“MULA-MULA dipijitnya seluruh tubuhku. Dari ubun-ubun sampai ke ujung ibu jari kakiku. Mula-mula terasa betapa sakitnya. Setiap jari-jari orang itu menyentuh kulitku terasa seolah–olah seluruh tubuhku menjadi nyeri tak terhingga. Namun aku sama sekali tidak bisa mengucapkan sepatah katapun, bahkan berdesispun tidak. Tetapi semakin lama perasaan sakit itu menjadi semakin berkurang. Bahkan akhirnya pijitan itu terasa nyaman sekali. Sehingga aku menjadi ngantuk bukan buatan. Sesaat sebelum aku tertidur aku masih mendengar orang itu berkata, “Arya Salaka, kau telah terlalu lama menyiksa tubuhmu dengan pekerjaan-pekerjaan berat. Namun kau sama sekali tidak memelihara urat-urat darah serta otot-ototmu. Dengan demikian kau telah menyia-nyiakan sebagian dari tenaga dahsyat yang sebenarnya dapat kau ikut setakan dalam setiap lontaran tenaga.”
Sekali lagi
Arya berhenti, kemudian,
“Sesudah itu
aku tidak ingat apa-apa lagi sampai Paman membangunkan aku.”
Dada Mahesa
Jenar berdebar-debar mendengar ceritera Arya. Ia memang pernah mendengar suatu
ilmu yang dapat dipergunakan memperkokoh tubuh seseorang serta memperbesar
tenaganya denga membuka segenap saluran yang ada di dalam tubuh. Memperlancar
jalan darah serta memperbaiki letak otot–ototnya sehingga pada orang itu tidak
lagi diperlukan tenaga untuk mengatasi kesulitan–kesulitan di dalam tubuh
sendiri. Dengan demikian segenap cadangan tenaga apabila diperlukan dapat
dipergunakan seluruhnya dan disalurkan lewat bagian-bagian tubuh yang
dikehendaki. Tetapi masih belum jelas, apakah orang itu telah memperlakukan
Arya demikian atau sebaliknya, membuat beberapa rintangan di dalam tubuhnya
sehingga dalam pelontaran tenaga akan dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan.
Karena itu segera ia bertanya,
“Arya,
bagaimanakah rasanya tubuhmu sekarang?” Tanpa sadar Arya mengamat-mati tubuhnya
sendiri. Kakinya, tangannya, lengannya dan jari-jarinya. Semula ia sama sekali
tidak memperhatikan, apakah ada perubahan–perubahan di dalam dirinya.
Tetapi ketika
Mahesa Jenar bertanya kepadanya, terpaksa ia memperhatikan setiap perasaan yang
lain di dalam dirinya.
Tentang
peredaran darahnya, detak jantungnya serta sendi–sendi anggota badannya.
Tiba-tiba saja ia merasa betapa segar darah yang mengalir di dalam tubuhnya,
merambat sampai kesegenap ujung rambut di seluruh badannya. Setiap anggota
badannya terasa menjadi betapa ringannya. Dan dengan demikian ia dapat bergerak
bertambah cepat dan lincah. Detak jantungnya yang lunak teratur serta
sendi-sendi anggota badannya yang licin, namun seakan-akan bertambah kokoh.
Akhirnya ia berkesimpulan bahwa kini ia telah mendapat suatu perasaan yang luar
biasa. Yang bahkan ia tidak tahu bagaimana harus mengatakan. Sehingga yang
dapat diucapkan hanyalah beberapa kata saja.
“Tubuhku
menjadi bertambah baik Paman.”
Jawaban itu
sendiri tidak begitu meyakinkan bagi Mahesa Jenar. Tetapi wajah Arya yang
berseri, caranya menggerakkan tangan dan kakinya, serta betapa tampak anak itu
keheran-heranan sendiri, adalah jawaban yang cukup jelas. Jawaban yang telah
mengandung suatu ceritera bahwa tubuh Arya kini telah berbeda dengan tubuh Arya
beberapa saat yang lalu. Anak itu agaknya kini telah memiliki kesempurnaan tata
nadi dalam tubuhnya. Mahesa Jenar sendiri meras bahwa selama ini ia telah
memaksa anak itu bekerja keras, berlatih, berkelahi, berjalan dan berlari
setiap hari. Namun ia tidak dapat melakukan hal yang lain bagi tata nadi anak
itu. Meskipun ia sendiri dahulu pernah juga mempelajari beberapa pengetahuan
mengenai urat dan jalan darah, namun apa yang dapat dilakukan tidak lebih dari
daripada saling memijit sesama prajurit apabila mereka sedang kelelahan. Baik
didalam latihan-latihan maupun didalam pertempuran-pertempuran yang sebenarnya.
Tetapi tidaklah demikian yang terjadi atas Arya. Orang yang berjubah itu tidak
sekadar memijit Arya supaya Arya tidak lagi merasa lelah. Lebih daripada itu.
Orang itu telah menolong Arya untuk dapat mengerahkan segenap tenaga yang
tersimpan didalam tubuhnya yang tegap kekar itu. Meskipun mula-mula Mahesa
Jenar merasa cemas bahwa yang terjadi adalah sebaliknya, namun terhadap orang
yang berjubah abu-abu yang belum dikenalnya itu, ia telah menumpahkan
kepercayaan bahwa tidaklah mungkin ia akan berbuat jahat terhadap Arya.
Bersamaan dengan itu, makin kuatlah dugaan yang telah tumbuh di dalam dadanya,
bahwa orang itupun sama sekali tidak bermaksud jahat atas perbuatannya
mengambil kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten dari Banyubiru,
meskipun akibat hilangnya kedua keris itu sangat dahsyat atas tanah perdikan
dilereng bukit Telamaya itu.
Untuk beberapa
saat Mahesa Jenar berdiam diri. Namun tak habis-habisnya ia mengagumi tubuh
muridnya yang sedang menginjak dewasa itu. Selama ini meskipun hampir setiap
saat, siang dan malam, ia tidak pernah terpisah darinya, tetapi seolah-olah
baru sekarang ia melihat alangkah gagahnya anak ini. Anak Ki Ageng Gajah Sora,
yang dalam usianya yang masih sangat muda itu telah dapat mencerminkan kebesaran
jiwa yang diwarisinya dari orang tuanya, serta pendidikan yang diberikannya.
Arya yang merasa selalu dipandangi oleh gurunya, menjadi tertunduk. Namun ia
merasa bahwa gurunya sama sekali tidak menyesal atas kejadian yang baru saja
dialami. Karena itu iapun tidak perlu mencemaskannya lagi. Bahkan perasaan yang
segar yang memancar didalam tubuhnya, telah menumbuhkan suatu harapan dalam
dirinya. Harapan atas masa depan yang lebih baik.
YANG
tersangkut di dalam otak Arya Salaka kemudian adalah pertanyaan-pertanyaan
tentang orang yang berjubah itu. Orang yang dengan serta merta menangkapnya,
dan menjadikannya tertidur di dalam semak-semak. Karena itu kemudian ia
bertanya kepada gurunya,
“Paman, adakah
Paman mengenal orang yang berjubah itu?”
