Bagian 030



ARYA menjadi gembira mendengar ajakan pamannya. Memang sebenarnya ia lelah sekali setelah beberapa lama berlari-lari mengejar Mahesa Jenar. Maka jawabnya,
“Baiklah Paman. Aku akan beristirahat dahulu”.
Kemudian mereka mencari tempat yang teduh di bawah pepohonan, di tepi hutan. Arya Salaka dengan segera merebahkan dirinya berbaring diatas rumput-rumput kering. Dan, karena lelahnya maka segera ia pun tertidur. Mahesa Jenar memandang Arya yang sedang tidur itu dengan perasaan belas kasih. Apalagi kalau diingatnya, bahwa hampir saja anak itu ditinggalkannya seorang diri. Dari wajah anak itu tampaklah memancar ketulusan serta keberanian yang diwarisinya dari ayahnya, Gajah Sora. Karena itu, apabila Arya Salaka menerima pendidikan serta latihan yang baik, pastilah kelak ia akan menjadi seorang pemuda yang perkasa.

Sementara itu matahari telah menempuh lebih dari tigaperempat bagian dari jalan peredarannya, karena itu panasnya tidak begitu tajam lagi. Di langit yang biru bersih, hanya kadang-kadang saja tampak awan tipis mengalir perlahan-lahan. Bersama dengan awan yang tipis itu kenangan Mahesa Jenar membubung tinggi. Diingatnya segenap masa lampaunya yang penuh dengan bermacam-macam kejadian silih berganti. Ketenaran dua keagungan sebagai seorang perwira pasukan Naramanggala, kepahitan dan kekecewaan, kecemasan dan bermacam-macam lagi peristiwa yang datang silih berganti di masa perantauannya. Namun akhirnya, ketika awan di langit itu pecah berpencaran ditiup angin, maka hilang pulalah semua kenangan yang mengganggu pikiran Mahesa Jenar. Yang tampak sekarang adalah masa yang menghadang di hadapannya. Masa yang akan penuh dengan tantangan-tantangan yang harus dijawab dengan tindakan-tindakan yang tepat. Tetapi kemudian tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada orang tua yang telah membawanya kembali ke jalan yang lurus. Siapakah kira-kira orang itu? Benarkah orang itu yang telah mengambil keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten? Ketika pertanyaan-pertanyaan itu ditujukan kepadanya maka ia sama sekali tidak menyangkalnya meskipun tidak pula membenarkan. Ditilik dari pakaiannya maka Mahesa Jenar hampir pasti bahwa orang itulah yang mengambil kedua pusaka itu dari Banyubiru, sebab jarang orang yang berpakaian jubah berwarna abu-abu, kecuali Pasingsingan dan orang itu.

Meskipun Mahesa Jenar belum pernah melihat wajah asli Pasingsingan yang nama sebenarnya adalah Umbaran, namun pastilah bahwa orang tua itu bukannya Umbaran. Kalau demikian sampailah Mahesa Jenar pada suatu dugaan bahwa orang tua itu adalah Pasingsingan tua, guru dari Paniling, atau yang sebenarnya bernama Radite, Anggara dan Umbaran. Namun ia sendiri tidak yakin, apakah dugaannya itu benar. Tetapi bagaimanapun Mahesa Jenar mendapat kesimpulan bahwa usaha untuk menemukan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten akan merupakan suatu usaha yang berjangka panjang. Sebab sampai saat itu segala sesuatunya masih gelap. Gelap sama sekali. Tak ada satu titik pun yang dapat menunjukkan arah lenyapnya kedua pusaka yang sedang menjadi rebutan oleh beberapa pihak itu. Akibat dari itu, pasti akan menyangkut Gajah Sora pula. Makin lama waktu yang diperlukan untuk menemukan kedua keris itu, semakin lama pula waktu pembebasan yang akan diberikan kepadanya. Mahesa Jenar hanya dapat berdoa, mudah-mudahan Paningron dan Gajah Alit dapat menolong meringankan tuduhan yang dibebankan kepada Gajah Sora.
Tetapi ketika Mahesa Jenar baru asyik berangan-angan, tiba-tiba terdengarlah derap kuda yang semakin lama semakin dekat. Karena itu segera didukungnya Arya yang masih tidur, dibawa masuk ke dalam semak-semak yang rimbun. Untunglah bahwa Arya yang kelelahan itu tidak terbangun. Sedang Mahesa Jenar, dengan hati-hati sekali mengintip dari celah-celah rapatnya dedaunan ke arah suara kuda-kuda itu.

SEBENTAR kemudian dari balik tikungan semak-semak muncullah tiga orang berkuda. Melihat tiga orang itu, dada Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Mereka adalah sepasang Uling dari Rawa Pening, disertai oleh Sri Gunting. Menilik perbekalan mereka, maka Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa dua bersaudara Uling itu akan menempuh perjalanan yang jauh. Mula-mula timbul keinginan Mahesa Jenar untuk menghadang mereka serta langsung membinasakan mereka. Tetapi tiba-tiba diingatnya pesan Ki Paniling, bahwa ia dinasehatkan untuk tidak bertindak tergesa-gesa. Ia harus tahu pasti bahwa tindakannya benar-benar akan menguntungkan. Sedang pada saat itu, ia masih belum yakin bahwa ia seorang diri dapat mengalahkan orang-orang itu. Apalagi ia sedang membawa Arya. Kalau sampai terjadi sesuatu atas anak itu, maka letak kesalahan ada padanya. Karena itu akhirnya, Mahesa Jenar hanya mengintip dengan dada yang bergetar menahan perasaannya.
Ketika ketiga orang itu lenyap dari pandangan matanya, Mahesa Jenar segera menyadari, betapa semakin sulitnya pekerjaan yang akan dilakukan. Dengan melihat kedua orang itu Mahesa Jenar dapat menerka, bahwa pasti tidak saja sepasang Uling itu yang pergi merantau, tetapi pasti juga tokoh-tokoh hitam yang lain, menempuh perjalanan dan bertebaran ke segenap penjuru untuk dahulu-mendahului menemukan Keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.

