SEGENAP tokoh-tokoh hitam yang menyaksikan pertempuran itu menjadi cemas dan kebingungan. Berkali-kali mereka menggosok-gosok mata mereka, sebab di dalam keremangan cahaya bulan yang tidak seterang siang hari, mereka telah menyaksikan suatu pertempuran yang tak dapat diikuti oleh pikiran-pikiran mereka. Pasingsingan dan Sima Rodra adalah dua tokoh yang berada dalam tingkatan guru Mahesa Jenar, bahkan mungkin berada di atas guru-guru orang-orang lain kawan-kawan Mahesa Jenar. Tetapi ternyata untuk melawan mereka berlima, kedua orang sakti itu telah terpaksa mempergunakan senjata-senjata mereka yang hampir sama sekali tak pernah mereka perlihatkan. Apalagi di dalam lingkaran pertempuran itu, mereka melihat bayangan Mahesa Jenar berubah, seakan-akan lebih dari satu Mahesa Jenar yang berdiri di sana sambil bergerak menyambar-nyambar tak terikuti oleh pandangan mereka. Sementara itu pisau belati panjang Pasingsingan telah mulai bergerak menyambar-nyambar, sedang jari-jari Sima Rodra yang berkuku panjang-panjang mengembang mengerikan. Namun Mahesa Jenar dapat dengan tangkasnya melawan setiap serangan kedua tokoh itu. Malahan sekali-sekali potongan dahan kayu di tangannya berhasil mengenai tubuh Pasingsingan dan Sima Rodra. Dengan demikian sekarang bergantilah bahwa Pasingsingan dan Sima Rodra yang menjadi kebingungan dan bertempur dengan gelisah.
Barulah
teka-teki itu terpecahkan ketika Pasingsingan dan Sima Rodra yang sudah
kebingungan meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak dengan kelima
lawannya yang aneh itu. Karena Pasingsingan dan Sima Rodra adalah dua orang
yang sudah kenyang makan asin pahit kehidupan, maka mereka segera menaruh
curiga bahwa pasti ada sesuatu yang tidak wajar. Ketika mereka telah berdiri
dengan jarak dua tiga langkah, tahulah mereka bahwa mata mereka telah
terkelabui. Karena itu segera Pasingsingan berteriak nyaring dibarengi oleh
suara auman dahsyat dari Sima Rodra untuk menyatakan kemarahan hati mereka.
Ternyata yang berdiri di hadapan mereka itu, yang semula adalah lima orang,
tiba-tiba tanpa setahu orang setingkat Pasingsingan dan Sima Rodra telah
berubah menjadi tujuh orang. Sedang kedua orang yang melibatkan diri ke dalam
pertempuran itu berpakaian kumal dan berwarna gelap mirip sekali dengan pakaian
Mahesa Jenar. Apalagi gerak mereka pun sedemikian dekat dengan gerak anak
perguruan Pengging itu. Mereka berdualah yang memegang tongkat potongan dahan
kayu. Sedang Mahesa Jenar yang sebenarnya tanpa diketahuinya sendiri telah
memegang sepotong dahan kayu yang mirip dengan kedua dahan yang lain. Itulah
sebabnya bahwa dalam keributan pertempuran itu Mahesa Jenar seolah-olah berubah
menjadi beribu-ribu Mahesa Jenar yang berada di segala tempat.
Mengalami
peristiwa itu Pasingsingan dan Sima Rodra untuk sejenak tertegun heran. Ini
adalah suatu kejadian yang luar biasa. Meskipun Pasingsingan dan Sima Rodra
sadar bahwa mereka adalah manusia-manusia biasa, namun peristiwa itu adalah
peristiwa yang hampir tak mungkin dapat dimengerti. Hal ini adalah suatu
pertanda bahwa kedua orang yang memasuki arena itu adalah orang yang mumpuni.
Apalagi Mahesa Jenar sendiri beserta keempat kawannya. Mereka jadi ragu-ragu sendiri
apakah otak mereka telah benar-benar tidak bekerja dengan baik. Baru kemudian
sadarlah mereka bahwa ada orang lain yang sengaja akan menolong jiwa mereka.
Karena ternyata ketika mereka sempat memperhatikan setiap wajah diantara
mereka, dapatlah mereka ketahui bahwa kedua orang yang berpakaian mirip dengan
Mahesa Jenar, kumal dan gelap itu, sama sekali bukan Mahesa Jenar. Wajah-wajah
mereka tampak merah kehitam-hitaman. Di bawah cahaya bulan yang remang-remang,
memang sangat sulit untuk mengenali siapakah mereka itu. Apalagi agaknya kedua
orang itu dengan sengaja telah mewarnai wajah-wajah mereka dengan warna-warna
hitam dan merah. Sedemikian hebatnya peristiwa itu mempengaruhi perasaan mereka
sehingga kelima orang itu tubuhnya menjadi gemetar.
Sementara itu
darah Pasingsingan dan Sima Rodra serasa mendidih, membakar rongga dada mereka.
Mereka merasa bahwa perbuatan kedua orang itu telah dilakukan dengan sengaja
untuk menghinanya. Karena itu mereka menjadi marah sekali. Maka terdengarlah
suara Pasingsingan yang seolah-olah melingkar-lingkar di dalam perut.
“Hai
orang-orang yang telah berbuat seolah-olah jantan tanpa tandingan, kalian telah
menghinakan kami. Apakah kalian tidak sadar bahwa perbuatan kalian itu dapat
mengancam keselamatan jiwa kalian?”
Maka
terdengarlah salah seorang menjawab dengan nada yang tajam tinggi dibuat-buat,
sehingga semua orang yang mendengarnya mengetahui bahwa suara itu bukanlah
suara aslinya untuk menyembunyikan diri,
“Aku hanya
ingin bermain-main saja Pasingsingan, seperti kau ingin bermain-main dengan
kelima kelinci-kelinci ini. Bukankah permainanku tidak kalah baiknya dengan
permainanmu?”
Mendengar
jawaban itu Sima Rodra menyahut dengan suaranya yang menggeletar,
“Apa hubungan
kalian dengan orang-orang yang akan aku binasakan itu?”
Kembali
terdengar jawaban,
“Hubungannya
adalah, aku tidak senang melihat kau membinasakan orang-orang yang tak
bersalah”.
Oleh jawaban
itu, darah Sima Rodra dan Pasingsingan semakin menggelegak.
“Aku beri
kesempatan kau minta ampun kepadaku,” kata Sima Rodra.
“Atau, aku
akan membinasakan kalian juga?”
Terdengarlah
suara tertawa tinggi nyaring. Kemudian orang itu menjawab pula,
“Aku tidak
senang melihat kau membinasakan kelima orang yang tak bersalah itu, apalagi kau
akan membinasakan kami berdua. Pastilah, bahwa kami menjadi semakin tidak
senang lagi”.
