NAMUN Mahesa Jenar masih saja digelisahkan oleh persoalan yang dibawanya ke bukit ini. Ia tidak mengerti, kenapa Panembahan tidak segera mau menerima persoalan itu. Sehingga kemudian Mahesa Jenar itu menjadi berbimbang hati. Apakah Panembahan benar-benar belum mendengar persoalan ini? Karena kebimbangan itu, maka dada Mahesa Jenar justru menjadi berdebar-debar. Dan karena itulah maka seakan-akan ia tidak sabar lagi menunggu. Desakan di dalam dadanya itu menjadi sedemikian kuatnya sehingga dengan serta merta ia berkata kepada Rara Wilis.
“Wilis, kenapa
Panembahan tidak mau mendengar persoalan ini segera?”
Wilis
terkejut. Ketika ia berpikir dilihatnya wajah Mahesa Jenar menjadi
bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Wilis merasakannya pula, bahwa kali ini
Mahesa Jenar tidak bergurau lagi.
“Aku menjadi
ragu-ragu Wilis,” berkata Mahesa Jenar.
“Apakah
Panembahan sengaja menghindarinya?”
Tiba-tiba
Mahesa Jenar itu berdiri. Dan dengan serta merta ia berkata,
“Marilah kita
menghadap sekarang.”
Rara Wilis
mengerutkan keningnya. Jawabnya,
“Apakah
Panembahan tidak menjadi gusar karenanya?”
“Kita katakan,
bahwa kita akan segera kembali.”
Rara Wilis
tidak menjawab. Diikutinya saja kemana Mahesa Jenar pergi. Kepada seorang
cantrik Mahesa Jenar menyatakan keinginannya untuk bertemu Panembahan.
“Sampaikan
kepada Panembahan. Aku berdua akan mohon diri.”
Sekali lagi
Panembahan terkejut. Sekali lagi dengan tergopoh-gopoh ditemui Mahesa Jenar.
Katanya,
“Kenapa angger
sedemikian tergesa-gesa?”
“Panembahan,”
sahut Mahesa Jenar.
“Sudah aku
katakan, bahwa kedatanganku membawa persoalan yang perlu segera aku sampaikan
kepada Panembahan, Banyubiru sekarang sedang mempersiapkan perang.”
“Perang,”
Panembahan itu terkejut sekali, sehingga sesaat ia berdiam diri memandangi
Mahesa Jenar dengan tanpa berkedip.
“Ya” sahut
Mahesa Jenar.
“Apakah
Panembahan belum mendengar bahwa Widuri telah hilang?”
“Oh,”
Panembahan itu semakin terkejut.
“Widuri anak
Kebo Kanigara maksudmu?”
“Ya
Panembahan?”
“Bagaimana
mungkin anak itu hilang?”
“Widuri hilang
karena pokal Karang Tunggal. Tegasnya Widuri diculik oleh Karang Tunggal itu.”
Tampaklah
wajah Panembahan Ismaya itu berubah. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya ia
bergumam.
“Anak itu
tidak juga menjadi jera.”
Mahesa Jenar
itu pun segera menceriterakan serba singkat apa yang diketahuinya tentang
hilangnya Widuri. Dan akhirnya ia berkata,
“Panembahan,
apakah kemungkinan pertumpahan darah itu tidak akan dapat dihindari?”
Panembahan
Ismaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya perlahan-lahan,
“Kenapa Sultan
Trenggana itu tidak saja menghendaki gadis yang lain?”
Mahesa Jenar
mengerutkan keningnya. Ia menjadi semakin heran mendengar tanggapan Panembahan
Ismaya itu. Panembahan Ismaya sama sekali tidak menyesalkan tindakan Karebet
atau ketergesa-gesaan Kebo Kanigara, tetapi yang mula-mula disesalkan adalah
Sultan Trenggana.
Apalagi ketika
Panembahan itu berkata,
“Adalah wajar
sekali kalau Kebo Kanigara menjadi marah.”
“Tetapi
kemarahan kakang Kebo Kanigara berlebih-lebihan Panembahan. Apakah kakang Kebo
Kanigara tidak dapat mengambil cara lain, sehingga pertumpahan darah itu tidak
terjadi. Arya Salaka yang merasa kehilangan pula, mungkin akan dapat reda,
apabila Kakang Kebo Kanigara mencoba menempuh cara yang lain.”
Panembahan
Ismaya mengerutkan keningnya. Sekali lagi jawabnya mengejutkan Mahesa Jenar.
“Mungkin Kebo
Kanigara dan Arya Salaka memperhitungkan juga harga diri mereka, sehingga
mereka tidak akan dapat datang kepada Trenggana dan mohon belas kasihan kepada
Sultan itu.”
Mahesa Jenar
kini benar-benar menjadi bingung. Apakah dirinya sendirilah yang kini telah
kehilangan kejantanannya sehingga ia memandang persoalan itu sebagai persoalan
yang harus diselesaikan tanpa pertumpahan darah? Ataukah karena ia sudah
terdorong kepada suatu keinginan untuk berumah tangga, sehingga penyelesaian
yang diangankannya itu benar-benar sebagai suatu tindakan yang terlalu lemah
dan bahkan telah mengorbankan harga dirinya?
“Apakah aku
telah berubah?” pertanyaan itu timbul didalam hatinya. Meskipun demikian maka
ia mencoba berkata pula.
“Panembahan,
mungkin kakang Kebo Kanigara tidak mau mengorbankan harga dirinya, mungkin pula
karena sebab-sebab lain, sebab-sebab yang tidak dapat aku mengerti. Tetapi
bagaimanakah kalau permohonan itu dilakukan oleh orang lain? Oleh Panembahan
misalnya. Bahkan Pangeran Buntara masih juga mempunyai sangkut paut yang dekat
dengan Sultan Trenggana?”
“Jangan sebut
nama itu lagi Mahesa Jenar,” sahut Panembahan itu.
“Pangeran
Buntara telah tidak ada lagi. Yang ada sekarang Panembahan Ismaya.”
“Apakah
Pasingsingan yang sakti juga tidak dapat berbuat sesuatu untuk meredakan
pertentangan ini? Misalnya dengan mengambil Karebet dan dengan pengaruhnya
memaksa Karebet menyerahkan Widuri kembali?”
“Dengan
demikian soalnya juga tidak akan selesai, Mahesa Jenar. Seandainya Karebet
dapat menyerahkan Widuri kembali, sedang Sultan Trenggana masih menghendakinya,
maka kau juga akan dapat membayangkan akibatnya.”
