Bagian 056


TETAPI pertanyaan itu merupakan penegasan dari berita-berita yang mengatakan bahwa di Banyubiru tersebar desas-desus, yang menyatakan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten berada di tempat itu. Karena itu tiba-tiba Kanigara ingin mengetahui dengan pasti, siapakah orang-orang itu. Demikian juga agaknya Mahesa Jenar dan bahkan ketiga kawan-kawannya. Maka bertanyalah kemudian Kebo Kanigara,
“Dari manakah kalian mendengar berita tentang kedua keris itu?”
Orang berkulit hitam dan bermata serigala itu tertawa.
“Apakah untungmu mengetahui dari mana aku mendengarnya?”
Kanigara menyahut,
“Sayang, kau mimpi di siang hari. Tak ada keris di tanah perdikan Banyubiru, kecuali kerisku sendiri serta keris kawan-kawanku ini.”
“Jangan begitu, Ki Sanak,” potong orang itu.
“Kalau kau mau menunjukkan kepadaku, kau akan menerima hadiah cukup.”
“Apakah hadiah itu?” sela Mahesa Jenar.
“Apa saja yang kau kehendaki. Uang? Emas atau permata?” jawab orang itu.
“Sayang kami tidak mengetahuinya,” desis Mahesa Jenar. Pandangan orang bermata serigala itu menjadi semakin tajam. Sekali dua kali ia menengok kepada kawan-kawannya yang berada di belakangnya, seolah-olah ia ingin mengetahui kesiapsiagaan mereka.
“Memang orang-orang Banyubiru keras kepala,” gumam orang itu.
“Seperti kepala daerah perdikannya.”
“Ki Sanak…” kata Kebo Kanigara kemudian,
“Yang paling mengetahui segala sesuatu di Banyubiru ini adalah Ki Ageng Lembu Sora. Kalau kau tadi telah menemuinya, maka kenapa tidak kau tanyakan kepadanya? Atau barangkali kalau kau sudah menanyakannya dan dijawabnya kedua keris itu tidak berada di Banyubiru, maka jawaban itu pastilah benar.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Wajahnya semakin menunjukkan ketidakpuasannya. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk menyabarkan diri dan berkata ditahan-tahan.
“Kalian tinggal memilih. Menunjukkan di mana keris itu berada dan menerima hadiah atau tidak mau menjawab, tetapi kalian binasa.
Kanigara masih tetap berkata dengan sabarnya,
“Ki Sanak. Apakah yang akan kami katakan tentang kedua keris itu, kalau kami benar-benar tidak mengetahuinya?”
Orang berkulit hitam itu sekali lagi menengok kepada kawan-kawannya dan seperti orang minta pertimbangan ia berkata,
“Apakah yang sebaiknya kami lakukan atas orang-orang ini?”
“Terserah Ki Lurah,” jawab salah seorang diantara mereka.
“Hem….” ia menarik nafas.
“Ki sanak, kami merasa perlu untuk memberi pelajaran kepada kalian, sekaligus memberi peringatan kepada Ki Ageng Lembu Sora. Kalau ia akan tetap berkeras kepala, nasib rakyatnya akan tidak menyenangkan. Sekali lagi aku memberi kesempatan kepada kalian untuk menunjukkan kepada kami di mana kedua keris itu disimpan. Menilik sikap, pakaian dan keadaan kalian, kalian adalah orang-orang penting di Banyubiru ini. Tetapi kalau kalian tetap tidak mau bicara, maka kalian akan menjadi orang pertama yang akan kami jadikan korban. Kalian akan kami bunuh dengan cara yang mengerikan. Mata kalian akan kami copot dari batok kepala kalian. Dada kalian akan kami silang dengan pisau dan isi perut kalian akan kami tumpahkan keluar. Nah, bukankah itu mengerikan? Setiap hari akan kami lakukan hal yang serupa sampai kepala daerahmu atau seseorang mau mengatakan kepada kami, baik karena ketakutan maupun karena ia ingin hadiah, di mana kedua keris itu berada.”
Semua yang mendengar kata-kata itu terkejut. Apalagi Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sebagai orang-orang Banyubiru yang sebenarnya. Penjawi, yang paling muda diantara mereka, adalah orang yang berdarah paling panas. Ia segera mendesak maju. Sebenarnya ia dapat membiarkan saja hal itu berlaku di Banyubiru. Sebab itu adalah tanggungjawab Lembu Sora pada saat ini. Sedang mereka sendiri pada saat itu agaknya mungkin sekali untuk menyelamatkan diri. Tetapi sebagai seorang yang berangan-angan masa depan yang gemilang bagi rakyat Banyubiru, ia tidak dapat berpangku tangan.

TERBAYANGLAH di dalam otak Penjawi, masa yang mengerikan akan berlangsung di Banyubiru. Masa duka yang bersusun-susun. Beban yang berat, serta usaha-usaha penyingkiran yang dilakukan oleh Lembu Sora atas orang-orang yang setia kepada tanah tercinta, dengan berbagai macam cara. Bahkan kalau perlu dengan mengadakan pembunuhan. Akan ditambah lagi dengan pameran pembunuhan oleh pihak lain. Yang dapat dipastikan, orang-orang itu datang dari golongan hitam. Maka berkatalah Penjawi dengan lantangnya,
“Ki Sanak. Dengan semua keteranganmu dan caramu menakut-nakuti kami, kami dapat memastikan bahwa kalian datang dari daerah yang kelam. Dari dunia yang penuh dengan noda-noda dan dosa-dosa. Kalian adalah orang-orang yang kami namakan golongan hitam. Sebab hati kalian adalah hati yang berwarna hitam. Sekarang kalian mencoba menakut-nakuti kami, dan rakyat kami. Tetapi kami sama sekali tidak takut. Sebab kami berdiri diatas kebenaran. Meskipun demikian kami ingin menjelaskan kepadamu sekali lagi, bahwa sebenarnyalah keris-keris itu tidak ada pada kami. Tidak ada di Banyubiru. Karena itulah, baik kami maupun Lembu Sora tak akan dapat mengatakan di mana keris itu disimpan.”
Kata-kata Penjawi terpotong oleh suara tertawa yang mengerikan. Orang yang bermata serigala itu tiba-tiba menjadi buas. Matanya semakin lama semakin liar dan berwarna merah. Dengan marahnya ia berteriak,
“Jangan mengigau. Aku tidak peduli apakah kau menganggap aku orang-orang hitam, merah, hijau atau apa saja. Tetapi kalau kau tetap berkeras kepala, kami akan melakukan rencana kami, dan mayat kalian akan kami sebarkan ke segenap sudut Banyubiru.”
Juga Penjawi menjadi marah. Wajahnya menjadi tegang dan berwarna darah. Bantaran dan Wanamerta kemudian segera mempersiapkan diri. Namun dalam ketegangan itu masih terdengar suara Kanigara tenang,
“Ki Sanak. Apa yang akan kalian lakukan kepada kami, adalah tanggungjawab kami dan kewajiban kami untuk melindungi diri. Tetapi agaknya kalian sama sekali belum mengenal kami. Orang-orang Banyubiru yang berjiwa jantan. Nyawa kami telah lama kami letakkan di ujung pengabdian kami. Karena itu sebaiknya kalian mempertimbangkannya sekali lagi.”

