Bagian 095


TUBUH Karebet benar-benar menggigil. Sedang Tumenggung Prabasemi masih berkata,
“Selama kau masih hidup Karebet, maka perubahan keadaan akan memungkinkan kau untuk kembali ke istana, dan memungkinkan kau berceritera tentang aku. Karena itu, malang benar nasibmu, bahwa aku diperbolehkan mengantarmu sampai ke luar kota. Agaknya betapa besar dosamu, namun Baginda masih juga sayang kepada nyawamu. Sehingga kau masih akan diberi kesempatan untuk pergi ke Bergota. Tetapi dengan demikian Karebet, aku benar-benar tak akan mendapat kesempatan seperti ini. Tetapi sekarang kau bukan apa-apa lagi. Kalau kau mati di sini dan mayatmu dimakan oleh serigala, maka Baginda tidak akan bertanya tentang kau. Kau dengar?”
Wajah Karebet tiba-tiba menjadi merah menyala. Namun terdengar suaranya gemetar.
“Tetapi apakah dengan demikian Kiai Tumenggung tidak melanggar perintah Baginda?”
“Melanggar atau tidak melanggar, tak seorangpun yang akan mengetahuinya.”
“Tetapi apakah Kiai Tumenggung berhak berbuat demikian? Baginda telah memutuskan, bahwa aku dibebaskan dari hukuman mati. Aku hanya diusir dari Demak. Kenapa Tumenggung akan berbuat melampaui putusan Baginda?”

Tumenggung Prabasemi tertawa. Ia menjadi sedemikian senangnya melihat Karebet gemetar. Karena itu katanya,
“Karena itu. Karebet. Kau jangan terlalu berani menghina Tumenggung Prabasemi. Aku tidak peduli keputusan yang telah dijatuhkan oleh Baginda. Aku akan berbuat dalam tanggungjawabku. Dan Baginda tidak akan mengetahui, apa yang telah aku lakukan.”
“Tetapi lambat laun Baginda akan mendengarnya juga. Malam ini aku pergi bersama Kiai Tumenggung. Kalau kemudian aku mati, maka sudah pasti Kiai yang membunuhnya.”
“Tak seorang pun akan menemukan mayatmu. Mayatmu besok sebelum fajar sudah akan habis menjadi makanan serigala. Dan kalau kau tidak nampak lagi, maka semua orang pasti hanya menyangka bahwa kau benar-benar sedang menjalani hukuman itu.” Karebet kini tidak dapat berkaka apapun lagi. Tetapi tubuhnya benar-benar gemetar seperti kedinginan. Bahkan kadang-kadang terdengar giginya gemeretak.
Sedangkan Tumenggung Prabasemi masih juga tertawa dan berkata,
“Jangan menyesal saat ini. Semuanya telah terlambat. Aku telah sampai pada suatu keputusan, melenyapkan kau. Tak ada suatu masalah pun yang mengubah rencanaku itu. Meskipun demikian aku bukan seorang yang kejam. Karena itu aku beri kesempatan kau memilih cara yang kau kehendaki menjelang kematianmu itu. Ketahuilah Karebet. Aku akan dapat membunuhmu dengan sekali pukul pada tengkukmu, dadamu atau punggungmu. Nah, sekarang katakanlah, manakah yang harus aku pukul supaya kau…”
“Diam!” Tiba-tiba Karebet yang gemetar itu membentak lantang.

Tumenggung Prabasemi terkejut sehingga kata-katanya terputus. Kini ia tidak tertawa lagi. Ditatapnya tubuh Karebet yang gemetar. Namun ternyata Tumenggung itu salah sangka. Karebet sama sekali tidak gemetar karena ketakutan, tetapi anak muda itu gemetar karena kemarahannya yang telah menjalari seluruh urat darahnya. Sedemikian marahnya anak muda itu, sehingga justru mulutnya jadi terbungkam. Yang berkata kemudian adalah Tumenggung Prabasemi,
“Karebet, apakah kau sudah menjadi gila, sehingga kau berani membentak aku? Jangan berbuat sesuatu yang akan mencelakakan dirimu. Cara untuk membunuh seseorang ada beberapa macam. Jangan memilih yang paling mengerikan yang dapat aku lakukan.”
Dada Karebet seakan-akan terguncang-guncang mendengar kata-kata Tumenggung Prabasemi itu. Hampir-hampir saja ia tidak dapat menahan kemarahannya. Namun tiba-tiba ia menyadari kebebasannya. Kebebasan seperti yang pernah dimilikinya sebelum ia menjadi seorang prajurit Wira Tamtama. Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa tidak ada suatu apapun yang mengikatnya. Tak ada ikatan hubungan apapun lagi antara dirinya dengan Tumenggung itu, bahkan antara dirinya dengan tatacara Keprajuritan. Karena itu ketika ia melihat kepuasan yang membayang di wajah Tumenggung Prabasemi, anak muda itu menjadi geli. Lenyaplah segala kemarahannya, dan bahkan kini seakan-akan anak muda itu diberi kesempatan untuk bermain. Karena itu tiba-tiba ia tersenyum, senyum yang aneh
“Tidak Prabasemi, aku tidak menyangka engkau sedang bermain-main,” jawab Karebet.
“He, apa katamu?, kau hanya njangkar saja menyebut namaku?”

Karebet itu kini tidak hanya sekedar tersenyum. Penyakitnya benar-benar telah kambuh. Karena itu ia tertawa tergelak-gelak, sehingga Tumenggung Prabasemi menjadi sedemikian herannya.
“Apakah anak ini menjadi gila karena ketakutan?,” katanya didalam hati. Namun ternyata jawaban Karebet meyakinkannya bahwa anak itu tidak gila.
“Prabasemi. Aku kini telah menjalani hukumanku. Karena itu aku bukan Wira Tamtama lagi. Sekarang aku bukan lagi berada di bawah pimpinanmu, sehingga antara Karebet dan Prabasemi tidak ada lagi tataran yang mengharuskan aku menghormatimu. Kalau kau sebut namaku begitu saja, maka akupun berhak memanggilmu tanpa sebutan apapun. Prabasemi, begitu saja. Ya Prabasemi. Prabasemi, kau dengar ?”
“Setan,” geram Prabasemi. Kini ia tidak saja dipenuhi dendam didadanya, tetapi kemarahannyapun telah melonjak ke ubun-ubun. Dengan parau ia berkata,
“He Karebet, apakah kau sudah gila. Sudah kukatakan kepadamu, bahwa aku memberi kesempatan kepadamu untuk memilih cara yang sebaik-baiknya untuk mati. Sekarang kau menumbuhkan kemarahanku, sehingga kesempatan itu aku cabut kembali. Sekarang dengarlah, aku akan membunuhmu seperti saat aku membunuh Bahu dari Tunggul. Kau ingat? jangan melawan, supaya aku tidak menjadi marah.”

