Bagian 045


APABILA Bugel Kaliki dan Sima Rodra berada dalam pasukan itu juga, seharusnya kedua orang itu menjadi kewajiban Mahesa Jenar dan Kanigara. Untunglah bahwa di Karang Tumaritis, Mahesa Jenar atas tuntunan tidak langsung dari Kebo Kanigara, telah menemukan inti dari ilmunya, setelah ia berhasil ngraga sukma. Dengan demikian ia tidak perlu lagi gentar menghadapi Si Bongkok dari Gunung Cerme atau Harimau Liar dari Lodaya itu.

Kemampuan Kebo Kanigara sendiri tak perlu diragukan lagi. Ia adalah saudara seperguruan ayahnya, Ki Ageng Pengging Sepuh, bahkan ia memiliki kesegaran yang lebih muda dalam olah kanuragan. Sehingga beberapa orang mengatakan bahwa Kebo Kanigara mempunyai beberapa kelebihan dibanding ayahnya. Pasukan berobor itu kemudian berhenti tidak seberapa jauh dari Gedangan. Agaknya mereka menunggu sampai fajar menyingsing. Ketika matahari telah menjenguk dari balik cakrawala. Bersiaplah kedua pasukan yang sudah saling berhadapan itu. Meskipun demikian, agaknya Sawung Sariti ingin menunjukkan kebaikan hatinya. Dengan panji-panji putih yang tersangkut pada tunggul yang masih tersawung, ia dengan beberapa orang datang mendekati laskar Gedangan. Wajahnya yang cerah membayangkan suatu keyakinan atas kekuatan diri. Melihat wajah itu Mahesa Jenar menjadi bersedih hati. Matanya membayangkan kecerdasan otaknya, sedang langkahnya tetap menunjukkan bahwa Sawung Sariti adalah seorang anak yang berani. Apalagi dibawah asuhan seorang sakti yang bernama Ki Ageng Sora Dipayana. Sayang bahwa di dalam dadanya tersembunyi beberapa titik-titik hitam yang mengotori kebesaran pribadinya. Di belakangnya berjalan dua orang pengawalnya. Seorang yang bertubuh tinggi agak kurus. Mukanya runcing bermata sipit. Dengan alis yang tebal hampir bertemu pangkalnya. Sedang yang seorang lagi bertubuh besar kekar. Meskipun ia tidak setinggi orang yang pertama, namun ia termasuk seorang yang tinggi pula. Matanya tajam memandang ke depan, seperti mata burung hantu. Di pinggang kedua orang itu tergantung masing-masing sebuah pedang panjang, sedang di lambung yang sebelah terselip pisau-pisau belati pendek.

Mahesa Jenar lah yang kemudian melangkah ke depan, menerima kedatangan Sawung Sariti, yang ketika itu telah berdiri berhadapan, dengan hormatnya anak muda itu membungkukkan badannya. Mahesa Jenarpun kemudian membalas membungkukkan badan pula.
“Paman Mahesa Jenar…” Sawung Sariti memulai,
“Maafkanlah kalau beberapa bulan yang lewat aku tidak mengenal Paman.”
“Ah, tak apalah,” jawab Mahesa Jenar.
Kemudian Sawung Sariti meneruskan,
“Kedatanganku sebenarnya tidaklah bermaksud jahat. Meskipun Paman beserta Eyang Wanamerta telah melukai salah seorang pesuruhku, namun aku dapat memaafkan kesalahan kalian berdua.”
Mendengar perkataan itu Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Sejak pertemuannya yang pertama, ia telah menyesali kesombongan anak itu.
“Maksud kedatangan kami…” Sawung Sariti meneruskan,
“Sekadar untuk memenuhi permintaan Eyang Sora Dipayana. Demikian rindunya Eyang Sora Dipayana kepada Kakang Arya Salaka, sehingga aku terpaksa mencarinya untuk membawanya menghadap.”
Mahesa Jenar tersenyum pahit, sepahit hatinya melihat kenyataan yang tidak menyenangkan itu. Kemudian jawabnya dengan tenang, “Baiklah Sawung Sariti, biarlah besok atau lusa Arya Salaka segera menghadap. Ia pun telah merasa sangat rindu kepada pepundennya.”
Sawung Sariti mengangguk-angguk kecil. Agaknya Mahesa Jenar bukan orang yang dapat diperolok-olok. Meskipun demikian ia berkata meneruskan,
“Kenapa besok? Bukankah sekarang ini Kakang Arya Salaka tidak sedang berhalangan, Paman…? Mumpung hari masih pagi, biarlah Kakang Arya kita bawa menghadap. Syukurlah kalau Paman sudi ikut serta dengan kami.”
“Sayang…” jawab Mahesa Jenar,
“Barangkali Arya keberatan. Ia lebih senang melihat barisan segelar sepapan yang sedang mengadakan latihan pendakian dan penyusupan di daerah bukit-bukit sekitar Gedangan ini, daripada tergesa-gesa membuat perjalanan ke Banyubiru.”

Dada Sawung Sariti berdebar karenanya. Ternyata bahwa Mahesa Jenar bukan sejenis orang-orang bodoh yang menjadi kebingungan berhadapan dengan putra Kepala Daerah Perdikan Pamingit itu. Karena itu Sawung Sariti kemudian berkata, namun sudah tidak setenang semula,
“Sayang…. Tetapi Eyang berkehendak demikian.”
Kembali Mahesa Jenar tersenyum pahit. Sebenarnya ia merasa tersinggung atas sikap Sawung Sariti yang menganggapnya sebagai seorang yang sedemikian bodohnya. Sebaliknya, Sawung Sariti pun menjadi kisruh. Semula ia ingin memutarbalikkan perkataan-perkataannya untuk mempermainkan Mahesa Jenar. Namun akhirnya ternyata ia sendiri yang menjadi gelisah oleh jawaban-jawaban Mahesa Jenar yang sama sekali tak diduga-duga itu. Sesaat kemudian terdengarlah Mahesa Jenar menjawab,
“Anakmas Sawung Sariti tidak perlu tergesa-gesa. Aku ingin mempersilakan Anakmas untuk beristirahat barang sehari dua hari di pedukuhan ini untuk menikmati cerahnya matahari di lembah terpencil ini.”
Ternyata kemudian Sawung Sariti sudah tidak dapat lagi mengendalikan perkataannya.
“Aku tidak punya waktu. Aku ingin membawa Kakang Arya Salaka sekarang juga.”
Mahesa Jenar tertawa pendek. Ia menjadi agak geli melihat anak yang sombong itu nampak jengkel.
Maka jawabnya,
“Tidak baik kau memaksanya, Sawung Sariti.”
“Baik atau tidak baik aku tidak peduli,” bentak Sawung Sariti.
“Demikiankah yang diperintahkan eyangmu…?” tanya Mahesa Jenar.
Sawung Sariti yang tidak menduga mendapat pertanyaan yang demikian, menjadi kebingungan. Beberapa saat kemudian barulah ia menjawab sekenanya,
“Aku tidak peduli apakah Eyang setuju dengan caraku ini atau tidak. Hal itu terserah kepadaku.”
“Karena itu kau bawa pasukanmu bersama-sama dengan laskar dari Gunung Tidar…?” sahut Mahesa Jenar.

