MAHESA Jenar untuk beberapa saat tertegun heran. Karena itulah ia kehilangan waktu untuk mengejarnya. Meskipun kemudian Mahesa Jenar dengan kecepatan yang tak kalah dari kecepatan Pasingsingan meloncat mengejarnya, namun hantu itu telah lenyap di dalam semak-semak, berselimut kehitaman malam. Sementara itu, derap kaki-kaki itu sudah semakin dekat. Dan tiba-tiba dari dalam gelap tersembullah beberapa orang penunggang kuda. Yang paling depan adalah Kebo Kanigara yang masih melekatkan hampir seluruh tubuhnya pada punggung kudanya. Demikian kuda itu masuk ke halaman perkemahan itu, dengan sigap para penunggangnya segera menarik kekangnya, sehingga kuda-kuda itu meringkik dan berdiri pada kedua kaki belakang. Demikian kuda itu meletakkan kedua kaki mereka, sedemikian para penunggangnya berloncatan turun.
Ketika Endang
Widuri melihat ayahnya datang, segera ia meloncat berlari ke arahnya sambil
berteriak,
“Ayah, sayang
ayah terlambat.”
Melihat
putrinya berlari-lari menyongsong, dada Kebo Kanigara serasa tersiram embun. Namun
ia menjadi sedikit ragu mendengar kata-kata itu, sehingga terlontarlah
pertanyaannya,
“Apa yang
terlambat?”
Widuri
kemudian dengan manjanya memeluk lambung ayahnya sambil menjawab,
“Baru saja
kami menonton pertunjukan yang luar biasa.”
“Pertunjukkan
apa?” desak ayahnya tidak sabar.
“Paman Mahesa
Jenar bermain sulap melawan tukang sihir berjubah abu-abu,” jawab gadis itu.
Mendengar
keterangan Endang Widuri, Kebo Kanigara menarik nafas. Terdengarlah ia berdesis
perlahan,
“Pasingsingan…?”
Tetapi ia
sudah tidak terkejut lagi, sebab ia memang sudah menduga sebelumnya, bahwa guru
Lawa Ijo itu berada di perkemahan.
“Di mana
pamanmu sekarang?” tanya Kebo Kanigara.
“Paman
mengejar tukang sihir itu,” jawab Endang Widuri.
Sementara itu
yang lainpun telah berdiri mengitarinya.
Dengan penuh
hormat mereka membungkukkan kepala.
“Adakah kalian
selamat?” tanya Kebo Kanigara kepada mereka.
“Atas pangestu
Kakang, kami semua selamat. Karena Adi Mahesa Jenar tidak terlambat datang,”
jawab Mantingan.
Kebo Kanigara
masih melihat kesan-kesan yang mencemaskan pada wajah-wajah mereka. Apalagi
pada wajah Rara Wilis yang hampir-hampir saja hangus oleh aji Alas Kobar,
sedang Widuri itupun masih kelihatan pucat.
“Apa yang
sudah dilakukan?” Kebo Kanigara bertanya pula. Tetapi sebelum Mantingan sempat
menjawabnya, terdengarlah Endang Widuri berceritera dengan riuhnya,
“Setan itu
bisa menjadikan dirinya panas seperti bara, dan dengan suara tertawa ia dapat
merontokkan isi rongga dada. Ah sayang, ayah tidak melihat kami pada waktu itu.
Lucu sekali. Pasingsingan itu sama sekali tidak berbuat apa-apa kecuali
tertawa. Dan kami semuanya menggigil, bahkan seperti ayam disembelih. Bukankah
itu aneh sekali? Untunglah bahwa Paman Mahesa Jenar dapat menghentikannya
sebelum jantung kami patah karenanya.”
Mendengar
ceritera anaknya, Kebo Kanigara mau tidak mau harus tersenyum. Tetapi kemudian
senyumnya terpaksa ditahannya ketika anaknya itu meneruskan,
“Kenapa ayah
tersenyum, sedang kami hampir mati karenanya?”
“Bukankah kau
sendiri berkata bahwa hal itu adalah lucu sekali?” bantah ayahnya.
“Tetapi ayah
jangan tersenyum. Sebaiknya ayah mengucapkan ikut berduka cita. Apalagi Bibi
Wilis. Ketika bibi mencoba menolong Paman Mahesa Jenar yang tiba-tiba
terbanting karena serangan Pasingsingan itu, agaknya Bibi Wilis nekad melawan
udara panas yang memancar dari tubuh tukang sihir jahat itu,” sahut Widuri.
SEKALI lagi
Kebo Kanigara tak dapat menahan senyumnya. Tanpa disengaja ia memandang ke arah
Rara Wilis yang menundukkan wajahnya. Ia menjadi malu mendengar ceritera gadis
kecil itu.
“Aku berkata
benar, Ayah…”
Widuri
meneruskan sambil merengut.
“Paman Mahesa
Jenar itupun dapat dijatuhkannya, meskipun kemudian terpaksa bangun kembali.”
“Kenapa
terpaksa?” tanya Kebo Kanigara.
“Sebab Rara
Wilis hampir terjatuh pula. Kalau tidak, barangkali Paman Mahesa Jenar masih
enak-enak berbaring, menikmati hangatnya udara yang memancar dari tubuh
Pasingsingan dimalam yang begini dingin,” jawab Widuri.
“Sudahlah…
jangan membual,” potong ayahnya.
“Siapa bilang
aku membual…?” sahut gadis itu.
“Aku berkata
sebenarnya.”
Kebo Kanigara
masih saja tersenyum. Tetapi kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
Melontarlah di dalam benaknya perkataan anaknya itu,
“Paman Mahesa
Jenar itupun dapat dijatuhkannya.”
Kemudian
kepada Mantingan ia bertanya,
“Apakah Mahesa
Jenar selamat?”
“Bagi kami
agak sulit untuk dapat mengetahui keadaan sebenarnya. Sebab pertempuran itu
berada jauh dalam tingkatan yang tidak dapat kami capai. Meskipun ia masih
tetap segar dan bahkan sekarang iblis itu sedang dikejarnya,” jawab Mantingan.
Kebo Kanigara
mengerutkan keningnya. Ia terkejut ketika tiba-tiba didengarnya kemersik daun
didalam semak-semak. Kemudian muncullah dari dalam semak itu, seorang laki-laki
yang berjalan perlahan-lahan ke arahnya.
“Mahesa Jenar…”
sapa Kebo Kanigara.
Mahesa Jenar
mengangguk hormat sambil menjawab,
“Ya, Kakang.”
“Bagaimana
dengan Pasingsingan?” tanya Kebo Kanigara.
Sambil
menggeleng Mahesa Jenar menjawab,
“Aku tak
berhasil menangkapnya.”
Kembali Kebo
Kanigara mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
“Tak apalah,
bukankah ia tidak berhasil menimbulkan bencana?”
“Pangestu
Kakang,” jawab Mahesa Jenar.
