KETIKA ia melihat kelebihan Wulungan, maka dibiarkannya pertempuran berlangsung. Biarlah mereka menyelesaikan urusan mereka tanpa campur tangan orang lain. Dengan demikian Ki Ageng Lembu Sora pasti akan menerima keadaan yang terjadi dengan tanpa campur tangan orang lain. Tanpa perasaan sesal dan kecewa. Tanpa menyalahkan siapapun di luar lingkungan kekuasaannya. Tetapi tiba-tiba terjadilah hal diluar dugaannya. selagi Widuri menonton dengan enaknya, dilihatnya Galunggung dengan tiba-tiba mencakup segenggam pasir. Sebelum Wulungan sempat berbuat, ditebarkannya pasir ke matanya. Wulungan terkejut, dengan gerak naluriah ia memejamkan matanya, namun beberapa butir pasir telah menyakitkan matanya, sehingga karenanya gerakannyapun terpengaruh pula. Pada saat yang demikian itu terdengar Galunggung tertawa nyaring. Berbareng dengan suara itu terdengar Wulungan mengumpat,
“Gila kau
Galunggung.”
Dan Wulungan
mencoba membuka matanya, namun mata itu telah menjadi kabur. Ia tidak dapat
melihat lawannya dengan jelas selain bayangannya yang hitam seperti bayangan
hantu. Yang dilakukan oleh Wulungan hanyalah meloncat mundur sejauh-jauhnya
untuk mendapatkan waktu membersihkan matanya itu, namun Galunggung pun meloncat
menyusulnya.
Widuri melihat
kecurangan itu. Perasaan muaknya tiba-tiba bangkit kembali. Dengan serta merta
ia melompat turun, dan berkatalah gadis itu dengan nada nyaring, “He
Galunggung, kau telah berbuat curang.”
Galunggung
tidak mau mendengarkan kata-kata itu. Lawannya telah hampir lumpuh. Alangkah
mudahnya untuk membunuhnya pada saat yang demikian itu. Pada saat berbahaya itu
Wulungan mendengar suara Widuri. Ia masih sempat memikirkan nasib gadis yang
kehadirannya adalah sebagai seorang tamu Pamingit. Karena itulah ia berteriak,
“pergilah
ngger, pergilah.”
Pedang Galunggung
sudah terjulur ke arah perut……
Betapapun
sakit mata Wulungan, namun ia mencoba untuk melihat gerak Galunggung. Namun
sekali lagi ia hanya melihat bayangan hantu hitam menerkamnya. Dalam keadaan
putus asa, Wulungan menggerakkan pedangnya seperti baling-baling. Ia mencoba
untuk melindungi dirinya. Namun ia sadar bahwa usahanya itu adalah usaha yang
sia-sia. Tetapi ternyata bayangan yang hitam tidak segera menyentuh tubuhnya
dengan ujung pedangnya. Bahkan kemudian ia mendengar Galunggung memaki-maki
habis-habisan.
Wulungan
segera mengusap matanya, dan membersihkannya dengan ujung kainnya. Ketika ia
membuka matanya, meskipun masih agak kabur, ia melihat Galunggung bertempur.
Hampir ia tidak percaya pada matanya yang kabur itu. Galunggung bertempur dengan
gadis yang duduk berjuntai di atas pagar batu tadi. Dengan mulut ternganga ia
melihat perkelahian itu. Benar-benar mengagumkan. Gadis kecil itu bertempur
dengan rantai putih berkilat-kilat di tangannya. Dan yang tak dapat dimengerti,
pertempuran itu seperti perkelahian antara kucing dan tikus. Galunggung
benar-benar mirip seekor tikus raksasa yang sama sekali tak berdaya menghadapi
kucing kecil itu.
Ketika mata
Wulungan itu telah sembuh kembali, dan kembali ia dapat melihat setiap garis di
wajah Galunggung, maka timbullah rasa malunya. Malu kepada gadis itu. Karena
itu, kemudian ia pun berkata,
“Angger yang
perkasa. Lepaskanlah tikus itu. Biarlah aku yang menangkapnya.”
“Kau sudah
baik, Paman?”, tanya Widuri.
“Mudah-mudahan
aku dapat melawannya,” sahut Wulungan. Suaranya datar dan rata, namun di
dalamnya mengandung tekanan kemarahan yang meluap-luap. Marah kepada Galunggung
atas segala perbuatan gilanya dan kelicikannya.
Widuri
kemudian melepaskan lawannya. Kembali ia menonton sebuah perkelahian yang sengit.
Galunggung masih saja berteriak-teriak memaki-maki, namun akhirnya semakin
terasa, bahwa Wulungan akan menguasai keadaan. Dalam kesulitan, orang gila itu
mencoba untuk berbuat sekali lagi. Menutup mata lawannya dengan pasir. Tetapi
Wulungan bukan orang gila, yang dapat berbuat kesalahan serupa untuk kedua
kalinya. Karena itu, ketika ia melihat Galunggung membukuk, dan dengan tangan
kirinya mencakup segenggam pasir, Wulungan meloncat dengan cepatnya. Secepat
kilat. Gerakan yang belum pernah dilakukan selama hidupnya. Tetapi didorong
oleh kemarahan yang meluap-luap, maka ia telah melakukan suatu perbuatan yang
seakan-akan berada di luar kemampuannya.
Terdengarlah
kemudian suatu pekik ngeri. Darah yang merah memancar dari lambung Galunggung.
Kemudian tubuh itu terdorong surut beberapa langkah. Ketika Wulungan mencabut
pedangnya, ia melihat Galunggung itu masih tegak berdiri dengan pedang
ditangannya. Matanya yang merah menjadi bertambah liar. Kemudian dari mulutnya
yang berbusa terdengarlah ia menggeram, “Wulungan, kau tinggal memilih, Lembu
Sora atau Galunggung.”
Galunggung
yang luka parah itu mencoba maju setapak. Tetapi keseimbangan sudah hilang, dan
jatuhlah ia terguling di tanah. Meskipun demikian, matanya yang liar masih saja
memandangi Wulungan dengan kemarahan yang meluap-luap. Tetapi tiba-tiba ia
menyeringai kesakitan. Kemudian terdengarlah ia berteriak, “He Wulungan, kau
berani menyakiti aku?”
