TUBUH Karebet benar-benar menggigil. Sedang Tumenggung Prabasemi masih berkata,
“Selama kau
masih hidup Karebet, maka perubahan keadaan akan memungkinkan kau untuk kembali
ke istana, dan memungkinkan kau berceritera tentang aku. Karena itu, malang
benar nasibmu, bahwa aku diperbolehkan mengantarmu sampai ke luar kota. Agaknya
betapa besar dosamu, namun Baginda masih juga sayang kepada nyawamu. Sehingga
kau masih akan diberi kesempatan untuk pergi ke Bergota. Tetapi dengan demikian
Karebet, aku benar-benar tak akan mendapat kesempatan seperti ini. Tetapi
sekarang kau bukan apa-apa lagi. Kalau kau mati di sini dan mayatmu dimakan
oleh serigala, maka Baginda tidak akan bertanya tentang kau. Kau dengar?”
Wajah Karebet
tiba-tiba menjadi merah menyala. Namun terdengar suaranya gemetar.
“Tetapi apakah
dengan demikian Kiai Tumenggung tidak melanggar perintah Baginda?”
“Melanggar
atau tidak melanggar, tak seorangpun yang akan mengetahuinya.”
“Tetapi apakah
Kiai Tumenggung berhak berbuat demikian? Baginda telah memutuskan, bahwa aku
dibebaskan dari hukuman mati. Aku hanya diusir dari Demak. Kenapa Tumenggung
akan berbuat melampaui putusan Baginda?”
Tumenggung
Prabasemi tertawa. Ia menjadi sedemikian senangnya melihat Karebet gemetar.
Karena itu katanya,
“Karena itu.
Karebet. Kau jangan terlalu berani menghina Tumenggung Prabasemi. Aku tidak
peduli keputusan yang telah dijatuhkan oleh Baginda. Aku akan berbuat dalam
tanggungjawabku. Dan Baginda tidak akan mengetahui, apa yang telah aku
lakukan.”
“Tetapi lambat
laun Baginda akan mendengarnya juga. Malam ini aku pergi bersama Kiai
Tumenggung. Kalau kemudian aku mati, maka sudah pasti Kiai yang membunuhnya.”
“Tak seorang
pun akan menemukan mayatmu. Mayatmu besok sebelum fajar sudah akan habis
menjadi makanan serigala. Dan kalau kau tidak nampak lagi, maka semua orang
pasti hanya menyangka bahwa kau benar-benar sedang menjalani hukuman itu.”
Karebet kini tidak dapat berkaka apapun lagi. Tetapi tubuhnya benar-benar
gemetar seperti kedinginan. Bahkan kadang-kadang terdengar giginya gemeretak.
Sedangkan
Tumenggung Prabasemi masih juga tertawa dan berkata,
“Jangan
menyesal saat ini. Semuanya telah terlambat. Aku telah sampai pada suatu
keputusan, melenyapkan kau. Tak ada suatu masalah pun yang mengubah rencanaku
itu. Meskipun demikian aku bukan seorang yang kejam. Karena itu aku beri
kesempatan kau memilih cara yang kau kehendaki menjelang kematianmu itu.
Ketahuilah Karebet. Aku akan dapat membunuhmu dengan sekali pukul pada
tengkukmu, dadamu atau punggungmu. Nah, sekarang katakanlah, manakah yang harus
aku pukul supaya kau…”
“Diam!”
Tiba-tiba Karebet yang gemetar itu membentak lantang.
Tumenggung
Prabasemi terkejut sehingga kata-katanya terputus. Kini ia tidak tertawa lagi.
Ditatapnya tubuh Karebet yang gemetar. Namun ternyata Tumenggung itu salah
sangka. Karebet sama sekali tidak gemetar karena ketakutan, tetapi anak muda
itu gemetar karena kemarahannya yang telah menjalari seluruh urat darahnya.
Sedemikian marahnya anak muda itu, sehingga justru mulutnya jadi terbungkam.
Yang berkata kemudian adalah Tumenggung Prabasemi,
“Karebet,
apakah kau sudah menjadi gila, sehingga kau berani membentak aku? Jangan
berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu. Cara untuk membunuh seseorang
ada beberapa macam. Jangan memilih yang paling mengerikan yang dapat aku
lakukan.”
Dada Karebet
seakan-akan terguncang-guncang mendengar kata-kata Tumenggung Prabasemi itu.
Hampir-hampir saja ia tidak dapat menahan kemarahannya. Namun tiba-tiba ia
menyadari kebebasannya. Kebebasan seperti yang pernah dimilikinya sebelum ia
menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa
tidak ada suatu apapun yang mengikatnya. Tak ada ikatan hubungan apapun lagi
antara dirinya dengan Tumenggung itu, bahkan antara dirinya dengan tatacara
Keprajuritan. Karena itu ketika ia melihat kepuasan yang membayang di wajah
Tumenggung Prabasemi, anak muda itu menjadi geli. Lenyaplah segala kemarahannya,
dan bahkan kini seakan-akan anak muda itu diberi kesempatan untuk bermain.
Karena itu tiba-tiba ia tersenyum, senyum yang aneh
“Tidak
Prabasemi, aku tidak menyangka engkau sedang bermain-main,” jawab Karebet.
“He, apa
katamu?, kau hanya njangkar saja menyebut namaku?”
Karebet itu
kini tidak hanya sekedar tersenyum. Penyakitnya benar-benar telah kambuh.
Karena itu ia tertawa tergelak-gelak, sehingga Tumenggung Prabasemi menjadi
sedemikian herannya.
“Apakah anak
ini menjadi gila karena ketakutan?,” katanya didalam hati. Namun ternyata
jawaban Karebet meyakinkannya bahwa anak itu tidak gila.
“Prabasemi.
Aku kini telah menjalani hukumanku. Karena itu aku bukan Wira Tamtama lagi.
Sekarang aku bukan lagi berada di bawah pimpinanmu, sehingga antara Karebet dan
Prabasemi tidak ada lagi tataran yang mengharuskan aku menghormatimu. Kalau kau
sebut namaku begitu saja, maka akupun berhak memanggilmu tanpa sebutan apapun.
Prabasemi, begitu saja. Ya Prabasemi. Prabasemi, kau dengar ?”
“Setan,” geram
Prabasemi. Kini ia tidak saja dipenuhi dendam didadanya, tetapi kemarahannyapun
telah melonjak ke ubun-ubun. Dengan parau ia berkata,
“He Karebet,
apakah kau sudah gila. Sudah kukatakan kepadamu, bahwa aku memberi kesempatan
kepadamu untuk memilih cara yang sebaik-baiknya untuk mati. Sekarang kau
menumbuhkan kemarahanku, sehingga kesempatan itu aku cabut kembali. Sekarang
dengarlah, aku akan membunuhmu seperti saat aku membunuh Bahu dari Tunggul. Kau
ingat? jangan melawan, supaya aku tidak menjadi marah.”