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar tidak dapat mengerti keadaan itu.
Hampir saja Mahesa Jenar melihat kesalahan itu pada dirinya sendiri. Pada
keruntuhan yang dialami. Hampir-hampir ia mengambil kesimpulan, bahwa ia tidak
dapat mengerti sikap Kebo Kanigara dan Arya Salaka karena ia telah kehilangan
kejantanannya. Namun berkali-kali terngiang di dalam hatinya.
“Tidak. Aku
tidak akan membiarkan pertumpahan darah itu terjadi.”
Karena itu
maka tiba-tiba Mahesa Jenar itu memberanikan diri berkata,
“Panembahan.
Baiklah aku mencoba sekali lagi. Kalau kakang Kebo Kanigara dan Panembahan
ternyata berpendapat bahwa Sultan Trenggana yang bersalah, karena menghendaki
Endang Widuri itu, maka biarlah aku mencoba. Aku ingin menghadapkan Sultan
Trenggana pada suatu pilihan. Mudah-mudahan dengan demikian terhindarlah segala
bencana.”
“Apakah yang
akan kau lakukan?” bertanya Panembahan Ismaya.
“Panembahan,”
berkata Mahesa Jenar kemudian dengan takzimnya.
“Bukan
maksudku untuk menjual jasa. Baik kepada Sultan Trenggana maupun kepada siapa
pun juga. Maafkan aku, kalau ternyata kemudian tidak berkenan di hati Panembahan.
Aku ingin menghadapkan Sultan Trenggana kepada suatu pilihan. Keris-keris
Nagasasra dan Sabuk Inten yang sampai sekarang belum kembali ke istana, atau
Endang Widuri.”
“Mahesa
Jenar,” potong Panembahan Ismaya. Wajahnya sesaat menjadi tegang. Namun kemudian
wajah itu menjadi tenang kembali.
Perlahan-lahan
Panembahan itu berkata,
“Apakah
maksudmu?”
“Panembahan.
Kalau berkenan di hati Panembahan, maka apakah Panembahan sendiri, apakah
kakang Kebo Kanigara apakah Arya Salaka, biarlah salah seorang daripadanya
menghadap Sultan, memohon untuk menukar Endang Widuri dengan pusaka-pusaka
itu.”
“Mahesa
Jenar,” berkata Panembahan.
“Kedua pusaka
itu adalah hakmu. Biarlah kau miliki hak itu. Kau akan mendapat tempat
tersendiri dengan mengembalikan keris-keris itu ke istana. Kalau keris-keris
itu diserahkan untuk keperluan yang lain, maka kau akan kehilangan hak itu.
Keris itu akan kembali, dan Endang Widuri akan kembali pula. Seakan-akan telah
terjadi jual beli di antara mereka, sehingga usahamu selama ini akan tidak
mendapat penghargaan apapun juga. Sebab tukar menukar itu telah berlangsung.”
“PANEMBAHAN,”
jawab Mahesa Jenar.
“Aku sama
sekali tidak memimpikan penghargaan apapun juga. Biarlah seandainya dengan
demikian aku tidak mendapat apapun. Memang aku tidak mengharapkan apapun itu.
Namun dengan demikian, maka terhindarlah kemungkinan-kemungkinan yang
mengerikan. Apakah artinya jasa yang dapat aku persembahkan kepada Demak,
apabila Demak akan mengalami bencana? Apakah artinya penghargaan yang akan aku
terima, kalau Demak mengalami cidera. Panembahan, biarlah aku dilupakan, tetapi
Demak akan tetap dalam keadaannya sekarang. Mudah-mudahan justru karena itu,
Demak akan menjadi semakin jaya. Karena itu, biarlah kedua keris itu, Kiai
Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten kembali ke istana, kembali ke gedung
perbendaharaan. Tidak perlu Mahesa Jenar yang menyerahkannya. Tidak perlu
Mahesa Jenar yang dianggap berjasa menemukannya.”
Panembahan
Ismaya menundukkan wajahnya. Tampaklah wajah itu berkerut-kerut. Terasa betapa
Panembahan tua itu menahan perasaan yang meluap-luap di dalam dadanya. Sekali
ia mengangkat wajahnya, namun kembali wajah itu ditundukkannya. Sesaat ruangan
itu menjadi sepi. Mahesa Jenar menunggu dengan hati yang sangat berdebar-debar,
apakah Panembahan Ismaya akan mengijinkannya. Karena keris-keris itu sekarang
berada di tangan Panembahan itulah, maka Mahesa Jenar menggantungkan keadaan
kepadanya. Tetapi alangkah kecewanya Mahesa Jenar itu. Alangkah pahitnya
perasaannya ketika ia melihat Panembahan Ismaya itu menggelengkan kepalanya
sambil berkata lirih.
“Jangan Mahesa
Jenar. Jangan. Biarlah orang lain menyelesaikan persoalannya sendiri. Biarlah
kau nanti membawa persoalanmu sendiri pula.”
“Panembahan,”
suara Mahesa Jenar menjadi parau karena hatinya yang pedih.
“Aku
benar-benar tidak mengerti. Apakah sebenarnya yang akan menimpa Demak di
saat-saat terakhir ini. Aku telah mencoba menghubungi Kakang Kebo Kanigara,
namun aku tidak mendapat tanggapan yang sewajarnya. Kini aku mencoba menghadap
Panembahan dan bahkan aku ingin mencoba mempergunakan kedua pusaka-pusaka
Istana itu. Namun aku menjumpai pendirian yang sama sekali tidak dapat aku
mengerti Panembahan, apakah benar-benar aku telah berubah menjadi seorang
pengecut yang takut melihat darah tertumpah. Apakah aku kini sudah tidak pantas
lagi ikut serta mempersoalkan perkara-perkara yang rumit seperti sekarang?
Kalau demikian Panembahan, maka biarlah aku menyingkir. Meskipun umurku belum
terlalu tua, tetapi pendiriankulah yang sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan kini.”
Dada
Panembahan Ismaya itu benar-benar bergelora. Tetapi tak dapat ia berbuat lain.
Sehingga karena itu, maka tampaklah alangkah ia menjadi gelisah.
“Panembahan,”
berkata Mahesa Jenar kemudian,
“Apabila
demikian keadaannya, maka baiklah aku mohon diri. Aku tidak melihat peristiwa
itu terjadi. Biarlah aku langsung menunju ke Gunung Kidul. Biarlah aku kini
menjadi seorang yang tidak berarti apa-apa lagi. Dan apabila sampai saatnya pun
aku tidak akan bersedia menyerahkan keris-keris Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk
Inten. Biarlah orang lain melakukannya.”
