MELIHAT hal itu Mahesa Jenar menjadi sangat cemas. Cemas akan keselamatan Pudak Wangi. Sebab dalam keadaan serupa itu, bisa saja malapetaka menimpanya setiap saat, meskipun selama Janda Sima Rodra itu masih berada di situ, keselamatannya agaknya masih terjamin. Meskipun demikian, Mahesa Jenar telah bersiaga penuh. Kalau terjadi sesuatu atas gadis yang berpakaian mirip seorang laki-laki itu, dalam loncatan pertama ia sudah siap mempergunakan aji Sasra Birawanya, meskipun seterusnya akan sangat membahayakan jiwanya sendiri. Sebab ia yakin bahwa Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki berada di sekitar tempat itu pula. Tetapi apa boleh buat. Sementara itu, upacara gila-gilaan itu menjadi semakin panas. Dan tiba-tiba lingkaran upacara itu melebar dan melingkar di luar tempat Harimau Betina itu berdiri. Dalam keadaan yang demikian tampaklah betapa cemasnya Pudak Wangi. Dalam keadaan hampir tak sadar tiba-tiba Janda Sima Rodra itu kemudian menarik tangan Jaka Soka dan diseretnya untuk ikut serta melonjak-lonjak dan berteriak-teriak. Agaknya Jaka Soka pun menjadi seperti seorang yang tak berperasaan lagi. Tanpa membantah ia pun langsung ikut serta dalam pesta-pesta yang mengerikan itu. Sesaat kemudian Pudak Wangi memalingkan wajahnya. Upacara itu benar-benar telah menjadi-jadi. Tetapi kemanapun ia memandang, ia melihat keadaan yang serupa. Sehingga akhirnya ia memejamkan matanya. Mahesa Jenar akhirnya tak tahan lagi. Darahnya yang sudah mendidih itu sudah tidak dapat disabarkan. Karena itulah segera ia bersiap untuk bertindak.
Tetapi sebelum
ia bergerak, terdengarlah derap suara seekor kuda. Semakin lama semakin dekat.
Orang-orang yang sedang melakukan perbuatan-perbuatan gila itu sama sekali
tidak mendengar derap itu. Sehingga kuda itu telah menjadi dekat sekali. Dengan
mata yang tajam, Mahesa Jenar melihat seseorang diatas seekor kuda merah
kehitam-hitaman meluncur seperti anak panah ke arah api yang masih menyala-nyala.
Sesaat orang itu mengekang kudanya agak jauh dari perapian itu, tetapi sesaat
kemudian seperti angin kuda itu meluncur kembali langsung menerjang orang-orang
yang sedang sibuk dengan kelakuan-kelakuan mereka yang gila itu. Karena itu,
ketika seekor kuda merah kehitam-hitaman menerjang mereka, mereka menjadi
kalang kabut dan untuk sementara kehilangan akal. Namun tidak demikianlah
Harimau Betina Gunung Tidar dan Jaka Soka. Meskipun mereka baru saja tenggelam
dalam irama kegilaan, namun dalam waktu sekejap mereka telah dapat menguasai
diri mereka kembali. Karena itu segera mereka berloncatan mundur sambil
bersiaga, sehingga ketika orang berkuda itu mengulangi serangannya, mereka
sudah siap pula menghindar. Maka sesaat kemudian terdengarlah Janda Sima Rodra
itu berteriak dengan marahnya. Dan dalam keadaan yang demikian, segera tampak
jari-jarinya yang memiliki kuku-kuku yang panjang itu berkembang mengerikan.
Sedang Jaka Sokapun merasa terhina pula. Dengan hebatnya ia menggeram, dan
sesaat kemudian ia telah meloncat menghadang kuda yang telah berputar pula.
Ketika wajah orang berkuda itu kemudian menjadi jelas oleh api yang menyala
ditengah-tengah mereka, segera terdengar suara Pudak Wangi nyaring, Kakang
Sarayuda…. Suara Pudak Wangi yang melengking lembut itu bagi Mahesa Jenar
ternyata mempunyai akibat yang hebat sekali. Dalam saat yang bersamaan, ia
telah mengenal pula wajah itu. Sarayuda, yang membuatnya berdebar-debar.
Bagaimanapun
juga Mahesa Jenar tidak dapat melupakan, bahwa pemuda yang perkasa itu telah
pernah mengecewakannya, meskipun mungkin sama sekali tidak disengaja. Dan
kehadirannya saat inipun telah menimbulkan suatu persoalan baru di dalam
dadanya. Dalam saat yang tegang itu terdengarlah Jaka Soka berteriak kasar,
“Hai Janda
Sima Rodra, adakah orang ini yang kau pancing dengan umpanmu itu?”
Terdengarlah
suara Janda Sima Rodra itu menjawab,
“Aku tak kenal
orang ini. Betapapun gagahnya, namun ia adalah sombong sekali”.
Pada saat itu,
kuda merah kehitam-hitaman itu dengan garangnya menyambar Jaka Soka. Tetapi
Ular Laut itu, bukanlah anak-anak kemarin sore yang baru mampu bermain
kucing-kucingan. Dengan menarik tubuhnya satu langkah ke samping, ia telah
bebas dari serangan lawannya. Sambil berjongkok ia menyodok perut kuda itu
dengan tongkat hitamnya. Akibatnya hebat sekali. Kuda itu terkejut dan memekik
berdiri. Saat yang demikian memang ditunggunya. Dengan cepatnya ia melompat dan
menghantam punggung Sarayuda. Tetapi Demang Gunung Kidul itupun bukan pula anak
ingusan. Ia adalah murid tertua Ki Ageng Pandan Alas.
KETIKA Demang
Gunung Kidul merasa sebuah serangan mengarah ke punggung, sedang kudanya belum
dapat dikuasainya, maka dengan kecepatan yang sama ia telah berhasil meloncat
dan jatuh berguling, untuk kemudian melenting bangkit dan bersiaga. Dalam
sekejap kemudian terjadilah pertempuran yang seru. Jaka Soka, Bajak Laut yang
ditakuti di daerah perairan Nusakambangan dan mendapat julukan Ular Laut,
menyerang dengan ganasnya, sedang Sarayuda bertempur dengan gagahnya pula.
Dengan teguhnya ia berdiri di atas kedua kakinya yang lincah menari-nari
membingungkan lawannya. Pada saat yang demikian itu terdengarlah suara Janda
Sima Rodra kepada laskarnya,
“Sakayon,
jagalah tawanan ini. Kepung rapat-rapat dan jangan beri kesempatan bergerak.
Biar aku membantu Jaka Soka membinasakan tamu yang sombong itu”.