SEKALI lagi Sawung Sariti kebingungan. Karena itu maka terasalah keringat dingin mengalir di punggungnya. Dengan tak disengajanya dilayangkanlah pandangan matanya kepada pasukannya yang berhenti tidak jauh dari tempatnya berdiri. Melihat pasukannya, ia jadi berbesar hati. Diantaranya terdapat orang-orang pilihan seperti Galunggung, orang yang dipercaya penuh oleh ayahnya untuk memimpin pasukan Pamingit yang berjumlah besar itu. Janda Sima Rodra, dan Jaka Soka. Dan yang lebih hebat lagi, di dalam pasukannya itu pula terdapat dua orang tokoh sakti yang jarang ada bandingnya, yang dendamnya setinggi gunung tersimpan di dalam dadanya, Sima Rodra dari Lodaya yang baru saja kehilangan menantunya dan Bugel Kaliki, Si Bongkok dari Lembah Gunung Cerme. Oleh kebanggaannya itu timbul pulalah kesombongan Sawung Sariti. Katanya,
“Paman, ketahuilah bahwa orang-orang semacam Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki itu tunduk pada perintahku. Apakah kira-kira Paman Mahesa Jenar akan bersikap lain.”
“Ah…” desah Mahesa Jenar,
“Cerdik juga kau menggertak aku.”
Mendengar perkataan itu wajah Sawung Sariti menjadi merah. Orang-orang kebanggaannya itu agaknya dipandang rendah oleh Mahesa Jenar. Maka sambungnya ingin memberi penjelasan lebih banyak,
“Paman… belumkah Paman mendengar nama-nama Sima Rodra dari Lodaya dan Bugel Kaliki dari Gunung Cerme?”
Mahesa Jenar kemudian tertawa. Sengaja ia tertawa panjang. Katanya,
“Sawung Sariti, sudah siapkah pasukanmu…? Jangan berbicara seperti berbicara dengan orang-orang Pamingit yang bodoh. Aku bukan anak-anak lagi. Kau sekarang berbicara dengan seorang tua, setua ayahmu Lembu Sora.”
Sekali lagi warna merah menyirat di wajah Sawung Sariti. Kalau saja ia belum pernah mendengar tentang Mahesa Jenar, yang pernah mendapat gelar Rangga Tohjaya itu, ingin ia menghancurkan kepalanya saat itu juga. Tetapi terhadap Mahesa Jenar ia tidak berani berbuat demikian. Namun di dalam hatinya ia berjanji bahwa ia ingin membunuh orang ini dengan tangannya. Ia telah minta Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki untuk menangkapnya hidup-hidup disamping saudara sepupunya Arya Salaka.

Namun demikian, otaknya ternyata masih dapat bekerja baik. Ketika sekali lagi ia memandang ke arah pasukannya, maka mulailah ia membanding-bandingkan dengan pasukan Gedangan. Menurut perhitungannya, Laskar Gedangan mempunyai jumlah orang lebih banyak. Tetapi ia tidak melihat diantaranya ada orang-orang yang mempunyai nama. Ia tidak melihat orang tua yang disebut Ki Ageng Pandan Alas menurut ciri-ciri yang pernah didengarnya. Meskipun demikian maka berkatalah putra Ki Ageng Lembu Sora itu,
“Paman Mahesa Jenar… karena aku bukan termasuk orang-orang yang tidak dapat berpikir longgar, maka aku bermaksud memberi waktu kepada Paman dan Kakang Arya Salaka untuk sekali lagi berpikir. Biarlah orang-orang tetap di tempatnya sampai esok atau lusa.”
Mahesa Jenar yang menyimpan pengalaman yang luas di dalam perbendaharaan hidupnya, dengan cepat dapat menangkap maksud itu. Maka jawabnya,
“Sawung Sariti. Jangan kau menganggap bahwa hanya pasukan dari Pamingit yang wenang mengambil prakarsa dalam arena yang sudah membayang di hadapan kita. Pasukan yang sudah berhadapan akan kehilangan kesabaran untuk menunggu sampai besok atau lusa. Bersiaplah, aku akan mulai.”
Dada Sawung Sariti tergoncang mendengar kata-kata Mahesa Jenar. Meskipun demikian ia tidak menjadi takut. Sebab ia yakin kepada orang-orang yang dibawanya. Karena itu segera ia mundur beberapa langkah dengan wajah merah oleh api kemarahan yang menyala-nyala di dalam dadanya. Tetapi saat itu ia pun sadar bahwa Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit pengawal raja. Karena itu apa yang dikatakan pasti benar-benar akan dilakukan. Maka segera Sawung Sariti mengangkat tangannya memberi aba-aba untuk segera bersiap. Tetapi dalam pada itu terjadilah hal-hal diluar perhitungan. Baik Sawung Sariti maupun Mahesa Jenar. Ketika segenap orang dalam barisan Pamingit itu mulai bergerak untuk menyusun diri, tampaklah seorang dengan enaknya berjalan keluar dari rombongan itu, menuju langsung ke arah Mahesa Jenar. Bahkan kemudian disusul oleh seorang lagi. Mereka berjalan seperti orang yang sudah kehilangan kesabaran. Dengan langkah-langkah panjang dan cepat mereka tergesa-gesa mendekati Mahesa Jenar. Yang kemudian dengan suara panjang melengking terdengarlah tertawa seorang wanita, sambil berkata,
“Apakah yang sedang kalian bicarakan?”