“Baiklah…”
kata Kebo Kanigara seterusnya,
“Sekarang
cobalah, bangunkan orang-orang yang terkena sirep itu. Mungkin pengaruhnya
sudah jauh berkurang. Apalagi sumbernya telah pergi pula.”
Jaladri,
Bantaran dan Penjawi tidak menunggu perintah itu diulangi. Segera mereka pergi
berpencaran untuk membangunkan orang-orang yang tertidur nyenyak karena
syarafnya dipengaruhi sirep yang disebarkan oleh Lawa Ijo. Sementara itu malam
telah sampai di ujungnya. Di kejauhan sudah terdengar ayam hutan berkokok
bersahutan. Sedang langit telah diwarnai oleh cahaya perak pagi. Cahaya
lintang-lintang telah mulai pudar. Satu-satu mulailah mereka menghilang dari
wajah langit yang biru bersih. Angin pagi yang berhembus lemah,
menggoncang-goncang daun-daun pepohonan rimba.
“Marilah kita
beristirahat,” kata Kebo Kanigara,
“Bukankah
kaliah lelah?”
“Semalam aku
tidak tidur,” sahut Widuri,
“Karena itu aku
akan tidur sehari penuh.”
“Aku tidak
percaya,” jawab ayahnya.
“Kenapa?”
tanya Widuri.
“Belum lagi
matahari sepenggalah, kau pasti sudah bangun dan bertanya apakah sudah ada
makan pagi,” jawab ayahnya.
Widuri tidak
menjawab. Ia hanya mencibirkan bibirnya. Kemudian ia memutar tubuhnya dan
berjalan ke pondok yang disediakan baginya. Yang lainpun kemudian berlalu pula
ke tempat masing-masing.
Mantingan
berjalan dengan langkah gontai, sedang Wirasaba seolah-olah tinggal mampu
menjerat tubuhnya dengan lemah. Meskipun sebenarnya ia tidak sedemikian parah
tenaganya, namun peristiwa yang baru saja dilihatnya merupakan suatu peristiwa
yang membekas dalam sekali di dalam hatinya. Rara Wilis yang masih sangat pucat
pun berjalan menyusul Endang Widuri untuk beristirahat. Ternyata para anggota
laskar Banyu Biru yang tertidur, sudah tidak lagi dipengaruhi oleh sirep Lawa
Ijo. Meskipun masih ada diantara mereka yang merasa betapa nikmat mimpi yang
diperoleh, namun merekapun kemudian berloncatan bangun ketika tubuh mereka
digoncang-goncang oleh pemimpin-pemimpin mereka. Beberapa orang malahan menjadi
bingung, sedang beberapa orang lain menjadi cemas dan malu. Lebih-lebih para
petugas yang pada malam itu sedang mendapat giliran jaga. Ketika mereka
meninggalkan gardu pimpinan, mereka mendapat pesan untuk berhati-hati. Sebab
mereka mendapat tanda-tanda buruk pada siang harinya. Apalagi firasat para
pemimpin laskar Banyubiru itupun telah memberi mereka peringatan. Tetapi
tiba-tiba pemimpin mereka itu terpaksa membangunkan mereka di saat fajar hampir
pecah. Meskipun demikian, tersangkut pula di dalam dada mereka sebuah
pertanyaan yang tak dapat mereka jawab sendiri,
“Kenapa mereka
telah melakukan suatu perbuatan yang belum pernah mereka lakukan, dan bahkan
belum pernah terjadi didalam perkemahan itu, dimana seorang yang diserahi
tanggungjawab melalaikan tanggungjawab…? Apalagi tidur di saat-saat penjagaan.”
MEREKA menjadi
agak terhibur ketika mereka mendengar penjelasan dari pemimpin-pemimpin mereka,
bahwa meskipun mereka tertidur dalam tugas mereka, namun itu bukanlah kesalahan
mereka seluruhnya. Sebab memang pengaruh sirep Lawa Ijo itu sedemikian
tajamnya, sehingga sulitlah untuk melepaskan darinya.
Ketika para
pemimpin Banyu Biru itu kemudian menempatkan petugas-petugas baru pada
titik-titik yang dianggap perlu untuk mendapat pengawasan, merekapun berpesan
wanti-wanti kepada para petugas itu, bahwa mereka harus benar-benar waspada.
Mereka diwajibkan segera memberikan tanda-tanda apabila ditemuinya sesuatu yang
mencurigakan, apalagi membahayakan. Sesaat setelah mereka berangkat, di dalam
gardu pimpinan itu duduklah beberapa orang yang bercakap-cakap dengan asyiknya.
Diantara mereka adalah Jaladri, Bantaran, Penjawi dan Wanamerta. Dengan penuh
semangat Jaladri berceritera tentang apa yang baru saja dilihatnya. Sesuatu
yang belum pernah dibayangkan, meskipun hanya di dalam mimpi. Meskipun Jaladri
sendiri pada saat itu harus bertempur, tetapi setiap kali ia sempat melirik ke
arah lingkaran-lingkaran pertempuran yang lain. Ia melihat Rara Wilis itu
bertempur seperti sikatan menyambar belalang. Sigap, cepat dan lincah. Endang
Widuri benar-benar seperti burung camar yang bermain-main di atas gelombang.
Meskipun lawannya adalah seorang yang gemuk dan bersenjata di keduabelah
tangannya, namun gadis itu sama sekali tidak dapat digetarkan. Yang
menggemparkan dada Jaladri kemudian adalah Arya Salaka. Ketika ia telah
kehilangan lawannya, melarikan diri, ia sempat untuk menyaksikan sepenuhnya
pertempuran antara Arya Salaka melawan Lawa Ijo. Tak pernah ia membayangkan
bahwa Arya Salaka mampu mengimbangi kekuatan Lawa Ijo dari Mentaok itu. Apalagi
Lawa Ijo telah berhasil menyerang anak muda itu dengan udara panas, meskipun
tidak sedahsyat Pasingsingan, namun seakan-akan tak terasa sama sekali oleh
Arya Salaka. Bantaran dan Penjawi mendengarkan ceritera itu dengan seksama. Ia
kecewa tidak dapat menyaksikan sendiri tingkat ilmu Arya Salaka. Sebab ia ingin
membandingkan dengan tingkat ilmu Sawung Sariti, yang menurut pendengarannya
telah meningkat sedemikian, bahkan ia telah memiliki ilmu sakti Lebur Seketi.
Di sebuah
pondok yang lain, tampaklah Mahesa Jenar duduk, bersama Kebo Kanigara. Di sudut
yang lain dari ruangan itu pula, Arya Salaka berbaring di atas sebuah bale-bale
bambu. Ia pun ternyata lelah. Meskipun demikian ia tidak tertidur. Lamat-lamat
ia masih mendengar gurunya itu bercakap-cakap dengan Kebo Kanigara.
