KARENA itu, maka tiba-tiba Rara Wilis pun berkata.
“Aku juga ikut
kakang.”
Mahesa Jenar
terkejut mendengar permintaan itu. Karena itu maka dengan serta merta ia
berkata,
“Jangan.
Jangan Wilis.”
“Aku tidak
akan dapat menunggu dalam kesepian di Gunung Kidul ini.”
Mahesa Jenar
tidak segera menjawab. Ditatapnya wajah Ki Ageng Pandan Alas, seakan-akan ia
menyerahkan setiap persoalan kepadanya. Namun Ki Ageng Pandan Alas pun
menundukkan wajahnya.
Ketika
kemudian mereka berdiam diri, maka ruangan itu pun menjadi sunyi. Mereka
mengangkat wajah-wajah mereka ketika terdengar suara di belakang.
“Kakang
Demang, kuda kakang telah disiapkan.”
“Baik” sahut
suara yang lain, suara Demang Sarayuda.
“Aku akan
pergi ke banjar sebentar.”
Kemudian
terdengarlah langkah keduanya lewat di sebelah dinding dan hilang ke pendapa.
Dada Rara Wilis berdentang mendengar langkah itu, mendengar suara Rati dan
mendengar suara Sarayuda. Mereka telah berhasil membangun suatu ikatan keluarga
yang bahagia. Kalau ia tinggal sendiri di kademangan itu, maka setiap kali ia
melihat kebahagiaan itu, maka hatinya akan menjadi semakin kesepian.
“Apakah aku
menjadi cemburu.” katanya di dalam hati.
“atau iri
hati?” Rara Wilis itu pun kemudian mendesak pula.
“Kakang, aku
akan ikut ke Banyubiru.”
Ki Ageng
Pandan Alas adalah seorang yang telah banyak mengenyam pahit manisnya
kehidupan. Tidak saja sebagai seorang pengembara yang harus bertempur dengan
lawan-lawannya, dengan penjahat-penjahat dan dengan penyamun-penyamun, namun ia
pernah juga merasakan duka derita hidup kekeluargaan. Orang tua itu pernah
melihat anaknya menjadi korban yang menyedihkan. Ia melihat betapa seorang
perempuan yang hidupnya penuh kepahitan apabila ia ditinggalkan oleh suaminya
yang dicintainya, tetapi ia pernah juga mendengar, seorang laki-laki yang jalan
hidupnya dihancurkannya sendiri, karena ia merasa kehilangan isterinya.
Meskipun
kemudian ternyata bahwa ia hanya berprasangka, seperti Lawa Ijo. Karena itu,
orang tua itu mengerti perasaan yang tersimpan di dalam hati Rara Wilis.
Sehingga kemudian ia menjawab,
“Angger Mahesa
Jenar. Bila berkenan di hati angger, biarlah Wilis ikut serta ke Banyubiru.”
“Hem” desah
Mahesa Jenar di dalam hatinya.
“Apakah arti
perjalanan ke Gunungkidul ini?”
Pertanyaan itu
pun terdengar pula di dalam hati Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas. Namun
mereka mempunyai jawabannya.
“Ternyata
Mahesa Jenar masih sanggup mengorbankan kepentingan pribadinya untuk panggilan
rasa keadilannya yang tersentuh. Penculikan atas Endang Widuri adalah
kejahatan. Dan Mahesa Jenar ingin melenyapkan kejahatan. Meskipun dalam
batas-batas kemampuan yang ada padanya.”
Mahesa Jenar
itu pun kemudian terpaksa menerima permintaan Rara Wilis itu. Ia kemudian
menganggap kedatangannya ke Gunung Kidul sebagai suatu kunjungan yang
menyenangkan untuk mempersiapkan masa-masa yang dinanti-nantikannya bersama
Rara Wilis. Maka di suatu pagi yang cerah, bersiaplah sebuah rombongan di halaman
Kademangan Gunung Kidul. Meskipun Sarayuda dan beberapa orang tetua Kademangan
itu menjadi kecewa, namun mereka terpaksa melepaskan rombongan itu pergi.
Beberapa orang telah mendengar pula, apa yang terjadi di Banyubiru. Bahkan
Sarayuda menyesal pula, kenapa Widuri itu dahulu tidak dibawanya sekali
sehingga dengan demikian, maka tidak ada kemungkinan untuk menculiknya. Tetapi
beberapa orang yang lain tidak mendengar berita tentang hilangnya seorang gadis
di Banyubiru, sehingga karena itu timbullah berbagai pertanyaan di dalam hati
mereka. Beberapa orang tua-tua yang melihat Ki Ageng Pandan Alas ikut juga
dalam rombongan itu, dengan berkelakar berkata,
“Ki Sentanu,
hati-hatilah. Jangan sampai terjadi bahwa kuda itu nanti yang menaikimu.”
Ki Ageng
Pandan Alas yang dikenal bernama Ki Sentanu itu tertawa.
“Mudah-
mudahan,” jawabnya.
Pagi itu
Mahesa Jenar beserta rombongan meninggalkan Gunung Kidul dengan hati yang
bimbang. Kehadirannya di daerah yang berbukit-bukit itu benar-benar seperti
sebuah mimpi saja. Namun mimpi yang menumbuhkan harapan di dalam hatinya. Bahwa
suatu ketika ia akan dapat mengulangi mimpi yang pasti akan lebih indah lagi.
Ketika mereka sampai di alun-alun kecil di muka rumah Kademangan itu maka
sekali mereka berpaling, dada Mahesa Jenar dan Rara Wilis berdesir karenanya.
Mereka melihat Demang Sarayuda dalam pakaian yang indah berdiri di samping Rati
isterinya. Mereka melambaikan tangan mereka sambil tersenyum. Tetapi senyum itu
seakan-akan sama sekali tidak ditujukan kepada mereka. Senyum itu adalah senyum
kebahagiaan mereka sendiri.
Rati yang
berdiri disamping Sarayuda itu tampak kepucat-pucatan. Ia tidak tahan berdiri
terlalu lama, karena itu, maka segera ia masuk kembali ke halaman. Mahesa Jenar
yang melihat Rati itu dengan tergesa-gesa, masuk kembali berkata tanpa
sesadarnya,
“Apakah Nyai
Demang itu sakit?”
Rara Wilis
menundukkan wajahnya sambil menggeleng.
“Ia tidak
sakit,” jawabnya.
“Tetapi ia
terlalu pucat dan hampir sehari-harian berada di pembaringannya.”
“Anak itu
sedang ngidam. Ia telah mengandung tiga bulan.”
