Bagian 027


SEGENAP tokoh-tokoh hitam yang menyaksikan pertempuran itu menjadi cemas dan kebingungan. Berkali-kali mereka menggosok-gosok mata mereka, sebab di dalam keremangan cahaya bulan yang tidak seterang siang hari, mereka telah menyaksikan suatu pertempuran yang tak dapat diikuti oleh pikiran-pikiran mereka. Pasingsingan dan Sima Rodra adalah dua tokoh yang berada dalam tingkatan guru Mahesa Jenar, bahkan mungkin berada di atas guru-guru orang-orang lain kawan-kawan Mahesa Jenar. Tetapi ternyata untuk melawan mereka berlima, kedua orang sakti itu telah terpaksa mempergunakan senjata-senjata mereka yang hampir sama sekali tak pernah mereka perlihatkan. Apalagi di dalam lingkaran pertempuran itu, mereka melihat bayangan Mahesa Jenar berubah, seakan-akan lebih dari satu Mahesa Jenar yang berdiri di sana sambil bergerak menyambar-nyambar tak terikuti oleh pandangan mereka. Sementara itu pisau belati panjang Pasingsingan telah mulai bergerak menyambar-nyambar, sedang jari-jari Sima Rodra yang berkuku panjang-panjang mengembang mengerikan. Namun Mahesa Jenar dapat dengan tangkasnya melawan setiap serangan kedua tokoh itu. Malahan sekali-sekali potongan dahan kayu di tangannya berhasil mengenai tubuh Pasingsingan dan Sima Rodra. Dengan demikian sekarang bergantilah bahwa Pasingsingan dan Sima Rodra yang menjadi kebingungan dan bertempur dengan gelisah.

Barulah teka-teki itu terpecahkan ketika Pasingsingan dan Sima Rodra yang sudah kebingungan meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak dengan kelima lawannya yang aneh itu. Karena Pasingsingan dan Sima Rodra adalah dua orang yang sudah kenyang makan asin pahit kehidupan, maka mereka segera menaruh curiga bahwa pasti ada sesuatu yang tidak wajar. Ketika mereka telah berdiri dengan jarak dua tiga langkah, tahulah mereka bahwa mata mereka telah terkelabui. Karena itu segera Pasingsingan berteriak nyaring dibarengi oleh suara auman dahsyat dari Sima Rodra untuk menyatakan kemarahan hati mereka. Ternyata yang berdiri di hadapan mereka itu, yang semula adalah lima orang, tiba-tiba tanpa setahu orang setingkat Pasingsingan dan Sima Rodra telah berubah menjadi tujuh orang. Sedang kedua orang yang melibatkan diri ke dalam pertempuran itu berpakaian kumal dan berwarna gelap mirip sekali dengan pakaian Mahesa Jenar. Apalagi gerak mereka pun sedemikian dekat dengan gerak anak perguruan Pengging itu. Mereka berdualah yang memegang tongkat potongan dahan kayu. Sedang Mahesa Jenar yang sebenarnya tanpa diketahuinya sendiri telah memegang sepotong dahan kayu yang mirip dengan kedua dahan yang lain. Itulah sebabnya bahwa dalam keributan pertempuran itu Mahesa Jenar seolah-olah berubah menjadi beribu-ribu Mahesa Jenar yang berada di segala tempat.

Mengalami peristiwa itu Pasingsingan dan Sima Rodra untuk sejenak tertegun heran. Ini adalah suatu kejadian yang luar biasa. Meskipun Pasingsingan dan Sima Rodra sadar bahwa mereka adalah manusia-manusia biasa, namun peristiwa itu adalah peristiwa yang hampir tak mungkin dapat dimengerti. Hal ini adalah suatu pertanda bahwa kedua orang yang memasuki arena itu adalah orang yang mumpuni. Apalagi Mahesa Jenar sendiri beserta keempat kawannya. Mereka jadi ragu-ragu sendiri apakah otak mereka telah benar-benar tidak bekerja dengan baik. Baru kemudian sadarlah mereka bahwa ada orang lain yang sengaja akan menolong jiwa mereka. Karena ternyata ketika mereka sempat memperhatikan setiap wajah diantara mereka, dapatlah mereka ketahui bahwa kedua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar, kumal dan gelap itu, sama sekali bukan Mahesa Jenar. Wajah-wajah mereka tampak merah kehitam-hitaman. Di bawah cahaya bulan yang remang-remang, memang sangat sulit untuk mengenali siapakah mereka itu. Apalagi agaknya kedua orang itu dengan sengaja telah mewarnai wajah-wajah mereka dengan warna-warna hitam dan merah. Sedemikian hebatnya peristiwa itu mempengaruhi perasaan mereka sehingga kelima orang itu tubuhnya menjadi gemetar.
Sementara itu darah Pasingsingan dan Sima Rodra serasa mendidih, membakar rongga dada mereka. Mereka merasa bahwa perbuatan kedua orang itu telah dilakukan dengan sengaja untuk menghinanya. Karena itu mereka menjadi marah sekali. Maka terdengarlah suara Pasingsingan yang seolah-olah melingkar-lingkar di dalam perut.
“Hai orang-orang yang telah berbuat seolah-olah jantan tanpa tandingan, kalian telah menghinakan kami. Apakah kalian tidak sadar bahwa perbuatan kalian itu dapat mengancam keselamatan jiwa kalian?”

Maka terdengarlah salah seorang menjawab dengan nada yang tajam tinggi dibuat-buat, sehingga semua orang yang mendengarnya mengetahui bahwa suara itu bukanlah suara aslinya untuk menyembunyikan diri,
“Aku hanya ingin bermain-main saja Pasingsingan, seperti kau ingin bermain-main dengan kelima kelinci-kelinci ini. Bukankah permainanku tidak kalah baiknya dengan permainanmu?”
Mendengar jawaban itu Sima Rodra menyahut dengan suaranya yang menggeletar,
“Apa hubungan kalian dengan orang-orang yang akan aku binasakan itu?”
Kembali terdengar jawaban,
“Hubungannya adalah, aku tidak senang melihat kau membinasakan orang-orang yang tak bersalah”.
Oleh jawaban itu, darah Sima Rodra dan Pasingsingan semakin menggelegak.
“Aku beri kesempatan kau minta ampun kepadaku,” kata Sima Rodra.
“Atau, aku akan membinasakan kalian juga?”

