Bagian 040


SEKALI lagi orang itu tersenyum. Lalu perlahan-lahan berjalan mendekap Mahesa Jenar.
“Kalau kau tidak percaya bahwa aku Mahesa Jenar, lalu siapakah aku menurut pendapatmu?,” katanya.
“Aku tidak tahu,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku terlalu membiarkan perasaan marahmu menjalari otakmu, sehingga kau tidak dapat lagi melihat lebih saksama. Tetapi sekarang akgaknya kau telah berhasil mengendapkan diri, karena itu dengan gembira aku melihat, bahwa kau tidak lagi mudah dipaksa untuk berkelahi, tanpa tujuan.”
“Mahesa Jenar. Tidakkah kau dapat mengingat-ingat lagi, siapakah yang memiliki ilmu Sasra Birawa di dunia ini ?”

Mahesa Jenar seperti terbangun dari mimpi yang membingungkan. Seharusnya sejak semula ia harus sudah mengingat-ingat hal itu. Dengan teliti ia mulai mengenangkan masa lampau. Suatu lingkungan kecil di dalam padepokan di Pengging dimana ia bersama kakak seperguruannya menuntut ilmu jaya kawijayan dan kesaktian, sebagai bekal hidupnya kelak. Tetapi bagaimanapun ia mengingat-ingat, namun yang diingatnya hanyalah, didalam padepokan itu, kecuali dirinya dan almarhum Kebo Kenanga tidak ada seorang muridpun lagi. Akhirnya ia mulai mengingat siapakah yang sering datang ke padepokan itu. Orang-orang lain yang mempunyai hubungan erat dengan gurunya. Tetapi gurunya sangat teliti, sehingga tidak mungkin ada orang lain yang dapat mencuri ilmu sakti tiu tanpa setahunya. Tiba-tiba Mahesa Jenar tersentak. Ya, orang itu ada orang yang selalu datang ke padepokan itu melihat-lihat gurunya menurunkan ilmu kepadanya. Karena ingatan itulah maka mata Mahesa Jenar menjadi berkilat-kilat. Sekali lagi ia membungkuk hormat. Katanya,
”Tuan, baru sekarang agaknya otakku dapat bekerja dengan baik. Perkenankanlah aku menebak siapakah sebenarnya tuan?.”

Orang itu mengangguk. Kemudian katanya,
“Kau telah berhasil mengingat kembali orang-orang yang memiliki aji Sasra Birawa?”
“Sudah, Tuan,” jawab Mahesa Jenar,
“Pertama adalah guru. Kedua dan ketiga adalah murid-muridnya. Aku dan almarhum Ki Ageng Pengging, Ki Kebo Kenanga. Dan keempat adalah saudara muda seperguruan Guru, yang tidak lain adalah putra guru yang tua, kakak Ki Kebo Kenanga. Karena itu aku berani memastikan bahwa Tuan adalah orang yang keempat itu.”
Orang itu mengangguk-angguk. Sahutnya,
“Ingatanmu masih baik kalau kau pergunakan. Ternyata kau menebak tepat.”
Sekali lagi Mahesa Jenar membungkuk hormat. Dengan hikmat ia berkata,
“Maafkanlah kelancanganku. Sudah berapa puluh tahun Tuan meninggalkan kami sehingga aku tidak dapat mengenal Tuan kembali.”
“Tidak ada yang perlu aku maafkan. Semuanya memang aku kehendaki demikian,” jawab orang itu.
Mahesa Jenar tiba-tiba merasakan suatu yang bergelora didalam dadanya. Suatu campur baur dari bermacam-macam perasaan. Sedih, gembira, bangga, terharu. Lebih dari pada itu, ia beberapa kali mengucap syukur kepada Tuhan di dalam hatinya.
Dalam suatu saat yang tak disangka sangka, ia bertemu dengan putra gurunya yang tua, yang dalam perguruan menjadi adik seperguruan gurunya. Orang itu bernama Ki Kebo Kanigara, yang lenyap beberapa tahun sebelum gurunya meninggal. Dari gurunya ia pernah mendengar bahwa ilmu Ki Kebo Kanigara itu sama sekali tidak berada dibawah gurunya. Bahkan, karena kegemarannya mengembara, ia dapat menambah ilmu itu dengan bermacam-macam bentuk dan isi.

