Bagian 089


KETIKA ia melihat kelebihan Wulungan, maka dibiarkannya pertempuran berlangsung. Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka tanpa campur tangan orang lain. Dengan demikian Ki Ageng Lembu Sora pasti akan menerima keadaan yang terjadi dengan tanpa campur tangan orang lain. Tanpa perasaan sesal dan kecewa. Tanpa menyalahkan siapapun di luar lingkungan kekuasaannya. Tetapi tiba-tiba terjadilah hal diluar dugaannya. selagi Widuri menonton dengan enaknya, dilihatnya Galunggung dengan tiba-tiba mencakup segenggam pasir. Sebelum Wulungan sempat berbuat, ditebarkannya pasir ke matanya. Wulungan terkejut, dengan gerak naluriah ia memejamkan matanya, namun beberapa butir pasir telah menyakitkan matanya, sehingga karenanya gerakannyapun terpengaruh pula. Pada saat yang demikian itu terdengar Galunggung tertawa nyaring. Berbareng dengan suara itu terdengar Wulungan mengumpat,
“Gila kau Galunggung.”
Dan Wulungan mencoba membuka matanya, namun mata itu telah menjadi kabur. Ia tidak dapat melihat lawannya dengan jelas selain bayangannya yang hitam seperti bayangan hantu. Yang dilakukan oleh Wulungan hanyalah meloncat mundur sejauh-jauhnya untuk mendapatkan waktu membersihkan matanya itu, namun Galunggung pun meloncat menyusulnya. 

Widuri melihat kecurangan itu. Perasaan muaknya tiba-tiba bangkit kembali. Dengan serta merta ia melompat turun, dan berkatalah gadis itu dengan nada nyaring, “He Galunggung, kau telah berbuat curang.”
Galunggung tidak mau mendengarkan kata-kata itu. Lawannya telah hampir lumpuh. Alangkah mudahnya untuk membunuhnya pada saat yang demikian itu. Pada saat berbahaya itu Wulungan mendengar suara Widuri. Ia masih sempat memikirkan nasib gadis yang kehadirannya adalah sebagai seorang tamu Pamingit. Karena itulah ia berteriak,
“pergilah ngger, pergilah.”
Pedang Galunggung sudah terjulur ke arah perut……
Betapapun sakit mata Wulungan, namun ia mencoba untuk melihat gerak Galunggung. Namun sekali lagi ia hanya melihat bayangan hantu hitam menerkamnya. Dalam keadaan putus asa, Wulungan menggerakkan pedangnya seperti baling-baling. Ia mencoba untuk melindungi dirinya. Namun ia sadar bahwa usahanya itu adalah usaha yang sia-sia. Tetapi ternyata bayangan yang hitam tidak segera menyentuh tubuhnya dengan ujung pedangnya. Bahkan kemudian ia mendengar Galunggung memaki-maki habis-habisan.

Wulungan segera mengusap matanya, dan membersihkannya dengan ujung kainnya. Ketika ia membuka matanya, meskipun masih agak kabur, ia melihat Galunggung bertempur. Hampir ia tidak percaya pada matanya yang kabur itu. Galunggung bertempur dengan gadis yang duduk berjuntai di atas pagar batu tadi. Dengan mulut ternganga ia melihat perkelahian itu. Benar-benar mengagumkan. Gadis kecil itu bertempur dengan rantai putih berkilat-kilat di tangannya. Dan yang tak dapat dimengerti, pertempuran itu seperti perkelahian antara kucing dan tikus. Galunggung benar-benar mirip seekor tikus raksasa yang sama sekali tak berdaya menghadapi kucing kecil itu.

Ketika mata Wulungan itu telah sembuh kembali, dan kembali ia dapat melihat setiap garis di wajah Galunggung, maka timbullah rasa malunya. Malu kepada gadis itu. Karena itu, kemudian ia pun berkata,
“Angger yang perkasa. Lepaskanlah tikus itu. Biarlah aku yang menangkapnya.”
“Kau sudah baik, Paman?”, tanya Widuri.
“Mudah-mudahan aku dapat melawannya,” sahut Wulungan. Suaranya datar dan rata, namun di dalamnya mengandung tekanan kemarahan yang meluap-luap. Marah kepada Galunggung atas segala perbuatan gilanya dan kelicikannya.
Widuri kemudian melepaskan lawannya. Kembali ia menonton sebuah perkelahian yang sengit. Galunggung masih saja berteriak-teriak memaki-maki, namun akhirnya semakin terasa, bahwa Wulungan akan menguasai keadaan. Dalam kesulitan, orang gila itu mencoba untuk berbuat sekali lagi. Menutup mata lawannya dengan pasir. Tetapi Wulungan bukan orang gila, yang dapat berbuat kesalahan serupa untuk kedua kalinya. Karena itu, ketika ia melihat Galunggung membukuk, dan dengan tangan kirinya mencakup segenggam pasir, Wulungan meloncat dengan cepatnya. Secepat kilat. Gerakan yang belum pernah dilakukan selama hidupnya. Tetapi didorong oleh kemarahan yang meluap-luap, maka ia telah melakukan suatu perbuatan yang seakan-akan berada di luar kemampuannya.

Terdengarlah kemudian suatu pekik ngeri. Darah yang merah memancar dari lambung Galunggung. Kemudian tubuh itu terdorong surut beberapa langkah. Ketika Wulungan mencabut pedangnya, ia melihat Galunggung itu masih tegak berdiri dengan pedang ditangannya. Matanya yang merah menjadi bertambah liar. Kemudian dari mulutnya yang berbusa terdengarlah ia menggeram, “Wulungan, kau tinggal memilih, Lembu Sora atau Galunggung.”
Galunggung yang luka parah itu mencoba maju setapak. Tetapi keseimbangan sudah hilang, dan jatuhlah ia terguling di tanah. Meskipun demikian, matanya yang liar masih saja memandangi Wulungan dengan kemarahan yang meluap-luap. Tetapi tiba-tiba ia menyeringai kesakitan. Kemudian terdengarlah ia berteriak, “He Wulungan, kau berani menyakiti aku?”