Kalau saja ia bertemu dengan Uling, Lawa Ijo, Jaka Soka dan sebagainya, bagaimanapun masih ada kemungkinan bagi Mahesa Jenar untuk menyelamatkan diri. Tetapi bagaimana halnya kalau di perjalanan ia berjumpa dengan tokoh-tokoh tua seperti Pasingsingan, Sima Rodra tua, Bugel Kaliki dan barangkali tokoh-tokoh tua yang berdiri di belakang Sepasang Uling dan Jaka Soka, atau guru-guru mereka, yang ternyata juga mengingini pusaka-pusaka itu? Terhadap mereka tidak akan banyak yang dapat dilakukan. Untunglah sampai saat ini beberapa kali jiwanya selalu terselamatkan oleh pertolongan mereka dari angkatan yang sebaya. Tetapi kalau tak seorangpun dari mereka yang melihat, pasti bahwa tinggal nama Mahesa Jenar saja yang mungkin masih sering disebut-sebut orang. Mengingat hal itu, tiba-tiba dirasanya bulu tengkuknya berdiri. Tetapi ketika segera menyusul gema yang berkumandang di rongga hatinya, gema suara orang tua yang tak dikenalnya, yang mengatakan bahwa Keris Nagasasra dan Sabuk Inten berada di dalam kekerasan hatinya serta usahanya, maka nyala tekad di dalam hatinya berkobar semakin besar, sebesar nyala api di lubang kepundan Gunung Merapi, yang tak akan dapat padam oleh hujan selebat apapun serta angin sekencang apapun.

Sementara itu Arya telah menggeliat pula. Ketika ia membuka matanya maka yang pertama-tama dilakukan adalah berteriak memanggil,
“Paman…, Paman Mahesa Jenar….”
“Sst…!” desis Mahesa Jenar.
“Kenapa kau berteriak, Arya…?”
Dengan pandangan yang masih diliputi oleh keragu-raguan, Arya mengawasi Mahesa Jenar tanpa berkedip.
“Paman tidak meninggalkan aku lagi bukan?”
Mahesa Jenar tertawa kosong, dengan penuh pengertian atas kecemasan yang mencengkam perasaan Arya.
“Kalau aku akan meninggalkan engkau, bukankah lebih baik pada saat kau sedang tidur?”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar, Arya menjadi percaya bahwa pamannya tidak akan pergi meninggalkannya. Setelah beberapa kali menggeliat, segera Arya duduk di samping Mahesa Jenar.
“Sudah tidak lelah lagi kau Arya?” tanya Mahesa Jenar.
“Bukankah sejak tadi aku tidak lelah Paman?” jawab anak itu.
Terdengar Mahesa Jenar tertawa pendek, katanya meneruskan,
“Bagus kalau begitu. Nah sekarang kau sudah siap untuk berjalan lagi?”
“Tentu Paman, tentu aku siap berjalan setiap saat,” sahut Arya.
“Kalau begitu, mari kita berjalan,” ajak Mahesa Jenar.
Oleh ajakan itu segera Arya meloncat berdiri dengan sigapnya. Memang setelah ia tertidur beberapa lama, tubuhnya telah menjadi segar kembali.
“Kita sekarang kembali ke rumah kita sebentar Arya,” ajak Mahesa Jenar meneruskan.
“Kenapa hanya sebentar Paman?” tanya Arya.
“Biarlah kami tinggalkan rumah itu. Rumah dimana kau hampir saja mengalami bencana,” jawab Mahesa Jenar.

Seterusnya ia menerangkan,
“Arya, rumah itu ternyata sudah diketahui oleh orang-orang yang ingin membunuhmu. Karena itu bukankah lebih baik kalau kita pergi? Kita mampir sebentar hanyalah untuk mengambil tombak pusaka Banyubiru Kyai Bancak. Biarlah tombak itu kau bawa serta. Supaya tidak mencurigakan, nanti sebaiknya kita lepas tangkainya”.
“Baiklah Paman,” jawab Arya sambil menganggukkan kepalanya.
Kemudian berangkatlah mereka berdua meneruskan perjalanan. Tidak lama kemudian matahari tenggelam di ujung barat langit. Dalam kegelapan, mereka tetap meneruskan perjalanan. Mahesa Jenar yang berpandangan tajam dapat menempuh perjalanan dengan tidak banyak menemui kesulitan, sambil menggandeng Arya Salaka. Belum sampai tengah malam, mereka berdua telah tiba di pedukuhan dimana telah mereka bangun tempat untuk berteduh. Pada pagi harinya, tetangga-tetangga Mahesa Jenar yang baik hati, ketika mengetahui bahwa Mahesa Jenar telah berhasil menemukan anak yang mereka anggap anak Mahesa Jenar sendiri, dengan selamat, segera berkerumun untuk mengucapkan syukur. Mereka bertanya bergantian tak ada henti-hentinya sehingga Mahesa Jenar kerepotan untuk menjawabnya.

TETAPI kemudian, mereka, tetangga-tetangga yang baik itu menjadi tercengang-cengang ketika tiba-tiba saja Mahesa Jenar mohon diri kepada mereka untuk pergi meneruskan perantauannya seperti ketika belum menetap di pedukuhan itu. Para tetangga yang menganggap Mahesa Jenar sebagai seorang petani yang banyak memberikan sesuluh kepada mereka, menjadi agak kecewa. Kata salah seorang dari mereka,
“Adakah kami berbuat kesalahan terhadap Angger?”
“Tidak, Bapak,” sahut Mahesa Jenar cepat.
“Sama sekali tidak”.
“Atau barangkali Anda marah kepada kami?” sambung yang lain
“Karena kami tidak dapat melindungi anak Adi?”
“Juga tidak,” jawab Mahesa Jenar.
“Tidak ada kesalahan saudara-saudara kepada kami”.
“Lalu kenapa Adi mau pergi?” tanya seseorang pula.
Mahesa Jenar agak bingung menjawab pertanyaan itu. Tetapi akhirnya ia berkata,
“Saudara-saudaraku yang baik. Aku ingin berjalan semata-mata karena kegemaranku merantau. Aku ingin menunjukkan beberapa pengalaman kepada anakku ini. Sebab aku bercita-cita bahwa kelak nasib anakku ini harus lebih baik dari nasibku sendiri”.

Para tetangga yang ramah itu pun mengangguk-anggukkan kepala. Agaknya Mahesa Jenar sudah tidak dapat di tahan lagi. Karena itu dengan berat hati mereka lepas Mahesa Jenar dan anaknya berjalan.
“Pada suatu saat kami akan datang kembali,” kata Mahesa Jenar kepada mereka yang mengantar sampai ke ujung desa.
Setelah itu, mulailah Mahesa Jenar dengan perantauannya kembali. Tetapi kali ini Mahesa Jenar tidak berjalan sendiri.
Mula-mula Mahesa Jenar dan Arya Salaka berjalan ke arah selatan, tetapi kemudian mereka membelok ke barat dan terus ke utara. Untuk sementara mereka berjalan asal saja menjauhi daerah kekuasaan Lembu Sora. Di bawah baju Arya Salaka terseliplah tombak pusaka Banyubiru yang telah dilepas dari tangkainya, yang dibalut rapi dengan kulit kayu. Di perjalanan pagi itu Mahesa Jenar tidak banyak berkata-kata. Pikirannya diliputi oleh kegelapan yang menyelubungi keris-keris pusaka Demak yang hilang. Sampai saat itu ia sama sekali masih belum tahu kemana dan bagaimana harus mencari kedua keris itu. Apa yang dilakukan adalah seperti meraba-raba di dalam kelam. Tetapi disamping itu masih ada yang harus dilakukan. Membentuk Arya menjadi seorang jantan. Dan mengantarnya kembali ke daerah perdikan Banyubiru.

