TERASA betapa nyerinya tangan Lembu Sora sampai pangkal pedang itu terlempar. Ia sama sekali tidak menduga bahwa kedahsyatan ilmu Sasra Birawa itu mampu mematahkan pedangnya. Ketika ia melihat kuda Lawa Ijo jatuh dan mati, ia masih belum begitu kagum, meskipun hal itu telah mengejutkannya pula. Apalagi ia tidak segera dapat menyaksikan bahwa pukulan Mahesa Jenar itu telah meremukkan tulang-tulang iga kuda itu.
Karena
terkejut, heran dan kagum campur-aduk, juga pada saat itu ia teringat ceritera
ayahnya tentang beberapa orang sahabatnya, diantaranya adalah Ki Ageng Pengging
Sepuh yang terkenal dengan ilmu Sasra Birawa, Lembu Sora menjadi seperti terpaku
di tempatnya. Kesempatan itulah yang akan dipergunakan oleh Mahesa Jenar. Ia
sudah tidak dapat memaafkan lagi kesalahan Lembu Sora yang sudah sampai hati
mengkhianati kakaknya. Maka segera ia bersiaga dan bersiap meloncat ke arah
Lembu Sora dengan pukulan mautnya. Tetapi keadaan segera berubah dan berselisih
dengan rencananya. Mahesa Jenar pernah melawan Wadas Gunung bersama dengan
kira-kira 20 orang sekaligus, dan dengan suatu keyakinan yang penuh ia akan
dapat mengalahkan mereka. Sekarang ia berhadapan tidak lebih dari 8 atau 9
orang. Tetapi mereka bukanlah Wadas Gunung, Carang Lampit, Cemara Aking,
Bagolan dan sebagainya. Mereka yang dihadapi sekarang adalah Lawa Ijo, Suami
Isteri Sima Rodra, Sepasang Uling dan Lembu Sora. Karena itu keadaannya akan
sangat jauh berbeda. Pada saat itu, pada saat ia telah mengambil suatu
kepastian akan dapat membalaskan sakit hati Gajah Sora, mendadak ketika ia
hampir meloncat, menyerbulah kuda Suami-Istri Soma Rodra seperti gila
menerjangnya. Dan bersamaan dengan itu pula meluncurlah dua buah sinar putih
dari tangan Lawa Ijo dan Wadas Gunung. Meskipun mereka tidak pernah bertempur
berpasangan, tetapi karena ilmu mereka cukup tinggi, mereka dengan mudahnya
saling menyesuaikan diri dan saling mengisi. Demikianlah Sima Rodra dan
sebagainya telah bekerja mati-matian untuk menyelamatkan Lembu Sora. Mengalami
serangan-serangan yang hampir bersamaan itu, Mahesa Jenar terpaksa mengurungkan
serangannya. Dengan merendahkan diri dan memutar tubuhnya sekaligus, ia
berhasil menghindari serangan dua pisau Lawa Ijo dan Wadas Gunung. Tetapi pada
saat itu kuda suami-istri Sima Rodra telah demikian dekatnya. Untuk
menghindarkan diri dari injakan kaki kedua ekor kuda itu, Mahesa Jenar terpaksa
berguling-guling beberapa kali.
Dengan gerakannya
itu, Mahesa Jenar berhasil menyelamatkan dirinya, tetapi serangan berikutnya
telah mendatanginya pula. Dengan cara yang sama dengan Sima Rodra, Uling dari
Rawa Pening menyerang berpasangan pula. Serangan itu tidak kurang hebatnya.
Ditambah lagi dengan sepasang cambuk yang berdesing-desing di udara. Agar tidak
terinjak oleh kaki-kaki kuda itu, Mahesa Jenar melenting jauh dan berusaha
untuk tegak di atas kedua kakinya. Tetapi malang bagi Mahesa Jenar. Ternyata ia
terlalu jauh meloncat, sehingga ketika ia tegak berdiri, ia telah berada tepat
di tepi jurang. Dan celakanya, tanah tempat ia berpijak itu runtuh. Seperti
terseret Mahesa Jenar dengan cepatnya meluncur ke dalam jurang yang sangat
dalam. Peristiwa itu sama sekali tak terduga oleh siapapun. Karena itu, mereka
yang menyaksikan jadi terperanjat. Serentak mereka berlarian ke tepi jurang itu
untuk melihat Mahesa Jenar tergulung ke bawah, dan sebentar kemudian hilang
ditelan semak-semak dan batang-batang ilalang yang tumbuh di tepi-tepi jurang
itu. Mahesa Jenar sendiri merasa, seolah-olah telah terhisap oleh suatu
kekuatan raksasa sehingga tidak ada kemungkinan untuk melawannya. Sesaat
setelah ia terguling, masih dilihatnya semua benda bergerak dengan cepatnya ke
atas, seolah-olah hendak terbang ke arah matahari yang dengan megahnya
mengapung di langit. Tetapi sesaat kemudian terasalah dirinya membentur sesuatu
yang sangat keras sehingga seolah-olah Mahesa Jenar terputar melintang dengan
kepala ke bawah. Sesaat kemudian ia menjadi sangat pening, pemandangannya
semakin kabur dan kabur. Akhirnya ia tidak tahu lagi apakah yang terjadi
seterusnya.
Lawan-lawan
Mahesa Jenar yang berada di atas jurang itu, setelah debar jantung mereka
tenang kembali, menjalarlah perasaan lega di dalam dada mereka. Sebab apabila
mereka terpaksa bertempur, meskipun mereka bekerja bersama, pasti akan jatuh
korban diantara mereka, sebelum mereka dapat bersama-sama membinasakan Mahesa
Jenar. Meskipun demikian, mereka merasa betapa panas hati mereka, karena dengan
tindakannya yang luar biasa itu, Mahesa Jenar telah menggagalkan maksud mereka
untuk menghancurkan tentara Demak, atau setidak-tidaknya membuat tentara itu
lumpuh, sehingga dengan demikian hukuman yang akan dijatuhkan kepada Gajah Sora
pasti sangat berat. Tetapi dengan serangan yang tak begitu berarti itu, masih
ada kemungkinan bagi Gajah Sora untuk mengelakkan diri, atau malahan diantara
para prajurit Demak itu dapat memberikan keterangan bahwa serangan itu bukan
dari Laskar Banyubiru. Tetapi bagaimanapun, usaha mereka ada juga hasilnya
meskipun hanya sedikit. Yang pasti adalah bahwa Gajah Sora untuk beberapa saat
tidak berada di Banyubiru. Keadaan ini pasti akan dapat dipergunakan sebagai
modal untuk melaksanakan rencana-rencana yang akan disusun kemudian. Karena
itu, ketika sudah tidak ada lagi yang akan mereka lakukan, serta mereka telah
yakin bahwa Mahesa Jenar tidak akan mungkin menyelamatkan diri dalam keadaan
yang demikian, maka segera mereka meninggalkan tempat itu. Selanjutnya mereka
menuju ke tempat yang telah mereka tentukan sebagai tempat berkumpul bagi
segenap laskar gabungan.
