Bagian 023


TERASA betapa nyerinya tangan Lembu Sora sampai pangkal pedang itu terlempar. Ia sama sekali tidak menduga bahwa kedahsyatan ilmu Sasra Birawa itu mampu mematahkan pedangnya. Ketika ia melihat kuda Lawa Ijo jatuh dan mati, ia masih belum begitu kagum, meskipun hal itu telah mengejutkannya pula. Apalagi ia tidak segera dapat menyaksikan bahwa pukulan Mahesa Jenar itu telah meremukkan tulang-tulang iga kuda itu.

Karena terkejut, heran dan kagum campur-aduk, juga pada saat itu ia teringat ceritera ayahnya tentang beberapa orang sahabatnya, diantaranya adalah Ki Ageng Pengging Sepuh yang terkenal dengan ilmu Sasra Birawa, Lembu Sora menjadi seperti terpaku di tempatnya. Kesempatan itulah yang akan dipergunakan oleh Mahesa Jenar. Ia sudah tidak dapat memaafkan lagi kesalahan Lembu Sora yang sudah sampai hati mengkhianati kakaknya. Maka segera ia bersiaga dan bersiap meloncat ke arah Lembu Sora dengan pukulan mautnya. Tetapi keadaan segera berubah dan berselisih dengan rencananya. Mahesa Jenar pernah melawan Wadas Gunung bersama dengan kira-kira 20 orang sekaligus, dan dengan suatu keyakinan yang penuh ia akan dapat mengalahkan mereka. Sekarang ia berhadapan tidak lebih dari 8 atau 9 orang. Tetapi mereka bukanlah Wadas Gunung, Carang Lampit, Cemara Aking, Bagolan dan sebagainya. Mereka yang dihadapi sekarang adalah Lawa Ijo, Suami Isteri Sima Rodra, Sepasang Uling dan Lembu Sora. Karena itu keadaannya akan sangat jauh berbeda. Pada saat itu, pada saat ia telah mengambil suatu kepastian akan dapat membalaskan sakit hati Gajah Sora, mendadak ketika ia hampir meloncat, menyerbulah kuda Suami-Istri Soma Rodra seperti gila menerjangnya. Dan bersamaan dengan itu pula meluncurlah dua buah sinar putih dari tangan Lawa Ijo dan Wadas Gunung. Meskipun mereka tidak pernah bertempur berpasangan, tetapi karena ilmu mereka cukup tinggi, mereka dengan mudahnya saling menyesuaikan diri dan saling mengisi. Demikianlah Sima Rodra dan sebagainya telah bekerja mati-matian untuk menyelamatkan Lembu Sora. Mengalami serangan-serangan yang hampir bersamaan itu, Mahesa Jenar terpaksa mengurungkan serangannya. Dengan merendahkan diri dan memutar tubuhnya sekaligus, ia berhasil menghindari serangan dua pisau Lawa Ijo dan Wadas Gunung. Tetapi pada saat itu kuda suami-istri Sima Rodra telah demikian dekatnya. Untuk menghindarkan diri dari injakan kaki kedua ekor kuda itu, Mahesa Jenar terpaksa berguling-guling beberapa kali.

Dengan gerakannya itu, Mahesa Jenar berhasil menyelamatkan dirinya, tetapi serangan berikutnya telah mendatanginya pula. Dengan cara yang sama dengan Sima Rodra, Uling dari Rawa Pening menyerang berpasangan pula. Serangan itu tidak kurang hebatnya. Ditambah lagi dengan sepasang cambuk yang berdesing-desing di udara. Agar tidak terinjak oleh kaki-kaki kuda itu, Mahesa Jenar melenting jauh dan berusaha untuk tegak di atas kedua kakinya. Tetapi malang bagi Mahesa Jenar. Ternyata ia terlalu jauh meloncat, sehingga ketika ia tegak berdiri, ia telah berada tepat di tepi jurang. Dan celakanya, tanah tempat ia berpijak itu runtuh. Seperti terseret Mahesa Jenar dengan cepatnya meluncur ke dalam jurang yang sangat dalam. Peristiwa itu sama sekali tak terduga oleh siapapun. Karena itu, mereka yang menyaksikan jadi terperanjat. Serentak mereka berlarian ke tepi jurang itu untuk melihat Mahesa Jenar tergulung ke bawah, dan sebentar kemudian hilang ditelan semak-semak dan batang-batang ilalang yang tumbuh di tepi-tepi jurang itu. Mahesa Jenar sendiri merasa, seolah-olah telah terhisap oleh suatu kekuatan raksasa sehingga tidak ada kemungkinan untuk melawannya. Sesaat setelah ia terguling, masih dilihatnya semua benda bergerak dengan cepatnya ke atas, seolah-olah hendak terbang ke arah matahari yang dengan megahnya mengapung di langit. Tetapi sesaat kemudian terasalah dirinya membentur sesuatu yang sangat keras sehingga seolah-olah Mahesa Jenar terputar melintang dengan kepala ke bawah. Sesaat kemudian ia menjadi sangat pening, pemandangannya semakin kabur dan kabur. Akhirnya ia tidak tahu lagi apakah yang terjadi seterusnya.

Lawan-lawan Mahesa Jenar yang berada di atas jurang itu, setelah debar jantung mereka tenang kembali, menjalarlah perasaan lega di dalam dada mereka. Sebab apabila mereka terpaksa bertempur, meskipun mereka bekerja bersama, pasti akan jatuh korban diantara mereka, sebelum mereka dapat bersama-sama membinasakan Mahesa Jenar. Meskipun demikian, mereka merasa betapa panas hati mereka, karena dengan tindakannya yang luar biasa itu, Mahesa Jenar telah menggagalkan maksud mereka untuk menghancurkan tentara Demak, atau setidak-tidaknya membuat tentara itu lumpuh, sehingga dengan demikian hukuman yang akan dijatuhkan kepada Gajah Sora pasti sangat berat. Tetapi dengan serangan yang tak begitu berarti itu, masih ada kemungkinan bagi Gajah Sora untuk mengelakkan diri, atau malahan diantara para prajurit Demak itu dapat memberikan keterangan bahwa serangan itu bukan dari Laskar Banyubiru. Tetapi bagaimanapun, usaha mereka ada juga hasilnya meskipun hanya sedikit. Yang pasti adalah bahwa Gajah Sora untuk beberapa saat tidak berada di Banyubiru. Keadaan ini pasti akan dapat dipergunakan sebagai modal untuk melaksanakan rencana-rencana yang akan disusun kemudian. Karena itu, ketika sudah tidak ada lagi yang akan mereka lakukan, serta mereka telah yakin bahwa Mahesa Jenar tidak akan mungkin menyelamatkan diri dalam keadaan yang demikian, maka segera mereka meninggalkan tempat itu. Selanjutnya mereka menuju ke tempat yang telah mereka tentukan sebagai tempat berkumpul bagi segenap laskar gabungan.
Namun bagaimanapun, kata-kata Ular Laut dari Nusakambangan, Jaka Soka sebagai seorang pemimpin Bajak Laut yang sangat ditakuti, membekas pula di dalam otak mereka. Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten pasti akan menuntut kematian demi kematian, sampai kedua pusaka itu jatuh ke tangan orang yang terkuat. Dan wajarlah apabila orang yang terkuat itu kemudian dapat merajai golongannya. Demikianlah hampir sepanjang jalan tak seorang pun dari mereka yang mengucapkan kata-kata. Mereka sedang sibuk menaksir-naksir diri, menaksir-naksir kekuatan gerombolan masing-masing serta orang-orang mereka yang dapat mereka percaya. Sebab, akhirnya dalam tata pergaulan yang tak terikat oleh hukum itu, kekuatan jasmaniahlah yang akan dapat menentukan siapakah yang berkuasa.