Sawung Sariti memandangnya dengan wajah penuh pertanyaan. Pada saat ia akan memulai dengan suatu tata gelar, tiba-tiba dua orang dari dalam pasukannya menyusulnya.
“Kenapa kau keluar dari barisan…?” tanya Sawung Sariti. Orang itu, yang tidak lain adalah janda Sima Rodra, tertawa semakin nyaring. Jawabnya,
“Aku tidak sabar dengan segala macam aturan. Aku biasa bertempur kapan saja aku kehendaki, dan dalam tata gelar apapun yang aku senangi.”
Telinga Sawung Sariti menjadi merah. Memang ia sadar sejak semula akan sulitlah mengatur orang-orang dari gerombolan liar itu dalam tata pertempuran yang teratur. Sebab menurut kebiasaan mereka, mereka bertempur dengan mengandalkan kekuatan pribadi, sehingga hampir tidak pernah mereka memikirkan tentang tata gelar yang dianggap dapat menguntungkan pasukannya. Tetapi Sawung Sariti tidak berani menyendunya. Sebab orang-orang itu sangat diperlukan untuk melawan Mahesa Jenar. Karena itu bagaimanapun kecewanya terhadap orang-orang itu, namun perasaan itu disimpannya saja di dalam dadanya. Sawung Sariti menjadi semakin berdebar-debar ketika Janda dari Gunung Tidar itu langsung datang kepada Mahesa Jenar dan berkata,
“Mahesa Jenar, aku datang untuk memenuhi kata-kataku pada saat kau membunuh suamiku di pedukuhan ini. Aku tidak peduli apakah urusanmu dengan Sawung Sariti. Tetapi aku merasa bahwa akulah yang paling berhak untuk membalas dendam.”

MAHESA JENAR yang sangat muak melihat perempuan itu menjawab dengan keras,
“Sekehendakmulah. Kalau kau merasa perlu membalas dendam, cobalah untuk memenuhi tuntutan dendam itu. Aku tidak akan menyingkir.”
Mendengar jawaban Mahesa Jenar itu, Janda Sima Rodra sama sekali tidak menjadi marah. Malah dengan tertawa pendek ia menjawab,
“Bagus. Aku akan segera melakukannya. Tetapi aku kira bahwa aku dapat berbuat sebaliknya. Memaafkan kesalahanmu itu.”
Mahesa Jenar ketika mendengar kata-kata Sawung Sariti, dengan nada yang demikian pula, ia menjadi tidak senang. Apalagi ketika perkataan-perkataan itu keluar dari mulut Janda Sima Rodra. Terasa seolah-olah darahnya menjadi mendidih. Katanya semakin keras,
“Kalau hidupku kemudian hanya karena kebaikan hatimu, Sima Rodra betina, aku lebih baik membunuh diriku.”
Suara tertawa Harimau Betina itu malah menjadi semakin berkepanjangan. Katanya,
“Dengan terbunuhnya suamiku, aku merasa kehilangan sesuatu yang paling berharga dalam hidupku. Karena itu akupun harus mendapatkan ganti sesuatu dengan yang hilang itu. Kalau kau mampu menggantinya, aku akan melupakan peristiwa yang paling menyedihkan dalam hidupku itu.”
Sekarang Mahesa Jenar benar-benar tidak dapat mendengar kata-kata itu lagi. Telinganya menjadi seolah-olah terbakar. Karena itu tidak ada alasan untuk mendengarkannya lebih lama ocehan Janda Sima Rodra itu. Dengan tenangnya Mahesa Jenar melangkah ke samping. Kedua tangannya diangkatnya tinggi. Kemudian dengan gerakan lurus tangan itu direntangkannya kesamping, seterusnya kembali ke atas. Ternyata ia sudah mulai menyiapkan pasukannya dalam gelar yang diperlukan, Sapit Urang. Melihat aba-aba itu, Sawung Sariti segera merasa perlu untuk menyiapkan pasukannya pula. Sesuai dengan sifatnya yang sombong, ia sama sekali tidak berusaha untuk menyesuaikan diri dengan gelar Supit Urang yang sudah dipersiapkan oleh Mahesa Jenar, tetapi karena kepercayaan pada kekuatan yang dibawanya, serta kepercayaan pada diri sendiri, segera Sawung Sariti menyobek panji-panji putihnya, dan mengangkatnya tinggi-tinggi tunggul yang kemudian sudah dilepas sarungnya. Tunggul itu digerakkan beberapa kali melingkar dan kemudian untuk beberapa lama ditegakkan di udara. Ia telah memerintahkan kepada pasukannya untuk bersiap dalam gelar Dirada Meta.

Tetapi agaknya Janda Sima Rodra tidak peduli pada persiapan-persiapan itu. Sekali lagi ia berkata,
“Mahesa Jenar, aku dapat mencegah pertempuran ini. Bahkan kalau perlu aku dapat menghancurkan pasukan Pamingit itu apabila kau dapat mencarikan ganti suamiku yang telah hilang.”
Akhirnya Mahesa Jenar menjadi benar-benar muak. Ia ingin segera menyelesaikan pekerjaannya sebelum rombongan Uling datang. Karena itu dijawabnya,
“Baiklah Sima Rodra, aku akan berusaha mencari ganti buatmu. Apabila pekerjaanku ini sudah selesai, aku ingin menangkap seekor beruk yang buas untuk mengganti Harimau Liar yang telah mati.”
Bagaimanapun juga Janda Sima Rodra adalah seorang manusia. Karena ia menjadi tersinggung sekali atas jawaban itu. Apalagi ketika orang yang berdiri di belakangnya, yang tidak lain adalah Jaka Soka menyambung sambil tersenyum, senyuman seekor ular yang berbisa tajam.
“Bagus Mahesa Jenar. Usulmu tepat sekali.”
Kebo Kanigara, yang berdiri tidak jauh dari Mahesa Jenar, dan yang selama itu acuh tak acuh saja, terpaksa tertawa pula. Bahkan kemudian ia menyahut,
“Aku kira seekor beruk masih terlalu besar buat perempuan yang mengerikan itu. Bukankah lebih baik seekor lutung saja untuk menggantikan suaminya yang terbunuh itu…?”

Hati Janda Gunung Tidar itu ternyata terbakar oleh api yang dinyalakannya sendiri. Terbawa oleh sifat-sifatnya yang liar itu, maka ia sama sekali tidak pedulikan, apakah ia termasuk dalam pasukan Sawung Sariti atau tidak. Langsung ia meloncat maju dan dengan garangnya menyerang Mahesa Jenar dengan kuku-kukunya yang tajam beracun. Untunglah bahwa Mahesa Jenar adalah seorang yang selalu waspada, sehingga dengan mudahnya ia meloncat ke samping menghindari serangan itu. Tetapi Janda Sima Rodra itupun bukan seorang yang dapat diremehkan. Bertahun-tahun ia hidup dalam dunia kejahatan dan perkelahian. Karena itu ia tidak bermaksud memberi ruang untuk bergerak bagi lawannya. Dalam pada itu salah seorang yang berdiri di belakang Mahesa Jenar, di dalam barisan orang-orang Gedangan, terdapatlah seorang yang memiliki dendam sedalam lautan kepada perempuan liar itu. Ketika ia melihat perempuan liar dari Gunung Tidar itu bercakap-cakap dengan Mahesa jenar, darahnya sudah menggelegak. Namun demikian ia selalu berusaha untuk menahan diri, supaya tidak merusakkan rencana Mahesa Jenar serta barisannya. Tetapi kemudian ketika ia melihat, Harimau Betina itu menyerang Mahesa Jenar, agaknya darahnya benar-benar menjadi mendidih. Sehingga seolah-olah diluar kemauannya, tiba-tiba ia pun meloncat berdiri disamping Mahesa Jenar sambil berkata nyaring,
“Janda Sima Rodra yang cantik. Sudah lama aku berusaha untuk memperkenalkan diriku. Tetapi sayang bahwa pertemuan kita di pedukuhan ini beberapa waktu yang lalu ternyata terlalu singkat.”
Janda Sima Rodra itu terhenti. Dengan pandangan penuh kemarahan, ia mengamati orang yang menyapanya itu. Seorang gadis dengan pakaian laki-laki. Kemudian teringatlah ia, ketika ia bersama almarhum suaminya bertempur melawan Mahesa Jenar dan muridnya, tiba-tiba ia telah diserang oleh seorang yang tak dikenalnya. Agaknya orang inilah yang telah menyerangnya itu, bahkan yang kemudian oleh ayahnya, gadis itu berhasil ditangkapnya. Dan orang itu sekarang muncul lagi di hadapannya.

