Bagian 102


TETAPI Arya Salaka tidak mendengarnya. Ia berlari terus ke kandang kudanya. Dengan tergesa-gesa dipasangnya pelana kudanya dan ditariknya kuda itu keluar kandang. Sesaat kemudian terdengarlah derap kuda itu perpacu keluar halaman rumah Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi sesaat kemudian menyusul dua ekor kuda berlari seperti angin ke arah yang bersamaan. Mereka adalah Mahesa Jenar dan Ki Ageng Gajah Sora sendiri yang tidak sampai hati melepas Arya Salaka yang sedang kebingungan itu. Apalagi Mahesa Jenar yang menyadari, bahwa tingkat ilmu Arya Salaka masih belum dapat disejajarkan dengan ilmu Mas Karebet yang aneh itu. Sehingga dengan demikian, seandainya mereka benar-benar bertemu, maka nasib Arya Salaka terlalu mencemaskan. Mereka yang tinggal di pendapa rumah itu duduk membeku dalam kesuraman sinar pelita. Nyala api yang kemerah-merahan bergerak-gerak ditiup angin yang lemah. Daun-daun sawo di halaman bergoyang-goyang seperti sedang menarikan sebuah tarian yang pedih. Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang bergelora di dalam dadanya. Tampaklah membayang di matanya kegelisahan dan kecemasan. Kadang-kadang ia menarik nafas dalam-dalam, dan kadang-kadang ia memejamkan matanya. Sesuatu yang maha berat sedang menghimpit hatinya, namun hatinya itu berdoa kepada Yang Maha Agung, semoga semuanya dapat selesai dengan sebaik-baiknya.

Arya Salaka yang berpacu di dalam gelap itu, benar-benar seperti orang yang mabuk. ia tidak ingat lagi bahaya yang dapat menerkamnya. Jurang-jurang yang terjal dipinggir jalan atau apapun yang dapat membahayakan perjalanannya. Yang ada dikepalanya hanyalah seorang anak muda yang bernama Karebet, seorang yang pernah dikagumi dan bahkan mereka pernah bergaul dengan rapatnya sebagai dua orang sahabat yang akrab.
“Kenapa kakang Karebet itu sampai hati berbuat demikian” desah Arya Salaka didalam hatinya.
“Tetapi, apapun yang pernah terjadi, sikap yang baik dan persahabatan yang akrab, namun bukan salahku kalau persahabatan itu kini pecah. Kenapa kakang Karang Tunggal tidak saja berkata terus terang dan membicarakannya dengan orang tua-tua.”
Semakin diangan-angankannya, maka darah Arya semakin meluap-luap. Arya Salaka seakan-akan tidak sabar lagi menunggu sampai di perbatasan arah Sendang Muncul. Tetapi akhirnya ia sampai juga ke tempat itu. Tempat yang sepi senyap. Dilihatnya beberapa onggok batu karang berserak-serakan di antara gerumbul-gerumbul yang bertebaran disana-sini. Arya Salaka yang marah itu menghentikan kudanya. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Diamatinya relung-relung hitam diantara batu-batu karang dan di bawah rimbunnya gerumbul-gerumbul yang ada disekitarnya. Tetapi Arya Salaka tidak mendengar suara apapun juga, seakan-akan daerah itu daerah pekuburan yang mengerikan. Tetapi Arya Salaka tidak puas dengan tajam matanya. Segera ia meloncat turun, dan dengan hati yang melonjak-lonjak ia berlari-lari mengelilingi daerah itu. Disasaknya gerumbul-gerumbul yang rimbun dan ditembusnya kegelapan malam di sela-sela batu karang. Tetapi yang dicarinya tidak diketemukannya.

Arya Salaka itu seakan-akan telah benar-benar kehilangan kesadaran diri. Tiba-tiba ia meloncat naik ke atas batu karang sambil berteriak keras-keras.
“He Karebet. Jangan menunggu Purnama naik. Inilah Arya Salaka dari Banyubiru. Kita selesaikan persoalan kita tanpa menunda-nunda. Buat apa kau lakukan perbuatan terkutuk itu. He. Karebet. Karebet………”
Suara Arya Salaka menggeletar memukul tebing-tebing pegunungan. Suara gemanya bersahut-sahutan mengumandang di lereng bukit Telamaya. Namun suara itu menggeletar tanpa arti. Tak seorang pun yang menyahut. Arya Salaka menjadi semakin marah. Sekali lagi ia berteriak.
“Karebet. Dengan mengumpankan gadis itu, apakah kau akan diangkat menjadi Adipati. He. Marilah kita berhadapan sebagai jantan sejati. Tidak perlu dengan pasukan segelar sapapan. Karebet……”
Suara itu pun menggelepar di kesunyian malam. Gemerisik angin pegunungan membawa udara yang dingin sejuk. Helai-helai daun yang kuning berguguran satu-satu di tanah yang lembab oleh embun. Namun suara Arya Salaka itu hilang saja disapu hembusan angin.
Arya Salaka mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara telapak kuda mendekat. Ia tahu betul, bahwa mereka itu adalah orang-orang Banyubiru. Mungkin ayahnya, mungkin orang lain. Tetapi ia tidak mempedulikannya. Ia masih saja tegak di atas batu karang. Bulan yang hampir bulat telah melekat di ujung pepohonan. Sinarnya telah memerah dan hampir tenggelam. Namun cahayanya yang dipantulkan oleh wajah Rawa Pening, masih tampak kuning kemerahan, berkilat-kilat.
“Arya” terdengar suara lembut dari bawah batu karang itu.

Arya yang sedang dibakar oleh kemarahannya itu, masih juga mendengar suara itu. Suara yang telah dikenalnya baik-baik, melampaui ayahnya sendiri. Suara itu adalah suara gurunya. Meskipun demikian untuk sesaat ia masih berdiam diri di atas batu karang itu. Gelora kemarahannya yang menghentak dadanya belum juga dapat ditenangkannya.
“Arya” suara itu didengarnya kembali. Betapa ia dihanyutkan oleh kemarahannya, namun suara itu benar-benar berpengaruh padanya. Karena itu maka Arya itu pun berpaling. Dilihatnya di dalam keremangan malam, dua orang yang masih duduk di atas punggung kuda. Gurunya, Mahesa, dan ayahnya Gajah Sora.
“Arya” kali ini ia mendengar suara ayahnya.
“Turunlah.”
Arya masih berdiri di atas batu karang itu. Sekali tatapan matanya menyangkut pada bulan yang telah hampir lenyap di balik pepohonan yang tumbuh di lereng bukit. Tiba-tiba ia berkata nyaring.
“Lihatlah ayah. Bulan hampir purnama. Aku harus segera bersiap untuk menyambut Karebet di hutan Prawata.”
“Sabarlah Arya” desis Mahesa Jenar.
“Turunlah, marilah kita bicarakan soalmu ini.”
Arya termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa di atas batu karang itu. Di atas batu karang itu tidak ditemuinya Karebet dan juga akan ditemuinya gadis yang hilang. Karena itu maka segera ia pun meloncat turun.
“Sebaiknya kau tenangkan hatimu Arya,” berkata Mahesa Jenar.