Betapapun juga, bulu roma Karebet meremang. Prabasemi pernah membunuh Bahu dari Tunggul dengan cara mengerikan karena Bahu melawan perintahnya. Dianggapnya Bahu memberontak terhadap Demak. Karena itu, maka orang itu dipergunakannya sebagai contoh bagi mereka yang memberontak terhadap raja. Dibunuhnya Bahu dengan cara yang mengerikan. Digores-goreskannya kulit Bahu dengan duri setelah diikat pada sebatang pohon. Dan dibiarkannya mati sehari setelah itu. Prabasemi melihat perubahan di wajah Karebet. karena itu timbul kegembiraannya. Katanya,
“Aku dapat berbuat lebih daripada itu Karebet. Dan jangan sekali-kali mencoba mengandalkan kemudaanmu. Aku memang kagum melihat kau bertempur dalam setiap pertempuran, namun pertempuran yang kau alami adalah pertempuran kecil tak berarti. Karena itu jangan berbangga hati karenanya. Tapi kau sekarang berhadapan dengan Tumenggung Prabasemi. Ya Tumenggung Prabasemi. Ingatlah bahwa Prabsemi adalah seorang yang ditakuti.”
“Tutup mulutmu!,” bentak Prabasemi yang kembali kemarahannya memuncak. Kini ia benar-benar telah kehilangan kesabaran. Setapak ia melangkah maju sambil menggeram,
“Kau benar-benar sedang sekarat. Kini sebutlah nama ibu dan bapakmu sebelum ajalmu tiba.”
“Bapak ibuku telah mendahului aku. Kalau aku sebut namanya, ia tidak akan dapat bangkit dari kuburnya.”
“Gila!,” teriak Prabasemi.
“Mampus kau anak gila.”

Prabasemi itu menconcat dengan garangnya menyerang Karebet langsung mengarah ke dadanya. Prabasemi benar-benar ingin melumpuhkan anak muda itu sebelum membunuhnya. Karebet benar-benar akan dibunuhnya dengan cara yang pernah dilakukannya itu. Tetapi Karebet ternyata dapat bergerak dengan lincahnya. Dengan sekali menggeliat ia telah berhasil membebaskan dirinya dari serangan Prabasemi. Bahkan ia sempat berkata,
“Kiai Tumenggung, bukankah pernah memberi aku nasehat, sebagai seorang Wira Tamtama seharusnya pantang menyerah. Sekali ia maju bertempur, maka ia akan maju terus. Hanya kematianlah yang dapat menghentikan gerak maju itu. Nah bukankah kini aku sedang memenuhi nasehat Ki Tumenggung itu untuk melawan Prabasemi.”
“Tutup mulutmu, atau aku harus menyobeknya.”
“Terserahlah, bukankah kita telah bertempur. Sobeklah kalau kau ingin.”
“Anak Setan,” geram Prabasemi.

Sebuah tendangan mendatar mengarah ke lambung kiri Karebet. Namun sekali ini Karebet cukup cekatan untuk menghindarinya. Sifat-sifatnya yang aneh kini telah menguasai otaknya, sehingga betapapun ia terkejut mengalami serangan yang sedemikian cepatnya, namun sempat juga ia berkata,
“Prabasemi, kita bertempur untuk satu taruhan yang ternilai harganya. Kalau aku mati, kau akan menjadi menantu Sultan Trenggana. Sedangkan kalau kau yang mati, maka aku akan mendapatkan dua kesempatan. Menggantikan kau sebagai Tumenggung dan mendapatkan puteri yang cantik itu. Bukankah begitu? Tetapi bagaimanapun juga Prabasemi, ternyata kau gila juga seperti aku. Ingatlah apabila puteri itu kelak menjadi isterimu dan kau diangkat menjadi adipati, kesempatan yang pertama menerima hati puteri itu adalah aku, Karebet, anak gembala yang dipungut Sultan Trenggana dari tepi belumbang Mesjid Demak.”
“Tutup mulutmu,” Prabasemi berteriak keras keras. Dan suaranya bergemna bersahut-sahutan didalam rimba itu. Meskipun demikian, Tumenggung yang garang itu terkejut bukan kepalang. Ternyata Wira Tamtama yang masih muda ini benar-benar tangkas. Sehingga ia mampu mengelak serangannya sampai dua kali tanpa tersentuh sama sekali. Karena itu kemarahan Tumenggung semakin menyala-nyala seakan membakar dadanya. Dengan gigi gemeretak, sekali lagi dikerahkannya tenaganya untuk menyerang lawannya. Sedemikian dahsyatnya, seperti burung Rajawali yang menyambar mangsanya.

Karebet mengerutkan keningnya. Serangan ini benar-benar berbahaya sehingga dengan demikian maka ia tidak dapat lagi tertawa-tawa. Kini dipusatkannya perhatiannya kepada perkelahian itu. Sekali terbersit juga kekagumannya atas lawannya yang mampu bergerak sedemikian cepatnya, namun Karebet mampu mengimbanginya. Sambaran burung Rajawali dapat dielakkannya, bahkan kini serangannyapun datang seperti badai di udara. Pertempuran itu menjadi sangat serunya, karena itu daerah sekitar perkelahian seakan akan timbul angin pusaran, daun-daun bergerak berputaran dan daun-daun kering berguguran di tanah. Ranting ranting yang tersambar tangan mereka berderak-derak patah berserakan. Tanah sekitar mereka seakan telah dibajak, dan tumbuhan perdu dan batang-batang kecil telah roboh terinjak kaki mereka. Perkelahianpun semakin lama menjadi semakin seru. Masing-masing menjadi kagum akan keprigelan lawannya. Lebih-lebih Prabasemi. Ia pernah mendengar kelebihan Karenet dari kawan-kawannya, namun tidak disangkanya anak itu mampu melawannya. Karena itu maka Tumenggung benar-benar telah kehilangan pengamatan diri. Yang ada diotaknya adalah membunuh. Karebet harus dibunuh dengan cara apapun.
Sedang Karebetpun sebenarnya mengagumi ketangkasan Prabasemi. Tumenggung yang masih agak lebih tua daripadanya namun ketangkasannya telah sedemikian tinggi sehingga karena itulah maka sepantasnya bahwa Prabasemi cepat menanjak ke tempatnya sekarang.

