“DIAM!” Pasingsingan berteriak semakin keras.
“Sayang, bahwa
kau tak dapat mengikuti jejaknya. Kau tak mampu menangkap ajaran-ajarannya,
sehingga kau salah duga terhadapnya. Kau menganggap bahwa guru kita telah
kehilangan kegairahannya terhadap hidup dan kehidupan. Karena itu kau memilih
jalanmu sendiri.”
“Omong
kosong,” bantah guru Lawa Ijo,
“Apakah kau
selama ini juga mentaati ajaran-ajarannya? Apakah kau selama ini bersih dari
noda-noda yang dilemparkan oleh kehidupan di sekitar kita kepadamu?”
“Tidak,
Umbaran,” jawab orang itu.
“Aku merasa,
betapa kotornya hati dan ragaku. Namun aku telah berusaha untuk mengurangi
kesalahanku, setidak-tidaknya mengurangi kesalahan-kesalahan baru yang akan
menambah beban kehidupan sukmaku.”
“Aku bukan
orang yang puas dengan keadaanku sekarang. Tetapi aku berhak menuntut masa
depanku sebaik-baiknya,” kata guru Lawa Ijo.
“Aku bangga
terhadap mereka yang berjuang buat masa depannya. Namun mereka jangan
mengorbankan masa depan orang lain sebagai pupuk bagi masa depannya itu.”
Meskipun kata-kata itu diucapkan perlahan-lahan, namun cukup jelas bagi guru
Lawa Ijo. Kata demi kata, yang seolah-olah menyusup ke tulang sungsumnya.
Tetapi hatinya yang selama ini telah dibalut oleh nafsu yang bergelora
berlebih-lebihan, kini benar-benar telah menjadi sekeras batu, meskipun dengan
sekuat tenaga ia berusaha membendungnya. Bahkan akhirnya ia berkata lantang,
“Jangan
menggurui aku. Guruilah dirimu sendiri. Bukankah kau menjelang kebahagiaan masa
depanmu dengan mengorbankan orang lain pula? Manakah perempuan yang aku
hadiahkan kepadamu itu? Bukankah ia mati karena ketamakanmu?”
“Umbaran!”
potong orang berjubah yang berdiri disamping Mantingan.
“Aku minta
jangan kau sebut-sebut itu lagi.”
“Ha, kau
menjadi ketakutan? Kau lihat noda-noda yang melekat di tubuhku, namun tak kau
lihat kotoran-kotoran yang bergumpal-gumpal di wajahmu? Di pelupuk matamu? Mana
perempuan itu? Mana…?”
“Jangan kau
sebut itu, Umbaran,” kata orang itu.
“Biar, biar
aku ulang seribu kali,” sahut guru Lawa Ijo.
“Perempuan itu
kau tukar dengan ciri-ciri kekhususan Pasingsingan kita. Dan kau berjanji tidak
akan mengganggu gugat lagi. Sekarang perempuan itu mati. Mati. Mati….”
“Cukup!”
potong orang itu keras-keras. Namun kemudian ia menundukkan wajahnya. Tangan
kirinya perlahan-lahan diangkatnya mengusap dadanya yang bergelora.
Pasisingan
guru Lawa Ijo itu tertawa panjang sampai tubuhnya terguncang-guncang. Ia
tertawa dan tertawa untuk memuaskan hatinya. Sambil menunjuk kepada Sura
Sarunggi dan lawannya ia berkata,
“Lihat, apa
yang bisa dilakukan oleh Anggara, penjagamu itu. Lihatlah, sebentar lagi ia
akan binasa.”
Orang yang
berdiri di samping Mantingan itu tidak menjawab. Tetapi ia mengangkat wajahnya,
dan memandang kepada adik seperguruannya yang sedang bertempur. Mereka
berputar-putar dengan lincahnya, lontar-melontar seperti sepasang garuda yang
sedang berlaga. Tangan mereka berkembang seperti sayap dengan senjata
masing-masing. Cemeti Sura Sarunggi meledak-ledak mengerikan, sedangkan sinar
kuning pisau belati lawannya menyambar-nyambar seperti petir di langit yang
kelam. Ujung cemeti Sura Sarunggi itu seolah-olah memiliki penglihatan, ke mana
ia harus mematuk. Namun ujung belati lawannya seperti mempunyai mata, yang
dapat melihat setiap serangan dari arah manapun juga. Maka pertempuran itu
menjadi semakin dahsyat dan dahsyat. Sura Sarunggi bertempur dengan kasar dan
bengis, sedang Anggara melayaninya dengan tangkas dan tangguh. Ketika mereka
sudah berkelahi beberapa saat, Sura Sarunggi menjadi semakin heran. Lawannya
dapat bertempur dengan gigihnya. Bahkan beberapa macam geraknya telah dikenalnya.
Mirip dengan Pasingsingan sahabatnya itu. Karena itu timbullah beberapa
pertanyaan di dalam dirinya, apakah orang ini benar-benar Pasingsingan…?
“Tidak
mungkin!” Pertanyaan itu dibantahnya sendiri.
Anggara pada
saat itu memang sengaja bertempur dengan ciri-ciri perguruan Pasingsingan. Ia
sengaja menunjukkan, bahwa dirinyapun memiliki ilmu seperti ilmu-ilmu ajaib
dari orang yang bernama Pasingsingan itu. Bahkan beberapa gerak diulangnya
supaya menjadi jelas bagi lawannya. Guru Lawa Ijo masih tertawa keras-keras.
Dan Pasingsingan yang berdiri di samping Mantingan masih memandangi Sura
Sarunggi dan Anggara.
“Jangan
membeku seperti batu,” tegur Umbaran,
“Sekarang apa
katamu?”
Orang yang
bernama Radite itu perlahan-lahan menoleh ke arah Umbaran, jawabnya,
“Marilah kita
lupakan masa lampau. Marilah kita bina bersama masa depan perguruan kita.”
“Masa depanku
jauh berbeda dengan masa depanmu. Jangan mengigau lagi. Pergi dan bawa adikmu
itu, atau kau berdua binasa.” Umbaran meneruskan,
“Jangan mimpi
aku berlutut di bawah kakimu dan menyerahkan perempuan untuk kedua kalinya.”
“Jangan bicara
tentang perempuan!” Radite membentak. Kesabarannya telah menjadi semakin tipis.
Hatinya yang luka karena perempuan, kini terungkap kembali.
“Aku bicara
tentang perempuan, supaya kau teringat kembali akan perjanjian kita. Kita tidak
akan saling mengganggu,” sahut Umbaran.
“Aku tidak
akan mengganggu gugat pusaka-pusaka yang telah kau miliki, ciri-ciri khusus
Pasingsingan yang kau pakai, sedang kau tak akan mengganggu gugat perempuan
itu,” jawab Radite.
“Tetapi aku
berhak mengganggu gugat segala perbuatanmu yang terkutuk.”
“Kau iri
hati,” kata Umbaran.