SEMENTARA itu, Laskar Banyubiru yang menarik diri kembali, telah sampai di alun-alun Banyubiru. Wanamerta, Panjawi, Arya Salaka dan beberapa pimpinan laskar yang lain segera menghadap Nyai Ageng Gajah Sora dan menceriterakan apa yang telah terjadi. Nyai Ageng mendengarkan cerita itu dengan berdiam dan menundukkan kepala. Tetapi kemudian nampaklah butiran-butiran airmata setetes demi setetes jatuh di pangkuannya. Sebenarnya ia adalah seorang wanita yang tabah, yang sadar akan kedudukan suaminya sebagai seorang kepala daerah perdikan yang sekaligus menjadi panglima laskarnya. Namun mengalami peristiwa kali ini, Nyai Ageng Gajah Sora tidak dapat menahan airmatanya. Bahkan kemudian didekapnya Arya Salaka, anak laki-laki satu-satunya, dan kemudian kepala anak itu ditekankan ke dadanya seakan-akan tak ingin melepaskannya lagi. Maka setelah cukup mereka memberikan laporan mereka, Wanamerta dan kawan-kawannya segera mohon diri untuk memberikan beberapa keterangan kepada laskar Banyubiru yang masih berkumpul di alun-alun, dan yang kemudian akan dibubarkan.
Tetapi dalam keadaan ini Wanamerta sadar bahwa Banyubiru harus tetap mempertinggi kewaspadaan, dan bahkan Wanamerta telah mengambil keputusan untuk mengadakan persiapan yang lebih saksama dengan mengadakan latihan-latihan keprajuritan.

Sementara itu, matahari tetap beredar dalam garis perjalanannya. Angin pegunungan yang sejuk bertiup semakin sore semakin kencang, menggoyang pepohonan dan merontokkan daun-daun kuning yang telah tidak dapat berpegangan lebih erat lagi.
Pada saat itu, ketika Arya sedang duduk bertopang dagu di atas tangga pendapa rumahnya, tiba-tiba ia dikejutkan oleh seekor kuda abu-abu lengkap dengan pelananya, tetapi tanpa penunggangnya. Kuda itu berjalan perlahan-lahan memasuki halaman. Arya kenal betul bahwa kuda itu adalah kuda yang dipergunakan oleh Mahesa Jenar, karena itu segera ia berlari ke pintu gerbang untuk menengok apakah Mahesa Jenar masih berada di luar halaman. Tetapi di luar gerbang itu sama sekali tak ada seorangpun kecuali dua orang laskar yang sedang berkawal.
“Kau lihat kuda ini, Kakang?” tanya Arya kepada salah seorang.
“Ya, aku melihat,” jawab orang itu.
“Tanpa penunggang?” tanya Arya lagi, menegaskan.
“Ya,” jawab orang itu pula,
“Kuda itu datang tanpa penunggangnya.”

Segera Arya menjadi sangat cemas. Apakah yang telah terjadi dengan Mahesa Jenar? Segera ia meloncat ke atas punggung kuda itu dan dilarikan ke arah timur untuk melihat barangkali Mahesa Jenar langsung pergi ke mata air tempat ia biasa mandi. Tetapi hatinya menjadi kecewa ketika di sanapun ia tidak melihat orang yang dicarinya. Dengan perasaan yang semakin cemas segera Arya kembali ke pendapa. Setelah itu ia meloncat turun, langsung berlari ke pringgitan, dimana Wanamerta yang belum sampai hati meninggalkan rumah itu, sedang tidur untuk melepaskan lelah.
“Eyang Wanamerta…!” teriak Arya,
“Lihatlah ke halaman”.
Wanamerta terkejut mendengar Arya berteriak. Segera ia meloncat ke halaman dan apa yang dilihatnya adalah seekor kuda abu-abu tanpa penunggang.
Wanamerta pun kenal kuda itu, maka iapun menjadi terkejut dan kemudian cemas.

“Apakah kuda ini datang tanpa penunggangnya?”
“Ya, Eyang, jawab Arya. Kuda itu datang tanpa penunggang”.
“Dimanakah Anakmas Mahesa Jenar?” gerutu Wanamerta seolah-olah kepada diri sendiri.
“Aku telah mencarinya ke belik tempat Paman Mahesa Jenar sering mandi dan tidur di bawah beringin di lereng sebelah, tetapi di sana Paman tidak ada,” sahut Arya.
Wajah Wanamerta tampak berkerut-kerut. Ia agaknya sedang berpikir dan kecemasan. Sesaat kemudian dipanggilnya pengawal gerbang.
“Panggil Adi Pandan Kuning, Sawungrana, Bantaran serta Panjawi. Suruhlah mereka membawa anak buah masing-masing 10 orang. Kami akan mencari Anakmas Mahesa Jenar. Mudah-mudahan tidak ada apa-apa dengan anakmas itu,” perintahnya.
Yang disuruhnya segera melangkah pergi dengan tergesa-gesa ke kandang kuda, dimana kudanya ditambatkan. Dan sebentar kemudian orang itu telah meluncur di atas punggung kudanya seperti dilemparkan.