Namun sayang, Tumenggung sakti ini mempunyai sifat kejam. Terlalu bernafsukan harga diri dan kebanggaan atas prestasi yang pernah dicapainya. Apalagi kini ia semakin gila lagi dengan harapan yang tumbuh di dalam dirinya tentang puteri Sultan Trenggana. Tetapi kemudian Karebetpun berkata didalam hatinya,
“Apakah aku juga tidak gila seperti Tumenggung itu?”
Karebet tersenyum. Tetapi tiba-tiba senyumnya lenyap seperti awan disapu angin ketika serangan Prabasemi hampir mematahkan lengannya. Sebuah pukulan gebangan yang dahsyat mengarah kepergelangannya. Untunglah cepat ia menyadari keadaannya sehingga ia masih sempat menarik tangannya itu bahkan ia masih mampu berputar di atas tumitnya dan dengan tumit yang lain menyambar perut Prabasemi. Tetapi Prabasemi tidak membiarkan perutnya menjadi sakit. Cepat ia menggeliat, dan kaki Karebet lewat beberapa jari dari perutnya yang buncit. Perkelahian itu berjalan semakin sengit. Prabasemi benar-benar sudah sampai puncak kemarahannya dan Karebetpun melayani dengan sepenuh tenaga.

Tetapi kemudian ternyata bahwa keadaan mereka agak berbeda. Prabasemi adalah seorang Tumenggung yang menjadi sakti karena ketekunannya berlatih. Kedahsyatannya tumbuh di dalam ruang latihan dalam keadaan yang cukup baik. Namun Karebet adalah seorang yang aneh. Ia tidak pernah berlatih secara teratur, namun ia tidak kalah tekunnya dari Prabasemi. Tubuhnya seakan ditempa sekitarnya. Panas dingin dan segala macam pekerjaan yang harus dilakukannya. Berkelahi dengan penjahat dan berjuang melindungi kawan gembala dari segala sergapan para pencuri ternak. Pengalaman yang diperolehnya di Karang Tumaritis bersama pamannya dan kemudian Arya Salaka, disamping Endang Widuri. Semuanya itu telah menempa tubuh Karebet menjadi sekeras tembaga, tulangnya sekeras besi dan ototnya seliat jalur baja. Itulah sebabnya semakin lama pertempuran itu menjadi semakin nyata, bahwa tidak saja kelincahan dan kecepatan bergerak, namun ketahanan jasmaninyapun Prabasemi tidak dapat menyamai Karebet. Prabasemipun akhirnya merasakan keadaan itu. Karebet, betapapun jantungnya bergejolak dengan dahsyat. Kemarahannya yang telah memuncak itu benar-benar telah membakar darahnya sehingga seakan-akan mendidih.

Telah dikerahkan segenap tenaga dan kecepatannya untuk mengalahkan lawannya, namun Karebet ternyata memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Prabasemi menggeram. Ia kini benar-benar menghadapi keadaan yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Karena itu setelah ia yakin bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan lawannya, maka tidak ada jalan lain kecuali menyelesaikan perkelahian itu dengan ilmunya yang terakhir. Sebenarnya malu juga Tumenggung melawan anak-anak yang selama ini menjadi reh-rehannya, masih harus menggunakan ilmu simpanan yang jarang-jarang sekali dipergunakannya. Namun ia tidak mempunyai jalan lain kecuali mengeluarkan ilmu Aji Sapu Angin. Sebenarnyalah apabila ilmu itu dipergunakannya, maka gerak Prabasemi benar-benar seperti menghalau angin. Ketika tidak ada jalan lain yang dapat dilakukan untuk menebus kepahitan yang telah ditimbulkan oleh Karebet, maka secepat kilat ditrapkannya ilmu gerak itu. Dijulurkannya kedua tangannya kedepan kemudian dengan gerakan menyentak, kedua lututnya ditarik serta ditekuknya. Kedua tangannya mengepal dan menelentang dilambungnya. Itulah pertanda gerakan pertama dari Aji Sapu Angin. Karebet terkejut melihat sikap itu. Tetapi ia segera menyadari bahwa lawannya pasti mempergunakan ilmu tertingginya. Tetapi setelah bertempur beberapa lama melawan Prabasemi, sedang tenaganya seakan tidak berkurang, tahulah Karebet sampai dimana tingkat ilmu Tumenggung itu. Betapapun ia kagum akan kecepatan bergerak serta tenaganya, namun ternyata masih belum dapat menyamainya. Karena itu, ketika ia melihat Tumenggung Prabasemi mempergunakan ajinya, maka Karebet tidak perlu tergesa-gesa mempergunakan aji Rog-Rog Asem. Yang kini dipergunakannya adalah ilmu pertahanannya yang sudah jarang dimiliki orang. Lembu Sekilan. Bahkan dalam pada itu, masih sempat juga Karebet berkata,
“Ait apakah kira-kira yang akan kau lakukan Prabasemi? Agaknya kau telah terpaksa menggunakan aji pamungkasmu?.”
“Mampus kau,” bentak Prabasemi dengan marahnya. Tubuhnya melontar seperti tatit menyambar Karebet.

Karebet terkejut melihat gerak itu, karena terlalu cepat baginya. Itulah Aji Sapu Angin sehingga kali ini Karebet benar benar tak mampu menghindari. Karena itulah maka serangan Prabasemi kali ini tepat mengenai dada kiri Karebet. Sambaran tangan Prabasemi yang dilambari ilmu gerak itu benar-benar terasa menghentak tulang iga, sehingga karena itulah maka Karebet terdorong beberapa langkah. Ketika Prabasemi merasakan bahwa serangannya mengenai korban, maka ia berteriak,
“Tataplah langit, peluklah bumi, Karebet. Jangan rindukan lagi matahari esok pagi.”
Tetapi alangkah terkejutnya Tumenggung ketika ia melihat Karebet terlempar beberapa langkah surut, terbanting di tanah dan bergulingan beberapa kali. Namun kemudian dengan tangkas melenting berdiri di atas kedua kakinya yang meregang. Sesekali ia menyeringai kesakitan namun kemudian terdengar tertawa lirih.
“Hem, alangkah dahsyatnya ilmumu Prabasemi, apa namanya?.”
Prabasemi menggigil karena marahnya. Betapa ia melihat Karebet masih tegak dengan mulut tertawa.
“Anak setan, gendruwo, tetekan,” Tumenggung itu mengumpat tak habis-habisnya.
Karebet masih berada ditempatnya. Diantara suara tertawanya terdengar ia berkata,
“Alangkah dahsyatnya ilmumu itu. Kalau tidak, maka ia tidak akan mampu menembus Aji Lembu Sekilan.”
“Lembu Sekilan?,” tanpa sadar Prabasemi mengulangi kata-kata itu. Hampir-hampir ia tidak percaya kalau tidak mengalaminya sendiri. Sentuhan ajinya yang selama ini dibanggakan, ternyata tidak mampu menembus pertahanan Lembu Sekilan. Ajinya hanya mampu mendorong Karebet jatuh, namun anak itu tetap segar. Bahkan masih tertawa lirih memandanginya dengan tenangnya.