“Jangan.
Jangan Mahesa Jenar. Aku dapat merasakan betapa hatimu seakan-akan terpecah
karenanya. Tetapi jangan mengasingkan dirimu seperti itu. Mungkin aku dapat
memberi kau petunjuk dalam persoalan yang kau hadapi sekarang. Meskipun
sebenarnya tidak seharusnya aku katakan. Tetapi aku tidak sampai hati melihat
kau menjadi kehilangan kepercayaan pada dirimu dan pendirianmu. Usahamu
menghindarkan pertumpahan darah seharusnya dihargai. Tetapi aku tidak dapat berbuat
apa-apa. Jangan bertanya lagi kepadaku dan kepada Kebo Kanigara. Pergilah ke
Banyubiru kembali. Temuilah Ki Buyut Banyubiru. Ki Lemah Telasih. Mungkin kau
akan mendapat sedikit penjelasan yang kau perlukan.”
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Kini ia melihat lebih jelas lagi. Bahwa sebenarnya
ia berada dalam suatu lingkaran yang sangat asing baginya. Ternyata bahwa
jalur-jalur yang dipasang oleh Kebo Kanigara dalam menghadapi Panembahan Ismaya
telah pula terlibat dalam persiapan yang dilakukan oleh Kebo Kanigara. Tetapi
yang masih gelap baginya, apakah sebenarnya yang akan terjadi? Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Ki Lemah Telasih. Ia harus pergi kepada orang
itu. Apa pun yang akan dilakukan, maka usaha itu masih belum dilepaskannya.
Saat itu pula Mahesa Jenar dan Rara Wilis mohon diri kepada Panembahan Ismaya.
Meskipun Panembahan Ismaya minta mereka berdua untuk bermalam, namun Mahesa
Jenar terpaksa tidak dapat memenuhinya.
“Nanti
Panembahan. Pada saat Purnama naik, aku akan menghadap Panembahan.”
Panembahan itu
berpikir sejenak. Tampak ia menjadi ragu-ragu. Katanya bertanya,
“Bukankah pada
saat Purnama naik Banyubiru akan mengalami ketegangan?”
“Ya
Panembahan,” sahut Mahesa Jenar.
“Kenapa kau
akan meninggalkan tempat itu untuk datang kemari?”
“Lebih baik
aku tidak menyaksikan peristiwa itu. Biarlah aku di sini menenangkan hati
bersama Panembahan.”
PANEMBAHAN TUA
itu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba ia mengangguk-anggukkan kepalanya,
gumamnya.
“Sejak dahulu
aku sudah mengatakan kepadamu Mahesa Jenar, bahwa wawasanmu benar-benar tajam.
Biarlah aku katakan terus terang, bahwa nanti pada saat purnama naik aku tidak
ada di Padepokan ini. Bukankah itu yang akan kau katakan kepadaku? Ternyata kau
benar. Dan sebahagiaan dari dugaan-dugaanmu yang lain pun aku kira benar pula.”
Mahesa Jenar
tidak dapat menanyakan lagi, atau memancingnya dengan persoalan-persoalan lain.
Sehingga karena itu, maka ia pun segera bermohon diri untuk meninggalkan
Padepokan itu. Ketika Mahesa Jenar menuntun kudanya meninggalkan pondok itu,
dilihatnya Panembahan Ismaya benar-benar menjadi gelisah. Terasa ada sesuatu
yang ingin dikatakannya, namun ditahannya kuat-kuat. Sehingga Mahesa Jenar pun
merasakan ketegangan di dalam dada Panembahan Ismaya. Tetapi ketegangan itu langsung
mempengaruhinya pula, sehingga dadanya pun menjadi tegang. Namun Mahesa Jenar
berjalan terus menuntun kudanya bersama Rara Wilis. Demikian mereka melampaui
pagar halaman, segera mereka berdua itu pun berlari menuruni tebing bukit
Telamaya.
Beberapa lama
Panembahan Ismaya masih tegak di ambang pintu. Wajahnya yang tua tampaknya
menjadi semakin tua. Perlahan-lahan dianggukkannya kepalanya dan terdengar ia
bergumam.
“Kalian masih
seperti dahulu. Kalian masih dalam pengabdian yang luhur.”
Tiba-tiba Panembahan
itu pun segera masuk ke dalam pondoknya. Dipanggilnya seorang cantrik dan
kemudian katanya.
“Aku akan
berada di dalam sanggar. Jangan bangunkan aku sampai tiga hari setelah purnama
naik.”
“Baik
Panembahan,” sahut cantrik itu.
Panembahan itu
pun segera mempersiapkan dirinya untuk masuk ke dalam sanggarnya.
Mahesa Jenar
dan Rara Wilis yang meninggalkan bukit Karang Tumaritis berkuda dengan
kecepatan sedang. Sekali-kali Rara Wilis menanyakan beberapa soal kepada Mahesa
Jenar, namun Mahesa Jenar sendiri masih belum mampu mengambil kesimpulan
apa-apa. Semalam sebelum purnama naik, hutan Prawata telah sibuk dengan
persiapan perkemahan yang akan dipakai oleh Baginda. Besok pagi-pagi Baginda
akan sampai di hutan itu untuk suatu masa perburuan yang akan memakan waktu
sepekan sampai sepuluh hari. Beberapa orang yang mendahului Baginda telah
mendapat tugas membangun beberapa buah perkemahan untuk para pengikut Baginda.
Namun agaknya kali ini Baginda tidak membawa banyak pengikut. Beberapa perwira
Wira Tamtama, akan beberapa orang lagi dari kesatuan-kesatuan lain, di bawah
pengawalan kesatuan Nara Manggala. Hutan yang sepi itu tiba-tiba menjadi ramai
dan riuh. Di malam hari sebelum Purnama naik, lampu-lampu obor telah menyala
bertebaran di sekitar perkemahan, yang di bangun di sebuah lapangan rumput yang
agak luas di tengah-tengah hutan itu. Sementara itu, Banyubiru pun menjadi
ramah. Namun penuh dengan ketegangan. Laskar dari Pamingit telah siap pula di
alun-aun Banyubiru, sedang laskar Banyubiru sendiri dengan penuh tekad telah
menggenggam senjata masing-masing di tangan mereka.