Mahesa Jenar menggeleng.
“Tidak,”
jawabnya.
“Tetapi aku
pernah melihatnya beberapa tahun yang lalu di Banyubiru.”
“Di
Banyubiru…?” Arya bertambah heran.
“Ya,” jawab
Mahesa Jenar pendek.
Kemudian
kembali mereka berdiam diri. Dingin malam semakin tajam menusuk sampai ke tulang
sungsum.
“Tidurlah
Arya,” desis Mahesa Jenar kemudian sambil membaringkan dirinya. Dan sejenak
kemudian mereka berdua telah lelap ditelan oleh sunyi malam. Arya Salaka
tertidur dengan sebuah senyum yang tersungging di bibirnya. Ia tidak merasa
lagi punggungnya menjadi gatal-gatal oleh serangga yang menggigitnya. Serangga
yang terbawa oleh tanah lembab ketika ia terbaring di semak-semak halaman
belakang. Sedang Mahesa Jenar pun kemudian tertidur karena kelelahan. Pedukuhan
Gedangan kini benar-benar telah terbenam dalam suasana yang hening. Beberapa
orang peronda yang berjalan hilir-mudik di sudut-sudut desa kadang-kadang harus
berdesis menahan angin malam yang mengalir lembut, membawa udara pegunungan
yang dingin.
Ketika di
timur tampak fajar mulai membayangkan cahaya kemerahan, datanglah beberapa
orang yang dikirim untuk menyelidiki keadaan pasukan lawan. Dari mereka,
pimpinan ronda mendapat laporan bahwa pasukan dari Pamingit dan Gunung Tidur
sudah tidak lagi berada di perkemahan mereka. Agaknya mereka telah merasa,
bahwa meskipun mereka meneruskan pertempuran, namun mereka pasti tidak akan
berhasil. Karena itu, lebih baik mereka menarik diri. Karena laporan itulah,
pasukan Gedangan tidak perlu lagi mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan
yang akan datang. Meskipun tidak terdengar tanda-tanda bahaya, namun Mahesa
Jenar dan Arya Salaka, bangun pada saatnya. Pada saat terang-terang tanah.
Ketika mereka keluar dari ruang tidur, mereka melihat beberapa orang telah
berada di halaman depan. Tetapi demikian Mahesa Jenar melihat sikap mereka,
segera Mahesa Jenar mengetahui bahwa tidak ada lagi bahaya yang mengancam
pedukuhan itu. Setidak-tidaknya untuk waktu-waktu yang cukup untuk menyembuhkan
luka-luka yang diderita oleh laskar Gedangan dalam pertempuran kemarin.
Meskipun demikian, Mahesa Jenar memerintahkan juga laskar Gedangan bersiap
untuk melakukan pembersihan daerah yang kemarin dipergunakan sebagai ajang
pertempuran. Sehari itu, yang dilakukan oleh orang-orang Gedangan adalah
bekerja keras, mengubur mayat-mayat yang berserak-serakan, baik dari kawan
sendiri maupun dari lawan. Ketika matahari condong ke barat, selesailah
pekerjaan mereka. Mereka kini boleh kembali kepada keluarga masing-masing,
meskipun tetap untuk tidak meninggalkan kewaspadaan. Beberapa orang secara
bergilir masih harus tetap berada di gardu-gardu penjagaan. Siang maupun malam.
Dalam keadaan
yang demikian terasalah, betapa akibat pertempuran telah merampas kegembiraan
seluruh penduduk Gedangan. Apalagi yang terpaksa melepaskan salah seorang
anggota keluarga mereka. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain daripada
menyerahkan beberapa orang terbaik dari pedukuhan mereka sebagai tawur dalam
perjuangan mempertahankan hak dan ketenteraman hidup mereka untuk seterusnya.
Ketika pekerjaan mereka telah selesai seluruhnya, barulah mereka dapat menarik
nafas lega. Demikian juga Mahesa Jenar, Kebo Kanigara, Rara Wilis, Widuri dan
Arya Salaka. Mereka kini telah dapat berkumpul bercakap-cakap dengan tenang.
Namun agaknya Arya tidak begitu tertarik duduk bercakap-cakap diantara mereka.
Agaknya beberapa masalah masih selalu mengganggunya. Karena itu ia minta diri
untuk berjalan-jalan menikmati cahaya matahari sore. Selain Arya Salaka,
ternyata Widuri pun lebih senang berjalan-jalan dan berlari-lari di luar.
Sehingga dengan demikian, ia minta diri pula untuk ikut serta bersama Arya
Salaka bermain-main. Mereka berdua berjalan menyusur jalan-jalan pedukuhan
sambil bercakap-cakap. Kadang-kadang Widuri minta Arya Salaka berceritera
tentang dirinya, tentang pengalamannya dan tentang cita-citanya. S
Sebaliknya
kadang-kadang ia bercerita tentang segala sesuatu yang disenanginya. Tentang
burung–burung yang terbang bebas di udara. Tentang bunga-bunga yang mekar di
halaman. Dan kadang-kadang dengan penuh keingintahuan, Widuri menanyakan
tentang daerah-daerah yang jauh di seberang punggung-punggung bukit, daerah
dimana langit dan bumi seolah-olah berpadu dalam satu garis yang membujur
panjang sekali. Dalam percakapan yang asik itu Arya selalu berusaha untuk
menjawab sedapat-dapatnya. Diceriterakan apa yang pernah dilihatnya dibalik
pegunungan yang berjajar seperti wayang di pakeliran. Diceriterakannya betapa
di sana tergelar pantai yang luas serta laut tanpa tepi. Betapa nelayan di
lautan bekerja keras untuk mencari kekayaan yang tersimpan di dalam lautan.
Diam-diam Widuri menjadi kagum kepada anak muda itu. Kagum akan pengalamannya
yang luas, serta kagum akan ketetapan hatinya memandang hari kemudian. Hari
yang bakal datang. Sebaliknya, Arya pun menjadi tertarik perhatiannya kepada
gadis itu. Dengan pertanyaan-pertanyaan ia dapat mengetahui betapa banyak
kemauan dan cita-cita yang tersimpan didalam dadanya.
DENGAN tidak
merasakan lelah, mereka berjalan terus. Meskipun sejak pagi Arya Salaka telah
memeras keringat membantu orang-orang Gedangan membuat lubang-lubang kubur.
Namun dalam kesejukan angin senja, ia lebih senang berjalan-jalan bersama
Widuri daripada beristirahat dan bercakap-cakap dengan orang-orang yang tidak
sebayanya. Karena itulah maka dengan tidak terasa, mereka telah melewati ladang
persawahan beberapa tonggak dari pedukuhan. Bahkan mereka telah menyusur
jalan-jalan sempit yang membujur ke dalam daerah-daerah hutan-hutan kecil.