“Oh” Mahesa
Jenar tidak bertanya lagi. Tanpa disengaja ia telah menyentuh hati Rara Wilis
pula. Karena itu sekali ia menarik nafas dalam-dalam. Dan kemudian diangkatnya
wajahnya, memandang jalan-jalan di depannya. Jalan yang keras kemerah-merahan
karena tanah yang liat. Di kejauhan dilihatnya bukit-bukit kapur yang kering.
Namun di arah yang lain tampaklah sawah-sawah yang menghijau segar. Gunungkidul
adalah suatu daerah yang bercampur baur.
Ketika
kemudian mereka telah melintasi perbatasan induk Kademangan, maka kuda-kuda itu
mulai dipacu. Ki Sentanu kini bukan lagi seorang tua yang ketakutan duduk di
atas punggung kuda, namun tiba-tiba wajah menjadi bersungguh-sungguh dan
katanya perlahan-lahan.
“Marilah,
mumpung masih pagi.”
Bantaran yang
berkuda dipaling depan, mempercepat kudanya pula. Suara kaki-kaki kuda itu
berderak-derak di atas tanah yang kering. Debu yang putih mengepul tinggi di
udara, menakbiri daerah yang mereka tinggalkan. Daerah yang meskipun hanya
sekelumit, namun telah menyentuh hati Mahesa Jenar sedemikian dalamnya. Kini
mereka menghadapi jalan yang terbentang memanjang. Seperti sebuah jalur-jalur
yang tak terkira panjangnya, membelit lereng-lereng bukit, menghujam
lurah-lurah dan mendaki tebing. Sekali-kali menghilang dibalik puntuk-puntuk
yang menjorok dihadapan mereka, untuk kemudian timbul kembali, seakan-akan dari
dalam tanah.
Jalan-jalan
itulah yang akan mereka lalui. Jalan-jalan yang dilalui beberapa hari yang
lampau dalam arah yang berlawanan. Namun alangkah jauh bedanya perasaan mereka.
Pada saat mereka datang dan pada saat mereka meninggalkan daerah yang baru
sebentar saja disinggahi sepanjang hidupnya. Betapa pun panjang jalan yang
harus ditempuh itu, namun setapak demi setapak dilampauinya pula. Seperti
sebuah benang yang digulung disebelah ujungnya, maka kuda-kuda itu akhirnya
akan sampai juga ke ujung yang lain, setelah dilampauinya jurang dan ngarai,
ditembusnya hutan-hutan yang lebat pepat, padang-padang rumput dan dilampauinya
jarak yang memisahkan Gunung Kidul dan Banyubiru. Dan jarak itu tidak terlalu
pendek. Setelah mereka menempuh jarak yang panjang itu, setelah mereka
melampaui jalan yang jauh, maka mereka kemudian melihat, tanah perdikan
Banyubiru yang seakan-akan terbentang di lereng bukit Telamaya itu pun muncul
di hadapan mereka.
Demikian
Mahesa Jenar melihat daerah itu, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Daerah
itu adalah daerah yang sudah dikenalnya dengan baik. Tidak saja liku-liku
jalan-jalan kota Banyubiru, namun lekuk-liku sifat dan watak penduduknya.
Penduduk yang rajin bekerja tanpa banyak berteriak-teriak tentang kemampuan
diri sendiri. Namun dengan demikian, mereka dapat menikmati hasil usaha mereka
itu. Dan mereka akan dapat mewariskan hasil jerih payahnya kepada anak cucu mereka.
Tapi kini tiba-tiba Banyubiru itu serasa asing baginya. Baru beberapa hari ia
berada di Gunung Kidul, namun kedatangannya di Banyubiru kali ini seolah-olah
benar-benar seperti orang baru. Terasa Banyubiru itu tidak seperti Banyubiru
yang ditinggalkannya beberapa hari yang lampau. Sepi dan penuh rahasia.
Banyubiru bagi Mahesa Jenar, seperti menyimpan persoalan-persoalan yang tidak
wajar di dalamnya. Warna-warna hijau segar di lereng bukit, tampaknya sebagai
sebuah takbir yang membayangi daerah di lereng bukit itu, sebagai sebuah tabir
yang menyimpan berbagai persoalan. Ketika Mahesa Jenar melampaui daerah-daerah
perbatasan kota, dilihatnya beberapa orang sedang berjaga-jaga. Gardu-gardu
perondan kini telah dipenuhi lagi oleh orang-orang yang sedang bertugas seperti
dalam saat-saat Banyubiru sedang berperang. Mereka mendapat tugas untuk
mengawasi kemungkinan orang yang menculik Widuri lolos dari Banyubiru atau
sengaja membawa Widuri keluar untuk disembunyikan. Namun penjaga-penjaga itu
seakan-akan sama sekali tidak berarti. Widuri masih belum diketemukan, seperti
lenyap ditelan lereng-lereng bukit.
Kepada para
penjaga itu Bantaran bertanya,
“Apakah kau
sudah mendengar kabar tentang hilangnya gadis itu?”
PENJAGA itu
menggeleng. Jawabnya,
“Belum. Masih belum
ada tanda-tanda apa pun tentang gadis itu.”
Bantaran tidak
berkata lagi. Mereka berpacu semakin kencang, seakan-akan takut terlambat.
Namun dalam pada itu Mahesa Jenar berkata kepada Bantaran.
“Bagaimana?”
“Gelap,” sahut
Bantaran.
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Apakah ia dapat berbuat sesuatu yang dapat
menyingkap takbir kegelapan itu, sedang Kebo Kanigara sendiri tidak? Apakah
yang dapat dilakukannya, seorang diri atau berdua, dan bahkan bertiga dengan Ki
Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis di antara ratusan orang Banyubiru sendiri,
termasuk orang-orang seperti Ki Ageng Gajah Sora, Lembu Sora, mungkin Ki Ageng
Sora Dipayana pula, Arya Salaka dan lain-lainnya. Mungkin mereka tidak dapat
bertempur setangkas Kebo Kanigara, namun mereka akan lebih mengenal daerah
Banyubiru seperti mereka mengenal semua ruang di dalam rumah mereka sendiri,
seperti mereka mengenal halaman mereka sendiri. Mereka mengenal setiap penduduk
Banyubiru seperti mereka mengenal istri dan anak-anak mereka sendiri. Dan
ternyata mereka itu tidak berhasil menemukan Endang Widuri. Lalu apakah
kedatangannya akan berarti. Tetapi betapa ia menjadi bimbang akan usahanya,
namun ia tidak akan dapat berdiam diri tanpa berbuat sesuatu. Ia harus berbuat,
apakah berhasil apakah tidak berhasil, adalah masalah yang tak dapat
dipecahkannya. Tetapi ia tidak boleh berputus asa, apalagi sebelum ia berbuat
sesuatu. Namun Mahesa Jenar tidak dapat melepaskan kesan yang menggores
dihatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi. Sesuatu yang tidak
dapat diperhitungkannya dan dirabanya.