Sesaat
kemudian, berloncatanlah anak buah Sima Rodra dengan senjata terhunus berdiri
rapat-rapat melingkari Pudak Wangi yang terikat tangannya. Kemudian, Janda Sima
Rodra itu pun, dengan kuku-kukunya yang tajam beracun mulai melibatkan diri
dalam pertempuran melawan Sarayuda. Sarayuda adalah seorang yang tangkas,
tangguh dan perkasa. Namun demikian, ketika ia harus melawan Ular Laut dan
Janda Sima Rodra itu bersama-sama, segera terasa bahwa memang kekuatan mereka
tidak berimbang, karena Ular Laut dan Janda Sima Rodra itu masing-masing juga
merupakan tokoh-tokoh perkasa dari golongan hitam. Dalam keadaan yang terdesak,
Sarayuda segera mencabut pedangnya. Pedang yang gemerlapan itu berputar-putar
memancar berkilat-kilat karena cahaya api. Sinarnya yang putih, serta pantulan
sinar kemerah-merahan, menjadikan pedang itu seperti memancarkan bunga-bunga
api. Sarayuda, murid Ki Ageng Pandan Alas itu, kemudian menyerang dengan
tangkasnya. Pedangnya bergetaran dalam ilmu khusus perguruan Ki Ageng Pandan
Alas, terasa sangat membingungkan lawannya.
Tetapi dalam
pada itu, segera tampak pula sinar putih bergulung-gulung belit-membelit dengan
bayangan yang kehitam-hitaman melawan pedang Sarayuda. Itulah senjata Jaka Soka.
Pedang kecil yang lentur, yang dicabutnya dari dalam tongkat hitamnya di tangan
kanan, dan tongkat itu sendiri ditangan kiri, merupakan sepasang senjata yang
menakjubkan. Dibarengi dengan 10 batang kuku-kuku berbisa diujung jari Harimau
Betina dari Gunung Tidar, senjata-senjata itu merupakan gabungan kekuatan yang
mengerikan. Untuk sesaat Mahesa Jenar terpesona memandangi pertempuran yang
hebat itu. Ia kagum akan ketangkasan Sarayuda dan memuji kelincahan Jaka Soka,
yang bertempur dengan gerakan-gerakan yang cepat, melingkar, menyerang dan
mematuk-matuk, benar-benar seperti laku seekor Ular yang berbahaya. Mahesa
Jenar baru sadar ketika dilihatnya bahwa Sarayuda benar-benar dalam keadaan
yang sangat berbahaya. Dalam keadaan yang sedemikian, tiba-tiba sekali lagi
Mahesa Jenar dikejutkan oleh suatu pemandangan yang tidak diduganya. Di tempat
yang agak jauh dari lingkaran pertempuran itu, yang hanya dapat dicapai oleh
cahaya api yang sangat lemah, dilihatnya pula seseorang bertempur melawan dua
orang. Tetapi pertempuran ini jauh berbeda dengan pertempuran antara Sarayuda
melawan kedua lawannya. Pertempuran yang dilihatnya kemudian itu seolah-olah
hanyalah sebuah permainan lontar-melontar yang kadang-kadang diseling dengan
pukulan-pukulan lamban. Namun agaknya gerak-gerak itu merupakan gerak-gerak
yang meloncatkan kekuatan tiada taranya.
Sesaat
kemudian Mahesa Jenar segera dapat mengenalnya. Yang seorang itu adalah Ki
Ageng Pandan Alas, sedang kedua lawannya adalah Sima Rodra tua dari Lodaya dan
Bugel Kaliki dari Lembah Gunung Cerme. Melihat pertempuran itu Mahesa Jenar
menjadi bertambah cemas. Ki Ageng Pandan Alas yang datang untuk menolong
cucunya, ternyata menjumpai lawan yang seangkatan dan berdua pula. Meskipun apa
yang terjadi diantara mereka adalah diatas kemampuannya, namun Mahesa Jenar
dapat pula melihat, bahwa Ki Ageng Pandan Alas pun menemui kesulitan untuk
melawan kedua tokoh tua dari golongan hitam itu, sebagaimana Sarayuda juga
menemui kesulitan dalam perjuangannya melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra
muda. Dalam waktu yang singkat itu terjadilah suatu pergolakan di dalam dada
Mahesa Jenar. Sudah pasti, bahwa ia tidak akan berguna sama sekali apabila ia
berani mencoba-coba mencampuri urusan Ki Ageng Pandan Alas. Apa yang dapat
dikerjakan hanyalah untuk sementara memperingan pekerjaan orang tua itu. Untuk
sementara saja. Sebab kemudian ia akan segera binasa. Maka yang mungkin
dilakukan hanyalah melibatkan diri dalam lingkaran pertempuran antara Sarayuda
dan lawan-lawannya. Meskipun sebagai manusia biasa, terdapat beberapa benih
keseganan untuk membantunya, namun darah kesatria yang mengalir di dalam
tubuhnya telah melanda kepicikan pandangan itu. Dengan merapatkan giginya,
Mahesa Jenar berusaha untuk melupakan apa yang pernah dialaminya.
Persoalan-persoalan pribadi antara dirinya dan Demang Gunung Kidul itu.
Sehingga sesaat kemudian telah bulatlah hatinya untuk terjun langsung membantu
Sarayuda. Ia mengharap bahwa dengan aji Sasra Birawa dan Aji Cunda Manik yang
dimiliki oleh Sarayuda akan mempercepat penyelesaian, sehingga ia mengharap
dapat menyelamatkan Pudak Wangi. Setelah itu, ia mengharap pula bahwa Ki Ageng
Pandan Alas dapat menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun apa yang akan
dilakukan itu mengandung bahaya yang maha besar, namun tak ada pilihan lain
daripada berjuang untuk membebaskan gadis cucu Pandan Alas itu. Memang akan
mungkin sekali, untuk sementara salah seorang lawan Pandan Alas meninggalkan
orang tua itu untuk membantu Jaka Soka dan Janda Sima Rodra, yang berarti
kebinasaan baginya dan bagi Sarayuda. Tetapi itu akan merupakan sebuah
pertanggungjawaban dari perjuangan. Karena itu segera Mahesa Jenar menggulung
lengan bajunya dan menyangkutkan kainnya.
KEMBALI dada
Mahesa Jenar digetarkan oleh suatu peristiwa yang tak dapat dimengertinya.
Ketika ia sudah mulai bergerak untuk meloncat, tiba-tiba didengarnya gemerisik
halus di bekalangnya. Cepat ia bersiaga dan membalikkan tubuhnya. Tetapi apa
yang dilihatnya hampir tak masuk diakalnya. Dalam remang-remang cahaya bintang
serta sinar api yang menyusup di celah-celah daun ilalang, Mahesa Jenar melihat
sebuah bayangan yang seolah-olah dirinya sendiri sedang terbang dan melontar
cepat lewat disampingnya. Dengan pandangan yang penuh kebingungan, matanya
mengikuti bayangan itu dengan tanpa berkedip. Apalagi ketika ia melihat
bayangan itu dengan lincahnya meloncat di atas batu karang tidak jauh dari
perapian yang masih menyala-nyala. Dengan tangan bertolak pinggang serta kaki
renggang, terdengarlah bayangan itu tertawa nyaring. Suaranya mengumandang
seperti guntur yang menggelegar membentur dinding pegunungan, sambil berkata,
“Inilah murid
Ki Ageng Pengging Sepuh yang dikenal dengan nama Mahesa Jenar serta bergelar
Rangga Tohjaya”.
Mendengar
suara yang mengguruh itu, isi dada Mahesa Jenar seperti diguncang-guncang.
