“DIAM!” bentak Karebet,
“Aku muak
melihat tampangmu. Apalagi kalau kau sedang tertawa.”
Bugel Kaliki
terkejut, sehingga tertawanya berhenti. Bukan main. Anak itu berani
membentak-bentaknya. Karena itu matanya mejadi buram dan redup. Dipandangnya
Karang Tunggal dengan seksama. Perlahan-lahan ia berjalan ke arah anak muda
itu.
Arya Salaka
dan Sawung Sariti tiba-tiba menjadi tegang. Apakah ia harus berdiri membiarkan
Karang Tunggal mengalami bencana. Tiba-tiba terasa pula perasaan dendam di
antara mereka. Mereka merasa bahwa kini nasib mereka serupa. Mereka
bersama-sama akan mengalami bencana, apabila Bugel Kaliki benar-benar bertindak
atas mereka. Apalagi di dalam relung hati Sawung Sariti telah memancar sepercik
api yang menerangi kegelapan hatinya itu. Maka ketika mereka melihat Bugel
Kaliki melangkah perlahan-lahan mendekati Karang Tunggal, tanpa mereka sengaja,
Arya dan Sawung Sariti pun melangkah maju.
Melihat kedua
anak muda yang lain bergerak, Bugel Kaliki berhenti. Pandangan matanya yang
buas berganti-ganti hinggap di wajah Arya dan Sawung Sariti. Kedua anak muda
inipun ternyata tidak gentar menghadapinya. Sehingga dengan demikian Bugel Kaliki
menjadi semakin marah
Dan
terdengarlah ia berteriak,
“Apakah kalian
bertiga tidak takut menghadapi aku, Bugel Kaliki dari Gunung Cerme?”
“Selama kami
berpijak pada kebenaran, tak ada yang kami takuti,” jawab Arya Salaka.
“Gila!” geram
Bugel Kaliki,
“Kau berdua
telah terluka. Membunuh kalian akan sama mudahnya dengan membunuh semut.”
“Aku sudah
siap untuk mati sejak tadi,” sahut Sawung Sariti,
“Namun jangan
mimpi, kami akan menyerahkan leher kami tanpa perlawanan. Dan kalau aku mati
karena tanganmu, maka aku akan mendapat penghormatan sebagai seorang laki-laki
dari Pamingit. Bukan karena pertentangan antara keluarga sendiri. Aku sekarang
menyesal bahwa aku telah melawan kakang Arya Salaka.”
Arya Salaka
dan Karang Tunggal bergetar hatinya mendengar pengakuan yang tiba-tiba itu.
Ketika mereka memandangi wajah Sawung Sariti, tampaklah betapa ia berkata dari
dasar hatinya. Karena itu didalam dada Arya Salaka terdengar suara berbisik,
“Terimakasih adikku. Mudah-mudahan kau mendapat sinar terang dari Tuhan Yang Maha
Pengasih.”
Bugel Kaliki
menjadi bertambah-tambah marah juga. Ia mengharap bahwa seharusnya ketiga anak
muda itu menjadi ketakutan, menggigil dan berjongkok minta ampun. Tetapi
ternyata mereka telah menengadahkan dada mereka. Bahkan anak yang bernama Karang
Tunggal itu masih saja berdiri bertolak pinggang. Karena kemarahannya itu
tiba-tiba Bugel Kaliki berkata nyaring
“Hai
tikus-tikus yang tak tahu diri. Kalian telah berbuat kesalahan pada akhir hayat
kalian.Hem. Alangkah menyenangkan apabila aku melihat kalian meronta-ronta dan
menderita sakit pada saat ajal tiba”.
Kata-kata itu
diucapkan oleh seorang iblis yang mengerikan. Karena itu, maka dada ketiga anak
muda itu pun berdesir pula. Namun mereka bukanlah tikus-tikus seperti yang
dikatakan oleh orang bongkok dari Gunung Cerme itu. Karena itu, meskipun
desiran didada mereka terasa seperti menggores jantung, namun mereka tidak
menjadi gentar. Terdengarlah Karang Tunggal menjawab,
“Omong kosong.
Kau ingin menakut-nakuti kami, supaya kami menjadi menggigil dan kehilangan
nafsu perlawanan kami.”
Jawaban itu
benar-benar membakar hati Bugel Kaliki. Seperti tatit ia meloncat dan menampar
mulut Karang Tunggal. Gerakan Bugel Kaliki benar-benar demikian cepatnya dan
tidak terduga-duga sehingga tak seorang pun mampu mencegahnya, bahkan Karang
Tunggal pun tak mampu mengelakkan. Namun gerakan Bugel Kaliki bukanlah serangan
yang sebenarnya. Ia menampar saja karena marah, meskipun demikian tangan Bugel
Kaliki adalah tangan hantu yang seakan-akan gumpalan timah yang keras. Karena
itulah maka tamparan itu pun seolah-olah seperti ayunan bandul timah yang
berat, menghantam pipi Karang Tunggal. Meskipun Karang Tunggal mencoba
mengelak, namun kecepatannya bergerak tidak dapat memadai kecepatan Bugel
Kaliki, sehingga karena itu maka tangan Bugel Kaliki itu pun tak dapat
dihindari. Namun demikian, Jaka Tingkir itu tak terpelanting dan terbanting
jatuh. Kepalanya hanya tergeser sedikit dan ia terdorong mundur beberapa
langkah. Bugel Kaliki melihat kenyataan itu. Ia sudah mengatur kekuatan
geraknya. Menurut dugaannya anak yang sombong itu akan terpelanting dan jatuh
berguling ditanah. Tetapi Karebet ternyata tidak demikian. Bahkan terasa
seolah-olah ada lambaran yang membatasi tangannya dan tubuh anak itu. Karena
itu, maka Bugel Kaliki menjadi berdebar-debar.
Dengan
pandangan mata yang buas ia memandang Karebet seperti hendak ditelannya
hidup-hidup. Dari mulutnya tiba-tiba terlontar kata-katanya,
“Setan, dari
mana kau miliki aji Lembu Sekilan itu?”
Karebet kini
telah tegak kembali. Ia telah mengetrapkan ilmunya sejak ia melihat kedatangan
hantu yang dapat bergerak secepat tatit itu. Memang ia sudah menyangka, bahwa
Bugel Kaliki pada suatu saat akan bergerak secepat itu. Karena itu, ia pun
selalu bersiaga. Namun ia tidak menjawab pertanyaan hantu bongkok itu. Arya
Salaka pun tergetar melihat peristiwa itu. Sejak pertemuannya yang pertama
dengan Karang Tunggal, ia telah mengagumi ketangguhan dan ketangkasannya. Kini
ia menyaksikan betapa Karebet berhasil mempertahankan keseimbangannya dari
dorongan tangan Bugel Kaliki. Apalagi Sawung Sariti. Dadanya bergoncang ketika
ia mendengar Bugel Kaliki berkata, bahwa anak muda yang bernama Karang Tunggal
itu memiliki aji Lembu Sekilan.