Namun
bagaimanapun, kata-kata Ular Laut dari Nusakambangan, Jaka Soka sebagai seorang
pemimpin Bajak Laut yang sangat ditakuti, membekas pula di dalam otak mereka.
Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten pasti akan menuntut kematian demi kematian,
sampai kedua pusaka itu jatuh ke tangan orang yang terkuat. Dan wajarlah
apabila orang yang terkuat itu kemudian dapat merajai golongannya. Demikianlah
hampir sepanjang jalan tak seorang pun dari mereka yang mengucapkan kata-kata.
Mereka sedang sibuk menaksir-naksir diri, menaksir-naksir kekuatan gerombolan
masing-masing serta orang-orang mereka yang dapat mereka percaya. Sebab,
akhirnya dalam tata pergaulan yang tak terikat oleh hukum itu, kekuatan jasmaniahlah
yang akan dapat menentukan siapakah yang berkuasa.
SEMENTARA itu,
Laskar Banyubiru yang menarik diri kembali, telah sampai di alun-alun
Banyubiru. Wanamerta, Panjawi, Arya Salaka dan beberapa pimpinan laskar yang
lain segera menghadap Nyai Ageng Gajah Sora dan menceriterakan apa yang telah
terjadi. Nyai Ageng mendengarkan cerita itu dengan berdiam dan menundukkan
kepala. Tetapi kemudian nampaklah butiran-butiran airmata setetes demi setetes
jatuh di pangkuannya. Sebenarnya ia adalah seorang wanita yang tabah, yang
sadar akan kedudukan suaminya sebagai seorang kepala daerah perdikan yang
sekaligus menjadi panglima laskarnya. Namun mengalami peristiwa kali ini, Nyai
Ageng Gajah Sora tidak dapat menahan airmatanya. Bahkan kemudian didekapnya
Arya Salaka, anak laki-laki satu-satunya, dan kemudian kepala anak itu
ditekankan ke dadanya seakan-akan tak ingin melepaskannya lagi. Maka setelah
cukup mereka memberikan laporan mereka, Wanamerta dan kawan-kawannya segera
mohon diri untuk memberikan beberapa keterangan kepada laskar Banyubiru yang
masih berkumpul di alun-alun, dan yang kemudian akan dibubarkan.
Tetapi dalam
keadaan ini Wanamerta sadar bahwa Banyubiru harus tetap mempertinggi
kewaspadaan, dan bahkan Wanamerta telah mengambil keputusan untuk mengadakan
persiapan yang lebih saksama dengan mengadakan latihan-latihan keprajuritan.
Sementara itu,
matahari tetap beredar dalam garis perjalanannya. Angin pegunungan yang sejuk
bertiup semakin sore semakin kencang, menggoyang pepohonan dan merontokkan
daun-daun kuning yang telah tidak dapat berpegangan lebih erat lagi.
Pada saat itu,
ketika Arya sedang duduk bertopang dagu di atas tangga pendapa rumahnya,
tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor kuda abu-abu lengkap dengan pelananya,
tetapi tanpa penunggangnya. Kuda itu berjalan perlahan-lahan memasuki halaman.
Arya kenal betul bahwa kuda itu adalah kuda yang dipergunakan oleh Mahesa
Jenar, karena itu segera ia berlari ke pintu gerbang untuk menengok apakah
Mahesa Jenar masih berada di luar halaman. Tetapi di luar gerbang itu sama
sekali tak ada seorangpun kecuali dua orang laskar yang sedang berkawal.
“Kau lihat
kuda ini, Kakang?” tanya Arya kepada salah seorang.
“Ya, aku
melihat,” jawab orang itu.
“Tanpa
penunggang?” tanya Arya lagi, menegaskan.
“Ya,” jawab
orang itu pula,
“Kuda itu
datang tanpa penunggangnya.”
Segera Arya
menjadi sangat cemas. Apakah yang telah terjadi dengan Mahesa Jenar? Segera ia
meloncat ke atas punggung kuda itu dan dilarikan ke arah timur untuk melihat
barangkali Mahesa Jenar langsung pergi ke mata air tempat ia biasa mandi.
Tetapi hatinya menjadi kecewa ketika di sanapun ia tidak melihat orang yang
dicarinya. Dengan perasaan yang semakin cemas segera Arya kembali ke pendapa.
Setelah itu ia meloncat turun, langsung berlari ke pringgitan, dimana Wanamerta
yang belum sampai hati meninggalkan rumah itu, sedang tidur untuk melepaskan
lelah.
“Eyang
Wanamerta…!” teriak Arya,
“Lihatlah ke
halaman”.
Wanamerta
terkejut mendengar Arya berteriak. Segera ia meloncat ke halaman dan apa yang
dilihatnya adalah seekor kuda abu-abu tanpa penunggang.
Wanamerta pun
kenal kuda itu, maka iapun menjadi terkejut dan kemudian cemas.
“Apakah kuda
ini datang tanpa penunggangnya?”
“Ya, Eyang,
jawab Arya. Kuda itu datang tanpa penunggang”.
“Dimanakah
Anakmas Mahesa Jenar?” gerutu Wanamerta seolah-olah kepada diri sendiri.
“Aku telah
mencarinya ke belik tempat Paman Mahesa Jenar sering mandi dan tidur di bawah
beringin di lereng sebelah, tetapi di sana Paman tidak ada,” sahut Arya.
Wajah
Wanamerta tampak berkerut-kerut. Ia agaknya sedang berpikir dan kecemasan.
Sesaat kemudian dipanggilnya pengawal gerbang.
“Panggil Adi
Pandan Kuning, Sawungrana, Bantaran serta Panjawi. Suruhlah mereka membawa anak
buah masing-masing 10 orang. Kami akan mencari Anakmas Mahesa Jenar. Mudah-mudahan
tidak ada apa-apa dengan anakmas itu,” perintahnya.
Yang
disuruhnya segera melangkah pergi dengan tergesa-gesa ke kandang kuda, dimana
kudanya ditambatkan. Dan sebentar kemudian orang itu telah meluncur di atas
punggung kudanya seperti dilemparkan.
Sebentar
kemudian orang-orang yang dipanggil itu telah lengkap berkumpul di pendapa.