Sebentar kemudian orang-orang yang dipanggil itu telah lengkap berkumpul di pendapa. Mereka mendengar keterangan singkat dari Wanamerta bahwa kuda abu-abu yang dipergunakan Mahesa Jenar telah kembali tanpa penunggangnya. Karena itu dicemaskan kalau Mahesa Jenar telah menemui sesuatu kecelakaan. Padahal hadirnya Mahesa Jenar di Banyubiru pada saat itu, pada saat Ki Ageng Gajah Sora tidak ada, sangat diperlukan untuk melindungi tanah perdikan yang sedang kehilangan pemimpinnya, serta terancam bahaya dari segala penjuru. Setelah mengadakan pembicaraan sebentar, maka dibagilah pekerjaan mereka. Bantaran dan anakbuahnya tetap berada di halaman itu, Sawungrana menjadi penghubung di antara halaman itu dengan rombongan pencari yang terdiri dari Wanamerta sendiri, Pandan Kuning, Panjawi dan anak buahnya. Mereka masing-masing telah menyiapkan alat-alat untuk mengirimkan tanda-tanda bahaya apabila setiap saat diperlukan. Sementara itu para penjaga pun telah diperintahkan untuk memukul tanda supaya setiap laskar Banyubiru tetap dalam keadaan siap.
Ketika segala sesuatunya telah siap, maka segera rombongan itu berangkat, disusul dengan rombongan Sawungrana dengan arah yang sama, tetapi dengan kecepatan yang lebih kecil. Mereka pertama-tama menuju ke tempat mereka melihat Mahesa Jenar yang terakhir kalinya, yaitu pada saat pasukan Banyubiru akan ditarik kembali dari daerah pertempuran.

SAMPAI di tempat itu segera beberapa orang berusaha untuk mendapatkan jejak kaki kuda. Dan ketika jejak itu diketemukan maka mereka mencoba untuk mengikuti dengan harapan dapat memecahkan teka-teki hilangnya Mahesa Jenar. Mudah-mudahan kuda itu hanya nakal saja sehingga penunggangnya ditinggalnya lari, desis Wanamerta perlahan-lahan. Tetapi nyata bahwa dibalik kata-katanya itu tersembunyi suatu pergolakan perasaan yang dahsyat. Dengan tekunnya mereka mencoba untuk mengikuti terus jejak seekor kuda yang mereka sangka adalah kuda yang dipakai oleh Mahesa Jenar, sebab arah kuda ini berbeda dengan arah kuda-kuda yang lain dari laskar Banyubiru. Kalau jejak kuda yang lain berjalan ke arah barat, maka jejak yang seekor berjalan kearah timur.
Mereka menemukan jejak ini berhenti di sebuah tempat yang agak tinggi, dan yang kemudian melingkar menuju ke sebuah bukit di sebelah lembah. Tetapi mereka akhirnya menemukan jejak itu terputus. Dan tahulah mereka bahwa kuda itu telah ditambatkan di sebatang pohon. Dari tempat itu disebarlah beberapa orang untuk menyelidik beberapa tempat dengan suatu harapan bahwa mereka akan menjumpai Mahesa Jenar sedang mencari kudanya.

Tetapi yang mereka jumpai adalah mengejutkan sekali. Beberapa orang yang tersebar itu ada yang sampai pada bekas daerah pertempuran antara pasukan Demak dengan laskar Lembu Sora. Di situ, mereka menemukan beberapa bekas darah, senjata senjata yang tertinggal dan sebagainya. Sedang orang lain, yang juga mencari Mahesa Jenar telah sampai di atas gundukan tanah, dan mereka pun menjumpai bekas-bekas perkelahian. Seekor kuda ditemukan telah mati. Yaitu kuda Lawa Ijo yang telah dibunuh oleh Mahesa Jenar dengan tangannya. Wanamerta mendengar semua laporan itu dengan dahi yang berkerut-kerut. Otaknya berputar seperti baling-baling. Ia tidak dapat mengambil kesimpulan apapun dari apa yang telah disaksikan oleh anak buahnya. Tetapi yang pasti adalah keadaan telah menjadi semakin gawat. Dan sesuatu dapat terjadi atas Banyubiru. Maka terlintaslah dalam angan-angannya bahaya dari segala penjuru siap untuk menerkam tanah perdikan yang seolah-olah sedang lumpuh itu. Setelah beberapa saat mereka tak mendapatkan suatu hasil apapun, mereka segera kembali dengan hati gelisah.

Pada malam hari itu juga beberapa pemimpin Banyubiru segera mengadakan pertemuan. Mereka membicarakan segala segi yang mungkin terjadi pada keadaan seperti itu. Akhirnya, setelah mereka membahas beberapa masalah, sampailah mereka pada suatu keputusan, bahwa satu-satunya kemungkinan, apabila keadaan memaksa, mereka akan minta bantuan kepada Ki Ageng Lembu Sora dari Pamingit. Sebab dalam pertimbangan mereka, Ki Ageng Lembu Sora adalah adik Ki Ageng Gajah Sora. Tetapi mereka sama sekali tidak tahu bahwa Lembu Sora sendiri ternyata memegang peranan penting dalam kekisruhan-kekisruhan yang terjadi. Hilangnya Mahesa Jenar, terutama bagi Arya Salaka, terasa menekan sekali dalam dadanya. Ia telah kehilangan ayahnya, dan kemudian orang yang dipercaya oleh ayahnya untuk mengasuh serta menjadi gurunya dalam olah kanuragan. Disamping itu Mahesa Jenar adalah kawan bermain-main yang menyenangkan. Itulah sebabnya maka kemudian ia menjadi pendiam dan selalu bermenung. Ibunya yang tidak kalah sedihnya, namun yang selalu berusaha untuk menghiburnya, kadang-kadang menjadi sangat cemas melihat perkembangan Arya dari hari ke hari. Ia lebih senang menyendiri dan pergi ke tempat-tempat yang sepi. Kadang-kadang malahan ia sama sekali tidak mau tidur di dalam rumah, tetapi untuk beberapa malam Arya Salaka tidur di halaman belakang. Wanamerta, Panjawi dan lain-lainnya juga telah berusaha sedapat-dapatnya untuk menggugah kegembiraan Arya, tetapi usaha mereka sama sekali tak berhasil. Sehingga akhirnya mereka hanya dapat menyaksikan dengan hati cemas atas sifat-sifat Arya yang telah berubah itu.

