LEMBU Sora tidak mau mendengar Mahesa Jenar berkata terus. Dengan penuh kemarahan ia berteriak,
“Jangan
dengarkan orang ini mengigau di tengah hari. Dan jangan dibiarkan ia
mengelabuhi mata rakyat Banyubiru. Nah, karena orang itu tidak mau menutup
mulutnya, adalah tugas kalian untuk menyumbatnya.”
Beberapa orang
Pamingit semakin merapatkan kepungan mereka. Tetapi beberapa laskar Banyubiru
menjadi ragu-ragu. Tiba-tiba mereka ingat jelas, seperti baru kemarin saja
terjadi, Ki Ageng Gajah Sora segelar sepapan dengan gelar perang Gajah Meta
menyongsong kedatangan pasukan Demak dalam gelar Cakra Byuha.
JELAS
tergambar kembali dalam ingatan laskar Banyubiru, ketika pasukan Demak mengubah
gelarnya menjadi gelar Garudha Nglayang. Diingat pula oleh mereka, bagaimana
Gajah Sora menjadi gemetar ketika dilihatnya panji-panji yang berwarna gula
kelapa melambai-lambai di atas ujung pasukan Demak. Pada saat itulah mereka
melihat Gajah Sora menyerahkan putranya, Arya salaka, kepada orang itu. Orang
yang bernama Mahesa Jenar, yang sekarang berdiri di hadapan mereka. Karena
itulah, ketika orang-orang Pamingit bergerak maju, mereka tetap berdiri di
tempat, seolah-olah terpaku di atasnya. Dengan demikian, tanpa dibuat
terjadilah dua lingkaran pasukan di halaman itu. Pasukan Pamingit yang semakin
mendesak maju, dan di luar lingkaran itu berdirilah dengan bimbang pasukan
lembu Sora yang semula berasal dari laskar banyubiru, yang tidak banyak
mengerti tentang mereka sendiri, dan tentang tanah mereka.
Sedangkan
orang-orang Pamingit yang menjadi semakin rapat itu pun kemudian ragu, ketika
mereka melihat Mahesa Jenar siap dalam siaga tempur. Di sampingnya,
berseberangan di tiga penjuru, terlihat Wanamerta yang tua, Bantaran yang kokoh
kuat, dan penjawi dengan wajah yang tegang namun penuh keikhlasan. Mereka
memegang keris masing-masing, siap untuk menghadapi setiap kemungkinan. Tetapi
kemudian mereka menjadi sadar akan tugas mereka, ketika mereka melihat Lembu
Sora dengan wajah berapi-api berdiri bertolak pinggang di dalam lingkaran itu.
Apalagi ketika kemudian Lembu Sora tidak sabar lagi, tiba-tiba dengan suara
berdesing menakutkan mencabut pedangnya. Pedang yang tidak berukuran lumrah.
Melihat pedang itu, hati Mahesa Jenar benar-benar melonjak didesak oleh
kemarahannya. Agaknya Lembu Sora telah benar-benar ingin membunuhnya. Karena
itu tiba-tiba ia bersiap dalam sikap terakhir. Apabila pedang itu ternyata
benar-benar terayun ke arahnya, maka ia harus dalam waktu sesingkat-singkatnya
memukul kembali. Pukulan yang menentukan. Sebab kemudian ia harus bertempur
melawan jumlah yang besar.
Dan, apa yang
ditunggunya benar-benar terjadi. Dengan suara berdesing panjang, pedang itu terayun
deras sekali menyambar lehernya. Tetapi Mahesa Jenar telah benar-benar siap.
Siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu dengan lincahnya ia merendahkan
diri dan meloncat ke samping. Dalam pada itu Wanamerta, Bantaran dan Penjawi
segera berloncatan merenggang untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi.
Sedang ujung-ujung tombak yang rapat berjajar di sekitar mereka telah menunduk
mengarah ke dada mereka. Mahesa Jenar pada saat itu telah benar-benar
kehilangan pengamatan diri. Ia merasa bahwa tidaklah mungkin baginya
bersama-sama dengan kawan-kawannya yang hanya berjumlah lima orang itu
bertempur melawan segenap laskar yang berada di halaman itu, yang diantaranya
ada orang-orang seperti Lembu Sora, Sawung Sariti, bahkan mungkin akan ikut
campur pula Ki Ageng Sora Dipayana. Karena itu ketika pedang Lembu Sora dengan
derasnya menyambar di atas kepala Mahesa Jenar, segera ia tegak di atas satu
kakinya, dan hampir saja ia menyalurkan segenap kekuatannya pada sisi telapak
tangan kanannya dalam ujud ilmunya yang luar biasa, Sasra Birawa. Beberapa
orang berloncatan mundur, sedangkan Lembu Sora sendiri menjadi cemas. Ia tidak
bisa berbuat lain daripada segera mempersiapkan dirinya atas lambaran ilmu
saktinya, Lebur Sakethi. Tetapi tiba-tiba melontarlah sesosok tubuh memasuki
lingkaran itu. Dan dengan tenang berdiri di depan mahesa Jenar, menepuk kedua
pundaknya dan berkata lirih,
“Tenangkan
hatimu, Mahesa Jenar. Ilmumu sekarang adalah jauh lebih dahsyat daripada lima
tahun yang lalu.”
Kata-kata itu
bagi Mahesa Jenar seolah-olah setetes embun di atas relung-relung hatinya yang
membara. Apalagi ketika ia melihat wajah orang itu, yang dengan senyum kecil
memandangnya seperti seorang kakak dengan penuh kasih sayang. Maka tiba-tiba
pandangan Mahesa Jenar jatuh di tanah di depannya. Mahesa Jenar menjadi malu
kepada diri sendiri, dan kepada Kebo Kanigara. Orang yang telah membawanya
kembali ke alam kesadaran. Apalagi ketika Kebo Kanigara berbisik,
“Bukan
demikian maksud kedatanganmu kali ini, Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar
yang masih tertunduk itu berdesis perlahan-lahan,
“Maaf Kakang.
Aku kehilangan kesadaranku ketika Lembu Sora menyerangku.”
“Angkatlah
wajahmu…” Kebo Kanigara meneruskan,
“Dan lihatlah
siapa yang berdiri di depan Lembu Sora itu.”
Ketika Mahesa
Jenar mengangkat wajahnya, dan memandang ke arah Lembu Sora, ia menjadi
terkejut. Di depan orang itu telah berdiri seorang tua, yang sudah berambut
putih dan berjenggot putih, memandangnya dengan mata sayu suram.
Tanpa
disengaja Mahesa Jenar segera membungkuk hormat, sambil berkata dengan
takzimnya.
“Baktiku untuk
Paman Sora Dipayana.”
Orang tua itu
mengangguk pula. Jawabnya,
“Salamku
untukmu, Mahesa Jenar, dan untuk kalian yang datang bersamanya.”