Wulungan tegak seperti patung. Ia melihat mulut Galunggung yang berbusa-busa itu masih memaki-maki, dan kemudian Galunggung itu menggeliat menahan sakit. Widuri bukan seorang gadis berhati kecil. Tetapi ia belum pernah menyaksikan peristiwa semacam itu. Ia belum pernah melihat seorang berjuang melawan maut dengan cara demikian. Karena itu, ia menutup kedua matanya dengan tangan-tangannya yang kecil sambil berkata nyaring,
“Kasihan orang itu, Paman.” Galunggung masih mencoba berdiri, tetapi ia tidak mampu lagi berbuat demikian. Kemudian nafasnya menjadi semakin cepat mengalir.
Meskipun demikian masih terdengar ia berkata,
“Hai, Wulungan. Berjongkoklah. Aku adalah kepala daerah perdikanmu.” Wulungan akhirnya menjadi beriba hati. Bagaimana pun juga ia pernah mengalami suka duka bersama-sama bertahun-tahun. Menyerahkan diri masing-masing dalam lingkungan yang sama. Berbuat bersama-sama untuk perbuatan yang terkutuk. Untunglah Wulungan sempat menyadari kesalahan-kesalahannya, sedang Galunggung telah benar-benar terbenam dalam cita-cita gilanya.
Karena itu, kemudian Wulungan melangkah maju dan berjongkok di samping kawannya yang gila itu. Dengan suara yang berat ia berkata,
“Maafkan aku, Adi Galunggung.” Mata Galunggung yang marah itu terbelalak, sambil memaki,
“Setan, panggil aku Ki Ageng.”
“Maafkan aku Ki Ageng,” sahut Wulungan. Wajah Galunggung yang tegang itu menjadi mengendor. Kemudian tampak ia tersenyum. Tersenyum gila. Wulungan adalah orang pertama sesudah Ki Ageng Lembu Sora. Sekarang ia telah memihaknya. Karena itu pekerjaannya untuk merebut tanah perdikan Pamingit menjadi semakin mudah. Katanya,
“Bagus, kau memihak aku?”

Dengan wajah kosong, Wulungan mengangguk,
“Ya, Ki Ageng.” Sekali lagi Galunggung tersenyum. Namun kemudian wajahnya menjadi tegang kembali. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia berkata lemah dan gemetar,
“Akhirnya tercapai juga cita-citaku.” Oleh kata-katanya sendiri Galunggung menjadi tenang. Matanya tidak seliar semula. Tetapi nafasnya telah satu-satu meluncur dari hidung, sedang darahnya telah membasahi tanah kelahirannya. Akhirnya Galunggung menutup matanya sambil tersenyum bangga. Kata-kata yang terakhir keluar dari mulutnya,
“Panggil aku Ki Ageng. Ki Ageng Galunggung.”
Dan kata-kata itu hampir tak sampai pada akhirnya. Dan Galunggung mati dengan penuh kebanggaan dalam kegilaan.
Wulungan menundukkan kepalanya. Dadanya bergolak seperti darah dijantungnya itu mendidih. Perlahan lahan ia mengangkat mukanya dan menoleh ke arah Endang Widuri yang masih berdiri tegak ditepi jalan. Tetapi Wulungan kini tidak memandangnya sebagai seorang gadis yang nakal, yang tidak tahu akan bahaya, tetapi kini ia memandangnya sebagai penyelamat jiwanya. Karena itu sambil berjongkok ia menunduk hormat,
“Angger, betapa besar terimakasihku kepada angger yang telah menyelamatkan nyawaku. Aku sama sekali tak menduga angger mampu berbuat sedemikian rupa mengagumkan.”
Wajah Widuri menjadi kemerahan mendengarkan pujian itu, ia hanya berdesis,
“ah.”
Tetapi Wulungan masih berdiri diatas lututnya.
“Aku tak akan dapat membalas budi angger. Mudah mudahan Tuhan mengaruniakan Kasihnya yang berlimbah.”

Widuri menjadi semakin malu, karena itu tiba-tiba ia memutar tubuhnya berlari ke banjar desa sambil berteriak,
“aku akan ke banjar desa paman.”
Wulungan menarik nafas. Perlahan ia berdiri sambil bergumam,
“Hem, alangkah bangga orang tuanya.”
Ketika Widuri telah hilang di balik tikungan, kembali Wulungan merenungi mayat Galunggung. Sekali-kali ia menebarkan pandangan berkeliling, tetapi Pamingit benar-benar seperti dicekam kesepian yang mengerikan.

Sebenarnya beberapa perempuan yang tinggal di rumah ditepi jalan itu menjadi ketakutan, dan menutup pintu mereka rapat-rapat. Seorang dua orang yang sempat mendengar teriakan Galunggung menjadi berbimbang hati,
“Apakah yang sebenarnya terjadi?” tetapi mereka menunggu sampai suami mereka kembali dari perlayatan.
Ketika sekali lagi Wulungan memandang ke ujung jalan di kejauhan, dilihatnya orang pertama yang datang dari makam. Kemudian kedua dan seterusnya. Iringan itu berjalan perlahan lahan menuju kearahnya.
Melihat kedatangan mereka, Wulungan menjadi berdebar-debar. Apakah ia tidak berbuat kesalahan? tetapi ia telah berbuat demikian untuk membela dirinya, mempertahankan hidupnya.
Tubuh Galunggung yang terkapar di jalan itu benar-benar telah mengejutkan mereka. Ki Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora dan yang lain-lain.
“Apa yang terjadi Wulungan?” suara Lembu Sora datar.
“kami bertengkar dan inilah akhirnya.”

