TETAPI Arya Salaka tidak mendengarnya. Ia berlari terus ke kandang kudanya. Dengan tergesa-gesa dipasangnya pelana kudanya dan ditariknya kuda itu keluar kandang. Sesaat kemudian terdengarlah derap kuda itu perpacu keluar halaman rumah Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi sesaat kemudian menyusul dua ekor kuda berlari seperti angin ke arah yang bersamaan. Mereka adalah Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora sendiri yang tidak sampai hati melepas Arya Salaka yang sedang kebingungan itu. Apalagi Mahesa Jenar yang menyadari, bahwa tingkat ilmu Arya Salaka masih belum dapat disejajarkan dengan ilmu Mas Karebet yang aneh itu. Sehingga dengan demikian, seandainya mereka benar-benar bertemu, maka nasib Arya Salaka terlalu mencemaskan. Mereka yang tinggal di pendapa rumah itu duduk membeku dalam kesuraman sinar pelita. Nyala api yang kemerah-merahan bergerak-gerak ditiup angin yang lemah. Daun-daun sawo di halaman bergoyang-goyang seperti sedang menarikan sebuah tarian yang pedih. Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tampaklah membayang di matanya kegelisahan dan kecemasan. Kadang-kadang ia menarik nafas dalam-dalam, dan kadang-kadang ia memejamkan matanya. Sesuatu yang maha berat sedang menghimpit hatinya, namun hatinya itu berdoa kepada Yang Maha Agung, semoga semuanya dapat selesai dengan sebaik-baiknya.
Arya Salaka
yang berpacu di dalam gelap itu, benar-benar seperti orang yang mabuk. ia tidak
ingat lagi bahaya yang dapat menerkamnya. Jurang-jurang yang terjal dipinggir
jalan atau apapun yang dapat membahayakan perjalanannya. Yang ada dikepalanya
hanyalah seorang anak muda yang bernama Karebet, seorang yang pernah dikagumi
dan bahkan mereka pernah bergaul dengan rapatnya sebagai dua orang sahabat yang
akrab.
“Kenapa kakang
Karebet itu sampai hati berbuat demikian” desah Arya Salaka didalam hatinya.
“Tetapi,
apapun yang pernah terjadi, sikap yang baik dan persahabatan yang akrab, namun
bukan salahku kalau persahabatan itu kini pecah. Kenapa kakang Karang Tunggal
tidak saja berkata terus terang dan membicarakannya dengan orang tua-tua.”
Semakin
diangan-angankannya, maka darah Arya semakin meluap-luap. Arya Salaka
seakan-akan tidak sabar lagi menunggu sampai di perbatasan arah Sendang Muncul.
Tetapi akhirnya ia sampai juga ke tempat itu. Tempat yang sepi senyap.
Dilihatnya beberapa onggok batu karang berserak-serakan di antara
gerumbul-gerumbul yang bertebaran disana-sini. Arya Salaka yang marah itu
menghentikan kudanya. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Diamatinya relung-relung
hitam diantara batu-batu karang dan di bawah rimbunnya gerumbul-gerumbul yang
ada disekitarnya. Tetapi Arya Salaka tidak mendengar suara apapun juga,
seakan-akan daerah itu daerah pekuburan yang mengerikan. Tetapi Arya Salaka
tidak puas dengan tajam matanya. Segera ia meloncat turun, dan dengan hati yang
melonjak-lonjak ia berlari-lari mengelilingi daerah itu. Disasaknya
gerumbul-gerumbul yang rimbun dan ditembusnya kegelapan malam di sela-sela batu
karang. Tetapi yang dicarinya tidak diketemukannya.
Arya Salaka
itu seakan-akan telah benar-benar kehilangan kesadaran diri. Tiba-tiba ia
meloncat naik ke atas batu karang sambil berteriak keras-keras.
“He Karebet.
Jangan menunggu Purnama naik. Inilah Arya Salaka dari Banyubiru. Kita
selesaikan persoalan kita tanpa menunda-nunda. Buat apa kau lakukan perbuatan
terkutuk itu. He. Karebet. Karebet………”
Suara Arya
Salaka menggeletar memukul tebing-tebing pegunungan. Suara gemanya
bersahut-sahutan mengumandang di lereng bukit Telamaya. Namun suara itu menggeletar
tanpa arti. Tak seorang pun yang menyahut. Arya Salaka menjadi semakin marah.
Sekali lagi ia berteriak.
“Karebet.
Dengan mengumpankan gadis itu, apakah kau akan diangkat menjadi Adipati. He.
Marilah kita berhadapan sebagai jantan sejati. Tidak perlu dengan pasukan
segelar sapapan. Karebet……”
Suara itu pun
menggelepar di kesunyian malam. Gemerisik angin pegunungan membawa udara yang
dingin sejuk. Helai-helai daun yang kuning berguguran satu-satu di tanah yang
lembab oleh embun. Namun suara Arya Salaka itu hilang saja disapu hembusan
angin.
Arya Salaka
mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara telapak kuda mendekat. Ia tahu
betul, bahwa mereka itu adalah orang-orang Banyubiru. Mungkin ayahnya, mungkin
orang lain. Tetapi ia tidak mempedulikannya. Ia masih saja tegak di atas batu
karang. Bulan yang hampir bulat telah melekat di ujung pepohonan. Sinarnya
telah memerah dan hampir tenggelam. Namun cahayanya yang dipantulkan oleh wajah
Rawa Pening, masih tampak kuning kemerahan, berkilat-kilat.
“Arya” terdengar
suara lembut dari bawah batu karang itu.
Arya yang
sedang dibakar oleh kemarahannya itu, masih juga mendengar suara itu. Suara
yang telah dikenalnya baik-baik, melampaui ayahnya sendiri. Suara itu adalah
suara gurunya. Meskipun demikian untuk sesaat ia masih berdiam diri di atas
batu karang itu. Gelora kemarahannya yang menghentak dadanya belum juga dapat
ditenangkannya.
“Arya” suara
itu didengarnya kembali. Betapa ia dihanyutkan oleh kemarahannya, namun suara
itu benar-benar berpengaruh padanya. Karena itu maka Arya itu pun berpaling.
Dilihatnya di dalam keremangan malam, dua orang yang masih duduk di atas
punggung kuda. Gurunya, Mahesa, dan ayahnya Gajah Sora.
“Arya” kali
ini ia mendengar suara ayahnya.
“Turunlah.”
Arya masih
berdiri di atas batu karang itu. Sekali tatapan matanya menyangkut pada bulan
yang telah hampir lenyap di balik pepohonan yang tumbuh di lereng bukit.