Karebet masih berdiri ditempatnya. Ketika ia melihat Tumenggung itu menjadi tegang, ia mengejek,
“apakah kau sudah siap dengan cara yang sama seperti kau membunuh Bahu dari Tunggul?.”
Prabasemi memggeram, hatinya panas mendengar ejekan itu. Dengan suara gemetar ia menjawab,
“aku akan melakukannya lebih daripada itu!.”
“Bagaimana kalau sebaliknya?,” balas Karebet.
Dada Prabasemi hampir meledak karenanya. Karena itu maka sekali lagi ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya. Dengan cepat ia meloncat melontarkan pukulan ke wajah Karebet. Kali inipun Karebet kalah cepat dari Sapu Angin, sekali lagi ia terdorong surut beberapa langkah meskipun tidak sampai terbanting jatuh. Meskipun demikian wajahnya terasa panas dan kepalanya sedikit pening. Karena itu ia mengumpat dalam hatinya,
“Gila juga Aji orang ini.”
Namun Prabasemi ternyata tidak memberinya kesempatan. Sekali lagi ia meloncat, dan serangannya kini mengarah ke perut Karebet. Karebet yang percaya benar kepada aji Lembu Sekilannya segera memiringkan tubuhnya sambil menangkis serangan itu. Kali ini Karebet benar benar telah dapat menguasai keseimbangan antara kekuatan lawannya dan kemampuan Ajinya. Akibatnya sekalipun serangan Prabasemi membenturnya namun Karebet tidak lagi terdorong karenanya. Bahkan kemudian anak muda aneh itu melawan sejadi-jadinya. Dikerahkannya segenap kemampuan yang setinggi-tingginya. Namun ia sama sekali belum mempergunakan Aji Rog-Rog Asemnya.

Meskipun demikian ternyata Karebet tidak segera dapat dikuasai lawannya. Serangan-serangan Karebet tidak begitu berbahaya dalam benturan dengan ajian lawannya, namun karena Lembu Sekilan, maka Karebet tidak merasakan bahwa lawan telah mencurahkan segenap kemampuan yang ada padanya, bahkan sudah sampai pada tahap ilmu yang terakhir. Prabasemi semakin lama semakin cemas dan bingung. Benar-benar tak disangka-sangkanya bahwa Karebet memiliki kemampuan sedemikian tingginya. Semula disangkanya bahwa lurah Wira Tamtama muda ini tidak lebih jauh terpaut dari kawan-kawannya. Tetapi Karebet benar-benar seperti anak setan. Karebetpun semakin lama semakin menyadari akan kemampuannya. Betapapun Prabasemi mengerahkan Aji Sapu Angin, namun Lembu Sekilan masih mampu mengatasinya sehingga dengan demikian maka seakan-akan Prabasemi sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melawan. Meskipun ajinya juga mampu mengurangi tekanan tangan Karebet yang menyentuh tubuhnya, namun sebenarnya terasa oleh Prabasemi, bahwa Karebet telah mampu melampauinya. Tetapi semuanya sudah terlanjur. Ia tidak dapat menarik lagi ucapannya. Ia sudah berkata bahwa ia akan membunuh Karebet itu. Maksud itu tak akan diurungkan. Dan anak muda itupun berkata bahwa mereka berkelahi untuk satu taruhan. Karena itu, maka tidak ada satupun jalan untuk menghindarkan diri dari perkelahian itu. Dan terbayanglah diwajah Tumenggung, bahwa saat-saat terakhirnya telah tiba. Ia sama sekali tidak akan dapat membunuh Karebet, tetapi justru Karebet yang mampu membunuhnya.

PRABASEMI bukanlah seorang penakut. Ia adalah seorang Tumenggung Wira Tamtama, yang sudah berpuluh kali berjuang melawan maut. Telah berpuluh kali ia membunuh lawannya, dan bahwa suatu ketika salah seorang lawannya akan membunuhnya, benar-benar sudah diramalkannya. Karena itu, apabila ia kali ini mati dalam perkelahian, maka ia tidak akan menjadi gentar. Meskipun demikian, ada juga suatu yang bergetar di dalam dadanya. Ia sama sekali tidak takut mati. Namun mati karena anak muda yang aneh itu rasa-rasanya tidak senang juga. Walaupun demikian, Prabasemi harus menyadari keadaannya. Perkelahian itu menjadi semakin seru pula. Aji Sapu Angin adalah Aji yang cukup dahsyat, sehingga apabila Aji itu menyentuh dahan-dahan kayu di sekitar perkelahian itu maka terdengarlah suaranya berderak-derak patah. Pohon-pohon muda dan cabang-cabang pepohonan. Karena itu, maka di daerah perkelahian itu seakan-akan telah tertiup angin prahara yang menggoncangkan pepohonan serta menggugurkan pepohonan serta menggugurkan daun-daunnya. Apabila pertempuran itu terjadi di siang hari, maka dari kejauhan akan nampaklah daun-daun yang berguncang-guncang dan akan tampak pulalah dahan-dahan yang patah berhamburan, karena kedahsyatan Aji Sapu Angin. Tetapi karena Aji Sapu Angin itu tidak mampu menembus sampai keintinya Aji Lembu Sekilan, maka kesempatan Karebet untuk mengenai lawannya, jauh lebih banyak dari Prabasemi. Berkali-kali Prabasemi terpaksa menyeringai kesakitan dan berkali-kali ia terpaksa menyeringai pula karena kekecewaan. Serangannya telah benar-benar mengenai sasarannya, tetapi Karebet seolah-olah telah menjadi kebal.