Kebo Kanigara
masih belum memutar tubuhnya. Ia masih menghadap kepada Mahesa Jenar. Dengan
berbisik ia bertanya,
“Nah, bukankah
kau sudah mengenalnya? Apakah orang itu ayah Lembu Sora?”
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar perlahan.
“Aku
mengaguminya. Ia pasti seorang yang sakti, menilik geraknya yang luar biasa,”
gumam Kebo Kanigara sambil membalikkan diri, dan kemudian membungkuk hormat
pula.
Dengan wajah
yang masih sesuram semula, Sora Dipayana berkata,
“Aku menyesal
bahwa sesuatu yang sama-sama tak kita kehendaki telah terjadi.”
Dengan suara
yang dalam, Kebo Kanigara menjawab,
“Demikian pula
kami. Mudah-mudahan hal-hal yang tak dikehendaki itu tidak terulang kembali.”
SORA Dipayana
mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian pandangan matanya berkisar kepada
Penjawi, Bantaran, dan kemudian Wanamerta.
“Adi
Wanamerta… apakah kau sehat-sehat saja selama ini…?”
Wanamerta
menjadi terharu mendengar sapaan Sora Dipayana itu. Sora Dipayana baginya
adalah seorang pemimpin yang pada masa-masa menjalankan tugas menjadi
kebanggaannya. Kebanggaan seluruh daerah perdikan yang dulu disebut Pangrantunan.
Karena itu dengan hormat ia menjawab,
“Kakang,
sebagaimana Kakang, agaknya akupun selamat. Demikian juga anak-anak Banyubiru
yang pergi bersamaku.”
Sora Dipayana
menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat berkeliling, matanya menjadi
bertambah suram. Ia melihat dua lingkaran di halaman itu. Laskar Pamingit di
lingkaran pertama, dan laskar Banyubiru di lingkaran kedua. Masing-masing masih
erat memegang senjata mereka. Bagi Sora Dipayana, yang hampir seluruh hidupnya
diserahkan kepada tanah perdikan itu, melihat peristiwa itu dengan sedih. Apa
yang dilihatnya di halaman itu adalah lambang perpecahan yang terjadi saat itu.
Perpecahan antara Pamingit dan Banyubiru. Dua daerah yang seharusnya dapat
saling mengisi dan saling memperkuat ketahanan diri dalam segala bidang.
Kemudian
kepada lembu Sora ia berkata,
“Lembu Sora,
bukankah lebih baik kalau kau persilakan tamumu ini duduk kembali? Dan bukankah
lebih akrab kalau kau jamu tamu-tamumu ini dengan sekadar pelepas haus,
daripada kau suguhkan kepada mereka pameran kekuatan yang tak berarti?”
Lembu Sora
tidak begitu senang mendengar kata-kata ayahnya. Tetapi ia tidak berani
membantah. Karena itu ia hanya dapat menggigit bibir, sehingga sekali lagi Sora
Dipayana berkata,
“Lembu Sora,
persilakan tamumu duduk kembali.”
“Baik ayah,”
jawabnya singkat. Tetapi Lembu Sora masih belum mempersilakan tamu-tamunya.
Malah kemudian ada sesuatu yang dicarinya.
“Sariti…
Sariti….” panggilnya.
“Ya, ayah…”
jawab Sawung Sariti, masih duduk di tangga pendapa.
“Kemarilah.”
Sawung Sariti
tidak menjawab. Tetapi bibirnya masih menyeringai kesakitan. Sehingga ketika
Lembu Sora melihatnya, ia menjadi terkejut.
“Kenapa kau?”
Sawung Sariti
tidak menjawab. Hanya matanya saja yang membentur wajah kakeknya. Lembu Sora
kemudian tergopoh-gopoh datang kepadanya, dan sekali lagi ia bertanya,
“Kenapa kau…?”
“Kakek…” jawab
Sariti singkat.
Lembu Sora
menoleh kepada ayahnya. Kemudian ia bertanya,
“Kenapa dengan
Sariti, ayah…?”
“Ah,” jawab
Sora Dipayana sambil mengerutkan keningnya.
“Aku hanya
mencegahnya bermain-main dengan tombak.”
Semua mata
segera tertuju kepada Sawung Sariti. Ia menjadi tidak senang, ketika
seolah-olah dirinya menjadi tontonan. Tetapi ia tidak segera dapat berdiri dan
pergi dari tempatnya. Kakinya terasa sakit bukan main, bahkan seolah-olah tidak
dapat digerakkan sama sekali. Sedang tangannya menjadi semutan dan gemetar.
“Ayah…” kata
lembu Sora dengan nada menyesal,
“Apakah Ayah
akan membiarkannya demikian?”
Sora Dipayana
perlahan-lahan berjalan mendekati cucunya. dengan sareh ia berkata,
“Sariti, lain
kali janganlah kau berbuat hal-hal yang berbahaya.”
Sawung Sariti
hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala, meskipun hatinya mengumpat tidak
habis-habisnya. Ia hanya dapat menyeringai dan berdesis-desis ketika kemudian
Ki Ageng Sora Dipayana mengurut punggungnya.
“Nah,
masuklah,” perintahnya kemudian.
“Jangan
campuri perkara orang tua-tua.”
Sawung Sariti
kemudian berdiri dan terhuyung-huyung berjalan masuk ke dalam pringgitan. Di
depan pintu, sekali lagi ia menoleh dan memandang Mahesa Jenar, Kebo Kanigara,
Wanamerta, Bantaran dan Penjawi, dengan penuh dendam.
Ketika anak
itu sudah lenyap di balik pintu, terdengar Sora Dipayana berkata,
“Lembu Sora,
apakah kau masih memerlukan laskar sebanyak itu untuk menyambut tamumu?”
“Ayah…” jawab
Lembu Sora,
“Aku tidak
menyiapkan laskar ini untuk menyambut kedatangan Adi Mahesa Jenar. Tetapi
semula aku menyiapkan laskarku karena Banyubiru baru saja didatangi oleh
orang-orang dari Nusa Kambangan untuk mencari kedua pusaka Demak yang hilang,
yang katanya berada di Banyubiru ini.”
Sora Dipayana
mengerutkan keningnya kembali. Jawabnya,
“Baiklah,
kalau demikian kau dapat membubarkannya.”
“Baiklah,
Ayah,” jawab Lembu Sora singkat, dan kemudian dengan tangannya ia memberi
isyarat kepada pemimpin laskar yang berada di halaman itu. Kemudian segera
membubarkan laskar Pamingit dan Banyubiru. Sebentar kemudian halaman itu
menjadi kosong, kecuali beberapa orang yang khusus bertugas sebagai
pengawal-pengawal pribadi Lembu Sora.
