Bagian 103


NAMUN Mahesa Jenar masih saja digelisahkan oleh persoalan yang dibawanya ke bukit ini. Ia tidak mengerti, kenapa Panembahan tidak segera mau menerima persoalan itu. Sehingga kemudian Mahesa Jenar itu menjadi berbimbang hati. Apakah Panembahan benar-benar belum mendengar persoalan ini? Karena kebimbangan itu, maka dada Mahesa Jenar justru menjadi berdebar-debar. Dan karena itulah maka seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu. Desakan di dalam dadanya itu menjadi sedemikian kuatnya sehingga dengan serta merta ia berkata kepada Rara Wilis.
“Wilis, kenapa Panembahan tidak mau mendengar persoalan ini segera?”
Wilis terkejut. Ketika ia berpikir dilihatnya wajah Mahesa Jenar menjadi bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Wilis merasakannya pula, bahwa kali ini Mahesa Jenar tidak bergurau lagi.
“Aku menjadi ragu-ragu Wilis,” berkata Mahesa Jenar.
“Apakah Panembahan sengaja menghindarinya?”
Tiba-tiba Mahesa Jenar itu berdiri. Dan dengan serta merta ia berkata,
“Marilah kita menghadap sekarang.”
Rara Wilis mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Apakah Panembahan tidak menjadi gusar karenanya?”
“Kita katakan, bahwa kita akan segera kembali.”
Rara Wilis tidak menjawab. Diikutinya saja kemana Mahesa Jenar pergi. Kepada seorang cantrik Mahesa Jenar menyatakan keinginannya untuk bertemu Panembahan.
“Sampaikan kepada Panembahan. Aku berdua akan mohon diri.”

Sekali lagi Panembahan terkejut. Sekali lagi dengan tergopoh-gopoh ditemui Mahesa Jenar. Katanya,
“Kenapa angger sedemikian tergesa-gesa?”
“Panembahan,” sahut Mahesa Jenar.
“Sudah aku katakan, bahwa kedatanganku membawa persoalan yang perlu segera aku sampaikan kepada Panembahan, Banyubiru sekarang sedang mempersiapkan perang.”
“Perang,” Panembahan itu terkejut sekali, sehingga sesaat ia berdiam diri memandangi Mahesa Jenar dengan tanpa berkedip.
“Ya” sahut Mahesa Jenar.
“Apakah Panembahan belum mendengar bahwa Widuri telah hilang?”
“Oh,” Panembahan itu semakin terkejut.
“Widuri anak Kebo Kanigara maksudmu?”
“Ya Panembahan?”
“Bagaimana mungkin anak itu hilang?”
“Widuri hilang karena pokal Karang Tunggal. Tegasnya Widuri diculik oleh Karang Tunggal itu.”
Tampaklah wajah Panembahan Ismaya itu berubah. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia bergumam.
“Anak itu tidak juga menjadi jera.”
Mahesa Jenar itu pun segera menceriterakan serba singkat apa yang diketahuinya tentang hilangnya Widuri. Dan akhirnya ia berkata,
“Panembahan, apakah kemungkinan pertumpahan darah itu tidak akan dapat dihindari?”

Panembahan Ismaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya perlahan-lahan,
“Kenapa Sultan Trenggana itu tidak saja menghendaki gadis yang lain?”
Mahesa Jenar mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin heran mendengar tanggapan Panembahan Ismaya itu. Panembahan Ismaya sama sekali tidak menyesalkan tindakan Karebet atau ketergesa-gesaan Kebo Kanigara, tetapi yang mula-mula disesalkan adalah Sultan Trenggana.
Apalagi ketika Panembahan itu berkata,
“Adalah wajar sekali kalau Kebo Kanigara menjadi marah.”
“Tetapi kemarahan kakang Kebo Kanigara berlebih-lebihan Panembahan. Apakah kakang Kebo Kanigara tidak dapat mengambil cara lain, sehingga pertumpahan darah itu tidak terjadi. Arya Salaka yang merasa kehilangan pula, mungkin akan dapat reda, apabila Kakang Kebo Kanigara mencoba menempuh cara yang lain.”
Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Sekali lagi jawabnya mengejutkan Mahesa Jenar.
“Mungkin Kebo Kanigara dan Arya Salaka memperhitungkan juga harga diri mereka, sehingga mereka tidak akan dapat datang kepada Trenggana dan mohon belas kasihan kepada Sultan itu.”
Mahesa Jenar kini benar-benar menjadi bingung. Apakah dirinya sendirilah yang kini telah kehilangan kejantanannya sehingga ia memandang persoalan itu sebagai persoalan yang harus diselesaikan tanpa pertumpahan darah? Ataukah karena ia sudah terdorong kepada suatu keinginan untuk berumah tangga, sehingga penyelesaian yang diangankannya itu benar-benar sebagai suatu tindakan yang terlalu lemah dan bahkan telah mengorbankan harga dirinya?
“Apakah aku telah berubah?” pertanyaan itu timbul didalam hatinya. Meskipun demikian maka ia mencoba berkata pula.
“Panembahan, mungkin kakang Kebo Kanigara tidak mau mengorbankan harga dirinya, mungkin pula karena sebab-sebab lain, sebab-sebab yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi bagaimanakah kalau permohonan itu dilakukan oleh orang lain? Oleh Panembahan misalnya. Bahkan Pangeran Buntara masih juga mempunyai sangkut paut yang dekat dengan Sultan Trenggana?”
“Jangan sebut nama itu lagi Mahesa Jenar,” sahut Panembahan itu.
“Pangeran Buntara telah tidak ada lagi. Yang ada sekarang Panembahan Ismaya.”
“Apakah Pasingsingan yang sakti juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk meredakan pertentangan ini? Misalnya dengan mengambil Karebet dan dengan pengaruhnya memaksa Karebet menyerahkan Widuri kembali?”
“Dengan demikian soalnya juga tidak akan selesai, Mahesa Jenar. Seandainya Karebet dapat menyerahkan Widuri kembali, sedang Sultan Trenggana masih menghendakinya, maka kau juga akan dapat membayangkan akibatnya.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar tidak dapat mengerti keadaan itu. Hampir saja Mahesa Jenar melihat kesalahan itu pada dirinya sendiri. Pada keruntuhan yang dialami. Hampir-hampir ia mengambil kesimpulan, bahwa ia tidak dapat mengerti sikap Kebo Kanigara dan Arya Salaka karena ia telah kehilangan kejantanannya. Namun berkali-kali terngiang di dalam hatinya.
“Tidak. Aku tidak akan membiarkan pertumpahan darah itu terjadi.”
Karena itu maka tiba-tiba Mahesa Jenar itu memberanikan diri berkata,
“Panembahan. Baiklah aku mencoba sekali lagi. Kalau kakang Kebo Kanigara dan Panembahan ternyata berpendapat bahwa Sultan Trenggana yang bersalah, karena menghendaki Endang Widuri itu, maka biarlah aku mencoba. Aku ingin menghadapkan Sultan Trenggana pada suatu pilihan. Mudah-mudahan dengan demikian terhindarlah segala bencana.”
“Apakah yang akan kau lakukan?” bertanya Panembahan Ismaya.
“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar kemudian dengan takzimnya.
“Bukan maksudku untuk menjual jasa. Baik kepada Sultan Trenggana maupun kepada siapa pun juga. Maafkan aku, kalau ternyata kemudian tidak berkenan di hati Panembahan. Aku ingin menghadapkan Sultan Trenggana kepada suatu pilihan. Keris-keris Nagasasra dan Sabuk Inten yang sampai sekarang belum kembali ke istana, atau Endang Widuri.”
“Mahesa Jenar,” potong Panembahan Ismaya. Wajahnya sesaat menjadi tegang. Namun kemudian wajah itu menjadi tenang kembali.
Perlahan-lahan Panembahan itu berkata,
“Apakah maksudmu?”
“Panembahan. Kalau berkenan di hati Panembahan, maka apakah Panembahan sendiri, apakah kakang Kebo Kanigara apakah Arya Salaka, biarlah salah seorang daripadanya menghadap Sultan, memohon untuk menukar Endang Widuri dengan pusaka-pusaka itu.”
“Mahesa Jenar,” berkata Panembahan.
“Kedua pusaka itu adalah hakmu. Biarlah kau miliki hak itu. Kau akan mendapat tempat tersendiri dengan mengembalikan keris-keris itu ke istana. Kalau keris-keris itu diserahkan untuk keperluan yang lain, maka kau akan kehilangan hak itu. Keris itu akan kembali, dan Endang Widuri akan kembali pula. Seakan-akan telah terjadi jual beli di antara mereka, sehingga usahamu selama ini akan tidak mendapat penghargaan apapun juga. Sebab tukar menukar itu telah berlangsung.”

