BAHKAN mereka telah siap pula melancarkan serangan ke arah lambung pasukan Banyubiru yang masih mempergunakan gelar Dirada Meta. Dalam hal ini dengan suatu isyarat tangan dari pemimpin mereka, pastilah mereka akan segera bergerak.
Tetapi rupanya
dalam barisan Demak pun terjadi sesuatu. Pemimpin pasukan mereka ternyata tidak
segera memberikan aba-aba untuk mulai menyerang. Agaknya mereka menjadi heran
pula, kenapa dalam keadaan yang demikian pasukan Banyubiru masih belum juga
menunjukkan tanda-tanda untuk mulai bertindak. Karena itu, pemimpin pasukan
dari Demak itu pun tidak tergesa-gesa bertindak.
Sementara itu,
terjadilah suatu hal yang sama sekali tak terduga-duga. Dengan suara lirih dan
dalam, terdengarlah Ki Ageng Gajah Sora memanggil Wanamerta dan Panjawi. Sesaat
kemudian Gajah Sora memalingkan mukanya, mencari Mahesa Jenar, dan dengan
isyarat ia diminta mendekatinya. Ketika Mahesa Jenar melihat wajah Ki Ageng
Gajah Sora, ia menjadi terkejut. Wajah itu nampak begitu suram dan basah oleh
keringat yang tak sempat diusapnya. Segera ia menarik kekang kudanya, dan
cepat-cepat mendekatinya. Agaknya telah terjadi suatu pergolakan perasaan yang
dahsyat, sehingga ketika Mahesa Jenar telah berada di sampingnya, semakin jelas
bahwa tubuh Gajah Sora gemetar. Kemudian dengan suara yang bergetar pula ia
berkata,
“Paman
Wanamerta, tetua tanah perdikan Banyubiru. Panjawi, harapan masa datang, dan
Adi Mahesa Jenar yang berpandangan luas. Harap kalian mengetahui keputusanku….
Aku sama sekali tidak gentar menghadapi pasukan dari Demak itu, meskipun
ternyata terdiri dari pasukan penggempur yang kuat.”
Gajah Sora
berhenti sebentar, lalu lanjutnya,
“Tetapi aku
tak akan melawannya.”
Mendengar
kata-kata Gajah Sora itu, Wanamerta, Panjawi dan Mahesa Jenar sangat terkejut.
Segera wajah-wajah mereka memancarkan perasaan mereka yang menyimpan berbagai
pertanyaan. Tetapi tak seorangpun yang menyatakannya.
“Dengarlah
dengan baik,” sambung Gajah Sora,
“Mungkin Adi
Mahesa Jenar yang paling dapat mengerti perasaanku.”
Gajah Sora
diam sebentar untuk menelan ludah yang seolah-olah menyumbat kerongkongan.
Matanya yang sayu dan kemerah-merahan itu, tanpa berkedip memandang ke arah bendera
Gula Kelapa yang berbentuk segitiga panjang sebagai lambang kebesaran Demak.
“Beberapa
tahun yang lampau…,” lanjut Gajah Sora,
“Aku pernah
bertempur melawan orang-orang Portugis di Semenanjung Malaka untuk
mempertahankan kebesarannya. Pada saat itu di atas kapalku berkibar pula dengan
megahnya bendera Gula Kelapa itu. Haruskah aku sekarang melawannya? Tidak, aku
tidak bisa.”
Kembali Gajah
Sora terdiam. Dan kembali Gajah Sora menelan ludah beberapa kali. Matanya
nampak semakin merah bukan oleh nyala kemarahan. Mendengar kata-kata itu, bulu
tengkuk Mahesa Jenar serasa serentak berdiri. Kata-kata itu langsung menyusup
ke perasaannya yang paling dalam. Agaknya perasaan yang demikian pulalah yang
menyebabkan dirinya seperti orang yang kehilangan pegangan. Tetapi Wanamerta
dan Panjawi mempunyai tanggapan yang lain. Wajahnya menjadi tegang. Mereka
tidak begitu mengerti maksud Gajah Sora. Karena itu Wanamerta segera bertanya,
“Bagaimanakah
maksud Ki Ageng sebenarnya?”
“Lalu apakah
yang akan Ki Ageng lakukan?” sela Panjawi yang menjadi semakin gelisah.
“Aku akan
berbicara dengan mereka,” jawab Gajah Sora.
Mendengar
jawabnya itu Wanamerta dan Panjawi saling memandang dengan kebingungan.
“Mereka tidak
datang untuk berbicara,” jawab Panjawi kemudian,
“Tetapi mereka
datang dengan gelar perang.”
Kembali mata
Ki Ageng Gajah Sora melekat pada Sang Saka Gula Kelapa yang seolah-olah
melambaikan tangan-tangannya kepada Gajah Sora, sebagai salam hangat setelah
agak lama tidak bertemu. Karena itu hati Ki Ageng Gajah Sora menjadi semakin
terkoyak-koyak.
“Kalau mereka
tidak dapat berbicara,” kata Gajah Sora Sora selanjutnya,
“aku akan
menyertai mereka ke Demak. Sebab aku percaya bahwa pemerintahan berjalan dalam
garis-garis hukum. Bagaimanapun juga masalah ini adalah masalah kita bersama
yang harus dapat kita selesaikan, tanpa pertumpahan darah.”
Wanamerta dan
Panjawi agaknya masih belum begitu mengerti maksud Gajah Sora, sehingga
terdengar suara Wanamerta agak tertahan,
“Anakmas, kami
adalah orang-orang yang bersedia dibujur-lintangkan untuk keselamatan Anakmas”.
Gajah Sora
memandang Wanamerta dengan penuh pengertian dan haru. Tetapi ia sudah mempunyai
suatu ketetapan bahwa ia sama sekali tak bermaksud menodai Sang Saka Gula
Kelapa. Karena itu katanya,
“Paman…, aku
tahu kesetiaan Paman dan segenap laskar Banyubiru. Tetapi aku harap Paman juga
mengetahui kesetiaanku kepada bendera itu, Sang Saka Gula Kelapa, sebagai
lambang kesatuan negara. Termasuk Banyubiru. Sebab Banyubiru sendiri tak ada
artinya di muka bumi ini, kalau tidak bersama-sama dengan daerah-daerah lainnya
berkembang di taman sarinya. Negara kita ini. Sebaliknya, negara kita ini tidak
pula akan tegak melawan badai sejarah kalau tidak berakar di dalam jiwa rakyat
di daerah-daerah, termasuk Paman dan seluruh rakyat Banyubiru”.
Wanamerta dan
Panjawi menundukkan mukanya dalam-dalam. Di dalam hatinya telah membayang
sedikit pengertian akan ucapan pemimpinnya yang sangat dicintainya itu. Namun
bagaimanapun, agaknya amat sulit baginya untuk melepas Gajah Sora pergi sebagai
seorang terdakwa yang telah melakukan pengkhianatan.