KEMARAHAN Janda Sima Rodra semakin menyala. Dengan suara yang tajam melengking ia berteriak,
“Hai, gadis manis… siapakah sebenarnya kau? Sebenarnya lebih baik bagimu untuk tinggal di rumah menghias diri, daripada mengganggu aku di arena ini. Meskipun menilik pakaianmu agaknya kau lebih senang disebut sebagai seorang laki-laki daripada seorang perempuan.”
Orang itu, yang tak lain adalah anak tiri Janda Sima Rodra sendiri, menjawab,
“Tak apalah kalau kau tak mengenal aku. Namaku adalah Rara Wilis dari Gunung Kidul. Anak perempuan dari Ki Panutan, yang kemudian pergi meninggalkan kampung halamannya karena perempuan cantik yang perkasa.”
“Wilis…!” teriak Janda Sima Rodra. Ia memang pernah mendengar nama Rara wilis. Bahkan gadis itu pernah ditangkap oleh ayahnya. Namun baru sekarang ia teringat bahwa orang yang bernama Rara Wilis itu pernah dikenalnya pada masa kanak-kanaknya. Pada saat ia sedang memikat almarhum suaminya, ia memang sering melihat seorang gadis kecil yang bernama Rara Wilis. Karena itu kemudian janda Sima Rodra berkata sambil tertawa,
“Wilis, ya Wilis. Alangkah pelupanya aku ini. Ketika aku mendengar namamu beberapa saat yang lalu, aku sama sekali lupa bahwa kau adalah anakku sendiri. Nah, sekarang aku telah tahu benar bahwa kau adalah anakku. Apakah maksudmu sekarang…?”
Dengan nada yang tak kalah lantangnya Wilis menjawab,
“Ah… agaknya kau ingat juga apa yang pernah kau lakukan atas ayah beberapa tahun yang lewat. Ketahuilah bahwa karena itu, keluarga menjadi terpecah-pecah.”
“Hem…” geram perempuan itu.
“Itu bukan hanya salahku. Kau kira kalau ayahmu bukan seorang laki-laki rakus, aku dapat memaksanya pergi?”
Wilis mengerutkan keningnya. Kemudian jawabnya,
“Kau benar. Namun kejadian itu bukanlah suatu kebetulan. Kaulah sebabnya, dan keluargakulah yang harus menanggung akibatnya.”
Tiba-tiba perempuan itu tertawa lebih keras. Katanya,
“Sebenarnya kalau kau menuntut ayahmu itu, tuntutlah kepada laki-laki di sampingmu itu. Dialah yang telah membunuhnya.”

Mendengar seruan itu, dada Mahesa jenar berdesir. Memang, pada saat Sima Rodra terbunuh, Rara Wilis menjadi sangat marah kepadanya. Bahkan masih terasa betapa ujung pedang gadis itu melukai dadanya. Sekarang, peristiwa itu diingatkan lagi. Tetapi ternyata jawaban Rara Wilis melegakan Mahesa Jenar.
“Aku sudah tahu, Janda Sima Rodra, bahwa laki-laki di sampingku inilah yang telah membunuh ayahku. Tetapi hal itu bagiku adalah jalan yang sebaik-baiknya, daripada setiap hari ayahku selalu menimbun dosa.”
Terdengar Harimau Betina itu menggeram marah. Usahanya untuk mengadu kedua orang itu tak berhasil. Karena itu ia berteriak,
“Baik… lalu apa maumu?”
“Menurut pikiranku…” jawab Rara Wilis,
“Aku pun akan membuat jasa kepadamu, seperti apa yang telah terjadi pada ayahku. Kau… ibuku, harus juga aku cegah untuk tidak membuat dosa setiap hari. Agar kau tidak usah berhenti terlalu lama di dalam api pencucian kelak.”
Perempuan liar itu sudah menjadi pening mendengar kata-kata Rara Wilis. Karena itu ia tidak menjawab lagi. Dengan garangnya ia berteriak sambil meloncat menyerbu. Untunglah bahwa Rara Wilis pun telah bersiaga. Dengan lincahnya ia meloncat menghindar. Bahkan dengan kakinya ia menyerang lambung Harimau Betina itu. Namun Janda Sima Rodra pun memiliki pengalaman yang luas, sehingga dengan siku tangannya ia menutup lambungnya. Melihat lawannya melindungi diri, Rara Wilis menarik kakinya, namun kemudian tangannya yang dengan cepat menyambar tengkuk. Sekali lagi Harimau Betina itu meloncat mundur. Namun kemudian ia tidak mau diserang lagi. Dengan garangnya kemudian mengembanglah jari-jari janda Sima Rodra yang berkuku panjang, dengan logam beracun di ujung-ujungnya. Sesaat kemudian terjadilah pertempuran sengit. Pertempuran yang dilambari oleh tuntutan dendam yang telah lama tersimpan di dalam dada dan sekaligus merupakan suatu usaha untuk melenyapkan benih-benih kejahatan yang dapat tumbuh di kemudian hari.