SEKALI lagi
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi dipersilahkan naik
ke pendapa. Tetapi kali ini Lembu Sora sudah tidak tenang lagi duduk bersama.
Karena itu ia berkata,
“Ayah, biarlah
untuk sementara ayah menemani tamu-tamu kita. Aku ingin menyelesaikan persoalan
kecil dibelakang sebentar.”
Ki Ageng Sora
Dipayana menganggukkan kepalanya, jawabnya,
“Baiklah Lembu
Sora, tetapi sesudah pekerjaanmu itu selesai datanglah dan duduklah di sini
bersama-sama.”
Lembu Sora
tidak menjawab. Dengan langkah gontai ia berjalan meninggalkan tamu-tamunya
yang duduk bersama dengan Ki Ageng Sora Dipayana.
Sepeninggal
Lembu Sora, berkatalah Ki Ageng Sora Dipayana,
“Angger
berdua. Sebenarnyalah kedatangan kalian sangat mengejutkan kami dan rakyat
Banyubiru. Sudah sejak bertahun-tahun mereka melupakan nama Mahesa Jenar
bersama dengan lenyapnya nama Gajah Sora dan Arya Salaka.”
Mahesa Jenar
mengangguk-angguk. Perlahan-lahan ia menyahut,
“Adakah nama
itu lenyap pula dari hati Tuan? Bukan Mahesa Jenar, tetapi Gajah Sora dan Arya
Salaka.”
Ki Ageng Sora
Dipayana menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Dan ketika Mahesa Jenar
memandang wajahnya yang suram, ia menjadi terkejut. Membayanglah di dalam
sepasang matanya yang sayu, seolah-olah mendung menyelimuti langit. Dengan
tertahan-tahan ia menjawab,
“Gajah Sora
adalah harapan bagi masa kini, sedang Arya Salaka adalah harapan masa depan.
Bagaimana aku dapat melupakan mereka?”
“Tetapi masa
kini telah hilang dari tangannya,” sahut Mahesa Jenar meneruskan.
Perlahan-lahan namun jelas.
Sora Dipayana
memandangi mata Mahesa Jenar dengan cermat. Ia melihat pertanyaan yang bergulat
di dalamnya. Karena itu ia berkata,
“Anakmas
Mahesa Jenar, aku tidak pernah menolak kalau ada orang meletakkan tanggungjawab
di dalam tanganku. Aku tidak pernah mengelakkan tuduhan bahwa aku seolah-olah
membiarkan keadaan berkembang seperti apa yang terjadi kini. Tetapi aku ingin
juga mengatakan, alasan-alasan apakah yang telah menyudutkan aku ke dalam
keadaan ini.”
Ki Ageng Sora
Dipayana berhenti sejenak. Dengan seksama ia mengawasi Kebo Kanigara. Dan
tiba-tiba saja terlontar dari mulutnya,
“Siapakah
Angger ini?”
“Aku adalah
seorang Putut, Tuan. Yang menghambakan diri pada Panembahan yang tinggal di
bukit Karang Tumaritis dan bernama Panembahan Ismaya,” jawab Kebo Kanigara.
“Sebagai
seorang Putut, aku bernama Putut Karang Jati,” lanjut Kanigara.
Sora Dipayana
mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia bertanya pula,
“Adakah
Anakmas bergelar lain selain nama Angger sebagai seorang Putut?”
Kebo Kanigara
ragu sejenak. Ketika ia menoleh kepada Mahesa Jenar, Mahesa Jenar pun agaknya
bimbang hati. Akhirnya kepada orang tua itu Kebo Kanigara tidak merasa perlu
untuk menyembunyikan diri. Karena itu ia menjawab,
“Tuan, aku
memang memiliki nama lain. Nama yang diberikan oleh ayah bunda pada saat aku
dilahirkan nama itu adalah Kebo Kanigara.”
Mendengar nama
itu Ki Ageng Sora Dipayana menegakkan kepalanya. Ia lupa-lupa ingat akan nama
itu. Namun bagaimanapun juga orang yang bernama Kebo Kanigara itu sangat
menganggumkannya. Ia melihat ketika orang yang bernama Kebo Kanigara itu
menepuk pundak Mahesa Jenar untuk menenangkannya. Ia melihat betapa Mahesa
Jenar tidak berani memandang wajah orang itu. Karena itu, orang yang bernama
Kebo Kanigara itu pasti mempunyai pengaruh yang kuat atas Mahesa Jenar. Apalagi
menilik sikapnya yang tenang penuh kepercayaan kepada diri sendiri, telah
menyatakan betapa ia memiliki ilmu yang kuat dan meyakinkan pula.
Kalau Kebo
Kanigara itu seorang Putut yang bernama Karang Jati, dan memiliki ilmu yang
cukup meyakinkan, bagaimanakah agaknya Panembahan yang bernama Ismaya itu? Dan
apakah hubungannya dengan Mahesa Jenar, sehingga ia datang bersamanya? Tetapi
Sora Dipayana merasa kurang pada tempatnya untuk menanyakannya.
Sementara itu
Kebo Kanigara pun sedang memperhatikan Ki Ageng Sora Dipayana dengan seksama.
Ia pernah mendengar nama itu dari ayahnya, Ki Ageng Pengging Sepuh. Dan ia
pernah mendengar pula bahwa Ki Ageng Sora Dipayana itu adalah sahabat ayahnya
dan memiliki ilmu yang setingkat.
Agaknya apa
yang dikatakan oleh ayahnya itu tidak berlebih-lebihan. Ia melihat dengan mata
kepala sendiri apa yang baru saja terjadi. Ketika Sawung Sariti dengan
diam-diam bersiap untuk melontarkan tombak ke punggung Mahesa Jenar, Kebo
Kanigara telah bersiap untuk mencegahnya. Tetapi tiba-tiba ia melihat Sora
Dipayana itu seperti melayang terbang ke arah anak muda itu. Dengan satu
sentuhan di punggungnya, Sawung Sariti tiba-tiba gemetar dan jatuh terduduk di
tangga tanpa dapat berdiri lagi. Kemudian seperti berjanji, mereka
masing-masing meloncat masuk ke dalam lingkaran laskar Pamingit untuk mencegah
terjadinya pertumpahan darah. Kebo Kanigara berusaha untuk menenangkan Mahesa
Jenar, sedang Sora Dipayana mencegah Lembu Sora untuk berbuat lebih banyak
lagi.
Setelah mereka
berdiam diri sejenak, mulailah Sora Dipayana melanjutkan kata-katanya,
“Angger
berdua, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi. Anggaplah bahwa sebuah dongeng yang
akan saya utarakan nanti sebagai suatu usaha untuk meringankan perasaanku dari
himpitan tanggungjawab yang hampir tak dapat aku laksanakan. Atau barangkali
dapat kalian artikan sebagai suatu usaha untuk meringankan kesalahan-kesalahan
yang pernah aku lakukan.”