Sekarang ia bertemu dengan orang itu dalam suatu suasana yang seolah-olah mengandung pertentangan. Karena itu maka Mahesa Jenar bertanya seterusnya,
“Kakang Kebo Kanigara, kalau sejak selama aku dapat berpikir dengan tenang, maka sejak semula aku tak akan berani melawan, meskipun aku tidak dapat mengerti maksud kakang dengan mempergunakan nama serta gelarku.”
Kebo Kanigara tersenyum. Lalu duduk disamping Mahesa Jenar. Dengan perlahan-lahan ia menjawab,
“Mahesa Jenar, kalau kau mengenal aku sejak semula, maka keadaanmu akan berbeda pula. Apa yang kau capai selama beberapa hari ini, justru karena kau tidak mengenalku.”
Sadarlah Mahesa Jenar, bahwa Kebo Kanigara telah memaksa dengan caranya, supaya ia menekuni ilmunya lebih dalam lagi. Tetapi meskipun demikian ia masih bertanya,
“Kakang, bukankah Kakang dapat menuntun aku tanpa teka-teki yang hampir memecahkan kepalaku itu.”
Sekali lagi Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya,
“Dengan demikian keprihatinanmu akan jauh berbeda. Kau akan mendalami ilmumu dengan tahap-tahap yang biasa. Tetapi, dengan keadaanmu seperti yang kau alami, kau benar-benar membanting tulang untuk memperdalam ilmu itu. Justru dengan demikian kau benar-benar telah menemukan sarinya dalam waktu yang singkat.”
“Tetapi Kakang…” bertanya pula Mahesa Jenar,
“Dari mana Kakang dapat mengetahui semua keadaan yang pernah aku alami. Bagaimana Kakang tahu bahwa Panembahan Ismaya telah menyembunyikan aku di sini, dan bagaimana Kakang dapat mengenal hampir setiap orang yang pernah aku kenal pula?”
Kebo Kanigara mengerutkan keningnya. Ia tampak ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab pula,
“Mahesa Jenar… ketahuilah bahwa aku memang merupakan salah seorang dari penghuni padepokan ini. Apa yang aku lakukan semuanya atas ijin Panembahan. Dan dari Panembahan pula aku mendapatkan beberapa petunjuk tentang kau.”
“Siapakah sebenarnya Panembahan Ismaya itu?” tanya Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Pertanyaanmu aneh Mahesa Jenar. Kau bertanya tentang seseorang yang telah kau sebut namanya. Bukankah ia Panembahan Ismaya. Panembahan sakti yang mengepalai padepokan Karang Tumaritis ini?”
Dari jawaban itu Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa ada sesuatu yang tersembunyi, yang tak seorangpun boleh mengetahui. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi ia bertekad untuk pada suatu waktu dapat mengetahuinya pula, siapakah sebenarnya orang tua yang seolah-olah telah menyisihkan diri dari dunia ramai itu.
“Kakang…” Mahesa Jenar memulai lagi,
“Kalau demikian, di manakah muridku Kakang sembunyikan?”
Kebo Kanigara tertawa. Lunak dan perlahan-lahan. Jawabnya,
“Benarkah kau bertanya tentang muridmu?”
Mahesa Jenar menjadi heran. Sambil mengangguk-angguk ia menegaskan,
“Ya Kakang. Aku bertanya tentang muridku?”
“Sesudah itu kau pasti akan menanyakan seorang lagi kepadaku,” sahut Kebo Kanigara sambil tersenyum.
“Malahan barangkali yang lebih penting bagimu.”
“Ah,” desis Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Sekali lagi Kebo Kanigara tertawa lunak dan perlahan-lahan. Tetapi ia tidak melanjutkan pertanyaannya.
Kemudian Mahesa Jenar berkata untuk mengalihkan pembicaraan,
“Kakang, apakah menurut pendapat kakang Kanigara, ilmuku telah meningkat selama ini?”
“Kau telah merasakannya sendiri,” jawab Kebo Kanigara.
“Tetapi menurut penilaianku, kau telah memenuhi harapanku. Sebab menurut pendapatku, supaya Perguruan Pengging tidak menjadi semakin pudar, maka murid-muridnya harus dapat selalu melampaui ilmu gurunya. Demikian berturut-turut. Dan sekarang kau telah mendapatkan itu.”
Kalau ada guntur menggelegar di telinganya, Mahesa Jenar tidak akan terkejut seperti saat itu. Memang ia telah merasakan sesuatu perkembangan yang menggembirakan dalam latihan-latihan yang dilakukan selama ini dengan tekunnya. Tetapi ketika ia mendengar pernyataan Kebo Kanigara, Saudara muda seperguruan gurunya, yang memiliki ilmu lebih sempurna dari gurunya sendiri, mengatakan, bahwa ia telah dapat menyamai kesaktian almarhum gurunya.

”KAKANG berkata sebenarnya?” tanya Mahesa Jenar dengan nada kurang percaya.
Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya,
”Aku berkata sebenarnya. Dan aku telah mencobanya. Juga terhadap gurumu, ayah Pengging Sepuhpun aku pernah mencoba ilmunya, khusus Sasra Birawa, dan memperbandingkan dengan kekuatan ilmu yang aku miliki.”
Mahesa Jenar menjadi terdiam oleh perasaan yang bergulat di dalam dadanya. Ia tiba-tiba menjadi sangat bergembira. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian, ia telah memanjatkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pencipta Alam yang telah menunjukkan jalan kepadanya lewat adik seperguruan gurunya. Dan karena itu pulalah hatinya menjadi tenang. Setenang air telaga yang tidak dapat dijajagi seberapa dalamnya. Untuk beberapa lama ruangan itu dikuasai oleh keheningan lampu obor yang menyala-nyala dengan lincahnya, melemparkan sinarnya yang seolah-olah menari di dinding goa itu. Mahesa Jenar yang masih hanyut dalam angan-angan duduk sambil menundukkan kepala. Di dalam hatinya, terucapkanlah sebuah janji, bahwa dengan kematangan yang dicapainya, ia harus lebih banyak menyerahkan darma baktinya untuk manusia dan kemanusiaan, untuk tanah dimana ia dilahirkan dan untuk bangsa yang hidup diatasnya. Dan sekaligus ia berjanji di dalam hatinya itu, bahwa dengan segenap kemampuan yang telah dimiliki itu, ia harus menumpas segala kejahatan dan pelanggaran atas keharusan dalam hidup bernegara dan bertata masyarakat. Sehingga terpancarlah api cinta sejati di atas bumi. Kemudian angan-angannya itu dipecahkan oleh suara Kebo Kanigara,
”Mahesa Jenar… sekarang sudah sampai waktumu untuk meninggalkan ruang samadimu ini. Biarlah patung batu itu tinggal sendiri, menjadi saksi bisu atas apa yang pernah terjadi di sini.”
Mahesa Jenar mengangguk satu kali. Kemudian perlahan-lahan ia berdiri dan memandang patung batu itu dengan tajamnya. Kebo Kanigara pun kemudian berdiri.
”Marilah…” katanya,
”Ikutilah aku. Sekarang kau tak usah marah lagi. Aku akan membawa obor ini, supaya kau tak kehilangan jalan.”

Mahesa Jenar mengikuti Kebo Kanigara itu dengan langkah yang berat. Seolah-olah ia segan meninggalkan patung batu itu kesepian. Tetapi ia tidak berkata sepatah pun. Karena Mahesa Jenar tidak menjawab, Kebo Kanigara meneruskan,
”Mau kau apakan patung batu itu…? Ia tidak bersedih hati kau tinggalkan di ruangan ini.”
Mahesa Jenar tersenyum dan melangkah mengikuti Kebo Kanigara meninggalkan ruangan itu.
”Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian sambil berjalan menyusur goa yang memiliki beratus-ratus cabang yang membingungkan itu,
”Ada beberapa maksud, karena aku terpaksa mempergunakan nama serta gelarmu. Pertama-tama seperti yang telah aku katakan kepadamu. Kedua, aku ingin seseorang tidak merasa berhutang budi kepada orang lain kecuali kepada Mahesa Jenar.”
Kali ini benar-benar Mahesa Jenar tidak dapat menjawab. Sampai Kebo Kanigara meneruskan,
”Untunglah bahwa aku dapat meyakinkan diriku bahwa aku benar-benar bukan orang yang bernama Mahesa Jenar.”
”Nanti akan diketahuinya pula Kakang,” jawab Mahesa Jenar kemudian,
”Bahwa bukan Mahesa Jenar yang sebenarnyalah yang telah berbuat jasa itu.”
”Jangan Mahesa Jenar,” sela Kebo Kanigara,
”Aku telah bersusah payah berperan sebaik-baiknya sebagai Mahesa Jenar.”
”Tetapi bagaimanapun juga orang akan tahu juga, bahwa yang telah melakukan suatu perbuatan yang dahsyat itu pasti bukan aku,” jawab Mahesa Jenar pula.
”Sebab Kakang Kebu Kanigara telah menggunakan sekian banyak orang. Apakah aku dapat melakukan pekerjaan seperti itu?”
”Kau masih belum dapat mengerti tentang dirimu sendiri,” sahut Kebu Kanigara.
”Dengan samadimu itu, kau akan mampu melakukan apa yang dilakukan olehku dalam perananku sebagai Mahesa Jenar. Juga terhadap Bugel Kaliki dan Sima Rodra, kau sekarang tidak berada di bawahnya.”
Sekali lagi dada Mahesa Jenar bergetar. Dan sekali lagi hatinya berjanji untuk membinasakan orang-orang itu.

