ARYA menjadi
gembira mendengar ajakan pamannya. Memang sebenarnya ia lelah sekali setelah
beberapa lama berlari-lari mengejar Mahesa Jenar. Maka jawabnya,
“Baiklah
Paman. Aku akan beristirahat dahulu”.
Kemudian
mereka mencari tempat yang teduh di bawah pepohonan, di tepi hutan. Arya Salaka
dengan segera merebahkan dirinya berbaring diatas rumput-rumput kering. Dan,
karena lelahnya maka segera ia pun tertidur. Mahesa Jenar memandang Arya yang
sedang tidur itu dengan perasaan belas kasih. Apalagi kalau diingatnya, bahwa
hampir saja anak itu ditinggalkannya seorang diri. Dari wajah anak itu
tampaklah memancar ketulusan serta keberanian yang diwarisinya dari ayahnya,
Gajah Sora. Karena itu, apabila Arya Salaka menerima pendidikan serta latihan
yang baik, pastilah kelak ia akan menjadi seorang pemuda yang perkasa.
Sementara itu
matahari telah menempuh lebih dari tigaperempat bagian dari jalan peredarannya,
karena itu panasnya tidak begitu tajam lagi. Di langit yang biru bersih, hanya
kadang-kadang saja tampak awan tipis mengalir perlahan-lahan. Bersama dengan
awan yang tipis itu kenangan Mahesa Jenar membubung tinggi. Diingatnya segenap
masa lampaunya yang penuh dengan bermacam-macam kejadian silih berganti.
Ketenaran dua keagungan sebagai seorang perwira pasukan Naramanggala, kepahitan
dan kekecewaan, kecemasan dan bermacam-macam lagi peristiwa yang datang silih
berganti di masa perantauannya. Namun akhirnya, ketika awan di langit itu pecah
berpencaran ditiup angin, maka hilang pulalah semua kenangan yang mengganggu
pikiran Mahesa Jenar. Yang tampak sekarang adalah masa yang menghadang di
hadapannya. Masa yang akan penuh dengan tantangan-tantangan yang harus dijawab
dengan tindakan-tindakan yang tepat. Tetapi kemudian tiba-tiba Mahesa Jenar
teringat kepada orang tua yang telah membawanya kembali ke jalan yang lurus.
Siapakah kira-kira orang itu? Benarkah orang itu yang telah mengambil
keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten? Ketika pertanyaan-pertanyaan
itu ditujukan kepadanya maka ia sama sekali tidak menyangkalnya meskipun tidak
pula membenarkan. Ditilik dari pakaiannya maka Mahesa Jenar hampir pasti bahwa
orang itulah yang mengambil kedua pusaka itu dari Banyubiru, sebab jarang orang
yang berpakaian jubah berwarna abu-abu, kecuali Pasingsingan dan orang itu.
Meskipun
Mahesa Jenar belum pernah melihat wajah asli Pasingsingan yang nama sebenarnya
adalah Umbaran, namun pastilah bahwa orang tua itu bukannya Umbaran. Kalau
demikian sampailah Mahesa Jenar pada suatu dugaan bahwa orang tua itu adalah
Pasingsingan tua, guru dari Paniling, atau yang sebenarnya bernama Radite,
Anggara dan Umbaran. Namun ia sendiri tidak yakin, apakah dugaannya itu benar. Tetapi
bagaimanapun Mahesa Jenar mendapat kesimpulan bahwa usaha untuk menemukan
keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten akan merupakan suatu usaha yang berjangka
panjang. Sebab sampai saat itu segala sesuatunya masih gelap. Gelap sama
sekali. Tak ada satu titik pun yang dapat menunjukkan arah lenyapnya kedua
pusaka yang sedang menjadi rebutan oleh beberapa pihak itu. Akibat dari itu,
pasti akan menyangkut Gajah Sora pula. Makin lama waktu yang diperlukan untuk
menemukan kedua keris itu, semakin lama pula waktu pembebasan yang akan
diberikan kepadanya. Mahesa Jenar hanya dapat berdoa, mudah-mudahan Paningron
dan Gajah Alit dapat menolong meringankan tuduhan yang dibebankan kepada Gajah
Sora.
Tetapi ketika
Mahesa Jenar baru asyik berangan-angan, tiba-tiba terdengarlah derap kuda yang
semakin lama semakin dekat. Karena itu segera didukungnya Arya yang masih
tidur, dibawa masuk ke dalam semak-semak yang rimbun. Untunglah bahwa Arya yang
kelelahan itu tidak terbangun. Sedang Mahesa Jenar, dengan hati-hati sekali mengintip
dari celah-celah rapatnya dedaunan ke arah suara kuda-kuda itu.
SEBENTAR
kemudian dari balik tikungan semak-semak muncullah tiga orang berkuda. Melihat
tiga orang itu, dada Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Mereka adalah
sepasang Uling dari Rawa Pening, disertai oleh Sri Gunting. Menilik perbekalan
mereka, maka Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa dua bersaudara Uling itu akan
menempuh perjalanan yang jauh. Mula-mula timbul keinginan Mahesa Jenar untuk
menghadang mereka serta langsung membinasakan mereka. Tetapi tiba-tiba
diingatnya pesan Ki Paniling, bahwa ia dinasehatkan untuk tidak bertindak
tergesa-gesa. Ia harus tahu pasti bahwa tindakannya benar-benar akan
menguntungkan. Sedang pada saat itu, ia masih belum yakin bahwa ia seorang diri
dapat mengalahkan orang-orang itu. Apalagi ia sedang membawa Arya. Kalau sampai
terjadi sesuatu atas anak itu, maka letak kesalahan ada padanya. Karena itu
akhirnya, Mahesa Jenar hanya mengintip dengan dada yang bergetar menahan
perasaannya.