Ki Ageng Sora
Dipayana berhenti sejenak, kemudian ia melanjutkan,
“Pada saat
itu, aku baru saja datang kembali dari perjalananku mencari jejak kedua pusaka
Demak yang hilang kembali, setelah diketemukan oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar
bersama-sama. Aku datang kembali ke Banyubiru tanpa membawa kedua keris itu.
Apalagi membawanya kembali, jejaknya pun tak dapat aku ketahui.”
Setelah
berhenti sejenak, Ki Ageng Sora Dipayana meneruskan ceritanya.
“Yang aku
ketemukan di Banyubiru pada saat itu, adalah pemerintahan tanah perdikan ini
telah beralih ke tangan Lembu Sora. Dari dia aku mendengar cerita tentang apa
saja yang telah terjadi di tanah perdikan ini. Dari Lembu Sora aku mendengar
bahwa Gajah Sora dihukum mati oleh Sultan Demak karena pengkhianatannya. Dan
darinya pula aku mendengar bahwa Arya Salaka telah diketemukan terbunuh dan
kehilangan tombak pusakanya, Kyai Bancak.”
“Tidak benar,”
potong Mahesa Jenar.
Ki Ageng Sora
Dipayana mengangguk-angguk. Katanya,
”Aku tidak
percaya cerita itu sejak aku mendengarnya. Tetapi apakah yang aku hadapi
seterusnya di sini ? Di tanah perdikan ini ? Lembu Sora adalah anakku pula.
Anak terkasih dari ibunya. Sedang kepada ibunya aku tidak dapat melupakan duka
derita yang disandangnya pada saat itu. Duka derita sebagai ungkapan kesetiaan
seorang istri yang baik, pada saat aku sedang bekerja mati-matian membangun
tanah perdikan ini, yang semula bernama Pangrantunan. Dan pada saat itulah
Lembu Sora dilahirkan. Dengan Lembu Sora didalam embanan, ibunya membanting
tulang untuk mencukupi kebutuhan kami. Kadang-kadang Lembu Sora itu dibawanya
menuai padi diterik panas matahari, menumbuk dan kemudian menanaknya sekali.
Sedang Gajah Sora pada saat itu telah dapat berjalan mengikutinya kemana ia
pergi, menggandengnya di sepanjang pematang dan di jalan-jalan yang sama sekali
belum berujud jalan seperti sekarang ini.”
Sora Dipayana
berhenti sesaat. Pandangan matanya terlempar jauh, seolah-olah menerawang
kembali kepada masa-masa silam. Masa-masa pahit yang pernah dialami.
Setelah orang
tua itu menelan ludahnya, maka mulailah ia meneruskan ceritanya,
“Rupa-rupanya
Tuhan berkenan kepada usahaku itu, sehingga beberapa tahun kemudian terwujudlah
padepokan yang kemudian berkembang menjadi semakin ramai dan subur. Aku menjadi
bangga ketika kemudian tanah ini dikuatkan dengan suatu piagam menjadi tanah
perdikan. Tanah perdikan yang semakin lama menjadi semakin berkembang.
Bersamaan dengan itu semakin berkembang pulalah perasaan iba dan kasih istriku
kepada Lembu Sora. Ia selalu ingat kepada saat-saat bayi itu mengalami
masa-masa pahit. Namun akibatnya adalah sifat-sifat manja pada anak itu. Bahkan
kemudian sifat itu semakin menjadi-jadi.. Dan kesalahan itu barangkali yang
telah menjerumuskannya kedalam keadaannya sekarang ini. Keadaan yang sama
sekali tidak dapat dibenarkan.”
Sekali lagi Ki
Ageng Sora Dipayana berhenti, seolah-olah ia menjadi sangat lelah. Beberapa
kali ia menarik napas dalam-dalam. Kedua tangannya ditekankan ke lantai yang
dilambari tikar pandan, seolah-olah dengan demikian ia ingin mencari kekuatan
untuk menahan berat badannya yang tidakseberapa besar itu.
Beberapa saat
kemudian ia mulai lagi dengan ceritanya,
“Meskipun
kemudian aku sadar bahwa aku harus berdiri di atas kebenaran dan keadilan,
namun aku bermaksud untuk berlaku bijaksana. Aku ingin menyelesaikan masalahnya
tanpa mengorbankan salah satu diantaranya. Karena itulah maka diam-diam aku
pergi ke Demak untuk membuktikan ketidak benaran cerita Lembu Sora. Tetapi aku
terbentur pada suatu kenyataan, bahwa Gajah Sora ternyata terlibat dalam suatu
keadaan yang sulit. Ia dapat dilepaskan apabila kesalahannya nyata-nyata tidak
terbukti, apabila Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten telah dapat diketemukan,
dan ternyata benar-benar tidak disembunyikannya.”
Kemudian
dengan nada yang rendah dan sedih, Ki Ageng Sora Dipayana bergumam,
“Lalu berapa
tahunkah kedua keris itu dapat ditemukan ?”
Mata orang tua
itu menjadi sayu. Dan nada kata-katanya menjadi sangat rendah.
“Apalagi
umurku menjadi semakin tua. Berapa tahun lagi aku masih diperkenankan oleh Yang
Maha Esa untuk dapat menikmati segarnya angin pegunungan Telamaya ini ? Apakah
yang terjadi seandainya aku harus meninggalkan tanah ini menghadap Tuhan Yang
Maha Esa, sedang Gajah Sora masih belum kembali ? Sedang Arya Salaka kemudian
lenyap tanpa bekas, seolah-olah ia telah benar-benar mati terbunuh ? Itulah
sebabnya kenapa aku tidak mempunyai pilihan lain daripada untuk sementara
mempergunakan tenaga yang ada untuk kepentingan tanah ini. Aku sadar bahwa dari
berbagai penjuru dapat datang bahaya. Gerombolan kalangan hitam yang liar dari
Gunung Tidar, Rawa Pening dan Alas Mentaok. Bahkan ternyata dari Nusa Kambangan
pun bahaya itu dapat datang setiap saat.”
Ki Ageng Sora
Dipayana mengakhiri ceritanya dengan suatu tarikan napas kecewa. Ia melihat
masa depan yang suram bagi tanah perdikannya yang dibangunnya dengan cucuran
keringat. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Wanamerta, Bantaran dan Penjawi pun
merasakan apa yang bergetar di dalam orang tua itu. Mereka ikut serta
dihadapkan pada persimpangan jalan yang tidak dikenalnya. Jalan manakah yang
harus dipilihnya.