“Tidak,” jawab
Radite,
“Aku mempunyai
kepentingan sendiri. Aku tidak mau menanggung beban dosamu lebih banyak lagi
karena kesalahanku, menyerahkan kesaktian Pasingsingan kepadamu. Sebab dengan
demikian kau telah menarik diri dari persahabatanku dengan Pandan Alas, Sora
Dipayana, Titis Angganten dan lain-lain. Bahkan kau telah menempatkan dirimu
sebagai lawan. Nah, aku akan menghentikan semuanya itu.”
“Ha, itulah
akibat nafsu gilamu kepada perempuan?” jawab Umbaran. Sengaja ia ingin
memanaskan hati Radite. Mempengaruhinya dengan kelemahan-kelemahannya.
Tetapi dengan
demikian Radite menjadi marah. Peristiwa itu adalah peristiwa yang paling pedih
dalam hidupnya, karena itu setiap kali ia dihadapkan pada kenangan itu, setiap
kali ia kehilangan kesabaran.
“Umbaran…”
kata Radite dengan lantang,
“Kesabaran
seseorang ada batasnya. Jangan menunggu demikian.”
Umbaran
menjadi berdebar-debar. Apakah Radite benar-benar akan marah dan menyerangnya?
Tetapi tak ada pilihan lain. Sura Sarunggi telah bertempur dengan gigihnya.
Keduanya berdiri tegak dengan tenangnya. Radite masih berusaha menguasai
perasaannya, sedang Umbaran menjadi berdebar-debar menghadapi kemungkinan yang
berat. Ia tidak segarang biasanya, yang langsung menikam lambung lawannya. Kali
ini ia benar-benar memperhitungkan keadaan. Karena keragu-raguannya itulah ia
masih berdiri tegak. Ketika keduanya sedang berusaha menekan perasaan
masing-masing, tiba-tiba di kejauhan terdengar bunyi kentongan, yang dipukul
bergelombang-gelombang. Rog-rog asem.
“Setan,” desis
Pasingsingan,
“Mereka
datang.”
Radite
mengangkat wajahnya. Lamat-lamat terdengar kentongan itu menjalar. Ia tidak
tahu tanda apakah itu. Karena itu, ia harus memperhitungkan setiap kemungkinan.
Namun karena itulah maka Pasingsingan guru Lawa Ijo menjadi bertambah bingung.
Akhirnya ia kehilangan kejernihan dan kelicinan otaknya. Ia tahu benar, bahwa
tanda itu mengabarkan kedatangan orang Banyubiru atau Pamingit. Mahesa Jenar
atau Sora Dipayana dan kawan-kawannya. Akhirnya ia menjadi mata gelap. Sebab
menyingkirpun tak ada kesempatan. Karena itu, tanpa diduga-duga, ia meloncat
dengan garangnya sambil berteriak nyaring. Pedangnya berkilauan menyambar leher
Radite.
RADITE
terkejut mengalami serangan yang tiba-tiba itu. Sebenarnya ia masih mengharap
agar mereka tidak perlu mempergunakan kekerasan, apalagi dengan tetesan darah.
Tetapi Umbaran telah menyerangnya. Dengan demikian ia tak dapat berbuat lain
daripada melawannya. Maka sesaat kemudian kedua Pasingsingan itupun telah
bertempur pula. Masing-masing memegang pisau belati panjang di tangannya.
Umbaran dan Radie adalah dua orang yang memiliki ilmu yang bersumber dari guru
yang sama. Karena itu merekapun bertempur dengan ilmu yang sama pula. Tetapi
ilmu mereka masing-masing telah mengalami beberapa perubahan sesuai dengan
pengaruh keadaan dan waktu. Ilmu Pasingsingan Umbaran telah berubah menjadi
semakin kasar, keras dan kejam. Sedang ilmu Radite masih tetap dalam tataran
yang bersih. Meksipun demikian tidak berarti bahwa Umbaran telah melampaui
Radite dalam ketahanan tempurnya. Dalam beberapa saat mereka telah lenyap dari
bentuk mereka. Yang tampak hanyalah pusaran yang kelam dari jubah mereka yang
abu-abu, di sela oleh cahaya kuning yang menyambar-nyambar mengerikan. Umbaran
yang mata gelap, bertempur dengan darah yang bergelora. Hatinya benar-benar
telah dikuasai oleh nafsu yang ganas. Dan dari hidungnya seolah-olah terhirup
udara maut. Dengan berteriak-teriak nyaring ia meloncat-loncat, menyerang
dengan sengitnya. Pisaunya berputar-putar mengarah ke segenap bagian-bagian
tubuh Radite. Dalam kesibukan pertempuran antara hidup dan mati itu, terdengar
Umbaran berteriak,
“Kalau kau
masih belum mampu melenyapkan diri dari tangkapan mataku, jangan mengharap
keluar dari halaman ini dengan ragamu.”
Radite diam
saja. Namun ia bertempur terus. Sebenarnya dalam lekuk-lekuk hatinya yang
terdalam, masih juga bermunculan perasaan sesal dan ngeri atas apa yang pernah
terjadi pada dirinya. Tukar-menukar kehormatan. Tetapi ia sadar pula, bahwa
apabila ia tidak cawe-cawe, maka Pasingsingan yang bernama Umbaran itu akan
banyak menimbulkan bencana.
Kalau
benar-benar ia berhasil memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, maka
keadaan akan sangat berbahaya. Ia dapat menghadap Sultan Demak dengan laskar
segelar sepapan, dan memaksanya untuk menyerahkan kekuasaan, setelah ia
menyatakan diri sebagai pemilik pusaka-pusaka sipat kandel itu. Dengan landasan
kekuatan golongan hitam dan daerah-daerah yang didudukinya, beserta kesesatan
pandangan beberapa orang kawula Demak atas kepercayaan mereka, bahwa siapa yang
memiliki Nagasasra Sabuk Inten akan mampu merajai Nusantara, maka Umbaran akan
mendapatkan pengikut-pengikutnya. Atau orang yang berotak licin itu dapat
menempuh jalan lain. Ia dapat menggerakkan laskar hitam untuk menimbulkan
bencana. Sebagai Pasingsingan, ia dapat menggulung daerah demi daerah. Namun
kemudian sebagai Umbaran yang berwajah manis, ia menghadap Sultan dengan
menyerahkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Dengan demikian ia akan
mendapatkan banyak kepercayaan dari Sultan. Akhirnya ia dapat melawan kekuasaan
Demak dari luar dan dari dalam. Sementara itu ia harus mencuri keris-keris itu
kembali. Mereka bertempur semakin lama semakin sengit. Masing-masing bertekad
untuk memenangkan pertempuran. Meskipun Umbaran bertempur dengan kasar dan
bengis, namun Radite bukan anak-anak yang baru dapat berdiri. Radite memiliki
kematangan ilmu melampaui Umbaran, meskipun pada dasarnya Umbaran berguru lebih
dahulu kepada Pasingsingan Sepuh.