“Janganlah
kalian berbicara seenaknya,” bentak Pasingsingan.
“Kau anggap
bahwa orang-orang itu tak bersalah? Aku mempunyai sebuah ceritera yang tak akan
habis aku ceriterakan semalam suntuk untuk membuktikan kesalahan mereka”.
“Aku sudah
tahu apa yang akan kau ceriterakan”. Terdengar kembali sebuah jawaban,
“Dan aku
mengerti pula apa yang kau anggap kesalahan orang-orang itu, bahwa mereka telah
berusaha mencegah kejahatan-kejahatan yang kalian atau murid-murid kalian
lakukan”.
Karena jawaban
itu Pasingsingan hampir tak dapat menguasai dirinya, namun ia masih bertanya
pula,
“Siapakah
sebenarnya kalian?”
“Orang yang
selalu menyembunyikan wajahnya di belakang topeng yang jelek itu, tak perlu
berusaha mengetahui siapakah orang-orang yang berdiri di hadapannya,” jawab
orang itu.
Sekarang
Pasingsingan benar-benar tak dapat menguasai dirinya. Dengan satu gerakan yang
hampir tak dapat ditangkap oleh kecepatan pandangan mata, Pasingsingan meloncat
maju. Belati panjangnya berkilau gemerlapan oleh sinar bulan yang
remang-remang. Sedang Sima Rodra yang melihat kawannya mulai bertindak, segera
pula mengaum menggetarkan sambil menerkam, tak ubahnya seekor harimau lapar.
Yang
menyaksikan kedua serangan tokoh-tokoh hitam dari angkatan tua itu, dadanya
berdesir. Seakan-akan tak ada seorang pun yang dapat menghindarkan diri dari
serangan yang demikian dahsyatnya. Tetapi ternyata dugaan mereka meleset. Dua
orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu, yang masing-masing
menerima serangan dari Pasingsingan dan Sima Rodra, masih sempat berteriak
nyaring,
“Mahesa Jenar,
undurlah beserta kawan-kawanmu. Biarlah mereka selesaikan urusan ini dengan
orang-orang yang sebaya”.
Setelah itu
mereka segera berloncatan menghindari serangan-serangan lawannya yang hampir
saja telah mengenainya. Mahesa Jenar dengan keempat kawannya, setelah mendengar
kata-kata orang yang tak dikenalnya itu, segera berlari menjauhi sampai lebih
dari 10 langkah. Setelah itu maka terjadi suatu pertarungan yang maha dahsyat.
Pertarungan yang jarang terjadi. Pasingsingan yang telah terkenal sebagai
seorang yang paling ditakuti itu bertempur mati-matian dengan seorang yang tak
dikenal, yang memiliki ilmu sempurna. Demikian pula Sima Rodra. Ternyata
lawannya memiliki ilmu yang tinggi pula sehingga pertempuran diantara mereka
tidak kalah hebatnya. Sejenak kemudian pertempuran itu sudah tidak dapat
disaksikan dengan jelas. Yang tampak hanyalah asap yang bergulung-gulung libat
melibat, serta kilatan cahaya yang menyambar-nyambar, disertai dengan angin
yang melingkar-lingkar diantara mereka yang sedang bertempur itu. Selain suara
derap mereka yang sedang berjuang itu tak ada lagi yang bergerak, bahkan tak
seorangpun yang sempat mengedipkan mata.
Suasana di
lapangan kecil di tepi hutan itu benar-benar dicekam oleh suasana tegang yang
mengerikan. Angin yang bertiup semilir seakan-akan menyebarkan udara maut ke
segenap penjuru, sedang bunga-bunga liar menaburkan bebauan yang menjadikan
udara bersuasana mati namun harum. Pertempuran itu menjadi semakin lama semakin
dahsyat. Orang-orang yang tak dikenal itu ternyata benar-benar dapat menandingi
Pasingsingan dan Sima Rodra. Bahkan semakin lama semakin nampak bahwa
Pasingsingan dan Sima Rodra menjadi agak terdesak. Hal ini adalah suatu
kejadian yang sangat menggoncangkan dada mereka yang menyaksikan. Mereka jadi
sibuk menduga-duga siapakah kedua orang itu. Wajahnya yang sengaja disaput
dengan warna-warna hitam dan merah itu menjadi sangat susah untuk dikenali di
dalam keremangan cahaya bulan.
KETIKA
Pasingsingan dan Sima Rodra seamkin terdesak, maka tak ada pilihan lain dari
mereka kecuali mempergunakan ilmu-ilmu terakhir yang menjadi andalan mereka.
Segera Sima Rodra meloncat beberapa langkah mundur. Dengan sebuah auman yang
hebat ia menggetarkan tubuhnya. Itulah suatu pertanda bahwa Harimau Liar dari
Rojaya itu telah mempergunakan ajinya yang dahsyat, Macan Liwung. Sedang di
lain pihak, Pasingsingan segera mengenakan cincinnya yang bermata merah
menyala, Kelabang Sayuta, dibarengi dengan ilmunya Alas Kobar. Akik Klabang
Sayuta adalah semacam batu akik beracun yang sangat tajam dan pernah
dipergunakan oleh Lawa Ijo untuk menghantam Mahesa Jenar. Untunglah Mahesa
Jenar memiliki daya penawarnya. Sedang aji Alas Kobar sebenarnya adalah suatu
ilmu yang maha dahsyat, yang apabila dipergunakan untuk menyerang lawan,
akibatnya seperti api yang maha besar, yang seolah-olah sanggup memusnakan
hutan yang lebat. Melihat kedua lawannya telah mempergunakan ilmu-ilmu yang
paling akhir dimiliki, serta mempunyai daya hancur yang luar biasa, maka kedua
orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu segera berloncatan mundur.
Tampaklah mereka mengerutkan kening dan menarik nafas panjang. Tetapi mereka
sudah tidak memiliki waktu banyak untuk berfikir, sebab sesaat kemudian
Pasingsingan dan Sima Rodra telah siap untuk menghancurlumatkan lawan-lawan
mereka.
Mahesa Jenar
beserta keempat kawannya yang menyaksikan gerak Pasingsingan dan Sima Rodra
yang berubah menjadi buas dan mengerikan itu, menahan nafas. Dada mereka
berdegupan. Apakah kira-kira yang akan terjadi apabila kedua orang yang
berpakaian mirip Mahesa Jenar itu sampai terjamah oleh tangan-tangan yang siap
menyebar maut itu? Sebaliknya adalah Lawa Ijo, Sima Rodra beserta
kawan-kawannya. Seolah-olah mereka sudah melihat bahwa perkelahian itu sudah
sampai pada akhir. Kedua orang itu pasti segera akan lebur menjadi tepung, dan
sesudah itu mereka akan menyaksikan lawan-lawannya yang paling dibencinya,
yaitu Mahesa Jenar akan lumat pula beserta keempat kawan-kawannya. Tetapi apa
yang mereka saksikan adalah sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan.
Kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar itu kemudian tampak berdiri
tegak di atas kedua kaki yang renggang, sedang kedua tangan mereka bersilang
dengan telapak tangan masing-masing di atas pundak seperti orang yang sedang
bersemedi. Tetapi apa yang mereka lakukan itu hanya sesaat, tidak lebih dari
sekeredipan mata. Setelah itu, segera mereka berloncatan dan bergerak, mirip
dua ekor rajawali yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tetapi tak seorang
pun yang mengetahuinya, bahwa kedua orang itu telah mempergunakan ilmu yang
mereka namakan Naga Angkasa. Ilmu yang telah mereka ciptakan bersama setelah
mereka bertahun-tahun menekuni dan mempelajari gerak dari binatang-binatang di
udara. Sehingga akhirnya mereka menemukan suatu kedahsyatan dari gerak burung
rajawali yang mereka gabungkan dengan kelembutan gerak seekor ular yang sanggup
membelit, melingkar dengan lemasnya. Dilambari dengan kekuatan batin yang
sempurna dari kedua orang yang tak dikenal itu, maka Naga Angkasa merupakan
suatu ilmu yang sukar untuk diperbandingkan.
Karena itu,
beradunya ilmu-ilmu yang dahsyat itu kemudian menimbulkan suasana yang hampir
tak dapat digambarkan. Macan Liwung, Alas Kobar dan Naga Angkasa. Di dalam
lingkaran pertempuran itu terjadilah benturan-benturan yang mengerikan.
Meskipun mereka tidak bersenjata, sentuhan tubuh-tubuh mereka dengan ilmu
mereka masing-masing telah melebihi berdentangnya senjata. Ketika pertempuran
itu kemudian bergeser semakin mendekati hutan, maka tampaklah pepohonan menjadi
bergoyang-goyang oleh angin yang timbul karena gerakan-gerakan mereka yang
sedang bertempur. Daun-daun kering berterbangan melebihi tiupan angin kemarau.
Kemudian disusul dengan kengerian yang memuncak. Tangan-tangan mereka yang tak
dapat menyentuh lawan-lawan mereka, yang dengan gerak yang tak dapat dicapai
oleh mata biasa berhasil menghindar, dan kemudian mengenai pepohonan, menjadi
roboh berantakan. Suaranya berderak-derak menggetarkan seluruh hutan di tepi
Rawa Pening itu, disela oleh teriakan nyaring dan auman dahsyat Sima Rodra tua.
Baik Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, maupun Lawa Idjo beserta seluruh golongan
hitam, ketika menyaksikan kedahsyatan pertempuran itu, kemudian seperti
orang-orang yang melihat pertunjukan yang menakutkan. Pertempuran itu sendiri
semakin lama menjadi semakin dahsyat. Sementara itu bulan yang berjalan
menyusur garis edarnya, semakin lama menjadi semakin tinggi tergantung di
langit yang bersih. Hanya sekali-kali mega putih seperti kapas berterbangan di
muka wajahnya yang kuning pucat, seperti wajah gadis yang ketakutan melihat
pahlawannya sedang berjuang diantara hidup dan mati.
KETIKA bulan
itu sudah melampaui titik puncak langit, terjadilah perubahan dalam
keseimbangan pertempuran di hutan Rawa Pening. Kedua orang yang berpakaian
mirip Mahesa Jenar serta wajahnya disaput dengan warna merah dan hitam itu
kemudian berpendapat bahwa apabila keringatnya semakin banyak mengalir, akan hanyutlah
warna-warna hitam dan merah di wajahnya. Maka dengan demikian pasti mereka akan
dikenal oleh lawan-lawannya. Apalagi kalau pertempuran itu sampai menjelang
fajar. Karena itu, segera mereka mengeluarkan segenap ilmunya, kekuatan lahir
dan batinnya. Naga Angkasa itu semakin lama menjadi semakin garang setelah
mendapatkan saluran yang lapang. Pasingsingan yang percaya kepada ilmunya Alas
Kobar menjadi keheran-heranan dan gelisah. Ilmu yang dapat menghindarkan diri
dari panasnya ilmu Alas Kobar yang melebihi bara api. Bahkan kadang-kadang ia
terlibat dalam satu keadaan yang sangat berbahaya. Udara yang dingin
seolah-olah meniup-niup dari segala arah dan melilit-lilit tubuhnya seperti
ular. Sementara ia sedang berusaha menguraikan lilitan hawa dingin itu, tiba-tiba
melayanglah lawannya dari udara dengan tangan yang mengembang siap menerkam
lehernya. Untuk melawan serangan yang demikian, terpaksa ia mempergunakan
pisaunya di tangan kiri dan akik Klabang Sejuta di tangan kanan dilambari
dengan ilmunya Alas Kobar. Beruntunglah Pasingsingan bahwa agaknya lawannya
mengenal betapa saktinya kedua senjatanya itu sehingga beberapa kali ia
berhasil membebaskan diri dari serangan-serangan maut yang mengerikan itu. Sima
Rodrapun diam-diam mengumpat dalam hati. Lawannya benar-benar seperti hantu
yang menakutkan. Gerakan-gerakannya cepat tak terduga, sedang aji Macan Liwung
ternyata sampai sekian lama tak dapat menjatuhkannya. Karena itu ia menjadi
semakin ganas dan beberapa kali mengaum keras.
Namun
bagaimanapun juga lawannya benar-benar seorang yang luar biasa, yang
menyerangnya seolah terbang di udara, tetapi sekali-kali berguling dan
tangannya mematuk seperti kepala ular mengarah ke bagian-bagian tubuhnya yang
lemah. Benturan-benturan yang terjadi di dalam pertempuran itu, meyakinkan Sima
Rodra bahwa lawannyapun memiliki kekuatan yang dapat menandingi kekuatan Macan
Liwung. Karena itu ia menjadi gelisah sebab sesudah Macan Liwung tidak ada lagi
yang dapat dibanggakan. Sesaat lagi semakin jelaslah bahwa kedua orang yang berpakaian
mirip dengan Mahesa Jenar itu mempunyai beberapa kelebihan dari lawannya. Lawan
Pasingsingan hampir dalam setiap geraknya dapat memotong gerakan-gerakan
Pasingsingan, bahkan mendahuluinya. Karena itu Pasingsingan menjadi semakin
heran dan kebingungan. Tetapi sama sekali ia tak dapat meraba-raba, dari
perguruan manakah ilmu yang diwarisi oleh lawan-lawannya yang aneh itu. Sebab
menilik beberapa geraknya, ia mengenal sumber-sumber yang bermacam-macam.