Wulungan tegak
seperti patung. Ia melihat mulut Galunggung yang berbusa-busa itu masih
memaki-maki, dan kemudian Galunggung itu menggeliat menahan sakit. Widuri bukan
seorang gadis berhati kecil. Tetapi ia belum pernah menyaksikan peristiwa
semacam itu. Ia belum pernah melihat seorang berjuang melawan maut dengan cara
demikian. Karena itu, ia menutup kedua matanya dengan tangan-tangannya yang
kecil sambil berkata nyaring,
“Kasihan orang
itu, Paman.” Galunggung masih mencoba berdiri, tetapi ia tidak mampu lagi
berbuat demikian. Kemudian nafasnya menjadi semakin cepat mengalir.
Meskipun
demikian masih terdengar ia berkata,
“Hai,
Wulungan. Berjongkoklah. Aku adalah kepala daerah perdikanmu.” Wulungan
akhirnya menjadi beriba hati. Bagaimana pun juga ia pernah mengalami suka duka
bersama-sama bertahun-tahun. Menyerahkan diri masing-masing dalam lingkungan
yang sama. Berbuat bersama-sama untuk perbuatan yang terkutuk. Untunglah
Wulungan sempat menyadari kesalahan-kesalahannya, sedang Galunggung telah
benar-benar terbenam dalam cita-cita gilanya.
Karena itu,
kemudian Wulungan melangkah maju dan berjongkok di samping kawannya yang gila
itu. Dengan suara yang berat ia berkata,
“Maafkan aku,
Adi Galunggung.” Mata Galunggung yang marah itu terbelalak, sambil memaki,
“Setan,
panggil aku Ki Ageng.”
“Maafkan aku
Ki Ageng,” sahut Wulungan. Wajah Galunggung yang tegang itu menjadi mengendor.
Kemudian tampak ia tersenyum. Tersenyum gila. Wulungan adalah orang pertama
sesudah Ki Ageng Lembu Sora. Sekarang ia telah memihaknya. Karena itu
pekerjaannya untuk merebut tanah perdikan Pamingit menjadi semakin mudah.
Katanya,
“Bagus, kau
memihak aku?”
Dengan wajah
kosong, Wulungan mengangguk,
“Ya, Ki
Ageng.” Sekali lagi Galunggung tersenyum. Namun kemudian wajahnya menjadi
tegang kembali. Dari sela-sela bibirnya terdengar ia berkata lemah dan gemetar,
“Akhirnya
tercapai juga cita-citaku.” Oleh kata-katanya sendiri Galunggung menjadi
tenang. Matanya tidak seliar semula. Tetapi nafasnya telah satu-satu meluncur
dari hidung, sedang darahnya telah membasahi tanah kelahirannya. Akhirnya
Galunggung menutup matanya sambil tersenyum bangga. Kata-kata yang terakhir
keluar dari mulutnya,
“Panggil aku
Ki Ageng. Ki Ageng Galunggung.”
Dan kata-kata
itu hampir tak sampai pada akhirnya. Dan Galunggung mati dengan penuh
kebanggaan dalam kegilaan.
Wulungan
menundukkan kepalanya. Dadanya bergolak seperti darah dijantungnya itu
mendidih. Perlahan lahan ia mengangkat mukanya dan menoleh ke arah Endang
Widuri yang masih berdiri tegak ditepi jalan. Tetapi Wulungan kini tidak
memandangnya sebagai seorang gadis yang nakal, yang tidak tahu akan bahaya,
tetapi kini ia memandangnya sebagai penyelamat jiwanya. Karena itu sambil
berjongkok ia menunduk hormat,
“Angger,
betapa besar terimakasihku kepada angger yang telah menyelamatkan nyawaku. Aku
sama sekali tak menduga angger mampu berbuat sedemikian rupa mengagumkan.”
Wajah Widuri
menjadi kemerahan mendengarkan pujian itu, ia hanya berdesis,
“ah.”
Tetapi
Wulungan masih berdiri diatas lututnya.
“Aku tak akan
dapat membalas budi angger. Mudah mudahan Tuhan mengaruniakan Kasihnya yang
berlimbah.”
Widuri menjadi
semakin malu, karena itu tiba-tiba ia memutar tubuhnya berlari ke banjar desa
sambil berteriak,
“aku akan ke
banjar desa paman.”
Wulungan
menarik nafas. Perlahan ia berdiri sambil bergumam,
“Hem, alangkah
bangga orang tuanya.”
Ketika Widuri
telah hilang di balik tikungan, kembali Wulungan merenungi mayat Galunggung.
Sekali-kali ia menebarkan pandangan berkeliling, tetapi Pamingit benar-benar
seperti dicekam kesepian yang mengerikan.
Sebenarnya
beberapa perempuan yang tinggal di rumah ditepi jalan itu menjadi ketakutan,
dan menutup pintu mereka rapat-rapat. Seorang dua orang yang sempat mendengar
teriakan Galunggung menjadi berbimbang hati,
“Apakah yang
sebenarnya terjadi?” tetapi mereka menunggu sampai suami mereka kembali dari
perlayatan.
Ketika sekali
lagi Wulungan memandang ke ujung jalan di kejauhan, dilihatnya orang pertama
yang datang dari makam. Kemudian kedua dan seterusnya. Iringan itu berjalan
perlahan lahan menuju kearahnya.
Melihat
kedatangan mereka, Wulungan menjadi berdebar-debar. Apakah ia tidak berbuat
kesalahan? tetapi ia telah berbuat demikian untuk membela dirinya,
mempertahankan hidupnya.
Tubuh
Galunggung yang terkapar di jalan itu benar-benar telah mengejutkan mereka. Ki
Ageng Sora Dipayana, Ki Ageng Lembu Sora dan yang lain-lain.
“Apa yang terjadi
Wulungan?” suara Lembu Sora datar.
“kami
bertengkar dan inilah akhirnya.”
Lembu Sora
melihat luka dipundak Wulungan, karena itulah ia tahu bahwa Wulungan telah
bertempur sengit melawan Galunggung. Ia melihat pedang Galunggung masih
ditangannya, sedang pedang Wulungan ada belum disarungkan.
“Sarungkan
pedangmu Wulungan”
Wulungan
menjadi gugup. Cepat-cepat ia menyarungkan pedangnya.
“kami tidak
menyalahkan engkau,” terdengan Lembu Sora berkata.
Orang Pamingit
menjadi saling berpandangan. Pengikut Galunggung bergumam,
“kenapa
Galunggung terbunuh?.”
Ki Lembu Sora
dapat melihat gelora hati mereka. Mereka memandang Wulungan dengan marah,
bahkan ada yang benci dan dendam. Seperti Galunggung yang menggantungkan
harapannya kepada Sawung Sariti, maka demikianlah beberapa orang yang telah
menerima janji mereka. karena itu kematiannya benar-benar disesalkan.