“Kalau
demikian ia tidak bersungguh-sungguh ketika melawan aku. Alangkah bodohnya aku
ini. Kalau ia terapkan Lembu Sekilan, maka aku pasti sudah binasa karena
pedangnya. Sebab aku tak dapat mengenalinya, dan ia dapat sekehendak hatinya
menusuk dadaku dari arah yang disukainya,” pikirnya.
DALAM pada itu
terdengar Bugel Kaliki berkata,
“Kalau
demikian, kaulah yang harus dibinasakan lebih dahulu. Sebab ajimu itu, apabila
kelak benar-benar dapat kau matangkan, maka kau akan menggulung jagad. Tetapi
sekarang, belum. Ternyata kau masih bergetar karena dorongan tanganku. Kalau
aku hantam sekuat tenagaku, meskipun kau melambari dirimu dengan Lembu Sekilan,
namun iga-igamu rontok seluruhnya.”
Karang Tunggal
masih tetap berdiam diri, namun ia benar-benar telah bersiaga. Kalau datang
serangan yang tiba-tiba dan dengan sepenuh tenaga, ia pun telah bersiap
mengelak.
“Nah,
bersiaplah untuk mati. Kalian bertiga akan aku binasakan secepat-cepatnya
sebagai pembalasan dendam atas kematian sahabat-sahabatku,” kata Bugel Kaliki
seterusnya.
Karang
Tunggal, Arya Salaka dan Sawung Sariti sadar bahwa Bugel Kaliki pasti berusaha
untuk melaksanakan kata-katanya. Karena itu segera mereka pun bersiap. Tanpa
berjanji Arya Salaka dan Sawung Sariti bergerak mengambil tempat masing-masing.
Mereka berdiri sebelah menyebelah dari hantu Bongkok itu, sehingga mereka dapat
mengambil garis perkelahian yang berbeda-beda. Sekali lagi terdengar Bugel
Kaliki mendengus dan kemudian tertawa pendek. Setelah itu, ia pun mulai
bergerak menyerang Karang Tunggal. Namun Karang Tunggal telah benar-benar siap.
Ia kali ini berusaha membebaskan dirinya dari tangan Bugel Kaliki. Dan ketika
Bugel Kaliki mencoba mengulangi serangannya, datanglah serangan Arya Salaka dan
Sawung Sariti bersama-sama. Bugel Kaliki menggeram marah. Terpaksa ia
menghindari kedua ujung pedang itu. Namun gerakannya sedemikian tangkasnya,
sehingga sesaat kemudian ia pun telah berhasil meloncat menyerang Arya Salaka.
Ia menyilangkan pedangnya di muka dadanya.
Tetapi Bugel
Kaliki menggeliat di udara, dan serangannya telah berubah mengarah lambung. Arya
terkejut melihat perubahan itu. Untunglah Sawung Sariti dengan pedangnya yang
panjang menyerang langsung dengan garis mendatar, memotong gerakan Bugel
Kaliki. Sekali lagi Bugel Kaliki menggeram. Ternyata anak-anak itu benar-benar
bukan anak-anak kecil. Ketika ia melihat perkelahian antara Arya Salaka dan
Sawung Sariti, memang ia telah mendapat gambaran tentang ilmu kesaktian anak
itu, namun kini ia telah membuktikannya. Namun Bugel Kaliki adalah seorang
iblis yang mengerti. Ketika pedang Sawung Sariti itu terjulur, Bugel Kaliki
melantingkan ke samping. Dengan demikian Sawung Sariti terseret kekuatannya
yang dikerahkan seluruhnya. Bugel Kaliki terkejut. Ia melihat Sawung Sariti
sedang mencoba mempertahankan keseimbangan. Dalam keadaan yang demikian ia menyerang,
melihat serangan itu, tetapi ia terhalang oleh adiknya. Yang kemudian dilakukan
adalah menjulurkan pedangnya, di atas punggung Sawung Sariti menanti kedatangan
Bugel Kaliki. Tetapi perlawanan itu tak banyak berarti bagi Bugel Kaliki.
Dengan cepatnya ia melontar diri ke arah anak muda dari Pamingit itu. Tetapi
sekali lagi Bugel Kaliki menggeram, bahkan mengumpat-umpat tak habis-habisnya
ketika tiba-tiba tubuhnya tertumbuk dengan Karang Tunggal yang sengaja
menghalang-halangi geraknya. Dengan demikian Bugel Kaliki terhenti ditempatnya,
namun Karang Tunggal terpelanting beberapa langkah dan jatuh berguling-guling.
Untunglah bahwa ia berhasil menempatkan dirinya sehingga tidak menimpa Sawung
Sariti dan Arya Salaka.
“Gila!” teriak
Bugel Kaliki,
“Kau tidak mati
karena benturan ini?”
“Sebagaimana
kau lihat,” sahut Karang Tunggal yang sudah berhasil berdiri.
Ternyata aji
Lembu Sekilan telah menyelamatkannya, meskipun ia terpaksa terpelanting jatuh.
Namun ia tidak mengalami luka pada tubuhnya. Kesempatan itu dapat dipergunakan
sebaik-baiknya oleh Sawung Sariti dan Arya Salaka. Secepat-cepatnya mereka
mempersiapkan diri mereka untuk menanti serangan-serangan yang baru. Tetapi
pertempuran yang baru sebentar itu telah memberi mereka gambaran bahwa umur
mereka tidak akan terlalu panjang lagi. Bugel Kaliki segera bersiap maju.
Matanya menjadi bertambah merah karena kemarahan yang menyala di dadanya
semakin menjadi-jadi pula. Ketika anak muda itu ternyata mampu bertahan
beberapa saat menghadapinya. Karena itu ia menggeram tak henti-hantinya dan
mengumpat tak habis-habisnya. Ketika Bugel Kaliki telah siap dengan
serangannya, tiba-tiba ia terkejut sehingga ia tegak mematung. Ia melihat anak
yang bernama Karang Tunggal itu meraih sesuatu dari dalam bajunya dan ketika tangannya
itu ditariknya, ia telah menggengam sebilah keris yang memancarkan cahaya yang
buram, seperti bara.
Dan tiba-tiba
pula dari mulutnya terdengarlah ia berdesis,
“Sangkelat.”
“Ya,” sahut
Karang Tunggal, “Inilah Kyai Sangkelat.”
“SETAN!” Hantu
itu bergumam. Namun hatinya berdebar-debar cepat sekali. Apalagi ketika ia
melihat keris itu tidak bercahaya berkilat-kilat seperti pernah didengarnya.
Dan pernah juga ia mendengar ceritera, bahwa Sangkelat yang demikian itu
menyatakan bahwa jiwa keris itu telah luluh dalam jiwa pemegangnya. Apalagi
ketika ia mendengar bahwa Karang Tunggal membenarkan dugaannya bahwa yang
dipegang itu adalah Kyai Sangkelat. Arya dan Sawung Sariti pun berdebar-debar
pula melihat keris itu. Meskipun mereka belum pernah mengenalnya, namun terasa
bahwa wesi aji yang bercahaya buram itu mempunyai pembawaan yang luar biasa.