Tiba-tiba Mahesa Jenar teringat kepada muridnya. Apakah kira-kira yang telah dilakukannya selama ini. Maka bertanyalah ia,
”Kakang Kebo Kanigara. Lalu bagaimanakah keadaan muridku?”
”Agaknya kau benar-benar sayang kepada anak itu,” jawab Kebo Kanigara.
”Aku tidak tanggung-tanggung dalam perananku.” Ia meneruskan,
”Juga terhadap muridmu aku telah memaksanya untuk meningkatkan ilmunya dengan cara yang pernah aku tempuh.”
”Cara yang pernah Kakang tempuh?” ulang Mahesa Jenar dengan herannya.
”Adakah Kakang pernah bertemu dengan anak itu?”
Kebo Kanigara tertawa pendek.
”Pernah,” jawabnya.
”Aku selalu bertemu dengan anak itu di mana-mana. Karena itu aku banyak mengetahui tentang kau dan muridmu. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk dari Panembahan Ismaya.”
Dalam pada itu tiba-tiba Mahesa Jenar teringat akan peristiwa-peristiwa yang pernah disaksikan atas muridnya. Maka dibayangkanlah bentuk orang yang pernah melakukan perbuatan perbuatan aneh di pantai Tegal Arang. Seorang yang mempergunakan 6 wajah, menyerang muridnya setiap malam berturut-turut. Orang itu bertubuh besar dan kekar. Dan sekarang orang yang berjalan di hadapannya itu pun bertubuh besar dan kekar.
”Kakang…” seru Mahesa Jenar sesaat kemudian.
”Aku sekarang berani memastikan bahwa Kakang telah menolong muridku untuk suatu loncatan yang tingkatan ilmunya di pantai Tegal Arang dengan cara kakang yang aneh.”

TERDENGAR Kebo Kanigara tertawa pendek. Jawabnya,
“Aku tidak telaten melihat anak itu maju setapak demi setapak. Sejak aku dengar kabar bahwa ayah Handayaningrat meninggal dunia, aku jadi gelisah. Jangan-jangan tak seorang pun yang akan mewarisi dari perguruan Pengging. Karena adi Kebo Kenanga meninggal pula, maka satu-satunya yang ada adalah kau. Kemudian kaupun menghilang. Mati-matian aku mencarimu. Dan akhirnya aku ketemukan kau. Malahan kau telah mempunyai seorang murid yang berbakat baik. Tetapi kau pergunakan cara-cara ayah Pengging Sepuh untuk meningkatkan ilmu muridmu. Selangkah kecil demi selangkah kecil. Maka akupun berusaha membantumu dengan caraku.”
“Kakang…” sahut Mahesa Jenar.
“Sudah sewajarnyalah kalau aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”
“Jangan katakan itu,” potong Kebo Kanigara.
“Kewajibanmu dan kewajibanku dalam hal ini tidak ada bedanya. Juga kali ini terhadap muridmu itu aku isikan ilmu dari perguruan Pengging. Berurutan seperti rencana yang akan kau berikan. Hanya caraku berbeda dengan caramu.”
Mendengar keterangan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar berdiam diri. Ia sekarang, barangkali setelah mempelajari ilmunya lebih tekun dengan suatu cara yang tidak direncanakannya lebih dahulu, tidak akan lagi mengajari muridnya dengan cara yang pernah dilakukan sebelumnya. Di mana muridnya harus menerima pelajaran setingkat demi setingkat tanpa mengikut sertakan kemampuan daya cipta muridnya itu sendiri.
“Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian,
“Marilah kita melihat muridmu itu berlatih. Aku telah minta kepada seseorang untuk meneternya dan memperbandingkan dengan ilmu perguruan lain.”
“Ilmu perguruan lain?” ulang Mahesa Jenar keheran-heranan.
“Adakah seseorang di sini dan perguruan lain?”
“Akan kau lihat nanti,” jawab Kebo Kanigara.
“Aku telah melakukan apa saja yang mungkin atas muridmu itu dalam masa pembajaan dirinya. Aku sendiri suatu waktu datang melawannya. Dan pada saat lain aku datang sebagai gurunya, Mahesa Jenar, untuk memberinya petunjuk petunjuk. Kadang kadang aku hadapkan Arya Salaka dengan ilmu dari perguruan lain.”