Betapapun
juga, bulu roma Karebet meremang. Prabasemi pernah membunuh Bahu dari Tunggul
dengan cara mengerikan karena Bahu melawan perintahnya. Dianggapnya Bahu
memberontak terhadap Demak. Karena itu, maka orang itu dipergunakannya sebagai
contoh bagi mereka yang memberontak terhadap raja. Dibunuhnya Bahu dengan cara
yang mengerikan. Digores-goreskannya kulit Bahu dengan duri setelah diikat pada
sebatang pohon. Dan dibiarkannya mati sehari setelah itu. Prabasemi melihat
perubahan di wajah Karebet. karena itu timbul kegembiraannya. Katanya,
“Aku dapat
berbuat lebih daripada itu Karebet. Dan jangan sekali-kali mencoba mengandalkan
kemudaanmu. Aku memang kagum melihat kau bertempur dalam setiap pertempuran,
namun pertempuran yang kau alami adalah pertempuran kecil tak berarti. Karena
itu jangan berbangga hati karenanya. Tapi kau sekarang berhadapan dengan
Tumenggung Prabasemi. Ya Tumenggung Prabasemi. Ingatlah bahwa Prabsemi adalah
seorang yang ditakuti.”
“Tutup
mulutmu!,” bentak Prabasemi yang kembali kemarahannya memuncak. Kini ia
benar-benar telah kehilangan kesabaran. Setapak ia melangkah maju sambil
menggeram,
“Kau
benar-benar sedang sekarat. Kini sebutlah nama ibu dan bapakmu sebelum ajalmu
tiba.”
“Bapak ibuku
telah mendahului aku. Kalau aku sebut namanya, ia tidak akan dapat bangkit dari
kuburnya.”
“Gila!,”
teriak Prabasemi.
“Mampus kau
anak gila.”
Prabasemi itu
menconcat dengan garangnya menyerang Karebet langsung mengarah ke dadanya.
Prabasemi benar-benar ingin melumpuhkan anak muda itu sebelum membunuhnya.
Karebet benar-benar akan dibunuhnya dengan cara yang pernah dilakukannya itu.
Tetapi Karebet ternyata dapat bergerak dengan lincahnya. Dengan sekali
menggeliat ia telah berhasil membebaskan dirinya dari serangan Prabasemi.
Bahkan ia sempat berkata,
“Kiai
Tumenggung, bukankah pernah memberi aku nasehat, sebagai seorang Wira Tamtama
seharusnya pantang menyerah. Sekali ia maju bertempur, maka ia akan maju terus.
Hanya kematianlah yang dapat menghentikan gerak maju itu. Nah bukankah kini aku
sedang memenuhi nasehat Ki Tumenggung itu untuk melawan Prabasemi.”
“Tutup
mulutmu, atau aku harus menyobeknya.”
“Terserahlah,
bukankah kita telah bertempur. Sobeklah kalau kau ingin.”
“Anak Setan,”
geram Prabasemi.
Sebuah
tendangan mendatar mengarah ke lambung kiri Karebet. Namun sekali ini Karebet
cukup cekatan untuk menghindarinya. Sifat-sifatnya yang aneh kini telah
menguasai otaknya, sehingga betapapun ia terkejut mengalami serangan yang
sedemikian cepatnya, namun sempat juga ia berkata,
“Prabasemi,
kita bertempur untuk satu taruhan yang ternilai harganya. Kalau aku mati, kau
akan menjadi menantu Sultan Trenggana. Sedangkan kalau kau yang mati, maka aku
akan mendapatkan dua kesempatan. Menggantikan kau sebagai Tumenggung dan
mendapatkan puteri yang cantik itu. Bukankah begitu? Tetapi bagaimanapun juga
Prabasemi, ternyata kau gila juga seperti aku. Ingatlah apabila puteri itu
kelak menjadi isterimu dan kau diangkat menjadi adipati, kesempatan yang
pertama menerima hati puteri itu adalah aku, Karebet, anak gembala yang
dipungut Sultan Trenggana dari tepi belumbang Mesjid Demak.”
“Tutup
mulutmu,” Prabasemi berteriak keras keras. Dan suaranya bergemna
bersahut-sahutan didalam rimba itu. Meskipun demikian, Tumenggung yang garang
itu terkejut bukan kepalang. Ternyata Wira Tamtama yang masih muda ini
benar-benar tangkas. Sehingga ia mampu mengelak serangannya sampai dua kali
tanpa tersentuh sama sekali. Karena itu kemarahan Tumenggung semakin
menyala-nyala seakan membakar dadanya. Dengan gigi gemeretak, sekali lagi
dikerahkannya tenaganya untuk menyerang lawannya. Sedemikian dahsyatnya,
seperti burung Rajawali yang menyambar mangsanya.
Karebet
mengerutkan keningnya. Serangan ini benar-benar berbahaya sehingga dengan
demikian maka ia tidak dapat lagi tertawa-tawa. Kini dipusatkannya perhatiannya
kepada perkelahian itu. Sekali terbersit juga kekagumannya atas lawannya yang
mampu bergerak sedemikian cepatnya, namun Karebet mampu mengimbanginya.
Sambaran burung Rajawali dapat dielakkannya, bahkan kini serangannyapun datang
seperti badai di udara. Pertempuran itu menjadi sangat serunya, karena itu
daerah sekitar perkelahian seakan akan timbul angin pusaran, daun-daun bergerak
berputaran dan daun-daun kering berguguran di tanah. Ranting ranting yang
tersambar tangan mereka berderak-derak patah berserakan. Tanah sekitar mereka
seakan telah dibajak, dan tumbuhan perdu dan batang-batang kecil telah roboh
terinjak kaki mereka. Perkelahianpun semakin lama menjadi semakin seru.
Masing-masing menjadi kagum akan keprigelan lawannya. Lebih-lebih Prabasemi. Ia
pernah mendengar kelebihan Karenet dari kawan-kawannya, namun tidak disangkanya
anak itu mampu melawannya. Karena itu maka Tumenggung benar-benar telah
kehilangan pengamatan diri. Yang ada diotaknya adalah membunuh. Karebet harus
dibunuh dengan cara apapun.
Sedang
Karebetpun sebenarnya mengagumi ketangkasan Prabasemi. Tumenggung yang masih
agak lebih tua daripadanya namun ketangkasannya telah sedemikian tinggi
sehingga karena itulah maka sepantasnya bahwa Prabasemi cepat menanjak ke
tempatnya sekarang.