“PANEMBAHAN,” jawab Mahesa Jenar.
“Aku sama sekali tidak memimpikan penghargaan apapun juga. Biarlah seandainya dengan demikian aku tidak mendapat apapun. Memang aku tidak mengharapkan apapun itu. Namun dengan demikian, maka terhindarlah kemungkinan-kemungkinan yang mengerikan. Apakah artinya jasa yang dapat aku persembahkan kepada Demak, apabila Demak akan mengalami bencana? Apakah artinya penghargaan yang akan aku terima, kalau Demak mengalami cidera. Panembahan, biarlah aku dilupakan, tetapi Demak akan tetap dalam keadaannya sekarang. Mudah-mudahan justru karena itu, Demak akan menjadi semakin jaya. Karena itu, biarlah kedua keris itu, Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten kembali ke istana, kembali ke gedung perbendaharaan. Tidak perlu Mahesa Jenar yang menyerahkannya. Tidak perlu Mahesa Jenar yang dianggap berjasa menemukannya.”
Panembahan Ismaya menundukkan wajahnya. Tampaklah wajah itu berkerut-kerut. Terasa betapa Panembahan tua itu menahan perasaan yang meluap-luap di dalam dadanya. Sekali ia mengangkat wajahnya, namun kembali wajah itu ditundukkannya. Sesaat ruangan itu menjadi sepi. Mahesa Jenar menunggu dengan hati yang sangat berdebar-debar, apakah Panembahan Ismaya akan mengijinkannya. Karena keris-keris itu sekarang berada di tangan Panembahan itulah, maka Mahesa Jenar menggantungkan keadaan kepadanya. Tetapi alangkah kecewanya Mahesa Jenar itu. Alangkah pahitnya perasaannya ketika ia melihat Panembahan Ismaya itu menggelengkan kepalanya sambil berkata lirih.
“Jangan Mahesa Jenar. Jangan. Biarlah orang lain menyelesaikan persoalannya sendiri. Biarlah kau nanti membawa persoalanmu sendiri pula.”

