ORANG tua itu mengangguk, jawabnya,
”Ya, Kyai
Sengkelat. Tidak saja keris-keris itu tidak mau luluh pada diri seseorang,
tetapi keris-keris itu ternyata lolos dari tempat penyimpanannya. Padahal
Sengkelat pun tidak kalah pentingnya. Ia memiliki watak yang lengkap dari watak
seorang prajurit. Prajurit yang setia dan patuh akan kewajibannya, yang bekerja
dan berjuang bukan untuk kepentingan diri. Tetapi seorang prajurit akan
berjuang untuk tanah tumpah darah serta rakyatnya, dengan penuh kejujuran dan
tanpa pamrih, dalam lingkaran kebaktian dan cinta kasih Yang Maha Agung.”
Suasana
kemudian menjadi hening sepi. Masing-masing tenggelam dalam angan-angan
sendiri. Mahesa Jenar yang dengan bekerja keras dan mati-matian berusaha untuk
menemukan Kyai Sabuk Inten, bahkan usahanya itu belum dapat dikatakan berhasil
sepenuhnya, tiba-tiba ia mendengar bahwa Kyai Sengkelat pun sedang lolos dari
simpanannya. Sedang Kebo Kanigara, sebagai seorang keturunan Brawijaya, menjadi
sedih pula. Bagaimanapun juga, ia masih selalu merindukan kebesaran yang pernah
dicapai oleh Majapahit dahulu.
Tiba-tiba
terdengarlah Kebo Kanigara bertanya,
”Tuan, tidak
adakah hulubalang Istana yang dapat berusaha untuk menemukan keris-keris itu?”
Orang tua itu
kemundian tersenyum. Jawabnya,
”Tidak kurang
banyaknya para prajurit Demak yang disebar ke segenap penjuru. Bukankah Mahesa
Jenar pernah juga bertemu dengan Gajah Alit dan Panigron? Juga bukankah Arya
Palindih pernah diutus ke Banyubiru untuk menemukan keris-keris itu? Bahkan
sampai sekarangpun masih banyak dari para perwira Demak yang berkeliaran
mencari pusaka-pusaka itu.”
Kebo Kanigara
mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun jelas terbayang di dalam kepalanya, bahwa
para prajurit Demak itu akan menjadi selalu kecewa, karena mereka tidak akan
dapat menemukan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Agaknya Kyai Sengkelat pun
masih terlalu sulit untuk diketahui tempatnya. Sebenarnya tidaklah terlalu
banyak orang yang mengetahui hilangnya pusaka-pusaka itu. Sebab memang hal itu
dirahasiakan. Yang boleh mengetahui hanyalah orang-orang terbatas saja. Tetapi
ada di antara mereka yang bertugas, terutama dari pejabat-pejabat rahasia Demak
sendiri, mempunyai pamrih atas pusaka-pusaka itu. Sebab mereka mempunyai
pengertian yang salah, seolah-olah siapa saja yang memiliki pusaka itu, dengan
sendirinya akan dapat menduduki tahta.
Orang tua itu
kembali membetulkan letak duduknya. Dan sekali-kali menarik napas dalam-dalam.
Kemudian ia meneruskan, ”Padahal, segala sesuatu sangat tergantung kepada orang
itu sendiri. Dan tergantung padanya pulalah pusaka-pusaka keraton itu dapat
luluh atau tidak ke dalam dirinya. Itulah yang biasa disebut orang -wahyu-. Dan
wahyu itu bukanlah semacam permainan dadu dengan mempertaruhkan keberuntungan,
tetapi untuk dapat menerima wahyu maka seseorang harus mempersiapkan dirinya
sebagai wadah dari watak dan sifat-sifat wahyu itu. Karena itulah maka untuk
menerima wahyu seseorang harus bekerja keras, mesu raga dengan penuh
keprihatinan.”
Segala
sesuatunya menjadi jelas bagi Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua murid
Pasingsingan itu. Tetapi justru karena itu Mahesa Jenar tidak lagi menjadi
gelisah atas pusaka-pusaka keraton yang hilang itu. Sebab meskipun ia berada di
tangan seseorang, seseorang yang mempunyai pamrih sekalipun, tidaklah ia akan
selalu berhasil setelah memiliki kedua pusaka itu.
Meskipun
demikian untuk meyakinkan diri sendiri, bertanyalah Mahesa Jenar,
”Tuan, aku sudah
dapat memahami semua keterangan itu. Namun meskipun demikian, untuk
menenteramkan perasaanku sendiri, aku ingin mendapat penjelasan yang pasti,
apakah kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten ada pada Tuan.”
Sekali lagi
orang itu tersenyum. Sambil mengangguk ia menjawab,
”Benar… Mahesa
Jenar. Kedua keris itu ada padaku. Jangan takut. Bagiku kau adalah lantaran
yang sebaik-baiknya untuk menyerahkan kembali kedua pusaka itu ke Demak kelak
apabila kita sudah mendapat gambaran, siapakah yang paling sesuai untuk menjadi
wadah dari wahyu itu. Meskipun demikian segala sesuatu masih tergantung atas
kebenaran yang tertinggi. Adakah Tuhan memperkenankan atau tidak. Sebab
Tuhan-lah Maha Penentu dari segala kejadian.”
Yang tiba-tiba
menjadi persoalan di dalam otak Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara kemudian adalah
Ki Ageng Gajah Sora. Ia akan dapat dibebaskan apabila kedua keris itu sudah
dapat diketemukan. Sebab dengan demikian akan dapat dibuktikan apakah ia
bersalah atau tidak. Sedang menurut orang tua itu, penyerahan kembai
keris-keris itu masih memerlukan waktu. Lalu bagaimanakah yang akan terjadi
dengan Gajah Sora itu…? Karena persoalan itu bertubi-tubi menghantam dinding
kepalanya, akhirnya Mahesa Jenar memberanikan diri bertanya,
”Tuan… Masih
ada sesuatu yang sangat mengganggu perasaanku, yaitu masalah Kakang Gajah Sora.
Dengan demikian maka ia tidak akan segera mendapatkan penyelesaian.”
Orang tua itu,
yang pernah mengenakan gelar Pasingsingan itu, mengerutkan keningnya. Persoalan
itu bagi Banyubiru bukan persoalan yang kecil. Sebab persoalan itu bagi
Banyubiru akan menentukan garis sejarah masa depan Banyubiru, meskipun tidak
seluruhnya. Untunglah Gajah Sora meninggalkan seorang anak laki-laki yang dapat
dibanggakan, Arya Salaka. Karena itu ia berkata,
”Mahesa Jenar…
sebaiknya kalian tidak usah menunggu Gajah Sora. Bawalah Arya Salaka ke dalam
tugas sucinya. Aku kira ia cukup mampu untuk melakukan, meskipun kau harus
selalu berada di sampingnya. Sedangkan Ki Ageng Gajah Sora… serahkan saja
kepadaku.”
