ia berusaha untuk
menenteramkan hatinya. Bahkan kemudian ia bertanya seolah-olah ia sendiri
mengharap kehadiran anak itu.
“Lalu, adakah
usaha Paman Wanamerta berhasil…?”
“Pangestu
Angger, aku berhasil,” jawabnya.
Lembu Sora
menarik nafas panjang untuk meredakan debar jantungnya. Kemudian ia berkata pula,
“Aku tidak
dapat mengerti, bagaimana Paman Wanamerta dapat bertemu dengan anak itu.”
“Mudah saja,
Anakmas,” jawab Wanamerta,
“Aku pergi ke
tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh Cucu Sawung Sariti.”
Sawung Sariti
menjadi gelisah. Namun ia adalah anak yang cerdik. Secerdik ayahnya. Maka
dengan berpura-pura terkejut ia menjawab,
“Adakah Eyang
Wanamerta pernah pergi ke tempat-tempat yang pernah aku kunjungi?”
“Benar Cucu
Sawung Sariti,” jawab Wanamerta.
“Dan menemukan
Kakang Arya Salaka…?”
Sambil mengangguk
puas, Wanamerta menjawab,
“Benar Cucu.”
Tiba-tiba
Sawung Sariti menjawab sambil tertawa keras-keras. Katanya di sela-sela derai
tawanya,
“Sayang,
Eyang…. Seperti aku juga mula-mula terjebak oleh suatu kecurangan yang hampir
sempurna. Seorang anak muda yang sebaya dengan aku mengaku bernama Arya
Salaka.”
Darah
Wanamerta tersirat mendengar jawaban itu. Juga Bantaran dan Penjawi. Apalagi
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Wajah mereka segera berubah merah dan jantung
mereka berdentam seperti guruh yang menggelegak di dalam dada mereka.
Bagaimanapun mereka mencoba menahan diri, namun terasa juga tangan-tangan
mereka menjadi gemetar karenanya.
Tetapi sebelum
mereka dapat mengatur perasaan mereka, terdengarlah suara Lembu Sora,
“Adi Mahesa
Jenar, aku memang pernah mendengar tentang seorang anak muda menamakan dirinya
Arya Salaka. Tetapi aku belum pernah melihatnya. Sebagai seorang paman, aku
pasti akan mengenalnya kembali meskipun sudah sejak kurang lebih lima tahun
yang lalu tak melihatnya. Aku sejak kanak-kanak tidak akan melupakannya. Namun
perlu Adi ketahui bahwa seorang anak muda yang bernama Arya Salaka itu pernah
diketemukan mati terbunuh. Ia kehilangan pusakanya Kyai Bancak dan sebuah
peniti yang barangkali dari emas, serta timangnya bertetes intan.”
Sekali lagi
sebuah petir seolah-olah meledak di dalam pendapa itu. Bahkan jauh lebih
dahsyat dari cerita Sawung Sariti. Penjawi yang paling tidak dapat menahan
diri, dengan tergagap berteriak,
“Bohong,
semuanya bohong…!”
Lalu suara
Penjawi hilang tersumbat di kerongkongan. Seolah-olah berjejal-jejal berebut
dahulu, sehingga dengan demikian malah tak sekata pun yang muncul seterusnya.
Mendengar kata-kata Penjawi yang terbata-bata itu, Lembu Sora tersenyum. Senyum
yang sangat menyakitkan hati. Tetapi kemudian ia berkata dengan ramahnya,
“Jangan
berprasangka yang bukan-bukan, Penjawi. Aku sama sekali tak bermaksud
membohongi kalian. Tetapi sebaiknya kalian dapat mempertimbangkan
kejadian-kejadian yang pernah berlaku. Kalian jangan membabi buta atas
kesetiaan kalian kepada Arya Salaka, sebagai ungkapan kesetiaan atas tanah yang
sama-sama kita cintai.”
PENJAWI
bukanlah orang yang dapat banyak bicara. Karena itu semakin banyak yang akan
diucapkan, semakin sulit kata-kata itu keluar dari mulutnya. Demikian juga Bantaran
yang hanya dapat mengingsar-ingsar duduknya dan meraba-raba hulu kerisnya.
