Bagian 065


KETIKA para pengikut Sontani mulai menyerang Sendang Papat, orang-orang yang memihak Wanamerta pun mulai bergerak pula. Tetapi orang-orang Sontani itu telah merasa bahwa mereka tidak akan mempu melawan kemarahan orang-orang yang jauh lebih banyak dari jumlah mereka. Karena itu sebagian besar dari mereka segera melarikan diri ke dalam kegelapan malam. Yang tinggal kemudian hanyalah kelima orang yang bersama-sama bertempur melawan Sendang Papat itulah. Karena mereka bersenjata, mereka merasa bahwa mereka akan mampu mempertahankan diri mereka. Wanamerta, yang tak jauh dari mereka, melihat keributan timbul kembali. Cepat ia berlari untuk mengetahui apakah yang terjadi. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat Sendang Parapat terbaring di tanah dengan darah yang mengalir dari lukanya. Ia melihat dua orang yang datang bersama dari Gedong Sanga berusaha untuk menahan darah yang mengalir itu. Sedang seorang lagi agaknya ikut serta berkelahi melawan orang Sontani.
Wanamerta kemudian menekan dadanya, ketika ia melihat Sendang Papat mengamuk tanpa dapat mengendalikan dirinya sama sekali. Beberapa saat Wanamerta berdiam diri dengan cemas.

Perkembangan keadaan itu agaknya sama sekali tidak seperti yang dikehendaki Wanamerta, meskipun darinya ia dapat mengambil keuntungan-keuntungan. Dengan demikian ia telah dapat menempatkan beberapa bagian orang-orang Banyubiru itu kepada kesadarannya kembali. Tetapi peristiwa yang terjadi ini dapat membawa akibat yang buruk. Meskipun hanya sementara. Pada saat itu Wanamerta sudah tidak melihat Sontani lagi. Orang itu lari terbirit-birit ketika terbuka kesempatan, tanpa mempedulikan lagi apakah orang-orangnya masih berkelahi terus, dan apakah ada diantara mereka yang menjadi korban. Yang penting baginya adalah menyelamatkan diri sendiri. Yang mula-mula dilakukan oleh Wanamerta adalah menyuruh kedua orang yang berusaha untuk membendung darah yang keluar dari lambung kiri Sendang Parapat itu untuk membawanya ke tepi.
Kemudian kepada kedua orang itu, Wanamerta bertanya,
“Bagaimana luka itu?”
“Berat Kiai,” jawab salah seorang diantaranya.
“Adakah kau kenal seorang yang dapat kau percaya di sekitar tempat ini?” tanya Wanamerta pula. Kedua orang itu berpikir.
Kemudian salah seorang menjawab,
“Bagaimana dengan Kakang Prana?”

Wanamerta mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian ia mengangguk-angguk.
“Aku kira ia baik. Bawalah Sendang Parapat kepadanya. Kami akan menyelesaikan beberapa persoalan di sini. Kami akan menyusul kau nanti ke sana. Aku sendiri masih harus mengawasi Sendang Papat yang kehilangan keseimbangan.”
“Tak dapat disalahkan,” gumam orang itu seperti kepada diri sendiri.
“Ya,” jawab Wanamerta singkat. Kemudian ia berkata,
“Nah pergilah kepada Prana. Usahakan obat-obatan apapun buat luka itu. Barangkali daun metir, atau sarang labah-labah.”
“Baik Kiai,” sahut orang itu sambil berdiri dan mengangkat tubuh Sendang Parapat ke rumah Ki Prana yang tak jauh dari lapangan itu.
Mereka mengharap akan dapat beristirahat dan menyembunyikan Sendang Parapat yang terluka itu. Sepeninggal kedua orang itu, kembali Wanamerta mendekati Sendang Papat yang sedang ngamuk. Beberapa orang telah berdiri di sekitar tempat itu dan beberapa orang lagi berbondong-bondong berlari-lari ke titik perkelahian itu pula. Mereka itu datang kembali setelah mengejar-ngejar orang-orang Sontani. Tiba-tiba salah seorang yang baru datang itu dengan nafas tersengal-sengal berteriak,
“Bunuh saja mereka semua, bunuh saja.”
“Bunuh… bunuh….” sahut yang lain.