Cepat ia memusatkan kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh suara yang aneh
itu. Ia pernah mendengar Pasingsingan menghantamnya dengan suara tertawa yang
mengerikan di alun-alun Banyubiru.
Dan sekarang,
suara orang yang berdiri diatas batu karang itu tidak pula kalah dahsyatnya
menghantam dadanya. Agaknya bukan saja Mahesa Jenar yang merasa terpukul oleh
getaran suara yang dilontarkan dengan landasan kekuatan batin yang tinggi itu.
Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang sedang bertempur itupun segera
berloncatan mundur dan mempergunakan kekuatan batinnya untuk menahan supaya
dadanya tidak rontok. Pudak Wangipun tampak menundukkan kepala sambil
memejamkan matanya. Agaknya cucu dan sekaligus murid Pandan Alas yang muda
itupun berusaha untuk membebaskan diri dari getaran yang memukul-mukul dadanya.
Bahkan lebih dari pada itu, Pandan Alas, Sima Rodra dan Bugel Kaliki,
tokoh-tokoh tua yang sudah banyak makan pahit asinnya penghidupan itupun
menjadi terkejut pula. Ternyata bahwa karena itu pertempuran mereka jadi
terhenti. Dengan pandangan yang keheran-heranan mereka memperhatikan orang yang
berdiri diatas batu karang dengan kaki renggang dan kedua tangan bertolak
pinggang. Mahesa Jenar yang telah lebih dahulu melihat orang yang menyebut
dirinya Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu, ketika sinar api
mencapai wajahnya, segera ia mengenalnya, bahwa wajah itu sama sekali tidak
jelas. Rambut yang kasar tumbuh lebat hampir melingkari seluruh muka,
bersambungan dengan kumis dan janggut yang rapat tak teratur.
Dalam pada itu
Mahesa Jenar telah berusaha keras untuk tidak tenggelam dalam suatu perasaan
yang aneh, bahwa hampir-hampir ia merasa bahwa orang yang berdiri diatas batu
karang itu adalah dirinya sendiri, yang dalam keadaan puncak keprihatinan,
sehingga sama sekali tidak sempat memelihara diri. Meskipun beberapa kali
Mahesa Jenar sudah pernah melihat wajahnya di permukaan air, namun ia dalam
saat yang aneh itu, harus berjuang mati-matian untuk dapat mengenal dirinya
kembali, dan membedakannya dengan orang yang berdiri diatas batu karang itu.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar mempunyai kekuatan batin yang tinggi pula,
sehingga dalam sesaat ia telah berhasil menguasai dirinya kembali. Semakin lama
ia menjadi semakin jelas melihat batas antara dirinya dan orang itu. Bahkan
akhirnya ia dapat memperhitungkan berbagai masalah mengenai dirinya dan orang
yang mengaku Mahesa Jenar itu. Orang itu pasti sengaja memakai rambut, kumis
dan janggut yang kasar dan lebat, supaya wajahnya tidak segera dikenal. Tetapi,
yang Mahesa Jenar masih belum dapat menemukan jawabnya, adalah gerak gerik
orang itu hampir mirip bahkan tepat seperti gerak geriknya, tapi berada diatas
kemampuannya. Dan hal itulah kemudian yang menjadi teka-teki yang tak dapat
dipecahkannya.
Sudah untuk
kedua kalinya Mahesa Jenar mengalami hal yang serupa. Ketika ia harus bertempur
berlima melawan Sima Rodra dan Pasingsingan, tiba-tiba saja ia melihat dua
orang Mahesa Jenar melibatkan diri. Kedua orang itu ternyata Ki Paniling atau
yang nama sebenarnya adalah Radite dan Darba atau Anggara. Namun bagaimanapun
juga akhirnya ia dapat mengenal kedua orang itu. Tetapi ternyata orang yang
menyerupai dirinya kali ini lebih membingungkannya. Sebab gerak geriknya mirip
sekali dengan geraknya sendiri dalam ilmu warisan Ki Ageng Pengging Sepuh.
Dalam keadaan yang demikian, suasana menjadi hening tegang. Kecuali suara
berderai yang meluncur dari mulut orang yang berdiri diatas batu karang itu,
selainnya sunyi. Tetapi tiba-tiba orang itu meloncat mirip seekor garuda yang
terbang menukik dari atas batu karang itu langsung ke arah Pudak Wangi yang
masih berdiri mematung. Sarayuda, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra itupun segera
tahu maksudnya. Sebab di mata mereka, orang itu tidak lain adalah Mahesa Jenar
yang sedang berusaha untuk membebaskan Rara Wilis. Maka kemudian terdengar
suara Janda Sima Rodra itu nyaring, Soka,
“tamuku sudah
datang. Tolong, tangkap dia. Sesudah itu kau boleh mengambil kami berdua
sebagai istrimu. Tapi ingat, aku tidak mau kau ikat (perkawinan)”.
Jaka Sokapun
kemudian teringat apa yang pernah tejadi di hutan Tambak Baya. Orang yang
menamakan diri Mahesa Jenar telah menggagalkan niatnya, waktu ia hendak
menculik Rara Wilis. Karena pada waktu itu, ia tidak berhasil mengalahkannya.
Tetapi sekarang ia telah bekerja keras untuk menambah ilmunya.
JAKA SOKA
merasa bahwa ia tidak perlu takut lagi kepada Mahesa Jenar, meskipun terhadap
Sasra Birawa ia masih harus sangat hati-hati dan yang dapat dilakukannya
hanyalah menghindarkan diri. Apalagi sekarang ia dapat bekerja sama dengan
Janda Sima Rodra. Sedangkan Sarayuda, ia mengharap bahwa salah seorang dari
Sima Rodra tua atau Bugel Kaliki mengurusnya. Juga terhadap Mahesa Jenar itu
akhirnya, apabila dirinya menemui kesulitan, meskipun ia bekerja sama dengan
Janda Sima Rodra, Jaka Soka mengharap Sima Rodra Tua mau membantu menangkapnya
untuk kepentingan anaknya. Dalam pada itu, Janda Sima Rodra itu menjadi
gembira. Ia ingin Mahesa Jenar tertangkap hidup-hidup. Ia ingin membalas sakit
hatinya karena suaminya terbunuh. Tetapi lebih daripada itu, keliarannya telah
mendorongnya untuk melakukan niat yang memuakkan. Tetapi ketika ia melihat
wajah Mahesa Jenar yang kasar dan berambut lebat itu ia menjadi agak kecewa.
Namun demikian ia sama sekali tidak mengurungkan niatnya. Orang ketiga, yang
berdiri di dalam arena itu adalah Sarayuda. Ia mempunyai tanggapan sendiri atas
kehadiran Mahesa Jenar. Meskipun ia menduga bahwa kehadiran Mahesa Jenar kali
inipun bermaksud untuk menyelamatkan Pudak Wangi, namun tiba-tiba menjalarlah
suatu perasaan cemburu yang meluap-luap. Beberapa tahun yang lalu ia pernah
bertempur dengan Mahesa Jenar ketika ia menolong Arya Salaka. Pada saat itu, ia
merasakan suatu perhubungan yang aneh dengan orang itu. Apalagi ketika
tiba-tiba saja Mahesa Jenar pergi meninggalkan pondok Ki Ageng Pandan Alas
tanpa pamit. Dan sejak itulah ia mempunyai perasaan bersaing. Meskipun sejak
itu Mahesa Jenar tidak pernah muncul kembali dan agaknya Ki Ageng Pandan
Alaspun sangat membesarkan hatinya, namun Pudak Wangi sendiri tidak pernah
membuka hatinya. Ia yakin kalau hal itu disebabkan karena hati itu telah
dirampas oleh orang yang bernama Mahesa Jenar.