Arya Salaka tidak menjawab. Dipandang wajah ayahnya yang duduk diam di atas punggung kudanya. Tetapi di dalam malam yang remang ia tidak mendapat sesuatu kesan dalam wajah itu. Selain, tegang.
“Marilah kita pulang dahulu,” ajak Mahesa Jenar.
Arya Salaka tidak menjawab. Ia masih mencoba memandang tempat-tempat yang gelap disekelilingnya.
“Anak itu sudah pergi,” desis ayahnya.
Arya menggeretakkan giginya. Namun perlahan-lahan ia menuju kekudanya.
”Naiklah. Biarlah kita bicarakan semuanya ini di rumah,” berkata ayahnya mendesak.
Arya Salaka itu kemudian menjadi seakan-akan kehilangan segala-galanya. Ia menjadi bingung, cemas, marah dan tanggapan yang simpang siur atas perbuatan Karebet itu. Dengan hati yang kosong ia meloncat ke atas punggung kudanya, dan dengan lesunya ia mendorong kudanya berjalan kembali ke rumahnya. Rumah yang seakan-akan menjadi terlalu sunyi. Lebih sunyi dari tempat ini.
Perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke rumah Gajah Sora. Arya Salaka tidak mampu lagi melecut kudanya dan melarikannya. Ia lebih tenang berjalan perlahan-lahan dalam malam yang semakin gelap karena bulan kini telah benar-benar tenggelam. Tetapi dikejauhan telah terdengar kokok ayam jantan untuk ketiga kalinya. Arya Salaka menengadahkan wajahnya. Betapa pun juga ia tidak dapat melupakan kewajibannya. Karena itu ia mempercepat langkah kudanya, sebelum ia terlambat untuk melakukan sembahyang subuh. Mahesa Jenar dan Gajah Sora yang berkuda di belakangnya, tak sepatah kata pun terloncat dari bibir mereka. Mereka seakan-akan onggokan benda-benda mati yang terikat erat-erat di atas punggung kuda. Ketika matahari mulai melemparkan cahayanya yang pertama, menyentuh ujung-ujung pepohonan, Mahesa Jenar telah dikejutkan oleh ringkik-ringkik kuda di halaman.
Dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar menghampirinya dan bertanya kepadanya.
“Akan kemanakah Ki Ageng sepagi ini?”
“Aku akan kembali ke Pamingit,” jawab Ki Ageng Lembu Sora.
“Oh” Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Namun betapa pun juga timbul pula prasangkanya. Dalam kesibukan yang semakin memuncak ini justru Ki Ageng Lembu Sora akan kembali ke Pamingit. Karena itu maka ia bertanya pula.
“Apakah ada sesuatu keperluan yang mendesak?”

KI Ageng Lembu Soralah yang kini memandang Mahesa Jenar dengan heran. Apakah Mahesa Jenar belum tahu apa yang akan dilakukan oleh Arya Salaka? Meskipun demikian ia menjawab juga.
“Saat purnama naik hanya tinggal beberapa hari lagi. Aku tidak akan dapat tinggal diam. Pasukan Pamingit akan membantu Arya Salaka menghadapi Karebet di hutan Prawata.”
“He” Mahesa Jenar benar-benar terkejut seperti disambar petir melesat.
Jadi Arya Salaka telah mengambil keputusan yang berbahaya itu? Tubuh Mahesa Jenar itu pun menjadi gemetar karenanya, sehingga sesaat ia tidak dapat berkata apa-apa. Ditatapnya saja wajah Ki Ageng Lembu Sora yang bersungguh-sungguh itu. Baru kemudian ia berhasil menenangkan hatinya, dan berkata,
“Ki Ageng apakah itu merupakan keputusan Ki Ageng Gajah Sora dan Ki Ageng Sora Dipayana pula?”
“Kakang Gajah Sora dan ayah Sora Dipayana tak berhasil mencegah Arya Salaka. Dan bukankah ini soal kehormatan pula? Kehormatan Banyubiru dan seluruh tanah perdikan Pangrantunan lama termasuk Pamingit? Arya telah membantu dan membebaskan Pamingit dari genggaman orang-orang golongan hitam beberapa waktu lampau. Apakah sekarang, aku harus membiarkan kehormatan Arya Salaka diinjak-injak orang lain?”
“Hem” Mahesa Jenar menarik nafas. Ki Ageng Lembu Sora masih juga kejangkitan penyakitnya yang lama, meskipun dalam persoalan yang lain. Harga diri yang berlebih-lebihan dan nafsu untuk memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Tetapi kali ini Ki Ageng Lembu Sora tidak mutlak bersalah seperti apa yang dahulu pernah dilakukan. Bahkan kini ia merasa berkuwajiban untuk membalas kebaikan hati Arya Salaka. Karena itu maka Mahesa Jenar itu pun berkata,
“Baiklah aku mencoba menemui kakang Gajah Sora”.
Ki Ageng Lembu Sora memandangi Mahesa Jenar dengan pandangan yang aneh. Apakah guru Arya Salaka itu tidak sependapat seandainya Arya Salaka memenuhi tantangan Karebet? Tetapi Lembu Sora itu pun kemudian tidak menghiraukannya lagi. Kembali ia mempersiapkan dirinya untuk segera berangkat ke Pamingit, memilih orang-orang yang paling dipercaya untuk ikut berangkat ke hutan Prawata nanti pada saat purnama naik beberapa hari lagi. Dengan demikian, maka sebelumnya pasukannya harus siap pula di Banyubiru.