Terdengarlah suara tertawa tinggi nyaring. Kemudian orang itu menjawab pula,
“Aku tidak senang melihat kau membinasakan kelima orang yang tak bersalah itu, apalagi kau akan membinasakan kami berdua. Pastilah, bahwa kami menjadi semakin tidak senang lagi”.
“Janganlah kalian berbicara seenaknya,” bentak Pasingsingan.
“Kau anggap bahwa orang-orang itu tak bersalah? Aku mempunyai sebuah ceritera yang tak akan habis aku ceriterakan semalam suntuk untuk membuktikan kesalahan mereka”.
“Aku sudah tahu apa yang akan kau ceriterakan”. Terdengar kembali sebuah jawaban,
“Dan aku mengerti pula apa yang kau anggap kesalahan orang-orang itu, bahwa mereka telah berusaha mencegah kejahatan-kejahatan yang kalian atau murid-murid kalian lakukan”.
Karena jawaban itu Pasingsingan hampir tak dapat menguasai dirinya, namun ia masih bertanya pula,
“Siapakah sebenarnya kalian?”
“Orang yang selalu menyembunyikan wajahnya di belakang topeng yang jelek itu, tak perlu berusaha mengetahui siapakah orang-orang yang berdiri di hadapannya,” jawab orang itu.
Sekarang Pasingsingan benar-benar tak dapat menguasai dirinya. Dengan satu gerakan yang hampir tak dapat ditangkap oleh kecepatan pandangan mata, Pasingsingan meloncat maju. Belati panjangnya berkilau gemerlapan oleh sinar bulan yang remang-remang. Sedang Sima Rodra yang melihat kawannya mulai bertindak, segera pula mengaum menggetarkan sambil menerkam, tak ubahnya seekor harimau lapar.

Yang menyaksikan kedua serangan tokoh-tokoh hitam dari angkatan tua itu, dadanya berdesir. Seakan-akan tak ada seorang pun yang dapat menghindarkan diri dari serangan yang demikian dahsyatnya. Tetapi ternyata dugaan mereka meleset. Dua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu, yang masing-masing menerima serangan dari Pasingsingan dan Sima Rodra, masih sempat berteriak nyaring,
“Mahesa Jenar, undurlah beserta kawan-kawanmu. Biarlah mereka selesaikan urusan ini dengan orang-orang yang sebaya”.
Setelah itu mereka segera berloncatan menghindari serangan-serangan lawannya yang hampir saja telah mengenainya. Mahesa Jenar dengan keempat kawannya, setelah mendengar kata-kata orang yang tak dikenalnya itu, segera berlari menjauhi sampai lebih dari 10 langkah. Setelah itu maka terjadi suatu pertarungan yang maha dahsyat. Pertarungan yang jarang terjadi. Pasingsingan yang telah terkenal sebagai seorang yang paling ditakuti itu bertempur mati-matian dengan seorang yang tak dikenal, yang memiliki ilmu sempurna. Demikian pula Sima Rodra. Ternyata lawannya memiliki ilmu yang tinggi pula sehingga pertempuran diantara mereka tidak kalah hebatnya. Sejenak kemudian pertempuran itu sudah tidak dapat disaksikan dengan jelas. Yang tampak hanyalah asap yang bergulung-gulung libat melibat, serta kilatan cahaya yang menyambar-nyambar, disertai dengan angin yang melingkar-lingkar diantara mereka yang sedang bertempur itu. Selain suara derap mereka yang sedang berjuang itu tak ada lagi yang bergerak, bahkan tak seorangpun yang sempat mengedipkan mata.
Suasana di lapangan kecil di tepi hutan itu benar-benar dicekam oleh suasana tegang yang mengerikan. Angin yang bertiup semilir seakan-akan menyebarkan udara maut ke segenap penjuru, sedang bunga-bunga liar menaburkan bebauan yang menjadikan udara bersuasana mati namun harum. Pertempuran itu menjadi semakin lama semakin dahsyat. Orang-orang yang tak dikenal itu ternyata benar-benar dapat menandingi Pasingsingan dan Sima Rodra. Bahkan semakin lama semakin nampak bahwa Pasingsingan dan Sima Rodra menjadi agak terdesak. Hal ini adalah suatu kejadian yang sangat menggoncangkan dada mereka yang menyaksikan. Mereka jadi sibuk menduga-duga siapakah kedua orang itu. Wajahnya yang sengaja disaput dengan warna-warna hitam dan merah itu menjadi sangat susah untuk dikenali di dalam keremangan cahaya bulan.

KETIKA Pasingsingan dan Sima Rodra seamkin terdesak, maka tak ada pilihan lain dari mereka kecuali mempergunakan ilmu-ilmu terakhir yang menjadi andalan mereka. Segera Sima Rodra meloncat beberapa langkah mundur. Dengan sebuah auman yang hebat ia menggetarkan tubuhnya. Itulah suatu pertanda bahwa Harimau Liar dari Rojaya itu telah mempergunakan ajinya yang dahsyat, Macan Liwung. Sedang di lain pihak, Pasingsingan segera mengenakan cincinnya yang bermata merah menyala, Kelabang Sayuta, dibarengi dengan ilmunya Alas Kobar. Akik Klabang Sayuta adalah semacam batu akik beracun yang sangat tajam dan pernah dipergunakan oleh Lawa Ijo untuk menghantam Mahesa Jenar. Untunglah Mahesa Jenar memiliki daya penawarnya. Sedang aji Alas Kobar sebenarnya adalah suatu ilmu yang maha dahsyat, yang apabila dipergunakan untuk menyerang lawan, akibatnya seperti api yang maha besar, yang seolah-olah sanggup memusnakan hutan yang lebat. Melihat kedua lawannya telah mempergunakan ilmu-ilmu yang paling akhir dimiliki, serta mempunyai daya hancur yang luar biasa, maka kedua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu segera berloncatan mundur. Tampaklah mereka mengerutkan kening dan menarik nafas panjang. Tetapi mereka sudah tidak memiliki waktu banyak untuk berfikir, sebab sesaat kemudian Pasingsingan dan Sima Rodra telah siap untuk menghancurlumatkan lawan-lawan mereka.