Kembali terdengar orang yang berkulit hitam dan bermata serigala itu tertawa keras-keras seperti hampir gila. Dengan buasnya ia menjawab,
“Apakah arti kejantanan orang Banyubiru bagi kami. Selama darah kalian masih merah, serta kalian masih belum dapat melenyapkan diri dalam satu kerdipan mata, maka kalian adalah korban-korban kami yang menyenangkan. Ketahuilah, bahwa kami datang dari Nusa Kambangan mengemban tugas dengan kekuasaan penuh.”
Meskipun orang-orang Banyubiru itu sudah menduga sebelumnya, bahwa gerombolan itu adalah gerombolan hitam, namun hati mereka tergetar pula. Bahkan kemudian terdengar Mahesa Jenar menyahut,
“Apakah kalian anak buah Ular Laut?”
“Nah…” sahut orang itu.
“Kau pasti pernah mendengar kebesaran namanya. Dengan tangannya ia akan dapat menyapu bersih segenap isi Banyubiru”.
“Hem,” gumam Mahesa Jenar.
“Agaknya pengetahuanmu terlalu sempit. Kau belum tahu betapa dahsyatnya tangan Ki Ageng Lembu Sora. Apakah artinya Jaka Soka baginya. Barangkali kau juga belum mendengar tentang putranya yang bernama Sawung Sariti.”
Orang itu mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia menjawab dengan kasarnya,
“Omong kosong semuanya. Andaikata kau berkata benar, maka Kyai Nagapasa akan dapat menyelesaikan dengan sangat mudahnya.”
“Kyai Nagapasa…?” ulang Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hampir bersamaan.
Orang itu tertawa kembali. Katanya,
“Kau menjadi pucat seperti mayat mendengar nama itu.”
“Bagaimana aku menjadi pucat mendengar nama yang tidak berarti itu. Bahkan mendengar pun aku belum pernah,” jawab Mahesa Jenar.
“Itu pertanda kepicikan pendengaranmu.” Orang itu menjelaskan dengan bangga.
“Kyai Nagapasa adalah nama ilmu pamungkas perguruan Nusa Kambangan. Dengan nama itu pula kami sebut orang yang memiliki dan mengembangkan. Ia adalah guru Jaka Soka.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Agaknya benar-benar akan terjadi peristiwa-peristiwa yang menggemparkan. Kini yang berhadapan bukan saja tokoh-tokoh muda dari kalangan hitam, namun agaknya tokoh-tokoh tua, guru-guru merekalah yang mengambil alih persoalan. Dalam sepintas, membayanglah di dalam angan-angan Mahesa Jenar akan nama-nama Pasingsingan, Umbaran, Sima Rodra dari Lodaya, Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme, Sura Sarunggi yang telah kehilangan kedua muridnya dari Rawa Pening, dan sekarang terdengar lagi sebuah nama Kyai Nagapasa. Namun disamping itu ia menjadi puas karena pancingannya berhasil untuk mengetahui asal orang-orang itu. Melihat Mahesa Jenar terdiam, orang itu mengangkat dadanya. Ia merasa bahwa orang-orang Banyubiru itu menjadi ketakutan. Karena itu sekali lagi ia menggertak,
“Nah, adakah kalian mau berkata tentang kedua keris itu, setelah kalian mendengar nama-nama yang berdiri di belakang kami?”
Orang yang berwajah buas, bermata serigala itu menjadi terkejut sekali ketika ia mendengar Mahesa Jenar menjawab,
“Sampaikan salamku kepada Jaka Soka, apabila kau sempat pulang kembali.”
Dengan mata terbelalak orang itu memandang Mahesa Jenar seperti ingin menelannya bulat-bulat. Sikapnya yang seolah-olah menganggap Jaka Soka tidak lebih dari dirinya, menyebabkan orang bermata serigala itu marah bukan kepalang. Ia menganggap Mahesa Jenar orang yang tak tahu diri. Dengan membentak-bentak ia berkata,
“Ayo, mintalah maaf atas kelancangan mulutmu itu. Kalau tidak, kau akan mati dengan menderita.”
“Penderitaan bagi laki-laki bukanlah hal yang sangat menakutkan,” jawab Mahesa Jenar.

JAWABAN itu kembali sangat mengagetkan anak buah Jaka Soka, sehingga dengan demikian ia sudah tidak merasa perlu untuk berbicara lebih banyak. Dengan lantangnya ia berkata kepada anak buahnya,
“Kepung kelinci-kelinci yang tak tahu diri ini.”
Agaknya orang-orang Nusa Kambangan itu telah benar-benar terlatih dan berpengalaman. Sebab demikian mereka mendengar aba itu, dalam waktu sekejap mereka telah bergerak dengan cepatnya membentuk sebuah gelang yang melingkari Mahesa Jenar beserta ketempat kawan-kawannya. Bersamaan dengan itu, ternyata Wanamerta, Bantaran dan Penjawipun telah siap pula dengan keris ditangan kanan dan kendali kuda ditangan kiri. Tetapi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara tampak masih tenang-tenang saja. Untuk beberapa saat mereka saling berpandangan seolah-olah mereka sedang mempertimbangan bersama apakah yang akan mereka lakukan. Tiba-tiba tampaklah Mahesa Jenar tersenyum. Dengan sangat tenangnya, seolah-olah tidak terjadi apapun pada saat itu ia berkata kepada orang yang berkulit hitam dan bermata serigala itu.
“Ki Sanak, apakah yang akan kalian lakukan?”