Jalan setapak yang selalu dilewati oleh orang-orang yang pergi mencari kayu ke
dalam hutan itu, tanpa prasangka dan raga-ragu. Bahkan dengan wajah yang
berseri-seri mereka memandang ujung-ujung daun-daun muda yang bergoyang-goyang
ditiup angin. Cahaya matahari yang tersangkut di pucuk-pucuk dahan kayu tampak
berkilau-kilau dengan riangnya, seriang suara burung yang berkicau mengantar
datangnya senja. Selembar awan yang menggantung di langit bergerak
perlahan-lahan dihanyutkan angin dari selatan. Ketika kemudian dari arah barat
membayang warna merah kekuning-kuningan, Widuri memejamkan matanya sambil
bergumam,
“Layung…,
layung senja, jangan kau pancarkan penyakit ke mataku, pancarkan kepada anak
nakal di sampingku.”
Arya Salaka
tertawa mendengarnya, sahutnya,
“Layung-layung
senja selalu baik kepadaku. Karena itu aku tidak pernah sakit mata.”
Kemudian Arya
Salaka berdiri menatap langit-langit yang berwarna merah itu, sambil
seolah-olah berkata kepadanya,
“Layung…,
layung senja yang baik. Simpanlah segala macam penyakit. Berikanlah kepada kami
sejahtera dan sentosa.”
“Tidak bisa,”
potong Widuri sambil tertawa.
“Candhik ala
tidak bisa memberi sejahtera dan sentosa. Ia hanya punya benih penyakit mata.”
“Penyakit
matapun tidak,” sahut Arya Salaka.
Kemudian
terdengarlah mereka tertawa bersama-sama. Tetapi tiba-tiba suara tertawa itu
terputus. Dari balik semak-semak hutan yang tidak begitu lebat, mereka
mendengar suara berdesir. Telinga mereka yang sudah terlatih baik segera dapat
mengetahui bahwa suara itu suara langkah orang. Karena itu mereka tidak
bergurau lagi. Perhatian mereka tertuju kepada telapak kaki yang terdengar
semakin lama semakin dekat. Bahkan suara langkah itu sama sekali tidak
tertahan-tahan, sehingga mereka menduga bahwa orang yang datang itu sengaja
akan menjumpainya tanpa bersembunyi-sembunyi. Ketika mereka menoleh ke dalam
semak-semak di belakang mereka masih belum ada seseorangpun yang tampak. Suara
langkah itu masih berada di dalam semak-semak yang sudah mulai suram. Tiba-tiba
dari balik daun-daun yang lebat itu terdengar suara orang tertawa. Mirip dengan
ringkik kuda liar yang kehausan. Widuri bukanlah seorang gadis penakut, namun
mendengar suara tertawa yang mengerikan itu ia bergeser setapak mendekati Arya
Salaka. Kecuali itu, sekaligus Arya Salaka dan Widuri dapat mengetahui bahwa
orang yang berada di dalam semak-semak itu tidaklah hanya seorang, tetapi
sedikitnya dua orang, yang tertawa bersama-sama. Dalam pada itu perasaan Arya
Salaka menjadi tidak enak. Seolah-olah ia mendapat suatu firasat yang kurang
baik. Karena itu iapun segera bersiap-siap untuk menanti, apakah yang bakal
terjadi. Sesaat kemudian tampaklah daun-daun semak-semak itu tersibak. Yang
mula-mula tampak adalah tangan-tangan kasar yang menyisihkan daun-daun yang
lebat itu. Kemudian muncullah di hadapan kedua anak muda itu dua orang yang
bertubuh tinggi kekurus-kurusan, berwajah runcing, dengan tepi mata yang
terangkat tinggi. Demikian mereka berdiri tegak di luar semak-semak, kembali
terdengar suara tertawa mereka yang mengerikan, seperti ringkik kuda-kuda liar.
Melihat kedua
orang itu hati Arya Salaka berdebar-debar. Ia sudah mengenal keduanya. Beberapa
kali ia pernah melihat. Bahkan sejak ia masih tinggal di Banyubiru. Dua orang
itu tidak lain sepasang Uling dari Rawa Pening, dengan ikat pinggang yang
lebar, bergambar dua ekor Uling yang saling berlilitan. Kedua orang itu masih
beberapa langkah lagi maju mendekati Arya Salaka dan Endang Widuri. Endang
Widuri masih belum mengenal keduanya. Tetapi dalam pertempuran yang terjadi
kemarin, sepintas lalu ia melihat kedua orang yang menyerang dari belakang itu,
dan kemudian dapat diusir oleh Mahesa Jenar. Dengan demikian iapun segera
merasa bahwa ia kini berhadapan dengan dua orang lawan yang tangguh. Karena itu
bagaimanapun juga, Widuri harus memperhitungkan kemampuan diri. Dirinya sendiri
dan Arya Salaka, satu-satunya kawan yang ada di tempat itu. Tetapi karena di
dalam tubuh Widuri mengalir darah keturunan Pengging, maka ia tidak gentar
menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Yang justru menggoncangkan dadanya,
bukanlah kemungkinan-kemungkinan yang akan dihadapinya, apabila ia benar-benar
harus bertempur melawan sepasang Uling itu. Dalam hal yang demikian, sedikit
banyak ia telah menerima latihan-latihan yang berat dari ayahnya.
Setidak-tidaknya ia akan dapat bertempur sambil menarik diri mendekati
pedukuhan Gedangan. Apalagi di dekatnya ada Arya Salaka, meskipun ia masih
belum dapat mengukur kekuatan tenaga anak muda itu dibandingkan dengan
orang-orang yang tak dikenalnya itu. Tetapi yang lebih mengerikan baginya
adalah cara kedua orang itu mengamat-amati dirinya. Seolah-olah tubuhnya itu
bulat-bulat akan ditelan mereka. Lebih-lebih lagi ketika tampak di bibir kedua
orang itu membayang senyum. Senyum yang aneh. Tiba-tiba bulu kuduk Endang
Widuri berdiri serentak, meskipun ia tidak tahu maksud yang terkandung dalam
senyuman yang aneh itu.
Apalagi ketika
kemudian terdengar salah seorang dari mereka berkata,
“Selamat
bertemu putera Ki Ageng Gajah Sora.”
Suara yang
terdengar adalah suara yang serak parau.
ARYA SALAKA
memandang kedua orang itu dengan seksama. Ia sudah pasti bahwa hal yang tak
diinginkan akan terjadi. Maka dengan tidak melepaskan pandangannya kepada
sepasang Uling itu ia menjawab,
“Selamat
bertemu sahabat. Adakah kau akan menyampaikan kabar tentang daerahku…?”
Terdengar
Uling Putih tertawa berderai.