Lembu Sora melihat luka dipundak Wulungan, karena itulah ia tahu bahwa Wulungan telah bertempur sengit melawan Galunggung. Ia melihat pedang Galunggung masih ditangannya, sedang pedang Wulungan ada belum disarungkan.
“Sarungkan pedangmu Wulungan”
Wulungan menjadi gugup. Cepat-cepat ia menyarungkan pedangnya.
“kami tidak menyalahkan engkau,” terdengan Lembu Sora berkata.
Orang Pamingit menjadi saling berpandangan. Pengikut Galunggung bergumam,
“kenapa Galunggung terbunuh?.”
Ki Lembu Sora dapat melihat gelora hati mereka. Mereka memandang Wulungan dengan marah, bahkan ada yang benci dan dendam. Seperti Galunggung yang menggantungkan harapannya kepada Sawung Sariti, maka demikianlah beberapa orang yang telah menerima janji mereka. karena itu kematiannya benar-benar disesalkan.
Tetapi karena itu alangkah sedih Lembu Sora. Kematian anaknya telah memukul jantungnya sedemikian parah. Sekarang ia melihat sinar mata bermusuhan di antara rakyatnya. Karena itu dengan sedih ia berkata,
“telah banyak korban jatuh. Daerah perdikan ini telah basah kuyup oleh darah putra terbaik. Sergapan gerombolan liar telah menghancurkan sendi kehidupan kita. Marilah kita jadikan Sawung Sariti korban yang terakhir, dan Galunggung yang lenyap karena kehilangan keseimbangan jiwa, adalah contoh mereka yang kehilangan akal”.
Kemudian Lembu Sora mengangkat wajahnya memandang kepada orang Pamingit yang berada disekitarnya,
“siapa akan menyusul?”

SUASANA dicengkam oleh kesepian. Tak ada yang terdengar selain desah nafas tegang di antara kemerisik daun-daun yang digerakkan angin. Orang-orang Pamingit yang memandang Wulungan dengan marah, serta orang-orang yang berdiri tegak di belakang Wulungan, menundukkan wajah mereka. Sesaat kemudian terdengar Ki Ageng Lembu Sora berkata,
“Para pemimpin laskar Pamingit harus menghadap aku sebelum matahari terbenam. Tak seorang pun berhak memberikan tafsiran atas peristiwa ini selain aku sendiri.”
Kemudian kepada Wulungan ia berkata,
“Wulungan, ikut aku.”
Wulungan menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya,
“Baik Ki Ageng.”
Kepada orang-orang Pamingit yang lain, Lembu Sora berkata,
“Selenggarakan pemakamannya baik-baik.”

Kemudian orang-orang yang berdiri berjejal-jejal itu mulai mengalir seperti air di dalam parit. Sebagian menuju ke banjar desa, sedang sebagian lagi ke rumah masing-masing. Perlahan-lahan jalan desa itu menjadi sepi kembali, selain beberapa orang yang sedang merawat tubuh Galunggung dan dibawanya ke pondoknya. Besok, sekali lagi mereka akan menyelenggarakan pemakaman. Galunggung tidak dimakamkan dengan upacara kebesaran seperti Sawung Sariti. Namun pemakaman itu pun akan diselenggarakan sebaik-baiknya. Dalam perjalanan ke banjar desa, Mahesa Jenar berbisik kepada Kebo Kanigara yang berjalan di sampingnya,
“Kakang, mayat Bugel Kaliki lenyap.”
Kebo Kanigara menoleh, matanya menjadi redup, tetapi kemudian ia tersenyum,
“Aku belum memberitahukan kepadamu.”
“Kenapa?” tanya Mahesa Jenar.
“Ketika aku membawa kembali Sawung Sariti yang terluka aku telah meminta beberapa orang Pamingit untuk mengubur mayat itu,” jawab Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Sambil menggeleng- gelengkan kepalanya ia bergumam,
“Sederhana sekali.”
Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum,
“Ya, sederhana sekali. Apa kau sangka mayat itu hidup kembali? Kalau ia dapat hidup kembali maka mayat-mayat yang lain pun akan hidup pula. Dengan demikian sekali lagi kita harus berjuang melawan mereka.”
Mahesa Jenar tertawa. Menggelikan sekali. Arya Salaka pun kemudian diberitahunya pula.
“Ah,” sahut anak muda itu.
“Aku menjadi gelisah karenanya.”

Ketika mereka sampai di banjar desa, mereka melihat perempuan-perempuan sedang sibuk mengerumuni Rara Wilis dan Endang Widuri yang duduk di samping Nyai Ageng Gajah Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora. Mereka tak habis-habisnya bertanya kenapa mereka dapat menyelamatkan diri mereka dan dengan penuh kekaguman mereka bertanya-tanya, bagaimana mereka dapat memiliki ilmu tata bela diri. Pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Meskipun demikian Rara Wilis mencoba pula untuk menjawab satu demi satu.
“O,” sahut salah seorang,
“Jadi orang tua berjanggut putih itukah yang bernama Ki Ageng Pandan Alas?”
“Ya, itu kakekku,” sahut Rara Wilis.
“Pantas, pantas Nini menjadi gadis perkasa,” kata yang lain. Ketika orang-orang yang datang dari pemakaman, setelah membasuh kaki mereka, memasuki banjar desa itu, maka perempuan itupun mengundurkan diri mereka untuk mempersiapkan minum serta makanan yang akan mereka hidangkan.

Pamingit dan Banyubiru telah melampaui suatu masa yang menyedihkan. Suatu masa yang tak dapat mereka lupakan. Ketika kemudian malam tiba, dan masing-masing telah terbaring di pembaringan, terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah terjadi. Meskipun gambaran-gambaran yang datang di dalam kenangan masing-masing tidak sama, tergantung dari apa yang pernah mereka lihat, dengar dan alami, namun mereka mempunyai persamaan kesimpulan. Bahkan Lembu Sora sendiri merasakan betapa kelakuannya hampir saja menenggelamkan kedua tanah perdikan itu. Tetapi dengan demikian, akhirnya ia menjadi ikhlas. Ikhlas atas segala kesedihan yang menimpanya. Ikhlas atas kematian anak satu-satunya. Agaknya Tuhan menghendaki, memberinya peringatan dan membawanya kembali ke jalan yang telah digariskan.
Di pondok itu, Mahesa Jenar duduk bersama-sama dengan Paningron, Gajah Alit, Gajah Sora dan Kebo Kanigara. Di bawah cahaya lampu minyak, tampaklah wajah mereka memancarkan kesungguhan pembicaraan yang sedang mereka lakukan.
“Pekerjaanku sudah selesai Kakang Tohjaya,” terdengar Gajah Alit berkata, “Sultan menghendaki penyelesaian yang sebaik-baiknya antara Banyubiru dan Pamingit. Kini agaknya penyelesaian itu telah ditemukan tanpa pertumpahan darah antara keduanya. Kalau kemudian jatuh korban, itu adalah karena perjuangan mereka mempertahankan tanah mereka dari sergapan setan-setan liar yang ingin memiliki keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang seterusnya mereka ingin merampas jalan ke tahta Demak.