Melihat ketenangan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, orang itu menjadi heran. Malahan kemudian ia merasakan betapa besarnya perbawa sanak kadangku.
“Betapa tangguhnya kalian semuanya ini. Namun apabila seorang diantara para petani di sawah atau anak-anak yang sedang bermain melihat perkelahian ini, maka dengan memukul kentongan mereka akan mengerahkan segenap penduduk Banyubiru yang berjumlah ribuan orang, untuk mengepung kalian, dan justru kalianlah yang akan ditangkap oleh mereka. Meskipun demikian kalian tak usah cemas, bahwa kalian akan mengalami siksaan, apalagi dicincang. Sebab kami, penduduk Banyubiru mendasarkan watak kami kepada ketaatan. Kami mengagungkan nama Tuhan Yang Maha Esa, yang akan kami ujudkan dalam pengalaman kami dalam hidup sehari-hari.”
Perkataan Mahesa Jenar itu ternyata berkesan di hati orang bermata serigala itu. Tampaklah wajahnya yang buas itu menjadi tegang. Alisnya seolah-olah bertemu satu sama lain di atas hidungnya yang besar. Dengan liarnya ia memandang jauh-jauh ke sawah di sekitarnya, ke desa yang terdekat, dan ke segenap sudut dan persimpangan jalan.
Pematang-pematang di sawah, pagar-pagar batu yang mengelilingi desa-desa terdekat, gunduk-gunduk padas di tepi jalan, tiba-tiba di mata orang itu berubah menjadi orang-orang yang dengan cermatnya mengawasi segala gerak-geriknya. Apalagi ketika jauh-jauh dilihatnya beberapa orang, ya… orang yang sebenarnya sedang menggarap sawahnya.

Hati orang itu tiba-tiba menjadi kecut. Apalagi kemudian Mahesa Jenar berkata,
“Ki Sanak… jangan ganggu kami di tanah sendiri. Kalian hanya dapat datang kemari dalam saat-saat tertentu dan dalam jumlah tertentu. Tetapi kami berada di tempat ini di segala waktu, dan jumlah kami tak akan terhitung olehmuu.”
Ternyata perkataan Mahesa Jenar itu merupakan sebuah pukulan terakhir yang benar-benar tak terlawan oleh orang bermata serigala itu. Apalagi ketika ia melihat kawan-kawannya menjadi gelisah. Gelisah oleh kata-kata Mahesa Jenar itu. Maka tiba-tiba terdengarlah ia berteriak nyaring dan bersamaan dengan itu, ia menarik kendali kudanya untuk kemudian lari secepat-cepatnya meninggalkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara beserta Wanamerta, Bantaran dan Penjawi yang menjadi terheran-heran melihat peristiwa itu. Melihat orang berwajah serigala itu dengan pucat berlari sejadi-jadinya diikuti oleh seluruh anak buahnya. Meskipun demikian, untuk kepuasan perasaan mereka, orang-orang Nusa Kambangan itu masih menggemakan ancaman,
“Awaslah kalian orang-orang Banyubiru. Aku akan datang pada waktunya dengan seluruh orang-orang kami.” Gema ancaman itu memukul lereng-lereng bukit kecil yang banyak berserakan di sekitar daerah itu dan bergulung-gulung berulang beberapa kali. Namun Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara hanya tersenyum saja.
Beberapa saat kemudian terdengar suara Wanamerta bergumam,
“Angger, kenapa orang-orang itu dibiarkan saja pergi?”.

Mahesa Jenar menoleh. Dengan tenang ia menjawab,
“Kami berada di daerah yang tak kami kenal. Kami tidak yakin bahwa apabila kami bertempur melawan orang-orang itu, Lembu Sora akan membenarkan sikap kami. Kalau kejadian ini dianggapnya akan dapat membahayakan ketenteraman Banyubiru, maka ia dapat mempergunakan persoalan ini sebagai alasan untuk melakukan hal-hal yang tidak kami inginkan. Karena itu sebaiknya kami menghindarkan diri dari segala peristiwa yang dapat merugikan perjalanan kami, meskipun kami nyata-nyata tidak memulainya.”
Wanamerta mengangguk-anggukkan kepala penuh pengertian. Demikian juga Bantaran dan Penjawi. Perlahan-lahan mereka menyarungkan keris-keris mereka kembali. Kemudian rombongan itu meneruskan perjalanannya perlahan-lahan. Tetapi dengan demikian mereka jadi tertunda untuk beberapa waktu. Namun demikian sesuatu yang penting telah mereka alami. Yaitu, mereka tidak lagi dapat mengabaikan desas-desus tentang beradanya kedua pusaka Demak di Tanah Perdikan Banyubiru. Semakin dekat dengan pusat kota, semakin rapatlah penduduk tanah perdikan itu. Dan dengan demikian semakin banyak pulalah orang-orang yang melihat kedatangan Mahesa Jenar, didampingi oleh seorang yang belum mereka kenal, dan di belakang mereka berdua, tampaklah Bantaran, Penjawi dan tetua tanah perdikan itu, Wanamerta.

BEBERAPA orang menjadi terharu karenanya. Dengan dada sesak, mereka melambaikan tangan mereka. Namun diantara mereka ada pula yang mengumpat di dalam hati, dan yang kemudian membenahi pakaian dan kekayaan mereka sambil menggerutu,
“Kalau setan-setan itu lewat, akan celakalah daerah kami ini. Kenapa perampok-perampok itu tidak mati disambar petir atau tertangkap pada saat mereka merampok…?”
Tetapi ia tidak berani mengatakannya kepada seorangpun. Meskipun kepada anak atau adiknya. Sebab ia tahu benar, bahwa pemuda-pemuda Banyubiru memiliki kesetiaan yang tinggi terhadap tanah mereka, serta sedang berjuang memulihkan hak tanah itu kepada tempat yang sewajarnya. Laki-laki maupun wanita. Ketika mereka muncul di alun-alun Banyubiru, tampaklah dari rumah kepala daerah perdikan itu, beberapa orang berdiri berjajar di depan regol halaman. Mahesa Jenar tersenyumn melihat sambutan itu. Agaknya seseorang telah melaporkan kedatangannya, sehingga Ki Ageng Lembu Sora dapat menyiapkan diri, menyambut kedatangan mereka, meskipun ujud sambutan itu sendiri masih belum diketahuinya. Karena itulah, meskipun wajah-wajah mereka mengulum senyum segar, namun mereka tidak meninggalkan kewaspadaan sepenuh-penuhnya. Semakin dekat mereka dengan rumah kepala daerah itu, senyum Mahesa Jenar menjadi semakin suram. Sebab ia menjadi semakin jelas bahwa di belakang orang-orang yang berdiri di regol halaman, tampaklah ujung-ujung tombak yang berjajar-jajar rapat. Dan ketika Mahesa Jenar melayangkan pandangannya ke sudut-sudut pagar halaman di ujung alun-alun sebelah-menyebelah, tahulah ia bahwa halaman rumah kepala daerah perdikan Banyubiru itu dijaga rapat sekali. Beberapa orang siap dengan senjata di tangan mereka.