“Aku dengar
dari Widuri, Pasingsingan itu berhasil mendorongmu jatuh…?” tanya Kebo
Kanigara.
“Ya, Kakang,”
jawab Mahesa Jenar.
“Semula aku
tidak tahu bagaimana aku melawan udara panas yang dilontarkan berdasarkan
ajinya Alas Kobar.”
“Tetapi
bukankah kau akhirnya dapat mengatasi aji Alas Kobar itu?” tanya Kanigara pula.
“Ya, tanpa aku
ketahui, bagaimana terjadinya. Tetapi pada saat aku membulatkan tekad untuk
melawan panas yang melibat seluruh tubuhku itu, tiba-tiba terasalah dari dalam
dadaku getaran-getaran yang aku kenal sebagai sumber kekuatan Sasra Birawa
mengalir ke segenap tubuhku. Dan dengan demikian aku kemudian terbebas dari pengaruh
udara panas itu. Pada saat aku mengerahkan getaran-getaran itulah aku dapat
dikenai oleh Pasingsingan, di pundakku, sehingga aku terdorong jatuh. Karena
aku memang tidak mengadakan perlawanan pada daya dorong itu, sebab aku tidak
mau kehilangan kesempatan, sehingga getaran-getaran itu terganggu.”
Kebo Kanigara
mengangguk-anggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ia merasa bangga pula, bahwa
Mahesa Jenar, meskipun tanpa disadarinya sendiri telah meningkat pula pada
penguasaan ilmunya lebih sempurna lagi dengan mengalirkan ilmu Sasra Birawa ke
segenap tubuhnya dalam bentuk perlawanan dan pertahanan.
Kemudian ia
bertanya pula,
“Tidakkah
iblis itu kau lumpuhkan dengan Sasra Birawa itu pula? Aku kira ia mempunyai
cukup daya tahan sehingga ia tidak akan mati karenanya. Dengan demikian kau
akan dapat menangkapnya hidup-hidup.”
Mahesa Jenar
ragu sebentar.
Kemudian ia
menjawab,
“Kakang,
semula akupun bermaksud demikian. Tetapi ketika aku sadar bahwa getaran-getaran
ilmuku sedang mengalir ke segenap tubuhku, aku takut kalau-kalau dengan
demikian getaran-getaran itu harus terhisap kembali untuk kemudian aku salurkan
ke sisi telapak tanganku. Dengan demikian aku akan hangus oleh aji Alas Kobar
itu.”
Kebo Kanigara
kini tidak hanya tersenyum.Tetapi ia tertawa. Katanya,
“Itulah
keistimewaanmu Mahesa Jenar. Kau berhasil menekuni ilmu perguruan Pengging
sehingga hampir sempurna, tanpa tuntunan dari siapapun. Karena itu di dalam
perkembangan yang terjadi pada dirimu, ada beberapa unsur yang tak kau kenal
sendiri. Kau berhasil meragakan sukmamu pada saat kau capai kesempurnaan ilmu
Sasra Birawa. Tetapi dalam penerapan yang pernah kau kenal sebelumnya.
Sedangkan sebenarnya engkau dapat menerapkan dalam keperluan lain, karena
kekuatan-kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhmu itu adalah kelengkapan darimu
sendiri yang tunduk pada kehendakmu. Dengan demikian, Mahesa Jenar, aku yakin
sekarang, bahwa kau benar-benar akan dapat mengalahkan iblis itu apabila
pertempuran diteruskan. Sebab ilmu Sasra Birawa adalah seperti mata air yang agung
yang tak akan kering meskipun airnya mengalir siang dan malam ke segenap
penjuru.”
Mendengar
uraian Kebo Kanigara itu, alangkah besarnya hati Mahesa Jenar. Ia merasa bahwa
dadanya bergetar karena bangga. Ah, seandainya saja ia tahu sebelumnya, bahwa
ilmu Sasra Birawa yang bersumber di pusat dadanya itu seperti mata air yang tak
akan kering disegala musim. Seandainya ia tahu bahwa ia dapat mempergunakan
ilmu itu sekaligus untuk berbagai kemungkinan.
SEBAGAI
manusia, Mahesa Jenar merasa bahwa ia kini memiliki senjata yang dahsyat tiada
taranya. Bukankah dengan demikian ia menjadi seorang yang dapat membebaskan
diri dari perasaan sakit yang disebabkan oleh rangsang dari luar tubuhnya
apabila ia menghendaki dengan matek aji Sasra Birawa? Meskipun ia tidak menjadi
kebal karenanya, namun ia memiliki ketahanan yang mirip dengan ilmu kekebalan.
Tetapi sebenarnya pada saat-saat yang demikian itulah saat-saat yang paling
berbahaya bagi manusia. Pada saat ia menyadari kelebihan diri dari orang lain.
Pada saat ia dengan penuh kesadaran merasa tak akan mudah orang mengalahkannya.
Untunglah bahwa Mahesa Jenar memiliki bekal yang cukup untuk menerima kurnia
dari Tuhan Yang Maha Esa atas usahanya yang tak kenal lelah dalam pembajaan
diri. Itulah sebabnya, pada saat ia sadar akan dirinya, meskipun mengembang
pula perasaan bangga sebagaimana perasaan manusia biasa, namun di dalam relung
hatinya, Mahesa Jenar dengan penuh kerendahan diri, mengucapkan syukur dan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Yang Maha Pengasih atas karunia itu.
Bahkan diam-diam ia berjanji untuk mempergunakan ilmunya dalam kebaktian dan
pengabdian pada titahnya, sesama manusia, dengan penuh rasa cinta kasih.
Kebo Kanigara
menyaksikan wajah Mahesa Jenar dengan seksama, seolah-olah ia sedang membaca apakah
yang tersirat dari wajah itu. Sebagai seorang yang penuh dengan bermacam-macam
pengalaman, tahulah Kebo Kanigara bahwa pada saat-saat yang paling berbahaya
itu, Mahesa Jenar tidak tergelincir ke dalam sikap yang tercela. Ia tahu bahwa
Mahesa Jenar tidak menjadi sombong karenanya sehingga kehilangan pengamatan
atas tingkah laku dan perbuatan-perbuatannya pada masa-masa yang akan datang.
Sebagai seorang yang berpandangan luas, Kebo Kanigara mengerti bahwa Mahesa
Jenar itu sampai tergelincir karena kesombongannya atas keperkasaan diri, atas
ilmu yang dimilikinya, maka akibatnya akan sangat berbahaya. Ia akan mampu
menggoncangkan kerajaan Demak. Tidak menggoncangkan keamanan dan ketertiban,
namun seandainya ia mau, ia akan dapat menghimpun kekuatannya untuk
menghancurkan Demak. Tetapi ia yakini kemudian, bahwa Mahesa Jenar akan tetap
dapat memelihara kemurnian dari tujuannya. Mengabdikan diri setulus-tulusnya
pada keyakinannya, pada kebenaran dan keadilan. Beberapa saat setelah pondok
itu dicekam oleh keheningan, terdengarlah Mahesa Jenar berkata perlahan-lahan,
“Aku bersyukur
kepada Yang Maha Kuasa, serta berterima kasih kepada Kakang Kebo Kanigara yang
telah memberi aku kemungkinan-kemungkinan yang lebih luas dalam pengabdian
diri. Mudah-mudahan aku dapat merantasi, dapat memanfaatkan ilmuku ini
sebaik-baiknya.”