WANAMERTA menjadi semakin cemas. Dengan demikian permusuhan antara orang-orang Banyubiru itu akan bertambah menjadi-jadi. Karena itu Wanamerta segera bertindak. Ia mengharapkan pertanggunganjawab sepenuhnya terletak di bahunya, setidak-tidaknya pada Sendang Papat. Maka segera ia meloncat maju sambil berteriak,
“Jangan ganggu mereka. Biarkan mereka bertempur dengan jujur.”
Beberapa orang menjadi heran mendengar kata-kata Wanamerta itu. Mereka benar-benar tidak tahu maksudnya. Mereka mengira bahwa Wanamerta pun akan sependapat dengan mereka. Bahkan seorang yang berdiri di deretan paling depan bertanya,
“Bagaimanakah perkelahian itu dapat disebut jujur? Adi Sendang Papat hanya seorang diri tanpa senjata, harus melawan lima orang bersenjata.”
Wanamerta melangkah maju semakin dekat. Ia tidak melihat kesulitan pada Sendang Papat, karena itu ia menjawab,
“Jangan takut. Malah kalian harus bangga bahwa Sendang Papat bertempur melawan lima orang sekaligus. Lihatlah apa yang akan terjadi.”

Tetapi Sendang Papat sendiri sama sekali tidak mendengar mereka merasa cemas, bahwa Sendang Papat akan mengalami bencana seperti adiknya. Kemudian tak seorangpun berbicara lagi. Mereka dengan seksama memperhatikan perkelahian itu. Tetapi bagaimanapun juga pembicaraan itu. Ia sama sekali tidak melihat Wanamerta dan tidak tahu bahwa sekian banyak orang, perhatiannya tercurah kepadanya. Yang ia ketahui adalah gelora dadanya sendiri. Gelora kemarahan yang meluap-luap. Sendang Parapat adalah satu-satunya saudaranya. Sejak kecil keduanya tidak pernah berpisah. Seolah-olah mereka mampunyai ikatan batin yang sedemikian eratnya. Sakit bagi yang seorang adalah sakit pula bagi yang lain. Tiba-tiba sekarang di hadapan hidungnya ia melihat adiknya jatuh berlumurah darah. Karena itu otaknya menjadi terguncang dan karena itu ia kehilangan kesadaran. Sedang lima lawannya tiba-tiba menjadi cemas. Mereka melihat rakyat yang marah itu mengitarinya. Tetapi mereka merasa bahwa seolah-olah mereka telah terjebak di dalam kepungan. Karena itu mereka tidak mungkin lagi untuk melarikan diri. Dengan demikian maka merekapun mengamuk pula. Mereka harus bertempur mati-matian, sambil menunggu perkembangan keadaan. Mereka mengharap Sontani datang membantu, atau Sontani akan datang dengan kawan-kawan yang lebih banyak lagi, sukar kalau Sontani dapat menghubungi pasukan Pamingit. Apalagi ketika mereka mendengar kata-kata Wanamerta, mereka merasa bahwa orang-orang Banyubiru tidak akan berani bertindak terhadap mereka. Sebab dengan demikian pasti akan terjadi bencana bagi mereka itu.