Berbeda dengan
perasaan Mahesa Jenar sendiri, yang meskipun ia memiliki perasaan yang sama
dengan Sarayuda, namun ia mendahulukan keselamatan Pudak Wangi dari perasaannya
yang mengganggu. Ia memang sudah membiasakan diri, berkorban untuk kepentingan
yang lebih besar dan luas tanpa pamrih, daripada kepentingan diri sendiri.
Karena perasaan itulah maka Sarayuda justru merasa tersinggung karena hadirnya
Mahesa Jenar. Apalagi setelah ia berjuang mati-matian untuk membebaskan gadis
cucu gurunya, namun tidak ada tanda-tanda akan berhasil, bahkan akhirnya
gurunya sendiri menemui kesulitan pula karena hadirnya kecuali Sima Rodra tua
yang memang sudah diduga sebelumnya, juga Bugel Kaliki. Maka sebelum orang yang
menamakan diri Mahesa Jenar itu sampai ke tengah-tengah arena itu, ia
berteriak,
“Mahesa Jenar,
murid utama Ki Ageng Pengging Sepuh, janganlah mengganggu permainan kami.
Biarlah kami yang sudah dewasa ini mencoba menyelesaikan persoalan kami sendiri”.
Terdengarlah
orang itu tertawa pendek sambil berhenti beberapa langkah dari mereka.
“Aku datang
untuk membantumu,” katanya.
“Aku tidak
perlu bantuanmu,” potong Sarayuda.
Orang yang
menamakan diri Mahesa Jenar itu mengerutkan alisnya. Kemudian ia berkata pula,
“Jangan lekas
tersinggung. Bukankah kita masing-masing berjanji di dalam hati untuk
menghancurkan setiap kejahatan…? Apapun persoalan yang ada di antara kita
jangan menjadi sebab, bahwa kita tidak bisa bekerja bersama. Sebab juga menjadi
kewajibanku untuk membebaskan Adi Pudak Wangi”.
Mendengar nama
itu disebut, hati Sarayuda menjadi bertambah berdebar-debar. Lalu katanya,
“Pergilah,
jangan ikut campur”.
Tetapi orang
yang menamakan diri Mahesa Jenar itu tidak pergi, malahan ia berkata kepada semua
yang ada di arena itu,
“Dengarlah,
aku datang untuk membebaskan Pudak Wangi. Siapun yang menghalangi, tidak peduli
siapa saja, akan berhadapan dengan Mahesa Jenar”.
Setelah itu
kembali ia bergerak maju. Pada saat itu, Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang
paling berkepentingan untuk menangkap Mahesa Jenar itu dan menggagalkan
maksudnya. Karena itulah maka mereka berloncatan maju menghalangi. Sedang
Sarayuda menjadi ragu, dan untuk beberapa saat ia kehilangan pegangan, apakah
yang akan dilakukannya. Sementara itu orang-orang tua yang menyaksikan
perbantahan mereka menjadi tertegun heran. Sima Rodra dan Pandan Alas, dengan
jelas mengetahui sampai di mana tingkat ilmu Mahesa Jenar itu, mereka menjadi
agak keheran-heranan.
MEREKA yakin,
bahwa segala gerakan Mahesa Jenar itu adalah khusus peninggalan Ki Ageng
Pengging Sepuh yang dahsyat itu. Tetapi yang paling heran diantara mereka
adalah Mahesa Jenar sendiri. Apalagi setelah ia menyaksikan orang itu bertempur
melawan Jaka Soka dan Janda Sima Rodra. Setiap gerak tubuhnya, sampai ke ujung
bulunya, adalah tepat sekali apa yang selalu dilakukannya atas dasar ilmu
gurunya. Karena itulah maka Jaka Soka dan Janda Sima Rodra yang memang
benar-benar pernah bertempur dengan Mahesa Jenar, sama sekali tidak mempunyai
curiga apapun terhadap lawannya. Namun Jaka Soka yang merasa bahwa setelah
beberapa tahun ia menekuni ilmunya, yang diduganya telah dapat melampaui ilmu
Mahesa Jenar, ternyata menjadi kecewa. Sebab Mahesa Jenar yang dihadapinya saat
itu, bahkan berdua dengan Janda Sima Rodra, adalah Mahesa Jenar yang memiliki
ilmu yang belum dapat disamai dengan jarak yang seolah-olah tidak berubah
seperti pada saat ia bertempur di Tambak Baya beberapa tahun berselang.
Demikianlah pertempuran itu menjadi semakin lama semakin dahsyat. Orang yang
menamakan diri Mahesa Jenar itu bertempur laksana burung Rajawali yang
menyambar-nyambar melawan Ular Laut yang bertempur bersama-sama dengan seekor
Harimau Liar. Bagaimanapun, Jaka Sokapun ternyata memiliki ilmu yang luar
biasa. Ketika pertempuran itu menjadi semakin hebat, gerakan-gerakan Jaka Soka
menjadi bertambah membingungkan. Serangan-serangan Jaka Soka yang sebagian
besar mengarah ke perut lawannya, dibarengi dengan sambaran-sambaran sinar
putih yang belit membelit dengan bayangan hitam, merupakan tarian maut yang
mengerikan.
Sedangkan
Janda Sima Rodra yang bersenjatakan kuku-kukunya terdengar beberapa kali
menjerit-jerit sambil menerkam dengan garangnya. Jari-jarinya yang mengembang
dan kukunya yang gemerlapan merupakan jaringan-jaringan maut yang sukar dapat
ditembus. Apalagi mereka berdua dengan Jaka Soka, selalu berusaha isi mengisi
kelemahan masing-masing. Tetapi orang yang menamakan dirinya Mahesa Jenar itu,
dalam keadaan yang demikian, bahkan seolah-olah berubah menjadi Wisnu dalam
bentuknya sebagai Kresna penggembala, yang menari-nari di atas seekor ular Naga
yang berkepala tujuh. Namun perlahan-lahan tetapi pasti, satu demi satu
kepala-kepala ular itu dipangkasnya. Jaka Soka dan Janda Sima Rodra itu semakin
lama menjadi semakin terdesak. Tenaga mereka yang dicurahkan habis-habisan,
tanpa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, menjadi semakin
lama semakin surut. Sedang lawan mereka, malahan tampak menjadi semakin garang.
Sesaat kemudian jelaslah apa yang akan terjadi dengan pertempuran itu. Hal itu
dilihat pula oleh Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki. Sudah tentu mereka tidak
akan membiarkan hal itu terjadi. Sedangkan Pandan Alas menjadi termangu-mangu.