Tetapi karena
itu alangkah sedih Lembu Sora. Kematian anaknya telah memukul jantungnya
sedemikian parah. Sekarang ia melihat sinar mata bermusuhan di antara rakyatnya.
Karena itu dengan sedih ia berkata,
“telah banyak
korban jatuh. Daerah perdikan ini telah basah kuyup oleh darah putra terbaik.
Sergapan gerombolan liar telah menghancurkan sendi kehidupan kita. Marilah kita
jadikan Sawung Sariti korban yang terakhir, dan Galunggung yang lenyap karena
kehilangan keseimbangan jiwa, adalah contoh mereka yang kehilangan akal”.
Kemudian Lembu
Sora mengangkat wajahnya memandang kepada orang Pamingit yang berada
disekitarnya,
“siapa akan
menyusul?”
SUASANA
dicengkam oleh kesepian. Tak ada yang terdengar selain desah nafas tegang di
antara kemerisik daun-daun yang digerakkan angin. Orang-orang Pamingit yang
memandang Wulungan dengan marah, serta orang-orang yang berdiri tegak di
belakang Wulungan, menundukkan wajah mereka. Sesaat kemudian terdengar Ki Ageng
Lembu Sora berkata,
“Para pemimpin
laskar Pamingit harus menghadap aku sebelum matahari terbenam. Tak seorang pun
berhak memberikan tafsiran atas peristiwa ini selain aku sendiri.”
Kemudian
kepada Wulungan ia berkata,
“Wulungan,
ikut aku.”
Wulungan
menganggukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya,
“Baik Ki
Ageng.”
Kepada
orang-orang Pamingit yang lain, Lembu Sora berkata,
“Selenggarakan
pemakamannya baik-baik.”
Kemudian
orang-orang yang berdiri berjejal-jejal itu mulai mengalir seperti air di dalam
parit. Sebagian menuju ke banjar desa, sedang sebagian lagi ke rumah
masing-masing. Perlahan-lahan jalan desa itu menjadi sepi kembali, selain
beberapa orang yang sedang merawat tubuh Galunggung dan dibawanya ke pondoknya.
Besok, sekali lagi mereka akan menyelenggarakan pemakaman. Galunggung tidak
dimakamkan dengan upacara kebesaran seperti Sawung Sariti. Namun pemakaman itu
pun akan diselenggarakan sebaik-baiknya. Dalam perjalanan ke banjar desa,
Mahesa Jenar berbisik kepada Kebo Kanigara yang berjalan di sampingnya,
“Kakang, mayat
Bugel Kaliki lenyap.”
Kebo Kanigara
menoleh, matanya menjadi redup, tetapi kemudian ia tersenyum,
“Aku belum
memberitahukan kepadamu.”
“Kenapa?”
tanya Mahesa Jenar.
“Ketika aku
membawa kembali Sawung Sariti yang terluka aku telah meminta beberapa orang
Pamingit untuk mengubur mayat itu,” jawab Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Dalam sekali. Sambil menggeleng- gelengkan kepalanya
ia bergumam,
“Sederhana
sekali.”
Sekali lagi
Kebo Kanigara tersenyum,
“Ya, sederhana
sekali. Apa kau sangka mayat itu hidup kembali? Kalau ia dapat hidup kembali
maka mayat-mayat yang lain pun akan hidup pula. Dengan demikian sekali lagi
kita harus berjuang melawan mereka.”
Mahesa Jenar
tertawa. Menggelikan sekali. Arya Salaka pun kemudian diberitahunya pula.
“Ah,” sahut
anak muda itu.
“Aku menjadi
gelisah karenanya.”
Ketika mereka
sampai di banjar desa, mereka melihat perempuan-perempuan sedang sibuk
mengerumuni Rara Wilis dan Endang Widuri yang duduk di samping Nyai Ageng Gajah
Sora dan Nyai Ageng Lembu Sora. Mereka tak habis-habisnya bertanya kenapa
mereka dapat menyelamatkan diri mereka dan dengan penuh kekaguman mereka
bertanya-tanya, bagaimana mereka dapat memiliki ilmu tata bela diri.
Pertanyaan-pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Meskipun demikian Rara Wilis
mencoba pula untuk menjawab satu demi satu.
“O,” sahut
salah seorang,
“Jadi orang
tua berjanggut putih itukah yang bernama Ki Ageng Pandan Alas?”
“Ya, itu
kakekku,” sahut Rara Wilis.
“Pantas,
pantas Nini menjadi gadis perkasa,” kata yang lain. Ketika orang-orang yang
datang dari pemakaman, setelah membasuh kaki mereka, memasuki banjar desa itu,
maka perempuan itupun mengundurkan diri mereka untuk mempersiapkan minum serta
makanan yang akan mereka hidangkan.
Pamingit dan
Banyubiru telah melampaui suatu masa yang menyedihkan. Suatu masa yang tak
dapat mereka lupakan. Ketika kemudian malam tiba, dan masing-masing telah
terbaring di pembaringan, terbayanglah kembali segala peristiwa yang pernah
terjadi. Meskipun gambaran-gambaran yang datang di dalam kenangan masing-masing
tidak sama, tergantung dari apa yang pernah mereka lihat, dengar dan alami,
namun mereka mempunyai persamaan kesimpulan. Bahkan Lembu Sora sendiri
merasakan betapa kelakuannya hampir saja menenggelamkan kedua tanah perdikan
itu. Tetapi dengan demikian, akhirnya ia menjadi ikhlas. Ikhlas atas segala
kesedihan yang menimpanya. Ikhlas atas kematian anak satu-satunya. Agaknya
Tuhan menghendaki, memberinya peringatan dan membawanya kembali ke jalan yang
telah digariskan.
Di pondok itu,
Mahesa Jenar duduk bersama-sama dengan Paningron, Gajah Alit, Gajah Sora dan
Kebo Kanigara. Di bawah cahaya lampu minyak, tampaklah wajah mereka memancarkan
kesungguhan pembicaraan yang sedang mereka lakukan.
“Pekerjaanku
sudah selesai Kakang Tohjaya,” terdengar Gajah Alit berkata, “Sultan
menghendaki penyelesaian yang sebaik-baiknya antara Banyubiru dan Pamingit.
Kini agaknya penyelesaian itu telah ditemukan tanpa pertumpahan darah antara
keduanya. Kalau kemudian jatuh korban, itu adalah karena perjuangan mereka
mempertahankan tanah mereka dari sergapan setan-setan liar yang ingin memiliki
keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, yang seterusnya mereka ingin
merampas jalan ke tahta Demak.