Wanamerta sendiri menjadi bingung. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan
mendapat jawaban yang demikian. Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara,
meskipun menjadi gelisah, mereka masih tetap pada kesadaran yang penuh. Karena
itu Mahesa Jenar masih dapat berkata las-lasan,
“Kakang Lembu
Sora, apakah yang Kakang katakan itu merupakan pendapat Kakang Lembu Sora?”
Lembu Sora
mengernyitkan keningnya. Terhadap Mahesa Jenar ia harus berhati-hati. Karena
itu ia mempertimbangkan setiap kata-katanya dengan baik. Maka setelah berfikir
sejenak ia menjawab.
“Adi, aku
tidak mengatakan demikian. Tetapi aku wajib mempertimbangkan setiap keadaan,
supaya aku tidak meletakkan keputusan yang salah”.
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Lalu katanya meneruskan,
“Baik. Kalau
demikian bagaimanakah kalau berita tentang kematian yang Kakang dengar itu
salah…?”
Lembu Sora
berpikir sekali lagi. Baru ia menjawab,
“Mudah-mudahan
berita yang aku dengar itu salah. Tetapi bagaimana aku tahu kalau berita itu
tidak benar?”
“Kakang akan
tahu bahwa berita itu tidak benar setelah Kakang nanti dapat bertemu dengan
Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar.
Lembu Sora
tersenyum. Katanya,
“Bagaimanakah
aku dapat percaya bahwa yang datang kemudian itu Arya Salaka?”
“Ia harus
membawa tanda kebesaran Banyubiru,” jawab Mahesa Jenar.
“Dan bukankah
Kakang akan dapat mengenal kembali kemenakan Kakang itu?”
“Permainan
yang bagus,” potong Sawung Sariti.
“Aku pernah
bertemu dengan Paman Mahesa Jenar di Gedangan bersama-sama dengan anak muda
yang menamakan diri Arya Salaka, yang membawa tombak yang dinamainya Kyai
Bancak.”
“Diam!”
Tiba-tiba terdengar Bantaran membentak. Semua orang terkejut mendengar bentakan
itu. Bahkan Bantaran sendiri terkejut.
Sawung Sariti
sama sekali tidak senang mendengar Bantaran membentaknya. Karena itu ia
menjawab tajam,
“Bantaran…
kalau kau membentak aku sekali lagi, aku sobek mulutmu.”
Tetapi
kata-kata bentakan itu sudah terucapkan. Sebagai laki-laki, Bantaran tidak mau
dihinakan, meskipun ia tahu bahwa Sawung Sariti bukanlah lawannya. Tetapi mati
atas landasan kesetiaan kepada Banyubiru adalah pengabdian yang didambanya
selama ini. Dengan demikian tiba-tiba menengadahkan dadanya sambil berkata,
“Aku akan
berbuat sekali, dua kali, sepuluh kali lagi, sesuka hatiku.”
Hampir saja
Sawung Sariti meloncat, kalau ia tidak ditahan Lembu Sora, yang agaknya
kepalanya masih cukup dingin. Namun kata-katanya sangat menyakitkan hati.
“Sawung
Sariti, adakah cukup berharga bagimu untuk menyentuh tubuhnya?”
Sawung Sariti
menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin memadamkan api yang
berkobar-kobar di dalam dadanya. Namun dari matanya terpancarlah bara kemarahan
yang tak terhingga.
Mahesa Jenar
melihat keadaan berkembang ke arah yang tidak diharapkan, meskipun ia tidak
dapat menyalahkan Bantaran, Wanamerta maupun Penjawi. Ia sebenarnya sama sekali
tidak menduga bahwa sampai sedemikian jauh keingkaran Lembu Sora dan Sawung
Sariti terhadap kemenakannya serta sepupunya sendiri. Terhadap kadang tuwa yang
selalu bersikap baik kepada mereka, Gajah Sora.