Bahkan ada beberapa kemiripan dengan gerakan-gerakan dari perguruannya sendiri,
tetapi ia juga melihat beberapa gerakan yang sesuai dengan dasar-dasar gerak
peninggalan dari almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh yang bersumber dari
Ranggalawe yang dahsyat itu. Malahan ia melihat juga gerakan-gerakan hebat yang
berasal dari almarhum Raden Gadjah yang pernah dengan susah payah dipelajarinya
namun sama sekali belum sempurna.
Karena
kegelisahan serta kebingungan itulah maka Pasingsingan bertempur semakin lama
semakin kehilangan keseimbangan. Meskipun kemarahannya menggelegak sampai
kepala, namun tenaganya tidak dapat mengimbangi perasaannya. Sehingga semakin
bernafsu ia mengalahkan lawannya semakin hilanglah keseimbangan gerakannya.
Agaknya sedemikian pula dengan Sima Rodra. Bagaimanapun ia berusaha dengan
sekuat tenaganya yang diandalkan itu, namun ilmunya Macan Liwung memang berada
di bawah kedahsyatan Naga Angkasa. Karena itu semakin lama Sima Rodra tua itu
menjadi semakin terdesak mundur. Beberapa kali ia mencoba untuk mengadakan
serangan-serangan yang membahayakan, tetapi usahanya selalu tidak berhasil. Ia
menganggap bahwa selama ini tak seorang pun yang mampu mengatasi ilmunya yang
mengerikan itu. Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Anganten yang mewarisi
sebagian ilmunya Menak Jingga dari Blambangan dan sahabatnya sendiri Bugel
Kaliki yang terkenal itupun setinggi-tingginya baru dapat menyamainya. Namun
tiba-tiba sekarang ia berhadapan dengan seorang yang tak dikenal yang dapat
melebihi ketinggian ilmunya. Meskipun wajah orang-orang itu tak jelas baginya
namun pasti bahwa mereka bukan orang dari Pandan Alas beserta
sahabat-sahabatnya.
Karena itu
hatinya lambat laun menjadi kecil pula. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan
yang harus diselesaikan. Apabila ia sampai dilibat oleh lawannya sehingga ia
benar-benar dibinasakan maka segala rencananya akan pudar. Bagaimanapun,
seperti juga Pasingsingan, ia berkeinginan melihat muridnya, bahkan anaknya
sendiri menjadi orang yang berkekuasaan besar. Itulah sebabnya ia bekerja
mati-matian untuk mendapatkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dengan
sekutunya Pasingsingan, meskipun ia sadar bahwa kemudian Pasingsingan pasti
akan mengusahakan agar keris itu dapat dimiliki oleh murid kesayangannya, Lawa
Ijo. Karena itu, baik Sima Rodra maupun Pasingsingan merasa bahwa bagaimanapun
mereka tak akan mampu untuk mengalahkan lawannya. Ia tidak berani memerintahkan
kepada Lawa Ijo dan kawan-kawannya untuk ikut serta dalam pertempuran itu,
sebab bahayanya akan besar sekali apabila mereka sampai tersentuh kesaktian
ilmu lawannya. Apalagi dengan demikian Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pasti
tidak akan tinggal diam. Karena itu jalan yang sebaik-baiknya selagi masih
berkesempatan adalah menarik diri. Mendapat keputusan itu, maka segera
terdengarlah suara tertawa Pasingsingan yang mengerikan. Suara itu bergetar di
antara gerak-geraknya yang semakin terdesak itu.
MAHESA Jenar
dan kawan-kawannya terkejut mendengar suara Pasingsingan, yang seolah-olah
mendapat suatu kemenangan yang gemilang. Tetapi sebenarnya suara itu adalah
suatu pertanda kepada Lawa Ijo dan anak buahnya untuk segera menghindarkan
diri. Karena itu, betapa kecut hati Lawa Ijo beserta anak buahnya melihat suatu
kenyataan bahwa Pasingsingan yang diagung-agungkan itu tidak dapat mengatasi
lawan-lawannya. Maka, tidak perlu diulangi lagi, Lawa Ijo segera meloncat dan
berlari sekencang-kencangnya menjauhi lawan-lawan Pasingsingan, disusul oleh
Wadas Gunung, Carang Lampit, Cemara Aking dan kawan-kawannya. Melihat Lawa Ijo
dan para pengiringnya melarikan diri, tokoh-tokoh golongan hitam itu terkejut.
Segera mereka sadar bahwa keadaan menjadi sangat genting. Apalagi ketika
kemudian terdengar geram Sima Rodra seperti merintih-rintih, dan kemudian
disusul dengan lenyapnya Suami Isteri Sima Rodra muda menyusup kedalam hutan,
maka pemimpin-pemimpin gerombolan hitam itu tidak menunggu lebih lama lagi,
segera mereka dengan pengiring-pengiring mereka berlari-lari menyelamatkan diri
mereka masing-masing. Melihat peristiwa itu Mahesa Jenar dan kawan-kawannya
menjadi keheran-heranan. Mereka sama sekali tidak dapat mengetahui apakah yang
terjadi. Sesaat kemudian terdengarlah orang-orang yang berpakaian seperti
Mahesa Jenar itu tertawa nyaring. Sedang solah mereka menjadi semakin lincah
dan berbahaya.
Akhirnya Sima
Rodra merasa bahwa tidak ada gunanya ia bertahan lebih lama lagi. Mungkin ia
masih dapat bertempur sampai sehari, namun kesudahannya akan sudah pasti, yaitu
lawannya akan dapat membinasakannya. Karena itu, dengan mengaum hebat, ia
meloncat undur dan setelah itu dengan kecepatan yang mungkin dicapainya, ia
berusaha untuk menyelamatkan diri. Melihat Sima Rodra Rodra itu berlari seperti
terbang meninggalkannya, lawan Sima Rodra itu tertawa kembali. Tetapi sama
sekali ia tidak berusaha untuk mengejarnya. Berbeda dengan lawan Pasingsingan.
Ketika Pasingsingan tinggal seorang diri, iapun segera berusaha untuk
melepaskan diri dari pertempuran itu, namun lawannya sama sekali tidak memberi
kesempatan. Bahkan akhirnya dengan mengerahkan segenap tenaganya lahir dan
batin, dilambari dengan ilmu Naga Angkasa, lawan Pasingsingan itu berhasil
melibat tubuh Pasingsingan dengan gerak-geraknya yang mirip dengan gerak Ular,
tetapi yang kadang-kadang seperti seekor burung Rajawali yang meniup
menyambar-nyambar. Mengalami peristiwa itu Pasingsingan menjadi bingung.