Tetapi meskipun orang-orang Banyubiru itu tidak bertindak apa-apa terhadap mereka, namun akan sama sajalah akibatnya. Sebab Sendang Papat yang mata gelap itu, tendangannya jauh lebih menakutkan daripada seandainya orang-orang Banyubiru itu menyerang mereka beramai-ramai. Sekali-sekali mereka mencoba juga untuk mencari jalan melarikan diri, tetapi orang-orang yang berdiri di sekitar tempat itu sudah sedemikian tepatnya. Karena itu tidak ada pilihan lain, bertempur mati-matian. Perkelahian itu berlangsung beberapa lama. Sendang Papat yang mata gelap terpengaruh oleh kemarahannya, melawan lima orang yang mata gelap karena putus asa. Sebab setelah sedemikian lama belum juga Sontani datang membantu, mereka tidak dapat menghadapinya lagi. Orang-orang yang ada di sekitar perkelahian itu, semakin lama menjadi semakin terpaku oleh perasaan kagum atas tandang Sendang Papat yang hanya seorang diri melawan lima orang yang bersenjata. Bahkan Wanamerta sendiri pun heran melihat Sendang Papat bertempur. Seolah-olah kekuatan serta kelincahannya bertambah-tambah. Bahkan seolah-olah ia bergerak tidak atas kehendak dirinya. Demikianlah seorang yang sedang meluap-luap. Tanpa sesadarnya sendiri segala ilmu yang tersimpan tercurah seperti hujan yang melimpah. Apa yang terjadi kemudian adalah sangat mengejutkan. Tiba-tiba Sendang Papat berhasil merampas sebuah belati dari salah seorang lawannya, dan sebelum seorang sempat melihatnya, terdengarlah sebuah teriakan nyaring, dan salah seorang dari lawan-lawannya itu rubuh di tanah. Darah yang merah menyembur dari dadanya.
“Sendang Papat…!” teriak Wanamerta cemas. Tetapi Sendang Papat sama sekali tidak mendengarnya. Bahkan sesaat kemudian seorang lagi mengaduh keras dan menggelepar tak berdaya. Tiga orang yang lain, betapapun mereka tak mengenal takut pada mulanya, namun setelah mereka melihat kenyataan itu, hati mereka pun berdesir. Sekali lagi mereka mencoba melihat keadaan sekeliling mereka, dan tiba-tiba mereka berteriak sambil meloncat ke arah orang-orang yang sedang menyaksikan perkelahian itu.

Beberapa orang terkejut dan bergerak mundur. Dengan serta-merta, mereka mendesak menyusup ke dalam kepepatan orang-orang yang merubungnya. Tetapi agaknya salah seorang dari mereka mengalami nasib yang malang. Sendang Papat sempat menangkap lehernya dan tanpa ampun lagi, belati kecilnya menyusup diantara tulang-tulang iganya. Terdengar sekali ia memekik tinggi, kemudian terdiam untuk selama-lamanya. Tiga orang telah menggeletak berlumuran darah yang mengalir dari mulutnya. Namun agaknya Sendang Papat sama sekali belum puas.
Dengan marahnya ia berteriak nyaring,
“Tangkap iblis-iblis itu.”
Orang-orang yang mengaguminya, tiba-tiba menjadi cemas pula melihat wajah anak muda yang menjadi liar itu. Mereka hanya dapat menyibak ketika Sendang Papat meloncat mengejar dua orang lagi yang mencoba menyelamatkan diri. Mereka, yang berdiri memagar lingkaran pertempuran itu, malahan terpaku diam, dan membiarkan kedua orang lawan Sendang Papat itu menyusup diantara mereka, dan membuat keributan bagian belakang lingkaran itu. Untunglah bahwa malam itu cukup gelap.