Mahesa Jenar
pernah mendengar cerita tentang hubungan mereka. Lembu Sura dengan Gajah Sora
sebagai kakak-beradik. Ia pernah mendengar bagaimana Gajah Sora sebagai saudara
tua selalu melindungi dan membimbing adiknya dalam berbagai soal, dan banyak
mengalah dalam berbagai hal. Namun akibatnya, kemanjaan Lembu Sora itu menjadi
berlebih-lebihan dan menelan Gajah Sora sendiri. Kalau sekali dua kali, Gajah
Sora pernah marah kepadanya, adalah wajar. Sebagai seorang kakak yang ingin
melihat adiknya tidak berbuat kesalahan-kesalahan. Mahesa Jenar berusaha untuk
tetap memelihara suasana pertemuan itu agar tidak bertambah kusut, meskipun
dadanya sendiri seperti hendak meledak. Maka berkatalah ia dengan
setenang-tenangnya, seolah-olah tidak terjadi ketegangan sama sekali di dalam
pertemuan itu.
“Kakang Lembu
Sora, baiklah kita berbicara mengenai beberapa soal yang penting. Biarlah kita
singkirkan masalah-masalah kecil yang tidak berarti.”
Lembu Sora
menelan ludahnya serta menggigit bibirnya. Ia kagum juga kepada Mahesa Jenar
yang dapat menguasai perasaannya dengan baik. Tetapi ia sudah bertekad untuk
menganggap bahwa Arya Salaka sudah tidak ada lagi di muka bumi ini. Karena itu
Lembu Sora menjawab,
“Baiklah Adi,
aku tidak pernah menolak berbicara dengan siapa saja, selama pembicaraan itu
akan berguna. Berguna bagi Pamingit, bagi Banyubiru, dan berguna bagi kita
semua.”
“Demikianlah
harapan kami,” sahut Mahesa Jenar.
“Kedatangan
kami ini pun pada kepentingan Banyubiru. Bukan kepentingan kami sendiri.”
Lembu Sora
tersenyum. Dengan penuh kesadaran akan kebesaran dirinya, ia menjawab,
“Nah,
katakanlah apa yang berguna bagi Banyubiru itu?”
“Aku membawa
tugas dari Angger Arya Salaka, untuk menyampaikan baktinya kepada Kakang Lembu
Sora,” sahut Mahesa Jenar.
Lembu Sora
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab,
“Adi Mahesa
Jenar, jangan mengada-ada. Kau bagiku adalah seorang yang pantas dihormati seperti
Kakang Gajah Sora dahulu menghormatimu. Namun demikian hormat kami pun mengenal
batas. Sebagai kepala daerah perdikan yang besar, yang terbentang dari Pamingit
sampai Banyubiru, aku harus bersikap baik, namun tegas dalam garis
kepemimpinan. Karena itu aku minta kepada Adi untuk tidak menyebut-nyebut nama
Arya Salaka, seorang yang telah tidak ada lagi.”
MAHESA JENAR
mengangkat dadanya seolah-olah ada sesuatu yang menyilang di dalamnya. Dengan
sudut matanya ia melihat betapa wajah Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sudah
menjadi merah padam. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih berkata,
“Bukankah
Kakang Lembu Sora tidak melihat sendiri, seorang anak muda yang disebut bernama
Arya Salaka itu terbujur di tanah tak bernafas lagi?”
Perasaan tidak
senang yang tajam terpercik di wajah Lembu Sora. Kemudian terdengarlah ia
menjawab,
“Aku tidak
sempat untuk mengurusi masalah-masalah tetek bengek yang tidak berarti.
Bukankah aku mempunyai petugas-petugas untuk keperluan itu…?”
“Kalau benar
Kakang berbuat demikian, maka agaknya Kakang Lembu Sora telah berbuat suatu
kesalahan. Persoalan Arya Salaka bukanlah persoalan tetek bengek yang tak
berarti. Arya Salaka adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang berhak
untuk menggantikan kedudukan itu apabila ayahnya berhalangan melakukan
tugasnya,” sahut Mahesa Jenar yang sudah mulai kehilangan kesabarannya.
“Hemmm…”
dengus Lembu Sora. Wajahnya pun telah mulai semburat merah.
“Sebenarnya
aku tidak ingin mengatakan kepada Adi, bahwa aku tidak dapat mempercayaimu
sejak perjumpaan kita yang pertama-tama. Sejak hilangnya pusaka Kyai Nagasasra
dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru.”