Keringat dinginnya mengalir membasahi jubah abu-abunya.
Dengan segenap
kekuatannya ia mencoba bertahan, dan melindungi dirinya dengan Belati
Panjangnya yang bernama Kiai Suluh, serta akik Kelabang Sayuta dibarengi dengan
ilmunya Alas Kobar dan Gelap Ngampar. Namun Naga Angkasa itu seperti hantu saja
yang berada disegala tempat dan menyerang dari segala penjuru. Pasingsingan
mengeluh didalam hati. Karena itulah maka pemusatan pikirannya sedikit demi
sedikit menjadi terurai, sehingga dengan demikian daya kekuatan Alas Kobar
serta Gelap Ngampar pun menjadi berkurang. Dalam keadaan yang demikian,
tiba-tiba terasalah udara dingin sedingin air embun, membelit diseluruh bagian
tubuhnya, dibarengi dengan suatu teriakan dahsyat seperti teriakan burung
rajawali yang sedang marah, terasalah pundaknya dicengkam oleh tangan yang kuat
seperti baja. Dengan cepat ia menggerakkan pisau panjangnya, tetapi sama sekali
tak mengenai sesuatu. Cepat ia mengulangi berkali-kali, tetapi yang ada
dihadapannya bagaikan hantu yang dapat berkisar-kisar dengan cepatnya tanpa
mengadakan gerakan sesuatu. Bahkan akhirnya tangan yang sekuat baja itu berhasil
menangkap tangannya dan dipilinnya ke belakang. Pasingsingan merasakan suatu
keanehan membersit di dalam dadanya. Bahwa didunia ini ada kekuatan seperti
itu, yang sama sekali tak diduganya semula. Sebenarnya ia sendiri merasakan
bahwa ilmunya tidak usah terlalu jauh kalah dari ilmu lawannya. Hanya kekuatan
orang itu agaknya yang luar biasa.
Dengan
mengerahkan segenap kekuatannya yang terakhir Pasingsingan mencoba untuk
melepaskan diri, namun orang itu agaknya mengerahkan segenap kesaktiannya pula untuk
dapat tetap menguasai Pasingsingan. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya melihat
kejadian itu dengan jantung yang berdegupan hebat. Meskipun mereka agak
terguncang perasaan, namun timbul pula kebanggaan serta ketenteraman diri.
Mereka menyaksikan bahwa akhirnya Pasingsingan dapat dikalahkan. Tiba-tiba
dalam keremangan cahaya bulan mereka melihat tangan orang yang menangkap
Pasingsingan itu bergerak cepat sekali sehingga dalam sekejap di tangan itu
telah berkilat-kilat cahaya sebuah keris yang agaknya tidak kalah hebatnya dari
pisau belati panjang Pasingsingan. Dengan penuh bernafsu orang yang berpakaian
mirip Mahesa Jenar itu mengayunkan kerisnya untuk menembus dada Pasingsingan.
Tetapi kembali Mahesa Jenar dan kawan-kawannya dikejutkan oleh bayangan yang melontar
ke arah mereka yang sedang bertempur itu. Ia adalah orang yang satu lagi, yang
berpakaian mirip Mahesa Jenar, yang tadi bertempur dengan Sima Rodra. Dengan
cekatan ia menangkap tangan kawannya yang memegang keris yang hampir saja
memusnahkan orang yang memakai kedok jelek berjubah abu-abu dan menamakan diri
Pasingsingan.
Orang itu
agaknya terkejut, sehingga pegangannya mengendor. Kesempatan ini agaknya dapat
dipergunakan Pasingsingan dengan baik. Cepat ia berusaha membebaskan diri, dan
dalam sekejap tampaklah ia seperti terbang berlari menyusup ke dalam hutan.
Jubahnya yang abu-abu melambai-lambai ditiup angin malam, namun hanya sesaat,
karena sesaat kemudian ia telah lenyap ditelan lebatnya hutan. Orang yang
memegang keris, yang hampir saja menyobek dada Pasingsingan itu memandang
kawannya dengan mata yang bertanya-tanya. Rupa-rupanya ia menjadi sangat
kecewa.
Katanya
“Kakang,
kenapa kakang menahan aku pada saat Pasingsingan sudah diambang maut?”
KAWAN orang
itu menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia melangkah menjauh. Matanya yang
sayu dilemparkan ke arah purnama yang dengan tenangnya mengambang di langit
yang bersih. Hanya kadang-kadang saja tampak beterbangan kelelawar-kelelawar
yang sedang mencari mangsa.
“Adi…”
terdengarlah orang itu berkata,
“Entahlah apa
sebabnya, aku tidak dapat membiarkan Pasingsingan itu terbunuh. Mungkin masanya
memang belum sampai”.
“Masihkah
Kakang ingin melihat kejahatan-kejahatan berikutnya yang akan dilakukan oleh
Pasingsingan?” desak yang lain.
“Tentu tidak,
Adi,” jawabnya.
“Tetapi apakah
kata bapa guru nanti atas kematian Pasingsingan. Sebab bagaimanapun juga ia
adalah muridnya pula. Apalagi sebenarnya letak kesalahan yang menyebabkan
segala kejadian ini, adalah aku sendiri. Kalau terjadi kejahatan-kejahatan,
maka sebenarnya semuanya itu bersumber pada diriku. Bersumber pada pemuasan
nafsu yang tiada mengenal batas. Karena itulah maka hukuman yang sepantasnya
adalah dibebankan kepadaku”.
“Kau terlalu
perasa, Kakang. Kalau suatu kota tenggelam dilanda banjir, bukanlah mata air
yang harus memikul beban kesalahannya? Sebab dari mata air itulah sawah-sawah
mendapat air, serta kepentingan-kepentingan lain yang berguna. Meskipun karena
mata air itu dapat timbul banjir. Tetapi perkembangannya telah melampaui
beberapa tingkatan yang tidak ada hubungannya. Air yang mengalir ke lautan
menjadi mendung dan kemudian hujan lebat. Barulah terjadi banjir.
Untuk mencegah
banjir itu haruskah orang-orang menutup segenap mata air? Seperti Kakang merasa
bersalah kalau Pasingsingan berbuat kejahatan-kejahatan?”
Orang yang
lain itu sama sekali tak menjawab. Perlahan-lahan tampak orang itu
mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi pandangannya masih melekat pada bulan di
langit.
“Kakang…”
orang yang satu melanjutkan,
“Aku
persilahkan Kakang melenyapkan perasaan itu. Perasaan yang menyalahkan diri
tanpa batas. Suatu pengakuan yang demikian tidak akan menguntungkan. Bagi
Kakang, bagi orang lain dan bagi bebrayan agung”.