Ketika ketiga
orang itu lenyap dari pandangan matanya, Mahesa Jenar segera menyadari, betapa
semakin sulitnya pekerjaan yang akan dilakukan. Dengan melihat kedua orang itu
Mahesa Jenar dapat menerka, bahwa pasti tidak saja sepasang Uling itu yang
pergi merantau, tetapi pasti juga tokoh-tokoh hitam yang lain, menempuh
perjalanan dan bertebaran ke segenap penjuru untuk dahulu-mendahului menemukan
Keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Kalau saja ia
bertemu dengan Uling, Lawa Ijo, Jaka Soka dan sebagainya, bagaimanapun masih
ada kemungkinan bagi Mahesa Jenar untuk menyelamatkan diri. Tetapi bagaimana
halnya kalau di perjalanan ia berjumpa dengan tokoh-tokoh tua seperti
Pasingsingan, Sima Rodra tua, Bugel Kaliki dan barangkali tokoh-tokoh tua yang
berdiri di belakang Sepasang Uling dan Jaka Soka, atau guru-guru mereka, yang
ternyata juga mengingini pusaka-pusaka itu? Terhadap mereka tidak akan banyak
yang dapat dilakukan. Untunglah sampai saat ini beberapa kali jiwanya selalu
terselamatkan oleh pertolongan mereka dari angkatan yang sebaya. Tetapi kalau
tak seorangpun dari mereka yang melihat, pasti bahwa tinggal nama Mahesa Jenar
saja yang mungkin masih sering disebut-sebut orang. Mengingat hal itu,
tiba-tiba dirasanya bulu tengkuknya berdiri. Tetapi ketika segera menyusul gema
yang berkumandang di rongga hatinya, gema suara orang tua yang tak dikenalnya,
yang mengatakan bahwa Keris Nagasasra dan Sabuk Inten berada di dalam kekerasan
hatinya serta usahanya, maka nyala tekad di dalam hatinya berkobar semakin
besar, sebesar nyala api di lubang kepundan Gunung Merapi, yang tak akan dapat
padam oleh hujan selebat apapun serta angin sekencang apapun.
Sementara itu
Arya telah menggeliat pula. Ketika ia membuka matanya maka yang pertama-tama
dilakukan adalah berteriak memanggil,
“Paman…, Paman
Mahesa Jenar….”
“Sst…!” desis
Mahesa Jenar.
“Kenapa kau
berteriak, Arya…?”
Dengan
pandangan yang masih diliputi oleh keragu-raguan, Arya mengawasi Mahesa Jenar
tanpa berkedip.
“Paman tidak
meninggalkan aku lagi bukan?”
Mahesa Jenar
tertawa kosong, dengan penuh pengertian atas kecemasan yang mencengkam perasaan
Arya.
“Kalau aku
akan meninggalkan engkau, bukankah lebih baik pada saat kau sedang tidur?”
Mendengar
jawaban Mahesa Jenar, Arya menjadi percaya bahwa pamannya tidak akan pergi
meninggalkannya. Setelah beberapa kali menggeliat, segera Arya duduk di samping
Mahesa Jenar.
“Sudah tidak
lelah lagi kau Arya?” tanya Mahesa Jenar.
“Bukankah
sejak tadi aku tidak lelah Paman?” jawab anak itu.
Terdengar
Mahesa Jenar tertawa pendek, katanya meneruskan,
“Bagus kalau
begitu. Nah sekarang kau sudah siap untuk berjalan lagi?”
“Tentu Paman,
tentu aku siap berjalan setiap saat,” sahut Arya.
“Kalau begitu,
mari kita berjalan,” ajak Mahesa Jenar.
Oleh ajakan
itu segera Arya meloncat berdiri dengan sigapnya. Memang setelah ia tertidur
beberapa lama, tubuhnya telah menjadi segar kembali.
“Kita sekarang
kembali ke rumah kita sebentar Arya,” ajak Mahesa Jenar meneruskan.
“Kenapa hanya
sebentar Paman?” tanya Arya.
“Biarlah kami
tinggalkan rumah itu. Rumah dimana kau hampir saja mengalami bencana,” jawab
Mahesa Jenar.
Seterusnya ia
menerangkan,
“Arya, rumah
itu ternyata sudah diketahui oleh orang-orang yang ingin membunuhmu. Karena itu
bukankah lebih baik kalau kita pergi? Kita mampir sebentar hanyalah untuk mengambil
tombak pusaka Banyubiru Kyai Bancak. Biarlah tombak itu kau bawa serta. Supaya
tidak mencurigakan, nanti sebaiknya kita lepas tangkainya”.
“Baiklah
Paman,” jawab Arya sambil menganggukkan kepalanya.
Kemudian
berangkatlah mereka berdua meneruskan perjalanan. Tidak lama kemudian matahari
tenggelam di ujung barat langit. Dalam kegelapan, mereka tetap meneruskan
perjalanan. Mahesa Jenar yang berpandangan tajam dapat menempuh perjalanan
dengan tidak banyak menemui kesulitan, sambil menggandeng Arya Salaka. Belum
sampai tengah malam, mereka berdua telah tiba di pedukuhan dimana telah mereka
bangun tempat untuk berteduh. Pada pagi harinya, tetangga-tetangga Mahesa Jenar
yang baik hati, ketika mengetahui bahwa Mahesa Jenar telah berhasil menemukan
anak yang mereka anggap anak Mahesa Jenar sendiri, dengan selamat, segera
berkerumun untuk mengucapkan syukur. Mereka bertanya bergantian tak ada
henti-hentinya sehingga Mahesa Jenar kerepotan untuk menjawabnya.
TETAPI
kemudian, mereka, tetangga-tetangga yang baik itu menjadi tercengang-cengang
ketika tiba-tiba saja Mahesa Jenar mohon diri kepada mereka untuk pergi
meneruskan perantauannya seperti ketika belum menetap di pedukuhan itu. Para
tetangga yang menganggap Mahesa Jenar sebagai seorang petani yang banyak memberikan
sesuluh kepada mereka, menjadi agak kecewa. Kata salah seorang dari mereka,
“Adakah kami
berbuat kesalahan terhadap Angger?”
“Tidak,
Bapak,” sahut Mahesa Jenar cepat.
“Sama sekali
tidak”.
“Atau
barangkali Anda marah kepada kami?” sambung yang lain
“Karena kami
tidak dapat melindungi anak Adi?”
“Juga tidak,”
jawab Mahesa Jenar.
“Tidak ada
kesalahan saudara-saudara kepada kami”.
“Lalu kenapa
Adi mau pergi?” tanya seseorang pula.
Mahesa Jenar
agak bingung menjawab pertanyaan itu. Tetapi akhirnya ia berkata,
“Saudara-saudaraku
yang baik. Aku ingin berjalan semata-mata karena kegemaranku merantau. Aku
ingin menunjukkan beberapa pengalaman kepada anakku ini. Sebab aku bercita-cita
bahwa kelak nasib anakku ini harus lebih baik dari nasibku sendiri”.
Para tetangga
yang ramah itu pun mengangguk-anggukkan kepala. Agaknya Mahesa Jenar sudah
tidak dapat di tahan lagi. Karena itu dengan berat hati mereka lepas Mahesa
Jenar dan anaknya berjalan.
“Pada suatu
saat kami akan datang kembali,” kata Mahesa Jenar kepada mereka yang mengantar
sampai ke ujung desa.
Setelah itu,
mulailah Mahesa Jenar dengan perantauannya kembali. Tetapi kali ini Mahesa
Jenar tidak berjalan sendiri.