Sekali lagi
suatu pertanyaan membersit di dalam hati Mahesa Jenar, bahkan juga di dalam
hati Kebo Kanigara dan kedua murid Pasingsingan itu. Mereka mendapatkan suatu
firasat yang mengatakan bahwa orang tua itu bagaimanapun pasti mempunyai
hubungan sambut rapat dengan Sultan Trenggana atau pemerintah Demak.
Akhirnya Kebo
Kanigara tidak dapat lagi menahan keinginannya untuk mengetahui keadaan orang
tua itu lebih banyak lagi, sehingga kemudian ia berkata,
”Tuan, telah
bertahun-tahun aku tinggal di Bukit Karang Tumaritis, bersama-sama dengan Tuan
dalam kedudukan Tuan sebagai seorang Panembahan bergelar Panembahan Ismaya.
Namun kemudian ternyata aku sama sekali masih belum mengenal Tuan. Sebab
ternyata aku masih belum mengetahui apa yang Tuan lakukan apabila Tuan sampai
berbulan-bulan meninggalkan padepokan kami. Juga ternyata karena
keterangan-keterangan Tuan, aku malahan menjadi semakin banyak menyimpan
pertanyaan-pertanyaan tentang Tuan. Karena itu seandainya Tuan tidak keberatan
sejalan dengan pernyataan Tuan untuk tidak berahasia lagi, khususnya terhadap
kami, apakah Tuan tidak keberatan apabila Tuan menyatakan kepada kami siapakah
Tuan serta dari manakah Tuan sebenarnya.”
Orang tua itu
menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, berkatalah ia
dengan suara yang dalam dan perlahan,
”Kebo Kanigara
dan kalian yang lain… apakah ada perlunya aku menyatakan diri serta
asal-usulku? Sebab apa yang sudah terjadi itu tidak akan banyak pengaruhnya
bagi masa yang akan datang.”
Karena Mahesa
Jenar pun ingin sekali mendengar keterangan itu, ia pun mendesaknya,
”Bahwa masa
lampau selalu penting bagi masa kini maupun masa depan. Apa yang terjadi
sekarang karena telah terjadi sesuatu pada masa-masa lampau. Karena itu kami
tidak akan dapat meninggalkan angkatan dari masa lampau. Alangkah kerdilnya
jiwa kami apabila kami memperkecil arti angkatan-angkatan sebelum kami.
Meskipun bukan berarti bahwa kami akan selalu menggantungkan diri padanya.
Namun pengalaman-pengalaman adalah mahaguru yang sangat baik. Hasil-hasil yang
pernah dicapai serta cara-cara untuk mencapainya. Juga kesalahan-kesalahan yang
pernah dilakukan adalah suatu cermin untuk mengenal cacat wajah sendiri.”
Kembali orang
itu mengangguk-angguk. Matanya yang sejuk itu sekali lagi terlempar ke atas tanah
berdebu di halaman. Matahari kini telah semakin tinggi menggantung di langit
yang biru bersih. Daun-daun yang hijau segar tampak berkilat-kilat memantulkan
cahayanya yang cerah.
Orang tua yang
menamakan diri Panembahan ismaya itu masih berdiam diri. Tampaknya ia agak
ragu-ragu. Namun akhirnya diceritakanlah kepada Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan
kedua muridnya itu tentang dirinya.
”Anak-anakku
sekalian…. Baiklah aku menuruti permintaanmu. Tetapi jangan kau ceritakan
kepada orang lain dari apa yang akan kau dengar.”
Ia berhenti
sejenak untuk mendapat kesan bahwa mereka yang akan mendengarkan ceritanya
benar-benar tidak akan mengatakan kepada orang lain. Sejenak kemudian ia
meneruskan,
”Yang
mula-mula boleh kau ketahui, namaku yang sebenarnya yang diberikan oleh ayah
dan ibuku, adalah Buntara, lengkapnya Raden Buntara.”
Mendengar nama
itu, Mahesa Jenar, Kebo Kanigara dan kedua muridnya bersama-sama tergerak
hatinya. Bahkan tiba-tiba Kebo Kanigara mengangkat wajahnya serta memandang
orang tua itu tajam-tajam. Memandang segenap bagian tubuhnya seolah-olah di
dalamnya tersimpan sesuatu yang sangat menarik perhatiannya. Agaknya orang tua
itu merasa betapa Kebo Kanigara tertarik pada namanya. Karena itu ia bertanya,
”Adakah
sesuatu yang menarik dari nama itu, Kanigara…?”
Kanigara
mengerutkan keningnya. Otaknya bekerja keras untuk mengingat-ingat nama-nama
yang pernah didengarnya. Akhirnya seperti orang terperanjat ia menjawab,
”Ya… nama itu
sangat menarik bagiku.”
Orang tua itu
tersenyum, lalu katanya,
”Apakah yang
menarik?”
KANIGARA
kembali menarik alisnya. Ketika kemudian ia teringat sesuatu, hampir berteriak
ia berkata,
”Raden
Buntara, bukankah Raden Buntara itu adik Sultan Brawijaya Pamungkas dari
seorang garwa ampeyan…?”
Sekali lagi
orang tua itu tersenyum. Katanya,
”Kau pernah
mendengar nama itu?”
”Ya,” jawab
Kanigara,
”Aku pasti
pernah mendengarnya. Ayahku pernah menyebut-nyebut nama itu.”
”Tentu,” sahut
orang tua itu.
”Ayahmu pasti
pernah menyebut-nyebut namaku. Aku adalah pamannya yang paling dekat dengan
ayahmu itu.”
”Kalau
demikian Tuan lah Eyang Buntara yang pernah aku dengar namanya,” kata Kanigara
sambil membungkuk hormat. Hormat sekali.
Raden Buntara
mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata,
”Kanigara, kau
benar. Aku adalah orang yang kau maksud itu. Tetapi jangan panggil aku Eyang
Buntara. Panggilah aku Panembahan Ismaya.”
Sekali lagi
Kebo Kanigara membungkukkan kepala dengan takzimnya. Bahkan kemudian Mahesa
Jenar, Radite dan Anggara pun membungkuk hormat. Hormat kepada seorang yang
mereka segani. Tetapi lebih dari itu, orang tua itu ternyata adalah adik
Baginda Brawijaya pamungkas.
Untuk sesaat
suasana ditelan oleh kesepian. Berbagai perasaan muncul di dalam kepala
masing-masing. Sehingga kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara Panembahan
Ismaya.
”Tetapi
kemudian aku terlibat dalam berbagai persoalan, sehingga aku merasa perlu untuk
mengasingkan diriku dari dunia ramai.”