Mereka mendengar keterangan singkat dari Wanamerta bahwa kuda abu-abu yang
dipergunakan Mahesa Jenar telah kembali tanpa penunggangnya. Karena itu
dicemaskan kalau Mahesa Jenar telah menemui sesuatu kecelakaan. Padahal
hadirnya Mahesa Jenar di Banyubiru pada saat itu, pada saat Ki Ageng Gajah Sora
tidak ada, sangat diperlukan untuk melindungi tanah perdikan yang sedang
kehilangan pemimpinnya, serta terancam bahaya dari segala penjuru. Setelah
mengadakan pembicaraan sebentar, maka dibagilah pekerjaan mereka. Bantaran dan
anakbuahnya tetap berada di halaman itu, Sawungrana menjadi penghubung di
antara halaman itu dengan rombongan pencari yang terdiri dari Wanamerta sendiri,
Pandan Kuning, Panjawi dan anak buahnya. Mereka masing-masing telah menyiapkan
alat-alat untuk mengirimkan tanda-tanda bahaya apabila setiap saat diperlukan.
Sementara itu para penjaga pun telah diperintahkan untuk memukul tanda supaya
setiap laskar Banyubiru tetap dalam keadaan siap.
Ketika segala
sesuatunya telah siap, maka segera rombongan itu berangkat, disusul dengan
rombongan Sawungrana dengan arah yang sama, tetapi dengan kecepatan yang lebih
kecil. Mereka pertama-tama menuju ke tempat mereka melihat Mahesa Jenar yang
terakhir kalinya, yaitu pada saat pasukan Banyubiru akan ditarik kembali dari
daerah pertempuran.
SAMPAI di
tempat itu segera beberapa orang berusaha untuk mendapatkan jejak kaki kuda.
Dan ketika jejak itu diketemukan maka mereka mencoba untuk mengikuti dengan
harapan dapat memecahkan teka-teki hilangnya Mahesa Jenar. Mudah-mudahan kuda
itu hanya nakal saja sehingga penunggangnya ditinggalnya lari, desis Wanamerta
perlahan-lahan. Tetapi nyata bahwa dibalik kata-katanya itu tersembunyi suatu
pergolakan perasaan yang dahsyat. Dengan tekunnya mereka mencoba untuk
mengikuti terus jejak seekor kuda yang mereka sangka adalah kuda yang dipakai
oleh Mahesa Jenar, sebab arah kuda ini berbeda dengan arah kuda-kuda yang lain
dari laskar Banyubiru. Kalau jejak kuda yang lain berjalan ke arah barat, maka
jejak yang seekor berjalan kearah timur.
Mereka
menemukan jejak ini berhenti di sebuah tempat yang agak tinggi, dan yang
kemudian melingkar menuju ke sebuah bukit di sebelah lembah. Tetapi mereka akhirnya
menemukan jejak itu terputus. Dan tahulah mereka bahwa kuda itu telah
ditambatkan di sebatang pohon. Dari tempat itu disebarlah beberapa orang untuk
menyelidik beberapa tempat dengan suatu harapan bahwa mereka akan menjumpai
Mahesa Jenar sedang mencari kudanya.
Tetapi yang
mereka jumpai adalah mengejutkan sekali. Beberapa orang yang tersebar itu ada
yang sampai pada bekas daerah pertempuran antara pasukan Demak dengan laskar
Lembu Sora. Di situ, mereka menemukan beberapa bekas darah, senjata senjata yang
tertinggal dan sebagainya. Sedang orang lain, yang juga mencari Mahesa Jenar
telah sampai di atas gundukan tanah, dan mereka pun menjumpai bekas-bekas
perkelahian. Seekor kuda ditemukan telah mati. Yaitu kuda Lawa Ijo yang telah
dibunuh oleh Mahesa Jenar dengan tangannya. Wanamerta mendengar semua laporan
itu dengan dahi yang berkerut-kerut. Otaknya berputar seperti baling-baling. Ia
tidak dapat mengambil kesimpulan apapun dari apa yang telah disaksikan oleh
anak buahnya. Tetapi yang pasti adalah keadaan telah menjadi semakin gawat. Dan
sesuatu dapat terjadi atas Banyubiru. Maka terlintaslah dalam angan-angannya
bahaya dari segala penjuru siap untuk menerkam tanah perdikan yang seolah-olah
sedang lumpuh itu. Setelah beberapa saat mereka tak mendapatkan suatu hasil
apapun, mereka segera kembali dengan hati gelisah.
Pada malam
hari itu juga beberapa pemimpin Banyubiru segera mengadakan pertemuan. Mereka
membicarakan segala segi yang mungkin terjadi pada keadaan seperti itu.
Akhirnya, setelah mereka membahas beberapa masalah, sampailah mereka pada suatu
keputusan, bahwa satu-satunya kemungkinan, apabila keadaan memaksa, mereka akan
minta bantuan kepada Ki Ageng Lembu Sora dari Pamingit. Sebab dalam
pertimbangan mereka, Ki Ageng Lembu Sora adalah adik Ki Ageng Gajah Sora.
Tetapi mereka sama sekali tidak tahu bahwa Lembu Sora sendiri ternyata memegang
peranan penting dalam kekisruhan-kekisruhan yang terjadi. Hilangnya Mahesa
Jenar, terutama bagi Arya Salaka, terasa menekan sekali dalam dadanya. Ia telah
kehilangan ayahnya, dan kemudian orang yang dipercaya oleh ayahnya untuk
mengasuh serta menjadi gurunya dalam olah kanuragan. Disamping itu Mahesa Jenar
adalah kawan bermain-main yang menyenangkan. Itulah sebabnya maka kemudian ia
menjadi pendiam dan selalu bermenung. Ibunya yang tidak kalah sedihnya, namun
yang selalu berusaha untuk menghiburnya, kadang-kadang menjadi sangat cemas
melihat perkembangan Arya dari hari ke hari. Ia lebih senang menyendiri dan
pergi ke tempat-tempat yang sepi. Kadang-kadang malahan ia sama sekali tidak
mau tidur di dalam rumah, tetapi untuk beberapa malam Arya Salaka tidur di
halaman belakang. Wanamerta, Panjawi dan lain-lainnya juga telah berusaha
sedapat-dapatnya untuk menggugah kegembiraan Arya, tetapi usaha mereka sama
sekali tak berhasil. Sehingga akhirnya mereka hanya dapat menyaksikan dengan
hati cemas atas sifat-sifat Arya yang telah berubah itu.
Dalam pada
itu, apa yang telah terjadi dengan Mahesa Jenar? Pada saat Mahesa Jenar
terpelanting ke dalam jurang, ia menjadi tidak sadarkan diri dan tidak tahu
apakah yang telah terjadi. Tetapi pada saat ia membuka matanya, ia telah berada
di dalam sebuah pondok yang kecil, beratap daun ilalang. Pada saat itu
kepalanya rasanya telah retak, dan perasaan nyeri telah menjalar ke seluruh tubuhnya.