Tiba-tiba ia berkata nyaring.
“Lihatlah
ayah. Bulan hampir purnama. Aku harus segera bersiap untuk menyambut Karebet di
hutan Prawata.”
“Sabarlah
Arya” desis Mahesa Jenar.
“Turunlah,
marilah kita bicarakan soalmu ini.”
Arya
termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa di atas
batu karang itu. Di atas batu karang itu tidak ditemuinya Karebet dan juga akan
ditemuinya gadis yang hilang. Karena itu maka segera ia pun meloncat turun.
“Sebaiknya kau
tenangkan hatimu Arya,” berkata Mahesa Jenar.
Arya Salaka
tidak menjawab. Dipandang wajah ayahnya yang duduk diam di atas punggung
kudanya. Tetapi di dalam malam yang remang ia tidak mendapat sesuatu kesan
dalam wajah itu. Selain, tegang.
“Marilah kita
pulang dahulu,” ajak Mahesa Jenar.
Arya Salaka
tidak menjawab. Ia masih mencoba memandang tempat-tempat yang gelap
disekelilingnya.
“Anak itu
sudah pergi,” desis ayahnya.
Arya
menggeretakkan giginya. Namun perlahan-lahan ia menuju kekudanya.
”Naiklah.
Biarlah kita bicarakan semuanya ini di rumah,” berkata ayahnya mendesak.
Arya Salaka
itu kemudian menjadi seakan-akan kehilangan segala-galanya. Ia menjadi bingung,
cemas, marah dan tanggapan yang simpang siur atas perbuatan Karebet itu. Dengan
hati yang kosong ia meloncat ke atas punggung kudanya, dan dengan lesunya ia
mendorong kudanya berjalan kembali ke rumahnya. Rumah yang seakan-akan menjadi
terlalu sunyi. Lebih sunyi dari tempat ini.
Perlahan-lahan
mereka berjalan menuju ke rumah Gajah Sora. Arya Salaka tidak mampu lagi
melecut kudanya dan melarikannya. Ia lebih tenang berjalan perlahan-lahan dalam
malam yang semakin gelap karena bulan kini telah benar-benar tenggelam. Tetapi
dikejauhan telah terdengar kokok ayam jantan untuk ketiga kalinya. Arya Salaka
menengadahkan wajahnya. Betapa pun juga ia tidak dapat melupakan kewajibannya.
Karena itu ia mempercepat langkah kudanya, sebelum ia terlambat untuk melakukan
sembahyang subuh. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berkuda di belakangnya, tak
sepatah kata pun terloncat dari bibir mereka. Mereka seakan-akan onggokan
benda-benda mati yang terikat erat-erat di atas punggung kuda. Ketika matahari
mulai melemparkan cahayanya yang pertama, menyentuh ujung-ujung pepohonan,
Mahesa Jenar telah dikejutkan oleh ringkik-ringkik kuda di halaman.
Dengan tergesa-gesa
Mahesa Jenar menghampirinya dan bertanya kepadanya.
“Akan
kemanakah Ki Ageng sepagi ini?”
“Aku akan
kembali ke Pamingit,” jawab Ki Ageng Lembu Sora.
“Oh” Mahesa
Jenar menarik nafas dalam-dalam. Namun betapa pun juga timbul pula
prasangkanya. Dalam kesibukan yang semakin memuncak ini justru Ki Ageng Lembu
Sora akan kembali ke Pamingit. Karena itu maka ia bertanya pula.
“Apakah ada
sesuatu keperluan yang mendesak?”
KI Ageng Lembu
Soralah yang kini memandang Mahesa Jenar dengan heran. Apakah Mahesa Jenar
belum tahu apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Meskipun demikian ia
menjawab juga.
“Saat purnama
naik hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku tidak akan dapat tinggal diam.
Pasukan Pamingit akan membantu Arya Salaka menghadapi Karebet di hutan Prawata.”
“He” Mahesa
Jenar benar-benar terkejut seperti disambar petir melesat.
Jadi Arya
Salaka telah mengambil keputusan yang berbahaya itu? Tubuh Mahesa Jenar itu pun
menjadi gemetar karenanya, sehingga sesaat ia tidak dapat berkata apa-apa.
Ditatapnya saja wajah Ki Ageng Lembu Sora yang bersungguh-sungguh itu. Baru
kemudian ia berhasil menenangkan hatinya, dan berkata,
“Ki Ageng
apakah itu merupakan keputusan Ki Ageng Gajah Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana
pula?”
“Kakang Gajah
Sora dan ayah Sora Dipayana tak berhasil mencegah Arya Salaka. Dan bukankah ini
soal kehormatan pula? Kehormatan Banyubiru dan seluruh tanah perdikan
Pangrantunan lama termasuk Pamingit? Arya telah membantu dan membebaskan
Pamingit dari genggaman orang-orang golongan hitam beberapa waktu lampau.
Apakah sekarang, aku harus membiarkan kehormatan Arya Salaka diinjak-injak
orang lain?”
“Hem” Mahesa
Jenar menarik nafas. Ki Ageng Lembu Sora masih juga kejangkitan penyakitnya
yang lama, meskipun dalam persoalan yang lain. Harga diri yang berlebih-lebihan
dan nafsu untuk memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Tetapi kali ini Ki
Ageng Lembu Sora tidak mutlak bersalah seperti apa yang dahulu pernah
dilakukan. Bahkan kini ia merasa berkuwajiban untuk membalas kebaikan hati Arya
Salaka. Karena itu maka Mahesa Jenar itu pun berkata,
“Baiklah aku
mencoba menemui kakang Gajah Sora”.
Ki Ageng Lembu
Sora memandangi Mahesa Jenar dengan pandangan yang aneh. Apakah guru Arya
Salaka itu tidak sependapat seandainya Arya Salaka memenuhi tantangan Karebet?
Tetapi Lembu Sora itu pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Kembali ia
mempersiapkan dirinya untuk segera berangkat ke Pamingit, memilih orang-orang
yang paling dipercaya untuk ikut berangkat ke hutan Prawata nanti pada saat
purnama naik beberapa hari lagi. Dengan demikian, maka sebelumnya pasukannya
harus siap pula di Banyubiru.