Sekali lagi
orang tua itu berhenti untuk menarik nafas dan membetulkan duduknya. Kemudian
disambungnya lagi,
”Ketika itu terjadi
perbedaan paham yang bersumber pada perbedaan kepercayaan. Pada waktu itu aku
sudah mencoba untuk meyakinkan bahwa kepercayaan bukanlah sumber yang tak dapat
dibendung. Namun agaknya Sultan merasa bahwa ia lebih baik mengundurkan diri
dari tahta serta meninggalkan istana. Tetapi Raden Patah pun sama sekali tidak
mau memperkosa kekuasaan Majapahit. Karena itu sebelum Prabu Brawijaya itu
menyerahkan kekuasaan. Dan ternyata Prabu Brawijaya memberikan izin itu,
meskipun ia sudah berada di perjalanan. Ketika Raden Patah kemudian memegang
pimpinan kerajaan, dipindahkannya pusat kerajaan dari Majapahit ke Demak,
sehingga dengan demikian berakhirlah suatu rangkaian pemerintahan yang berpusat
di Majapahit. Pada saat itu Prabu Brawijaya, diiringi oleh beberapa orang pergi
berkelana dari satu tempat ke lain tempat. Beliau berjalan menyusur pantai
selatan menuju arah matahari terbenam. Akhirnya sampailah beliau ke daerah
Bukit Seribu, yang juga terkenal dengan nama Gunungkidul.”
Setelah
berhenti sejenak, orang tua itu meneruskan,
”Meskipun aku
adalah adik Brawijaya, namun umurku agak terpaut banyak daripadanya. Bahkan
dengan Raden Patah pun agaknya aku tidak lebih tua. Karena itu, pada suatu saat
Raden Patah memerintahkan kepadaku, bahwa ia mengharap dapat menerima kunjungan
ayahanda Baginda. Bahkan mengharapkan Prabu Brawijaya menghentikan
perantauannya dan menetap di suatu tempat yang dikehendakinya. Dengan susah
payah aku menyusur bekas perjalanan Baginda. Bertanya dari suatu tempat ke
tempat lain. Dengan demikian dapatlah banyak yang dilihat dan banyaklah yang
dapat didengar, tentang hidup dan penghidupan. Tentang alam dan seluk-beluknya,
untuk melengkapi pengetahuannya menjelang masa langgeng.”
Kembali orang
tua itu meneruskan ceritanya,
”Tetapi
terjadilah hal yang sama sekali tak terduga-duga. Seorang tumenggung yang ikut
serta dalam rombongan Baginda merasa curiga atas kehadiranku. Tumenggung itu
menyangka bahwa aku datang dengan pamrih. Kalau aku dianggap lawan yang harus
dibunuh, maka aku tidak akan sakit hati. Tetapi yang tidak dapat aku terima
adalah sangkaan yang bukan-bukan atas diriku dalam persoalan-persoalan yang
memalukan. Ia menganggap bahwa aku sengaja mendekatkan diriku kepada Baginda
untuk dapat mengetahui di mana kekayaan Baginda yang dibawa sebagai bekal
perjalanan, disimpan. Ia menuduh bahwa aku ingin memiliki harta kekayaan itu.
Dan yang lebih parah lagi, ia mempergunakan istrinya yang ikut serta dalam
perjalanan itu untuk memancing persoalan. Dengan susah payah aku selalu mencoba
untuk menghindarkan diri dari setiap bentrokan yang mungkin timbul. Namun
ketika akhirnya aku ketahui bahwa sebenarnya ialah yang bermaksud jahat atas
Baginda dan harta bendanya, aku tidak dapat membiarkannya.”
Panembahan
Ismaya berhenti sejenak. Pandangannya yang jauh menatap cahaya matahari yang
menari-nari di daun-daun dan ranting-ranting pepohonan di luar, seolah-olah
mencari lembah peristiwa-peristiwa masa lalu pada bayang-bayang yang selalu
bergerak di batang-batang kayu.
Setelah
menarik nafas panjang, ia kembali meneruskan,
”Kemudian
akulah yang sengaja membuat persoalan. Atau tegasnya aku sengaja menanggapi
persoalan-persoalan yang dibuatnya. Agaknya darah mudaku pada saat itu sangat
mempengaruhi jalan pikiranku, sehingga karena itu aku telah membuat suatu kesalahan.
Seperti yang sekali dua kali pernah dilakukan, istri Tumenggung itu sengaja
datang ke pondokku di belakang rumah yang dipergunakan sebagai pesanggrahan
sederhana. Pada saat-saat sebelumnya, apabila perempuan itu datang, aku selalu
pergi menghindar jauh-jauh. Sebab aku sudah dapat mengetahui maksud
kedatangannya. Tetapi kali ini aku sengaja menemuinya”.
“AKU ingin
mendengar apa yang akan dikatakannya kepadaku, meskipun aku sudah dapat
menduganya lebih dahulu. Ternyata dugaanku tidak jauh menyimpang. Perempuan itu
mula-mula mencela suaminya, kemudian memuji-muji aku sebagai seorang pemuda
yang gagah, tampan dan berani. Kemudian dengan solah yang dibuat-buat, ia mulai
mengatakan tentang ketidakpuasannya terhadap suaminya, dan yang terakhir, yang
tidak aku duga-duga bahwa sedemikian jauh pertentangan yang ingin dibuatnya,
adalah perempuan itu minta tolong kepadaku, supaya aku membunuh suaminya. Tentu
saja dengan pura-pura mengharap, supaya aku akan menggantikan suami itu.
”Sayang”
jawabku kepada perempuan itu berterus terang
”Aku sudah
tahu permainan yang harus kau lakukan. Bukankah dengan demikian setiap orang
akan menuduh aku merebut isteri orang. Suamimu mengharap aku akan menyerangnya.
Siang atau malam, apabila laki-laki itu tampaknya sedang lengah. Namun
sebenarnya ia telah siap membunuhku, sebab kau sudah memberitahukan kepadanya.
Kalau laki-laki itu sudah berhasil melawan aku dalam suatu perkelahian, maka
setiap orang akan meludah dihadapanku. Hidup atau mati. Nah, kalau demikian
katakanlah kepadanya. Kalau ia menghendaki suatu perkehalian, suruhlah ia
menantang aku sebagai seorang laki-laki. Ada atau tidak ada persoalan.”
Wajah
perempuan itu menjadi merah. Tetapi agaknya ia memang perempuan yang cerdik.
Aku mengharap ia akan marah, dan berlari menyampaikan kata-kataku kepada
suaminya. Tetapi ia tidak berbuat demikian. Wajahnya yang merah itu sesaat
kemudian telah cerah kembali. Sambil tersenyum-senyum ia mendekati aku. Katanya
”Kau laki-laki jujur. Sayang kau masih terlalu muda untuk menanggapi persoalan.
Agaknya Raden belum mengenal aku sungguh-sungguh.”