“Panembahan,” suara Mahesa Jenar menjadi parau karena hatinya yang pedih.
“Aku benar-benar tidak mengerti. Apakah sebenarnya yang akan menimpa Demak di saat-saat terakhir ini. Aku telah mencoba menghubungi Kakang Kebo Kanigara, namun aku tidak mendapat tanggapan yang sewajarnya. Kini aku mencoba menghadap Panembahan dan bahkan aku ingin mencoba mempergunakan kedua pusaka-pusaka Istana itu. Namun aku menjumpai pendirian yang sama sekali tidak dapat aku mengerti Panembahan, apakah benar-benar aku telah berubah menjadi seorang pengecut yang takut melihat darah tertumpah. Apakah aku kini sudah tidak pantas lagi ikut serta mempersoalkan perkara-perkara yang rumit seperti sekarang? Kalau demikian Panembahan, maka biarlah aku menyingkir. Meskipun umurku belum terlalu tua, tetapi pendiriankulah yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kini.”
Dada Panembahan Ismaya itu benar-benar bergelora. Tetapi tak dapat ia berbuat lain. Sehingga karena itu, maka tampaklah alangkah ia menjadi gelisah.
“Panembahan,” berkata Mahesa Jenar kemudian,
“Apabila demikian keadaannya, maka baiklah aku mohon diri. Aku tidak melihat peristiwa itu terjadi. Biarlah aku langsung menunju ke Gunung Kidul. Biarlah aku kini menjadi seorang yang tidak berarti apa-apa lagi. Dan apabila sampai saatnya pun aku tidak akan bersedia menyerahkan keris-keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Biarlah orang lain melakukannya.”
“Jangan. Jangan Mahesa Jenar. Aku dapat merasakan betapa hatimu seakan-akan terpecah karenanya. Tetapi jangan mengasingkan dirimu seperti itu. Mungkin aku dapat memberi kau petunjuk dalam persoalan yang kau hadapi sekarang. Meskipun sebenarnya tidak seharusnya aku katakan. Tetapi aku tidak sampai hati melihat kau menjadi kehilangan kepercayaan pada dirimu dan pendirianmu. Usahamu menghindarkan pertumpahan darah seharusnya dihargai. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jangan bertanya lagi kepadaku dan kepada Kebo Kanigara. Pergilah ke Banyubiru kembali. Temuilah Ki Buyut Banyubiru. Ki Lemah Telasih. Mungkin kau akan mendapat sedikit penjelasan yang kau perlukan.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Kini ia melihat lebih jelas lagi. Bahwa sebenarnya ia berada dalam suatu lingkaran yang sangat asing baginya. Ternyata bahwa jalur-jalur yang dipasang oleh Kebo Kanigara dalam menghadapi Panembahan Ismaya telah pula terlibat dalam persiapan yang dilakukan oleh Kebo Kanigara. Tetapi yang masih gelap baginya, apakah sebenarnya yang akan terjadi? Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Lemah Telasih. Ia harus pergi kepada orang itu. Apa pun yang akan dilakukan, maka usaha itu masih belum dilepaskannya. Saat itu pula Mahesa Jenar dan Rara Wilis mohon diri kepada Panembahan Ismaya. Meskipun Panembahan Ismaya minta mereka berdua untuk bermalam, namun Mahesa Jenar terpaksa tidak dapat memenuhinya.
“Nanti Panembahan. Pada saat Purnama naik, aku akan menghadap Panembahan.”
Panembahan itu berpikir sejenak. Tampak ia menjadi ragu-ragu. Katanya bertanya,
“Bukankah pada saat Purnama naik Banyubiru akan mengalami ketegangan?”
“Ya Panembahan,” sahut Mahesa Jenar.
“Kenapa kau akan meninggalkan tempat itu untuk datang kemari?”
“Lebih baik aku tidak menyaksikan peristiwa itu. Biarlah aku di sini menenangkan hati bersama Panembahan.”

PANEMBAHAN TUA itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya, gumamnya.
“Sejak dahulu aku sudah mengatakan kepadamu Mahesa Jenar, bahwa wawasanmu benar-benar tajam. Biarlah aku katakan terus terang, bahwa nanti pada saat purnama naik aku tidak ada di Padepokan ini. Bukankah itu yang akan kau katakan kepadaku? Ternyata kau benar. Dan sebahagiaan dari dugaan-dugaanmu yang lain pun aku kira benar pula.”
Mahesa Jenar tidak dapat menanyakan lagi, atau memancingnya dengan persoalan-persoalan lain. Sehingga karena itu, maka ia pun segera bermohon diri untuk meninggalkan Padepokan itu. Ketika Mahesa Jenar menuntun kudanya meninggalkan pondok itu, dilihatnya Panembahan Ismaya benar-benar menjadi gelisah. Terasa ada sesuatu yang ingin dikatakannya, namun ditahannya kuat-kuat. Sehingga Mahesa Jenar pun merasakan ketegangan di dalam dada Panembahan Ismaya. Tetapi ketegangan itu langsung mempengaruhinya pula, sehingga dadanya pun menjadi tegang. Namun Mahesa Jenar berjalan terus menuntun kudanya bersama Rara Wilis. Demikian mereka melampaui pagar halaman, segera mereka berdua itu pun berlari menuruni tebing bukit Telamaya.
Beberapa lama Panembahan Ismaya masih tegak di ambang pintu. Wajahnya yang tua tampaknya menjadi semakin tua. Perlahan-lahan dianggukkannya kepalanya dan terdengar ia bergumam.
“Kalian masih seperti dahulu. Kalian masih dalam pengabdian yang luhur.”
Tiba-tiba Panembahan itu pun segera masuk ke dalam pondoknya. Dipanggilnya seorang cantrik dan kemudian katanya.
“Aku akan berada di dalam sanggar. Jangan bangunkan aku sampai tiga hari setelah purnama naik.”
“Baik Panembahan,” sahut cantrik itu.
Panembahan itu pun segera mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam sanggarnya.

Mahesa Jenar dan Rara Wilis yang meninggalkan bukit Karang Tumaritis berkuda dengan kecepatan sedang. Sekali-kali Rara Wilis menanyakan beberapa soal kepada Mahesa Jenar, namun Mahesa Jenar sendiri masih belum mampu mengambil kesimpulan apa-apa. Semalam sebelum purnama naik, hutan Prawata telah sibuk dengan persiapan perkemahan yang akan dipakai oleh Baginda. Besok pagi-pagi Baginda akan sampai di hutan itu untuk suatu masa perburuan yang akan memakan waktu sepekan sampai sepuluh hari. Beberapa orang yang mendahului Baginda telah mendapat tugas membangun beberapa buah perkemahan untuk para pengikut Baginda. Namun agaknya kali ini Baginda tidak membawa banyak pengikut. Beberapa perwira Wira Tamtama, akan beberapa orang lagi dari kesatuan-kesatuan lain, di bawah pengawalan kesatuan Nara Manggala. Hutan yang sepi itu tiba-tiba menjadi ramai dan riuh. Di malam hari sebelum Purnama naik, lampu-lampu obor telah menyala bertebaran di sekitar perkemahan, yang di bangun di sebuah lapangan rumput yang agak luas di tengah-tengah hutan itu. Sementara itu, Banyubiru pun menjadi ramah. Namun penuh dengan ketegangan. Laskar dari Pamingit telah siap pula di alun-aun Banyubiru, sedang laskar Banyubiru sendiri dengan penuh tekad telah menggenggam senjata masing-masing di tangan mereka.

