SEKALI lagi orang itu tersenyum. Lalu perlahan-lahan berjalan mendekap Mahesa Jenar.
“Kalau kau
tidak percaya bahwa aku Mahesa Jenar, lalu siapakah aku menurut pendapatmu?,”
katanya.
“Aku tidak
tahu,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku terlalu
membiarkan perasaan marahmu menjalari otakmu, sehingga kau tidak dapat lagi
melihat lebih saksama. Tetapi sekarang akgaknya kau telah berhasil mengendapkan
diri, karena itu dengan gembira aku melihat, bahwa kau tidak lagi mudah dipaksa
untuk berkelahi, tanpa tujuan.”
“Mahesa Jenar.
Tidakkah kau dapat mengingat-ingat lagi, siapakah yang memiliki ilmu Sasra
Birawa di dunia ini ?”
Mahesa Jenar
seperti terbangun dari mimpi yang membingungkan. Seharusnya sejak semula ia
harus sudah mengingat-ingat hal itu. Dengan teliti ia mulai mengenangkan masa
lampau. Suatu lingkungan kecil di dalam padepokan di Pengging dimana ia bersama
kakak seperguruannya menuntut ilmu jaya kawijayan dan kesaktian, sebagai bekal
hidupnya kelak. Tetapi bagaimanapun ia mengingat-ingat, namun yang diingatnya
hanyalah, didalam padepokan itu, kecuali dirinya dan almarhum Kebo Kenanga
tidak ada seorang muridpun lagi. Akhirnya ia mulai mengingat siapakah yang
sering datang ke padepokan itu. Orang-orang lain yang mempunyai hubungan erat
dengan gurunya. Tetapi gurunya sangat teliti, sehingga tidak mungkin ada orang
lain yang dapat mencuri ilmu sakti tiu tanpa setahunya. Tiba-tiba Mahesa Jenar
tersentak. Ya, orang itu ada orang yang selalu datang ke padepokan itu
melihat-lihat gurunya menurunkan ilmu kepadanya. Karena ingatan itulah maka
mata Mahesa Jenar menjadi berkilat-kilat. Sekali lagi ia membungkuk hormat.
Katanya,
”Tuan, baru
sekarang agaknya otakku dapat bekerja dengan baik. Perkenankanlah aku menebak
siapakah sebenarnya tuan?.”
Orang itu
mengangguk. Kemudian katanya,
“Kau telah
berhasil mengingat kembali orang-orang yang memiliki aji Sasra Birawa?”
“Sudah, Tuan,”
jawab Mahesa Jenar,
“Pertama
adalah guru. Kedua dan ketiga adalah murid-muridnya. Aku dan almarhum Ki Ageng
Pengging, Ki Kebo Kenanga. Dan keempat adalah saudara muda seperguruan Guru,
yang tidak lain adalah putra guru yang tua, kakak Ki Kebo Kenanga. Karena itu
aku berani memastikan bahwa Tuan adalah orang yang keempat itu.”
Orang itu
mengangguk-angguk. Sahutnya,
“Ingatanmu
masih baik kalau kau pergunakan. Ternyata kau menebak tepat.”
Sekali lagi
Mahesa Jenar membungkuk hormat. Dengan hikmat ia berkata,
“Maafkanlah
kelancanganku. Sudah berapa puluh tahun Tuan meninggalkan kami sehingga aku
tidak dapat mengenal Tuan kembali.”
“Tidak ada
yang perlu aku maafkan. Semuanya memang aku kehendaki demikian,” jawab orang
itu.
Mahesa Jenar
tiba-tiba merasakan suatu yang bergelora didalam dadanya. Suatu campur baur
dari bermacam-macam perasaan. Sedih, gembira, bangga, terharu. Lebih dari pada
itu, ia beberapa kali mengucap syukur kepada Tuhan di dalam hatinya.
Dalam suatu
saat yang tak disangka sangka, ia bertemu dengan putra gurunya yang tua, yang dalam
perguruan menjadi adik seperguruan gurunya. Orang itu bernama Ki Kebo Kanigara,
yang lenyap beberapa tahun sebelum gurunya meninggal. Dari gurunya ia pernah
mendengar bahwa ilmu Ki Kebo Kanigara itu sama sekali tidak berada dibawah
gurunya. Bahkan, karena kegemarannya mengembara, ia dapat menambah ilmu itu
dengan bermacam-macam bentuk dan isi.
Sekarang ia
bertemu dengan orang itu dalam suatu suasana yang seolah-olah mengandung
pertentangan. Karena itu maka Mahesa Jenar bertanya seterusnya,
“Kakang Kebo
Kanigara, kalau sejak selama aku dapat berpikir dengan tenang, maka sejak
semula aku tak akan berani melawan, meskipun aku tidak dapat mengerti maksud
kakang dengan mempergunakan nama serta gelarku.”
Kebo Kanigara
tersenyum. Lalu duduk disamping Mahesa Jenar. Dengan perlahan-lahan ia
menjawab,
“Mahesa Jenar,
kalau kau mengenal aku sejak semula, maka keadaanmu akan berbeda pula. Apa yang
kau capai selama beberapa hari ini, justru karena kau tidak mengenalku.”
Sadarlah
Mahesa Jenar, bahwa Kebo Kanigara telah memaksa dengan caranya, supaya ia
menekuni ilmunya lebih dalam lagi. Tetapi meskipun demikian ia masih bertanya,
“Kakang,
bukankah Kakang dapat menuntun aku tanpa teka-teki yang hampir memecahkan
kepalaku itu.”
Sekali lagi
Kebo Kanigara tersenyum. Jawabnya,
“Dengan
demikian keprihatinanmu akan jauh berbeda. Kau akan mendalami ilmumu dengan
tahap-tahap yang biasa. Tetapi, dengan keadaanmu seperti yang kau alami, kau
benar-benar membanting tulang untuk memperdalam ilmu itu. Justru dengan
demikian kau benar-benar telah menemukan sarinya dalam waktu yang singkat.”
“Tetapi
Kakang…” bertanya pula Mahesa Jenar,
“Dari mana
Kakang dapat mengetahui semua keadaan yang pernah aku alami. Bagaimana Kakang
tahu bahwa Panembahan Ismaya telah menyembunyikan aku di sini, dan bagaimana
Kakang dapat mengenal hampir setiap orang yang pernah aku kenal pula?”
Kebo Kanigara
mengerutkan keningnya. Ia tampak ragu-ragu. Namun kemudian ia menjawab pula,
“Mahesa Jenar…
ketahuilah bahwa aku memang merupakan salah seorang dari penghuni padepokan
ini. Apa yang aku lakukan semuanya atas ijin Panembahan. Dan dari Panembahan
pula aku mendapatkan beberapa petunjuk tentang kau.”