Kebo Kanigara
mengangguk-angguk puas. Ia tidak menjawab, tetapi hatinya berkata,
“Berbahagialah
kau Mahesa Jenar. Berbahagialah atas kurnia yang kau terima, dan berbahagia
atas keluhuran hatimu.”
Namun yang
terucapkan adalah,
“Meskipun
demikian Mahesa Jenar, aku atas nama gurumu, ayah Penging Sepuh almarhum ingin
memperingatkan bahwa ilmu perguruan Pengging janganlah kau pergunakan pada
setiap saat, pada setiap kesempatan sebagai pameran kekuatan yang tak berarti.
Ilmu itu hanya akan kau pergunakan pada saat-saat dimana kau harus dapat
mempertanggungjawabkan akibatnya. Tidak kepada sesama manusia, tidak kepada
para pemimpin di Demak, bahkan tidak kepada Sultan Demak saja. Tetapi lebih
daripada itu, kau akan mempertanggungjawabkan kepada Yang Maha Ada di atas
segala pertanggungjawaban yang lain. Sebab kau menjadi lantaran, tidak dari
para pemimpin dan tidak siapapun. Tetapi ilmumu kau terima dari Yang Maha
Tinggi.”
Meskipun apa
yang didengarnya dari Kebo Kanigara itu seperti apa yang didengarnya dari suara
hati nuraninya, namun Mahesa Jenar dengan penuh minat mendengarkan nasihat dari
orang yang dianggapnya pengganti gurunya. Sebab ia tahu benar bahwa Kebo
Kanigara tidak hanya mampu berkata, tetapi apa yang dilakukannyapun sesuai
benar dengan kata-katanya itu. Mempergunakan-ilmunya pada kesempatan yang
tepat, untuk keperluan yang tepat pula. Kecuali Mahesa Jenar, di salah satu
sudut ruangan itu berbaring Arya Salaka. Ia mendengar semua pembicaraan gurunya
dengan Kebo Kanigara itu. Ia mengetahui pula, betapa gurunya kini benar-benar
menjadi manusia yang luar biasa, yang tidak akan dapat dikalahkan oleh
Pasingsingan. Dengan demikian gurunya sudah tidak akan lagi silau seandainya ia
duduk bersama-sama dengan Ki Ageng Pandan Alas, Ki Ageng Sora Dipayana,
kakeknya, dan orang-orang lain yang setingkat dengan mereka itu. Namun
disamping itu, ia mendengar pula nasihat-nasihat Kebo Kanigara kepada gurunya.
Di dalam hati Arya Salaka timbul pula harapan, bahwa apabila ia bekerja dengan
tekun, iapun akan mampu pula menerima kekuatan seperti gurunya itu. Meskipun
demikian, di dalam hatinya tumbuh pula janji kepada dirinya sendiri bahwa iapun
akan berbuat seperti gurunya, seperti apa yang dinasihatkan oleh Kebo Kanigara.
Karena
angan-angannya itu, maka tiba-tiba merasa badan Arya Salaka bergetar. Bergetar
karena harapan pada masa yang akan datang, pada kesulitan-kesulitan yang masih
harus diatasi. Ketika kemudian Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar itu bangkit dari
tempat duduknya masing-masing untuk beristirahat, dan membaringkan diri mereka
masing-masing, Arya Salaka masih tetap berangan-angan. Tiba-tiba meloncatlah
perasaan rindunya kepada masa depan itu. Kepada masa dimana ia dapat menikmati
cerahnya sinar matahari, tanpa perasaan was-was dan gelisah, tanpa perasaan
cemas pada hari kemudian. Dan tiba-tiba saja ia merasa rindu pula kepada
keluarganya, kepada ibunya yang mengasuhnya pada masa kanak-kanaknya dengan
penuh kasih sayang, kepada ayahnya, yang meskipun terkadang-kadang marah
kepadanya, namun dengan penuh keikhlasan seorang ayah telah mendidiknya
menghadapi masa kemudian.
ARYA SALAKA
ingat benar betapa ayahnya berkata kepadanya, bahwa kelak ia akan menjadi
seorang pahlawan. Semula ia mengira bahwa seorang pahlawan adalah seorang yang
hebat berkelahi, yang tak terkalahkan oleh siapapun juga. Tetapi sekarang ia
berpendapat lain. Karena pergaulannya dengan gurunya, dan karena umurnya yang
semakin dewasa tahulah ia apa yang dimaksud dengan kata pahlawan. Arya Salaka
menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mencoba memejamkan matanya, malah
hilir-mudiklah bayangan-bayangan masa lampaunya, masa kini dan harapan-harapan
bagi masa mendatang. Meskipun ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk mencoba
melenyapkan bayang bayang itu, namun semakin ia berusaha, semakin jelaslah
bayangan-bayangan itu mengganggu. Ketika ia membuka matanya kembali, dilihatnya
sinar matahari yang masih sangat condong menembus dinding-dinding pondoknya,
membuat lingkaran-lingkaran cahaya di lantai. Di kejauhan terdengar riuh
burung-burung liar berkicau bersahutan. Suaranya terdengar betapa merdunya,
semerdu lagu puji-pujian terhadap Tuhan, yang memperkenankan mereka masih
menikmati indahnya pagi ini. Sekali-kali di tengah-tengah rimba, melengkinglah
kokok ayam hutan bersambutan, di sela-sela angin pagi yang berdesir lemah. Di
luar pondok itu, Arya Salaka mendengar orang berjalan hilir-mudik dalam
kewajiban masing-masing, diantar oleh suara gerit timba serta debur air orang
mandi. Tetapi bayangan di dalam rongga matanya masih saja mengganggu otak Arya
Salaka. Bahkan kemudian ia ikut pula dalam barisan-barisan angan-angan itu
seorang gadis yang nakal, namun cukup memiliki daya hidup yang menyala-nyala di
dalam dadanya. Mula-mula ia mencoba mengenal gadis itu baik-baik di dalam
angan-angannya. Bentuk tubuhnya, senyum serta tawanya yang renyah, seolah
tingkahnya yang penuh kejujuran.
“Ah…” desah
Arya Salaka. Sekali lagi ia mencoba melenyapkan bayang-bayang yang aneh-aneh
itu sambil menarik nafas panjang. Tetapi bayang-bayang itu tetap tegak di dalam
angan-angannya. Arya Salaka kemudian bangkit dari tempat pembaringannya. Perlahan-lahan
ia melangkah ke arah pintu. Ketika ia berdiri di atas tlundhak pintu itu, ia
melihat kakak-beradik Sendang Papat dan Sendang Parapat lewat di mukanya. Kedua
kakak-beradik itu dengan hormat membukuk kepadanya. Arya Salaka pun membungkuk
sambil tersenyum bangga. Ia bangga kepada anak-anak Banyubiru yang gigih itu.