Tetapi karena
Umbaran kurang dapat menepati ajaran-ajaran gurunya, maka akhirnya ia terpaksa
menghentikan usahanya mengisap ilmu yang luar biasa itu. Dan kini, dua orang
murid dari perguruan yang sama itu berhadapan dan bertempur mati-matian.
Selain mereka
yang bertempur, tak seorangpun yang menggerakkan tubuhnya oleh ketegangan yang
semakin memuncak. Perhatian mereka seolah-olah terikat erat-erat pada
pertempuran itu. Kesempatan yang demikian itulah yang ditunggu Jaka Soka. Kalau
ia terlambat mempergunakan waktu, sehingga Mantingan dan kawan-kawannya
berhasil menguasai diri mereka, maka akan celakalah nasibnya. Dengan diam-diam
dan sangat hati-hati ia berkisar, setapak demi setapak. Ia telah menemukan arah
yang baik untuk menyembunyikan diri dan kemudian meninggalkan tanah perdikan
yang seolah-olah menjadi panas, sepanas bara api baginya. Maka, dengan tidak
menarik perhatian, akhirnya Jaka Soka berhasil menyelinap ke dalam gelap dan
kemudian menghilang dari halaman itu. Bagi Jaka Soka, lebih baik hidup di
antara anak buahnya dan perempuan-perempuan yang dikumpulkan selama ini,
daripada mati di Banyubiru. Ia tidak peduli apa yang dikatakan orang atasnya.
Apakah orang akan mengatakannya pengecut, apakah penakut, ia tidak keberatan.
Sebab pada dasarnya, meskipun golongan hitam itu nampaknya bekerja
bersama-sama, namun mereka sama sekali tak memiliki kesetiakawanan yang jujur.
Apabila mereka terbentur pada kepentingan diri, maka kepentingan bersama dapat
dianggapnya tidak berlaku.
Sementara itu,
Arya Salaka memacu kudanya seperti angin topan. Meskipun demikian, tarasa
betapa lambatnya perjalanan itu. Kuda yang dinaikinya betapa malasnya, sehingga
berkali-kali ia terpaksa mencambuknya. Ketika dari kejauhan tampak api yang
menyala, terdengar giginya gemertak. Tangannya yang memegang tombak pusaka
Banyubiru terasa gemetar. Ia menjadi marah sekali. Ia menyesal, bahwa ia
terlambat.
MAHESA JENAR
dan Kebo Kanigara berpacu di belakangnya. Kedua orang itu pun tak kalah
gelisahnya. Juga kedua orang itu menyesal kenapa Sawung Sariti tidak segera
mengabarkan kepada mereka, bahwa ada serombongan orang-orang dari golongan
hitam yang pergi ke Banyubiru. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara memacu kuda
mereka dengan darah yang bergolak. Suara kaki-kaki kuda mereka berderap memecah
sepi malam di atas tanah-tanah berbatu padas. Orang-orang yang menutup pintu
serapat-rapatnya di tepi-tepi jalan, menjadi semakin gelisah mendengar derap
kuda itu. Mereka memeluk anak-anak mereka semakin erat di dada mereka sambil
berdoa, semoga Yang Maha Kuasa melindungi mereka dari bencana. Arya Salaka
melihat dua tiga orang menyelinap ke halaman ketika kudanya menghambur terbang,
tetapi ia tidak memperdulikannya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun tak begitu
tertarik kepada orang-orang itu. Tetapi ketika kemudian terdengar bunyi
kentongan, mereka menyesal. Agaknya orang-orang itu adalah para pengawas, yang
harus mengamat-amati kedatangan orang-orang Banyubiru. Namun mereka tak dapat
memutar kuda mereka kembali. Dengan demikian waktu mereka akan semakin habis.
Ketika Arya Salaka akan membelok ke arah api yang menyala-nyala, terdengar
Mahesa Jenar berteriak,
“Terus ke
rumahmu, Arya.”
Arya menarik
kekang kudanya sekuat-kuatnya, sehingga kuda itu meringkik dan berdiri tegak di
atas kedua kaki belakangnya.
“Api,” jawab
Arya. Pada saat itu kuda Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara telah berlari
disampingnya, tidak ke arah api itu. Dan terdengarlah suara Mahesa Jenar tanpa
menghentikan kudanya,
“Itu adalah
suatu cara untuk memancing kita. Aku telah mengenal akal itu”.
Kembali Arya
Salaka menggeretakkan giginya. Dengan cepatnya ia mencambuk kudanya dan berlari
mengikuti gurunya. Mereka langsung pergi ke rumah kepala daerah perdikan yang
sedang diguncang oleh peristiwa-peristiwa yang menyedihkan. Ketika mereka
semakin lama menjadi semakin dekat, maka dada merekapun semakin berdebar-debar
pula. Meskipun demikian, Arya masih belum sadar benar akan keadaannya, sehingga
dengan berteriak ia bertanya,
“Bagaimana
dengan api itu paman?”.
Mahesa Jenar
menoleh. Dilihatnya Arya telah menyusul dekat dibelakangnya,
“Jangan
perdulikan”, jawabnya
“mereka hanya
ingin menarik perhatian kita. Tempat yang menyala itu adalah tempat-tempat yang
tak berarti. Mudah-mudahan laskarmu telah berusaha untuk menyelesaikannya.
Bukankah api itu telah surut?”.
“Ya”, sahut
Arya. Ia mengerti sekarang, bahwa bahaya yang sebenarnya tidak terletak di
daerah api itu. Mereka bertiga memacu kuda-kuda mereka semakin cepat dan cepat.
Mereka berpacu bersama angin basah yang bertiup menghanyutkan awan yang kelabu.
Kilat memancar-mancar di udara seperti sedang bersabung, diantar oleh bunyi
guruh yang menggelegar memukul tebing-tebing perbukitan. Arya Salaka menjadi
tidak sabar lagi. Ketika ia melihat sepasang beringin di alun-alun, hatinya
seperti meronta-ronta. Tetapi dimuka regol rumahnya tak dilihatnya apapun yang
mencurigakan.
Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara, adalah orang-orang yang telah memiliki pengalaman yang jauh
lebih luas dari Arya Salaka. Karena itu mereka menghentikan kuda-kuda mereka di
muka halaman. Mereka harus memasuki halaman itu dalam kesiagaan penuh. Namun
Arya Salaka tidak sempat berpikir demikian. Ia langsung melampaui Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara di atas kudanya yang masih berlari seperti di kejar hantu.
“Arya!”,
teriak Mahesa Jenar.
Tetapi Mahesa
Jenar tak mampu menghentikannya. Seperti anak panah Arya langsung menyerbu
masuk ke halaman. Di halaman itu masih bertempur dengan sengitnya, Sura
Sarunggi melawan Anggara, dan Umbaran melawan Radite. Mereka bertempur dalam
tingkat tertinggi dari ilmu-ilmu mereka. Yang paling gelisah dari mereka adalah
Umbaran. Ia sadar sesadar-sadarnya, apabila datang orang-orang Banyubiru, maka
akan berakhirlah kisah petualangannya. Karena itu, dalam kegelisahannya ia
sempat memperhitungkan keadaan. Ia harus bertindak cepat dan menguntungkan.