Sedang Arya Salaka agaknya sama sekali tidak menghiraukan apa-apa. Dalam cerah matahari pagi, ia berjalan agak di depan dengan riangnya. Ia berlari-lari selincah anak kijang, tanpa perasaan takut serta prasangka apa-apa, dalam irama nyanyi burung-burung liar yang berloncat-loncatan di rerumputan yang hijau segar. Sekali-sekali Arya mengambil batu serta dilemparkan kearah gerombolan burung-burung yang asyik mematuk-matuk biji-biji rumput, yang kemudian karena terkejut beterbangan berputar-putar, tetapi sesaat kemudian burung-burung itu kembali hinggap di rerumputan. Tiba-tiba Arya Salaka terhenti ketika didengarnya Mahesa Jenar memanggil. Ketika ia menoleh, dilihatnya pamannya sudah agak jauh tertinggal di belakang. Karena itu Arya segera duduk di atas batu untuk menanti Mahesa Jenar.
“Arya…” kata Mahesa Jenar setelah mereka berjalan bersama-sama.
“Aku mempunyai pikiran bahwa untuk keselamatanmu kau harus berusaha sejauh-jauhnya agar kau tak dikenal orang. Karena itu Arya, aku berpendapat bahwa sebaiknya nama panggilanmu harus diganti. Sebab, selama kau masih mengenakan namamu yang sekarang, Arya Salaka, maka orang-orang yang akan mencarimu dengan mudahnya akan dapat menemukan kau. Sebab namamu adalah nama yang jarang-jarang dipakai orang. Maka sekarang kau ingin mengubah namamu dengan nama lain?”
Arya memandang wajah Mahesa Jenar dengan herannya.
“Apakah kalau aku berganti nama, orang tak mengenal aku lagi?” katanya.
“Bukan begitu Arya,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi setidak-tidaknya orang tidak mendengar lagi nama Arya Salaka. Bukankah dengan mendengar namamu orang dapat menemukanmu?”

Arya Salaka mengangguk-anggukkan kepalanya. Agaknya ia sudah mengerti maksud Mahesa Jenar. Tetapi tiba-tiba ia bertanya,
“Paman, meskipun namaku sudah diganti, tetapi apabila seseorang berkata tentang seorang anak yang berjalan bersama-sama dengan Mahesa Jenar, bukankah segera orang mengenal aku? Sebab yang selalu berjalan bersama-sama dengan Arya Salaka adalah Mahesa Jenar”.
“Kau benar-benar cerdas Arya,” jawab Mahesa Jenar sambil tertawa,
“Aku setuju dengan pendapatmu. Kalau begitu, marilah kita bersama-sama mengganti nama”.
Mendengar pendapat itu Arya Salaka tertawa berderai. Agaknya hal itu merupakan suatu hal yang lucu. Melihat Arya tertawa, Mahesa Jenar pun tertawa.
“Nah, Arya… siapakah nama yang pantas buat mengganti namamu?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
Arya tampak mengerutkan keningnya, tetapi beberapa lama kemudian ia menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya,
“Terserahlah kepada paman”.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berpikir. Nama apakah yang sepantasnya diberikan buat anak itu. Tiba-tiba terlintaslah suatu nama yang tepat diberikan kepada Arya Salaka.
“Arya, kau tahu bahwa namaku adalah Mahesa Jenar. Mahesa adalah sejenis binatang bertanduk. Maksud dari nama itu adalah supaya aku mempunyai kesigapan dan ketangguhan seperti Mahesa. Sedang harapanku, kau harus lebih hebat daripadaku. Karena itu aku akan memberi nama kepadamu dengan nama yang lebih hebat pula. Bukankah nama ayahmu hebat pula? Gajah Sora. Dan ayahmu benar-benar hebat seperti seekor gajah. Nah, dengarlah Arya, aku akan memberimu nama Handaka”.
“Handaka…” ulang Arya,
“Apakah Handaka itu?”
“Handaka adalah nama binatang bertanduk pula,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi jauh lebih hebat dari Mahesa Jenar. Sebab Handaka berarti banteng”.

MENDENGAR uraian Mahesa Jenar, hati Arya Salaka bergetar. Maka dengan bangga ia berkata,
“Aku pernah mendengar ayah berceritera tentang seekor banteng”.
“Apa kata ayahmu?” tanya Mahesa Jenar.
“Banteng adalah binatang yang hebat sekali,” jawab Arya.
“Nah, kalau begitu sekarang aku memanggil kau, Handaka,” kata Mahesa Jenar meneruskan.
“Tetapi siapakah kelanjutan nama itu?”
“Handaka Sora, seperti nama ayah,” usul Arya.
“Tetapi orang akan masih dapat mengenal kau dalam hubungan nama dengan ayahmu,” jawab Mahesa Jenar.
“Juga seandainya kau bernama Handaka Jenar. Orang akan menghubungkan dengan nama Mahesa Jenar”.
“Lalu apakah yang baik menurut Paman?” tanya Arya Salaka.
“Begini Arya… aku mempunyai nama yang baik. Dengarlah…. Nama lengkapmu adalah Bagus Handaka. Bagaimana pendapatmu?”
Mata Arya menjadi berkilat-kilat.
“Bagus… Paman. Bagus sekali. Nah, sejak saat ini aku bernama Bagus Handaka”.
Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu katanya,
“Dan sekarang siapakah namaku?”
“Terserahlah kepada Paman,” jawab Bagus Handaka.
“Jangan panggil aku Paman. Panggil aku Bapak untuk seterusnya”.
“Baiklah Bapak”.
“Bagus Handaka, dengarlah. Aku akan memakai nama seorang petani biasa. Sejak saat ini panggilah aku dengan nama Manahan, Bapak Manahan”.
“Baiklah Bapak Manahan”.
“Bagus. Kita sekarang sudah merupakan orang baru. Meskipun apa yang kita lakukan adalah kelanjutan usaha kita sebelumnya. Kau harus kembali ke Banyubiru kelak. Dengan atau tidak dengan kekerasan”.
“Tentu Paman… eh… Bapak. Sebab tanah itu bagiku merupakan Tanah Pusaka sekaligus tanah tercinta”.