Karena itu
Wanamerta masih mencoba bertanya,
“Anakmas,
tidakkah Anakmas dapat berbicara dengan mereka dalam kesempatan lain yang lebih
baik, sehingga Anakmas tidak dianggap sebagai seorang tangkapan?”
“Tak akan ada
lagi kesempatan kecuali ini, Paman. Sebab kalau aku tidak mempergunakan
kesempatan ini, pasti akan terjadi pertumpahan darah sesama kita yang tak ada
artinya,” jawab Ki Ageng Gajah Sora.
Kembali
Wanamerta menundukkan kepalanya. Ia kenal betul akan sifat dan watak Gajah
Sora. Apabila ia sudah menjatuhkan keputusan, maka tak seorang pun yang akan
dapat mengubahnya. Karena itu, dengan perasaan yang tertekan ia terpaksa
berdiam diri.
Sebaliknya
Panjawi yang masih belum dapat mengendapkan dirinya, berkata menyela,
“Ki Ageng…,
sebenarnya kami lebih senang apabila Ki Ageng memerintahkan kepada kami untuk
menghunus pedang kami daripada melepaskan Ki Ageng pergi sebagai seorang
tawanan.”
GAJAH SORA
tersenyum pahit. Lalu jawabnya,
“Aku bukanlah
tawanan prajurit yang kalah perang, Panjawi. Hal ini pasti disadari pula oleh
orang-orang Demak itu, bahwa aku masih tegak di hadapan pasukanku yang belum
pasti dapat mereka kalahkan.”
“Karena itu
berikanlah kepada kami perintah, Ki Ageng,” sahut Panjawi yang agaknya masih
berdarah panas.
“Panjawi…”
jawab Gajah Sora,
“Memang di
dalam tubuhmu mengalir darah jantan sejati. Tetapi dengarlah perintahku
baik-baik. Kau dan Wanamerta tetap berada di tempatmu. Jagalah bahwa tak
seorang pun dalam pasukan ini yang berkisar dari tempatnya.”
Mendengar
perintah itu, dada Panjawi serasa menerima pukulan yang maha dahsyat, sampai ia
memejamkan mata beberapa saat untuk dapat menenangkan perasaannya kembali.
“Adi Mahesa
Jenar…” kata Gajah Sora kepada Mahesa Jenar yang selama itu dengan penuh
pergolakan di dalam dadanya memperhatikan setiap kata-kata Gajah Sora.
“Wanamerta dan
Panjawi, Di manakah Arya?”
Pertanyaan ini
mengejutkan benar, sebab untuk beberapa saat Mahesa Jenar telah melupakan anak
ini.
“Bukankah tadi
anak itu datang di belakang Adi?” sambung Gajah Sora.
“Benar,
Kakang,” jawab Mahesa Jenar agak gugup sambil melayangkan pandangannya
berkeliling, sampai akhirnya tertumbuk pada seekor kuda hitam dengan seorang
anak di punggungnya dan tampaknya dengan enaknya melihat dua pasukan yang
hampir bertempur itu seperti melihat rombongan pawai prajurit. Melihat hal itu
jantung Mahesa Jenar berdesir. Apakah yang terjadi andaikata kedua pasukan itu
benar-benar bertempur, sedangkan Arya berada di atas sebuah gundukan tanah
dalam garis serangan sayap kanan pasukan Demak. Andaikata sampai terjadi
sesuatu atasnya pastilah ia harus mempertanggungjawabkannya.
Maka dengan
isyarat Arya dipanggil untuk mendekati ayahnya. Tetapi rupa-rupanya anak itu
agak takut, sehingga isyarat itu sampai harus diulangi dua kali.
Ketika Arya
telah berada disampingnya, dengan pandangan yang semakin sayu dan kata-kata
yang gemetar, Ki Ageng Gajah Sora berkata kepada Arya,
“Arya…, kau
telah pernah mempergunakan tombakku yang sakti ini. Karena itu, pada hari ini
tombak ini aku hadiahkan kepadamu.”
Arya yang
tidak tahu masalahnya, mendengar kata-kata ayahnya itu menjadi terkejut dan
menduga-duga, tetapi sekejap kemudian ia menjadi kegirangan. Wajahnya
berseri-seri dan dengan segera ia maju mendekat.
Sebaliknya
adalah Wanamerta, Panjawi dan Mahesa Jenar. Ketika mereka mendengar kata Gajah
Sora itu dada mereka bergoncang hebat. Sebab mereka sadar akan arti kata-kata
itu. Dengan demikian maka Ki Ageng Gajah Sora telah menyerahkan pemerintahan
Banyubiru kepada putra satu-satunya yang belum dewasa.
“Apakah
artinya ini Ki Ageng?” tanya Panjawi dengan suara bergetar.
“Ayah akan
menghadiahkan tombak itu kepadaku,” sahut Arya dengan riangnya.
“Dan bukankah
ayah bermaksud mengijinkan aku untuk turut bertempur sekarang ini?”
Semua yang
mendengar kata-kata Arya itu menarik nafas dalam-dalam. Lebih-lebih Gajah Sora
sendiri.
“Arya, aku
tidak bermaksud demikian. Sebab hari ini aku akan bepergian jauh sekali, dan
belum tentu kapan akan kembali. Kaulah yang berhak untuk memiliki pusaka itu,
tetapi sementara biarlah pusaka itu kau titipkan kepada eyangmu Wanamerta,”
kata Gajah Sora dengan suara lembut.
Wajah Arya
yang riang itu segera berubah menjadi kecewa dan bertanya-tanya. Pandangannya
beredar diantara orang-orang yang berada di sekitarnya seperti minta
penjelasan. Akhirnya ia bertanya,
“Ayah akan
pergi jauh sekali?”
Ki Ageng Gajah
Sora mengangguk.
“Selama ayah
pergi, kau tidak boleh nakal Arya. Kau harus menurut segala petunjuk eyangmu
Wanamerta. Dan yang akan melanjutkan pelajaranmu dan olah kanuragan adalah
pamanmu Mahesa Jenar. Bukankah begitu Adi…?”
Mahesa Jenar
menjadi agak kebingungan, tetapi ia tidak dapat berkata lain daripada
mengiyakan.
Sesaat
kemudian kembali Gajah Sora memandangi bendera Gula Kelapa yang melambai
kepadanya. Sesaat kemudian dilayangkan pandangannya kepada seluruh anak buahnya
yang berbaris teratur di belakangnya dalam gelar Dirada Meta. Tiba-tiba Gajah
Sora mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi. Pemimpin pasukan Demak yang
rupa-rupanya cukup bijaksana dan tidak berbuat sesuatu, ketika ia menyaksikan
Gajah Sora sedang berunding dengan bawahannya, juga mengangkat tangan kanannya
untuk menjawab isyarat Gajah Sora.