Mahesa Jenar tidak menjawab lagi. Tiba-tiba saja ia menjadi rindu sekali kepada satu-satunya murid yang telah dibawanya menjelajah daerah-daerah serta mengalami kesukaran lahir dan batin. Dalam hatinya ia mengucapkan terima kasih tak habis-habisnya kepada Kebo Kanigara yang telah membantu mematangkan ilmu muridnya. Dengan demikian ia mengharap seorang yang tidak kalah saktinya, Ki Ageng Sora Dipayana dari Banyubiru. Setelah Mahesa Jenar mengikuti Kebo Kanigara menempuh jalan yang berliku-liku, maka sampailah mereka kepada satu gang yang menuju ke dalam sebuah ruang yang agak luas seperti ruang yang dipergunakan untuk mengurung Mahesa Jenar. Dalam pada itu Kebo Kanigara berbisik,
“Mahesa Jenar, ingat muridmu selama ini belum pernah terpisah dari gurunya.”
“Lalu apa yang pernah dilakukan oleh gurunya?” tanya Mahesa Jenar.
“Melatihnya dan menurunkan segala sifat-sifat keluhuran budi dan kepahlawanan. Gurunya telah mengatakan kepada anak itu bahwa dalam masa-masa yang dekat, harus sudah menurunkan api kejantanan dan kesetiaan pada janji seorang ksatria, supaya api yang menyala di dalam dada angkatan tua itu tidak padam kehabisan minyak. Sebab apabila datang waktunya kita meninggalkan mereka, api itu harus sudah mereka miliki. Bahkan harus berkobar lebih hebat dari semula.”
Mahesa Jenar benar-benar tersentuh hatinya mendengar ucapan itu. Karena iapun tak akan berbuat lain daripada itu.
“Kakang…” tanya Mahesa Jenar pula,
“Tidakkah anak itu mengenal Kakang bukan sebagai gurunya?”
“Tidak Mahesa Jenar,” jawab Kebo Kanigara,
“Aku selalu datang padanya, apabila ruangan itu sudah mulai gelap. Aku tidak pernah membawa obor yang cukup menerangi ruangan itu. Disamping itu aku jarang-jarang sekali bercakap-cakap dengan anak itu. Aku paksa ia bekerja keras untuk mendalami ilmunya. Nah sekarang kaupun telah memiliki rambut yang memenuhi mukamu. Aku mengharap bahwa Arya Salaka tidak sempat membeda-bedakan antara kita. Hanya mungkin aku agak lebih kasar daripadamu.”
“Mungkin ada juga terselip beberapa pertanyaan dalam hatinya,” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Karena perbedaan sifat dan cara dari apa yang pernah aku berikan kepadanya.”
“Mahesa Jenar…” Kebo Kanigara meneruskan,
“Sebelumnya baiklah kita tunggu sampai esok. Lihatlah bagaimana ia berlatih dengan seseorang dari perguruan lain di dalam ruangan itu. Aku sudah menyuruhnya tinggal di situ terus menerus sampai aku, Mahesa Jenar, membawanya keluar.”

Bagaimanapun mendesaknya keinginan Mahesa Jenar untuk bertemu dengan muridnya, namun ia harus menyabarkannya sampai esok. Tetapi hari esok itu tidak akan terlalu lama datang. Meskipun demikian, Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah menunggu terlalu lama. Agaknya matahari menjadi bertambah malas, sehingga agak kesiangan terbit. Namun lambat laun, terasalah bahwa fajar telah pecah di timur. Selama itu ia mengisi waktunya dengan mendengarkan ceritera Kebo Kanigara tentang muridnya, dan tentang peranannya sebagai Mahesa Jenar.
“Ingat Mahesa Jenar…” kata Kebo Kanigara,
“Kau waktu itu marah kepada muridmu, karena ia kehilangan jalan. Seharusnya ia dapat berjalan lebih cepat di belakangmu. Karena itulah maka kau kurung muridmu dalam ruangan itu untuk dengan keras berusaha membajakan diri. Ternyata muridmu adalah seorang murid yang patuh. Ia tidak pernah mengeluh, meskipun kadang-kadang ia berlatih sampai hampir pingsan. Kaulah yang membawa makan dan minumnya. Disamping itu, satu hal yang penting dan seharusnya aku minta maaf kepadamu bahwa Arya Salaka telah menerima dasar–dasar ilmu khusus perguruan Pengging, Sasra Birawa”.

MAHESA JENAR terkejut mendengar ceritera itu. Karena itu ia bertanya,
“Adakah anak sebesar Arya Salaka telah cukup kuat untuk memiliki aji itu?”
“Muridmu luar biasa,” jawab Kebo Kanigara.
“Memang aku kira akibatnya akan tidak baik kalau kau dalam tingkat sebelum samadimu, memberikan ilmu itu kepadanya. Tetapi sekarang tidak. Juga aku merasa tidak. Apalagi ketika aku tunjukkan bagaimana ia harus mengatur pernafasan, pemusatan pikiran dan tenaga, aku jadi yakin bahwa mungkin ia mempunyai bakat lebih baik daripada kita. Nah, sekarang kau telah menyadari kematanganmu. Aku harap kau lanjutkan dasar-dasar ilmu Sasra Birawa. Meskipun dalam pelaksanaannya barulah dalam tingkat kekuatan lahiriah saja”.
“Itu sudah cukup Kakang,” sela Mahesa Jenar,
“Sudah terlalu banyak bagi seorang anak-anak sebesar Arya Salaka yang baru berumur lebih kurang 16 sampai 17 tahun itu. Bukankah kecuali persiapan jasmaniah diperlukan pula persiapan rokhaniah, supaya tidak ada penyalahgunaan di kemudian hari”.
Kebo Kanigara tersenyum mendengar pendapat Mahesa Jenar.
“Kau benar-benar seorang yang teliti terhadap segala akibat dari suatu perbuatan. Tetapi khusus muridmu itu, aku kira ia telah cukup mempunyai persiapan lahir batin. Mungkin karena pengalaman-pengalamannya serta tekanan-tekanan yang dialami dalam usianya yang masih muda itu, ia menjadi agak terlampau cepat masak”.

Mahesa Jenar mengangguk membenarkan. Memang pengaruh penghidupan yang dialami, sangat terasa pula kematangan jiwa muridnya. Ia dapat berpikir hampir seperti seorang dewasa dengan menanggapi suatu kejadian, karena itulah maka tiba-tiba timbul pulalah rasa ibanya terhadap Arya Salaka yang seakan-akan telah kehilangan sebagian dari tataran hidupnya, sebagian dari masa mudanya. Ketika itu terasalah bahwa pagi telah datang. Obor yang dibawa oleh Kebo Kanigara telah lama padam. Kemudian mereka melanjutkan menyusur lubang-lubang gua itu mendekati ruang tempat Arya berlatih. Dari sebuah lubang mereka dapat mengintip ke dalam ruangan itu. Dari sanalah Mahesa Jenar itu melihat muridnya. Yang mula-mula memukul dadanya adalah suatu perasaan haru ketika ia melihat Arya Salaka menjadi kurus dan pucat. Tetapi kemudian ia tersenyum. Juga senyum haru. Disamping Arya Salaka ia melihat seorang pemuda yang gagah, berwajah bening dan berdada bidang. Ia adalah Putut Karang Tunggal yang agaknya menemani Arya Salaka.
“Kalau bukan aku dalam perananku sebagai Mahesa Jenar, anak itulah yang membawa makanan untuk Arya,” bisik Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar jadi bergembira ketika ia melihat muridnya bersahabat dengan Putut yang mengepalai para cantrik itu.
“Mereka berdua mempunyai banyak persamaan,” bisik Kebo Kanigara lebih lanjut,
“Keduanya tabah dan penuh semangat. Karena itu mereka tekun berlatih bersama”.
“Berlatih bersama…?” ulang Mahesa Jenar terkejut,
”Jadi Putut Karang Tunggal juga memiliki ilmu yang cukup tinggi?”
Kebo Kanigara mengangguk.
“Aku tidak mengira. Ia terlalu halus dan sopan. Muridku adalah seorang anak yang biasa hidup dalam pergaulan yang kasar. Diantara para petani dan nelayan,” sambung Mahesa Jenar.