“Ya… ya… Tuan
muda. Aku membawa kabar untuk Tuan. Ketahuilah bahwa di daerah Tuan kini
terjadi malapetaka yang hebat. Adik Tuan, Sawung Sariti dengan leluasa dapat
membunuh setiap orang yang dikehendaki. Bahkan akhirnya Tuan sendiri. Sesudah
itu, tahukah Tuan apa yang akan terjadi…? Banyubiru akan sepenuhnya jatuh ke
tangan Sawung Sariti. Tetapi itu bukanlah peristiwa yang terakhir yang terjadi
atas daerah Tuan itu. Sebab akhirnya Sawung Sariti, maupun ayahnya Ki Ageng
Lembu Sora itu akan mati juga. Kau ingin tahu siapakah yang akan membunuhnya…?”
Uling Putih
berhenti sejenak, seolah-olah ia menunggu kata-katanya itu meresap ke dalam
dada Arya Salaka. Kemudian ia meneruskan,
“Yang membunuh
mereka beserta para pengikutnya adalah aku dan adikku. Uling Kuning.”
Seterusnya
kembali terdengar suara tertawa sepasang Uling yang mengerikan itu. Dada Arya
Salaka terguncang oleh kata-kata itu. Namun ia tidak ingin segera bertindak,
sebab ia tahu betapa perkasanya kedua Uling itu. Sesaat kemudian terdengar
Uling itu berkata lagi,
“Tetapi Tuan
muda, aku sudah terlalu lama menunggu. Sawung Sariti tidak juga berhasil
membunuh Tuan. Nah sekarang aku akan menolong mempercepat rencana itu, supaya
aku lebih cepat menguasai daerah Banyubiru itu sebagai kepala daerah perdikan
yang dihormati, tidak sebagai sepasang perampok seperti sekarang itu.”
Jantung Arya
Salaka terasa seperti diguncang-guncang mendengar kata-kata Uling Putih itu.
Karena itu dengan suara gemetar karena marah ia menjawab,
“Sepasang
Uling yang perkasa… aku adalah ahli waris yang sah atas daerah itu. Dengan
demikian aku tidak harus menuntut atas hak saja, tetapi aku harus
bertanggungjawab pula atas daerah itu dengan menunaikan kewajiban-kewajibanku
sebaik-baiknya. Salah satu dari kewajibanku adalah menyelamatkan daerah
Banyubiru.”
Mendengar
jawaban Arya Salaka, Uling Kuning tertawa keras-keras. Katanya,
“Tuan adalah
seorang yang mengagumkan. Seorang yang sudah terusir dari kedudukannya, namun
masih merasa bertanggungjawab. Tetapi Tuan tidak usah menunggu lama. Sebab
sebentar lagi Tuan harus sudah benar-benar melupakan impian Tuan untuk kembali
ke Banyubiru. Sesudah itu, jalan yang akan kami lalui menjadi bertambah lapang.
Apalagi sepeninggal Kakang Sima Rodra suami istri, maka jalan ke Pamingit telah
terbuka pula.”
Kemudian
terdengar Uling Putih menyambung,
“Apalagi
dengan kedua keris Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten. Jangankan Banyubiru dan
Pamingit. Bahkan Demak pun akan dapat kami gulung.”
“Impian yang
indah,” sahut Arya Salaka,
“Tetapi kau
lupa bahwa di Banyubiru ada Eyang Sora Dipayana. Seandainya kau dapat membunuh
aku dan kemudian Adi Sawung Sariti, bahkan Paman Lembu Sora sekalipun, apa yang
akan dapat kau lakukan atas Eyang Sora Dipayana itu?”
Kembali
terdengar Uling Putih tertawa. Jawabnya,
“Adakah kau mengira
bahwa umur kakekmu itu akan dapat mencapai puluhan tahun lagi? Kalau semuanya
sudah dapat aku bereskan, maka orang tua itu pasti akan mati kesedihan dan
putus asa. Kalau tidak, seandainya orang tua itu tidak takut melihat kenyataan
hari depannya yang patah, maka akupun dapat mempertemukannya dengan orang
sebayanya, yang datang ke Rawa Pening, khusus untuk keperluan itu.”
“Gurumu…?”
tanya Arya Salaka.
Kedua Uling
itu mengangguk bersama-sama. Jawab Uling Putih,
“Ya, guruku
Sura Sarunggi.”
Arya Salaka mengerutkan
keningnya. Agaknya Uling Rawa Pening itu telah benar-benar menyusun kekuatan
untuk dapat sampai kekedudukan yang diinginkan. Dalam pada itu ia sudah tidak
melihat kemungkinan lain daripada menghadapi sepasang Uling itu dengan
kekerasan. Seperti juga Widuri yang selama ini berdiam diri mendengarkan
percakapannya dengan sepasang Uling itu, maka iapun harus memperhitungkan
kekuatan diri. Untunglah bahwa Widuri telah memiliki bekal untuk membela
dirinya sendiri. Namun sekarang bagaimanakah imbangan kekuatan dari mereka
berdua dengan kekuatan Uling itu sepasang…?
“Tuan muda…”
tiba-tiba Uling Kuning masih meneruskan,
“Sepeninggal
Tuan jangan Tuan cemaskan gadis Tuan itu. Meskipun kami sudah tidak semuda
Tuan, namun kami akan berusaha untuk memeliharanya baik-baik.”
Widuri menjadi
muak mendengar perkataan itu. Apalagi ketika kemudian disusul dengan suara
tertawa mereka yang mirip ringkik kuda yang sudah hampir gila. Namun Widuri
masih dapat menahan dirinya ia menyerahkan segenap persoalan kepada Arya Salaka.
Namun Arya
Salaka pun menjadi marah mendengar perkataan-perkataan yang menyakitkan hati
itu. Maka dengan lantang iapun menjawab,
“Sepasang
Uling yang baik. Terima kasih atas berita yang telah kau sampaikan kepadaku.
Dan terima kasih pula atas perhatianmu terhadap diriku sehingga untuk seorang
anak-anak, kau berdua telah memberikan waktu yang cukup banyak serta tenaga
yang besar sekali. Dengan demikian aku merasa mendapat kehormatan dari sepasang
orang perkasa. Meskipun demikian sebaiknya kau mempertimbangkan sekali lagi,
apakah kau ingin meneruskan rencanamu itu, ataukah lebih baik kau tetap menjadi
perampok kecil-kecilan yang bersarang di Rawa Pening.”
Sepasang Uling
itu terkejut mendengar jawaban Arya Salaka. Sindiran itu sudah jelas bagi mereka,
bahwa Arya Salaka sama sekali tidak gentar menghadapinya. Meskipun mereka telah
memperhitungkan bahwa anak itu pasti tidak akan menyerahkan lehernya begitu
saja, namun mereka sama sekali tidak menduga bahwa anak itu berani
merendahkannya. Karena itu dengan suara yang keras parau Uling Putih menjawab,
“Hati-hatilah
kau berbicara anak muda. Supaya aku tidak membiarkan kau menderita pada saat
ajalmu datang.”
ARYA SALAKA
sama sekali tidak mempedulikan ancaman itu, jawabnya,
“Sebaiknya kau
kembali saja ke Rawa Pening. Lebih baik kau menghadap Paman Lembu Sora dan
minta menjadi pekatiknya. Kau akan mendapat jaminan seumur hidupmu. Kau tidak
akan kelaparan.”