Mula-mula
Mahesa Jenar dan Arya Salaka berjalan ke arah selatan, tetapi kemudian mereka
membelok ke barat dan terus ke utara. Untuk sementara mereka berjalan asal saja
menjauhi daerah kekuasaan Lembu Sora. Di bawah baju Arya Salaka terseliplah
tombak pusaka Banyubiru yang telah dilepas dari tangkainya, yang dibalut rapi
dengan kulit kayu. Di perjalanan pagi itu Mahesa Jenar tidak banyak
berkata-kata. Pikirannya diliputi oleh kegelapan yang menyelubungi keris-keris
pusaka Demak yang hilang. Sampai saat itu ia sama sekali masih belum tahu
kemana dan bagaimana harus mencari kedua keris itu. Apa yang dilakukan adalah
seperti meraba-raba di dalam kelam. Tetapi disamping itu masih ada yang harus
dilakukan. Membentuk Arya menjadi seorang jantan. Dan mengantarnya kembali ke
daerah perdikan Banyubiru.
Sedang Arya
Salaka agaknya sama sekali tidak menghiraukan apa-apa. Dalam cerah matahari
pagi, ia berjalan agak di depan dengan riangnya. Ia berlari-lari selincah anak
kijang, tanpa perasaan takut serta prasangka apa-apa, dalam irama nyanyi
burung-burung liar yang berloncat-loncatan di rerumputan yang hijau segar.
Sekali-sekali Arya mengambil batu serta dilemparkan kearah gerombolan
burung-burung yang asyik mematuk-matuk biji-biji rumput, yang kemudian karena
terkejut beterbangan berputar-putar, tetapi sesaat kemudian burung-burung itu
kembali hinggap di rerumputan. Tiba-tiba Arya Salaka terhenti ketika
didengarnya Mahesa Jenar memanggil. Ketika ia menoleh, dilihatnya pamannya
sudah agak jauh tertinggal di belakang. Karena itu Arya segera duduk di atas
batu untuk menanti Mahesa Jenar.
“Arya…” kata
Mahesa Jenar setelah mereka berjalan bersama-sama.
“Aku mempunyai
pikiran bahwa untuk keselamatanmu kau harus berusaha sejauh-jauhnya agar kau
tak dikenal orang. Karena itu Arya, aku berpendapat bahwa sebaiknya nama
panggilanmu harus diganti. Sebab, selama kau masih mengenakan namamu yang
sekarang, Arya Salaka, maka orang-orang yang akan mencarimu dengan mudahnya
akan dapat menemukan kau. Sebab namamu adalah nama yang jarang-jarang dipakai
orang. Maka sekarang kau ingin mengubah namamu dengan nama lain?”
Arya memandang
wajah Mahesa Jenar dengan herannya.
“Apakah kalau
aku berganti nama, orang tak mengenal aku lagi?” katanya.
“Bukan begitu
Arya,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi
setidak-tidaknya orang tidak mendengar lagi nama Arya Salaka. Bukankah dengan
mendengar namamu orang dapat menemukanmu?”
Arya Salaka
mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya ia sudah mengerti maksud Mahesa Jenar.
Tetapi tiba-tiba ia bertanya,
“Paman,
meskipun namaku sudah diganti, tetapi apabila seseorang berkata tentang seorang
anak yang berjalan bersama-sama dengan Mahesa Jenar, bukankah segera orang
mengenal aku? Sebab yang selalu berjalan bersama-sama dengan Arya Salaka adalah
Mahesa Jenar”.
“Kau
benar-benar cerdas Arya,” jawab Mahesa Jenar sambil tertawa,
“Aku setuju
dengan pendapatmu. Kalau begitu, marilah kita bersama-sama mengganti nama”.
Mendengar
pendapat itu Arya Salaka tertawa berderai. Agaknya hal itu merupakan suatu hal
yang lucu. Melihat Arya tertawa, Mahesa Jenar pun tertawa.
“Nah, Arya…
siapakah nama yang pantas buat mengganti namamu?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
Arya tampak
mengerutkan keningnya, tetapi beberapa lama kemudian ia menggeleng-gelengkan
kepalanya. Katanya,
“Terserahlah
kepada paman”.
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berpikir. Nama apakah yang sepantasnya diberikan
buat anak itu. Tiba-tiba terlintaslah suatu nama yang tepat diberikan kepada
Arya Salaka.
“Arya, kau
tahu bahwa namaku adalah Mahesa Jenar. Mahesa adalah sejenis binatang
bertanduk. Maksud dari nama itu adalah supaya aku mempunyai kesigapan dan ketangguhan
seperti Mahesa. Sedang harapanku, kau harus lebih hebat daripadaku. Karena itu
aku akan memberi nama kepadamu dengan nama yang lebih hebat pula. Bukankah nama
ayahmu hebat pula? Gajah Sora. Dan ayahmu benar-benar hebat seperti seekor
gajah. Nah, dengarlah Arya, aku akan memberimu nama Handaka”.
“Handaka…”
ulang Arya,
“Apakah
Handaka itu?”
“Handaka
adalah nama binatang bertanduk pula,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi jauh
lebih hebat dari Mahesa Jenar. Sebab Handaka berarti banteng”.
MENDENGAR
uraian Mahesa Jenar, hati Arya Salaka bergetar. Maka dengan bangga ia berkata,
“Aku pernah
mendengar ayah berceritera tentang seekor banteng”.
“Apa kata
ayahmu?” tanya Mahesa Jenar.
“Banteng
adalah binatang yang hebat sekali,” jawab Arya.
“Nah, kalau
begitu sekarang aku memanggil kau, Handaka,” kata Mahesa Jenar meneruskan.
“Tetapi
siapakah kelanjutan nama itu?”
“Handaka Sora,
seperti nama ayah,” usul Arya.
“Tetapi orang
akan masih dapat mengenal kau dalam hubungan nama dengan ayahmu,” jawab Mahesa
Jenar.
“Juga seandainya
kau bernama Handaka Jenar. Orang akan menghubungkan dengan nama Mahesa Jenar”.
“Lalu apakah
yang baik menurut Paman?” tanya Arya Salaka.
“Begini Arya…
aku mempunyai nama yang baik. Dengarlah…. Nama lengkapmu adalah Bagus Handaka.
Bagaimana pendapatmu?”
Mata Arya
menjadi berkilat-kilat.
“Bagus… Paman.
Bagus sekali. Nah, sejak saat ini aku bernama Bagus Handaka”.
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Dan sekarang
siapakah namaku?”
“Terserahlah
kepada Paman,” jawab Bagus Handaka.
“Jangan
panggil aku Paman. Panggil aku Bapak untuk seterusnya”.
“Baiklah
Bapak”.
“Bagus
Handaka, dengarlah. Aku akan memakai nama seorang petani biasa. Sejak saat ini
panggilah aku dengan nama Manahan, Bapak Manahan”.
“Baiklah Bapak
Manahan”.