“Siapakah
sebenarnya Panembahan Ismaya itu?” tanya Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara
menarik nafas panjang sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Jawabnya,
“Pertanyaanmu
aneh Mahesa Jenar. Kau bertanya tentang seseorang yang telah kau sebut namanya.
Bukankah ia Panembahan Ismaya. Panembahan sakti yang mengepalai padepokan
Karang Tumaritis ini?”
Dari jawaban
itu Mahesa Jenar dapat mengetahui bahwa ada sesuatu yang tersembunyi, yang tak
seorangpun boleh mengetahui. Karena itu ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi
ia bertekad untuk pada suatu waktu dapat mengetahuinya pula, siapakah
sebenarnya orang tua yang seolah-olah telah menyisihkan diri dari dunia ramai
itu.
“Kakang…”
Mahesa Jenar memulai lagi,
“Kalau
demikian, di manakah muridku Kakang sembunyikan?”
Kebo Kanigara
tertawa. Lunak dan perlahan-lahan. Jawabnya,
“Benarkah kau
bertanya tentang muridmu?”
Mahesa Jenar
menjadi heran. Sambil mengangguk-angguk ia menegaskan,
“Ya Kakang.
Aku bertanya tentang muridku?”
“Sesudah itu
kau pasti akan menanyakan seorang lagi kepadaku,” sahut Kebo Kanigara sambil
tersenyum.
“Malahan
barangkali yang lebih penting bagimu.”
“Ah,” desis
Mahesa Jenar. Tetapi ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Sekali lagi
Kebo Kanigara tertawa lunak dan perlahan-lahan. Tetapi ia tidak melanjutkan
pertanyaannya.
Kemudian
Mahesa Jenar berkata untuk mengalihkan pembicaraan,
“Kakang,
apakah menurut pendapat kakang Kanigara, ilmuku telah meningkat selama ini?”
“Kau telah
merasakannya sendiri,” jawab Kebo Kanigara.
“Tetapi
menurut penilaianku, kau telah memenuhi harapanku. Sebab menurut pendapatku,
supaya Perguruan Pengging tidak menjadi semakin pudar, maka murid-muridnya
harus dapat selalu melampaui ilmu gurunya. Demikian berturut-turut. Dan
sekarang kau telah mendapatkan itu.”
Kalau ada
guntur menggelegar di telinganya, Mahesa Jenar tidak akan terkejut seperti saat
itu. Memang ia telah merasakan sesuatu perkembangan yang menggembirakan dalam
latihan-latihan yang dilakukan selama ini dengan tekunnya. Tetapi ketika ia
mendengar pernyataan Kebo Kanigara, Saudara muda seperguruan gurunya, yang
memiliki ilmu lebih sempurna dari gurunya sendiri, mengatakan, bahwa ia telah
dapat menyamai kesaktian almarhum gurunya.
”KAKANG
berkata sebenarnya?” tanya Mahesa Jenar dengan nada kurang percaya.
Kebo Kanigara
tersenyum. Jawabnya,
”Aku berkata
sebenarnya. Dan aku telah mencobanya. Juga terhadap gurumu, ayah Pengging
Sepuhpun aku pernah mencoba ilmunya, khusus Sasra Birawa, dan memperbandingkan
dengan kekuatan ilmu yang aku miliki.”
Mahesa Jenar
menjadi terdiam oleh perasaan yang bergulat di dalam dadanya. Ia tiba-tiba
menjadi sangat bergembira. Tetapi hanya sesaat. Sesaat kemudian, ia telah
memanjatkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Pencipta Alam yang
telah menunjukkan jalan kepadanya lewat adik seperguruan gurunya. Dan karena
itu pulalah hatinya menjadi tenang. Setenang air telaga yang tidak dapat
dijajagi seberapa dalamnya. Untuk beberapa lama ruangan itu dikuasai oleh
keheningan lampu obor yang menyala-nyala dengan lincahnya, melemparkan sinarnya
yang seolah-olah menari di dinding goa itu. Mahesa Jenar yang masih hanyut
dalam angan-angan duduk sambil menundukkan kepala. Di dalam hatinya,
terucapkanlah sebuah janji, bahwa dengan kematangan yang dicapainya, ia harus
lebih banyak menyerahkan darma baktinya untuk manusia dan kemanusiaan, untuk
tanah dimana ia dilahirkan dan untuk bangsa yang hidup diatasnya. Dan sekaligus
ia berjanji di dalam hatinya itu, bahwa dengan segenap kemampuan yang telah
dimiliki itu, ia harus menumpas segala kejahatan dan pelanggaran atas keharusan
dalam hidup bernegara dan bertata masyarakat. Sehingga terpancarlah api cinta
sejati di atas bumi. Kemudian angan-angannya itu dipecahkan oleh suara Kebo
Kanigara,
”Mahesa Jenar…
sekarang sudah sampai waktumu untuk meninggalkan ruang samadimu ini. Biarlah
patung batu itu tinggal sendiri, menjadi saksi bisu atas apa yang pernah
terjadi di sini.”
Mahesa Jenar
mengangguk satu kali. Kemudian perlahan-lahan ia berdiri dan memandang patung
batu itu dengan tajamnya. Kebo Kanigara pun kemudian berdiri.
”Marilah…”
katanya,
”Ikutilah aku.
Sekarang kau tak usah marah lagi. Aku akan membawa obor ini, supaya kau tak kehilangan
jalan.”
Mahesa Jenar
mengikuti Kebo Kanigara itu dengan langkah yang berat. Seolah-olah ia segan
meninggalkan patung batu itu kesepian. Tetapi ia tidak berkata sepatah pun.
Karena Mahesa Jenar tidak menjawab, Kebo Kanigara meneruskan,
”Mau kau apakan
patung batu itu…? Ia tidak bersedih hati kau tinggalkan di ruangan ini.”
Mahesa Jenar
tersenyum dan melangkah mengikuti Kebo Kanigara meninggalkan ruangan itu.
”Mahesa
Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian sambil berjalan menyusur goa yang memiliki
beratus-ratus cabang yang membingungkan itu,
”Ada beberapa
maksud, karena aku terpaksa mempergunakan nama serta gelarmu. Pertama-tama
seperti yang telah aku katakan kepadamu. Kedua, aku ingin seseorang tidak
merasa berhutang budi kepada orang lain kecuali kepada Mahesa Jenar.”
Kali ini
benar-benar Mahesa Jenar tidak dapat menjawab. Sampai Kebo Kanigara meneruskan,
”Untunglah
bahwa aku dapat meyakinkan diriku bahwa aku benar-benar bukan orang yang
bernama Mahesa Jenar.”