Karena itu ia memutuskan untuk membunuh salah seorang lawannya atau orang-orang
Banyubiru yang datang untuk mengurangi lawannya. Sesudah itu, kalau perlu ia
akan melarikan diri saja, meskipun kemungkinannyapun tipis pula. Tetapi kalau
ia berhasil membunuh salah seorang dari mereka, ia akan dapat mempengaruhi
keadaan, meskipun hanya sekejap. Dan kelebihan waktu yang sekejap itu harus
dipergunakan sebaik-baiknya.
Ketika ia
mendengar derap kuda langsung memasuki halaman, ia melontar mundur beberapa
langkah, kemudian dengan tak terduga Umbaran berteriak keras-keras, dan pisau
belati panjangnya meluncur seperti tatit ke dada Arya Salaka. Arya terkejut
melihat sinar kuning menyilaukan terbang kearahnya. Tetapi ia tidak mendapat
kesempatan untuk mengelak. Kudanya sendiri berlari cepat menyongsong sinar yang
berkilat-kilat itu. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara terkejut bukan kepalang.
Maut yang menyambar itu demikian cepatnya sehingga mereka tak mampu berbuat
apa-apa, selain berteriak keras,
“Arya,
bungkukkan badanmu”.
ARYA SALAKA
telah kehilangan keseimbangan perhitungannya. Karena itu tak ada yang dapat
dikerjakan. Ia mencoba membungkuk merapat ke punggung kuda, namun pisau itu
telah dekat sekali. Tetapi tak sempat dilihatnya adalah sambaran pisau yang
kedua. Pisau belati panjang yang seakan-akan mengejar pisau yang pertama. Pisau
inipun tak kalah cepatnya, meluncur dari arah yang lebih rendah dari pisau yang
pertama, sehingga kedua pisau itupun seperti kilat di langit yang sambar
menyambar. Tuhan adalah penentu dari semua kejadian. Pisau itupun tak terlepas
dari pengaruh tanganNya. Pisau belati yang kedua, yang dilemparkan oleh
Pasingsingan yang seorang lagi, meluncur dari arah yang berbeda serta lebih
rendah dari arah pisau yang pertama, berhasil mengenai pisau yang pertama.
Sentuhan itu dapat mempengaruhi arah pisau-pisau itu. Sehingga dengan demikian,
selisih arah yang hanya setebal jari mengukit arah yang pertama, telah
menyelamatkan Arya Salaka. Meskipun ia belum berhasil merapatkan tubuhnya
sepenuhnya, namun pisau-pisau itu tak menyentuh kulitnya. Hanya ikat kepalanya
sajalah yang tersambar dan terbawa oleh pisau-pisau itu. Namun meskipun
demikian, dada Arya Salaka berdesir keras. Ia menggeram sambil menggigit
bibirnya. Maut serasa telah hinggap diujung rambutnya. Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara terpekik kecil. Mereka meloncat bersama-sama maju, namun kemudian
mereka melihat Arya Salaka masih duduk di atas punggung kudanya yang meluncur
cepat di halaman itu, yang kemudian melingkar memutar di samping gandok.
“Bagaimana kau
Arya ?”, teriak Mahesa Jenar. Nafas Arya masih meloncat-loncat tak teratur.
Dadanya berdebar cepat dan jantungnya seperti berdentang-dentang. Namun ia
sempat menjawab terbata-bata,
“Baik paman”.
Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara menarik nafas panjang. Tetapi kelegaannya itu tidak terlalu
lama. Mereka ditegangkan kembali oleh kenyataan yang dilihatnya di halaman.
Dalam remang-remang cahaya obor di pendapa, mereka melihat Mantingan, Wilis,
Widuri dan Wirasaba berdiri dalam satu kelompok hampir berhimpitan dengan kaku,
di pendapa mereka melihat Wanamerta duduk lemas seperti orang yang kehilangan
akal, sedang Sendang Parapatpun duduk bersandar tiang. Tangannya memegang
senjatanya, namun senjata itu terkulai di lantai. Sedang beberapa penjaga
diregol jatuh tersungkur di tanah, dan mereka yang berada di gardu telah
kehilangan kemampuan bergerak. Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka
menjadi semakin terkejut ketika mereka melihat dua lingkaran pertempuran. Dan
hampir-hampir dada mereka meledak ketika mereka melihat tiga orang yang memakai
jubah abu-abu dan bertopeng kasar.
“Apakah
sebenarnya yang telah terjadi”, gumam Mahesa Jenar. Kebo Kanigara berdiam diri.
Keningnya berkerut-kerut. Umbaran ternyata telah menyerang Radite dengan
membabi buta, ketika ia tidak berhasil membunuh Arya Salaka. Pada saat itu, ia
telah mencoba untuk melarikan diri, namun Radite bukan anak-anak yang dapat
dikelabuhinya, sehingga dengan beberapa loncatan ia telah berhasil menahan
Pasingsingan yang menghantui Demak pada saat itu. Tiba-tiba halaman itu
digetarkan oleh pekik kecil. Widuri tiba-tiba berhasil menguasai kesadarannya,
ketika dilihatnya ayahnya memasuki halaman. Kemudian ia meloncat maju.
Mula-mula ia seperti melihat malaikat hadir di halaman itu. Maka ketika ayahnya
berdiri tegak mengamati keadaan, ia menghambur lari kepadanya,
“Ayah”,
panggilnya. Seperti anak ayam yang terancam elang, Widuri bersembunyi di balik
sayap-sayap induknya. Kebo Kanigarapun menjadi terharu karenanya. Meskipun ia
tidak melepaskan perhatiannya kepada keadaan sekelilingnya, namun dipeluknya
anak itu erat-erat. Pada saat itu Rara Wilis pun menjadi bertambah tenang,
sebab mereka masih dapat mengharap perlindungan dari orang-orang yang
dibanggakannya. Ketegangan yang mencekik leher orang-orang di halaman itu
menjadi semakin terurai. Kedatangan Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Arya Salaka
benar-benar telah membebaskan mereka dari kecemasan. Bukan karena mereka cemas
dan takut bahwa mereka akan terbunuh, namun mereka cemas dan takut bahwa mereka
tidak dapat mempertahankan pusat pemerintahan Banyubiru, dan karena itulah kini
mereka yakin bahwa Banyubiru akan dapat diselamatkan. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
masih berdiri tegak tak bergerak. Hanya pandangan mata mereka sajalah yang
beredar dari satu titik ke titik yang lain. Ketika kemudian mata Mahesa Jenar
bertemu pandang dengan Rara Wilis berdesirlah hatinya.
Rara Wilis
kemudian menundukkan wajahnya, namun hatinya melonjak. Pada wajah gadis itu,
Mahesa Jenar dapat melihat ketegangan yang selama itu mencekam hatinya.