Dengan
tergesa-gesa Mahesa Jenar mencari Ki Ageng Gajah Sora yang duduk di serambi
belakang rumahnya bersama-sama dengan Arya Salaka. Wajah anak muda itu tampak
merah membara sedang tangannya menggenggam tangkai sebuah pisau belati panjang
yang berwarna kuning berkilat-kilat, Kiai Suluh. Ketika mereka melihat Mahesa
Jenar mendatangi mereka, maka Ki Ageng Gajah Sora itu pun mempersilakannya
duduk bersama mereka. Ketika terpandang oleh Arya Salaka wajah gurunya yang
tenang dalam, terasa hatinya bergetar dahsyat. Tanpa disengaja ia menundukkan
wajahnya.
”Kakang”
berkata Mahesa Jenar kepada Ki Ageng Gajah Sora.
“Agaknya Ki
Ageng Lembu Sora segera akan kembali ke Pamingit.”
Ki Ageng Gajah
Sora menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya” sahutnya
pendek.
“Dari Ki Ageng
Lembu Sora aku mendengar segala-galanya tentang keputusan Arya Salaka.”
Kembali Ki
Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah Ki
Ageng Gajah Sora berpendapat demikian?” bertanya Mahesa Jenar kemudian.
Ki Ageng Gajah
Sora itu diam mematung. Ditatapnya pohon-pohon nyiur yang tumbuh di halaman
belakang rumahnya. Sekali-kali daunnya bergerak ditiup angin pagi dan cahaya
matahari yang bermain-main di halaman menjadi bergerak-gerak pula. Sesaat Ki
Ageng tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Namun kemudian terdengar
suaranya serak.
“Ya. Apa boleh
buat.”
Mahesa Jenar
menarik keningnya. Tampak beberapa kerut-kerut tumbuh didahinya. Perlahan-lahan
ia berkata,
“Sudahkah
kakang mempertimbangkannya masak-masak.”
Mendengar
pertanyaan itu Arya Salaka mengangkat wajahnya. Dipandangnya wajah gurunya
dengan penuh pertanyaan. Apakah gurunya tidak sependapat dengan keputusan itu?
Arya kemudian melihat ayahnya menundukkan wajahnya. Pertanyaan Mahesa Jenar
benar-benar telah menggoncangkan jantungnya.
“Ya, apakah
keputusan itu sudah sebaik-baiknya?”
Pertanyaan itu
timbul pula di dalam hatinya. Tetapi ketika dipandanginya wajah anaknya yang
merah padam, timbul pula kasihan di dalam dirinya. Anak satu-satunya yang
dengan gigih telah berjuang untuk kepentingan tanah perdikan ini. Bahkan, ia di
bawah asuhan Mahesa Jenar itu sendiri? Ketika Gajah Sora tidak segera menjawab,
maka Mahesa Jenar itu pun kemudian langsung bertanya kepada Arya Salaka,
katanya,
“Arya. Apakah
kau telah membayangkan apa saja yang kira-kira dapat terjadi dengan keputusan
itu?”
Arya Salaka
ragu-ragu sejenak. Tetapi dorongan yang kuat di dalam hatinya memaksakan
menjawab.
“Tak ada
pilihan lain paman.”
Mahesa Jenar
menarik nafas. Katanya,
“Apakah kau
telah mencobanya?”
Arya
mengerutkan alisnya. Desisnya,
“Apa yang
dapat dicoba?”
“Arya” berkata
Mahesa Jenar.
“Dalam
persoalan ini masih harus dicari sumber yang menyebabkannya. Kalau ternyata
Karebet berbuat demikian atas perintah Baginda, maka soalnya menjadi jelas.
Namun kalau perbuatan itu dilakukannya atas kehendak sendiri untuk mendapatkan
hadiah atau pangkat atau apapun, maka akan ternyata bahwa kau terlalu
tergesa-gesa. Mungkin Baginda sendiri akan menolak persembahan itu. Dan masih
ada seribu satu macam kemungkinan yang lain.”
“Tidak paman”,
jawab Arya tegas.
Mahesa Jenar
terkejut mendengar jawaban itu. Belum pernah Arya bersikap demikian kerasnya
kepadanya. Dan ternyata Arya itu berkata terus.
“Sudah jelas
dikatakannya, bahwa Karebet mengambil Widuri untuk Pangeran Timur. Kalau
perintah itu tidak turun dari istana, apakah Karebet berani mempersembahkan
seorang yang hanya diambilnya dari pegunungan? Apakah itu bukan merupakan
penghinaan bagi Pangeran Timur dan Baginda sendiri? Tetapi hal itu pasti sudah
menjadi pilihan Pangeran Timur. Paman, seandainya hal itu dilakukan baik-baik,
maka hatiku tidak akan merasa dihinakan.”
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ketidakwajaran dalam persoalan ini.
Hampir-hampir ia berkata, bahwa apakah hak Arya Salaka untuk marah? Hanya
karena penghinaan yang dilontarkan oleh Karebet itu? Dan kenapa Karebet itu
sengaja memancing kemarahan Arya Salaka? Tetapi Mahesa Jenar tidak mengatakannya.
Disadarinya bahwa hati Arya Salaka benar-benar sedang gelap. Dan Mahesa Jenar
pun dapat memahami kegelapan hati itu. Dikenangnya kemudian, ketika ia
kehilangan Rara Wilis di Pliridan beberapa tahun yang lalu. Seorang yang tidak
tahu sebab musababnya, Sagotra, hampir-hampir dicekiknya sampai mati. Namun
kini Arya Salaka menghadapi persoalan itu tidak seorang diri seperti dirinya
pada saat itu. Tetapi di belakangnya akan terlibat beratus-ratus orang. Mahesa
Jenar itu pun hanya dapat merenung. Ia tidak dapat mencegah muridnya dalam
keadaan itu, kalau ia tidak ingin kehilangan kewibawaan atas muridnya itu.
Sebab hampir pasti, bahwa Arya Salaka tidak akan mendengarnya. Tetapi sudah
tentu bahwa hatinya akan menjadi hancur pula, apabila ia harus menyaksikan
pertentangan yang pecah antara Banyubiru dan Demak. Beberapa tahun yang lampau
ia berusaha mati-matian untuk menghindarkan pertentangan itu. Pertentangan yang
timbul karena persoalan yang bagi Demak jauh lebih bernilai. Persoalan yang
ditimbulkan karena keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun ternyata
hanya karena kesalahpahaman saja. Kini soal itu adalah soal seorang gadis.
Tetapi bagi Arya Salaka persoalan ini adalah persoalan harga diri, kehormatan
dan yang lebih penting adalah gairah bagi masa depannya. Mahesa Jenar itu pun
kemudian meninggalkan serambi belakang rumah Ki Ageng Gajah Sora. Arya Salaka
pun kemudian pergi pula menemui beberapa orang pimpinan Banyubiru untuk
menyiapkan laskarnya.