Rombongan itu
pun meluncur di antara sawah-sawah dan ladang di dataran yang terbentang di
hadapan bukit Telamaya itu. Namun terasa pula, seakan-akan batang-batang padi
yang tumbuh di sawah, serta palawija yang menghijau diladang-ladang memandangi
rombongan itu dengan penuh prasangka. Seakan-akan mereka sama sekali membisu
atas kedatangan itu. Bahkan seakan-akan batang-batang padi dan palawija itu
telah menyembunyikan rahasia yang tak boleh diketahui oleh Mahesa Jenar dan
rombongannya. Bahwa seolah-olah Endang Widuri yang hilang itu telah
disembunyikan pula disana. Tetapi rombongan itu berpacu terus. Beberapa orang
petani memandangi mereka dengan wajah yang kosong. Hanya satu-satu di antara
mereka berbisik. “Mahesa Jenar telah datang pula untuk menemukan gadis yang
hilang itu.”
Tetapi kembali
mulut-mulut mereka terkatup rapat-rapat kala rombongan itu lewat dihadapan
mereka. Beberapa orang yang melihat rombongan itu merayapi tebing bukit
Telamaya segera menyampaikan kepada Ki Ageng Gajah Sora. Arya yang mendengar
pula laporan itu bertanya dengan serta merta.
“Bantaran
telah kembali?”
“Ya”, jawab
orang itu.
“Sendiri?”
“Tidak.
Beberapa orang itu bersamanya.”
“Paman Mahesa
Jenar” desis Arya Salaka. Karena itu segera ia menyiapkan diri untuk menjemput
gurunya itu. Tiba-tiba timbullah kembali harapan di dalam dadanya. Harapan yang
selama ini hampir padam. Tetapi sebelum Arya Sempat meloncat ke punggung
kudanya, maka derap kuda rombongan yang datang itu sudah sedemikian dekatnya,
sehingga sesaat kemudian, mereka melihat rombongan itu masuk ke halaman.
Ketika
kuda-kuda itu berhenti, maka para penunggangnya segera berloncatan turun. Arya
Salaka yang melihat Mahesa Jenar, tidak dapat menahan hatinya lagi. Segera ia
berlari kepadanya dan seperti seorang anak yang menyambut kedatangan ayahnya,
Arya itu pun segera menyambut tangan gurunya sambil berdesis.
“Selamat
datang paman. Aku menjadi sangat gelisah, seandainya paman tidak datang ke
Banyubiru.”
Mahesa Jenar
menepuk punggung Arya Salaka sambil berkata,
“Aku ikut
prihatin Arya.”
“Terima kasih
paman. Aku percaya bahwa paman pasti akan datang.”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Rombongan itu pun kemudian berjalan ke pendapa
disambut langsung oleh Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora dan bahkan Ki
Ageng Soradipayana pun ada pula di pendapa itu. Di antara mereka berdiri dengan
pandangan yang kosong Kebo Kanigara.
Mereka
menyambut kedatangan Mahesa Jenar dengan penuh gairah. Seakan-akan mereka,
orang-orang yang menentukan jalan perputaran roda Banyubiru itu menggantungkan
harapan mereka kepada Mahesa Jenar. Wajah-wajah yang ramah dan penuh harapan
memenuhi pendapa itu. Ucapan selamat datang yang tulus dan sapa atas
keselamatannya dengan penuh kesungguhan, seakan-akan mereka telah
bertahun-tahun berpisah. Dan sambutan itulah yang menjadikan Mahesa Jenar
semakin merasa dirinya asing pada keadaan disekitarnya. Seakan-akan Mahesa
Jenar melihat suatu daerah yang ketakutan karena berbagai ancaman. Ia merasa
bahwa saat itu dirinya telah menjadi pusat perhatian dan bahkan seakan-akan
menjadi tempat untuk mengadukan nasib mereka.
Tetapi dada
Mahesa Jenar itu pun berdesir karenanya, ketika ia melihat wajah Rara Wilis
yang muram. Gadis itu menundukkan wajahnya sembil bermain-main dengan ujung
kainnya. Dalam kegairahan orang-orang Banyubiru menyambut kedatangan Mahesa
Jenar itu terasa betapa kesepian telah melanda dada Rara Wilis. Sebagai seorang
gadis ia merasa, bahwa kali ini ia sama sekali tidak diperlukan. Seolah-olah
tak seorang pun lagi yang ingat bahwa ia hadir pula di pendapa itu selain
beberapa sapa dan subasita, mempersilahkannya duduk. Namun kemudian perhatian
mereka terampas oleh persoalan-persoalan yang telah menggemparkan Banyubiru
itu. Tak seorang pun lagi yang menanyakan, apakah ia bergembira datang kembali
ke Banyubiru. Apakah ia telah merencanakan kapan hari yang ditunggu-tunggu itu
akan datang. Tidak. Tidak ada yang menanyakan itu kepadanya. Mahesa Jenar pun
tidak lagi ingat akan kehadirannya.
TETAPI gadis
itu tiba-tiba menggeleng lemah. Dicobanya mengatasi gelora di dalam hatinya
itu.
“Ach, aku
terlalu mementingkan diriku sendiri. Di sini, Banyubiru kini, sedang dihadapkan
pada suatu persoalan yang harus mendapat pemecahan. Kenapa aku tidak sanggup
untuk melupakan persoalanku sendiri seperti masa-masa yang telah lampau? Kenapa
kini aku terikat kepada kepentingan diri ini?”
Dengan susah
payah akhirnya Rara Wilis berhasil mengatasi kesepian itu. Namun terasa ia
menjadi pening. Ia sama sekali tidak dapat turut bercakap-cakap dengan
orang-orang lain seperti masa-masa yang lampau. Bahkan dengan Mahesa Jenar pun
seakan-akan tak ada persoalan yang dapat dipecahkan meskipun hanya untuk
berpantas-pantas. Tetapi kini ia sudah tidak lagi mengeluh, bahwa percakapan
mereka hanya semata-mata berkisar kepada persoalan Widuri yang hilang itu.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar tidak dapat melupakan kesan itu. Kesan kesepian
yang memancar dari wajah Rara Wilis. Sehingga kemudian terloncatlah
pertanyaannya kepada Ki Ageng Gajah Sora.