Namun kemudian ternyata, betapa dahsyatnya Aji Sapu Angin itu, tetapi sebenarnyalah bahwa kekuatan jasmaniah Tumenggung Prabasemi itu terbatas. Setelah ia memeras tenaganya dalam kekuatan Aji Sapi Angin, maka terasalah getaran-getaran ilmu di dalam dadanya menjadi susut. Sejalan pula dengan itu, maka kegarangan Tumenggung Wira Tamtama itu menjadi susut pula. Baik Prabasemi sendiri, maupun Karebet, segera melihat apa yang sebenarnya terjadi. Prabasemi kemudian merasa peluh dingin memancar dari segenap tubuhnya, bukan karena ia takut mati, tetapi sebenarnya ia menjadi sangat malu atas kekalahannya itu. Kekalahan yang tak pernah dibayangkannya. Kekalahan dari seorang anak yang lebih muda daripadanya dan reh-rehannya pula dalam keprajuritan. Anak itu tidak lebih dari seorang lurah Wira Tamtama.
“Apa boleh buat” desisnya,
“Kalau mungkin, biarlah kita mati bersama”, katanya dalam hati.
Kini Karebet mendapat kesempatan lebih banyak lagi dari beberapa saat sebelumnya. Dan ternyata pula, karena kemuakannya atas Tumenggung itu, maka kesempatan itu pun dipergunakan sebaik-baiknya. Dengan lincahnya ia bergerak-gerak menyerang dengan dahsyatnya. Tangannya yang sepasang itu bergerak-gerak dari segenap arah, menyerang hampir ke setiap permukaan tubuh Prabasemi. Dan terasalah ujung tangan itu menyengat-nyengat seperti kerumunan beribu-ribu lebah. Meskipun demikian Prabasemi sama sekali tidak menyerahkan dirinya ditelan oleh kegarangan lawannya. Dipergunakannya setiap kesempatan yang masih ada. Namun kembali ia kecewa, Ajinya tidak dapat menembus Lembu Sekilan sampai keintinya, sehingga Karebet, seakan-akan hanya bergetar sedikit, untuk kemudian meloncat maju dengan garangnya. Maka lambat laun, tenaga Tumenggung Prabasemi itu pun terperas habis. Tubuhnya menjadi semakin lama semakin lemah, dan serangan-serangan Karebet semakin menekannya. Akhirnya Prabasemi yang garang itu benar-benar kehabisan tenaga. Ketika ia sempat menengadahkan wajahnya, dilihatnya warna semburat merah membayang dilangit yang biru.
“Hampir fajar”, keluhnya.
“Fajar terakhir”.
Prabasemi itu sudah tidak dapat mengeluh lagi. Dengan dahsyatnya Karebet meloncat menyambar wajahnya dengan sisi telapak tangannya.

TUMENGGUNG Prabasemi terguncang, dan kemudian terbanting jatuh. Terasa kepalanya menjadi pening dan nafasnya menjadi sesak. Tetapi ia adalah seorang Tumenggung Wira Tamtama. Setiap kali ia berteriak-teriak di hadapan anak buahnya, bahwa tak ada kemungkinan melangkah mundur bagi Wira Tamtama. Yang ada, maju terus atau mati. Demikianlah pendiriannya itu tetap dipertahankannya sampai saat-saat yang paling berbahaya bagi hidupnya. Betapa pun kepalanya pening dan pedih-pedih di dalam dadanya, namun Prabasemi itu masih berusaha untuk tegak kembali. Dicobanya untuk menyamar kaki Karebet dengan kakinya. Namun dengan lincahnya Karebet itu meloncat, dan seperti gunung yang runtuh menimpa dadanya, kaki Karebet itu tepat menghantam tulang-tulang iga Tumenggung Prabasemi yang sudah sedemikian lemahnya. Sekali lagi Tumenggung Prabasemi terlempar beberapa langkah dan kembali ia terbanting di tanah. Terdengar Tumenggung itu menggeram. Karebet masih melihat, dengan gemetar, Prabasemi mencoba berdiri. Namun ketika ia bertumpu pada kedua kakinya, kembali Prabasemi terjatuh tertelungkup. Karebet itu segera meloncat ke depan. Kebenciannya kepada Tumenggung itu benar-benar meluap sampai keubun-ubunnya. Karena itu, dengan sebelah tangannya, diraihnya baju Prabasemi yang dibuat dari beludru. Ketika tubuh Prabasemi itu terangkat, sekali lagi tangan Karebet menyambar dagunya. Kali ini wajah Prabasemi terangkat, dan Tumenggung itu terlempar jauh melentang. Karebet yang masih dikuasai oleh kemarahannya itu segera meloncat menyusul, namun tiba-tiba terasa dadanya berdesir tajam. Ketika ia melihat wajah Tumenggung itu, maka tiba-tiba ia menjadi berdebar-debar. Ia terkejut ketika tampak samar-samar darah meleleh dari mulutnya. Dan Tumenggung itu kini sama sekali tak bergerak-gerak lagi.
“Mati?” tiba-tiba terlontar kata-kata itu dari mulut Karebet. Dan karena itu ia menjadi gemetar karenanya.
Perlahan-lahan ia maju mendekati. Ketika diraba dada Tumenggung itu, terdengar Karebet berdesis,
“Masih hidup”.

Tiba-tiba timbullah kecemasan dihati anak muda yang aneh itu. Kalau dirinya mati, maka tak seorangpun yang akan mencarinya, setidak-tidaknya dalam waktu yang dekat. Tetapi kalau Tumenggung yang mati, maka pasti segera akan diketahui, Sultan Trenggana tahu benar, bahwa Tumenggung Prabasemi pergi mengantarkannya sampai keluar kota. Kalau kemudian Tumenggung itu hilang, dan tidak kembali ke rumahnya maka Sultan segera akan mengetahuinya, bahwa setidak-tidaknya Karebet mengetahuinya apakah yang terjadi. Karena itu, maka Sultan Trenggana pasti akan menjadi sangat murka. Mungkin sekali disebarkannya beberapa orang untuk menangkapnya. Hidup atau mati. Sekali lagi Karebet meraba tubuh Prabasemi. Ia menjadi sedikit berlega hati, ketika ia yakin bahwa Tumenggung itu benar-benar belum mati.
“Kenapa aku takut, seandainya Sultan akan berusaha menangkapku?” tiba-tiba terdengar suara di dalam relung hatinya.
“Hukuman mati hanya akan dijatuhkan satu kali. Bukankah Tumenggung ini kalau masih hidup pasti akan berusaha membunuhku pula?”