SINAR obor yang menyala agak jauh dari tempat itu, sama sekali tertutup oleh bayangan-bayangan orang-orang yang bergerak-gerak di sekitar tempat itu. Dengan demikian maka Sendang Papat mendapat banyak kesulitan untuk menemukan kedua orang yang melarikan diri menyusup diantara sekian banyak orang yang kemudian dari ujung lapangan mereka meloncat ke dalam gerumbul-gerumbul di tepi tanah lapang itu. Ketika Sendang Papat tidak berhasil menemukan kedua orang lawannya, menjadi semakin marah. Seperti orang yang hilang ingatan ia berteriak,
“Hai, orang-orang Banyubiru… di mana kedua orang gila itu? Kenapa kalian hanya diam menonton seperti menonton tayub. He, di mana…? di mana…?”
Tak seorangpun menjawab. Sendang Papat dengan liar memandang ke segenap arah. Namun kedua orang itu tak dapat diketemukan.
Tiba-tiba mata Sendang Papat menyangkut pada seperangkat gamelan, obor-obor yang menyala-nyala, beberapa dingklik dasaran tuak dan minum-minuman semacamnya, air tape yang dikentalkan, badhek dan sebagainya. Hatinya yang marah itupun menjadi semakin menyala seperti obor-obor itu dibongkok bersama-sama. Gamelan yang seperangkat itupun merupakan salah satu sumber kemunduran akhlak di Banyubiru, merupakan salah satu sebab rakyat Banyubiru kehilangan gairah pada perjuangannya.
Sendang Papat adalah seorang penari yang mencintai gamelan seperti ia menyayangi pakaian-pakaiannya. Tetapi gamelan yang seperangkat ini, yang berada di tanah lapang untuk mengiring tayub dan mabuk-mabukan, adalah gamelan yang mengkhianati kemurnian seni, serta menerapkan seni dalam perjuangan yang tak terkendali.

Tiba-tiba Sendang Papat meloncat sambil berteriak,
“He, orang-orang Banyubiru, adakah kalian masih akan menyelenggarakan tari-tarian gila seperti malam-malam yang pernah kau lalui dengan gila-gilaan?”
Tak seorangpun yang menjawab.
“Dengar…!” teriak Sendang Papat,
“Aku akan membakar gamelan yang telah menghantarkan kalian pada keadaan yang cemar ini. Kalau kalian keberatan, lawanlah aku. Tetapi kalau kalian sependapat, ikutlah aku.”
Juga tak seorangpun menjawabnya. Karena itu tiba-tiba dengan sigapnya Sendang Papat berlari ke arah gamelan yang dibencinya itu. Dengan tangkasnya pula tangannya menyambar sebuah obor di tangan kiri dan satu obor lagi di tangan kanan. Dilemparkannya kedua obor itu ke tengah-tengah jajaran gamelan itu. Tidak hanya dua obor, tetapi tiga, empat dan lampu-lampu minyak di dingklik-dingklik itu disepak-sepaknya.
Bahkan kemudian orang-orang yang melihat perbuatannya itu menjadi terpengaruh pula. Dengan serta merekapun tiba-tiba sambil berteriak-teriak mencabut segala obor yang berada di tanah lapang itu dan dilemparkan bersama-sama ke arah seperangkat gamelan itu.
“Bakar saja, bakar saja…!” teriak mereka bersama-sama.
Obor-obor itupun kemudian menyala berkobar-kobar. Minyak yang berada di dalam bumbung pun kemudian tumpah ruah dan membasahi gamelan-gamelan itu. Karena itulah maka sesaat kemudian, apipun menyala-nyala dengan garangnya, seolah-olah hendak menyentuh langit. Lidah api yang dihembus angin perlahan-lahan, bergoyang-goyang seperti penari-penari yang menari-nari dengan riangnya di atas gamelan yang sedikit demi sedikit hangus dimakannya. Tanah lapang itu kemudian menjadi terang benderang. Beberapa orang berusaha menyelamatkan dagangan-dagangan mereka. Tuak, minuman-minuman biasa, makanan dan apa saja diatas dasaran mereka. Tetapi api mengamuk demikian hebatnya. Dingklik-dingklik, warung-warung kacang itupun dalam sekejap telah lenyap dalam pelukan penari maut yang menari-nari dengan iringan lagu derak-berderaknya gamelan dan bambu-bambu yang terbakar.