“Sudahlah
Adi,” potong yang lain. Nada suaranya jauh dan dalam.
“Aku tahu akan
perasaanmu. Suatu rasa kesetiaan dan kecintaanmu kepada saudara tua. Namun
barangkali aku masih menunggu sampai guru memberikan ijinnya”.
Mahesa Jenar
mendengarkan percakapan itu dengan saksama. Kecuali dirinya tak seorang pun
yang mengerti siapakah kedua orang itu. Tetapi bagi Mahesa Jenar, percakapan
mereka cukup memberi penjelasan, siapakah mereka berdua. Karena itu segera ia
berlari dan berjongkok di hadapan mereka. Keempat kawan-kawannya, meskipun
tidak dapat mengerti siapakah mereka itu, namun sebagai ucapan terima kasih,
mereka segera menirukan perbuatan Mahesa Jenar.
“Paman…,” kata
Mahesa Jenar,
“Perkenankanlah
aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas pertolongan Paman Paniling dan
Paman Darba”.
Kedua orang
itu, yang memang sebenarnya adalah Paniling dan Darba, menjadi agak terkejut
mendengar nama-nama mereka disebut oleh Mahesa Jenar. Maka terdengarlah Darba
tertawa pendek.
“Dari mana kau
tahu tentang kami? Adakah warna-warna yang tersaput di wajah kami telah
terhapus?”
“Aku telah
mengenal paman berdua, baik suara Paman yang sebenarnya itu, maupun
persoalan-persoalan yang Paman perbincangkan,” jawab Mahesa Jenar.
“Memang otakmu
cemerlang seperti matahari musim kemarau,” sahut Darba sambil tertawa kembali.
“Bukankah
begitu kakang?” sambungnya kepada Paniling.
Paniling
mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku sudah
mengira kalau kau akan berbuat itu. Mengintip musyawarah orang-orang dari
golongan hitam. Sadar atau tidak sadar, kau telah bermain-main api kembali.
Karena itulah kami datang kemari. Beberapa waktu yang lampau aku telah
memperingatkan agar kau berhati-hati menghadapi orang-orang dari golongan hitam
itu. Hampir saja kau binasa pada saat kau dikerubut oleh tokoh-tokoh hitam itu.
Sekarang kau masuk ke dalam bahaya yang lebih besar lagi, dimana hadir Sima
Rodra tua dan Pasingsingan”.
Mahesa Jenar
sama sekali tidak menjawab. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Pamanmu
Paniling terlalu hati-hati, Mahesa Jenar,” sahut Darba.
“Mungkin
karena umurnya yang telah lanjut. Tetapi kira-kira pada saat mudanya
melebihimu”.
“Mungkin,”
potong Paniling sambil tersenyum,
“Memang
anak-anak muda senang menyerempet-menyerempet bahaya”.
“Dan karena
itulah mereka mencapai kemajuan-kemajuan,” sambung Darba,
“Karena dengan
pengalaman-pengalaman mereka, masa depan seakan-akan telah diratakan. Sedang
bagi mereka yang tidak berani menempuh bahaya, tak sesuatu apapun yang akan
bisa dicapainya”.
“Meskipun
demikian…” jawab Paniling,
“Segala
sesuatu wajib diperhitungkan. Kalau kita berani menempuh bahaya, bukan berarti
kita harus bunuh diri. Mahesa Jenar, kami datang kemari karena kami mencemaskan
kau. Tetapi Adi Darba mengusulkan supaya kami membuat permainan ini dengan
berpakaian mirip pakaianmu. Sebab kami tahu bahwa kau tidak pernah berganti
pakaian kecuali kalau pakaianmu satu-satunya itu sedang kau cuci”.
Semua yang
mendengar kata-kata Paniling itu tersenyum. Mahesa Jenar menjadi agak malu.
Memang, ia sama sekali tidak mempunyai pakaian lain selain yang dipakainya.
Kalau pakaian itu dicuci, terpaksa ia menunggu sampai kering.
“Maksudku…”
sahut Darba,
“Salah seorang
diantara kami yang mungkin dapat berbuat sesuatu mewakilimu. Dengan demikian
tak seorang pun berani merendahkan kau lagi. Tetapi ternyata kau datang
berlima, sehingga kami agak menemui kesulitan. Untunglah bahwa kami menemukan
suatu cara untuk bermain-main dengan Pasingsingan. Sayang, Kakang Paniling
menahan kerisku yang sudah melekat di dada Pasingsingan itu”.
KI PANILING
segera memotong,
“Sudahlah Adi
Darba, aku minta maaf kalau aku membuat kau kecewa. Sekarang yang penting
adalah usaha untuk menemukan kembali keris yang hilang itu”.
“Mahesa
Jenar…” sambung Paniling,
“Apakah kau
tidak memperkenalkan sahabat-sahabatmu itu kepadaku?”
Mendengar
pertanyaan Paniling, Mahesa Jenar seakan-akan disadarkan dari kekhilafannya.
Segera ia mulai memperkenalkan satu persatu sahabat-sahabatnya yang telah
bersama-sama melakukan suatu pekerjaan yang berbahaya.
Dan kepada
sahabat-sahabatnya, Mahesa Jenar memperkenalkan Paniling dan Darba sebagai dua
orang petani yang sakti, yang telah menolong jiwanya untuk kedua kalinya. Namun
sama sekali tidak disinggung-singgungnya bahwa Paniling itulah yang dahulu
pernah mengenakan jubah abu-abu dan kedok yang kasar, dan yang menamakan diri
Pasingsingan.
Setelah mereka
saling memperkenalkan diri, maka berkatalah Paniling,
“Mahesa Jenar,
aku kira kerjaku untuk kali ini sudah selesai. Aku dan pamanmu Darba akan
segera kembali. Tetapi pesanku, janganlah terlalu lama anak pungutmu kau
tinggalkan. Sebab bagaimanapun juga, banyaklah bahaya yang mengancam anak itu”.
Kembali Mahesa
Jenar seperti orang yang tersadar dari mimpi. Segera ia ingat kepada Arya, anak
yang sampai sekarang masih menjadi buruan pamannya sendiri. Karena itu
tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenteram. Meskipun Arya kini telah berada di
tempat yang jauh, namun mungkin saja orang-orang Lembu Sora akan sampai ke
sana.
Maka setelah
Paniling dan Darba pergi meninggalkan mereka, segera mereka mengadakan
pembicaraan tentang pekerjaan-pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh mereka masing-masing.