Arya Salaka
telah memerintahkan kepada mereka, bahwa apabila nanti saatnya matahari
tenggelam, laskar itu harus mulai bergerak. Malam itu mereka akan merayap
mendekati hutan Prawata dan besok malam pada saat Purnama naik, mereka harus
sudah mengepung perkemahan Baginda. Arya Salaka sendiri akan memimpin seluruh
laskar Banyubiru dan Pamingit. Telah bulat tekad di dalam dadanya. Kalau
Baginda menerima Endang Widuri dari Karebet, maka apapun yang akan terjadi.
Widuri akan direbutnya dengan kekerasan. Kalau tidak dan Karebet sendiri ingin
bertahan dengan pasukan Wira Tamtama yang dipimpinnya, maka Arya Salaka akan
sanggup menghancurkannya, seandainya Karebet tidak bersedia menyerahkan Widuri.
Laskar yang dibawanya pasti akan berpengaruh atas tuntutannya. Kalau ia datang
tanpa kekuatan, maka ia pasti akan diabaikan. Tetapi dengan kekuatan di
belakangnya, maka mau tidak mau permintaannya untuk menerima kembali Widuri
pasti akan dipertimbangkan. Dengan gelisahnya Arya Salaka menunggu matahari
terbenam di kaki langit. Sekali-kali ia berjalan mondar-mandir di halaman
rumahnya. Sekali-kali dilayangkan pandangannya ke pada laskar yang sudah
bersedia sepenuhnya di alun-alun. Di pendapa rumahnya dilihatnya telah siap
dalam kesigapan tempur, pamannya, Lembu Sora, Kebo Kanigara, dan ayahnya. Namun
tampaklah Ki Ageng Sora menjadi pucat dan gemetar. Terasa sesuatu bergelora di
dalam dadanya. Ia sendiri tidak mampu bertempur melawan laskar Demak yang
memadai Gula Kelapa. Apalagi kini. Di antara mereka terdapat Baginda sendiri.
MAHESA JENAR
dan Rara Wilis duduk pula di pendapa itu bersama Ki Ageng Pandan Alas. Meskipun
dilambung Wilis tergantung sebilah pedang, namun kebimbangan yang besar tampak
membayang di wajahnya. Kebo Kanigara menundukkan wajahnya dalam-dalam.
Tampaklah mulutnya bergerak- gerak. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Sedang
Mahesa Jenar duduk termenung memandang langit di kejauhan yang semakin lama
menjadi semakin suram. Sesuram hati Arya Salaka. Arya Salaka yang kemudian
duduk pula di tangga pendapa itu, menunggu dengan dada yang bergolak. Terbayang
di dalam angan-angannya, apakah kira-kira yang telah terjadi dengan Endang
Widuri. Kenapa seorang gadis yang memiliki ilmu tata bela diri itu tidak sempat
membebaskan dirinya dari Karebet? Dan sebenarnyalah Endang Widuri telah
berusaha sekuat-kuat tenaganya. Tanpa dilihat oleh seorang pun maka Widuri itu
telah bertempur dengan gigihnya. Pagi itu Widuri sedang mencuci pakaiannya di
belumbang, ketika tiba-tiba saja Karebet muncul disampingnya. Gadis itu
terkejut bukan buatan. Tetapi ketika dilihatnya yang datang itu Karebet, maka
ia menjadi gembira. Namun kembali Widuri itu terkejut, ketika Karebet tiba-tiba
mengajaknya pergi ke Demak.
“Kenapa ke
Demak?” bertanya Widuri.
Karebet
memandangi wajah Widuri dengan pandangan yang aneh. Katanya sambil
tersenyum-senyum.
“Buat apa kau
tinggal di pedukuhan yang sepi ini? Ikutlah aku ke Demak. Kau akan mukti
disana.”
“Apakah kau
sudah menjadi gila, kakang” bentak Widuri.
Namun Karebet
masih juga tersenyum-senyum, sehingga Widuri itu pun menjadi takut pula
karenanya. Tetapi Widuri tidak sempat berbuat apa-apa. Meskipun kemudian Widuri
berusaha membela diri, namun Karebet bukanlah lawannya.
Widuri tidak
dapat bertahan, sehingga akhirnya dapat dilumpuhkan. Dalam keadaan pingsan maka
gadis itu dibawa menghilang, masuk ke dalam semak-semak.
Kini Arya
Salaka sudah siap untuk merebutnya dengan segenap kekuatan yang mungkin
dikerahkannya. Demikianlah, maka ketika matahari telah hilang dibalik
cakrawala, maka segera Arya Salaka bersiap. Dengan langkah yang tetap ia
berjalan ke alun-alun dihadapan rumahnya. Diberikannya beberapa perintah, dan
para pemimpin laskar Banyubiru dan Pamingit segera memahaminya. Laskar
Banyubiru berada di bawah pimpinan Bantaran sedang laskar Pamingit berada di
bawah pimpinan Wulungan. Di belakang Arya Salaka berdiri beberapa orang yang
akan menjadi kekuatan laskar Banyubiru dan Pamingit itu. Gajah Sora, Lembu
Sora, Kebo Kanigara, Mahesa Jenar, Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis. Namun
tak seorang pun yang tahu di antara mereka, apakah yang tersimpan di dalam dada
masing-masing. Meskipun mereka berdiri berjajar dalam barisan yang sama, namun
barisan Arya Salaka kali ini adalah barisan yang penuh menyimpan berbagai
persoalan di setiap dada mereka. Persoalan yang satu sama lain berbeda-beda dan
satu sama lain bertolak dari kepentingan yang berbeda pula. Tetapi yang tampak,
yang kasat mata, mereka kemudian berjalan beriringan di belakang laskar
Banyubiru dan Pamingit yang dengan tekad yang menyala di dalam dada mereka,
pergi menuju ke hutan Prawata. Tepat pada saat purnama naik, maka hutan Prawata
benar-benar menjadi sangat ramainya. Di dalam setiap barak kini sudah
terpancang obor-obor dan di hampir setiap sudut-sudutnya pun diterangi dengan
nyala-nyala lampu obor pula. Di pinggir lapangan rumput dibuat orang sebuah
perapian yang besar. Nyalanya seakan-akan menggelepar menggapai daun-daun
pepohonan yang berjuntai di atasnya. Cahaya yang kemerah-merahan terlempar jauh
menusuk ke dalam sela-sela daun-daun yang tidak begitu rimbun.