“Tutup
mulutmu!” bentak Uling Kuning sambil melangkah maju. Ternyata darahnya agak
lebih panas dari kakaknya.
“Berlututlah
dan minta ampun, supaya kau tidak mengalami siksaanku.”
Arya menatap
mata Uling Kuning itu dengan penuh kebencian. Dengan dada menengadah ia
menjawab,
“Maaf Uling
Kuning, aku tidak bisa berjongkok dan minta ampun. Kalau kau telah biasa melakukan
itu kau sajalah yang berjongkok dan minta ampun.”
Darah Uling
Kuning maupun Uling Putih menjadi mendidih karenanya. Tetapi pada saat Uling
Kuning hampir saja lupa diri dan meloncat menyerang, tiba-tiba terpandanglah
olehnya Endang Widuri. Karena itu tiba-tiba ia mengurungkan serangannya. Bahkan
kemudian ia menoleh kepada Uling Putih sambil berkata,
“Apakah yang
harus kita lakukan terhadap anak yang telah menghina kebesaran nama Sepasang
Uling dari Rawa Pening ini Kakang?”
Uling Putih
yang telah marah itu menjawab,
“Menyingkirlah,
biar aku sayat kulit mukanya, dan akan aku biarkan ia hidup sampai matahari
terbit esok.”
Ancaman itu
sungguh mengerikan. Suatu siksaan yang tiada taranya. Namun Arya Salaka sama
sekali tidak gentar. Ia masih berdiri dengan dada menengadah menghadapi setiap
kemungkinan. Juga kemungkinan untuk disayat kulit wajahnya, dan dibiarkan hidup
sampai besok. Dalam pada itu Uling Kuning tersenyum di dalam hati. Memang
sebenarnya ia ingin menyerahkan Arya Salaka kepada kakaknya. Sebab ia lebih
tertarik untuk menangkap gadis yang menjelang dewasa yang datang kepadanya
seolah-olah hadiah dari langit. Meskipun demikian ia masih berpura-pura
berkata,
“Adakah Kakang
perlu menanganinya sendiri?”
Uling Putih
menjawab,
“Biar puas
hatiku, jangan kau ikut campur.”
Uling Kuning
mundur selangkah. Matanya dengan liar merambat ke segenap bagian tubuh Endang
Widuri. Tubuh yang tepat pada usia kemekaran menjelang masa remaja. Sementara
itu Uling Putih telah siap. Dengan wajah yang mengerikan ia melangkah maju.
Selangkah demi selangkah. Tangannya yang panjang telah siap sepenuhnya untuk
merobek-robek kulit Arya Salaka. Arya Salaka pun segera mempersiapkan dirinya.
Ia harus melawan Uling itu mati-matian. Sebab ia tahu betul, bahwa sepasang
Uling Rawa Pening adalah orang-orang yang hampir seluruh hidupnya diwarnai oleh
noda-noda yang hitam kelam. Karena itu, Arya Salaka berpendapat bahwa ia harus
mencoba untuk dapat memusnahkannya. Tetapi ia masih belum dapat mengukur,
apakah ilmu yang selama ini dipelajarinya akan cukup mampu untuk melawan Uling
Putih itu.
Namun dalam
pada itu, yang tergores didalam hatinya, adalah perbuatan yang sebaik-baiknya
sebagai suatu pernyataan kebaktian yang tulus kepada sesama. Tetapi yang masih
sedikit mengganggu pikirannya adalah Endang Widuri. Ia melihat suatu
tanda-tanda yang mencemaskan pada Uling Kuning. Ia melihat bagaimana cara Uling
Kuning itu memandang Endang Widuri. Karena itu maka mau tidak mau ia merasa
bertanggungjawab pula atas keselamatan gadis itu. Uling Putih kini sudah dekat
berdiri di depannya. Giginya gemeretak didalam mulutnya yang terkatub rapat.
Tetapi sesaat kemudian terdengar ia menggeram,
“Tidak sia-sia
aku berdua tinggal untuk beberapa hari di sini. Sekarang aku akan puas
menghisap darahmu.”
Arya Salaka
tidak menjawab. Tetapi ia menarik kaki kirinya setengah langkah surut.
Bersamaan dengan itu, Uling Putih meloncat dengan garangnya menyerang dada Arya
Salaka. Cepat Arya Salaka menekuk lutut sambil membungkukkan tubuhnya.
Sementara itu tangannya menyambar lambung lawannya dengan gerak yang mendatar.
Dalam pada itu Arya Salaka menjadi terkejut sendiri dengan gerakannya. Sebab
tiba-tiba ia merasa seolah-olah ada tenaga kuat yang mendorong dari dalam.
Tenaga yang selama ini seolah-olah tersembunyi. Bahkan dalam gerakannya itu,
terasa benar bahwa segala sesuatu di dalam tubuhnya telah berubah. Mungkin
itulah yang dimaksud dengan penyempurnaan tata nadi yang dilakukan oleh orang
berjubah abu-abu. Dan dengan demikian geraknya menjadi cepat dan kuat. Uling
Putih terkejut melihat kecepatan gerak anak itu. Bahkan ia terkejut pula ketika
melihat tangan lawannya menyambar lambung. Karena ia sama sekali tidak menduga
bahwa hal yang demikian akan terjadi, maka iapun kurang mempersiapkan dirinya.
Ia mengira bahwa anak itu hanya dapat berloncat-loncatan sedikit. Ia tidak tahu
bahwa Arya Salaka dalam perkelahian seorang lawan seorang telah dapat
mengalahkan Sawung Sariti. Sebab Sawung Sariti sendiri selalu mengatakan bahwa
ia harus bertempur menghadapi beberapa orang yang datang membantu Arya Salaka.
Dengan demikian Uling Putih itu tidak sempat berbuat lain daripada membentur
tangan Arya Salaka.
ULING PUTIH
menarik kaki kanannya, kemudian memutar tubuhnya dan menghantam lengan lawannya
itu dengan kedua belah tangannya. Arya Salaka masih belum dapat menguasai
geraknya sendiri sebaik-baiknya. Sebab sejak ia bertemu dengan laki-laki aneh
yang berjubah abu-abu serta menidurkannya di dalam semak-semak, ia belum pernah
mencoba tenaganya. Ini adalah yang pertama kalinya ia dapat melihat akibat dari
kejadian malam yang mendebarkan itu. Karena itu ia tidak dapat menghindarkan
diri dari benturan yang terjadi. Benturan antara lengannya dengan kedua tangan
Uling Putih. Akibatnya diluar dugaan Uling Putih dan Arya Salaka sendiri. Uling
Putih yang pada dasarnya memandang rendah kepada lawannya, sengaja tidak
mengerahkan segenap kekuatannya. Sebab ia mengira bahwa sebagian tenaganya saja
ia akan mampu mematahkan lengan anak yang dianggapnya terlalu sombong itu.