GAJAH ALIT berhenti
sejenak, kemudian ia meneruskan,
“Tetapi selain
dari itu, aku mempunyai pekerjaan yang lain pula. Aku mendapat perintah untuk
membawa Kakang Tohjaya kembali ke Demak.”
Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya. Setelah menarik nafasnya dalam-dalam, ia bertanya,
“Sebagai
tawanan?”
“Tidak. Sama
sekali tidak,” sahut Paningron cepat-cepat.
“Persoalan
yang ada beberapa tahun yang lalu di Demak kini telah dilupakan. Tidak saja
kini. Sebenarnya sejak semula Sultan tidak pernah mengalami kegoncangan
kepercayaan kepada Kakang Tohjaya. Tetapi meskipun demikian, tak apalah kalau
Kakang ketahui, bahwa memang Sultan menjadi murka karena Kakang meninggalkan
istana. Namun hanya sementara. Akhirnya Sultan mengambil keputusan untuk tidak
mencari dan memanggil Kakang kembali, sebab akhirnya Sultan tahu apa yang
Kakang lakukan. Disamping pengabdian Kakang kepada sesama, Kakang gigih mencari
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.”
“Hem!” Sekali
lagi Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tak pernah kesetiaannya kepada
tanah dan pemerintahannya menjadi goncang, seperti Sultan tak pernah mengalami
kegoncangan kepercayaan kepadanya. Tak pernah ia berpikir untuk menolak
seandainya Sultan memanggilnya, meskipun sebagai tawanan. Mahesa Jenar menyesal
pula, bahwa ia begitu saja pergi meninggalkan istana pada saat itu. Tetapi masa
itu telah lampau. Yang penting baginya, bagaimanakah selanjutnya. Dan kini ia
harus memberi jawaban, Kanjeng Sultan Trenggana memangilnya.
“Adi…” kata
Mahesa Jenar kemudian,
“Aku tidak
dapat menolak apa pun yang diperintahkannya kepadaku. Namun aku ingin semaya.
Aku ingin mendapat waktu untuk melengkapi saranku menghadap Sultan. Aku telah
berjanji untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Karena aku telah berjanji pula pada diri sendiri, bahwa aku tak akan mengakhiri
usahaku itu sampai kapanpun, sebelum keris-keris itu dapat diketemukan.”
Gajah Alit
tersenyum. Jawabnya,
“Tepat.
Kanjeng Sultan pun telah menebak apa yang akan kakang katakan. Dan karena itu
Sultan memberi Kakang waktu. Tanpa batas. Kapan pun Kakang kehendaki membawa
atau tidak membawa kedua keris itu, kakang akan diterima kembali. Sebab
seandainya Kakang tidak dapat menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten, itu tidak berarti bahwa apa yang telah Kakang lakukan dapat
dilupakan. Sebab berhasil atau tidak, namun Kakang telah berjuang dengan
mempertaruhkan jiwa dan raga Kakang.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Sampaikan
sembah sujudku kepada Baginda. Aku tetap setia kepada sumpahku. Mudah-mudahan
Tuhan berkenan memberi aku jalan untuk menghadapkan kembali pusaka-pusaka yang
hilang itu.”
Kemudian
ruangan itu menjadi sepi. Masing-masing menundukkan kepalanya sambil
merenungkan pembicaraan itu. Di luar, malam menjadi semakin pekat.
Bintang-bintang berhamburan di langit yang biru. Selembar-selembar mega yang
putih mengalir dihembus angin.
Malam itu
adalah malam terakhir Paningron dan Gajah Alit berada di Pamingit. Mereka pada
pagi harinya, terpaksa kembali ke Demak, untuk melaporkan apa yang telah
dilakukannya. Mengantarkan kembali Gajah Sora. Penyelesaian yang baik antara
Pamingit dan Banyubiru. Tertumpasnya gerombolan-gerombolan liar yang mencoba
menyusun kekuatan untuk menghadapi Demak, sehingga karenanya Demak tidak perlu
mengirimkan pasukan bantuan kepada Banyubiru dan Pamingit. Rangga Tohjaya yang
tidak mau melepaskan kewajiban yang dibebankannya sendiri di atas pundaknya,
mencari keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Tetapi tidak saja Paningron
dan Gajah Alit yang pergi meninggalkan Pamingit. Gajah Sora dan Arya Salaka pun
akhirnya beberapa hari kemudian, merasa bahwa mereka harus kembali ke tanah
perdikannya. Mereka harus segera mengatur kembali pemerintahan tanah yang
selama ini mengalami kegoncangan. Rakyat Banyubiru harus segera mengetahui
bahwa akhirnya Ki Ageng Gajah Sora akan berada kembali di antara mereka. Karena
itu, akhirnya mereka pun minta diri. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis
dan Endang Widuri tidak pula ketinggalan. Mereka ingin menyaksikan, betapa tanah
yang seakan-akan telah kehilangan pamornya itu, kini menemukan kembali dirinya.
Perpisahan itu
benar-benar mengharukan. Betapa semedhot-nya orang-orang Pamingit ketika mereka
melihat laskar Banyubiru, rampak dalam barisan yang tertib, siap berjalan menempuh
jalan yang menghubungkan kedua tanah perdikan yang dikepalai oleh dua orang
bersaudara. Kakak-beradik yang hampir saja saling membinasakan. Untunglah bahwa
Tuhan berkehendak lain. Laskar itu akhirnya berjalan mendahului di bawah
pimpinan Bantaran, Panjawi dan Jaladri. Laskar yang gagah berani itu berjalan
menuruti jalan yang berliku-liku di lereng pegunungan, seperti seekor ular
raksasa yang menjalar menuruni tebing, mendaki lereng-lereng bukit kecil menuju
ke Rawa Pening.
DALAM
perjalanan itu Widuri menjadi gembira. Dilarikannya kudanya di paling depan. Di
mukanya terbentang lembah dan dipagari oleh bukit-bukit kecil. Sekali-kali
perjalanan itu menurun, namun kadang-kadang harus mendaki lereng-lereng bukit
yang berbaris seperti sebuah benteng yang kokoh kuat. Ketika ia menengadahkan
wajahnya, dilihatnya matahari telah condong. Widuri mengerutkan keningnya.