Mahesa Jenar menoleh kepada Kebo Kanigara. Agaknya orang itupun sedang memperhatikan keadaan dengan seksama. Lebih seksama lagi daripada Mahesa Jenar. Sebab kecuali ia melihat ujung-ujung senjata yang gemerlapan karena cahaya matahari, juga karena ia sama sekali belum pernah datang ke tempat itu sebelumnya. Karena itu sebagai seorang yang sudah cukup makan garam, maka untuk menghadapi setiap kemungkinan, ia perlu mengetahui keadaan di mana ia sedang berada. Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun melihat suasana itu. Hati mereka menjadi berdebar-debar. Mereka adalah orang-orang yang termasuk dalam catatan Lembu Sora untuk dilenyapkan. Bahkan mereka adalah orang-orang yang pertama-tama. Dalam pada itu, mereka menjadi ragu. Apakah kedatangan mereka itu tidak hanya sekadar mengantarkan nyawa mereka. Dan bukankah mereka sudah mengusulkan kepada Mahesa Jenar, bahwa cara yang demikian itu sangatlah berbahaya. Tetapi mereka sudah berada di depan hidung Lembu Sora. Apapun yang akan terjadi harus mereka hadapi sebagai seorang jantan. Apalagi ketika mereka melihat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang masih tetap tenang, meskipun wajah-wajah mereka menjadi bersungguh-sungguh pula. Rombongan itu semakin lama menjadi semakin dekat. Beberapa orang yang berdiri di regol halaman itupun telah mulai bergerak maju untuk menyambutnya. Dan yang paling depan dari mereka adalah Lembu Sora sendiri dan Sawung Sariti.

Ketika mereka sudah lebih dekat lagi, segera Mahesa Jenar menghentikan kudanya dan langsung meloncat turun diikuti oleh kawan-kawannya. Beberapa orang anak buah Lembu Sora segera berlari-larian menerima kuda-kuda mereka. Berbeda dengan pada saat Mahesa Jenar berjumpa untuk pertama kalinya dengan Lembu Sora, kali ini kepala daerah perdikan Pamingit itu menyambutnya dengan tertawa-tawa, meskipun sikapnya yang sombong itu masih saja memancar dari wajahnya yang tengadah.
“Marilah, Adi Mahesa Jenar…” sambutnya.
“Aku merasa bergembira sekali mendapat kunjunganmu.”
Mahesa Jenar mengangguk hormat sambil menjawab,
“Sebagai seorang yang pernah menerima kebaikan hati dari penduduk Banyubiru, sekali-kali aku ingin menengoknya kembali.”
“Bagus-bagus…” sahut Lembu Sora.
“Marilah kami persilahkan kalian masuk dan naik ke pendapa yang memang telah kami persiapkan untuk menyambut kedatangan kalian.”
Maka berjalanlah mereka beriring-iring naik ke pendapa yang sudah direntangi tikar pandan yang putih bersih. Pendapa yang lima tahun lalu pernah dikenal pula oleh Mahesa Jenar sebagai tempat untuk duduk-duduk menghirup hawa sejuk yang mengalir di sepanjang lereng-lereng pegunungan Telamaya. Sebagai tempat untuk bermain-main Arya Salaka bersama-sama dengan ayahnya, Ki Ageng Gajah Sora. Juga sebagai tempat untuk memulai memberikan dasar-dasar ilmu tata berkelahi dan dasar-dasar tempaan jiwa oleh Gajah Sora kepada putra tunggalnya, Arya Salaka. Sekarang ia kembali berada di pendapa itu sebagai tamu. Tamu yang membawa tugas berat dari anak Ki Ageng Gajah Sora untuk menyampaikan permintaan yang amat penting. Yaitu haknya kembali atas tanah perdikan ini.
Setelah mereka melingkar di atas tikar pandan itu, mulailah Lembu Sora mengucapkan selamat atas kedatangan tamu-tamunya itu.
“Adi Mahesa Jenar, kami keluarga Banyubiru dan Pamingit mengucapkan selamat datang kepada Adi bersama-sama dengan rombongan, kepada kawan Adi yang belum aku kenal, dan kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi.”
Mahesa Jenar mengangguk. Jawabnya,
“Terimakasih Kakang. Mudah-mudahan segenap keluarga Pamingit dan keluarga Banyubiru selamat dan sejahtera. Kecuali itu perkenankanlah aku memperkenalkan kawanku ini. Ia adalah seorang Putut dari Karang Tumaritis, bernama Karang Jati.”
Lembu Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia pernah mendengar nama tempat itu. Karang Tumaritis.

SEBELUM Lembu Sora ingat nama Karang Tumaritis, tiba-tiba terdengar Sawung Sariti menyela,
“Aku sudah pernah datang ke tempat itu. Karang Tumaritis tempat tinggal Panembahan Ismaya. Orang yang mengaku dirinya waskita tetapi tak sesuatupun yang diketahuinya.”
“Ya, kepada Panembahan itulah aku menghambakan diri,” sela Kebo Kanigara.
Sawung Sariti memandang Kebo Kanigara dengan sikapnya yang khusus. Seperti juga ayahnya, ia mewarisi sikap sombong. Tetapi tiba-tiba sikapnya segera berubah. Ia melihat Kebo Kanigara justru tidak di Karang Tumaritis, tetapi di Gedangan ketika ia pada saat itu membawa laskarnya bersama-sama dengan Sima Rodra, Bugel Kaliki dan laskar sepasang Uling dari Rawa Pening.
Tetapi untuk sementara ia tidak berkata apa-apa dan berusaha untuk menghilangkan kesan perasaannya itu dari wajahnya. Sebab mau tidak mau, dan meskipun ia tidak sempat menyaksikan Kebo Kanigara bertempur pada saat itu, karena ia sendiri segera terlibat dalam perkelahian dengan Arya Salaka, namun bahwa Bugel Kaliki, Sima Rodra tua, dan Jaka Soka dapat diusir dan malahan Janda Sima Rodra terbunuh pula, maka mau tidak mau kekuatan orang itu harus diperhitungkan, disamping kesaktian Mahesa Jenar yang mengagumkan. Disusul kemudian berita kematian sepasang Uling dari Rawa Pening.