BAGINDA kini
telah berada di dalam barak yang terbesar di tengah-tengah barak- barak yang
lain. Sebagai seorang pemburu, maka Baginda dapat hidup di dalam lingkungan
yang sangat sederhana. Barak dari batang ilalang dan dedaunan. Pembaringan yang
dibuat dari kulit-kulit kayu dan bambu, serta segala macam peralatan yang
sederhana. Hidup yang sedemikian merupakan selingan yang menggembirakan bagi
Baginda yang kadang-kadang menjadi terlalu jemu dengan isi istana. Di
dinding-dinding barak itu, kini tergantung busur dan anak panah. Pedang, tombak
dan segala macam senjata. Bukan saja senjata-senjata untuk berburu, namun juga
senjata-senjata untuk berperang dari para pengawal Baginda. Malam yang demikian
akan menjadi sangat menyenangkan bagi para prajurit dan Baginda sendiri.
Biasanya Baginda mulai berburu pada malam pertama. Pada malam bulan sedang
bulat sebulat-bulatnya. Seperti malam itu, dimana langit bersih dan
bintang-bintang bertaburan. Sinar bulan yang cemerlang menyusup ke dalam rimba
yang tidak begitu pepat, menari-nari di atas tanah yang lembab. Tetapi malam
ini keadaan Baginda tidak sedemikian gembira seperti biasanya. Tampaklah
Baginda menjadi muram dan gelisah. Sekali-kali Baginda memandangi busur-busur
yang tergantung di dinding barak. Serta pusakanya, sebilah keris, tidak juga
dilepaskannya. Terasa sesuatu yang selalu membayangi kegembiraan Baginda.
Ketika seorang
perwira masuk ke dalam biliknya beserta seorang prajurit, maka segera Baginda
memanggilnya duduk dekat-dekat di hadapannya.
“Jangan
hiraukan lagi subasita. Kita sekarang sama-sama seorang pemburu.”
“Tidak
Baginda,” perwira itu menyembah.
“Ternyata kita
belum sempat untuk berburu malam ini atau malam besok.”
“Bagaimana
dengan kabar itu?”
“Hamba telah
menyaksikan sendiri. Perkemahan ini telah dikepung rapat-rapat.”
Baginda
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya kepada perwira itu.
“Paningron.
Apakah kau dapat menduga kekuatannya?”
“Tidak secara
cepat Baginda. Tetapi kira-kira dua tiga kali lipat kekuatan kita disini.”
Baginda
terdiam sesaat. Perwira itu, yang tidak lain adalah Paningron, menunggu apakah
yang harus dikerjakannya. Pasukan yang ikut serta dengan Baginda memang tidak
begitu banyak, sebab Baginda hanya sekadar ingin berburu. Namun tiba-tiba kini
Baginda Sultan telah berhadapan dengan sepasukan laskar yang sedemikian
kuatnya, sehingga Baginda harus berhati-hati menghadapinya.
Sejenak
kemudian baginda itu pun berdiri. Dilepaskannya baju keprajuritan yang
dikenakannya. Kemudian kepada prajurit yang duduk di sampingnya Baginda
berkata.
“Berikan
bajumu.” Prajurit itu menjadi terheran-heran. Namun sekali lagi Baginda itu
berkata,
“Berikan baju
dan kelengkapanmu.”
Prajurit itu
menjadi terheran-heran. Dibukanya bajunya dan diserahkannya kepada Sultan, yang
segera dipakainya.
“Terlalu
kecil,” gumam Sultan.
“Ya” sahut
Paningron yang segera dapat mengetahui maksud Sultan.
“Apakah baju
ini tidak pernah kau cuci?” bertanya Baginda sambil tersenyum.
“Baju itu
hamba pakai sejak hamba mempersiapkan diri semalam Baginda,” sahut prajurit
itu.
“Pantas?”
“Baunya,” jawab Baginda sambil tersenyum Prajurit itu tersenyum pula.
Tetapi ia
tidak dapat tersenyum lagi ketika Baginda berkata,
“Kau tinggal
di dalam barak ini. Kalau ada orang yang ingin masuk, jangan kau beri
kesempatan. Jawabnya seperti aku menjawab,
“Jangan ganggu
aku.”
“Tetapi suara
hamba Baginda,” jawab prajurit itu. Baginda berpikir sejenak. Kemudian
jawabnya,
“Baik, kalau
begitu tutup pintu. Jangan kau bukakan apabila aku tidak memanggil namamu.”
“Hamba
Baginda.” Baginda dan Paningron segera meninggalkan bilik itu yang kemudian
segera ditutupnya. Penjaga yang melihat mereka keluar dalam keremangan bulan
Purnama, tidak menyangka bahwa orang itu adalah Baginda sendiri.
Ternyata
Baginda membawa Paningron untuk melihat sendiri kekuatan orang-orang yang telah
mengepung mereka dengan rapatnya. Hampir di setiap pohon bersandar seorang yang
bersenjata. Di sela-sela pepohonan Baginda melihat cahaya perapian yang
menyala-nyala. Dan karena itulah maka Baginda kadang-kadang dapat melihat
bayangan orang yang berjalan hilir mudik.
“Kau benar
Paningron,” berkata Baginda.
“Kekuatan itu
benar-bebar tidak dapat diabaikan.”
“Hamba telah
meneliti tuanku.”
BAGINDA
mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil berjalan mengendap-endap Baginda itu
berkata,
“Siapakah yang
memimpinnya?”
“Hamba kurang
tahu Baginda. Tetapi sudah hamba saksikan sendiri di Pamingit, kekuatan
Banyubiru benar-benar mengagumkan. Apalagi kini mereka telah bergabung bersama
kekuatan-kekuatan dari Pamingit.”
“Apakah Rangga
Tohjaya masih di Banyubiru?”
“Hamba
tuanku.”
“Apakah ia
ikut dalam barisan itu?”
“Belum hamba
ketahui.”
Baginda
menarik nafas dalam-dalam. Disadarinya bahwa apabila laskar Banyubiru itu
lengkap dengan segenap pimpinannya, maka kekuatan Banyubiru benar-benar
mengagumkan. Paningron yang melihat Baginda kemudian termenung, segera berkata,
“Baginda,
apakah hamba dapat mengirim seseorang untuk memanggil pasukan yang cukup untuk
mengusir orang-orang Banyubiru.”
Baginda diam
sesaat. Dipandangnya nyala api yang melonjak-lonjak di sela-sela pepohonan.
Nyala api dari perapian orang-orang Banyubiru. Namun perlahan-lahan Baginda
menggelengkan kepalanya.
“Jangan
Paningron. Orang itu tidak akan dapat menembus kepungan orang-orang Banyubiru.”
“Hamba sendiri
sanggup melakukan Baginda. Hamba dapat melampauinya dengan kuda yang berpacu
kencang-kencang.”
“Akan sama
saja bahayanya, Paningron.”
Paningron
tidak lagi berkata-kata. Diikutinya saja kemudian Baginda berjalan berkeliling.