Ia dapat membaca perasaan kedua orang itu. Mahesa Jenar dan Sarayuda. Sedangkan
ia sendiri tidak dapat memihak salah seorang diantaranya. Sehingga dengan
demikian, ketika ia mendengar perbantahan Sarayuda dan Mahesa Jenar, menjadi
agak bingung. Namun bagaimanapun juga keselamatan cucunya adalah suatu hal yang
mutlak baginya. Karena itulah maka ketika ia melihat Sima Rodra tua dan Bugel
Kaliki mulai bersiap-siap, iapun bersiap pula.
Tetapi belum
mereka berbuat sesuatu, mereka dikejutkan oleh seseorang yang terjun dalam
arena pertempuran itu. Ia adalah Sarayuda. Dengan menggeram marah ia berkata,
Mahesa Jenar, sekali lagi aku minta kau tinggalkan pertempuran ini. Kau yang
selama ini tidak berbuat apa-apa, sekarang kau akan berlagak menjadi pahlawan.
Akulah yang pertama-tama bertindak untuk keselamatan Pudak Wangi. Biarlah
urusanku itu aku selesaikan. Bukan main terkejutnya orang yang menamakan diri
Mahesa Jenar itu ketika Sarayuda membentak-bentaknya dengan kasar. Sambil
meloncat mundur ia menjawab, Sadarkah kau dengan tindakanmu itu? Jaka Soka dan
Janda Sima Rodra pun menjadi tercengang-cengang. Mereka sama sekali tidak
mengira bahwa Sarayuda dan orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu akan
bertengkar sendiri. Dalam pada itu tiba-tiba Ular Laut yang tampan itu
tersenyum-senyum sambil berkata,
”Kita
mempunyai kepentingan yang sama. Aku, tamu kita yang bernama Sarayuda dan
Mahesa jenar. Diantara kita bertiga, ternyata akulah yang paling rendah tingkat
kepandaianku. Alangkah senangnya kalau aku dapat menarik keuntungan dari perang
tanding antara kedua tokoh yang sempurna ini. Tetapi agaknya akupun telah dapat
memperhitungkan siapakah yang akan menang. Sebab aku telah bertempur dengan
kalian berdua berganti-ganti. Sarayuda bukan tandingan Mahesa Jenar”.
Sarayuda
merasakan dengan tepat singgungan kata-kata itu. Ia memang merasa bahwa ilmunya
berada di bawah tingkat kepandaian Mahesa jenar. Hal yang serupa telah
dirasakannya pula pada saat ia bertempur dahulu. Justru karena itulah dadanya
serasa terbelah. Dengan tidak menghiraukan apapapun lagi, dengan wajah yang
menyala-nyala ia bersiap menyerang Mahesa jenar yang masih berdiri mematung.
Berbareng dengan itu, terdengarlah jerit Pudak Wangi yang sejak tadi berdiam
diri kebingungan.
“Bertempurlah
kalian…, bertempurlah sampai binasa. Setelah itu arwah kalian akan puas melihat
aku binasa pula dengan hinanya di tengah-tengah iblis ini”.
Suara itu
jelas merupakan luapan hati seorang gadis yang mencemaskan kehormatannya, bukan
nyawanya. Sebagai cucu dan murid Ki Ageng Pandan Alas, Pudak Wangi bukanlah
seorang pengecut, yang merengek-rengek menghadapi kematian. Tetapi terhadap
Ular Laut dari Nusakambangan itu, ia benar-benar menjadi ngeri. Sarayuda
tersentak hatinya. Ia tegak seperti patung, dadanya digoncang oleh kebingungan
yang bergelora. Tetapi dalam pada itu, orang yang menamakan dirinya Mahesa
jenar merasa bahwa ia tidak mempunyai banyak waktu.
ORANG itu
sadar, bahwa apa yang dilakukan oleh Sarayuda adalah luapan perasaannya saja.
Karena itu, tiba-tiba orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu, sekali lagi
meloncat mundur, seterusnya apa yang dilakukan sama sekali tak dapat dilihat
dengan jelas. Sekali lagi seperti seekor Rajawali, orang itu terbang dengan
kecepatan kilat, menyambar Pudak Wangi. Orang-orang yang berdiri memagari gadis
itu, yang sebagian telah diruntuhkan perasaannya dengan suara tertawa yang
menghentak-hentak dada, dapat ditembus dengan mudahnya. Kemudian berubahlah
Rajawali itu menjadi bayangan hantu menyambar Pudak Wangi, yang seterusnya
lenyap ke dalam kegelapan bayang-bayang gerumbul-gerumbul lebat di sekitar tempat
itu. Kejadian itu hanya berlangsung dalam waktu yang sangat singkat. Bahkan
merupakan sebuah pesona yang seolah-olah merampas kesadaran dari semua orang
yang menyaksikan. Pandan Alas, Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki pun sampai
beberapa saat berdiri seperti patung. Baru setelah bayangan itu terbang, mereka
menjadi tersadar dari sebuah mimpi yang hebat. Dan sadar pulalah mereka bahwa
apa yang mereka usahakan selama itu, menjadi lenyap di hadapan hidungnya. Sima
Rodra dan Bugel Kaliki yang sudah bersusah payah menangkapnya, dan Pandan Alas
yang bersusah payah pula mencari cucunya itu, ditambah lagi dengan Jaka Soka
dan Sarayuda yang mempunyai kepentingan yang sama pada saat itu, seolah-olah
digerakkan oleh satu daya penggerak, berloncatanlah mereka menyusul ke arah
hilangnya bayang-bayang itu.
Sesaat
kemudian, seperti dihisap oleh kegelapan malam, lenyaplah semua orang yang
mula-mula dengan riuhnya mengelilingi perapian, yang sampai saat itu, apinya
sudah jauh surut. Maka sepilah suasana di tempat itu, setelah semua orang
berlari-larian pergi. Yang terdengar kemudian kecuali keretak sisa-sisa kayu
yang dimakan api, adalah napas Mahesa Jenar yang tersengal-sengal seperti
berebut dahulu meloloskan diri dari tubuhnya yang gemetar. Apa yang disaksikan
itu, bagi Mahesa Jenar seperti gambaran di dalam mimpi. Namun bagaimanapun,
gambaran-gambaran itu telah membingungkannya. Apa yang dilakukan oleh orang
yang menamakan diri Mahesa Jenar itu adalah tepat seperti apa yang akan
dilakukannya seandainya ia mampu. Sebab secara jujur, ia mengakui, bahwa orang
yang menyerupainya itu mempunyai kemampuan yang luar biasa sehingga ia dapat
melakukan pekerjaan itu di hadapan segerombolan orang yang sudah siap untuk
menghalang-halangi. Dalam pada itu kembali Mahesa Jenar ragu. Apakah yang
dilihat selama itu hanyalah khayalan-khayalan saja. Berkali-kali ia
mengusap-usap matanya. Namun cahaya api yang redup itu masih saja mengganggu
kegelapan malam. Ataukah jiwanya sendiri yang telah meloncat keluar dari
tubuhnya, dan kemudian melakukan segala pekerjaan itu untuknya? Mahesa Jenar
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia bukan pemimpi. Karena itu segera ia sadar,
bahwa memang telah ada seseorang yang melakukannya. Hanya yang aneh baginya,
setiap gerak, setiap kata yang diucapkan, tepat seperti yang terkandung di
dalam hatinya.