Arya Salaka telah memerintahkan kepada mereka, bahwa apabila nanti saatnya matahari tenggelam, laskar itu harus mulai bergerak. Malam itu mereka akan merayap mendekati hutan Prawata dan besok malam pada saat Purnama naik, mereka harus sudah mengepung perkemahan Baginda. Arya Salaka sendiri akan memimpin seluruh laskar Banyubiru dan Pamingit. Telah bulat tekad di dalam dadanya. Kalau Baginda menerima Endang Widuri dari Karebet, maka apapun yang akan terjadi. Widuri akan direbutnya dengan kekerasan. Kalau tidak dan Karebet sendiri ingin bertahan dengan pasukan Wira Tamtama yang dipimpinnya, maka Arya Salaka akan sanggup menghancurkannya, seandainya Karebet tidak bersedia menyerahkan Widuri. Laskar yang dibawanya pasti akan berpengaruh atas tuntutannya. Kalau ia datang tanpa kekuatan, maka ia pasti akan diabaikan. Tetapi dengan kekuatan di belakangnya, maka mau tidak mau permintaannya untuk menerima kembali Widuri pasti akan dipertimbangkan. Dengan gelisahnya Arya Salaka menunggu matahari terbenam di kaki langit. Sekali-kali ia berjalan mondar-mandir di halaman rumahnya. Sekali-kali dilayangkan pandangannya ke pada laskar yang sudah bersedia sepenuhnya di alun-alun. Di pendapa rumahnya dilihatnya telah siap dalam kesigapan tempur, pamannya, Lembu Sora, Kebo Kanigara, dan ayahnya. Namun tampaklah Ki Ageng Sora menjadi pucat dan gemetar. Terasa sesuatu bergelora di dalam dadanya. Ia sendiri tidak mampu bertempur melawan laskar Demak yang memadai Gula Kelapa. Apalagi kini. Di antara mereka terdapat Baginda sendiri.

MAHESA JENAR dan Rara Wilis duduk pula di pendapa itu bersama Ki Ageng Pandan Alas. Meskipun dilambung Wilis tergantung sebilah pedang, namun kebimbangan yang besar tampak membayang di wajahnya. Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam. Tampaklah mulutnya bergerak- gerak. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sedang Mahesa Jenar duduk termenung memandang langit di kejauhan yang semakin lama menjadi semakin suram. Sesuram hati Arya Salaka. Arya Salaka yang kemudian duduk pula di tangga pendapa itu, menunggu dengan dada yang bergolak. Terbayang di dalam angan-angannya, apakah kira-kira yang telah terjadi dengan Endang Widuri. Kenapa seorang gadis yang memiliki ilmu tata bela diri itu tidak sempat membebaskan dirinya dari Karebet? Dan sebenarnyalah Endang Widuri telah berusaha sekuat-kuat tenaganya. Tanpa dilihat oleh seorang pun maka Widuri itu telah bertempur dengan gigihnya. Pagi itu Widuri sedang mencuci pakaiannya di belumbang, ketika tiba-tiba saja Karebet muncul disampingnya. Gadis itu terkejut bukan buatan. Tetapi ketika dilihatnya yang datang itu Karebet, maka ia menjadi gembira. Namun kembali Widuri itu terkejut, ketika Karebet tiba-tiba mengajaknya pergi ke Demak.
“Kenapa ke Demak?” bertanya Widuri.
Karebet memandangi wajah Widuri dengan pandangan yang aneh. Katanya sambil tersenyum-senyum.
“Buat apa kau tinggal di pedukuhan yang sepi ini? Ikutlah aku ke Demak. Kau akan mukti disana.”
“Apakah kau sudah menjadi gila, kakang” bentak Widuri.
Namun Karebet masih juga tersenyum-senyum, sehingga Widuri itu pun menjadi takut pula karenanya. Tetapi Widuri tidak sempat berbuat apa-apa. Meskipun kemudian Widuri berusaha membela diri, namun Karebet bukanlah lawannya.
Widuri tidak dapat bertahan, sehingga akhirnya dapat dilumpuhkan. Dalam keadaan pingsan maka gadis itu dibawa menghilang, masuk ke dalam semak-semak.

Kini Arya Salaka sudah siap untuk merebutnya dengan segenap kekuatan yang mungkin dikerahkannya. Demikianlah, maka ketika matahari telah hilang dibalik cakrawala, maka segera Arya Salaka bersiap. Dengan langkah yang tetap ia berjalan ke alun-alun dihadapan rumahnya. Diberikannya beberapa perintah, dan para pemimpin laskar Banyubiru dan Pamingit segera memahaminya. Laskar Banyubiru berada di bawah pimpinan Bantaran sedang laskar Pamingit berada di bawah pimpinan Wulungan. Di belakang Arya Salaka berdiri beberapa orang yang akan menjadi kekuatan laskar Banyubiru dan Pamingit itu. Gajah Sora, Lembu Sora, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis. Namun tak seorang pun yang tahu di antara mereka, apakah yang tersimpan di dalam dada masing-masing. Meskipun mereka berdiri berjajar dalam barisan yang sama, namun barisan Arya Salaka kali ini adalah barisan yang penuh menyimpan berbagai persoalan di setiap dada mereka. Persoalan yang satu sama lain berbeda-beda dan satu sama lain bertolak dari kepentingan yang berbeda pula. Tetapi yang tampak, yang kasat mata, mereka kemudian berjalan beriringan di belakang laskar Banyubiru dan Pamingit yang dengan tekad yang menyala di dalam dada mereka, pergi menuju ke hutan Prawata. Tepat pada saat purnama naik, maka hutan Prawata benar-benar menjadi sangat ramainya. Di dalam setiap barak kini sudah terpancang obor-obor dan di hampir setiap sudut-sudutnya pun diterangi dengan nyala-nyala lampu obor pula. Di pinggir lapangan rumput dibuat orang sebuah perapian yang besar. Nyalanya seakan-akan menggelepar menggapai daun-daun pepohonan yang berjuntai di atasnya. Cahaya yang kemerah-merahan terlempar jauh menusuk ke dalam sela-sela daun-daun yang tidak begitu rimbun.