Sedang untuk
beberapa saat Ki Ageng Gajah Sora masih duduk merenung di tempatnya.
Terbayanglah apa yang pernah dilakukannya sendiri pada saat itu. Justru pada
saat dirinya akan ditangkap oleh prajurit-prajurit Demak. Pada saat ia mendapat
tuduhan menyembunyikan keris-keris pusaka istana Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk
Inten. Pada saat itu ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika ia melihat kibaran
panji-panji Gula Kelapa diantara sepasukan Manggala pati. Bendera yang
melambangkan kebesaran Demak. Lebih dari itu, bendera yang melambangkan
persatuan dan kesatuan. Apakah sekarang ia akan membiarkan anaknya melawan
Demak. Melawan persatuan dan kesatuan itu. Hati Gajah Sora itu pun tiba-tiba
menjadi hancur. Hancur seperti yang pernah dialaminya beberapa tahun yang lalu.
Tetapi ia kini tidak mampu mencegah anaknya berbuat demikian. Tiba-tiba ia
tersadar ketika Ki Ageng Lembu Sora masuk menemuinya. Adiknya itu segera akan
minta diri untuk kembali ke Pamingit. Menyiapkan pasukannya untuk membantu Arya
Salaka memaksa Baginda Sultan Trenggana mengurungkan niatnya, mengambil Endang
Widuri untuk puteranya. Semuanya kemudian berjalan di luar kemauan Ki Ageng
Gajah Sora. Beberapa kali ia berusaha mencegah anaknya melanjutkan niatnya,
namun ia tidak juga berhasil. Bukan saja Ki Ageng Gajah Sora, tetapi Mahesa
Jenar dan Ki Ageng Sora Dipayana.
Namun Arya
Salaka tetap pada pendiriannya. Merebut Endang Widuri dengan segala akibatnya.
Sedang Gajah Sora yang merasa seolah-olah Arya Salakalah yang telah
mempertahankan kedudukannya di Banyubiru, baik dari tangan Lembu Sora maupun
dari tangan golongan hitam, maka ia tidak sampai hati untuk mempergunakan
kekuasaan mencegah laskar Banyubiru untuk mengambil bagian dalam kemarahan Arya
Salaka itu.
Tetapi Mahesa
Jenar tidak segera berputus asa. Dibiarkannya Arya Salaka mempersiapkan dirinya.
Mempersiapkan laskarnya dan bahkan dengan laskar Pamingit sekalipun. Namun ia
masih berusaha untuk mencari jalan keluar. Diotak-atiknya persoalan itu.
Direntang-digulung, diurai-dilipatnya. Dihubung-hubungkannya setiap persoalan
dan setiap sikap dari orang-orang yang berkepentingan. Dan akhirnya Mahesa
Jenar mengambil suatu sikap, betapa pun berat hatinya untuk melakukannya.
Menemui Kebo Kanigara seorang diri. Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya.
Ditemuinya Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang disediakan
untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran Mahesa Jenar, maka tampaklah
ia terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam
bilik itu.
“Terima kasih
kakang”, sahut Mahesa Jenar sambil duduk dipembaringan Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara telah berkumpul dalam waktu yang lama. Setiap kali mereka
bertemu dan bercakap-cakap. Setiap kali mereka mempersoalkan berbagai masalah
yang paling ringan sampai yang paling berat. Setiap kali mereka berbuat
bersama-sama dan mereka pun ternyata memiliki unsur kekuatan yang sama. Mereka
bersama-sama adalah tetesan dari sumber kekuatan Ki Ageng Pengging Sepuh.
Tetapi pertemuan mereka kali ini terasa amatlah canggungnya. Mereka berdua
tidak segera menyadari apakah sebabnya dari kecanggungan itu, namun terasa ada
sesuatu yang diantara mereka yang kurang sewajarnya.Setelah mencobanya
menenangkan hatinya, maka Mahesa Jenar mencoba mulai dengan persoalannya.
Katanya,
“Kakang.
Apakah kakang tidak ingin melihat persiapan Arya Salaka yang akan membantu
kakang mengambil kembali Widuri dari tangan Karebet?”
Kebo Kanigara
menarik alisnya. Ditatapnya keheningan malam di luar pintu biliknya. Di samping
dinding didengarnya jengkerik seolah-olah lagi menangis. Menangisi mereka yang
tak akan dapat dijumpainya. Dalam kesenyapan itu terdengar Kebo Kanigara
berkata,
“Aku akan
mengucapkan terima kasih atas kesediaan Arya Salaka, Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Semua
berjalan dengan baik, kakang. Laskarnya memiliki tekad yang tinggi. Mereka
berniat mempertahankan kehormatan nama kakang Kebo Kanigara dan Arya Salaka.
Bahkan laskar Pamingit pun akan segera datang dan membantu Arya Salaka pula.”
Kebo Kanigara
terdiam. Wajahnya menjadi tegang. Dan punggungnya menjadi basah oleh keringat.
“Nanti pada
saat purnama naik, Arya sudah bersedia mengepung Baginda yang sedang berburu.
Aku tidak tahu, apakah Baginda menyadari hal itu. Apakah Baginda menyangka
bahwa Arya Salaka dan laskar Banyubiru tidak akan berani berbuat demikian
sehingga Baginda tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Namun menilik
kata-kata Karebet, maka Baginda pasti telah menyiapkan Wira Tamtama dan bahkan
mungkin kesatuan-kesatuan yang lain”.
Kebo Kanigara
masih berdiam diri. Keringatnya semakin banyak mengaliri punggungnya. Dan
kembali terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Kakang, kalau
terjadi pertempuran antara kedua pasukan itu, maka alangkah ramainya. Kalau
Baginda telah siap menghadapi Arya Salaka, maka laskar Banyubiru pasti akan
tumpas. Beratus-ratus orang Banyubiru dan Pamingit akan menjadi korban. Tetapi
kalau Baginda tidak mempersiapkan dirinya, maka laskar Demaklah yang akan
binasa. Baginda akan terancam jiwanya karena kemarahan yang meluap-luap. Dan
Arya Salaka untuk seterusnya akan bergelar seorang pemberontak yang baik, yang
telah berhasil membunuh rajanya sendiri.”
“Sudahlah
Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. Suaranya perlahan-lahan dan parau.
“Aku sudah
menyangka bahwa hal-hal yang demikian dapat terjadi.”
“Ya. Aku juga
menganggap bahwa kakang sudah dapat membayangkannya. Lalu bagaimana dengan kita
kakang? Apakah sebaiknya kita ikut juga dalam pertempuran itu?”