Tetapi tiba-tiba Karebet menundukkan wajahnya. Sebenarnya Karebet sama sekali tidak takut pada hukuman mati itu. Kini ia telah mengenal apa yang sebenarnya sedang bergolak di dalam dadanya. Bukan suatu perasaan takut, tetapi suatu perasaan yang jauh lebih berharga dari itu. Tiba-tiba saja, terasa betapa kemurahan hati Sultan telah melimpah kepadanya. Betapa Sultan Trenggana berusaha mengurangi kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Limpahan kemurahan hati sejak ia dipungut oleh Baginda dari tepi kolam, kemudian diangkat menjadi Wira Tamtama. Bahkan dalam waktu singkat Baginda telah menganugerahkan pangkat Lurah.
Karebet menarik nafas dalam-dalam. Apalagi kalau pamannya kelak mengetahui apa yang sudah dilakukannya. Membunuh dan karena itu ia dihukum mati. Maka kembali tubuhnya mengigil. Sekali lagi diawasinya tubuh yang terlentang tidak bergerak itu. Perlahan-lahan Karebet berdiri melangkahi tubuh Prabasemi. Diangkatnya kedua tangannya dan perlahan-lahan digerakkannya.
“Kiai, Kiai Tumenggung” panggilnya.
Tetapi Prabasemi tidak menjawab. Karena itu Karebet menjadi bertambah bingung. Ketika sekali lagi ia menggerakkan tangan itu, maka sekilas dilihatnya sebuah kamus bertimang tretes intan berlian melingkar diperut Tumenggung itu.
“Hem” desisnya, “Sebuah timang yang mahal.”

KAREBET menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia benar-benar menjadi cemas. Kalau ditinggalkannya tubuh ini, maka mungkin sekali akan menjadi hidangan pesta bagi serigala-serigala lapar. Atau kalau seorang pencari kayu melihatnya, dan melihat timang itu, ada kemungkinan pula Tumenggung yang pingsan itu dibunuhnya, hanya karena timang dan permata-permatanya. Karebet semakin lama semakin gelisah. Akhirnya ia tidak dapat menemukan suatu cara yang lain daripada membiarkannya sampai sadar. Tetapi dengan demikian, ia terpaksa menunggunya. Dengan dada yang berdebar-debar, Karebet kemudian berjalan hilir-mudik di samping tubuh Prabasemi. Setiap kali ia mendengar gemersik daun-daun kering, ia menjadi terkejut. Betapa marahnya ketika tiba-tiba dari balik rimbunnya dedaunan perdu, Karebet melihat seekor serigala mengintai tubuh yang terbaring itu. Dengan lidah yang terjulur panjang dan air liur yang menetes satu-satu.
“Biasanya serigala liar berjalan beriring-iring,” desisnya.
Namun ia tidak peduli. Diraihnya sebuah batu dan dengan sekuat tenaga, tenaga Mas Karebet yang sedang marah dilemparinya serigala itu. Terdengar serigala itu melengking tinggi. Kemudian diam. Dari kepalanya mengalir darah yang merah segar. Sesaat kemudian terdengarlah beberapa ekor serigala yang lain, mengaum-aum dengan ributnya. Namun semakin lama semakin jauh.
“Hem,” gumam Karebet, “Benar juga mereka datang berbondong-bondong.”

Kini kembali Karebet merenungi wajah Prabasemi yang pucat itu. Anak muda itu hampir berteriak kegirangan ketika dilihatnya Prabasemi bergerak-gerak. Seperti anak-anak mendapat mainan, Karebet segera meloncat mendekatinya. Sambil mengguncang-guncangkan tubuh itu, dipanggilnya nama Tumenggung itu,
“Kiai, Kiai Tumenggung.”
Tetapi Prabasemi belum mendengar suara itu. Namun sekali lagi tampak ia menggerakkan kepalanya.
Sebenarnya tubuh Tumenggung itu adalah tubuh yang luar biasa. Kekuatan yang tersimpan didalamnya telah menolongnya, menghindarinya dari kematian. Karena itu, ketika angin fajar mengusap wajahnya maka perlahan-lahan terasa darahnya seakan-akan mengalir kembali. Namun ketika sekali lagi Karebet melihat Tumenggung itu bergerak, maka timbullah pikirannya untuk tidak menampakkan dirinya lagi. Kalau Tumenggung itu kemudian menjadi sadar, dan memaki-makinya, maka Karebet akan takut kalau ia justru sekali lagi menjadi lupa diri. Maka ketika dilihatnya Tumenggung itu menggeliat, Karebet segera meloncat ke balik-balik gerumbul, tidak begitu jauh dari tempat Prabasemi itu berbaring. Tumenggung yang malang itu perlahan-lahan menggeliat. Kemudian terdengar ia mengeluh pendek.

Karebet yang bersembunyi di balik gerumbul mengawasinya dengan tegang. Apakah Tumenggung itu masih mampu untuk berjalan kembali ke Demak? Ketegangan wajah Karebet itu semakin lama menjadi semakin kendor. Prabasemi betapapun terasa seakan-akan segenap tulang belulangnya tidak bersambung lagi, namun ia berusaha menggerak-gerakkan tangannya. Kemudian kakinya.
“Hem….” Prabasemi kembali mengeluh pendek. Mulutnya yang lebar tampak menyeringai menahan sakit. Namun kini, kesadarannya telah berangsur-angsur pulih kembali. Kemudian dicobanya menggerakkan kepalanya, memandang tempat-tempat di sekitarnya. Dengan geramnya ia menggeram.
“Di mana setan itu?”
Tetapi kembali ia menyeringai. Punggungnya benar-benar serasa patah. Karena itu, dibiarkannya tubuhnya terbaring untuk beberapa lama. Di langit bintang-gemintang menjadi semakin lama semakin pudar. Dari timur telah membayang cahaya kemerah-merahan, dan sayup-sayup terdengar suara ayam hutan berkokok bersahut-sahutan. Prabasemi menarik nafas.
“Ternyata aku masih hidup,” desahnya.

Dan kini dicobanya perlahan-lahan untuk menggerakkan seluruh tubuhnya. Dengan hati-hati ia memiringkan dirinya untuk kemudian bertelekan pada sebelah tangannya. Prabasemi berusaha untuk duduk.
Tetapi kembali dengan lemahnya ia terkulai di tanah.
“Gila!” geramnya. Karebet yang melihat kesulitan itu, menjadi kasihan juga kepadanya. Namun ia sudah bertekad untuk tidak menemuinya lagi. Karena itu, betapapun keinginannya untuk menolongnya, keinginan itu ditahannya kuat-kuat. Akhirnya, betapapun Prabasemi mengalami kesulitan, akhirnya ia mampu untuk duduk dan tertelekan kedua tangannya. Sekali-sekali terdengar ia berdesis. Namun kemudian menggeram penuh kemarahan. Dengan nanar ia memandang berkeliling. Bahkan kemudian ia berteriak
“He, di mana kau?”