Untuk beberapa
lama Mahesa Jenar masih merenung-renung di dalam lindungan batang-batang
ilalang. Bahkan semakin lama hal itu direnungkan, semakin kaburlah perasaannya.
Tetapi lebih dari pada itu, di dalam sudut hatinya yang paling dalam, muncullah
perasaan kecewanya. Pudak Wangi, yang sebenarnya bernama Rara Wilis itu, untuk
kesekian kalinya ia telah menyakiti hati gadis itu. Sewaktu ayah gadis itu
terbunuh olehnya, dan sekarang, gadis itu lenyap di hadapannya dibawa oleh
seseorang yang menyerupai dirinya. Karena itulah maka sekali lagi ia merasa
kehilangan atas sesuatu yang belum pernah dimilikinya, namun sebaliknya, telah
merampas seluruh hatinya. Dalam kekalutan pikiran itu, tiba-tiba terdengarlah
suara tertawa lunak perlahan di belakangnya. Tersentak Mahesa Jenar berdiri dan
bersiaga. Tetapi kemudian kembali ia menjadi bingung, ketika di hadapannya
berdiri orang yang menamakan diri Mahesa Jenar. Orang yang menamakan diri
Mahesa Jenar itupun memandanginya dengan saksama dari ujung kaki sampai ke
ujung kepalanya. Kemudian terdengarlah ia berkata,
“Ki Sanak,
apakah yang kau lakukan di sini? Dan siapakah kau sebenarnya?”
Mendapat
pertanyaan itu Mahesa Jenar menjadi bingung. Ia sendiri sama sekali tidak
bermaksud untuk melakukan sesuatu di tempat itu. Ia hanya tertarik oleh
suara-suara riuh, serta keinginannya untuk mendapat jejak dalam usahanya
mencari Arya Salaka. Sekarang, tiba-tiba seseorang, yang sejak semula telah
membingungkannya, menanyakan keperluannya.
Untuk beberapa
saat Mahesa Jenar tidak menjawab, sehingga kembali orang itu berkata,
“Agaknya kau
terkejut melihat kehadiranku di sini?”
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar dengan jujur.
“Aku datang ke
tempat ini tanpa aku sengaja”.
Sekali lagi
orang itu tertawa lunak.
“Adalah suatu
kemustahilan bahwa seseorang sampai ke tempat ini tanpa sengaja. Aku kira kau
datang ke tempat ini untuk mengintip apa yang terjadi di padang rumput itu.
Ataukah kau memang salah seorang diantaranya?”
Bagaimanapun
juga Mahesa Jenar merasa tersinggung oleh pertanyaan itu. Maka jawabnya,
“Ki Sanak,
memang aku telah mengintip apa yang terjadi. Aku kagum keperkasaanmu. Kau mampu
melepaskan diri dari tangan-tangan Jaka Soka, Janda Sima Rodra ditambah
kemudian dengan Sarayuda. Bahkan kau berhasil melepaskan dirimu pula dari
kejaran orang-orang seperti Sima Rodra dan Bugel Kaliki, apalagi kau membawa
beban seseorang”.
“Hem…” Orang
itu menarik nafas.
“Kau terlalu
memuji. Tetapi kau sendiri agaknya seorang yang luar biasa sehingga kehadiranmu
sama sekali tak diketahui oleh seorangpun diantara mereka”.
“He…” sambung
orang itu tiba-tiba seperti orang terkejut,
“Kau kenal
kepada setiap orang yang ada di padang rumput itu? Siapakah kau sebenarnya?”
SEKALI lagi
Mahesa Jenar termangu-mangu. Namun bagaimanapun juga ia harus menjawab
pertanyaan itu. Maka katanya,
“Akulah yang
sebenarnya bernama Mahesa Jenar. Bukankah nama itu telah kau pinjam pada saat
kau mengadakan pameran kekuatan?”
Orang yang
menamakan diri Mahesa Jenar itu tampak terkejut bukan buatan. Sekali lagi ia
memandang Mahesa Jenar dari ujung kakinya sampai ke ujung kepalanya. Dengan
suara yang bergetar ia berkata,
“Kau bernama
Mahesa Jenar…?”
Mahesa Jenar
mengangguk.
“Kalau
demikian…” sambung orang itu,
“Kita
bersamaan nama. Aku juga bernama Mahesa Jenar. Memang demikian. Bukan nama
pinjaman seperti dugaanmu”.
Ia berhenti
sebentar, lalu meneruskan,
“Tetapi tak
apalah. Banyak orang di dunia ini mempunyai nama yang sama”.
Mahesa Jenar
menggelengkan kepala. Lalu katanya,
“Jangan
pura-pura terkejut, dan jangan katakan tentang nama yang sama. Kau telah
menyebut dirimu lengkap seperti diriku. Kau mengaku murid Ki Ageng Pengging
Sepuh dan bernama Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya. Tidak sahabat.
Tidak mungkin persamaan di antara kita sampai sedemikian jauhnya”.
Kembali wajah
orang itu membayangkan keheranan. Matanya menatap dengan tajamnya.
Kemudian
hampir berdesis ia berkata,
“Ki Sanak,
janganlah mencari persoalan. Kita belum saling mengenal sebelumnya. Apakah
sebabnya maka Ki Sanak bersikap sedemikian terhadapku. Dalam keadaanku seperti
sekarang ini, sebenarnya aku memerlukan perlindungan dan sahabat. Barangkali
kau dapat melihat apa yang telah aku lakukan. Aku sedang berusaha menyelamatkan
Pudak Wangi dari tangan para penjahat itu. Dan gadis itu sudah berhasil aku
sembunyikan. Muridku yang bernama Arya Salaka telah hilang. Dan sekarang aku
sedang berusaha mencarinya”.
Mendengar
uraian itu dada Mahesa Jenar bergetar dahsyat. Tetapi Mahesa Jenar adalah
seseorang yang berotak cemerlang. Karena itu segera ia menjawab sambil menebak,
“Kalau
demikian, kaulah yang telah memancingku dan melibatkan diriku dalam goa yang
mempunyai ratusan cabang yang membingungkan itu, sehingga kau dapat mengetahui
dengan tepat bahwa muridku telah hilang”.
Kembali orang
itu terkejut. Katanya kemudian,
“Anehlah yang
aku alami selama ini. Apa yang seharusnya aku katakan, sudah kau katakan.
Sedang kau merasa bahwa apa yang akan kau katakan, sudah aku katakan. Jangan
memutar balik keadaan. Sekarang tunjukkan kepadaku, di mana Arya Salaka” geram
Mahesa Jenar yang mulai kehilangan kesabaran.
“Jangan
mengigau,” bentak orang itu.
“Dengan
igauanmu itu kau bisa membuat aku gila”.