Manahan dengan menepuk pundak Bagus Handaka berkata pula,
“Bagus Handaka, karena semuanya itu, kau mulai saat ini harus melatih diri dengan tekun dan sungguh-sungguh. Supaya kau kelak tidak akan ketinggalan dengan anak pamanmu Lembu Sora”.
“Adi Sawung Sariti?” potong Bagus Handaka.
Manahan mengangguk. Katanya meneruskan,
“Anak itu pun sekarang pasti mengalami penggemblengan. Supaya kelak dapat menjadi anak hebat pula. Karena itu kau jangan sampai kalah”.
“Baik Bapak, aku akan mencoba untuk berlatih sekuat-kuat tenagaku, supaya aku tidak mengecewakan Bapak Manahan serta ayah Gajah Sora,” jawab Bagus Handaka.
“Bagus Handaka. Masa yang akan datang ini bagimu adalah suatu masa pembajaan diri,” desis Bagus Handaka.
Kemudian setelah itu, mereka saling berdiam diri, hanyut dalam arus angan-angan masing-masing.

Di langit, matahari masih memancar dengan cemerlang memanasi gunung serta lembah-lembah. Itulah permulaan dari suatu masa yang panjang, yang akan penuh dengan latihan olah kanuragan jaya kasantikan bagi Arya Salaka, yang kemudian bernama Bagus Handaka. Ternyata ia memang seorang anak yang tangkas dan cerdas. Memiliki kekuatan jasmaniah yang hebat pula. Dalam perantauan mereka dari satu tempat ke lain tempat, mereka sama sekali hidup dalam keprihatinan. Manahan dan Bagus Handaka tidak lebih dari dua orang bapak dan anak yang miskin. Apabila mereka merambah hutan, maka yang dimakan adalah buah-buahan yang dapat mereka jumpai di perjalanan mereka. Sedangkan apabila mereka melalui jalan-jalan kota, mereka berusaha untuk mendapatkan pekerjaan apapun yang dapat mereka lakukan. Tetapi karena semuanya itu mereka lakukan dengan suatu keyakinan bagi masa datang, maka hal itu sama sekali tidak menimbulkan gangguan apapun dalam diri mereka. Baik jasmaniah maupun tekad yang tersimpan di dalam dada mereka. Di dalam masa perantauan itu, satu hal yang tak seorangpun mengetahui, adalah, bahwa setiap saat Bagus Handaka selalu menerima latihan-latihan yang berat dan teratur dari gurunya. Setiap pagi, bila matahari belum menampakkan diri, Bagus Handaka harus sudah melakukan latihan berlari-lari dan kemudian dengan alat apa saja yang mungkin dipergunakan, cabang-cabang pohon, ia harus melakukan latihan tangan dengan bergantung dan berayun. Disamping itu, sedikit demi sedikit Manahan mengajarinya pula gerakan-gerakan pembelaan diri dengan segala unsur-unsurnya.

Bagus Handaka menerima semua pelajaran dari gurunya dengan tekad yang bulat, hati yang mantap. Karena itu semua pelajaran dengan cepatnya dapat dikuasainya dengan baik. Maka beberapa lama kemudian perjalanan mereka sampai ke pantai utara. Seterusnya mereka menyusur pantai membelok ke arah barat, menerobos hutan-hutan rimba yang kadang-kadang masih sangat lebat. Tetapi semuanya itu tidak menghalangi pertumbuhan Bagus Handaka. Tubuhnya semakin lama menjadi semakin kekar dan kuat, sedang geraknya menjadi semakin sigap.

AKHIRNYA mereka sampai ke suatu daerah pedukuhan yang kecil, dimana para penduduknya hidup sebagai nelayan. Disamping itu mereka gemar berburu kalong, sejenis binatang malam yang mirip dengan kelelawar, tetapi lebih besar dan pemakan buah-buahan. Meskipun ada juga diantara mereka yang bercocok tanam, tetapi penghidupan sebagai seorang petani agak tidak begitu menarik perhatian. Di pedukuhan itulah Manahan dan Bagus Handaka berhenti berjalan. Mereka menyatakan diri untuk tinggal bersama-sama di padepokan itu. Meskipun penduduknya tampaknya agak bersikap kasar, namun sebenarnya hati mereka tulus. Karena itu Manahan dan anaknya diterima oleh mereka dengan tangan terbuka. Di pedukuhan itulah Manahan menambah jumlah mereka yang mengolah tanah pertanian. Dengan tidak mencolok Manahan membawa cara-cara baru dalam pengolahan tanah dan cara-cara pengairan yang agak teratur. Karena itu dalam waktu singkat Manahan telah menjadi orang yang disenangi oleh penduduk pedukuhan itu.
Di pedukuhan itu, Bagus Handaka mendapat kesenangan baru. Dengan para nelayan kadang-kadang ia ikut serta berlayar menangkap ikan. Adalah mengherankan bahwa Handaka yang belum begitu lama hidup di kalangan para nelayan, kesigapannya telah hampir melampaui pemuda-pemuda nelayan yang sebayanya.

Agaknya kesenangannya bermain-main di Rawa Pening, serta kegemarannya menangkap Uling, merupakan bekal yang baik bagi seorang nelayan. Apalagi darah pelaut yang mengalir dalam tubuh ayahnya, Gajah Sora, agaknya melimpah juga kepada anak ini. Ditambah lagi dengan latihan-latihan keprigelan yang diterimanya dari Manahan. Dengan demikian Handaka pun menjadi cepat terkenal diantara teman-temannya. Bahkan orang-orang tua pun kemudian mengaguminya. Tetapi ada kegemaran Handaka yang lain, yang tidak sama dengan pemuda-pemuda nelayan pada umumnya. Handaka mempunyai kegemaran menyepi apabila semua pekerjaannya sudah selesai. Kadang-kadang ia betah duduk lama-lama di pasir pantai yang sepi. Memandang ke arah laut yang luas. Pada gelombang-gelombang yang selalu bergerak disapu angin. Apabila tubuhnya terasa lelah sekali, di pasir pantailah Handaka merebahkan diri, yang kadang-kadang ketika terdengar ayam berkokok menjelang matahari terbit, ia baru bangkit dan berjalan pulang ke pondoknya. Manahan sama sekali tidak keberatan atas kelakuan muridnya itu. Ia mengharap bahwa dengan demikian Bagus Handaka mendapat ketenangan dan pengendapan.