BAGINDA kini telah berada di dalam barak yang terbesar di tengah-tengah barak- barak yang lain. Sebagai seorang pemburu, maka Baginda dapat hidup di dalam lingkungan yang sangat sederhana. Barak dari batang ilalang dan dedaunan. Pembaringan yang dibuat dari kulit-kulit kayu dan bambu, serta segala macam peralatan yang sederhana. Hidup yang sedemikian merupakan selingan yang menggembirakan bagi Baginda yang kadang-kadang menjadi terlalu jemu dengan isi istana. Di dinding-dinding barak itu, kini tergantung busur dan anak panah. Pedang, tombak dan segala macam senjata. Bukan saja senjata-senjata untuk berburu, namun juga senjata-senjata untuk berperang dari para pengawal Baginda. Malam yang demikian akan menjadi sangat menyenangkan bagi para prajurit dan Baginda sendiri. Biasanya Baginda mulai berburu pada malam pertama. Pada malam bulan sedang bulat sebulat-bulatnya. Seperti malam itu, dimana langit bersih dan bintang-bintang bertaburan. Sinar bulan yang cemerlang menyusup ke dalam rimba yang tidak begitu pepat, menari-nari di atas tanah yang lembab. Tetapi malam ini keadaan Baginda tidak sedemikian gembira seperti biasanya. Tampaklah Baginda menjadi muram dan gelisah. Sekali-kali Baginda memandangi busur-busur yang tergantung di dinding barak. Serta pusakanya, sebilah keris, tidak juga dilepaskannya. Terasa sesuatu yang selalu membayangi kegembiraan Baginda.

Ketika seorang perwira masuk ke dalam biliknya beserta seorang prajurit, maka segera Baginda memanggilnya duduk dekat-dekat di hadapannya.
“Jangan hiraukan lagi subasita. Kita sekarang sama-sama seorang pemburu.”
“Tidak Baginda,” perwira itu menyembah.
“Ternyata kita belum sempat untuk berburu malam ini atau malam besok.”
“Bagaimana dengan kabar itu?”
“Hamba telah menyaksikan sendiri. Perkemahan ini telah dikepung rapat-rapat.”
Baginda menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada perwira itu.
“Paningron. Apakah kau dapat menduga kekuatannya?”
“Tidak secara cepat Baginda. Tetapi kira-kira dua tiga kali lipat kekuatan kita disini.”
Baginda terdiam sesaat. Perwira itu, yang tidak lain adalah Paningron, menunggu apakah yang harus dikerjakannya. Pasukan yang ikut serta dengan Baginda memang tidak begitu banyak, sebab Baginda hanya sekadar ingin berburu. Namun tiba-tiba kini Baginda Sultan telah berhadapan dengan sepasukan laskar yang sedemikian kuatnya, sehingga Baginda harus berhati-hati menghadapinya.
Sejenak kemudian baginda itu pun berdiri. Dilepaskannya baju keprajuritan yang dikenakannya. Kemudian kepada prajurit yang duduk di sampingnya Baginda berkata.
“Berikan bajumu.” Prajurit itu menjadi terheran-heran. Namun sekali lagi Baginda itu berkata,
“Berikan baju dan kelengkapanmu.”
Prajurit itu menjadi terheran-heran. Dibukanya bajunya dan diserahkannya kepada Sultan, yang segera dipakainya.
“Terlalu kecil,” gumam Sultan.
“Ya” sahut Paningron yang segera dapat mengetahui maksud Sultan.
“Apakah baju ini tidak pernah kau cuci?” bertanya Baginda sambil tersenyum.
“Baju itu hamba pakai sejak hamba mempersiapkan diri semalam Baginda,” sahut prajurit itu.
“Pantas?” “Baunya,” jawab Baginda sambil tersenyum Prajurit itu tersenyum pula.

Tetapi ia tidak dapat tersenyum lagi ketika Baginda berkata,
“Kau tinggal di dalam barak ini. Kalau ada orang yang ingin masuk, jangan kau beri kesempatan. Jawabnya seperti aku menjawab,
“Jangan ganggu aku.”
“Tetapi suara hamba Baginda,” jawab prajurit itu. Baginda berpikir sejenak. Kemudian jawabnya,
“Baik, kalau begitu tutup pintu. Jangan kau bukakan apabila aku tidak memanggil namamu.”
“Hamba Baginda.” Baginda dan Paningron segera meninggalkan bilik itu yang kemudian segera ditutupnya. Penjaga yang melihat mereka keluar dalam keremangan bulan Purnama, tidak menyangka bahwa orang itu adalah Baginda sendiri.
Ternyata Baginda membawa Paningron untuk melihat sendiri kekuatan orang-orang yang telah mengepung mereka dengan rapatnya. Hampir di setiap pohon bersandar seorang yang bersenjata. Di sela-sela pepohonan Baginda melihat cahaya perapian yang menyala-nyala. Dan karena itulah maka Baginda kadang-kadang dapat melihat bayangan orang yang berjalan hilir mudik.
“Kau benar Paningron,” berkata Baginda.
“Kekuatan itu benar-bebar tidak dapat diabaikan.”
“Hamba telah meneliti tuanku.”

BAGINDA mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berjalan mengendap-endap Baginda itu berkata,
“Siapakah yang memimpinnya?”
“Hamba kurang tahu Baginda. Tetapi sudah hamba saksikan sendiri di Pamingit, kekuatan Banyubiru benar-benar mengagumkan. Apalagi kini mereka telah bergabung bersama kekuatan-kekuatan dari Pamingit.”
“Apakah Rangga Tohjaya masih di Banyubiru?”
“Hamba tuanku.”
“Apakah ia ikut dalam barisan itu?”
“Belum hamba ketahui.”
Baginda menarik nafas dalam-dalam. Disadarinya bahwa apabila laskar Banyubiru itu lengkap dengan segenap pimpinannya, maka kekuatan Banyubiru benar-benar mengagumkan. Paningron yang melihat Baginda kemudian termenung, segera berkata,
“Baginda, apakah hamba dapat mengirim seseorang untuk memanggil pasukan yang cukup untuk mengusir orang-orang Banyubiru.”
Baginda diam sesaat. Dipandangnya nyala api yang melonjak-lonjak di sela-sela pepohonan. Nyala api dari perapian orang-orang Banyubiru. Namun perlahan-lahan Baginda menggelengkan kepalanya.
“Jangan Paningron. Orang itu tidak akan dapat menembus kepungan orang-orang Banyubiru.”
“Hamba sendiri sanggup melakukan Baginda. Hamba dapat melampauinya dengan kuda yang berpacu kencang-kencang.”
“Akan sama saja bahayanya, Paningron.”