Kemudian, setelah mereka tenang sejenak, kembali terdengar Lembu Sora berkata kepada Wanamerta, Bantaran dan Penjawi,
“Paman Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, sudah lama rakyat Banyubiru merindukan kalian. Kemanakah kalian? Kemanakah kalian pergi selama ini? Dan apakah keperluan kalian? Sebenarnya tenaga kalian sangat kami perlukan di sini untuk membantuku selama ini.”
Sambil mengangguk-angguk Wanamerta menjawab,
“Anakmas Lembu Sora, aku semakin lama semakin menjadi tua. Dan apakah arti hidupku ini bagi Banyubiru, kalau tidak dapat berbuat sesuatu untuknya. Karena itu aku mencoba untuk menemukan putra Anakmas Gajah Sora, Arya Salaka.”
Warna merah membersit di wajah Ki Ageng Lembu Sora. Namun segera ia berusaha untuk menenteramkan hatinya. Bahkan kemudian ia bertanya seolah-olah ia sendiri mengharap kehadiran anak itu.
“Lalu, adakah usaha Paman Wanamerta berhasil…?”
“Pangestu Angger, aku berhasil,” jawabnya.
Lembu Sora menarik nafas panjang untuk meredakan debar jantungnya. Kemudian ia berkata pula,
“Aku tidak dapat mengerti, bagaimana Paman Wanamerta dapat bertemu dengan anak itu.”
“Mudah saja, Anakmas,” jawab Wanamerta,
“Aku pergi ke tempat-tempat yang pernah dikunjungi oleh Cucu Sawung Sariti.”
Sawung Sariti menjadi gelisah. Namun ia adalah anak yang cerdik. Secerdik ayahnya. Maka dengan berpura-pura terkejut ia menjawab,
“Adakah Eyang Wanamerta pernah pergi ke tempat-tempat yang pernah aku kunjungi?”
“Benar Cucu Sawung Sariti,” jawab Wanamerta.
“Dan menemukan Kakang Arya Salaka…?”
Sambil mengangguk puas, Wanamerta menjawab,
“Benar Cucu.”

Tiba-tiba Sawung Sariti menjawab sambil tertawa keras-keras. Katanya di sela-sela derai tawanya,
“Sayang, Eyang…. Seperti aku juga mula-mula terjebak oleh suatu kecurangan yang hampir sempurna. Seorang anak muda yang sebaya dengan aku mengaku bernama Arya Salaka.”
Darah Wanamerta tersirat mendengar jawaban itu. Juga Bantaran dan Penjawi. Apalagi Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Wajah mereka segera berubah merah dan jantung mereka berdentam seperti guruh yang menggelegak di dalam dada mereka. Bagaimanapun mereka mencoba menahan diri, namun terasa juga tangan-tangan mereka menjadi gemetar karenanya.
Tetapi sebelum mereka dapat mengatur perasaan mereka, terdengarlah suara Lembu Sora,
“Adi Mahesa Jenar, aku memang pernah mendengar tentang seorang anak muda menamakan dirinya Arya Salaka. Tetapi aku belum pernah melihatnya. Sebagai seorang paman, aku pasti akan mengenalnya kembali meskipun sudah sejak kurang lebih lima tahun yang lalu tak melihatnya. Aku sejak kanak-kanak tidak akan melupakannya. Namun perlu Adi ketahui bahwa seorang anak muda yang bernama Arya Salaka itu pernah diketemukan mati terbunuh. Ia kehilangan pusakanya Kyai Bancak dan sebuah peniti yang barangkali dari emas, serta timangnya bertetes intan.”

Sekali lagi sebuah petir seolah-olah meledak di dalam pendapa itu. Bahkan jauh lebih dahsyat dari cerita Sawung Sariti. Penjawi yang paling tidak dapat menahan diri, dengan tergagap berteriak,
“Bohong, semuanya bohong…!”
Lalu suara Penjawi hilang tersumbat di kerongkongan. Seolah-olah berjejal-jejal berebut dahulu, sehingga dengan demikian malah tak sekata pun yang muncul seterusnya. Mendengar kata-kata Penjawi yang terbata-bata itu, Lembu Sora tersenyum. Senyum yang sangat menyakitkan hati. Tetapi kemudian ia berkata dengan ramahnya,
“Jangan berprasangka yang bukan-bukan, Penjawi. Aku sama sekali tak bermaksud membohongi kalian. Tetapi sebaiknya kalian dapat mempertimbangkan kejadian-kejadian yang pernah berlaku. Kalian jangan membabi buta atas kesetiaan kalian kepada Arya Salaka, sebagai ungkapan kesetiaan atas tanah yang sama-sama kita cintai.”

PENJAWI bukanlah orang yang dapat banyak bicara. Karena itu semakin banyak yang akan diucapkan, semakin sulit kata-kata itu keluar dari mulutnya. Demikian juga Bantaran yang hanya dapat mengingsar-ingsar duduknya dan meraba-raba hulu kerisnya. Wanamerta sendiri menjadi bingung. Ia sama sekali tidak menduga bahwa ia akan mendapat jawaban yang demikian. Sedangkan Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, meskipun menjadi gelisah, mereka masih tetap pada kesadaran yang penuh. Karena itu Mahesa Jenar masih dapat berkata las-lasan,
“Kakang Lembu Sora, apakah yang Kakang katakan itu merupakan pendapat Kakang Lembu Sora?”
Lembu Sora mengernyitkan keningnya. Terhadap Mahesa Jenar ia harus berhati-hati. Karena itu ia mempertimbangkan setiap kata-katanya dengan baik. Maka setelah berfikir sejenak ia menjawab.
“Adi, aku tidak mengatakan demikian. Tetapi aku wajib mempertimbangkan setiap keadaan, supaya aku tidak meletakkan keputusan yang salah”.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali. Lalu katanya meneruskan,
“Baik. Kalau demikian bagaimanakah kalau berita tentang kematian yang Kakang dengar itu salah…?”
Lembu Sora berpikir sekali lagi. Baru ia menjawab,
“Mudah-mudahan berita yang aku dengar itu salah. Tetapi bagaimana aku tahu kalau berita itu tidak benar?”
“Kakang akan tahu bahwa berita itu tidak benar setelah Kakang nanti dapat bertemu dengan Arya Salaka,” sahut Mahesa Jenar.
Lembu Sora tersenyum. Katanya,
“Bagaimanakah aku dapat percaya bahwa yang datang kemudian itu Arya Salaka?”
“Ia harus membawa tanda kebesaran Banyubiru,” jawab Mahesa Jenar.
“Dan bukankah Kakang akan dapat mengenal kembali kemenakan Kakang itu?”
“Permainan yang bagus,” potong Sawung Sariti.
“Aku pernah bertemu dengan Paman Mahesa Jenar di Gedangan bersama-sama dengan anak muda yang menamakan diri Arya Salaka, yang membawa tombak yang dinamainya Kyai Bancak.”
“Diam!” Tiba-tiba terdengar Bantaran membentak. Semua orang terkejut mendengar bentakan itu. Bahkan Bantaran sendiri terkejut.