GAJAH ALIT berhenti sejenak, kemudian ia meneruskan,
“Tetapi selain dari itu, aku mempunyai pekerjaan yang lain pula. Aku mendapat perintah untuk membawa Kakang Tohjaya kembali ke Demak.”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Setelah menarik nafasnya dalam-dalam, ia bertanya,
“Sebagai tawanan?”
“Tidak. Sama sekali tidak,” sahut Paningron cepat-cepat.
“Persoalan yang ada beberapa tahun yang lalu di Demak kini telah dilupakan. Tidak saja kini. Sebenarnya sejak semula Sultan tidak pernah mengalami kegoncangan kepercayaan kepada Kakang Tohjaya. Tetapi meskipun demikian, tak apalah kalau Kakang ketahui, bahwa memang Sultan menjadi murka karena Kakang meninggalkan istana. Namun hanya sementara. Akhirnya Sultan mengambil keputusan untuk tidak mencari dan memanggil Kakang kembali, sebab akhirnya Sultan tahu apa yang Kakang lakukan. Disamping pengabdian Kakang kepada sesama, Kakang gigih mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
“Hem!” Sekali lagi Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tak pernah kesetiaannya kepada tanah dan pemerintahannya menjadi goncang, seperti Sultan tak pernah mengalami kegoncangan kepercayaan kepadanya. Tak pernah ia berpikir untuk menolak seandainya Sultan memanggilnya, meskipun sebagai tawanan. Mahesa Jenar menyesal pula, bahwa ia begitu saja pergi meninggalkan istana pada saat itu. Tetapi masa itu telah lampau. Yang penting baginya, bagaimanakah selanjutnya. Dan kini ia harus memberi jawaban, Kanjeng Sultan Trenggana memangilnya.
“Adi…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Aku tidak dapat menolak apa pun yang diperintahkannya kepadaku. Namun aku ingin semaya. Aku ingin mendapat waktu untuk melengkapi saranku menghadap Sultan. Aku telah berjanji untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Karena aku telah berjanji pula pada diri sendiri, bahwa aku tak akan mengakhiri usahaku itu sampai kapanpun, sebelum keris-keris itu dapat diketemukan.”

Gajah Alit tersenyum. Jawabnya,
“Tepat. Kanjeng Sultan pun telah menebak apa yang akan kakang katakan. Dan karena itu Sultan memberi Kakang waktu. Tanpa batas. Kapan pun Kakang kehendaki membawa atau tidak membawa kedua keris itu, kakang akan diterima kembali. Sebab seandainya Kakang tidak dapat menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, itu tidak berarti bahwa apa yang telah Kakang lakukan dapat dilupakan. Sebab berhasil atau tidak, namun Kakang telah berjuang dengan mempertaruhkan jiwa dan raga Kakang.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Sampaikan sembah sujudku kepada Baginda. Aku tetap setia kepada sumpahku. Mudah-mudahan Tuhan berkenan memberi aku jalan untuk menghadapkan kembali pusaka-pusaka yang hilang itu.”
Kemudian ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing menundukkan kepalanya sambil merenungkan pembicaraan itu. Di luar, malam menjadi semakin pekat. Bintang-bintang berhamburan di langit yang biru. Selembar-selembar mega yang putih mengalir dihembus angin.

Malam itu adalah malam terakhir Paningron dan Gajah Alit berada di Pamingit. Mereka pada pagi harinya, terpaksa kembali ke Demak, untuk melaporkan apa yang telah dilakukannya. Mengantarkan kembali Gajah Sora. Penyelesaian yang baik antara Pamingit dan Banyubiru. Tertumpasnya gerombolan-gerombolan liar yang mencoba menyusun kekuatan untuk menghadapi Demak, sehingga karenanya Demak tidak perlu mengirimkan pasukan bantuan kepada Banyubiru dan Pamingit. Rangga Tohjaya yang tidak mau melepaskan kewajiban yang dibebankannya sendiri di atas pundaknya, mencari keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi tidak saja Paningron dan Gajah Alit yang pergi meninggalkan Pamingit. Gajah Sora dan Arya Salaka pun akhirnya beberapa hari kemudian, merasa bahwa mereka harus kembali ke tanah perdikannya. Mereka harus segera mengatur kembali pemerintahan tanah yang selama ini mengalami kegoncangan. Rakyat Banyubiru harus segera mengetahui bahwa akhirnya Ki Ageng Gajah Sora akan berada kembali di antara mereka. Karena itu, akhirnya mereka pun minta diri. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis dan Endang Widuri tidak pula ketinggalan. Mereka ingin menyaksikan, betapa tanah yang seakan-akan telah kehilangan pamornya itu, kini menemukan kembali dirinya.
Perpisahan itu benar-benar mengharukan. Betapa semedhot-nya orang-orang Pamingit ketika mereka melihat laskar Banyubiru, rampak dalam barisan yang tertib, siap berjalan menempuh jalan yang menghubungkan kedua tanah perdikan yang dikepalai oleh dua orang bersaudara. Kakak-beradik yang hampir saja saling membinasakan. Untunglah bahwa Tuhan berkehendak lain. Laskar itu akhirnya berjalan mendahului di bawah pimpinan Bantaran, Panjawi dan Jaladri. Laskar yang gagah berani itu berjalan menuruti jalan yang berliku-liku di lereng pegunungan, seperti seekor ular raksasa yang menjalar menuruni tebing, mendaki lereng-lereng bukit kecil menuju ke Rawa Pening.