“Bagus. Kita
sekarang sudah merupakan orang baru. Meskipun apa yang kita lakukan adalah
kelanjutan usaha kita sebelumnya. Kau harus kembali ke Banyubiru kelak. Dengan
atau tidak dengan kekerasan”.
“Tentu Paman…
eh… Bapak. Sebab tanah itu bagiku merupakan Tanah Pusaka sekaligus tanah
tercinta”.
Manahan dengan
menepuk pundak Bagus Handaka berkata pula,
“Bagus
Handaka, karena semuanya itu, kau mulai saat ini harus melatih diri dengan
tekun dan sungguh-sungguh. Supaya kau kelak tidak akan ketinggalan dengan anak
pamanmu Lembu Sora”.
“Adi Sawung
Sariti?” potong Bagus Handaka.
Manahan
mengangguk. Katanya meneruskan,
“Anak itu pun
sekarang pasti mengalami penggemblengan. Supaya kelak dapat menjadi anak hebat
pula. Karena itu kau jangan sampai kalah”.
“Baik Bapak,
aku akan mencoba untuk berlatih sekuat-kuat tenagaku, supaya aku tidak
mengecewakan Bapak Manahan serta ayah Gajah Sora,” jawab Bagus Handaka.
“Bagus
Handaka. Masa yang akan datang ini bagimu adalah suatu masa pembajaan diri,”
desis Bagus Handaka.
Kemudian
setelah itu, mereka saling berdiam diri, hanyut dalam arus angan-angan
masing-masing.
Di langit,
matahari masih memancar dengan cemerlang memanasi gunung serta lembah-lembah.
Itulah permulaan dari suatu masa yang panjang, yang akan penuh dengan latihan
olah kanuragan jaya kasantikan bagi Arya Salaka, yang kemudian bernama Bagus
Handaka. Ternyata ia memang seorang anak yang tangkas dan cerdas. Memiliki
kekuatan jasmaniah yang hebat pula. Dalam perantauan mereka dari satu tempat ke
lain tempat, mereka sama sekali hidup dalam keprihatinan. Manahan dan Bagus
Handaka tidak lebih dari dua orang bapak dan anak yang miskin. Apabila mereka
merambah hutan, maka yang dimakan adalah buah-buahan yang dapat mereka jumpai
di perjalanan mereka. Sedangkan apabila mereka melalui jalan-jalan kota, mereka
berusaha untuk mendapatkan pekerjaan apapun yang dapat mereka lakukan. Tetapi
karena semuanya itu mereka lakukan dengan suatu keyakinan bagi masa datang,
maka hal itu sama sekali tidak menimbulkan gangguan apapun dalam diri mereka.
Baik jasmaniah maupun tekad yang tersimpan di dalam dada mereka. Di dalam masa
perantauan itu, satu hal yang tak seorangpun mengetahui, adalah, bahwa setiap
saat Bagus Handaka selalu menerima latihan-latihan yang berat dan teratur dari
gurunya. Setiap pagi, bila matahari belum menampakkan diri, Bagus Handaka harus
sudah melakukan latihan berlari-lari dan kemudian dengan alat apa saja yang
mungkin dipergunakan, cabang-cabang pohon, ia harus melakukan latihan tangan
dengan bergantung dan berayun. Disamping itu, sedikit demi sedikit Manahan
mengajarinya pula gerakan-gerakan pembelaan diri dengan segala unsur-unsurnya.
Bagus Handaka
menerima semua pelajaran dari gurunya dengan tekad yang bulat, hati yang
mantap. Karena itu semua pelajaran dengan cepatnya dapat dikuasainya dengan
baik. Maka beberapa lama kemudian perjalanan mereka sampai ke pantai utara.
Seterusnya mereka menyusur pantai membelok ke arah barat, menerobos hutan-hutan
rimba yang kadang-kadang masih sangat lebat. Tetapi semuanya itu tidak
menghalangi pertumbuhan Bagus Handaka. Tubuhnya semakin lama menjadi semakin
kekar dan kuat, sedang geraknya menjadi semakin sigap.
AKHIRNYA
mereka sampai ke suatu daerah pedukuhan yang kecil, dimana para penduduknya
hidup sebagai nelayan. Disamping itu mereka gemar berburu kalong, sejenis
binatang malam yang mirip dengan kelelawar, tetapi lebih besar dan pemakan
buah-buahan. Meskipun ada juga diantara mereka yang bercocok tanam, tetapi
penghidupan sebagai seorang petani agak tidak begitu menarik perhatian. Di
pedukuhan itulah Manahan dan Bagus Handaka berhenti berjalan. Mereka menyatakan
diri untuk tinggal bersama-sama di padepokan itu. Meskipun penduduknya
tampaknya agak bersikap kasar, namun sebenarnya hati mereka tulus. Karena itu
Manahan dan anaknya diterima oleh mereka dengan tangan terbuka. Di pedukuhan
itulah Manahan menambah jumlah mereka yang mengolah tanah pertanian. Dengan
tidak mencolok Manahan membawa cara-cara baru dalam pengolahan tanah dan
cara-cara pengairan yang agak teratur. Karena itu dalam waktu singkat Manahan
telah menjadi orang yang disenangi oleh penduduk pedukuhan itu.
Di pedukuhan
itu, Bagus Handaka mendapat kesenangan baru. Dengan para nelayan kadang-kadang
ia ikut serta berlayar menangkap ikan. Adalah mengherankan bahwa Handaka yang
belum begitu lama hidup di kalangan para nelayan, kesigapannya telah hampir
melampaui pemuda-pemuda nelayan yang sebayanya.
Agaknya
kesenangannya bermain-main di Rawa Pening, serta kegemarannya menangkap Uling,
merupakan bekal yang baik bagi seorang nelayan. Apalagi darah pelaut yang
mengalir dalam tubuh ayahnya, Gajah Sora, agaknya melimpah juga kepada anak
ini. Ditambah lagi dengan latihan-latihan keprigelan yang diterimanya dari
Manahan. Dengan demikian Handaka pun menjadi cepat terkenal diantara
teman-temannya. Bahkan orang-orang tua pun kemudian mengaguminya. Tetapi ada
kegemaran Handaka yang lain, yang tidak sama dengan pemuda-pemuda nelayan pada
umumnya. Handaka mempunyai kegemaran menyepi apabila semua pekerjaannya sudah
selesai. Kadang-kadang ia betah duduk lama-lama di pasir pantai yang sepi.
Memandang ke arah laut yang luas. Pada gelombang-gelombang yang selalu bergerak
disapu angin. Apabila tubuhnya terasa lelah sekali, di pasir pantailah Handaka
merebahkan diri, yang kadang-kadang ketika terdengar ayam berkokok menjelang
matahari terbit, ia baru bangkit dan berjalan pulang ke pondoknya. Manahan sama
sekali tidak keberatan atas kelakuan muridnya itu. Ia mengharap bahwa dengan
demikian Bagus Handaka mendapat ketenangan dan pengendapan.