Kebo Kanigara tersenyum aneh.
“Tetapi karena itulah muridmu menjadi seorang anak yang jujur, yang tidak memandang setiap persoalan dengan berbelit-belit,” sahut Kebo Kanigara.
“Nah, tunggu sebentar…” ia melanjutkan,
”Mereka pasti sedang mempersiapkan diri untuk berlatih bersama. Aku mengijinkan Arya Salaka melakukan tanpa pengawasanku. Dan kepada Putut Karang Tunggal itu pun aku pesankan agar tidak mengatakan kepada Arya Salaka siapakah aku sebenarnya”.
Mahesa Jenar kemudian berdiam diri. Ia memang mengharap untuk menyaksikan muridnya berlatih. Ia ingin mengetahui sampai dimana sekarang tingkat kepandaiannya. Hal itu perlu pula untuk menghilangkan kesan-kesan yang mungkin timbul, apabila ia telah kembali kepada anak itu sebagai seorang guru yang pernah diantarai oleh orang lain tanpa setahu anak itu sendiri. Benarlah apa yang dikatakan oleh Kebo Kanigara. Sesaat kemudian ia melihat Arya dan Putut Karang Tunggal mempersiapkan dirinya untuk memulai dengan latihan-latihan yang berat yang mereka lakukan hampir setiap hari. Melihat langkah Arya yang sedang pergi ke tengah ruangan itupun Mahesa Jenar telah merasakan betapa perubahan yang terjadi pada muridnya, sehingga ia semakin lekas ingin mengetahui, gerakan-gerakan yang akan dilakukan. Kemudian setelah mereka masing-masing bersiap, maka latihan itupun dibuka dengan sebuah serangan yang mengejutkan dari Putut Karang Tunggal. Mahesa Jenar sendiri menjadi terkejut pula. Ia sama sekali tidak mengira bahwa anak yang halus, sopan dan sama sekali tidak menunjukkan kekasaran jasmaniah itu dapat berbuat sedemikian. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah Arya Salaka. Ia dengan tangkasnya dapat mengelakkan serangan itu, bahkan dengan suatu gerak yang sangat lincah ia sudah memulai dengan serangannya. Demikian latihan itu semakin lama menjadi semakin cepat. Selangkah demi selangkah mereka bergeser dari satu titik ke titik yang lain memenuhi ruangan itu.
Dalam pada itu, terjadilah gelora di dalam dada Mahesa Jenar. Ia sama sekali tidak menduga bahwa anak muridnya dapat mencapai tingkat yang sedemikian dalam waktu yang singkat. Perasaan bangga dan gembira berputar-putar di seluruh rongga dadanya.

MURIDNYA itu kini benar-benar merupakan banteng muda yang tangkas dan kuat. Sepasang kakinya yang cepat itu, suatu waktu dapat tegak di atas tanah bagaikan tonggak besi yang tak tergerakkan. Tangannya yang hanya sepasang itu tampak bergerak dengan cepatnya, melingkar-lingkar dan mematuk-matuk dengan dahsyatnya. Tetapi lawannya berlatih bukan pula anak kemarin sore. Iapun telah menguasai ilmunya hampir sempurna. Karena itu maka latihan itu berlangsung dengan serunya. Mereka masing-masing mempunyai kekuatan dalam bentuknya masing-masing. Arya Salaka ternyata tangguh bukan main. Tubuhnya cukup kuat dan setiap gerakannya menimbulkan desir dalam dada Mahesa Jenar. Sedangkan Putut Karang Tunggal sangat mencengangkannya. Gerakannya semakin lama menjadi semakin lincah dan cepat. Bahkan kemudian tubuhnya menjadi seakan-akan sangat ringan dan sekali-sekali seperti terbang ia meloncat-loncat membingungkan. Namun Arya Salaka dapat menanggapinya dengan baik. Iapun menjadi seolah-olah memiliki beberapa pasang mata yang terserak-serak di tubuhnya, sehingga kemana bayangan itu melontar, ia selalu dapat melihatnya dan segera menghadapinya. Dalam pada itu, semakin lama Mahesa Jenar dapat semakin melihat jelas kekuatan-kekuatan yang tersimpan pada setiap gerak kedua anak muda itu. Bagi Arya Salaka ia hanya dapat berbangga hati, sebab setiap geraknya adalah gerak-gerak dari perguruan Pengging ditambah dengan segala macam pengalaman Arya Salaka yang dipetiknya dari gerak-gerak alam yang pernah ditekuni bersama, yang dapat disusunnya sendiri dalam satu senyawa yang serasi. Tetapi yang semakin mengetuk-ngetuk hatinya adalah setiap gerakan Putut Karang Tunggal yang cepat lincah itu.