Ketika Mahesa Jenar mencoba untuk bergerak, sendi-sendi tulangnya terasa sakit
bukan main. Akhirnya ia terpaksa mengurungkan niatnya untuk bergerak dan
bangun. Yang dapat dilakukannya pada saat itu hanyalah menggerakkan kepalanya
untuk melihat-lihat seluruh isi rumah itu. Tetapi di dalam rumah itu tak
dilihatnya barang apapun kecuali bale-bale tempat ia terbaring, paga bambu
dengan sebuah kendhi dan jlupak minyak di atasnya, cangkul di sudut, dan parang
pemotong kayu terselip di dinding. Beberapa saat kemudian, terdengarlah langkah
perlahan-lahan memasuki ruang itu. Dan muncullah dari pintu samping, seorang
tua yang rambutnya telah memutih, berdahi lebar dan berhidung besar. Wajahnya
tampak kasar dan terbakar oleh panas matahari. Tetapi mata orang itu
memancarkan sinar kejujuran dan kebaikan hatinya.
Ketika orang
itu melihat Mahesa Jenar telah membuka matanya, tampaklah ia tersenyum lebar.
“Nah, Angger…,
rupa-rupanya Angger telah sadar,” katanya.
SEGERA Mahesa
Jenar tahu bahwa orang itulah yang telah menemukan dan menolongnya pada saat ia
pingsan. Meskipun dengan masih agak sukar Mahesa Jenar menjawab perlahan.
“Ya bapak.”
Orang itu
mengangguk, lalu duduk dibale, sambungnya,
” jangan
angger bergerak dahulu. Biarlah kekuatan angger pulih.”
Mahesa Jenar
tidak menjawab. Tetapi ia mencoba menganggukkan kepalanya. Dan sekali lagi
orang tua itu tersenyum lebar.
Mahesa Jenar
mencoba mengamati orang itu lebih seksama. Kecuali berdahi lebar dan berhidung
lebar, memang orang itu sama sekali tidak tampan. Tetapi tubuhnya adalah tubuh
idaman bagi setiap lelaki. Mungkin karena ia harus bekerja keras untuk
mencukupi kebutuhannya setiap hari, maka badannya masih tampak segar dan kuat.
Ototnya kokoh menjalar hampir keseluruh bagian tubuhnya. Orang tua itu meskipun
tidak begitu tinggi, tetapi tidak pula pendek.
Rupanya orang
itu sadar ia sedang diamati. Kembali senyumnya yang lebar menghiasi bibirnya.
“Adakah
sesuatu yang aneh pada diriku?.”
Mahesa Jenar
terkejut mendengar pertanyaan orang itu. Karena itu ia segera dengan
perlahan-lahan menggelengkan kepala.
“Angger..,”
sambung orang tua itu,
“usahakanlah
supaya angger dapat tidur. Jangan berfikir hal yang dapat mengganggu
ketentraman perasaan angger. Di sini angger dapat beristirahat seenaknya, sebab
tidak ada orang lain yang tinggal di sini kecuali aku seorang diri.”
Kembali Mahesa
Jenar mencoba mengangguk.
“Bagus,” orang
tua itu melanjutkan,
“tidurlah.
Atau barangkali angger mau minum.”
Belum lagi
Mahesa Jenar menjawab, orang itu telah melangkah keluar rumah menyambar kendi
di atas pagar, dan sebentar lagi ia telah masuk kembali. Dengan perlahan dan
sangat cermat ia menuangkan air kendi kedalam mulut Mahesa Jenar. Sebenarnya
memang leher Mahesa Jenar terasa kering sekali. Seakan-akan sisi lehernya telah
lekat menjadi satu. Dengan air yang dituangkan kedalam mulutnya, maka lehernya
terasa menjadi sejuk. Bahkan seluruh tubuhnya menjadi segar.
Meskipun
demikian ia masih belum mampu untuk bangun.
“Jangan coba
untuk bangun dahulu,” orang tua itu melarangnya.
“Tidurlah. Aku
akan mencari kayu, merebus air, barangkali angger suka air jeruk.”
Sesudah
berkata demikian orang itu segera melangkah pergi. dan tinggallah Mahesa Jenar
seorang diri, berbaring di dalam ruangan kecil yang kosong itu. Otaknya yang
telah dapat bekerja dengan wajar, sedikit demi sedikit dapat mengenal kembali
apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia merasa bersyukur bahwa ia tidak lumat
terbanting ke dalam jurang. Sebab kalau tidak ia pasti sudah binasa. Sebab
bagaimanapun dahsyatnya kekuatan Sasra Birawa yang dimilikinya, namun untuk
melawan tujuh orang sekaligus, agaknya ada diluar batas kemampuannya. Kemudian
oleh angin yang menghembus lewat pintu disamping tempat berbaring Mahesa Jenar,
serta tubuhnya yang terasa sudah agak segar, maka Mahesa Jenar akhirnya jatuh
tertidur. Ketika ia terbangun, dilihatnya orang tua itu telah duduk
disampingnya. Tangannya memegang seberkas lontar. Tanpa menoleh kepada Mahesa
Jenar orang tua itu mulai membaca naskah yang tertulis didalam lontar itu. Maka
segera menggemalah lagu bait demi bait dari kidung yang berisikan sebuah cerita
yang agaknya menarik hati. Pada saat itu tubuh Mahesa Jenar telah mulai terasa
agak kuat. Karena itu ia telah dapat berusaha untuk duduk di belakang orang tua
yang sedang membaca lontar itu, yang seakan-akan tidak memperhatikannya. Bait
pertama dari cerita itu menggambarkan tentang dua orang sahabat yang pergi
merantau untuk berguru kepada seorang sakti. Meskipun kedua orang itu hanyalah
sahabat saja, namun mereka telah merasa dirinya lebih dari dua orang
bersaudara. Karena itu apapun yang terjadi selalu mereka tanggung bersama.
Akhirnya
sampailah mereka kesuatu lembah yang amat sepi. Lembah yang sama sekali tak
pernah disentuh oleh kaki manusia. Di sana dijumpainya seorang petapa yang
telah menjauhkan diri dari kehidupan. Ia hanya tinggal mengabdikan sisa
hidupnya untuk menyembah Yang Maha Agung. Kedua orang sahabat itu kemudian
menyerahkan hidup matinya kepada sang petapa sakti. Petapa yang telah
menjauhkan diri dari kesibukan manusia itu semula ragu. Tetapi karena kesadaran
akan pembinaan kebajikan, akhirnya kedua orang itu diterima menjadi muridnya.