Namun sayang,
Tumenggung sakti ini mempunyai sifat kejam. Terlalu bernafsukan harga diri dan
kebanggaan atas prestasi yang pernah dicapainya. Apalagi kini ia semakin gila
lagi dengan harapan yang tumbuh di dalam dirinya tentang puteri Sultan Trenggana.
Tetapi kemudian Karebetpun berkata didalam hatinya,
“Apakah aku
juga tidak gila seperti Tumenggung itu?”
Karebet
tersenyum. Tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap seperti awan disapu angin ketika
serangan Prabasemi hampir mematahkan lengannya. Sebuah pukulan gebangan yang
dahsyat mengarah kepergelangannya. Untunglah cepat ia menyadari keadaannya
sehingga ia masih sempat menarik tangannya itu bahkan ia masih mampu berputar
di atas tumitnya dan dengan tumit yang lain menyambar perut Prabasemi. Tetapi
Prabasemi tidak membiarkan perutnya menjadi sakit. Cepat ia menggeliat, dan
kaki Karebet lewat beberapa jari dari perutnya yang buncit. Perkelahian itu
berjalan semakin sengit. Prabasemi benar-benar sudah sampai puncak kemarahannya
dan Karebetpun melayani dengan sepenuh tenaga.
Tetapi
kemudian ternyata bahwa keadaan mereka agak berbeda. Prabasemi adalah seorang
Tumenggung yang menjadi sakti karena ketekunannya berlatih. Kedahsyatannya
tumbuh di dalam ruang latihan dalam keadaan yang cukup baik. Namun Karebet
adalah seorang yang aneh. Ia tidak pernah berlatih secara teratur, namun ia
tidak kalah tekunnya dari Prabasemi. Tubuhnya seakan ditempa sekitarnya. Panas
dingin dan segala macam pekerjaan yang harus dilakukannya. Berkelahi dengan
penjahat dan berjuang melindungi kawan gembala dari segala sergapan para
pencuri ternak. Pengalaman yang diperolehnya di Karang Tumaritis bersama
pamannya dan kemudian Arya Salaka, disamping Endang Widuri. Semuanya itu telah
menempa tubuh Karebet menjadi sekeras tembaga, tulangnya sekeras besi dan
ototnya seliat jalur baja. Itulah sebabnya semakin lama pertempuran itu menjadi
semakin nyata, bahwa tidak saja kelincahan dan kecepatan bergerak, namun
ketahanan jasmaninyapun Prabasemi tidak dapat menyamai Karebet. Prabasemipun
akhirnya merasakan keadaan itu. Karebet, betapapun jantungnya bergejolak dengan
dahsyat. Kemarahannya yang telah memuncak itu benar-benar telah membakar
darahnya sehingga seakan-akan mendidih.
Telah
dikerahkan segenap tenaga dan kecepatannya untuk mengalahkan lawannya, namun
Karebet ternyata memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Prabasemi menggeram.
Ia kini benar-benar menghadapi keadaan yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya. Karena itu setelah ia yakin bahwa ia tidak akan dapat
mengalahkan lawannya, maka tidak ada jalan lain kecuali menyelesaikan
perkelahian itu dengan ilmunya yang terakhir. Sebenarnya malu juga Tumenggung
melawan anak-anak yang selama ini menjadi reh-rehannya, masih harus menggunakan
ilmu simpanan yang jarang-jarang sekali dipergunakannya. Namun ia tidak
mempunyai jalan lain kecuali mengeluarkan ilmu Aji Sapu Angin. Sebenarnyalah
apabila ilmu itu dipergunakannya, maka gerak Prabasemi benar-benar seperti
menghalau angin. Ketika tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan untuk menebus
kepahitan yang telah ditimbulkan oleh Karebet, maka secepat kilat ditrapkannya
ilmu gerak itu. Dijulurkannya kedua tangannya kedepan kemudian dengan gerakan
menyentak, kedua lututnya ditarik serta ditekuknya. Kedua tangannya mengepal
dan menelentang dilambungnya. Itulah pertanda gerakan pertama dari Aji Sapu
Angin. Karebet terkejut melihat sikap itu. Tetapi ia segera menyadari bahwa
lawannya pasti mempergunakan ilmu tertingginya. Tetapi setelah bertempur
beberapa lama melawan Prabasemi, sedang tenaganya seakan tidak berkurang,
tahulah Karebet sampai dimana tingkat ilmu Tumenggung itu. Betapapun ia kagum
akan kecepatan bergerak serta tenaganya, namun ternyata masih belum dapat
menyamainya. Karena itu, ketika ia melihat Tumenggung Prabasemi mempergunakan
ajinya, maka Karebet tidak perlu tergesa-gesa mempergunakan aji Rog-Rog Asem.
Yang kini dipergunakannya adalah ilmu pertahanannya yang sudah jarang dimiliki
orang. Lembu Sekilan. Bahkan dalam pada itu, masih sempat juga Karebet berkata,
“Ait apakah
kira-kira yang akan kau lakukan Prabasemi? Agaknya kau telah terpaksa
menggunakan aji pamungkasmu?.”
“Mampus kau,”
bentak Prabasemi dengan marahnya. Tubuhnya melontar seperti tatit menyambar
Karebet.
Karebet
terkejut melihat gerak itu, karena terlalu cepat baginya. Itulah Aji Sapu Angin
sehingga kali ini Karebet benar benar tak mampu menghindari. Karena itulah maka
serangan Prabasemi kali ini tepat mengenai dada kiri Karebet. Sambaran tangan
Prabasemi yang dilambari ilmu gerak itu benar-benar terasa menghentak tulang
iga, sehingga karena itulah maka Karebet terdorong beberapa langkah. Ketika
Prabasemi merasakan bahwa serangannya mengenai korban, maka ia berteriak,
“Tataplah
langit, peluklah bumi, Karebet. Jangan rindukan lagi matahari esok pagi.”
Tetapi
alangkah terkejutnya Tumenggung ketika ia melihat Karebet terlempar beberapa
langkah surut, terbanting di tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun
kemudian dengan tangkas melenting berdiri di atas kedua kakinya yang meregang.
Sesekali ia menyeringai kesakitan namun kemudian terdengar tertawa lirih.
“Hem, alangkah
dahsyatnya ilmumu Prabasemi, apa namanya?.”
Prabasemi
menggigil karena marahnya. Betapa ia melihat Karebet masih tegak dengan mulut
tertawa.
“Anak setan,
gendruwo, tetekan,” Tumenggung itu mengumpat tak habis-habisnya.