Dada Mahesa
Jenar benar-benar seperti dihantam linggis, mendengar kata-kata itu. Sehingga
tidak sesadarnya ia menggeretakkan giginya. Namun bagaimanapun juga dengan
susah payah ia masih menahan diri, dan berkata,
“Kakang, aku
tidak keberatan terhadap sikapmu kepadaku. Tetapi bagaimanakah seandainya anak
muda yang aku namakan Arya Salaka itu mendapat kesaksian dari segenap penduduk
daerah perdikan ini, dan mereka menerimanya sebagai Arya Salaka yang
sebenarnya?”
Pertanyaan ini
sekali lagi menggelisahkan Lembu Sora. Sawung Sariti pun tidak tahan lagi untuk
membiarkan pembicaraan yang tak disukainya itu berlarut-larut. Maka ia pun
kemudian menyela,
“Ayah, apakah
gunanya pembicaraan ini kita layani? Sebaiknya biarlah tamu-tamu kita ini kita
persilakan berdiam diri. Dengan rendah hati atau kalau perlu kita terpaksa
memaksa mereka dengan cara kita.”
Mahesa Jenar
memandang Sawung Sariti dengan sudut matanya. Sekali lagi ia merasa muak
melihat wajah itu. Wajah yang tampan dan bersih namun di belakang wajah itu
tersirat kelicikan hatinya. Tiba-tiba ia teringat kepada Jaka Soka dari Nusa
Kambangan.
“Angger…” kata
Mahesa Jenar kemudian,
“Biarlah kami
berbicara secara orang tua. Sebaiknya Angger bermain-main saja di halaman,
daripada mencampuri urusan ini.”
Bara yang
mula-mula berkobar di dada Sawung Sariti masih belum padam, ditambah dengan
kata-kata Mahesa Jenar yang cukup tajam itu. Maka semakin menyalalah hatinya.
Tetapi sebelum ia menjawab, Lembu Sora telah mendahuluinya,
“Adi Mahesa
Jenar, aku tidak mau membicarakannya lagi. Aku sudah memutuskan untuk
menganggap Arya Salaka telah mati, dan Kakang Gajah Sora pun telah dihukum mati
di Demak, sebagai akibat dari pengkhianatannya, meskipun aku telah berusaha
untuk mencegahnya.”
“Maaf Kakang,”
potong Mahesa Jenar,
“Aku datang
untuk membicarakannya. Bukan untuk sekadar menghadap yang dipertuan di
Banyubiru sekarang.”
“Cukup…!”
potong Lembu Sora,
“Tidak ada
yang aku bicarakan.”
Mahesa Jenar
benar-benar tersinggung karenanya, ditambah dengan perasaan muaknya sejak
bertemu dengan orang itu untuk pertama kalinya. Karena itu ia menjawab lantang,
“Kalau kau
tidak mau berbicara, aku akan berbicara dengan rakyat Banyubiru, dan membuktikan
kepada mereka bahwa Arya Salaka akan berada di tengah-tengah mereka.”
Mendengar
ancaman Mahesa Jenar itu, Lembu Sora terperanjat. Tetapi kemudian ia pun
menjadi marah dan menjawab,
“Adi Mahesa
Jenar, akulah kepala daerah perdikan ini. Akulah yang berwenang atas rakyat dan
daerah ini. Tak seorang pun aku perkenankan melanggar wewenangku. Apalagi kau.
Ayah Sora Dipayana pun tidak.”
Wanamerta
mendengar kata-kata itu dengan dada yang berdentam-dentam. Telinganya serasa
tersentuh api. Maka katanya lantang, meskipun ia langsung berhadapan dengan
bahaya yang dapat saja merenggut jiwanya,
“Anakmas Lembu
Sora, akulah yang mula-mula minta kepada Anakmas untuk mengawasi daerah
perdikan ini sepeninggal Anakmas Gajah Sora. Tetapi cerita tentang Anakmas
Lembu Sora tak dapat ditutup-tutupi lagi. Cerita tentang hilangnya Anakmas Arya
Salaka, yang untung dapat diselamatkan oleh Anakmas Mahesa Jenar. Cerita
tentang laskar yang Anakmas namakan Laskar Pamingit dan Banyubiru yang ingin
membebaskan Anakmas Gajah Sora dengan menyerang pasukan dari Demak. Seterusnya
cerita tentang hilangnya Pandan Kuning dan Sawung Rana.”