DALAM perjalanan itu Widuri menjadi gembira. Dilarikannya kudanya di paling depan. Di mukanya terbentang lembah dan dipagari oleh bukit-bukit kecil. Sekali-kali perjalanan itu menurun, namun kadang-kadang harus mendaki lereng-lereng bukit yang berbaris seperti sebuah benteng yang kokoh kuat. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dilihatnya matahari telah condong. Widuri mengerutkan keningnya. Mereka berangkat terlalu siang. Mereka tidak akan dapat mencapai Banyubiru sebelum matahari terbenam. Sedang perjalanan itu tidak akan dapat cepat, karena Nyai Ageng Gajah Sora belum dapat menunggang kuda dengan baik. Meski demikian Widuri kadang-kadang memacu kudanya jauh ke depan. Kemudian sambil menanti kawan-kawannya ia berhenti di atas sebuah punhtuk yang menjorok. Dari sana ia dapat melihat, betapa luasnya tanah yang terbentang di hadapannya. Betapa besar alam. Dan betapa Maha Besar Sang Pencipta, yang telah mencipta langit dan bumi. Beribu, berjuta kali lipat dari apa yang dilihatnya itu, dari apa yang gumelar di hadapannya. Rombongan itu berjalan terus. Meskipun perlahan-lahan namun mereka tetap maju, semakin lama semakin dekat dengan Banyubiru. Matahari yang mengapung di langit telah membayanglah punggung-punggung bukit. Sesaat kemudian membayanglah warna kuning tajam di atas pegunungan Candik Ala. Widuri tersenyum memandang warna itu. Tiba-tiba teringatlah olehnya warna-warna Candik Ala beberapa tahun yang lalu di Gedangan. Pada saat tiba-tiba saja mereka disergap oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Tetapi Uling itu telah tak ada lagi. Mereka telah dibinasakan oleh Arya Salaka.
“Hem!” gumamnya,
“Alangkah gagahnya anak itu.”

Tiba-tiba wajah Widuri menjadi kemerah-merahan. Segera ia menoleh ke arah rombongannya.
“Mudah-mudahan mereka tidak mendengar,” pikirnya. Gadis itu menjadi malu sendiri. Malu kepada pengakuannya, bahwa ia telah mengagumi Arya Salaka. Karena itu sekali lagi ia melarikan kudanya ke punthuk yang lain, sambil berusaha mengusir angan-angannya tentang anak muda dari lereng bukit Telamaya itu. Namun setiap kali ia berusaha melupakan, setiap kali angan-angan itu muncul kembali. Agaknya jauh di belakangnya, berjalanlah dengan kecepatan sedang seluruh rombongan.
Gajah Sora mendampingi istrinya bersama Arya Salaka. Di belakangnya, Ki Ageng Pandan Alas berjajar dengan Kebo Kanigara yang kadang-kadang menjadi cemas melihat kenakalan anaknya yang jauh di depan. Di belakang mereka, berkuda Mahesa Jenar, dan di sampingnya Rara Wilis. Tidak banyak yang mereka percakapkan di perjalanan. Hanya kadang-kadang saja Rara Wilis bertanya-tanya tentang daerah yang mereka lewati. Ketika Candik Ala membayang di langit, bertanyalah Rara Wilis,
“Sudahkah kita sampai ke daerah tanah perdikan Banyubiru?”
Mahesa Jenar menggeleng, jawabnya,
“Aku tidak tahu pasti, manakah batas antara kedua tanah perdikan itu.”

Rara Wilis mengangguk-anggukan kepalanya. Pandangannya kemudian beredar memandangi hutan-hutan yang masih bertebaran di lembah.
“Tanah itu belum digarap,” katanya.
“Masih cukup dengan sawah-sawah yang sudah ada,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi perkembangan penduduk Banyubiru demikian pesatnya. Dan hutan-hutan itu menanti tangan-tangan yang akan menggarapnya.”
Rara Wilis terdiam. Di perjalanan antara Pamingit dan Banyubiru, hampir tak dijumpainya pedesaan. Agaknya rakyat Banyubiru dan Pamingit lebih senang dedukuh pada pedukuhan yang tidak terlalu jauh jaraknya satu sama lain. Meskipun demikian sekali-kali mereka melewati pedukuhan pula. Pedukuhan-pedukuhan kecil, yang seakan-akan terpisah dari induk tanah perdikan mereka. Namun mereka pun merupakan sendi-sendi kehidupan yang tak dapat dilupakan.
“Adakah Kakang akan menetap di Banyubiru?”

Mahesa Jenar tersentak mendengar pertanyaan Rara Wilis yang tiba-tiba itu. Untuk sesaat ia tidak tahu bagaimana ia harus menjawabnya. Dipandanginya saja wajah gadis yang duduk di atas punggung kuda di sampingnya itu. Ketika Rara Wilis merasa betapa sepasang mata yang tajam memandanginya, ditundukkannya wajahnya dalam-dalam. Tanpa disengaja, Mahesa Jenar mengamat-amati wajah itu dengan seksama. Sejak semula ia memang mengagumi kecantikan Rara Wilis. Tetapi sejak perjuangannya mencari Nagasasra dan Sabuk Inten meningkat, serta usahanya untuk mengembalikan Arya Salaka hampir sampai pada titik puncaknya, ia tidak mempunyai waktu lagi untuk selalu memperhatikan wajah itu. Sekarang tiba-tiba ia mempunyai waktu itu. Namun hatinya menjadi tergoncang karenanya. Di wajah yang cantik itu, tampaklah beberapa bintik air mata.

MAHESA JENAR menarik nafas dalam-dalam. Baru sekarang dilihatnya kesayuan yang membayang di wajah yang cantik itu. Betapa gadis itu mengorbankan remajanya untuk memberinya kesempatan melakukan pengabdian mutlak kepada sesama dan kepada Tuhannya. Dua pengabdian yang tak mungkin dipisah-pisahkan. Mungkin pada saat-saat mendatang bukan berarti bahwa ia akan dapat mengabdikan pengabdian itu, namun ia sudah mempunyai waktu untuk memikirkan dirinya sendiri. Mahesa Jenar menjadi iba kepada gadis itu. Ia merasa bahwa sudah terlalu lama ia membiarkan gadis itu menahan hatinya, tanpa mendapat perhatiannya sama sekali. Telah terlalu lama ia membiarkan gadis itu merasa betapa sepi hidupnya. Tiba-tiba ia ingin menjelaskan kepada gadis itu, mengapa ia bersikap demikian. Perlahan-lahan terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Wilis, kalau sampai sedemikian lama aku berdiam diri, itu karena aku ingin hidup kelak tidak terganggu oleh kesanggupan dan janji diri. Aku ingin hidup tentram setelah aku menyelesaikan pekerjaanku. Aku harap kau dapat mengerti, bahwa apa yang aku lakukan adalah demi kebahagiaan kita kelak, bukan semata-mata aku membiarkan diriku melakukan pekerjaan yang aku senangi tanpa mempertimbangkan pendapatmu. Sebab …”
“Kakang!” potong Rara Wilis. Gadis itu mengangkat wajahnya dan memandang Mahesa Jenar tidak kalah tajamnya. Katanya meneruskan,
“Kenapa Kakang berkata demikian? Apakah aku pernah menyatakan penyesalan atas semua yang pernah terjadi selama ini berjuang untuk suatu pengabdian, untuk memenuhi kewajiban yang Kakang letakkan di pundak Kakang? Sampai sekarang pun aku telah berusaha untuk membantu Kakang, setidak-tidaknya membesarkan hati Kakang agar Kakang dapat melakukan kuwajiban itu dengan tenang. Tentang diriku sendiri? Aku telah lama melupakan kepentingan itu. Aku telah biasa hidup dalam kesepian. Sejak ibuku meninggal dunia.”