Dalam kesepian
yang demikian kadang-kadang ditemukannya masalah-masalah besar dalam perjuangan
masa depan. Karena itu ia sama sekali tak mengganggunya. Dibiarkannya Handaka
pada saat terluangnya menyepikan diri, sedang Manahan sendiri waktu-waktu
luangnya selalu diisi dengan duduk-duduk di sudut desa bersama-sama dengan para
petani yang menunggui sawahnya yang sering diganggu oleh babi hutan. Dalam
keadaan yang demikian banyaklah masalah-masalah yang dapat diberikan kepada
para petani secara tidak langsung. Tetapi pada suatu malam terjadilah suatu hal
yang mengejutkan. Saat itu, ketika malam kelam membalut pantai, Handaka sedang
duduk seperti biasa merenungi lampu-lampu perahu nelayan yang hilir-mudik di
laut. Tiba-tiba dilihatnya seseorang berjalan lurus ke arahnya. Di dalam gelap
malam, Handaka tidak segera mengenal siapakah orang itu. Tetapi ia tahu pasti
bahwa orang itu bukanlah Manahan. Ketika orang itu sudah berdiri dekat di
hadapannya, mendadak tanpa berkata apa-apa orang itu langsung menyerangnya.
Mula-mula Handaka terkejut bukan main, tetapi kemudian ia sadar bahwa ia harus
membebaskan dirinya. Karena itu segera ia meloncat menghindar. Tetapi
penyerangnya tidak membiarkannya lolos, malahan kembali ia menyerang lebih
hebat.
Untuk beberapa
saat Handaka menjadi ragu. Apakah salahnya dan siapakah orang itu? Sambil
meloncat menghindar, ia berteriak,
“Siapakah kau,
dan apakah sebabnya kau menyerang aku?”
Tetapi
penyerang itu sama sekali tak menghiraukannya. Dengan penuh nafsu orang itu
menyerang terus. Akhirnya karena tak ada kemungkinan lain, Handaka terpaksa
melayaninya. Mula-mula ia masih berusaha untuk meyakinkan orang itu, bahwa
mungkin ia keliru. Sebab selama ini Handaka merasa tak ada seorang pun yang
memusuhinya di seluruh pedukuhan nelayan itu. Tetapi ia menjadi terkejut sekali
ketika orang yang menyerangnya itu berkata dengan suara yang dalam,
“Bagus
Handaka, kau sekarang tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku”.
Sekali lagi ia
mencoba bertanya,
“Apakah
hubunganmu dengan diriku sehingga kau bermaksud menangkap aku? Dan siapakah
sebenarnya kau ini?”
Orang itu
tidak menjawab, tetapi tertawanya yang nyaring terdengar sangat mengerikan. Dan
berbareng dengan itu serangannya menjadi bertambah cepat dan mendesak. Tetapi
Bagus Handaka sekarang bukanlah Arya Salaka dua tahun yang lalu. Bagus Handaka
adalah seorang pemuda yang meskipun umurnya belum lebih dari 15 tahun, namun
karena gemblengan yang menempa dirinya setiap saat, maka ia adalah seorang
pemuda yang tangkas dan kuat. Karena itu ia dapat berkelahi dengan tenang dan
lincah. Sehingga serangan-serangan orang yang tak dikenalnya itu beberapa kali
dapat dihindarinya dengan mudah.
Tetapi ia
tidak dapat terus-menerus menghindar dan mengelak. Sebab orang yang
menyerangnya menjadi semakin marah. Gerak-geriknya semakin cepat dan berbahaya.
Karena itu, akhirnya Bagus Handaka terpaksa melakukan serangan-serangan pula,
sebagai suatu cara terbaik untuk mempertahankan diri. Perkelahian itu semakin
lama menjadi semakin hebat. Namun di masa-masa yang pendek, Bagus Handaka sempat
mengamat-amati wajah penyerangnya. Orang itu agaknya telah berumur sedikit
lebih tua dari gurunya. Wajahnya tampak bengis dan berkumis tebal. Selebihnya
ia tidak begitu jelas. Kecuali orang itu selalu bergerak, juga karena malam
yang kelam.
UNTUNGLAH bahwa
orang itu tidak memiliki ilmu yang tinggi, sehingga meskipun Bagus Handaka
pantas menjadi anaknya, tetapi dalam perkelahian itu, meskipun ia harus bekerja
keras, ia sama sekali tidak perlu cemas akan kesudahan dari pertempuran itu.
Setelah mereka bertempur beberapa lama, akhirnya Bagus Handaka mendengar desah
nafas lawannya semakin lama semakin cepat. Ia menjadi bergembira, karena dengan
demikian ia tahu bahwa sebentar lagi lawannya akan kehabisan nafas. Karena itu,
ia tidak perlu untuk melawannya dengan sungguh-sungguh. Ia cukup mengganggunya
sehingga apabila nafas orang itu telah benar-benar tersekat, maka ia dengan
mudah akan dapat menangkapnya. Mungkin gurunya tahu siapakah orang itu. Tetapi
agaknya penyerang itu menyadari kelemahannya. Karena itu, dengan tergesa-gesa
orang itu meloncat mundur sebelum kehabisan nafas dan berusaha melarikan diri.
Tetapi Bagus Handaka sama sekali tak melepaskannya. Cepat ia berusaha
mengejarnya. Namun ia menjadi keheran-heranan. Orang yang nafasnya tinggal
seujung kuku itu, masih dapat melarikan diri dari kejarannya. Bagus Handaka
berhenti mengejar ketika orang itu menyusup ke dalam semak-semak yang rimbun.
Sulitlah baginya untuk mencari seseorang di dalam gelapnya malam diantara
semak-semak itu. Setelah puas merenungi semak-semak itu, kemudian dengan
langkah yang berat Bagus Handaka berjalan pulang ke pondoknya. Di dalam otaknya
terjadilah suatu keributan. Ia sibuk menebak-nebak, siapakah orang yang dengan
tiba-tiba saja menyerangnya. Bukan karena suatu kekeliruan, tetapi benar-benar
dirinyalah yang dicari.