Diajarinya mereka berdua tentang berbagai ilmu lahir dan batin. Jaya Kawijayan
dan olah kanuragan sehingga kedua sahabat itu kemudian menjadi dua orang yang
gagah perkasa. Petapa sakti itu mengharap agar kedua pemuda itudapat
melanjutkan dharma bhaktinya kepada tata pergaulan manusia membina kebajikan
dan memusnahkan kejahatan. Adapun petapa sakti itu, tak seorangpun yang pernah
mengenal wajahnya, serta nama yang sebenarnya. Sebab ia selalu memakai topeng
yang sangat kasar buatannya, berjubah abu-abu dan menyebut dirinya
Pasingsingan. Mendengar nama Pasingsingan disebutkan, Mahesa Jenar terkejut
bukan main. Tanpa disengaja ia mengulangi nama itu sampai orang itu terkejut
dan berhenti.
PERLAHAN-LAHAN
ia menoleh kepada Mahesa Jenar, dan ketika ia melihat Mahesa Jenar duduk di
belakangnya, lagi-lagi orang itu tersenyum lebar.
“Rupanya
Angger telah berangsur baik, dan telah dapat duduk pula, ” katanya.
“Begitulah,
Bapak,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi
agaknya, adakah yang menarik perhatian Angger dalam ceritera ini?” tanya
orangtua itu kemudian.
Tetapi ketika
Mahesa Jenar akan menjawab terdengar orang itu melanjutkan,
“Aku pernah
mendengar kata orang bahwa lagu dapat dipergunakan untuk banyak tujuan. Dalam
peperangan, lagu dapat membangkitkan semangat bertempur dan berkorban. Seorang
prajurit yang telah kehilangan semangat, akan bangkit keberaniannya apabila ia
mendengar sangkakala dalam irama yang menggelora. Sebaliknya, lagu akan sangat
berguna pula dalam waktu bercinta.”
Orang itu
berhenti berbicara. Kemudian terdengarlah ia tertawa berderai.
“Anakmas pasti
pernah bercinta,” katanya tiba-tiba.
Perkataan itu
mengejutkan Mahesa Jenar. Tanpa disengaja ia menggelengkan kepala. Melihat
Mahesa Jenar menggeleng, orangtua itu mengerutkan keningnya, dan dengan nada
keheranan ia bertanya,
“Angger belum
pernah bercinta?”
Mahesa Jenar
menjadi semakin gelisah oleh pertanyaan itu. Tetapi sekali lagi tanpa disengaja
ia menggelengkan kepalanya pula. Orangtua itu kemudian mengangguk-angguk. Lalu
katanya,
“Baiklah aku
berkata tentang masalah yang lain.”
Ia berhenti
sebentar, lalu sambungnya,
“Kata orang,
lagu dapat pula menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit. Nah, tadi aku mencoba
untuk mengurangi rasa sakit yang sedang Angger derita, meskipun suaraku sama
sekali tak merdu dan lagunya pun barangkali banyak yang salah.”
“Terima kasih,
Bapak,” sahut Mahesa Jenar.
“Mungkin
karena lagu itu pula aku jadi berangsur baik. Tetapi isi ceritera yang Bapak
lagukan itu pun sangat menarik perhatianku”.
“Angger juga
tertarik pada ceritera-cerita semacam itu?” katanya pula.
“Kalau begitu
kita mempunyai persamaan kesenangan. Tetapi, sampai sekarang aku masih belum
mengenal siapakah Angger ini sebenarnya?”
Oleh
pertanyaan orangtua itu, barulah Mahesa Jenar menyadari kekakuan hubungannya
dengan orang itu. Sebab masing-masing masih belum saling mengenal namanya.
Karena itu, ketika orangtua itu menanyakan namanya, segera dijawabnya.
“Namaku Mahesa
Jenar, Bapak…, dan siapakah Bapak ini pula?”
“Akh, aku
adalah orang yang sama sekali tak berarti. Tetapi meskipun demikian, baiklah
Angger mengenal namaku.”
Ia berhenti
sebentar untuk menarik nafas, kemudian melanjutkan,
“Namaku adalah
Ki Paniling”.
Mahesa Jenar
menganggukkan kepalanya sambil mengulangi nama itu. Kemudian ia bertanya pula,
“Ceritera yang
Bapak baca sangat menarik perhatianku. Dari manakah ceritera itu Bapak
dapatkan?”
Kening
orangtua itu berkerut kembali. Agaknya ia sedang mengingat-ingat. Tetapi
kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia menjawab,
“Aku tidak
ingat lagi Angger, di mana dan kapan aku mendapatkan naskah itu. Tetapi aku
kira itu adalah salinan dari naskah-naskah yang ada di mana-mana. Jadi bukanlah
berisikan suatu ceritera yang sedemikian menarik perhatian.”
Bagaimanapun,
keinginan Mahesa Jenar untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang isi naskah
itu, yang telah menyebut-nyebut nama Pasingsingan, namun ia selalu berusaha
untuk menguasai diri. Sebab ia masih belum tahu benar dengan siapakah ia
berhadapan. Meskipun menilik sikap, kesederhanaan, cara berpikir serta hal-hal
lain, orang itu bukanlah orang jahat, namun ia tidak dapat meninggalkan sikap
hati-hati.
“Masih
panjangkah ceritera itu?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Tidak,” jawab
Ki Paniling,
“Angger ingin
membaca sendiri?”
Mahesa Jenar
menganggukkan kepalanya. Ki Paniling kemudian menyerahkan lontar yang dibacanya
itu kepada Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar kemudian menjadi kecewa ketika
kelanjutan dari ceritera itu hanyalah tinggal beberapa bait saja, yang
menceriterakan tentang keperkasaan dua orang murid Pasingsingan yang
seakan-akan dapat terbang seperti burung rajawali. Adapun nama dari kedua orang
itu, yang dianggap lebih tua karena memiliki beberapa kelebihan adalah Radite,
sedang yang muda disebut Anggara.
“Tidakkah
Bapak mempunyai kelanjutan ceritera ini?” tanya Mahesa Jenar dengan penuh
keinginan untuk mengetahui.
Orangtua itu
mengangguk-angguk sejenak, lalu berkata,
“Menurut
ingatanku, aku ada mempunyai tiga jilid dari naskah itu. Tetapi cobalah nanti
Bapak cari, barangkali sedang dipinjam orang selagi mereka punya keperluan”.
Kemudian
orangtua itu berdiri, sambil melangkahkan kaki ke luar ia berkata,
“Istirahatlah
Angger. Bapak akan mencari jilid kedua dan ketiga dari kitab itu”.
Lalu hilanglah
orangtua itu di balik pintu.
Mahesa Jenar
heran mendengar kata-kata Ki Paniling. Kemanakah ia akan mencari kedua jilid
yang lain? Adakah di sekitar rumah ini? Atau rumah-rumah orang lain?
Tiba-tiba
timbullah keinginannya untuk mengetahui keadaan di sekeliling tempat itu.
Perlahan-lahan Mahesa Jenar mengingsar tubuhnya ke tepi tempat pembaringannya.