Tiba-tiba Mahesa Jenar seolah-olah melihat kedua anak muda yang sedang berlatih itu seperti pernah terjadi belasan tahun yang lalu. Meskipun tidak tepat benar, namun ia pernah menyaksikan ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang Tunggal itu. Akhirnya ketika ia menjadi semakin jelas, tergetarlah tubuhnya. Hampir saja ia berteriak menyebutkan sebuah nama, kalau ia tidak segera teringat bahwa pada saat itu ia masih belum waktunya menampakkan diri. Namun bagaimanapun juga ia merasa bahwa kedua anak muda itu berlatih mirip seperti dirinya sendiri berlatih bersama sahabatnya pada waktu mudanya, Mahesa Jenar dan Sela Enom. Dan pada saat itulah ia mendapat kepastian bahwa anak yang menamakan diri Putut Karang Tunggal itu pasti ada sangkut pautnya dengan Ki Ageng Sela Enom yang pada masa kanak-kanaknya bernama Anis. Tetapi menilik kedahsyatannya maka ia tidak yakin bahwa anak itu adalah murid Ki Ageng Sela. Sebab bagaimana tingginya ilmu Ki Ageng Sela itu, namun ia pasti tidak akan mampu membentuk Putut Karang Tunggal sampai menjadi anak yang sedemikian mencengangkan. Karena itu Mahesa Jenar tidak mau berteka-teki lagi. Akhirnya iapun bertanya kepada Kebo Kanigara,
Kakang, siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu?”
Kebo Kanigara tersenyum, jawabnya perlahan-lahan,
“Adakah sesuatu yang kau lihat padanya?”
“Ya,” sambung Mahesa Jenar.
“Aku melihat perguruan Sela ada padanya”.
“Tepat,” jawab Kebo Kanigara.
“Ia adalah murid Ki Ageng Sela”.
Mahesa Jenar menarik nafasnya. Namun ia masih bertanya lagi,
“Adakah Ki Ageng Sela mampu membentuk Karang Tunggal menjadi sedemikian mengagumkan?”
“Ki Ageng Sela yang mana yang kau tanyakan,” sahut Kebo Kanigara.
“Kalau yang kau maksud Sela Enom, maka kau benar, meskipun Sela Enom itupun sekarang telah mampu melakukan hampir seperti apa yang pernah dilakukan oleh ayahnya”.
“Menangkap petir,” potong Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara tertawa perlahan. Sambil mengangguk-angguk ia berkata,
“Bukankah ceritera tentang kecakapan menangkap petir itu sudah dimiliki oleh Sela Enom sejak mudanya? Agaknya bakat turun tumurun itu tidak perlu dipelajarinya terlalu lama”.

Mahesa Jenarpun tersenyum pula mendengar jawaban itu. Tidak hanya itu… Kebo Kanigara meneruskan,
“Tetapi berbagai ilmu yang lain. Ia memiliki kedahsyatan tangan seperti yang dipancarkan oleh Sasra Birawa. Ki Ageng Sela menamakannya aji Narantaka”.
“Agaknya ia mengagumi tokoh Gatutkaca”, potong Mahesa Jenar.
“Mungkin,” jawab Kebo Kanigara.
Kemudian mereka berdiam diri. Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal masih sibuk berlatih. Agaknya latihan-latihan serupa itu telah sering dilakukan sehingga bagaimanapun hebatnya, namun tidaklah sangat berbahaya. Ketika matahari telah tegak di langit, agaknya kedua anak muda itu merasa telah cukup lama berlatih. Karena itu, terdengar Putut Karang Tunggal bersiul nyaring, dan berloncatanlah mereka surut. Meskipun tubuh masing-masing dibasahi oleh peluh yang mengalir deras sekali, namun wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan. Dalam pada itu, sekali lagi terdengar Mahesa Jenar bertanya,
“Kakang Kanigara. Siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu? Bagaimanapun juga aku masih melihat beberapa kelebihan yang dimilikinya daripada Arya Salaka”.
Untuk beberapa lama Kebo Kanigara tidak menjawab. Ia agaknya menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian terdengar Mahesa Jenar mendesak,
“Aku merasa bahwa anak itu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak muda pada umumnya. Cahaya wajahnya yang terang seperti memancarkan wibawa yang mengagumkan”.
“Ia juga murid Ki Ageng Sela Sepuh,” jawab Kanigara.
“Aku sudah mengira,” sahut Mahesa Jenar,
“Tetapi siapakah dia?”
“Putut Karang Tunggal,” jawab Kanigara pula sambil tersenyum.
“Akh…!” desis Mahesa Jenar.
“Kakang Kanigara memang mempunyai kegemaran berteka-teki. Tetapi teka-teki yang pertama telah aku tebak dengan tepat. Sekarang aku menyerah. Sebab pada saat aku meninggalkan Demak, aku tidak sempat menanyakan kepada Nis Sela, apakah ia mempunyai murid yang sekaligus menjadi adik seperguruan”.

“MAHESA JENAR…” bisik Kebo Kanigara bersungguh-sungguh,
“Kau pasti pernah mengenal anak itu. Bukankah sepeninggal Adi Kebo Kenanga kau masih beberapa tahun lagi tinggal di Demak, sebelum keadaan memburuk?”
Mahesa Jenar mengangguk.
“Kalau demikian kau pasti mengenalnya,” sambung Kebo Kanigara.
“Anak itu adalah anak yang aneh. Sebenarnya ia tidak betah untuk tinggal terlalu lama di sesuatu tempat. Ia datang berguru hanya apabila ia inginkan. Ia datang sewaktu-waktu tanpa aturan. Meskipun demikian kecerdasannya sangat mengagumkan. Ia dapat menguasai segala ilmu hanya dalam waktu yang sangat singkat. Sepersepuluh dari waktu yang diperlukan oleh anak-anak muda yang lain. Bahkan kurang dari itu. Ia datang kemari mencari aku, untuk minta diri. Ia mendapat nasehat dari seorang Wali yang terkemuka untuk mengabdikan diri di Kraton Demak, ketika Wali itu melihatnya menunggui padi gaga di ladang”.
“Seorang Wali?” tanya Mahesa Jenar.
“Siapakah dia?”
“Seorang yang bertubuh tinggi besar, berikat kepala Wulung dan berbaju Wulung pula,” jawab Kebo Kanigara.
“Sunan Kali Jaga…?” gumam Mahesa Jenar.
“Ya,” Kebo Kanigara menegaskan.
“Ia baru saja datang dari Pamancingan di Pantai Selatan menuju ke Demak. Pada saat itulah ia berkata kepada Putut itu, Hai anak yang mendapat anugerah Allah. Pulanglah dan pergilah ke Demak. Jangan asyik menunggui pagagan, sebab kelak kau akan menduduki tahta. Demikian nasehat Sunan Kali. Dan agaknya anak itu akan mencoba memenuhinya. Ia datang untuk minta diri kepadaku, dan sekedar menambah bekal bagi masa depannya”.
Dada Mahesa Jenar berdebar-debar mendengar ceritera itu. Seorang yang diramalkan untuk memegang tahta.
“Adakah ia mempunyai hubungan dengan Kakang Kanigara?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Ada,” jawab Kanigara.
“Dan barangkali aku belum menyebutkan hubungan itu. Ia adalah putra Adi Kebo Kenanga”.
“He…” Mahesa Jenar terkejut.
“Putra Kakang Kebo Kenanga. Adakah dia Si Karebet yang nakal itu”.