Gajah Alit dan Paningron harus segera kembali ke Demak untuk melaporkan segala
kejadian di tepi Rawa Pening itu. Melaporkan tentang kebenaran laporan mengenai
adanya golongan hitam yang kuat dan berbahaya bagi ketenteraman negara. Dengan
manyaksikan serta mengalami sendiri, Paningron serta Gajah Alit harus percaya,
bahwa orang yang bernama Pasingsingan dan Sima Rodra, tetua dari golongan
hitam, termasuk orang yang tak dapat diabaikan, meskipun jumlah orang-orang
yang demikian itu tidak banyak. Maka segera Paningron dan Gajah Alit mohon
diri. Mahesa Jenar melepaskan mereka berdua dengan pesan agar untuk sementara
dirinya jangan tersinggung-singgung pula dalam laporan mereka, sebab ia masih
belum mempunyai keinginan untuk kembali ke Demak sebelum Nagasasra dan Sabuk
Inten diketemukan. Juga Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan itu untuk
menitipkan bukti-bukti tentang kebenaran alasan-alasan Gajah Sora, bahwa ia
tidak mampu mempertahankan kedua keris itu dari usaha-usaha golongan lain untuk
memilikinya. Bagaimanapun hebatnya Gajah Sora, yang pernah menerima hadiah
pusaka sebuah tombak yang bernama Kyai Bancak, namun menghadapi orang-orang
seperti Pasingsingan dan Sima Rodra, maka Gajah Sora tidak lebih dari seorang
anak-anak yang baru saja dapat berjalan.
Dalam pada itu
Wiraraga pun minta diri untuk kembali ke Wanakerta bersama-sama dengan Ki
Dalang Mantingan. Tetapi sebelum mereka berangkat, Mahesa Jenar minta kepada Ki
Dalang Mantingan untuk membantu mengawasi tanah perdikan Banyubiru. Dalam
kedudukannya sebagai seorang dalang maka ia akan lebih leluasa bergerak di mana
saja. Maka setelah segala pembicaraan selesai, berpisahanlah mereka.
Masing-masing ke arah tujuan masing-masing. Gajah Alit dan Paningron kembali ke
Demak, Wiraraga dan Mantingan ke Wanakerta lewat Banyubiru. Sedangkan Mahesa
Jenar harus segera kembali kepada Arya Salaka yang telah beberapa hari
ditinggalkan seorang diri, dan hanya dititipkan kepada para tetangga yang baik
hati. Mengingat kata-kata Ki Paniling, hati Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi
berdebar-debar. Memang sebenarnyalah pasti Lembu Sora tetap akan berusaha untuk
membunuh Arya. Sebab sepeninggal Gajah Sora, Aryalah yang paling berhak atas
tanah perdikan Banyubiru. Sedang apabila Arya ini dilenyapkan, maka keturunan
Sora Dipayana tidak ada lain tinggal Lembu Sora seorang diri. Dengan demikian
maka Banyubiru dengan sendirinya akan jatuh ke tangan orang itu.
Mengingat hal
itu semuanya, maka segera Mahesa Jenar mempercepat langkahnya untuk dapat
segera sampai ke rumah, dimana Arya ditinggalkan. Di perjalanan pulang itu hati
Mahesa Jenar menjadi tidak tenteram. Ia telah menyatakan kesanggupannya kepada
Gajah Sora untuk memelihara anak itu, serta mendidiknya dan mengajarinya dalam
olah kanuragan sehingga anak itu kelak dapat menjadi orang yang berguna. Ketika
burung-burung menyambut fajar yang segar dalam belaian angin pagi yang bertiup
halus dari pegunungan serta melintasi lembah-lembah, Mahesa Jenar masih tetap
berjalan cepat-cepat. Seakan-akan kesegaran fajar itu tak terasa baginya. Namun
meskipun demikian, sinar matahari pagi yang memancar cerah, dapat menimbulkan
perasaan yang cerah pula. Karena itu Mahesa Jenar mempercepat langkahnya.
Karena perasaannya yang kecemasan, ia sama sekali tak dipengaruhi oleh
kelelahannya. Seharian Mahesa Jenar berjalan terus. Hanya sekali dua ia
berhenti untuk mencari sumber air, apabila terasa lehernya disekat dahaga,
serta kemudian untuk beberapa saat ia menyegarkan tubuhnya dengan duduk-duduk
sejenak. Hanya sejenak, sebab ia tidak dapat membiarkan perasaannya diburu oleh
kegelisahan. Karena itu, dengan tergesa-gesa segera Mahesa Jenar melanjutkan
perjalanannya pula. Demikian pula ketika matahari yang lelah setelah menempuh
peredarannya sehari penuh itu menjelang garis pertemuan langit dan bumi, serta
sebentar lagi seolah-olah tenggelam ditelan garis pemisah itu. Mahesa Jenar
sama sekali tidak peduli.
MESKIPUN
perlahan-lahan, karena gelapnya malam kemudian mentakbiri bumi, Mahesa Jenar
tetap berjalan terus di bawah sinar bulan yang baru saja lewat purnama penuh.
Maka di pertengahan malam, Mahesa Jenar melihat cahaya pelita yang berpancaran
di sebuah dusun yang kecil. Itulah desa dimana Arya ditinggalkannya. Melihat
nyala pelita yang seolah-olah melambai-lambai meneriakkan nama Arya Salaka,
hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Meskipun Salaka itu bukan sanak dan
bukan kadang, namun telah dianggapnya sebagai anak sendiri. Apalagi mengingat
segala pesan-pesan dari Gajah Sora. Maka pertanggungjawaban anak itu seluruhnya
ada padanya. Tetapi semakin dekat Mahesa Jenar dengan desa itu, hatinya menjadi
semakin gelisah. Rasa-rasanya ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Ia
seakan-akan mendapat suatu firasat yang tidak baik. Dengan gelisah dan setengah
berlari Mahesa Jenar memasuki desanya yang kecil, yang biasanya selalu diliputi
oleh suasana tenteram dan damai. Tetapi pada malam itu, tampaklah beberapa
kesibukan yang aneh. Dari jarak yang semakin dekat, Mahesa Jenar melihat
beberapa orang berjalan cepat-cepat dengan membawa obor, dan yang lebih
mengejutkan lagi mereka menuju ke sebuah gubuk kecil di sudut desa itu. Itulah
rumah yang dibangunnya, serta ditinggalinya bersama-sama dengan Arya.
Dengan
berlari-lari kecil Mahesa Jenar melintas pematang untuk segera dapat sampai ke
rumahnya. Demikian ia sampai ke ambang pintu, demikian semua mata memandanginya
dengan keheranan, seolah-olah tidak sewajarnyalah kalau ia datang pada malam
itu. Baru sesaat kemudian seorang diantara mereka dapat menguasai dirinya.
“Anakmas
Mahesa Jenar, marilah…, marilah duduk dahulu,” katanya.