Tiba-tiba di sudut lapangan rumput itu Baginda berhenti. Digesernya pusakanya
dan dengan serta merta dirabanya hulu pusaka itu. Paningron pun segera melihat,
sebuah bayangan yang berdiri tegak dihadapan mereka.
“Siapa?”
bertanya Paningron perlahan-lahan.
“Apakah aku
berhadapan dengan Baginda?” desis bayangan itu.
“Oh” sahut
Baginda.
“Eyang
ternyata benar-benar datang.”
“Tentu cucunda
Baginda” sahut bayangan itu.
“Hamba sudah
berjanji.”
“Nah.
Bagaimana dengan orang-orang itu, eyang?”
“Sudah hamba
katakan Baginda, itulah yang dapat hamba sampaikan kepada Baginda malam ini.
Seperti yang pernah hamba sampaikan sebelumnya.”
“Hem. Apakah
nilai nama Sultan Trenggana dapat dipakai untuk kepentingan seorang Karebet.”
“Jangan
Baginda menilai Karebet kini. Tetapi Karebet pada masa datang akan mempunyai
nilai tersendiri dalam hati Baginda. Dan bukankah Baginda juga seorang ayah
yang baik.”
“Persetan
dengan anak itu.”
“Tetapi puteri
Baginda akan dapat menderita seumur hidupnya. Dan bahkan mungkin mengancam
jiwanya.”
Baginda itu
pun kemudian termenung sesaat. Ternyata Baginda tidak dapat mengingkari
kenyataan bahwa puteri Baginda telah mencoba untuk membunuh dirinya. Untunglah
maksud itu dapat di urungkan. Entah karena malu, entah karena Karebet yang
hilang. Namun untuk seterusnya tak dapat memandang hari-hari yang dilampauinya
dengan gairah. Apalagi sebenarnya Sultan sendiri tidak terlalu membenci
Karebet. Justru Baginda sendiri pernah melihat kelebihan-kelebihan yang ada
pada anak itu.
“Bagaimana
Baginda?” bertanya bayangan itu.
“Hem. Eyang
telah membingungkan aku. Kalau aku membiarkan pemberontakan ini, maka peristiwa
yang serupa akan dapat terjadi dihari-hari yang akan datang.”
“Mereka sama
sekali tidak memberontak terhadap Baginda. Mereka datang untuk mencari
Karebet.”
Sekali lagi
Baginda termenung. Dan didengarnya bayangan itu berkata,
“Selain dari
itu Baginda, bukankah hamba telah menolong Baginda mencarikan jalan untuk
mencari kemungkinan memanggil kembali anak itu, dengan alasan yang dapat
dipertanggungjawabkan.”
“Aku
merendahkan harga diriku. Trenggana adalah Sultan yang disegani lawan dan
kawan. Apakah aku tidak dapat memusnahkan mereka?”
“Tentu
Baginda. Sebab mereka tidak akan berani melawan Baginda seandainya Baginda
sendiri keluar di medan pertempuran. Apalagi salah seorang pengawal Baginda di
panji-panji Gula Kelapa. Maka Gajah Sora pasti akan mati ketakutan melihat
panji-panji itu.”
“Jadi
bagaimana?” bertanya Baginda.
“Hamba adalah
orang tua, Baginda. Orang tua yang telah tidak mempunyai pamrih apa-apa lagi.
Berpuluh-puluh tahun hamba menghilang. Sekarang hamba ingin melihat Demak
menjadi bertambah baik menilik persoalan-persoalan yang terpendam di dalamnya.”
“Jangan sebut
lagi, keturunan Kakangmas Sekar Seda Lepen.”
“Tidak. Aku tidak
akan menyebutnya, tetapi hal itu tidak akan dapat menghapus kenyataan itu.”
“Ya. Eyang
benar. Anak itu ada di sini pula sekarang.”
“Penangsang?”
“Ya”
Sesaat mereka
terdiam. Paningron menjadi bingung mendengar pembicaraan itu. Tetapi ia tidak
berani bertanya. Yang didengarnya kemudian adalah suara Sultan.
“Lalu
bagaimana eyang?”
“Tergantung
pada Baginda.”
“Baiklah,
besok pagi-pagi pasukanku akan bersiap menyongsong mereka menurut rencana yang
telah eyang buat. Mudah-mudahan semua berjalan dengan baik.”
Bayangan itu
pun kemudian mengangguk-angguk dalam-dalam. Perlahan-lahan terdengar ia
berkata.
“Baginda
ternyata telah berbuat sesuatu yang mengagumkan hamba. Orang tua yang sama
sekali sudah tidak berarti lagi. Besok hamba tidak akan lagi bersembunyi. Namun
hamba akan mengabdikan diri di bawah duh Baginda.”
“Ah. Eyang
terlalu merendahkan diri.”
“Sekarang
Cucunda Baginda, biarlah aku pergi.”
“Jangan eyang.
Eyang harus berada di sini. Kalau ada sesuatu kesalahan, maka eyang akan dapat
membantunya”.
“Atau untuk
menjadi tanggungan?”
“Tidak.”
“Baiklah. Aku
ikut Baginda.”
Bayangan itu
pun kemudian berjalan mengikuti Baginda di samping Paningron. Namun mereka yang
berjaga-jaga di muka barak, sama sekali tidak memperhatikan siapakah yang lewat
di hadapan mereka. Ketika mereka melihat Paningron, meka yang lain sama sekali
tidak penting bagi mereka sebab mereka tahu, bahwa Paningron adalah seorang
perwira dari jabatan rahasia di Demak.
Bulan yang
bulat mengapung di langit dengan sangat lambatnya. Namun pasukan-pasukan
pengawal Baginda tiba-tiba menjadi ribut. Mereka segera berlari-lari ke dalam
barak masing-masing untuk mengambil senjata mereka. Paningron telah menjatuhkan
perintah, supaya mereka bersedia menghadapi setiap kemungkinan.
“Kekuatan
mereka jauh lebih besar dari kekuatan kita,” berkata Paningron kepada para
pemimpin Demak.
Tetapi seorang
perwira Wira Tamtama menanggapinya dengan sebuah senyum. Katanya di dalam hati,
“Apakah yang
dapat dilakukan oleh orang-orang pedesaan?”
Orang itu sama
sekali tidak mau memikirkannya lagi.