Orang-orang Banyubiru itu seperti kelompok orang-orang yang kehilangan akal dan kesadaran. Mereka menghancurkan apa saja yang dapat mereka pegang di tanah lapang itu. Kembali Wanamerta menekan dadanya. Keadaan berkembang sedemikian cepatnya. Tetapi ia tidak menyalahkan Sendang Papat. Sebab telah jatuh korban di pihaknya, karena kelicikan lawannya. Yang dipikirkan kemudian, bagaimanakah tanggapan Mahesa Jenar atas kejadian ini. Kejadian yang terang tidak dikehendakinya. Tetapi kalau Mahesa Jenar mengalami sendiri peristiwa-peristiwa ini, maka iapun akan dapat mengerti. Api semakin lama semakin tinggi menggapai-gapai di udara. Asap yang hitam membubung tinggi ke langit. Melihat api serta asap itu, Wanamerta dapat memperhitungkan keadaan. Mau tidak mau, cahaya merah yang mewarnai kehitaman malam itu pasti akan dapat dilihat oleh orang-orang Lembu Sora. Karena itulah maka mereka pasti akan datang. Dan dengan demikian keadaan akan bertambah buruk. Selagi masih ada kesempatan Wanamerta ingin mencoba menghindarkan orang-orang Banyubiru dari bentrokan bentrokan yang lebih besar. Dengan demikian ia menyusup diantara orang banyak yang seperti anak anak bermain api mendekati Sendang Papat. Ketika ia sudah berada dibelakang anak muda itu ia menggapitnya Sendang Papat menoleh kearahnya. Matanya masih merah diwarnai kemarahan yang meluap luap. Wanamerta beragu sejenak, tetapi akhirnya ia berkata
”Sendang, hentikan permainan ini.” Sendang Papat memandang wajah Wanamerta dengan kecewa, bantahnya
”Aku harus membunuh semua orang yang telah bersetuju untuk membunuh adikku.”
“Baiklah Sendang, aku akan membantumu. Tetapi tidak sekarang dan tidak dalam kesempatan ini.” jawab Wanamerta lunak.
“Kenapa aku dapat melakukannya? mereka sudah mulai sekarang.” bantah Sendang Papat.
“Bukan sekarang Sendang, bahkan telah lama. Dan selama ini kami masih mencari cari jalan untuk menyelesaikan masalah kita dengan orang orang yang telah keblinger itu,” Wanamerta mencoba memberikan penjelasan.
“Aku tidak sabar lagi. Adikku telah terbunuh, dan masih adakah orang yang akan berusaha menyalahkan aku?” sahut Sendang Papat.
“Tidak Sendang, tidak. Kau tidak bersalah. Kau berusaha membela adikmu, yang hanya merupakan salah seorang dari mereka yang menjadi korban peristiwa peristiwa semacam ini. Tetapi ketahuilah bagaimana sekiranya Lembu Sora datang ke tanah lapang ini?,” bertanya Wanamerta.
“Bagaimanakah kalau terjadi bentrokan antara orang banyu Biru dengan pasukan Lembu Sora?.”
“Aku akan berdiri paling depan. Akan aku bunuh mereka semua, atau aku yang terbunuh,” jawab Sendang Papat lantang.