Sekali lagi
Gajah Sora memandang kepala barisannya. Kemudian ia berkata kepada Wanamerta,
“Sepeninggalku
perintahkan pasukan ini mengundurkan diri, Paman. Aku percayakan Banyubiru
dalam kebijaksanaan paman selama aku pergi. Aku juga minta agar Adi Mahesa
Jenar sudi menjadi pelindung daerah yang tak berarti ini. Aku titipkan Arya
kepadamu,” lanjut Gajah Sora kepada Mahesa Jenar.
Kemudian,
sehabis mengucapkan kata-kata itu, Gajah Sora menarik kekang kudanya yang
kemudian berlari dengan kencangnya menuju ke arah pasukan dari Demak. Melihat
Gajah Sora telah datang seorang diri, pemimpin pasukan dari Demak itupun segera
menyongsongnya bersama dua orang pengawalnya. Melihat Ki Ageng Gajah Sora pergi
seorang diri ke arah pasukan-pasukan dari Demak itu, Arya terkejut. Untuk
beberapa saat ia diam kebingungan. Tetapi setelah ingatannya berjalan kembali,
ia berteriak memanggil. Untunglah bahwa Mahesa Jenar cepat bertindak, menangkap
kendali kuda Arya yang hampir berlari memburu. Sambil memanggil-manggil
ayahnya, Arya meronta-ronta memukul-mukul tangan Mahesa Jenar yang memegang
kendali kudanya itu.
WANAMERTA
memandangi Arya dengan dada yang sesak. Perlahan-lahan ia mendekati anak itu
dan menghibur sebisa-bisanya. Namun untuk beberapa saat Arya masih saja
berusaha untuk melepaskan tangan Mahesa Jenar dan berteriak-teriak
sejadi-jadinya. Sebenarnya bukan saja Arya yang menjadi bingung dan
meronta-ronta, tetapi segenap hati laskar Banyubiru menjadi bingung, dan
meronta-ronta pula. Bahkan kemudian terdengarlah suara bergumam yang semakin
lama semakin keras. Bantaran dan Sawungrana tampak menjadi gelisah. Sedang
Pandan Kuning yang tak dapat menahan diri lagi berteriak nyaring,
“Apakah
artinya ini semua Kakang Wanamerta…?”
Wanamerta
dapat mengerti semuanya itu, dapat mengerti kenapa seluruh laskar Banyubiru
menjadi gelisah dan bingung. Karena itu segera ia mengangkat tangannya untuk
menenangkan keadaan, sedang tangannya yang lain mengacungkan pusaka Kyai Bancak
tinggi-tinggi sebagai suatu pernyataan bahwa ia telah mendapatkan wewenang atas
nama Arya Salaka untuk memimpin daerah perdikan Banyubiru. Sementara itu keributan
agak dapat ditenangkan, tetapi hati laskar Banyubiru itu sama sekali tak dapat
ditenangkan. Mereka, dengan darah yang bergelora melihat Ki Ageng Gajah Sora
berlari di atas kudanya menemui pemimpin pasukan dari Demak yang datang
menyongsongnya. Apalagi beberapa saat kemudian seluruh laskar Banyubiru yang
berada di lereng bukit Telamaya itu menyaksikan dengan jelas bahwa pemimpin
mereka Ki Ageng Gajah Sora pergi meninggalkan mereka bersama-sama dengan
pemimpin pasukan dari Demak itu, yang sebentar kemudian memberi aba-aba kepada
seluruh prajurit Demak untuk menarik gelar Garuda Nglayang itu menjadi suatu
barisan tidak dalam gelar perang.
Rasa-rasanya
laskar Banyubiru itu hampir meledak ketika mereka menyadari bahwa pemimpin
mereka telah pergi menyertai pasukan dari Demak, yang menurut anggapan mereka
tidak lebih dari seorang tawanan.
Dalam keadaan
yang demikian, segera Wanamerta membalikkan kudanya dan merasa perlu untuk
memberi penjelasan. Segera dengan isyarat tangan ia memanggil segenap pimpinan
kelompok dalam kesatuan laskar Banyubiru.
“Anak-anakku
Laskar Banyubiru yang setia kepada pemimpinnya. Atas nama kekuasaan yang telah
diserahkan kepada Arya Salaka, aku perintahkan kepadamu untuk tetap tenang, dan
setelah ini menarik kembali seluruh laskar kita. Penjelasan mengenai hal ini
akan aku berikan kemudian,” kata Wanamerta.
Mendengar
keterangan singkat dari seorang kepercayaan Gajah Sora itu beberapa orang
menjadi ribut, sedang beberapa orang lagi menjadi kebingungan. Tetapi
bagaimanapun laskar Banyubiru adalah laskar yang patuh dan setia sehingga
bagaimanapun terjadi pergolakan di dalam dada namun mereka harus mentaati
perintah pemimpin mereka atau yang dikuasakan. Dan sekarang, ternyata Wanamerta
yang memegang pusaka Kyai Bancak itu berbicara atas nama Pemimpin tanah
perdikan Banyubiru.
Karena itu tak
seorangpun yang berani melanggar perintahnya. Panjawi yang sebenarnya sama
sekali tidak rela melepaskan Gajah Sora, menjadi gemetar tubuhnya. Wajahnya
jadi sebentar merah dan sebentar kemudian memutih pucat hampir seperti mayat.
Giginya terdengar gemeretak dan pengertian perasaan yang bercampur aduk antara
marah, kecewa, dan bingung, tetapi juga kesadaran dan pengertian bahwa apa yang
dikatakan Gajah Sora adalah benar.
Sementara itu
iring-iringan pasukan Demak itu berjalan terus semakin jauh, meninggalkan
kepulan debu putih yang segera lenyap disapu angin pegunungan. Sebentar
kemudian pasukan yang membawa Ki Ageng Gajah Sora itu lenyap sedikit demi
sedikit di tikungan, seperti ditelan oleh anak pegunungan yang menonjol di
hadapan laskar Banyubiru itu.
Bersama dengan
lenyapnya pasukan Demak itu dari pemandangan mereka, terdengarlah Arya Salaka
terisak-isak. Wanamerta segera mendekatinya dan kembali ia mencoba menenangkan
Arya yang meskipun berusaha menahan tangisnya tetapi akhirnya air matanya
terurai mengalir. Melihat hal itu hati Panjawi semakin bergelora, meskipun ia
sadar bahwa tak ada yang dapat dilakukan.
“Arya…,
marilah kita pulang,” kata Wanamerta lembut.
Dengan masih
terisak, Arya menggelengkan kepalanya.
“Pulanglah,
Arya…” sambung Mahesa Jenar,
”Bukankah
ayahmu telah berpesan supaya kau menuruti nasehat kakekmu Wanamerta?”
Arya memandang
Mahesa Jenar dengan mata merah yang basah. Seolah-olah ia ingin menanyakan,
kenapa Mahesa Jenar tidak berbuat sesuatu untuk menyelamatkan ayahnya.
“Tidakkah
Paman pulang ke Banyubiru?” tanya Arya di sela-sela isaknya.
“Pasti, Arya,”
jawab Mahesa Jenar.