Rara Wilis maupun Janda Sima Rodra memiliki kelincahan yang mengagumkan. Janda Sima Rodra bertempur dengan ilmu yang diwarisi dari ayahnya, yang memiliki unsur-unsur kegarangan yang mengerikan, dengan gerak-gerak harimau lapar. Sedangkan Rara Wilis adalah cucu sekaligus murid Ki Ageng Pandan Alas. Seorang sakti yang bertahun-tahun menekuni ilmunya sehingga sukar untuk mendapat bandingan. Karena itu pertempuran yang terjadi adalah merupakan pertempuran antara ilmu jahat melawan ilmu yang dengan gigih berusaha menumpasnya. Dalam keadaan yang demikian, untuk beberapa saat semua mata terpaku pada pertempuran itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara yang mempunyai wawasan yang dalam, segera melihat keadaan Rara Wilis sama sekali tidak mengkhawatirkan. Karena itu mereka tidak perlu tergesa-gesa mengambil tindakan terhadap perempuan liar itu. Apalagi di hadapan mereka, masih terdapat orang-orang yang cukup berbahaya. Jaka Soka yang berdiri dekat titik perkelahian, agaknya sangat tertarik melihatnya. Dengan tersenyum aneh, ia bahkan dengan enaknya duduk menonton. Jaka Soka menjadi keheran-heranan juga melihat gadis cantik yang pernah ditemuinya di hutan Tambakbaya itu mampu bertempur dengan gigihnya melawan Janda Sima Rodra. Sedangkan Sawung Sariti menjadi berdebar-debar melihat seseorang muncul dari dalam barisan. Seorang gadis lagi. Dan orang itu dapat mengimbangi Janda Sima Rodra dari Gunung Tidar. Namun meskipun demikian ia tidak bercemas hati. Sebab masih ada orang yang jauh lebih sakti dari janda itu dalam barisannya.

Yang kemudian dilakukan Sawung Sariti adalah memberi tanda kepada pasukannya untuk mengadakan persiapan terakhir. Ia sudah tidak melihat kemungkinan lain kecuali bertempur saat itu juga, sekaligus untuk mencurahkan dendam kepada orang-orang Gedangan, karena kegagalannya menjadikan Gedangan sebagai kuburan untuk orang-orang yang telah dan akan disingkirkannya. Ketika Sawung Sariti sekali lagi melambaikan tangannya, bergeraklah seluruh pasukan Pamingit dalam gelarnya yang dahsyat, Dirada Meta. Pasukan itu seolah-olah merupakan suatu bentuk seekor gajah yang maha besar, yang sedang berjalan dengan tangguhnya menyerang lawan. Di ujung gading pasukan Pamingit berdirilah dua orang yang sangat ditakuti. Yaitu Sima Rodra tua dari Lodaya yang merasa perlu membalas dendam atas kematian menantunya, sekaligus untuk melenyapkan salah seorang saingan utama dalam perebutan keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten. Sedang di ujung yang lain, sahabat Harimau Lodaya, yaitu Bugel Kaliki. Ia ikut serta dalam pertempuran itu atas permintaan sahabatnya. Namun sebenarnya ia pun sedang mengadakan penyelidikan kemana keris-keris sakti dari Istana Demak itu berada. Bugel Kaliki sadar bahwa pertempuran-pertempuran yang berjalan ini hanyalah merupakan permulaan dari pertempuran-pertempuran dan perkelahian-perkelahian yang akan terjadi kelak apabila sudah ada gambaran di mana kedua keris itu tersimpan. Bahkan ia pun sadar seperti Sima Rodra juga, bahwa mereka masing-masing harus berusaha melenyapkan saingannya satu demi satu. Kalau sekarang mereka sedang berusaha untuk menyingkirkan Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, yang mungkin terdapat pula Pandan Alas, maka esok mereka harus menyingkirkan kawan-kawan mereka yang sekarang sedang bertempur bersama-sama dan saling membantu. Ketika Mahesa Jenar melihat pasukan gabungan dari Pamingit dan Gunung Tidar mulai bergerak, segera ia mengangkat tangannya pula. Dan, segera bergerak pula seluruh laskar Gedangan dalam gelarnya Supit Urang. Untuk menghadapi gelar gajah yang datang menyerangnya, barisan dalam bentuk udang raksasa dengan sapit-sapitnya yang garang itupun telah bergerak maju.

Dalam pada itu sekali lagi Sawung Sariti melihat keliling untuk mengetahui keadaan medan keseluruhan. Dari lambung sebelah kiri dilihatnya pasukan itu dipimpin oleh Wanamerta, sedang dari lambung kanan dilihatnya bahwa pasukan itu dipimpin oleh seorang anak muda sebaya dengan dirinya. Melihat anak muda itu, hati Sawung Sariti berdesir. Itulah Arya Salaka. Karena itu cepat Sawung Sariti meloncat mundur, dan berbisik kepada Galunggung,
” Galunggung…peganglah pimpinan. Berikan aba-aba atas namaku. Bawalah tunggul ini. Aku akan menyelesaikan urusanku dengan Kakang Arya Salaka.”
Galunggung segera tahu maksud Sawung Sariti. Segera ia menerima tunggul itu. Meskipun demikian ia berpesan kepada Sawung Sariti,
”Anakmas, hati-hatilah. Anak itu bukan anak yang dapat diabaikan.”
Sawung Sariti tersenyum, lalu jawabnya,
“Jangan takut. Beberapa bulan yang lalu aku memang belum dapat mengalahkannya. Tetapi sekarang keadaan telah jauh berubah. Percayalah bahwa aku akan dapat membawa kepalanya pulang sebagai oleh-oleh buat ayah Lembu Sora.”
Galunggung pun tersenyum. Ia percaya kepada anak muda itu. Sesaat kemudian kedua pasukan itu menjadi semakin dekat. Mahesa Jenar yang masih berada disamping Kebo Kanigara segera menyiapkan diri masing-masing. Mereka telah melihat Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki. Karena itu mereka menempatkan diri untuk melawan mereka. Dalam pada itu Janda Sima Rodra dan Rara Wilis masih saja bertempur dengan sengitnya. Mereka seolah-olah tidak peduli bahwa pasukan-pasukan itu sebentar lagi akan berbenturan dan akan segera terjadi pertempuran yang dahsyat. Saat itu mereka sedang tenggelam dalam perkelahian yang seolah terpisah dari pertempuran yang bakal datang. Kedua pasukan menjadi semakin dekat dan semakin dekat. Setiap wajah yang berbeda dalam barisan menjadi semakin tegang pula. Tangan-tangan mereka yang memegang senjata masing-masing telah menjadi bergetar dan basah oleh keringat. Janda Sima Rodra yang mempunyai pengalaman lebih banyak, ternyata tidak mau bertempur didaerah lawan. Perlahan-lahan ia menggeser titik bertempur sejalan dengan langkah laskar Gedangan, mendekati pasukan-pasukan dari Pamingit.