Kemudian terdengarlah Kebo Kanigara bergumam perlahan-lahan,
“Widuri,
apakah yang terjadi? Bukankah kalian selamat?”.-b
WIDURI tidak senakal
dan semanja biasanya. Kini benar-benar ia berusaha menempatkan diri. Karena itu
ia menjawab perlahan-lahan,
“Tiga hantu
bertemu di sini, Ayah. Ditambah seorang lagi, yang datang bersama salah seorang
dari hantu-hantu itu.”
Kebo Kanigara
menarik nafas. Ia menjadi ragu, apakah yang harus dilakukan. Tetapi disamping
itu, ia pun bersyukur kepada Yang Maha Agung bahwa anak serta
sahabat-sahabatnya telah diselamatkan. Berbeda dengan Mahesa Jenar. Ia telah
memiliki beberapa pengetahuan yang lebih banyak daripada Kebo Kanigara. Ia
telah mengenal lebih dalam mengenai Pasingsingan. Karena itu cepat otaknya
bekerja dan menemukan pemecahan dari teka-teki yang dihadapinya. Teringatlah ia
kepada ketiga murid Pasingsingan yang bernama Radite, Anggara dan Umbaran. Teringatlah
ia kepada dua orang petani yang bernama Paniling dan Darba di Pudak Pungkuran.
Karena itu Mahesa Jenar segera mengetahui bahwa kedua orang berjubah abu-abu di
antara mereka adalah Radite dan Anggara, sedang yang lain adalah Umbaran.
Mahesa Jenar juga memastikan bahwa yang bertempur melawan Sura Sarunggi itu
adalah salah seorang dari kedua petani dari Pundak Pungkur itu, sedang yang
bertempur di antara dua orang yang berpakaian mirip itu adalah Umbaran melawan
salah seorang saudara seperguruannya. Tetapi yang manakah di antara keduanya
yang bernama Radite dan yang manakah yang Umbaran? Karena itulah kemudian
Maheswa Jenar berbisik kepada Kebo Kanigara,
“Kakang,
ingatkah Kakang kepada dua orang petani di Pudak Pungkuran?”
“Ya,” sahut
Kebo Kanigara. Sebenarnya ingatannya pun mulai merayap kepada kedua orang
petani itu. Karena itu, pertanyaan Mahesa Jenar telah mendorongnya kepada suatu
kepastian tentang tiga orang hantu berjubah abu-abu itu.
“Tuhan Maha
Besar,” Mahesa Jenar meneruskan,
“Mereka datang
kemari pada saat yang tepat. Karena salah seorang dari mereka itu pulalah maka
Arya Salaka dapat diselamatkan.”
“Ya,” jawab
Kebo Kanigara. Pada saat itu dua buah pisau belati panjang yang berwarna kuning
terbang ke arah Arya Salaka. Baik Mahesa Jenar maupun Kebo Kanigara melihat
salah seorang dari mereka berjongkok. Orang itulah yang telah menolong Arya
dari usaha pembunuhan yang dilakukan oleh yang lain. Dan orang itulah pasti
salah seorang dari Radite atau Anggara. Tetapi ketika kemudian keduanya telah terlibat
dalam suatu pertempuran yang riuh, maka mereka tidak dapat mengenal lagi yang
manakah di antara keduanya yang telah menolong Arya. Karena itu mereka tidak
dapat segera berbuat sesuatu, sebelum memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan
sebaik-baiknya.
Namun Mahesa
Jenar tidak mencemaskan keadaan. Ia yakin bahwa Radite dan Anggara akan dapat
menyelesaikan pekerjaan mereka. Di Rawa Pening dahulu, Sima Rodra dan
Pasingsingan tak mampu melawan kedua orang itu pula, sedangkan pada saat itu
Radite dan Anggara harus menyembunyikan gerak-gerak khusus dari perguruan
Pasingsingan. Apalagi kini mereka dapat bergerak dengan leluasa tanpa
pengendalian diri. Mereka tidak perlu takut-takut bahwa mereka akan dikenal,
sebab agaknya kehadiran mereka pada saat itu dengan ciri-ciri kekhususan
mereka, adalah karena Radite dan Anggara telah menemukan suatu cara pemecahan.
Karena itulah akhirnya Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara malahan berkisar menepi.
Arya pun telah turun dari kudanya. Kini jantungnya telah tidak berdentang-dentang
lagi. Ia berdiri tidak jauh dari gurunya, sambil memperhatikan setiap keadaan.
Ia tidak mengerti mengapa tiba-tiba ada tiga orang yang berjubah dan bertopeng.
Sedang sepasang di antaranya saling bertempur.
Pertempuran di
halaman itu semakin sengit, Sura Sarunggi mengumpat di dalam hati. Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara benar-benar mempengaruhi perasaannya. Ia telah melihat
sendiri apa yang telah dialami oleh Sima Rodra dan Nagapasa. Kedua orang itu
pulalah yang telah membinasakan mereka. Sedang kini tiba-tiba ada setan,
gendruwo, thethekan yang mengganggu. Orang berjubah itu benar-benar mengacaukan
rencana. Kalau tak ada mereka, ia pasti akan berhasil menghindari pertempuran
ketika didengarnya kentongan rog-rog asem. Tetapi sekarang tak ada kesempatan untuk
meninggalkan halaman itu.
Tetapi justru
karena itulah maka Sura Sarunggi, seorang yang mempunyai nama yang besar di
antara mereka, yang tahu akibat-akibat dari perbuatannya, menjadi semakin
marah. Senjatanya meledak-ledak seperti guruh di langit. Menyambar, melingkar,
mematuk mengerikan. Senjata itu dapat menyerang lawannya tidak saja dari muka
atau dari samping, tetapi ujungnya tiba-tiba dapat mematuk pula dari arah
punggung lawannya. Untunglah yang melawannya adalah Anggara yang memiliki
kelincahan melampaui ujung cemeti itu. Setiap kali ia meloncat-loncat
menghindari dari ujung senjata lawannya itu, selincah sikatan menyambar
belalang di rerumputan. Bahkan ujung pisaunya pun mematuk-matuk mengerikan,
seolah-olah telah berubah menjadi puluhan, bahkan ratusan pisau yang bergerak
bersama-sama. Kemudian Sura Sarunggi itu tidak lagi memperhitungkan apa yang
akan terjadi atas dirinya. Tetapi yang ada dibenaknya adalah bertempur
mati-matian untuk membinasakan orang yang telah berani merusak rencananya itu. Sesudah
itu, apakah ia harus mengalami nasib seperti Sima Rodra, apakah ia masih akan
bernasib baik, tidaklah menjadi soal baginya. Pertempuran antara Sura Sarunggi
dengan Anggara segera mencapai saat-saat yang menentukan.