Mahesa Jenar beserta keempat kawannya yang menyaksikan gerak Pasingsingan dan Sima Rodra yang berubah menjadi buas dan mengerikan itu, menahan nafas. Dada mereka berdegupan. Apakah kira-kira yang akan terjadi apabila kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar itu sampai terjamah oleh tangan-tangan yang siap menyebar maut itu? Sebaliknya adalah Lawa Ijo, Sima Rodra beserta kawan-kawannya. Seolah-olah mereka sudah melihat bahwa perkelahian itu sudah sampai pada akhir. Kedua orang itu pasti segera akan lebur menjadi tepung, dan sesudah itu mereka akan menyaksikan lawan-lawannya yang paling dibencinya, yaitu Mahesa Jenar akan lumat pula beserta keempat kawan-kawannya. Tetapi apa yang mereka saksikan adalah sama sekali tidak seperti yang mereka bayangkan. Kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar itu kemudian tampak berdiri tegak di atas kedua kaki yang renggang, sedang kedua tangan mereka bersilang dengan telapak tangan masing-masing di atas pundak seperti orang yang sedang bersemedi. Tetapi apa yang mereka lakukan itu hanya sesaat, tidak lebih dari sekeredipan mata. Setelah itu, segera mereka berloncatan dan bergerak, mirip dua ekor rajawali yang menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Tetapi tak seorang pun yang mengetahuinya, bahwa kedua orang itu telah mempergunakan ilmu yang mereka namakan Naga Angkasa. Ilmu yang telah mereka ciptakan bersama setelah mereka bertahun-tahun menekuni dan mempelajari gerak dari binatang-binatang di udara. Sehingga akhirnya mereka menemukan suatu kedahsyatan dari gerak burung rajawali yang mereka gabungkan dengan kelembutan gerak seekor ular yang sanggup membelit, melingkar dengan lemasnya. Dilambari dengan kekuatan batin yang sempurna dari kedua orang yang tak dikenal itu, maka Naga Angkasa merupakan suatu ilmu yang sukar untuk diperbandingkan.

Karena itu, beradunya ilmu-ilmu yang dahsyat itu kemudian menimbulkan suasana yang hampir tak dapat digambarkan. Macan Liwung, Alas Kobar dan Naga Angkasa. Di dalam lingkaran pertempuran itu terjadilah benturan-benturan yang mengerikan. Meskipun mereka tidak bersenjata, sentuhan tubuh-tubuh mereka dengan ilmu mereka masing-masing telah melebihi berdentangnya senjata. Ketika pertempuran itu kemudian bergeser semakin mendekati hutan, maka tampaklah pepohonan menjadi bergoyang-goyang oleh angin yang timbul karena gerakan-gerakan mereka yang sedang bertempur. Daun-daun kering berterbangan melebihi tiupan angin kemarau. Kemudian disusul dengan kengerian yang memuncak. Tangan-tangan mereka yang tak dapat menyentuh lawan-lawan mereka, yang dengan gerak yang tak dapat dicapai oleh mata biasa berhasil menghindar, dan kemudian mengenai pepohonan, menjadi roboh berantakan. Suaranya berderak-derak menggetarkan seluruh hutan di tepi Rawa Pening itu, disela oleh teriakan nyaring dan auman dahsyat Sima Rodra tua. Baik Mahesa Jenar dan kawan-kawannya, maupun Lawa Idjo beserta seluruh golongan hitam, ketika menyaksikan kedahsyatan pertempuran itu, kemudian seperti orang-orang yang melihat pertunjukan yang menakutkan. Pertempuran itu sendiri semakin lama menjadi semakin dahsyat. Sementara itu bulan yang berjalan menyusur garis edarnya, semakin lama menjadi semakin tinggi tergantung di langit yang bersih. Hanya sekali-kali mega putih seperti kapas berterbangan di muka wajahnya yang kuning pucat, seperti wajah gadis yang ketakutan melihat pahlawannya sedang berjuang diantara hidup dan mati.

KETIKA bulan itu sudah melampaui titik puncak langit, terjadilah perubahan dalam keseimbangan pertempuran di hutan Rawa Pening. Kedua orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar serta wajahnya disaput dengan warna merah dan hitam itu kemudian berpendapat bahwa apabila keringatnya semakin banyak mengalir, akan hanyutlah warna-warna hitam dan merah di wajahnya. Maka dengan demikian pasti mereka akan dikenal oleh lawan-lawannya. Apalagi kalau pertempuran itu sampai menjelang fajar. Karena itu, segera mereka mengeluarkan segenap ilmunya, kekuatan lahir dan batinnya. Naga Angkasa itu semakin lama menjadi semakin garang setelah mendapatkan saluran yang lapang. Pasingsingan yang percaya kepada ilmunya Alas Kobar menjadi keheran-heranan dan gelisah. Ilmu yang dapat menghindarkan diri dari panasnya ilmu Alas Kobar yang melebihi bara api. Bahkan kadang-kadang ia terlibat dalam satu keadaan yang sangat berbahaya. Udara yang dingin seolah-olah meniup-niup dari segala arah dan melilit-lilit tubuhnya seperti ular. Sementara ia sedang berusaha menguraikan lilitan hawa dingin itu, tiba-tiba melayanglah lawannya dari udara dengan tangan yang mengembang siap menerkam lehernya. Untuk melawan serangan yang demikian, terpaksa ia mempergunakan pisaunya di tangan kiri dan akik Klabang Sejuta di tangan kanan dilambari dengan ilmunya Alas Kobar. Beruntunglah Pasingsingan bahwa agaknya lawannya mengenal betapa saktinya kedua senjatanya itu sehingga beberapa kali ia berhasil membebaskan diri dari serangan-serangan maut yang mengerikan itu. Sima Rodrapun diam-diam mengumpat dalam hati. Lawannya benar-benar seperti hantu yang menakutkan. Gerakan-gerakannya cepat tak terduga, sedang aji Macan Liwung ternyata sampai sekian lama tak dapat menjatuhkannya. Karena itu ia menjadi semakin ganas dan beberapa kali mengaum keras.

Namun bagaimanapun juga lawannya benar-benar seorang yang luar biasa, yang menyerangnya seolah terbang di udara, tetapi sekali-kali berguling dan tangannya mematuk seperti kepala ular mengarah ke bagian-bagian tubuhnya yang lemah. Benturan-benturan yang terjadi di dalam pertempuran itu, meyakinkan Sima Rodra bahwa lawannyapun memiliki kekuatan yang dapat menandingi kekuatan Macan Liwung. Karena itu ia menjadi gelisah sebab sesudah Macan Liwung tidak ada lagi yang dapat dibanggakan. Sesaat lagi semakin jelaslah bahwa kedua orang yang berpakaian mirip dengan Mahesa Jenar itu mempunyai beberapa kelebihan dari lawannya. Lawan Pasingsingan hampir dalam setiap geraknya dapat memotong gerakan-gerakan Pasingsingan, bahkan mendahuluinya. Karena itu Pasingsingan menjadi semakin heran dan kebingungan. Tetapi sama sekali ia tak dapat meraba-raba, dari perguruan manakah ilmu yang diwarisi oleh lawan-lawannya yang aneh itu. Sebab menilik beberapa geraknya, ia mengenal sumber-sumber yang bermacam-macam. Bahkan ada beberapa kemiripan dengan gerakan-gerakan dari perguruannya sendiri, tetapi ia juga melihat beberapa gerakan yang sesuai dengan dasar-dasar gerak peninggalan dari almarhum Ki Ageng Pengging Sepuh yang bersumber dari Ranggalawe yang dahsyat itu. Malahan ia melihat juga gerakan-gerakan hebat yang berasal dari almarhum Raden Gadjah yang pernah dengan susah payah dipelajarinya namun sama sekali belum sempurna.