Jaka Soka yang sangat tertarik pada pertempuran itu terpaksa ikut bergeser. Meskipun tampaknya acuh tak acuh saja namun sebenarnya otaknya yang licin itu sedang bekerja keras mencari jalan yang semudah-mudahnya, bagaimanakah sebaiknya untuk menangkap Rara Wilis tanpa kesulitan. Meskipun untuk memiliki gadis itu sekarang ia terpaksa mempertimbangkan bahwa ia mungkin akan mendapat perlawanan yang berat, tidak sebagaimana pernah terjadi pada saat gadis itu sama sekali belum memiliki ilmu bela diri. Pada saat itu matahari telah menanjak di atas bukit-bukit yang hijau di arah timur. Sinarnya yang hangat menghambur di atas batu-batu karang yang kemerah-merahan serta dedaunan yang hijau segar oleh titik-titik embun yang belum lenyap seluruhnya. Angin pegunungan yang sejuk terasa mengusap wajah-wajah yang tegang. Namun hampir tak seorang pun yang dapat menikmatinya. Sebab hati mereka telah terampas oleh ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat karena sinar matahari.

TIDAK jauh di belakang pasukan Gedangan, pedukuhan gedangan menjadi amat sepi, seolah-olah pada saat matahari sudah demikian tingginya masih saja lelap dalam tidurnya. Rumah-rumah bambu yang tegak seakan menjadi tak berpenghuni. Sedang anak-anak kecil erat berpegang ujung-ujung baju ibunya, yang menahan debar jantung melepas suami pergi berperang. Tetapi ketika terasa mata mereka hangat oleh titik-titik air yang tak tertahankan lagi, diulanginya kata-kata yang pernah didengar dari lurah mereka, bahwa tugas yang paling mulia bagi seorang laki-laki adalah berjuang untuk tanah kelahiran. Dan sekarang suami mereka sedang menjalani tugas mulia. Sebab ada orang lain yang akan mengganggu ketenteraman kampung halaman mereka, seperti yang pernah terjadi beberapa saat sebelumnya. Jarak antara kedua pasukan itu menjadi semakin dekat, sehingga akhirnya seperti dua jalur air bah yang berbenturan. Meledaklah pertempuran yang dahsyat. Pasukan Pamingit yang dibantu laskar dari Gunung Tidar mempunyai pengalaman yang lebih banyak dibandingkan laskar Gedangan. Namun pada saat itu laskar Gedangan dibekali oleh suatu tekad untuk menyelamatkan pedukuhan mereka dari penindasan dalam segala bentuk. Apalagi dalam waktu terakhir mereka telah menerima gemblengan yang berat dari seorang yang dapat dibanggakan, yaitu Mahesa Jenar dibantu Kebo Kanigara, Wanamerta dan Arya Salaka. Dering senjata di sela-sela gemerincing pedang beradu perisai terdengar diantara pekik sorak dari kedua belah pihak seperti membelah langit. Kilatan-kilatan ujung-ujung pedang memantulkan cahaya matahari seperti sinar-sinar yang menyembur-nyembur.

Dalam pertempuran itu Kebo Kanigara menempatkan dirinya untuk melawan Bugel Kaliki, sedangkan Mahesa Jenar bertempur mati-matian melawan Sima Rodra yang bernafsu untuk menuntut balas atas kematian menantunya. Sedangkan diantara pasukan yang bertempur itu, Janda Sima Rodra dan Rara Wilis masih saja berkelahi, seolah-olah tidak terpengaruh oleh pertempuran yang menyala-nyala di sekitarnya. Pada saat hiruk-pikuk itulah Jaka Soka ingin mendapatkan keuntungan. Ia sudah tidak berpikir lagi untuk ikut serta memusnahkan orang-orang Gedangan yang pernah mengecewakan hati Sawung Sariti atau Mahesa Jenar. Ia berharap Bugel Kaliki dan Sima Rodra dapat menyelesaikan pekerjaan itu. Dengan demikian ia pun akan kehilangan seorang saingan dalam memperebutkan Nagasasra dan Sabuk Inten. Lebih daripada itu, ia pun akan kehilangan seorang saingan pula dalam perebutan gadis yang bagaimanapun tak dapat dilupakan. Sebab ia tahu bahwa agaknya Mahesa Jenar pun bukan tanpa pamrih untuk selalu melindunginya. Sekarang, Mahesa Jenar sedang sibuk bertempur melawan Sima Rodra tua. Ia mengharap bahwa Mahesa Jenar tidak akan dapat keluar dari pertempuran itu, lengkap dengan nyawanya. Maka ketika semua orang yang berada dalam lingkaran pertempuran itu sedang sibuk menyabung nyawa, tiba-tiba Jaka Soka meloncat menerjang ke arah Rara Wilis yang sedang sibuk melayani Janda Sima Rodra. Dengan demikian ia menjadi tidak memperhatikan kedatangan bahaya yang baginya lebih dahsyat daripada mati. Tetapi kemudian Jaka Soka dikejutkan oleh suatu serangan yang tak diduganya pada saat ia menyergap Rara Wilis. Apalagi ketika ia sudah sempat mengamati orang yang menyerangnya itu. Ia tidak lebih dari seorang gadis tanggung, yang dengan lincahnya menyambar-nyambar seperti seekor sikatan menangkap belalang. Gadis itu tidak lain adalah Widuri, yang dengan diam-diam ikut serta dalam barisan orang-orang gedangan.

Melihat gadis tanggung itu mengganggunya, Jaka Soka menjadi marah bukan buatan. Sekali ini ia tidak mau gagal lagi. karena itu segera ia mengerahkan tenaganya untuk dengan cepat membinasakan anak yang telah berbuat lancang itu. Tetapi sekali lagi ia menjadi heran. Kalau semula ia kagum akan kegesitan Rara Wilis, sekarang ia terpaksa mengagumi gadis tanggung yang dapat bertempur dengan tangkasnya. Bahkan serangan-serangannya kadang-kadang terasa sangat berbahaya. Kekaguman itulah kemudian yang menambah kemarahan Jaka Soka terhadap anak kecil yang baru dapat berjalan beberapa langkah, Ular Laut dari Nusakambangan itu tidak dapat segera dapat mengatasinya…? Dengan demikian Jaka Soka bertempur mati-matian mendesak lawannya. Dalam pada itu, bagaimanapun cakapnya Widuri membawa dirinya, namun ia telah melawan seorang yang mempunyai nama menakutkan dalam kelangan bajak laut. Jaka Soka yang tampan itu adalah ular yang berbisa sangat tajam. Karena itu segera terasa bahwa ia masih belum sampai pada tingkatan yang cukup untuk melawannya. Meskipun demikian Endang Widuri adalah seorang gadis yang berjiwa besar, sebagaimana tersimpan dalam saluran dara Handayaningrat. Karena itu ia sama sekali tidak mengeluh atau menyesal. Bahkan segera ia pun mengerahkan segala ilmu yang pernah dipelajarinya untuk mempertahankan diri. Untunglah bahwa dari sela-sela gemerlapnya pedang, Kebo Kanigara dapat melihat bayangan gadisnya yang meloncat-loncat dengan lincahnya. Namun bayangan itu telah membuat debar jantung Kanigara lebih cepat. Pada saat itu ia sedang bertempur melawan Hantu Bongkok dari Lembah Gunung Tidar, yang terkenal bertangan panas. Telapak tangannya seolah-olah menyimpan tenaga api yang tidak terkira, sehingga dalam setiap pertempuran, bila seseorang kena rabanya, segera akan menjadi hangus kulitnya pada tempat sentuhan itu. Tetapi Kanigara bukan pula manusia biasa. Ia adalah seorang sakti yang memendam diri. Meskipun namanya tidak dikenal, namun sebenarnya ia telah memiliki ilmu yang dapat disejajarkan, bahkan melampaui orang-orang yang ditakuti seperti Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana, dan sebagainya. Karena itulah maka untuk melawan Si Bongkok itu, Kebo Kanigara tidak usah berkecil hati.