Hati Mahesa
Jenar sama sekali tidak enak mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang mengandung
perasaan yang iba. Apalagi ketika ia memandangi setiap wajah yang berada di
dalam rumah itu. Arya Salaka tidak ada. Sekali lagi ia meneliti setiap orang yang
berada di dalam ruangan gubugnya, namun Arya Salaka tetap tidak tampak.
Tiba-tiba berdesirlah jantung di dalam dadanya. Dan, dengan suara yang bergetar
ia bertanya,
“Di manakah
anakku, Arya Salaka?”
Serentak semua
mata memandang kepadanya dengan pandangan penuh iba. Salah seorang diantaranya,
setelah beberapa lama baru dapat menjawab pertanyaan itu dengan kata yang
terputus-putus.
“Angger,
duduklah dahulu, nanti kami kabarkan di mana anakmu berada”.
Mendengar
jawaban itu, Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah.
“Di manakah
Arya Salaka?” desaknya.
“Angger…”
jawab yang lain,
“Maafkanlah
kami sebelumnya, bahwa kami tidak dapat memenuhi harapan Angger untuk
melindungi anak itu. Baru tadi hal itu terjadi. Ketika beberapa orang
bersenjata datang ke rumah ini menjelang senja. Dengan kekerasan mereka membawa
Arya. Kami telah berusaha menggagalkan maksud mereka. Tetapi kami adalah
petani-petani yang tak berarti seperti kau juga. Karena itu kami sama sekali
tidak berdaya untuk menahannya”.
Tiba-tiba
darah Mahesa Jenar menggelegak hebat. Jantungnya berdentang menggoncangkan
dada. Matanya yang sayu karena kelelahan berubah seperti bara api.
“Duduklah
Ngger,” kata yang lain pula.
“Biarlah kita
bicarakan bagaimana caranya untuk dapat mencari anakmu itu”.
Tetapi Mahesa Jenar
sudah tidak dapat mendengar kata-kata itu. Matanya yang membara itu sesaat
beredar ke wajah-wajah para petani kecil yang baik hati serta ramah tamah.
Hanya sesaat, sebab sekejap kemudian seperti orang kehilangan akal, Mahesa
Jenar meloncat berlari ke luar halaman.
Beberapa orang
kemudian memburunya sambil berteriak-teriak,
“Tunggulah
Angger…, tunggulah….”
Mahesa Jenar
tertegun sejenak. Ia menjadi agak bingung, ke mana arah yang harus dianut kalau
ia mau menyusul Arya. Lalu katanya hampir berteriak, Kemanakah anak itu dibawa?
Beberapa orang
jadi ragu-ragu, namun salah seorang menjawab pula, Mereka pergi ke arah timur
melalui jalan di sebelah desa kami itu.
Mahesa Jenar
tidak menunggu kata-kata itu berakhir. Segera ia meloncat dan berlari
kencang-kencang ke arah yang ditunjukkan oleh tetangga-tetangganya. Lamat-lamat
ia masih mendengar orang-orang itu berteriak,
“Angger,
kembalilah. Mereka adalah orang-orang perkasa dan bersenjata. Kita cari akal
untuk mengambil anak itu, tetapi jangan dengan kekerasan”.
Namun bagi
Mahesa Jenar suara-suara itu tidak lebih dari suara berdesirnya daun-daun
kering yang rontok oleh angin malam yang kencang. Karena itu justru ia
mempercepat larinya seperti orang yang kehilangan akal, semakin lama semakin
cepat.
Sesaat
kemudian Mahesa Jenar sampai ke padang rumput yang luas. Di sana-sini terdapat
padas. Di bawah cahaya bulan yang hampir penuh, Mahesa Jenar dapat memandang ke
arah yang agak jauh. Tetapi matanya yang tajam tak dapat menangkap apapun
kecuali puntuk-puntuk yang seolah-olah gelembung-gelembung yang tumbuh dari
dalam tanah yang sedang mendidih. Ia bertambah cemas.
Bagaimanakah
keadaan Arya Salaka…? Apakah ia dibawa ke padang rumput itu.., atau ke mana…?
DALAM
kebimbangan itu Mahesa Jenar mencoba mengamat-amati tanah-tanah di sekitarnya.
Kalau-kalau ia menemukan sesuatu sebagai petunjuk. Tiba-tiba ia melihat
rumput-rumput liar di padang rumput itu rebah se arah. Tampaknya jelas, bekas
sesuatu yang diseret di atas rumput itu. Hati Mahesa Jenar kemudian
berdebar-debar. Apalagi ketika kemudian ia melihat warna yang kehitam-hitaman
di atas rumput yang mewarnai jari-jarinya pula. Darah. Adakah darah ini darah
Arya Salaka?
Hati Mahesa
Jenar kini benar-benar mendidih. Mahesa Jenar yakin pasti terjadi sesuatu yang
tak menyenangkan atas anak itu. Maka seperti digerakkan oleh tenaga gaib,
Mahesa Jenar berlari lebih cepat lagi, sehingga tampaknya seperti bayangan
malaikat yang melayang-layang di atas padang rumput yang luas. Ia tidak tahu,
sudah berapa lama ia berlari. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar berhenti berlari.
Dilihatnya agak jauh di depannya sebuah bayangan yang bergerak perlahan-lahan.
Apalagi ketika dilihatnya bayangan itu adalah seorang yang sedang mendukung
sesuatu. Cepat Mahesa Jenar menyelinap ke belakang sebuah puntuk, serta dengan
hati-hati ia mendekati bayangan yang berjalan semakin lama semakin cepat.
Ketika jarak
orang itu sudah dekat serta dapat dicapainya dengan jelas oleh matanya yang
tajam, perasaan Mahesa Jenar terlonjak hebat. Yang didukung oleh orang itu tidak
lain adalah Arya Salaka. Karena itu segera darahnya bergelora. Ia sama sekali
belum pernah mengenal orang itu. Maka segera ia mengambil kesimpulan, bahwa
orang itu adalah salah seorang yang melarikan Arya. Perasaan Mahesa Jenar
segera menghubungkan kejadian itu dengan Lembu Sora. Tidak mustahil bahwa
kejadian-kejadian ini adalah atas perintahnya. Melihat hal itu, Mahesa Jenar
tidak dapat mengendalikan diri lagi. Seperti kilat ia meloncat dari tempat
persembunyiannya sambil berteriak,
“Hai orang
yang mengandalkan kejantanan diri…. Letakkan anak itu, dan marilah kita membuat
perhitungan”.
Orang itu
terkejut. Dengan tangkasnya ia memutar tubuhnya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar
sudah siap untuk menyerang, perlahan-lahan anak yang di dalam dukungannya itu
diletakkan. Agaknya ia menjadi curiga pula, karena itu segera orang itu pun
mempersiapkan dirinya.
No comments:
Post a Comment