Tetapi yang terjadi sama sekali tidaklah demikian. Tenaga tangan Arya ternyata
besar sekali, sehingga Uling Putih terdorong surut beberapa langkah, sedang
Arya sendiri tetap tidak bergeser dari tempatnya. Mengalami peristiwa itu, dada
Uling Putih seolah-olah menyala karena hatinya yang panas. Disamping perasaan
heran yang tak habis-habisnya terhadap kekuatan tenaga anak yang dianggapnya
tidak lebih dari seekor kelinci yang lemah itu, juga menggelora di dalam
dadanya suatu perasaan malu, marah, dendam dan nafsu bercampur baur. Karena itu,
maka segera ia mengerahkan segenap perhatiannya untuk satu tujuan, membunuh dan
menyayat-nyayat putera kepala daerah Perdikan Banyubiru itu.
Dengan
garangnya ia menyerang kembali. Serangan yang datang menggelombang dengan
dahsyatnya. Arya Salaka pun kemudian melayaninya dengan tangguhnya. Ia telah
mewarisi hampir segenap jenis unsur-unsur gerak dari perguruan Pengging,
ditambah dengan tata nadinya yang telah disempurnakan. Dengan demikian anak
muda itu seolah-olah dapat bertempur seperti burung elang di udara,
menyambar-nyambar dengan garangnya. Tetapi kemudian ia mampu pula bertempur
laksana banteng yang tangguh kukuh, tenang dan meyakinkan. Uling Kuning dan
Endang Widuri berdiri terpaku menyaksikan pertempuran itu. Pertempuran yang
berjalan dengan sengitnya. Yang sekali waktu berjalan cepat, tetapi kemudian
menjadi lambat, namun penuh dengan ketegangan yang mendebarkan. Uling Kuning,
yang mula-mula menjadi sangat gembira ketika kakaknya bermaksud untuk membunuh
Arya Salaka dengan tangannya sendiri, karena dengan demikian ia dapat berbuat
leluasa atas gadis cantik itu, kemudian terpaksa mengikuti pertempuran itu
dengan seksama. Bahkan kadang-kadang timbullah kecemasan di hatinya. Sebab
kadang-kadang ia melihat serangan Arya Salaka seperti air yang mengalir dengan
derasnya, melanda setiap usaha yang akan merintanginya. Untunglah bahwa Uling
Putih adalah seorang yang penuh dengan pengalaman bertempur. Dalam
keadaan-keadaan yang sulit, ia masih mampu untuk membebaskan dirinya. Namun
dengan demikian anggapannya terhadap Arya Salaka telah berubah. Ia kemudian
menganggap anak muda itu seorang lawan yang berbahaya tak henti-hentinya, yang
rasa-rasanya datang dari segenap penjuru. Dalam keadaan yang demikian Uling
Putih harus memeras keringatnya untuk dapat mencapai titik keseimbangan. Namun
agaknya anak muda itu benar-benar luar biasa. Meskipun Uling Putih telah
berusaha membentengi tubuhnya dengan gerakan-gerakan yang cepat dan
berubah-ubah, tetapi ia tidak bisa menutup mata, atas suatu kenyataan bahwa
dadanya menjadi semakin sesak oleh pukulan-pukulan Arya Salaka, yang meluncur
seperti tatit menyambar tanpa dapat dihindari. Bahkan beberapa kali, ia tidak dapat
berhasil membebaskan diri seluruhnya atas serangan-serangan kaki lawannya yang
masih sangat muda itu.
Meskipun Uling
Kuning melihat kenyataan itu, namun ia terlalu mengagumi kakaknya, seperti ia
mengagumi dirinya sendiri yang seolah-olah tak seorangpun dari angkatan
sebayanya, apalagi anak-anak seperti Arya Salaka, akan mampu mengalahkannya.
Karena itu, ia tidak mengalami sendiri tekanan-tekanan maut yang
mendesing-desing di telinga, ia tidak sedemikian mencemaskan keadaan Uling
Putih. Bahkan tiba-tiba ia teringat kepada kepentingannya sendiri. Kepada gadis
yang berdiri tak seberapa jauh darinya. Dengan sudut matanya sekali lagi ia
memandang Endang Widuri yang masih asik melihat pertempuran antara Arya Salaka
dan Uling Putih. Dan sekali lagi dada Uling Kuning itu bergetar. Kalau saja ia
nanti berhasil membawa anak itu ke Rawa Pening, pasti akan merupakan barang
yang sangat berharga di daerah yang tersekat dari pergaulan. Berbeda dengan
daerah Nusakambangan, pusat kerajaan Ular Laut yang tampan, dimana terdapat
berpuluh-puluh gadis korbannya yang disimpan di sana. Berbeda pula dengan cara
hidup Sima Rodra muda dari Gunung Tidar. Yang seolah-olah telah kehilangan
tingkat tata pergaulan hidup manusia yang wajar, dimana laki-laki dan perempuan
dibiarkan mengalami suatu penghidupan yang buas dalam segala segi-seginya.
Karena itu maka kemudian perlahan-lahan perhatiannya berkisar dari titik
pertempuran kepada Endang Widuri. Bahkan kemudian iapun menggeser kakinya
setapak demi setapak ke arah gadis itu. Ia ingin menangkapnya di tempat itu
pula. Dengan demikian, kecuali ia akan mendapat sesuatu yang dianggapnya
permainan yang menyenangkan, sekaligus ia dapat mempengaruhi perhatian Arya
Salaka. Dengan demikian secara tidak langsung ia sudah membantu kakaknya. Sebab
sedikit saja Arya Salaka lengah, maka kakaknya pasti akan dapat mempergunakan
kesempatan itu sebaik–baiknya. Ketika ia sudah mendapat keputusan bulat atas
rencananya itu. Uling Kuning tersenyum-senyum sendiri. Ia memastikan bahwa
rencana itu akan berhasil. Menangkap Endang Widuri dan sekaligus menyebabkan
Arya Salaka binasa.
Sementara itu,
pertempuran berjalan semakin sengit. Arya Salaka terpaksa mengakui ketangguhan
lawannya. Tahulah ia sekarang, mengapa ayahnya dahulu tidak tergesa-gesa
bertindak terhadap kedua orang yang berbahaya itu. Pada waktu itu pasti ayahnya
sedang mempersiapkan segala kemungkinan serta perhitungan-perhitungan yang
masak.