Mereka ternyata tidak sekadar berbuat untuk mendapat pujian atau gelar-gelar
yang menyenangkan, atau hadiah yang berharga. Tetapi mereka melakukan semua itu
dengan penuh kesadaran. Sadar akan kewajibannya terhadap kampung halaman, sadar
akan kesetiaannya kepada tumpah darah. Dari ruang di sebelah, Arya mendengar
nafas gurunya mengalir dengan irama teratur. Agaknya Mahesa Jenar itu telah
tertidur dengan nyenyaknya. Tiba-tiba Arya Salaka pun menguap. Perlahan-lahan
ia menutup pintu pondok itu dan perlahan-lahan ia berjalan ke tempat
pembaringannya, untuk kemudian merebahkan diri. Karena lelah dan kantuk,
akhirnya iapun tertidur pula. Apa yang terjadi di perkemahan itu, ternyata
telah memberikan keyakinan yang lebih tebal lagi bagi Mahesa Jenar maupun Arya
Salaka, bahwa golongan hitam benar-benar telah meningkatkan kegiatannya. Mereka
untuk sementara memang dapat bekerja bersama, diantara mereka menghanyutkan
Banyubiru dengan harapan untuk menemukan keris-keris Kyai Nagasasra dan Kyai
Sabuk Inten, dan mempergunakan Banyubiru sebagai sasaran pertama dalam usaha
mereka membentuk pemerintahan yang akan dapat menjadi tandingan dari pemerintah
di Demak. Bahkan dengan tujuan terakhirnya, melenyapkan kekuasaan Demak.
Jelaslah
kemudian, siapakah yang mula-mula membuat rencana itu. Dengan desas desus serta
berbagai macam dalih dan alasan, akhirnya tergeraklah golongan hitam seluruhnya
untuk berusaha mendapatkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten, mereka
mengadakan semacam perjanjian, siapa yang memiliki keris sipat kandel Kraton
Demak itu akan diangkat menjadi pemimpin dari segenap gerombolan hitam yang
terserak-serak hampir di segenap sudut Demak. Dalam himpunan itu, mereka
mengharap dapat menguasai sebagian wilayah Demak dan mempergunakan wilayah itu
sebagai daerah pancatan untuk menandingi kekuasaan Demak. Dalam penelahan
Mahesa Jenar, rencana itu pasti timbul dari Pasingsingan. Apalagi ia telah
menyuruh Lawa Ijo untuk mengambil pusaka-pusaka dari perbendaharaan Istana,
yang sebenarnya perbuatan itu hanya sekedar usaha darinya untuk membuktikan
apakah kedua pusaka yang diperebutkan itu bukan sekadar turunannya saja.
Meskipun dalam ilmu mereka, Pasingsingan merasa tidak lebih tinggi dari Sima Rodra,
Bugel Kaliki, dan sebagainya, namun ia merasa bahwa ia memiliki kecerdasan dan
kemampuan berpikir lebih daripada mereka itu. Sehingga bagi Pasingsingan,
apabila keris-keris itu sudah berada di dalam salah seorang anggota gerombolan
hitam, baginya akan lebih mudah untuk mendapatkannya daripada apabila
pusaka-pusaka itu berada di istana atau di tangan golongan lain. Karena itu,
demikian Pasingsingan mendengar Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten jengkar
dari Istana, demikian ia menyusun rencananya. Tetapi rencana yang disusunnya
itu tak dapat dilaksanakannya dengan baik. Sebab tiba-tiba muncullah Lembu Sora
yang meskipun tidak termasuk di dalam golongan hitam, bahkan yang sebenarnya
mempunyai pertentangan kepentingan, namun dalam beberapa hal mereka menunjukkan
adanya persamaan perbuatan dan tingkah laku. Mereka sama-sama menaruh minat
yang besar terhadap Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten, tidak untuk diserahkan
kembali kepada yang berhak, tetapi mereka ingin kedua pusaka itu untuk diri
mereka sendiri.
DENGAN
demikian jelaslah bagi Mahesa Jenar, bahwa meskipun dalam gerak mereka dapat
mewujudkan irama yang senada, namun di dalam tubuh mereka itu, seperti api di
dalam sekam, setiap kali berkobarlah api pertentangan yang maha dahsyat untuk
memuaskan nafsu kekuasaan mereka masing-masing. Meskipun demikian Mahesa Jenar
yakin, bahwa mereka tak akan mampu untuk menyusun pemerintahan tandingan, namun
apabila mereka mulai melaksanakan rencana mereka, berarti akan terjadi
kekacauan dan keributan. Pembunuhan, perkosaan terhadap sendi perikemanusiaan
dan banyak lagi hal-hal yang akan terjadi. Rencana Pasingsingan menjadi semakin
terpecah belah, ketika kemudian Gajah Sora telah bertindak jauh mendahului
perhitungannya disusul dengan munculnya orang yang bernama Mahesa Jenar. Yang
ternyata adalah orang itulah yang menentukan kegagalannya. Karena itu, tak ada
jalan lain bagi Pasingsingan, kecuali membunuh Mahesa Jenar. Dalam keadaan yang
terakhir, muncullah rencana Pasingsingan yang mahahebat menurut perasaannya.
Mengarahkan segenap kekuatan golongan hitam untuk menghancurkan Banyubiru,
memusnahkan orang-orang seperti Mahesa Jenar, Lembu Sora, Sora Dipayana, laskar
Banyubiru kedua belah pihak, serta tunas-tunas masa depan, yaitu Arya Salaka
dan Sawung Sariti sekaligus. Mahesa Jenar dapat merasakan betapa dendam yang
tersimpan di dalam tubuh golongan hitam itu kepadanya. Tetapi adalah menjadi
tanggungjawabnya untuk menanggulanginya.
Rombongan dari
Nusakambangan yang datang ke Banyubiru, serta rombongan Alas Mentaok yang datang
di perkemahan ini, memperjelas keadaan. Ternyata ketajaman otak Mahesa Jenar
cukup mampu untuk mengurai segala sesuatu yang mungkin bakal terjadi, serta
yang telah direncanakan oleh golongan hitam itu.
Demikian
lelahnya Arya Salaka pada saat itu sehingga ia tertidur demikian nyenyaknya.
Ketika matahari telah lewat puncak langit, ia terkejut karena gurunya
membangunkannya. Ketika ia membuka matanya, dilihatnya Kebo Kanigara duduk
menghadap hidangan makan siang. Nasi jagung dengan lauk daging binatang buruan
dan sayur-sayuran.
“Tidakkah kau
lapar?” tanya Mahesa Jenar.