“Besok mereka
akan aku musnahkan,” katanya. Orang itu adalah Tumenggung Prabasemi. Seorang
perwira Wira Tamtama yang terlalu menyadari kelebihan-kelebihan yang ada pada
dirinya. Malam itu semua prajurit siap di tempatnya. Beberapa penjaga selalu
mondar-mandir mengawasi keadaan. Sedang yang lain beristirahat untuk menanti,
apakah tugas yang akan mereka lakukan besok pagi. Namun senjata-senjata mereka
telah melekat di tangan. Ketika matahari mulai membayang di pagi dini hari,
maka mulai membayang pulalah ketegangan di wajah para prajurit Demak dan setiap
orang dalam laskar Banyubiru.
Arya Salaka
dengan pisau belati yang kuning berkilat-kilat di pinggangnya, segera memimpin
laskarnya maju mendekati perkemahan Baginda. Beberapa orang yang mendampinginya
menjadi berdebar-debar pula. Lebih-lebih Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan Gajah
Sora sendiri. Sedang di antara mereka tidak terdapat Ki Ageng Sora Dipayana.
Orang tua itu lebih baik tinggal di Banyubiru. Berdoa di dalam hati
bersama-sama Wanamerta, semoga semuanya dihindarkan dari bencana. Semakin dekat
mereka dengan perkemahan Baginda, maka semakin berdebar-debar pula hati setiap
laskar di dalam pasukan Arya Salaka. Meskipun mereka telah mengalami
pertempuran yang dahsyat melawan orang-orang dari golongan hitam, namun hati
mereka masih juga terpengaruh melihat pasukan Demak yang telah bersiaga pula
disekeliling perkemahan. Mereka melihat betapa pasukan Demak telah menanti
kedatangan mereka. Meskipun jumlah mereka tidak begitu banyak dibandingkan dengan
laskar Banyubiru dan Pamingit, tetapi karena mereka mempergunakan tanda-tanda
kebesaran, maka tampaklah betapa tangguhnya pasukan yang kecil itu. Di luar
sekali tampaklah sepasukan Wira Tamtama di bawah panji-panji Tunggul Dahana.
Mereka berdiri berjajar dengan tenangnya. Di tangan masing-masing tergenggam
sebilah pedang, dan di tangan yang lain sebilah perisai. Dengan dada tengadah
mereka memandangi laskar Banyubiru yang semakin lama menjadi semakin dekat.
DI dalam
lingkungan Wira Tamtama tampaklah sebuah panji-panji lain. Tunggul Mega.
Panji-panji dari pasukan Manggala Sraja. Pasukan ini tidak begitu banyak
jumlahnya, namun ketegangan wajah mereka menunjukkan ketegangan hati mereka
pula. Dengan penuh perhatian mereka menyaksikan laskar Banyubiru yang sedang
mendekati mereka. Yang paling dalam meskipun jumlahnya terlalu sedikit, namun
pasukan inilah yang menggoncangkan hati Mahesa Jenar. Perasaannya menjadi
sedemikian gelisahnya sehingga hampir-hampir ia tidak dapat melangkah maju
lagi. Perasaan yang demikian pernah dialami pada saat laskar Banyubiru
berhadap-hadapan dengan laskar Demak lima enam tahun yang lampau di Banyubiru.
“Kenapa
peristiwa-peristiwa semacam ini masih harus terulang?” desah di dalam hati.
Di lingkaran
yang paling dalam dilihatnya sepasukan kecil Nara Manggala. Wira Jala Pati
dalam satu lapis dengan pasukan Manggala Pati. Di atas mereka itu terpancang
panji-panji Garuda Rekta, Sura Pati dan yang paling mendebarkan adalah Panji
lambang keperkasaan Demak, Gula Kelapa. Mahesa Jenar mengelus dadanya. Ketika
ia berpaling, dilihatnya Kebo Kanigara menundukkan wajahnya, sedang Ki Ageng
Gajah Sora menggigit bibirnya.
“Hem,” Mahesa
Jenar berdesah di dalam hati,
“Mudah-mudahan
semuanya berlangsung baik.”
Namun
bagaimana pun juga, laskar Demak dalam gelar Gedong Minep itu benar-benar telah
mendebarkan jantungnya. Ia tahu benar, bahwa meskipun laskar Demak itu tidak
begitu banyak, apalagi mereka tidak sengaja pergi berperang, sehingga
kelengkapan mereka pun bukan kelengkapan perang secara sempurna, namun pasukan
Demak adalah pasukan yang telah masak.
Tetapi laskar
Banyubiru itu maju terus. Arya Salaka yang sedang bermata gelap itu
hampir-hampir tidak melihat apa saja yang terpancang dihadapannya. Dengan gigi
gemeretak ia memandangi lapangan di muka barak itu. Katanya di dalam hati,
“Manakah anak
muda yang bernama Karebet itu?”
Dengan tidak
memperdulikan apa saja Arya berjalan terus sehingga mereka menjadi semakin
dekat dengan perkemahan Baginda Sultan Trenggana. Arya Salaka memegang
pimpinan, tiba-tiba melihat seorang yang berkuda datang ke arahnya. Seorang
dari pasukan Nara Manggala. Orang itu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi,
kemudian datang lebih mendekat lagi.
“Terimalah
Arya,” bisik Mahesa Jenar.
Arya Salaka
segera maju beberapa langkah ke depan. Diterimanya sehelai rontal yang
diberikan oleh orang berkuda itu. Arya Salaka menggeretakkan giginya. Kemudian
katanya kepada ayahnya.
“Ayah, Baginda
sudah tahu maksud kedatangan kita. Baginda tahu bahwa kita mencari kakang
Karebet di sini. Dan Baginda tidak akan menyerahkan Karebet itu kepada kita.”
Ayahnya
mengerutkan keningnya. Dipalingkannya wajahnya, menatap Mahesa Jenar yang
menundukkan kepalanya.
“Bagaimana
adi? “ bertanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar
kemudian melambaikan tangannya kepada Arya Salaka untuk melihat rontal di
tangannya. Kemudian wajah yang bersungguh-sungguh ia berkata,
“Terimalah
Arya. Sebaiknya kau menerima tawaran itu. Dengan demikian kau akan mengurangi
korban yang bakal jatuh dalam perang brubuh.”
Kebo Kanigara
yang mendengar kata-kata Mahesa Jenar itu berpaling. Kemudian kembali ia
memandang ke kejauhan. Sekali-kali tampak bibirnya bergerak-gerak, tetapi tak
sepatah kata pun yang meloncat dari mulutnya. Sesaat Arya Salaka menjadi
ragu-ragu. Tetapi kemudian Mahesa Jenar itu pun berkata,
“Hasrat yang
paling besar untuk menemukan Endang Widuri justru datang daripadamu Arya. Bukan
dari pamanmu Kebo Kanigara. Karena itu, wajarlah apabila kau yang akan tampil
ke depan melawan seseorang yang akan dikirim oleh Baginda di lapangan itu.