Sawung Sariti sama sekali tidak senang mendengar Bantaran membentaknya. Karena itu ia menjawab tajam,
“Bantaran… kalau kau membentak aku sekali lagi, aku sobek mulutmu.”
Tetapi kata-kata bentakan itu sudah terucapkan. Sebagai laki-laki, Bantaran tidak mau dihinakan, meskipun ia tahu bahwa Sawung Sariti bukanlah lawannya. Tetapi mati atas landasan kesetiaan kepada Banyubiru adalah pengabdian yang didambanya selama ini. Dengan demikian tiba-tiba menengadahkan dadanya sambil berkata,
“Aku akan berbuat sekali, dua kali, sepuluh kali lagi, sesuka hatiku.”
Hampir saja Sawung Sariti meloncat, kalau ia tidak ditahan Lembu Sora, yang agaknya kepalanya masih cukup dingin. Namun kata-katanya sangat menyakitkan hati.
“Sawung Sariti, adakah cukup berharga bagimu untuk menyentuh tubuhnya?”
Sawung Sariti menarik nafas dalam-dalam, seolah-olah ia ingin memadamkan api yang berkobar-kobar di dalam dadanya. Namun dari matanya terpancarlah bara kemarahan yang tak terhingga.
Mahesa Jenar melihat keadaan berkembang ke arah yang tidak diharapkan, meskipun ia tidak dapat menyalahkan Bantaran, Wanamerta maupun Penjawi. Ia sebenarnya sama sekali tidak menduga bahwa sampai sedemikian jauh keingkaran Lembu Sora dan Sawung Sariti terhadap kemenakannya serta sepupunya sendiri. Terhadap kadang tuwa yang selalu bersikap baik kepada mereka, Gajah Sora.

Mahesa Jenar pernah mendengar cerita tentang hubungan mereka. Lembu Sura dengan Gajah Sora sebagai kakak-beradik. Ia pernah mendengar bagaimana Gajah Sora sebagai saudara tua selalu melindungi dan membimbing adiknya dalam berbagai soal, dan banyak mengalah dalam berbagai hal. Namun akibatnya, kemanjaan Lembu Sora itu menjadi berlebih-lebihan dan menelan Gajah Sora sendiri. Kalau sekali dua kali, Gajah Sora pernah marah kepadanya, adalah wajar. Sebagai seorang kakak yang ingin melihat adiknya tidak berbuat kesalahan-kesalahan. Mahesa Jenar berusaha untuk tetap memelihara suasana pertemuan itu agar tidak bertambah kusut, meskipun dadanya sendiri seperti hendak meledak. Maka berkatalah ia dengan setenang-tenangnya, seolah-olah tidak terjadi ketegangan sama sekali di dalam pertemuan itu.
“Kakang Lembu Sora, baiklah kita berbicara mengenai beberapa soal yang penting. Biarlah kita singkirkan masalah-masalah kecil yang tidak berarti.”
Lembu Sora menelan ludahnya serta menggigit bibirnya. Ia kagum juga kepada Mahesa Jenar yang dapat menguasai perasaannya dengan baik. Tetapi ia sudah bertekad untuk menganggap bahwa Arya Salaka sudah tidak ada lagi di muka bumi ini. Karena itu Lembu Sora menjawab,
“Baiklah Adi, aku tidak pernah menolak berbicara dengan siapa saja, selama pembicaraan itu akan berguna. Berguna bagi Pamingit, bagi Banyubiru, dan berguna bagi kita semua.”
“Demikianlah harapan kami,” sahut Mahesa Jenar.
“Kedatangan kami ini pun pada kepentingan Banyubiru. Bukan kepentingan kami sendiri.”

Lembu Sora tersenyum. Dengan penuh kesadaran akan kebesaran dirinya, ia menjawab,
“Nah, katakanlah apa yang berguna bagi Banyubiru itu?”
“Aku membawa tugas dari Angger Arya Salaka, untuk menyampaikan baktinya kepada Kakang Lembu Sora,” sahut Mahesa Jenar.
Lembu Sora menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan mengerutkan keningnya ia menjawab,
“Adi Mahesa Jenar, jangan mengada-ada. Kau bagiku adalah seorang yang pantas dihormati seperti Kakang Gajah Sora dahulu menghormatimu. Namun demikian hormat kami pun mengenal batas. Sebagai kepala daerah perdikan yang besar, yang terbentang dari Pamingit sampai Banyubiru, aku harus bersikap baik, namun tegas dalam garis kepemimpinan. Karena itu aku minta kepada Adi untuk tidak menyebut-nyebut nama Arya Salaka, seorang yang telah tidak ada lagi.”

