UNTUK beberapa lama Pasingsingan tidak berkata sesuatu. Namun nampaklah dadanya bergelombang oleh nafasnya yang memburu.
Kemudian
dengan lantang ia berkata.
“Kaukah yang
bernama Mantingan, dalang Mantingan.”
“Ya” jawab
Mantingan pendek.
“Mulutmu
terlalu tajam. Karena itu mulutmu itulah yang pertama-tama akan aku hancurkan”
berkata Pasingsingan perlahan-lahan tetapi mengandung suatu tekanan yang dahsyat.
Mantingan
menarik nafas sekali lagi.
“Apa boleh
buat” pikirnya. Tetapi dalam pada itu, yang lainpun tidak tinggal diam.
Meskipun Rara
Wilis adalah seorang gadis, namun darah Pandan Alas yang mengalir ditubuhnya
telah menjadikannya seorang gadis yang tabah dan berani. Meskipun ia menyadari,
betapa tinggi ilmu Pasingsingan itu, namun tidaklah sepantasnya bahwa tetesan
darah Gunung Kidul itu akan bertekuk lutut untuk dipenggal lehernya. Karena itu
ujung pedangnya nampak semakin bergetar sejalan dengan debar jantungnya yang
bertambah cepat.
Bahkan
kemudian terdengar suaranya gemetar.
“Tuan, adakah
tuan ingin ikut dalam permainan anak-anak ini?.
Juga
pertanyaan Rara Wilis itu sederhana, sama sederhananya dengan pertanyaan
Pasingsingan yang pertama. Tetapi juga didalam kata-kata itu terkandung suatu
tantangan yang dalam. Tantangan bagi kejantanan Lawa Ijo dan Pasingsingan
sendiri. Tetapi ternyata Lawa Ijo bukan seorang jantan. Ia adalah seorang yang
licik, yang dapat menganggap suatu cara apapun dapat dibenarkan untuk mencapai
maksudnya. Karena itu ialah yang menjawab pertanyaan Rara Wilis.
“Adakah
pertanyaan itu sebagai suatu permintaan ampun dari guru, Rara Wilis?” Dada Rara
Wilis tergoncang. Ia merasa tersinggung oleh jawaban itu. Namun Wirasaba yang
tinggi hati telah mendahuluinya menjawab.
“Dibelakang
sayap indukmu kau masih mampu tertawa Lawa Ijo. Tetapi kami sama sekali tidak
seperti orang yang terkenal dengan sebutan iblis alas Mentaok, yang ternyata
tidak lebih dari seekor anak ayam yang ketakutan melihat bilalang terbang.”
“Diam” bentak
Lawa Ijo marah. Tetapi suaranya tiba-tiba tenggelam dalam derai tawa Endang
Widuri. Semua yang mendengar suara tertawa itu terkejut. Bahkan Pasingsingan
tertarik sekali pada suara itu. Baginya adalah aneh sekali, kalau dalam keadaan
yang demikian, masih ada orang yang berani memperdengarkan tertawanya.
“Aneh” kata
Widuri dalam nada kekanak-kanakan.
“Seorang yang
bertubuh gagah kekar, berkumis sebesar lenganku ini, tiba-tiba tanpa malu-malu
bersembunyi dibelakang punggung gurunya. Bukankah itu suatu tontonan yang
lucu.”
Dada Lawa Ijo
yang sudah mendidih sejak semula itu terasa seperti diaduk. Tetapi ketika
dipandangnya wajah gadis kecil yang cerah itu, terasa sesuatu yang aneh
meraba-raba dadanya. Tiba-tiba saja seperti bintang yang jatuh dari langit,
terbesitlah jauh disudut relung hatinya, yang selama ini seolah-olah tak pernah
tampak olehnya, suatu perasaan yang menyenangkan, apabila ia mempunyai anak
seperti Widuri itu. Seorang anak yang manis, berani dan tangkas. Tetapi
berbedalah tanggapan Pasingsingan. Ia merasa seolah-olah gadis kecil yang
menghinanya pula.
Dengan
menggeram ia berkata.
“Siapakah
kau?”
“Seorang yang
bergelar Pasingsingan pasti sudah tahu, siapakah yang sedang berdiri
dihadapannya” jawab Widuri tanpa takut-takut.
Sekali lagi
Pasingsingan menggeram karena kemarahan yang sudah hampir memuncak. Mendengar
Pasingsingan menggeram sedemikian dahsyatnya, tegaklah bulu roma mereka yang
mendengarnya kecuali Widuri. Ia masih saja tersenyum seperti tidak terjadi
sesuatu. Meskipun sebenarnya didalam hatinya memercik juga kecemasannya atas
sikap Pasingsingan itu, namun sebenarnyalah ia memiliki sikap tenang seperti
ayahnya. Karena sikap Widuri itulah maka Pasingsingan menjadi bertambah marah
lagi. Ia merasa terhina oleh seorang anak kecil yang sengaja merendahkannya.
Karena itu ia tidak bersabar lagi. Sebagai seorang penjahat yang telah berpuluh
bahkan ratusan kali membunuh, maka ia sama sekali tidak lagi punya hati
terhadap calon korbannya. Demikian juga terhadap Widuri. Meskipun ia melihat
betapa gadis itu masih sedang tumbuh, namun ia telah dibakar oleh kemarahannya.
Maka dengan suara yang bergetar ia berkata.
“Gadis kecil
yang tak tahu diri. Apakah kau telah mempunyai nyawa yang rangkap, sehingga
berani menghina Pasingsingan? Karena itu kaulah yang pertama-tama akan menerima
hukuman”.
Sehabis
kalimat itu, mulailah Pasingsingan bergerak ke arah Endang Widuri. Kembali
semua orang yang menyaksikan, hatinya berdesir. Tetapi mereka tidak mau
membiarkan peristiwa yang mengerikan itu terjadi. Serentak tanpa berjanji lebih
dahulu, berloncatanlah semua orang menghadang dihadapan Endang Widuri.
Mantingan dengan trisulanya yang sudah mengarah kedada Pasingsingan, Rara Wilis
dengan pedang tipisnya yang dipegangnya lurus-lurus kedepan.
Di sampingnya
berdiri Arya Salaka dengan wajah yang tegang dan dengan tangan yang gemetar
menggenggam Kiai Bancak. Di sebelahnya Wirasaba dengan kapak raksasanya yang
sudah tersandang dipundaknya siap untuk diayunkan sedang diujung berdiri Jaladri
erat-erat memegang canggah andalannya.
MELIHAT sikap
orang-orang itu, Pasingsingan berhenti. Tetapi sebagai seorang yang berilmu
tinggi, ia sama sekali tidak takut menghadapi barisan kelinci-kelinci itu.
Bahkan terdengarlah suara tertawanya bergumam di belakang topengnya.