”Nanti akan
diketahuinya pula Kakang,” jawab Mahesa Jenar kemudian,
”Bahwa bukan
Mahesa Jenar yang sebenarnyalah yang telah berbuat jasa itu.”
”Jangan Mahesa
Jenar,” sela Kebo Kanigara,
”Aku telah
bersusah payah berperan sebaik-baiknya sebagai Mahesa Jenar.”
”Tetapi
bagaimanapun juga orang akan tahu juga, bahwa yang telah melakukan suatu
perbuatan yang dahsyat itu pasti bukan aku,” jawab Mahesa Jenar pula.
”Sebab Kakang
Kebu Kanigara telah menggunakan sekian banyak orang. Apakah aku dapat melakukan
pekerjaan seperti itu?”
”Kau masih
belum dapat mengerti tentang dirimu sendiri,” sahut Kebu Kanigara.
”Dengan
samadimu itu, kau akan mampu melakukan apa yang dilakukan olehku dalam
perananku sebagai Mahesa Jenar. Juga terhadap Bugel Kaliki dan Sima Rodra, kau
sekarang tidak berada di bawahnya.”
Sekali lagi
dada Mahesa Jenar bergetar. Dan sekali lagi hatinya berjanji untuk membinasakan
orang-orang itu.
Tiba-tiba
Mahesa Jenar teringat kepada muridnya. Apakah kira-kira yang telah dilakukannya
selama ini. Maka bertanyalah ia,
”Kakang Kebo
Kanigara. Lalu bagaimanakah keadaan muridku?”
”Agaknya kau
benar-benar sayang kepada anak itu,” jawab Kebo Kanigara.
”Aku tidak
tanggung-tanggung dalam perananku.” Ia meneruskan,
”Juga terhadap
muridmu aku telah memaksanya untuk meningkatkan ilmunya dengan cara yang pernah
aku tempuh.”
”Cara yang
pernah Kakang tempuh?” ulang Mahesa Jenar dengan herannya.
”Adakah Kakang
pernah bertemu dengan anak itu?”
Kebo Kanigara
tertawa pendek.
”Pernah,”
jawabnya.
”Aku selalu
bertemu dengan anak itu di mana-mana. Karena itu aku banyak mengetahui tentang
kau dan muridmu. Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk dari Panembahan Ismaya.”
Dalam pada itu
tiba-tiba Mahesa Jenar teringat akan peristiwa-peristiwa yang pernah disaksikan
atas muridnya. Maka dibayangkanlah bentuk orang yang pernah melakukan perbuatan
perbuatan aneh di pantai Tegal Arang. Seorang yang mempergunakan 6 wajah,
menyerang muridnya setiap malam berturut-turut. Orang itu bertubuh besar dan
kekar. Dan sekarang orang yang berjalan di hadapannya itu pun bertubuh besar
dan kekar.
”Kakang…” seru
Mahesa Jenar sesaat kemudian.
”Aku sekarang
berani memastikan bahwa Kakang telah menolong muridku untuk suatu loncatan yang
tingkatan ilmunya di pantai Tegal Arang dengan cara kakang yang aneh.”
TERDENGAR Kebo
Kanigara tertawa pendek. Jawabnya,
“Aku tidak
telaten melihat anak itu maju setapak demi setapak. Sejak aku dengar kabar
bahwa ayah Handayaningrat meninggal dunia, aku jadi gelisah. Jangan-jangan tak
seorang pun yang akan mewarisi dari perguruan Pengging. Karena adi Kebo Kenanga
meninggal pula, maka satu-satunya yang ada adalah kau. Kemudian kaupun
menghilang. Mati-matian aku mencarimu. Dan akhirnya aku ketemukan kau. Malahan
kau telah mempunyai seorang murid yang berbakat baik. Tetapi kau pergunakan
cara-cara ayah Pengging Sepuh untuk meningkatkan ilmu muridmu. Selangkah kecil
demi selangkah kecil. Maka akupun berusaha membantumu dengan caraku.”
“Kakang…”
sahut Mahesa Jenar.
“Sudah
sewajarnyalah kalau aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih.”
“Jangan
katakan itu,” potong Kebo Kanigara.
“Kewajibanmu
dan kewajibanku dalam hal ini tidak ada bedanya. Juga kali ini terhadap muridmu
itu aku isikan ilmu dari perguruan Pengging. Berurutan seperti rencana yang
akan kau berikan. Hanya caraku berbeda dengan caramu.”
Mendengar
keterangan Kebo Kanigara, Mahesa Jenar berdiam diri. Ia sekarang, barangkali
setelah mempelajari ilmunya lebih tekun dengan suatu cara yang tidak
direncanakannya lebih dahulu, tidak akan lagi mengajari muridnya dengan cara
yang pernah dilakukan sebelumnya. Di mana muridnya harus menerima pelajaran
setingkat demi setingkat tanpa mengikut sertakan kemampuan daya cipta muridnya
itu sendiri.
“Mahesa
Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian,
“Marilah kita
melihat muridmu itu berlatih. Aku telah minta kepada seseorang untuk meneternya
dan memperbandingkan dengan ilmu perguruan lain.”
“Ilmu
perguruan lain?” ulang Mahesa Jenar keheran-heranan.
“Adakah
seseorang di sini dan perguruan lain?”
“Akan kau
lihat nanti,” jawab Kebo Kanigara.
“Aku telah
melakukan apa saja yang mungkin atas muridmu itu dalam masa pembajaan dirinya.
Aku sendiri suatu waktu datang melawannya. Dan pada saat lain aku datang
sebagai gurunya, Mahesa Jenar, untuk memberinya petunjuk petunjuk. Kadang
kadang aku hadapkan Arya Salaka dengan ilmu dari perguruan lain.”
Mahesa Jenar tidak
menjawab lagi. Tiba-tiba saja ia menjadi rindu sekali kepada satu-satunya murid
yang telah dibawanya menjelajah daerah-daerah serta mengalami kesukaran lahir
dan batin. Dalam hatinya ia mengucapkan terima kasih tak habis-habisnya kepada
Kebo Kanigara yang telah membantu mematangkan ilmu muridnya. Dengan demikian ia
mengharap seorang yang tidak kalah saktinya, Ki Ageng Sora Dipayana dari
Banyubiru. Setelah Mahesa Jenar mengikuti Kebo Kanigara menempuh jalan yang
berliku-liku, maka sampailah mereka kepada satu gang yang menuju ke dalam
sebuah ruang yang agak luas seperti ruang yang dipergunakan untuk mengurung
Mahesa Jenar. Dalam pada itu Kebo Kanigara berbisik,
“Mahesa Jenar,
ingat muridmu selama ini belum pernah terpisah dari gurunya.”