“Ki Ageng,
apakah Nyai ada di rumah.”
“Oh, ada. Ada”
sahut Gajah Sora terbata-bata. Ia tidak segera mengerti maksud pertanyaan itu.
Sehingga Mahesa Jenar itu pun berkata kepada Rara Wilis.
“Wilis,
ternyata Nyai Ageng ada pula di belakang. Barangkali kau akan dapat
membantunya.”
“Oh. Tidak
perlu. Tidak perlu adi. Biarlah adi Wilis duduk saja disini.”
Rara Wilis
menarik nafas. Ia merasa bahwa ternyata Mahesa Jenar masih juga mengingat
dirinya. Karena itu segera ia menyahut.
“Baiklah
kakang. Lebih baik aku kebelakang.”
Rara Wilis
tidak menunggu jawaban dari siapa pun. Segera ia bergeser, dan turun ke
halaman, membebaskan dirinya dari kesepian di dalam keriuhan persoalan
hilangnya Widuri, meskipun ternyata di sudut terpendam rasa rindunya terhadap
gadis yang nakal itu.
“Gadis itu
harus diketemukan”, desisnya seorang diri.
Di hari
pertama itu Mahesa Jenar mendapat banyak bahan yang didengarnya mengenai
hilangnya Widuri. Arya Salaka berceritera tidak ada habisnya tentang soal itu.
Di dengarnya pula dari mulut gadis yang melihat hilangnya Widuri, bagaimana
seorang laki-laki telah mencukungnya menghilang ke dalam semak-semak. Persoalan
itu menjadi semakin rumit di dalam hati Mahesa Jenar. Arya Salaka ternyata
lebih mencemaskan nasib Endang Widuri dari yang lain-lain. Dan Mahesa Jenar pun
dapat mengerti pula, Kebo Kanigara sendiri tampaknya tidak berusaha
sungguh-sungguh untuk mencari anaknya yang hilang itu. Sudah beberapa hari
Endang Widuri tidak dapat diketemukan, namun Kebo Kanigara itu masih saja
berada di rumah Ki Ageng Gajah Sora. Hanya kadang-kadang ia pergi untuk mencoba
mencari Widuri namun sebenarnya kemudian ia telah kembali. Kadang-kadang malam
hari ia pergi, namun di pagi harinya Kebo Kanigara telah berada di biliknya
pula.
Tetapi Mahesa
Jenar tidak dapat menanyakannya langsung kepada Kebo Kanigara. Meskipun
kadang-kadang pertanyaan itu sedemikian mengganggunya, namun ia selalu berusaha
untuk menekannya rapat-rapat di dalam lubuk hatinya. Namun tiba-tiba kembali
Banyubiru menjadi gempar.
Ketika hampir
semua orang berputus asa, maka terjadilah suatu peristiwa yang membakar
kemarahan rakyat Banyubiru. Ternyata hilangnya Widuri akan membawa akibat yang
berkepanjangan.
Dua hari
setelah Mahesa Jenar berada di Banyubiru, maka tiba-tiba salah sebuah gardu
peronda pada malam hari melihat sesosok tubuh yang menimbulkan kecurigaan
mereka. Ketika orang itu disapa oleh para peronda, maka tiba-tiba orang itu
cepat-cepat berjalan menjauh. Sudah tentu, para peronda tidak akan
membiarkannya pergi, sebelum didapatnya penjelasan siapakah orang itu dan
apakah keperluannya. Namun orang itu benar-benar tidak mau mendekat, bahkan
ketika beberapa orang berusaha mendekatinya, orang itu pun mencoba berlari.
DENGAN
sigapnya para peronda itu mengejarnya. Beberapa orang mendahuluinya dan mencegahnya,
sehingga orang yang mencurigakan itu segera terkepung rapat-rapat.
“Siapakah
kau?” desak penjaga itu.
Jawaban orang
itu benar-benar mengejutkan. Katanya,
“Apakah
kepentinganmu dengan namaku?”
Para penjaga
itu benar-benar keheranan sehingga sesaat mereka berdiam. Namun kemudian salah
seorang diantaranya bertanya pula.
“Ki Sanak.
Kami adalah para peronda dari Banyubiru. Kami mempunyai wewenang untuk
mengetahui, setiap orang yang berada di dalam wilayah perondaan kami. Karena
itu, maka katakanlah siapakah Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak.”
Kembali para
penjaga itu terkejut. Orang yang tak mereka kenal itu tertawa perlahan-lahan.
Jawabnya,
“Baiklah kalau
kau ingin mengenal namaku. Orang memanggil aku, Mas Karebet.”
Para penjaga
itu mengerutkan keningnya. Nama itu asing bagi mereka. Karena itu maka salah
seorang bertanya pula.
“Darimanakah
asal Ki Sanak dan apakah keperluan Ki Sanak di malam hari begini?”
“Tidak
apa-apa”, jawab orang yang ternyata bernama Karebet itu.
“Aneh. Tetapi
biarlah kau jawab, darimanakah asalmu?”
“Aku berasal
dari jauh. Apa pedulimu?”
Para penjaga
itu menjadi semakin curiga. Sehingga kemudian salah seorang daripadanya
membentak.
“Jangan
mempersulit pekerjaan kami. Katakanlah, apakah keperluanmu. Kalau kau
berkunjung ke salah seorang penduduk Banyubiru, siapakah yang telah kau
kunjungi itu.”
Karebet
mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia bertolak pinggang dan berkata lantang.
“Jangan ganggu
aku. Biarlah aku berbuat sesuka hatiku.”
“Tidak mungkin
Ki Sanak. Tidak mungkin seseorang akan dapat berbuat sekehendak sendiri. Di
tanah perdikan ini ada peraturan-peraturan yang harus ditaati.”
“Taatilah
siapa yang mau mentaati. Aku tidak.”
“Jangan
berkeras kepala, Karebet” bentak seorang penjaga yang kehilangan kesabaran.
“Kau mencoba
memancing kemarahan kami. Apakah sebenarnya kepentinganmu.”
“Jangan
bertanya-tanya lagi. Aku akan pergi, minggir.”
“Jangan
berbuat seperti orang alasan. Taatilah peraturan kami. Kami adalah alat-alat
untuk menegakkan peraturan itu.”
“Tidak ada
peraturan yang dapat mengikat aku,” sahut Karebet lantang.