Rara Wilis tak dapat meneruskan kata-katanya. Air matanya menjadi semakin deras mengair dan tangannya menjadi sibuk untuk mengusapnya.
“Maafkan aku Wilis,” desis Mahesa Jenar. Ia menyesal telah mengatakan apa yang tersimpan didalam hatinya. Ia menyesal bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang sama sekali tak dikehendaki oleh Rara Wilis.
Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar berkata,
“Wilis, sekarang semua kewajiban itu sudah selesai.”
Rara Wilis terkejut. Ia mengangkat wajahnya yang basah. Seakan-akan ia ingin mendengar kata-kata itu sekali lagi.
“Pekerjaanku telah selesai,” ulang Mahesa Jenar meyakinkan.
“Bagaimana dengan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?” tanya Rara Wilis.
“Keris itu sudah aku ketemukan,” jawab Mahesa Jenar.
“Sudah Kakang ketemukan?” Wajah Rara Wilis tiba-tiba menjadi cerah. Tetapi tiba-tiba matanya menjadi suram kembali. Katanya,
“Kakang hanya ingin menyenangkan hatiku. Atau hati Kakang menjadi patah dan tidak mau mencari kedua keris itu lagi?”
Cepat-cepat Mahesa Jenar menyahut,
“Tidak, tidak Wilis. Aku sama sekali tidak akan menghentikan usahaku seandainya kedua pusaka itu belum dapat diketemukan. Tetapi kini kedua keris itu benar-benar telah dapat diketemukan.”

Perlahan-lahan wajah Rara Wilis menjadi cerah kembali. Namun dari kedua biji matanya yang hitam bulat masih memancar berbagai pertanyaan. Meskipun pertanyaan-pertanyaan itu tak terucapkan, tetapi Mahesa Jenar dapat mengartikan. Karena itu ia berkata,
“Wilis, kau tak perlu bercemas hati tentang kedua keris itu. Sudah sejak lama aku mengetahui, di mana kedua keris itu berada. Namun sampai saat ini belum tiba masanya kedua pusaka itu kembali ke istana.”
“Di manakah kedua keris itu?” tiba-tiba Rara Wilis bertanya. Mahesa Jenar ragu sejenak. Karena itu maka Rara Wilis segera berkata, “Maafkan, barangkali kau tidak perlu mengetahuinya.”
“Tidak apa Wilis,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat.
“Kau boleh mengetahui beberapa bagian. Keris itu kini ada dalam simpanan Panembahan Ismaya.”
“Panembahan Ismaya?” Rara Wilis terkejut.
“Ya. Panembahan itulah yang telah mengambil kedua keris itu dari Banyubiru,” sahut Mahesa Jenar,
“Namun apa yang dilakukan itu benar-benar tanpa pamrih. Panembahan hanya ingin menyelamatkannya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk lagi. Kemungkinan kedua pusaka itu jatuh di tangan orang-orang seperti Sima Rodra, Bugel Kaliki dan sebagainya.”
“Darimana Kakang tahu?” tanya Rara Wilis.
“Dari Panembahan Ismaya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.

Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam. Tiba tiba saja persoalan yang seakan menghimpit dadanya seberat gunung Anakan terasa berguguran. Sebab selama ini kedua keris itu masih menjadi teka teki, iapun ikut serta merasakan betapa berat penanggungan hati Mahesa Jenar. Meskipun ia tidak tahu mengapa Mahesa Jenar tidak segera menyerahkan keris itu ke Demak namun ia tidak bertanya-tanya lagi. Sebab persoalannya telah menjadi jelas dan Mahesa Jenar tidak perlu lagi merantau dan berjuang mati-matian untuk mencarinya. Rara Wilis kemudian berdiam diri. Namun di dalam hatinya bergolaklah angan-angan seorang gadis. Seorang gadis yang telah berdiri di ambang pintu idaman. Yang berbicara kemudian adalah Mahesa Jenar,
“Karena itu Wilis. Kita telah mempunyai waktu untuk berbicara tentang diri kita.”
Wajah Rara Wilis menjadi merah. Dadanya serasa berdesir. Waktu yang ditunggu- tunggu akhirnya akan datang. Namun ia tidak menjawab.
“Segala kesulitan telah kita lampaui,” Mahesa Jenar meneruskan,
“Mudah-mudahan kita tidak terlalu tua untuk mulai dengan suatu kehidupan baru.”
Betapa menyenangkan kata-kata itu. Namun Rara Wilis telah melampaui masa pergolakan jiwa. Karena itu ia dapat menanggapinya dengan wajar, dengan hati yang mengendap.
Katanya,
“Tidak Kakang. Tidak semua kesulitan telah selesai. Dalam hidup yang baru itu, kesulitan-kesulitan lain justru baru akan mulai. Kesulitan-kesulitan yang sekarang belum dapat kita bayangkan.”
Mahesa Jenar tersenyum. Senyum yang memancar dari hatinya yang cerah.
“Kau benar Wilis.”