Kemudian
terdengar Pasingsingan berkata,
“Bagus…. Aku
puji kesetiakawanan kalian. Tetapi kalian tidak akan dapat menghalangi aku
untuk membunuh gadis gila itu.”
Ternyata
Pasingsingan siap untuk melakukan kata-katanya. Tetapi terjadilah sesuatu
diluar dugaan. Dalam ketegangan itu terdengar Lawa Ijo berkata,
“Guru…
ampunilah gadis kecil itu.”
Pasingsingan
terkejut mendengar kata-kata muridnya. Ketika ia menoleh, dilihatnya Lawa Ijo
rapat berdiri di belakangnya. Bahkan tidak saja Pasingsingan, tetapi semua
orang terkejut dan heran mendengar kata-kata itu. Sehingga terdengarlah
Pasingsingan bertanya,
“Apa yang kau
katakan itu Lawa Ijo?”
“Ampunilah
gadis kecil itu,” ulang Lawa Ijo.
“Apa
kepentinganmu?” tanya Pasingsingan pula.
Lawa Ijo diam.
Tetapi ia menundukkan wajahnya. Wajahnya yang buas dan liar itu. Namun anehlah
bahwa matanya yang menyala-nyala seperti mata serigala itu tiba-tiba menjadi
suram. Beberapa kali ia memandang wajah Widuri, hanya untuk seleret pandang.
Tetapi ia tidak berani memandang wajah gurunya. Pasingsingan menjadi semakin
heran. Selama hidupnya, sejak istri dan anaknya meninggal, Lawa Ijo tidak
pernah menaruh perhatian kepada perempuan. Tiba-tiba sekarang ia merasa sayang
kepada gadis kecil itu. Suasana kemudian dicekam oleh keheningan. Namun setiap
dada dipenuhi oleh ketegangan yang memuncak. Di kejauhan terdengar gonggongan
anjing-anjing liar, berebut makan, disusul oleh teriakan serigala lapar.
Beberapa kali
terdengar pula gema raung harimau memecah malam. Angin pegunungan mengusap
tubuh mereka, meresapkan udara dingin. Kata-kata Lawa Ijo itu ternyata
menyebabkan Pasingsingan ragu-ragu untuk bertindak. Ia masih berdiri saja
seperti patung. Patung iblis yang menakutkan. Dalam keheningan itu terdengarlah
suara Lawa Ijo memecah sepi.
“Tetapi kalau
guru akan bertindak terhadap yang lain, aku tidak berkeberatan.”
Terdengar
nafas berat berdesis lewat hidung Pasingsingan. Sekali lagi ia menoleh kepada
muridnya.
Dan sekali
lagi ia bertanya,
“Apa
kepentinganmu atas gadis itu?”
Lawa Ijo
menggeleng.
“Tak ada,”
jawabnya.
Sekali lagi
jawaban Lawa Ijo itu mengherankan mereka yang mendengarnya.
Bahkan Widuri
sendiri menjadi heran. Sementara itu, keragu-raguan Pasingsingan itu telah
mengubah segala keadaan. Kalau semula semua penghuni perkemahan itu sudah tidak
mempunyai harapan untuk membebaskan diri dari tangan hantu itu, tiba-tiba
terperciklah setitik cahaya terang di dalam dada mereka.
Lamat-lamat di
kejauhan, dibawa desir angin malam, terdengarlah derap beberapa ekor kuda.
Mereka berharap, mudah-mudahan mereka itulah Mahesa Jenar bersama Kebo Kanigara
dan kawan-kawannya. Dengan orang-orang itu, mereka tidak lagi merupakan
umpan-umpan yang sama sekali tak berarti bagi Pasingsingan. Ditambah dengan
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan beberapa orang lagi, mereka mengharap untuk
setidak-tidaknya dapat mengimbangi hantu bertopeng itu. Pasingsingan pun
mendengar derap kuda itu. Namun ia tahu pula, bahwa suara itu masih jauh
sekali. Dalam malam yang sepi, suara yang lambat dan jauh pun akan dapat
dikumandangkan oleh tebing-tebing jurang dan kemudian dapat mencapai
daerah-daerah ketinggian seperti daerah di sekitar candi Gedong Sanga ini.
Dengan telinganya yang tajam, Pasingsingan memperhatikan suara itu dengan
seksama. Wajahnya yang terangkat, seolah-olah dapat membuat perhitungan yang
tepat, kira-kira sejauh berapa tonggak sumber suara telapak kuda itu. Ketika ia
kemudian yakin akan pendengarannya, berkatalah ia,
“Masih jauh.
Waktu masih cukup banyak untuk memusnahkan kalian. Nah, bersiaplah untuk
menghadapi saat terakhir. Melawan atau tidak melawan, akan sama saja akibatnya
bagi kalian.”
Kemudian
kepada Lawa Ijo ia berkata,
“Usahakan
supaya orang-orang berkuda itu agak lambat datang. Pergilah dengan
orang-orangmu yang masih ada.”
“Baik guru,”
jawab Lawa Ijo. Tetapi sekali lagi matanya menatap wajah Endang Widuri.
“Aku sisakan
gadis kecil itu. Atau akan kau bawa dia?” Tanya Pasingsingan.
Lawa Ijo
menggeleng.
“Aku tidak
mempunyai kepentingan apa-apa. Aku hanya ingin Guru mengampuninya.”
“Pergilah,”
dengus Pasingsingan.
Dalam sekejap
meloncatlah Lawa Ijo hilang ditelan tabir hitamnya malam. Yang tinggal kemudian
hanyalah orang berjubah abu-abu dan bertopeng seperti iblis itu. Harapan yang
semula timbul di dalam dada mereka untuk dapat bertempur bersama-sama dengan
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan yang lain-lain, kini telah pudar kembali.
Meskipun mereka masih belum dapat menjajagi, sampai di mana tingkat ilmu Mahesa
Jenar kini, namun semakin banyak jumlah mereka, semakin kuat pula perlawanan yang
dapat mereka berikan. Sementara itu suara kuda di kejauhan masih saja
melingkar-lingkar di dalam lembah, seolah-olah tidak menjadi bertambah dekat.
Kemudian mereka pun sadar bahwa jalan yang harus ditempuh oleh orang-orang
berkuda itu pun melingkar-lingkar seperti ular. Karena itu akhirnya mereka
kembali kepada kepercayaan diri. Kepada senjata-senjata mereka yang tergenggam
di tangan mereka. Lebih daripada itu, mereka percaya kepada kekuasaan Yang Maha
Tinggi. Mereka dengan dada yang berdebar-debar melihat Pasingsingan itu
bergerak perlahan-lahan.
TANGAN
Pasingsingan mulai dikembangkan seperti hendak menerkam. Kemudian dengan cepat
sekali ia meloncat ke samping, untuk kemudian menyerang dengan cepatnya ke arah
Dalang Mantingan. Tetapi orang-orang itupun bukanlah orang-orang yang tak
berdaya sama sekali. Segera mereka berloncatan untuk memencar diri dan
menyerang bersama-sama dari segenap penjuru. Terhadap mereka itupun ternyata
Pasingsingan tidak dapat menganggap remeh. Ia menggeram sekali lagi dengan kerasnya.