“Peraturan
bagiku adalah ikatan-ikatan yang tak berarti. Aturan bagiku adalah keduabelah
tangan dan keduabelah kakiku, pedang dilambungku dan taruhannya adalah
nyawaku.”
Para penjaga
itu benar-benar menjadi heran. Apakah orang itu orang gila ataukah orang yang
tak waras. Namun menilik sikapnya, maka orang itu benar-benar berbahaya bagi
mereka, sehingga karena itu maka mereka segera mempersiapkan diri.
Karebet yang
melihat para penjaga itu bersiap, berkata pula.
“He, apakah
yang akan kalian lakukan?”
“Kami hanya
sekadar melakukan kewajiban kami, Ki Sanak harus menyebutkan nama yang
sebenarnya, keperluan yang sebenarnya dan darimanakah Ki Sanak yang sebenarnya.
Kalau tidak, kami terpaksa menangkapmu dan membawa ke rumah Kepala Daerah Tanah
Perdikan ini.”
Karebet itu
tiba-tiba tertawa. Jawabnya,
“Apakah kalian
berkata sebenarnya?”
“Tentu”
“Bagus.
Cobalah tangkap aku. Sudah aku katakan, bahwa peraturan bagiku adalah
keduabelah tangan dan kakiku serta pedang dilambungku.”
Para penjaga
itu serentak bergerak maju. Tetapi Karebetpun sudah bersiaga, bahkan tiba-tiba
ia telah mulai dengan sebuah serangan yang benar-benar tidak disangka-sangka.
Tangannya bergerak dengan cepatnya menyambar salah seorang dari kelima penjaga
itu, sehingga tiba-tiba orang itu terdorong beberapa langkah dan terbanting
jatuh. Terdengar ia mengerang kesakitan dan berusaha dengan tertatih-tatih tegak
kembali. Namun terasa punggungnya menjadi sakit, sehingga karena itu, maka
tenaganya sudah jauh berkurang.
Keempat
kawannya tidak menunggu lebih lama lagi. Segera mereka menyerang bersama-sama.
Tetapi, ternyata mereka berhadapan dengan Mas Karebet. Seorang anak yang aneh
dan mengagumkan. Karena itulah maka mereka tidak dapat berbuat banyak. Mas
Karebet itu mampu bergerak secepat burung sikatan, dan menyambar-nyambar dengan
garangnya, seperti burung rajawali. Benar-benar suatu gabungan kecakapan yang tiada
taranya. Tetapi keempat orang laskar
Banyubiru dan seorang lagi yang telah hampir tak berdaya itu pun sama sekali
bukan pengecut. Meskipun mereka terkejut melihat lawannya mampu bergerak dengan
cepatnya, bahkan di luar dugaan mereka, namun mereka kini sedang melakukan
tugas mereka, sehingga bagaimana pun juga, mereka berjuang sekuat-kuat tangan
dan kaki mereka, maka mereka pun pasti masih akan tetap bertempur. Sehingga
dengan demikian perkelahian itu menjadi semakin seru. Seorang diantara mereka
berusaha untuk meninggalkan perkelahian itu untuk memberitahukannya kepada
mereka yang masih berada di gardu penjagaan. Namun tiba-tiba Mas Karebet itu
meloncat seperti seekor kijang, dan orang itu pun terpelanting pula beberapa
langkah sehingga kemudian jatuh berguling di tanah.
Alangkah
marahnya para peronda itu. Namun tidak banyaklah yang dapat mereka lakukan
selain mencoba bertahan atas serangan-serangan Karebet yang sedemikian
lincahnya. Tetapi ternyata Karebet bukanlah lawan mereka. Satu demi satu mereka
jatuh berguling dan betapa sulitnya untuk bangun kembali. Punggung-punggung
mereka terasa menjadi nyeri, dan dada mereka menjadi serasa sesak. Betapa pun
mereka berusaha, namun tenaga mereka benar-benar terbatas jauh di bawah
kemampuan Mas Karebet itu. Akhirnya para peronda itu menjadi benar-benar hampir
tidak berdaya.
Meskipun
mereka masih berusaha untuk berdiri, namun mereka sudah tidak mampu lagi untuk
tegak ditempatnya. Sekali-kali mereka terhuyung-huyung dan bahkan hampir-hampir
mereka tidak kuat lagi menahan tubuhnya sendiri. Karebet itu berdiri bertolak
pinggang. Ditatapnya wajah para peronda itu satu demi satu. Kemudian terdengar
ia tertawa nyaring. Katanya disela-sela suara tertawanya,
“He, katakan
sekarang kepadaku. Apakah aku masih harus mentaati peraturanmu?”
Jawab peronda
itu mengejutkan Mas Karebet. Singkat namun penuh ketegasan.
“Ya”
Tetapi kembali
terdengar suara Karebet itu tertawa berkepanjangan.
Katanya pula,
“Sekarang kau
lihat, bahwa peraturan itu tidak berlaku bagiku. Yang berlaku bagiku adalah
tenagaku. Kalau kalian mampu mengalahkan aku, barulah aku akan tunduk kepada
kalian.”
“Mungkin kau
mampu mengalahkan kami” sahut salah seorang peronda itu,
“Tetapi kau
tak akan mampu menghapus peraturan yang berlaku di daerah ini. Mungkin kau kali
ini dapat menghindarkan diri atas berlakunya peraturan itu. Namun tidak untuk
selamanya. Kau pasti akan dihadapkan pada satu pilihan, mentaati peraturan yang
berlaku di Banyubiru atau pergi meninggalkan Banyubiru.”
“Omong kosong”
sahut Karebet.
“Kau tidak mau
mengakui kekalahanmu. Kau masih akan mencari-cari kebanggaan pada persoalan
yang lain. Lebih baik kalian mengaku atas kekalahan ini. Hati kalian akan
menjadi lapang. Dan kalian akan segera melupakannya.”
“Tidak” sahut
peronda yang lain.
“Kami tidak akan
dapat melupakan. Meskipun kali ini ada seorang yang dapat meloloskan diri dari
keharusan yang berlaku, tetapi di lain kali tidak akan terulang kembali.”
Karebet itu
pun tertawa pula.
“Kalian adalah
laskar yang baik” katanya,
“Selagi kalian
berhadapan dengan maut pun kalian masih tetap dalam tugas kalian. Nah, bagus.
Karena itu maka Banyubiru menjadi kuat.”
“Jangan
terlalu sombong.”