“Lalu apa yang
pernah dilakukan oleh gurunya?” tanya Mahesa Jenar.
“Melatihnya
dan menurunkan segala sifat-sifat keluhuran budi dan kepahlawanan. Gurunya
telah mengatakan kepada anak itu bahwa dalam masa-masa yang dekat, harus sudah
menurunkan api kejantanan dan kesetiaan pada janji seorang ksatria, supaya api
yang menyala di dalam dada angkatan tua itu tidak padam kehabisan minyak. Sebab
apabila datang waktunya kita meninggalkan mereka, api itu harus sudah mereka
miliki. Bahkan harus berkobar lebih hebat dari semula.”
Mahesa Jenar
benar-benar tersentuh hatinya mendengar ucapan itu. Karena iapun tak akan
berbuat lain daripada itu.
“Kakang…”
tanya Mahesa Jenar pula,
“Tidakkah anak
itu mengenal Kakang bukan sebagai gurunya?”
“Tidak Mahesa
Jenar,” jawab Kebo Kanigara,
“Aku selalu
datang padanya, apabila ruangan itu sudah mulai gelap. Aku tidak pernah membawa
obor yang cukup menerangi ruangan itu. Disamping itu aku jarang-jarang sekali
bercakap-cakap dengan anak itu. Aku paksa ia bekerja keras untuk mendalami
ilmunya. Nah sekarang kaupun telah memiliki rambut yang memenuhi mukamu. Aku
mengharap bahwa Arya Salaka tidak sempat membeda-bedakan antara kita. Hanya
mungkin aku agak lebih kasar daripadamu.”
“Mungkin ada
juga terselip beberapa pertanyaan dalam hatinya,” kata Mahesa Jenar kemudian,
“Karena
perbedaan sifat dan cara dari apa yang pernah aku berikan kepadanya.”
“Mahesa
Jenar…” Kebo Kanigara meneruskan,
“Sebelumnya
baiklah kita tunggu sampai esok. Lihatlah bagaimana ia berlatih dengan
seseorang dari perguruan lain di dalam ruangan itu. Aku sudah menyuruhnya
tinggal di situ terus menerus sampai aku, Mahesa Jenar, membawanya keluar.”
Bagaimanapun
mendesaknya keinginan Mahesa Jenar untuk bertemu dengan muridnya, namun ia
harus menyabarkannya sampai esok. Tetapi hari esok itu tidak akan terlalu lama
datang. Meskipun demikian, Mahesa Jenar merasa bahwa ia telah menunggu terlalu
lama. Agaknya matahari menjadi bertambah malas, sehingga agak kesiangan terbit.
Namun lambat laun, terasalah bahwa fajar telah pecah di timur. Selama itu ia mengisi
waktunya dengan mendengarkan ceritera Kebo Kanigara tentang muridnya, dan
tentang peranannya sebagai Mahesa Jenar.
“Ingat Mahesa
Jenar…” kata Kebo Kanigara,
“Kau waktu itu
marah kepada muridmu, karena ia kehilangan jalan. Seharusnya ia dapat berjalan
lebih cepat di belakangmu. Karena itulah maka kau kurung muridmu dalam ruangan
itu untuk dengan keras berusaha membajakan diri. Ternyata muridmu adalah
seorang murid yang patuh. Ia tidak pernah mengeluh, meskipun kadang-kadang ia
berlatih sampai hampir pingsan. Kaulah yang membawa makan dan minumnya.
Disamping itu, satu hal yang penting dan seharusnya aku minta maaf kepadamu
bahwa Arya Salaka telah menerima dasar–dasar ilmu khusus perguruan Pengging,
Sasra Birawa”.
MAHESA JENAR
terkejut mendengar ceritera itu. Karena itu ia bertanya,
“Adakah anak
sebesar Arya Salaka telah cukup kuat untuk memiliki aji itu?”
“Muridmu luar
biasa,” jawab Kebo Kanigara.
“Memang aku
kira akibatnya akan tidak baik kalau kau dalam tingkat sebelum samadimu,
memberikan ilmu itu kepadanya. Tetapi sekarang tidak. Juga aku merasa tidak.
Apalagi ketika aku tunjukkan bagaimana ia harus mengatur pernafasan, pemusatan
pikiran dan tenaga, aku jadi yakin bahwa mungkin ia mempunyai bakat lebih baik
daripada kita. Nah, sekarang kau telah menyadari kematanganmu. Aku harap kau
lanjutkan dasar-dasar ilmu Sasra Birawa. Meskipun dalam pelaksanaannya barulah
dalam tingkat kekuatan lahiriah saja”.
“Itu sudah
cukup Kakang,” sela Mahesa Jenar,
“Sudah terlalu
banyak bagi seorang anak-anak sebesar Arya Salaka yang baru berumur lebih
kurang 16 sampai 17 tahun itu. Bukankah kecuali persiapan jasmaniah diperlukan
pula persiapan rokhaniah, supaya tidak ada penyalahgunaan di kemudian hari”.
Kebo Kanigara
tersenyum mendengar pendapat Mahesa Jenar.
“Kau benar-benar
seorang yang teliti terhadap segala akibat dari suatu perbuatan. Tetapi khusus
muridmu itu, aku kira ia telah cukup mempunyai persiapan lahir batin. Mungkin
karena pengalaman-pengalamannya serta tekanan-tekanan yang dialami dalam
usianya yang masih muda itu, ia menjadi agak terlampau cepat masak”.
Mahesa Jenar
mengangguk membenarkan. Memang pengaruh penghidupan yang dialami, sangat terasa
pula kematangan jiwa muridnya. Ia dapat berpikir hampir seperti seorang dewasa
dengan menanggapi suatu kejadian, karena itulah maka tiba-tiba timbul pulalah
rasa ibanya terhadap Arya Salaka yang seakan-akan telah kehilangan sebagian
dari tataran hidupnya, sebagian dari masa mudanya. Ketika itu terasalah bahwa
pagi telah datang. Obor yang dibawa oleh Kebo Kanigara telah lama padam.
Kemudian mereka melanjutkan menyusur lubang-lubang gua itu mendekati ruang
tempat Arya berlatih. Dari sebuah lubang mereka dapat mengintip ke dalam
ruangan itu. Dari sanalah Mahesa Jenar itu melihat muridnya. Yang mula-mula
memukul dadanya adalah suatu perasaan haru ketika ia melihat Arya Salaka
menjadi kurus dan pucat. Tetapi kemudian ia tersenyum. Juga senyum haru.
Disamping Arya Salaka ia melihat seorang pemuda yang gagah, berwajah bening dan
berdada bidang. Ia adalah Putut Karang Tunggal yang agaknya menemani Arya
Salaka.