Seperti kilat ia dengan sangat lincah menghindari setiap senjata yang tertuju
kepadanya. Untuk kemudian menggeliat dengan cepatnya dan melenting seperti
terlempar dari tempatnya berdiri untuk mencapai daerah diluar lingkaran
kepungan lawan-lawannya. Mantingan dan kawan-kawan berdesir melihat cara
Pasingsingan bergerak. Benar-benar seperti singgat, namun kadang-kadang seperti
ular, dan sekali-sekali seperti asap yang dapat melayang-layang di udara.
Mereka diam-diam mengeluh di dalam hati. Dan terasalah di dalam hati kecil
mereka bahwa mereka tak akan mampu untuk memberi perlawanan yang cukup lama
sampai Mahesa Jenar tiba. Apalagi mereka tahu bahwa Lawa Ijo dan kawan-kawannya
telah ditugaskan oleh gurunya untuk menghadang dan memperlambat perjalanan rombongan
berkuda itu. Tetapi bagaimanapun juga, mereka akan memberikan perlawanan sekuat
tenaga mereka sampai orang yang terakhir. Sebab lebih baik mati dengan tangan
terentang, daripada mati dengan tangan bersilang di dada. Karena itu seperti
angin pusaran mereka menyerang Pasingsingan berputar. Meskipun mereka tidak
pernah mengadakan persiapan untuk melakukan pertempuran bersama, namun karena
pengalaman mereka masing-masing, segera mereka dapat menyesuaikan diri.
Ternyata gerak mereka dapat sedikit menolong memperpanjang waktu.
Mula-mula
Pasingsingan pun agak sulit untuk dapat mengadakan serangan terhadap rombongan
yang berputar sambil menyerang berganti-ganti dari segenap arah itu. Namun
akhirnya Pasingsingan dapat pula menyesuaikan diri. Ia pun kemudian ikut
berputar pula mengikuti putaran lawan-lawannya dan menyerang pada tempat yang
tepat. Dalang Mantingan. Untunglah bahwa Rara Wilis yang berdiri di belakang
Dalang Mantingan itu, sehingga pedangnya dapat membantu melawan iblis yang
mengerikan itu, disamping serangan-serangan yang lincah dilancarkan Arya Salaka
dari arah yang lain. Dalam pada itu sekali lagi Pasingsingan melenting sambil
menyerang Jaladri. Dengan cepat Jaladri menjatuhkan dirinya untuk menghindari
sambaran tangan Pasingsingan sambil mengacungkan senjatanya. Tetapi dengan
demikian pertahanannya terbuka, sehingga sekali lagi Pasingsingan berhasil
meloloskan diri dari kepungan, meskipun Wirasaba telah mencoba menyerangnya
ketika Pasingsingan sedang terapung di udara. Tetapi kapak raksasanya itu
terayun menebas angin. Dengan menggeliat Pasingsingan berhasil menghindari
sambaran kapak itu. Namun sayang bahwa demikian kakinya menjejak tanah,
terasalah angin menyentuh kulitnya. Belum lagi ia berhasil menghindar,
terasalah sebuah benda menyambarnya. Cepat ia berusaha memutar tubuhnya di atas
satu kakinya. Sehingga sambaran senjata itu hanya menyentuh jubahnya. Ketika ia
sudah siap untuk menyerang kembali, dilihatnya rantai perak berputar seperti
baling-baling. Rantai itu pulalah yang telah menyentuh jubahnya. Sekali lagi
Pasingsingan berdesis marah. Tetapi demikian ia siap untuk menyerang dari bawah
ke arah tubuh Endang Widuri, teringatlah ia akan pesan muridnya, sehingga
maksudnya terpaksa diurungkan. Namun ia menjadi semakin marah. Terasa sesuatu menyumbat
dadanya, sehingga terdengarlah giginya gemeretak. Dengan demikian ia mencari
saluran untuk memuntahkan kemarahannya itu. Ia merasa tersinggung sekali, bahwa
rombongan kelinci itu berhasil mengenainya, meskipun hanya jubahnya.
Dalam
kemarahan yang memuncak itu, tiba-tiba dengan cepatnya tangan Pasingsingan
bergerak seperti orang menabur benih. Dan bersamaan dengan itu memancarlah
cahaya kekuning-kuningan ke segenap penjuru. Ternyata di tangan iblis itu
tergenggam sebuah pisau belati panjang yang berwarna kuning keemasan. Itulah
pusaka Pasingsingan yang bernama Kyai Suluh. Dengan senjata itu di tangan,
terdengarlah Pasingsingan bergumam,
“Aku masih
berbaik hati kepada kalian. Kalau aku ingin membunuh kalian, dengan senjata
ini. Aku dapat membakar tubuh kalian seperti membakar jangkrik dengan ilmu Alas
Kobar.”
Mau tidak mau
hati mereka tergetar melihat cahaya gemerlapan yang memancar dari senjata
Pasingsingan itu. Meskipun di malam yang gelap, namun pantulan cahaya
bintang-bintang di langit telah mampu untuk menyilaukan mata. Tetapi meskipun
demikian, sekali lagi, mereka bertekad untuk bertempur sampai tenaga terakhir,
sampai tetes darah terakhir pula. Pasingsingan kini tidak mau memperpanjang
waktu lagi. Ia sudah tidak mendengar derap kuda yang melingkar-lingkar di
lembah. Pasti orang-orang berkuda itu telah terlibat dalam pertempuran melawan
Lawa Ijo.
PASINGSINGAN
mengharap Lawa Ijo dan kawan-kawannya dapat memberinya waktu. Karena itu, waktu
yang sempit ini harus dipergunakan sebaik-baiknya. Akhirnya terdengar dari
mulut Pasingsingan itu suitan nyaring, dan bersamaan dengan itu melontarlah
tubuhnya seperti bayangan hantu di malam yang kelam menyerang dengan
dahsyatnya. Tak seorang pun yang mengharap dapat keluar dari pertempuran itu.
Karena itu, malahan mereka menjadi tenang dan bertempur mati-matian. Kalau
mungkin mereka akan membawa iblis itu hancur bersama dengan mereka. Tetapi
ketika senjata-senjata mereka sekali saja bersentuhan dengan pusaka
Pasingsingan, terasa tangan mereka bergetaran keras, dan perasaan sakit
menjalar kesegenap tubuh mereka. Tetapi ketika saat yang memuncak itu hampir
sampai pada titik tertinggi, mereka mendengar derap orang berlari. Disusul
dengan sebuah sapa yang tergesa-gesa,
“Selamat malam
Pasingsingan muda, yang pernah bergelar Umbaran.”