“Aku tidak
sombong. Aku berkata sebenarnya. Dan kau pun berkata sebenarnya. Aku orang yang
tidak mempunyai tempat tinggal yang mengikat aku, sehingga aku pun tidak
terikat pada peraturan di daerah mana pun juga. Aku akan berbuat apa saja yang
aku kehendaki. Termasuk gadis yang hilang itu.”
“He” para
peronda itu terkejut seperti disengat labah-labah biru. Betapa pun mereka
menjadi lemah, namun mereka melangkah pula maju sambil berkata.
“Apakah yang
kau katakan tadi. Gadis yang hilang beberapa hari yang lampau yang kau
maksudkan?”
“Ya” sahut
Karebet.
“Gadis yang
hilang itu telah aku ambil.”
“Setan”
terdengar salah seorang peronda itu mengumpat.
“Sekarang kau
tidak akan dapat meninggalkan tempat ini.”
“Apakah kau
ingin bertempur lagi?”
“Kami belum
benar-benar kau lumpuhkan” sahut peronda itu. Dan tiba-tiba terdengar
gemerincing pedangnya. Dan pedang itu pun kini telah berada di dalam
genggamannya. Kawan-kawannya pun segera menarik senjata-senjata mereka pula.
Berkata pula peronda itu.
“Kami tidak
bisa mempergunakan senjata kami apabila tidak terpaksa. Kini kami melihat,
bahwa seandainya kami melukai dan bahkan apabila terpaksa membunuhmu, bukan
salah kami. Kami tidak biasa berbuat demikian dalam keadaan yang damai seperti
sekarang. Namun keadaan ini pun keadaan yang tidak biasa pula.”
Karebet mundur
selangkah. Katanya,
“Jangan
menjadi gila karena kekalahan kalian. Jangan bermain-main dengan senjata. Siapa
yang bermain-main dengan pedang, maka ia akan sampai pada kemungkinan dilukai
dengan pedang pula.”
“Kami berpijak
pada kewajiban kami.”
“Bagus. Sudah
aku katakan, kalian adalah laskar Banyubiru yang baik. Tapi bagaimanakah kalau
kita hindarkan pertempuran ini?”
“Hanya ada
satu kemungkinan” sahut peronda itu.
“Serahkan
Endang Widuri.”
“Syaratmu
terlalu berat”
“Tidak ada
syarat yang lain”
“Kalau begitu,
baiklah aku melawan dengan pedang pula.”
Sebelum para
peronda itu menjawab, maka Karebet itu pun telah menggenggam sebilah pedang
pula. Pedang yang tidak terlalu panjang, namun benar-benar telah menggetarkan
hati para peronda itu. Apalagi ketika Karebet itu berkata.
“Kalian sudah
tidak dapat berdiri tegak lagi. Apakah kalian masih mampu mengayunkan pedang?”
Para peronda
itu tidak menjawab. Kembali mereka mendesak maju. Namun kembali mereka terkejut
ketika mereka melihat tiba-tiba saja Karebet telah meloncat sambil memutar
pedangnya. Dalam satu gerakan yang sangat cepat dan berganda, maka dengan getar
kemarahan yang meluap-luap di dalam dada, mereka melihat duabilah pedang dari
kelima pedang itu telah terlempar jatuh.
“Kenapa kau
letakkan pedang-pedang itu?” ejek Karebet.
Mereka menjadi
semakin marah. Dengan serta mereka ketiga kawannya menyerang bersama-sama.
Tetapi Karebet tidak melawannya. Ia bergeser mundur sambil berkata,
“Kalian
terlalu payah. Seandainya aku berlari-larian tanpa melawan sekali pun, maka
kalian akan jatuh dan mati kelelahan. Nah, apakah yang akan kalian lakukan
kemudian?”
Para peronda
itu menggeram. Namun kata-kata itu dapat dimengertinya. Mereka tidak akan mampu
lagi berlari-larian mengejar Karebet yang dengan sombongnya berloncatan di
antara batu padas di lereng bukit Telamaya itu.
“He para
peronda yang baik” berkata Karebet itu kemudian.
“Jangan
mengejar-ngejar aku lagi. Kalian akan menjadi pingsan karenanya. Lebih baik
kalian kembali ke rumah Daerah Tanah Perdikan Banyubiru. Katakanlah kepadanya,
bahwa Endang Widuri yang hilang itu telah aku bawa. Namaku Karebet, berasal
dari daerah Pengging. Katakan kepadanya bahwa gadis itu telah aku sembunyikan.
Nanti beberapa hari lagi, apabila purnama naik, maka Baginda Sultan Trenggana
akan berburu di hutan Prawata. Pada saat itulah gadis itu akan aku serahkan
kepada Baginda untuk puteranya, Pangeran Timur. Kalau Arya Salaka tidak
merelakannya, maka aku akan tunggu di hutan itu. Suruhlah ia datang dengan
pasukan segelar sapapan. Maka kedatangannya akan aku sambut dengan gembira.
Sebenarnya aku adalah Lurah Wira Tamtama yang terpercaya. Pasukanku telah sedia
untuk mengamankan perbuatanku ini.”
Para peronda
mendengar kata-kata itu dengan tubuh yang gemetar. Gemetar karena marah, heran,
dendam dan kecewa. Tetapi mereka kini merasa, wajarlah bahwa mereka tidak mampu
melawan anak muda yang bernama Karebet itu, sebab ia adalah Lurah Wira Tamtama.
Tetapi mereka menjadi heran dan kecewa, apakah kekuatan itu sudah seharusnya
dipergunakan untuk melakukan perbuatan yang aneh-aneh. Apakah dengan demikian,
maka Karebet benar-benar telah berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang Wira
Tamtama? Tetapi para peronda itu benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa.
Mereka hanya mampu melihat Karebet itu kemudian meloncat di atas sebuah batu
padas sambil menengadahkan dadanya.
“Inilah
Karebet yang teguh timbul. He para peronda, sampaikanlah kata-kataku kepada
Arya Salaka yang berbangga hati memiliki Sasra Birawa. Nah, selamat malam, aku
tunggu anak muda itu di hutan Prawata nanti pada saat purnama naik. Sebagai
Kebo-Danu Banyubiru yang perkasa.”
Bukan main
marah para peronda itu, sehingga salah seorang dari padanya yang tidak tahan
lagi mendengar kesombongan Karebet itu dengan serta merta melontarkan
pedangnya. Tetapi dengan tawa yang menyakitkan hati, pedang itu disentuh oleh
Mas Karebet dengan pedangnya pula. Suara gemerincing di lereng bukit itu,
memberitahukan bahwa pedang yang dilontarkan itu terlempar jatuh ke dalam
lereng yang terjal.