Dalam kesepian yang demikian kadang-kadang ditemukannya masalah-masalah besar dalam perjuangan masa depan. Karena itu ia sama sekali tak mengganggunya. Dibiarkannya Handaka pada saat terluangnya menyepikan diri, sedang Manahan sendiri waktu-waktu luangnya selalu diisi dengan duduk-duduk di sudut desa bersama-sama dengan para petani yang menunggui sawahnya yang sering diganggu oleh babi hutan. Dalam keadaan yang demikian banyaklah masalah-masalah yang dapat diberikan kepada para petani secara tidak langsung. Tetapi pada suatu malam terjadilah suatu hal yang mengejutkan. Saat itu, ketika malam kelam membalut pantai, Handaka sedang duduk seperti biasa merenungi lampu-lampu perahu nelayan yang hilir-mudik di laut. Tiba-tiba dilihatnya seseorang berjalan lurus ke arahnya. Di dalam gelap malam, Handaka tidak segera mengenal siapakah orang itu. Tetapi ia tahu pasti bahwa orang itu bukanlah Manahan. Ketika orang itu sudah berdiri dekat di hadapannya, mendadak tanpa berkata apa-apa orang itu langsung menyerangnya. Mula-mula Handaka terkejut bukan main, tetapi kemudian ia sadar bahwa ia harus membebaskan dirinya. Karena itu segera ia meloncat menghindar. Tetapi penyerangnya tidak membiarkannya lolos, malahan kembali ia menyerang lebih hebat.

Untuk beberapa saat Handaka menjadi ragu. Apakah salahnya dan siapakah orang itu? Sambil meloncat menghindar, ia berteriak,
“Siapakah kau, dan apakah sebabnya kau menyerang aku?”
Tetapi penyerang itu sama sekali tak menghiraukannya. Dengan penuh nafsu orang itu menyerang terus. Akhirnya karena tak ada kemungkinan lain, Handaka terpaksa melayaninya. Mula-mula ia masih berusaha untuk meyakinkan orang itu, bahwa mungkin ia keliru. Sebab selama ini Handaka merasa tak ada seorang pun yang memusuhinya di seluruh pedukuhan nelayan itu. Tetapi ia menjadi terkejut sekali ketika orang yang menyerangnya itu berkata dengan suara yang dalam,
“Bagus Handaka, kau sekarang tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku”.
Sekali lagi ia mencoba bertanya,
“Apakah hubunganmu dengan diriku sehingga kau bermaksud menangkap aku? Dan siapakah sebenarnya kau ini?”
Orang itu tidak menjawab, tetapi tertawanya yang nyaring terdengar sangat mengerikan. Dan berbareng dengan itu serangannya menjadi bertambah cepat dan mendesak. Tetapi Bagus Handaka sekarang bukanlah Arya Salaka dua tahun yang lalu. Bagus Handaka adalah seorang pemuda yang meskipun umurnya belum lebih dari 15 tahun, namun karena gemblengan yang menempa dirinya setiap saat, maka ia adalah seorang pemuda yang tangkas dan kuat. Karena itu ia dapat berkelahi dengan tenang dan lincah. Sehingga serangan-serangan orang yang tak dikenalnya itu beberapa kali dapat dihindarinya dengan mudah.

Tetapi ia tidak dapat terus-menerus menghindar dan mengelak. Sebab orang yang menyerangnya menjadi semakin marah. Gerak-geriknya semakin cepat dan berbahaya. Karena itu, akhirnya Bagus Handaka terpaksa melakukan serangan-serangan pula, sebagai suatu cara terbaik untuk mempertahankan diri. Perkelahian itu semakin lama menjadi semakin hebat. Namun di masa-masa yang pendek, Bagus Handaka sempat mengamat-amati wajah penyerangnya. Orang itu agaknya telah berumur sedikit lebih tua dari gurunya. Wajahnya tampak bengis dan berkumis tebal. Selebihnya ia tidak begitu jelas. Kecuali orang itu selalu bergerak, juga karena malam yang kelam.

UNTUNGLAH bahwa orang itu tidak memiliki ilmu yang tinggi, sehingga meskipun Bagus Handaka pantas menjadi anaknya, tetapi dalam perkelahian itu, meskipun ia harus bekerja keras, ia sama sekali tidak perlu cemas akan kesudahan dari pertempuran itu. Setelah mereka bertempur beberapa lama, akhirnya Bagus Handaka mendengar desah nafas lawannya semakin lama semakin cepat. Ia menjadi bergembira, karena dengan demikian ia tahu bahwa sebentar lagi lawannya akan kehabisan nafas. Karena itu, ia tidak perlu untuk melawannya dengan sungguh-sungguh. Ia cukup mengganggunya sehingga apabila nafas orang itu telah benar-benar tersekat, maka ia dengan mudah akan dapat menangkapnya. Mungkin gurunya tahu siapakah orang itu. Tetapi agaknya penyerang itu menyadari kelemahannya. Karena itu, dengan tergesa-gesa orang itu meloncat mundur sebelum kehabisan nafas dan berusaha melarikan diri. Tetapi Bagus Handaka sama sekali tak melepaskannya. Cepat ia berusaha mengejarnya. Namun ia menjadi keheran-heranan. Orang yang nafasnya tinggal seujung kuku itu, masih dapat melarikan diri dari kejarannya. Bagus Handaka berhenti mengejar ketika orang itu menyusup ke dalam semak-semak yang rimbun. Sulitlah baginya untuk mencari seseorang di dalam gelapnya malam diantara semak-semak itu. Setelah puas merenungi semak-semak itu, kemudian dengan langkah yang berat Bagus Handaka berjalan pulang ke pondoknya. Di dalam otaknya terjadilah suatu keributan. Ia sibuk menebak-nebak, siapakah orang yang dengan tiba-tiba saja menyerangnya. Bukan karena suatu kekeliruan, tetapi benar-benar dirinyalah yang dicari.