Dalam pada itu, apa yang telah terjadi dengan Mahesa Jenar? Pada saat Mahesa Jenar terpelanting ke dalam jurang, ia menjadi tidak sadarkan diri dan tidak tahu apakah yang telah terjadi. Tetapi pada saat ia membuka matanya, ia telah berada di dalam sebuah pondok yang kecil, beratap daun ilalang. Pada saat itu kepalanya rasanya telah retak, dan perasaan nyeri telah menjalar ke seluruh tubuhnya. Ketika Mahesa Jenar mencoba untuk bergerak, sendi-sendi tulangnya terasa sakit bukan main. Akhirnya ia terpaksa mengurungkan niatnya untuk bergerak dan bangun. Yang dapat dilakukannya pada saat itu hanyalah menggerakkan kepalanya untuk melihat-lihat seluruh isi rumah itu. Tetapi di dalam rumah itu tak dilihatnya barang apapun kecuali bale-bale tempat ia terbaring, paga bambu dengan sebuah kendhi dan jlupak minyak di atasnya, cangkul di sudut, dan parang pemotong kayu terselip di dinding. Beberapa saat kemudian, terdengarlah langkah perlahan-lahan memasuki ruang itu. Dan muncullah dari pintu samping, seorang tua yang rambutnya telah memutih, berdahi lebar dan berhidung besar. Wajahnya tampak kasar dan terbakar oleh panas matahari. Tetapi mata orang itu memancarkan sinar kejujuran dan kebaikan hatinya.
Ketika orang itu melihat Mahesa Jenar telah membuka matanya, tampaklah ia tersenyum lebar.
“Nah, Angger…, rupa-rupanya Angger telah sadar,” katanya.

SEGERA Mahesa Jenar tahu bahwa orang itulah yang telah menemukan dan menolongnya pada saat ia pingsan. Meskipun dengan masih agak sukar Mahesa Jenar menjawab perlahan.
“Ya bapak.”
Orang itu mengangguk, lalu duduk dibale, sambungnya,
” jangan angger bergerak dahulu. Biarlah kekuatan angger pulih.”
Mahesa Jenar tidak menjawab. Tetapi ia mencoba menganggukkan kepalanya. Dan sekali lagi orang tua itu tersenyum lebar.
Mahesa Jenar mencoba mengamati orang itu lebih seksama. Kecuali berdahi lebar dan berhidung lebar, memang orang itu sama sekali tidak tampan. Tetapi tubuhnya adalah tubuh idaman bagi setiap lelaki. Mungkin karena ia harus bekerja keras untuk mencukupi kebutuhannya setiap hari, maka badannya masih tampak segar dan kuat. Ototnya kokoh menjalar hampir keseluruh bagian tubuhnya. Orang tua itu meskipun tidak begitu tinggi, tetapi tidak pula pendek.
Rupanya orang itu sadar ia sedang diamati. Kembali senyumnya yang lebar menghiasi bibirnya.
“Adakah sesuatu yang aneh pada diriku?.”
Mahesa Jenar terkejut mendengar pertanyaan orang itu. Karena itu ia segera dengan perlahan-lahan menggelengkan kepala.
“Angger..,” sambung orang tua itu,
“usahakanlah supaya angger dapat tidur. Jangan berfikir hal yang dapat mengganggu ketentraman perasaan angger. Di sini angger dapat beristirahat seenaknya, sebab tidak ada orang lain yang tinggal di sini kecuali aku seorang diri.”
Kembali Mahesa Jenar mencoba mengangguk.
“Bagus,” orang tua itu melanjutkan,
“tidurlah. Atau barangkali angger mau minum.”
Belum lagi Mahesa Jenar menjawab, orang itu telah melangkah keluar rumah menyambar kendi di atas pagar, dan sebentar lagi ia telah masuk kembali. Dengan perlahan dan sangat cermat ia menuangkan air kendi kedalam mulut Mahesa Jenar. Sebenarnya memang leher Mahesa Jenar terasa kering sekali. Seakan-akan sisi lehernya telah lekat menjadi satu. Dengan air yang dituangkan kedalam mulutnya, maka lehernya terasa menjadi sejuk. Bahkan seluruh tubuhnya menjadi segar.

Meskipun demikian ia masih belum mampu untuk bangun.
“Jangan coba untuk bangun dahulu,” orang tua itu melarangnya.
“Tidurlah. Aku akan mencari kayu, merebus air, barangkali angger suka air jeruk.”
Sesudah berkata demikian orang itu segera melangkah pergi. dan tinggallah Mahesa Jenar seorang diri, berbaring di dalam ruangan kecil yang kosong itu. Otaknya yang telah dapat bekerja dengan wajar, sedikit demi sedikit dapat mengenal kembali apa yang telah terjadi pada dirinya. Ia merasa bersyukur bahwa ia tidak lumat terbanting ke dalam jurang. Sebab kalau tidak ia pasti sudah binasa. Sebab bagaimanapun dahsyatnya kekuatan Sasra Birawa yang dimilikinya, namun untuk melawan tujuh orang sekaligus, agaknya ada diluar batas kemampuannya. Kemudian oleh angin yang menghembus lewat pintu disamping tempat berbaring Mahesa Jenar, serta tubuhnya yang terasa sudah agak segar, maka Mahesa Jenar akhirnya jatuh tertidur. Ketika ia terbangun, dilihatnya orang tua itu telah duduk disampingnya. Tangannya memegang seberkas lontar. Tanpa menoleh kepada Mahesa Jenar orang tua itu mulai membaca naskah yang tertulis didalam lontar itu. Maka segera menggemalah lagu bait demi bait dari kidung yang berisikan sebuah cerita yang agaknya menarik hati. Pada saat itu tubuh Mahesa Jenar telah mulai terasa agak kuat. Karena itu ia telah dapat berusaha untuk duduk di belakang orang tua yang sedang membaca lontar itu, yang seakan-akan tidak memperhatikannya. Bait pertama dari cerita itu menggambarkan tentang dua orang sahabat yang pergi merantau untuk berguru kepada seorang sakti. Meskipun kedua orang itu hanyalah sahabat saja, namun mereka telah merasa dirinya lebih dari dua orang bersaudara. Karena itu apapun yang terjadi selalu mereka tanggung bersama.
Akhirnya sampailah mereka kesuatu lembah yang amat sepi. Lembah yang sama sekali tak pernah disentuh oleh kaki manusia. Di sana dijumpainya seorang petapa yang telah menjauhkan diri dari kehidupan. Ia hanya tinggal mengabdikan sisa hidupnya untuk menyembah Yang Maha Agung. Kedua orang sahabat itu kemudian menyerahkan hidup matinya kepada sang petapa sakti. Petapa yang telah menjauhkan diri dari kesibukan manusia itu semula ragu. Tetapi karena kesadaran akan pembinaan kebajikan, akhirnya kedua orang itu diterima menjadi muridnya. Diajarinya mereka berdua tentang berbagai ilmu lahir dan batin. Jaya Kawijayan dan olah kanuragan sehingga kedua sahabat itu kemudian menjadi dua orang yang gagah perkasa. Petapa sakti itu mengharap agar kedua pemuda itudapat melanjutkan dharma bhaktinya kepada tata pergaulan manusia membina kebajikan dan memusnahkan kejahatan. Adapun petapa sakti itu, tak seorangpun yang pernah mengenal wajahnya, serta nama yang sebenarnya. Sebab ia selalu memakai topeng yang sangat kasar buatannya, berjubah abu-abu dan menyebut dirinya Pasingsingan. Mendengar nama Pasingsingan disebutkan, Mahesa Jenar terkejut bukan main. Tanpa disengaja ia mengulangi nama itu sampai orang itu terkejut dan berhenti.