Karena kegelisahan serta kebingungan itulah maka Pasingsingan bertempur semakin lama semakin kehilangan keseimbangan. Meskipun kemarahannya menggelegak sampai kepala, namun tenaganya tidak dapat mengimbangi perasaannya. Sehingga semakin bernafsu ia mengalahkan lawannya semakin hilanglah keseimbangan gerakannya. Agaknya sedemikian pula dengan Sima Rodra. Bagaimanapun ia berusaha dengan sekuat tenaganya yang diandalkan itu, namun ilmunya Macan Liwung memang berada di bawah kedahsyatan Naga Angkasa. Karena itu semakin lama Sima Rodra tua itu menjadi semakin terdesak mundur. Beberapa kali ia mencoba untuk mengadakan serangan-serangan yang membahayakan, tetapi usahanya selalu tidak berhasil. Ia menganggap bahwa selama ini tak seorang pun yang mampu mengatasi ilmunya yang mengerikan itu. Pandan Alas, Sora Dipayana, Titis Anganten yang mewarisi sebagian ilmunya Menak Jingga dari Blambangan dan sahabatnya sendiri Bugel Kaliki yang terkenal itupun setinggi-tingginya baru dapat menyamainya. Namun tiba-tiba sekarang ia berhadapan dengan seorang yang tak dikenal yang dapat melebihi ketinggian ilmunya. Meskipun wajah orang-orang itu tak jelas baginya namun pasti bahwa mereka bukan orang dari Pandan Alas beserta sahabat-sahabatnya.

Karena itu hatinya lambat laun menjadi kecil pula. Ia masih mempunyai banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Apabila ia sampai dilibat oleh lawannya sehingga ia benar-benar dibinasakan maka segala rencananya akan pudar. Bagaimanapun, seperti juga Pasingsingan, ia berkeinginan melihat muridnya, bahkan anaknya sendiri menjadi orang yang berkekuasaan besar. Itulah sebabnya ia bekerja mati-matian untuk mendapatkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten dengan sekutunya Pasingsingan, meskipun ia sadar bahwa kemudian Pasingsingan pasti akan mengusahakan agar keris itu dapat dimiliki oleh murid kesayangannya, Lawa Ijo. Karena itu, baik Sima Rodra maupun Pasingsingan merasa bahwa bagaimanapun mereka tak akan mampu untuk mengalahkan lawannya. Ia tidak berani memerintahkan kepada Lawa Ijo dan kawan-kawannya untuk ikut serta dalam pertempuran itu, sebab bahayanya akan besar sekali apabila mereka sampai tersentuh kesaktian ilmu lawannya. Apalagi dengan demikian Mahesa Jenar dan kawan-kawannya pasti tidak akan tinggal diam. Karena itu jalan yang sebaik-baiknya selagi masih berkesempatan adalah menarik diri. Mendapat keputusan itu, maka segera terdengarlah suara tertawa Pasingsingan yang mengerikan. Suara itu bergetar di antara gerak-geraknya yang semakin terdesak itu.

MAHESA Jenar dan kawan-kawannya terkejut mendengar suara Pasingsingan, yang seolah-olah mendapat suatu kemenangan yang gemilang. Tetapi sebenarnya suara itu adalah suatu pertanda kepada Lawa Ijo dan anak buahnya untuk segera menghindarkan diri. Karena itu, betapa kecut hati Lawa Ijo beserta anak buahnya melihat suatu kenyataan bahwa Pasingsingan yang diagung-agungkan itu tidak dapat mengatasi lawan-lawannya. Maka, tidak perlu diulangi lagi, Lawa Ijo segera meloncat dan berlari sekencang-kencangnya menjauhi lawan-lawan Pasingsingan, disusul oleh Wadas Gunung, Carang Lampit, Cemara Aking dan kawan-kawannya. Melihat Lawa Ijo dan para pengiringnya melarikan diri, tokoh-tokoh golongan hitam itu terkejut. Segera mereka sadar bahwa keadaan menjadi sangat genting. Apalagi ketika kemudian terdengar geram Sima Rodra seperti merintih-rintih, dan kemudian disusul dengan lenyapnya Suami Isteri Sima Rodra muda menyusup kedalam hutan, maka pemimpin-pemimpin gerombolan hitam itu tidak menunggu lebih lama lagi, segera mereka dengan pengiring-pengiring mereka berlari-lari menyelamatkan diri mereka masing-masing. Melihat peristiwa itu Mahesa Jenar dan kawan-kawannya menjadi keheran-heranan. Mereka sama sekali tidak dapat mengetahui apakah yang terjadi. Sesaat kemudian terdengarlah orang-orang yang berpakaian seperti Mahesa Jenar itu tertawa nyaring. Sedang solah mereka menjadi semakin lincah dan berbahaya.

Akhirnya Sima Rodra merasa bahwa tidak ada gunanya ia bertahan lebih lama lagi. Mungkin ia masih dapat bertempur sampai sehari, namun kesudahannya akan sudah pasti, yaitu lawannya akan dapat membinasakannya. Karena itu, dengan mengaum hebat, ia meloncat undur dan setelah itu dengan kecepatan yang mungkin dicapainya, ia berusaha untuk menyelamatkan diri. Melihat Sima Rodra Rodra itu berlari seperti terbang meninggalkannya, lawan Sima Rodra itu tertawa kembali. Tetapi sama sekali ia tidak berusaha untuk mengejarnya. Berbeda dengan lawan Pasingsingan. Ketika Pasingsingan tinggal seorang diri, iapun segera berusaha untuk melepaskan diri dari pertempuran itu, namun lawannya sama sekali tidak memberi kesempatan. Bahkan akhirnya dengan mengerahkan segenap tenaganya lahir dan batin, dilambari dengan ilmu Naga Angkasa, lawan Pasingsingan itu berhasil melibat tubuh Pasingsingan dengan gerak-geraknya yang mirip dengan gerak Ular, tetapi yang kadang-kadang seperti seekor burung Rajawali yang meniup menyambar-nyambar. Mengalami peristiwa itu Pasingsingan menjadi bingung. Keringat dinginnya mengalir membasahi jubah abu-abunya.