Paningron tidak lagi berkata-kata. Diikutinya saja kemudian Baginda berjalan berkeliling. Tiba-tiba di sudut lapangan rumput itu Baginda berhenti. Digesernya pusakanya dan dengan serta merta dirabanya hulu pusaka itu. Paningron pun segera melihat, sebuah bayangan yang berdiri tegak dihadapan mereka.
“Siapa?” bertanya Paningron perlahan-lahan.
“Apakah aku berhadapan dengan Baginda?” desis bayangan itu.
“Oh” sahut Baginda.
“Eyang ternyata benar-benar datang.”
“Tentu cucunda Baginda” sahut bayangan itu.
“Hamba sudah berjanji.”
“Nah. Bagaimana dengan orang-orang itu, eyang?”
“Sudah hamba katakan Baginda, itulah yang dapat hamba sampaikan kepada Baginda malam ini. Seperti yang pernah hamba sampaikan sebelumnya.”
“Hem. Apakah nilai nama Sultan Trenggana dapat dipakai untuk kepentingan seorang Karebet.”
“Jangan Baginda menilai Karebet kini. Tetapi Karebet pada masa datang akan mempunyai nilai tersendiri dalam hati Baginda. Dan bukankah Baginda juga seorang ayah yang baik.”
“Persetan dengan anak itu.”
“Tetapi puteri Baginda akan dapat menderita seumur hidupnya. Dan bahkan mungkin mengancam jiwanya.”

Baginda itu pun kemudian termenung sesaat. Ternyata Baginda tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa puteri Baginda telah mencoba untuk membunuh dirinya. Untunglah maksud itu dapat di urungkan. Entah karena malu, entah karena Karebet yang hilang. Namun untuk seterusnya tak dapat memandang hari-hari yang dilampauinya dengan gairah. Apalagi sebenarnya Sultan sendiri tidak terlalu membenci Karebet. Justru Baginda sendiri pernah melihat kelebihan-kelebihan yang ada pada anak itu.
“Bagaimana Baginda?” bertanya bayangan itu.
“Hem. Eyang telah membingungkan aku. Kalau aku membiarkan pemberontakan ini, maka peristiwa yang serupa akan dapat terjadi dihari-hari yang akan datang.”
“Mereka sama sekali tidak memberontak terhadap Baginda. Mereka datang untuk mencari Karebet.”
Sekali lagi Baginda termenung. Dan didengarnya bayangan itu berkata,
“Selain dari itu Baginda, bukankah hamba telah menolong Baginda mencarikan jalan untuk mencari kemungkinan memanggil kembali anak itu, dengan alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.”
“Aku merendahkan harga diriku. Trenggana adalah Sultan yang disegani lawan dan kawan. Apakah aku tidak dapat memusnahkan mereka?”
“Tentu Baginda. Sebab mereka tidak akan berani melawan Baginda seandainya Baginda sendiri keluar di medan pertempuran. Apalagi salah seorang pengawal Baginda di panji-panji Gula Kelapa. Maka Gajah Sora pasti akan mati ketakutan melihat panji-panji itu.”
“Jadi bagaimana?” bertanya Baginda.
“Hamba adalah orang tua, Baginda. Orang tua yang telah tidak mempunyai pamrih apa-apa lagi. Berpuluh-puluh tahun hamba menghilang. Sekarang hamba ingin melihat Demak menjadi bertambah baik menilik persoalan-persoalan yang terpendam di dalamnya.”
“Jangan sebut lagi, keturunan Kakangmas Sekar Seda Lepen.”
“Tidak. Aku tidak akan menyebutnya, tetapi hal itu tidak akan dapat menghapus kenyataan itu.”
“Ya. Eyang benar. Anak itu ada di sini pula sekarang.”
“Penangsang?”
“Ya”

Sesaat mereka terdiam. Paningron menjadi bingung mendengar pembicaraan itu. Tetapi ia tidak berani bertanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara Sultan.
“Lalu bagaimana eyang?”
“Tergantung pada Baginda.”
“Baiklah, besok pagi-pagi pasukanku akan bersiap menyongsong mereka menurut rencana yang telah eyang buat. Mudah-mudahan semua berjalan dengan baik.”
Bayangan itu pun kemudian mengangguk-angguk dalam-dalam. Perlahan-lahan terdengar ia berkata.
“Baginda ternyata telah berbuat sesuatu yang mengagumkan hamba. Orang tua yang sama sekali sudah tidak berarti lagi. Besok hamba tidak akan lagi bersembunyi. Namun hamba akan mengabdikan diri di bawah duh Baginda.”
“Ah. Eyang terlalu merendahkan diri.”
“Sekarang Cucunda Baginda, biarlah aku pergi.”
“Jangan eyang. Eyang harus berada di sini. Kalau ada sesuatu kesalahan, maka eyang akan dapat membantunya”.
“Atau untuk menjadi tanggungan?”
“Tidak.”
“Baiklah. Aku ikut Baginda.”
Bayangan itu pun kemudian berjalan mengikuti Baginda di samping Paningron. Namun mereka yang berjaga-jaga di muka barak, sama sekali tidak memperhatikan siapakah yang lewat di hadapan mereka. Ketika mereka melihat Paningron, meka yang lain sama sekali tidak penting bagi mereka sebab mereka tahu, bahwa Paningron adalah seorang perwira dari jabatan rahasia di Demak.

Bulan yang bulat mengapung di langit dengan sangat lambatnya. Namun pasukan-pasukan pengawal Baginda tiba-tiba menjadi ribut. Mereka segera berlari-lari ke dalam barak masing-masing untuk mengambil senjata mereka. Paningron telah menjatuhkan perintah, supaya mereka bersedia menghadapi setiap kemungkinan.
“Kekuatan mereka jauh lebih besar dari kekuatan kita,” berkata Paningron kepada para pemimpin Demak.
Tetapi seorang perwira Wira Tamtama menanggapinya dengan sebuah senyum. Katanya di dalam hati,
“Apakah yang dapat dilakukan oleh orang-orang pedesaan?”
Orang itu sama sekali tidak mau memikirkannya lagi.
“Besok mereka akan aku musnahkan,” katanya. Orang itu adalah Tumenggung Prabasemi. Seorang perwira Wira Tamtama yang terlalu menyadari kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya. Malam itu semua prajurit siap di tempatnya. Beberapa penjaga selalu mondar-mandir mengawasi keadaan. Sedang yang lain beristirahat untuk menanti, apakah tugas yang akan mereka lakukan besok pagi. Namun senjata-senjata mereka telah melekat di tangan. Ketika matahari mulai membayang di pagi dini hari, maka mulai membayang pulalah ketegangan di wajah para prajurit Demak dan setiap orang dalam laskar Banyubiru.