Ketika dirasa bahwa tulang-tulangnya telah tidak begitu nyeri lagi, maka dengan
sangat hati-hati ia mencoba berdiri. Ia merasa gembira sekali, bahwa agaknya
kekuatannya telah berangsur-angsur menjadi baik dan ia sudah tidak merasakan
kesulitan apa-apa untuk berjalan. Karena itu perlahan-lahan dan hati-hati
Mahesa Jenar melangkah ke luar rumah. Ia menjadi agak bingung ketika sampai di
halaman. Ia tidak dapat lagi mengetahui dengan pasti, di manakah utara dan di
mana selatan.
KETIKA
memandang ke arah matahari terbit, Mahesa Jenar juga agak keheran-heranan. Ia
dapat memastikan bahwa pada saat itu hari masih pagi. Kalau demikian maka ia
telah melampaui satu malam berada di dalam pondok Ki Paniling. Kemudian dengan
tubuh yang masih belum sehat benar, Mahesa Jenar melangkah lebih jauh lagi. Ia
semakin bertambah heran ketika di depan halaman Ki Paniling itu terdapat sebuah
jalur desa. Maka keinginannya untuk mengetahui keadaan di sekitarnya menjadi
semakin besar. Setapak demi setapak Mahesa Jenar melangkah menuruti jalan kecil
itu, sehingga kemudian barulah ia percaya bahwa sebenarnya ia telah dirawat
oleh seorang yang sama sekali bukan orang yang terasing, tetapi orang biasa.
Mungkin seorang petani miskin yang tinggal di dalam sebuah kampung kecil
bersama-sama dengan orang-orang miskin lainnya. Tetapi disamping itu, timbullah
suatu masalah lain di dalam kepalanya. Mahesa Jenar ingat betul bahwa ia telah
terperosok ke dalam jurang yang dalam. Apa yang diketahuinya, daerah itu daerah
pegunungan yang berhutan dan bersemak-semak. Jadi tidaklah mungkin bahwa ia
telah menggelinding sampai tempat yang didiami oleh manusia.
Memang mungkin
pada saat itu Ki Paniling sedang mencari kayu, misalnya, lalu menemukannya.
Tetapi membawa seseorang sebesar dirinya di tempat yang bergunung-gunung dan
bertebing-tebing curam adalah sangat sulit. Sedang daerah ini adalah suatu
dataran yang rata, meskipun masih juga dikitari hutan dan pegunungan. Dengan
demikian maka pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar menjadi semakin berbelit-belit
di kepalanya. Setelah Mahesa Jenar berjalan beberapa jauh, terasa kakinya amat
penat. Kekuatannya baru sebagian kecil saja yang dimilikinya kembali. Karena
itu ia berhasrat kembali saja ke rumah Ki Paniling. Tetapi baru saja ia memutar
tubuhnya, tiba-tiba terdengarlah suara ramah,
“Adi Darba,
itulah kemanakanku yang baru datang kemarin siang.”
Segera Mahesa
Jenar memandang ke arah suara itu. Dilihatnya Ki Paniling sedang bercakap-cakap
dengan seorang petani lain, seorang yang bertubuh agak kekurus-kurusan. Dan
seperti kebiasaan para petani, wajahnya memancarkan isi dadanya dengan terbuka.
Orang yang dipanggil Darba itu kemudian tertawa. Tertawanya terdengar seperti
suara air yang memancar dari mata airnya. Bersih dan tanpa maksud-maksud yang
tidak wajar.
“Kemenakanmu
tampak begitu tampan dan gagah, Kakang Paniling, aku jadi agak heran,” katanya
dengan jujur.
Ki Paniling
tersenyum lebar.
“Aku tidak
tahu, bagaimana aku dapat mempunyai kemenakan segagah dia,” jawabnya.
Kemudian kedua
orang itu sama-sama tertawa. Mau tidak mau Mahesa Jenar berusaha untuk tertawa
pula, serta mengangguk hormat kepada mereka.
“Mahesa
Jenar…,” kata Paniling, yang memanggilnya tanpa sebutan seperti lazimnya orang
memanggil kemenakannya.
“Inilah
pamanmu Darba. Ia termasuk salah seorang cikal bakal kampung ini sesudah aku.
Sebab akulah yang tertua yang datang di sini, kemudian beberapa orang
berturut-turut ikut serta menebas hutan dan membangun perkampungan kita ini.
Bukan begitu Darba?”
Darba tertawa
kembali.
“Pasti aku
harus membenarkan katamu. Sebab tak seorangpun yang akan menyangkal bahwa
kaulah yang datang pertama kali di daerah ini”.
Mendengar jawaban
kawannya itu, kembali bibir-bibir tebal di bawah hidung Ki Paniling yang besar
itu bergerak-gerak dan tersenyum lebar.
“Sekarang,
singgahlah sebentar, Darba,” ajak Paniling.
“Terimakasih.
Masih banyak yang akan aku kerjakan pagi ini. Mengairi sawah dan memasak gula,”
jawab Darba.
“Aku juga
masih nderes tiga pohon lagi”.
“Bagus,” sahut
Paniling.
“Kalau masak,
gulamu nanti antarlah kami buat minum air jahe”.
“Tentu,
tentu…” potong Darba, yang lalu melangkah pergi setelah mengangguk kepada
Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar
melihat keakraban pergaulan dalam hidup sederhana itu dengan perhatian yang
luar biasa. Alangkah jauh bedanya dengan pergaulan orang-orang kota yang banyak
dibumbui oleh sikap berpura-pura.
Setelah petani
yang bernama Darba itu hilang di kelokan jalan, segera Ki Paniling melangkah
mendekati Mahesa Jenar sambil berkata gembira,
”Rupanya
angger telah banyak mendapat kemajuan. Sukurlah kalau Angger telah dapat
berjalan-jalan. Maafkanlah kalau aku terpaksa menyebut Angger sebagai
kemenakanku. Hal itu hanya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tak
perlu. Sebab di padepokan kecil ini segala sesuatu yang tak berarti dapat saja
menjadi peristiwa yang besar”.
“Tak apalah,
Bapak,” jawab Mahesa Jenar.
“Mana saja
yang baik untuk Bapak, akan baik pula untukku.”
“Bagus,
bagus…” sahut Ki Paniling,
“Sekarang
marilah kita pulang, Angger masih jangan terlalu banyak bergerak”.
Mahesa Jenar
tidak menjawab, tetapi segera ia melangkah mengikuti Ki Paniling. Sebentar
kemudian mereka telah sampai ke pondok Ki Paniling. Mahesa Jenar langsung
dipersilakan berbaring untuk memulihkan kekuatannya, sedang Ki Paniling segera
menyalakan api serta mengupas jagung.