Karebet masih
berada ditempatnya. Diantara suara tertawanya terdengar ia berkata,
“Alangkah
dahsyatnya ilmumu itu. Kalau tidak, maka ia tidak akan mampu menembus Aji Lembu
Sekilan.”
“Lembu
Sekilan?,” tanpa sadar Prabasemi mengulangi kata-kata itu. Hampir-hampir ia
tidak percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Sentuhan ajinya yang selama ini
dibanggakan, ternyata tidak mampu menembus pertahanan Lembu Sekilan. Ajinya
hanya mampu mendorong Karebet jatuh, namun anak itu tetap segar. Bahkan masih
tertawa lirih memandanginya dengan tenangnya.
Karebet masih
berdiri ditempatnya. Ketika ia melihat Tumenggung itu menjadi tegang, ia
mengejek,
“apakah kau
sudah siap dengan cara yang sama seperti kau membunuh Bahu dari Tunggul?.”
Prabasemi
memggeram, hatinya panas mendengar ejekan itu. Dengan suara gemetar ia
menjawab,
“aku akan
melakukannya lebih daripada itu!.”
“Bagaimana
kalau sebaliknya?,” balas Karebet.
Dada Prabasemi
hampir meledak karenanya. Karena itu maka sekali lagi ia tidak memberi
kesempatan kepada lawannya. Dengan cepat ia meloncat melontarkan pukulan ke
wajah Karebet. Kali inipun Karebet kalah cepat dari Sapu Angin, sekali lagi ia
terdorong surut beberapa langkah meskipun tidak sampai terbanting jatuh.
Meskipun demikian wajahnya terasa panas dan kepalanya sedikit pening. Karena
itu ia mengumpat dalam hatinya,
“Gila juga Aji
orang ini.”
Namun
Prabasemi ternyata tidak memberinya kesempatan. Sekali lagi ia meloncat, dan
serangannya kini mengarah ke perut Karebet. Karebet yang percaya benar kepada
aji Lembu Sekilannya segera memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu.
Kali ini Karebet benar benar telah dapat menguasai keseimbangan antara kekuatan
lawannya dan kemampuan Ajinya. Akibatnya sekalipun serangan Prabasemi
membenturnya namun Karebet tidak lagi terdorong karenanya. Bahkan kemudian anak
muda aneh itu melawan sejadi-jadinya. Dikerahkannya segenap kemampuan yang
setinggi-tingginya. Namun ia sama sekali belum mempergunakan Aji Rog-Rog
Asemnya.
Meskipun
demikian ternyata Karebet tidak segera dapat dikuasai lawannya.
Serangan-serangan Karebet tidak begitu berbahaya dalam benturan dengan ajian
lawannya, namun karena Lembu Sekilan, maka Karebet tidak merasakan bahwa lawan
telah mencurahkan segenap kemampuan yang ada padanya, bahkan sudah sampai pada
tahap ilmu yang terakhir. Prabasemi semakin lama semakin cemas dan bingung.
Benar-benar tak disangka-sangkanya bahwa Karebet memiliki kemampuan sedemikian
tingginya. Semula disangkanya bahwa lurah Wira Tamtama muda ini tidak lebih
jauh terpaut dari kawan-kawannya. Tetapi Karebet benar-benar seperti anak
setan. Karebetpun semakin lama semakin menyadari akan kemampuannya. Betapapun
Prabasemi mengerahkan Aji Sapu Angin, namun Lembu Sekilan masih mampu
mengatasinya sehingga dengan demikian maka seakan-akan Prabasemi sama sekali
tidak mendapat kesempatan untuk melawan. Meskipun ajinya juga mampu mengurangi
tekanan tangan Karebet yang menyentuh tubuhnya, namun sebenarnya terasa oleh
Prabasemi, bahwa Karebet telah mampu melampauinya. Tetapi semuanya sudah
terlanjur. Ia tidak dapat menarik lagi ucapannya. Ia sudah berkata bahwa ia
akan membunuh Karebet itu. Maksud itu tak akan diurungkan. Dan anak muda itupun
berkata bahwa mereka berkelahi untuk satu taruhan. Karena itu, maka tidak ada
satupun jalan untuk menghindarkan diri dari perkelahian itu. Dan terbayanglah
diwajah Tumenggung, bahwa saat-saat terakhirnya telah tiba. Ia sama sekali
tidak akan dapat membunuh Karebet, tetapi justru Karebet yang mampu
membunuhnya.
PRABASEMI
bukanlah seorang penakut. Ia adalah seorang Tumenggung Wira Tamtama, yang sudah
berpuluh kali berjuang melawan maut. Telah berpuluh kali ia membunuh lawannya,
dan bahwa suatu ketika salah seorang lawannya akan membunuhnya, benar-benar
sudah diramalkannya. Karena itu, apabila ia kali ini mati dalam perkelahian,
maka ia tidak akan menjadi gentar. Meskipun demikian, ada juga suatu yang
bergetar di dalam dadanya. Ia sama sekali tidak takut mati. Namun mati karena
anak muda yang aneh itu rasa-rasanya tidak senang juga. Walaupun demikian,
Prabasemi harus menyadari keadaannya. Perkelahian itu menjadi semakin seru
pula. Aji Sapu Angin adalah Aji yang cukup dahsyat, sehingga apabila Aji itu
menyentuh dahan-dahan kayu di sekitar perkelahian itu maka terdengarlah
suaranya berderak-derak patah. Pohon-pohon muda dan cabang-cabang pepohonan.
Karena itu, maka di daerah perkelahian itu seakan-akan telah tertiup angin
prahara yang menggoncangkan pepohonan serta menggugurkan pepohonan serta
menggugurkan daun-daunnya. Apabila pertempuran itu terjadi di siang hari, maka
dari kejauhan akan nampaklah daun-daun yang berguncang-guncang dan akan tampak
pulalah dahan-dahan yang patah berhamburan, karena kedahsyatan Aji Sapu Angin.
Tetapi karena Aji Sapu Angin itu tidak mampu menembus sampai keintinya Aji
Lembu Sekilan, maka kesempatan Karebet untuk mengenai lawannya, jauh lebih
banyak dari Prabasemi. Berkali-kali Prabasemi terpaksa menyeringai kesakitan
dan berkali-kali ia terpaksa menyeringai pula karena kekecewaan. Serangannya
telah benar-benar mengenai sasarannya, tetapi Karebet seolah-olah telah menjadi
kebal.