Kebo Kanigara
menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanya bergelora. Namun ia tidak dapat
menjawab pertanyaan itu. Sesaat bilik itu menjadi sunyi. Mereka berdua duduk
mematung. Namun ternyata bahwa wajah-wajah mereka menjadi tegang.
Yang mula-mula
berkata di antara mereka adalah Mahesa Jenar. Dengan penuh tekanan ia berkata.
“Bagaimanakah
sebaiknya kakang, apakah kita juga akan berada dalam pasukan itu?”
“MENYELESAIKAN
persoalan ini tanpa pertumpahan darah. Tanpa memberikan kemungkinan yang pahit
itu. Tanpa memungkinkan kebinasaan baik laskar Banyubiru, maupun Demak.”
“Apakah aku
mampu berbuat demikian?”
“Tentu,” jawab
Mahesa Jenar.
“Kakang tentu
mampu. Seharusnya kakang sudah berhasil mencari Karebet dan memaksanya
mengembalikan Widuri. Atau kalau Widuri benar-benar dikehendaki oleh Pangeran
Timur, maka kakang dapat menjelaskan persoalannya.”
“Sulit bagiku
Mahesa Jenar.”
“Kakang,”
wajah Mahesa Jenar menjadi tegang pula.
“Maafkan aku
kakang. Sebenarnya aku sedang menduga, apakah sebenarnya kakang hendak menjauhkan
Widuri dari Arya Salaka? Atau kakang sebenarnya sedang mengangkat sebuah neraca
antara Arya Salaka dan Pangeran Timur. Namun, kakang tidak sampai hati
memberitahukannya kepada keluarga Arya Salaka?”
“Mahesa Jenar”
potong Kebo Kanigara.
“Jangan kau katakan
itu. Aku bukan orang gila. Aku masih sehat dan dapat berpikir sebaik-baiknya.”
“Tetapi apa
yang kakang lakukan benar-benar menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam
hatiku. Apakah kakang sengaja memancing pertentangan dan membinasakan Arya
Salaka untuk menyelesaikan persoalan ini.”
“Cukup. Cukup
Mahesa Jenar.”
“Beri aku
penjelasan kakang. Beri aku penjelasan supaya aku dapat mengerti jalan pikiran
kakang. Apakah kakang Kebo Kanigara akan mempergunakan Arya Salaka untuk
membinasakan Sultan Trenggana karena dendam kakang atas runtuhnya keluarga
kakang dan lenyapnya kesempatan bagi trah Handayaningrat, apalagi dengan
terusirnya Karebet dari istana Demak?”
Wajah Kebo
Kanigara itu tiba-tiba menjadi suram. Demikian suramnya sehingga Mahesa Jenar
terhenti dengan sendirinya. Ia mengharap Kebo Kanigara membela diri dan
menyatakan alasan-alasan yang sebenarnya. Tetapi Kebo Kanigara itu berkata.
“Sampai hati
kau menuduh aku demikian Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar
pun kini terdiam sesaat. Hatinya menjadi sedemikian risaunya sehingga terpaksa
ia mengeluh pula.
“Alangkah
rumitnya persoalan kali ini. Kakang, jadi kakang telah bertekad dan membiarkan
Arya membuat penyelesaian menurut caranya?”
Kebo Kanigara
masih menundukkan wajahnya. Terasa benar pada wajahnya yang suram itu
pergolakan di dalam hatinya. Hati yang selama ini selalu tenang dan tenteram.
Namun hati itu kini bergelora seperti lautan yang dilanda angin lautan yang
dahsyat.
Perlahan-lahan
Kebo Kanigara itu menjawab.
“Untuk
sementara, Mahesa Jenar. Sebelum aku menemukan cara yang lain.”
Mahesa Jenar
menarik nafas. Ia tidak akan berhasil untuk mengubah pendirian Kebo Kanigara
yang aneh dan tidak dapat dimengertinya. Tetapi ia yakin seyakin-yakinnya,
bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Namun betapapun juga
alasannya, apakah ia akan dapat melihat bentrokan yang terjadi antara Banyubiru
dan Demak di hutan Prawata nanti? Apakah ia akan dapat melihat laskar Banyubiru
binasa? Laskar yang telah berhasil melepaskan diri dari satu ujian yang maha
berat, membebaskan diri mereka dari orang-orang golongan hitam. Dan kini mereka
akan terperosok ke dalam kehancuran yang mutlak? Sedang apabila Sultan tidak
berprasangka akan datangnya bahaya itu, apakah ia juga akan dapat melihat
bagian kecil dari laskar Demak dan mungkin Sultan sendiri binasa?
Mahesa Jenar
itu menggeram. Dadanya serasa benar-benar akan pecah. Namun sementara itu, ia
pun tidak akan dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka dengan nada yang dalam
ia minta diri kepada Kebo Kanigara itu, katanya
“Baiklah kakang.
Biarkan kakang beristirahat malam ini. Mungkin pekerjaan kakang akan menjadi
semakin banyak besok.”
Kebo Kanigara
menggigit bibirnya. Jawabnya lemah.
“Baiklah
Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar
itu pun kemudian segera meninggalkan bilik Kebo Kanigara. Di halaman ia
mendengar kentongan dikejauhan dalam nada dara muluk.
“Tengah malam”
gumamnya. Dan sesaat kemudian para penjaga di halaman itu pun memukul
kentongannya pula dalam nada yang sama. Ketika Mahesa Jenar kemudian
menengarahkan wajahnya, maka dadanya berdesir. Dilihatnya bulan yang hampir
bulat mengapung di langit dengan tenangnya. Sehelai-helai awan yang tipis
terbang menyapu wajah bulan itu. Di langit yang biru, kelelawar berterbangan
berkejar-kejaran seperti sedang bergurau. Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tidak
tertarik pada kelelawar, pada awan dan bintang-bintang di langit. Yang sangat
menarik perhatiannya adalah bulan yang hampir penuh itu. Sehingga
perlahan-lahan ia bergumam sendiri.
“Empat hari
lagi purnama penuh akan naik. Pada saat itu, Sultan Trenggana akan membuat
perkemahan di hutan Prawata. Pada saat itu Arya Salaka akan mengepungnya dan
menuntut Widuri kembali. Kalau mereka tidak menemukan kata sepakat, maka
keduanya akan bertempur dan akan saling membinasakan.”
KEMBALI Mahesa
Jenar menarik nafas dalam-dalam. Udara yang dingin menyentuh dadanya dan
terdengar ia berdesah perlahan-lahan. Telah terbayang di matanya, mayat yang
bergelimpangan. Mayat kawan dan mayat lawan. Bukan. Sama sekali bukan lawan.