Dengan tergesa-gesa Mahesa Jenar mencari Ki Ageng Gajah Sora yang duduk di serambi belakang rumahnya bersama-sama dengan Arya Salaka. Wajah anak muda itu tampak merah membara sedang tangannya menggenggam tangkai sebuah pisau belati panjang yang berwarna kuning berkilat-kilat, Kiai Suluh. Ketika mereka melihat Mahesa Jenar mendatangi mereka, maka Ki Ageng Gajah Sora itu pun mempersilakannya duduk bersama mereka. Ketika terpandang oleh Arya Salaka wajah gurunya yang tenang dalam, terasa hatinya bergetar dahsyat. Tanpa disengaja ia menundukkan wajahnya.
”Kakang” berkata Mahesa Jenar kepada Ki Ageng Gajah Sora.
“Agaknya Ki Ageng Lembu Sora segera akan kembali ke Pamingit.”
Ki Ageng Gajah Sora menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya” sahutnya pendek.
“Dari Ki Ageng Lembu Sora aku mendengar segala-galanya tentang keputusan Arya Salaka.”
Kembali Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Apakah Ki Ageng Gajah Sora berpendapat demikian?” bertanya Mahesa Jenar kemudian.
Ki Ageng Gajah Sora itu diam mematung. Ditatapnya pohon-pohon nyiur yang tumbuh di halaman belakang rumahnya. Sekali-kali daunnya bergerak ditiup angin pagi dan cahaya matahari yang bermain-main di halaman menjadi bergerak-gerak pula. Sesaat Ki Ageng tidak tahu, bagaimana ia harus menjawab. Namun kemudian terdengar suaranya serak.
“Ya. Apa boleh buat.”
Mahesa Jenar menarik keningnya. Tampak beberapa kerut-kerut tumbuh didahinya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Sudahkah kakang mempertimbangkannya masak-masak.”
Mendengar pertanyaan itu Arya Salaka mengangkat wajahnya. Dipandangnya wajah gurunya dengan penuh pertanyaan. Apakah gurunya tidak sependapat dengan keputusan itu? Arya kemudian melihat ayahnya menundukkan wajahnya. Pertanyaan Mahesa Jenar benar-benar telah menggoncangkan jantungnya.
“Ya, apakah keputusan itu sudah sebaik-baiknya?”

Pertanyaan itu timbul pula di dalam hatinya. Tetapi ketika dipandanginya wajah anaknya yang merah padam, timbul pula kasihan di dalam dirinya. Anak satu-satunya yang dengan gigih telah berjuang untuk kepentingan tanah perdikan ini. Bahkan, ia di bawah asuhan Mahesa Jenar itu sendiri? Ketika Gajah Sora tidak segera menjawab, maka Mahesa Jenar itu pun kemudian langsung bertanya kepada Arya Salaka, katanya,
“Arya. Apakah kau telah membayangkan apa saja yang kira-kira dapat terjadi dengan keputusan itu?”
Arya Salaka ragu-ragu sejenak. Tetapi dorongan yang kuat di dalam hatinya memaksakan menjawab.
“Tak ada pilihan lain paman.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Katanya,
“Apakah kau telah mencobanya?”
Arya mengerutkan alisnya. Desisnya,
“Apa yang dapat dicoba?”
“Arya” berkata Mahesa Jenar.
“Dalam persoalan ini masih harus dicari sumber yang menyebabkannya. Kalau ternyata Karebet berbuat demikian atas perintah Baginda, maka soalnya menjadi jelas. Namun kalau perbuatan itu dilakukannya atas kehendak sendiri untuk mendapatkan hadiah atau pangkat atau apapun, maka akan ternyata bahwa kau terlalu tergesa-gesa. Mungkin Baginda sendiri akan menolak persembahan itu. Dan masih ada seribu satu macam kemungkinan yang lain.”
“Tidak paman”, jawab Arya tegas.
Mahesa Jenar terkejut mendengar jawaban itu. Belum pernah Arya bersikap demikian kerasnya kepadanya. Dan ternyata Arya itu berkata terus.
“Sudah jelas dikatakannya, bahwa Karebet mengambil Widuri untuk Pangeran Timur. Kalau perintah itu tidak turun dari istana, apakah Karebet berani mempersembahkan seorang yang hanya diambilnya dari pegunungan? Apakah itu bukan merupakan penghinaan bagi Pangeran Timur dan Baginda sendiri? Tetapi hal itu pasti sudah menjadi pilihan Pangeran Timur. Paman, seandainya hal itu dilakukan baik-baik, maka hatiku tidak akan merasa dihinakan.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ketidakwajaran dalam persoalan ini. Hampir-hampir ia berkata, bahwa apakah hak Arya Salaka untuk marah? Hanya karena penghinaan yang dilontarkan oleh Karebet itu? Dan kenapa Karebet itu sengaja memancing kemarahan Arya Salaka? Tetapi Mahesa Jenar tidak mengatakannya. Disadarinya bahwa hati Arya Salaka benar-benar sedang gelap. Dan Mahesa Jenar pun dapat memahami kegelapan hati itu. Dikenangnya kemudian, ketika ia kehilangan Rara Wilis di Pliridan beberapa tahun yang lalu. Seorang yang tidak tahu sebab musababnya, Sagotra, hampir-hampir dicekiknya sampai mati. Namun kini Arya Salaka menghadapi persoalan itu tidak seorang diri seperti dirinya pada saat itu. Tetapi di belakangnya akan terlibat beratus-ratus orang. Mahesa Jenar itu pun hanya dapat merenung. Ia tidak dapat mencegah muridnya dalam keadaan itu, kalau ia tidak ingin kehilangan kewibawaan atas muridnya itu. Sebab hampir pasti, bahwa Arya Salaka tidak akan mendengarnya. Tetapi sudah tentu bahwa hatinya akan menjadi hancur pula, apabila ia harus menyaksikan pertentangan yang pecah antara Banyubiru dan Demak. Beberapa tahun yang lampau ia berusaha mati-matian untuk menghindarkan pertentangan itu. Pertentangan yang timbul karena persoalan yang bagi Demak jauh lebih bernilai. Persoalan yang ditimbulkan karena keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten, meskipun ternyata hanya karena kesalahpahaman saja. Kini soal itu adalah soal seorang gadis. Tetapi bagi Arya Salaka persoalan ini adalah persoalan harga diri, kehormatan dan yang lebih penting adalah gairah bagi masa depannya. Mahesa Jenar itu pun kemudian meninggalkan serambi belakang rumah Ki Ageng Gajah Sora. Arya Salaka pun kemudian pergi pula menemui beberapa orang pimpinan Banyubiru untuk menyiapkan laskarnya.