Kembali terasa
angin yang semilir mengusap tubuh Mahesa Jenar. Dan karena kesegaran dan
kepenatan yang bercampur-baur, akhirnya sekali lagi Mahesa Jenar jatuh
tertidur. Mahesa Jenar terbangun ketika didengarnya hiruk-pikuk di halaman.
Meskipun tubuhnya belum pulih sepenuhnya, tetapi untuk menjaga diri segera ia
bangkit, dan memperhatikan keadaan dengan saksama. Di luar, didengarnya
beberapa suara orang laki-laki menyebut-nyebut namanya. Tetapi kemudian ia
menjadi tersenyum sendiri, namun juga dihinggapi oleh perasaan gelisah.
ORANG-ORANG
itu ternyata adalah sahabat-sahabat Ki Paniling yang telah mendengar kabar
bahwa kemenakannya datang mengunjungi kampung mereka yang kecil dan terpencil
ini. Karena itulah mereka memerlukan datang untuk mengucapkan selamat datang
serta menyampaikan salam perkenalan. Ki Paniling sendiri agaknya menjadi
kerepotan untuk memberi penjelasan kepada sahabat-sahabatnya, tentang
kemenakannya. Tetapi rupanya ia cerdik juga. Supaya tidak ada salah keterangan
dengan Mahesa Jenar, sengaja ia berbicara keras-keras dengan harapan bahwa
dongengannya itu didengar pula oleh Mahesa Jenar.
“Adik-adik
sekalian, kemenakanku ini datang dari daerah yang jauh sekali. Ia pada
saat-saat yang lampau telah pergi merantau hampir ke seluruh sudut bumi. Yang
terakhir ia mengabdikan dirinya di pusat kerajaan. Yaitu pada Sultan Demak. Di
sana ia menjadi seorang prajurit yang gemblengan,” kata Ki Paniling.
Kemudian
terdengar suara orang-orang itu bergumam. Agaknya mereka menyatakan perasaan
kagum terhadap salah seorang prajurit kerajaan yang sudi berkunjung ke kampung
kecil itu. Malahan seorang diantaranya berkata,
“Anehlah kau
Bapak Paniling. Kenapa kau mempunyai kemenakan yang menjabat sebagai prajurit
Demak, tetapi kau hidup miskin bersama-sama dengan kami di sini?”
Mendengar
pertanyaan itu, terdengar Ki Paniling tertawa.
“Yang menjadi
prajurit bukanlah aku, tetapi kemenakanku.”
“Kalau begitu
banyaklah yang sudah dilihatnya,” kata yang lain,
“Dapatkah
kiranya kita mendengar ceriteranya?”
“Tentu,
tentu…, apabila ia sudah bangun,” jawab Ki Paniling.
“Tetapi jangan
tanyakan tentang kedudukannya sebagai prajurit, sebab ia telah mengundurkan
diri”.
“Mengundurkan
diri?” tanya mereka hampir berbareng.
“Ya,” jawab
Paniling.
“Kenapa?”
tanya mereka kembali.
Paniling diam
sejenak. Baru kemudian ia dapat menjawab,
“Sampai hal
yang sekecil-kecilnya kalian ingin tahu?
“Itu bukan
kecil soalnya,” jawab salah seorang,
“Tetapi adalah
masalah yang besar. Seorang prajurit bagi kami adalah seorang yang luar biasa.
Kalau sampai ia mengundurkan diri, pasti ada hal-hal yang luar biasa”.
Kembali
terdengar Paniling tertawa.
“Otakmu
mengkilap seperti batu akik. Bagus, kau takut kalau kemenakanku itu menjadi
buruan, atau dipecat karena kejahatan? Bagus, dengarlah, ia mengundurkan diri
karena perbedaan pokok mengenai kepercayaan. Ia tidak mau menentang kawan-kawan
seperjuangannya dalam satu pertentangan jasmaniah. Karena itu lebih baik ia
mengundurkan diri, meskipun dengan demikian bukan berarti masa kebaktiannya
terhenti pula. Ia tetap berjuang untuk kesejahteraan kawula Demak,” kata
Paniling.
Kemudian
terdengarlah orang-orang di luar rumah itu bergumam puas. Tetapi tidak
demikianlah perasaan Mahesa Jenar yang justru menjadi bergolak hebat.
Keterangan Ki Paniling itu bagi Mahesa Jenar bukanlah sekadar kebetulan
semata-mata. Tetapi adalah suatu ceritera yang tepat seperti apa yang
dialaminya. Karena itu dadanya jadi bergoncang.
Bersamaan
dengan itu muncullah sebuah kepala di ambang pintu. Sedemikian tiba-tiba
sehingga Mahesa Jenar menjadi terkejut. Hampir saja ia meloncat menangkapnya,
tetapi untunglah dalam sekejap kepala itu telah lenyap kembali disusul dengan
suara seseorang,
“Kakang
Paniling, kemenakanmu telah bangun”.
“He….” jawab
Paniling,
”Bagus, kalau
begitu kalian dapat menemuinya, tetapi jangan lupa kepada pesan-pesanku”.
Sesaat
kemudian beberapa orang telah melangkah masuk. Salah satu diantaranya segera
membentangkan sebuah tikar pandan yang kasar, dan di atas tikar itulah segera
mereka duduk. Mau tidak mau Mahesa Jenar harus duduk pula di atas tikar pandan
itu. Meskipun demikian ia tidak dapat meninggalkan kewaspadaan, meskipun hanya sekejap.
Ia tidak tahu jenis sarang apa pula yang sekarang sedang dimasukinya. Maka
mulailah sahabat-sahabat Paniling saling berebutan memperkenalkan diri mereka
serta bertanya-tanya. Bertanya tentang hal-hal yang kadang-kadang menggelikan
bagi Mahesa Jenar. Dengan memperhatikan pertanyaan-pertanyaan itu, sebenarnya
Mahesa Jenar dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka benar-benar petani-petani
miskin yang sebagian besar masih sangat rendah pengetahuannya. Memang ada satu
dua diantaranya yang pernah pula merantau, tetapi pengalaman yang didapatnya
pun sama sekali tak berarti. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil kesimpulan, bahwa
yang sebenarnya kurang wajar adalah Ki Paniling sendiri. Memang sejak semula ia
telah bertanya-tanya dalam hati tentang orang ini. Bagaimana ia dapat sampai ke
pondoknya, dan bagaimana ia sengaja menyebut-nyebut Pasingsingan, lagi pula ia
dapat menebak dengan tepat tentang dirinya, bahkan tentang kedudukannya sebagai
bekas prajurit pun diketahuinya. Karena itu ia menjadi gelisah. Untunglah bahwa
pertemuan itu tidak berlangsung terlalu lama.
SETELAH
matahari sampai pada titik puncaknya, segera mereka mohon diri, pulang ke rumah
masing-masing. Yang terakhir meninggalkan ruangan itu adalah Darba. Dengan
tertawa pendek ia berkata,
“Mahesa Jenar,
datanglah sekali-sekali ke pondokku meskipun tidak lebih baik dari pondok ini.