Namun kemudian
ternyata, betapa dahsyatnya Aji Sapu Angin itu, tetapi sebenarnyalah bahwa
kekuatan jasmaniah Tumenggung Prabasemi itu terbatas. Setelah ia memeras
tenaganya dalam kekuatan Aji Sapi Angin, maka terasalah getaran-getaran ilmu di
dalam dadanya menjadi susut. Sejalan pula dengan itu, maka kegarangan
Tumenggung Wira Tamtama itu menjadi susut pula. Baik Prabasemi sendiri, maupun
Karebet, segera melihat apa yang sebenarnya terjadi. Prabasemi kemudian merasa
peluh dingin memancar dari segenap tubuhnya, bukan karena ia takut mati, tetapi
sebenarnya ia menjadi sangat malu atas kekalahannya itu. Kekalahan yang tak
pernah dibayangkannya. Kekalahan dari seorang anak yang lebih muda daripadanya
dan reh-rehannya pula dalam keprajuritan. Anak itu tidak lebih dari seorang
lurah Wira Tamtama.
“Apa boleh
buat” desisnya,
“Kalau
mungkin, biarlah kita mati bersama”, katanya dalam hati.
Kini Karebet
mendapat kesempatan lebih banyak lagi dari beberapa saat sebelumnya. Dan
ternyata pula, karena kemuakannya atas Tumenggung itu, maka kesempatan itu pun
dipergunakan sebaik-baiknya. Dengan lincahnya ia bergerak-gerak menyerang dengan
dahsyatnya. Tangannya yang sepasang itu bergerak-gerak dari segenap arah,
menyerang hampir ke setiap permukaan tubuh Prabasemi. Dan terasalah ujung
tangan itu menyengat-nyengat seperti kerumunan beribu-ribu lebah. Meskipun
demikian Prabasemi sama sekali tidak menyerahkan dirinya ditelan oleh
kegarangan lawannya. Dipergunakannya setiap kesempatan yang masih ada. Namun
kembali ia kecewa, Ajinya tidak dapat menembus Lembu Sekilan sampai keintinya,
sehingga Karebet, seakan-akan hanya bergetar sedikit, untuk kemudian meloncat
maju dengan garangnya. Maka lambat laun, tenaga Tumenggung Prabasemi itu pun
terperas habis. Tubuhnya menjadi semakin lama semakin lemah, dan
serangan-serangan Karebet semakin menekannya. Akhirnya Prabasemi yang garang
itu benar-benar kehabisan tenaga. Ketika ia sempat menengadahkan wajahnya,
dilihatnya warna semburat merah membayang dilangit yang biru.
“Hampir
fajar”, keluhnya.
“Fajar
terakhir”.
Prabasemi itu
sudah tidak dapat mengeluh lagi. Dengan dahsyatnya Karebet meloncat menyambar wajahnya
dengan sisi telapak tangannya.
TUMENGGUNG
Prabasemi terguncang, dan kemudian terbanting jatuh. Terasa kepalanya menjadi
pening dan nafasnya menjadi sesak. Tetapi ia adalah seorang Tumenggung Wira
Tamtama. Setiap kali ia berteriak-teriak di hadapan anak buahnya, bahwa tak ada
kemungkinan melangkah mundur bagi Wira Tamtama. Yang ada, maju terus atau mati.
Demikianlah pendiriannya itu tetap dipertahankannya sampai saat-saat yang
paling berbahaya bagi hidupnya. Betapa pun kepalanya pening dan pedih-pedih di
dalam dadanya, namun Prabasemi itu masih berusaha untuk tegak kembali.
Dicobanya untuk menyamar kaki Karebet dengan kakinya. Namun dengan lincahnya
Karebet itu meloncat, dan seperti gunung yang runtuh menimpa dadanya, kaki
Karebet itu tepat menghantam tulang-tulang iga Tumenggung Prabasemi yang sudah
sedemikian lemahnya. Sekali lagi Tumenggung Prabasemi terlempar beberapa
langkah dan kembali ia terbanting di tanah. Terdengar Tumenggung itu menggeram.
Karebet masih melihat, dengan gemetar, Prabasemi mencoba berdiri. Namun ketika
ia bertumpu pada kedua kakinya, kembali Prabasemi terjatuh tertelungkup.
Karebet itu segera meloncat ke depan. Kebenciannya kepada Tumenggung itu
benar-benar meluap sampai keubun-ubunnya. Karena itu, dengan sebelah tangannya,
diraihnya baju Prabasemi yang dibuat dari beludru. Ketika tubuh Prabasemi itu
terangkat, sekali lagi tangan Karebet menyambar dagunya. Kali ini wajah
Prabasemi terangkat, dan Tumenggung itu terlempar jauh melentang. Karebet yang
masih dikuasai oleh kemarahannya itu segera meloncat menyusul, namun tiba-tiba
terasa dadanya berdesir tajam. Ketika ia melihat wajah Tumenggung itu, maka
tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar. Ia terkejut ketika tampak samar-samar
darah meleleh dari mulutnya. Dan Tumenggung itu kini sama sekali tak
bergerak-gerak lagi.
“Mati?”
tiba-tiba terlontar kata-kata itu dari mulut Karebet. Dan karena itu ia menjadi
gemetar karenanya.
Perlahan-lahan
ia maju mendekati. Ketika diraba dada Tumenggung itu, terdengar Karebet
berdesis,
“Masih hidup”.
Tiba-tiba
timbullah kecemasan dihati anak muda yang aneh itu. Kalau dirinya mati, maka
tak seorangpun yang akan mencarinya, setidak-tidaknya dalam waktu yang dekat.
Tetapi kalau Tumenggung yang mati, maka pasti segera akan diketahui, Sultan
Trenggana tahu benar, bahwa Tumenggung Prabasemi pergi mengantarkannya sampai
keluar kota. Kalau kemudian Tumenggung itu hilang, dan tidak kembali ke
rumahnya maka Sultan segera akan mengetahuinya, bahwa setidak-tidaknya Karebet
mengetahuinya apakah yang terjadi. Karena itu, maka Sultan Trenggana pasti akan
menjadi sangat murka. Mungkin sekali disebarkannya beberapa orang untuk
menangkapnya. Hidup atau mati. Sekali lagi Karebet meraba tubuh Prabasemi. Ia
menjadi sedikit berlega hati, ketika ia yakin bahwa Tumenggung itu benar-benar
belum mati.
“Kenapa aku
takut, seandainya Sultan akan berusaha menangkapku?” tiba-tiba terdengar suara
di dalam relung hatinya.
“Hukuman mati
hanya akan dijatuhkan satu kali. Bukankah Tumenggung ini kalau masih hidup
pasti akan berusaha membunuhku pula?”