Dengan segenap kekuatannya ia mencoba bertahan, dan melindungi dirinya dengan Belati Panjangnya yang bernama Kiai Suluh, serta akik Kelabang Sayuta dibarengi dengan ilmunya Alas Kobar dan Gelap Ngampar. Namun Naga Angkasa itu seperti hantu saja yang berada disegala tempat dan menyerang dari segala penjuru. Pasingsingan mengeluh didalam hati. Karena itulah maka pemusatan pikirannya sedikit demi sedikit menjadi terurai, sehingga dengan demikian daya kekuatan Alas Kobar serta Gelap Ngampar pun menjadi berkurang. Dalam keadaan yang demikian, tiba-tiba terasalah udara dingin sedingin air embun, membelit diseluruh bagian tubuhnya, dibarengi dengan suatu teriakan dahsyat seperti teriakan burung rajawali yang sedang marah, terasalah pundaknya dicengkam oleh tangan yang kuat seperti baja. Dengan cepat ia menggerakkan pisau panjangnya, tetapi sama sekali tak mengenai sesuatu. Cepat ia mengulangi berkali-kali, tetapi yang ada dihadapannya bagaikan hantu yang dapat berkisar-kisar dengan cepatnya tanpa mengadakan gerakan sesuatu. Bahkan akhirnya tangan yang sekuat baja itu berhasil menangkap tangannya dan dipilinnya ke belakang. Pasingsingan merasakan suatu keanehan membersit di dalam dadanya. Bahwa didunia ini ada kekuatan seperti itu, yang sama sekali tak diduganya semula. Sebenarnya ia sendiri merasakan bahwa ilmunya tidak usah terlalu jauh kalah dari ilmu lawannya. Hanya kekuatan orang itu agaknya yang luar biasa.

Dengan mengerahkan segenap kekuatannya yang terakhir Pasingsingan mencoba untuk melepaskan diri, namun orang itu agaknya mengerahkan segenap kesaktiannya pula untuk dapat tetap menguasai Pasingsingan. Mahesa Jenar dan kawan-kawannya melihat kejadian itu dengan jantung yang berdegupan hebat. Meskipun mereka agak terguncang perasaan, namun timbul pula kebanggaan serta ketenteraman diri. Mereka menyaksikan bahwa akhirnya Pasingsingan dapat dikalahkan. Tiba-tiba dalam keremangan cahaya bulan mereka melihat tangan orang yang menangkap Pasingsingan itu bergerak cepat sekali sehingga dalam sekejap di tangan itu telah berkilat-kilat cahaya sebuah keris yang agaknya tidak kalah hebatnya dari pisau belati panjang Pasingsingan. Dengan penuh bernafsu orang yang berpakaian mirip Mahesa Jenar itu mengayunkan kerisnya untuk menembus dada Pasingsingan. Tetapi kembali Mahesa Jenar dan kawan-kawannya dikejutkan oleh bayangan yang melontar ke arah mereka yang sedang bertempur itu. Ia adalah orang yang satu lagi, yang berpakaian mirip Mahesa Jenar, yang tadi bertempur dengan Sima Rodra. Dengan cekatan ia menangkap tangan kawannya yang memegang keris yang hampir saja memusnahkan orang yang memakai kedok jelek berjubah abu-abu dan menamakan diri Pasingsingan.
Orang itu agaknya terkejut, sehingga pegangannya mengendor. Kesempatan ini agaknya dapat dipergunakan Pasingsingan dengan baik. Cepat ia berusaha membebaskan diri, dan dalam sekejap tampaklah ia seperti terbang berlari menyusup ke dalam hutan. Jubahnya yang abu-abu melambai-lambai ditiup angin malam, namun hanya sesaat, karena sesaat kemudian ia telah lenyap ditelan lebatnya hutan. Orang yang memegang keris, yang hampir saja menyobek dada Pasingsingan itu memandang kawannya dengan mata yang bertanya-tanya. Rupa-rupanya ia menjadi sangat kecewa.
Katanya
“Kakang, kenapa kakang menahan aku pada saat Pasingsingan sudah diambang maut?”

KAWAN orang itu menarik nafas panjang. Perlahan-lahan ia melangkah menjauh. Matanya yang sayu dilemparkan ke arah purnama yang dengan tenangnya mengambang di langit yang bersih. Hanya kadang-kadang saja tampak beterbangan kelelawar-kelelawar yang sedang mencari mangsa.
“Adi…” terdengarlah orang itu berkata,
“Entahlah apa sebabnya, aku tidak dapat membiarkan Pasingsingan itu terbunuh. Mungkin masanya memang belum sampai”.
“Masihkah Kakang ingin melihat kejahatan-kejahatan berikutnya yang akan dilakukan oleh Pasingsingan?” desak yang lain.
“Tentu tidak, Adi,” jawabnya.
“Tetapi apakah kata bapa guru nanti atas kematian Pasingsingan. Sebab bagaimanapun juga ia adalah muridnya pula. Apalagi sebenarnya letak kesalahan yang menyebabkan segala kejadian ini, adalah aku sendiri. Kalau terjadi kejahatan-kejahatan, maka sebenarnya semuanya itu bersumber pada diriku. Bersumber pada pemuasan nafsu yang tiada mengenal batas. Karena itulah maka hukuman yang sepantasnya adalah dibebankan kepadaku”.
“Kau terlalu perasa, Kakang. Kalau suatu kota tenggelam dilanda banjir, bukanlah mata air yang harus memikul beban kesalahannya? Sebab dari mata air itulah sawah-sawah mendapat air, serta kepentingan-kepentingan lain yang berguna. Meskipun karena mata air itu dapat timbul banjir. Tetapi perkembangannya telah melampaui beberapa tingkatan yang tidak ada hubungannya. Air yang mengalir ke lautan menjadi mendung dan kemudian hujan lebat. Barulah terjadi banjir.
Untuk mencegah banjir itu haruskah orang-orang menutup segenap mata air? Seperti Kakang merasa bersalah kalau Pasingsingan berbuat kejahatan-kejahatan?”