Kebo Kanigara mengangguk.
“Karebet yang kemudian dikenal bernama Jaka Tingkir setelah ia dipelihara oleh Nyai Ageng Tingkir, kakak perempuan Nyai Kebo Kenanga”.
Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disangka-sangka sebelumnya ia akan dapat bertemu dengan anak kakak seperguruannya. Yang bahkan oleh seorang Wali yang terkenal diramalkan untuk menjadi raja.
“Nah, Kakang…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Marilah kita temui mereka”.
Kebo Kanigara menggeleng.
“Tidak mungkin…” jawabnya.
“Muridmu akan menjadi heran melihat ada dua orang yang menamakan diri Mahesa Jenar”.
Mahesa Jenar tertegun.
“Lalu bagaimana?” ia bertanya.
“Dan ingat, kau harus membersihkan janggut dan kumismu di hadapan anak itu, supaya ia mendapatkan wajah Mahesa Jenar yang sebenarnya tanpa curiga. Akupun akan berbuat demikian. Tentu saja di tempat lain. Sehingga apabila aku kemudian bertemu dengan anak itu, ia tidak akan mengenal aku lagi”.
Sekali lagi Mahesa Jenar terpaksa tersenyum, meskipun ia sebenarnya ingin segera dapat menemui kedua anak muda itu. Namun bagaimanapun ia terpaksa menuruti nasehat Kebo Kanigara. Sehari itu Mahesa Jenar menunggu saja. Matahari di langit rasanya berjalan sangat lambatnya. Seolah-olah dengan segannya mengarungi langit menurut garis edarnya. Lingkaran-lingkaran cahayanya yang menembus lubang-lubang di atas ruang itu dengan lesunya berjalan ke arah yang berlawanan. Ketika matahari telah condong, Putut Karang Tunggal meninggalkan Arya Salaka seorang diri.
Anak itu oleh gurunya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, dilarang meninggalkan ruangan itu, sebagai suatu cara berprihatin. Dan apa yang dicapainya adalah sangat menggembirakan meskipun kadang-kadang terselip juga beberapa pertanyaan mengenai gurunya. Ketika Putut Karang Tunggal itu hilang ke balik lorong pintu ruangan itu berbisiklah Kebo Kanigara,
“Mahesa Jenar, kau dapat menemui Karebet. Itu saja dahulu”.
“Sekarang?” tanya Mahesa Jenar.
“Ya. Ikutlah aku,” jawab Kebo Kanigara.
“Muridmu itu tak akan hilang di situ”.

Kemudian Mahesa Jenar melangkah mengikuti Kebo Kanigara, melingkar sepanjang lubang goa yang gelap, dan yang sebentar kemudian muncul di sebuah ruangan lain yang agak lebar pula yang banyak terdapat di sepanjang saluran goa itu. Di dalam ruangan itu pulalah mereka bertemu dengan Putut Karang Tunggal yang sedang berjalan keluar. Ketika ia melihat kedua orang itu, ia terkejut. Tetapi kemudian ia mengangguk hormat.
“Selamat sore paman berdua”.
“Selamat sore Karang Tunggal. Permainanku sudah hampir selesai. Ini adalah pamanmu yang sebenarnya,” sahut Kanigara.
Karang Tunggal sekali lagi membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar sambil berkata,
”Baktiku untuk Paman Mahesa Jenar”.
Mahesa Jenar tersenyum. Ia melangkah maju. Sambil menepuk bahu anak muda itu ia berkata,
“Permainanmu sudah sempurna Karebet. Ketika aku datang mula-mula di bukit ini, benar-benar aku tidak menduga bahwa kaulah yang menamakan diri Karang Tunggal”.
“Paman Kebo Kanigara yang mengatur semuanya bersama Eyang Ismaya,” jawab Karang Tunggal.

MAHESA JENAR menoleh kepada Kebo Kanigara sambil berkata,
“Untunglah bahwa kepalaku belum pecah memikirkan permainan kalian yang aneh itu”.
Kemudian kepada Karang Tunggal ia meneruskan,
“Nah Karebet, kau sudah banyak mendengar tentang aku, tentang seorang Wali yang menasehatkan kepadamu untuk mengabdi ke Demak”.
Karebet menundukkan kepalanya. Katanya lirih,
“Mudah-mudahan paman melimpahkan pangestu kepadaku. Meskipun semuanya itu hanyalah sebuah mimpi yang cemerlang, namun setidak-tidaknya aku akan dapat mengabdikan diri pada tanah kelahiran ini”.
“Bagus…” sahut Mahesa Jenar,
“Kau harus mulai dengan semangat pengabdian. Jangan kau mulai dengan suatu tekad yang berlebih-lebihan supaya kau tidak mudah menjadi kecewa”.
“Akan aku junjung tinggi segala pesan paman Mahesa Jenar,” jawab Putut Karang Tunggal sambil membungkukkan tubuhnya sebagai suatu pernyataan janji. Tidak saja kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, tetapi juga kepada diri sendiri.
“Mahesa Jenar…” sela Kebo Kanigara kemudian,
“Bawalah pisauku ini. Sebentar lagi apabila ruangan-ruangan ini telah gelap, masuklah ke dalam ruang muridmu. Kau dapat menyusur lubang itu, dan akan sampai ke dalamnya tanpa cabang yang lain. Aku akan menunggumu di ruang sebelah ini. Kemudian kita keluar bersama-sama supaya kau tidak usah mencari-cari jalan”.
“Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Jangan banyak berkata tentang waktu lampau. Ajaklah ia keluar karena segala sesuatu telah kau anggap cukup”. Kanigara menyambung.
“Dan seterusnya kau dapat menuntunnya dengan suatu cara yang lebih baik dari yang pernah kau pergunakan”.
“Baiklah Kakang,” jawab Mahesa Jenar sekali lagi.
“Aku menunggu kau di sebelah. Dari ruangan ini kau akan dapat melihat sinar obor yang akan segera aku nyalakan kalau ruangan itu telah gelap benar”. Berkata kanigara pula,
“Aku juga selalu datang pada saat-saat semacam itu, meskipun hanya karena aku harus menyembunyikan wajahku”.