Apalagi ketika
mereka mendengar Bugel Kaliki menyebut nama keris itu,
“Sangkelat.”
Dan nama keris
itu pernah didengarnya. Bagi Arya Salaka, keris yang bernama Kyai Sangkelat itu
telah memperingatkan kepadanya bahwa ia pun membawa pusaka yang dapat
diandalkan pula, meskipun belum setingkat Kyai Sangkelat. Karena itu, dengan
gerak di luar sadarnya, pedang di tangannya berpindah ke tangan kirinya, dan
tiba-tiba tangan kanannya telah memegang sebuah pisau belati panjang yang
bercahaya kekuning-kuningan.
Melihat pisau
itu, Bugel Kaliki terkejut untuk kedua kalinya. Sekali lagi mulutnya berdesis,
“Kyai Suluh.”
“Ya,” sahut
Arya pendek.
“Hem!” geram
Bugel Kaliki, “Dari mana kalian mendapat benda-benda aneh itu? Sangkelat dan
Suluh. Bukankah Kyai Suluh itu pusaka Pasingsingan?”
“Ya,” sahut
Arya.
“Persetan
dengan pusaka-pusaka itu!”
Tiba-tiba ia
berteriak. Suara menggema berulang-ulang. Namun terasa dalam nada suaranya
bahwa kedua pusaka itu benar-benar mempengaruhi perasaannya. Melihat kedua
kawan senasibnya memegang pusaka-pusaka yang dapat mempengaruhi lawannya,
Sawung Sariti berbesar hati pula. Dengan demikian perlawanan mereka pasti akan
bertambah panjang. Mudah-mudahan ada sesuatu yang dapat merubah keseimbangan
pertempuran itu. Maka karena itulah ia berkata dengan suara nyaring,
“Kakang,
berikan pedang itu kepadaku apabila tak kau pergunakan lagi.”
Arya
memandangi adiknya. Ia telah memegang pusaka yang cukup menggetarkan. Karena
itu, dengan tidak berkeberatan diserahkannya pedang di tangan kirinya kepada
adiknya. Sambil menerima pedang itu Sawung Sariti bergumam,
“Akan aku coba
ilmu pedang rangkap yang pernah diturunkan Eyang Sora Dipayana kepadaku.”
“Pusaka-pusaka
itu tak ada artinya bagi kalian. Bahkan aku akan berterima kasih kepada kalian,
karena setelah kalian mati, maka pusaka-pusaka itu akan menjadi milikku,” kata
Bugel Kaliki pula.
Karang Tunggal
yang mempunyai sifat-sifat aneh itu tertawa.
Jawabnya,
“Jangan
berpura-pura. Suaramu gemetar.”
Bukan main
marahnya hantu dari Gunung Cerme itu mendengar hinaan yang keluar dari mulut
anak-anak. Karena itu ia pun segera meloncat, membuka serangan yang dahsyat.
Namun anak-anak muda pun telah bersiaga. Segera anak-anak itu bergerak pula
memberikan perlawanan yang gigih. Kyai Sangkelat, Kyai Suluh, dan permainan
pedang rangkap Sawung Sariti, yang mengagumkan. Kedua pedang itu tampaknya
seperti saling membelit dan mematuk-matuk berganti-ganti.
Tetapi di
antara mereka bertiga Bugel Kaliki seakan-akan dapat bergerak-gerak seperti
asap yang tak dapat mereka sentuh dengan senjata-senjata mereka. Namun meskipun
demikian, Bugel Kaliki pun tak dapat berbuat sekehendak hatinya atas ketiga
lawan-lawannya yang masih sangat muda itu. Meskipun ketiga-tiganya bukan
berasal dari satu perguruan, namun mereka dapat bekerja bersama dalam susunan
yang rapi. Mereka mencoba sekuat-kuat mungkin saling mengisi dan saling
memperkuat serangan diantara mereka. Apalagi dengan kedua pusaka yang
menggetarkan hati di tangan Karebet dan Arya Salaka, maka Bugel Kaliki
benar-benar harus berhati-hati. Meskipun demikian ia adalah tokoh tua yang
sudah kenyang makan pahit getir perkelahian, pertempuran dan segala macam
kekerasan. Bugel Kaliki dapat membunuh lawannya dan kemudian duduk di atas
bangkai itu sambil makan seenaknya. Pertempuran itu menjadi semakin sengit.
Dalam keadaan demikian, seakan-akan kedua belah pihak berada dalam
keseimbangan. Karang Tunggal ternyata berada dua tiga lapis di atas kemampuan
Arya Salaka. Aji Lembu Sekilannya, meskipun tidak dapat melawan kekuatan tenaga
Bugel Kaliki sepenuhnya, namun ia dapat menghindarkan dirinya dari
sentuhan-sentuhan kecil hantu dari Gunung Cerme itu. Dengan demikian, maka
seakan-akan Karebetlah yang memimpin kedua kawannya yang lain. Ialah yang
mengambil sikap dan menentukan permainan yang mengagumkan, namun telah membuat
Bugel Kaliki bertambah marah.
SETELAH mereka
bertempur beberapa saat, tampaklah tenaga Sawung Sariti mulai susut. Selain
kelelahan yang telah menjalari seluruh tubuhnya, darah juga mengalir dari
lukanya. Meskipun tidak terlalu deras, namun apabila ia menggerakkan tangannya
sepenuh tenaga, darah itu meleleh semakin banyak. Demikian juga darah dari dada
Arya yang telah tergores oleh pedang Sawung Sariti. Namun ketahanan
jasmaniahnya ternyata lebih besar daripada adik sepupunya itu. Melihat keadaan
itu, Karebet menjadi berdebar-debar. Dengan demikian ia harus bekerja sekuat
tenaganya. Tenaga yang seakan-akan mempunyai persediaan yang tak kering-keringnya
didalam tubuhnya. Memang selain sifat-sifatnya yang aneh, tubuh Karebet pun
aneh pula. Meskipun ia memeras segenap kekuatan dan tenaganya sejak pertempuran
itu dimulai, namun semakin lama, seakan-akan ia menjadi semakin segar dan kuat.
Bugel Kaliki yang bermata tajam, setajam burung hantu, melihat kelemahan itu.
Karebet adalah
anak yang sangat berbahaya dengan Kiai Sangkelat di tangannya. Karena itu maka
yang pertama-tama harus disingkirkan supaya tidak mengganggu adalah Arya Salaka
atau Sawung Sariti. Dalam pada itu, terasalah tekanan-tekanan yang erat pada
Arya Salaka dan Sawung Sariti.