Tetapi
tiba-tiba Karebet menundukkan wajahnya. Sebenarnya Karebet sama sekali tidak
takut pada hukuman mati itu. Kini ia telah mengenal apa yang sebenarnya sedang
bergolak di dalam dadanya. Bukan suatu perasaan takut, tetapi suatu perasaan
yang jauh lebih berharga dari itu. Tiba-tiba saja, terasa betapa kemurahan hati
Sultan telah melimpah kepadanya. Betapa Sultan Trenggana berusaha mengurangi
kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Limpahan kemurahan hati sejak ia
dipungut oleh Baginda dari tepi kolam, kemudian diangkat menjadi Wira Tamtama.
Bahkan dalam waktu singkat Baginda telah menganugerahkan pangkat Lurah.
Karebet
menarik nafas dalam-dalam. Apalagi kalau pamannya kelak mengetahui apa yang
sudah dilakukannya. Membunuh dan karena itu ia dihukum mati. Maka kembali
tubuhnya mengigil. Sekali lagi diawasinya tubuh yang terlentang tidak bergerak
itu. Perlahan-lahan Karebet berdiri melangkahi tubuh Prabasemi. Diangkatnya
kedua tangannya dan perlahan-lahan digerakkannya.
“Kiai, Kiai
Tumenggung” panggilnya.
Tetapi
Prabasemi tidak menjawab. Karena itu Karebet menjadi bertambah bingung. Ketika
sekali lagi ia menggerakkan tangan itu, maka sekilas dilihatnya sebuah kamus
bertimang tretes intan berlian melingkar diperut Tumenggung itu.
“Hem”
desisnya, “Sebuah timang yang mahal.”
KAREBET
menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar menjadi cemas. Kalau
ditinggalkannya tubuh ini, maka mungkin sekali akan menjadi hidangan pesta bagi
serigala-serigala lapar. Atau kalau seorang pencari kayu melihatnya, dan
melihat timang itu, ada kemungkinan pula Tumenggung yang pingsan itu
dibunuhnya, hanya karena timang dan permata-permatanya. Karebet semakin lama
semakin gelisah. Akhirnya ia tidak dapat menemukan suatu cara yang lain
daripada membiarkannya sampai sadar. Tetapi dengan demikian, ia terpaksa
menunggunya. Dengan dada yang berdebar-debar, Karebet kemudian berjalan
hilir-mudik di samping tubuh Prabasemi. Setiap kali ia mendengar gemersik
daun-daun kering, ia menjadi terkejut. Betapa marahnya ketika tiba-tiba dari
balik rimbunnya dedaunan perdu, Karebet melihat seekor serigala mengintai tubuh
yang terbaring itu. Dengan lidah yang terjulur panjang dan air liur yang
menetes satu-satu.
“Biasanya
serigala liar berjalan beriring-iring,” desisnya.
Namun ia tidak
peduli. Diraihnya sebuah batu dan dengan sekuat tenaga, tenaga Mas Karebet yang
sedang marah dilemparinya serigala itu. Terdengar serigala itu melengking
tinggi. Kemudian diam. Dari kepalanya mengalir darah yang merah segar. Sesaat
kemudian terdengarlah beberapa ekor serigala yang lain, mengaum-aum dengan
ributnya. Namun semakin lama semakin jauh.
“Hem,” gumam
Karebet, “Benar juga mereka datang berbondong-bondong.”
Kini kembali
Karebet merenungi wajah Prabasemi yang pucat itu. Anak muda itu hampir
berteriak kegirangan ketika dilihatnya Prabasemi bergerak-gerak. Seperti
anak-anak mendapat mainan, Karebet segera meloncat mendekatinya. Sambil
mengguncang-guncangkan tubuh itu, dipanggilnya nama Tumenggung itu,
“Kiai, Kiai
Tumenggung.”
Tetapi
Prabasemi belum mendengar suara itu. Namun sekali lagi tampak ia menggerakkan
kepalanya.
Sebenarnya
tubuh Tumenggung itu adalah tubuh yang luar biasa. Kekuatan yang tersimpan
didalamnya telah menolongnya, menghindarinya dari kematian. Karena itu, ketika
angin fajar mengusap wajahnya maka perlahan-lahan terasa darahnya seakan-akan
mengalir kembali. Namun ketika sekali lagi Karebet melihat Tumenggung itu
bergerak, maka timbullah pikirannya untuk tidak menampakkan dirinya lagi. Kalau
Tumenggung itu kemudian menjadi sadar, dan memaki-makinya, maka Karebet akan
takut kalau ia justru sekali lagi menjadi lupa diri. Maka ketika dilihatnya
Tumenggung itu menggeliat, Karebet segera meloncat ke balik-balik gerumbul,
tidak begitu jauh dari tempat Prabasemi itu berbaring. Tumenggung yang malang
itu perlahan-lahan menggeliat. Kemudian terdengar ia mengeluh pendek.
Karebet yang
bersembunyi di balik gerumbul mengawasinya dengan tegang. Apakah Tumenggung itu
masih mampu untuk berjalan kembali ke Demak? Ketegangan wajah Karebet itu
semakin lama menjadi semakin kendor. Prabasemi betapapun terasa seakan-akan
segenap tulang belulangnya tidak bersambung lagi, namun ia berusaha
menggerak-gerakkan tangannya. Kemudian kakinya.
“Hem….”
Prabasemi kembali mengeluh pendek. Mulutnya yang lebar tampak menyeringai
menahan sakit. Namun kini, kesadarannya telah berangsur-angsur pulih kembali.
Kemudian dicobanya menggerakkan kepalanya, memandang tempat-tempat di
sekitarnya. Dengan geramnya ia menggeram.
“Di mana setan
itu?”
Tetapi kembali
ia menyeringai. Punggungnya benar-benar serasa patah. Karena itu, dibiarkannya
tubuhnya terbaring untuk beberapa lama. Di langit bintang-gemintang menjadi
semakin lama semakin pudar. Dari timur telah membayang cahaya kemerah-merahan,
dan sayup-sayup terdengar suara ayam hutan berkokok bersahut-sahutan. Prabasemi
menarik nafas.
“Ternyata aku
masih hidup,” desahnya.
Dan kini
dicobanya perlahan-lahan untuk menggerakkan seluruh tubuhnya. Dengan hati-hati
ia memiringkan dirinya untuk kemudian bertelekan pada sebelah tangannya.
Prabasemi berusaha untuk duduk.
Tetapi kembali
dengan lemahnya ia terkulai di tanah.
“Gila!”
geramnya. Karebet yang melihat kesulitan itu, menjadi kasihan juga kepadanya.
Namun ia sudah bertekad untuk tidak menemuinya lagi. Karena itu, betapapun
keinginannya untuk menolongnya, keinginan itu ditahannya kuat-kuat. Akhirnya,
betapapun Prabasemi mengalami kesulitan, akhirnya ia mampu untuk duduk dan
tertelekan kedua tangannya. Sekali-sekali terdengar ia berdesis. Namun kemudian
menggeram penuh kemarahan. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Bahkan
kemudian ia berteriak
“He, di mana
kau?”