“Lihatlah
bulan yang hampir bulat di langit. Meskipun bulan itu sudah hampir tenggelam.
Itu adalah pertanda bahwa saat purnama tidak akan terlalu lama lagi.”
Sebelum para
peronda itu berbuat sesuatu, maka bayangan anak muda yang berdiri di atas batu
karang itu seakan-akan melayang yang hilang di balik batu itu. Para peronda itu
masih berusaha untuk mengejarnya, tetapi mereka sudah tidak menemukan lagi.
Jejaknya pun tidak. Berbagai perasaan bergolak di dalam dada para peronda itu.
Sudah sekian lama mereka mencari seorang gadis yang hilang. Dan sudah sekian
lama mereka tidak dapat menemukan jejaknya. Kini tiba-tiba mereka mendengar
langsung, bahwa gadis itu telah dilarikan oleh anak muda yang bernama Karebet.
Dengan suara parau peronda itu berkata,
“Pantas. Kalau
bukan anak muda itu, maka sudah pasti Endang Widuri tidak akan berhasil
dikalahkannya. Bukankah anak gadis itu sendiri mampu bertempur melampaui kita
masing-masing. Bahkan kita berlima sekaligus.”
Yang lain-lain
menganggukkan kepala mereka. Tetapi mereka tidak dapat tinggal diam dengan
penuh kekaguman. Tiba-tiba mereka sadar, bahwa apa yang mereka lihat dan mereka
dengar itu harus mereka sampaikan kepada Kepala Daerah Perdikan mereka. Karena
itulah maka dengan tergesa-gesa mereka berjalan kembali ke gardu mereka.
Menceriterakan kepada kawan-kawan mereka yang mendengarkan dengan penuh
keheranan dan kekaguman.
“Kami akan
pergi ke rumah Ki Ageng” berkata peronda itu.
“Kenapa kalian
tidak memberi tahukan kepada kami? Mungkin kami akan dapat membantu menangkap
orang itu, apabila kami datang bersama-sama.”
“Sudah kami
usahakan, tetapi kami tidak sempat melakukan.”
Kelima orang
itu pun segera meninggalkan gardu mereka, dan dengan tergesa-gesa pergi ke
rumah Ki Ageng Gajah Sora. Kedatangan mereka benar-benar mengejutkan. Para
penjaga di rumah Ki Ageng itu pun terkejut pula. Dengan serta merta mereka
bertanya, “Ada apa digardumu?”
“Penting
sekali” jawab yang ditanya.
“Kami menghadap
Ki Ageng.”
“Malam-malam
begini? tidak besok pagi?”
“Terlalu
penting.”
“Soal apa?”
“Gadis yang
hilang itu.”
“He” penjaga
itu terkejut.
“Kau
menemukannya.”
“Akan aku
beritahukan kepada Ki Ageng.”
“Ya. Tetapi
apakah sudah kau ketemukan?”
“Berilah
kesempatan aku bertemu Ki Ageng. Tergesa-gesa sekali.”
“Oh” penjaga
itu pun sadar, bahwa ia harus membangunkan Ki Ageng. Karena itu, maka
cepat-cepat ia pergi ke samping rumah dan perlahan-lahan mengetuk dinding
ditentang pembaringan Ki Ageng.
“Siapa?”
terdengar sapa dari dalam.
“Kami, para
penjaga Ki Ageng.”
“Ada apa?”
“Seseorang
peronda melaporkan tentang gadis yang hilang itu.”
“He” Ki Ageng
Gajah Sora terkejut sehingga ia terloncat dari pembaringannya. Penjaga yang
membangunkan itu mendengar pembaringan Ki Ageng berderak dan didengarnya
langkah tergesa-gesa keluar dari dalam biliknya.
Sesaat
kemudian didengarnya pintu pringgitan terbuka, dan Ki Ageng muncul di ambang
pintu.
“Siapa yang
membangunkan aku?”
Penjaga itu
telah berdiri disamping tangga pendapa. Sehingga dari sana ia menjawab,
“Aku Ki
Ageng.”
“Kemari.
Kemarilah. Katakan apa yang kau ketahui tentang gadis itu.”
Penjaga-penjaga
itu pun membawa kelima orang peronda yang bertemu dengan Karebet, naik ke
pendapa. Ki Ageng Gajah Sora pun segera menerima mereka.
“Penting
sekali?” bertanya Ki Ageng.
“Ya, Ki Ageng”
jawab salah seorang dari mereka.
“Apakah kalian
menemukan jejaknya,” bertanya Ki Ageng.
“Ya” jawab
peronda itu.
Ki Ageng Gajah
Sora menarik nafas dalam-dalam. Kemudian berkatalah ia kepada penjaga rumahnya,
“Bangunkan
tamu-tamu kita. Mereka sebaiknya mendengar juga tentang hal ini.”
Para penjaga
itu pun segera membangunkan tamu-tamu Ki Ageng Gajah Sora yang berada di dalam
gandok-gandok rumah itu. Ki Ageng Gajah Sora sendiri membangunkan Arya Salaka.
Sehingga sesaat kemudian pendapa Banyubiru itu telah terjadi suatu pertemuan
yang lengkap. Ki Ageng Gajah Sora, Ki Ageng Lembu Sora, Ki Ageng Sora Dipayana
dan Ki Ageng Pandan Alas, Mahesa Jenar, Rara Wilis, Arya Salaka dan Kebo
Kanigara beserta beberapa orang lain. Mahesa Jenar duduk dengan dada
berdebar-debar. Hampir tidak sabar Arya Salaka bertanya dengan suara parau
sambil mengusap matanya yang masih agak kemerah-merahan.
“Cepat,
katakan, apa yang kau lihat.”
Peronda itu
menarik nafas. Ia menjadi berdebar-debar pula setelah ia duduk bersama dengan
orang-orang yang dikaguminya itu. Tidak hanya seorang tetapi beberapa orang.
Bagaimanakah seandainya mereka bersama-sama maju bertempur. Di kenangnya
kata-kata Mas Karebet itu.
“Suruhlah ia
datang segelar sapapan.”
Tiba-tiba dada
peronda itu seakan-akan mengembang. Dihadapannya duduk orang-orang sakti yang
tidak kalah saktinya dengan Mas Karebet.
“He. Kenapa
kau malah tertidur.” bentak Arya Salaka.
Orang itu
terkejut. Dan dengan serta merta ia berkata, “Tidak. Aku tidak tertidur.”