Mereka berangkat terlalu siang. Mereka tidak akan dapat mencapai Banyubiru
sebelum matahari terbenam. Sedang perjalanan itu tidak akan dapat cepat, karena
Nyai Ageng Gajah Sora belum dapat menunggang kuda dengan baik. Meski demikian
Widuri kadang-kadang memacu kudanya jauh ke depan. Kemudian sambil menanti
kawan-kawannya ia berhenti di atas sebuah punhtuk yang menjorok. Dari sana ia
dapat melihat, betapa luasnya tanah yang terbentang di hadapannya. Betapa besar
alam. Dan betapa Maha Besar Sang Pencipta, yang telah mencipta langit dan bumi.
Beribu, berjuta kali lipat dari apa yang dilihatnya itu, dari apa yang gumelar
di hadapannya. Rombongan itu berjalan terus. Meskipun perlahan-lahan namun
mereka tetap maju, semakin lama semakin dekat dengan Banyubiru. Matahari yang
mengapung di langit telah membayanglah punggung-punggung bukit. Sesaat kemudian
membayanglah warna kuning tajam di atas pegunungan Candik Ala. Widuri tersenyum
memandang warna itu. Tiba-tiba teringatlah olehnya warna-warna Candik Ala
beberapa tahun yang lalu di Gedangan. Pada saat tiba-tiba saja mereka disergap
oleh sepasang Uling dari Rawa Pening. Tetapi Uling itu telah tak ada lagi. Mereka
telah dibinasakan oleh Arya Salaka.
“Hem!”
gumamnya,
“Alangkah
gagahnya anak itu.”
Tiba-tiba
wajah Widuri menjadi kemerah-merahan. Segera ia menoleh ke arah rombongannya.
“Mudah-mudahan
mereka tidak mendengar,” pikirnya. Gadis itu menjadi malu sendiri. Malu kepada
pengakuannya, bahwa ia telah mengagumi Arya Salaka. Karena itu sekali lagi ia
melarikan kudanya ke punthuk yang lain, sambil berusaha mengusir angan-angannya
tentang anak muda dari lereng bukit Telamaya itu. Namun setiap kali ia berusaha
melupakan, setiap kali angan-angan itu muncul kembali. Agaknya jauh di
belakangnya, berjalanlah dengan kecepatan sedang seluruh rombongan.
Gajah Sora
mendampingi istrinya bersama Arya Salaka. Di belakangnya, Ki Ageng Pandan Alas
berjajar dengan Kebo Kanigara yang kadang-kadang menjadi cemas melihat
kenakalan anaknya yang jauh di depan. Di belakang mereka, berkuda Mahesa Jenar,
dan di sampingnya Rara Wilis. Tidak banyak yang mereka percakapkan di
perjalanan. Hanya kadang-kadang saja Rara Wilis bertanya-tanya tentang daerah
yang mereka lewati. Ketika Candik Ala membayang di langit, bertanyalah Rara
Wilis,
“Sudahkah kita
sampai ke daerah tanah perdikan Banyubiru?”
Mahesa Jenar
menggeleng, jawabnya,
“Aku tidak
tahu pasti, manakah batas antara kedua tanah perdikan itu.”
Rara Wilis
mengangguk-anggukan kepalanya. Pandangannya kemudian beredar memandangi
hutan-hutan yang masih bertebaran di lembah.
“Tanah itu
belum digarap,” katanya.
“Masih cukup
dengan sawah-sawah yang sudah ada,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi
perkembangan penduduk Banyubiru demikian pesatnya. Dan hutan-hutan itu menanti
tangan-tangan yang akan menggarapnya.”
Rara Wilis
terdiam. Di perjalanan antara Pamingit dan Banyubiru, hampir tak dijumpainya
pedesaan. Agaknya rakyat Banyubiru dan Pamingit lebih senang dedukuh pada
pedukuhan yang tidak terlalu jauh jaraknya satu sama lain. Meskipun demikian
sekali-kali mereka melewati pedukuhan pula. Pedukuhan-pedukuhan kecil, yang
seakan-akan terpisah dari induk tanah perdikan mereka. Namun mereka pun
merupakan sendi-sendi kehidupan yang tak dapat dilupakan.
“Adakah Kakang
akan menetap di Banyubiru?”
Mahesa Jenar
tersentak mendengar pertanyaan Rara Wilis yang tiba-tiba itu. Untuk sesaat ia
tidak tahu bagaimana ia harus menjawabnya. Dipandanginya saja wajah gadis yang
duduk di atas punggung kuda di sampingnya itu. Ketika Rara Wilis merasa betapa
sepasang mata yang tajam memandanginya, ditundukkannya wajahnya dalam-dalam.
Tanpa disengaja, Mahesa Jenar mengamat-amati wajah itu dengan seksama. Sejak
semula ia memang mengagumi kecantikan Rara Wilis. Tetapi sejak perjuangannya
mencari Nagasasra dan Sabuk Inten meningkat, serta usahanya untuk mengembalikan
Arya Salaka hampir sampai pada titik puncaknya, ia tidak mempunyai waktu lagi
untuk selalu memperhatikan wajah itu. Sekarang tiba-tiba ia mempunyai waktu
itu. Namun hatinya menjadi tergoncang karenanya. Di wajah yang cantik itu,
tampaklah beberapa bintik air mata.
MAHESA JENAR
menarik nafas dalam-dalam. Baru sekarang dilihatnya kesayuan yang membayang di
wajah yang cantik itu. Betapa gadis itu mengorbankan remajanya untuk memberinya
kesempatan melakukan pengabdian mutlak kepada sesama dan kepada Tuhannya. Dua
pengabdian yang tak mungkin dipisah-pisahkan. Mungkin pada saat-saat mendatang
bukan berarti bahwa ia akan dapat mengabdikan pengabdian itu, namun ia sudah
mempunyai waktu untuk memikirkan dirinya sendiri. Mahesa Jenar menjadi iba
kepada gadis itu. Ia merasa bahwa sudah terlalu lama ia membiarkan gadis itu
menahan hatinya, tanpa mendapat perhatiannya sama sekali. Telah terlalu lama ia
membiarkan gadis itu merasa betapa sepi hidupnya. Tiba-tiba ia ingin
menjelaskan kepada gadis itu, mengapa ia bersikap demikian. Perlahan-lahan terdengar
Mahesa Jenar berkata,
“Wilis, kalau
sampai sedemikian lama aku berdiam diri, itu karena aku ingin hidup kelak tidak
terganggu oleh kesanggupan dan janji diri. Aku ingin hidup tentram setelah aku
menyelesaikan pekerjaanku. Aku harap kau dapat mengerti, bahwa apa yang aku
lakukan adalah demi kebahagiaan kita kelak, bukan semata-mata aku membiarkan
diriku melakukan pekerjaan yang aku senangi tanpa mempertimbangkan pendapatmu.