Sampai di pondoknya segera ia mencari gurunya. Tetapi ternyata Manahan masih belum pulang. Bagus Handaka yang tahu akan kebiasaan gurunya segera pergi menyusul ke pojok desa. Tetapi akhirnya ia menjadi ragu. Apakah hal yang demikian saja sudah merupakan suatu hal yang perlu dibicarakan dengan gurunya. Apakah dalam hal-hal yang kecil tidak cukup kalau diselesaikannya sendiri. Karena pikiran itu maka Bagus Handaka kemudian membatalkan maksudnya untuk menyatakan peristiwa yang baru saja dialami itu kepada gurunya. Sehingga ketika ia sampai di pojok desa, dan ketika ia sudah duduk diantara para petani dan nelayan yang sedang tidak turun ke laut, ia sama sekali tak berkata apapun mengenai peristiwa yang baru saja terjadi. Ia tidak mau mengganggu Manahan dengan soal-soal yang remeh-remeh. Tetapi apa yang dialami kemudian adalah sangat memusingkan kepalanya. Pada malam berikutnya, ketika ia sedang berbuat seperti kebiasaannya, tiba-tiba datanglah seseorang yang juga tanpa sebab menyerangnya. Tetapi orang ini adalah orang yang lain dari yang menyerangnya kemarin. Orang ini agaknya sudah jauh lebih tua dari gurunya.

Seperti malam sebelumnya, Bagus Handaka berusaha pula meyakinkan bahwa mungkin orang itu keliru. Tetapi juga seperti malam sebelumnya, Bagus Handaka terkejut dan keheran-heranan ketika orang yang menyerangnya itu berkata dengan suara yang tinggi,
“Tak usah kau mengelakkan diri. Soalnya sudah cukup jelas. Dan kau harus menyerah kepadaku sebelum orang lain berhasil menangkapmu mati atau hidup”.
Maka bersilang-silanglah teka-teki di dalam kepala Bagus Handaka. Apakah sebabnya maka hal ini bisa tejadi? Tiba-tiba ia teringat kepada orang-orang yang beberapa tahun yang lalu memburunya. Adakah orang-orang ini juga terdiri dari gerombolan yang sama? Karena itu dengan keras Bagus Handaka berkata,
“Hai orang tua yang tak tahu diri, adakah kau termasuk dalam gerombolan orang-orang yang akan membunuhku beberapa tahun yang lalu?”
Terdengar orang itu tertawa dengan nada yang tinggi. Jawabnya,
“Aku tidak mengenal orang-orang lain yang memburumu. Tetapi aku memerlukan kau seperti orang-orang lain yang barangkali juga memerlukan”.
Bagus Handaka menjadi semakin bingung.
“Adakah hubungan semua itu dengan tanah perdikan Banyubiru?”
“Banyubiru?” tanya orang tua itu dengan heran.
“Aku belum pernah mendengar nama Tanah Perdikan Banyubiru”.
“Lalu apa perlumu menangkap aku?” potong Handaka.

Sekali lagi orang tua itu memperdengarkan suara tertawanya yang semakin tinggi. Tetapi bersamaan dengan itu serangan menjadi bertambah cepat dan berbahaya. Bagus Handaka pun kemudian tidak bertanya-tanya lagi. Ia menjadi jengkel sekali atas kejadian-kejadian itu. Karena itu ia bertekad untuk menangkap penyerangnya kali ini. Tetapi ternyata orang tua ini mempunyai ilmu yang agak lebih tinggi dari orang yang menyerang kemarin. Meskipun umurnya sudah lanjut, namun geraknya masih sangat membahayakan. Serangannya datang tiba-tiba dan kadang-kadang tak terduga. Mula-mula Bagus Handaka menjadi agak mengalami kesulitan. Ia belum pernah melihat beberapa dari unsur-unsur gerak lawannya. Tetapi karena orang tua itu agaknya belum memiliki unsur-unsur gerak yang banyak macamnya, maka serangannya selalu dilakukan berulang kali dengan unsur-unsur gerak yang hanya ada beberapa macam itu saja. Meskipun unsur-unsur gerak itu mula-mula agak membingungkannya, tetapi lambat laun dapat dikuasainya. Apalagi karena Bagus Handaka sendiri telah banyak menerima bahan-bahan serta ilmu yang cukup banyak dari gurunya. Malahan ketika mereka telah bertempur beberapa lama, Bagus Handaka mulai dapat mengenal ilmu lawannya dengan baik. Karena itu seperti malam sebelumnya, ia tidak perlu mengkhawatirkan dirinya. Ia pasti akan dapat mengatasi lawannya yang sudah tua itu. Tetapi karena kali ini ia benar-benar ingin menangkap penyerang itu, maka Bagus Handaka selalu berusaha untuk dengan secepat-cepatnya menjatuhkan lawannya, meskipun hal itu tidak dapat dilakukannya dengan mudah.

AKHIRNYA, ketika orang tua itu merasa bahwa Bagus Handaka bukanlah anak-anak yang dengan mudahnya dapat ditakut-takuti serta dengan mudahnya dapat ditangkap, bahkan malahan dalam beberapa hal Bagus Handaka dapat melebihinya, maka tak ada jalan lain daripada melarikan diri. Apalagi ketika ternyata Bagus Handaka dapat melawannya dengan mempergunakan bagian-bagian dari unsur-unsur geraknya sendiri. Orang tua itu menjadi bertambah takut lagi. Cepat-cepat ia meloncat mundur beberapa langkah, dan kemudian berusaha untuk berlari secepat-cepatnya. Bagus Handaka yang sudah mengira hal itu akan terjadi, segera meloncat menghadang. Tetapi orang tua itu seakan-akan telah dapat memperhitungkan pula tindakan Bagus Handaka, karena demikian Bagus Handaka melontarkan diri, demikian orang tua itu membalik ke arah yang berlawanan, dan seperti terbang orang itu berlari masuk ke dalam semak-semak yang gelap. Bagus Handaka yang mengejarnya menjadi keheran-heranan. Meskipun ternyata ilmunya tidak kalah tinggi, bahkan beberapa unsur gerak orang tua itu malahan telah dapat dikuasai, namun dalam hal berlari ternyata ia masih kalah. Karena itu dengan hati yang semakin jengkel Bagus Handaka terpaksa melepaskan orang tua itu pergi.

Dengan kejadian-kejadian itu, teka teki yang melibat dirinya menjadi semakin kisruh. Ia mencoba mengingat-ingat semua kejadian yang pernah dialami, namun ia sama sekali tak dapat menghubungkannya dengan peristiwa dua malam terakhir itu. Tetapi Bagus Handaka adalah seorang pemuda yang berani, cerdas dan banyak hal yang ingin diketahui. Karena itulah maka, setelah mengalami peristiwa dua malam berturut-turut, malahan ia ingin untuk mengetahui apakah yang akan terjadi seterusnya. Ia ingin melihat apakah pada malam-malam berikutnya akan terjadi pula hal-hal semacam itu. Malahan ia mengharap kedatangan salah seorang diantaranya, sehingga apabila orang itu dapat ditangkapnya, maka pastilah latar belakang dari peristiwa-peristiwa itu dapat disingkapkan. Namun sampai sedemikian jauh Bagus Handaka masih belum merasa perlu untuk menyampaikan masalah itu kepada gurunya. Nanti apabila salah seorang dari mereka dapat ditangkapnya, barulah Bagus Handaka bermaksud membawa orang itu kepada Manahan.