Mula-mula aku
menjadi gemetar ketika tiba-tiba perempuan itu meraba tubuhku. Bahkan kemudian
aku menjadi muak. Dan karena itulah aku berbuat kesalahan. Sebenarnya lebih
baik sekali aku berlari jauh-jauh meninggalkan tempat itu. Tetapi aku tidak
berbuat demikian. Ketika aku tidak dapat menahan perasaan muak yang bergolak di
dalam dadaku, perempuan itu aku dorong keras-keras dan jatuh terbanting di
lantai. Karena itulah maka tiba-tiba terdengar ia berteriak-teriak. Mula-mula
aku menyangka bahwa ia berteriak karena kesakitan. Tetapi dugaanku itu ternyata
keliru. Perempuan itu sama sekali tidak berteriak karena kesakitan. Ternyata
beberapa saat kemudian terdengarlah langkah beberapa orang berlari-lari.
Beberapa diantaranya langsung masuk ke dalam pondok. Hampir pecah kepalaku pada
saat itu ketika aku mendengar perempuan itu berteriak ”Lelaki gila. Aku
diseretnya kemari dengan kasarnya.” Semua mata terarah kepadaku. Diantaranya
adalah sepasang mata laki-laki tamak, suami dari perempuan gila itu. Sambil
menggeram mengerikan ia bertanya kepada isterinya dengan suara mengguntur.
”Hai perempuan
rendah. Apa kerjamu disini?”
Dengan suara
tergagap perempuan itu menjawab ”aku tidak sengaja datang kemari. Aku berjalan
dihalaman untuk memetik sirih. Tetapi tiba-tiba aku diseret oleh laki-laki itu
dengan laku seekor binatang kelaparan.”
Kembali
laki-laki itu mengeram. Kemudian dengan pandang mata yang mengerikan pula ia
bertanya kepadaku. ”Kau hinakan nama isteriku Raden. Sayang bahwa suaminya
adalah seorang laki-laki yang mempunyai harga diri. Kalau kau inginkan dia,
marilah kita selesaikan dengan cara seorang laki-laki.”
Aku menjadi
ragu. Untuk menjelaskan persoalan yang sebenarnya agaknya sama sekali tidak ada
gunanya. Karena itu aku mengambil keputusan untuk menerima tantangannya.
Bukankah aku memang ingin membuat perhitungan dengan Tumenggung itu? Namun
sayang, sangatlah sayang. Bahwa tak seorangpun yang mengerti keadaan
sebenarnya. Tak seorangpun yang mengerti isi hatiku yang sesungguhnya, kecuali
seorang jajar tua yang sangat setia kepada baginda. Dan jajar itu pulalah yang
mengetahui segala seluk beluk pokal Tumenggung itu. Ia pulalah yang mendengar
dengan telinganya sendiri, bagaimana Tumenggung itu mengadakan
pertemuan-pertemuan dengan para Menteri yang sependapat dengan pikirannya.
Tetapi ia hanyalah seorang jajar yang tidak berarti. Karena itu, apa yang
didengar dan diketahuinya itu tak dapat dipercaya oleh siapapun meskipun ia
sudah pernah mengajukannya kepada baginda lewat seorang bupati dalam yang boleh
dipercaya. Bahkan akhirnya Bupati itu yang semula tertarik kepada ceriteranya
berkata kepadanya ”Jajar, agaknya kau terlalu letih. Karena kau bermimpi
buruk.”
Akulah orang
yang pertama-tama menaruh perhatian sepenuhnya atas keterangannya. Ia langsung
berkata kepadaku, kepada adik baginda. Ia mengharapkan keselamatan baginda
dapat terjamin.
Akhirnya
terjadilah perkelahian itu. Perkelahian yang ditunggui oleh beberapa orang
saksi. Tumenggung itu agaknya yakin bahwa ia akan dapat membunuhku. Dengan
demikian rencananya tidak akan terhalang. Ia memang pernah mengenal aku
sebelumnya, dan aku pernah mengenalnya pula, sebagai seorang Tumenggung dalam
susunan keprajuritan Majapahit. Justru dalam kesatuan pengawal raja. Namun
perkelahian itu berakhir sebaliknya. Akupun kemudian kehilangan pengamatan
diri, sehingga tanpa aku sadari, laki-laki itu terbunuh oleh tanganku.
Mula-mula aku merasa bhawa akibatnya tidak akan terlalu jauh. Aku akan berusaha
meyakinkan, bahwa apa yang sebenarnya terjadi tidaklah seperti yang diduga oleh
banyak orang. Tetapi aku tidak mempunyai kesempatan.”
Untuk beberapa
saat Panembahan Ismaya berhenti berceritera. Matanya yang memancar damai itu
kemudian tampak sayu dan redup. Agaknya kenangan masa silam itu tidak begitu
menyenangkan. Kemudian ia meneruskan.
”Ketika
pertempuran itu berakhir beberapa orang sahabat Tumenggung itu mengangkat
mayatnya pergi, sedang beberapa orang lain dengan pandangan yang aneh berkata
kepadaku.
”Nah, Raden.
Tuan sekarang berhak memiliki perempuan itu.”
Tentu saja aku
terkejut. Karena itu aku jawab
”Aku tidak
perlukan perempuan itu.”
Beberapa orang
itu mencibirkan bibirnya. Kata salah seorang diantaranya.
“Hm, agaknya
tuan mau bermain-main saja dengan isteri orang. Tetapi kemudian tuan
mengingkari kewajiban tuan.”
HAMPIR saja aku
meloncat dan membunuh orang itu pula, kalau tidak tiba-tiba saja semua orang
tegak memandang ke suatu arah dan hampir bersamaan membungkuk dengan hormatnya.
Agaknya Baginda datang pula ke tempat itu. Pada saat itu keringat dingin telah
mengaliri segenap tubuhku. Aku tidak tahu apakah sebenarnya maksud kedatangan
baginda. Tetapi aku sudah menduga bahwa pasti ada hubungannya dengan
perkelahian yang baru saja terjadi. Dan apa yang aku duga adalah benar. Baginda
yang telah tampak sedemikian tuanya itu memandangku dengan sinar mata yang
marah. Meskipun terdengar Baginda berkata-kata dengan sabar dan perlahan-lahan,
namun bagiku setiap kata Baginda terdengar sebagai meledaknya guruh diatas
kepalaku. Kata Baginda,
”Adikku…
apakah yang terjadi adalah sama sekali diluar dugaanku. Aku bergembira bahwa
salah seorang keluarga terdekatku sudi datang berkunjung kepadaku. Kepada orang
yang sudah hampir dilupakan. Namun tiba-tiba kau membuat hatiku semakin parah
karena kelakuanmu.”
Hampir
menangis aku berjongkok di kaki Baginda. Dengan terputus-putus aku mencoba
menjelaskan apa yang sebenarnya tersimpan di dalam kepalaku. Tetapi
keteranganku itu agaknya terdengar aneh sekali. Meskipun Baginda tidak
membantahnya, namun aku yakin bahwa Baginda sama sekali tidak percaya. Bahkan
kemudian Baginda dengan berdiam diri meninggalkan tempat itu. Karena itulah aku
menjadi semakin tersiksa. Tersiksa oleh berbagai perasaan yang menghujam hati.