Mendengar
orang itu membentak-bentak, darah Mahesa Jenar bertambah cepat mengalir. Segera
ia merasa bahwa suatu bentrokan jasmaniah sukar dihindarkan. Karena itu segera
iapun bersiaga penuh, sebab seperti telah disaksikan sendiri, orang yang
berdiri di hadapannya memiliki tingkat ilmu yang tinggi. Namun bagaimanapun
juga, Mahesa Jenar harus menghadapi setiap kemungkinan dengan kejantanan. Maka
iapun kemudian membentak pula,
“Apakah
keuntunganmu dengan segala macam ceritera isapan jempol itu? Nah, sekarang
katakan kepadaku, kepada Mahesa Jenar yang bergelar Rangga Tohjaya, di mana
muridku Arya Salaka dan di mana Pudak Wangi kau sembunyikan?”
Orang itu
menarik alisnya. Kemudian warna merah tersirat di wajahnya. Maka sahutnya,
“Tak kusangka
bahwa di dunia ini ada orang semacam kau ini. Orang yang senang pada
pertengkaran tanpa sebab. Aku juga tidak tahu, apakah keuntunganmu dengan
kelakuanmu yang aneh-aneh itu. Meskipun demikian apa boleh buat. Agaknya kau
hanya ingin mengetahui, benarkah Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh
ini dapat menjunjung tinggi nama perguruannya”.
Dada Mahesa
Jenar menjadi semakin bergelora ketika nama gurunya disebut-sebut, sehingga ia
tak dapat menahan diri. Dengan meloncat ia berteriak,
“Baiklah kita
lihat, siapakah murid Ki Ageng Pengging Sepuh”.
Agaknya orang
itu telah bersiaga pula. Ketika serangan Mahesa Jenar tiba, segera ia mengelakkan
diri. Bahkan dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya, orang itu pun telah
membalas menyerang. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran yang sengit.
Pertempuran antara dua orang perkasa yang mempergunakan satu jenis ilmu
keturunan dari Ki Ageng Pengging Sepuh. Yang memusingkan kepala Mahesa Jenar
adalah orang itu dapat bergerak dan mempergunakan ilmu peninggalan gurunya
dengan sempurna. Bahkan dalam beberapa hal, orang itu memiliki
kelebihan-kelebihan dari Mahesa Jenar. Demikianlah kedua orang itu berjuang
sekuat tenaga untuk mempertahankan kebenaran kata masing-masing. Mahesa Jenar
yang bertubuh tegap kekar berjuang dengan tangguhnya seperti seekor banteng
yang tak surut menghadapi segala macam bahaya, sedang lawannya pun berjuang
seperti seekor banteng yang tak mengenal mundur. Sehingga perang tanding itu
merupakan perang tanding yang maha dahsyat. Apalagi seolah-olah bagi
kedua-duanya sudah saling dapat memperhitungkan gerakan-gerakan lawan. Dengan
demikian yang terjadi seakan-akan hanyalah suatu adu kekuatan. Kalau dalam
beberapa pertempuran mereka kadang-kadang berhasil menembus kelemahan lawan
dengan unsur-unsur gerak yang membingungkan, tetapi kali ini mereka sama sekali
tidak dapat saling mencuri kesempatan. Sebab mereka seakan-akan mempunyai satu
otak yang menggerakkan dua belah anak permainan macanan dengan tangan kanan di
sebelah dan tangan kiri di sebelah lain. Namun bagaimanapun juga kedua orang
itu adalah orang yang berbeda, sehingga dalam kenyataannya, mereka pun tidak
sama seluruhnya.
LAWAN Mahesa
Jenar yang mengaku juga bernama Mahesa Jenar itu ternyata memiliki kekuatan
tubuh yang melampaui kekuatan tubuh Mahesa Jenar, sehingga setelah mereka
bertempur berputar-putar, akhirnya terasalah bahwa Mahesa Jenar mulai terdesak.
Hal ini terasa pula olehnya, sehingga dengan demikian ia menjadi gelisah.
Apapun yang dilakukan, segala macam unsur gerak yang pernah dipelajari, tidak
dapat menolongnya, sebab orang itupun mampu melakukannya. Bahkan kemudian
terasa oleh Mahesa Jenar, bahwa seolah-olah ia telah berjalan mundur beberapa
tahun. Kalau beberapa orang sakti dapat menambah ilmu hampir setiap saat,
baginya, setelah sekian tahun terpisah dari gurunya, seakan-akan sama sekali
tak suatupun yang dicapainya. Meskipun demikian Mahesa Jenar tidak segera kehilangan
akal. Jiwa kesatriaannya bergelora memenuhi dadanya, sehingga apapun yang
terjadi, sama sekali ia tidak gentar. Beberapa saat kemudian, di langit ujung
Timur, terpencarlah warna kemerah-merahan fajar. Perlahan-lahan malam yang
kelam mulai berangsur surut. Semburat merah yang mewarnai daun-daun ilalang
hijau segera telah menimbulkan kesan tersendiri. Dalam pada itu kedua orang
yang bertempur itu masih saja berjuang mati-matian. Di tengah-tengah
rumpun-rumpun ilalang itu, terjadilah semacam sawah yang baru dibajak oleh
bekas-bekas kaki yang bertempur dengan dahsyatnya. Tetapi bagaimanapun juga
akhirnya Mahesa Jenar harus mengakui keunggulan lawannya, setelah ia berjuang
sekuat tenaga. Namun demikian ia sama sekali tidak mau mengorbankan diri. Dalam
setiap kemungkinan antara hidup dan mati, akhirnya terpaksalah ia mempergunakan
setiap kemungkinan untuk menolong jiwanya, selama itu tidak melanggar
kehormatan darah kesatriaannya. Maka karena itulah sesaat kemudian, tampaklah
ia mengangkat sebelah kakinya, tangan kirinya menyilang dada, sedang tangan
yang lain diangkatnya tinggi-tinggi.
Melihat sikap
itu, lawan Mahesa Jenar yang mengaku bernama Mahesa Jenar itu terkejut. Tetapi
ia tidak sempat berbuat sesuatu, sebab segera Mahesa Jenar meloncat maju dan
melontarkan pukulan Sasra Birawanya yang dahsyat. Ia hanya sempat melihat
lawannya itu menyilangkan kedua tangannya, dan sesudah itu, orang itu terlempar
beberapa langkah surut, dan kemudian jatuh terguling-guling. Mahesa Jenar,
setelah melihat akibat pukulannya, berdiri mematung. Matanya tajam memandangi
lawannya yang dijatuhkannya itu. Tetapi sesaat kemudian ia terkejut, ketika ia
melihat orang itu tertatih-tatih berdiri. Agaknya pukulannya tidak membinasakan
lawannya. Tetapi setelah terkejut, iapun berlega hati, melihat lawannya masih
hidup. Sebab bagaimanapun juga, bukanlah maksudnya untuk membunuh hanya karena
sekedar ingin membunuh. Kalau ia terpaksa mempergunakan aji Sasra Birawanya,
adalah karena ia tidak mau terbunuh. Justru karena itulah, ketika ia melihat
orang yang dihantamnya itu masih hidup ia jadi berbesar hati. Juga karena
dengan demikian ia akan dapat menanyakan dimana muridnya dan Pudak Wangi
disembunyikan. Tetapi kemudian kembali ia terkejut ketika orang yang
dianggapnya sudah tak mampu lagi berbuat sesuatu karena pukulannya, kecuali
hanya berdiri itu, membalikkan diri dan kemudian meloncat pergi. Sudah tentu
Mahesa Jenar tidak membiarkannya. Kalau orang itu tidak terbunuh oleh
pukulannya, ia sudah heran. Apalagi orang itu masih dapat berlari. Alangkah
hebatnya daya tahan tubuhnya.