Pasingsingan
terkejut mendengar sapa itu. Apalagi ketika ia mendengar orang itu menyebut
nama Umbaran. Karena itu, sedemikian terkejutnya hantu berjubah abu-abu itu
terloncat mundur beberapa langkah dan dengan sikap yang menakutkan ia memutar
tubuhnya ke arah suara sapa yang telah mengganggunya itu.
Kemudian
tampaklah dalam kegelapan malam, seseorang tersembul dengan cepat dari balik
pepohonan. Dengan langkah yang tergesa-gesa pula ia berjalan mendekat lingkaran
pertempuran itu. Bersamaan dengan itu hampir setiap mulut menyebut nama orang
itu dengan penuh harapan dan kegembiraan yang membersit di dalam dada mereka.
Bahkan terdengar Pasingsingan bergumam di belakang topeng jeleknya,
“Mahesa
Jenar.”
“Ya,” jawab
orang itu.
“Hampir aku
terlambat datang.”
Pasingsingan
memandang Mahesa Jenar dengan seksama. Ia heran bahwa Mahesa Jenar berhasil
muncul dalam waktu jauh lebih cepat dari perhitungannya. Ia mengharap Lawa Ijo
setidak-tidaknya dapat menahannya, untuk waktu yang cukup baginya membunuh orang-orang
yang telah menyakitkan hatinya itu. Namun agaknya Pasingsingan salah hitung.
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara bukanlah anak-anak yang dapat diberinya sekadar
permainan untuk melupakan ibunya yang sedang pergi. Dalam perjalanan pulang,
Kebo Kanigara, Mahesa Jenar dan kawannya seolah-olah telah mendapat suatu
firasat yang kurang baik. Dengan kencangnya mereka memacu kuda mereka seperti
anak panah. Mereka menjadi tidak tenang, serasa meninggalkan anak-anak bermain
di tepi sungai. Karena itu maka yang tergores di dalam angan-angan mereka,
adalah secepatnya sampai ke Candi Gedong Sanga. Apalagi ketika mereka sampai ke
lembah di hadapan daerah perkemahan mereka. Kebo Kanigara ternyata mempunyai
perasaan yang tajam sekali. Ketika angin yang aneh menyentuh kulitnya,
berkatalah ia bergumam seperti kepada diri sendiri,
“Alangkah
sejuknya malam.”
Mahesa Jenar
masih belum merasakan sesuatu yang tidak pada tempatnya, karena itu ia
menjawab,
“Sejuk, bahkan
terlalu sejuk. Aku kira malam musim kemarau ini dinginnya benar-benar sampai
menggigit tulang.”
Kebo Kanigara
menoleh kepada Mahesa Jenar. Dari wajah kawan seperjalanannya itu Kebo Kanigara
dapat mengetahuinya bahwa Mahesa Jenar belum merasakan sesuatu. Namun waktu itu
tidak terlalu lama. Sebab kemudian tampaklah alis Mahesa Jenar berkerut. Dan
tiba-tiba dengan nanar ia memandang ke arah perkemahan anak-anak Banyubiru,
meskipun yang tampak hanyalah kehitaman melulu. Namun seolah-olah ia ingin
menembus hitamnya malam, dan langsung ingin mengetahui apa yang telah terjadi
dibalik tabir malam yang kelam itu. Tiba-tiba terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Ya, alangkah
sejuknya malam.”
Kebo Kanigara
tersenyum. Tetapi kendali kudanya dipegangnya semakin erat. Tumitnya beberapa
kali menyentuh perut kudanya, untuk mempercepat perjalanan. Mahesa Jenar pun
berbuat serupa, diikuti oleh Wanamerta, Bantaran dan Penjawi yang telah
menggigil kedinginan. Bahkan terdengar Wanamerta yang tua berdesis,
“Alangkah
anehnya alam. Kalau siang panasnya seperti memecahkan kepala. Kalau malam dinginnya
sampai membekukan darah. Tetapi agaknya Anakmas berdua di muka itu tidak
merasakan betapa tubuhku hampir membeku. Bahkan mereka mempercepat lari kuda
mereka.”
“Bukankah
lebih cepat lebih baik Paman?” jawab Bantaran.
“Dengan
demikian kita lebih cepat sampai untuk kemudian menyalakan api
sebesar-besarnya. Membakar jagung dan ketela. Alangkah nikmatnya. Meskipun aku
tadi sudah mendapat suguhan makan, namun laparnya bukan main.”
Terdengar
Penjawi tertawa saja. Kemudian terdengar di sela-sela suara tertawanya.
“Kakang
Bantaran. Untunglah bahwa tempat nasimu tadi tidak dilubangi oleh orang-orang
Pamingit, sehingga kau masih akan dapat menikmati perasaan kenyang.”
Terdengar
mereka bertiga tertawa. Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar menoleh sambil tersenyum
pula. Tetapi mereka sudah tidak mampunyai minat untuk turut serta berkelakar.
Sebab sudah terasa oleh mereka itu, bahwa di Gedong Sanga telah terjadi
sesuatu. Bahkan kemudian terdengar Mahesa Jenar berbisik, untuk tidak
menggelisahkan pengikutnya.
“Apakah yang
telah mempengaruhi udara malam ini Kakang?”
“Aku takut
bahwa Bantaran dan Penjawi akan tertidur di atas kudanya,” jawab Kebo Kanigara.
“Sirep,” desis
Mahesa Jenar.
“Ya,” jawab
Kanigara singkat.
Kemudian untuk
sesaat mereka terdiam. Tetapi kuda mereka berpacu lebih cepat lagi. Semakin
dekat, semakin terasa pengaruh yang aneh mengalir menurut angin lembah
menyentuh-nyentuh tubuh mereka. Kemudian terdengarlah sekali lagi Penjawi
menguap sambil menggerutu,
“Ah, ada-ada
saja. Dalam berpacu begini dapat juga aku menjadi ngantuk.”
“Kami terlalu
letih,” jawab Bantaran yang mulai ngantuk pula.
MENDENGAR
pembicaraan mereka, Kebo Kanigara menjadi cemas. Maka katanya kepada Mahesa
Jenar,
“Kita beritahu
mereka, supaya mereka berjuang mempertahankan kesadaran mereka. Sedang Paman
Wanamerta, aku kira mempunyai kemampuan yang cukup dalam tubuhnya yang telah
tua dan penuh pengalaman itu.”
“Baiklah
Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
Kemudian Kebo
Kanigara melambaikan tangannya dan sedikit memperlambat jalan kudanya, sehingga
dalam waktu yang hanya sekejap, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta telah
menyusulnya.
“Apakah kalian
ngantuk…?” tanya Kebo Kanigara.
“Ya,” jawab
mereka hampir bersamaan.
“Bagus,” sahut
Kebo Kanigara,
“Itu pertanda
bahwa perasaan kalian cukup tajam. Sayang bahwa kalian kurang memperhatikan
perasaan kalian. Apakah perasaan yang demikian itu wajar atau tidak.”