PERLAHAN-LAHAN ia menoleh kepada Mahesa Jenar, dan ketika ia melihat Mahesa Jenar duduk di belakangnya, lagi-lagi orang itu tersenyum lebar.
“Rupanya Angger telah berangsur baik, dan telah dapat duduk pula, ” katanya.
“Begitulah, Bapak,” jawab Mahesa Jenar.
“Tetapi agaknya, adakah yang menarik perhatian Angger dalam ceritera ini?” tanya orangtua itu kemudian.
Tetapi ketika Mahesa Jenar akan menjawab terdengar orang itu melanjutkan,
“Aku pernah mendengar kata orang bahwa lagu dapat dipergunakan untuk banyak tujuan. Dalam peperangan, lagu dapat membangkitkan semangat bertempur dan berkorban. Seorang prajurit yang telah kehilangan semangat, akan bangkit keberaniannya apabila ia mendengar sangkakala dalam irama yang menggelora. Sebaliknya, lagu akan sangat berguna pula dalam waktu bercinta.”
Orang itu berhenti berbicara. Kemudian terdengarlah ia tertawa berderai.
“Anakmas pasti pernah bercinta,” katanya tiba-tiba.
Perkataan itu mengejutkan Mahesa Jenar. Tanpa disengaja ia menggelengkan kepala. Melihat Mahesa Jenar menggeleng, orangtua itu mengerutkan keningnya, dan dengan nada keheranan ia bertanya,
“Angger belum pernah bercinta?”
Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah oleh pertanyaan itu. Tetapi sekali lagi tanpa disengaja ia menggelengkan kepalanya pula. Orangtua itu kemudian mengangguk-angguk. Lalu katanya,
“Baiklah aku berkata tentang masalah yang lain.”

Ia berhenti sebentar, lalu sambungnya,
“Kata orang, lagu dapat pula menyembuhkan atau mengurangi rasa sakit. Nah, tadi aku mencoba untuk mengurangi rasa sakit yang sedang Angger derita, meskipun suaraku sama sekali tak merdu dan lagunya pun barangkali banyak yang salah.”
“Terima kasih, Bapak,” sahut Mahesa Jenar.
“Mungkin karena lagu itu pula aku jadi berangsur baik. Tetapi isi ceritera yang Bapak lagukan itu pun sangat menarik perhatianku”.
“Angger juga tertarik pada ceritera-cerita semacam itu?” katanya pula.
“Kalau begitu kita mempunyai persamaan kesenangan. Tetapi, sampai sekarang aku masih belum mengenal siapakah Angger ini sebenarnya?”
Oleh pertanyaan orangtua itu, barulah Mahesa Jenar menyadari kekakuan hubungannya dengan orang itu. Sebab masing-masing masih belum saling mengenal namanya. Karena itu, ketika orangtua itu menanyakan namanya, segera dijawabnya.
“Namaku Mahesa Jenar, Bapak…, dan siapakah Bapak ini pula?”
“Akh, aku adalah orang yang sama sekali tak berarti. Tetapi meskipun demikian, baiklah Angger mengenal namaku.”
Ia berhenti sebentar untuk menarik nafas, kemudian melanjutkan,
“Namaku adalah Ki Paniling”.
Mahesa Jenar menganggukkan kepalanya sambil mengulangi nama itu. Kemudian ia bertanya pula,
“Ceritera yang Bapak baca sangat menarik perhatianku. Dari manakah ceritera itu Bapak dapatkan?”

Kening orangtua itu berkerut kembali. Agaknya ia sedang mengingat-ingat. Tetapi kemudian sambil menggeleng-gelengkan kepalanya ia menjawab,
“Aku tidak ingat lagi Angger, di mana dan kapan aku mendapatkan naskah itu. Tetapi aku kira itu adalah salinan dari naskah-naskah yang ada di mana-mana. Jadi bukanlah berisikan suatu ceritera yang sedemikian menarik perhatian.”
Bagaimanapun, keinginan Mahesa Jenar untuk mengetahui sebanyak-banyaknya tentang isi naskah itu, yang telah menyebut-nyebut nama Pasingsingan, namun ia selalu berusaha untuk menguasai diri. Sebab ia masih belum tahu benar dengan siapakah ia berhadapan. Meskipun menilik sikap, kesederhanaan, cara berpikir serta hal-hal lain, orang itu bukanlah orang jahat, namun ia tidak dapat meninggalkan sikap hati-hati.
“Masih panjangkah ceritera itu?” tanya Mahesa Jenar kemudian.
“Tidak,” jawab Ki Paniling,
“Angger ingin membaca sendiri?”
Mahesa Jenar menganggukkan kepalanya. Ki Paniling kemudian menyerahkan lontar yang dibacanya itu kepada Mahesa Jenar. Tetapi Mahesa Jenar kemudian menjadi kecewa ketika kelanjutan dari ceritera itu hanyalah tinggal beberapa bait saja, yang menceriterakan tentang keperkasaan dua orang murid Pasingsingan yang seakan-akan dapat terbang seperti burung rajawali. Adapun nama dari kedua orang itu, yang dianggap lebih tua karena memiliki beberapa kelebihan adalah Radite, sedang yang muda disebut Anggara.
“Tidakkah Bapak mempunyai kelanjutan ceritera ini?” tanya Mahesa Jenar dengan penuh keinginan untuk mengetahui.

Orangtua itu mengangguk-angguk sejenak, lalu berkata,
“Menurut ingatanku, aku ada mempunyai tiga jilid dari naskah itu. Tetapi cobalah nanti Bapak cari, barangkali sedang dipinjam orang selagi mereka punya keperluan”.
Kemudian orangtua itu berdiri, sambil melangkahkan kaki ke luar ia berkata,
“Istirahatlah Angger. Bapak akan mencari jilid kedua dan ketiga dari kitab itu”.
Lalu hilanglah orangtua itu di balik pintu.
Mahesa Jenar heran mendengar kata-kata Ki Paniling. Kemanakah ia akan mencari kedua jilid yang lain? Adakah di sekitar rumah ini? Atau rumah-rumah orang lain?
Tiba-tiba timbullah keinginannya untuk mengetahui keadaan di sekeliling tempat itu. Perlahan-lahan Mahesa Jenar mengingsar tubuhnya ke tepi tempat pembaringannya. Ketika dirasa bahwa tulang-tulangnya telah tidak begitu nyeri lagi, maka dengan sangat hati-hati ia mencoba berdiri. Ia merasa gembira sekali, bahwa agaknya kekuatannya telah berangsur-angsur menjadi baik dan ia sudah tidak merasakan kesulitan apa-apa untuk berjalan. Karena itu perlahan-lahan dan hati-hati Mahesa Jenar melangkah ke luar rumah. Ia menjadi agak bingung ketika sampai di halaman. Ia tidak dapat lagi mengetahui dengan pasti, di manakah utara dan di mana selatan.