Bugel Kaliki
telah mangerahkan serangan-serangannya kepada kedua anak itu berganti-ganti
sambil menghindarkan diri dari serangan-serangan Kiai Sangkelat yang
menyambar-nyambarnya dengan dahsyatnya. Ketika mereka sedang sibuk dengan
pertempuran itu, dimana perhatian mereka seluruhnya terampas oleh usaha mereka
mempertahankan diri, terjadilah suatu peristiwa yang tak mereka duga-duga.
Galunggung, yang duduk lemas ditanah yang becek, ketika melihat kehadiran hantu
dari Gunung Cerme itu, menjadi seakan-akan membeku. Ia tahu benar siapakah
Bugel Kaliki. Dengan demikian ia menjadi putus asa. Semua impiannya kini telah
benar-benar menjadi lenyap seperti awan disapu angin. Impiannya tentang tanah
yang berpuluh-puluh bahu. Kekuasaan atas Pamingit dan Banyubiru. Kekayaan dan
kemewahan. Sebab dengan kehadiran hantu bongkok itu harapan untuk hidup bagi
Sawung Sariti menjadi semakin tipis. Tetapi ketika ia melihat pertempuran di
antara mereka, di antara Bugel Kaliki melawan ketiga anak-anak muda itu hatinya
menjadi hidup kembali. Darahnya serasa mulai mengalir. Ia melihat bagaimana
ketiga anak muda itu dengan gigih mempertahankan diri mereka. Bahkan anak muda
yang bernama Karebet itu dapat bergerak menyambar-nyambar seperti burung
alap-alap di langit. Dengan demikian pikirannya perlahan-lahan dapat berjalan
kembali. Mula-mula ia ingin mencoba membantu melawan Bugel Kaliki namun hal itu
tidak akan berarti. Apalagi senjatanya kini tidak ada di tangannya lagi.
Tiba-tiba timbullah pikirannya yang bersih. Dengan sagat hati-hati ia merangkak
masuk ke dalam tanaman jagung muda itu semakin dalam. Kemudian tiba-tiba
kekuatannya seperti kembali menjalari tubuh. Dengan serta merta, ketika ia
sudah cukup dalam di balik pohon-pohon jatung itu Galunggung meloncat dan
berlari sekencang-kencangnya seperti dikejar hantu, kembali ke Pamingit. Siapa
pun yang akan dijumpainya pertama-tama, akan diberitahukan kepadanya bahwa Arya
Salaka dan Sawung Sariti sedang bertempur melawan Bugel Kaliki.
Pada saat itu
keadaan Sawung Sariti telah bertambah payah. Perlawanannya telah menjadi
semakin kendor. Kedua pedangnya yang semula bergerak seperti gumpalan asap yang
bergulung-gulung melindungi dirinya, kian lama menjadi kian kendor. Sedangkan
serangan Bugel Kaliki menjadi semakin garang. Pada suatu saat Bugel Kaliki
berhasil menerobos lawan-lawannya langsung menyerang Sawung Sariti. Dengan
kecepatan yang masih dapat dilakukan, Sawung Sariti menyilangkan kedua
pedangnya dengan kekuatan raksasanya, sehingga tiba-tiba kedua pedangnya itu
pun bergetar dan jatuh di tanah. Sawung Sariti menjadi gugup. Pada saat itu
Bugel Kaliki mengulangi serangannya langsung ke dada Sawung Sariti. Serangan
itu datang sedemikian cepatnya, sehingga Sawung Sariti telah benar-benar
kehilangan kesempatan untuk menghindar. Karang Tunggal dan Arya menjadi
terkejut pula melihat Bugel Kaliki dapat bergerak secepat itu, menerobos
serangan-serangan mereka. Dengan secepat yang dapat dilakukan, Karang Tunggal
meloncat menyerang sejadi-jadinya. Kyai Sangkelat langsung terjulur lurus ke
lambung Bugel Kaliki. Sedang Arya, yang berada dalam jarak yang lebih jauh, tak
mampu meloncat mencapai lawannya. Maka ia hanya berusaha untuk menyelamatkan
Sawung Sariti yang sedang kehilangan keseimbangannya. Dengan cepat ia mendorong
adiknya ke samping. Kedua gerakan Karebet dan Arya ada juga pengaruhnya, Bugel
Kaliki terpaksa menggeliat menghindari Kyai Sangkelat. Namun sentuhan itu
mengenai dada kiri Sawung Sariti. Tetapi sentuhan itu adalah sentuhan tangan
iblis ganas dari Gunung Cerme. Karena itu akibatnya pun mengerikan. Dada Sawung
Sariti sebelah kiri yang tersentuh tangan Bugel Kaliki itu serasa seperti
terhantam reruntuhan bukit Merbabu. Karena itu Sawung Sariti terlempar dan
terbanting di tanah. Sebuah keluhan yang pendek terdengar. Sekali ia menggeliat
kemudian terdengar ia mengerang kesakitan. Bugel Kaliki yang telah berhasil
menjatuhkan satu lawannya tertawa berderai, membelah sepi malam.
Ia yakin,
bahwa anak kepala daerah perdikan Pamingit itu tak akan mampu bertahan diri
meskipun hanya ujung jarinya saja yang menyentuhnya. Pertempuran itu untuk
sesaat terhenti dengan sendirinya. Sawung Sariti masih bergerak-gerak menahan
sakit. Namun dari mulutnya telah mengalir darah yang merah. Sesaat kemudian,
ketika Arya Salaka menyadari apa yang terjadi, menggelegaklah dadanya seperti
akan meledak. Betapa prasangka yang tersimpan di dalam hatinya terhadap adik
sepupunya itu, namun gumpalan darah dagingnya itu telah menuntut pembelaan
padanya. Anak itu adalah sisiran kulit dagingnya. Sehingga bencana yang
menimpanya berarti bencana pula baginya. Apalagi tangan yang telah melukai
adiknya itu adalah tangan orang dari gerombolan hitam. Karena itu, maka tiba-tiba
terdengar giginya gemeretak. Ia telah melupakan hidup matinya sendiri. Yang
terukir di hatinya adalah, menuntut balas. Arya Salaka berteriak nyaring sambil
meloncat dengan garangnya. Pisau belatinya yang berwarna kuning berkilau itu
menyambar dengan cepatnya, seperti tatit di udara. Tetapi yang diserangnya
adalah Bugel Kaliki. Dengan cekatan seperti burung sikatan yang menghindar.
Suara tertawanya masih menggetar memenuhi udara. Namun suara itu kemudian
berhenti ketika datang serangan Karang Tunggal yang tidak pula dapat menahan
kemarahannya. Kyai Sangkelat yang terkenal itu berputar-putar cepatnya mematuk
tubuh Bugel Kaliki. Melawan kelincahan Karang Tunggal, Bugel Kaliki terpaksa
memusatkan perhatiannya. Seandainya anak itu tidak memegang Kiai Sangkelat,
Karang Tunggal pun bukan lawan yang perlu mendapat banyak perlawanan darinya.