Sedang untuk beberapa saat Ki Ageng Gajah Sora masih duduk merenung di tempatnya. Terbayanglah apa yang pernah dilakukannya sendiri pada saat itu. Justru pada saat dirinya akan ditangkap oleh prajurit-prajurit Demak. Pada saat ia mendapat tuduhan menyembunyikan keris-keris pusaka istana Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Pada saat itu ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika ia melihat kibaran panji-panji Gula Kelapa diantara sepasukan Manggala pati. Bendera yang melambangkan kebesaran Demak. Lebih dari itu, bendera yang melambangkan persatuan dan kesatuan. Apakah sekarang ia akan membiarkan anaknya melawan Demak. Melawan persatuan dan kesatuan itu. Hati Gajah Sora itu pun tiba-tiba menjadi hancur. Hancur seperti yang pernah dialaminya beberapa tahun yang lalu. Tetapi ia kini tidak mampu mencegah anaknya berbuat demikian. Tiba-tiba ia tersadar ketika Ki Ageng Lembu Sora masuk menemuinya. Adiknya itu segera akan minta diri untuk kembali ke Pamingit. Menyiapkan pasukannya untuk membantu Arya Salaka memaksa Baginda Sultan Trenggana mengurungkan niatnya, mengambil Endang Widuri untuk puteranya. Semuanya kemudian berjalan di luar kemauan Ki Ageng Gajah Sora. Beberapa kali ia berusaha mencegah anaknya melanjutkan niatnya, namun ia tidak juga berhasil. Bukan saja Ki Ageng Gajah Sora, tetapi Mahesa Jenar dan Ki Ageng Sora Dipayana.
Namun Arya Salaka tetap pada pendiriannya. Merebut Endang Widuri dengan segala akibatnya. Sedang Gajah Sora yang merasa seolah-olah Arya Salakalah yang telah mempertahankan kedudukannya di Banyubiru, baik dari tangan Lembu Sora maupun dari tangan golongan hitam, maka ia tidak sampai hati untuk mempergunakan kekuasaan mencegah laskar Banyubiru untuk mengambil bagian dalam kemarahan Arya Salaka itu.

Tetapi Mahesa Jenar tidak segera berputus asa. Dibiarkannya Arya Salaka mempersiapkan dirinya. Mempersiapkan laskarnya dan bahkan dengan laskar Pamingit sekalipun. Namun ia masih berusaha untuk mencari jalan keluar. Diotak-atiknya persoalan itu. Direntang-digulung, diurai-dilipatnya. Dihubung-hubungkannya setiap persoalan dan setiap sikap dari orang-orang yang berkepentingan. Dan akhirnya Mahesa Jenar mengambil suatu sikap, betapa pun berat hatinya untuk melakukannya. Menemui Kebo Kanigara seorang diri. Malam itu Mahesa Jenar memenuhi maksudnya. Ditemuinya Kebo Kanigara yang sedang merenung di dalam bilik yang disediakan untuknya. Ketika Kebo Kanigara melihat kehadiran Mahesa Jenar, maka tampaklah ia terkejut. Dengan tergesa-gesa ia mempersilakan Mahesa Jenar masuk ke dalam bilik itu.
“Terima kasih kakang”, sahut Mahesa Jenar sambil duduk dipembaringan Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berkumpul dalam waktu yang lama. Setiap kali mereka bertemu dan bercakap-cakap. Setiap kali mereka mempersoalkan berbagai masalah yang paling ringan sampai yang paling berat. Setiap kali mereka berbuat bersama-sama dan mereka pun ternyata memiliki unsur kekuatan yang sama. Mereka bersama-sama adalah tetesan dari sumber kekuatan Ki Ageng Pengging Sepuh. Tetapi pertemuan mereka kali ini terasa amatlah canggungnya. Mereka berdua tidak segera menyadari apakah sebabnya dari kecanggungan itu, namun terasa ada sesuatu yang diantara mereka yang kurang sewajarnya.Setelah mencobanya menenangkan hatinya, maka Mahesa Jenar mencoba mulai dengan persoalannya. Katanya,
“Kakang. Apakah kakang tidak ingin melihat persiapan Arya Salaka yang akan membantu kakang mengambil kembali Widuri dari tangan Karebet?”
Kebo Kanigara menarik alisnya. Ditatapnya keheningan malam di luar pintu biliknya. Di samping dinding didengarnya jengkerik seolah-olah lagi menangis. Menangisi mereka yang tak akan dapat dijumpainya. Dalam kesenyapan itu terdengar Kebo Kanigara berkata,
“Aku akan mengucapkan terima kasih atas kesediaan Arya Salaka, Mahesa Jenar.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Semua berjalan dengan baik, kakang. Laskarnya memiliki tekad yang tinggi. Mereka berniat mempertahankan kehormatan nama kakang Kebo Kanigara dan Arya Salaka. Bahkan laskar Pamingit pun akan segera datang dan membantu Arya Salaka pula.”

Kebo Kanigara terdiam. Wajahnya menjadi tegang. Dan punggungnya menjadi basah oleh keringat.
“Nanti pada saat purnama naik, Arya sudah bersedia mengepung Baginda yang sedang berburu. Aku tidak tahu, apakah Baginda menyadari hal itu. Apakah Baginda menyangka bahwa Arya Salaka dan laskar Banyubiru tidak akan berani berbuat demikian sehingga Baginda tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Namun menilik kata-kata Karebet, maka Baginda pasti telah menyiapkan Wira Tamtama dan bahkan mungkin kesatuan-kesatuan yang lain”.
Kebo Kanigara masih berdiam diri. Keringatnya semakin banyak mengaliri punggungnya. Dan kembali terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Kakang, kalau terjadi pertempuran antara kedua pasukan itu, maka alangkah ramainya. Kalau Baginda telah siap menghadapi Arya Salaka, maka laskar Banyubiru pasti akan tumpas. Beratus-ratus orang Banyubiru dan Pamingit akan menjadi korban. Tetapi kalau Baginda tidak mempersiapkan dirinya, maka laskar Demaklah yang akan binasa. Baginda akan terancam jiwanya karena kemarahan yang meluap-luap. Dan Arya Salaka untuk seterusnya akan bergelar seorang pemberontak yang baik, yang telah berhasil membunuh rajanya sendiri.”
“Sudahlah Mahesa Jenar,” potong Kebo Kanigara. Suaranya perlahan-lahan dan parau.
“Aku sudah menyangka bahwa hal-hal yang demikian dapat terjadi.”
“Ya. Aku juga menganggap bahwa kakang sudah dapat membayangkannya. Lalu bagaimana dengan kita kakang? Apakah sebaiknya kita ikut juga dalam pertempuran itu?”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa dadanya bergelora. Namun ia tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Sesaat bilik itu menjadi sunyi. Mereka berdua duduk mematung. Namun ternyata bahwa wajah-wajah mereka menjadi tegang.
Yang mula-mula berkata di antara mereka adalah Mahesa Jenar. Dengan penuh tekanan ia berkata.
“Bagaimanakah sebaiknya kakang, apakah kita juga akan berada dalam pasukan itu?”