Kemudian keduanya berdiam diri. Angan-angan mereka terbang mengawang bersama mega-mega putih di langit. Tanpa dirasa, hari telah menjadi gelap. Bintang- bintang telah berhamburan menggantung di sisi bulan yang masih muda. Jarak mereka berdua pun telah menjadi semakin jauh dari Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara.
Maka berkatalah Mahesa Jenar kemudian,
“Marilah kita susul mereka.”
Mereka mempercepat langkah kuda-kuda mereka. Ketika mereka telah berada tepat di belakang Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara, mereka melihat Endang Widuri pun telah memperlambat kudanya dan kemudian berhenti di tepi jalan menunggu kawan-kawan seperjuangannya. Angin malam berdesir menggerakkan daun-daun dan ujung batang-batang ilalang. Suara angup dan belalang saling bersahutan, menggores sepi malam. Rombongan itu berjalan dengan tenangnya. Sekali-sekali mendaki dan sekali-kali menurun.
“Kita belum melampaui laskar yang mendahului kita?” tanya Endang Widuri.
“Mereka telah sampai atau setidak-tidaknya hampir memasuki Banyubiru,” jawab Arya Salaka.
“Bukankah kita juga hampir sampai?” tanya gadis itu pula.
“Ya!” jawab Arya,
“Dari balik bukit di hadapan kita itu kita akan dapat melihat dataran di hadapan bukit Telamaya dan Rawa Pening.”

Widuri tidak berkata-kata lagi. Ia mengharap agar perjalanan itu lekas berakhir. Malam nanti ia dapat beristirahat dengan tenang. Dan besok pagi, mulailah masa istirahatnya. Ia akan dapat menikmati lembah di sekitar Rawa Pening dengan tenang tanpa suatu kegelisahan apapun. Ia tidak perlu berpikir tentang Uling Putih dan Uling Kuning, Nagapasa, Lawa Ijo dan sebagainya. Dengan getek ia dapat bermain-main di Rawa itu, sambil mengail. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika rombongan itu sampai di punggung bukit. Sebentar lagi akan tampaklah nyala-nyala lampu yang memancar dari lubang-lubang pintu. Atau obor-obor di simpang-simpang jalan yang gelap. Karena itu tiba-tiba ia mempercepat jalan kudanya, kembali mendahului rombongan itu. Namun tiba-tiba ketika ia mencapai punggung bukit itu, ia terkejut. Di hadapannya, di lereng bukit Telamaya, dilihatnya api menjilat ke udara. Bukan obor, tetapi seperti beribu-ribu obor. Melihat nyala api itu, Endang Widuri tertegun. Tiba-tiba ia berteriak nyaring,
“Kebakaran!”
Mendengar teriakan Widuri, Arya Salaka terkejut. Tanpa sesadarnya kakinya menyentuh perut kudanya, sehingga kuda itu berlari mendahului kawan-kawannya, menyusul Endang Widuri. Kemudian Arya Salaka pun melihat api itu pula. Sambil mengerutkan keningnya ia berpikir, Aneh. Api itu terlalu besar. Akhirnya yang lain-lain pun sampai ke dekat mereka pula. Mereka pun kemudian melihat api yang menjilat-jilat ke udara seperti akan menggapai bintang-bintang di langit. Sesaat Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara saling berpandangan. Kemudian terdengar Mahesa Jenar berdesis,
“Kebakaran.”

Belum lagi ngiang suara hilang, terdengarlah lamat-lamat suara kentongan dilereng bukit Telamaya. Tiga-tiga ganda.
“Kebakaran?,” Ki Ageng Gajah Sora mengulang.
Tampaklah wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Katanya melanjutkan
“Inilah sambutan tanah kelahiranku atas kedatanganku? Atau tanah ini sudah tidak mau menerima aku kembali?”
“Jangan berfikir terlalu jauh ngger,” potong Ki Ageng Pandan Alas,
“ada bermacam-maca sebab yang menimbulkan kebakaran. Sebaiknya angger melihatnya.”
Ki Ageng Gajah Sora menoleh kepada isterinya. Ia ingin memacu kudanya, namun bagaimana dengan Nyai Ageng itu. Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua memaklumi. Katanya
“pergilah angger sekalian mendahului. Lihatlah apa yang  terjadi. Mungkin ada bahaya yang datang, tetapi mungkin juga karena kelengahan sendiri. Biarlah aku mengawani Nyai Ageng Gajah Sora dalam perjalanan yang tinggal beberapa langkah ini.”
Sekali lagi Gajah Sora memandang isterinya. Ketika isterinya mengangguk, maka berkatalah Gajah Sora,
“aku mendahului paman.”
Gajah Sora tidak berkata-kata lagi. Disendalnya kendali kudanya dan sesaat kemudian kudanya menghambur seperti angin, disusul oleh Arya Salaka yang tak terpaut dua langkah dibelakang kuda ayahnya. Kemudian dibelakang mereka Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Wilis dan Widuri. Bahkan kemudian dengan gembiranya Widuri berpacu meskipun malam menjadi semakin gelap.
“Hati-hatilah Widuri,” ayahnya berteriak memperingatkan Widuri menoleh sambil tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Derap kuda itu seperti akan memecahkan selaput telinga. Berdetak-detak diatas tanah liat yang berbatu-batu. Meskipun jalan itu tidak terlalu lebar dan naik turun menggelombang dilereng bukit, namun kuda-kuda itu berlari seperti dikejar hantu. Untunglah di langit ada bulan sehingga malam tidak terlalu pekat. Hanya kadang pohon-pohonan liar dipinggir jalan melindungi cahayanya yang kuning lemah. Ketika mereka semakin dekat dengan Banyu Biru, tampaklah di hadapan mereka debu yang mengepul tinggi seperti awan tipis menyaput langit.
“Itulah mereka,” desis Arya Salaka ketika dilihatnya barisan di muka perjalanannya.
Kuda Gajah Sora berlari kencang sekali. Di belakang barisan Banyubiru yang ternyata juga telah hampir sampai itu ia berteriak,
“beri aku jalan.”
Barisan itu menepi. Beberapa ekor kuda berlari dengan kencangnya melampaui mereka. Terdengarlah kemudian Gajah Sora berkata,
“api. kalian dengar kentongan tiga-tiga ganda?.”
“Ya,” sahut Bantaran berteriak,
“kami mempercepat perjalanan kami.”
Ki Ageng Gajah Sora telah lampau. Yang menjawab adalah Arya Salaka,
“Bagus. Mungkin orang yang sedang berputus asa mencari bela.”
Aryapun tidak sempat menungu jawaban mereka. Barisan BanyuBiru hanya melihat bayangan yang terbang disamping mereka. Kemudian bersama dengan lenyapnya gema suara telapak kaki kuda mereka, bayangan itupun telah lenyap pula ditelan oleh lindungan batang batang pohon dan ilalang.