Arya Salaka
menggeliat. Kemudian iapun segera bangkit dan pergi mencuci mukanya, untuk
kemudian bersama-sama dengan Kebo Kanigara dan Mahesa Jenar, menikmati makan
siang dengan lahapnya. Ketika mereka telah selesai makan, serta sisa-sisa
makannya telah disingkirkan oleh Endang Widuri, tiba-tiba terdengarlah Mahesa
Jenar berkata seperti kepada diri sendiri,
“Itulah yang
aku cemaskan, Kakang.”
Arya Salaka
tidak tahu maksud kata-kata itu. Agaknya gurunya telah lama membicarakan
sesuatu masalah dengan Kebo Kanigara. Kebo Kanigara mengangguk kecil. Tampaknya
iapun sedang berpikir. Sesaat kemudian iapun menjawab,
“Kita
dihadapkan pada kemungkinan-kemungkinan yang tak menyenangkan.”
Arya memandang
kedua laki-laki itu tanpa berkedip. Sebenarnya ingin juga ia mengetahui
persoalannya, namun ia tidak berani bertanya. Ia menjadi semakin tertarik pada
persoalan itu, ketika dilihatnya wajah gurunya menjadi bersungguh-sungguh.
Beberapa saat mereka kemudian berdiam diri. Seakan-akan masing-masing terbenam
dalam persoalan yang kurang menyenangkan. Di luar terik matahari seperti
membakar daun-daun rerumputan yang menjadi kering karenanya. Tidak seberapa
jauh dari pondok itu terdengar orang menumbuk padi dan jagung. Suaranya
beruntun seperti suara orang berlagu dengan irama yang tetap. Di arah lain
terdengar suara tempaan besi gemerinting bersahut-sahutan. Beberapa orang
pandai besi sudah bekerja keras untuk membuat atau memperbaiki alat-alat
pertanian dan bahkan ada diantara mereka yang membuat senjata.
Kemudian
terdengarlah Mahesa Jenar berkata,
“Kakang, aku
kira, aku perlu memberikan keterangan keterangan mengenai tugas kita kepada
Arya Salaka.”
Kebo Kanigara
mengangguk mengiyakan, jawabnya,
“Berilah ia
gambaran apa yang sudah terjadi dan apa yang kira-kira akan terjadi.”
Arya Salaka
mengingsar duduknya. Ia menjadi bergembira. Dengan demikian ia mengharap akan
dapat mengetahui kesulitan-kesulitan apakah yang sedang membebani perasaan
gurunya serta Kebo Kanigara.
“Arya…” kata
Mahesa Jenar,
“Aku akan
menceritakan perjalanan kami sebagai utusanmu ke Banyubiru. Aku akan mengatakan
apa adanya, supaya kau mendapat gambaran yang benar terhadap daerahmu, serta
orang-orang yang sedang berada di sana.”
Arya Salaka
mendengarkan kata-kata Mahesa Jenar dengan penuh minat. Ketika kemudian Mahesa
Jenar menceriterakan apa yang telah dialami selama ini, maka kata demi kata
diperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan seolah-olah ia sendiri ikut
serta mengalami perjalanan yang kurang menyenangkan itu.
MAHESA JENAR
menceriterakan apa yang telah terjadi, namun ia mencoba untuk tidak menimbulkan
kecemasan, apalagi ketakutan pada Arya Salaka. Ia mencoba untuk menyingkirkan
sentuhan-sentuhan pada perasaan anak itu. Sebab ia tahu benar, betapa halusnya
perasaan Arya Salaka sebagai seorang anak yang sejak belasan tahun harus sudah
berpisah dari ikatan kasih sayang ayah bundanya. Meskipun demikian Mahesa Jenar
dan Kebo Kanigara terkejut mendengar pertanyaan Arya Salaka yang pertama. Ia tidak
bertanya tentang kemungkinan-kemungkinan bagi dirinya sendiri. Ia tidak
bertanya, apakah dirinya masih mempunyai kemungkinan untuk kembali ke tanah
pusakanya yang telah lama terlepas dari tangannya. Ia tidak bertanya apakah
masih ada kemungkinan baginya untuk kembali ke Banyu Biru sebagaimana ayahnya.
Tetapi pertanyaan yang pertama-tama diucapkan oleh anak muda itu adalah,
“Paman,
tidakkah Paman bertemu dengan Bunda?”
Mahesa Jenar
menarik nafas dalam-dalam. Beberapa saat ia berpandangan saja dengan Kebo Kanigara.
Bagaimana ia akan menjawab pertanyaan itu. Memang dalam saat yang gawat,
seperti yang dihadapinya pada saat itu, terlupakanlah kepentingan-kepentingan
lain, sehingga pada saat itu ia tidak bertanya dan berusaha menemui Nyai Ageng
Gajah Sora. Karena itulah maka ia tidak berceritera tentang orang itu. Arya
Salaka yang mendengarkan setiap kata demi kata, menjadi kecewa ketika ceritera
Mahesa Jenar itu berakhir tanpa menyebut ibunya, justru ibunya itu bagi Arya
Salaka adalah suatu kepentingan yang tak kalah artinya dari segenap
kepentingan-kepentingan yang lain.
Akhirnya
Mahesa Jenar menjawab,
“Arya, aku
minta maaf kepadamu, bahwa aku tidak mendapat kesempatan sama sekali untuk
berbuat lebih banyak dari yang sudah aku lakukan. Sehingga dengan demikian aku
tidak dapat menemui Nyai Ageng Gajah Sora. Tetapi karena kakekmu Ki Ageng Sora
Dipayana tidak mengatakan sesuatu, aku kira ibumu itupun tidak mengalami
sesuatu.”
Mendengar
jawaban itu Arya Salaka menundukkan wajahnya. Ia benar-benar kecewa. Demikian rindunya
ia kepada ibunya, sehingga rasa-rasanya ia meloncat langsung ke Banyu Biru saat
itu juga. Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara dapat menyelami perasaan anak itu
sedalam-dalamnya. Mereka merasa juga bahwa Arya telah menyalahkan mereka,
kenapa mereka sama sekali tidak ingat kepada orang yang telah melahirkan,
membesarkan dengan penuh kasih sayang. Maka berkatalah Mahesa Jenar
perlahan-lahan dan hati-hati untuk menentramkan hati anak itu,
“Arya,
tenangkanlah hatimu. Berbanggalah kau, karena kau telah menjauhkan kepentingan
pribadimu, terpisah dari ayah bunda, tetapi dengan menjunjung tinggi pengabdian
diri terhadap sesama, terhadap rakyatmu dan terhadap Tuhanmu, sebagai sumber
dari pengabdianmu menegakkan kebenaran dan keadilan.”