“Katakanlah”
Salah seorang
dari peronda itu pun kemudian mulai dengan ceritanya. Ditemuinya seorang yang
mencurigakan. Dan diketahui kemudian apa yang telah dilakukan. Orang itulah
yang menculik Endang Widuri.
“Hem” geram
Arya Salaka. “Kalian berlima tidak dapat menangkapnya.”
“Tidak”
jawabnya.
“Apakah kau
dapat mengira-irakan bentuk atau ciri-ciri orang itu?” desak Arya tidak sabar.
“Orang itu
menyebut namanya”
“He” bukan
main terkejut Arya Salaka, dan bahkan semua yang ada di pendapa itu
“Orang itu
berani menyebut namanya,” suara Arya benar-benar meluapkan kemarahan tiada
taranya. Meskipun ia sadar, bahwa orang itu pasti seorang yang perkasa. Bahkan
ia menyadari pula bahwa orang itu pasti terlalu percaya kepada diri sendiri.
“Siapakah nama
orang itu?” Peronda itu menarik nafas. Tiba-tiba ia menjadi ragu-ragu. Apakah
nama itu nama sebenarnya? Kalau tidak, maka akan sia-sialah laporannya ini.
Atau kalau nama itu nama sebenarnya sekalipun, apakah orang-orang yang berada
di pendapa ini telah pernah mengenalnya?
Karena ia
tidak segera menjawab, maka Arya Salaka menjadi jengkel, sehingga ia berteriak.
“Siapa
namanya?”
Kembali
peronda itu terkejut, dan dengan serta merta pula ia mengucapkan nama itu,
katanya.
“Ia menyebut
namanya sendiri Karebet.”
“Karebet”
tanpa disengaja Arya Salaka mengulangi nama itu dengan kerasnya. Bahkan sekali
ia bergeser maju dan mengguncang tubuh peronda itu sambil berteriak.
“Karebet kau
bilang.”
Peronda itu
mengangguk.
“Ya”
Jawaban itu
benar-benar mengejutkan seisi pendapa. Benar-benar tak mereka sangka bahwa yang
mengambil Endang Widuri adalah Mas Karebet. Beberapa orang yang belum pernah
mendengar nama itu, belum dapat mengambil kesimpulan apa pun. Tetapi Arya
Salaka, Mahesa Jenar dan Rara Wilis serentak berpaling ke arah Kebo Kanigara.
Dan terdengar Mahesa Jenar menggeram perlahan.
“Karebet.”
“Paman”
tiba-tiba Arya Salaka itu berteriak.
“Paman Kebo
Kanigara. Bagaimanakah itu? Kenapa yang berbuat curang itu justru Karebet.
Kenapa?”
Mahesa Jenar
terpaksa bergeser pula maju. dengan sabarnya ia berkata.
“Arya.
Tenanglah. Tenanglah sedikit. Marilah kita berbicara dengan hati yang lapang.”
“Tetapi
bukankah Karebet itu kemanakan paman Kebo Kanigara?”
“Ya. Karebet
itu memang kemanakan pamanmu Kebo Kanigara,” sahut Mahesa Jenar, masih setenang
semula.
“Tetapi
ingatlah. Yang hilang itu adalah anak pamanmu itu pula.”
“Oh” Arya
Salaka menekan dadanya. Dada itu serasa akan pecah karenanya. Tetapi kini ia
menundukkan wajahnya. Endang Widuri adalah puteri Kebo Kanigara. Sehingga
dengan demikian, maka seharusnya Kebo Kanigaralah yang akan lebih dahulu marah
daripada dirinya.
Kebo Kanigara
menjadi gelisah pula karenanya. dengan wajah yang suram ia berkata,
“Ya. Karebet
adalah kemenakanku.”
Sesaat pendapa
itu menjadi sepi. Angin yang dingin telah menyentuh tubuh-tubuh mereka yang
hangat karena hati mereka yang terbakar oleh perasaan yang pelik ini.
Dalam
keheningan itu kembali terdengar Suara Arya Salaka gemetar.
“Sekarang
dimanakah Karebet itu?”
“Anak muda itu
telah menghilang.”
“Hem” Arya
Salaka menggeram penuh kemarahan.
“Apakah kita
akan dapat menemukannya?”
“Ya” sahut
peronda itu.
“He. Apakah
yang kau katakan” Arya Salaka menjadi semakin gelisah.
“Kau katakan
bahwa ada kemungkinan untuk menemukannya?”
“Ya” sahut
orang itu.
“Bahkan orang
itu mengharap kedatangan kita. Orang-orang Banyubiru.”
“Gila” teriak
Arya.
“Atau kaukah
yang gila itu?”
“Tidak.
Benar-benar dikatakannya. Nanti saat purnama naik, Baginda Sultan Tranggana akan
berburu ke hutan Prawata.”
“Gila. Kau
yang benar-benar telah gila. Aku bertanya tentang Karebet. Bukan tentang Sultan
Tranggana,”
“Ini adalah
kelanjutan dari peristiwa itu” sahut orang itu.
“Nanti pada
saat purnama naik, Baginda akan pergi berburu.”
“Itu sudah kau
katakan.”
“Ya. ya,”
peronda itu menjadi gugup. Dan karenanya maka kata-katanya menjadi kurang
teratur.
“Diperburuan
itu, maka Karebet akan menyerahkan Endang Widuri kepada Baginda untuk puteranda
Pangeran Timur.”
“Kau berkata
sebenarnya?” potong Arya tergagap.
“Ya. Dan
dikatakan oleh Karebet itu, bahwa seandainya Arya Salaka yang membanggakan
Sasra Birawa itu tidak merelakannya, maka dipersilakan ia datang dengan pasukan
segelar sappapan. Karebet yang katanya lurah Wira Tamtama akan menyambutnya
dengan senang hati.”
“Begitu
katanya?” teriak Arya.
“Ya”
Kembali Arya
Salaka kehilangan pengamatan diri. Sambil mengguncangkan tubuh peronda itu ia
berteriak.
“Dimana kau
temui Karebet itu?”
“Diperbatasan,
di Sendang Muncul.”
Arya Salaka
tidak menjawab. Tiba-tiba ia meloncat berlari ke belakang. Semua terkejut
melihat tingkahnya. Namun Mahesa Jenar dan ayahnya, Gajah Sora yang mengenal
tabiat anak itu, segera mengetahui, bahwa Arya Salaka berlari untuk mengambil
kudanya.
Karena itu
maka keduanya hampir bersamaan memanggilnya.
“Arya. Arya
Salaka.”
No comments:
Post a Comment