Tetapi kini ia terpaksa berhati-hati menghadapinya. Sentuhan keris itu di ujung
rambutnya, akan berarti maut baginya. Maka terulang kembalilah pertempuran yang
sengit di bawah pohon nyamplung itu. Meskipun lawan Bugel Kaliki telah
berkurang seorang, namun kini Karang Tunggal dan Arya Salaka mengamuk
sejadi-jadinya. Mereka telah tenggelam dalam kemarahan yang tak terkendali.
Cedera yang menimpa Sawung Sariti adalah kesalahan mereka bersama, sehingga
dengan demikian, mereka yang masih sempat mengadakan perlawanan, harus
memperbaiki kesalahan mereka. Membalas kekalahan itu, atau hancur lumat
bersama-sama. Dengan demikian, pekerjaan Bugel Kaliki itu pun tidak berkurang,
namun ia telah melihat titik kemenangan di pihaknya.
Yang segera
harus dilakukan adalah membinasakan Arya Salaka. Setelah itu maka ia akan
berhadapan dengan anak yang keras hati yang bernama Karebet itu. Ia ingin
menangkapnya hidup-hidup, memeras keterangan darinya, di mana ia mendapatkan
Kyai Sangkelat dan di manakah ia mendapat ilmu Lembu Sekilan. Baru apabila
keterangan-keterangan itu telah didapatnya, akan dibunuhnya anak itu dengan
caranya. Tetapi membinasakan Arya Salaka pun tidak semudah yang diduga. Anak itu
benar-benar menyimpan angin di dalam dadanya. Meskipun Arya telah bertempur
mati-matian, namun nafasnya masih mengalir wajar. Apalagi Mas Karebet.
SAWUNG SARITI
agaknya benar-benar terluka parah. Ia sudah tidak mampu lagi menggeser dirinya
dari tempatnya, meskipun ia berusaha. Beberapa kali ia mencoba bangun namun
sekian kali pula dengan lemahnya ia terkulai di tanah. Pada saat yang demikian
itulah Galunggung melihat Pamingit terbentang jauh di kaki langit. Ia sudah
tidak mampu lagi berlari sekencang-kencangnya. Nafasnya telah memburu secepat
kakinya bergerak. Bahkan sekali-kali langkahnya telah gontai, dan malahan
beberapa kali ia jatuh terjerembab. Dengan susah payah ia bangkit, dan mencoba
untuk berlari kembali. Ketika matanya menjadi semakin kabur, hatinya menjadi
cemas. Namun tiba-tiba saja tidak jauh lagi di hadapannya dilihatnya orang
berjalan. Hatinya melonjak kegirangan. Setidak-tidaknya orang itu dapat
dimintanya untuk menyambung kabar yang dibawanya, menyampaikan secepat-cepatnya
ke Pamingit. Tetapi tiba-tiba hatinya berdebar cepat, pikirnya,
“Bagaimanakah
kalau orang itu kawan Bugel Kaliki yang mencegat perjalananku?”
Galunggung
memperlambat langkahnya. Nafasnya saling berkejaran dari lubang hidungnya.
Meskipun demikian, ia mencoba untuk menentramkan diri, mengatur aliran nafasnya
itu. Kalau orang hitam, maka sudah pasti ia tidak akan menyerahkan nyawanya
begitu saja, meskipun tenaganya benar-benar sudah hampir habis dan nafasnya
sudah hampir putus.
“Tiga orang,”
desisnya di antara deru nafasnya. Tetapi tiba-tiba ia berteriak
sekeras-kerasnya karena kegembiraan yang meledak. Orang itu, ketika menjadi
semakin dekat padanya, menjadi semakin jelas pula,
“Tuan…”
suaranya terputus oleh nafasnya yang berdesak-desak.
Orang yang
ditemuinya itu tertegun sejenak. Semula mereka pun bersiaga, siapakah orang
yang berlari-lari ke arah mereka itu. Tetapi kemudian mereka pun mengenalnya.
Galunggung.
“Kenapa kau
Galunggung?” tanya salah seorang.
Galunggung
menghentikan langkahnya. Namun tenaganya benar-benar telah habis. Karena itu
dengan lemahnya ia terjatuh di tanah. “Tuan…” desisnya. Nafasnya masih saja
berkejaran.
“Bugel
Kaliki.”
“Bugel
Kaliki?” sahut mereka bertiga hampir bersamaan.
“Di mana dan
mengapa?” Pada saat itu Galunggung sudah menjadi semakin lemah. Jawabannya pun
sangat lemah pula, hampir tidak terdengar.
“Di bawah
pohon nyamplung.”
“Pohon
nyamplung?” ulang salah seorang dari mereka bertiga.
Galunggung
sudah tidak dapat menjawab lagi. Dengan lemahnya ia jatuh terbaring. Pingsan.
Ketiga orang
itu tertegun sejenak. Namun kemudian terdengarlah salah seorang berkata,
“Di manakah
pohon nyamplung itu?”
“Di tepi jalan
ke Sarapadan Kulon,” jawab yang lain.
“Bawalah
Galunggung ke Pamingit, kami akan menyusul Arya,” kata yang lain lagi.
“Berilah aku
ancar-ancar.”
Diberinya
orang itu ancar-ancar. Kemana ia harus pergi untuk sampai di bawah pohon
nyamplung. Begitu ia selesai berbicara, meloncatlah yang dua orang berlari
sekencang-kencangnya seperti angin. Bahkan di dalam kegelapan malam, keduanya
tampak seperti sebuah bayangan yang melayang dan hilang di balik tabir
kegelapan sebelum orang yang melihatnya sempat berkedip.
Kedua orang
itu adalah Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Ketika Mahesa Jenar kepanasan oleh
udara malam, dan matanya masih belum mau dipejamkan, bangkitlah ia dan berjalan
keluar. Sesaat kemudian Kebo Kanigara menyusulnya pula. Dalam kejemuan mereka,
mereka berjalan saja menyusur jalan-jalan desa. Akhirnya Mahesa Jenar ingat
kepada muridnya. Dan tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenang. Kalau Arya pergi bersama
Sawung Sariti, tersimpan prasangka yang kurang menyenangkan. Karena itu
tiba-tiba saja timbullah keinginannya untuk berjalan-jalan ke Sarapadan. Kebo
Kanigara pun sependapat. Ketika ditemuinya seorang Pamingit yang sedang
duduk-duduk di regol pagar halaman, diajaknya serta sebagai penunjuk jalan.
Tetapi orang itu terpaksa kembali, membawa Galunggung di pundaknya. Di bawah
pohon nyamplung itu, perkelahian antara Bugel Kaliki melawan Mas Karebet dan
Arya Salaka masih berjalan dengan serunya. Masing-masing telah mengerahkan
segenap kemampuan mereka untuk mengalahkan lawannya. Namun bagaimanapun juga,
akhirnya kedua anak muda yang perkasa itu harus mengakui di dalam hatinya,
bahwa hantu bongkok itu benar-benar berbahaya. Meskipun umurnya sudah berlipat-lipat
dari umur mereka, namun tenaganya masih juga luar biasa. Bahkan semakin lama
terasa, bahwa tenaga Bugel Kaliki seperti bertambah-tambah. Karena beberapa
lama kemudian Bugel Kaliki yang sudah matang itu melihat dengan jelas, di
manakah kelemahan-kelemahan dan kekuatan kedua lawannya yang pantas menjadi
cucunya itu.