Dengan terbunuhnya Tumenggung yang curang itu, menyebabkan gerombolannya
semakin marah. Mereka kemudian tidak mau menunggu lebih lama lagi. Mereka
menjadi takut kalau gerakan mereka akan segera diketahui. Disamping itu mereka
agaknya takut pula kalau aku juga akan mengadakan gerakan untuk melawannya.
Akhirnya terjadilah dimalam yang mengerikan itu. Beberapa orang prajurit
kepercayaan raja mati terbunuh. Mereka disergap dengan tiba-tiba oleh
gerombolan orang-orang tamak yang sudah hampir gila itu. Dalam keadaan yang
demikian, sekali lagi aku kehilangan pengamatan diri. Kembali aku berbuat
kesalahan. Bahwa aku tidak lebih dahulu menunggu perintah Baginda. Ketika aku
mendengar keributan langsung aku menyerbu, melibatkan diri dalam perkelahian
itu. Akibatnya, beberapa orang terbunuh. Orang-orang yang dengan sengaja ingin
merebut harta kekayaan Baginda. Namun agaknya apa yang aku lakukan itu tidak
berkenan pula di hati Baginda. Bahkan beberapa orang dari pihak lain pun
menyalahkan aku. Mereka takut kalau kepercayaan Baginda akan berkisar kepadaku.
Sekali lagi Baginda berkata kepadaku dengan sabar dan perlahan-lahan.
”Adikku Raden
Buntara… aku tidak akan menyalahkan kau. Jiwa muda yang tersimpan di dalam
dadamu memang memerlukan penyaluran. Aku hanya ingin menunjukkan beberapa
kenyataan kepadamu. Sebelum kau datang ke tempat ini pesanggrahanku yang
terpencil ini, selalu diliputi oleh suasana damai. Tetapi dengan kehadiranmu di
sini, keadaan menjadi lain. Terserahlah atas penilaianmu terhadap kenyataan
itu.”
Aku menjadi
semakin berduka atas pernyataan Baginda itu. Beberapa orang segera memencilkan
aku seolah-olah akulah orangnya yang selalu membuat ribut. Satu-satunya
sahabatku di tempat itu adalah jajar tua yang dapat mengetahui keadaan yang
senyatanya. Ia melihat kenyataan yang sebenarnya. Dan hanya jajar tua itulah
yang melihat, bahwa aku telah berjuang untuk keselamatan Baginda beserta
rombongannya. Tetapi sekali lagi hatiku terluka. Lebih parah dari luka-luka
yang terdahulu. Pada suatu pagi aku ketemukan jajar tua, sahabatku itu
terguling di tanah di depan pondoknya tanpa nyawa. Sebuah luka menggores di lehernya.
Pada saat itu darahku tiba-tiba mendidih. Hampir saja otakku tak dapat aku
kendalikan lagi. Untunglah bahwa pengalaman pahit selama ini agaknya dapat
mengekang segala tingkah lakuku. Dengan sedih aku mencoba untuk memberitahukan
kematian itu kepada beberapa orang. Namun tak seorangpun menaruh perhatian
kepada jajar tua yang dianggap sama sekali tak berarti itu. Bahkan karena ia
benci kepadaku. Karena itu aku tak dapat berbuat lain daripada menguburkan
mayat itu sendiri. Sendiri.
Dengan segala
peristiwa yang sangat menyakitkan hati itulah kemudian aku memutuskan untuk
segera meninggalkan tempat itu kembali ke Demak. Melaporkan apa yang sudah
terjadi. Aku mengharap agar Sultan dapat menjernihkan suasana. Menjernihkan
hubungan yang gelap antara aku dengan Baginda Brawijaya beserta orang-orang di
sekitarnya. Tetapi apa yang terjadi kali ini tak dapat aku pikul lebih jauh
lagi. Ketika aku menghadap Baginda Sultan Demak, beliau berkata, juga dengan
sabar dan perlahan-lahan.
”Paman, aku
sudah mendapat laporan lengkap tentang Paman. Ayahanda Prabu telah mengirim
utusan kemari sebelum paman datang. Beliau merasa menyesal bahwa segala sesuatu
yang kurang pada tempatnya telah terjadi. Apalagi persoalan itu bersumber pada
persoalan seorang istri, yang karena keadaan menjadi sedemikian buruknya. Paman
tidak saja membunuh suaminya, tetapi karena Paman, maka terjadilah bentrokan
antara sahabat-sahabat laki-laki itu dengan beberapa orang prajurit yang
memihak kepada Paman. Karena itu Paman bukanlah seorang utusan seperti yang aku
harapkan. Bahkan sebaliknya, Paman telah menjadikan Ayahanda Prabu semakin jauh
daripadaku.”
Dadaku hampir
pecah mendengar tuduhan itu. Tetapi aku tidak dapat menyangkalnya. Satu-satunya
orang yang mengetahui keadaan yang sebenarnya telah meninggal. Yaitu jajar tua
yang bermuka jelek, namun berhati bersih sebersih air yang baru memancar dari
sumbernya. Adapun nama dari jajar tua itu adalah Pasingsingan.”
Yang
mendengarkan ceritera Panembahan Ismaya itu tersentak dalam duduknya. Mereka
hampir bersamaan mengulangi nama itu. ”Pasingsingan.”
”Ya,” sahut
Panembahan Ismaya.
”Jajar tua
itulah yang sebenarnya bernama Pasingsingan. Aku pahatkan nama itu pada
dinding-dinding hatiku.”
Mahesa Jenar,
Kanigara dan kedua murid orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
MAHESA JENAR,
Kanigara dan kedua murid orang tua itu mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sementara itu Panembahan Ismaya meneruskan,
”Ketika aku
sudah tidak mendapat kesempatan lagi untuk membersihkan namaku, maka aku
menjadi sangat malu. Aku merasa bahwa wajahku tak patut lagi berada di
tengah-tengah para satria Demak. Karena itulah maka akhirnya aku memutuskan
untuk mengundurkan diri dari padanya. Mengasingkan diri di tempat yang jauh.”
Akhirnya aku
menemukan suatu lembah yang pantas bagi tempat pengasinganku. Di lembah itulah
akhirnya aku bertapa. Mencoba untuk mendapat imbangan dari segala perasaan yang
menekan dadaku. Kalau kadang-kadang aku ingin melihat kesibukan manusia, aku
datang ke desa-desa di sekitar lembah itu. Namun rasa-rasanya setiap orang muak
memandang wajahku, sehingga akhirnya aku terpaksa mengenakan sebuah kedok.
Demikianlah aku dengan prihatin hidup tidak sebagai manusia yang sewajarnya.