Wanamerta menjadi kebingungan. Meskipun apabila Lembu Sora itu benar benar datang, ia tidak akan mengingkari tanggung jawab. Sebab ialah orang tertua dari rombongannya. Sebelum Wanamerta dapat menguasai perasaan Sendang Papat yang meluap luap itu. Tiba-tiba terdengar dari kejauhan derap kaki kuda. Dada Wanamertapun berdesir. Itulah pertanda bencana akan datang.
“Sendang jangan biarkan korban menjadi semakin banyak,” berbisik Wanamerta. Tetapi wajah Sendang menjadi terang. Tampaknya ia menjadi gembira sekali, seperti kanak kanak yang mendapat mainan. Sesekali ia meloncat dengan lincahnya. Untuk kemudian menghambur menyongsong derap kuda yang semakin lama semakin dekat. Beberapa orang yang yang melihatnya ikut berlari-lari dibelakangnya. Merekapun tiba tiba menjadi gembira pula. Dari dalam gelap, dibalik tikungan jalan, muncullah beberapa orang berkuda. Mereka adalah orang Lembu Sora dari Pamingit. Wajah wajah mereka tampak betapa garangnya. Cahaya api yang kemerahan itu membuat kesan yang seram pada rombongan berkuda itu. Pemimpin rombongan itu segera melihat api yang menyala-nyala. Merekapun kemudian melihat orang orang yang seolah olah mengamuk. Segera kemarahan menjalar didada mereka. Apalagi ketika mereka melihat beberapa orang menyongsong kedatangan mereka dengan senjata pemukul, bambu dan kayu dan apasaja yang mereka ketemukan. Pemimpin laskar itu segera memberikan perintah, dan bertebaranlah orang orang berkuda itu ke segenap penjuru. Mereka memacu kuda mereka tanpa memperhitungkan banyak orang dilapangan itu.

Beberapa orang terdorong jatuh dan bahkan ada diantaranya yang terlanggar dan terbanting di tanah. Beberapa orang berteriak teriak mengancam dan mengumpat umpat. Sendang Papat menjadi kecewa ketika rombongan itu terpencar pencar seperti orang kesurupan dan menginjak injak yang ada di jalannya. Melihat sikap itu Sendang Papat menjadi semakin marah. Bahkan Wanamertapun menjadi marah pula. Ia tidak pernah membayangkan, demikian orang Pamingit memperlakukan orang Banyubiru itu dianggapnya sapi gembalaan, yang dapat digiringnya dengan pecut dan tongkat pemukul. Tetapi bagaimanapun kepalanya msdih tetap dingin. Berbeda dengan Sendang Papat yang diikuti segenap orang yang berada di tanah lapang itu. Merekapun segera memberikan perlawanan. Orang banyak itupun mengamuk sejadi-jadinya. Tetapi apa yang dapat mereka lakukan tidak banyak. Mereka adalah orang yang tidak begitu banyak mendapat didikan keprajuritan. Dengan demikian perlawanan merekapun tidak banyak berarti. Hanya Sendang Papatlah yang mampu menghadapi bahaya yang mengancam dirinya. Ketika seekor kuda dengan kencangnya berlari menerjangnya, dengan segala kekuatan ia mendesak orang disekitarnya untuk menghindar. Namun demikian kuda itu lewat disampingnya demikian ia meloncat keatas punggungnya. Sekali gerak, tangannya telah membenamkan kerisnya kepunggung orang itu yang kemudian terbanting jatuh. Dengan kuda itulah Sendang Papat melawan orang Pamingit. Tetapi Sendang Papat seorang diri itupun tak banyak yang dapat dilakukan.

Wanamerta kemudian tidak mengingkari tanggung jawabnya. ia berusaha untuk mengurangi tekanan orang Pamingit itu. Namun akhirnya satu demi satu jatuhlah korban. Sedang keributan di tanah lapang itupun semakin menjadi jadi pula. Akhirnya Wanamerta menganggap bahwa bentrokan itu harus segera diakhiri. Ia tidak mau melihat orang kecil menjadi korban. Karena itu segera Wanamerta berteriak,
“Hindarkan diri, hei orang Banyubiru. Hindarkan diri kalian.” Sekali dua kali suara Wanamerta itu tenggelam saja dalam gemuruhnya teriakan rakyat yang marah serta teriakan orang Pamingit yang memaki maki. Tetapi ia tidak putus asa. Diulanginya lagi kata katanya sekali dua kali. Kemudian terdengar ia berteriak keras
“Hei orang Banyu Biru yang setia. Jangan terlalu bodoh melawan orang berkuda itu. Tinggalkan mereka. Hindarkan diri kalian dari injakan kuda-kuda itu.”
Beberapa orang mendengar teriakan Wanamerta, mereka mulai berfikir. Apakah mereka akan dapat melawan orang berkuda itu. Sedangkan dihadapan mereka korban jatuh bertambah lagi. Apalgi orang Pamingit yang juga menjadi gila itu menghunus pedang mereka. Meskipun demikian Sendang Papat bertempur seperti burung Sikatan. Ia menyambar dengan lincahnya diatas kudanya. Ketika Wanamerta berteriak sekali lagi, suaranya mulai dapat perhatian. meskipun beberapa orang yang meluap luap perasaannya, seolah olah tidak akan meninggalkan tanah lapang itu meskipun seandainya mereka harus terbunuh, tetapi terdengar Wanamerta berkata
“He, hindarkan diri kalian. Jangan mati tanpa arti. Tenaga kalian masih sangat diperlukan oleh tanah kelahiran ini. Tetapi nanti dalam kesempatan yang lebih baik, dimana kalian membawa senjata di tangan kalian.”