Keduanya adalah kawan. Sebab keduanya adalah isi dari kerajaan yang seharusnya
berada dalam persatuan dan kesatuan yang bulat. Tetapi sudah hampir pasti bahwa
mereka tidak akan pernah menemukan kata sepakat. Seandainya benar Baginda
menerima Endang Widuri, maka Baginda sudah tentu tidak akan bersedia
menyerahkan apabila di hadapannya telah mengancam sepasukan laskar. Tetapi
mungkin Baginda akan bersedia apabila ayah gadis itu sendiri datang kepadanya
dan menjelaskan persoalannya dengan baik. Tetapi Kebo Kanigara tetap dalam
pendiriannya.
“Aneh” sekali
lagi ia bergumam.
“Aneh, dan
tidak wajar.”
Tiba-tiba
terasa sesuatu bergetar di dalam dada Mahesa Jenar itu. Ia dengan tiba-tiba
saja teringat, bahwa masih ada seorang yang dapat mempengaruhi pendapat Kebo
Kanigara. Kalau orang itu dapat mengerti persoalannya, dan bersedia memanggil
Kebo Kanigara, maka persoalannya masih mungkin dipecahkan. Karena itu, maka
timbullah kembali harapan di dalam dada Mahesa Jenar. Dengan langkah yang tetap
ia kemudian masuk ke dalam biliknya untuk beristirahat. Mudah-mudahan ia akan
dapat menyelesaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Tetapi malam
itu Mahesa Jenar tidak dapat beristirahat sama sekali. Kalau ia sesaat dapat
memejamkan matanya dan lupa diri, maka seakan-akan sesuatu yang berat
menghimpit dadanya, sehingga tergagap ia bangun kembali. Berulang-ulang dan
bahkan kadang-kadang tubuhnya serasa menjadi kejang. Meskipun ia menyadari
dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi, namun untuk beberapa lama ia tidak
mampu menggerakkan tubuhnya.
“Hem” Mahesa
Jenar itu menggeram. Sebagai seorang yang terlatih, maka ia mampu menguasai
tubuhnya dengan sebaik-baiknya. Namun dalam kerisauan ini, Mahesa Jenar
seakan-akan benar-benar menjadi terganggu lahir dan batinnya. Ketika ia bangkit
dari pembaringannya di pagi-pagi benar, maka dilihatnya Rara Wilis sedang
membantu Nyai Ageng menghidangkan minuman kepada mereka yang berada di dalam
rumah itu, kepada Ki Ageng Gajah Sora sendiri dan tamu-tamunya. Ketika Rara
Wilis itu masuk ke dalam bilik Mahesa Jenar, tampaklah gadis itu terkejut.
Dan tanpa
sesadarnya ia menyapa.
“Kakang,
apakah kakang sedang sakit?”
Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Tidak Wilis.
Aku tidak sedang sakit. Kenapa?”
“Kakang pucat
sekali.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin benar kata Rara Wilis, bahwa ia pucat
sekali. Sambil menggosok wajahnya Mahesa Jenar itu berkata,
“Wilis
duduklah sebentar. Ada yang ingin aku katakan kepadamu.” Rara Wilis itu pun
segera duduk di samping Mahesa Jenar. Wajahnya pun memancarkan berbagai
pertanyaan. Karena itu tidak hampir sabar ia menunggu Mahesa Jenar berkata,
“Wilis. Nanti
aku antar kau pulang ke Gunung Kidul”.
Rara Wilis
terkejut bukan kepalang. Sesaat ia terbungkam dan wajahnya menjadi pucat. Ia
sama sekali tidak tahu maksud Mahesa Jenar itu.
“Jangan terkejut
Wilis,” sambung Mahesa Jenar.
“Aku tidak
berkata sebenarnya. Tetapi aku hanya ingin kau membantuku menyelesaikan
persoalan ini.”
“Oh” Rara
Wilis menarik nafas dalam-dalam.
“Kakang
mengejutkan aku.”
“Tetapi kau
harus menjawab demikian kepada siapa pun juga, bahwa aku hari ini akan
mengantarkan kau pulang ke Gunung Kidul.”
Rara Wilis itu
mengangguk kosong. Namun sama sekali tidak tahu maksud Mahesa Jenar itu.
“Pergilah ke
Ki Ageng Pandan Alas. Kau harus mohon diri pula kepada semua orang di sini. Katakan
bahwa kau ingin sekali segera kembali.”
Sekali lagi
Rara Wilis itu mengangguk. Dan setelah Mahesa Jenar memberinya beberapa pesan,
maka mulailah Rara Wilis menyampaikan maksud itu kepada Nyai Ageng Gajah Sora
beserta keluarganya.
Tentu saja
semuanya yang mendengar keinginan itu terkejut bukan kepalang. Ki Ageng Gajah
Sora, Arya Salaka dan orang-orang lain. Bahkan Kebo Kanigara hampir tak dapat
berkata apapun mendengar maksud itu. Dengan penuh harapan mereka mencegah
maksudnya itu. Namun, Rara Wilis dan Mahesa Jenar tidak dapat diminta untuk
menunda kepergian itu. Bahkan Arya Salaka yang dengan penuh permintaan
mengharap gurunya mengurungkan niatnya, namun Mahesa Jenar tetap pada
pendiriannya.
Katanya kepada
Arya Salaka.
“Aku akan
kembali tepat pada saat Purnama naik, atau bahkan sebelumnya. Aku akan ikut ke
hutan Prawata dan aku akan menyaksikan apa yang terjadi”.
Ki Ageng
Pandan Alas yang tenang-tenang saja melepaskan Mahesa Jenar dan Rara Wilis
pergi. Rara Wilis telah mengatakan apa yang didengarnya dari Mahesa Jenar.
Namun bahwa orang tua itu tidak ikut serta, adalah merupakan suatu pertanyaan
yang tidak dapat dijawab oleh orang-orang Banyubiru. Mahesa Jenar dan Rara
Wilis pagi itu benar-benar pergi meninggalkan Banyubiru. Mereka sama sekali
tidak membawa bekal apapun selain senjata-senjata mereka, busur dan beberapa
anak panah untuk berburu di perjalanan. Di regol halaman, Kebo Kanigara
berbisik perlahan kepada Mahesa Jenar,
“Mahesa Jenar,
apakah sebenarnya yang akan kau lakukan?”
“Aku
benar-benar akan mengantar Rara Wilis kakang,” sahut Mahesa Jenar lemah.