Aku juga hidup seperti pamanmu, Paniling. Berbeda dengan orang lain di sini
yang hidup berkeluarga, dengan anak-istri. Tetapi kami, aku dan pamanmu, hidup
sebatang kara”.
“Baiklah,”
Paman, jawab Mahesa Jenar mengangguk.
Mata Mahesa
Jenar yang tajam menangkap sinar yang gemerlapan dalam mata petani yang
kekurus-kurusan itu. Sinar itu bukanlah sinar mata seorang petani miskin.
Rupanya dua orang ini harus mendapat perhatian sepenuhnya. Tetapi Mahesa Jenar
pun adalah orang yang berotak cemerlang. Karena itu segala sesuatu
diperhitungkannya dengan cermat. Juga terhadap kedua orang ini, ia bersikap
sangat hati-hati. Sebenarnya Mahesa Jenar sama sekali tidak mempunyai prasangka
yang jelek terhadap Paniling maupun Darba. Sebab cahaya mata mereka serta
pancaran wajah mereka sama sekali tidak menunjukkan sesuatu kepalsuan. Tetapi
meskipun demikian ia memperhitungkan pula kemungkinan-kemungkinan yang
sebaliknya. Malahan kadang-kadang timbul dugaannya, apakah salah seorang
diantaranya itu adalah Pasingsingan?
Setelah semua
orang, juga Darba telah meninggalkan rumah itu, segera Paniling menyodorkan
beberapa jagung rebus beserta gula kelapa yang masih baru kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar yang memang merasa lapar segera menerimanya dan dengan lahapnya ia
menghabiskan bagiannya. Setelah itu tidak banyak yang mereka percakapkan.
Apalagi Paniling segera pergi ke kebun untuk menyiangi tanaman-tanamannya. Baru
ketika matahari telah hilang di balik batas antara siang dan malam, serta
Paniling telah menyalakan oncor jarak, mereka duduk di atas satu-satunya tempat
pembaringan yang ada di dalam ruang itu. Tiba-tiba tanpa ditanya Paniling
berkata tentang kitabnya,
”Angger,
ternyata kedua jilid dari kitab itu belum aku ketemukan. Aku tanyakan ke
sana-ke mari, agaknya belum aku jumpai siapakah yang telah meminjamnya. Apakah
Anakmas tertarik sekali dengan ceritera itu?
Mahesa Jenar
menjadi agak kebingungan menjawab pertanyaan itu. Namun demikian katanya,
“Aku sangat
tertarik kepada ceriteranya, Bapak”.
Paniling
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ceriteranya
memang menarik. Tetapi ceritera itu adalah ceritera biasa saja sebenarnya,”
sambung Paniling.
“Ya, jawab
Mahesa Jenar tiba-tiba. Ia sedang mencoba untuk memancing pikiran orang tua
itu.
“Aku juga
pernah mendengar ceritera yang hampir sama,” katanya.
Orang itu
tampak agak terkejut, tetapi sebentar kemudian kesan itu telah hilang kembali.
Malahan ia tersenyum sambil menjawab,
”Angger juga
pernah mendengar? Di mana…?”
“Di
Banyubiru,” sahut Mahesa Jenar.
“Banyubiru…?
Dekat Rawa Pening?” tanya Paniling.
“Ya, kenapa?”
tanya Mahesa Jenar pula.
“Akh, ceritera
itu sampai tersiar demikian jauhnya,” jawab Paniling.
“Demikian
jauhnya?” Mahesa Jenar yang sekarang keheranan.
Ki Paniling
kembali mengernyitkan alisnya. Dan kembali pula ia tersenyum lebar.
“Bukan jauh
sekali,” katanya kemudian,
“Tetapi buat
ceritera yang tak berharga itu, adalah suatu kehormatan besar apabila sampai
tersiar ke daerah-daerah yang agak jauh”.
Terasa bagi
Mahesa Jenar ada sesuatu yang dapat ditangkapnya dari kata-kata Paniling,
karena itu segera ia menyahut,
“Kalau
ceritera itu sampai di sini, bukankah telah tersebar ke tempat yang lebih jauh
lagi?”
Paniling
terkejut mendengar jawaban Mahesa Jenar. Tetapi hanya sekejap, karena hanya
sesaat kemudian ia telah tertawa sambil berkata,
“Mungkin,
mungkin Angger benar”.
Mahesa Jenar
tidak mau melepaskan kesempatan itu lagi, karena itu ia ingin mendesak lebih
lanjut.
“Ki Paniling,
aku juga pernah mendengar ceritera tentang Pasingsingan itu di Banyubiru.
Cobalah Ki Paniling sudi mendengarkan ceritera yang aku dengar itu untuk
diperbandingkan dengan kelanjutan dari ceritera Ki Paniling yang tercecer, dari
kitab jilid 2 dan 3. Adakah persamaannya ataukah hanya persamaan nama melulu”.
Mahesa Jenar
melihat orang tua itu menjadi agak gelisah, tetapi ia tidak mau kehilangan
kemungkinan untuk menyentuh-nyentuh perasaan Ki Paniling yang paling dalam.
Dengan demikian ia akan segera tahu dengan siapa ia berhadapan. Dengan kawan
atau lawan. Maka segera Mahesa Jenar melanjutkan,
“Menurut
ceritera yang tersebar luas di Banyubiru, tidak saja yang tertulis di
lontar-lontar, tetapi bahkan telah menjadi ceritera rakyat yang tersebar dari
mulut kemulut, mengatakan bahwa Pasingsingan sama sekali bukanlah seorang yang
baik hati, bukan seorang yang pasrah diri kepada Yang Maha Agung, ia sama
sekali tidak mengagungkan kebajikan, apalagi mempunyai dua orang murid yang
bernama Radite dan Anggara. Tetapi Pasingsingan adalah orang yang sama sekali
berlawanan dengan sifat-sifat itu. Ia mempunyai murid-murid yang sama jahatnya
dengan dirinya sendiri, yang menamakan dirinya sebagai nama pahlawan, yaitu
Lawa Ijo, Wadas Gunung dan Watu Gunung. Yang sama dengan ceritera Bapak adalah
bahwa Pasingsingan itu memang sakti, namun ia telah mempergunakan kesaktiannya
untuk kejahatan, merampok, membunuh, merampas isteri orang, me….”
“Bohong!”
tiba-tiba Paniling berteriak keras. Wajahnya jadi tegang dan merah. Mahesa
Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Cepat ia hendak bangkit ketika
dilihatnya wajah Paniling menyala. Mahesa Jenar sadar bahwa hal yang tak
dikehendaki bisa terjadi. Karena itu ia cukup waspada.
No comments:
Post a Comment