KETIKA memandang ke arah matahari terbit, Mahesa Jenar juga agak keheran-heranan. Ia dapat memastikan bahwa pada saat itu hari masih pagi. Kalau demikian maka ia telah melampaui satu malam berada di dalam pondok Ki Paniling. Kemudian dengan tubuh yang masih belum sehat benar, Mahesa Jenar melangkah lebih jauh lagi. Ia semakin bertambah heran ketika di depan halaman Ki Paniling itu terdapat sebuah jalur desa. Maka keinginannya untuk mengetahui keadaan di sekitarnya menjadi semakin besar. Setapak demi setapak Mahesa Jenar melangkah menuruti jalan kecil itu, sehingga kemudian barulah ia percaya bahwa sebenarnya ia telah dirawat oleh seorang yang sama sekali bukan orang yang terasing, tetapi orang biasa. Mungkin seorang petani miskin yang tinggal di dalam sebuah kampung kecil bersama-sama dengan orang-orang miskin lainnya. Tetapi disamping itu, timbullah suatu masalah lain di dalam kepalanya. Mahesa Jenar ingat betul bahwa ia telah terperosok ke dalam jurang yang dalam. Apa yang diketahuinya, daerah itu daerah pegunungan yang berhutan dan bersemak-semak. Jadi tidaklah mungkin bahwa ia telah menggelinding sampai tempat yang didiami oleh manusia.

Memang mungkin pada saat itu Ki Paniling sedang mencari kayu, misalnya, lalu menemukannya. Tetapi membawa seseorang sebesar dirinya di tempat yang bergunung-gunung dan bertebing-tebing curam adalah sangat sulit. Sedang daerah ini adalah suatu dataran yang rata, meskipun masih juga dikitari hutan dan pegunungan. Dengan demikian maka pertanyaan-pertanyaan Mahesa Jenar menjadi semakin berbelit-belit di kepalanya. Setelah Mahesa Jenar berjalan beberapa jauh, terasa kakinya amat penat. Kekuatannya baru sebagian kecil saja yang dimilikinya kembali. Karena itu ia berhasrat kembali saja ke rumah Ki Paniling. Tetapi baru saja ia memutar tubuhnya, tiba-tiba terdengarlah suara ramah,
“Adi Darba, itulah kemanakanku yang baru datang kemarin siang.”
Segera Mahesa Jenar memandang ke arah suara itu. Dilihatnya Ki Paniling sedang bercakap-cakap dengan seorang petani lain, seorang yang bertubuh agak kekurus-kurusan. Dan seperti kebiasaan para petani, wajahnya memancarkan isi dadanya dengan terbuka. Orang yang dipanggil Darba itu kemudian tertawa. Tertawanya terdengar seperti suara air yang memancar dari mata airnya. Bersih dan tanpa maksud-maksud yang tidak wajar.
“Kemenakanmu tampak begitu tampan dan gagah, Kakang Paniling, aku jadi agak heran,” katanya dengan jujur.
Ki Paniling tersenyum lebar.
“Aku tidak tahu, bagaimana aku dapat mempunyai kemenakan segagah dia,” jawabnya.

Kemudian kedua orang itu sama-sama tertawa. Mau tidak mau Mahesa Jenar berusaha untuk tertawa pula, serta mengangguk hormat kepada mereka.
“Mahesa Jenar…,” kata Paniling, yang memanggilnya tanpa sebutan seperti lazimnya orang memanggil kemenakannya.
“Inilah pamanmu Darba. Ia termasuk salah seorang cikal bakal kampung ini sesudah aku. Sebab akulah yang tertua yang datang di sini, kemudian beberapa orang berturut-turut ikut serta menebas hutan dan membangun perkampungan kita ini. Bukan begitu Darba?”
Darba tertawa kembali.
“Pasti aku harus membenarkan katamu. Sebab tak seorangpun yang akan menyangkal bahwa kaulah yang datang pertama kali di daerah ini”.
Mendengar jawaban kawannya itu, kembali bibir-bibir tebal di bawah hidung Ki Paniling yang besar itu bergerak-gerak dan tersenyum lebar.
“Sekarang, singgahlah sebentar, Darba,” ajak Paniling.
“Terimakasih. Masih banyak yang akan aku kerjakan pagi ini. Mengairi sawah dan memasak gula,” jawab Darba.
“Aku juga masih nderes tiga pohon lagi”.
“Bagus,” sahut Paniling.
“Kalau masak, gulamu nanti antarlah kami buat minum air jahe”.
“Tentu, tentu…” potong Darba, yang lalu melangkah pergi setelah mengangguk kepada Mahesa Jenar.
Mahesa Jenar melihat keakraban pergaulan dalam hidup sederhana itu dengan perhatian yang luar biasa. Alangkah jauh bedanya dengan pergaulan orang-orang kota yang banyak dibumbui oleh sikap berpura-pura.

Setelah petani yang bernama Darba itu hilang di kelokan jalan, segera Ki Paniling melangkah mendekati Mahesa Jenar sambil berkata gembira,
”Rupanya angger telah banyak mendapat kemajuan. Sukurlah kalau Angger telah dapat berjalan-jalan. Maafkanlah kalau aku terpaksa menyebut Angger sebagai kemenakanku. Hal itu hanya untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu. Sebab di padepokan kecil ini segala sesuatu yang tak berarti dapat saja menjadi peristiwa yang besar”.
“Tak apalah, Bapak,” jawab Mahesa Jenar.
“Mana saja yang baik untuk Bapak, akan baik pula untukku.”
“Bagus, bagus…” sahut Ki Paniling,
“Sekarang marilah kita pulang, Angger masih jangan terlalu banyak bergerak”.
Mahesa Jenar tidak menjawab, tetapi segera ia melangkah mengikuti Ki Paniling. Sebentar kemudian mereka telah sampai ke pondok Ki Paniling. Mahesa Jenar langsung dipersilakan berbaring untuk memulihkan kekuatannya, sedang Ki Paniling segera menyalakan api serta mengupas jagung.
Kembali terasa angin yang semilir mengusap tubuh Mahesa Jenar. Dan karena kesegaran dan kepenatan yang bercampur-baur, akhirnya sekali lagi Mahesa Jenar jatuh tertidur. Mahesa Jenar terbangun ketika didengarnya hiruk-pikuk di halaman. Meskipun tubuhnya belum pulih sepenuhnya, tetapi untuk menjaga diri segera ia bangkit, dan memperhatikan keadaan dengan saksama. Di luar, didengarnya beberapa suara orang laki-laki menyebut-nyebut namanya. Tetapi kemudian ia menjadi tersenyum sendiri, namun juga dihinggapi oleh perasaan gelisah.