“Aku akan
pulang ke Banyubiru, tetapi berjalanlah dahulu, aku segera akan menyusul.”
Sekali lagi
Arya memandang kepada Mahesa Jenar dengan penuh pertanyaan. Tetapi sejenak
kemudian ia pun menjadi agak tenang. Bersama-sama dengan Wanamerta, Panjawi dan
seluruh laskar Banyubiru, Arya berjalan kembali ke Banyubiru, kecuali Mahesa
Jenar. Kepada Wanamerta, Panjawi dan Arya Salaka, Mahesa Jenar minta izin untuk
tinggal sebentar dan kemudian akan segera menyusul kembali.
SEPENINGGAL
pasukan Banyubiru, Mahesa Jenar mengendarai kudanya perlahan-lahan di sepanjang
lereng-lereng bukit. Rasanya ada sesuatu yang tidak menentramkan hatinya.
Firasatnya yang agak tajam menangkap sesuatu yang tidak wajar akan terjadi.
Beberapa saat kemudian Mahesa Jenar muncul di sebelah bukit yang menghalangi
pandangannya, dan kembali tampak debu berhamburan jauh di bawah kakinya. Itulah
iring-iringan pasukan dari Demak. Tanpa disengaja, kudanya dilarikan agak cepat
ke arah yang sama dengan pasukan itu. Jaraknya semakin lama semakin dekat.
Tetapi apabila jarak itu sudah terlalu dekat, maka memungkinkan orang-orang
Demak itu dapat melihatnya, sehingga segera ia menghentikan kudanya dan berdiri
di tempat yang agak tersembunyi. Tetapi ketika sudah agak jauh dari Banyubiru,
tiba-tiba darah Mahesa Jenar tersirat ketika melihat di lereng-lereng bukit di
sekitar jalan yang dilewati pasukan Demak itu tampak bintik-bintik yang
bergerak-gerak. Ia menjadi curiga, dan dengan penuh perhatian dicobanya untuk
mengetahui apakah sebenarnya yang tampak bergerak-gerak itu. Mahesa Jenar
menjadi semakin terperanjat ketika ia yakin bahwa bintik-bintik yang
bergerak-gerak itu adalah manusia-manusia yang bersenjata. Tetapi sebelum
sempat ia berbuat sesuatu, orang-orang bersenjata yang bergerak-gerak di
lereng-lereng bukit di sekitar jalan itu telah mulai dengan sebuah serangan
yang melanda seperti air pasang. Inilah gelar Samodra Rob yang menyerang
gelombang demi gelombang dengan jumlah pasukan yang besar. Dari jarak yang agak
jauh, Mahesa Jenar melihat iring-iringan pasukan Demak itu berhenti, dan
sebentar kemudian ia melihat gerakan yang cepat dari pasukan itu menjadi sebuah
gelar Gedong Minep. Ini agak aneh bagi Mahesa Jenar, kenapa pasukan dari Demak
itu mengambil gelar yang sebenarnya kurang menguntungkan untuk melawan gelar
Samodra Rob.
Tetapi,
terlintaslah dalam benak Mahesa Jenar, bahwa di dalam pasukan dari Demak itu
ada seorang yang akan dibawa menghadap kepada Sultan Demak. Jadi pastilah bahwa
pemimpin pasukan penyerang itu berusaha untuk membebaskan Gajah Sora. Mendapat
pikiran yang demikian, dada Mahesa Jenar menjadi sesak. Tetapi sementara itu ia
tidak dapat berbuat sesuatu. Dalam hati Mahesa Jenar tersimpullah suatu
tafsiran bahwa ini adalah suatu kesengajaan dari pihak-pihak yang ingin melihat
suasana Banyubiru menjadi semakin keruh. Ternyata bahwa mereka telah menyiapkan
pasukan untuk bermacam-macam kemungkinan dan kepentingan. Di lembah, di bawah
lereng-lereng bukit Telamaya itu segera terjadi suatu pertarungan yang sengit.
Gelar Samodra Rob itu bagai gelombang menghantam pasukan dari Demak yang berada
dalam kedudukan yang kurang menguntungkan. Hal ini rupanya kemudian disadari
bahayanya. Maka dengan suatu gerakan melingkar, pasukan Demak yang terlatih
baik itu mengubah gelarnya menjadi seolah-olah suatu permainan yang selalu
bergerak-gerak. Kedudukan mereka nampaknya menjadi sangat lemah di bagian depan
sehingga banyak lubang pertahanan yang dengan mudahnya disusupi oleh penyerang.
Tetapi tidaklah demikian sebenarnya. Melihat perubahan itu, Mahesa Jenar yang
hanya dapat melihat dari jauh, menarik nafas lega, seolah-olah ialah pemimpin
pasukan dari Demak itu. Dan segera tampak bahwa pasukan penyerang itu tidak
banyak dapat berbuat melawan satu pasukan yang teratur baik dan terdiri dari
orang-orang pilihan. Pasukan Demak itu telah mengubah gelarnya menjadi gelar
Jurang Grawah. Gelar yang dapat menampung berapa pun banyaknya air yang
mengalir melandanya. Meskipun serangan-serangan lawannya itu seolah-olah dengan
mudah dapat menyusup ke dalam gelar pasukan Demak, tetapi demikian gelombang
itu masuk, demikian gelombang itu dibinasakan oleh pasukan-pasukan yang justru
berada di garis kedua dan ketiga.
Tetapi karena
jumlah penyerang-penyerang itu sedemikian banyaknya, maka pertempuran itu pun
berlangsung dengan hebatnya. Mahesa Jenar melihat pertempuran itu tanpa
bergerak dari punggung kudanya, seolah-olah ia terpaku di atasnya. Meskipun
hatinya bergelora hebat, ia hanya dapat menekan dadanya dengan tangannya. Sebab
dalam kedudukannya yang sekarang, tidaklah mungkin ia turut campur. Tiba-tiba
tanpa disengaja, mata Mahesa Jenar merayap ke atas bukit kecil di sebelah
lembah, dimana pertempuran yang hebat itu terjadi. Di sana, dilihatnya beberapa
bayangan yang ternyata adalah orang-orang berkuda. Cepat pikiran Mahesa Jenar
bekerja. Dan ia dapat mengambil kesimpulan bahwa orang-orang itu pastilah
dalang dari keributan ini. Karena itu, ia bermaksud untuk mengetahui, siapakah
kiranya yang berdiri di atas bukit kecil itu. Mendapat pikiran itu, terus saja
Mahesa Jenar memutar kudanya, dan dengan mengambil jalan melingkar ia menuju ke
arah bukit kecil, dimana orang-orang yang dicurigainya itu berada. Dengan
hati-hati ia berusaha untuk mendekati orang itu dari arah belakang. Maka
setelah Mahesa Jenar berhasil mencapai bukit kecil itu, ia segera turun dari
kudanya dan menambatkannya pada sebatang pohon dengan ikatan yang tidak begitu
keras, supaya apabila setiap saat diperlukan, tidak terlalu sukar baginya untuk
melepaskan tali itu. Dengan hati-hati sekali ia merangkak naik dan selalu
berusaha untuk melindungi dirinya dengan batang-batang pohon dan daun-daun yang
rimbun. Bahkan kadang-kadang ia memilih jalan menyusur tebing-tebing yang curam
agar tidak menarik perhatian. Di atas bukit itu ternyata beberapa orang berkuda
yang dengan saksama mengikuti jalannya pertempuran di lembah. Mahesa Jenar yang
dengan sangat hati-hati berhasil mendekati mereka, segera mengenal siapakah
mereka itu.