“Kalau bukan
aku dalam perananku sebagai Mahesa Jenar, anak itulah yang membawa makanan
untuk Arya,” bisik Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar
jadi bergembira ketika ia melihat muridnya bersahabat dengan Putut yang
mengepalai para cantrik itu.
“Mereka berdua
mempunyai banyak persamaan,” bisik Kebo Kanigara lebih lanjut,
“Keduanya
tabah dan penuh semangat. Karena itu mereka tekun berlatih bersama”.
“Berlatih
bersama…?” ulang Mahesa Jenar terkejut,
”Jadi Putut
Karang Tunggal juga memiliki ilmu yang cukup tinggi?”
Kebo Kanigara
mengangguk.
“Aku tidak
mengira. Ia terlalu halus dan sopan. Muridku adalah seorang anak yang biasa
hidup dalam pergaulan yang kasar. Diantara para petani dan nelayan,” sambung
Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara
tersenyum aneh.
“Tetapi karena
itulah muridmu menjadi seorang anak yang jujur, yang tidak memandang setiap
persoalan dengan berbelit-belit,” sahut Kebo Kanigara.
“Nah, tunggu
sebentar…” ia melanjutkan,
”Mereka pasti
sedang mempersiapkan diri untuk berlatih bersama. Aku mengijinkan Arya Salaka
melakukan tanpa pengawasanku. Dan kepada Putut Karang Tunggal itu pun aku
pesankan agar tidak mengatakan kepada Arya Salaka siapakah aku sebenarnya”.
Mahesa Jenar
kemudian berdiam diri. Ia memang mengharap untuk menyaksikan muridnya berlatih.
Ia ingin mengetahui sampai dimana sekarang tingkat kepandaiannya. Hal itu perlu
pula untuk menghilangkan kesan-kesan yang mungkin timbul, apabila ia telah
kembali kepada anak itu sebagai seorang guru yang pernah diantarai oleh orang lain
tanpa setahu anak itu sendiri. Benarlah apa yang dikatakan oleh Kebo Kanigara.
Sesaat kemudian ia melihat Arya dan Putut Karang Tunggal mempersiapkan dirinya
untuk memulai dengan latihan-latihan yang berat yang mereka lakukan hampir
setiap hari. Melihat langkah Arya yang sedang pergi ke tengah ruangan itupun
Mahesa Jenar telah merasakan betapa perubahan yang terjadi pada muridnya,
sehingga ia semakin lekas ingin mengetahui, gerakan-gerakan yang akan
dilakukan. Kemudian setelah mereka masing-masing bersiap, maka latihan itupun
dibuka dengan sebuah serangan yang mengejutkan dari Putut Karang Tunggal.
Mahesa Jenar sendiri menjadi terkejut pula. Ia sama sekali tidak mengira bahwa
anak yang halus, sopan dan sama sekali tidak menunjukkan kekasaran jasmaniah itu
dapat berbuat sedemikian. Tetapi yang lebih mengejutkan lagi adalah Arya
Salaka. Ia dengan tangkasnya dapat mengelakkan serangan itu, bahkan dengan
suatu gerak yang sangat lincah ia sudah memulai dengan serangannya. Demikian
latihan itu semakin lama menjadi semakin cepat. Selangkah demi selangkah mereka
bergeser dari satu titik ke titik yang lain memenuhi ruangan itu.
Dalam pada
itu, terjadilah gelora di dalam dada Mahesa Jenar. Ia sama sekali tidak menduga
bahwa anak muridnya dapat mencapai tingkat yang sedemikian dalam waktu yang
singkat. Perasaan bangga dan gembira berputar-putar di seluruh rongga dadanya.
MURIDNYA itu
kini benar-benar merupakan banteng muda yang tangkas dan kuat. Sepasang kakinya
yang cepat itu, suatu waktu dapat tegak di atas tanah bagaikan tonggak besi
yang tak tergerakkan. Tangannya yang hanya sepasang itu tampak bergerak dengan
cepatnya, melingkar-lingkar dan mematuk-matuk dengan dahsyatnya. Tetapi
lawannya berlatih bukan pula anak kemarin sore. Iapun telah menguasai ilmunya
hampir sempurna. Karena itu maka latihan itu berlangsung dengan serunya. Mereka
masing-masing mempunyai kekuatan dalam bentuknya masing-masing. Arya Salaka
ternyata tangguh bukan main. Tubuhnya cukup kuat dan setiap gerakannya
menimbulkan desir dalam dada Mahesa Jenar. Sedangkan Putut Karang Tunggal
sangat mencengangkannya. Gerakannya semakin lama menjadi semakin lincah dan
cepat. Bahkan kemudian tubuhnya menjadi seakan-akan sangat ringan dan
sekali-sekali seperti terbang ia meloncat-loncat membingungkan. Namun Arya
Salaka dapat menanggapinya dengan baik. Iapun menjadi seolah-olah memiliki
beberapa pasang mata yang terserak-serak di tubuhnya, sehingga kemana bayangan
itu melontar, ia selalu dapat melihatnya dan segera menghadapinya. Dalam pada
itu, semakin lama Mahesa Jenar dapat semakin melihat jelas kekuatan-kekuatan
yang tersimpan pada setiap gerak kedua anak muda itu. Bagi Arya Salaka ia hanya
dapat berbangga hati, sebab setiap geraknya adalah gerak-gerak dari perguruan
Pengging ditambah dengan segala macam pengalaman Arya Salaka yang dipetiknya
dari gerak-gerak alam yang pernah ditekuni bersama, yang dapat disusunnya
sendiri dalam satu senyawa yang serasi. Tetapi yang semakin mengetuk-ngetuk
hatinya adalah setiap gerakan Putut Karang Tunggal yang cepat lincah itu.
Tiba-tiba
Mahesa Jenar seolah-olah melihat kedua anak muda yang sedang berlatih itu
seperti pernah terjadi belasan tahun yang lalu. Meskipun tidak tepat benar,
namun ia pernah menyaksikan ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang Tunggal itu.
Akhirnya ketika ia menjadi semakin jelas, tergetarlah tubuhnya. Hampir saja ia
berteriak menyebutkan sebuah nama, kalau ia tidak segera teringat bahwa pada
saat itu ia masih belum waktunya menampakkan diri. Namun bagaimanapun juga ia
merasa bahwa kedua anak muda itu berlatih mirip seperti dirinya sendiri
berlatih bersama sahabatnya pada waktu mudanya, Mahesa Jenar dan Sela Enom. Dan
pada saat itulah ia mendapat kepastian bahwa anak yang menamakan diri Putut
Karang Tunggal itu pasti ada sangkut pautnya dengan Ki Ageng Sela Enom yang
pada masa kanak-kanaknya bernama Anis. Tetapi menilik kedahsyatannya maka ia
tidak yakin bahwa anak itu adalah murid Ki Ageng Sela. Sebab bagaimana
tingginya ilmu Ki Ageng Sela itu, namun ia pasti tidak akan mampu membentuk
Putut Karang Tunggal sampai menjadi anak yang sedemikian mencengangkan. Karena
itu Mahesa Jenar tidak mau berteka-teki lagi. Akhirnya iapun bertanya kepada
Kebo Kanigara,
Kakang,
siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu?”