“Cukup!”
teriak Lembu Sora.
“Ternyata
rambutmu yang telah memutih itu sama sekali tidak mencerminkan hatimu yang
putih. Kau ingin melihat darah mengalir di Banyubiru. Kalau dengan demikian kau
akan dapat mengambil keuntungan, maka kaulah orang yang pertama-tama aku
lenyapkan sekarang ini.”
“Tak seorang
pun yang dapat melenyapkan kenyataan yang telah terjadi. Betapapun orang
berusaha menutupi kebenaran dan menghapuskan. Namun kebenaran itu tak akan
lenyap,” sanggah Wanamerta dengan berani.
“Jangan
menggurui aku,” bentak Lembu Sora.
“Aku tahu, kau
sudah berusia lanjut. Tetapi jangan berlagak lebih pandai daripada orang-orang
muda. Bagiku tidak ada tempat bagi kalian di Banyubiru.”
Mahesa Jenar
sekali lagi mencoba untuk yang terakhir kalinya menempuh cara yang
sebaik-baiknya bagi penyelesaian Banyubiru. Katanya,
“Ki Ageng
Lembu Sora, mumpung segala sesuatu belum telanjur, marilah kita tenangkan hati
kita. Berilah aku kesempatan untuk menunjukkan kemauan kami yang sebenarnya.
Bahwa tak ada artinya pertentangan antara kita sama kita. Biarlah kita cari
jalan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah kita.”
LEMBU SORA
mendengus. Matanya benar-benar telah memancar merah bara.
“Agaknya
kaulah sumber dari keributan ini. Kau telah membuat seorang anak muda
menggantikan kesempatan Arya Salaka untuk kepentinganmu. Kau cari seorang anak
muda yang mirip dengan anak itu. Kau ajari dia menyebut aku paman dan menyebut
nama ayahnya Gajah Sora. Kau ajari dia menuntut hak atas Banyubiru.”
“Ki Ageng
Lembu Sora…” potong Mahesa jenar,
“Demi
kehormatan kita masing-masing, jangan katakan yang bukan-bukan.”
“Nah…” jawab
Lembu Sora berapi-api,
“Bukankah kau
takut melihat kenyataan itu? Kenyataan bahwa permainan kotormu telah aku
ketahui.”
“Kau telah
benar-benar tersesat. Kalau tanggapanmu itu jujur, maka kau benar-benar telah
berdiri di atas alas yang gelap, yang sama sekali tak dipancari oleh
kebijaksanaan.”
“Cukup!”
teriak Lembu Sora dengan gemetar.
“Jangan
membuat aku kehilangan kesabaran.”
Mahesa jenar
adalah seorang jantan. Seorang perwira yang tak mengenal surut. Ketika ia
mendengar teriakan-teriakan dan bentakan-bentakan itu, bagaimanapun sabarnya ia
menjadi marah pula. Karena itu ia pun kemudian menjawab lantang,
“Kakang Lembu
Sora, kalau kau berbicara atas hak maka akulah yang memegang hak sekarang ini
atas Banyubiru. Aku telah menerima wewenang langsung dari Kakang Gajah Sora
sejak Kakang Gajah Sora meninggalkan daerah ini. Akulah yang mendapat tugas
darinya untuk mengamankan Banyubiru dan putranya, Arya Salaka. Akulah sekarang
yang mempunyai kewajiban untuk mengatur Banyubiru berdasarkan dan bersumberkan
wewenang yang diberikan oleh Kakang Gajah Sora. Karena itu jangan mencoba
membatasi usahaku memulihkan pemerintahan di Banyubiru.”
Lembu Sora
telah benar-benar kehilangan pengamatan diri. Tiba-tiba ia berkisar maju
dekat-dekat di muka Mahesa Jenar. Sambil menuding wajahnya, Lembu Sora berkata,
“Kau adalah
orang yang paling berbahaya bagi Banyubiru. Kau adalah sumber bencana sejak
hilangnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Aku telah menasihatkan kepada
kakang Gajah Sora untuk menangkapmu. Tetapi ia tidak mau. Dan sekarang ketika
kau hadir kembali ke daerah ini, tersebarlah desas-desus bahwa keris itu berada
di Banyubiru. Bukankah itu jelas? Jelas bahwa kau yang telah mencuri kedua
pusaka itu.”