PADA saat
Mahesa Jenar mengetahui orang-orang yang berkuda itu, rasanya dirinya seperti
terlempar ke dalam sebuah khayalan yang sangat menakutkan dan sukar untuk
dipercaya. Karena itu jantungnya terasa seperti berdentam-dentam tak keruan.
Cepat ia berusaha menguasai diri dan mengatur pernafasan untuk menenangkan
dirinya. Meskipun demikian, ia menjadi gemetar juga. Untunglah bahwa Mahesa
Jenar adalah orang yang cukup berpengalaman, sehingga apa yang dilakukan
bukanlah pencetusan perasaannya belaka, tetapi juga hasil dari pemikirannya
yang masak. Karena itu, meskipun di hadapannya berdiri tokoh-tokoh yang
seolah-olah merupakan kejadian yang hanya dapat terjadi di dalam mimpi, namun
ia tetap dapat mempergunakan pikirannya dengan baik. Orang-orang berkuda itu
adalah deretan dari tokoh-tokoh yang dikenalnya sebagai tokoh-tokoh golongan
hitam yang cukup tangguh. Diantaranya adalah Lawa Ijo dan Padas Gunung yang
rupanya telah sembuh, Sepasang Uling dari Rawa Pening, Suami-istri Sima Rodra,
Jaka Soka dari Nusakambangan, dan yang lebih mengejutkan hati Mahesa Jenar
adalah hadirnya Lembu Sora bersama-sama dengan mereka. Dengan demikian maka apa
yang terjadi di Banyubiru seolah-olah kini menjadi terang benderang baginya.
Berkumpulnya tokoh-tokoh itu adalah suatu petunjuk yang jelas. Karena itu
setelah ia mendapat kesimpulan dari peristiwa yang tak tersangka itu, otaknya
pun segera bekerja keras. Yang harus diusahakan pertama-tama adalah menarik
pasukan pasukan yang menyerang pasukan dari Demak itu. Sesudah itu entahlah apa
yang akan terjadi dengan dirinya. Menilik tata tempat mereka berada, Mahesa
Jenar dapat mengambil kesimpulan, bahwa Lembu Sora yang berada di tempat paling
depan adalah orang yang paling berkepentingan dengan pertempuran itu. Sedang
menurut perhitungan Mahesa Jenar, laskar yang paling banyak dari para penyerang
itu adalah laskar Lembu Sora.
Sekali lagi
Mahesa Jenar melayangkan pandangannya ke lembah yang semakin samar dilapisi
debu yang mengepul tinggi. Tetapi dengan jelas ia dapat menyaksikan pertempuran
yang semakin dahsyat. Laskar penyerang itu kemudian hampir kehilangan pegangan,
sehingga serangannya sudah mengarah ke gelar Gelatik Neba. Melihat hal itu,
maka Mahesa Jenar merasa perlu untuk segera bertindak sebelum korban semakin
banyak yang jatuh. Bagi Lembu Sora dan orang-orang seperti Lawa Ijo dan
sebagainya, banyaknya korban tidak merupakan soal. Yang penting, adalah maksud
mereka tercapai. Setelah berpikir berulang kali, dan menimbang untung-ruginya,
Mahesa Jenar memutuskan untuk mengambil jalan yang sangat berbahaya. Sebab
sudah tidak ada pilihan lain baginya kecuali menempuh bahaya itu. Dengan lebih
berhati-hati lagi Mahesa Jenar merangkak semakin dekat dengan orang-orang
berkuda. Untung mereka terlalu asyik menyaksikan pertempuran di lembah,
sehinggga kehadiran Mahesa Jenar sama sekali tak mereka ketahui. Maka dengan
suatu gerakan yang cepat sekali, seperti harimau yang menerkam mangsanya,
Mahesa Jenar sambil menggeram meloncati Lembu Sora yang sama sekali tidak
menduganya. Karena itu, ia sama sekali tidak bersiaga, ia tidak dapat berbuat
sesuatu. Segera Mahesa Jenar mendekapnya dan karena dorongan kekuatan
loncatannya maka Mahesa Jenar telah mendorong Lembu Sora sehingga keduanya
jatuh berguling dari atas kuda. Mahesa Jenar yang telah memperhitungkan setiap
gerakannya dengan saksama, segera dapat menyesuaikan diri dengan keadaan.
Sebaliknya, Lembu Sora menjadi bingung, dan untuk beberapa saat ia seperti
kehilangan pikirannya.
Lembu Sora
menjadi sadar ketika lengan Mahesa Jenar yang kuat telah melingkari lehernya.
Cepat tangan kanannya bergerak meraba hulu kerisnya yang terselip di lambung.
Tetapi ia menjadi terkejut ketika keris itu sudah tidak ada. Ketika Lembu Sora
berusaha untuk mencapai tangkai pedangnya, tiba-tiba terasa ujung sebuah
senjata tajam melekat di punggungnya. Tahulah ia sekarang bahwa orang yang
mendorongnya telah berhasil pula menghunus kerisnya. Segera Lembu Sora
menggigil karena marah, matanya merah menyala dan nafasnya mengalir bertambah
cepat. Orang gila manakah yang telah melakukan pekerjaan terkutuk ini? kata
Lembu Sora sambil menggeram. Sementara itu, orang-orang lain yang menyaksikan
kejadian yang hanya sekejap itu menjadi tertegun. Sesaat mereka pun menjadi
kebingungan dan tidak tahu apa yang dilakukan.
Kemudian
terdengarlah Mahesa Jenar menjawab,
“Akulah,
Mahesa Jenar.”
“Kau orang
Pandanaran…,” desis Lembu Sora semakin marah, tetapi ia tidak dapat berbuat
apa-apa. Sebab setiap ia bergerak, keris yang menempel di punggungnya itu terasa
semakin menekan.
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar singkat.
“Aku sudah
menduga bahwa kau tidak berani berlaku sebagai seorang jantan,” sambung Lembu
Sora.
“Aku hanya
dapat berlaku jantan terhadap orang jantan pula,” jawab Mahesa Jenar.
“Kau kira aku
tidak mampu membunuhmu kalau kau menyerang aku berhadapan?” kata Lembu Sora
hampir berteriak.