ORANG-ORANG itu ternyata adalah sahabat-sahabat Ki Paniling yang telah mendengar kabar bahwa kemenakannya datang mengunjungi kampung mereka yang kecil dan terpencil ini. Karena itulah mereka memerlukan datang untuk mengucapkan selamat datang serta menyampaikan salam perkenalan. Ki Paniling sendiri agaknya menjadi kerepotan untuk memberi penjelasan kepada sahabat-sahabatnya, tentang kemenakannya. Tetapi rupanya ia cerdik juga. Supaya tidak ada salah keterangan dengan Mahesa Jenar, sengaja ia berbicara keras-keras dengan harapan bahwa dongengannya itu didengar pula oleh Mahesa Jenar.
“Adik-adik sekalian, kemenakanku ini datang dari daerah yang jauh sekali. Ia pada saat-saat yang lampau telah pergi merantau hampir ke seluruh sudut bumi. Yang terakhir ia mengabdikan dirinya di pusat kerajaan. Yaitu pada Sultan Demak. Di sana ia menjadi seorang prajurit yang gemblengan,” kata Ki Paniling.
Kemudian terdengar suara orang-orang itu bergumam. Agaknya mereka menyatakan perasaan kagum terhadap salah seorang prajurit kerajaan yang sudi berkunjung ke kampung kecil itu. Malahan seorang diantaranya berkata,
“Anehlah kau Bapak Paniling. Kenapa kau mempunyai kemenakan yang menjabat sebagai prajurit Demak, tetapi kau hidup miskin bersama-sama dengan kami di sini?”
Mendengar pertanyaan itu, terdengar Ki Paniling tertawa.
“Yang menjadi prajurit bukanlah aku, tetapi kemenakanku.”
“Kalau begitu banyaklah yang sudah dilihatnya,” kata yang lain,
“Dapatkah kiranya kita mendengar ceriteranya?”
“Tentu, tentu…, apabila ia sudah bangun,” jawab Ki Paniling.
“Tetapi jangan tanyakan tentang kedudukannya sebagai prajurit, sebab ia telah mengundurkan diri”.
“Mengundurkan diri?” tanya mereka hampir berbareng.
“Ya,” jawab Paniling.
“Kenapa?” tanya mereka kembali.
Paniling diam sejenak. Baru kemudian ia dapat menjawab,
“Sampai hal yang sekecil-kecilnya kalian ingin tahu?
“Itu bukan kecil soalnya,” jawab salah seorang,
“Tetapi adalah masalah yang besar. Seorang prajurit bagi kami adalah seorang yang luar biasa. Kalau sampai ia mengundurkan diri, pasti ada hal-hal yang luar biasa”.

Kembali terdengar Paniling tertawa.
“Otakmu mengkilap seperti batu akik. Bagus, kau takut kalau kemenakanku itu menjadi buruan, atau dipecat karena kejahatan? Bagus, dengarlah, ia mengundurkan diri karena perbedaan pokok mengenai kepercayaan. Ia tidak mau menentang kawan-kawan seperjuangannya dalam satu pertentangan jasmaniah. Karena itu lebih baik ia mengundurkan diri, meskipun dengan demikian bukan berarti masa kebaktiannya terhenti pula. Ia tetap berjuang untuk kesejahteraan kawula Demak,” kata Paniling.
Kemudian terdengarlah orang-orang di luar rumah itu bergumam puas. Tetapi tidak demikianlah perasaan Mahesa Jenar yang justru menjadi bergolak hebat. Keterangan Ki Paniling itu bagi Mahesa Jenar bukanlah sekadar kebetulan semata-mata. Tetapi adalah suatu ceritera yang tepat seperti apa yang dialaminya. Karena itu dadanya jadi bergoncang.
Bersamaan dengan itu muncullah sebuah kepala di ambang pintu. Sedemikian tiba-tiba sehingga Mahesa Jenar menjadi terkejut. Hampir saja ia meloncat menangkapnya, tetapi untunglah dalam sekejap kepala itu telah lenyap kembali disusul dengan suara seseorang,
“Kakang Paniling, kemenakanmu telah bangun”.
“He….” jawab Paniling,
”Bagus, kalau begitu kalian dapat menemuinya, tetapi jangan lupa kepada pesan-pesanku”.

Sesaat kemudian beberapa orang telah melangkah masuk. Salah satu diantaranya segera membentangkan sebuah tikar pandan yang kasar, dan di atas tikar itulah segera mereka duduk. Mau tidak mau Mahesa Jenar harus duduk pula di atas tikar pandan itu. Meskipun demikian ia tidak dapat meninggalkan kewaspadaan, meskipun hanya sekejap. Ia tidak tahu jenis sarang apa pula yang sekarang sedang dimasukinya. Maka mulailah sahabat-sahabat Paniling saling berebutan memperkenalkan diri mereka serta bertanya-tanya. Bertanya tentang hal-hal yang kadang-kadang menggelikan bagi Mahesa Jenar. Dengan memperhatikan pertanyaan-pertanyaan itu, sebenarnya Mahesa Jenar dapat mengambil kesimpulan, bahwa mereka benar-benar petani-petani miskin yang sebagian besar masih sangat rendah pengetahuannya. Memang ada satu dua diantaranya yang pernah pula merantau, tetapi pengalaman yang didapatnya pun sama sekali tak berarti. Akhirnya Mahesa Jenar mengambil kesimpulan, bahwa yang sebenarnya kurang wajar adalah Ki Paniling sendiri. Memang sejak semula ia telah bertanya-tanya dalam hati tentang orang ini. Bagaimana ia dapat sampai ke pondoknya, dan bagaimana ia sengaja menyebut-nyebut Pasingsingan, lagi pula ia dapat menebak dengan tepat tentang dirinya, bahkan tentang kedudukannya sebagai bekas prajurit pun diketahuinya. Karena itu ia menjadi gelisah. Untunglah bahwa pertemuan itu tidak berlangsung terlalu lama.