Orang yang lain itu sama sekali tak menjawab. Perlahan-lahan tampak orang itu mengangguk-anggukkan kepala. Tetapi pandangannya masih melekat pada bulan di langit.
“Kakang…” orang yang satu melanjutkan,
“Aku persilahkan Kakang melenyapkan perasaan itu. Perasaan yang menyalahkan diri tanpa batas. Suatu pengakuan yang demikian tidak akan menguntungkan. Bagi Kakang, bagi orang lain dan bagi bebrayan agung”.
“Sudahlah Adi,” potong yang lain. Nada suaranya jauh dan dalam.
“Aku tahu akan perasaanmu. Suatu rasa kesetiaan dan kecintaanmu kepada saudara tua. Namun barangkali aku masih menunggu sampai guru memberikan ijinnya”.
Mahesa Jenar mendengarkan percakapan itu dengan saksama. Kecuali dirinya tak seorang pun yang mengerti siapakah kedua orang itu. Tetapi bagi Mahesa Jenar, percakapan mereka cukup memberi penjelasan, siapakah mereka berdua. Karena itu segera ia berlari dan berjongkok di hadapan mereka. Keempat kawan-kawannya, meskipun tidak dapat mengerti siapakah mereka itu, namun sebagai ucapan terima kasih, mereka segera menirukan perbuatan Mahesa Jenar.
“Paman…,” kata Mahesa Jenar,
“Perkenankanlah aku mengucapkan beribu-ribu terima kasih atas pertolongan Paman Paniling dan Paman Darba”.
Kedua orang itu, yang memang sebenarnya adalah Paniling dan Darba, menjadi agak terkejut mendengar nama-nama mereka disebut oleh Mahesa Jenar. Maka terdengarlah Darba tertawa pendek.
“Dari mana kau tahu tentang kami? Adakah warna-warna yang tersaput di wajah kami telah terhapus?”
“Aku telah mengenal paman berdua, baik suara Paman yang sebenarnya itu, maupun persoalan-persoalan yang Paman perbincangkan,” jawab Mahesa Jenar.
“Memang otakmu cemerlang seperti matahari musim kemarau,” sahut Darba sambil tertawa kembali.
“Bukankah begitu kakang?” sambungnya kepada Paniling.
Paniling mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Aku sudah mengira kalau kau akan berbuat itu. Mengintip musyawarah orang-orang dari golongan hitam. Sadar atau tidak sadar, kau telah bermain-main api kembali. Karena itulah kami datang kemari. Beberapa waktu yang lampau aku telah memperingatkan agar kau berhati-hati menghadapi orang-orang dari golongan hitam itu. Hampir saja kau binasa pada saat kau dikerubut oleh tokoh-tokoh hitam itu. Sekarang kau masuk ke dalam bahaya yang lebih besar lagi, dimana hadir Sima Rodra tua dan Pasingsingan”.

Mahesa Jenar sama sekali tidak menjawab. Ia menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Pamanmu Paniling terlalu hati-hati, Mahesa Jenar,” sahut Darba.
“Mungkin karena umurnya yang telah lanjut. Tetapi kira-kira pada saat mudanya melebihimu”.
“Mungkin,” potong Paniling sambil tersenyum,
“Memang anak-anak muda senang menyerempet-menyerempet bahaya”.
“Dan karena itulah mereka mencapai kemajuan-kemajuan,” sambung Darba,
“Karena dengan pengalaman-pengalaman mereka, masa depan seakan-akan telah diratakan. Sedang bagi mereka yang tidak berani menempuh bahaya, tak sesuatu apapun yang akan bisa dicapainya”.
“Meskipun demikian…” jawab Paniling,
“Segala sesuatu wajib diperhitungkan. Kalau kita berani menempuh bahaya, bukan berarti kita harus bunuh diri. Mahesa Jenar, kami datang kemari karena kami mencemaskan kau. Tetapi Adi Darba mengusulkan supaya kami membuat permainan ini dengan berpakaian mirip pakaianmu. Sebab kami tahu bahwa kau tidak pernah berganti pakaian kecuali kalau pakaianmu satu-satunya itu sedang kau cuci”.
Semua yang mendengar kata-kata Paniling itu tersenyum. Mahesa Jenar menjadi agak malu. Memang, ia sama sekali tidak mempunyai pakaian lain selain yang dipakainya. Kalau pakaian itu dicuci, terpaksa ia menunggu sampai kering.
“Maksudku…” sahut Darba,
“Salah seorang diantara kami yang mungkin dapat berbuat sesuatu mewakilimu. Dengan demikian tak seorang pun berani merendahkan kau lagi. Tetapi ternyata kau datang berlima, sehingga kami agak menemui kesulitan. Untunglah bahwa kami menemukan suatu cara untuk bermain-main dengan Pasingsingan. Sayang, Kakang Paniling menahan kerisku yang sudah melekat di dada Pasingsingan itu”.

KI PANILING segera memotong,
“Sudahlah Adi Darba, aku minta maaf kalau aku membuat kau kecewa. Sekarang yang penting adalah usaha untuk menemukan kembali keris yang hilang itu”.
“Mahesa Jenar…” sambung Paniling,
“Apakah kau tidak memperkenalkan sahabat-sahabatmu itu kepadaku?”
Mendengar pertanyaan Paniling, Mahesa Jenar seakan-akan disadarkan dari kekhilafannya. Segera ia mulai memperkenalkan satu persatu sahabat-sahabatnya yang telah bersama-sama melakukan suatu pekerjaan yang berbahaya.
Dan kepada sahabat-sahabatnya, Mahesa Jenar memperkenalkan Paniling dan Darba sebagai dua orang petani yang sakti, yang telah menolong jiwanya untuk kedua kalinya. Namun sama sekali tidak disinggung-singgungnya bahwa Paniling itulah yang dahulu pernah mengenakan jubah abu-abu dan kedok yang kasar, dan yang menamakan diri Pasingsingan.
Setelah mereka saling memperkenalkan diri, maka berkatalah Paniling,
“Mahesa Jenar, aku kira kerjaku untuk kali ini sudah selesai. Aku dan pamanmu Darba akan segera kembali. Tetapi pesanku, janganlah terlalu lama anak pungutmu kau tinggalkan. Sebab bagaimanapun juga, banyaklah bahaya yang mengancam anak itu”.
Kembali Mahesa Jenar seperti orang yang tersadar dari mimpi. Segera ia ingat kepada Arya, anak yang sampai sekarang masih menjadi buruan pamannya sendiri. Karena itu tiba-tiba hatinya menjadi tidak tenteram. Meskipun Arya kini telah berada di tempat yang jauh, namun mungkin saja orang-orang Lembu Sora akan sampai ke sana.