KETIKA Anggara
melihat lawannya berjuang pada tataran terakhir, ia pun segera memusatkan
segela kemampuannya. Sehingga lambat laun, tampaklah bahwa petani miskin dari
Pudak Pungkuran itu dapat mendesak lawannya. Sambil menggeram marah, Sura
Sarunggi berusaha untuk melepaskan segala kesaktiannya. Namun ternyata Anggara
memiliki beberapa kelebihan daripadanya. Sehingga akhirnya Sura Sarunggi tak
dapat berbuat lain daripada melepaskan ilmu terakhir, yang dinamainya Uler
Kilan. Ilmu yang luar biasa dahsyatnya. Meskipun pada dasarnya ilmu ini adalah
ilmu gerak, namun Uler Kilan memiliki daya keampuhan yang nggegirisi.
Sentuhan-sentuhan ilmu ini dapat menyebabkan lawannya menjadi nyeri dan panas,
seperti tersentuh oleh ulat yang paling berbahaya berlipat seperti tersentuh
oleh bisa ulat yang paling berbahaya berlipat seribu. Dengan berteriak nyaring,
Sura Sarunggi melenting tinggi. Kemudian menyambar lawannya dengan tangannya
yang mengembang. Sedang tangannya yang lain masih juga mempermainkan cambuknya
yang meledak-ledak mengerikan. Anggara yang melihat perubahan gerak lawannya,
segara mengetahui, bahwa orang yang berkepala besar itu telah melepaskan ilmu
terakhirnya. Karena itu, iapun melontar mundur beberapa langkah untuk mengambil
jarak. Sebab, sudah pasti, untuk melawan ilmu sakti itu, ia pun harus
mempergunakan rangkapan pula. Sura Sarunggi kemudian bertempur benar-benar
seperti Ular Kilan. Jauh berbeda dengan gerak-gerak sebelumnya. Ia
melenting-lenting dari satu tempat ke tempat lain dengan loncatan-loncatan panjang.
Kemudian kembali ia menyerang dengan telapak tangannya. Disusul dengan ledakan
cambuknya memecah desir angin malam. Akhirnya Anggara pun tak mempunyai pilihan
lain. Dalam sesaat ia telah berhasil membangun diri dalam kekuatan
rangkapannya. Ilmu yang disusunnya bersama-sama dengan kakak seperguruannya,
Radite, berdasarkan ilmu yang diterimanya dari gurunya. Ilmu yang tak kalah
ampuhnya, yang dinamai Naga Angkasa.
Tiba-tiba
Anggara dalam pakaian Pasingsingan itu mengembangkan tangannya, seperti seekor
burung garuda. Jubahnya seolah-olah menjadi sayap-sayap yang selalu
bergerak-gerak ditiup angin. Dalam kesiagapan tertinggi ia menanti lawannya
menyerangnya kembali. Kedua orang itu bertempur dalam tingkatan terakhir. Sura
Sarunggi menjadi heran, kenapa Pasingsingan ini tak melepaskan aji Gelap
Ngampar atau Alas Kobar, tetapi ia lebih senang melawan ilmunya dengan ilmu
gerak pula. Namun Naga Angkasa pun membawa udara yang aneh, yang seolah-olah
mempengaruhi kesadaran lawannya. Naga Angkasa tidak sepanas Alas Kobar, namun
pengaruhnya jauh melampauinya, sehingga dengan demikian, terasa bahwa ilmunya
sendiri, Uler Kilan menjadi susut daya kemampuannya. Meskipun demikian, Sura
Sarunggi bukan tokoh yang baru lahir kemarin sore. Berpuluh-puluh tahun ia
menekuni ilmunya. Karena itu, didesaklah ilmu itu sampai tapis. Dengan
demikian, maka perlawannyapun menjadi bertambah sengit. Namun kembali kepada
sumber kekuatan, yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata. Bagaimanapun
setan dan iblis berusaha membangun kerajaan dengan dalih apapun juga, namun
akhirnya kekuasaan Tuhanlah yang akan menang. Dan akan mulailah kerajaan Sorga
yang abadi. Semakin lama, semakin jelas, bahwa Naga Angkasa yang dahsyat itu,
benar-benar dapat mendesak ilmu yang dinamainya Uler Kilan. Meskipun demikian,
Uler Kilan yang kasar dan bengis itu benar-benar merupakan ilmu terkutuk dan
luar biasa. Apalagi kemungkinan Sura Sarunggi itupun mempergunakan ilmunya yang
lain, yang disebutnya Welut Putih, yang dapat meluluri kulitnya dengan
keringatnya, sehingga ia menjadi selicin belut. Kemudian Anggara terpaksa untuk
kedua kalinya melepaskan ilmunya yang lain, ilmu yang benar-benar diterima dari
gurunya secara murni, Alas Kobar, setelah ia berusaha menjauhkan lawannya dari
pendapa. Sebab ia sadar, bahwa Alas Kobar akan memancar ke segala arah,
sehingga dengan demikian ia memerlukan jarak untuk membebaskan orang-orang lain
dari pengaruhnya. Terasa kini oleh Sura Sarunggi, bahwa lawannya itupun
benar-benar bernama Pasingsingan. Tetapi ia tetap tidak mengerti kenapa hal itu
bisa terjadi. Meskipun demikian ia tidak mau berpikir lebih banyak lagi. Ketika
terasa udara panas menyerangnya, iapun segera membentengi diri, untuk
membebaskan panas yang melibatnya.
Namun dengan
demikian, terasa bahwa ilmunya menjadi semakin susut. Kemampuannya tidak
sedahsyat mula-mula. Naga Angkasa yang dirangkapi Alas Kobar benar-benar
menjadikannya cemas. Tetapi kini benar-benar ia tak mempunyai kesempatan untuk
melarikan diri. Karena itu, bagaimanapun juga, ia harus mengurai segenap
kemampuannya. Bahkan akhirnya ia menjadi seolah-olah putus asa, dan
bertempurlah ia membabi buta. Dalam keadaan yang demikian itulah, akhirnya Sura
Sarunggi benar-benar kehilangan perhitungan. Ketika Anggara menyerangnya dengan
dahsyat, ia mencoba untuk mengelakkan diri dengan melenting tinggi. Uler Kilan
itu benar-benar telah membebaskannya, namun ketika ia berusaha untuk menyerang
lawannya dengan cambuknya di tangan kiri dan kekuatan-kekuatan ilmu gerak Naga
Angkasa, ia berhasil menangkap ujung cambuk Sura Sarunggi. Direnggutkannya
cambuk itu kuat-kuat, namun Sura Sarunggi tak akan melepaskan senjatanya.
Memang hal itu telah diperhitungkan oleh Anggara. Dengan demikian, karena
Anggara merasa bahwa Naga Angkasa dapat melampaui, setidak-tidaknya menyamai
kekuatan lawannya, ia mempunyai kemenangan waktu. Sura Sarunggi tersentak
selangkah maju, namun selangkah itu telah menentukan saat terakhirnya. Ketika
ia meluncur maju, pada saat yang bersamaan, Anggara meloncat maju. Pisau belati
panjangnya bergerak dengan cepatnya menyambar leher lawannya.