“MENYELESAIKAN persoalan ini tanpa pertumpahan darah. Tanpa memberikan kemungkinan yang pahit itu. Tanpa memungkinkan kebinasaan baik laskar Banyubiru, maupun Demak.”
“Apakah aku mampu berbuat demikian?”
“Tentu,” jawab Mahesa Jenar.
“Kakang tentu mampu. Seharusnya kakang sudah berhasil mencari Karebet dan memaksanya mengembalikan Widuri. Atau kalau Widuri benar-benar dikehendaki oleh Pangeran Timur, maka kakang dapat menjelaskan persoalannya.”
“Sulit bagiku Mahesa Jenar.”
“Kakang,” wajah Mahesa Jenar menjadi tegang pula.
“Maafkan aku kakang. Sebenarnya aku sedang menduga, apakah sebenarnya kakang hendak menjauhkan Widuri dari Arya Salaka? Atau kakang sebenarnya sedang mengangkat sebuah neraca antara Arya Salaka dan Pangeran Timur. Namun, kakang tidak sampai hati memberitahukannya kepada keluarga Arya Salaka?”
“Mahesa Jenar” potong Kebo Kanigara.
“Jangan kau katakan itu. Aku bukan orang gila. Aku masih sehat dan dapat berpikir sebaik-baiknya.”
“Tetapi apa yang kakang lakukan benar-benar menimbulkan berbagai pertanyaan di dalam hatiku. Apakah kakang sengaja memancing pertentangan dan membinasakan Arya Salaka untuk menyelesaikan persoalan ini.”
“Cukup. Cukup Mahesa Jenar.”
“Beri aku penjelasan kakang. Beri aku penjelasan supaya aku dapat mengerti jalan pikiran kakang. Apakah kakang Kebo Kanigara akan mempergunakan Arya Salaka untuk membinasakan Sultan Trenggana karena dendam kakang atas runtuhnya keluarga kakang dan lenyapnya kesempatan bagi trah Handayaningrat, apalagi dengan terusirnya Karebet dari istana Demak?”

Wajah Kebo Kanigara itu tiba-tiba menjadi suram. Demikian suramnya sehingga Mahesa Jenar terhenti dengan sendirinya. Ia mengharap Kebo Kanigara membela diri dan menyatakan alasan-alasan yang sebenarnya. Tetapi Kebo Kanigara itu berkata.
“Sampai hati kau menuduh aku demikian Mahesa Jenar?”
Mahesa Jenar pun kini terdiam sesaat. Hatinya menjadi sedemikian risaunya sehingga terpaksa ia mengeluh pula.
“Alangkah rumitnya persoalan kali ini. Kakang, jadi kakang telah bertekad dan membiarkan Arya membuat penyelesaian menurut caranya?”
Kebo Kanigara masih menundukkan wajahnya. Terasa benar pada wajahnya yang suram itu pergolakan di dalam hatinya. Hati yang selama ini selalu tenang dan tenteram. Namun hati itu kini bergelora seperti lautan yang dilanda angin lautan yang dahsyat.
Perlahan-lahan Kebo Kanigara itu menjawab.
“Untuk sementara, Mahesa Jenar. Sebelum aku menemukan cara yang lain.”
Mahesa Jenar menarik nafas. Ia tidak akan berhasil untuk mengubah pendirian Kebo Kanigara yang aneh dan tidak dapat dimengertinya. Tetapi ia yakin seyakin-yakinnya, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Namun betapapun juga alasannya, apakah ia akan dapat melihat bentrokan yang terjadi antara Banyubiru dan Demak di hutan Prawata nanti? Apakah ia akan dapat melihat laskar Banyubiru binasa? Laskar yang telah berhasil melepaskan diri dari satu ujian yang maha berat, membebaskan diri mereka dari orang-orang golongan hitam. Dan kini mereka akan terperosok ke dalam kehancuran yang mutlak? Sedang apabila Sultan tidak berprasangka akan datangnya bahaya itu, apakah ia juga akan dapat melihat bagian kecil dari laskar Demak dan mungkin Sultan sendiri binasa?
Mahesa Jenar itu menggeram. Dadanya serasa benar-benar akan pecah. Namun sementara itu, ia pun tidak akan dapat berbuat apa-apa. Karena itu, maka dengan nada yang dalam ia minta diri kepada Kebo Kanigara itu, katanya
“Baiklah kakang. Biarkan kakang beristirahat malam ini. Mungkin pekerjaan kakang akan menjadi semakin banyak besok.”
Kebo Kanigara menggigit bibirnya. Jawabnya lemah.
“Baiklah Mahesa Jenar.”

Mahesa Jenar itu pun kemudian segera meninggalkan bilik Kebo Kanigara. Di halaman ia mendengar kentongan dikejauhan dalam nada dara muluk.
“Tengah malam” gumamnya. Dan sesaat kemudian para penjaga di halaman itu pun memukul kentongannya pula dalam nada yang sama. Ketika Mahesa Jenar kemudian menengarahkan wajahnya, maka dadanya berdesir. Dilihatnya bulan yang hampir bulat mengapung di langit dengan tenangnya. Sehelai-helai awan yang tipis terbang menyapu wajah bulan itu. Di langit yang biru, kelelawar berterbangan berkejar-kejaran seperti sedang bergurau. Tetapi Mahesa Jenar sama sekali tidak tertarik pada kelelawar, pada awan dan bintang-bintang di langit. Yang sangat menarik perhatiannya adalah bulan yang hampir penuh itu. Sehingga perlahan-lahan ia bergumam sendiri.
“Empat hari lagi purnama penuh akan naik. Pada saat itu, Sultan Trenggana akan membuat perkemahan di hutan Prawata. Pada saat itu Arya Salaka akan mengepungnya dan menuntut Widuri kembali. Kalau mereka tidak menemukan kata sepakat, maka keduanya akan bertempur dan akan saling membinasakan.”