Sampai di
pondoknya segera ia mencari gurunya. Tetapi ternyata Manahan masih belum
pulang. Bagus Handaka yang tahu akan kebiasaan gurunya segera pergi menyusul ke
pojok desa. Tetapi akhirnya ia menjadi ragu. Apakah hal yang demikian saja
sudah merupakan suatu hal yang perlu dibicarakan dengan gurunya. Apakah dalam
hal-hal yang kecil tidak cukup kalau diselesaikannya sendiri. Karena pikiran
itu maka Bagus Handaka kemudian membatalkan maksudnya untuk menyatakan peristiwa
yang baru saja dialami itu kepada gurunya. Sehingga ketika ia sampai di pojok
desa, dan ketika ia sudah duduk diantara para petani dan nelayan yang sedang
tidak turun ke laut, ia sama sekali tak berkata apapun mengenai peristiwa yang
baru saja terjadi. Ia tidak mau mengganggu Manahan dengan soal-soal yang
remeh-remeh. Tetapi apa yang dialami kemudian adalah sangat memusingkan
kepalanya. Pada malam berikutnya, ketika ia sedang berbuat seperti
kebiasaannya, tiba-tiba datanglah seseorang yang juga tanpa sebab menyerangnya.
Tetapi orang ini adalah orang yang lain dari yang menyerangnya kemarin. Orang
ini agaknya sudah jauh lebih tua dari gurunya.
Seperti malam
sebelumnya, Bagus Handaka berusaha pula meyakinkan bahwa mungkin orang itu
keliru. Tetapi juga seperti malam sebelumnya, Bagus Handaka terkejut dan
keheran-heranan ketika orang yang menyerangnya itu berkata dengan suara yang
tinggi,
“Tak usah kau
mengelakkan diri. Soalnya sudah cukup jelas. Dan kau harus menyerah kepadaku
sebelum orang lain berhasil menangkapmu mati atau hidup”.
Maka
bersilang-silanglah teka-teki di dalam kepala Bagus Handaka. Apakah sebabnya
maka hal ini bisa tejadi? Tiba-tiba ia teringat kepada orang-orang yang
beberapa tahun yang lalu memburunya. Adakah orang-orang ini juga terdiri dari gerombolan
yang sama? Karena itu dengan keras Bagus Handaka berkata,
“Hai orang tua
yang tak tahu diri, adakah kau termasuk dalam gerombolan orang-orang yang akan
membunuhku beberapa tahun yang lalu?”
Terdengar
orang itu tertawa dengan nada yang tinggi. Jawabnya,
“Aku tidak
mengenal orang-orang lain yang memburumu. Tetapi aku memerlukan kau seperti
orang-orang lain yang barangkali juga memerlukan”.
Bagus Handaka
menjadi semakin bingung.
“Adakah
hubungan semua itu dengan tanah perdikan Banyubiru?”
“Banyubiru?”
tanya orang tua itu dengan heran.
“Aku belum
pernah mendengar nama Tanah Perdikan Banyubiru”.
“Lalu apa
perlumu menangkap aku?” potong Handaka.
Sekali lagi
orang tua itu memperdengarkan suara tertawanya yang semakin tinggi. Tetapi
bersamaan dengan itu serangan menjadi bertambah cepat dan berbahaya. Bagus
Handaka pun kemudian tidak bertanya-tanya lagi. Ia menjadi jengkel sekali atas
kejadian-kejadian itu. Karena itu ia bertekad untuk menangkap penyerangnya kali
ini. Tetapi ternyata orang tua ini mempunyai ilmu yang agak lebih tinggi dari
orang yang menyerang kemarin. Meskipun umurnya sudah lanjut, namun geraknya
masih sangat membahayakan. Serangannya datang tiba-tiba dan kadang-kadang tak
terduga. Mula-mula Bagus Handaka menjadi agak mengalami kesulitan. Ia belum
pernah melihat beberapa dari unsur-unsur gerak lawannya. Tetapi karena orang
tua itu agaknya belum memiliki unsur-unsur gerak yang banyak macamnya, maka
serangannya selalu dilakukan berulang kali dengan unsur-unsur gerak yang hanya
ada beberapa macam itu saja. Meskipun unsur-unsur gerak itu mula-mula agak
membingungkannya, tetapi lambat laun dapat dikuasainya. Apalagi karena Bagus
Handaka sendiri telah banyak menerima bahan-bahan serta ilmu yang cukup banyak
dari gurunya. Malahan ketika mereka telah bertempur beberapa lama, Bagus
Handaka mulai dapat mengenal ilmu lawannya dengan baik. Karena itu seperti
malam sebelumnya, ia tidak perlu mengkhawatirkan dirinya. Ia pasti akan dapat
mengatasi lawannya yang sudah tua itu. Tetapi karena kali ini ia benar-benar
ingin menangkap penyerang itu, maka Bagus Handaka selalu berusaha untuk dengan
secepat-cepatnya menjatuhkan lawannya, meskipun hal itu tidak dapat
dilakukannya dengan mudah.
AKHIRNYA,
ketika orang tua itu merasa bahwa Bagus Handaka bukanlah anak-anak yang dengan
mudahnya dapat ditakut-takuti serta dengan mudahnya dapat ditangkap, bahkan
malahan dalam beberapa hal Bagus Handaka dapat melebihinya, maka tak ada jalan
lain daripada melarikan diri. Apalagi ketika ternyata Bagus Handaka dapat
melawannya dengan mempergunakan bagian-bagian dari unsur-unsur geraknya
sendiri. Orang tua itu menjadi bertambah takut lagi. Cepat-cepat ia meloncat
mundur beberapa langkah, dan kemudian berusaha untuk berlari secepat-cepatnya.
Bagus Handaka yang sudah mengira hal itu akan terjadi, segera meloncat
menghadang. Tetapi orang tua itu seakan-akan telah dapat memperhitungkan pula
tindakan Bagus Handaka, karena demikian Bagus Handaka melontarkan diri,
demikian orang tua itu membalik ke arah yang berlawanan, dan seperti terbang
orang itu berlari masuk ke dalam semak-semak yang gelap. Bagus Handaka yang
mengejarnya menjadi keheran-heranan. Meskipun ternyata ilmunya tidak kalah
tinggi, bahkan beberapa unsur gerak orang tua itu malahan telah dapat dikuasai,
namun dalam hal berlari ternyata ia masih kalah. Karena itu dengan hati yang
semakin jengkel Bagus Handaka terpaksa melepaskan orang tua itu pergi.
Dengan
kejadian-kejadian itu, teka teki yang melibat dirinya menjadi semakin kisruh.
Ia mencoba mengingat-ingat semua kejadian yang pernah dialami, namun ia sama
sekali tak dapat menghubungkannya dengan peristiwa dua malam terakhir itu.
Tetapi Bagus Handaka adalah seorang pemuda yang berani, cerdas dan banyak hal
yang ingin diketahui. Karena itulah maka, setelah mengalami peristiwa dua malam
berturut-turut, malahan ia ingin untuk mengetahui apakah yang akan terjadi
seterusnya. Ia ingin melihat apakah pada malam-malam berikutnya akan terjadi
pula hal-hal semacam itu. Malahan ia mengharap kedatangan salah seorang
diantaranya, sehingga apabila orang itu dapat ditangkapnya, maka pastilah latar
belakang dari peristiwa-peristiwa itu dapat disingkapkan. Namun sampai
sedemikian jauh Bagus Handaka masih belum merasa perlu untuk menyampaikan
masalah itu kepada gurunya. Nanti apabila salah seorang dari mereka dapat
ditangkapnya, barulah Bagus Handaka bermaksud membawa orang itu kepada Manahan.