TETAPI Sura
Sarunggi tak mau mati. Dengan gerak naluriah, ia terpaksa melepaskan cambuknya
dan membungkukkan diri. Kali ini ia terbebas dari sambaran pisau itu, tetapi
untuk kedua kalinya Anggara menyerang dengan tangannya mengenai tengkuk
lawannya. Kekuatan Anggara benar-benar mengagumkan. Meskipun saat itu Sura
Sarunggi dalam lambaran ilmunya, namun dengan kekuatan Naga Angkasa, pukulan
tangan Anggara benar-benar seperti sambaran petir yang menghantam dari langit.
Maka pertempuran itu sampai pada akhirnya. Sura Sarunggi, seorang yang selama
ini menjadi tempat berlindung beberapa orang dari golongan hitam di Rawa
Pening, dan yang telah melahirkan dua orang kakak-beradik Uling Putih dan Uling
Kuning ke dalam lingkungan golongan hitam, kini tak dapat menghindarkan diri
dari terkaman maut. Karena pukulan tangan Anggara yang berlambaran ilmu dahsyat
itulah, maka terdengar gemeretak tulang lehernya. Sekali ia menggeliat dan
melenting tinggi, kemudian ia terjatuh beberapa langkah dari lawannya. Meskipun
demikian ia masih berusaha berdiri dan dengan mata yang merah menyala-nyala ia
mengumpat dalam bahasa kasar, “Setan belang, iblis laknat. Terkutuklah kau oleh
jin dan peri….”
Kemudian Sura
Sarunggi kehilangan segenap kekuatannya. Ia tak dapat mengumpat-umpat lagi,
bahkan akhirnya ia terhuyung-huyung dan kemudian jatuh diam. Maut telah
merenggutnya dari kehidupannya yang penuh dengan noda-noda hitam. Suaranya yang
kasar dan keras itu telah mempengaruhi suasana di halaman itu. Semua orang
menoleh kepadanya. Agak jauh di depan gelap mereka melihat orang berjubah itu
berdiri tegak. Beberapa langkah di hadapannya terkapar lawannya. Mantingan dan
Wirasaba melihat peristiwa itu seperti peristiwa-peristiwa rentetan-rentetan
kejadian-kejadian yang mengambang dalam hatinya. Ia menyaksikannya dengan
perasaan yang kosong, setelah hatinya terampas oleh ketegangan yang
terus-menerus. Meskipun demikian, sesuatu memancar di dalam dada mereka. Ketika
melihat Sura Sarunggi jatuh tersungkur, menyalalah kelegaan di dada mereka.
Sedang Rara Wilis dan Endang Widuri kini telah benar-benar menjadi tenang.
Mereka telah dapat menilai, keadaan dengan baik. Mereka telah dapat meyakinkan
diri mereka, bahwa Sura Sarunggi dan Pasingsingan yang datang bersama hantu
Rawa Pening itu pasti akan dapat dikalahkan.
Kehadiran
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menjadi kunci penyelesaian apabila kedua
orang berjubah yang lain tak mampu memenangkan pertempuran. Juga apabila kedua
orang bertopeng yang tak mereka kenal itu, akhirnya akan mengambil alih
perbuatan-perbuatan kedua orang yang lain itu. Apalagi kemudian mereka melihat
bahwa salah seorang dari dua orang yang menggoncangkan hati mereka telah dapat
dikalahkan. Pasingsingan, guru Lawa Ijo itupun tak kalah terkejutnya mendengar
sahabatnya mengumpat-umpat. Dengan satu loncatan panjang, guru Lawa Ijo
melontar ke samping untuk mendapat waktu melihat apa yang terjadi atas Sura
Sarunggi. Lawannya pun tidak melihat, bagaimana sahabatnya itu jatuh tersungkur
di tanah, untuk kemudian tidak bangun kembali. Terdengarlah Umbaran menggeram.
Suaranya bergulung-gulung di belakang topengnya yang kasar. Kemudian
terdengarlah ia berteriak putus asa,
“Ayo, majulah
bersama-sama. Radite, Anggara, Mahesa Jenar dan kawanmu itu. Bersama-sama mati
pulalah Mantingan, dan perempuan-perempuan yang tak tahu diri. Inilah Umbaran,
tak akan mundur setapak.”
Suaranya
menggelegar seperti suara guruh yang mengumandang di lembah yang berawa itu.
Namun di balik suara yang garang itu, terasa betapa kecemasan dan keputusasaan
menguasainya. Anggara masih berdiri di tempatnya, namun ia telah memutar
tubuhnya. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara masih tegak seperti patung, dan Radite
yang langsung berhadapan dengan Umbaran itupun belum juga bergerak.
Bahkan kemudian
terdengar Radite itu berkata,
“Umbaran,
Anggara terpaksa membunuhnya.”
“Persetan
dengan Sura Sarunggi,” jawab Umbaran. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara menarik
nafas dalam-dalam. Mereka kini tahu dengan tepat, bahwa yang bertempur dengan
Umbaran adalah Radite.
Dan kini
mereka telah dapat membedakan, yang manakah Radite dan yang manakah Umbaran.
Meskipun demikian, mereka tak akan mengganggu dua orang yang kakak-beradik
seperguruan itu menyelesaikan masalah mereka.
“Umbaran…”
kata Radite,
“Pergunakanlah
saat-saat terakhir ini sebaik-baiknya. Pandanglah langit yang luas dan menjadi
lapang pulalah hatimu. Menyebutlah nama Tuhan, dan kemudian bertobatlah.”
“Kenapa aku
harus bertobat?” teriak Pasingsingan,
“Aku telah
menempuh suatu perjuangan yang mengasyikkan, yang telah membentuk diriku
menjadi seorang yang bercita-cita.”
“Kau, aku,
Anggara, Anakmas Mahesa Jenar dan Anakmas Kebo Kanigara itupun memiliki dosa
masing-masing. Karena itu terhadap orang yang telah bertobat, tak seharusnya
dilakukan sesuatu. Sebab kami sendiri pun bernoda. Kami akan memaafkan kau.
Demikian juga guru kita. Hanya orang-orang yang terlepas dari dosalah yang
berhak menghukum setiap orang yang telah bulat-bulat pasrah diri ke dalam
lingkungan kebenaran. Dan orang yang demikian itu tidak ada di dunia ini.
Karena itu apabila kau benar-benar bertobat, pasrah diri dengan tulus dan
jujur, tak akan ada orang yang mendendammu.”
“Bah!” jawab
Umbaran,
“Akan kau
pikat aku dengan mulutmu. Bertempurlah dengan sikap jantan. Jangan membujuk dan
menikam aku dari belakang.”
“Kejantanan
seseorang tidaklah ditentukan dengan atau oleh senjata,” sahut Radite,
“Tetapi
ditentukan oleh caranya menyelesaikan persoalan. Bagaimana ia menghargai cinta
atas sesama, cinta yang dilimpahkan Tuhan kepadanya.”
“MARILAH kita
selesaikan persoalan ini dengan cara yang sudah kita mulai,” kata Umbaran
dengan lantang.