TERNYATA kedua
orang itu benar-benar luar biasa. Untunglah bahwa pada saat itu, ia telah
banyak menerima tuntunan langsung atau tidak langsung, sehingga dengan demikian
ia dapat melawan Uling Putih dengan sebaik-baiknya. Bahkan kemudian ternyata
bahwa ia berhasil mendesaknya. Apalagi setelah ia mengalami pijatan-pijatan di
seluruh permukaan tubuhnya, terasa sekali betapa ia bertambah segar, kuat dan
lincah. Tenaganya dapat melontar bebas tanpa sesuatu rintangan. Uling Putih
kemudian mengumpat-umpat di dalam hati. Ia sama sekali tidak menduga bahwa Arya
Salaka memiliki keteguhan serta ketangguhan yang sedemikian besarnya. Karena
itu ia menjadi bertambah marah. Dikerahkannya segenap ilmunya. Tetapi ia harus
menghadapi suatu kenyataan, bahwa setelah ia memeras diri, ia tetap tidak mampu
untuk menundukkan lawannya. Akhirnya ia menjadi gelisah. Bahkan ia mengharap agar
adiknya melihat kesulitannya. Ia tidak dapat berteriak memintanya ikut
bertempur sebab ia masih memperhatikan harga dirinya. Namun apabila keadaan
memaksa, ia tidak akan pedulikan lagi, apalagi dengan demikian ia dianggap
licik atau apapun. Tetapi sebelum ia benar-benar minta adiknya menolongnya,
dalam sekilas ia melihat Uling Kuning perlahan-lahan mendekati gadis kecil yang
sedang asik melihat perkelahian itu. Dalam pada itu timbulah suatu harapan
padanya. Mudah-mudahan gadis itu ditangkap oleh adiknya. Kalau gadis itu
kemudian menjerit, saatnya tiba, Arya Salaka pasti akan lengah. Dan pada saat
itu saat yang sebaik-baiknya untuk menghancurkannya.
Pada saat itu,
malam telah turun perlahan-lahan. Warna-warna merah di langit telah lenyap
disapu oleh warna-warna kelam. Bulan telah mulai menampakkan dirinya kembali
diantara taburan bintang-bintang. Awan yang tipis bertebaran disana-sini
menghias langit. Perhatian Endang Widuri sebenarnya memang sedang tertumpah
pada perkelahian yang sengit antara Arya Salaka melawan Uling Putih. Dengan
keheran-heranan ia melihat Arya Salaka melontarkan diri, membelit dan kemudian
meloncat dengan garangnya menghantam lawannya. Tetapi ia mengerti pula bahwa
Uling Putih pun mempunyai kekuatan yang cukup untuk dapat mempertahankan dirinya.
Ia bergerak setapak-setapak, bergeser, meloncat dan berputar untuk menjaga agar
ia tetap dapat menghadapi Arya Salaka yang seperti bayangan saja. Sekali muncul
di sana, kemudian muncul di tempat lain. Kalau saja lawannya bukan orang yang
cukup kuat, maka ia pasti akan menjadi pening dan kebingungan. Semakin lama
pertempuran itu menjadi semakin seru. Arya Salaka semakin mendesak lawannya
pula. Melihat peristiwa itu Endang Widuri menjadi gembira, sehingga gadis itu
tersenyum-senyum sendiri. Bahkan ia kadang-kadang bergerak pula seperti
anak-anak mendengar gamelan. Sekali ia bergeser maju, sekali ke samping. Bahkan
kadang-kadang ia meremas-remas tangannya sendiri dengan kuatnya. Tetapi ketika
Uling Putih telah benar-benar terdesak, tiba-tiba tangannya menarik tali yang
membelit pinggangnya. Demikian tali yang besar itu terurai, tampaklah bahwa
sebenarnya yang membelit pinggangnya itu adalah sebuah cemeti. Arya Salaka
tertegun melihat cambuk yang lemas di tangan Uling Putih. Ia tahu benar bahwa
cambuk itulah senjata andalannya. Dengan demikian ia harus berhati-hati
menghadapinya. Ketika itulah Uling Putih itu menyerang dengan garangnya.
Cambuknya berdesing-desing dengan dahsyatnya. Sebuah sambaran mendatar mengarah
ke dada Arya Salaka. Dengan tangkasnya Arya membungkuk dalam-dalam, serta
dengan sekali berputar, kakinya menyambar perut Uling Putih. Namun Uling Putih
sempat menarik dirinya setapak mundur. Bersamaan dengan itu, ia telah sempat
menarik cambuknya mendatar pula. Kali ini Arya tidak dapat membungkuk lebih
rendah lagi. Tetapi ia harus meloncat mundur. Uling Putih tidak mau memberinya
kesempatan. Dengan loncatan yang panjang ia memburu Arya sambil mengayunkan
cambuknya sendhal pancing. Arya yang mengetahui betapa bahaya yang mengancam
apabila ia sampai terkena pukulan itu, segera meloncat kesamping.
Ketika ujung
cemeti itu berdesing disamping telinganya, ia melontar dengan cepatnya maju
dekat sekali dengan lawannya. Dengan sekuat tenaganya ia menghantam dada
lawannya. Uling Putih terkejut melihat gerakan yang cepat dan tak terduga-duga
itu. Dengan tangan kirinya ia mencoba menahan tangan Arya, sedang tangan kanan
memutar cambuknya cepat-cepat untuk menyerang dalam jarak yang pendek itu.
Dengan kerasnya tangan Arya menghantam tangan kiri Uling Putih yang mencoba
melindungi dadanya. Pukulan itu demikian kerasnya sehingga terdengarlah Uling
Putih mengaduh tertahan. Tangan kirinya ternyata tidak mampu menahan tekanan
tangan lawannya, sehingga bagaimanapun juga, terasa sesuatu mendesak dadanya.
Desakan itu demikian kuatnya, sehingga ia terlontar mundur dan kemudian jatuh
terguling. Tetapi dalam pada itu, Uling Putih agaknya memang ahli memainkan
senjatanya. Meskipun pada saat itu Arya berdiri hampir melekat tubuhnya, ujung
cambuknya berhasil juga menyentuh pundaknya, sehingga terasalah betapa
nyerinya, dan bahkan terasa bahwa kulitnya terkelupas. Arya menyeringai menahan
pedih. Tanpa disengaja tangannya meraba tempat yang terluka itu. Terasa betapa
darahnya yang hangat mengalir. Dalam pada itu Uling Putih segera melenting
berdiri. Namun terasa betapa dadanya semakin sesak. Baik Uling Putih maupun
Arya Salaka telah mencapai puncak kemarahannya. Mereka masing-masing telah
merasakan betapa tubuh mereka telah berhasil disakiti oleh lawannya. Maka
terdengarlah Uling Putih menggeram penuh dendam. Matanya yang menyala merah
menjadi semakin liar. Arya Salaka pun kemudian menggigil karena kemarahan.
Jantungnya berdebar keras, sedang tangannya bergetaran, siap untuk
menghancurkan lawannya. Uling Putih yang telah dapat menguasai dirinya kembali,
segera melangkah maju. Ia telah melihat hasil serangannya pada lengan lawannya.