Pada malam berikutnya Bagus Handaka sengaja menghindarkan diri dari beberapa kawannya yang sering mengajaknya turun ke laut. Dengan demikian maka ia dapat leluasa pergi ke pantai untuk menanti peristiwa yang aneh, yang barangkali masih ada kelanjutannya. Dan apa yang dinantinya benar-benar datang. Ketika angin laut menghembus perlahan-lahan mempermainkan buih di pantai, Bagus Handaka dikejutkan oleh sebuah bayangan yang seolah-olah muncul saja dari dalam laut, dan dengan langkah yang cepat langsung menuju ke arahnya. Meskipun Bagus Handaka sengaja menanti kejadian itu, namun hatinya tergetar juga. Dua malam berturut-turut ia mengalami serangan dari orang yang tak dikenalnya. Tetapi orang-orang itu datang dari arah semak-semak, sedangkan kali ini orang itu muncul seakan-akan dari dalam air.

Ketika orang itu sudah semakin dekat, Bagus Handaka segera meloncat berdiri serta mempersiapkan diri. Sebab menilik gerak serta arah datangnya, maka orang ini pasti lebih berbahaya dari dua orang yang pernah dilawannya. Melihat Bagus Handaka berdiri serta mempersiapkan diri, orang itu terhenti. Agaknya ia heran melihat sikap Handaka. Tetapi kemudian terdengar ia tertawa pendek, menyeramkan.
“Aku tidak akan keliru lagi. Bukankah kau yang bernama Bagus Handaka?”
Di dalam gelap, Bagus Handaka mencoba mengawasi wajah orang itu. Tetapi yang dapat diketahuinya adalah, orang itu janggut serta kumisnya tumbuh lebat sekali, sehingga menutupi hampir seluruh lubang mulut serta hidungnya. Selain dari itu tak ada lagi kesan yang diperolehnya.
Dengan suara yang mantap, Bagus Handaka menjawab,
“Ya, aku Bagus Handaka. Kau mau apa?”

Kembali terdengar suara tertawa pendek yang menyeramkan.
“Kau memang berani Handaka. Aku kira kau akan memungkiri dirimu. Kau tidak takut mendapat bahaya?”
“Kenapa aku mesti takut. Aku sudah mengira bahwa kau akan berkata seperti orang-orang yang pernah menyerangku dua malam berturut-turut meskipun orangnya tidak sama,” potong Bagus Handaka.
Agaknya orang itu heran mendengar kata-kata Handaka, sehingga ia bertanya,
“Dua malam berturut-turut kau mendapat serangan?”
Sekarang Bagus Handaka yang tertawa berderai.
“Aku bukan anak-anak yang masih pantas kau bohongi dengan cara demikian. Adakah suatu peristiwa kebetulan sampai tiga kali berturut-turut dengan cara yang sama?”
Mendengar jawaban Bagus Handaka, orang itu berdesis,
“Agaknya mereka telah mendahului aku”.
Lalu tiba-tiba ia berkata kepada Bagus Handaka,
“Tetapi kenapa kau masih sempat bermain-main di sini. Kalau apa yang kau katakan benar, aku kira kau sudah tergantung mati di tengah Alas Roban”.
Mau tidak mau jantung Handaka tergetar hebat mendengar kata-kata itu. Apakah sebabnya orang-orang itu memburunya dan akan menggantungnya di Alas Roban…? Karena itu pula ia menjadi marah sekali. Ia tidak pernah merasa berbuat salah kepada orang lain, tetapi kenapa ada orang yang menginginkan kematiannya? Kemudian dengan tidak menunggu lebih lama lagi, Bagus Handaka meloncat mendahului menyerang orang itu. Serangannya hebat sekali dengan mengerahkan segenap tenaga yang ada.

ORANG yang berkumis dan berjanggut lebat itu agaknya terkejut sekali. Ia tidak mengira bahwa Bagus Handaka akan memulai lebih dahulu. Cepat ia meloncat ke samping. Tetapi Bagus Handaka tidak membiarkannya. Disusullah serangan itu dengan serangan berikutnya. Serangan itu datangnya cepat sekali, sehingga orang asing itu tidak sempat mengelakkan dirinya. Karena itu cepat-cepat ia berusaha menahan serangan Bagus Handaka dengan kedua tangan yang disilangkan di muka dadanya. Maka terjadilah suatu benturan yang keras. Bagus Handaka terdorong beberapa langkah surut, tetapi orang itu pun tak dapat bertahan pada tempatnya dan terlempar beberapa langkah pula. Dengan demikian masing-masing mengetahui bahwa kekuatan mereka berimbang. Maka untuk memenangkan pertempuran selanjutnya adalah terletak pada keprigelan dan ketinggian ilmu masing-masing. Karena itu segera Bagus Handaka mempersiapkan dirinya. Ia merasa bahwa apabila orang itu dapat mengalahkannya, maka taruhannya adalah nyawanya. Ia tidak mau mati bergantungan di tengah-tengah Alas Roban, dan bangkainya nanti akan menjadi makanan burung gagak. Sesaat berikutnya terjadilah pertempuran yang dahsyat. Masing-masing mempergunakan segenap tenaganya serta segenap ilmunya. Meskipun Bagus Handaka masih terlalu muda untuk melawan orang yang berjanggut dan berkumis lebat itu, namun karena latihan-latihan berat yang pernah dilakukan selama ini, maka ia pun tidak mengecewakan. Sebaliknya orang asing itu pun ternyata bukan pula seperti dua orang yang menyerangnya malam-malam sebelumnya. Sehingga dengan demikian perkelahian itu berlangsung dengan serunya.

Hanya kadang-kadang saja Bagus Handaka dikejutkan oleh gerakan-gerakan yang aneh-aneh yang dilakukan oleh lawannya. Tetapi karena lawannya itu pun agaknya belum menguasai benar-benar ilmunya itu, sehingga pelaksanaannya masih belum seperti yang diharapkan. Bagus Handaka yang lincah dan kuat itu dapat untuk beberapa kali menyelamatkan diri dari serangan-serangan yang demikian. Setelah mereka bertempur beberapa lama maka terasalah oleh Handaka bahwa meskipun kekuatan orang itu dapat menyamainya tetapi ia masih dapat membanggakan kelincahannya. Orang itu agaknya terlalu memberatkan serangan-serangannya pada kekuatan tenaga serta beberapa unsur geraknya yang meskipun berbahaya tetapi belum dapat dilakukannya dengan lancar. Karena itu lambat laun ia merasa bahwa ia akan dapat berhasil mengatasinya. Sebaliknya orang asing itu akhirnya kehabisan akal. Semua ilmu serta tenaganya sudah dicurahkannya, namun ia sama sekali tidak berhasil menangkap anak yang dicarinya itu. Meskipun beberapa kali ia berhasil mengenai tubuh Bagus Handaka, namun ia sendiri dapat dikenai oleh anak itu dua kali lipat.