Ki Ageng Sora
Dipayana tidak dapat membiarkan tanah perdikannya ditelan oleh kekuatan hitam
yang ada disekitarnya. Sedang yang ada padanya pada saat itu tidak ada lain,
kecuali Ki Ageng Lembu Sora dan Sawung Sariti. Maka orang tua itu tidak dapat
berbuat lain daripada membentengi Pamingit dan Banyubiru dengan menempa Lembu
Sora dan Sawung Sariti. Untuk sesaat pendapa Banyubiru itu menjadi sepi.
Masing-masing berdiam diri dan membiarkan angan angan mereka merayapi daerah
yang tak mereka kenal.
KI AGENG Sora
Dipayana masih saja memandangi titik-titik di kejauhan. Menembus alam kasatmata
dan hinggap ke dalam alam yang hanya dapat dicitakan. Banyubiru yang gemah
ripah loh jinawi. Jauh dari sifat cecengilan dan fitnah. Jauh dari keirihatian
dan ketamakan.
“Adakah kita
akan sampai ke sana…?” Tiba-tiba terdengar Sora Dipayana bergumam.
Kebo Kanigara,
Mahesa Jenar dan orang-orang lain yang mendengarnya menjadi terkejut. Bahkan
Sora Dipayana sendiri seolah-olah menjadi tersadar oleh kata-katanya sendiri.
“Sampai ke
mana Ki Ageng?” tanya Wanamerta.
Ki Ageng Sora Dipayana
menarik nafas panjang. Lalu ia melipat tangannya di dadanya. Tetapi ia harus
menjawab pertanyaan Wanamerta itu. Maka katanya,
“Wanamerta…
kau adalah orang tertua yang pernah ikut serta membanting tulang, membina tanah
ini. Bahkan sejak tanah ini masih bernama Pangrantunan. Seperti aku, agaknya
kau mencita-citakan tanah ini menjadi tanah yang subur. Wadah dari masyarakat
yang sejahtera lahir dan batin. Tetapi kau agaknya lebih beruntung daripadaku.
Pada saat saat seperti sekarang ini kau berhasil menarik garis tegas.”
Wanamerta
merasa, seolah-olah Ki Ageng Sora Dipayana sedang menyesali dirinya. Menyesali
keadaan yang menghadapkannya kepada persoalan yang serba salah. Maju tatu,
mundur ajur. Karena itu maka ia berusaha untuk memperingan beban orang tua itu.
Katanya.
“Ki Ageng,
kalau dalam wawasan Ki Ageng aku dapat menarik garis tegas pada keadaan seperti
sekarang ini, adalah karena aku mempunyai kesempatan yang lebih banyak. Aku
dapat menilai Anakmas Gajah Sora dan Anakmas Lembu Sora dalam keadaan yang
wajar, karena aku tidak tersangkut pada persoalan-persoalan yang tali-temali
seperti Kakang Sora Dipayana.”
“Kau benar
Wanamerta,” jawab Ki Ageng Sora Dipayana.
“Kau lebih
beruntung lagi, karena kau berhasil menemukan Arya Salaka.”
“Itu adalah
karena doa dan pangestu Kakang,” sahut Wanamerta.
Kemudian Ki
Ageng Sora Dipayana menoleh kepada Mahesa Jenar dan berkata kepadanya,
“Mahesa Jenar,
adakah Arya Salaka itu sehat-sehat saja?”
Mahesa Jenar
mengangguk-angguk sambil menjawab,
“Baik Ki
Ageng. Arya Salaka sekarang dalam keadaan segar bugar. Ia menyampaikan baktinya
kepada Ki Ageng Sora Dipayana.”
“Hem…” Sora
Dipayana bergumam.
“Ia pasti
segagah ayahnya. Lima tahun yang lalu ia telah jauh lebih gagah dari
kawan-kawan sebayanya. Apalagi sekarang.”
“Ia mirip
benar dengan ayahnya, Paman.” Mahesa Jenar menyambung.
Ki Ageng Sora
Dipayana tersenyum puas. Tetapi hanya sesaat, sebab kemudian ia teringat
kembali pada keadaan yang dihadapi kini. Di dalam rumah itu ada Sawung Sariti
yang mewarisi sifat-sifat ayahnya. Meskipun demikian ia tidak mau membiarkan
keadaan berkembang berlarut-larut ke arah yang tak dikehendaki. Karena itu ia
harus berbuat sesuatu.
Menempatkan
kembali segala sesuatunya pada tempat masing-masing. Karena itu ia berkata,
“Mahesa Jenar,
bawalah Arya Salaka kemari.”
Mendengar
kata-kata Ki Ageng Sora Dipayana itu, Mahesa Jenar beserta segenap
kawan-kawannya menjadi bergembira. Wajah-wajah mereka menjadi cerah dan
bercahaya. Tetapi ketika mereka sadar bahwa kekuasaan Banyubiru pada saat itu
seolah-olah berada sepenuhnya di tangan Lembu Sora, mereka menjadi ragu. Dan
tanpa mereka sadari mereka segera memandang ke arah pintu dimana Lembu Sora
tadi masuk. Sora Dipayana ternyata menangkap perasaan mereka. Perasaan yang
sebenarnya berkecamuk juga di dalam rongga dadanya. Tetapi ia berpendapat bahwa
keadaan di Banyubiru harus segera mendapat bentuk yang tegas. Apabila keadaan
dibiarkan seperti saat itu maka kehidupan rakyatnya pun jadi mengambang tanpa
pegangan. Mereka menjadi ragu-ragu untuk berbuat banyak, sebab mereka selalu
dibebani oleh perasaan takut dan was-was. Mereka selalu dihadapkan pada keadaan
yang tidak tetap, yang setiap waktu dapat berubah-ubah tanpa ketentuan. Karena
pendapat itulah maka kemudian Ki Ageng Sora Dipayana berkata,
“Mahesa Jenar,
aku kira kau sedang mempertimbangkan apakah yang akan terjadi apabila Arya
Salaka kau bawa kemari?”
Mahesa Jenar
mengangguk sambil menjawab,
“Benar Paman.
Memang aku menjadi bimbang akan nasib anak itu kelak.”
“Sebenarnya
aku pun bimbang. Tetapi aku menghendaki agar keadaan seperti sekarang ini
segera berakhir. Karena itu aku akan mencoba agar segala sesuatu akan menjadi
jelas dalam waktu yang dekat. Mudah-mudahan aku masih mempunyai pengaruh yang
cukup atas anakku sendiri.”
Jelas terasa
dalam nada kata-katanya. Ki Ageng Sora Dipayana benar-benar sedang dihadapkan
pada suatu persoalan yang sulit.
Mahesa Jenar
akhirnya merasa bahwa pertemuan itu sudah cukup baginya. Ia sudah mendapat
gambaran yang cukup jelas tentang keadaan di Banyubiru, yang sudah cukup pula
dipergunakannya sebagai bekal untuk menentukan langkah-langkah seterusnya.