Mahesa Jenar
tiba-tiba juga kehilangan pengamatan diri. Ketika tangan Lembu Sora masih
berada di depan wajahnya, tiba-tiba dengan kerasnya ia memukulnya ke samping.
Dan kemudian dengan cepatnya, secepat getaran cahaya, ia meloncat turun dari
pendapa, dan berkata kepada Lembu Sora dengan marahnya,
“Lembu Sora…
aku adalah laki-laki seperti kau.”
Lembu Sora pun
kemudian meloncat tak kalah cepatnya. Dengan wajah yang bengis ia berdiri
berhadapan dengan Mahesa Jenar. Sementara itu Wanamerta, Bantaran dan Penjawi
pun segera berloncatan, dan tiba-tiba mereka sudah bersiap untuk bertempur.
Dalam pada
itu, setiap laskar Banyubiru dan Pamingit yang berada di halaman itu segera
mendesak maju. Dan dalam waktu yang singkat mereka telah mengepung pendapa itu.
Apalagi ketika kemudian Lembu Sora berkata lantang kepada mereka,
“Hai laskar
Banyubiru…. Selamatkan daerahmu dari orang-orang yang ingin merampas milikmu.
Sebab mereka masih belum melupakan, beberapa tahun yang lalu, mereka hampir
mencincang kau ketika mereka menyadari bahwa kau telah mencuri pusaka-pusaka
yang dengan susah payah diusahakan oleh kakang Gajah Sora. Tetapi Kakang Gajah
Sora terlalu baik hati kepadamu.”
Laskar
Banyubiru dan Pamingit itu pun kemudian semakin mendesak maju. Dan tiba-tiba
terdengar diantara mereka suatu teriakan, “Bunuh…!”
Mahesa Jenar
memutar tubuhnya seperempat lingkaran. Dengan kaki renggang ia menghadapi
setiap kemungkinan. Ketika dilihatnya laskar di sekitarnya semakin mendesak
maju, ia pun berteriak kepada Lembu Sora,
“Aku adalah
orang terakhir yang mendapat kepercayaan Kakang Gajah Sora.”
Lembu Sora
menyahut keras,
“Omong
kosong!”
Tetapi Mahesa
Jenar tidak memperhatikannya sama sekali. Dengan lantang ia meneruskan
kata-katanya,
“Kalau ada
diantara kalian laskar Banyubiru benar-benar laskar Banyubiru, dengarkanlah
kata-kataku. Kalau kalian menyerang aku, adalah sama saja kalian menyerang
Gajah Sora yang memberikan kepercayaan kepadaku untuk mengasuh dan mengamankan
putranya, Arya Salaka. Dengan demikian kalian telah melupakan diri kalian
sendiri sebagai pengawal-pengawal setia Banyubiru. Siapakah yang telah bekerja
sepenuh hati untuk Banyubiru…? Siapakah yang telah membangun tempat-tempat
ibadah yang tersebar di empat penjuru Banyubiru…? Siapakah yang telah menggali
parit-parit untuk sawah-sawah kalian…? Dan siapakah yang paling bersedih hati
pada saat Banyubiru dilanda oleh arus kejahatan dari gerombolan hitam dan menelan
banyak korban, beberapa tahun yang lalu? Dan siapakah yang telah mempertaruhkan
dirinya bagi ketenteraman rakyat Banyubiru ketika pasukan dari demak datang ke
tempat ini karena desas-desus dan fitnah atas kebersihan hati rakyat Banyubiru,
disamping kesetiaannya kepada panji-panji Gula Kelapa yang pernah dibelanya
mati-matian. Siapa…? Dan siapakah diantara kalian yang pada saat itu ikut serta
dengan Gajah Sora, dan hampir saja terjadi perlawanan tergadap Demak? Siapa?
Dan apakah yang kalian lakukan sekarang? Kalian telah mengingkari diri kalian
dan kesetiaan kalian atas tanah ini.”
No comments:
Post a Comment