Dengan demikian ia menjadi sedikit berbesar hati. Mudah-mudahan luka ditangan
Arya itu dapat mempengaruhi keteguhan hatinya. Tetapi ia salah harap. Karena
luka itu Arya malah menjadi semakin garang. Bahkan tiba-tiba tangannya yang
gemetar telah menggenggam pusaka kebesaran tanah perdikan Banyubiru, Kyai
Bancak. Pertempuran itu berkobar kembali. Cambuk Uling Putih berputar seperti
baling-baling. Bergulung-gulung seolah-olah ingin melibas lawannya dan
membenamkan kedalamnya. Demikian dahsyatnya Uling Putih memainkan senjatanya
sehingga terdengarlah angin mendesing-desing menggoyang daun-daun pepohonan di
sekitarnya serta merontokkan daun-daun kering yang sudah tidak mampu lagi
berpegangan di batang-batangnya lebih erat lagi. Tetapi ia berhadapan dengan
murid keturunan dari perguruan Pengging yang telah mengalami pembajaan diri
yang luar biasa beratnya. Bahkan telah mendapat pertolongan dari seorang ahli tata
nadi memperbaiki letak otot-otot serta syaraf-syarafnya. Sehingga Arya Salaka
dapat mempergunakan segenap tenaganya dalam lontaran-lontaran kekuatan tanpa
dipengaruhi oleh penggunaan tenaga cadangan di dalam tubuhsendiri. Apalagi kini
di tangannya telah tergenggam tombak sipat kandel yang dapat melipatgandakan
kemampuannya melawan Uling Putih itu.
Dalam
keremangan cahaya bulan, tampaklah gulungan sinar keputih-putihan
melingkar-lingkar mengerikan yang seolah-olah sedang berusaha untuk melanda
sinar yang menyala kebiru-biruan. Itulah cahaya tombak Kyai Bancak. Namun sinar
yang kebiru-biruan itu selalu berhasil menghindarkan dirinya, dan bahkan
sekali-sekali dengan dahsyatnya menyusup langsung ke pusat gulungan sinar putih
itu. Dengan demikian maka tampaklah betapa Arya Salaka dapat mengimbangi
lawannya dengan baik. Bahkan kemudian Uling Putih terpaksa memeras keringat
habis-habisan untuk dapat mengimbangi permainan tombak bertangkai pendek,
sependek tangkai pedang, yang digerakkan oleh tangan yang kokoh kuat dan
terlatih baik. Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin sengit. Dan
sejalan dengan itu perhatian Endang Widuri pun menjadi semakin terikat. Ia
menjadi semakin kagum atas ketangkasan Arya Salaka. Kalau beberapa saat yang
lalu, ia pernah berlatih bersama-sama dengan anak muda itu, maka sekarang
dengan penuh keheranan ia melihat Arya Salaka telah melangkah jauh kedepan.
Pada waktu Arya bertempur melawan Sawung Sariti pun, tenaganya masih belum
sedahsyat sekarang ini. Tetapi ia tidak tahu bahwa di dalam tubuh Arya, baru
saja terdapat beberapa perubahan tata nadi yang sangat menguntungkannya. Tetapi
karena keasyikannya melihat pertempuran itulah maka ia sama sekali tidak
menduga bahwa Uling Kuning telah menjadi semakin dekat, semakin dekat di belakangnya.
Maka, tiba-tiba saja dirasanya sepasang tangan yang kuat telah memegang kedua
belah lengannya. Dengan demikian Endang Widuri menjadi terkejut sekali,
sehingga tanpa disengaja ia memekik kecil.
Saat itulah
yang memang ditunggu-tunggu oleh kedua Uling bersaudara itu. Sebab dengan
demikian mereka mengharap Arya akan menjadi lengah. Dan apa yang mereka
harapkan itu benar-benar terjadi. Arya terkejut mendengar suara Widuri. Tetapi
ia tidak menjadi lengah karenanya. Untuk dapat mengetahui keadaan gadis itu.
Arya Salak meloncat jauh-jauh ke belakang. Meskipun demikian, karena
perhatiannya sebagian terampas oleh peristiwa lain, maka terasalah sebuah
sengatan pedih di pinggangnya. Ternyata sekali lagi Uling Putih berhasil
mengenainya dengan cambuknya yang sangat berbahaya. Terdengarlah Arya berdesis
menahan sakit. Meskipun demikian ketika jaraknya telah menjadi agak jauh dari
lawannya, ia sempat juga memandang ke arah Widuri yang berdiri tidak begitu
jauh dari titik perkelahian itu. Tetapi yang terjadi kemudian, sama sekali
tidak seperti yang diharapkan oleh sepasang Uling dari Rawa Pening itu. Luka di
pinggang Arya itu ternyata telah membakar semangat Arya lebih dahsyat lagi.
Dengan menyeringai menahan pedih, ia menggeram penuh kemarahan. Meskipun
demikian otaknya masih dapat bekerja dengan baik. Ia tidak mau terlibat dalam
pertempuran yang liar. Uling Kuning, yang berhasil menangkap Widuri tanpa
diketahui sebelumnya, agaknya menjadi menyesal sekali. Ketika ia memegang
lengan gadis itu, ia terlalu berhati-hati, seperti seorang yang memegang sebuah
permainan ringkih, sehingga ia takut kalau merusakkannya. Tetapi ia sama sekali
tidak menduga, bahwa gadis kecil itu tidak ubahnya sebagai seekor lebah kuning
yang manis namun sengatnya sangat berbahaya.
Demikian Endang
Widuri merasa tangkapan pada lengannya, ia menjadi sadar bahwa Uling Kuning
telah menyerangnya. Tetapi otaknya yang cerdas merasakan betapa tangan Uling
Kuning itu terlalu hati-hati meraba kulitnya. Itulah sebabnya, maka dengan satu
gerakan merendah, sambil memutar tubuhnya setengah lingkaran, kakinya dengan
cepatnya telah berhasil mengenai perut Uling Kuning bagian bawah. Uling Kuning
sama sekali tidak menduga bahwa hal yang demikian dapat terjadi, sehingga ia
sama sekali tidak bersiaga. Karena itu terdengarlah ia mengaduh kesakitan.
Bahkan kekuatan Endang Widuri cukup melemparkannya beberapa langkah dan
kemudian membantingnya jatuh ke tanah. Untunglah Uling Kuning telah mempunyai
cukup pengalaman. Dengan cepatnya ia meloncat berdiri dan mencoba menghadapi
setiap kemungkinan yang dapat terjadi. Namun demikian, kaki gadis kecil, puteri
Ki Kebo Kanigara, yang telah dibekali dengan pengetahuan yang cukup, terasa
telah menggoncangkan isi perutnya. Perasaan mual berputar-putar mengganggu
sekali, seolah-olah isi perutnya diaduk dengan hebatnya.
BELUM lagi
Uling Kuning benar-benar sadar atas apa yang terjadi, dilihatnya gadis kecil
itu melayang dengan lincahnya, menyerang seperti semburan air hujan yang datang
ke segenap bagian tubuhnya. Uling Kuning terpaksa surut beberapa langkah. Namun
demikian ia mempunyai cukup kesempatan untuk membetengi dirinya dengan
tangkisan-tangkisan yang rapat. Tetapi Endang Widuri cukup lincah dan cekatan
untuk membingungkannya. Ketika Arya Salaka melihat bahwa Endang Widuri ternyata
telah berhasil menolong dirinya sendiri, ia menjadi berbesar hati.
No comments:
Post a Comment