Dengan demikian maka sudah tidak ada harapan lagi baginya untuk memenangkan pertempuran itu. Maka akhirnya orang itu putus asa, dan menyerang membabi buta dengan ilmu andalannya. Dengan demikian bagi Bagus Handaka, malahan menguntungkan sekali. Sebab dengan membabi buta, lawannya telah kehilangan sebagian dari pengamatan diri serta kewaspadaan. Karena itulah agaknya Bagus Handaka semakin lama semakin berada dalam keadaan yang menguntungkan. Tetapi hampir seperti kejadian-kejadian pada malam-malam sebelumnya, orang itu pun kemudian meloncat melarikan diri. Juga kali ini Bagus Handaka sama sekali tak berhasil mengejarnya. Apalagi orang aneh yang muncul dari dalam air itu berlari terjun ke dalam air pula. Ketika orang itu lenyap, Bagus Handaka berdiri bertolak pinggang di batas air. Dadanya melonjak-lonjak dipenuhi oleh kemarahan, keheranan dan kengerian yang bercampur aduk. Tiga malam ia mengalami peristiwa yang disaput oleh kabut rahasia. Apakah kejadian ini akan berlangsung berlarut-larut…?

Tetapi jiwa keingintahuan Bagus Handaka tiba-tiba menguasai perasaannya kembali. Bagaimana dengan malam keempat? Kalau hal ini disampaikan kepada gurunya, mungkin kejadiannya akan berubah. Ia ingin melihat para penyerang itu datang berturut-turut sampai orang yang terakhir. Lalu apakah yang terjadi sesudah itu…? Kembali pada malam keempat. Bagus Handaka mencari-cari alasan untuk tidak terjun ke laut. Kawan-kawannya yang mengajaknya sama sekali tidak curiga bahwa Bagus Handaka sedang melakukan suatu perbuatan yang aneh namun sebenarnya penuh dengan bahaya. Dan apa yang diharapkan kali inipun benar-benar datang pula. Dengan penuh pertanyaan di dalam hati Bagus Handaka berjuang dengan sekuat tenaga untuk menangkap penyerangnya. Namun kali inipun ia tidak berhasil. Malahan orang keempat ini berhasil menghantam pergelangan tangan kirinya sehingga terasa sangat sakit. Untunglah bahwa akhirnya ia masih dapat mengalahkan orang itu, meskipun ia tidak pula berhasil menangkapnya. Demikian pula pada malam kelima. Otak bagus Handaka rasa-rasanya hampir meledak memikirkan hal itu. Apalagi ketika orang kelima ini ternyata memiliki ilmu yang cukup tinggi.

TIDAK seperti keempat orang sebelumnya, yang datang dari jurusan yang tidak sama, namun kedatangan mereka itu dapat diketahui sebelumnya, meskipun ada dua diantaranya yang datang dari jurusan yang aneh, dari laut. Tetapi orang kelima ini jauh lebih aneh lagi. Tahu-tahu orang itu sudah berdiri di belakang Bagus Handaka dengan suara garang dibarengi dengan suara tertawa yang menyeramkan.
“Bagus Handaka, kau mau melarikan dirimu kemana lagi. Berbulan-bulan aku mencarimu, dan sekarang aku menemukan kau di sini”.
Empat malam berturut-turut Bagus Handaka sudah bertempur dengan orang-orang yang tak dikenal, dan empat kali pula ia berhasil mengalahkan mereka. Namun kali ini bulu tengkuknya meremang juga. Wajah orang ini sama sekali bersih, hanya alisnya agak terlalu lebat dan hampir bertemu di atas hidungnya. Tetapi wajah yang bersih itu seakan-akan memancarkan udara maut dari setiap lubang-lubangnya. Kemudian terdengar kembali orang itu berkata,
“Ha, agaknya kau sudah ketakutan. Aku kira kau anak yang berani. Bukankah kau murid Manahan sepengecut kau ini”.

Bagus Handaka adalah seorang anak yang berani. Meskipun hatinya tergetar pula menghadapi sesuatu, tetapi ia tidak akan menilai seseorang berlebih-lebihan. Apalagi orang itu telah menghinanya dengan menyebut-nyebut nama gurunya. Karena itu ia menjadi marah sekali. Dengan mulut yang terkatub rapat serta gigi yang gemeretak, Bagus Handaka tidak menanti orang itu selesai berkata. Seperti seekor banteng luka ia dengan dahsyatnya menyerang orang itu. Orang yang mendapat serangan itu agaknya terkejut. Tetapi dengan tangkasnya ia menggeser kakinya sehingga ia terbebas dari serangan Bagus Handaka. Tetapi Bagus Handaka yang hatinya sudah terbakar oleh kemarahan itu, dengan cepatnya menyerang pula. Sekali lagi orang itu terpaksa mengelakkan diri, tetapi agaknya ia tidak mau diserang terus-menerus. Kemudian dengan garangnya ia pun menyerang kembali. Namun ternyata Bagus Handaka memiliki kelincahan yang cukup pula, sehingga serangan orang itu dapat dielakkannya. Kemudian terjadilah suatu pertempuran yang hebat. Masing-masing melancarkan serangan-serangan yang dahsyat dan berbahaya. Tetapi masing-masing ternyata memiliki kegesitan dan ketahanan yang cukup.

Bagus Handaka yang telah bertempur empat malam berturut-turut dan memenangkan setiap pertempuran, ternyata sangat mempengaruhi jiwanya. Ia semakin percaya kepada kekuatan dirinya sendiri. Dan perasaan yang demikian sangat membantu keadaannya pada malam kelima itu. Meskipun ia merasa bahwa orang kelima ini memiliki ilmu yang lebih tinggi dari orang-orang sebelumnya, namun hatinya yang telah dibesarkan oleh peristiwa-peristiwa empat malam sebelumnya menjadikannya tetap tatag dan tenang.


<<< Bagian 029                                                                                              Bagian 031 >>>

No comments:

Post a Comment