Pada malam
berikutnya Bagus Handaka sengaja menghindarkan diri dari beberapa kawannya yang
sering mengajaknya turun ke laut. Dengan demikian maka ia dapat leluasa pergi
ke pantai untuk menanti peristiwa yang aneh, yang barangkali masih ada
kelanjutannya. Dan apa yang dinantinya benar-benar datang. Ketika angin laut
menghembus perlahan-lahan mempermainkan buih di pantai, Bagus Handaka
dikejutkan oleh sebuah bayangan yang seolah-olah muncul saja dari dalam laut,
dan dengan langkah yang cepat langsung menuju ke arahnya. Meskipun Bagus
Handaka sengaja menanti kejadian itu, namun hatinya tergetar juga. Dua malam
berturut-turut ia mengalami serangan dari orang yang tak dikenalnya. Tetapi
orang-orang itu datang dari arah semak-semak, sedangkan kali ini orang itu
muncul seakan-akan dari dalam air.
Ketika orang
itu sudah semakin dekat, Bagus Handaka segera meloncat berdiri serta
mempersiapkan diri. Sebab menilik gerak serta arah datangnya, maka orang ini
pasti lebih berbahaya dari dua orang yang pernah dilawannya. Melihat Bagus
Handaka berdiri serta mempersiapkan diri, orang itu terhenti. Agaknya ia heran
melihat sikap Handaka. Tetapi kemudian terdengar ia tertawa pendek,
menyeramkan.
“Aku tidak
akan keliru lagi. Bukankah kau yang bernama Bagus Handaka?”
Di dalam
gelap, Bagus Handaka mencoba mengawasi wajah orang itu. Tetapi yang dapat
diketahuinya adalah, orang itu janggut serta kumisnya tumbuh lebat sekali,
sehingga menutupi hampir seluruh lubang mulut serta hidungnya. Selain dari itu
tak ada lagi kesan yang diperolehnya.
Dengan suara
yang mantap, Bagus Handaka menjawab,
“Ya, aku Bagus
Handaka. Kau mau apa?”
Kembali
terdengar suara tertawa pendek yang menyeramkan.
“Kau memang
berani Handaka. Aku kira kau akan memungkiri dirimu. Kau tidak takut mendapat
bahaya?”
“Kenapa aku
mesti takut. Aku sudah mengira bahwa kau akan berkata seperti orang-orang yang
pernah menyerangku dua malam berturut-turut meskipun orangnya tidak sama,”
potong Bagus Handaka.
Agaknya orang
itu heran mendengar kata-kata Handaka, sehingga ia bertanya,
“Dua malam
berturut-turut kau mendapat serangan?”
Sekarang Bagus
Handaka yang tertawa berderai.
“Aku bukan
anak-anak yang masih pantas kau bohongi dengan cara demikian. Adakah suatu
peristiwa kebetulan sampai tiga kali berturut-turut dengan cara yang sama?”
Mendengar
jawaban Bagus Handaka, orang itu berdesis,
“Agaknya
mereka telah mendahului aku”.
Lalu tiba-tiba
ia berkata kepada Bagus Handaka,
“Tetapi kenapa
kau masih sempat bermain-main di sini. Kalau apa yang kau katakan benar, aku
kira kau sudah tergantung mati di tengah Alas Roban”.
Mau tidak mau
jantung Handaka tergetar hebat mendengar kata-kata itu. Apakah sebabnya
orang-orang itu memburunya dan akan menggantungnya di Alas Roban…? Karena itu
pula ia menjadi marah sekali. Ia tidak pernah merasa berbuat salah kepada orang
lain, tetapi kenapa ada orang yang menginginkan kematiannya? Kemudian dengan
tidak menunggu lebih lama lagi, Bagus Handaka meloncat mendahului menyerang
orang itu. Serangannya hebat sekali dengan mengerahkan segenap tenaga yang ada.
ORANG yang
berkumis dan berjanggut lebat itu agaknya terkejut sekali. Ia tidak mengira
bahwa Bagus Handaka akan memulai lebih dahulu. Cepat ia meloncat ke samping.
Tetapi Bagus Handaka tidak membiarkannya. Disusullah serangan itu dengan
serangan berikutnya. Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga orang asing
itu tidak sempat mengelakkan dirinya. Karena itu cepat-cepat ia berusaha
menahan serangan Bagus Handaka dengan kedua tangan yang disilangkan di muka
dadanya. Maka terjadilah suatu benturan yang keras. Bagus Handaka terdorong
beberapa langkah surut, tetapi orang itu pun tak dapat bertahan pada tempatnya
dan terlempar beberapa langkah pula. Dengan demikian masing-masing mengetahui
bahwa kekuatan mereka berimbang. Maka untuk memenangkan pertempuran selanjutnya
adalah terletak pada keprigelan dan ketinggian ilmu masing-masing. Karena itu
segera Bagus Handaka mempersiapkan dirinya. Ia merasa bahwa apabila orang itu
dapat mengalahkannya, maka taruhannya adalah nyawanya. Ia tidak mau mati
bergantungan di tengah-tengah Alas Roban, dan bangkainya nanti akan menjadi
makanan burung gagak. Sesaat berikutnya terjadilah pertempuran yang dahsyat.
Masing-masing mempergunakan segenap tenaganya serta segenap ilmunya. Meskipun
Bagus Handaka masih terlalu muda untuk melawan orang yang berjanggut dan
berkumis lebat itu, namun karena latihan-latihan berat yang pernah dilakukan
selama ini, maka ia pun tidak mengecewakan. Sebaliknya orang asing itu pun
ternyata bukan pula seperti dua orang yang menyerangnya malam-malam sebelumnya.
Sehingga dengan demikian perkelahian itu berlangsung dengan serunya.
Hanya
kadang-kadang saja Bagus Handaka dikejutkan oleh gerakan-gerakan yang aneh-aneh
yang dilakukan oleh lawannya. Tetapi karena lawannya itu pun agaknya belum
menguasai benar-benar ilmunya itu, sehingga pelaksanaannya masih belum seperti
yang diharapkan. Bagus Handaka yang lincah dan kuat itu dapat untuk beberapa
kali menyelamatkan diri dari serangan-serangan yang demikian. Setelah mereka
bertempur beberapa lama maka terasalah oleh Handaka bahwa meskipun kekuatan
orang itu dapat menyamainya tetapi ia masih dapat membanggakan kelincahannya.