Karena itu segera ia mohon diri untuk kembali ke daerah Candi Gedong Sanga.
Tetapi Ki
Ageng Sora Dipayana menahannya untuk beberapa saat karena ia masih ingin
menjamu tamu-tamunya dengan sekadar minuman dan makanan.
“Sebentar lagi
hari akan malam, Paman, sebaiknya kami berangkat sekarang.” Mahesa Jenar
mencoba untuk memaksa kembali.
Tetapi Ki
Ageng Sora Dipayana menjawab,
“Apakah
bedanya siang dan malam bagimu Anakmas Mahesa Jenar? Apalagi kau berjalan
bersama dengan Angger Kebo Kanigara, selain masih ada Wanamerta, Bantaran dan
Penjawi. Tak ada sesuatu yang akan dapat menghalangi perjalananmu.”
MAHESA JENAR
tersenyum mendengar pujian itu. Sambil mengangguk ia menjawab,
“Itu terlalu
berlebihan, Paman. Kecuali apabila Paman Sora Dipayana mengantarkan kami.”
“Tetapi
kemudian kau harus mengantar aku kembali Mahesa Jenar,” sahut Sora Dipayana,
“Dengan
demikian semalam suntuk kita akan saling mengantar”.
Mahesa Jenar
dan Ki Ageng Sora Dipayana tersenyum mendengar kelakar itu, bahkan juga
orang-orang lain yang mendengarnya, meskipun di dalam dada mereka masih
tersimpan beberapa soal yang sukar dipecahkan.
Akhirnya
mereka terpaksa menunggu sampai hidangan disajikan. Minum dan makan. Meskipun
mereka duduk bersama menikmati hidangan itu dengan Lembu Sora dan Sawung
Sariti, namun tidak banyak yang mereka percakapkan. Mereka menjadi kaku dan
tegang, sehingga tidak banyak makanan yang dapat mereka makan, serta minuman
yang dapat mereka minum. Setelah selesai mereka menikmati jamuan itu, serta
setelah mereka beristirahat sejenak, maka sekali lagi Mahesa Jenar memohon diri
untuk kembali ke perkemahan anak-anak Banyubiru. Kali ini Ki Ageng Sora
Dipayana tidak menahannya lagi. Dilepaskannya Mahesa Jenar beserta rombongannya
sampai ke halaman untuk seterusnya meninggalkan rumah kepala daerah perdikan
Banyubiru itu.
Ketika
rombongan kecil itu telah lenyap dibalik regol, serta derap langkah kudanya
tidak terdengar lagi, berkatalah Lembu Sora menyesali ayahnya,
“Ayah, kenapa
ayah menyuruh orang itu membawa anak yang menamakan diri Arya Salaka itu
kemari?”
“Apakah
keberatanmu Lembu Sora?” tanya ayahnya pula.
“Apakah ayah
dapat menerimanya sebagai Arya Salaka yang sebenarnya? Dan apakah ayah masih
mau memberi kepercayaan kepada orang yang bernama Mahesa Jenar itu?” desak
Lembu Sora beruntun.
“Lembu Sora,”
jawab ayahnya.
“Biarlah kita
buktikan bersama. Dengan demikian kita akan dapat mengetahui dan membuktikan
bahwa orang yang bernama Mahesa Jenar ini memiliki sifat-sifat pengecut dan
jahat, apabila anak muda yang dinamakan Arya Salaka itu benar-benar bukan
cucuku. Tetapi sebaliknya, apabila anak muda itu benar-benar Arya Salaka, maka
orang yang mengabarkan kepadamu bahwa Arya Salaka telah terbunuh, ternyata ia
keliru, atau orang itu memang belum mengenal cucuku dengan baik.”
Mendengar
kata-kata ayahnya, yang kedengarannya tegak di tengah-tengah itu, Lembu Sora
mengatupkan giginya. Ia sama sekali tidak senang mendengar keputusan ayahnya
mengundang Arya Salaka datang ke Banyubiru. Karena itu, ia harus berusaha untuk
mencegahnya. Tetapi ia tidak berani mengemukakan keberatannya itu kepada
ayahnya. Ketika Lembu Sora kemudian pergi meninggalkan ayahnya, dan menengok ke
alun-alun di hadapan rumah itu, ia masih melihat debu berserakan yang
dilemparkan oleh kaki-kaki kuda Mahesa Jenar beserta rombongannya. Tetapi
kuda-kuda itu sendiri sudah tidak begitu jelas kelihatan.
Dari kejauhan,
bayangan yang kelam seolah-olah datang menerkam daerah perdikan itu dengan
perlahan-lahan. Sedang di ufuk barat, matahari yang kelelahan telah membenamkan
dirinya dibalik punggung-punggung bukit. Sinarnya yang lamat-lamat untuk sesaat
masih tersangkut di awan-awan yang mengalir lambat-lambat menyapu wajah langit
yang berwarna biru tua. Tiba-tiba sesaat kemudian bermunculanlah
bintang-bintang yang gemerlapan menggantung di awang-awang.
Sekali dua
kali Mahesa Jenar memandang ke arah langit. Bintang-bintang yang semakin padat
sangat mengagumkannya. Ia kagum kepada kebesaran alam, kepada benda-benda yang
bertebaran di angkasa, kepada tata alam yang sempurna. Tetapi kekagumannya
kepada alam, kepada benda-benda yang berkilat-kilat di angkasa itu akhirnya
terdampar pada sumbernya. Yaitu kekagumannya kepada Yang Maha Sempurna, yang
telah menjadikan semuanya ini. Tuhan Yang Maha Esa.
Setiap kali
hatinya tergetar oleh kekagumannya itu, setiap kali pula ia merasa semakin
dekat pada-Nya. Dan setiap kali ia merasa bahwa ia harus meningkatkan kebaktian
kepada-Nya, serta pengabdian kepada titah terkasihnya, yaitu manusia.
Pengabdian yang bukan sekadar damba kasih dalam kidung-kidung atau
kakawin-kakawin, tetapi pengabdian yang benar-benar diamalkan, dicerminkan
dalam tindak-tanduk dan cara hidup sehari-hari. Di dalam perjalanan itu hampir
tak terdengar mereka bercakap-cakap. Masing-masing berdiam diri, kecuali
memperhatikan jalan-jalan di hadapan mereka, agaknya mereka masih juga sibuk
menilai peristiwa yang baru saja terjadi dan yang kira-kira akan terjadi.
Seperti juga ketika mereka datang di Banyubiru, pada saat itu yang berjalan di
depan adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, sedang di belakangnya Wanamerta
dan seterusnya Bantaran dan Penjawi. Dalam keheningan malam yang menjadi
semakin dalam, hanya derak-derak batu-batu padas yang tersentuh kaki-kaki kuda
itu sajalah yang terdengar disamping suara-suara belalang di kejauhan. Di
langit, kelelawar menari-nari dengan lincahnya, seolah-olah tak ada mahluk lain
yang berani mengganggunya, sebab malam hari itu adalah milik mereka.