Sebab …”
“Kakang!”
potong Rara Wilis. Gadis itu mengangkat wajahnya dan memandang Mahesa Jenar
tidak kalah tajamnya. Katanya meneruskan,
“Kenapa Kakang
berkata demikian? Apakah aku pernah menyatakan penyesalan atas semua yang
pernah terjadi selama ini berjuang untuk suatu pengabdian, untuk memenuhi
kewajiban yang Kakang letakkan di pundak Kakang? Sampai sekarang pun aku telah
berusaha untuk membantu Kakang, setidak-tidaknya membesarkan hati Kakang agar
Kakang dapat melakukan kuwajiban itu dengan tenang. Tentang diriku sendiri? Aku
telah lama melupakan kepentingan itu. Aku telah biasa hidup dalam kesepian.
Sejak ibuku meninggal dunia.”
Rara Wilis tak
dapat meneruskan kata-katanya. Air matanya menjadi semakin deras mengair dan
tangannya menjadi sibuk untuk mengusapnya.
“Maafkan aku
Wilis,” desis Mahesa Jenar. Ia menyesal telah mengatakan apa yang tersimpan
didalam hatinya. Ia menyesal bahwa ia telah mengucapkan kata-kata yang sama
sekali tak dikehendaki oleh Rara Wilis.
Tetapi tiba-tiba
Mahesa Jenar berkata,
“Wilis,
sekarang semua kewajiban itu sudah selesai.”
Rara Wilis
terkejut. Ia mengangkat wajahnya yang basah. Seakan-akan ia ingin mendengar
kata-kata itu sekali lagi.
“Pekerjaanku
telah selesai,” ulang Mahesa Jenar meyakinkan.
“Bagaimana
dengan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten?” tanya Rara Wilis.
“Keris itu
sudah aku ketemukan,” jawab Mahesa Jenar.
“Sudah Kakang
ketemukan?” Wajah Rara Wilis tiba-tiba menjadi cerah. Tetapi tiba-tiba matanya menjadi
suram kembali. Katanya,
“Kakang hanya
ingin menyenangkan hatiku. Atau hati Kakang menjadi patah dan tidak mau mencari
kedua keris itu lagi?”
Cepat-cepat
Mahesa Jenar menyahut,
“Tidak, tidak
Wilis. Aku sama sekali tidak akan menghentikan usahaku seandainya kedua pusaka
itu belum dapat diketemukan. Tetapi kini kedua keris itu benar-benar telah
dapat diketemukan.”
Perlahan-lahan
wajah Rara Wilis menjadi cerah kembali. Namun dari kedua biji matanya yang
hitam bulat masih memancar berbagai pertanyaan. Meskipun pertanyaan-pertanyaan
itu tak terucapkan, tetapi Mahesa Jenar dapat mengartikan. Karena itu ia
berkata,
“Wilis, kau
tak perlu bercemas hati tentang kedua keris itu. Sudah sejak lama aku
mengetahui, di mana kedua keris itu berada. Namun sampai saat ini belum tiba
masanya kedua pusaka itu kembali ke istana.”
“Di manakah
kedua keris itu?” tiba-tiba Rara Wilis bertanya. Mahesa Jenar ragu sejenak.
Karena itu maka Rara Wilis segera berkata, “Maafkan, barangkali kau tidak perlu
mengetahuinya.”
“Tidak apa
Wilis,” sahut Mahesa Jenar cepat-cepat.
“Kau boleh
mengetahui beberapa bagian. Keris itu kini ada dalam simpanan Panembahan
Ismaya.”
“Panembahan
Ismaya?” Rara Wilis terkejut.
“Ya.
Panembahan itulah yang telah mengambil kedua keris itu dari Banyubiru,” sahut
Mahesa Jenar,
“Namun apa
yang dilakukan itu benar-benar tanpa pamrih. Panembahan hanya ingin
menyelamatkannya dari kemungkinan-kemungkinan yang lebih buruk lagi.
Kemungkinan kedua pusaka itu jatuh di tangan orang-orang seperti Sima Rodra,
Bugel Kaliki dan sebagainya.”
“Darimana Kakang
tahu?” tanya Rara Wilis.
“Dari
Panembahan Ismaya sendiri,” jawab Mahesa Jenar.
Rara Wilis
menarik nafas dalam-dalam. Tiba tiba saja persoalan yang seakan menghimpit
dadanya seberat gunung Anakan terasa berguguran. Sebab selama ini kedua keris
itu masih menjadi teka teki, iapun ikut serta merasakan betapa berat
penanggungan hati Mahesa Jenar. Meskipun ia tidak tahu mengapa Mahesa Jenar
tidak segera menyerahkan keris itu ke Demak namun ia tidak bertanya-tanya lagi.
Sebab persoalannya telah menjadi jelas dan Mahesa Jenar tidak perlu lagi
merantau dan berjuang mati-matian untuk mencarinya. Rara Wilis kemudian berdiam
diri. Namun di dalam hatinya bergolaklah angan-angan seorang gadis. Seorang
gadis yang telah berdiri di ambang pintu idaman. Yang berbicara kemudian adalah
Mahesa Jenar,
“Karena itu
Wilis. Kita telah mempunyai waktu untuk berbicara tentang diri kita.”
Wajah Rara
Wilis menjadi merah. Dadanya serasa berdesir. Waktu yang ditunggu- tunggu akhirnya
akan datang. Namun ia tidak menjawab.
“Segala
kesulitan telah kita lampaui,” Mahesa Jenar meneruskan,
“Mudah-mudahan
kita tidak terlalu tua untuk mulai dengan suatu kehidupan baru.”
Betapa
menyenangkan kata-kata itu. Namun Rara Wilis telah melampaui masa pergolakan
jiwa. Karena itu ia dapat menanggapinya dengan wajar, dengan hati yang
mengendap.
Katanya,
“Tidak Kakang.
Tidak semua kesulitan telah selesai. Dalam hidup yang baru itu,
kesulitan-kesulitan lain justru baru akan mulai. Kesulitan-kesulitan yang
sekarang belum dapat kita bayangkan.”
Mahesa Jenar
tersenyum. Senyum yang memancar dari hatinya yang cerah.
“Kau benar
Wilis.”
Kemudian
keduanya berdiam diri. Angan-angan mereka terbang mengawang bersama mega-mega
putih di langit. Tanpa dirasa, hari telah menjadi gelap. Bintang- bintang telah
berhamburan menggantung di sisi bulan yang masih muda. Jarak mereka berdua pun
telah menjadi semakin jauh dari Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara.
Maka
berkatalah Mahesa Jenar kemudian,
“Marilah kita
susul mereka.”