Arya Salaka
masih saja menundukkan wajahnya. Namun kata gurunya itu meresap pula di dalam
kalbunya. Akhirnya ia mencoba untuk menghadapi kenyataan itu sebagai seorang
laki-laki. Bagaimanapun kerinduan itu bergolak di dalam dadanya, namun ia
mencoba untuk menekannya kuat-kuat. Bukankah kepentingan rakyatnya jauh lebih
berharga dari kepentingan diri? Seandainya ia kemudian tenggelam dalam duka
karena perasaan rindunya kepada bunda, apakah yang akan dapat disumbangkan
kepada tanah perdikan Banyu Biru, tanah pusakanya? Karena itu maka kemudian ia
mengangkat wajahnya.
Dengan penuh
tekad ia berkata,
“Paman,
biarlah aku lupakan perasaan rinduku kepada bunda. Lalu apakah yang harus aku
kerjakan?”
Mahesa Jenar
mengangguk-anggukkan kepalanya dengan bangga.
Katanya,
“Demikianlah
putra Ki Ageng Gajah Sora….Tengadahkanlah dadamu, besarkanlah hatimu. Sebab di
depanmu ternganga jurang kewajiban yang maha besar. Nah anakku, bersiaplah
untuk dapat beberapa hari ini bersama-sama dengan segenap laskarmu, datang ke
Banyu Biru.”
Tiba-tiba
wajah Arya Salaka jadi berseri. Dengan demikian ia akan bertemu kembali dengan
tanah tercinta, dengan sawah ladang kampung halaman, meskipun mungkin harus
ditebusnya dengan darah. Beberapa saat kemudian, berjalanlah Arya Salaka
meninggalkan pertemuan itu. Ia tidak tahu, kenapa yang mula-mula dilakukan
adalah pergi kepada Endang Widuri dan mengabarkan rencana pamannya itu
kepadanya.
“Kita akan
bersama-sama ke Banyu Biru?” tanya Endang Widuri yang tiba-tiba menjadi
bergembira pula.
“Ya,” jawab
Arya Salaka.
“Aku akan
dapat melihat rumahmu yang pernah kau ceriterakan kepadaku dahulu di lereng
pegunungan Telamaya,” sahut Widuri dengan mata yang berkiliat-kiliat.
“Bukankah
begitu?”
“Ya,” jawab
Arya Salaka singkat.
“Dari halaman
rumahmu dapat kita lihat wajah Rawa Pening yang berkilau…?” Widuri meluruskan.
“Bukan dari
halaman rumahku, tetapi dari alun-alun di muka rumahku.”
Arya Salaka
membetulkan.
“Ya. Dari
alun-alun di muka rumahmu. Jadi rumahmu itu mempunyai alun-alun?” tanya Endang
Widuri.
“Hem…” Widuri
meneruskan,
“Kalau begitu kau
adalah anak seorang yang kaya dan terhormat. Menurut ayahku, di muka istana
Demak pun ada alun-alun.”
“Tidak
selalu,” potong Arya,
“Ayahku
bukanlah orang yang kaya. Tetapi adalah lazim bahwa di muka rumah kepala daerah
perdikan terdapat alun-alun. Di Pamingit juga ada alun-alun. Di Pangrantunan,
bekas rumah kakek dahulu juga terdapat alun-alun. Bahkan di muka rumah
kademangan Paman Sarayuda di Gunungkidul, katanya ada alun-alun juga.”
“Kapan kita
berangkat?” Tiba-tiba Endang Widuri bertanya seolah-olah tidak sabar lagi
menunggu sampai esok.
ARYA SALAKA
menggelengkan kepalanya.
“Entahlah,”
jawabnya.
“Sebulan… dua
bulan… atau setahun lagi…?” tanya Endang pula.
“Seharusnya
Arya Salaka lah yang paling tidak bersabar.” Tiba-tiba terdengar suara Rara
Wilis dari belakang mereka.
Segera mereka
itu pun menoleh. Dan tiba-tiba terbersitlah perasaan malu di dalam dada Endang
Widuri. Perasan yang selama ini belum pernah dirasakannya. Karena itu pipinya
pun kemudian menjadi merah. Tetapi perasaan itu hanya sebentar menjalar di
dalam dirinya, kemudian kembali terdengar suaranya renyah,
“Kakang Arya
Salaka pun sebenarnya tidak bersabar pula. Tetapi ia tidak mau mengatakannya.
Sedang aku menjadi sangat ingin melihat kehidupan bukit Telamaya dan kecerahan
wajah Rawa Pening di pagi yang bening.”
Rara Wilis
tersenyum. Sebenarnya di dalam hatinya sendiripun tersimpan pula harapan, agar
segala sesuatunya menjadi lekas terselesaikan. Sebagai seorang gadis ia lebih
mudah tersentuh oleh perasaan rindu kepada keluarga. Kepada hidup kekeluargaan
yang lumrah. Meskipun di dalam tubuhnya mengalir juga darah pengembara dari
kakeknya, Pandan Alas, namun baginya lebih baik hidup tentram damai dalam
pelukan keluarga yang bahagia. Bermain-main dengan anak dan suami serta
bergurau dengan tetangga.
Rara Wilis
menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun ikut duduk bersama dengan Arya dan
Endang Widuri. Ikut bercakap-cakap dengan mereka itu, untuk melupakan
kerinduannya pada masa yang diimpikan. Namun ia pun sadar sesadar-sadarnya,
bahwa ia harus mengutamakan membantu orang yang dicintainya dalam mengemban
kewajiban. Ia harus dapat menekan diri, dalam pergolakan masa kini.
Tetapi agaknya
Mahesa Jenar tidak menunda-nunda waktu lebih lama. Ketika matahari pada sore
hari itu terbenam, mulailah ia mengumpulkan beberapa orang pemimpin laskar
Banyubiru, di gardu pimpinan. Kebo Kanigara, Rara Wilis bahkan Endang Widuri
pun hadir pula. Mantingan, Wirasaba, Wanamerta, Bantaran, Panjawi, Jaladri,
Sedang Papat, Sendang Parapat, dan beberapa orang lagi. Dalam kesempatan itu
Mahesa Jenar membeberkan segala sesuatu mengenai persoalan yang rumit yang
menyangkut diri Arya Salaka. Karena itu ia ingin membawa Arya Salaka ke
Banyubiru. Tetapi tidak dalam rombongan kecil, tetapi mereka bersama-sama akan
berangkat, sebagai suatu pernyataan bahwa apabila terpaksa, laskar Banyubiru
yang setia itupun memiliki kekuatan yang tak dapat diabaikan. Dalam keriuhan
sambutan yang bergelora, disertai dengan keikhlasan berkorban dari para
pemimpin laskar, terdengar Mahesa Jenar berkata,
“Laskar
Banyubiru yang setia, kalian harus ingat akan tujuan kalian. Sekali lagi aku
katakan, kita kembali ke Banyubiru tidak akan membalas dendam. Kita datang ke
Banyubiru untuk kepentingan kebenaran dan keadilan, untuk kepentingan
kemanusiaan. Karena itu jangan berbuat hal-hal yang bertentangan dengan
kemanusiaan. Bertentangan dengan perasaan keadilan dan bertentangan dengan
sendi-sendi kemanusiaan.”