Suara kentongan semakin nyaring. Dan penuhlah lembah Telamaya dengan bunyi Tiga-Tiga Ganda. Dan karena itu pula kuda Gajah Sora berlari semakin kencang menuju ke arah alun-alun Banyubiru. Banyubiru menjadi ribut karena api yang tiba-tiba saja membakar hutan-hutan perdu dan alang-alang. Kalau api tidak segera dikuasai, maka api akan menjalar terus mendaki tebing. Apalagi sekali api menjilat hutan-hutan getah maka hutan itupun akan terbakar, dan lereng Bukit Telamaya akan menjadi lautan api. Bukit itu sendiri akan segera menyala, dan hancurlah kehidupan di atasnya. Tegal-tegal, sawah sawah dan pohon buah-buahan dihutan-hutan peliharaan akan musnah. Di alun-alun tampaklah beberapa orang sedang sibuk. Beratus-ratus orang telah keluar dari rumah mereka. Tidak saja orang lelaki, tetapi perempuan dan anak-anak. Mereka telah siap membawa lodong-lodong bambu untuk mencari air serta canting-canting besar dari pelepah batang upih. Namun dengan alat itu, mereka tidak akan dapat menguasai api yang membakar batang ilalang. Angin yang bertiup dari lembah seperti membantu mendorong api itu naik dilereng bukit yang damai itu.
Mantingan dan Wirasaba berusaha membantu Wanamerta yang tua. Mereka telah siap diatas punggung-punggung kuda. Yang terdengar adalah suara Wanamerta yang lantang,
“Putuskan daerah ilalang. Tebang semua pohon-pohon perdu. Pisahkan daerah api dengan daerah yang masih selamat. Sekarang!”
Orang-orang itupun berlari-larian. Mereka melemparkan lodong-lodong bambu di tangan mereka. Sedang mereka berlari-lari pulang mengambil sabit, pedang, pacul dan senjata-senjata tajam mereka untuk menebang hutan-hutan perdu dan batang-batang ilalang. Rakyat Banyubiru menjadi kacau seperti gabah dalam tampian. Mantingan, Wirasaba dan Wanamerta berusaha untuk menenangkan mereka. Sambil berteriak-teriak mereka memberi petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan.

“Jangan bingung !” terdengar suara Mantingan gemuruh,
“Semua pergi ke lereng. Tebang batang-batang ilalang yang belum termakan api supaya api tidak terus menjalar ke atas.”
Di sebelah lain Wirasaba berteriak tinggi,
“Nah, yang sudah bersenjata di tangan masing-masing pergi sekarang juga. Jangan menunggu api api mendatangi kalian. Kalian harus menyerbu ke daerah api itu.” Wirasaba sendiri mendahului pergi ke lereng bukit Telamaya. Dengan kapak raksasanya ia menebas pohon-pohon perdu seperti menebas rumput-rumput saja. Tenaga raksasanya benar-benar dimanfaatkan untuk menyelamatkan hutan ilalang yang masih mungkin di selamatkan demi keselamatan Banyubiru.
Rakyat Banyubiru pun segera menggulung lengan baju mereka atau melepas baju mereka sama sekali. Dengan pedang, cangkul dan apa saja di tangan mereka, mereka berusaha untuk membuat antara yang dapat membatasi menjalarnya api. Tetapi lereng itu sangat panjang. Api yang menyala-nyala itu tidak saja merambat ke atas, tetapi juga merambat ke samping membuat garis yang panjang, untuk kemudian perlahan-lahan mendaki tebing. Gajah Sora sampai di alun-alun ketika rakyat Banyubiru sudah mulai berlari-larian meninggalkan alun-alun itu. Dilihatnya Wanamerta tua sedang sibuk memberi aba-aba kepada mereka. Dengan lantang Ki Ageng Gajah Sora berteriak,
“Apa yang sudah Paman kerjakan ?”
Wanamerta terkejut. Suara itu telah agak lama tak didengarnya. Kini dalam keributan itu suara didengarnya kembali. Dengan lantang pula ia menjawab
“Aku mencoba memisahkan daerah yang terbakar itu dengan yang lain, supaya api dapat di batasi.”
“Bagus,” sahut Gajah Sora.
“Aku akan pergi ke lereng.”

Wanamerta tidak sempat berbuat lain. Dan dalam kesibukan itu, seakan-akan kehadiran Gajah Sora adalah kehadiran yang wajar. Seperti waktu lima enam tahun yang lampau itu, hanya sekejap mata saja. Seperti Gajah Sora tak pernah meninggalkan Banyubiru. Seolah-olah Kepala Tanah Perdikan itu baru saja keluar dari rumahnya di samping alun-alun itu. Gajah Sora memacu kudanya ke lereng. Ia melihat rakyat Banyubiru sedang berjuang untuk menyelamatkan tanah dan pedukuhan mereka dari kemusnahan. Laki-laki, perempuan dan anak-anak. Namun api itu menjalar terus. Sejenak kemudian datanglah laskar Banyubiru yang lain. Mereka tidak sempat menjenguk keluarga mereka. Mereka tidak sempat menyatakan keselamatan diri mereka kepada keluarga mereka. Karena mereka pun segera ikut serta berjuang menebang pohon-pohon dan ilalang. Alangkah lambatnya pekerjaan itu. Beratus-ratus orang telah bekerja dengan dengan segenap tenaga, namun seakan-akan pekerjaan mereka tidak maju-maju. Gajah Sora menjadi cemas. Tiba-tiba saja ia berteriak,
“Pecahkan tangki yang mengatur air dari Sendang Muncul. Airnya akan tumpah dan mengalir kemari. Bantulah membuat jalur-jalur, supaya airnya segera sampai ke daerah api. Mudah-mudahan ada pengaruhnya.”
Beberapa orang segera berlari-larian ke tempat penyimpanan air. Air itu tampak menggenang tenang. Dalam dan cukup luas. Rakyat Banyubiru mempergunakan untuk mengairi sawah-sawah mereka di musim kering yang panjang.


<<< Bagian 088                                                                                              Bagian 090 >>>

No comments:

Post a Comment