Mereka
menggeleng bersama-sama.
“Nah, kalau
demikian kalian berada dalam keadaan yang khusus. Kantuk sambil berkuda. Hal
yang tidak pernah kalian alami selama kalian menjadi anggota laskar Banyubiru.
Karena itu ketahuilah, bahwa kalian telah terkena pengaruh ilmu yang tajam.”
“Sirep,”
potong mereka hampir bersamaan.
Kebo Kanigara
mengangguk, katanya meneruskan,
“Ya, kalian
merasakan betapa nyamannya udara malam ini. Karena itu kalian harus berusaha
untuk tetap pada kesadaran kalian, bahwa kalian sedang mendapat serangan.
Pertahankanlah diri kalian. Pusatkan segenap kekuatan kalian untuk melawan
serangan ini. Karena itu kalian harus tetap menjaga dan meyakini keadaan ini.”
“Baiklah
Tuan,” jawab Bantaran dan Penjawi bersamaan. Dengan demikian mereka mulai
dengan perjuangan mereka untuk menguasai kesadaran mereka. Namun pengetahuan
mereka tentang keadaan mereka pada saat itu, yaitu adanya libatan pengaruh
sirep pada diri mereka, ternyata merupakan bekal yang baik di dalam usaha
mereka mempertahankan diri mereka masing-masing. Wanamerta yang tua itupun
tampak merenung. Agaknya iapun sedang merasakan dengan seksama keadaan dirinya.
Kemudian
terdengarlah ia bergumam,
“Hem….
Untunglah Angger Kebo Kanigara cukup waskita. Memang kantukku kali ini agaknya
bukan sembarang kantuk.”
Kemudian
terdengar Kebo Kanigara berkata pula,
“Nah, kalau
demikian akan selamatlah kalian. Sebab kalau kalian tidur sambil berkuda di
jalan-jalan yang terjal dan berkelok-kelok ini, sangatlah berbahaya. Lebih
berbahaya lagi kalau tiba-tiba muncul beberapa orang menghadang perjalanan ini
dan melubangi tempat nasi kalian yang nyaris dilubangi oleh orang-orang
Pamingit.”
Bantaran,
Penjawi dan Wanamerta tertawa perlahan. Namun mereka tidak lagi mempunyai
kesempatan untuk berkelakar. Mereka segera memusatkan kesadaran mereka dalam
perlawanan mereka terhadap pengaruh sirep yang terasa semakin tajam. Kembali
mereka berdiam diri. Udara malam terasa menjadi semakin dingin. Dari dinding
bukit-bukit kecil di sekitar lembah itu terdengar gema pantulan derap kaki kuda
mereka seperti ratusan kuda yang berlari-lari mengitari lembah itu. Semakin
dekat mereka dengan daerah perkemahan anak-anak Banyubiru, perasaan mereka
menjadi semakin tidak tenteram. Ketika mereka sampai pada tanjakan terakhir,
tiba-tiba di dalam kegelapan malam, mata Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang
tajam itu melihat beberapa orang berdiri bertolak pinggang di tengah jalan.
Hati mereka berdesir. Mereka pasti bukan pasukan anak-anak Banyubiru. Karena
itu segera mereka memperlambat jalan kuda mereka. Kemudian terdengarlah Kebo
Kanigara berbisik,
“Mereka
benar-benar menghadang perjalanan kita.”
“Aku menjadi
semakin gelisah atas keselamatan anak-anak kita, Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Lalu apakah
yang akan kita lakukan?” tanya Kebo Kanigara.
“Aku harus
secepatnya sampai di perkemahan,” sahut Mahesa Jenar. Kebo Kanigara merasakan,
apa yang tersirat di dalam dada Mahesa Jenar. Ia meninggalkan dua orang yang
sangat penting di dalam perbendaharaan hatinya. Yang pertama adalah Arya
Salaka, sebagai beban pertanggungjawaban yang sepenuhnya berada di tangannya.
Kedua adalah orang yang telah merampas hatinya. Yang bagaimanapun juga
dikesampingkan, namun dalam saat-saat yang berbahaya, perasaan itu akan menjadi
bertambah nyata. Karena itu tidak ada alasan baginya untuk menahan maksud
Mahesa Jenar, meskipun ia sendiri digelisahkan pula oleh satu-satunya putri
yang ditinggalkan di perkemahan itu pula. Namun apabila salah seorang dari
mereka berdua dapat mencapai tempat itu secepatnya, maka keadaan pasti akan
dapat dikuasai, siapapun yang sedang berada di sana.
“Kalau
begitu…” akhirnya Kebo Kanigara mengambil keputusan,
“Biarkan aku
berjalan terus menghadapi orang-orang itu. Kau cari jalan lain untuk segera
sampai ke perkemahan itu. Kita masih belum tahu siapakah yang menghadang
perjalanan kita. Apakah kita memerlukan waktu sedikit atau banyak.”
“Baik Kakang,”
jawab Mahesa Jenar. Kemudian dengan tidak menunggu kata-kata Kebo Kanigara
lagi, Mahesa Jenar meloncat dari kudanya. Kemudian menyelinap hilang dibalik
gerumbul-gerumbul di tepi jalan lembah itu, untuk kemudian dengan tergesa-gesa
lewat jalan memintas langsung menuju ke perkemahan di Gedong Sanga yang sudah
tidak seberapa jauh lagi. Apalagi Mahesa Jenar mengambil jalan lurus, meskipun
sekali-kali harus mendaki tebing dan meloncati lubang-lubang yang banyak
berserakan di sana-sini. Ia tidak mempunyai angan-angan lain pada saat itu
daripada secepatnya sampai di daerah perkemahan. Meskipun demikian, ia sempat
mendengarkan saat derap kuda-kuda rombongannya itu berhenti. Namun ia sama
sekali tidak mempedulikan. Ia percaya bahwa Kebo Kanigara pasti akan dapat
mengatasi keadaan.
WANAMERTA,
Bantaran dan Penjawi pun terkejut melihat Mahesa Jenar meloncat turun dari
kudanya dan kemudian menghilang. Tetapi mereka tidak sempat bertanya ketika
kemudian terdengar Kebo Kanigara berkata,
“Bawalah
kudanya. Ia perlu secepatnya sampai di perkemahan kita. Bersiaplah menghadapi
kemungkinan di depan kita.”
Sebelum mereka
menjawab, jarak mereka dengan orang-orang yang berdiri di tengah jalan itu
sudah demikian dekatnya sehingga mereka terpaksa menghentikan kuda-kuda mereka.
Namun mereka masih tetap berada di atasnya. Sesaat kemudian salah seorang yang
berdiri di tengah, bertubuh kekar dan berkumis tebal melangkah maju sambil
berkata dengan suara yang menakutkan,
“Siapa
kalian?”