Setelah itu Kebo Kanigara segera melangkah pergi diikuti oleh Putut Karang Tunggal. Untuk sesaat Mahesa Jenar mengagumi anak kakang seperguruannya itu, sampai hilang ke dalam sebuah mulut lubang goa itu. Kemudian Mahesa Jenar mempersiapkan dirinya untuk segera menemui muridnya, supaya perasaannya tidak menggelora. Sesaat kemudian, udara menjadi semakin sejuk. Semburat merah telah memancar di langit, sebagai sisa-sisa cahaya matahari yang telah membenamkan dirinya. Ia tidak sabar untuk menunggu lebih lama lagi, karena itu segera iapun berjalan menyusur gang sempit menuju ke ruang dimana Arya Salaka sedang membajakan dirinya. Ketika ia sampai di mulut gang itu, ia mendengar langkah-langkah di dalamnya. Agaknya Arya Salaka masih mempergunakan waktunya untuk berlatih. Sebab di dalam ruangan yang sepi itu ia benar-benar tidak mau menyia-nyiakan waktu. Karena itu ia mempergunakan setiap waktunya untuk melatih diri agar segera dapat dicapai suatu tingkatan yang dikehendaki oleh gurunya. Mula-mula ia bermaksud demikian agar dapat segera meninggalkan ruangan yang menjemukan itu, tetapi lambat laun ia berpendapat lain. Ia semakin menjadi tertarik dan bersemangat mendalami ilmunya karena ilmu itu sendiri, bukan karena kejemuan dan kesunyian. Dengan hati-hati Mahesa Jenar melangkah masuk, sehingga tidak menimbulkan sesuatu suara yang menarik perhatian muridnya yang sedang tekun. Apalagi sesaat kemudian, anak itu agaknya sedang memusatkan segenap perhatiannya, mengatur jalan pernafasannya, dan disilangkannya satu tangannya di depan dada, satu lagi diangkat tinggi-tinggi, dan satu kakinya ditekuknya ke depan. Sesaat kemudian tubuhnya sebagai anak panah melontar maju, tangannya yang diangkat tinggi-tinggi itu terayun deras mengarah kepada sebuah batu padas di dinding goa itu. Maka kemudian terjadilah suatu benturan yang dahsyat, dan disusul dengan lontaran pecahan batu padas itu berserak-serakan. Itulah pukulan Sasra Birawa yang telah dimiliki pula oleh seorang anak sebesar Arya Salaka.

Melihat hasil yang dicapai oleh muridnya itu, hampir Mahesa Jenar tidak dapat menahan diri. Apa yang dicapainya dengan cara penurunan ilmu Ki Ageng Pengging Sepuh, sampai bertahun-tahun itu, dapat dipelajari Arya Salaka kurang lebih hanya satu bulan saja, dengan cara penurunan ilmu adik seperguruan gurunya. Karena itu ia sekarang percaya, bahwa Kebo Kanigara benar-benar melampaui Ki Ageng Pengging Sepuh, yang kebetulan adalah gurunya, yang bergelar Pangeran Handayaningrat. Meskipun demikian, apa yang terlahir dari mulutnya adalah berbeda sekali dengan perasaannya. Maka katanya lantang,
“Ulangi!”
Arya Salaka terkejut. Segera ia menoleh dan membungkuk hormat kepada gurunya yang dirasanya pada saat-saat terakhir mempunyai kebiasaan yang jauh berbeda dengan waktu-waktu sebelumnya. Ketika ia mendengar gurunya mengucapkan kata-kata itu wajahnya segera menjadi muram. Ia merasa bahwa apa yang baru saja dilakukan sama sekali tidak memuaskan gurunya.

“JELEK sekali,” gumam Mahesa Jenar, meskipun sebenarnya hatinya memuji. Sebab apa yang dilakukan Arya pada waktu itu, sama sekali tidak jauh berselisih dengan apa yang dapat dilakukannya sebelum ia melakukan samadi dan menemukan hakekat dari watak setiap unsur gerak dari ilmunya, sehingga menurut Kebo Kanigara, ia telah dapat menyamai gurunya sendiri. Mendengar suara gurunya itu Arya Salaka menundukkan kepalanya. Ia sangat bersedih bahwa ia mengecewakan. Melihat sikap Arya, Mahesa Jenar menjadi sangat terharu. Hampir saja ia meloncat dan membelai kepala muridnya. Untunglah bahwa ia dapat menahan diri. Sambil mengatur perasaannya ia berkata,
“Arya, lihat batu hitam itu.”
Dengan mata yang suram, Arya memandang sebuah batu hitam sebesar kepalanya dalam keremangan petang, yang terselip diantara batu-batu padas yang menjorok pada dinding goa.
“Apa yang kau lihat itu? ” bentak Mahesa Jenar.
“Sebuah batu hitam yang terjepit diantara batu-batu padas,” jawab Arya dengan suara yang dalam.
“Itulah sebabnya kau tidak dapat maju,” bentak Mahesa Jenar pula.
“Perhatianmu terpecah-pecah pada semua masalah yang tak berarti. Aku bilang, lihat batu hitam itu. Aku sama sekali tidak menanyakan apakah batu itu terjepit batu padas, atau terletak di atas tanah. Seharusnya kaupun hanya melihat batu hitam itu. Batu hitam itu saja yang menjadi pusat perhatianmu. Tidak perduli apakah batu itu tergantung di langit atau apapun.”

Sekali lagi Arya menundukkan kepalanya. Tetapi ia mendapat suatu petunjuk yang sangat berarti dalam hidupnya. Bahwa ia tidak boleh memandang setiap masalah tanpa pemusatan persoalan, sehingga masalah pokoknya dapat menjadi kabur karena masalah tetek bengek yang dapat membelokkan perhatiannya.
“Arya…” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Ulangi, dan pecahkan batu hitam itu.”
Sekali ini Arya Salaka tidak mau mengecewakan gurunya lagi. Dengan penuh tekad, ia membulatkan perhatiannya, mengatur pernafasannya. Satu kakinya diangkatnya dan ditekuknya ke depan, satu tangan menyilang dada, dan satu lagi diangkatnya tinggi-tinggi. Dengan satu loncatan yang dahsyat Arya Salaka mengayunkan tangannya diikuti sebuah teriakan nyaring. Dan, batu hitam yang terjepit diantara batu-batu padas itupun hancurlah berbongkah-bongkah.


<<< Bagian 039                                                                                              Bagian 041 >>>

No comments:

Post a Comment