Maka setelah Paniling dan Darba pergi meninggalkan mereka, segera mereka mengadakan pembicaraan tentang pekerjaan-pekerjaan apa yang harus dilakukan oleh mereka masing-masing. Gajah Alit dan Paningron harus segera kembali ke Demak untuk melaporkan segala kejadian di tepi Rawa Pening itu. Melaporkan tentang kebenaran laporan mengenai adanya golongan hitam yang kuat dan berbahaya bagi ketenteraman negara. Dengan manyaksikan serta mengalami sendiri, Paningron serta Gajah Alit harus percaya, bahwa orang yang bernama Pasingsingan dan Sima Rodra, tetua dari golongan hitam, termasuk orang yang tak dapat diabaikan, meskipun jumlah orang-orang yang demikian itu tidak banyak. Maka segera Paningron dan Gajah Alit mohon diri. Mahesa Jenar melepaskan mereka berdua dengan pesan agar untuk sementara dirinya jangan tersinggung-singgung pula dalam laporan mereka, sebab ia masih belum mempunyai keinginan untuk kembali ke Demak sebelum Nagasasra dan Sabuk Inten diketemukan. Juga Mahesa Jenar mempergunakan kesempatan itu untuk menitipkan bukti-bukti tentang kebenaran alasan-alasan Gajah Sora, bahwa ia tidak mampu mempertahankan kedua keris itu dari usaha-usaha golongan lain untuk memilikinya. Bagaimanapun hebatnya Gajah Sora, yang pernah menerima hadiah pusaka sebuah tombak yang bernama Kyai Bancak, namun menghadapi orang-orang seperti Pasingsingan dan Sima Rodra, maka Gajah Sora tidak lebih dari seorang anak-anak yang baru saja dapat berjalan.

Dalam pada itu Wiraraga pun minta diri untuk kembali ke Wanakerta bersama-sama dengan Ki Dalang Mantingan. Tetapi sebelum mereka berangkat, Mahesa Jenar minta kepada Ki Dalang Mantingan untuk membantu mengawasi tanah perdikan Banyubiru. Dalam kedudukannya sebagai seorang dalang maka ia akan lebih leluasa bergerak di mana saja. Maka setelah segala pembicaraan selesai, berpisahanlah mereka. Masing-masing ke arah tujuan masing-masing. Gajah Alit dan Paningron kembali ke Demak, Wiraraga dan Mantingan ke Wanakerta lewat Banyubiru. Sedangkan Mahesa Jenar harus segera kembali kepada Arya Salaka yang telah beberapa hari ditinggalkan seorang diri, dan hanya dititipkan kepada para tetangga yang baik hati. Mengingat kata-kata Ki Paniling, hati Mahesa Jenar tiba-tiba menjadi berdebar-debar. Memang sebenarnyalah pasti Lembu Sora tetap akan berusaha untuk membunuh Arya. Sebab sepeninggal Gajah Sora, Aryalah yang paling berhak atas tanah perdikan Banyubiru. Sedang apabila Arya ini dilenyapkan, maka keturunan Sora Dipayana tidak ada lain tinggal Lembu Sora seorang diri. Dengan demikian maka Banyubiru dengan sendirinya akan jatuh ke tangan orang itu.

Mengingat hal itu semuanya, maka segera Mahesa Jenar mempercepat langkahnya untuk dapat segera sampai ke rumah, dimana Arya ditinggalkan. Di perjalanan pulang itu hati Mahesa Jenar menjadi tidak tenteram. Ia telah menyatakan kesanggupannya kepada Gajah Sora untuk memelihara anak itu, serta mendidiknya dan mengajarinya dalam olah kanuragan sehingga anak itu kelak dapat menjadi orang yang berguna. Ketika burung-burung menyambut fajar yang segar dalam belaian angin pagi yang bertiup halus dari pegunungan serta melintasi lembah-lembah, Mahesa Jenar masih tetap berjalan cepat-cepat. Seakan-akan kesegaran fajar itu tak terasa baginya. Namun meskipun demikian, sinar matahari pagi yang memancar cerah, dapat menimbulkan perasaan yang cerah pula. Karena itu Mahesa Jenar mempercepat langkahnya. Karena perasaannya yang kecemasan, ia sama sekali tak dipengaruhi oleh kelelahannya. Seharian Mahesa Jenar berjalan terus. Hanya sekali dua ia berhenti untuk mencari sumber air, apabila terasa lehernya disekat dahaga, serta kemudian untuk beberapa saat ia menyegarkan tubuhnya dengan duduk-duduk sejenak. Hanya sejenak, sebab ia tidak dapat membiarkan perasaannya diburu oleh kegelisahan. Karena itu, dengan tergesa-gesa segera Mahesa Jenar melanjutkan perjalanannya pula. Demikian pula ketika matahari yang lelah setelah menempuh peredarannya sehari penuh itu menjelang garis pertemuan langit dan bumi, serta sebentar lagi seolah-olah tenggelam ditelan garis pemisah itu. Mahesa Jenar sama sekali tidak peduli.

MESKIPUN perlahan-lahan, karena gelapnya malam kemudian mentakbiri bumi, Mahesa Jenar tetap berjalan terus di bawah sinar bulan yang baru saja lewat purnama penuh. Maka di pertengahan malam, Mahesa Jenar melihat cahaya pelita yang berpancaran di sebuah dusun yang kecil. Itulah desa dimana Arya ditinggalkannya. Melihat nyala pelita yang seolah-olah melambai-lambai meneriakkan nama Arya Salaka, hati Mahesa Jenar menjadi berdebar-debar. Meskipun Salaka itu bukan sanak dan bukan kadang, namun telah dianggapnya sebagai anak sendiri. Apalagi mengingat segala pesan-pesan dari Gajah Sora. Maka pertanggungjawaban anak itu seluruhnya ada padanya. Tetapi semakin dekat Mahesa Jenar dengan desa itu, hatinya menjadi semakin gelisah. Rasa-rasanya ada sesuatu yang tidak menyenangkan. Ia seakan-akan mendapat suatu firasat yang tidak baik. Dengan gelisah dan setengah berlari Mahesa Jenar memasuki desanya yang kecil, yang biasanya selalu diliputi oleh suasana tenteram dan damai. Tetapi pada malam itu, tampaklah beberapa kesibukan yang aneh. Dari jarak yang semakin dekat, Mahesa Jenar melihat beberapa orang berjalan cepat-cepat dengan membawa obor, dan yang lebih mengejutkan lagi mereka menuju ke sebuah gubuk kecil di sudut desa itu. Itulah rumah yang dibangunnya, serta ditinggalinya bersama-sama dengan Arya.