“Aku tidak
peduli, tetapi membinasakan kakak kandung dengan caramu itu, adalah bukan laku
seorang jantan. Kau bermaksud membinasakan pasukan Demak itu, dengan harapan
Gajah Sora yang tertuduh berbuat khianat dengan menipu dan kemudian menjebak.
Adakah itu laku seorang jantan?”
“Aku sedang
berusaha membebaskannya,” jawab Lembu Sora.
MAHESA JENAR
memang sudah menduga bahwa Lembu Sora pasti akan beralasan demikian. Karena itu
ia meneruskan,
“Membebaskan
Ki Ageng Gajah Sora dan kemudian tidak memberinya tempat menetap karena ia akan
selalu diburu oleh alat-alat negara? Ki Ageng Lembu Sora, kau tidak usah banyak
bercerita. Sekarang perintahkan orang-orangmu untuk menarik laskarmu yang
menyerang pasukan Demak itu.”
Mendengar
kata-kata Mahesa Jenar itu, Lembu Sora terkejut bukan buatan. Karena itu pula
maka darahnya menjadi semakin mendidih membakar hatinya. Sementara itu,
orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu telah mulai memiliki kesadarannya
kembali. Dan bersamaan dengan itu pula mereka menjadi cemas sebab sebagian dari
mereka telah mengenal siapakah Mahesa Jenar, bahkan Lawa Ijo, Wadas Gunung,
Jaka Soka dan Sima Rodra telah mengetahui sampai di mana kekuatan Mahesa Jenar.
“Mahesa
Jenar…” jawab Lembu Sora,
“Kau jangan
mencoba-coba menakut-nakuti aku dengan permainanmu yang licik itu. Kau kira aku
dapat kau paksa dengan caramu yang murahan ini?”
Mahesa Jenar
tidak menjawab, tetapi keris di punggung Lembu Sora itu semakin menekan,
sehingga ia terpaksa menahan napas.
Kawan-kawan
Lembu Sora hanya dapat menyaksikan semuanya itu dengan hati yang
berdebar-debar. Mereka sama sekali tak berani berbuat sesuatu, sebab dengan
demikian berarti riwayat Lembu Sora akan berakhir. Meskipun demikian, Lawa Ijo
telah mencoba untuk menyelamatkan jiwa Lembu Sora.
“Tuan, Rangga
Tohjaya yang perwira. Aku telah mengenal dan merasakan betapa dahsyatnya ilmu
Tuan yang dinamakan Sasra Birawa. Tetapi meskipun demikian aku yakin kalau Tuan
tak dapat mengalahkan kami semua ini sekaligus,” katanya sambil tertawa dalam.
“Lawa Ijo…”
jawab Mahesa Jenar,
“Aku tidak
merasa bahwa aku akan dapat mengalahkan kalian. Yang penting bagiku sekarang
adalah Ki Ageng Lembu Sora memerintahkan orang-orangnya untuk menarik diri dari
pertempuran. Setelah itu, aku tidak tahu apakah yang akan terjadi dengan
diriku. Tetapi mudah-mudahan Ki Ageng Lembu Sora akan menjadi pelindungku yang
baik.”
“Kau gila!”
bentak Lembu Sora.
“Lepaskan aku,
dan marilah kita berhadapan sebagai orang-orang jantan.”
“Itu adalah
soal yang mudah,” sahut Mahesa Jenar,
“Tetapi perintahkan orang-orangmu menarik diri.”
“Tetapi perintahkan orang-orangmu menarik diri.”
Mendengar
kata-kata itu Lembu Sora menjadi semakin marah, sampai dadanya serasa akan
pecah. Apalagi ketika ujung keris itu serasa semakin menekan punggungnya.
Akhirnya ia tidak mempunyai pilihan lain, kecuali menuruti permintaan Mahesa
Jenar. Ditatapnya satu persatu wajah-wajah yang kaku tegang di sekitarnya tanpa
mendapatkan suatu kesan apapun juga. Kemudian berkatalah ia kepada salah
seorang yang berkuda itu,
“Berilah tanda
untuk menarik pasukan.”
Orang yang
diajaknya berbicara itu rupanya ragu-ragu. Beberapa kali ia memandang
berkeliling, dan seolah-olah ia minta penjelasan dari setiap orang yang berada
di situ. Tetapi setiap wajah yang ditatapnya hanyalah mengesankan kebimbangan
dan ketegangan. Sampai akhirnya ia memandang wajah Jaka Soka. Hanya wajah
inilah yang berkesan lain. Mahesa Jenar yang pada saat itu juga memandang Jaka
Soka, melihat suatu perasaan yang aneh. Apalagi ketika kemudian ia berkata
kepada orang yang memandangnya untuk mendapat penjelasan itu.
“Jenawi, tak
usah kau beri tanda untuk menarik pasukan,” katanya.
Semuanya yang
mendengar kata-kata yang diucapkan dengan jelas itu menjadi terkejut.
Lebih-lebih Lembu Sora sendiri, sampai ia membentak kepada Jaka Soka,
“Apakah
maksudmu?”
Tampaklah
senyum menghias bibir Jaka Soka. Sedang matanya yang redup itu memandang Lembu
Sora dengan sinar yang aneh. Pandangan yang demikianlah yang pernah menarik
Mahesa Jenar dalam suatu perjalanan menyeberang hutan Tambakbaya. Meskipun
wajah Jaka Soka itu cukup tampan dan bersih, namun wajah yang demikian bagi
Mahesa Jenar tidaklah lebih atau kurang daripada wajah iblis yang paling
berbahaya. Mereka menjadi bertambah terkejut lagi ketika mereka mendengar
jawaban Jaka Soka atas pertanyaan Lembu Sora,
“Maksudku… Ki
Ageng, tak usah laskar Ki Ageng itu ditarik. Biarlah mereka membinasakan
pasukan Demak itu. Dengan demikian bukankah benar kata Rangga Tohjaya atau
Mahesa Jenar itu, bahwa Ki Ageng Gajah Sora tak akan mendapat tempat lagi di
dunia ini, sebab selalu akan diburu oleh alat-alat negara. Syukur kalau segera
ia dapat tertangkap dan dihukum mati.”
“Aku tidak
berkata tentang Kakang Gajah Sora, potong Lembu Sora, Tetapi tentang aku
sendiri.”
Kembali Jaka
Soka tersenyum.
“Kalau kau
juga mati karena Mahesa Jenar, adalah baik sekali bagi kami. Dengan demikian
saingan kami telah berkurang satu orang lagi,” katanya.
“Tutup
mulutmu,” bentak Lembu Sora sambil menggigil karena marah yang tak tertahankan lagi.
“Kalau aku
dapat lepas dari tangan pengecut ini, aku ingin meremas mulutmu itu Jaka Soka,”
sambungnya lagi.
Kembali
terdengar Jaka Soka berkata di sela-sela senyumnya,
“Jangan marah
Ki Ageng, dan jangan menyesal atas nasib jelek yang kau alami.”