KEMBALI Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Udara yang dingin menyentuh dadanya dan terdengar ia berdesah perlahan-lahan. Telah terbayang di matanya, mayat yang bergelimpangan. Mayat kawan dan mayat lawan. Bukan. Sama sekali bukan lawan. Keduanya adalah kawan. Sebab keduanya adalah isi dari kerajaan yang seharusnya berada dalam persatuan dan kesatuan yang bulat. Tetapi sudah hampir pasti bahwa mereka tidak akan pernah menemukan kata sepakat. Seandainya benar Baginda menerima Endang Widuri, maka Baginda sudah tentu tidak akan bersedia menyerahkan apabila di hadapannya telah mengancam sepasukan laskar. Tetapi mungkin Baginda akan bersedia apabila ayah gadis itu sendiri datang kepadanya dan menjelaskan persoalannya dengan baik. Tetapi Kebo Kanigara tetap dalam pendiriannya.
“Aneh” sekali lagi ia bergumam.
“Aneh, dan tidak wajar.”
Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar di dalam dada Mahesa Jenar itu. Ia dengan tiba-tiba saja teringat, bahwa masih ada seorang yang dapat mempengaruhi pendapat Kebo Kanigara. Kalau orang itu dapat mengerti persoalannya, dan bersedia memanggil Kebo Kanigara, maka persoalannya masih mungkin dipecahkan. Karena itu, maka timbullah kembali harapan di dalam dada Mahesa Jenar. Dengan langkah yang tetap ia kemudian masuk ke dalam biliknya untuk beristirahat. Mudah-mudahan ia akan dapat menyelesaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Tetapi malam itu Mahesa Jenar tidak dapat beristirahat sama sekali. Kalau ia sesaat dapat memejamkan matanya dan lupa diri, maka seakan-akan sesuatu yang berat menghimpit dadanya, sehingga tergagap ia bangun kembali. Berulang-ulang dan bahkan kadang-kadang tubuhnya serasa menjadi kejang. Meskipun ia menyadari dirinya bahwa ia tidak sedang bermimpi, namun untuk beberapa lama ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya.
“Hem” Mahesa Jenar itu menggeram. Sebagai seorang yang terlatih, maka ia mampu menguasai tubuhnya dengan sebaik-baiknya. Namun dalam kerisauan ini, Mahesa Jenar seakan-akan benar-benar menjadi terganggu lahir dan batinnya. Ketika ia bangkit dari pembaringannya di pagi-pagi benar, maka dilihatnya Rara Wilis sedang membantu Nyai Ageng menghidangkan minuman kepada mereka yang berada di dalam rumah itu, kepada Ki Ageng Gajah Sora sendiri dan tamu-tamunya. Ketika Rara Wilis itu masuk ke dalam bilik Mahesa Jenar, tampaklah gadis itu terkejut.
Dan tanpa sesadarnya ia menyapa.
“Kakang, apakah kakang sedang sakit?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Tidak Wilis. Aku tidak sedang sakit. Kenapa?”
“Kakang pucat sekali.”
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Mungkin benar kata Rara Wilis, bahwa ia pucat sekali. Sambil menggosok wajahnya Mahesa Jenar itu berkata,
“Wilis duduklah sebentar. Ada yang ingin aku katakan kepadamu.” Rara Wilis itu pun segera duduk di samping Mahesa Jenar. Wajahnya pun memancarkan berbagai pertanyaan. Karena itu tidak hampir sabar ia menunggu Mahesa Jenar berkata,
“Wilis. Nanti aku antar kau pulang ke Gunung Kidul”.

Rara Wilis terkejut bukan kepalang. Sesaat ia terbungkam dan wajahnya menjadi pucat. Ia sama sekali tidak tahu maksud Mahesa Jenar itu.
“Jangan terkejut Wilis,” sambung Mahesa Jenar.
“Aku tidak berkata sebenarnya. Tetapi aku hanya ingin kau membantuku menyelesaikan persoalan ini.”
“Oh” Rara Wilis menarik nafas dalam-dalam.
“Kakang mengejutkan aku.”
“Tetapi kau harus menjawab demikian kepada siapa pun juga, bahwa aku hari ini akan mengantarkan kau pulang ke Gunung Kidul.”
Rara Wilis itu mengangguk kosong. Namun sama sekali tidak tahu maksud Mahesa Jenar itu.
“Pergilah ke Ki Ageng Pandan Alas. Kau harus mohon diri pula kepada semua orang di sini. Katakan bahwa kau ingin sekali segera kembali.”
Sekali lagi Rara Wilis itu mengangguk. Dan setelah Mahesa Jenar memberinya beberapa pesan, maka mulailah Rara Wilis menyampaikan maksud itu kepada Nyai Ageng Gajah Sora beserta keluarganya.
Tentu saja semuanya yang mendengar keinginan itu terkejut bukan kepalang. Ki Ageng Gajah Sora, Arya Salaka dan orang-orang lain. Bahkan Kebo Kanigara hampir tak dapat berkata apapun mendengar maksud itu. Dengan penuh harapan mereka mencegah maksudnya itu. Namun, Rara Wilis dan Mahesa Jenar tidak dapat diminta untuk menunda kepergian itu. Bahkan Arya Salaka yang dengan penuh permintaan mengharap gurunya mengurungkan niatnya, namun Mahesa Jenar tetap pada pendiriannya.
Katanya kepada Arya Salaka.
“Aku akan kembali tepat pada saat Purnama naik, atau bahkan sebelumnya. Aku akan ikut ke hutan Prawata dan aku akan menyaksikan apa yang terjadi”.