“Aku
Karangdjati,” jawab Kanigara perlahan-lahan.
“Hem…” dengus
orang yang bertanya, yang tidak lain adalah Lawa Ijo.
“Kalian mau ke
mana?”
“Kami ingin
kembali ke perkemahan kami,” jawab Kanigara.
“Hem….” Sekali
lagi Lawa Ijo mendengus.
“Dari manakah
kalian?” Sampai pertanyaan itu, Kebo Kanigara merasa bahwa orang yang berdiri
menghadangnya itu ingin memperpanjang waktu dengan mengajukan berbagai
pertanyaan. Karena itu ia segera mencoba mempersingkat pembicaraan.
“Aku datang
dari Banyubiru. Kau tidak usah menanyakan keperluanku. Dan kau tidak usah
mengurus hal-hal di luar kepentinganmu. Nah sekarang katakan kepadaku siapa kau
ini?”
Lawa Ijo
tertawa, jawabnya,
“Jarang-jarang
aku menemui pertanyaan serupa itu, sebab hampir setiap orang mengenal aku.
Akulah yang dinamai Lawa Ijo dari Alas Mentaok.”
“Ooo….” sahut
Kanigara. Sekarang ia dapat mengukur kekuatan lawannya, sebab ia telah
mendengar kekuatan hantu Alas Mentaok ini.
Tetapi agaknya
Lawa Ijo masih saja ingin bertanya-tanya. Apalagi ketika ia tidak melihat
Mahesa Jenar diantara orang-orang rombongan berkuda itu.
“Berapa orang
kalian semuanya?”
“Empat,” jawab
Kanigara mulai jengkel.
“Tetapi jumlah
kuda kalian adalah lima. Di mana yang seorang?” tanya Lawa Ijo pula.
Kanigara sudah
tidak mau melayani pertanyaan-pertanyaan yang menjemukan itu lagi. Ia ingin
cepat-cepat lewat dan menemui putrinya. Kalau-kalau ia mengalami sesuatu.
Karena itu Kanigara berkata lantang,
“Minggirlah
Lawa Ijo, supaya aku bisa lewat, atau supaya kamu tidak terinjak oleh kaki
kuda-kuda kami.”
Lawa Ijo
adalah seorang kepala gerombolan yang ditakuti oleh penduduk di sekitar Alas
Mentaok. Bahkan namanya tersiar sampai ke daerah-daerah yang jauh. Karena itu
ketika ia mendengar seorang yang takut terinjak seakan-akan menganggapnya tidak
lebih dari seorang yang takut oleh kaki-kaki kuda, ia menjadi marah. Apalagi
orang yang duduk di atas punggung kuda dan memandangnya dengan berani itu
bukanlah orang yang pernah menggemparkan karena kesaktiannya. Kalau semula ia
agak cemas terhadap Mahesa Jenar setelah mengetahui tingkat ilmu Arya Salaka,
muridnya, maka kemudian ia menjadi berlega hati ketika Mahesa Jenar tidak ada
di dalam rombongan itu. Meskipun ia mulai bertanya, ketika diketahuinya bahwa
seekor kuda dari rombongan itu ternyata tidak berpenumpang. Maka dengan marah
ia menjawab dengan kasarnya,
“Karangjati,
kau harus belajar menilai seseorang. Aku minta kau turun dari kudamu untuk
menghormati kehadiranku di sini. Kemudian kau harus berkata sejujur-jujurnya,
di mana Mahesa Jenar sekarang berada. Sesudah itu baru aku dapat memberi
keputusan apakah kau akan diijinkan meneruskan perjalanan ke perkemahan orang-orang
Banyubiru, atau kau terpaksa kembali ke Banyubiru.”
Kanigara
semakin tidak senang melihat sikap itu. Sebenarnya ia tidak perlu marah kepada
Lawa Ijo, sebab ia tahu benar bahwa demikianlah sifat-sifat yang pada umumnya
dimiliki oleh orang-orang dari kalangan hitam.
Tetapi kali
ini Kanigara tergesa-gesa benar. Karena itu ia merasa terganggu. Sehingga
dengan tajamnya ia menjawab,
“Lawa Ijo, aku
sedang tergesa-gesa. Kau pasti tahu apa sebabnya. Dan kau tidak usah
menyembunyikan diri, bahwa kau sengaja menghalangi perjalananku dan menurut
dugaanmu Mahesa Jenar akan lambat datang ke perkemahan. Tetapi dengan demikian
aku menjadi semakin yakin, bahwa kau pasti telah berbuat kejahatan terhadap
anak-anak Banyubiru. Udara yang mengandung pengaruh sirep ini telah mengabarkan
kepadaku sejak tadi bahwa ada sesuatu yang kurang pada tempatnya.”
Dada Lawa Ijo
berdesir mendengar kata Kebo Kanigara yang menebak dengan tepat apa yang sedang
terjadi. Karena itu ia merasa tidak perlu untuk memutar-mutar pembicaraan lagi,
bahkan ia mengharap agar orang yang menamakan diri Karangjati itu menjadi
gelisah dan kecemasan. Katanya,
“Kau benar.
Ternyata otakmu terang seperti bintang-bintang di langit itu. Karena itu
seharusnya kau juga mengerti bahwa orang-orang Banyubiru dan orang-orang yang
datang bersama Mahesa Jenar telah habis terbunuh. Karena itu maka sekarang
datang giliran padamu dan orang-orang yang datang bersertamu itu.”
Kanigara
mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak yakin bahwa kata-kata Lawa Ijo itu
benar-benar telah terjadi. Sebab dengan demikian tidak perlu agaknya bagi Lawa
Ijo untuk mencegatnya di perjalanan, meskipun tinggal beberapa langkah dari
perkemahan. Kalau apa yang dikatakan Lawa Ijo itu benar-benar telah terjadi,
maka pasti Lawa Ijo akan membiarkan mereka itu sampai di perkemahan dan
membunuhnya di sana pula, atau sama sekali membiarkan hidup apabila mereka
merasa tidak mampu untuk melawan.
KANIGARA
menjawab,
“Jangan
membual Lawa Ijo. Apa gunanya kau mempersulit dirimu menghadang kami di tengah
jalan…? Kenapa tidak kau tunggu saja kami di perkemahan? Tetapi dengan
kehadiranmu di sini, aku menduga bahwa ada orang lain yang sedang melakukan
tugasnya di perkemahan. Katakan siapakah dia. Gurumu yang bergelar Pasingsingan
barangkali…?”
Sekali lagi
dada Lawa Ijo berdesir cepat. Orang itu benar-benar berotak cerah seperti apa
yang dikatakan. Namun demikian ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang sukar
dicari bandingannya. Dengan demikian sambil membusungkan dada ia berkata,
“Sekali lagi
aku membenarkan kata-katamu. Guruku berada di sana dan saat ini sedang
membinasakan semua orang yang ditemuinya.”