SETELAH matahari sampai pada titik puncaknya, segera mereka mohon diri, pulang ke rumah masing-masing. Yang terakhir meninggalkan ruangan itu adalah Darba. Dengan tertawa pendek ia berkata,
“Mahesa Jenar, datanglah sekali-sekali ke pondokku meskipun tidak lebih baik dari pondok ini. Aku juga hidup seperti pamanmu, Paniling. Berbeda dengan orang lain di sini yang hidup berkeluarga, dengan anak-istri. Tetapi kami, aku dan pamanmu, hidup sebatang kara”.
“Baiklah,” Paman, jawab Mahesa Jenar mengangguk.
Mata Mahesa Jenar yang tajam menangkap sinar yang gemerlapan dalam mata petani yang kekurus-kurusan itu. Sinar itu bukanlah sinar mata seorang petani miskin. Rupanya dua orang ini harus mendapat perhatian sepenuhnya. Tetapi Mahesa Jenar pun adalah orang yang berotak cemerlang. Karena itu segala sesuatu diperhitungkannya dengan cermat. Juga terhadap kedua orang ini, ia bersikap sangat hati-hati. Sebenarnya Mahesa Jenar sama sekali tidak mempunyai prasangka yang jelek terhadap Paniling maupun Darba. Sebab cahaya mata mereka serta pancaran wajah mereka sama sekali tidak menunjukkan sesuatu kepalsuan. Tetapi meskipun demikian ia memperhitungkan pula kemungkinan-kemungkinan yang sebaliknya. Malahan kadang-kadang timbul dugaannya, apakah salah seorang diantaranya itu adalah Pasingsingan?

Setelah semua orang, juga Darba telah meninggalkan rumah itu, segera Paniling menyodorkan beberapa jagung rebus beserta gula kelapa yang masih baru kepada Mahesa Jenar. Mahesa Jenar yang memang merasa lapar segera menerimanya dan dengan lahapnya ia menghabiskan bagiannya. Setelah itu tidak banyak yang mereka percakapkan. Apalagi Paniling segera pergi ke kebun untuk menyiangi tanaman-tanamannya. Baru ketika matahari telah hilang di balik batas antara siang dan malam, serta Paniling telah menyalakan oncor jarak, mereka duduk di atas satu-satunya tempat pembaringan yang ada di dalam ruang itu. Tiba-tiba tanpa ditanya Paniling berkata tentang kitabnya,
”Angger, ternyata kedua jilid dari kitab itu belum aku ketemukan. Aku tanyakan ke sana-ke mari, agaknya belum aku jumpai siapakah yang telah meminjamnya. Apakah Anakmas tertarik sekali dengan ceritera itu?
Mahesa Jenar menjadi agak kebingungan menjawab pertanyaan itu. Namun demikian katanya,
“Aku sangat tertarik kepada ceriteranya, Bapak”.
Paniling mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ceriteranya memang menarik. Tetapi ceritera itu adalah ceritera biasa saja sebenarnya,” sambung Paniling.
“Ya, jawab Mahesa Jenar tiba-tiba. Ia sedang mencoba untuk memancing pikiran orang tua itu.
“Aku juga pernah mendengar ceritera yang hampir sama,” katanya.
Orang itu tampak agak terkejut, tetapi sebentar kemudian kesan itu telah hilang kembali. Malahan ia tersenyum sambil menjawab,
”Angger juga pernah mendengar? Di mana…?”
“Di Banyubiru,” sahut Mahesa Jenar.
“Banyubiru…? Dekat Rawa Pening?” tanya Paniling.
“Ya, kenapa?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Akh, ceritera itu sampai tersiar demikian jauhnya,” jawab Paniling.
“Demikian jauhnya?” Mahesa Jenar yang sekarang keheranan.

Ki Paniling kembali mengernyitkan alisnya. Dan kembali pula ia tersenyum lebar.
“Bukan jauh sekali,” katanya kemudian,
“Tetapi buat ceritera yang tak berharga itu, adalah suatu kehormatan besar apabila sampai tersiar ke daerah-daerah yang agak jauh”.
Terasa bagi Mahesa Jenar ada sesuatu yang dapat ditangkapnya dari kata-kata Paniling, karena itu segera ia menyahut,
“Kalau ceritera itu sampai di sini, bukankah telah tersebar ke tempat yang lebih jauh lagi?”
Paniling terkejut mendengar jawaban Mahesa Jenar. Tetapi hanya sekejap, karena hanya sesaat kemudian ia telah tertawa sambil berkata,
“Mungkin, mungkin Angger benar”.
Mahesa Jenar tidak mau melepaskan kesempatan itu lagi, karena itu ia ingin mendesak lebih lanjut.
“Ki Paniling, aku juga pernah mendengar ceritera tentang Pasingsingan itu di Banyubiru. Cobalah Ki Paniling sudi mendengarkan ceritera yang aku dengar itu untuk diperbandingkan dengan kelanjutan dari ceritera Ki Paniling yang tercecer, dari kitab jilid 2 dan 3. Adakah persamaannya ataukah hanya persamaan nama melulu”.
Mahesa Jenar melihat orang tua itu menjadi agak gelisah, tetapi ia tidak mau kehilangan kemungkinan untuk menyentuh-nyentuh perasaan Ki Paniling yang paling dalam. Dengan demikian ia akan segera tahu dengan siapa ia berhadapan. Dengan kawan atau lawan. Maka segera Mahesa Jenar melanjutkan,
“Menurut ceritera yang tersebar luas di Banyubiru, tidak saja yang tertulis di lontar-lontar, tetapi bahkan telah menjadi ceritera rakyat yang tersebar dari mulut kemulut, mengatakan bahwa Pasingsingan sama sekali bukanlah seorang yang baik hati, bukan seorang yang pasrah diri kepada Yang Maha Agung, ia sama sekali tidak mengagungkan kebajikan, apalagi mempunyai dua orang murid yang bernama Radite dan Anggara. Tetapi Pasingsingan adalah orang yang sama sekali berlawanan dengan sifat-sifat itu. Ia mempunyai murid-murid yang sama jahatnya dengan dirinya sendiri, yang menamakan dirinya sebagai nama pahlawan, yaitu Lawa Ijo, Wadas Gunung dan Watu Gunung. Yang sama dengan ceritera Bapak adalah bahwa Pasingsingan itu memang sakti, namun ia telah mempergunakan kesaktiannya untuk kejahatan, merampok, membunuh, merampas isteri orang, me….”
“Bohong!” tiba-tiba Paniling berteriak keras. Wajahnya jadi tegang dan merah. Mahesa Jenar terkejut mendengar teriakan itu. Cepat ia hendak bangkit ketika dilihatnya wajah Paniling menyala. Mahesa Jenar sadar bahwa hal yang tak dikehendaki bisa terjadi. Karena itu ia cukup waspada.


<<< Bagian 022                                                                                              Bagian 024 >>>

No comments:

Post a Comment