Mereka
mempercepat langkah kuda-kuda mereka. Ketika mereka telah berada tepat di
belakang Ki Ageng Pandan Alas dan Kebo Kanigara, mereka melihat Endang Widuri
pun telah memperlambat kudanya dan kemudian berhenti di tepi jalan menunggu
kawan-kawan seperjuangannya. Angin malam berdesir menggerakkan daun-daun dan
ujung batang-batang ilalang. Suara angup dan belalang saling bersahutan,
menggores sepi malam. Rombongan itu berjalan dengan tenangnya. Sekali-sekali
mendaki dan sekali-kali menurun.
“Kita belum
melampaui laskar yang mendahului kita?” tanya Endang Widuri.
“Mereka telah
sampai atau setidak-tidaknya hampir memasuki Banyubiru,” jawab Arya Salaka.
“Bukankah kita
juga hampir sampai?” tanya gadis itu pula.
“Ya!” jawab
Arya,
“Dari balik
bukit di hadapan kita itu kita akan dapat melihat dataran di hadapan bukit
Telamaya dan Rawa Pening.”
Widuri tidak
berkata-kata lagi. Ia mengharap agar perjalanan itu lekas berakhir. Malam nanti
ia dapat beristirahat dengan tenang. Dan besok pagi, mulailah masa istirahatnya.
Ia akan dapat menikmati lembah di sekitar Rawa Pening dengan tenang tanpa suatu
kegelisahan apapun. Ia tidak perlu berpikir tentang Uling Putih dan Uling
Kuning, Nagapasa, Lawa Ijo dan sebagainya. Dengan getek ia dapat bermain-main
di Rawa itu, sambil mengail. Hatinya menjadi berdebar-debar ketika rombongan
itu sampai di punggung bukit. Sebentar lagi akan tampaklah nyala-nyala lampu
yang memancar dari lubang-lubang pintu. Atau obor-obor di simpang-simpang jalan
yang gelap. Karena itu tiba-tiba ia mempercepat jalan kudanya, kembali
mendahului rombongan itu. Namun tiba-tiba ketika ia mencapai punggung bukit
itu, ia terkejut. Di hadapannya, di lereng bukit Telamaya, dilihatnya api
menjilat ke udara. Bukan obor, tetapi seperti beribu-ribu obor. Melihat nyala
api itu, Endang Widuri tertegun. Tiba-tiba ia berteriak nyaring,
“Kebakaran!”
Mendengar
teriakan Widuri, Arya Salaka terkejut. Tanpa sesadarnya kakinya menyentuh perut
kudanya, sehingga kuda itu berlari mendahului kawan-kawannya, menyusul Endang
Widuri. Kemudian Arya Salaka pun melihat api itu pula. Sambil mengerutkan
keningnya ia berpikir, Aneh. Api itu terlalu besar. Akhirnya yang lain-lain pun
sampai ke dekat mereka pula. Mereka pun kemudian melihat api yang
menjilat-jilat ke udara seperti akan menggapai bintang-bintang di langit. Sesaat
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara saling berpandangan. Kemudian terdengar Mahesa
Jenar berdesis,
“Kebakaran.”
Belum lagi
ngiang suara hilang, terdengarlah lamat-lamat suara kentongan dilereng bukit
Telamaya. Tiga-tiga ganda.
“Kebakaran?,”
Ki Ageng Gajah Sora mengulang.
Tampaklah
wajahnya menjadi merah dan giginya gemeretak. Katanya melanjutkan
“Inilah
sambutan tanah kelahiranku atas kedatanganku? Atau tanah ini sudah tidak mau
menerima aku kembali?”
“Jangan
berfikir terlalu jauh ngger,” potong Ki Ageng Pandan Alas,
“ada
bermacam-maca sebab yang menimbulkan kebakaran. Sebaiknya angger melihatnya.”
Ki Ageng Gajah
Sora menoleh kepada isterinya. Ia ingin memacu kudanya, namun bagaimana dengan
Nyai Ageng itu. Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua memaklumi. Katanya
“pergilah
angger sekalian mendahului. Lihatlah apa yang
terjadi. Mungkin ada bahaya yang datang, tetapi mungkin juga karena
kelengahan sendiri. Biarlah aku mengawani Nyai Ageng Gajah Sora dalam
perjalanan yang tinggal beberapa langkah ini.”
Sekali lagi
Gajah Sora memandang isterinya. Ketika isterinya mengangguk, maka berkatalah
Gajah Sora,
“aku
mendahului paman.”
Gajah Sora
tidak berkata-kata lagi. Disendalnya kendali kudanya dan sesaat kemudian
kudanya menghambur seperti angin, disusul oleh Arya Salaka yang tak terpaut dua
langkah dibelakang kuda ayahnya. Kemudian dibelakang mereka Kebo Kanigara,
Mahesa Jenar, Wilis dan Widuri. Bahkan kemudian dengan gembiranya Widuri
berpacu meskipun malam menjadi semakin gelap.
“Hati-hatilah
Widuri,” ayahnya berteriak memperingatkan Widuri menoleh sambil tersenyum.
Tetapi ia tidak menjawab.
Derap kuda itu
seperti akan memecahkan selaput telinga. Berdetak-detak diatas tanah liat yang
berbatu-batu. Meskipun jalan itu tidak terlalu lebar dan naik turun
menggelombang dilereng bukit, namun kuda-kuda itu berlari seperti dikejar
hantu. Untunglah di langit ada bulan sehingga malam tidak terlalu pekat. Hanya
kadang pohon-pohonan liar dipinggir jalan melindungi cahayanya yang kuning
lemah. Ketika mereka semakin dekat dengan Banyu Biru, tampaklah di hadapan
mereka debu yang mengepul tinggi seperti awan tipis menyaput langit.
“Itulah
mereka,” desis Arya Salaka ketika dilihatnya barisan di muka perjalanannya.
Kuda Gajah
Sora berlari kencang sekali. Di belakang barisan Banyubiru yang ternyata juga
telah hampir sampai itu ia berteriak,
“beri aku
jalan.”
Barisan itu
menepi. Beberapa ekor kuda berlari dengan kencangnya melampaui mereka.
Terdengarlah kemudian Gajah Sora berkata,
“api. kalian
dengar kentongan tiga-tiga ganda?.”
“Ya,” sahut
Bantaran berteriak,
“kami
mempercepat perjalanan kami.”
Ki Ageng Gajah
Sora telah lampau. Yang menjawab adalah Arya Salaka,
“Bagus.
Mungkin orang yang sedang berputus asa mencari bela.”