Kemudian orang Banyubiru itu sadar akan keadaan yang tidak berimbang. Karena itulah mereka mengikuti nasehat Wanamerta yang selalu diulang ulang. Beberapa orang meloncat dan berlari meninggalkan lapangan itu. Kuda orang Pamingit itupun mejadi liar pula. Mereka berlari lari mengelilingi lapangan seperti serigala lapar. Diatas punggung mereka itupun duduk orang gila yang liar seperti beruang alasan. Orang berada di lapangan semakin berkurang jua. Satu satu mereka mencoba menghindarekan diri mereka dengan janji didalam dada apabila datang saatnya maka akan mereka serahkan jiwa raga mereka sebagai tebusan atas kekhilafan mereka selama ini. Tetapi kali ini, mereka tidak akan mati tanpa arti. Beberapa orang berkuda mencoba mengejar mereka namun mereka itupun segera meloncati pagar batu dan menyusup pagar bambu, tenggelam dalam gerumbul yang gelap. Sendang Papat masih saja bertempur terus. Ia sama sekali tidak memperhitungkan lagi keadaan yang dihadapinya. ia tidak mau melihat kenyataan bahwa akhirnya ia harus bertempur seorang diri. Demikianlah kemudian tiga orang berkuda bersama-sama menyerangnya. Sendang Papat memang tangkas. Tetapi ia tidak dapat melawan ketiga-tiganya sekaligus. Ia mencoba untuk memutar kudanya, menghindar kesamping. tetapi kuda lawannya itu akan melanggarnya. Disusul dengan yang seekor lagi dari arah lain. Sendang Papat segera menarik kekang kudanya, sehingga kuda itu terhenti. Seekor kuda lawannya, berlari terus kedepan, tetapi seekor lagi benar benar membenturnya. Tekanan itu ternyata terlalu berat bagi Sendang Papat sehingga iapun kemudian terlempar dari punggung kudanya bersama sama dengan penunggang kuda yang membenturnya. Keduanya jatuh bergulingan dan berusaha bangkit kembali. Demikian mereka berdiri, demikian mereka bertempur kembali. Tetapi dalam pada itu, kawan-kawannyapun telah siap pula untuk membantu. Wanamerta yang masih berdiri di tanah lapang melihat kesulitan yang bakal terjadi atas Sendang Papat. Ia tidak mau mengorbankannya. Adiknya telah terluka berat sehingga ia harus berusaha supaya kakaknya dapat diselamatkan. tetapi lawan terlalu banyak.