Kebo Kanigara
tersenyum, jawabnya perlahan-lahan,
“Adakah
sesuatu yang kau lihat padanya?”
“Ya,” sambung
Mahesa Jenar.
“Aku melihat
perguruan Sela ada padanya”.
“Tepat,” jawab
Kebo Kanigara.
“Ia adalah
murid Ki Ageng Sela”.
Mahesa Jenar
menarik nafasnya. Namun ia masih bertanya lagi,
“Adakah Ki
Ageng Sela mampu membentuk Karang Tunggal menjadi sedemikian mengagumkan?”
“Ki Ageng Sela
yang mana yang kau tanyakan,” sahut Kebo Kanigara.
“Kalau yang
kau maksud Sela Enom, maka kau benar, meskipun Sela Enom itupun sekarang telah
mampu melakukan hampir seperti apa yang pernah dilakukan oleh ayahnya”.
“Menangkap
petir,” potong Mahesa Jenar.
Kebo Kanigara
tertawa perlahan. Sambil mengangguk-angguk ia berkata,
“Bukankah
ceritera tentang kecakapan menangkap petir itu sudah dimiliki oleh Sela Enom
sejak mudanya? Agaknya bakat turun tumurun itu tidak perlu dipelajarinya
terlalu lama”.
Mahesa
Jenarpun tersenyum pula mendengar jawaban itu. Tidak hanya itu… Kebo Kanigara
meneruskan,
“Tetapi
berbagai ilmu yang lain. Ia memiliki kedahsyatan tangan seperti yang
dipancarkan oleh Sasra Birawa. Ki Ageng Sela menamakannya aji Narantaka”.
“Agaknya ia
mengagumi tokoh Gatutkaca”, potong Mahesa Jenar.
“Mungkin,”
jawab Kebo Kanigara.
Kemudian
mereka berdiam diri. Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal masih sibuk berlatih.
Agaknya latihan-latihan serupa itu telah sering dilakukan sehingga bagaimanapun
hebatnya, namun tidaklah sangat berbahaya. Ketika matahari telah tegak di
langit, agaknya kedua anak muda itu merasa telah cukup lama berlatih. Karena
itu, terdengar Putut Karang Tunggal bersiul nyaring, dan berloncatanlah mereka
surut. Meskipun tubuh masing-masing dibasahi oleh peluh yang mengalir deras
sekali, namun wajah-wajah mereka menunjukkan kegembiraan. Dalam pada itu,
sekali lagi terdengar Mahesa Jenar bertanya,
“Kakang
Kanigara. Siapakah sebenarnya Karang Tunggal itu? Bagaimanapun juga aku masih
melihat beberapa kelebihan yang dimilikinya daripada Arya Salaka”.
Untuk beberapa
lama Kebo Kanigara tidak menjawab. Ia agaknya menjadi ragu-ragu. Tetapi
kemudian terdengar Mahesa Jenar mendesak,
“Aku merasa
bahwa anak itu memiliki sesuatu yang tidak dimiliki oleh anak muda pada
umumnya. Cahaya wajahnya yang terang seperti memancarkan wibawa yang
mengagumkan”.
“Ia juga murid
Ki Ageng Sela Sepuh,” jawab Kanigara.
“Aku sudah
mengira,” sahut Mahesa Jenar,
“Tetapi
siapakah dia?”
“Putut Karang
Tunggal,” jawab Kanigara pula sambil tersenyum.
“Akh…!” desis
Mahesa Jenar.
“Kakang
Kanigara memang mempunyai kegemaran berteka-teki. Tetapi teka-teki yang pertama
telah aku tebak dengan tepat. Sekarang aku menyerah. Sebab pada saat aku
meninggalkan Demak, aku tidak sempat menanyakan kepada Nis Sela, apakah ia
mempunyai murid yang sekaligus menjadi adik seperguruan”.
“MAHESA
JENAR…” bisik Kebo Kanigara bersungguh-sungguh,
“Kau pasti
pernah mengenal anak itu. Bukankah sepeninggal Adi Kebo Kenanga kau masih
beberapa tahun lagi tinggal di Demak, sebelum keadaan memburuk?”
Mahesa Jenar
mengangguk.
“Kalau
demikian kau pasti mengenalnya,” sambung Kebo Kanigara.
“Anak itu
adalah anak yang aneh. Sebenarnya ia tidak betah untuk tinggal terlalu lama di
sesuatu tempat. Ia datang berguru hanya apabila ia inginkan. Ia datang
sewaktu-waktu tanpa aturan. Meskipun demikian kecerdasannya sangat mengagumkan.
Ia dapat menguasai segala ilmu hanya dalam waktu yang sangat singkat. Sepersepuluh
dari waktu yang diperlukan oleh anak-anak muda yang lain. Bahkan kurang dari
itu. Ia datang kemari mencari aku, untuk minta diri. Ia mendapat nasehat dari
seorang Wali yang terkemuka untuk mengabdikan diri di Kraton Demak, ketika Wali
itu melihatnya menunggui padi gaga di ladang”.
“Seorang
Wali?” tanya Mahesa Jenar.
“Siapakah
dia?”
“Seorang yang
bertubuh tinggi besar, berikat kepala Wulung dan berbaju Wulung pula,” jawab
Kebo Kanigara.
“Sunan Kali
Jaga…?” gumam Mahesa Jenar.
“Ya,” Kebo
Kanigara menegaskan.
“Ia baru saja
datang dari Pamancingan di Pantai Selatan menuju ke Demak. Pada saat itulah ia
berkata kepada Putut itu, Hai anak yang mendapat anugerah Allah. Pulanglah dan
pergilah ke Demak. Jangan asyik menunggui pagagan, sebab kelak kau akan menduduki
tahta. Demikian nasehat Sunan Kali. Dan agaknya anak itu akan mencoba
memenuhinya. Ia datang untuk minta diri kepadaku, dan sekedar menambah bekal
bagi masa depannya”.
Dada Mahesa
Jenar berdebar-debar mendengar ceritera itu. Seorang yang diramalkan untuk
memegang tahta.
“Adakah ia
mempunyai hubungan dengan Kakang Kanigara?” tanya Mahesa Jenar pula.
“Ada,” jawab
Kanigara.