Arya Salaka dengan pisau belati yang kuning berkilat-kilat di pinggangnya, segera memimpin laskarnya maju mendekati perkemahan Baginda. Beberapa orang yang mendampinginya menjadi berdebar-debar pula. Lebih-lebih Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Gajah Sora sendiri. Sedang di antara mereka tidak terdapat Ki Ageng Sora Dipayana. Orang tua itu lebih baik tinggal di Banyubiru. Berdoa di dalam hati bersama-sama Wanamerta, semoga semuanya dihindarkan dari bencana. Semakin dekat mereka dengan perkemahan Baginda, maka semakin berdebar-debar pula hati setiap laskar di dalam pasukan Arya Salaka. Meskipun mereka telah mengalami pertempuran yang dahsyat melawan orang-orang dari golongan hitam, namun hati mereka masih juga terpengaruh melihat pasukan Demak yang telah bersiaga pula disekeliling perkemahan. Mereka melihat betapa pasukan Demak telah menanti kedatangan mereka. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak dibandingkan dengan laskar Banyubiru dan Pamingit, tetapi karena mereka mempergunakan tanda-tanda kebesaran, maka tampaklah betapa tangguhnya pasukan yang kecil itu. Di luar sekali tampaklah sepasukan Wira Tamtama di bawah panji-panji Tunggul Dahana. Mereka berdiri berjajar dengan tenangnya. Di tangan masing-masing tergenggam sebilah pedang, dan di tangan yang lain sebilah perisai. Dengan dada tengadah mereka memandangi laskar Banyubiru yang semakin lama menjadi semakin dekat.

DI dalam lingkungan Wira Tamtama tampaklah sebuah panji-panji lain. Tunggul Mega. Panji-panji dari pasukan Manggala Sraja. Pasukan ini tidak begitu banyak jumlahnya, namun ketegangan wajah mereka menunjukkan ketegangan hati mereka pula. Dengan penuh perhatian mereka menyaksikan laskar Banyubiru yang sedang mendekati mereka. Yang paling dalam meskipun jumlahnya terlalu sedikit, namun pasukan inilah yang menggoncangkan hati Mahesa Jenar. Perasaannya menjadi sedemikian gelisahnya sehingga hampir-hampir ia tidak dapat melangkah maju lagi. Perasaan yang demikian pernah dialami pada saat laskar Banyubiru berhadap-hadapan dengan laskar Demak lima enam tahun yang lampau di Banyubiru.
“Kenapa peristiwa-peristiwa semacam ini masih harus terulang?” desah di dalam hati.
Di lingkaran yang paling dalam dilihatnya sepasukan kecil Nara Manggala. Wira Jala Pati dalam satu lapis dengan pasukan Manggala Pati. Di atas mereka itu terpancang panji-panji Garuda Rekta, Sura Pati dan yang paling mendebarkan adalah Panji lambang keperkasaan Demak, Gula Kelapa. Mahesa Jenar mengelus dadanya. Ketika ia berpaling, dilihatnya Kebo Kanigara menundukkan wajahnya, sedang Ki Ageng Gajah Sora menggigit bibirnya.
“Hem,” Mahesa Jenar berdesah di dalam hati,
“Mudah-mudahan semuanya berlangsung baik.”
Namun bagaimana pun juga, laskar Demak dalam gelar Gedong Minep itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Ia tahu benar, bahwa meskipun laskar Demak itu tidak begitu banyak, apalagi mereka tidak sengaja pergi berperang, sehingga kelengkapan mereka pun bukan kelengkapan perang secara sempurna, namun pasukan Demak adalah pasukan yang telah masak.

Tetapi laskar Banyubiru itu maju terus. Arya Salaka yang sedang bermata gelap itu hampir-hampir tidak melihat apa saja yang terpancang dihadapannya. Dengan gigi gemeretak ia memandangi lapangan di muka barak itu. Katanya di dalam hati,
“Manakah anak muda yang bernama Karebet itu?”
Dengan tidak memperdulikan apa saja Arya berjalan terus sehingga mereka menjadi semakin dekat dengan perkemahan Baginda Sultan Trenggana. Arya Salaka memegang pimpinan, tiba-tiba melihat seorang yang berkuda datang ke arahnya. Seorang dari pasukan Nara Manggala. Orang itu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi, kemudian datang lebih mendekat lagi.
“Terimalah Arya,” bisik Mahesa Jenar.
Arya Salaka segera maju beberapa langkah ke depan. Diterimanya sehelai rontal yang diberikan oleh orang berkuda itu. Arya Salaka menggeretakkan giginya. Kemudian katanya kepada ayahnya.
“Ayah, Baginda sudah tahu maksud kedatangan kita. Baginda tahu bahwa kita mencari kakang Karebet di sini. Dan Baginda tidak akan menyerahkan Karebet itu kepada kita.”
Ayahnya mengerutkan keningnya. Dipalingkannya wajahnya, menatap Mahesa Jenar yang menundukkan kepalanya.
“Bagaimana adi? “ bertanya Gajah Sora.

Mahesa Jenar kemudian melambaikan tangannya kepada Arya Salaka untuk melihat rontal di tangannya. Kemudian wajah yang bersungguh-sungguh ia berkata,
“Terimalah Arya. Sebaiknya kau menerima tawaran itu. Dengan demikian kau akan mengurangi korban yang bakal jatuh dalam perang brubuh.”
Kebo Kanigara yang mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu berpaling. Kemudian kembali ia memandang ke kejauhan. Sekali-kali tampak bibirnya bergerak-gerak, tetapi tak sepatah kata pun yang meloncat dari mulutnya. Sesaat Arya Salaka menjadi ragu-ragu. Tetapi kemudian Mahesa Jenar itu pun berkata,
“Hasrat yang paling besar untuk menemukan Endang Widuri justru datang daripadamu Arya. Bukan dari pamanmu Kebo Kanigara. Karena itu, wajarlah apabila kau yang akan tampil ke depan melawan seseorang yang akan dikirim oleh Baginda di lapangan itu. Demikianlah sikap seorang jantan.”
Arya mengangkat wajahnya. Dilihatnya Kebo Kanigara terkejut mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu sehingga dahinya berkerut-kerut. Namun sekali lagi Kebo Kanigara itu tidak berkata apapun juga.