MAHESA JENAR mengangkat dadanya seolah-olah ada sesuatu yang menyilang di dalamnya. Dengan sudut matanya ia melihat betapa wajah Wanamerta, Bantaran dan Penjawi sudah menjadi merah padam. Meskipun demikian Mahesa Jenar masih berkata,
“Bukankah Kakang Lembu Sora tidak melihat sendiri, seorang anak muda yang disebut bernama Arya Salaka itu terbujur di tanah tak bernafas lagi?”
Perasaan tidak senang yang tajam terpercik di wajah Lembu Sora. Kemudian terdengarlah ia menjawab,
“Aku tidak sempat untuk mengurusi masalah-masalah tetek bengek yang tidak berarti. Bukankah aku mempunyai petugas-petugas untuk keperluan itu…?”
“Kalau benar Kakang berbuat demikian, maka agaknya Kakang Lembu Sora telah berbuat suatu kesalahan. Persoalan Arya Salaka bukanlah persoalan tetek bengek yang tak berarti. Arya Salaka adalah putra kepala daerah perdikan Banyubiru, yang berhak untuk menggantikan kedudukan itu apabila ayahnya berhalangan melakukan tugasnya,” sahut Mahesa Jenar yang sudah mulai kehilangan kesabarannya.
“Hemmm…” dengus Lembu Sora. Wajahnya pun telah mulai semburat merah.
“Sebenarnya aku tidak ingin mengatakan kepada Adi, bahwa aku tidak dapat mempercayaimu sejak perjumpaan kita yang pertama-tama. Sejak hilangnya pusaka Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru.”
Dada Mahesa Jenar benar-benar seperti dihantam linggis, mendengar kata-kata itu. Sehingga tidak sesadarnya ia menggeretakkan giginya. Namun bagaimanapun juga dengan susah payah ia masih menahan diri, dan berkata,
“Kakang, aku tidak keberatan terhadap sikapmu kepadaku. Tetapi bagaimanakah seandainya anak muda yang aku namakan Arya Salaka itu mendapat kesaksian dari segenap penduduk daerah perdikan ini, dan mereka menerimanya sebagai Arya Salaka yang sebenarnya?”

Pertanyaan ini sekali lagi menggelisahkan Lembu Sora. Sawung Sariti pun tidak tahan lagi untuk membiarkan pembicaraan yang tak disukainya itu berlarut-larut. Maka ia pun kemudian menyela,
“Ayah, apakah gunanya pembicaraan ini kita layani? Sebaiknya biarlah tamu-tamu kita ini kita persilakan berdiam diri. Dengan rendah hati atau kalau perlu kita terpaksa memaksa mereka dengan cara kita.”
Mahesa Jenar memandang Sawung Sariti dengan sudut matanya. Sekali lagi ia merasa muak melihat wajah itu. Wajah yang tampan dan bersih namun di belakang wajah itu tersirat kelicikan hatinya. Tiba-tiba ia teringat kepada Jaka Soka dari Nusa Kambangan.
“Angger…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Biarlah kami berbicara secara orang tua. Sebaiknya Angger bermain-main saja di halaman, daripada mencampuri urusan ini.”
Bara yang mula-mula berkobar di dada Sawung Sariti masih belum padam, ditambah dengan kata-kata Mahesa Jenar yang cukup tajam itu. Maka semakin menyalalah hatinya. Tetapi sebelum ia menjawab, Lembu Sora telah mendahuluinya,
“Adi Mahesa Jenar, aku tidak mau membicarakannya lagi. Aku sudah memutuskan untuk menganggap Arya Salaka telah mati, dan Kakang Gajah Sora pun telah dihukum mati di Demak, sebagai akibat dari pengkhianatannya, meskipun aku telah berusaha untuk mencegahnya.”
“Maaf Kakang,” potong Mahesa Jenar,
“Aku datang untuk membicarakannya. Bukan untuk sekadar menghadap yang dipertuan di Banyubiru sekarang.”
“Cukup…!” potong Lembu Sora,
“Tidak ada yang aku bicarakan.”

Mahesa Jenar benar-benar tersinggung karenanya, ditambah dengan perasaan muaknya sejak bertemu dengan orang itu untuk pertama kalinya. Karena itu ia menjawab lantang,
“Kalau kau tidak mau berbicara, aku akan berbicara dengan rakyat Banyubiru, dan membuktikan kepada mereka bahwa Arya Salaka akan berada di tengah-tengah mereka.”
Mendengar ancaman Mahesa Jenar itu, Lembu Sora terperanjat. Tetapi kemudian ia pun menjadi marah dan menjawab,
“Adi Mahesa Jenar, akulah kepala daerah perdikan ini. Akulah yang berwenang atas rakyat dan daerah ini. Tak seorang pun aku perkenankan melanggar wewenangku. Apalagi kau. Ayah Sora Dipayana pun tidak.”
Wanamerta mendengar kata-kata itu dengan dada yang berdentam-dentam. Telinganya serasa tersentuh api. Maka katanya lantang, meskipun ia langsung berhadapan dengan bahaya yang dapat saja merenggut jiwanya,
“Anakmas Lembu Sora, akulah yang mula-mula minta kepada Anakmas untuk mengawasi daerah perdikan ini sepeninggal Anakmas Gajah Sora. Tetapi cerita tentang Anakmas Lembu Sora tak dapat ditutup-tutupi lagi. Cerita tentang hilangnya Anakmas Arya Salaka, yang untung dapat diselamatkan oleh Anakmas Mahesa Jenar. Cerita tentang laskar yang Anakmas namakan Laskar Pamingit dan Banyubiru yang ingin membebaskan Anakmas Gajah Sora dengan menyerang pasukan dari Demak. Seterusnya cerita tentang hilangnya Pandan Kuning dan Sawung Rana.”
“Cukup!” teriak Lembu Sora.
“Ternyata rambutmu yang telah memutih itu sama sekali tidak mencerminkan hatimu yang putih. Kau ingin melihat darah mengalir di Banyubiru. Kalau dengan demikian kau akan dapat mengambil keuntungan, maka kaulah orang yang pertama-tama aku lenyapkan sekarang ini.”
“Tak seorang pun yang dapat melenyapkan kenyataan yang telah terjadi. Betapapun orang berusaha menutupi kebenaran dan menghapuskan. Namun kebenaran itu tak akan lenyap,” sanggah Wanamerta dengan berani.
“Jangan menggurui aku,” bentak Lembu Sora.
“Aku tahu, kau sudah berusia lanjut. Tetapi jangan berlagak lebih pandai daripada orang-orang muda. Bagiku tidak ada tempat bagi kalian di Banyubiru.”
Mahesa Jenar sekali lagi mencoba untuk yang terakhir kalinya menempuh cara yang sebaik-baiknya bagi penyelesaian Banyubiru. Katanya,
“Ki Ageng Lembu Sora, mumpung segala sesuatu belum telanjur, marilah kita tenangkan hati kita. Berilah aku kesempatan untuk menunjukkan kemauan kami yang sebenarnya. Bahwa tak ada artinya pertentangan antara kita sama kita. Biarlah kita cari jalan yang sebaik-baiknya untuk menyelesaikan masalah kita.”