Dan tiba-tiba
saja terdengar hantu itu tertawa berderai mengerikan, seolah-olah daun pohon
nyamplung yang lebat itu ikut bergetar karenanya. Meskipun suara tertawa itu
jauh berbeda dari suara tertawa Pasingsingan maupun Lawaijo, yang di dalamnya
dilontarkan pula aji Gelap Ngampar, namun suara tertawa Bugel Kaliki itu
benar-benar menyakitkan hati. Karena itulah maka Jaka Tingkir menjadi bertambah
marah.
“Tutup mulutmu
hantu bongkok. Jangan terlalu sombong. Kalau kau tertawa sekali lagi, aku sobek
mulutmu dengan Kiyai Sangkelat ini.”
Suara tertawa
itu terhenti. Tetapi hanya sesaat, kemudian kembali suara itu menggetarkan
udara malam. Bahkan kemudian Bugel Kaliki berkata,
”kalau kau
mampu berbuat begitu anak yang perkasa, pastilah sudah kau lakukan.”
Karang Tunggal
menjadi bertambah marah. Namun Bugel Kaliki benar-benar tak dapat disentuhnya.
Orang yang bongkok itu masih mampu meloncat-loncat dengan lincahnya menghindari
setiap serangan yang datang ke tubuhnya. Bahkan sekali-kali iapun mampu
menyerang dengan garangnya. Untunglah bahwa hantu itu benar-benar tak mampu
melawan. Karena ia masih menunggu setiap kesempatan yang terbuka. Dan
kesempatan itu semakin lama semakin terbuka lebar baginya. Kedua anak muda itu
berada diambang bahaya.
Tetapi dengan
tak mereka sangka, dari tanggul parit yang menyilang jalan kecil itu muncullah
dua sosok bayangan yang terbang ke arah mereka, sehingga mereka yang bertempur
itu menjadi terkejut. Bugel Kaliki segera melontarkan diri ke samping, mencari
kesempatan untuk melihat siapakah yang datang itu. Karang Tunggal dan Arya
Salakapun tidak mengejarnya. Mereka juga ingin mengetahui siapakah yang datang
langsung kepada mereka. Melihat gerakan mereka berdua, Bugel Kaliki terkejut
bukan main. Mereka pasti orang-orang sakti apalagi ketika keduanya telah
semakin dekat. Maka Bugel Kaliki menjadi pasti siapakah yang datang itu. Namun
kesempatan untuk menghindarkan diri sudah terlalu sempit sebab orang yang
datang itu pasti akan mengejarnya, sampai diujung langitpun. Karena itu maka
tidak ada yang dapat dilakukan kecuali menghadapi mereka, bertakar jiwa. Tetapi
untuk melawan orang-orang itu Bugel Kaliki tidak akan dapat sambil tertawa.
Apalagi kalau kedua orang itu bergabung dengan kedua anak muda yang sedang
dihadapinya. Meskipun demikian ia pasti akan berusaha menyelamatkan diri,
apapun caranya. Sesaat kemudian kedua orang itu telah berada tidak lebih lima
depa didepan mereka.
Mahesa Jenar
berdiri tegak dengan wajah tegang, sedang Kebo Kanigara tiba-tiba melihat
seseorang berbaring di tanah.
“Siapakah
dia,” gumamnya
“Adi Sawung
Sariti,” sahut Arya Salaka, namun matanya masih tertanam dimata Bugel Kaliki.
“Sawung
Sariti,” ulang Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar bersamaan. Kebo Kanigarapun
segera melangkah mendekati tubuh yang lemah itu. Tetapi Mahesa Jenar tidak mau
melepaskan diri dari pandangan mata hantu bongkok itu.
Kebo Kanigara
kemudian berjongkok disamping Sawung Sariti sambil berbisik,
“Sawung
Sariti”
Sawung Sariti
membuka matanya. Ketika dilihatnya Kebo Kanigara, bertanyalah ia dengan suara
lemah,
“siapakah
kau?.”
“Kebo
Kanigara,” jawabnya.
“Oh, bukankah
paman sahabat paman Mahesa Jenar?,” desis Sawung Sariti lirih.
“Ya,” jawab
Kebo Kanigara pendek. Tiba-tiba wajah Sawung Sariti menjadi cerah. Meskipun
demikian perasaan sakit di dalam dadanya terasa menyengat-nyengat. Ia mencoba
untuk bergerak, tetapi betapa sakitnya sehingga ia mengerang perlahan-lahan.
“Jangan
bergerak, tubuhmu masih lemah sekali,” kata Kebo Kanigara.
Dalam pada itu
tiba-tiba terdengar Bugel Kaliki tertawa. Katanya,
“Nah kalian
sudah datang. Marilah kita selesaikan persoalan kita. terserah kepada kalian,
apakah mau bertempur secara jantan atau mengeroyokku sebagai betina pengecut,
berempat sekaligus.”
Mendengar
suara Bugel Kaliki itu Sawung Sariti menggeliat,
“setan,”
desisnya marah,
“ia telah
melukai dadaku.” Sedemikain marahnya Sawung Sariti sehingga karena dorongan
perasaanya itu ia telah mengangkat kepalanya. Tetapi sekali lagi ia mengeluh.
dadanya benar-benar terasa pecah. Karena itu iapun kembali terkulai di tanah.
“Jangan
bergerak,” kembali Kebo Kanigara menasihati. Perlahan-lahan tubuh yang lemah
itu di bawanya menepi.
“Iblis itu,”
desis Sawung Sariti
“Biarkan dia,
pamanmu Mahesa Jenar akan mengurusinya.”
“Apakah paman
Mahesa Jenar di sini?,” bertanya Sawung Sariti.
“Ya,” jawab
Kebo Kanigara “Sokurlah,” gumam Sawung Sariti,
“mudah-mudahan
nasibnya akan sama dengan nasib Sima Rodra Tua.”
TERDENGAR
Bugel Kaliki berkata pula,
“Ayolah. Aku
sudah siap. Bukankah kalian marah karena anak tikus itu aku lukai?”
“Diamlah!”
potong Mahesa Jenar,
“Jangan
mencoba mengungkit harga diri kami untuk menyelamatkan diri. Kau ingin
bertempur seorang dengan seorang. Berkatalah demikian. Kau tak usah
mempergunakan kata-kata sindiran yang menjemukan itu.”
Bugel Kaliki
mengerutkan keningnya.
“Gila!”
geramnya.