Ketika Mahesa
Jenar beserta rombongannya sedang menempuh perjalanan itu di perkemahan
anak-anak Banyubiru, di sekitar Candi Gedong Sanga tampaklah
persiapan-persiapan dan penjagaan-penjagaan yang lebih ketat daripada biasanya.
Apa yang diceriterakan Endang Widuri merupakan pertanda bahaya yang mengancam.
Meskipun mereka belum yakin dari manakah bahaya itu datang. Mantingan, Wirasaba
dan Jaladri sama sekali tidak berani meninggalkan gardu pimpinan. Sebab mereka
menduga bahwa setiap saat mereka akan dikejutkan oleh peristiwa yang tak mereka
kehendaki.
KETIKA itu
Arya Salaka pun merasa tidak tenang berbaring di dalam pondoknya. Perasaannya
selalu saja mengganggu. Karena itu kemudian ia bangkit berdiri dan berjalan
keluar. Di luar, ia berpapasan dengan beberapa orang penjaga yang menyapanya
dengan hormat.
“Angger,
kemanakah Angger akan pergi?”
“Aku hanya
ingin berjalan-jalan saja, Paman. Udara terlalu panas, dan aku masih belum
berhasrat untuk tidur,” jawab Arya.
“Tetapi
hati-hatilah Angger.” Orang itu melanjutkan,
“Jangan
meninggalkan lingkaran perkemahan ini.”
“Baik Paman,”
jawab Arya Salaka.
Setelah orang
itu menjauhinya, terdengar ia bergumam,
“Agaknya orang
itupun mendapat firasat yang kurang baik.”
Sejalan dengan
itu, tiba-tiba ia teringat kepada Widuri yang tinggal bersama Rara Wilis dan
Nyi Penjawi. Mula-mula ia menjadi cemas bahwa orang yang dikalahkan oleh gadis
itu mendendamnya dan berusaha untuk membalasnya. Namun kemudian hatinya menjadi
tenteram ketika ia sadar bahwa Widuri bukan anak-anak yang masih perlu mendapat
perlindungan khusus. Tingkat ilmunya adalah jauh lebih tinggi dari setiap orang
yang berada di luar pondok yang mencoba melindunginya. Apalagi dalam pondok itu
berada pula Rara Wilis. Meskipun demikian Arya Salaka berhenti sejenak untuk
mengawasi pondok itu. Pondok dimana tinggal di dalamnya Endang Widuri. Tetapi
pondok itu nampaknya sepi saja, seolah-olah ikut tertidur dengan para
penghuninya. Sedang di sekitar pondok itu ia melihat tiga orang berjaga-jaga.
Ia menjadi lega. Kemudian Arya melangkah kembali menikmati udara malam yang
sejuk. Sekali dua kali ia memandang ke arah langit. Bintang-bintang yang
semakin padat sangat mengagumkannya. Ia, seperti juga gurunya, pada saat yang
bersamaan itu, kagum kepada kebesaran alam, kepada benda-benda yang bertebaran
di angkasa, kepada tata alam yang sempurna. Juga seperti gurunya yang sedang
menuju ke perkemahan itu, kekagumannya kepada alam, kepada benda-benda yang
berkilat-kilat di angkasa itu akhirnya terdampar kepada sumbernya, yaitu
kekagumannya kepada Yang Maha Sempurna, yang telah menjadikan semuanya ini.
Dalam keadaan
yang demikian, seolah-olah terngiang kembali segala nasehat dan petuah-petuah
dari gurunya. Seakan-akan mendengung di dalam rongga telinganya kata-kata
Mahesa Jenar.
“Arya, yang
penting dari setiap usahamu, adalah usaha-usaha dan perbuatan-perbuatan yang
dapat banyak berarti bagi rakyatmu kelak, untuk mendatangkan kebahagiaan lahir
dan batin. Tetapi yang lebih penting lagi adalah pertanggungjawabanmu sebagai
seorang pemimpin yang akan dituntut kelak, apabila kau menghadap kembali kepada
Yang Maha Esa. Karena itulah maka perbuatan-perbuatanmu sekarang harus dapat
dinilai dari dua segi. Pengabdianmu pada sesama dan kebaktianmu kepada Tuhan.”
Sambil
berangan-angan, tanpa disadari Arya Salaka telah berjalan sampai ke batas
perkemahan. Ia masih melihat seorang penjaga berdiri tegak di tengah jalan,
sedang di pinggir jalan itu duduk tiga orang yang lain. Tiba-tiba timbullah
keinginannya untuk ikut serta duduk bersama mereka. Karena itu perlahan-lahan
ia mendatanginya.
Ketiga
orang-orang itu melihat seseorang menghampirinya, hampir serentak mereka
menyapa lirih,
“Siapa?”
“Arya,” jawab
Arya Salaka.
“O…” terdengar
salah seorang dari mereka itu.
“Akan
kemanakah Angger?”
“Aku ingin
duduk bersama-sama dengan Paman di sini,” jawab Arya.
“Ah,” sahut
orang itu.
“Di sini
banyak nyamuk. Tidakkah Angger perlu beristirahat?”
“Aku belum
ingin tidur, Paman,” jawab Arya pula, dan yang kemudian duduk di samping ketiga
orang itu.
Ketika orang
itu mengingsar duduknya, sedang orang yang tegak di tengah jalan itu menoleh
pula kepadanya.
“Tidakkah
Angger lebih enak duduk di gardu pimpinan bersama-sama Adi Mantingan?” tanya
yang berdiri itu.
“Nanti aku
akan ke sana juga,” jawab Arya.
Orang-orang
itu tidak bertanya lagi. Tetapi mereka merasa bertambah beban. Karena mereka
belum kenal kepada anak itu setelah beberapa tahun terpisah. Mereka merasa
bahwa Arya Salaka itu masih saja seperti dahulu. Masih harus mendapat
perlindungan dan perawatan. Karena itu maka seorang dari ketiga orang yang duduk
itu kemudian tegak pula dan berjalan-jalan hilir-mudik. Sedang kedua orang yang
lain, meskipun tidak berkata apa-apa, tetapi mereka mengingsar duduknya,
sehingga seorang di sebelah kiri dan seorang lagi di sebelah kanan Arya. Arya
tersenyum di dalam hati, tetapi ia juga bangga atas anak buahnya yang sangat
hati-hati itu. Disamping itu, ia merasa bahwa agaknya Mantingan menganggap
bahwa keadaan perkemahan itu benar-benar dalam bahaya. Ketika Arya telah duduk
diantara kedua orang itu, mulailah ia bertanya-tanya tentang beberapa hal.