Kanigara tidak
membuang waktu lagi. Tanpa diduga oleh Lawa Ijo, Kanigara menarik kekang
kudanya dan memukul perut kuda itu dengan tumitnya. Dengan terkejut kudanya meloncat
maju. Melihat kuda itu seperti akan menerkamnya, Lawa Ijo pun terkejut. Namun
ia benar-benar tidak mau terinjak oleh kaki kuda itu. Dengan cepatnya ia
memutar tubuhnya sambil meloncat ke samping. Dengan mengumpat sejadi-jadinya ia
menerjang Kebo Kanigara. Ternyata Kebo Kanigara memiliki kelincahan jauh di
luar dugaan Lawa Ijo. Ketika ia menerjang dengan garangnya, tiba-tiba terasa
pergelangan tangannya tertangkap dengan kuatnya. Bahkan beberapa saat ia
tergantung-gantung dibawa oleh derap kuda Kebo Kanigara untuk kemudian
terbanting dengan kerasnya di padas tepi jalan itu. Untunglah bahwa tubuh Lawa
Ijo benar-benar keras seperti batu. Meskipun sakitnya bukan main, namun ia
masih dapat meloncat untuk kemudian berdiri. Ketika ia sudah tegak berdiri, ia
melihat anak buahnya mencoba untuk menyerang Kebo Kanigara dan kawan-kawannya.
Tetapi apakah yang dapat mereka lakukan, hanyalah seperti sebuah permainan
anak-anak yang sama sekali tidak menarik. Lawa Ijo melihat, kuda Kebo Kanigara
membalik sekali, dan menyambar beberapa orang sekaligus. Sedang Bantaran,
Penjawi dan Wanamertapun telah melawan penyerang-penyerangnya dari atas kuda
mereka. Tetapi yang paling mengerikan adalah gerak kuda Kebo Kanigara. Seperti
seekor elang yang gagah melayang-layang dengan derasnya menyambar mangsanya.
Lawa Ijo benar-benar ngeri melihatnya.
“Gila,”
gumamnya,
“Siapakah
orang ini?”
Tetapi ia
tidak mau berdiam diri. Dengan sebuah teriakan nyaring melontarlah dari kedua
belah tangannya, dua benda yang berkilat-kilat seperti tatit melayang ke arah
Kebo Kanigara. Demikian cepatnya kedua pisau belati panjang itu, sehingga
kecepatan mata hampir tak mampu mengikutinya.
Lawa Ijo
memang memiliki keahlian untuk menyerang dengan pisau dari jarak jauh. Tetapi
sasaran Lawa Ijo kali ini adalah Kebo Kanigara. Karena itu meskipun pisau Lawa
Ijo itu dengan cepatnya menyambar satu ke arah kepalanya, sedang yang lain ke
arah perutnya, namun Kanigara masih juga mampu menghindari. Mula-mula ia
membungkuk lekat dengan punggung kudanya, kemudian untuk menghindari sambaran
pisau yang mengarah keperutnya, ia memutar tubuhnya melekat ke bagian sisi
punggung kuda itu, sehingga dengan demikian pisau Lawa Ijo berlari tidak lebih
dari secengkang di atasnya. Kali ini dada Lawa Ijo benar-benar seperti diguncang-guncang
melihat keterampilan Kebo Kanigara. Tidak saja kekuatannya yang maha besar,
yang telah dirasakannya pada saat pergelangannya ditangkap. Namun ternyata
orang itu ahli pula mengendarakan kuda. Karena itu, ia merasa bahwa usahanya
menghalang-halangi orang itu pasti akan sia-sia. Tetapi dengan demikian
setidak-tidaknya ia sudah berhasil memperpanjang waktu, meskipun hanya
sebentar. Karena itu ketika ia melihat kuda Kebo Kanigara itu sekali lagi
berputar ke arahnya, cepat-cepat ia meloncat ke dalam gerumbul di tepi jalan
dengan suatu suitan nyaring. Bersamaan dengan itu anak buahnya pun segera
berloncatan meninggalkan gelanggang seperti anak ayam yang bersembunyi melihat
di udara ada seekor elang. Kebo Kanigara tidak mau membuang waktu lagi.
Cepat-cepat ia memutar kudanya, dan dengan cepat pula ia mengajak
kawan-kawannya menuju ke perkemahan.
“Ayolah kita
tinggalkan tempat celaka ini. Tidak ada waktu untuk mengurusi Lawa Ijo.
Mudah-mudahan Mahesa Jenar tidak terlambat sampai.”
Setelah itu,
maka kembali mereka berpacu. Meskipun jarak lurus ke perkemahan itu tidak jauh
lagi, namun mereka terpaksa melingkar-lingkar menuruti jalan yang dapat mereka
tempuh dengan kuda-kuda mereka. Kembali terdengar deru kaki kuda memenuhi
lembah, memukul-mukul lambung bukit untuk kemudian dilontarkan kembali
seakan-akan beratus-ratus ekor kuda berderap bersama di sekitar lembah itu.
Sementara itu,
di perkemahan, Mahesa Jenar telah berdiri diantara mereka yang sedang berjuang
melawan Pasingsingan. Pada saat itu, meskipun mata Pasingsingan tidak jelas
tampak karena terbalut oleh topeng kasarnya, namun terasa betapa tajamnya ia
memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung ikat kepalanya.
Sebenarnya bagi Pasingsingan, yang menilai Mahesa Jenar seperti beberapa tahun
yang lalu, tidak demikian terpengaruh atas kehadirannya. Pasingsingan merasa
bahwa sekalipun dengan Mahesa Jenar, pekerjaannya tidak akan bertambah berat,
meskipun ia mempertimbangkan juga kemungkinan lain, karena anak muda, murid
Mahesa Jenar itu. Tetapi bagaimanapun juga, Pasingsingan masih menganggap orang
itu termasuk dalam gerombolan kelinci-kelinci yang tak tahu diri. Tetapi yang
mengejutkan Pasingsingan, adalah sapa yang telah diucapkan oleh Mahesa Jenar
itu. Dari mana dia mendengar bahwa yang ada sekarang adalah Pasingsingan muda,
yang pernah bernama Umbaran. Karena itu dengan kemarahan yang masih
menyala-nyala di dalam dadanya terdengar suaranya yang berat,
“Mahesa Jenar,
kalau aku tidak salah dengar, adakah kau tadi menyebut Pasingsingan muda yang
pernah bernama Umbaran?”
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar singkat.
“Hem…” geram
Pasingsingan, kemudian ia bertanya,
“Siapakah yang
kau maksud dengan nama itu?”