Ki Ageng Pandan Alas yang tenang-tenang saja melepaskan Mahesa Jenar dan Rara Wilis pergi. Rara Wilis telah mengatakan apa yang didengarnya dari Mahesa Jenar. Namun bahwa orang tua itu tidak ikut serta, adalah merupakan suatu pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh orang-orang Banyubiru. Mahesa Jenar dan Rara Wilis pagi itu benar-benar pergi meninggalkan Banyubiru. Mereka sama sekali tidak membawa bekal apapun selain senjata-senjata mereka, busur dan beberapa anak panah untuk berburu di perjalanan. Di regol halaman, Kebo Kanigara berbisik perlahan kepada Mahesa Jenar,
“Mahesa Jenar, apakah sebenarnya yang akan kau lakukan?”
“Aku benar-benar akan mengantar Rara Wilis kakang,” sahut Mahesa Jenar lemah.
“Aku menjadi ragu-ragu atas kepergianmu ini,” berkata Kebo Kanigara pula.
“Jangan ragu-ragu kakang. Aku sedang mengungsikan Rara Wilis, supaya seandainya Sultan benar-benar marah kepada Arya Salaka, dan menyerang Banyubiru, gadis ini sudah aku selamatkan.”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Terasa sindiran itu tepat mengenai jantungnya. Namun ia berkata pula,
“Adakah sesuatu yang tersembunyi?”
“Dada kita kini sudah tidak terbuka lagi, kakang ada yang tersembunyi di dalam dada kakang Kebo Kanigara, dan ada yang tersembunyi di dalam dadaku.”
“Hem,” Kebo Kanigara itu pun berdesah. Dan mereka, yang tinggal di halaman itu terpaksa melepaskan Mahesa Jenar dan Rara Wilis pergi meninggalkan Banyubiru dengan beribu-ribu pertanyaan mengiringi kepergian itu. Sepasang kuda yang dinaiki oleh Mahesa Jenar dan Rara Wilis berpacu dengan kencangnya, berderap-derap di jalan yang berbatu-batu. Debu yang putih melontar di belakang kaki-kaki kuda itu, namun sebentar kemudian lenyap disapu angin pagi yang berhembus dari pegunungan. Ketika mereka telah melampaui batas kota Banyubiru, maka Rara Wilis sudah tidak dapat lagi menyimpan pertanyaan dihatinya.
Karena itu maka dengan ragu-ragu ia bertanya.
“Kakang, apakah sebenarnya yang akan kita lakukan?”
Mahesa Jenar berpaling. Dilihatnya wajah Rara Wilis yang gelisah. Karena itu maka segera ia memperlambat kudanya sambil menjawab,
“Kita pergi bertamasya Wilis.”
“He?”

Mahesa Jenar tersenyum. Dan karena itu Rara Wilis menjadi semakin heran. Dalam kesibukan yang hampir-hampir tidak memberikan kesempatan beristirahat kepada Mahesa Jenar itu, tiba-tiba ia melihat Mahesa Jenar tersenyum sambil berkata kepadanya, bahwa mereka sedang bertamasya. Mahesa Jenar melihat kebimbangan di hati Rara Wilis. Karena itu, maka ia tidak mau membingungkan gadis itu lebih lama lagi. Maka jawabnya,
“Aku akan pergi ke Karang Tumaritis, menghadap Panembahan Ismaya.”
“Oh” Rara Wilis menarik nafas.
“Apakah Panembahan akan kakang minta turut menyelesaikan persoalan ini?”
“Ya. Panembahan mempunyai pengaruh yang kuat atas kakang Kebo Kanigara. Mudah-mudahan Panembahan dapat memberinya beberapa petunjuk, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang pahit akan dapat dihindarkan.”
Rara Wilis mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sudah dapat membayangkan apa yang akan terjadi. Ia sudah melihat persiapan yang tergesa-gesa di Banyubiru dan ia juga mendengar bahwa Lembu Sora telah kembali ke Pamingit untuk mengambil pasukannya.

Sepeninggalan Mahesa Jenar dan Rara Wilis, Kebo Kanigara benar-benar menjadi gelisah. Disadarinya bahwa Mahesa Jenar bukanlah anak-anak lagi seperti Arya Salaka, atau seorang ayah yang sangat merasa berhutang budi kepada anaknya seperti Ki Ageng Gajah Sora dan pamannya Ki Ageng Lembu Sora, sehingga hampir-hampir mereka sendiri tidak sempat berpikir. Namun Mahesa Jenar adalah seorang yang berotak tenang. Kebo Kanigara itu pun kemudian mencoba menemui Ki Ageng Pandan Alas. Dengan hati-hati dicobanya bertanya,
“Ki Ageng, kemanakah Mahesa Jenar itu sebenarnya akan pergi mengantarkan Wilis pulang ke Gunung Kidul? Kenapa Ki Ageng tidak ikut serta ?” bertanya Kebo Kanigara.
“Aku sudah tua. Aku akan terlalu payah untuk pergi berkuda ke sana ke mari. Lebih baik aku beristirahat di sini sambil menunggu Mahesa Jenar kembali.”
“Kenapa bukan Ki Ageng saja yang mengantarkannya?”
Ki Ageng Pandan Alas tertawa. Kebo Kanigara agaknya benar-benar gelisah, sehingga pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dari bibirnya terlalu sederhana dan tergesa-gesa. Meskipun demikian Ki Ageng itu menjawab.
“Ah. Pertanyaan yang aneh. Wilis pasti lebih senang diantar oleh Mahesa Jenar daripada aku antarkan.”
Kebo Kanigara menarik nafas dalam-dalam. Jawaban itu dapat dimengertinya. Namun persoalannya yang belum dapat juga dimengerti. Meskipun demikian ia tidak bertanya lagi. Kebo Kanigara itu kembali ke dalam biliknya. Dicobanya mengotak-atik, namun pertanyaan-pertanyaan yang bergelut di dalam hatinya tidak juga dapat dijawabnya.