Pertemuan itu
menjadi hening. Suatu pertanda bahwa kata-kata Mahesa Jenar itu benar-benar
meresap ke dalam dada setiap orang yang mendengarkan. Kemudian terdengarlah ia
melanjutkan,
“Ingatlah
bahwa kalian berada dalam satu pimpinan. Jangan berbuat sendiri-sendiri yang
dapat merugikan nama baik kalian sebagai pejuang. Nah, sejak besok pagi,
bersiagalah untuk setiap saat berangkat ke Banyubiru.”
Laskar
Banyubiru yang setia itu menyambut pernyataan Mahesa Jenar dengan penuh tekad.
Mereka menyingkir ke daerah Candi Gedong Sanga karena mereka sama sekali tidak
mau menerima keadaan yang menyedihkan di tanah mereka. Karena itu ketika mereka
mendapat kesempatan untuk kembali ke Banyubiru, mongkoklah hati mereka. Mereka
tidak mengharap hal yang berlebih-lebihan. Mereka tidak mengharap untuk
kemudian menjadi Demang, Lurah atau Bahu. Tetapi mereka sekedar mengharap pemerintahan
yang adil dan jujur, berlandaskan pada sendi-sendi yang telah diletakkan sejak
masa pemerintahan Ki Ageng Sora Dipajana.
Sebagai
seorang yang patuh kepada agamanya, Ki Ageng Sora Dipajana mendasarkan
pemerintahannya kepada ketaatannya, pengagungan dan kebaktiannya kepada Tuhan
Yang Maha Esa sebagai sumber tindak tanduk dan tingkah lakunya di dalam
menjalankan pemerintahan, cinta kasih kepada sesama, kepada manusia sebagaimana
Tuhan menjadikan manusia dengan penuh Cinta kasih, kepada tumpah darah, kampung
halaman serta lingkungan yang dikurniakan Tuhan kepada manusia. Mendasarkan
pemerintahan pada kepentingan rakyatnya serta mendengarkan dan melaksanakan
pendapat mereka untuk kesejahteraan mereka lahir dan batin. Tidak hanya dalam
ucapan penghias bibir, tetapi benar-benar dalam pengamalan dan perbuatan.
Sendi-sendi itu pulalah yang kemudian diterapkan dalam pemerintahan Ki Ageng
Gajah Sora di Banyubiru. Tetapi sejak masih berada di Pamingit, adiknya Ki
Ageng Lembu Sora agaknya sedikit demi sedikit tersesat dari jalan itu. Sedikit
demi sedikit ia tenggelam dalam kepentingan diri sendiri, nafsu lahiriah yang
kadang-kadang sama sekali bertentangan dengan sendi-sendi dasar yang menurut
pengakuannya juga dianutya. Tetapi apakah artinya pernyataan, pengakuan dan
kesediaan yang diteriakkan sampai menyentuh langit, namun dalam tindak tanduk
dan tingkah lakunya bertentangan dengan kata-katanya…? Apakah artinya janji
yang tidak pernah ditepati…? Apakah artinya pengabdian diri yang hanya berupa
pameran lahiriah tanpa satunya kata dan perbuatan…? Beberapa orang yang pernah
mengalami penderitaan lahir batin dapat menjadi saksi. Lapangan-lapangan yang
pernah dipergunakan sebagai tempat penyelenggaraan tayub, mabuk-mabukan dan adu
jago merupakan saksi-saksi bisu pula. Sedang tempat ibadah yang semakin hari
semakin susut dikunjungi orang dapat merupakan saksi-saksi yang tak dapat
dibantah. Penganiayaan dan tindak sewenang-wenang betapapun alasannya. Sebab
sebenarnya bahwa pelanggaran atas azas-azas kemanusiaan adalah pelanggaran pula
dari azas-azas ke-Tuhan-an.
ITULAH yang
tidak dikehendaki oleh orang-orang Banyubiru yang setia. Setia kepada
sendi-sendi dasar pemerintahan itu. Dengan demikian, ketika matahari mulai
menjengukkan wajahnya di keesokan harinya, sibuklah laskar Banyubiru
mempersiapkan diri. Mereka mempertinggi irama latihan mereka, mempertajam
pedang serta tombak mereka. Meskipun senjata-senjata itu bukan mutlak harus
dipergunakan, namun terhadap orang yang bernama Lembu Sora dan Sawung Sariti,
hal yang demikian itu tak dapat dikesampingkan. Hari itu Mahesa Jenar dan Kebo
Kanigara sendiri memerlukan menyaksikan latihan-latihan yang diselenggarakan
tanpa mengenal lelah. Beberapa kali kedua orang sakti itu langsung memberikan
nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk. Bahkan beberapa orang yang cukup kuat,
langsung mendapat latihan-latihan khusus dari Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara
disamping usaha-usaha yang terus-menerus yang dilakukan oleh Mantingan,
Wirasaba dan pimpinan laskar mereka sendiri. Pada hari ketiga, ketika Mahesa
Jenar menganggap bahwa waktunya telah masak, dipersiapkannya laskar Banyubiru
itu. Dan pada suatu pagi yang cerah, didahului oleh pengantar kata dari setiap
pimpinan kelompok, untuk memperteguh jiwa anak-anakBanyubiru itu, menjalarlah
sebuah iringan yang seperti ular menelusuri jalan-jalan perbukitan. Di ujung
barisan itu berjalanlah Mahesa Jenar di samping Arya Salaka. Kemudian di
belakangnya berjalan seenaknya Endang Widuri di samping ayahnya. Perhatiannya
sama sekali tidak tersangkut pada perjalanan yang penting ini, tetapi ia lebih
senang memberhatikan lembah yang berwarna hijau kekuning-kuningan, diantara
batu-batu padas yang merah tembaga menjorok seakan-akan menghadang perjalanan
itu.
Sinar matahari
pagi yang dilemparkan ke lembah-lembah itu menari dengan lincahnya
mempermainkan titik-titik embun yang masih tersangkut di ujung-ujung daun.
Ketika Arya Salaka muncul dari balik sebuah bukit kecil, tiba-tiba dadanya
berdesir. Tanpa sesadarnya ia berhenti. Mahesa Jenar cepat dapat mengetahui
perasaan apakah yang bergolak di dalam dada anak itu. Cepat Mahesa Jenar
menariknya ke tepi dan memberi isyarat kepada pasukannya untuk berjalan terus.
Ketika Endang Widuri lewat beberapa langkah di depan Arya Salaka, ia menoleh
kepadanya dengan heran. Tetapi ia tidak bertanya sesuatu, sebab kemudian
kembali ia tertarik pada dataran yang berkilat-kilat memantulkan cahaya
matahari yang sudah cukup tinggi.
No comments:
Post a Comment