MENDENGAR
pertanyaan itu Mahesa Jenar tertawa. Sekarang ia sudah tidak lagi gelisah,
justru setelah ia berdiri berhadapan dengan Pasingsingan, diantara orang-orang
yang namanya tergores hatinya. Ia tidak tergesa-gesa menjawab pertanyaan
Pasingsingan itu, tetapi sekali lagi ia meyakinkan, apakah orang orang di
perkemahan itu masih lengkap. Ketika sekali lagi matanya menyambar Arya Salaka,
Wilis, kemudian Endang Widuri dan seterusnya Mantingan, Wirasaba dan Jaladri,
hatinya menjadi semakin tenang. Ia merasa bahwa kehadirannya tidak terlambat.
Kalau orang-orang itu masih lengkap, maka pasti Pasingsingan belum berhasil
berbuat sesuatu atas orang-orang Banyubiru.
Melihat sikap
Mahesa Jenar itu Pasingsingan menjadi semakin marah. Dengan membentak ia
mengulangi pertanyaan sekali lagi, “Mahesa Jenar, siapakah yang kau maksud
dengan nama-nama itu?”
Sekali lagi
Mahesa Jenar tertawa, jawabnya,
“Tuan, aku
pernah berdiri di hadapan Tuan beberapa tahun yang lalu di alun-alun Banyubiru
bersama-sama dengan Kakang Gajah Sora dan bersama-sama dengan seorang sebaya
dengan Tuan, yaitu Ki Ageng Pandan Alas. Pada saat itu aku mendengar betapa
orang tua itu meragukan sahabat lamanya yang bernama Pasingsingan. Pernahkah
Tuan mendengar ceritanya itu?”
“Hem…” Sekali
lagi Pasingsingan menggeram. Tetapi ia masih mencoba menahan diri. Ia ingin
mendengar dari mana Mahesa Jenar mengetahui dan kemudian membuat sebutan
Pasingsingan muda. Karena keinginannya untuk mengetahui itulah kemudian ia
bertanya lebih lanjut,
“Adakah
ceritanya itu menarik?”
“Entahlah,”
jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi
ceritanya itu ada sangkut pautnya dengan nama yang Tuan tanyakan itu.”
“Ceritanya
harus dimulai dari ujungnya,” jawab Mahesa Jenar.
“Pasingsingan
sehabat Pandan Alas itu ternyata pelupa. ia tidak ingat lagi, kapan dan
bagaimana ia mula-mula bertemu dengan Ki Ageng Pandan Alas.”
“Aku
peringatkan sekali lagi Mahesa Jenar. Jangan mengigau. Dan ingatlah dengan
siapa kau berhadapan,” potong Pasingsingan semakin marah.
“Jangan marah
Tuan,” sahut Mahesa Jenar,
“Bukankah Tuan
ingin mengetahui siapakah yang aku maksud dengan Pasingsingan muda yang bernama
Umbaran itu? Nah, dengarkan kelanjutan cerita itu. Setelah aku bertemu dengan
Tuan beberapa tahun lalu di alun-alun Banyubiru itu, aku bertemu pula, yang aku
sangka adalah Tuan. Tetapi aku keliru. Orang yang aku sangka Tuan itu, belum
pernah bertemu dengan aku sebelumnya. Bahkan ia sama sekali tidak bersikap
memusuhi aku seperti Tuan. Dan orang itu juga bernama Pasingsingan.”
“Bohong!”
teriak Pasingsingan tiba-tiba.
“Dengar dahulu
Tuan…” Mahesa Jenar melanjutkan tanpa memperdulikan teriakan Pasingsingan.
“Aku benar
bertemu dengan Pasingsingan satu lagi.” Pasingsingan masih berusaha menahan
dirinya. Ia ingin mendengar di manakah Mahesa Jenar bertemu dengan Pasingsingan
yang satu itu.
Kemudian
terdengarlah Mahesa Jenar meneruskan,
“Apakah Tuan
tidak percaya?- “
“Hem….”
Pasingsingan tidak menjawab, tetapi yang mendengar hanyalah dengusnya yang
bernada rendah.
“Pasingsingan
itu aku temui di Pudak Pungkuran,” sambung Mahesa Jenar. Pasingsingan masih
berdiam diri.
“Bahkan di
sana ada tidak hanya satu Pasingsingan. Tetapi tiga,” Mahesa Jenar meneruskan.
“Tiga…?” ulang
Pasingsingan hampir berteriak. Tetapi kemarahannya sudah menggelegak sampai di
kepalanya. Ia merasa seolah-olah Mahesa Jenar hanya mau mempermainkan dirinya,
atau memperpanjang waktu untuk menanti kawan-kawannya yang masih berada di
perjalanan. Sebab Pasingsingan yang cerdik itupun segera mengetahui, bahwa
Mahesa Jenar pasti pergi mendahului rombongan yang dicegat Lawa Ijo di
perjalanan.
Karena itu
dengan marahnya ia menggeram,
“Nah, sekarang
aku tidak mau mendengar lagi. Bersiaplah dan bertempurlah bersama-sama. Umur
kalian tidak akan lebih daripada saat bintang waluku mencapai ujung cemara
itu.”
Tetapi Mahesa
Jenar seperti tidak mendengar kata-kata Pasingsingan itu dan berkata terus,
“Dua orang
Pasingsingan sebaya dengan Tuan, sedang yang seorang lagi agaknya telah lebih
tua, meskipun masih tampak segar. Dari mereka aku mendengar bahwa selain dari
tiga Pasingsingan itu masih ada satu lagi yang memisahkan diri dari pergaulan
antar Pasingsingan itu. Orang yang memisahkan diri itulah Pasingsingan yang
paling muda dan bernama Umbaran.”
Pasingsingan
yang sudah siap untuk meloncat menyerang mereka dengan pisau belatinya yang
bernama Kyai Suluh itu menjadi urung. Dadanya yang terbakar oleh kemarahannya
itu menjadi berdebar-debar. Dengan penuh kecurigaan ia bertanya menyelidiki,
“Siapa itu…?”
Suara itu cukup garang, namun terasa betapa ia menjadi cemas oleh kata-kata
itu.
“Adakah mereka
hanya mengaku diri?” sahut Mahesa Jenar pura-pura.
“Tentu,”
Pasingsingan menegaskan,
“Tak ada duanya
di dunia ini. Pasingsingan hanyalah seorang. Dan akulah satu-satunya
Pasingsingan itu.”
MAHESA JENAR
tertawa pendek. Katanya,
“Ternyata Tuan
yang menamakan diri Pasingsingan itu, tidak mempunyai banyak pengertian tentang
nama Tuan. Agaknya pengertianku tentang Pasingsingan justru lebih banyak dari
Tuan. Aku pernah mendengar seorang jujur setia, yang mengantar perjalanan Prabu
Brawijaya Pamungkas, ya Pasingsingan. Aku kenal seorang sakti yang bertapa
mengasingkan diri, yang juga bernama Pasingsingan. Aku kenal ketiga-tiga
muridnya, yang kemudian berebut gelar itu. Namanya Radite, Anggara dan yang
satu Umbaran.”
No comments:
Post a Comment