Aku hidup benar-benar seperti seekor kelelawar. Yang muncul dalam saat-saat
menusia tenggelam dalam mimpi. Bahkan akhirnya ada orang yang menyangka aku
hantu. Hantu bertopeng dan berjubah abu-abu. Namun demikian aku tetap percaya
pada keadilan. Keadilan yang maha tinggi, yang terletak di tangan Tuhan Yang
Maha Kuasa. Aku yakin, bahwa meskipun pada saat-saat itu aku seolah-olah hilang
dari percaturan manusia, namun aku yakin, bahwa pada suatu saat aku akan
kembali. Kembali ditengah-tengah pergaulan hidup. Meskipun bukan Buntara,
tetapi setidak-tidaknya cita-citaku, berlanjut dari hidupku akan berada di
tengah-tengah manusia dalam keadaan yang baik. Akhirnya saat itu tiba. Ketika
aku melihat seorang pemuda dalam perjalananku yang memang sering aku lakukan,
beserta seorang anak laki-laki yang memiliki wajah yang cerah, tiba-tiba aku
merasa bahwa padanya aku dapat menumpangkan harapan. Padanya aku ingin ikut
serta dengan menyerahkan tekad untuk kembali berada di tengah manusia. Karena
itulah aku selalu membayanginya. Kalau bukan aku sendiri, aku menyuruh Kanigara
untuk mengikutinya. Apalagi ketika aku melihat, bahwa orang muda itu memiliki
keturunan ilmu yang sama dengan Kanigara. Akhirnya aku berhasil membawa Mahesa
Jenar ke bukit kecil yang aku namakan Karang Tumaritis beserta muridnya Arya
Salaka. Aku ingin memberinya bekal-bekal dalam usahanya menjelang hari-harinya
yang akan datang. Tidak saja Nagasasra dan Sabuk Inten, tetapi juga berbagai
macam ilmu sekadarnya. Tetapi agaknya otaknya terlalu jernih. Sehingga
bersama-sama dengan Kanigara ia justru memaksa aku untuk mempercepat membuka
diri. Untunglah bahwa segala sesuatunya bagiku sudah terasa matang. Sehingga
meskipun aku dipaksa untuk membuka diri, tidak banyaklah pengaruhnya bagi semua
rencana-rencana yang sudah aku siapkan”.
Yang mendengar
ceritera itu seolah-olah terpaksa menahan napasnya. Ternyata bahwa Panembahan
Ismaya telah lama membayangi Mahesa Jenar. Teringatlah Mahesa Jenar, pada saat
ia hampir kehilangan akal, ia telah dicegat oleh laki-laki berjubah abu-abu itu
untuk meluruskan kembali jalannya. Juga di pantai Tegal Arang, seseorang telah
mengingatkan tekadnya untuk menemukan Kiai Nagasasra dan Kiai Sabuk Inten. Dan
orang itu agaknya bukan Panembahan Ismaya, tetapi Kebo Kanigara, dimana ia
sempat menuntun Arya Salaka dalam beberapa hari untuk menjadikan anak itu bertambah
masak. Tetapi ternyata Kebo Kanigara sendiri tidak mengerti keseluruhan dari
tugasnya. Sementara itu Panembahan Ismaya meneruskan,
”Dalam jarak
yang cukup panjang, diantara masa-masa aku melenyapkan diri dari istana, sampai
saat terakhir ini, banyaklah pengalaman yang aku jumpai. Bahkan terlalu banyak.
Di dalam hidupku muncullah orang-orang seperti Umbaran, yang mula-mula aku
sangka orang yang berhati baik, namun akhirnya, ternyata bahwa ia telah
menambah hidupku menjadi semakin buruk.
Kemudian datanglah
Radite dan Anggara. Kepadanya aku mula-mula menaruh harapan. Tetapi kembali
Umbaran merusak jalan hidup mereka. Sehingga Radite akhirnya tergelincir dan
mengalami masa-masa seperti yang pernah aku alami. Mengasingkan diri di Pudak
Pungkuran ini. Untunglah bahwa ia menemukan ruang gerak yang dapat menolong
kepahitan masa lampaunya. Juga kemudian aku jumpai Kanigara dengan gadis
kecilnya. Aku bawa ia ke Karang Tumaritis. Tetapi agaknya ia lebih cinta pada
anak gadisnya daripada masa depannya sendiri. Sehingga seolah-olah, seluruh
hidupnya telah diserahkan buat hari kemudian anaknya.
Dan karena
sifat kebapaan yang sedemikian dalamnya itulah, aku tidak sampai hati untuk
memisahkannya dari anaknya, meskipun aku dapat menjamin masa depan anak itu.
Karena itu, tugas yang aku bebankan padanyapun bukanlah tugas yang
panjang-panjang. Sehingga ia akan selalu berada disamping gadis kecil yang
sudah tak beribu lagi itu. Sehingga akhirnya aku dijumpai Mahesa Jenar beserta
Arya Salaka. Meskipun dalam garis hubungan keluarga, ia tidak dekat Kanigara,
namun karena ia berasal dari istana pula, maka aku mengharap agak banyak dari
padanya. Mudah-mudahan Mahesa Jenar tidak akan menyia-nyiakan harapanku itu.”
Tiba-tiba
Mahesa Jenar merasa, suatu beban yang sangat berat terpikul di atas pundaknya.
Beban yang masih samar-samar. Apakah yang harus ia lakukan untuk memenuhi
harapan Panembahan tua itu. Karena itu ia sambil membungkukkan kepalanya,
bertanya kepadanya,
”Panembahan,
apakah agaknya yang harus aku lakukan untuk memenuhi harapan Panembahan itu?”
Panembahan
Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya,
”Hampir setiap
orang telah melupakan nama Buntara. Mereka yang sekali dua kali teringat nama
itu, terutama bagi mereka yang telah lanjut usia, akan mencibirkan bibir mereka.
Tetapi itu tidak penting. Sebagaimana tekadku sejak masa mudaku, bagiku yang
penting adalah keselamatan negeri di atas segala-galanya. Demikianlah hendaknya
kau Mahesa Jenar. Adalah suatu kebetulan bahwa aku dapat menyimpan
pusaka-pusaka yang hilang itu, yang justru akan dapat membantu membina
kesejahteraan negara, dengan menyerahkannya kepada orang yang tepat. Nah,
Mahesa Jenar, pekerjaan yang aku harap dapat kau lakukan, adalah mengadakan
penilaian atas kedua keturunan yang sudah aku katakan kepadamu, kelak. Tetapi
itu tidak berarti bahwa kau hanya menjadi penonton saja, namun dalam saat-saat
yang perlu, kau harus ikut pula.”
Dengan
demikian segala sesuatu kini menjadi jelas, kenapa Panembahan Ismaya bernama
Pasingsingan dan kenapa ia sangat menaruh perhatian atas tata pemerintahan
Demak.