NAFAS Prabasemi menjadi terengah-engah. Dan kepalanya ditundukkannya. Tetapi tubuh Prabasemi itu benar-benar tubuh yang mempunyai daya tahan mengagumkan. Beberapa saat kemudian, maka telah dicobanya untuk menggerak-gerakkan kakinya. Sekali-kali dicobanya untuk berjongkok dan kemudian dengan tertatih-tatih dan berpegangan pada batang-batang pohon. Tumenggung itu mencoba untuk berdiri.
“Luar biasa,” kata Karebet di dalam hatinya.
“Baru beberapa saat ia terkapar hampir mati. Namun kini ia telah mampu untuk berdiri.”
Sekali lagi Tumenggung itu memandang berkeliling. Ia benar-benar sedang mencari Mas Karebet. Namun anak itu tidak dilihatnya. Karena itu dengan geramnya ia berteriak,
“He Karebet, anak setan. Jangan bersembunyi.”
Karebet mengumpat di dalam hatinya.? Benar-benar orang ini keras hati. Setelah nyawanya singgah di ujung ubun-ubun, masih juga ia berteriak-teriak.?
“He Karebet, pengecut,” katanya.
“Tidak sepantasnya Wira Tamtama melarikan diri.”
“Gila!” Hampir-hampir Karebet menjawab kata-kata itu. Untunglah segera disadarinya, bahwa sebenarnya, ia tidak dapat melangkahi limpahan kemurahan hati Sultan Trenggana. Dengan penuh kemarahan, terdengar Tumenggung itu bergumam,
“Awas kau Karebet. Pada suatu ketika akan datang saatnya, aku mencarimu dan dengan tanganku aku bunuh kau seperti aku membunuh Bahu dari Tunggul.”

Sekali lagi Karebet mengumpat di dalam hati. Namun dibiarkannya Tumenggung itu berjalan terhuyung-huyung. Dengan tangan yang gemetar, ia berpegangan dari satu pohon ke pohon berikutnya. Ketika ia menengadahkan wajahnya, dan dilihatnya seberkas cahaya terlempar di atas pepohonan, ia berdesis,
“Hari telah pagi.”
Dan karena itulah maka langkahnya terhenti. Tumenggung itu menjadi ragu-ragu. Apakah katanya nanti, kalau ia bertemu dengan seseorang di perjalanan pulang? Diamat-amati pakaiannya. Kemudian dengan tergesa-gesa dilihatnya timangnya.
“Hem. Masih lengkap,” gumannya. Dengan hati-hati dicobanya untuk memperbaiki letak pakaiannya, dan sejenak kemudian, kembali ia terhuyung-huyung berjalan meninggalkan tempat yang terkutuk itu.
Sepeninggal Tumenggung Prabasemi, Karebet keluar dari persembunyiannya. Sekali ia menarik nafas panjang. Kemudian gumannya, “Luar biasa. Luar biasa. Ia masih mampu berjalan.”

Kemudian ia menjenguk dari balik dedaunan. Prabasemi benar-benar telah berjalan dengan baik, walaupun sekali-kali masih harus berhenti, menekan punggungnya dengan kedua tangannya. Kini Karebet tinggal melihat ke dalam dirinya. Setelah Prabasemi hilang di antara pepohonan, kembali ia menjadi bingung. Apakah yang akan dilakukannya, dan akan kemanakah ia? Beberapa saat Karebet diam termenung. Bahkan kemudian ia pun duduk di tanah yang seakan-akan baru saja dibajak oleh kaki-kakinya dan kaki Tumenggung Prabasemi. Tiba-tiba Karebet pun tersenyum, gumamnya seorang diri,
“Kasihan Tumenggung itu. Untunglah aku menyadari keadaannku, sebelum aku membunuhnya.”

Sebenarnya Tumenggung Prabasemi mendendam Karebet sampai tujuh turunan. Sepanjang jalan tak habis-habisnya ia mengumpat-umpat. Meskipun demikian, Tumenggung Prabasemi itu terpaksa mengakui, bahwa anak itu mempunyai beberapa kelebihan daripadanya. Ketika Tumenggung Prabasemi sampai di pinggir hutan, dan melihat sawah yang terbentang di hadapannya, ia menjadi ragu-ragu. Dalam keadaannya itu, pasti semua orang yang bertemu di sepanjang jalan akan menertawakannya. Meskipun ia tidak melihat wajahnya sendiri, tetapi ia dapat membayangkan, betapa noda-noda merah biru telah memenuhi wajahnya. Apalagi ketika ia melihat beberapa noda darah yang meleleh dari mulutnya, mengotori baju beludrunya.
“Setan. Anak setan,” umpatnya tak habis-habisnya .
Akhirnya Tumenggung Prabasemi terpaksa menunggu di tepi hutan itu sampai malam datang kembali. Ia tidak mau seorang pun yang melihatnya dalam keadaan itu. Apalagi bila seorang Wira Tamtama melihatnya. Maka ia tidak akan dapat menjawab, apabila mereka bertanya, apakah sebabnya. Sekali lagi Prabasemi mengumpati Karebet. Terpaksa ia mencari setetes air untuk minum hari itu. Untunglah, bahwa di bawah sebatang pohon benda, diketemukannya mata air kecil yang segar. Namun kemudian dihabiskannya waktunya dengan mereka-reka, apakah yang dapat dilakukannya untuk membalas dendam. “Hem,” katanya kemudian,
“Aku tidak akan dapat melakukannya sendiri. Aku tidak takut. Aku tidak takut!” teriaknya, seakan-akan seseorang telah menuduhnya.
“Tetapi Sultan akan mengetahuinya, dan menghukumku.”
Tiba tiba Prabasemi tersenyum,
“bodohnya aku, bukankah aku bisa minta bantuan kakang Sembada?”