Namun kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar telah membakar dada Arya Salaka. Karena itu, maka kemudian ia melangkah kembali dan menghadap kepada orang yang berkuda itu dengan dada tengadah.
“Aku terima tawaran itu. Aku, Arya Salakalah yang akan datang ke gelandang.”
Suasana ditengah-tengah lapangan rumput itu benar-benar menjadi tegang. Ketika matahari telah sepenggalah, terdengarlah sebuah tengara, sangkalala yang mendengung di udara. Setiap orang yang mendengar sangkalala itu menjadi berdebar-debar. Hampir semua orang di kedua belah pihak telah mengetahui, bahwa untuk menyelesaikan persoalan antara pimpinan Banyubiru dan Baginda, telah disepakati untuk mengadakan perang tanding. Meskipun hampir semua orang dari pasukan Demak tidak tahu, apakah sebenarnya tuntutan Arya Salaka itu. Arya Salaka segera membenahi pakaiannya. Ia kini membawa tombak Kiai Bancak, tetapi ia lebih senang membawa Kiai Suluh, pusaka yang diterimanya secara tidak langsung dari Pasingsingan. Ketika Arya Salaka melihat seseorang berjalan maju ke lapangan rumput itu dari perkemahan laskar Demak, maka Arya Salaka pun bersiap pula. Sekali ia berputar menghadap ayah dan gurunya sambil berbisik.
“Ayah dan paman-paman. Restuilah aku, semoga aku akan berhasil.”
“Hati-hatilah Arya,” hampir bersamaan orang-orang yang mendampinginya menyahut. Ayahnya, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Lembu Sora dan Bantaran. Sedang Rara Wilis pun tidak kalah tegangnya melihat apa yang bakal terjadi.

Dengan langkah tetap Arya Salaka berjalan pula ke tengah lapangan itu. Ditatapnya wajah yang datang dari perkemahan Baginda. Seorang yang bertubuh tegap kekar, berkumis melintang, berjalan sambil tersenyum-senyum. Ketika terlihat olehnya seorang anak muda datang menghampirinya, orang itu mengerutkan keningnya. Anak inikah yang bernama Arya Salaka. Prajurit yang mengenakan pakaian seorang pemburu itu menjadi kecewa.
“Hanya seorang anak-anak,” desisnya. Tetapi ketika ia melihat ketenangan dan pancaran wajah anak itu, maka hatinya berdebar-debar juga. Ketika mereka kemudian bertemu di tengah-tengah lapangan itu, maka mereka pun segera berhenti. Beberapa orang prajurit Demak segera mendekati mereka, dan dengan sebuah lambaian mereka memanggil wakil-wakil dari Banyubiru untuk menjadi saksi. Gajah Sora menjadi ragu-ragu sejenak. Karena itu maka segera ia bertanya kepada Mahesa Jenar.
“Siapakah yang akan datang ke arena?”
Beberapa orang menjadi saling berpandangan. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi mereka untuk sesaat saling berdiam diri.
“Apakah adi Mahesa Jenar?” bertanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar menggelengkan kepalanya.
“Jangan kakang. Jangan aku. Mungkin Kakang Kebo Kanigara lebih baik. Kakang Kanigara mempunyai kepentingan langsung dalam peristiwa ini.”
“Hem” Kebo Kanigara bergumam sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya.
“Jangan aku. Orang-orang Demak telah menyangka aku tak akan mereka jumpai lagi.”
“Lalu siapa?” desah Mahesa Jenar.
“Kakang Gajah Sora sendiri barangkali?”
Gajah Sora itu pun menggelengkan kepalanya.
“Tidak” katanya.
“Aku tidak sanggup.”

Kembali mereka berdiam diri sambil berpandangan. Tiba-tiba mata Mahesa Jenar menyambar wajah Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas yang berdiam seperti tonggak. Sekali ia menarik nafas panjang dan kemudian katanya.
“Apakah kau dapat mewakili kami Wilis? Hanya menyaksikan perkelahian itu, supaya tidak terjadi kecurangan. Barangkali paman Pandan Alas akan sudi mendengarkanmu.”
Ki Ageng Pandan Alas mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Kami bukan orang Banyubiru.”
“Itu tidak penting. Yang diperlukan adalah mereka yang dapat menilai perkelahian itu supaya berlangsung dengan jujur”.
“Baiklah,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Tetapi biarlah salah seorang dari Banyubiru pergi bersama kami. Mungkin angger Bantaran atau yang lain?”
“Aku bersedia pergi, “ tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora menyela.
“Bagus” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
“Marilah kita pergi dengan Bantaran.”
Mereka berempat pun kemudian berjalan pula ke tengah-tengah lapangan. Seorang tua yang bernama Pandan Alas, seorang yang gagah, tinggi besar, Ki Ageng Lembu Sora, seorang pemimpin laskar Banyubiru yang berani, Bantaran dan seorang gadis ramping dengan pedang tipis di lambungnya, Rara Wilis.

Keempat orang itu benar-benar menarik perhatian segenap prajurit Demak. Langkah mereka yang tetap dan tenang, benar-benar mengagumkan. Prajurit Demak yang berpakaian pemburu, dan yang sudah berdiri berhadapan dengan Arya Salaka mengerutkan keningnya. Ternyata Banyubiru memiliki laskar yang dapat dibanggakan seperti Lembu Sora. Tetapi karena yang maju ke dalam arena itu seorang anak muda saja. Kenapa bukan orang yang tinggi, besar dan berkumis tebal setebal kumisnya sendiri. Tetapi ini adalah urusan Banyubiru sendiri.


<<< Bagian 102                                                                                              Bagian 104 >>>

No comments:

Post a Comment