“Kau terlalu
sombong. Jangan mengukur dirimu dengan terbunuhnya Sima Rodra yang garang itu.”
“Tak pernah
aku berbuat demikian. Tetapi kau pun jangan berbangga karena kau berhasil
melukai anak-anak,” bantah Mahesa Jenar.
“Mereka yang
mulai. Bukan aku,” jawab Bugel Kaliki. Hampir saja mulut Karang Tunggal terbuka
membantah kata-kata Bugel Kaliki itu. Tetapi niatnya cepat-cepat diurungkan.
Pamannya, Kebo Kanigara, yang juga bernama Putut Karang Jati, ada di tempat
itu. Karena itu segera ia memperbaiki sikapnya. Ia kini tidak pula bertolak
pinggang dengan muka menengadah. Meskipun demikian, ia tetap bersiaga,
kalau-kalau Bugel Kaliki tiba-tiba melompatinya. Kyai Sangkelat masih
ditangannya, dan aji Lembu Sekilan pun masih diterapkannya.
Meskipun
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut pula melihat keris di tangan Karang
Tunggal, juga kehadirannya yang tiba-tiba di tempat itu, namun mereka belum
sempat menanyakannya, sebab Bugel Kaliki pun telah bersiap pula. Bahkan
terdengar hantu itu berkata,
“Mahesa Jenar,
kau benar-benar lantip. Kau tidak mau aku berkata melingkar-lingkar. Baiklah,
ayo siapa dahulu yang akan aku binasakan. Kau atau sahabatmu itu. Atau
anak-anak tikus yang tak tahu diri itu.”
Mahesa Jenar
melangkah setapak maju. Jawabnya,
“Akulah yang
sudah berdiri paling dekat.”
“Bagus!”
teriak Bugel Kaliki.
Berbareng
dengan itu ia pun segera meloncat dengan kecepatan yang mengagumkan. Namun
Mahesa Jenar pun telah bersiaga. Karena itu, dengan kecepatan yang sama, ia
berhasil menghindarkan dirinya. Sesaat kemudian, berkobarlah perkelahian yang
sengit di bawah pohon nyamplung itu. Kini yang bertempur adalah Mahesa Jenar
melawan Bugel Kaliki. Dua tokoh sakti dari golongan yang berlawanan.
Masing-masing bertekad untuk saling membinasakan. Singa lena, silih ungkih.
Kebo Kanigara
masih berjongkok di samping Sawung Sariti. Tetapi matanya tidak terlepas dari
setiap gerak dari mereka yang sedang bertempur mati-matian itu. Arya Salaka dan
Karang Tunggal pun bergeser menjauh pula. Dengan penuh kekaguman mereka
mengikuti setiap pergeseran yang terjadi. Desak-mendesak. Sesekali mereka
melihat Mahesa Jenar terdorong surut, namun sesaat kemudian mereka melihat
Bugel Kaliki meluncur beberapa langkah mundur. Pertempuran di bawah pohon
nyamplung itu berlangsung dengan dahsyatnya. Si Bongkok itu bergerak
meloncat-loncat seperti tupai, sedang Mahesa Jenar mampu menyerangnya seperti
burung Rajawali di udara. Menyambar-nyambar dengan garangnya. Kemudian mematuk
dengan paruhnya yang tajam runcing. Dan apabila Bugel Kaliki itu seakan-akan
merubah dirinya segarang harimau belang, Mahesa Jenar pun melawannya setangguh
seekor banteng ketaton. Sehingga dengan demikian, akhirnya terasa oleh Bugel Kaliki
bahwa Mahesa Jenar benar-benar mempunyai kesaktian yang luar biasa. Tahulah
sekarang hantu bongkok itu, karena Sima Rodra tak mampu melawannya. Karena itu,
maka untuk keselamatan diri, akhirnya diurainya senjata andalannya, yang
seakan-akan tak pernah disentuhnya. Sehelai kain empat persegi yang berwarna
merah, dan disalah satu sudutnya diikatkan sepotong timah baja kuning.
Pusaka
peninggalan nenek moyangnya. Dengan memegang sudut silangnya, timah baja kuning
itu diputarnya seperti baling-baling. Mahesa Jenar melihat senjata itu dengan
hati yang tegang. Ia tahu benar apa yang sedang dihadapi. Karena itu, maka ia
tidak sempat untuk memperhatikan keadaan sekelilingnya. Sawung Sariti, Karebet,
Arya Salaka dan Kebo Kanigara. Meskipun lamat-lamat ia masih mendengar suara
Sawung Sariti yang kadang-kadang mengeluh pendek menahan sakitnya. Namun bagi
Mahesa Jenar keluhan itu justru merupakan minyak yang menyiram nyala
kemarahannya terhadap sisa-sisa golongan hitam.
Malam berjalan
dengan lancarnya. Bintang-bintang semakin lama semakin condong kegaris
cakrawala di ujung barat. Namun pertempuran di bawah pohon nyamplung itu masih
berlangsung terus. Bahkan kini perkelahian itu bertambah-tambah dahsyatnya.
Bugel Kaliki dengan senjatanya yang aneh itu menyambar-nyambar seperti burung
alap-alap. Namun Mahesa Jenar bukanlah sekedar burung merpati yang ketakutan.
Bugel Kaliki ternyata bukan saja wajahnya yang mengerikan, namun tandangnya
sesuai benar dengan namanya dan wajahnya yang menakutkan itu. Timah baja kuning
di ujung kain perseginya menyambar-nyambar seperti lebah. Suaranya
berdesing-desing dan melibat lawannya dari segenap arah.
MAHESA JENAR
merasakan kedahsyatan dan kecakapan Bugel Kaliki mempermainkan senjata aneh
itu. Beberapa kali ia terpaksa meloncat surut dan beberapa kali timah lawannya
itu mengiang dekat benar dengan kepalanya. Bahkan karena perhatian Mahesa Jenar
terpaku pada senjata itu, maka sekali-kali terasa kaki hantu bongkok itu
menyambar lambungnya, sehingga Mahesa Jenar yang kokoh itu terpaksa terdorong
surut. Bahkan sekali-kali tangan Bugel Kaliki itu sempat menyentuh tubuh Mahesa
Jenar dan sekali-kali mendorongnya mundur. Dengan demikian Mahesa Jenar
terpaksa melawannya dengan sepenuh tenaga. Untunglah bahwa Mahesa Jenar
bertubuh kuat sekuat banteng jantan. Betapa pun lawannya berusaha untuk
melumpuhkannya, namun dengan gigihnya ia bertahan. Meskipun demikian, senjata
Bugel Kaliki itu benar-benar mengganggunya. Sulitlah bagi Mahesa Jenar untuk
menembus lingkaran timah baja kuning yang berterbangan mengitari tubuhnya.