Karena itu,
maka segera Mahesa Jenarpun meloncat mengejar orang itu, yang ternyata masih
dapat berlari cepat. Maka terjadilah kejar-mengejar diantara batang-batang
ilalang yang tumbuh lebat melampaui tubuh manusia. Tetapi pendengaran dan
penglihatan Mahesa Jenar cukup tajam. Apalagi cahaya matahari sudah semakin
terang. Maka tampaklah setiap ujung batang-batang ilalang yang tergoyangkan
oleh sentuhan tubuh orang yang menamakan diri Mahesa Jenar itu. Karena orang
yang dikejarnya itu agaknya telah terluka, maka semakin lama jarak merekapun
semakin pendek pula, sehingga Mahesa Jenar percaya, bahwa ia pasti akan dapat
menangkap orang itu. Tetapi kemudian ia menjadi kecewa, ketika ia tinggal
meloncat saja beberapa langkah, orang yang dikejarnya itu tiba-tiba merunduk
dan seolah-olah lenyap diantara batu-batu. Itulah lobang goa, tempat Mahesa
Jenar menembus keluar. Untuk beberapa saat Mahesa Jenar berdiri termangu-mangu.
Namun ia tidak mau kehilangan waktu. Segera ia berjongkok dan mendengarkan
setiap desir di dalam goa itu, kalau-kalau lawannya telah memancingnya, dan
kemudian membinasakannya pada saat ia merangkak masuk. Tetapi kemudian Mahesa
Jenar mendengar suara terbatuk-batuk, tidak di depan mulut goa. Agaknya
lawannya telah mengalami luka di dalam dadanya, dan sekaligus ia mengetahui
bahwa lawannya tidak pula berada di muka mulut goa itu, sehingga dengan
demikian segera ia melontarkan diri masuk ke dalamnya. Untuk beberapa saat ia
membiasakan matanya di dalam gelapnya goa. Dan setelah itu ia perlahan-lahan
berjalan sambil memperhatikan setiap suara yang didengarnya. Sekali lagi ia
mendengar suara lawannya terbatuk-batuk. Dan karena itulah ia dapat mengenal
arahnya.
DENGAN
hati-hati Mahesa Jenar menyusur dinding goa mendekati arah suara itu. Dan
karena ketajaman telinganya, akhirnya Mahesa Jenar menjadi semakin dekat.
Tetapi agaknya orang itupun bergerak pula semakin lama semakin dalam dan
melewati berpuluh-puluh cabang yang membingungkan. Namun Mahesa Jenar telah
bertekad untuk mengikuti orang itu sampai ditangkapnya. Sebab ia yakin bahwa
lukanya tidak akan mengijinkan orang itu bergerak leluasa. Beberapa langkah
kemudian, tiba-tiba Mahesa Jenar tertegun. Ia sampai pada suatu ruangan yang
agak lebar dan tidak terlalu gelap. Ketika ia melihat ke atas, tampaklah
beberapa lobang-lobang yang tembus. Dari sanalah cahaya pagi jatuh menerangi
ruangan itu seperti ruangan-ruangan yang sering dipergunakan bermain-main oleh
para cantrik. Untuk beberapa lama, sekali lagi Mahesa Jenar kebingungan.
Sekarang ia sama sekali tidak lagi mendengar suara apapun. Juga suara
batuk-batuk orang yang dikejarnya itupun telah lenyap. Karena itulah maka
Mahesa Jenar menjadi marah kembali. Dengan saksama ditelitinya dinding ruangan
itu kalau-kalau ada yang mencurigakan. Tetapi selain pintu masuk yang
dilewatinya tadi, sama sekali tak diketemukannya lubang yang lain. Dengan
demikian ia menduga bahwa orang yang dicarinya masih berada di dalam ruangan
itu pula. Maka sekali lagi Mahesa Jenar meneliti setiap relung ruang itu dengan
lebih saksama lagi, sambil tetap mengawasi satu-satunya lobang masuk ke dalam
ruang itu. Dan dugaannya ternyata benar. Ia terkejut sampai terlonjak ketika di
belakangnya terdengar suara tertawa yang lunak perlahan. Cepat-cepat ia memutar
diri dan bersiaga. Benarlah bahwa yang berdiri di hadapannya, di samping sebuah
batu yang besar, adalah orang yang dicari-carinya.
“Kau tak akan
dapat melepaskan diri,” kata Mahesa Jenar.
Orang itu
tidak menjawab. Ia maju beberapa langkah mendekati Mahesa Jenar. Langkahnya
tetap, tegap dan cekatan. Karena itu maka Mahesa Jenar terkejut karenanya.
Kalau demikian, maka orang itu dapat melenyapkan luka-lukanya hanya dalam waktu
yang sangat singkat.
Namun demikian
Mahesa Jenar masih belum yakin, bahwa orang itu telah terbebas sama sekali dari
akibat pukulannya. Maka katanya sekali lagi,
“Katakan
sekarang, di mana Arya Salaka.”
Orang itu
berhenti beberapa langkah di hadapannya dalam keremangan. Terdengarlah kembali
ia tertawa perlahan. Kemudian jawabnya,
“Kau telah
mencoba menirukan aji Sasra Birawa. Tetapi sayang, jelek sekali.”
Mendengar
ejekan itu darah Mahesa Jenar menggelegak sampai ke kepala. Ia tidak dapat lagi
mengendalikan perasaannya. Karena itu sekali lagi ia meloncat menyerang dengan
sengitnya. Kembali terjadi sebuah pertarungan yang hebat. Dua kekuatan yang
tangguh saling berjuang untuk mempertahankan nama masing-masing. Tetapi
beberapa saat kemudian Mahesa Jenar menjadi gelisah kembali. Orang itu sama
sekali telah terbebas dari luka-luka akibat pukulan yang luar biasa. Disamping
itu kemarahan Mahesa Jenar semakin membakar hatinya. Dan apa yang dilakukannya
kemudian adalah mengulangi apa yang pernah dilakukan. Dipusatkannya segala
kekuatan batinnya, disilangkannya satu tangannya, sedang tangan yang lain
diangkatnya tinggi-tinggi, sambil menekuk satu kaki ke depan, ia menggeram
hebat siap mengayunkan ajinya Sasra Birawa. Sesaat sebelum tangannya menghantam
lawannya, dadanya terasa berdesir hebat ketika ia dalam sekejap melihat
lawannya, yang mengaku bernama Mahesa Jenar, murid Ki Ageng Pengging Sepuh itu,
ternyata juga mengangkat satu kaki, menyilangkan tangan kirinya di muka dada,
serta mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi.
No comments:
Post a Comment