SETELAH orang
tua itu menarik nafas panjang, ia mulai lagi berkata,
”Mahesa Jenar,
ternyata kau telah melakukan pekerjaan itu. Bahkan apabila kelak ada seorang
pemimpin yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan, disuyudi oleh para kawula
serta berjiwa seperti jiwa lautan, karena memiliki Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten, yang akibatnya akan membawa kesejahteraan bagi tanah tumpah darah
ini, sebagian adalah karena perjuanganmu. Perjuangan yang telah kau lakukan
sejak lama. Perjuangan yang tak dikenal oleh siapapun. Sebab perjuangan yang
kau lakukan adalah perjuangan yang khusus. Tetapi aku percaya akan kebesaran
jiwamu. Meskipun namamu kelak tidak akan dipahatkan di batu-batu ataupun
tertulis di lontar-lontar kitab babad, namun kaulah hakekat dari kemenangan
itu.”
Mendengar
penjelasan itu, tiba-tiba bulu-bulu kuduk Mahesa Jenar meremang. Memang sejak
semula ia sama sekali tidak bermimpi untuk mendapat tanda jasa di dadanya. Atau
namanya digoreskan di pintu-pintu gerbang kota, serta di jalan-jalan raya. Yang
diimpikan adalah kesejahteraan rakyat di bumi tercinta ini. Kesejahteraan lahir
dan batin. Jasmaniah dan rohaniah. Dalam pada itu, terdengar Panembahan Ismaya
meneruskan,
”Karena itu
Mahesa Jenar, sebagian besar dari pekerjaanmu itu sudah selesai. Kau tidak
perlu lagi bersusah payah mencari Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, sebab
kedua pusaka itu sudah di tanganku. Sementara itu, kau dapat menyelesaikan
pekerjaanmu yang lain. Kau telah berjanji kepada sahabatmu Ki Ageng Gajah Sora
untuk menuntun anaknya. Nah, lakukanlah itu baik-baik. Bawalah anak itu pada
suatu tugas yang besar. Memperoleh kembali tanah pusaka baginya. Sementara itu
biarlah aku berusaha mendapatkan kembali kebebasan Gajah Sora itu.”
Kemudian
ruangan itu menjadi hening. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas mereka yang
duduk di dalamnya sambil mengurai gagasan masing-masing. Sehingga kemudian
suasana itu dipecahkan oleh suara Panembahan Ismaya dalam nada yang jauh
berbeda dari semula. Katanya,
”Nah, Paniling,
Darba dan kedua kemanakannya. Aku sudah selesai berceritera. Sekarang berilah
aku kesempatan untuk mengenal desamu yang sepi ini.”
Mendengar
kata-kata itu Paniling seperti orang yang terbangun dari mimpi yang
mengasyikkan. Dengan tergagap ia menjawab,
”Baik, baiklah
Guru.”
”Jangan
panggil aku Guru. Di sini aku adalah kakakmu,” potong Panembahan Ismaya.
”Namaku….” ia
berhenti mengingat-ingat, lalu lanjutnya,
”Siapakah kau
akan menyebut diriku kalau tetangga-tetanggamu bertanya namaku?”
Paniling tidak
segera menjawab. Ia tidak tahu, nama apakah yang baik diterapkan pada orang
yang menyebut dirinya kakaknya itu.
Tiba-tiba Kebo
Kanigara menyela,
”Among Raga.”
Panembahan
Ismaya tertawa, jawabnya,
”Ah,
seolah-olah aku hanya mementingkan masalah-mnasalah jasmaniah belaka. Tetapi
nama itu baik. Memang kau pandai mencari nama. Baiklah aku pakai nama itu di
sini, meskipun isi kata itu sendiri tidak begitu mapan bagiku.”
Kanigara
sadar, bahwa memang nama itu tidak begitu menyenangkan, namun ia masih juga
membela diri.
”Tetapi
Panembahan, bukankah nama itu akan menjadi aling-aling dari keadaan Paman yang
sesungguhnya. Bukankah di sini Panembahan ingin menampakkan diri dalam ujud
jasmaniahnya saja, tetapi bukan dalam ujud keseluruhan.”
Panembahan
Ismaya mengangguk-anggukkan kepalanya, jawabnya,
”Baiklah, aku
tidak keberatan.”
Untuk
sehari-dua Panembahan Ismaya tinggal di rumah muridnya. Ia mencoba memenuhi
harapan tetangga-tetangga Paniling, untuk sekali dua kali berkunjung ke rumah
mereka berganti-ganti. Dengan penuh kesederhanaan Panembahan Ismaya, Mahesa
Jenar dan Kebo Kanigara bergaul dengan mereka. Meskipun demikian, apabila malam
datang, serta pondok di ujung padukuhan itu telah menutup pintunya, selalu
terjadilah pembicaraan-pembicaraan yang jauh berbeda dengan setiap pembicaraan
yang sederhana dengan para tetangga mereka. Tetapi di belakang pintu tertutup
itu, Panembahan Ismaya selalu memberi kepada keempat orang yang terdekat dari
padanya itu berbagai ilmu dan pengetahuan. Lahir dan batin. Bahkan diceriterakan
pula bagaimana ia memiliki segala macam kesaktian. Memang sejak masa mudanya,
ia selalu berusaha untuk mendapatkan berbagai macam ilmu. Sebab dalam
kekisruhan yang terjadi, pada akhir kejayaan Majapahit, ia selalu mengira bahwa
dengan kekuatan jasmaniah kejayaan itu dapat dibina kembali. Karena itulah ia
mencoba untuk mendapatkan kekuatan-kekuatan itu. Setelah ia terpaksa
meninggalkan lingkungan kesatriaan, usaha itu semakin diperdalam. Namun jiwanya
telah berbeda. Ia ingin menemukan segala bentuk kekuatan untuk mencapai tujuan.
Panembahan tua itu mengakui, bahwa mula-mula memang dikandung maksud untuk
menunjukkan kebersihan dirinya dengan kekuatan. Ia ingin membuat hal yang
aneh-aneh dengan memaksa orang untuk berlutut di hadapannya. Dan kepada
orang-orang itu ia akan memaksakan kehendaknya. Meskipun dasar kehendak itu
selalu baik dan bermanfaat bagi beberapa orang, namun cara-cara dan sifat
kepahlawanan cengeng itu akhirnya tidak memberinya kepuasan. Dan akhirnya
maksud-maksud itu sama sekali diurungkan. Bahkan semakin banyak ilmu yang
dihirupnya, semakin jauhlah ia dari sifat-sifat itu. Dan akhirnya malahan ia
membawa dirinya dengan luka-luka di hati untuk mengasingkan diri di lembah yang
jauh dari lingkungan manusia. Di situlah ia menerima Umbaran sebagai muridnya,
tetapi orang itu kemudian dimintanya meninggalkan tempat itu.