KANIGARA tiba-tiba mempunyai pekerjaan lain, selain melawan Si Bongkok. Bagaimanapun ia melihat bahwa Widuri tidak dapat mengimbangi keganasan Jaka Soka. Sehingga dengan demikian terpaksa ia menggiring lawannya mendekati pertempuran anaknya. Bahkan untuk membesarkan hati gadis itu, ia berteriak,
“Widuri, kenapa kau ikut serta?”
Widuri mendengar suara ayahnya. Tiba-tiba hatinya menjadi bertambah besar. Sehingga dengan demikian tenaganya pun terpengaruh. Apalagi ketika ayahnya berteriak lagi,
“Bertahanlah. Aku datang.”
Widuri tertawa pendek. Lalu jawabnya,
“Orang ini hebat juga, ayah.”
Kebo Kanigara tidak menjawab. Ia terpaksa bertempur dengan sebagian perhatian terikat kepada anaknya. Bahkan sesekali ia terpaksa melontarkan diri untuk memberinya pertolongan. Kalau saja ia tidak berbuat demikian, maka ia perlahan-lahan namun pasti akan segera dapat mendesak lawannya. Tetapi karena ia terpaksa membagi tenaganya, maka Bugel Kaliki masih dengan segarnya dapat bertempur melawan orang yang sama sekali belum dikenalnya itu, tetapi ternyata sangat mengejutkannya. Ia merasa bahwa di dunia ini hanya orang-orang tertentu saja yang dapat mengimbangi kesaktiannya. Namun tiba-tiba muncullah orang ini. Apalagi orang ini dapat melawannya dengan membagi tenaga. Karena itu ia menjadi marah. Bugel Kaliki yang terkenal bertenaga api itu segera berusaha sekuat tenaga untuk dapat memenangkan pertempuran. Namun bagaimanapun, kemudian ia terpaksa mengakui kedahsyatan tenaga Kebo kanigara. Sehingga dengan demikian Bugel Kaliki harus lebih berhati-hati lagi. Di titik yang lain, tampaklah Mahesa Jenar bertempur melawan Harimau Liar dari Lodaya yang menyerangnya dengan garang. Orang tua yang berkerudung kulit harimau hitam itu mula-mula merasa bahwa dalam waktu yang pendek dapat menyelesaikan pekerjaannya. Sebab ia merasa bahwa Mahesa Jenar berdua dengan Gajah Sora, bahkan dengan sepasang keris Nagasasra dan Sabuk Inten, tak dapat mengalahkannya. Malahan seandainya pada saat itu tidak datang Titis Anganten, Mahesa Jenar pasti sudah binasa. Tetapi ternyata Harimau Liar itu menghadapi suatu kenyataan lain. Mahesa Jenar yang bertempur pada saat itu ternyata bukanlah Mahesa Jenar beberapa tahun yang lampau. Ilmunya kini telah meningkat jauh dibanding masa-masa itu. Karena itu, ia pun menjadi marah bukan kepalang. Dengan menggeram dahsyat ia menerkam Mahesa Jenar dengan garangnya. Namun Mahesa Jenar kini telah benar-benar merupakan seorang yang luar biasa. Bahkan orang yang pernah melihat cara almarhum gurunya bertempur, pasti akan berkata di dalam hati, Mahesa Jenar benar-benar telah merupakan bayangan yang tepat dari Ki Ageng Pengging Sepuh. Karena itulah Sima Rodra menjadi keheran-heranan. Apalagi ketika ternyata bahwa Mahesa Jenar dapat mendesaknya dengan tajamnya.

Pertempuran itu berkobar-kobar dengan dahsyatnya. Debu putih mengepul naik ke udara seperti tirai kabut yang tebal. Sedangkan matahari semakin lama menjadi semakin tinggi, membawa wajahnya yang lesu menempuh garis edarnya. Garis yang telah dilaluinya setiap hari. Sekali bergeser ke utara, sekali bergeser ke selatan. Demikianlah telah berlangsung dari tahun ke tahun, puluhan bahkan ratusan dan ribuan tahun telah berjalan tanpa suatu perubahan. Dan dalam waktu yang demikian panjangnya itu telah disaksikan segala macam kejadian di permukaan bumi ini. Telah disaksikan segala macam musim. Musim bunga, musim buah, musim hujan dan musim kering. Telah disaksikan pula berbagai tabiat manusia. Sedih-gembiranya, senyum tangisnya. Bahkan tabiat-tabiat mereka yang aneh-aneh. Bertempur sesama manusia, membunuh dan memfitnah. Bahkan kadang-kadang mereka berkelahi tanpa sebab dan tanpa pengetahuan untuk apa sebenarnya mereka harus berkelahi, selain pemanjaan nafsu kebinatangan yang kadang-kadang menguasai mereka yang seharusnya memiliki tingkatan yang lebih tinggi daripada binatang. Bahkan ada diantara manusia yang menjadi lupa pada asal mula dan hari akhirnya. Lupa kepada Tuhan penciptanya yang menyediakan segala kebutuhannya, tetapi yang kelak menuntut suatu pertanggungjawaban pada masa-masa hidupnya bila masa peradilan telah tiba. Lupa pada panasnya api neraka yang abadi yang akan menelannya, serta lupa kepada janji kesejahteraan abadi bagi mereka yang berjalan sepanjang garis kebenaran.