Tubuh Lembu
Sora, menjadi semakin menggigil, tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa oleh
tekanan keris Mahesa Jenar. Sedang kawan-kawannya yang lain pun tidak kalah
terkejutnya mendengar kata-kata Jaka Soka itu, sampai terdengar Uling Kuning
yang kasar berkata,
“Tidakkah kau
dapat diam Ular Laut gila?”
Mendengar
kata-kata Uling Kuning itu, malahan Jaka Soka tertawa lembut.
“Jangan
berpura-pura Uling Kuning,” katanya.
“Atau akukah
yang harus menutup mulutmu?” potong Uling Kuning.
Jaka Soka
agaknya tidak senang mendengar kata-kata Uling Kuning yang kasar itu, sehingga
ia memutar kudanya menghadap Uling Kuning.
“Cobalah kalau
kau mau,” katanya.
ULING KUNING
ternyata betul-betul orang yang kasar dan terburu nafsu. Hampir saja ia mendera
kudanya menyerang Jaka Soka kalau saja kakaknya, Uling Putih tidak mencegahnya.
“Kenapa kau
perlu mendengarkan omongan orang gila itu?” kata Uling Putih.
Terdengarlah
Lawa Ijo menyambung,
“Alangkah
beraninya kalian. Tetapi apa yang dapat kalian perbuat atas orang itu. Orang
yang sudah jelas menghalangi usaha kami?”
Sejenak
kemudian mereka semuanya saling berdiam diri. Otak mereka bekerja keras untuk
dapat mencapai suatu penyelesaian tanpa merugikan diri sendiri. Tetapi kesepian
yang tegang itu kemudian tersobek oleh suara Mahesa Jenar yang lantang,
“Aku tidak
peduli apakah kalian ini sebenarnya sedang bersekutu atau sedang bersaing.
Tetapi sekali lagi aku minta, tariklah pasukan penyerang itu.”
Mahesa Jenar
mengakhiri kata-katanya sambil menekankan kerisnya lebih keras lagi. Terdengar Ki
Ageng Lembu Sora berdesis perlahan. Kemudian katanya,
“Kalian tak
akan dapat berbuat sesuatu atas tanah ini serta segala isinya tanpa aku. Karena
itu jangan halangi Jenawi memberi tanda untuk menarik pasukan.”
Semua mata
kemudian tertuju kepada Jaka Soka yang masih dalam keadaan siaga untuk
menghadapi Uling Kuning. Tetapi sesaat kemudian tampaklah kembali sebuah
senyuman di bibirnya. Senyum iblisnya.
“Rupa-rupanya
kalian lebih senang berpura-pura, meskipun kalian sudah tahu akhir dari
peristiwa ini. Baik mengenai tanah perdikan Banyu Biru maupun mengenai Kyai
Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Apakah kalian kira bahwa pertemuan akhir tahun
itu nanti akan dapat memberi kepuasan kita semuanya? Itu adalah omong kosong
yang besar. Kalian tahu pasti bahwa Kyai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten itu
akan menuntut kematian demi kematian, sampai akhirnya ia jatuh di tangan orang
yang terkuat diantara kita, bahkan guru-guru kita atau pendekar-pendekar
angkatan tua itu. Meskipun demikian aku akan tetap hadir di pertemuan akhir
tahun, yang sebenarnya tak berarti apa-apa itu. Nah sekarang aku tidak
mempunyai urusan lagi di sini. Aku akan pergi saja, dan pulang ke
Nusakambangan.”
Setelah
berkata demikian segera ia memutar kudanya dan menderanya. Kuda itu segera
meloncat dan berlari, seperti gila, diikuti oleh dua orang berkuda yang berlari
menyusulnya. Kedua orang itu pasti pembantu-pembantu kepercayaannya.
Sejenak
kemudian orang yang bernama Jenawi itu bergerak maju. Sekali lagi ia masih
memandangi setiap wajah yang ada disitu. Sesudah tidak ada kesan-kesan lain,
maka segera ia mengambil sebuah bundaran logam yang mengkilap. Dengan
bermain-main sinar matahari yang memantul dari logam itu, ia sebenarnya sedang
memberikan aba-aba ke arah bukit di seberang tempat pertempuran itu. Ternyata
tanda-tanda yang dikirim lewat logam yang mengkilap itu dapat sampai ke
alamatnya. Dan karena itulah kemudian dari balik gerumbul-gerumbul di lereng
sebelah, terdengar suara sangkakala mengumandang dengan nyaringnya. Itulah
aba-aba kepada para laskar Lembu Sora yang bergabung dengan laskar-laskar para
tokoh hitam untuk mengundurkan diri. Tetapi yang terbanyak dari laskar
penyerang itu adalah laskar Lembu Sora, sebab dialah yang merasa paling
berkepentingan dengan tanah perdikan Banyubiru. Sebentar kemudian segera
tampaklah perubahan pada pertempuran yang berlangsung dengan hebatnya di
lembah. Pasukan gabungan yang menyerang pasukan Demak itu segera berpencaran
dan mengundurkan diri cerai berai. Sebab sebenarnya mereka merasakan betapa
dahsyatnya bertempur pasukan-pasukan Wira Tamtama, Wira Jala Pati, Nara
Manggala, Manggala Sraya, dan lebih-lebih kesatuan Manggala Pati yang mengawal
Sang Saka Gula Kelapa. Karena itu ketika mereka mendengar tanda untuk
mengundurkan diri, maka dengan tidak perlu diulang lagi, mereka telah saling
berebut dahulu meloncat menjauhi prajurit-prajurit Demak yang bertempur dengan
semangat yang tinggi sebagai pengemban kewajibannya, melindungi ketenteraman
negara.
Sekali lagi
bulu tengkuk Mahesa Jenar rasa-rasanya tegak berdiri, ketika dilihatnya
bendera-bendara Tunggul Dahana, Sura Pati, Garuda Rekta dan Tunggul Mega tetap
berkibar dengan megahnya, memagari Sang Saka Gula Kelapa. Pasukan Demak yang
menyaksikan penyerang-penyerangnya berlari cerai berai, ternyata sama sekali tidak
berusaha untuk mengejar atau menghancurkan dengan senjata-senjata jarak jauh.
Tetapi ketika pertempuran itu telah reda segera pasukan Demak itu mengubah
gelarnya menjadi Gedong Minep kembali. Dan dalam gelar ini mereka akan
melanjutkan perjalanan kembali ke Demak. Beberapa orang dari prajurit Demak itu
segera merawat kawan-kawan mereka yang terluka, malahan ada beberapa
diantaranya yang gugur, untuk dibawa bersama-sama dengan mereka. Melihat
kenyataan itu, meskipun korban dari kedua belah pihak itu sama sekali tak
seimbang, tetapi terlukanya seorang saja dari prajurit Demak telah dapat
menjadi sebab murkanya Sultan Demak. Dan pasti Gajah Sora yang menjadi tempat
untuk menumpahkan segala kemurkaan itu. Mengenangkan hal itu jantung Mahesa
Jenar berdenyut semakin cepat. Dan karena kenangannya yang melambung itu
pulalah, maka ia menjadi lengah.