Kemudian Prabasemi mengangguk angguk dan tersenyum sendiri dengan puasnya. Sembada adalah seorang yang dapat membantunya. Tetapi ketika disadarinya keadaannya kini, kembali Prabasemi mengumpat. Terpaksa ia menunggu sampai malam.
“Kakang Sembada harus berangkat malam nanti,” desisnya.
Hari itu terasa betapa panjangnya. Dengan gelisah Prabasemi berjalan hilir mudik di dalam hutan. Sekali kali ia membaringkan tubuhnya di atas rumput-rumput keringt, namun kembali ia berjalan hilir mudik. Namun udara hutan yang segar telah menyegarkan badannya pula. Berangsur-angsur tenaganya menjadi pulih kembali. Nafasnya telah tidak terasa sesak, dan tulang iganya sudah tidak terlalu nyeri. Tetapi matahari benar-benar sangat menjemukannya. Akhirnya, ketika Prabasemi hampir-hampir tidak sabar lagi, maka matahari itupun tenggelam diujung Barang. Cahayanya yang merah menyala diujung bukit dan ditepi awan yang mengambang di langit. Namun kemudian tabir yang hitam kelam seolah turun dari langit, merayap keseluruh permukaan bumi.
Prabasemi menarik napas dalam-dalam. Kemudian dengan cepatnya ia meloncat setengah berlari pulang ke rumahnya. Di sepanjang jalan hatinya berdebar-debar. Ia sudah pasti dicari oleh anak buahnya. Mudah-mudahan Baginda tidak mencarinya.
Dan apa yang disangkanya itu benar-benar terjadi. Ketika Prabasemi hampir sampai dirumahnya, dilihatnya beberapa orang prajurit Wira Tamtama berjaga-jaga. Ketika salah seorang melihatnya maka tiba-tiba prajurit itu berteriak,
“Itu Kiai Tumenggung Prabasemi.”

Beberapa kawan-kawannya yang lainpun segera berkumpul. Seakan-akan mereka melihat sesuatu yang belum pernah mereka lihat.
Prabasemi datang dengan langkah tegap. Meskipun kakinya masih terasa agak sakit, namun sama sekali ia tidak timpang. Ia berjalan seorang diri seperti sedang berlatih berjalan dalam barisan. Sebelum prajurit itu bertanya kepadanya, maka Tumenggung yang malang itu mendahului membentaknya,
“Apa yang kalian kerjakan di sini?”
Prajurit yang dibentaknya itupun menganggukkan kepalanya sambil menjawab,
“Kami mencemaskan Kiai Tumenggung. Sehari ini kami tidak melihat kiai. Ketika kakang lurah Santapati menghadap Kiai, maka dijumpainya rumah ini kosong, sehingga kakang lurah menjadi bingung.”
“Setelah kakang lurah menunggu sampai tengah hari, dan Kiai Tumenggung tidak juga datang, maka kakang lurah memerintahkan beberapa orang mencari Kiai, dan beberapa orang diperintahkannya untuk berjaga-jaga di sini.”
“Gila, dimana Santapati?.”
“Di belakang.”
“Panggil dia”

Seorang prajurit segera berlari kebelakang memanggil Santapati. Santapati yang dengan gelisahnya duduk di serambi belakang, menjadi sangat terkejut ketika ia melihat seorang prajurit berlari-lari.
“Ada apa?”
“Ki Tumenggung sudah datang.”
“Di mana sekarang?”
“Di serambi belakang. Kakang Santapati dipanggil oleh Kiai Tumenggung.”
Cepat-cepat Santapati berlari ke serambi depan untuk menemui Tumenggungnya. Beberapa pelayan Prabasemi yang mendengar laporan itu menjadi gembira pula karena meskipun Prabasemi selalu membentak-bentak mereka, namun kalau maksudnya tercapai, tidak segan-segan Tumenggung yang garang itu memberi mereka hadiah. Di serambi depan, Santapati melihat Tumenggung duduk dengan garangnya. Karena itu segera ia mengangguk hormat sambil berkata,
“Selamat datang Ki Tumenggung.”
Tumenggung itu memandangnya dengan tajambya. Kemudian katanya parau,
“He. Apa yang kau kerjakan di sini?”
“Kami menjadi gelisah karena Kiai Tumenggung tidak kami temukan sehari tanpa kami ketahui kemana perginya.”
“Gila kau, Bukankah aku Tumenggung Prabasemi? Aku sudah cukup dewasa untuk menjaga diriku sendiri. Aku sudah cukup mampu berbuat apa saja kehendakku. Apa kau sangka aku memerlukan kalian?”
“Ampun kiai. Kami hanya gelisah tidak tahu apa uang harus kami lakukan. Kami mencoba mencari Kiai.”

“KAU sangka aku hilang? Diculik orang? He, kau sangka ada orang di seluruh Demak yang mampu menculik Tumenggung Prabasemi?”
“Tidak Kiai.” Santapati menjadi ketakutan.
“Kami hanya mencoba untuk menghubungi Kiai.”
“Bodoh kalian,” gumam Prabasemi.
“Tetapi biarlah aku maafkan kau kali ini.” Tumenggung itu berhenti sejenak, kemudian diteruskannya,
“Nah, katakan apa yang telah terjadi sehari ini?”
“Tidak ada apa-apa, Kiai. Selain Kiai Tumenggung yang kami anggap hilang.”
“Tutup mulutmu!” bentak Prabasemi.
“Jangan sebut itu lagi. Aku tidak hilang, tahu. Aku sedang memenuhi impianku semalam. Aku harus pergi ke hutan Santi. Dan sebenarnya aku telah mendapat sesuatu di sana.”
“Apa itu Kiai?” Tiba-tiba Santapati bertanya.
“Apa? Kau akan meniru aku? Sampai gila kau tak akan mendapatkan apapun di tempat itu.”
Santapati berdiam diri. Ia percaya bahwa Prabasemi baru datang dari hutan kecil itu. Pakaiannya sedemikian kotornya, bahkan tubuhnya pun kotor pula. Wajah Tumenggung itu nampak aneh. Ketika Prabasemi merasa bahwa Santapati itu mengawasinya tanpa berkedip maka teriaknya,
“Apa yang kau lihat?”
Santapati terkejut mendengar pertanyaaan itu. Karena itu dengan tergagap ia menjawab,
“Tidak apa-apa Kiai.”

Tumenggung Prabasemi mengerutkan keningnya. Dengan nada yang tinggi ia berkata,
“Lihat, apa yang telah terjadi di hutan Santi itu. Aku telah bergumul dengan bahureksa hutan itu. Seekor serigala belang.”
“Oh,” Santapati terkejut.
“Untung aku berhasil membunuhnya.”
Santapati mengangguk-anggukkan kepalanya dengan penuh kekaguman. Ia tidak melihat Prabasemi membawa senjata apapun. Namun Tumenggung itu berhasil membunuh seekor harimau belang.
“Nah,” kata Tumenggung itu kemudian,
“Kalian sekarang harus pergi. Biarlah aku beristirahat. Tetapi katakan kepadaku, apakah kau masih melihat Karebet sehari ini?”


<<< Bagian 094                                                                                              Bagian 096 >>>

No comments:

Post a Comment