Pertempuran yang terjadi di lembah antara bukit-bukit kecil itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Gemerincing senjata diantara sorak sorai laskar dari kedua pihak, kini dislingi pekik kesakitan dan rintihan pedih. Dari tubuh-tubuh yang sedang bergulat diantara maut itu, tampak menetes keringat dan darah. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menjadi prihatin melihat pertempuran itu. Karena itu mereka berjuang semakin gigih. Kadang-kadang terdengar suara Mahesa Jenar berteriak memberi aba-aba yang agaknya sangat menguntungkan laskar Gedangan. Sebagaimana yang dinasihatkan Mahesa Jenar bahwa seharusnya mereka lebih mementingkan kerja sama yang erat daripada bertempur seorang demi seorang. Dengan demikian mereka tidak perlu harus terikat kepada satu lawan, kecuali orang-orang tertentu seperti Mahesa Jenar sendiri. Laskar Gedangan juga telah dilatih untuk mempergunakan otak dalam saat-saat tertentu, sehingga dengan demikian mereka tidak akan kehilangan akal. Karena itulah, disamping jumlah yang memang lebih banyak, ketika matahari telah menanjak tinggi, tampaklah bahwa laskar Gedangan berhasil mendesak lawan mereka. Sima Rodra tua dan Bugel Kaliki yang merasa sakti tanpa tanding, terpaksa harus mengakui bahwa dunia ini terbentang sedemikian luas, sehingga tidak seluruhnya dapat dijajaginya.

OLEH kenyataan itu, berbesar hatilah seluruh laskar dari Gedangan. Semakin lama mereka bertempur, semakin segarlah tubuh mereka oleh kemenangan demi kemenangan yang mereka peroleh. Sehingga ketika mahatari telah condong ke barat, titik pertempuran itu telah jauh bergeser. Namun orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar bukan pula orang yang mudah berputus asa. Karena gelar mereka ternyata tidak menguntungkan, kemudian terdengarlah jerit Galunggung diantara derak gempuran senjata memberi aba-aba. Demikian dahsyatnya teriakan itu sehingga dapat didengar oleh semua telinga di medan pertempuran itu. Demikian suara Galunggung berhenti, berubahlah tata barisan orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar. Mereka mengubah gelar Dirada Meta yang hampir rusak, dengan gelar Gelatik Neba. Dengan demikian pertempuran itu seolah-olah menjadi kacau balau.
Orang-orang Pamingit dan Gunung Tidar secara perseorangan menyusup ke dalam barisan Gedangan. Namun hal yang demikian telah mereka duga sebelumnya. Sebab Mahesa Jenar pun pernah memberikan beberapa petunjuk bagaimana seharusnya melawan gelar itu. Beberapa barisan laskar terdepan dari Gedangan, sengaja membiarkan beberapa laskar lawan mereka menyusup masuk. Namun demikian mereka terbenam di dalam laskar Gedangan, demikian mereka dibinasakan. Meskipun demikian, karena secara perseorangan laskar Gunung Tidar memiliki ketangguhan yang lebih besar, maka untuk sementara medan itu menjadi terpengaruh pula.

Tetapi yang sangat tidak diduga-duga oleh laskar Gedangan yang sudah mulai mendesak lawannya kembali, adalah kedatangan rombongan baru dari utara. Meskipun rombongan itu tidak besar, namun agaknya memiliki kekuatan yang cukup pula. Oleh kedatangan itulah kemudian terdengar suatu teriakan nyaring dari salah seorang pengawas di ekor barisan Gedangan yang mengabarkan bahwa pasukan Uling telah datang. Mendengar teriakan di ekor barisannya, dada Mahesa Jenar berdesir. Yang dicemaskan selama ini ternyata benar-benar terjadi. Mau tidak mau rombongan yang masih segar yang baru datang itu akan banyak sekali berpengaruh pada pertempuran itu. Meskipun demikian, hal yang serupa itu memang sudah disiapkan oleh Mahesa Jenar. Karena itulah ia mempergunakan gelar Supit Urang. Sehingga beberapa bagian, yang merupakan ekor dan kaki belakang gelarnya dapat dipergunakan untuk melawan pasukan yang datang dari samping, maupun dari belakang. Kebo Kanigara pun melihat kesulitan yang bakal datang. Maka baginya tidak ada jalan lain daripada menyelesaikan pertempuran itu secepatnya. Namun bagaimanapun juga, karena ia terikat pula pada anaknya, sehingga geraknya tidak penuh leluasa. Rombongan Uling dari Rawa Pening itu langsung dibawa oleh para pemimpinnya mendekati medan. Untuk beberapa saat Sepasang Uling itu berdiri mengawasi pertempuran yang masih menyala-nyala dengan hebatnya. Uling Putih dan Uling Kuning itupun adalah orang-orang yang telah lama berada dalam dunia yang penuh dengan pertumpahan darah. Sehingga dengan demikian wawasannya mengenai pertempuran itupun mengandung beberapa ketepatan hitungan.

Ia memang melihat bahwa laskar Gedangan pada saat itu dapat mendesak lawannya. Tetapi kemenangan itu adalah kemenangan yang tipis dan sangat perlahan-lahan. Dengan demikian maka sepasang Uling itu tidak mau membiarkan keadaan yang demikian itu berlangsung lebih lama lagi. Karena itulah maka mereka memutuskan untuk segera menerjunkan laskarnya ke dalam arena, sebelum laskar dari Pamingit dan Gunung Tidar menjadi semakin tipis. Kedua bersaudara Uling yang ganas itu membagi laskarnya menjadi dua bagian, yang masing-masing dipimpin sendiri oleh dua bersaudara. Seorang membawa pasukannya ke kanan dan seorang lagi ke kiri, untuk seterusnya menyerang pasukan Gedangan dari belakang. Dada Mahesa Jenar menjadi bertambah berdebar-debar melihat cara laskar Uling itu menyerang. Karena itu segera ia pun memberikan beberapa aba-aba untuk pasukannya, supaya dapat setidak-tidaknya membendung arus yang melanda dari belakang itu. Sedang Mahesa Jenar sendiri segera mengerahkan segala kekuatannya untuk dapat mengalahkan lawannya. Ketika Mahesa Jenar dan Sima Rodra telah bertempur semakin dahsyat, mereka masing-masing telah dapat mengukur bahwa kali ini tenaga mereka berimbang sehingga untuk seterusnya mereka harus mempergunakan kelincahan dan kecakapan mereka membawa diri masing-masing untuk memenangkan pertempuran itu.
Di bagian lain, di bagian belakang gelar Supit Urang itu, telah terjadi pertempuran yang dahsyat pula. Sepasang Uling itu ternyata tidak menemukan lawan yang seimbang. Sehingga dengan demikian ia seolah-olah dapat leluasa berbuat sekehendak mereka sendiri. Namun demikian beberapa orang Gedangan yang gagah berani telah berusaha untuk mencegah sekuat-sekuatnya. Mereka bertempur bersama-sama menghadapi kekuatan Uling yang seakan-akan melampaui batas kekuatan manusia biasa. Meskipun demikian terasalah bahwa kekuatan laskar Gedangan sekarang benar-benar berada di bawah kekuatan lawannya.


<<< Bagian 044                                                                                              Bagian 046 >>>

No comments:

Post a Comment