“Aku menjadi
ragu-ragu atas kepergianmu ini,” berkata Kebo Kanigara pula.
“Jangan
ragu-ragu kakang. Aku sedang mengungsikan Rara Wilis, supaya seandainya Sultan
benar-benar marah kepada Arya Salaka, dan menyerang Banyubiru, gadis ini sudah
aku selamatkan.”
Kebo Kanigara
menarik nafas dalam-dalam. Terasa sindiran itu tepat mengenai jantungnya. Namun
ia berkata pula,
“Adakah
sesuatu yang tersembunyi?”
“Dada kita
kini sudah tidak terbuka lagi, kakang ada yang tersembunyi di dalam dada kakang
Kebo Kanigara, dan ada yang tersembunyi di dalam dadaku.”
“Hem,” Kebo
Kanigara itu pun berdesah. Dan mereka, yang tinggal di halaman itu terpaksa
melepaskan Mahesa Jenar dan Rara Wilis pergi meninggalkan Banyubiru dengan
beribu-ribu pertanyaan mengiringi kepergian itu. Sepasang kuda yang dinaiki
oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis berpacu dengan kencangnya, berderap-derap di
jalan yang berbatu-batu. Debu yang putih melontar di belakang kaki-kaki kuda
itu, namun sebentar kemudian lenyap disapu angin pagi yang berhembus dari
pegunungan. Ketika mereka telah melampaui batas kota Banyubiru, maka Rara Wilis
sudah tidak dapat lagi menyimpan pertanyaan dihatinya.
Karena itu
maka dengan ragu-ragu ia bertanya.
“Kakang, apakah
sebenarnya yang akan kita lakukan?”
Mahesa Jenar
berpaling. Dilihatnya wajah Rara Wilis yang gelisah. Karena itu maka segera ia
memperlambat kudanya sambil menjawab,
“Kita pergi
bertamasya Wilis.”
“He?”
Mahesa Jenar
tersenyum. Dan karena itu Rara Wilis menjadi semakin heran. Dalam kesibukan
yang hampir-hampir tidak memberikan kesempatan beristirahat kepada Mahesa Jenar
itu, tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar tersenyum sambil berkata kepadanya,
bahwa mereka sedang bertamasya. Mahesa Jenar melihat kebimbangan di hati Rara
Wilis. Karena itu, maka ia tidak mau membingungkan gadis itu lebih lama lagi.
Maka jawabnya,
“Aku akan
pergi ke Karang Tumaritis, menghadap Panembahan Ismaya.”
“Oh” Rara
Wilis menarik nafas.
“Apakah
Panembahan akan kakang minta turut menyelesaikan persoalan ini?”
“Ya.
Panembahan mempunyai pengaruh yang kuat atas kakang Kebo Kanigara.
Mudah-mudahan Panembahan dapat memberinya beberapa petunjuk, sehingga
kemungkinan-kemungkinan yang pahit akan dapat dihindarkan.”
Rara Wilis
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah dapat membayangkan apa yang akan
terjadi. Ia sudah melihat persiapan yang tergesa-gesa di Banyubiru dan ia juga
mendengar bahwa Lembu Sora telah kembali ke Pamingit untuk mengambil
pasukannya.
Sepeninggalan
Mahesa Jenar dan Rara Wilis, Kebo Kanigara benar-benar menjadi gelisah.
Disadarinya bahwa Mahesa Jenar bukanlah anak-anak lagi seperti Arya Salaka,
atau seorang ayah yang sangat merasa berhutang budi kepada anaknya seperti Ki
Ageng Gajah Sora dan pamannya Ki Ageng Lembu Sora, sehingga hampir-hampir
mereka sendiri tidak sempat berpikir. Namun Mahesa Jenar adalah seorang yang
berotak tenang. Kebo Kanigara itu pun kemudian mencoba menemui Ki Ageng Pandan
Alas. Dengan hati-hati dicobanya bertanya,
“Ki Ageng,
kemanakah Mahesa Jenar itu sebenarnya akan pergi mengantarkan Wilis pulang ke
Gunung Kidul? Kenapa Ki Ageng tidak ikut serta ?” bertanya Kebo Kanigara.
“Aku sudah
tua. Aku akan terlalu payah untuk pergi berkuda ke sana ke mari. Lebih baik aku
beristirahat di sini sambil menunggu Mahesa Jenar kembali.”
“Kenapa bukan
Ki Ageng saja yang mengantarkannya?”
Ki Ageng
Pandan Alas tertawa. Kebo Kanigara agaknya benar-benar gelisah, sehingga
pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibirnya terlalu sederhana dan
tergesa-gesa. Meskipun demikian Ki Ageng itu menjawab.
“Ah.
Pertanyaan yang aneh. Wilis pasti lebih senang diantar oleh Mahesa Jenar
daripada aku antarkan.”
Kebo Kanigara
menarik nafas dalam-dalam. Jawaban itu dapat dimengertinya. Namun persoalannya
yang belum dapat juga dimengerti. Meskipun demikian ia tidak bertanya lagi.
Kebo Kanigara itu kembali ke dalam biliknya. Dicobanya mengotak-atik, namun
pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dalam hatinya tidak juga dapat
dijawabnya.
PANEMBAHAN
Ismaya terkejut ketika seorang cantrik datang kepadanya, menyampaikan kabar,
bahwa Mahesa Jenar dan Rara Wilis datang ke bukit itu. Dengan tergopoh-gopoh
Panembahan tua itu menyambut sendiri kedatangan tamunya. Sambil membungkuk
hormat Mahesa Jenar dan Rara Wilis melangkah masuk ke Pondok Panembahan Ismaya.
Pondok yang dikenalnya baik-baik. Pondok yang masih juga seperti dahulu. Sejuk
dan tenang. Beberapa buah topeng masih juga tergantung pada tiang-tiang dan
dinding. Mereka terkejut ketika mereka melihat sebuah topeng yang jelek dan
kasar tergantung di antara beberapa buah topeng yang lain. Apakah topeng itu
sudah tidak pernah dipakai lagi oleh Panembahan tua itu? Tetapi Mahesa Jenar
tidak ingin menanyakannya. Dengan ramahnya Panembahan Ismaya itu mempersilakan
tamu-tamunya duduk dan dengan ramahnya maka Panembahan tua itu menyapa
keselamatan mereka.
“Demikianlah
Panembahan” jawab Mahesa Jenar.
“Tuhan
melindungi hamba dan keselamatan. Mudah-mudahan Panembahan pun demikian pula
hendaknya.”