Tentang Banyubiru sepeninggalnya. Tentang pamannya Lembu Sora. Bahkan tentang
pohon jambu di halaman yang dahulu ditanamnya.
“Pohon jambu
itu luar biasa lebatnya,” jawab orang yang duduk di sebelah kirinya.
ARYA SALAKA
kemudian mencoba membayangkan pohon itu. Alangkah rindangnya duduk di bawahnya
apabila matahari yang terik sedang membakar seluruh halaman rumanya. Tetapi
yang terakhir terbayang di dalam otaknya adalah orang yang paling dikasihinya.
Orang yang telah melahirkannya dan mengasuhnya dengan penuh cinta kasih. Orang
itu adalah ibunya. Nyai Ageng Gajah Sora. Terbayanglah wajah ibunya yang sayu
pucat berdiri di regol halaman rumahnya. Dengan penuh harapan ia menanti
kedatangan ayahnya. Gajah Sora dari Demak. Dan dengan penuh harapan pula ia
menanti kedatangannya, satu-satunya anak yang dimilikinya. Tetapi kemudian
dibayangkannya, bahwa ibunya akan menjadi putus asa kalau yang ditunggunya
sekian lama tidak kunjung tiba. Maka yang dapat dilakukannya hanyalah menangis
di ruang tidurnya dengan membenamkan wajahnya di bawah bantalnya yang telah
basah oleh air mata. Arya menarik nafas dalam-dalam. Sekali-kali ia memejamkan
matanya sambil menggelengkan kepalanya untuk mengusir bayang-bayang yang
mengganggu otaknya. Tetapi bayangan-bayangan itu menjadi semakin jelas dan
seolah-olah ibunya itu melambai-lambai kepadanya dengan wajah sedih dan
berkata,
“Arya, aku
sudah sedemikian rindunya kepadamu.”
Arya terkejut
ketika terasa tetesan cairan yang hangat di pipinya. Cepat ia mengusapnya
dengan lengan bajunya. Tetapi mau tidak mau, dadanya menjadi sesak oleh sesuatu
yang seakan-akan menyumbat kerongkongannya.
“Hem….”
Beberapa kali Arya menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali, untuk mengurangi
himpitan perasaan yang menekan dadanya.
Semula ia
ingin menanyakan kepada orang-orang Banyubiru itu tentang keadaan ibunya.
Tetapi kemudian ia menjadi ketakutan. Ketakutan pada jawaban yang akan
didengarnya. Jangan-jangan jawaban mereka atas pertanyaan itu akan dapat
menambah sedih hatinya. Karena itu, maksudnya untuk bertanya tentang ibunya
dibatalkan. Sementara itu malam menjadi semakin jauh. Bintang-bintang telah
berkisar dari tempatnya semula ke arah barat. Di ujung selatan, bintang Gubug
Penceng telah melampaui garis tegak lurus. Tiba-tiba terasa sesuatu yang aneh.
Angin yang silir bertiup perlahan-lahan. Begitu nyamannya sehingga tiba-tiba
pula perasaan kantuk seolah-olah menyengat perasaannya. Dua orang yang berada
di kedua sisinya itu telah beberapa kali menguap. Sedang orang yang berjalan
hilir mudik itu pun merasakan pula serangan kantuk yang dalam. Demikian pula
orang yang tegak berjaga-jaga di tengah jalan. Dengan tanpa mereka sadari,
mereka jatuh terduduk.
Arya Salaka
pun merasakan juga serangan kantuk itu. Tetapi karena pengalamannya selama ini,
telah mempertajam nalurinya. Ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak pada
tempatnya. Tiba-tiba ia teringat ceritera gurunya tentang semacam ilmu yang
dapat mempengaruhi kesadaran seseorang. Yaitu ilmu sirep. Dengan ilmu itu orang
dapat memperlemah kesadaran orang lain yang tampaknya menjadi kantuk dan
tertidur. Karena itu, pada saat itupun Arya segera memperkuat ketahanan diri.
Dikerahkannya segala kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh sirep yang dalam
itu. Arya Salaka, meskipun masih sangat muda, tetapi karena masa-masa pembajaan
diri yang selama ini dialami, maka iapun telah menjadi anak muda yang perkasa
lahir dan batin. Karena itulah maka ia berhasil menyelamatkan dirinya dari
pengaruh sirep yang tajam itu. Beberapa kali ia mencoba membangunkan
orang-orang jaga yang kemudian jatuh tertidur. Tetapi demikian mereka
terbangun, menguap dan kembali jatuh tertidur. Arya Salaka menjadi heran.
Demikian kuatnya pengaruh sirep terhadap kesadaran seseorang. Namun meskipun
demikian, ia yakin, apabila ada sesuatu yang mengejut dan cukup kuat memberi
mereka rangsang, maka orang-orang yang kena pengaruh sirep itupun akan dapat
terlepas dengan sendirinya. Sebab apabila ia memukul paha salah seorang dari
penjaga yang tertidur, orang itupun menjadi terkejut pula dan terbangun untuk
kemudian jatuh tertidur kembali.
Bagi Arya
Salaka, pengaruh sirep itu merupakan tanda bahaya. Ia tidak tahu siapakah yang
menyebarkannya. Tetapi ia menjadi cemas, kalau kemudian sepasukan laskar akan
diam-diam menyerbu perkemahan yang seolah-olah menjadi tertidur seluruhnya. Ia
tidak tahu apakah semua orang mengalami nasib seperti kelima penjaga itu.
Apakah orang yang berjaga-jaga di sekitar pondok Endang Widuri pun menjadi
tertidur. Dan apakah Ki Dalang Mantingan, Wirasaba dan Jaladri tidak dapat
membebaskan diri dari pengaruhnya. Arya Salaka menjadi kebingungan. Ia tidak
sampai hati meninggalkan para penjaga yang tertidur itu. Kalau penyebar sirep
ini menghendaki, maka dengan mudahnya mereka membunuh penjaga-penjaga itu. Tetapi
belum lagi ia mendapat keputusan, telinganya yang tajam mendengar kemersik daun
tersentuh kaki. Cepat Arya Salaka menyiagakan diri untuk menghadapi segala
kemungkinan. Tetapi suara itu tidak berhenti ketika sudah menjadi semakin dekat
dari tempat duduknya. Bahkan kemudian terdengar suara berbisik lirih,
“Siapa yang
bertugas di sini?”
Arya sudah
mengenal suara itu. Suara Wirasaba. Karena itu ia menjadi gembira karena
setidak-tidaknya, ia sendiri dan Wirasaba dapat membebaskan diri dari pengaruh
sirep ini. Maka dengan perlahan-lahan pula ia menjawab,
“Aku, Paman,
Arya.”
“Arya Salaka?”
ulang Wirasaba agak terkejut.
“Ya,” jawab
Arya pula.
No comments:
Post a Comment