“Dan
barangkali aku belum menyebutkan hubungan itu. Ia adalah putra Adi Kebo
Kenanga”.
“He…” Mahesa
Jenar terkejut.
“Putra Kakang
Kebo Kenanga. Adakah dia Si Karebet yang nakal itu”.
Kebo Kanigara
mengangguk.
“Karebet yang
kemudian dikenal bernama Jaka Tingkir setelah ia dipelihara oleh Nyai Ageng
Tingkir, kakak perempuan Nyai Kebo Kenanga”.
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Tanpa disangka-sangka sebelumnya ia akan dapat
bertemu dengan anak kakak seperguruannya. Yang bahkan oleh seorang Wali yang
terkenal diramalkan untuk menjadi raja.
“Nah, Kakang…”
kata Mahesa Jenar kemudian,
“Marilah kita
temui mereka”.
Kebo Kanigara
menggeleng.
“Tidak
mungkin…” jawabnya.
“Muridmu akan
menjadi heran melihat ada dua orang yang menamakan diri Mahesa Jenar”.
Mahesa Jenar
tertegun.
“Lalu
bagaimana?” ia bertanya.
“Dan ingat,
kau harus membersihkan janggut dan kumismu di hadapan anak itu, supaya ia
mendapatkan wajah Mahesa Jenar yang sebenarnya tanpa curiga. Akupun akan
berbuat demikian. Tentu saja di tempat lain. Sehingga apabila aku kemudian
bertemu dengan anak itu, ia tidak akan mengenal aku lagi”.
Sekali lagi
Mahesa Jenar terpaksa tersenyum, meskipun ia sebenarnya ingin segera dapat
menemui kedua anak muda itu. Namun bagaimanapun ia terpaksa menuruti nasehat
Kebo Kanigara. Sehari itu Mahesa Jenar menunggu saja. Matahari di langit
rasanya berjalan sangat lambatnya. Seolah-olah dengan segannya mengarungi
langit menurut garis edarnya. Lingkaran-lingkaran cahayanya yang menembus
lubang-lubang di atas ruang itu dengan lesunya berjalan ke arah yang
berlawanan. Ketika matahari telah condong, Putut Karang Tunggal meninggalkan
Arya Salaka seorang diri.
Anak itu oleh
gurunya, yang sebenarnya adalah Kebo Kanigara, dilarang meninggalkan ruangan
itu, sebagai suatu cara berprihatin. Dan apa yang dicapainya adalah sangat
menggembirakan meskipun kadang-kadang terselip juga beberapa pertanyaan
mengenai gurunya. Ketika Putut Karang Tunggal itu hilang ke balik lorong pintu
ruangan itu berbisiklah Kebo Kanigara,
“Mahesa Jenar,
kau dapat menemui Karebet. Itu saja dahulu”.
“Sekarang?”
tanya Mahesa Jenar.
“Ya. Ikutlah
aku,” jawab Kebo Kanigara.
“Muridmu itu
tak akan hilang di situ”.
Kemudian
Mahesa Jenar melangkah mengikuti Kebo Kanigara, melingkar sepanjang lubang goa
yang gelap, dan yang sebentar kemudian muncul di sebuah ruangan lain yang agak
lebar pula yang banyak terdapat di sepanjang saluran goa itu. Di dalam ruangan
itu pulalah mereka bertemu dengan Putut Karang Tunggal yang sedang berjalan
keluar. Ketika ia melihat kedua orang itu, ia terkejut. Tetapi kemudian ia
mengangguk hormat.
“Selamat sore
paman berdua”.
“Selamat sore
Karang Tunggal. Permainanku sudah hampir selesai. Ini adalah pamanmu yang
sebenarnya,” sahut Kanigara.
Karang Tunggal
sekali lagi membungkuk hormat kepada Mahesa Jenar sambil berkata,
”Baktiku untuk
Paman Mahesa Jenar”.
Mahesa Jenar
tersenyum. Ia melangkah maju. Sambil menepuk bahu anak muda itu ia berkata,
“Permainanmu
sudah sempurna Karebet. Ketika aku datang mula-mula di bukit ini, benar-benar
aku tidak menduga bahwa kaulah yang menamakan diri Karang Tunggal”.
“Paman Kebo
Kanigara yang mengatur semuanya bersama Eyang Ismaya,” jawab Karang Tunggal.
MAHESA JENAR
menoleh kepada Kebo Kanigara sambil berkata,
“Untunglah
bahwa kepalaku belum pecah memikirkan permainan kalian yang aneh itu”.
Kemudian
kepada Karang Tunggal ia meneruskan,
“Nah Karebet,
kau sudah banyak mendengar tentang aku, tentang seorang Wali yang menasehatkan
kepadamu untuk mengabdi ke Demak”.
Karebet
menundukkan kepalanya. Katanya lirih,
“Mudah-mudahan
paman melimpahkan pangestu kepadaku. Meskipun semuanya itu hanyalah sebuah
mimpi yang cemerlang, namun setidak-tidaknya aku akan dapat mengabdikan diri
pada tanah kelahiran ini”.
“Bagus…” sahut
Mahesa Jenar,
“Kau harus
mulai dengan semangat pengabdian. Jangan kau mulai dengan suatu tekad yang
berlebih-lebihan supaya kau tidak mudah menjadi kecewa”.
“Akan aku
junjung tinggi segala pesan paman Mahesa Jenar,” jawab Putut Karang Tunggal
sambil membungkukkan tubuhnya sebagai suatu pernyataan janji. Tidak saja kepada
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, tetapi juga kepada diri sendiri.
“Mahesa
Jenar…” sela Kebo Kanigara kemudian,
“Bawalah
pisauku ini. Sebentar lagi apabila ruangan-ruangan ini telah gelap, masuklah ke
dalam ruang muridmu. Kau dapat menyusur lubang itu, dan akan sampai ke dalamnya
tanpa cabang yang lain. Aku akan menunggumu di ruang sebelah ini. Kemudian kita
keluar bersama-sama supaya kau tidak usah mencari-cari jalan”.
“Baiklah
Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Jangan banyak
berkata tentang waktu lampau. Ajaklah ia keluar karena segala sesuatu telah kau
anggap cukup”. Kanigara menyambung.
“Dan
seterusnya kau dapat menuntunnya dengan suatu cara yang lebih baik dari yang
pernah kau pergunakan”.
“Baiklah
Kakang,” jawab Mahesa Jenar sekali lagi.
“Aku menunggu
kau di sebelah. Dari ruangan ini kau akan dapat melihat sinar obor yang akan
segera aku nyalakan kalau ruangan itu telah gelap benar”. Berkata kanigara
pula,
“Aku juga
selalu datang pada saat-saat semacam itu, meskipun hanya karena aku harus
menyembunyikan wajahku”.