LEMBU SORA mendengus. Matanya benar-benar telah memancar merah bara.
“Agaknya kaulah sumber dari keributan ini. Kau telah membuat seorang anak muda menggantikan kesempatan Arya Salaka untuk kepentinganmu. Kau cari seorang anak muda yang mirip dengan anak itu. Kau ajari dia menyebut aku paman dan menyebut nama ayahnya Gajah Sora. Kau ajari dia menuntut hak atas Banyubiru.”
“Ki Ageng Lembu Sora…” potong Mahesa jenar,
“Demi kehormatan kita masing-masing, jangan katakan yang bukan-bukan.”
“Nah…” jawab Lembu Sora berapi-api,
“Bukankah kau takut melihat kenyataan itu? Kenyataan bahwa permainan kotormu telah aku ketahui.”
“Kau telah benar-benar tersesat. Kalau tanggapanmu itu jujur, maka kau benar-benar telah berdiri di atas alas yang gelap, yang sama sekali tak dipancari oleh kebijaksanaan.”
“Cukup!” teriak Lembu Sora dengan gemetar.
“Jangan membuat aku kehilangan kesabaran.”
Mahesa jenar adalah seorang jantan. Seorang perwira yang tak mengenal surut. Ketika ia mendengar teriakan-teriakan dan bentakan-bentakan itu, bagaimanapun sabarnya ia menjadi marah pula. Karena itu ia pun kemudian menjawab lantang,
“Kakang Lembu Sora, kalau kau berbicara atas hak maka akulah yang memegang hak sekarang ini atas Banyubiru. Aku telah menerima wewenang langsung dari Kakang Gajah Sora sejak Kakang Gajah Sora meninggalkan daerah ini. Akulah yang mendapat tugas darinya untuk mengamankan Banyubiru dan putranya, Arya Salaka. Akulah sekarang yang mempunyai kewajiban untuk mengatur Banyubiru berdasarkan dan bersumberkan wewenang yang diberikan oleh Kakang Gajah Sora. Karena itu jangan mencoba membatasi usahaku memulihkan pemerintahan di Banyubiru.”

Lembu Sora telah benar-benar kehilangan pengamatan diri. Tiba-tiba ia berkisar maju dekat-dekat di muka Mahesa Jenar. Sambil menuding wajahnya, Lembu Sora berkata,
“Kau adalah orang yang paling berbahaya bagi Banyubiru. Kau adalah sumber bencana sejak hilangnya Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Aku telah menasihatkan kepada kakang Gajah Sora untuk menangkapmu. Tetapi ia tidak mau. Dan sekarang ketika kau hadir kembali ke daerah ini, tersebarlah desas-desus bahwa keris itu berada di Banyubiru. Bukankah itu jelas? Jelas bahwa kau yang telah mencuri kedua pusaka itu.”
Mahesa Jenar tiba-tiba juga kehilangan pengamatan diri. Ketika tangan Lembu Sora masih berada di depan wajahnya, tiba-tiba dengan kerasnya ia memukulnya ke samping. Dan kemudian dengan cepatnya, secepat getaran cahaya, ia meloncat turun dari pendapa, dan berkata kepada Lembu Sora dengan marahnya,
“Lembu Sora… aku adalah laki-laki seperti kau.”
Lembu Sora pun kemudian meloncat tak kalah cepatnya. Dengan wajah yang bengis ia berdiri berhadapan dengan Mahesa Jenar. Sementara itu Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun segera berloncatan, dan tiba-tiba mereka sudah bersiap untuk bertempur.
Dalam pada itu, setiap laskar Banyubiru dan Pamingit yang berada di halaman itu segera mendesak maju. Dan dalam waktu yang singkat mereka telah mengepung pendapa itu. Apalagi ketika kemudian Lembu Sora berkata lantang kepada mereka,
“Hai laskar Banyubiru…. Selamatkan daerahmu dari orang-orang yang ingin merampas milikmu. Sebab mereka masih belum melupakan, beberapa tahun yang lalu, mereka hampir mencincang kau ketika mereka menyadari bahwa kau telah mencuri pusaka-pusaka yang dengan susah payah diusahakan oleh kakang Gajah Sora. Tetapi Kakang Gajah Sora terlalu baik hati kepadamu.”

Laskar Banyubiru dan Pamingit itu pun kemudian semakin mendesak maju. Dan tiba-tiba terdengar diantara mereka suatu teriakan, “Bunuh…!”
Mahesa Jenar memutar tubuhnya seperempat lingkaran. Dengan kaki renggang ia menghadapi setiap kemungkinan. Ketika dilihatnya laskar di sekitarnya semakin mendesak maju, ia pun berteriak kepada Lembu Sora,
“Aku adalah orang terakhir yang mendapat kepercayaan Kakang Gajah Sora.”
Lembu Sora menyahut keras,
“Omong kosong!”
Tetapi Mahesa Jenar tidak memperhatikannya sama sekali. Dengan lantang ia meneruskan kata-katanya,
“Kalau ada diantara kalian laskar Banyubiru benar-benar laskar Banyubiru, dengarkanlah kata-kataku. Kalau kalian menyerang aku, adalah sama saja kalian menyerang Gajah Sora yang memberikan kepercayaan kepadaku untuk mengasuh dan mengamankan putranya, Arya Salaka. Dengan demikian kalian telah melupakan diri kalian sendiri sebagai pengawal-pengawal setia Banyubiru. Siapakah yang telah bekerja sepenuh hati untuk Banyubiru…? Siapakah yang telah membangun tempat-tempat ibadah yang tersebar di empat penjuru Banyubiru…? Siapakah yang telah menggali parit-parit untuk sawah-sawah kalian…? Dan siapakah yang paling bersedih hati pada saat Banyubiru dilanda oleh arus kejahatan dari gerombolan hitam dan menelan banyak korban, beberapa tahun yang lalu? Dan siapakah yang telah mempertaruhkan dirinya bagi ketenteraman rakyat Banyubiru ketika pasukan dari demak datang ke tempat ini karena desas-desus dan fitnah atas kebersihan hati rakyat Banyubiru, disamping kesetiaannya kepada panji-panji Gula Kelapa yang pernah dibelanya mati-matian. Siapa…? Dan siapakah diantara kalian yang pada saat itu ikut serta dengan Gajah Sora, dan hampir saja terjadi perlawanan tergadap Demak? Siapa? Dan apakah yang kalian lakukan sekarang? Kalian telah mengingkari diri kalian dan kesetiaan kalian atas tanah ini.”


<<< Bagian 055                                                                                              Bagian 057 >>>

No comments:

Post a Comment