NAFAS
Prabasemi menjadi terengah-engah. Dan kepalanya ditundukkannya. Tetapi tubuh
Prabasemi itu benar-benar tubuh yang mempunyai daya tahan mengagumkan. Beberapa
saat kemudian, maka telah dicobanya untuk menggerak-gerakkan kakinya.
Sekali-kali dicobanya untuk berjongkok dan kemudian dengan tertatih-tatih dan
berpegangan pada batang-batang pohon. Tumenggung itu mencoba untuk berdiri.
“Luar biasa,”
kata Karebet di dalam hatinya.
“Baru beberapa
saat ia terkapar hampir mati. Namun kini ia telah mampu untuk berdiri.”
Sekali lagi
Tumenggung itu memandang berkeliling. Ia benar-benar sedang mencari Mas
Karebet. Namun anak itu tidak dilihatnya. Karena itu dengan geramnya ia
berteriak,
“He Karebet,
anak setan. Jangan bersembunyi.”
Karebet
mengumpat di dalam hatinya.? Benar-benar orang ini keras hati. Setelah nyawanya
singgah di ujung ubun-ubun, masih juga ia berteriak-teriak.?
“He Karebet,
pengecut,” katanya.
“Tidak
sepantasnya Wira Tamtama melarikan diri.”
“Gila!”
Hampir-hampir Karebet menjawab kata-kata itu. Untunglah segera disadarinya,
bahwa sebenarnya, ia tidak dapat melangkahi limpahan kemurahan hati Sultan
Trenggana. Dengan penuh kemarahan, terdengar Tumenggung itu bergumam,
“Awas kau
Karebet. Pada suatu ketika akan datang saatnya, aku mencarimu dan dengan
tanganku aku bunuh kau seperti aku membunuh Bahu dari Tunggul.”
Sekali lagi
Karebet mengumpat di dalam hati. Namun dibiarkannya Tumenggung itu berjalan
terhuyung-huyung. Dengan tangan yang gemetar, ia berpegangan dari satu pohon ke
pohon berikutnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dan dilihatnya seberkas
cahaya terlempar di atas pepohonan, ia berdesis,
“Hari telah
pagi.”
Dan karena
itulah maka langkahnya terhenti. Tumenggung itu menjadi ragu-ragu. Apakah
katanya nanti, kalau ia bertemu dengan seseorang di perjalanan pulang?
Diamat-amati pakaiannya. Kemudian dengan tergesa-gesa dilihatnya timangnya.
“Hem. Masih
lengkap,” gumannya. Dengan hati-hati dicobanya untuk memperbaiki letak
pakaiannya, dan sejenak kemudian, kembali ia terhuyung-huyung berjalan
meninggalkan tempat yang terkutuk itu.
Sepeninggal
Tumenggung Prabasemi, Karebet keluar dari persembunyiannya. Sekali ia menarik
nafas panjang. Kemudian gumannya, “Luar biasa. Luar biasa. Ia masih mampu
berjalan.”
Kemudian ia
menjenguk dari balik dedaunan. Prabasemi benar-benar telah berjalan dengan
baik, walaupun sekali-kali masih harus berhenti, menekan punggungnya dengan
kedua tangannya. Kini Karebet tinggal melihat ke dalam dirinya. Setelah Prabasemi
hilang di antara pepohonan, kembali ia menjadi bingung. Apakah yang akan
dilakukannya, dan akan kemanakah ia? Beberapa saat Karebet diam termenung.
Bahkan kemudian ia pun duduk di tanah yang seakan-akan baru saja dibajak oleh
kaki-kakinya dan kaki Tumenggung Prabasemi. Tiba-tiba Karebet pun tersenyum,
gumamnya seorang diri,
“Kasihan
Tumenggung itu. Untunglah aku menyadari keadaannku, sebelum aku membunuhnya.”
Sebenarnya
Tumenggung Prabasemi mendendam Karebet sampai tujuh turunan. Sepanjang jalan tak
habis-habisnya ia mengumpat-umpat. Meskipun demikian, Tumenggung Prabasemi itu
terpaksa mengakui, bahwa anak itu mempunyai beberapa kelebihan daripadanya.
Ketika Tumenggung Prabasemi sampai di pinggir hutan, dan melihat sawah yang
terbentang di hadapannya, ia menjadi ragu-ragu. Dalam keadaannya itu, pasti
semua orang yang bertemu di sepanjang jalan akan menertawakannya. Meskipun ia
tidak melihat wajahnya sendiri, tetapi ia dapat membayangkan, betapa noda-noda
merah biru telah memenuhi wajahnya. Apalagi ketika ia melihat beberapa noda
darah yang meleleh dari mulutnya, mengotori baju beludrunya.
“Setan. Anak
setan,” umpatnya tak habis-habisnya .
Akhirnya
Tumenggung Prabasemi terpaksa menunggu di tepi hutan itu sampai malam datang
kembali. Ia tidak mau seorang pun yang melihatnya dalam keadaan itu. Apalagi
bila seorang Wira Tamtama melihatnya. Maka ia tidak akan dapat menjawab,
apabila mereka bertanya, apakah sebabnya. Sekali lagi Prabasemi mengumpati
Karebet. Terpaksa ia mencari setetes air untuk minum hari itu. Untunglah, bahwa
di bawah sebatang pohon benda, diketemukannya mata air kecil yang segar. Namun
kemudian dihabiskannya waktunya dengan mereka-reka, apakah yang dapat
dilakukannya untuk membalas dendam. “Hem,” katanya kemudian,
“Aku tidak
akan dapat melakukannya sendiri. Aku tidak takut. Aku tidak takut!” teriaknya,
seakan-akan seseorang telah menuduhnya.
“Tetapi Sultan
akan mengetahuinya, dan menghukumku.”
Tiba tiba
Prabasemi tersenyum,
“bodohnya aku,
bukankah aku bisa minta bantuan kakang Sembada?”
Kemudian
Prabasemi mengangguk angguk dan tersenyum sendiri dengan puasnya. Sembada
adalah seorang yang dapat membantunya. Tetapi ketika disadarinya keadaannya
kini, kembali Prabasemi mengumpat. Terpaksa ia menunggu sampai malam.
“Kakang
Sembada harus berangkat malam nanti,” desisnya.