Setelah itu
Kebo Kanigara segera melangkah pergi diikuti oleh Putut Karang Tunggal. Untuk
sesaat Mahesa Jenar mengagumi anak kakang seperguruannya itu, sampai hilang ke
dalam sebuah mulut lubang goa itu. Kemudian Mahesa Jenar mempersiapkan dirinya
untuk segera menemui muridnya, supaya perasaannya tidak menggelora. Sesaat
kemudian, udara menjadi semakin sejuk. Semburat merah telah memancar di langit,
sebagai sisa-sisa cahaya matahari yang telah membenamkan dirinya. Ia tidak
sabar untuk menunggu lebih lama lagi, karena itu segera iapun berjalan menyusur
gang sempit menuju ke ruang dimana Arya Salaka sedang membajakan dirinya. Ketika
ia sampai di mulut gang itu, ia mendengar langkah-langkah di dalamnya. Agaknya
Arya Salaka masih mempergunakan waktunya untuk berlatih. Sebab di dalam ruangan
yang sepi itu ia benar-benar tidak mau menyia-nyiakan waktu. Karena itu ia
mempergunakan setiap waktunya untuk melatih diri agar segera dapat dicapai
suatu tingkatan yang dikehendaki oleh gurunya. Mula-mula ia bermaksud demikian
agar dapat segera meninggalkan ruangan yang menjemukan itu, tetapi lambat laun
ia berpendapat lain. Ia semakin menjadi tertarik dan bersemangat mendalami
ilmunya karena ilmu itu sendiri, bukan karena kejemuan dan kesunyian. Dengan
hati-hati Mahesa Jenar melangkah masuk, sehingga tidak menimbulkan sesuatu
suara yang menarik perhatian muridnya yang sedang tekun. Apalagi sesaat
kemudian, anak itu agaknya sedang memusatkan segenap perhatiannya, mengatur
jalan pernafasannya, dan disilangkannya satu tangannya di depan dada, satu lagi
diangkat tinggi-tinggi, dan satu kakinya ditekuknya ke depan. Sesaat kemudian
tubuhnya sebagai anak panah melontar maju, tangannya yang diangkat
tinggi-tinggi itu terayun deras mengarah kepada sebuah batu padas di dinding
goa itu. Maka kemudian terjadilah suatu benturan yang dahsyat, dan disusul
dengan lontaran pecahan batu padas itu berserak-serakan. Itulah pukulan Sasra
Birawa yang telah dimiliki pula oleh seorang anak sebesar Arya Salaka.
Melihat hasil
yang dicapai oleh muridnya itu, hampir Mahesa Jenar tidak dapat menahan diri.
Apa yang dicapainya dengan cara penurunan ilmu Ki Ageng Pengging Sepuh, sampai
bertahun-tahun itu, dapat dipelajari Arya Salaka kurang lebih hanya satu bulan
saja, dengan cara penurunan ilmu adik seperguruan gurunya. Karena itu ia
sekarang percaya, bahwa Kebo Kanigara benar-benar melampaui Ki Ageng Pengging
Sepuh, yang kebetulan adalah gurunya, yang bergelar Pangeran Handayaningrat.
Meskipun demikian, apa yang terlahir dari mulutnya adalah berbeda sekali dengan
perasaannya. Maka katanya lantang,
“Ulangi!”
Arya Salaka
terkejut. Segera ia menoleh dan membungkuk hormat kepada gurunya yang dirasanya
pada saat-saat terakhir mempunyai kebiasaan yang jauh berbeda dengan
waktu-waktu sebelumnya. Ketika ia mendengar gurunya mengucapkan kata-kata itu
wajahnya segera menjadi muram. Ia merasa bahwa apa yang baru saja dilakukan
sama sekali tidak memuaskan gurunya.
“JELEK
sekali,” gumam Mahesa Jenar, meskipun sebenarnya hatinya memuji. Sebab apa yang
dilakukan Arya pada waktu itu, sama sekali tidak jauh berselisih dengan apa
yang dapat dilakukannya sebelum ia melakukan samadi dan menemukan hakekat dari
watak setiap unsur gerak dari ilmunya, sehingga menurut Kebo Kanigara, ia telah
dapat menyamai gurunya sendiri. Mendengar suara gurunya itu Arya Salaka
menundukkan kepalanya. Ia sangat bersedih bahwa ia mengecewakan. Melihat sikap
Arya, Mahesa Jenar menjadi sangat terharu. Hampir saja ia meloncat dan membelai
kepala muridnya. Untunglah bahwa ia dapat menahan diri. Sambil mengatur
perasaannya ia berkata,
“Arya, lihat
batu hitam itu.”
Dengan mata
yang suram, Arya memandang sebuah batu hitam sebesar kepalanya dalam keremangan
petang, yang terselip diantara batu-batu padas yang menjorok pada dinding goa.
“Apa yang kau
lihat itu? ” bentak Mahesa Jenar.
“Sebuah batu
hitam yang terjepit diantara batu-batu padas,” jawab Arya dengan suara yang
dalam.
“Itulah
sebabnya kau tidak dapat maju,” bentak Mahesa Jenar pula.
“Perhatianmu
terpecah-pecah pada semua masalah yang tak berarti. Aku bilang, lihat batu
hitam itu. Aku sama sekali tidak menanyakan apakah batu itu terjepit batu
padas, atau terletak di atas tanah. Seharusnya kaupun hanya melihat batu hitam
itu. Batu hitam itu saja yang menjadi pusat perhatianmu. Tidak perduli apakah
batu itu tergantung di langit atau apapun.”
Sekali lagi
Arya menundukkan kepalanya. Tetapi ia mendapat suatu petunjuk yang sangat
berarti dalam hidupnya. Bahwa ia tidak boleh memandang setiap masalah tanpa
pemusatan persoalan, sehingga masalah pokoknya dapat menjadi kabur karena
masalah tetek bengek yang dapat membelokkan perhatiannya.
“Arya…” kata
Mahesa Jenar kemudian,
“Ulangi, dan
pecahkan batu hitam itu.”
Sekali ini
Arya Salaka tidak mau mengecewakan gurunya lagi. Dengan penuh tekad, ia
membulatkan perhatiannya, mengatur pernafasannya. Satu kakinya diangkatnya dan
ditekuknya ke depan, satu tangan menyilang dada, dan satu lagi diangkatnya
tinggi-tinggi. Dengan satu loncatan yang dahsyat Arya Salaka mengayunkan
tangannya diikuti sebuah teriakan nyaring. Dan, batu hitam yang terjepit
diantara batu-batu padas itupun hancurlah berbongkah-bongkah.
No comments:
Post a Comment