“Aku telah
bertekad untuk membunuh dan mengikat kalian di belakang kaki-kaki kuda. Kalau
kau akan berbuat demikian atasku, ayolah, majulah bersama-sama.”
“Kalau kami
berbuat demikian atasmu, Umbaran…” kata Radite,
“Maka dosa
kami akan berlipat ganda. Sebab kami tahu bahwa perbuatan itu adalah perbuatan
dosa dan bertentangan dengan perikemanusiaan. Dan dengan demikian, tak akan ada
bedanya, siapakah yang dapat menikmati cinta abadi, dan manakah yang masih
hidup dalam kegelapan.”
Tiba-tiba
Pasingsingan yang juga bernama Umbaran itu tertawa dan tertawa. Suaranya
menggelegar mengumandang. Namun ia tidak melepaskan aji Gelap Ngampar, sebab ia
tahu, bahwa tidak akan ada gunanya. Tetapi ia tertawa karena berbagai perasaan
bergulat di dalam dadanya. Marah, kecewa, cemas dan putus asa. Pada saat yang
demikian, seakan-akan berdatangan kenangan masa lampaunya. Sejak masa
kanak-kanaknya yang kelam. Ayahnya bukanlah seorang yang dapat dibanggakan. Ia
adalah seorang penjudi besar, yang hampir setiap malam tak pernah menjenguk
rumahnya. Seorang yang sanggup membunuh kawan bermainnya hanya karena uang
seduwit, apalagi dalam persoalan-persoalan yang lebih besar. Sebagai lazimnya
penjudi, ayahnya adalah seorang yang mabuk pada nafsu-nafsu keduniawian yang
lain, makan, minum tuak dan perempuan. Meskipun ayahnya tidak termasuk dalam
lingkungan penjahat, namun apa yang dilakukan tidaklah kalah kejam dan bengis
daripada para penjahat. Ibunya mula-mula hanya menahan hati. Dengan sedih ia
berusaha hidup dan menghidupi anaknya, Umbaran. Tetapi lambat laun, perempuan
itupun hanyut dalam arus kemiskinan jiwa. Ketika seorang laki-laki datang dan
menyatakan belas kasihannya ketidakpuasannya selama ini kepada suaminya dan
kesulitan yang disandangnya. Laki-laki datang dengan berbagai kesenangan. Uang,
perhiasan dan nafsu. Maka berulang kalilah hal yang demikian itu terjadi.
Laki-laki itu datang untuk kedua, ketiga, keempat dan ketigapuluh kalinya.
Sejak itu Umbaran menjadi liar. Tak ada perhatian atasnya sebagai anak-anak
yang memerlukan cinta kasih orang tuanya. Ayahnya sibuk dengan dadu dan
warna-warna di meja judi, sedang ibunya sibuk melayani laki-laki yang datang
mengisi kekosongan hatinya. Umbaran yang kecil, melihat kehidupan dari segi
yang kelam. Mula-mula ia merasa sedih. Kemudian ia membenci laki-laki yang
datang hampir setiap hari apabila ayahnya pergi. Ia benci kepada ayahnya yang
hampir menguras habis segala kekayaan dan harta benda yang pernah dimiliki. Ia
benci kepada segala-galanya. Akhirnya ia menerima keadaan itu sebagai hal yang
sewajarnya. Sebagai hal yang seharusnya dilakukan oleh setiap orang. Ia
menganggap bahwa saat yang pendek dalam dunia ini harus diteguknya senikmat-nikmatnya.
Tanpa menghiraukan masa-masa mendatang, tanpa menghiraukan jaman yang abadi
yang akan ditandai oleh pengadilan bagi segenap umat manusia. Pada saat manusia
harus menjawab tanpa dapat menyembunyikan peristiwa yang bagaimanapun kecil dan
gelapnya. Sebab pengadilan Tuhan mengenal setiap manusia. Tuhan akan melihat,
meskipun hanya setetes darah yang pernah ditumpahkan, selembar rambut yang
pernah digugurkan, tanpa dapat dipungkiri.
Tetapi Umbaran
tidak mengenal itu. Tak seorangpun yang pernah memperkenalkannya dengan
kerajaan sorga. Tak seorangpun yang pernah berceritera kepadanya tentang
kehadiran nabi-nabi di dunia.
Umbaran tak
pernah mendengar semuanya itu. Ketika akhirnya ia mendengar juga, hatinya telah
menjadi sekeras batu. Meskipun kadang-kadang hatinya terketuk juga, namun
nafsunya yang melonjak-lonjak, yang dipupuknya sejak kanak-kanaknya, telah
mendesak cahaya-cahaya yang menyorot ke dalam hatinya. Sehingga kemudian ia
telah bertekad untuk menutup pintu serapat-rapatnya dari segenap pekabaran tentang
kerajaan Allah yang Abadi.
Kalau terasa
padanya, adanya kekuatan-kekuatan di luar kekuatan dirinya, di luar kekuatan
manusia, maka ia mencoba untuk mencarinya pada alam, pada batu-batu besar, pada
pohon-pohon beringin tua, pada relung-relung goa. Kepada kerajaan setan, ia
mengabadikan dirinya untuk mendapat kekuatan-kekuatan ajaib. Namun
kekuatan-kekuatan yang dilambari oleh kekuatan hitam, yang arahnyapun untuk
membuat malapetaka dan bencana bagi umat manusia. Karena itulah ketika hatinya
menjadi gelap, maka gelaplah seluruh isi bumi. Tak ada sedikitpun cahaya yang
dapat memberinya arah.
Ketika ia
harus berhadapan dengan Radite itupun, baginya seakan-akan dihadapkan ke tepi
suatu jurang yang dalam dan kelam. Tetapi ia sudah bertekad untuk melompat ke
dalamnya. Ia tidak tahu apakah di dalamnya akan dijumpainya istana gading yang
indah, atau di sana akan dijumpainya kandang serigala lapar yang siap untuk
menyobek-nyobek kulit dagingnya. Namun ia tidak peduli itu. Ia sudah basah
kuyup di tengah-tengah arus sungai yang deras. Tak ada jalan kembali.
TANPA berkata
sepatah katapun, akhirnya Umbaran membangunkan segenap kekuatan yang ada
padanya. Ketika kemudian semua kenangan masa lampaunya telah menghindar dari
benaknya, suara tertawanyapun menjadi surut, dan akhirnya terdiam. Demikian
mulutnya terkatup, dengan serta merta direnggutnya topeng yang selama ini
menutupi wajah aslinya. Dan tampaklah wajah tampan seorang yang telah melampaui
setengah abad. Matanya yang bulat besinar-sinar penuh nafsu, hidungnya yang
mancung dan bibirnya yang tipis. Dengan geram topeng itu dibantingnya, dan
terdengarlah ia berkata,
“Radite, tak
ada artinya lagi bagiku topeng dan jubah ini. Sekarang Umbaran berhadapan
dengan Radite dalam penentuan saat terakhir.”
No comments:
Post a Comment