Hari itu
terasa betapa panjangnya. Dengan gelisah Prabasemi berjalan hilir mudik di
dalam hutan. Sekali kali ia membaringkan tubuhnya di atas rumput-rumput
keringt, namun kembali ia berjalan hilir mudik. Namun udara hutan yang segar
telah menyegarkan badannya pula. Berangsur-angsur tenaganya menjadi pulih
kembali. Nafasnya telah tidak terasa sesak, dan tulang iganya sudah tidak
terlalu nyeri. Tetapi matahari benar-benar sangat menjemukannya. Akhirnya,
ketika Prabasemi hampir-hampir tidak sabar lagi, maka matahari itupun tenggelam
diujung Barang. Cahayanya yang merah menyala diujung bukit dan ditepi awan yang
mengambang di langit. Namun kemudian tabir yang hitam kelam seolah turun dari
langit, merayap keseluruh permukaan bumi.
Prabasemi
menarik napas dalam-dalam. Kemudian dengan cepatnya ia meloncat setengah
berlari pulang ke rumahnya. Di sepanjang jalan hatinya berdebar-debar. Ia sudah
pasti dicari oleh anak buahnya. Mudah-mudahan Baginda tidak mencarinya.
Dan apa yang
disangkanya itu benar-benar terjadi. Ketika Prabasemi hampir sampai dirumahnya,
dilihatnya beberapa orang prajurit Wira Tamtama berjaga-jaga. Ketika salah
seorang melihatnya maka tiba-tiba prajurit itu berteriak,
“Itu Kiai
Tumenggung Prabasemi.”
Beberapa
kawan-kawannya yang lainpun segera berkumpul. Seakan-akan mereka melihat
sesuatu yang belum pernah mereka lihat.
Prabasemi
datang dengan langkah tegap. Meskipun kakinya masih terasa agak sakit, namun
sama sekali ia tidak timpang. Ia berjalan seorang diri seperti sedang berlatih
berjalan dalam barisan. Sebelum prajurit itu bertanya kepadanya, maka
Tumenggung yang malang itu mendahului membentaknya,
“Apa yang
kalian kerjakan di sini?”
Prajurit yang
dibentaknya itupun menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Kami mencemaskan
Kiai Tumenggung. Sehari ini kami tidak melihat kiai. Ketika kakang lurah
Santapati menghadap Kiai, maka dijumpainya rumah ini kosong, sehingga kakang
lurah menjadi bingung.”
“Setelah
kakang lurah menunggu sampai tengah hari, dan Kiai Tumenggung tidak juga
datang, maka kakang lurah memerintahkan beberapa orang mencari Kiai, dan
beberapa orang diperintahkannya untuk berjaga-jaga di sini.”
“Gila, dimana
Santapati?.”
“Di belakang.”
“Panggil dia”
Seorang
prajurit segera berlari kebelakang memanggil Santapati. Santapati yang dengan
gelisahnya duduk di serambi belakang, menjadi sangat terkejut ketika ia melihat
seorang prajurit berlari-lari.
“Ada apa?”
“Ki Tumenggung
sudah datang.”
“Di mana
sekarang?”
“Di serambi
belakang. Kakang Santapati dipanggil oleh Kiai Tumenggung.”
Cepat-cepat
Santapati berlari ke serambi depan untuk menemui Tumenggungnya. Beberapa
pelayan Prabasemi yang mendengar laporan itu menjadi gembira pula karena
meskipun Prabasemi selalu membentak-bentak mereka, namun kalau maksudnya
tercapai, tidak segan-segan Tumenggung yang garang itu memberi mereka hadiah.
Di serambi depan, Santapati melihat Tumenggung duduk dengan garangnya. Karena
itu segera ia mengangguk hormat sambil berkata,
“Selamat
datang Ki Tumenggung.”
Tumenggung itu
memandangnya dengan tajambya. Kemudian katanya parau,
“He. Apa yang
kau kerjakan di sini?”
“Kami menjadi
gelisah karena Kiai Tumenggung tidak kami temukan sehari tanpa kami ketahui
kemana perginya.”
“Gila kau,
Bukankah aku Tumenggung Prabasemi? Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diriku
sendiri. Aku sudah cukup mampu berbuat apa saja kehendakku. Apa kau sangka aku
memerlukan kalian?”
“Ampun kiai.
Kami hanya gelisah tidak tahu apa uang harus kami lakukan. Kami mencoba mencari
Kiai.”
“KAU sangka
aku hilang? Diculik orang? He, kau sangka ada orang di seluruh Demak yang mampu
menculik Tumenggung Prabasemi?”
“Tidak Kiai.”
Santapati menjadi ketakutan.
“Kami hanya
mencoba untuk menghubungi Kiai.”
“Bodoh
kalian,” gumam Prabasemi.
“Tetapi
biarlah aku maafkan kau kali ini.” Tumenggung itu berhenti sejenak, kemudian
diteruskannya,
“Nah, katakan
apa yang telah terjadi sehari ini?”
“Tidak ada
apa-apa, Kiai. Selain Kiai Tumenggung yang kami anggap hilang.”
“Tutup
mulutmu!” bentak Prabasemi.
“Jangan sebut
itu lagi. Aku tidak hilang, tahu. Aku sedang memenuhi impianku semalam. Aku
harus pergi ke hutan Santi. Dan sebenarnya aku telah mendapat sesuatu di sana.”
“Apa itu
Kiai?” Tiba-tiba Santapati bertanya.
“Apa? Kau akan
meniru aku? Sampai gila kau tak akan mendapatkan apapun di tempat itu.”
Santapati
berdiam diri. Ia percaya bahwa Prabasemi baru datang dari hutan kecil itu.
Pakaiannya sedemikian kotornya, bahkan tubuhnya pun kotor pula. Wajah
Tumenggung itu nampak aneh. Ketika Prabasemi merasa bahwa Santapati itu
mengawasinya tanpa berkedip maka teriaknya,
“Apa yang kau
lihat?”
Santapati
terkejut mendengar pertanyaaan itu. Karena itu dengan tergagap ia menjawab,
“Tidak apa-apa
Kiai.”
Tumenggung
Prabasemi mengerutkan keningnya. Dengan nada yang tinggi ia berkata,
“Lihat, apa
yang telah terjadi di hutan Santi itu. Aku telah bergumul dengan bahureksa
hutan itu. Seekor serigala belang.”
“Oh,”
Santapati terkejut.
“Untung aku
berhasil membunuhnya.”
Santapati
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh kekaguman. Ia tidak melihat
Prabasemi membawa senjata apapun. Namun Tumenggung itu berhasil membunuh seekor
harimau belang.
“Nah,” kata
Tumenggung itu kemudian,
“Kalian
sekarang harus pergi. Biarlah aku beristirahat. Tetapi katakan kepadaku, apakah
kau masih melihat Karebet sehari ini?”
No comments:
Post a Comment