Aryapun tidak
sempat menungu jawaban mereka. Barisan BanyuBiru hanya melihat bayangan yang
terbang disamping mereka. Kemudian bersama dengan lenyapnya gema suara telapak
kaki kuda mereka, bayangan itupun telah lenyap pula ditelan oleh lindungan
batang batang pohon dan ilalang.
Suara kentongan
semakin nyaring. Dan penuhlah lembah Telamaya dengan bunyi Tiga-Tiga Ganda. Dan
karena itu pula kuda Gajah Sora berlari semakin kencang menuju ke arah
alun-alun Banyubiru. Banyubiru menjadi ribut karena api yang tiba-tiba saja
membakar hutan-hutan perdu dan alang-alang. Kalau api tidak segera dikuasai,
maka api akan menjalar terus mendaki tebing. Apalagi sekali api menjilat
hutan-hutan getah maka hutan itupun akan terbakar, dan lereng Bukit Telamaya
akan menjadi lautan api. Bukit itu sendiri akan segera menyala, dan hancurlah
kehidupan di atasnya. Tegal-tegal, sawah sawah dan pohon buah-buahan
dihutan-hutan peliharaan akan musnah. Di alun-alun tampaklah beberapa orang
sedang sibuk. Beratus-ratus orang telah keluar dari rumah mereka. Tidak saja
orang lelaki, tetapi perempuan dan anak-anak. Mereka telah siap membawa
lodong-lodong bambu untuk mencari air serta canting-canting besar dari pelepah
batang upih. Namun dengan alat itu, mereka tidak akan dapat menguasai api yang
membakar batang ilalang. Angin yang bertiup dari lembah seperti membantu
mendorong api itu naik dilereng bukit yang damai itu.
Mantingan dan
Wirasaba berusaha membantu Wanamerta yang tua. Mereka telah siap diatas
punggung-punggung kuda. Yang terdengar adalah suara Wanamerta yang lantang,
“Putuskan
daerah ilalang. Tebang semua pohon-pohon perdu. Pisahkan daerah api dengan daerah
yang masih selamat. Sekarang!”
Orang-orang
itupun berlari-larian. Mereka melemparkan lodong-lodong bambu di tangan mereka.
Sedang mereka berlari-lari pulang mengambil sabit, pedang, pacul dan
senjata-senjata tajam mereka untuk menebang hutan-hutan perdu dan batang-batang
ilalang. Rakyat Banyubiru menjadi kacau seperti gabah dalam tampian. Mantingan,
Wirasaba dan Wanamerta berusaha untuk menenangkan mereka. Sambil berteriak-teriak
mereka memberi petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan.
“Jangan
bingung !” terdengar suara Mantingan gemuruh,
“Semua pergi
ke lereng. Tebang batang-batang ilalang yang belum termakan api supaya api
tidak terus menjalar ke atas.”
Di sebelah lain
Wirasaba berteriak tinggi,
“Nah, yang
sudah bersenjata di tangan masing-masing pergi sekarang juga. Jangan menunggu
api api mendatangi kalian. Kalian harus menyerbu ke daerah api itu.” Wirasaba
sendiri mendahului pergi ke lereng bukit Telamaya. Dengan kapak raksasanya ia
menebas pohon-pohon perdu seperti menebas rumput-rumput saja. Tenaga raksasanya
benar-benar dimanfaatkan untuk menyelamatkan hutan ilalang yang masih mungkin
di selamatkan demi keselamatan Banyubiru.
Rakyat
Banyubiru pun segera menggulung lengan baju mereka atau melepas baju mereka
sama sekali. Dengan pedang, cangkul dan apa saja di tangan mereka, mereka
berusaha untuk membuat antara yang dapat membatasi menjalarnya api. Tetapi
lereng itu sangat panjang. Api yang menyala-nyala itu tidak saja merambat ke
atas, tetapi juga merambat ke samping membuat garis yang panjang, untuk
kemudian perlahan-lahan mendaki tebing. Gajah Sora sampai di alun-alun ketika
rakyat Banyubiru sudah mulai berlari-larian meninggalkan alun-alun itu.
Dilihatnya Wanamerta tua sedang sibuk memberi aba-aba kepada mereka. Dengan
lantang Ki Ageng Gajah Sora berteriak,
“Apa yang
sudah Paman kerjakan ?”
Wanamerta
terkejut. Suara itu telah agak lama tak didengarnya. Kini dalam keributan itu
suara didengarnya kembali. Dengan lantang pula ia menjawab
“Aku mencoba
memisahkan daerah yang terbakar itu dengan yang lain, supaya api dapat di
batasi.”
“Bagus,” sahut
Gajah Sora.
“Aku akan
pergi ke lereng.”
Wanamerta
tidak sempat berbuat lain. Dan dalam kesibukan itu, seakan-akan kehadiran Gajah
Sora adalah kehadiran yang wajar. Seperti waktu lima enam tahun yang lampau
itu, hanya sekejap mata saja. Seperti Gajah Sora tak pernah meninggalkan
Banyubiru. Seolah-olah Kepala Tanah Perdikan itu baru saja keluar dari rumahnya
di samping alun-alun itu. Gajah Sora memacu kudanya ke lereng. Ia melihat
rakyat Banyubiru sedang berjuang untuk menyelamatkan tanah dan pedukuhan mereka
dari kemusnahan. Laki-laki, perempuan dan anak-anak. Namun api itu menjalar
terus. Sejenak kemudian datanglah laskar Banyubiru yang lain. Mereka tidak
sempat menjenguk keluarga mereka. Mereka tidak sempat menyatakan keselamatan
diri mereka kepada keluarga mereka. Karena mereka pun segera ikut serta
berjuang menebang pohon-pohon dan ilalang. Alangkah lambatnya pekerjaan itu.
Beratus-ratus orang telah bekerja dengan dengan segenap tenaga, namun
seakan-akan pekerjaan mereka tidak maju-maju. Gajah Sora menjadi cemas.
Tiba-tiba saja ia berteriak,
“Pecahkan
tangki yang mengatur air dari Sendang Muncul. Airnya akan tumpah dan mengalir
kemari. Bantulah membuat jalur-jalur, supaya airnya segera sampai ke daerah
api. Mudah-mudahan ada pengaruhnya.”
Beberapa orang
segera berlari-larian ke tempat penyimpanan air. Air itu tampak menggenang
tenang. Dalam dan cukup luas. Rakyat Banyubiru mempergunakan untuk mengairi
sawah-sawah mereka di musim kering yang panjang.
No comments:
Post a Comment