Demikianlah sikap seorang jantan.”
Arya
mengangkat wajahnya. Dilihatnya Kebo Kanigara terkejut mendengar kata-kata
Mahesa Jenar itu sehingga dahinya berkerut-kerut. Namun sekali lagi Kebo
Kanigara itu tidak berkata apapun juga.
Namun
kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar telah membakar dada Arya Salaka. Karena
itu, maka kemudian ia melangkah kembali dan menghadap kepada orang yang berkuda
itu dengan dada tengadah.
“Aku terima
tawaran itu. Aku, Arya Salakalah yang akan datang ke gelandang.”
Suasana ditengah-tengah
lapangan rumput itu benar-benar menjadi tegang. Ketika matahari telah
sepenggalah, terdengarlah sebuah tengara, sangkalala yang mendengung di udara.
Setiap orang yang mendengar sangkalala itu menjadi berdebar-debar. Hampir semua
orang di kedua belah pihak telah mengetahui, bahwa untuk menyelesaikan
persoalan antara pimpinan Banyubiru dan Baginda, telah disepakati untuk
mengadakan perang tanding. Meskipun hampir semua orang dari pasukan Demak tidak
tahu, apakah sebenarnya tuntutan Arya Salaka itu. Arya Salaka segera membenahi
pakaiannya. Ia kini membawa tombak Kiai Bancak, tetapi ia lebih senang membawa
Kiai Suluh, pusaka yang diterimanya secara tidak langsung dari Pasingsingan.
Ketika Arya Salaka melihat seseorang berjalan maju ke lapangan rumput itu dari
perkemahan laskar Demak, maka Arya Salaka pun bersiap pula. Sekali ia berputar
menghadap ayah dan gurunya sambil berbisik.
“Ayah dan
paman-paman. Restuilah aku, semoga aku akan berhasil.”
“Hati-hatilah
Arya,” hampir bersamaan orang-orang yang mendampinginya menyahut. Ayahnya,
Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Lembu Sora dan Bantaran. Sedang Rara Wilis pun
tidak kalah tegangnya melihat apa yang bakal terjadi.
Dengan langkah
tetap Arya Salaka berjalan pula ke tengah lapangan itu. Ditatapnya wajah yang datang
dari perkemahan Baginda. Seorang yang bertubuh tegap kekar, berkumis melintang,
berjalan sambil tersenyum-senyum. Ketika terlihat olehnya seorang anak muda
datang menghampirinya, orang itu mengerutkan keningnya. Anak inikah yang
bernama Arya Salaka. Prajurit yang mengenakan pakaian seorang pemburu itu
menjadi kecewa.
“Hanya seorang
anak-anak,” desisnya. Tetapi ketika ia melihat ketenangan dan pancaran wajah
anak itu, maka hatinya berdebar-debar juga. Ketika mereka kemudian bertemu di
tengah-tengah lapangan itu, maka mereka pun segera berhenti. Beberapa orang
prajurit Demak segera mendekati mereka, dan dengan sebuah lambaian mereka
memanggil wakil-wakil dari Banyubiru untuk menjadi saksi. Gajah Sora menjadi
ragu-ragu sejenak. Karena itu maka segera ia bertanya kepada Mahesa Jenar.
“Siapakah yang
akan datang ke arena?”
Beberapa orang
menjadi saling berpandangan. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara. Tetapi
mereka untuk sesaat saling berdiam diri.
“Apakah adi
Mahesa Jenar?” bertanya Gajah Sora.
Mahesa Jenar
menggelengkan kepalanya.
“Jangan
kakang. Jangan aku. Mungkin Kakang Kebo Kanigara lebih baik. Kakang Kanigara
mempunyai kepentingan langsung dalam peristiwa ini.”
“Hem” Kebo
Kanigara bergumam sambil menyilangkan kedua tangan di dadanya.
“Jangan aku.
Orang-orang Demak telah menyangka aku tak akan mereka jumpai lagi.”
“Lalu siapa?”
desah Mahesa Jenar.
“Kakang Gajah
Sora sendiri barangkali?”
Gajah Sora itu
pun menggelengkan kepalanya.
“Tidak”
katanya.
“Aku tidak
sanggup.”
Kembali mereka
berdiam diri sambil berpandangan. Tiba-tiba mata Mahesa Jenar menyambar wajah
Rara Wilis dan Ki Ageng Pandan Alas yang berdiam seperti tonggak. Sekali ia
menarik nafas panjang dan kemudian katanya.
“Apakah kau
dapat mewakili kami Wilis? Hanya menyaksikan perkelahian itu, supaya tidak
terjadi kecurangan. Barangkali paman Pandan Alas akan sudi mendengarkanmu.”
Ki Ageng
Pandan Alas mengerutkan keningnya. Kemudian katanya,
“Kami bukan
orang Banyubiru.”
“Itu tidak
penting. Yang diperlukan adalah mereka yang dapat menilai perkelahian itu
supaya berlangsung dengan jujur”.
“Baiklah,”
jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Tetapi
biarlah salah seorang dari Banyubiru pergi bersama kami. Mungkin angger
Bantaran atau yang lain?”
“Aku bersedia
pergi, “ tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sora menyela.
“Bagus” sahut
Ki Ageng Pandan Alas.
“Marilah kita
pergi dengan Bantaran.”
Mereka
berempat pun kemudian berjalan pula ke tengah-tengah lapangan. Seorang tua yang
bernama Pandan Alas, seorang yang gagah, tinggi besar, Ki Ageng Lembu Sora,
seorang pemimpin laskar Banyubiru yang berani, Bantaran dan seorang gadis
ramping dengan pedang tipis di lambungnya, Rara Wilis.
Keempat orang
itu benar-benar menarik perhatian segenap prajurit Demak. Langkah mereka yang
tetap dan tenang, benar-benar mengagumkan. Prajurit Demak yang berpakaian
pemburu, dan yang sudah berdiri berhadapan dengan Arya Salaka mengerutkan
keningnya. Ternyata Banyubiru memiliki laskar yang dapat dibanggakan seperti
Lembu Sora. Tetapi karena yang maju ke dalam arena itu seorang anak muda saja.
Kenapa bukan orang yang tinggi, besar dan berkumis tebal setebal kumisnya
sendiri. Tetapi ini adalah urusan Banyubiru sendiri.
No comments:
Post a Comment