“Syukurlah
ngger.” sahut Panembahan Ismaya.
Sesaat kemudian
maka pembicaraan mereka menjadi semakin akrab. Panembahan Ismaya bertanya dari
satu soal ke soal lain, dari satu masalah ke masalah yang lain. Sehingga
akhirnya Panembahan itu berkata,
“Aku menjadi
berdebar-debar akan kedatangan angger berdua. Aku merasa mempunyai hutang
kepada kalian. Bukankah aku sanggup datang ke Gunung Kidul untuk mewakili orang
tua Mahesa Jenar. Nah, sekarang kalian telah datang untuk menagih janji. Tentu
akan segera aku penuhi. Kapan saja aku akan berangkat bersama angger berdua ke
Gunung Kidul.”
Mahesa Jenar
menundukkan wajahnya. Sedang wajah Rara Wiils menjadi merah padam. Namun
terdengar Mahesa Jenar menjawab.
“Terima kasih
Panembahan. Memang yang pertama kali, kedatanganku sengaja mengingatkan
Panembahan akan hal itu.”
“Aku tidak
pernah lupa ngger.” sahut Panembahan.
“Maksudku, aku
ingin mempercepat waktu. Ah. Aku memang sudah terlalu tua, sehingga aku agak
lambat berbuat sesuatu.”
Mahesa Jenar
itu menjadi gelisah ketika ia sampai pada maksud kedatangannya. Karena itu
dengan hati-hati ia ingin berkisar dari pembicaraan tentang dirinya kepada
persoalan yang sebenarnya dibawanya. Katanya,
“Panembahan,
sebenarnya disamping persoalanku pribadi itu, aku membawa persoalan lain, yang
aku kira cukup penting untuk aku sampaikan kepada Panembahan.”
Panembahan
Ismaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Ah, apakah
masih ada persoalan penting bagiku selain persoalan angger berdua? Aku kira
tidak. Aku tidak akan mampu untuk memikirkan persoalan-persoalan lain.”
“Panembahan”
berkata Mahesa Jenar,
“Kali ini
tidak ada orang lain yang dapat memecahkannya selain Panembahan.”
Panembahan tua
itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia berkata,
“Baiklah
ngger. Baiklah kau simpan dahulu persoalan-persoalan itu. Sekarang
beristirahatlah. Bukankah masih ada waktu nanti, besok atau lusa?”
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika ia ingin berkata lagi, dilihatnya
beberapa orang cantrik masuk ke dalam ruangan itu sambil membawa hidangan.
Sehingga karena itu, maka ia menjadi terdiam. Yang berkata kemudian adalah
Panembahan Ismaya.
“Marilah
ngger. Mungkin angger sudah lama tidak merasakan makanan pegunungan. Air daun
sere, nasi jagung dan sambal wijen.”
Sebenarnyalah
bahwa Mahesa Jenar dan Rara Wilis sedang lapar. Karena itu, maka mereka tidak
berkeberatan ketika Panembahan itu membawa mereka, menikmati hidangan para
cantrik itu. Tetapi kembali Mahesa Jenar menjadi kecewa. Meskipun kemudian
mereka telah selesai makan, namun Panembahan itu masih saja berkata.
“Jangan
tergesa-gesa. Beristirahatlah. Pondok sebelah barat sampai kini masih kosong.
Kebo Kanigara belum juga pulang sejak saat mereka pergi bersama Widuri ke
Banyubiru bersama angger berdua.”
Mahesa Jenar
benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk segera mengatakan maksudnya. Karena
itu, maka dengan kecewa mereka beristirahat di pondok sebelah barat. Pondok
yang dahulu pernah di tempatinya pula. Pondok itu masih juga seperti dahulu.
Dari ruangannya mereka dapat melihat pohon-pohon yang rindang. Kebun
bunga-bunga yang subur dan jauh dihadapannya mereka terbentang sebuah ngarai
yang subur pula, dimana para cantrik bercocok tanam. Mahesa Jenar berdesir,
ketika tiba-tiba saja teringat pula olehnya bahwa kebun bunga itu pernah
dirusaknya oleh Sawung Sariti dan kemudian oleh Sima Rodra betina dari Gunung
Tidar. Bulu-bulu kuduknya berdiri ketika dikenangnya, dibawah bukit itu pernah
terjadi suatu malam yang mengerikan.
DIMANA janda
Sima Rodra mengadakan semacam upacara untuk menyatakan kegembiraan mereka
setelah mereka berhasil menangkap Rara Wilis. Kebiadaban yang pernah terjadi
antara orang-orang dari golongan hitam itu. Tiba-tiba tanpa disengaja Mahesa
Jenar berpaling kepada Rara Wilis yang agaknya benar-benar merasa penat setelah
perjalanan yang berat itu.
“Wilis”
katanya,
“Kau ingat
daerah ini? Daerah yang pernah merayakan kehadiranmu di antara mereka? Kau
ingat?”
Rara Wilis
mengerutkan keningnya. Katanya,
“Apakah itu
pernah terjadi?”
“Ah,
seharusnya kau tidak akan dapat melupakan. Bukankah di bawah bukit ini kau
mendapat sambutan yang sangat meriah? Kau ingat tentu. Di bawah bukit ini
menunggu ibu tirimu yang akan mencarikan buat kau seorang menantu dari Nusa
Kambangan.”
“Ah,”
tiba-tiba Rara Wilis bangkit dan dengan kedua tangannya ia mencubit Mahesa
Jenar sekeras-kerasnya.
Mahesa Jenar
menyeringai kesakitan. Katanya,
“Wilis, apakah
kau sedang mengetrapkan aji Cunda Manik.”
Rara Wilis
mencubit semakin keras, dan Mahesa Jenar itu terpaksa berkata,
“Sudahlah.
Sudah. Aku bertobat sekarang.”
“Kalau kakang
menyebutnya sekali lagi,” jawab Rara Wilis.
“Maka aku
benar-benar akan mengetrapkan aji Cunda Manik. Aku tidak takut seandainya
kakang melawan dengan Sasra Birawa.”
“Akulah yang
takut,” sahut Mahesa Jenar.
Rara Wilis itu
pun duduk kembali. Namun kengerian benar-benar telah merayapi dadanya. Sehingga
karena itu, maka tiba-tiba ia merenung.
Ruangan itu
kemudian menjadi sunyi. Angin pegunungan berhembus perlahan-lahan
menggoyang-goyangkan perdu di halaman. Terasa silirnya angin mengusap
tubuh-tubuh mereka, sehingga terasa betapa sejuknya udara pegunungan itu.
No comments:
Post a Comment