BEBERAPA tahun
kemudian datanglah Radite dan Anggara. Sehingga suatu saat, ia merasa bahwa
ilmu-ilmu yang pernah dicapainya itu tak akan berarti apa-apa bagi manusia
apabila tidak diamalkan. Dengan demikian ia mengharap Radite untuk mewakilinya
dengan topeng dan jubah abu-abu. Dengan mempergunakan nama Pasingsingan,
mulailah Radite mengamalkan ilmunya. Sedang Anggara untuk sementara dimintainya
memelihara pertapaannya selama ia melenyapkan diri dari kedua muridnya untuk
menyaksikan hasil pengamalannya dari jarak yang cukup jauh. Tetapi ia menjadi
kecewa ketika Radite kemudian tergelincir.
”Bagimu Mahesa
Jenar…” akhirnya Panembahan Ismaya minta,
”Jadikanlah
semua itu bekal bagimu.”
Yang mereka
lakukan dari hari ke hari bergaul dengan para petani disiang hari, dan menambah
bekal hidup mereka di malam hari. Sehingga akhirnya, ketika Panembahan Ismaya
memandang segala sesuatunya telah cukup, maka setelah ia bermohon diri kepada
para tetangga, pergilah ia meninggalkan padukuhan Pudak Pungkuran mendahului
Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara, setelah ia berpesan kepada Radite.
”Radite,
seseorang yang membiarkan kejahatan berlangsung tanpa berusaha untuk
menghalang-halangi maka orang yang demikian itu dapat dianggap telah ikut
membantu berlangsungnya kejahatan.”
Mula-mula
Radite tidak mengerti maksud pesan itu. Tetapi beberapa waktu kemudian barulah
ia sadar, bahwa ia sama sekali tidak berbuat sesuatu terhadap saudara
seperguruannya yang terang-terangan telah melakukan berbagai kejahatan. Yaitu
Umbaran. Karena itu, tiba-tiba ia merasa bahwa gurunya telah memaafkan segala
kesalahannya, bahkan mempercayakan kepadanya, untuk menghentikan segala
kejahatan yang selalu dilakukan oleh Umbaran dengan nama Pasingsingan. Hidup
atau mati. Dengan demikian tiba-tiba beban yang selama ini menghimpit hatinya,
seolah-olah berguguran, rontok tanpa bekas. Terasalah kemudian betapa ringan
perasaannya kini. Dan dengan penuh tekad ia berjanji, bahwa ia akan melakukan
pesan itu sebaik-baiknya.
Beberapa hari
kemudian Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara pun segera mohon diri pula, kembali ke
Karang Tumaritis. Kebo Kanigara telah merasa sedemikian rindunya kepada
putrinya yang ditinggalkannya beberapa hari, sedang Mahesa Jenar pun ingin
segera menemui muridnya untuk mengajaknya memulai dengan suatu tugas yang
berat, kembali ke Banyubiru. Dalam perjalanan pulang, Mahesa Jenar dan kebo
Kanigara memerlukan singgah sebentar di kota Banyubiru. Ketika malam turun
perlahan-lahan di lereng-lereng bukit Telamaya, mereka berdua menambatkan kuda
mereka agak jauh di luar kota. Dengan berjalan kaki mereka menyusuri
jalan-jalan kota. Satu-dua masih tampak pintu rumah yang terbuka. Lampu minyak
yang suram melemparkan cahanyanya berpencaran menusuk gelap malam. Bahkan di
belakang regol halaman yang masih ternganga, masih tampak beberapa orang
laki-laki duduk-duduk sambil bercakap-cakap. Banyubiru dalam penglihatan Mahesa
Jenar tidak banyak mengalami perubahan. Jalan-jalan yang itu-itu juga menjalar
dari satu ujung ke ujung yang lain. Bangunan-bangunan tidak banyak bertambah,
bahkan beberapa banjar tampak tak terpelihara. Tempat-tempat ibadah pun agaknya
menjadi bertambah suram. Tetapi ketika Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara sampai di
ujung jalan kota, mereka terkejut ketika mereka melihat obor terpancang di
tengah-tengah lapangan. seperangkat gamelan telah siap pula di tempat itu.
Beberapa orang telah mulai ramai mengerumuninya.
Dengan penuh
keinginan untuk mengetahui, Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara mendekati lapangan
itu. Kepada seorang anak yang lewat di sampingnya, Mahesa Jenar bertanya,
”Apakah
Banyubiru sedang ada perayaan?”
Anak itu
memandang Mahesa Jenar dengan heran. Kemudian anak itu malah ganti bertanya,
”Apakah Bapak
bukan penduduk Banyubiru…?”
Mahesa Jenar
ragu sebentar. Tetapi ia harus menjawab agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Karena itu katanya,
“Bukan, Nak.
Aku bukan penduduk Banyubiru. Aku datang dari Pangrantunan.”
”Pangrantunan…?”
Anak itu tiba-tiba terkejut.
Kembali Mahesa
Jenar ragu. Namun ia mengangguk.
”Ya, kenapa…?”
”Tidak
apa-apa,” jawab anak itu.
”Beberapa hari
yang lalu beberapa orang Pangrantunan juga datang kemari. Mereka adalah
saudara-saudara ibuku. Menurut paman-paman itu, Pangrantunan sekarang kembali
kacau. Mereka ketakutan karena Simarodra tua sering mengunjungi pedukuhan itu.
Apakah betul demikian…? Dan apakah betul Simarodra tua itu menuntut lebih
banyak dari Simarodra dahulu?”
”Betul, Nak…”
jawab Mahesa Jenar sekenanya, namun karena itu ia ingin lebih banyak tahu. Karena
itu ia bertanya,
”Siapakah
pamanmu itu? Dan apakah yang dilakukan di sini…?”
”Pamanku
bernama Reksadipa. Ia datang untuk melaporkannya kepada Ki Ageng Lembu Sora,”
jawab anak itu.
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya. Lalu sahutnya,
”Hem… jadi kau
kemenakan Kakang Reksadipa.” Kemudian Mahesa Jenar berhenti sebentar.
”Lalu apa
katanya ketika ia kembali ke Pangrantunan?”
ANAK itu
menjawab,
”Tidak
apa-apa. Tetapi Paman mengeluh. Katanya Ki Ageng Lembu Sora sedang akan
mempertimbangkan. Tetapi itu tidak bijaksana. Sebab menurut Paman, keadaan
sudah sangat gawat. Dan rakyat Pangrantunan sendiri tidak mampu untuk melawan
mereka, meskipun rakyat Pangrantunan tidak takut.”
Mahesa Jenar
menarik nafas panjang. Memang letak Pangrantunan yang seolah-olah berhadapan
dengan Gunung Tidar itu sangat tidak menguntungkan. Tetapi menghadapi hal
sedemikian tidakkah Ki Ageng Lembu Sora Dipayana dapat berbuat sesuatu…?
No comments:
Post a Comment