Orang itu agaknya terlalu memberatkan serangan-serangannya pada kekuatan tenaga
serta beberapa unsur geraknya yang meskipun berbahaya tetapi belum dapat
dilakukannya dengan lancar. Karena itu lambat laun ia merasa bahwa ia akan
dapat berhasil mengatasinya. Sebaliknya orang asing itu akhirnya kehabisan
akal. Semua ilmu serta tenaganya sudah dicurahkannya, namun ia sama sekali
tidak berhasil menangkap anak yang dicarinya itu. Meskipun beberapa kali ia
berhasil mengenai tubuh Bagus Handaka, namun ia sendiri dapat dikenai oleh anak
itu dua kali lipat.
Dengan
demikian maka sudah tidak ada harapan lagi baginya untuk memenangkan
pertempuran itu. Maka akhirnya orang itu putus asa, dan menyerang membabi buta
dengan ilmu andalannya. Dengan demikian bagi Bagus Handaka, malahan
menguntungkan sekali. Sebab dengan membabi buta, lawannya telah kehilangan
sebagian dari pengamatan diri serta kewaspadaan. Karena itulah agaknya Bagus
Handaka semakin lama semakin berada dalam keadaan yang menguntungkan. Tetapi
hampir seperti kejadian-kejadian pada malam-malam sebelumnya, orang itu pun
kemudian meloncat melarikan diri. Juga kali ini Bagus Handaka sama sekali tak
berhasil mengejarnya. Apalagi orang aneh yang muncul dari dalam air itu berlari
terjun ke dalam air pula. Ketika orang itu lenyap, Bagus Handaka berdiri bertolak
pinggang di batas air. Dadanya melonjak-lonjak dipenuhi oleh kemarahan,
keheranan dan kengerian yang bercampur aduk. Tiga malam ia mengalami peristiwa
yang disaput oleh kabut rahasia. Apakah kejadian ini akan berlangsung
berlarut-larut…?
Tetapi jiwa
keingintahuan Bagus Handaka tiba-tiba menguasai perasaannya kembali. Bagaimana
dengan malam keempat? Kalau hal ini disampaikan kepada gurunya, mungkin
kejadiannya akan berubah. Ia ingin melihat para penyerang itu datang
berturut-turut sampai orang yang terakhir. Lalu apakah yang terjadi sesudah
itu…? Kembali pada malam keempat. Bagus Handaka mencari-cari alasan untuk tidak
terjun ke laut. Kawan-kawannya yang mengajaknya sama sekali tidak curiga bahwa
Bagus Handaka sedang melakukan suatu perbuatan yang aneh namun sebenarnya penuh
dengan bahaya. Dan apa yang diharapkan kali inipun benar-benar datang pula.
Dengan penuh pertanyaan di dalam hati Bagus Handaka berjuang dengan sekuat
tenaga untuk menangkap penyerangnya. Namun kali inipun ia tidak berhasil.
Malahan orang keempat ini berhasil menghantam pergelangan tangan kirinya
sehingga terasa sangat sakit. Untunglah bahwa akhirnya ia masih dapat
mengalahkan orang itu, meskipun ia tidak pula berhasil menangkapnya. Demikian
pula pada malam kelima. Otak bagus Handaka rasa-rasanya hampir meledak
memikirkan hal itu. Apalagi ketika orang kelima ini ternyata memiliki ilmu yang
cukup tinggi.
TIDAK seperti
keempat orang sebelumnya, yang datang dari jurusan yang tidak sama, namun
kedatangan mereka itu dapat diketahui sebelumnya, meskipun ada dua diantaranya
yang datang dari jurusan yang aneh, dari laut. Tetapi orang kelima ini jauh
lebih aneh lagi. Tahu-tahu orang itu sudah berdiri di belakang Bagus Handaka
dengan suara garang dibarengi dengan suara tertawa yang menyeramkan.
“Bagus
Handaka, kau mau melarikan dirimu kemana lagi. Berbulan-bulan aku mencarimu,
dan sekarang aku menemukan kau di sini”.
Empat malam
berturut-turut Bagus Handaka sudah bertempur dengan orang-orang yang tak
dikenal, dan empat kali pula ia berhasil mengalahkan mereka. Namun kali ini
bulu tengkuknya meremang juga. Wajah orang ini sama sekali bersih, hanya
alisnya agak terlalu lebat dan hampir bertemu di atas hidungnya. Tetapi wajah
yang bersih itu seakan-akan memancarkan udara maut dari setiap lubang-lubangnya.
Kemudian terdengar kembali orang itu berkata,
“Ha, agaknya
kau sudah ketakutan. Aku kira kau anak yang berani. Bukankah kau murid Manahan
sepengecut kau ini”.
Bagus Handaka
adalah seorang anak yang berani. Meskipun hatinya tergetar pula menghadapi sesuatu,
tetapi ia tidak akan menilai seseorang berlebih-lebihan. Apalagi orang itu
telah menghinanya dengan menyebut-nyebut nama gurunya. Karena itu ia menjadi
marah sekali. Dengan mulut yang terkatub rapat serta gigi yang gemeretak, Bagus
Handaka tidak menanti orang itu selesai berkata. Seperti seekor banteng luka ia
dengan dahsyatnya menyerang orang itu. Orang yang mendapat serangan itu agaknya
terkejut. Tetapi dengan tangkasnya ia menggeser kakinya sehingga ia terbebas
dari serangan Bagus Handaka. Tetapi Bagus Handaka yang hatinya sudah terbakar
oleh kemarahan itu, dengan cepatnya menyerang pula. Sekali lagi orang itu
terpaksa mengelakkan diri, tetapi agaknya ia tidak mau diserang terus-menerus.
Kemudian dengan garangnya ia pun menyerang kembali. Namun ternyata Bagus
Handaka memiliki kelincahan yang cukup pula, sehingga serangan orang itu dapat
dielakkannya. Kemudian terjadilah suatu pertempuran yang hebat. Masing-masing
melancarkan serangan-serangan yang dahsyat dan berbahaya. Tetapi masing-masing
ternyata memiliki kegesitan dan ketahanan yang cukup.
Bagus Handaka
yang telah bertempur empat malam berturut-turut dan memenangkan setiap
pertempuran, ternyata sangat mempengaruhi jiwanya. Ia semakin percaya kepada
kekuatan dirinya sendiri. Dan perasaan yang demikian sangat membantu keadaannya
pada malam kelima itu. Meskipun ia merasa bahwa orang kelima ini memiliki ilmu
yang lebih tinggi dari orang-orang sebelumnya, namun hatinya yang telah
dibesarkan oleh peristiwa-peristiwa empat malam sebelumnya menjadikannya tetap
tatag dan tenang.
No comments:
Post a Comment