SEBENARNYA
Lembu Sora bukan pula orang yang dapat diremehkan. Bagaimanapun ia adalah putra
Ki Ageng Sora Dipayana, seperti juga Gajah Sora. Karena itu ia pun cukup mempunyai
kekuatan yang tidak dapat dianggap ringan. Ketika tekanan ujung keris Mahesa
Jenar tiba-tiba mengendor, tahulah Lembu Sora bahwa perhatian Mahesa Jenar
hampir seluruhnya tertuju kepada pasukan-pasukan di lembah. Entahlah, ia sedang
menekuri kekalahan pasukan gabungan itu, atau sedang berbangga hati karena
pasukan Demak masih tampak segar bugar, atau ia sedang mengenangkan nasib Gajah
Sora. Tetapi suatu kenyataan bahwa Mahesa Jenar telah meninggalkan sikap
hati-hati. Karena itu Lembu Sora ingin mempergunakan kesempatan ini
sebaik-baiknya. Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar sedang hanyut dalam arus
kenangannya yang mengawang, tiba-tiba Lembu Sora yang mempunyai kekuatan besar
sekali itu, menjatuhkan dirinya setelah dengan cepat sekali ia merenggut lengan
Mahesa Jenar yang melingkar di lehernya. Demikian ia berguling di tanah,
demikian kakinya menyambar perut Mahesa Jenar yang agak kurang bersiaga.
Demikian keras
tendangan Lembu Sora, juga karena Mahesa Jenar sama sekali tidak menduga bahwa
hal yang demikian akan terjadi, maka segera ia terdorong ke belakang beberapa
langkah. Hanya karena keuletan serta pengalamannya maka ia tidak sampai jatuh
terlentang. Meskipun mendadak, perut Mahesa Jenar terasa mual dan sakit, namun
ia segera dapat menguasai keseimbangannya kembali. Meskipun demikian hatinya
berguncang karena terkejut. Juga orang-orang yang menyaksikan peristiwa itu
menjadi terkejut pula, tetapi cepat mereka dapat menanggapi keadaan. Karena
itu, ketika mereka melihat Mahesa Jenar surut beberapa langkah, serta segera
dapat menguasai dirinya kembali, mereka tidak mau memberi kesempatan sama
sekali. Lebih-lebih Lawa Ijo yang tahu pasti sampai dimana kedahsyatan tangan
Mahesa Jenar. Maka sebelum Mahesa Jenar dapat menguasai diri sepenuhnya, Lawa
Ijo mendera kudanya, langsung menyerang Mahesa Jenar dengan tiba-tiba di
tangannya telah tergenggam sebilah pisau belati panjang yang putih mengkilap.
Tetapi ia menjadi gugup ketika dilihatnya, dalam sekejap Mahesa Jenar telah
berdiri dengan marahnya. Di atas satu kakinya, tangan kirinya menyilang dada
sedang tangan kananhya terangkat tinggi- tinggi. Lawa Ijo telah mengenal unsur
gerak Mahesa Jenar yang demikian itu. Maka ketika ia telah hampir sampai di
hadapan Mahesa Jenar, dengan kebingungan dan tanpa perhitungan ia meloncat dari
kudanya. Meskipun gerakannya itu sama sekali tak dihitungkan dengan saksama,
namun ia berhasil menyelamatkan nyawanya. Sebab pada saat itu benar-benar
karena marah yang tak tertahankan Mahesa Jenar telah memutuskan untuk melawan
orang-orang itu dengan Sasra Birawa yang menjadi andalannya. Tetapi pada saat
ia mengayunkan ilmunya, Lawa Ijo dengan gugup telah menjatuhkan dirinya,
sehingga tangannya tidak berhasil menghancurkan dada Lawa Ijo. Tetapi pukulan
Mahesa Jenar itu telah mengenai punggung kuda Lawa Ijo, yang kemudian dengan
dahsyatnya kuda itu memekik tinggi, tetapi sekejap kemudian seperti batu saja
jatuh terguling tak bernafas lagi. Tulang belakang kuda itu patah serta
beberapa tulang iganya remuk.
Melihat
kedahsyatan pukulan Mahesa Jenar, semua yang menyaksikan terguncang hatinya.
Namun tak ada pilihan lain dari mereka itu, kecuali melawan bersama-sama. Maka
dengan menggeram dahsyat Sima Rodra segera menyerang dengan tombak pusakanya
dan bersamaan dengan itu sepasang Uling Rawa Pening pun telah mengayunkan
cambuknya. Cepat Mahesa Jenar meloncat undur untuk menghindari tombak Sima
Rodra yang menyambar dengan dahsyatnya. Dan pada saat itu pula Lembu Sora telah
mencabut pedangnya yang berukuran luar biasa besarnya. Tetapi meskipun ia masih
belum berani mendekat. Baru ketika Lawa Ijo telah bersiaga pula, mereka
menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda-beda. Sebenarnya untuk menghadapi
sekian banyak tokoh-tokoh sakti itu Mahesa Jenar merasa bahwa tenaganya tidak
akan mencukupi. Tetapi apapun yang terjadi, pantang ia menghindari. Karena itu,
segera ia menghimpun segenap kekuatan yang ada padanya untuk dapat memberikan
perlawanan yang sebesar-besarnya. Dengan ayunan yang deras sekali, Lembu Sora
mengarahkan pedangnya ke leher Mahesa Jenar, dan bersamaan dengan itu pula Lawa
Ijo menusuk ke arah lambung, untuk menangkap gerakan Mahesa Jenar apabila ia
menghindari sambaran pedang Lembu Sora dengan merendahkan diri. Tetapi ternyata
Mahesa Jenar sama sekali tak menghindar dengan merendahkan diri, bahkan dengan
loncatan yang keras ia menerkam Lawa Ijo. Gerakan ini sangat mengejutkannya,
sehingga dengan cepat ia menarik pisaunya dan segera pisau itu dipergunakannya
untuk melindungi dirinya dengan gerakan-gerakan yang berputar. Tetapi Mahesa Jenar
pun segera mengurungkan serangannya.
Sementara itu
pedang Lembu Sora yang berat telah berdesing di belakang punggungnya. Cepat ia
memutar tubuhnya dan dengan dahsyatnya tangan Mahesa Jenar menyusul arah
gerakan pedang itu, dengan sisi telapak tangannya yang berlandaskan ilmunya
Sasra Birawa. Ternyata akibatnya adalah hebat sekali. Pedang Lembu Sora adalah
bukan pedang sewajarnya. Tetapi adalah pedang yang dibuat khusus untuknya,
dengan ukuran yang tidak lazim, serta dari baja pilihan. Tetapi demikian sisi
telapak tangan Mahesa Jenar menyentuh punggung pedang itu, terdengarlah
gemeretak pedang itu patah dan disusul dengan keluhan tertahan.
No comments:
Post a Comment