Namun Mahesa Jenar tidak pernah kehilangan akal. Ia memperhitungkan setiap
kemungkinan. Betapapun sulitnya, sekali-kali ia berhasil juga mengenai tubuh
lawannya. Dengan kaki atau dengan tangannya. Tetapi sentuhan-sentuhan itu
agaknya tidak banyak berarti, karena setiap senjata Bugel Kaliki itu selalu
menghalang-halanginya.
Kebo Kanigara,
Arya Salaka dan Mas Karebet memandangi perkelahian itu dengan penuh perhatian
sehingga nampaknya seperti patung dalam ketegangan. Mereka mengikuti setiap
gerak, baik Mahesa Jenar maupun Bugel Kaliki. Namun setiap saat mereka menjadi
bertambah tegang. Apalagi ketika mereka melihat setiap kali Bugel Kaliki
berhasil melibas Mahesa Jenar dan sekali-kali kemudian berhasil melontarkannya
surut. Namun meskipun demikian, mereka tetap terpaku di tempat masing-masing
dengan ketegangan yang semakin meningkat. Maka setelah mereka bertempur semakin
lama, serta usaha Mahesa Jenar untuk menjatuhkan lawannya masih belum berhasil,
karena senjatanya yang aneh itu, bahkan terasa betapa tekanan Bugel Kaliki
semakin lama menjadi semakin ketat, karena timah baja kuningnya yang
seolah-olah dapat mengurung Mahesa Jenar, sehingga ia tidak sempat untuk
menyerang. Akhirnya Mahesa Jenar tidak dapat berbuat lain daripada mempertahankan
hidupnya dengan ilmu tertinggi yang dimilikinya. Dengan demikian, Mahesa Jenar
dengan lincahnya meloncat ke samping beberapa langkah untuk membebaskan diri
dari libatan timah baja kuning yang menyambar-nyambar itu. Kemudian dengan
garangnya ia mengangkat satu kakinya, ditekuknya ke depan, satu tangannya
diluruskan ke atas seperti akan menyentuh bintang-bintang di langit, tangannya
yang lain menyilang dada.
Dan dalam pada
itu, tersalurlah kekuatan Aji Sasra Birawa. Bugel Kaliki melihat tata gerak
Mahesa Jenar itu. Ia pun telah mengetahui pula, bahwa dengan demikian Mahesa
Jenar sedang mateg aji yang terkenal. Dengan dahsyatnya ia meloncat sambil
memutar senjatanya demikian kerasnya sehingga terdengar angin berdesing. Namun
apa yang dilakukan Mahesa Jenar adalah terlalu cepat. Sehingga ketika serangan
itu tiba, Mahesa Jenar sempat meloncat mundur sambil merendahkan dirinya. Timah
baja kuning itu nyaris menyambar pelipisnya. Tetapi sesaat kemudian ia telah
tegak kembali dan dengan kecepatan kilat ia meloncat maju. Tangan kanannya
menyambar, dengan dahsyat menghantam tengkuk Bugel Kaliki. Bugel Kaliki masih
mencoba untuk menghindar, namun ia terlambat. Sebuah hantaman yang dahsyat
telah mengenainya. Terdengarlah ia berteriak nyaring kemudian melenting dan
jatuh terguling di tanah. Tetapi hantu itu tidak mau menyerah pada keadaannya.
Dengan tertatih-tatih ia bangkit kembali. Sekali terdengar umpatan kotor dari
mulutnya serta matanya menyorot sinar kemarahan yang liar. Kemudian dengan
sekuat tenaga ia melempar Mahesa Jenar dengan senjatanya. Untunglah Mahesa
Jenar tetap waspada, sehingga secepat itu pula ia berhasil menghindari senjata
Bugel Kaliki. Sekali lagi terdengar Bugel Kaliki mengumpat, kemudian jatuh
kembali, terjerembab. Arya Salaka memalingkan wajahnya melihat saat-saat
terakhir yang mengerikan dari hantu yang hampir membunuhnya itu. Mahesa Jenar
masih berdiri tegak seperti patung. Dipandangnya tubuh Bugel Kaliki terbaring
di tanah. Mati.
Kemudian
ditariknya nafas dalam-dalam, sedang di hatinya terpanjatlah ucapan syukur
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menyelamatkannya dari senjata Bugel
Kaliki yang mengerikan, serta telah memberinya kekuatan, bahkan membinasakan
hantu yang menakutkan itu. Bersyukurlah bahwa ia telah berhasil melakukan
pengabdian sekali lagi atas kemanusiaan dalam pancaran cinta kasih yang abadi.
Tidak saja Mahesa Jenar, namun Kebo Kanigara, Arya Salaka dan Karang Tunggal
pun menarik nafas pula. Seakan-akan sesuatu yang menekan dadanya telah dapat
dipunahkan. Bahkan tiba-tiba terdengar Sawung Sariti berkata perlahan-lahan
ketika ia mendengar teriakan ngeri,
“Paman, apakah
yang terjadi?”
Kebo Kanigara
memandang wajah anak itu. Tampaklah kadang-kadang mulutnya menyeringai menahan
sakit. Maka jawabnya,
“Sawung
Sariti, bersyukurlah kau, karena pamanmu Mahesa Jenar telah mengakhiri
pertempuran.”
“Bagaimana
dengan hantu bongkok itu?” tanya Sawung Sariti lemah.
“Ia sudah
binasa,” sahut Kebo Kanigara.
“Tuhan Maha
Besar,” desisnya. Tetapi hatinya sendiri tergetar mendengar suaranya. Selama
ini tak pernah ia menyebut nama Tuhan. Apalagi kebesarannya. Tiba-tiba saja
kata-kata itu terluncur begitu saja dari mulutnya. Namun setelah itu terasa
betapa dekatnya ia dengan Tuhan. Maka timbullah keinginannya untuk sekali lagi
menyebut nama itu, nama yang selama ini terlupakan olehnya. Maka katanya,
“Tuhan Maha
Besar. Ya, Tuhan Maha Besar.”
Mahesa Jenar
menoleh mendengar suara Sawung Sariti itu. Perlahan-lahan ia mendekatinya dan
berjongkok di sampingnya. Perlahan-lahan ia berkata,
“Tenangkan
hatimu, Sawung Sariti.”
“Terimakasih,
Paman,” jawabnya lirih.
“Hatiku telah
puas. Hantu itu telah binasa.”
Tampaklah
senyum mengambang di bibir Sawung Sariti. Meskipun demikian nafasnya terdengar
semakin cepat mengalir dari lubang hidung dan mulutnya, sedang dari mulut itu
masih menetes darah yang merah.
“Mahesa
Jenar…” kata Kebo Kanigara kemudian,
“Apakah tidak
sebaiknya Sawung Sariti segera mendapat pengobatan?”
Sawung Sariti
menggeleng lemah, katanya,
“Obat yang
paling baik, telah aku dapatkan, Paman.”
“Apakah itu?”
tanya Kebo Kanigara.
Sawung Sariti
tersenyum. Senyum yang sayu. Jawabnya, “Di manakah Kakang Arya Salaka?”
No comments:
Post a Comment