PANEMBAHAN Ismaya terkejut ketika seorang cantrik datang kepadanya, menyampaikan kabar, bahwa Mahesa Jenar dan Rara Wilis datang ke bukit itu. Dengan tergopoh-gopoh Panembahan tua itu menyambut sendiri kedatangan tamunya. Sambil membungkuk hormat Mahesa Jenar dan Rara Wilis melangkah masuk ke Pondok Panembahan Ismaya. Pondok yang dikenalnya baik-baik. Pondok yang masih juga seperti dahulu. Sejuk dan tenang. Beberapa buah topeng masih juga tergantung pada tiang-tiang dan dinding. Mereka terkejut ketika mereka melihat sebuah topeng yang jelek dan kasar tergantung di antara beberapa buah topeng yang lain. Apakah topeng itu sudah tidak pernah dipakai lagi oleh Panembahan tua itu? Tetapi Mahesa Jenar tidak ingin menanyakannya. Dengan ramahnya Panembahan Ismaya itu mempersilakan tamu-tamunya duduk dan dengan ramahnya maka Panembahan tua itu menyapa keselamatan mereka.
“Demikianlah Panembahan” jawab Mahesa Jenar.
“Tuhan melindungi hamba dan keselamatan. Mudah-mudahan Panembahan pun demikian pula hendaknya.”
“Syukurlah ngger.” sahut Panembahan Ismaya.
Sesaat kemudian maka pembicaraan mereka menjadi semakin akrab. Panembahan Ismaya bertanya dari satu soal ke soal lain, dari satu masalah ke masalah yang lain. Sehingga akhirnya Panembahan itu berkata,
“Aku menjadi berdebar-debar akan kedatangan angger berdua. Aku merasa mempunyai hutang kepada kalian. Bukankah aku sanggup datang ke Gunung Kidul untuk mewakili orang tua Mahesa Jenar. Nah, sekarang kalian telah datang untuk menagih janji. Tentu akan segera aku penuhi. Kapan saja aku akan berangkat bersama angger berdua ke Gunung Kidul.”
Mahesa Jenar menundukkan wajahnya. Sedang wajah Rara Wiils menjadi merah padam. Namun terdengar Mahesa Jenar menjawab.
“Terima kasih Panembahan. Memang yang pertama kali, kedatanganku sengaja mengingatkan Panembahan akan hal itu.”
“Aku tidak pernah lupa ngger.” sahut Panembahan.
“Maksudku, aku ingin mempercepat waktu. Ah. Aku memang sudah terlalu tua, sehingga aku agak lambat berbuat sesuatu.”

Mahesa Jenar itu menjadi gelisah ketika ia sampai pada maksud kedatangannya. Karena itu dengan hati-hati ia ingin berkisar dari pembicaraan tentang dirinya kepada persoalan yang sebenarnya dibawanya. Katanya,
“Panembahan, sebenarnya disamping persoalanku pribadi itu, aku membawa persoalan lain, yang aku kira cukup penting untuk aku sampaikan kepada Panembahan.”
Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Ah, apakah masih ada persoalan penting bagiku selain persoalan angger berdua? Aku kira tidak. Aku tidak akan mampu untuk memikirkan persoalan-persoalan lain.”
“Panembahan” berkata Mahesa Jenar,
“Kali ini tidak ada orang lain yang dapat memecahkannya selain Panembahan.”
Panembahan tua itu mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia berkata,
“Baiklah ngger. Baiklah kau simpan dahulu persoalan-persoalan itu. Sekarang beristirahatlah. Bukankah masih ada waktu nanti, besok atau lusa?”
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika ia ingin berkata lagi, dilihatnya beberapa orang cantrik masuk ke dalam ruangan itu sambil membawa hidangan. Sehingga karena itu, maka ia menjadi terdiam. Yang berkata kemudian adalah Panembahan Ismaya.
“Marilah ngger. Mungkin angger sudah lama tidak merasakan makanan pegunungan. Air daun sere, nasi jagung dan sambal wijen.”

Sebenarnyalah bahwa Mahesa Jenar dan Rara Wilis sedang lapar. Karena itu, maka mereka tidak berkeberatan ketika Panembahan itu membawa mereka, menikmati hidangan para cantrik itu. Tetapi kembali Mahesa Jenar menjadi kecewa. Meskipun kemudian mereka telah selesai makan, namun Panembahan itu masih saja berkata.
“Jangan tergesa-gesa. Beristirahatlah. Pondok sebelah barat sampai kini masih kosong. Kebo Kanigara belum juga pulang sejak saat mereka pergi bersama Widuri ke Banyubiru bersama angger berdua.”
Mahesa Jenar benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk segera mengatakan maksudnya. Karena itu, maka dengan kecewa mereka beristirahat di pondok sebelah barat. Pondok yang dahulu pernah di tempatinya pula. Pondok itu masih juga seperti dahulu. Dari ruangannya mereka dapat melihat pohon-pohon yang rindang. Kebun bunga-bunga yang subur dan jauh dihadapannya mereka terbentang sebuah ngarai yang subur pula, dimana para cantrik bercocok tanam. Mahesa Jenar berdesir, ketika tiba-tiba saja teringat pula olehnya bahwa kebun bunga itu pernah dirusaknya oleh Sawung Sariti dan kemudian oleh Sima Rodra betina dari Gunung Tidar. Bulu-bulu kuduknya berdiri ketika dikenangnya, dibawah bukit itu pernah terjadi suatu malam yang mengerikan.

DIMANA janda Sima Rodra mengadakan semacam upacara untuk menyatakan kegembiraan mereka setelah mereka berhasil menangkap Rara Wilis. Kebiadaban yang pernah terjadi antara orang-orang dari golongan hitam itu. Tiba-tiba tanpa disengaja Mahesa Jenar berpaling kepada Rara Wilis yang agaknya benar-benar merasa penat setelah perjalanan yang berat itu.
“Wilis” katanya,
“Kau ingat daerah ini? Daerah yang pernah merayakan kehadiranmu di antara mereka? Kau ingat?”
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Katanya,
“Apakah itu pernah terjadi?”
“Ah, seharusnya kau tidak akan dapat melupakan. Bukankah di bawah bukit ini kau mendapat sambutan yang sangat meriah? Kau ingat tentu. Di bawah bukit ini menunggu ibu tirimu yang akan mencarikan buat kau seorang menantu dari Nusa Kambangan.”
“Ah,” tiba-tiba Rara Wilis bangkit dan dengan kedua tangannya ia mencubit Mahesa Jenar sekeras-kerasnya.
Mahesa Jenar menyeringai kesakitan. Katanya,
“Wilis, apakah kau sedang mengetrapkan aji Cunda Manik.”
Rara Wilis mencubit semakin keras, dan Mahesa Jenar itu terpaksa berkata,
“Sudahlah. Sudah. Aku bertobat sekarang.”
“Kalau kakang menyebutnya sekali lagi,” jawab Rara Wilis.
“Maka aku benar-benar akan mengetrapkan aji Cunda Manik. Aku tidak takut seandainya kakang melawan dengan Sasra Birawa.”
“Akulah yang takut,” sahut Mahesa Jenar.
Rara Wilis itu pun duduk kembali. Namun kengerian benar-benar telah merayapi dadanya. Sehingga karena itu, maka tiba-tiba ia merenung.
Ruangan itu kemudian menjadi sunyi. Angin pegunungan berhembus perlahan-lahan menggoyang-goyangkan perdu di halaman. Terasa silirnya angin mengusap tubuh-tubuh mereka, sehingga terasa betapa sejuknya udara pegunungan itu.


<<< Bagian 101                                                                                              Bagian 103 >>>

No comments:

Post a Comment