Dengan berlari-lari kecil Mahesa Jenar melintas pematang untuk segera dapat sampai ke rumahnya. Demikian ia sampai ke ambang pintu, demikian semua mata memandanginya dengan keheranan, seolah-olah tidak sewajarnyalah kalau ia datang pada malam itu. Baru sesaat kemudian seorang diantara mereka dapat menguasai dirinya.
“Anakmas Mahesa Jenar, marilah…, marilah duduk dahulu,” katanya.
Hati Mahesa Jenar sama sekali tidak enak mendengar kata-kata itu. Kata-kata yang mengandung perasaan yang iba. Apalagi ketika ia memandangi setiap wajah yang berada di dalam rumah itu. Arya Salaka tidak ada. Sekali lagi ia meneliti setiap orang yang berada di dalam ruangan gubugnya, namun Arya Salaka tetap tidak tampak. Tiba-tiba berdesirlah jantung di dalam dadanya. Dan, dengan suara yang bergetar ia bertanya,
“Di manakah anakku, Arya Salaka?”
Serentak semua mata memandang kepadanya dengan pandangan penuh iba. Salah seorang diantaranya, setelah beberapa lama baru dapat menjawab pertanyaan itu dengan kata yang terputus-putus.
“Angger, duduklah dahulu, nanti kami kabarkan di mana anakmu berada”.
Mendengar jawaban itu, Mahesa Jenar menjadi semakin gelisah.
“Di manakah Arya Salaka?” desaknya.
“Angger…” jawab yang lain,
“Maafkanlah kami sebelumnya, bahwa kami tidak dapat memenuhi harapan Angger untuk melindungi anak itu. Baru tadi hal itu terjadi. Ketika beberapa orang bersenjata datang ke rumah ini menjelang senja. Dengan kekerasan mereka membawa Arya. Kami telah berusaha menggagalkan maksud mereka. Tetapi kami adalah petani-petani yang tak berarti seperti kau juga. Karena itu kami sama sekali tidak berdaya untuk menahannya”.

Tiba-tiba darah Mahesa Jenar menggelegak hebat. Jantungnya berdentang menggoncangkan dada. Matanya yang sayu karena kelelahan berubah seperti bara api.
“Duduklah Ngger,” kata yang lain pula.
“Biarlah kita bicarakan bagaimana caranya untuk dapat mencari anakmu itu”.
Tetapi Mahesa Jenar sudah tidak dapat mendengar kata-kata itu. Matanya yang membara itu sesaat beredar ke wajah-wajah para petani kecil yang baik hati serta ramah tamah. Hanya sesaat, sebab sekejap kemudian seperti orang kehilangan akal, Mahesa Jenar meloncat berlari ke luar halaman.
Beberapa orang kemudian memburunya sambil berteriak-teriak,
“Tunggulah Angger…, tunggulah….”
Mahesa Jenar tertegun sejenak. Ia menjadi agak bingung, ke mana arah yang harus dianut kalau ia mau menyusul Arya. Lalu katanya hampir berteriak, Kemanakah anak itu dibawa?
Beberapa orang jadi ragu-ragu, namun salah seorang menjawab pula, Mereka pergi ke arah timur melalui jalan di sebelah desa kami itu.
Mahesa Jenar tidak menunggu kata-kata itu berakhir. Segera ia meloncat dan berlari kencang-kencang ke arah yang ditunjukkan oleh tetangga-tetangganya. Lamat-lamat ia masih mendengar orang-orang itu berteriak,
“Angger, kembalilah. Mereka adalah orang-orang perkasa dan bersenjata. Kita cari akal untuk mengambil anak itu, tetapi jangan dengan kekerasan”.
Namun bagi Mahesa Jenar suara-suara itu tidak lebih dari suara berdesirnya daun-daun kering yang rontok oleh angin malam yang kencang. Karena itu justru ia mempercepat larinya seperti orang yang kehilangan akal, semakin lama semakin cepat.
Sesaat kemudian Mahesa Jenar sampai ke padang rumput yang luas. Di sana-sini terdapat padas. Di bawah cahaya bulan yang hampir penuh, Mahesa Jenar dapat memandang ke arah yang agak jauh. Tetapi matanya yang tajam tak dapat menangkap apapun kecuali puntuk-puntuk yang seolah-olah gelembung-gelembung yang tumbuh dari dalam tanah yang sedang mendidih. Ia bertambah cemas.
Bagaimanakah keadaan Arya Salaka…? Apakah ia dibawa ke padang rumput itu.., atau ke mana…?

DALAM kebimbangan itu Mahesa Jenar mencoba mengamat-amati tanah-tanah di sekitarnya. Kalau-kalau ia menemukan sesuatu sebagai petunjuk. Tiba-tiba ia melihat rumput-rumput liar di padang rumput itu rebah se arah. Tampaknya jelas, bekas sesuatu yang diseret di atas rumput itu. Hati Mahesa Jenar kemudian berdebar-debar. Apalagi ketika kemudian ia melihat warna yang kehitam-hitaman di atas rumput yang mewarnai jari-jarinya pula. Darah. Adakah darah ini darah Arya Salaka?
Hati Mahesa Jenar kini benar-benar mendidih. Mahesa Jenar yakin pasti terjadi sesuatu yang tak menyenangkan atas anak itu. Maka seperti digerakkan oleh tenaga gaib, Mahesa Jenar berlari lebih cepat lagi, sehingga tampaknya seperti bayangan malaikat yang melayang-layang di atas padang rumput yang luas. Ia tidak tahu, sudah berapa lama ia berlari. Tetapi tiba-tiba Mahesa Jenar berhenti berlari. Dilihatnya agak jauh di depannya sebuah bayangan yang bergerak perlahan-lahan. Apalagi ketika dilihatnya bayangan itu adalah seorang yang sedang mendukung sesuatu. Cepat Mahesa Jenar menyelinap ke belakang sebuah puntuk, serta dengan hati-hati ia mendekati bayangan yang berjalan semakin lama semakin cepat.

Ketika jarak orang itu sudah dekat serta dapat dicapainya dengan jelas oleh matanya yang tajam, perasaan Mahesa Jenar terlonjak hebat. Yang didukung oleh orang itu tidak lain adalah Arya Salaka. Karena itu segera darahnya bergelora. Ia sama sekali belum pernah mengenal orang itu. Maka segera ia mengambil kesimpulan, bahwa orang itu adalah salah seorang yang melarikan Arya. Perasaan Mahesa Jenar segera menghubungkan kejadian itu dengan Lembu Sora. Tidak mustahil bahwa kejadian-kejadian ini adalah atas perintahnya. Melihat hal itu, Mahesa Jenar tidak dapat mengendalikan diri lagi. Seperti kilat ia meloncat dari tempat persembunyiannya sambil berteriak,
“Hai orang yang mengandalkan kejantanan diri…. Letakkan anak itu, dan marilah kita membuat perhitungan”.
Orang itu terkejut. Dengan tangkasnya ia memutar tubuhnya. Ketika ia melihat Mahesa Jenar sudah siap untuk menyerang, perlahan-lahan anak yang di dalam dukungannya itu diletakkan. Agaknya ia menjadi curiga pula, karena itu segera orang itu pun mempersiapkan dirinya.


<<< Bagian 026                                                                                              Bagian 028 >>>

No comments:

Post a Comment