Untuk sesaat Wanamerta berbimbang hati. Ia menyesal bahwa Sendang Papat telah kehilangan kejernihan pikirnya sehingga seolah olah ia akan membunuh diri. Tetapi ia tidak mempunyai banyak waktu. Bagaimanapun yang terjadi ia harus membantu anak itu. Karena itulah dengan secepat ia dapat, meloncatlah orang tua itu ke arah Sendang Papat, untuk membantunya. Ketika seekor kuda menyambarnya, Sendang Papat masih sempat mengelakkan dirinya bahkan ia masih dapat menyerang lawannya, yang berdiri di atas tanah. Dengan demikian, Wanamerta masih dapat menyapanya sebelum ia digilas oleh kaki kuda orang Pamingit. Yang mula-mula diucapkan Wanamerta adalah
“Sendang,” suaranya perlahan sekali.
“Adikmu mencarimu”
“He,” Sendang Papat terkejut
“Prapat?”
“Ya,” jawab Wanamerta. Sementara itu ia harus turut melawan lawan Sendang Papat. Sementara itu seekor kuda sekali lagi menyambar mereka. Dengan ikat kepala yang diuraikan, Wanamerta berhasil menakuti kuda itu, sehingga kuda itu meronta dan melonjak tinggi. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh sendang Papat. Dengan sigapnya ia meloncat, dan sekali lagi kerisnya membenam di tubuh orang itu.
“Naiklah kiyai,” teriaknya. Tetapi Wanamerta tidak sempat naik. Orang yang semula berkelahi melawan Sendang papat menyerangnya. Ketika sebuah pedang menyambar lehernya, Wanamerta berjongkok merendahkan dirinya. Kemudian dengan kakinya ia menghantam lambung orang itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu terlempar. Malanglah baginya, ketika saat itu dua ekor kuda bersama sama berlari mendekati titik perkelahian. Kedua orang itu sudah siap untuk menusuk tubuh Wanamerta dari dua arah.

TIBA-TIBA seseorang terlempar ke depan mereka. Terdengarlah jerit ngeri. Tubuh itupun dengan dahsyatnya terinjak oleh kaki-kaki kuda yang sedang berlari kencang. Wanamerta hanya melihat peristiwa itu sebentar saja. Iapun segera berlari, meloncat ke atas punggung kuda, yang semula dipakai oleh Sendang Papat. Kuda itu, yang masih berdiri di tengah lapangan, menjadi terkejut dan berlari melingkar-lingkar. Untunglah Wanamerta segera dapat menguasainya. Dalam pada itu Sendang Papat sudah bimbang. Kalau semula ia sudah berketetapan hati untuk mati dengan membawa bela sebanyak-banyaknya, kini ia terpaksa berpikir kembali.
“Adakah Parapat masih hidup?” pikirnya.
Tiba-tiba Sendang Papat ingin mendapat penjelasan tentang adiknya. Karena itu Sendang Papat segera mendekatkan diri kepada Wanamerta sambil bertanya,
“Adakah Kiai tadi berkata tentang Parapat?”
Mata Wanamerta tidak terpelas dari para penunggang kuda yang telah siap menerjang mereka.
Meskipun demikian ia menjawab,
“Ya.”
“Bagaimana dengan anak itu?” Sendang Papat minta penjelasan.
“Ia mengharap kedatanganmu. Mudah-mudahan ia masih tertolong,” Wanamerta mencoba untuk memancing anak itu meninggalkan tanah lapang yang terkutuk ini.
Sementara itu, ia melihat beberapa orang lain, yang semula mengejar-ngejar orang Banyubiru telah memasuki tanah lapang kembali. Bahkan merekapun segera bersiap pula untuk menyerang. Wanamerta melihat bahaya yang bertambah-tambah, sementara itu harapannya mulai timbul kembali. Mudah-mudahan Sendang Papat bersedia meninggalkan tanah lapang ini untuk melihat adiknya.
“Tak cukup banyak waktu Sendang,” kata Wanamerta pula,
“Adikmu cepat-cepat harus mendapat bantuan.”
“Di mana dia sekarang?” tanya Sendang Papat.
“Ia disembunyikan di rumah Ki Prana,” jawab Wanamerta.

Sendang Papat merenung sejenak. Di hadapannya orang-orang Pamingit memacu kudanya ke arah mereka berdua.
“Mereka datang, Kiai,” kata Sendang Papat.
Wanamerta telah melihat mereka pula. Segera ia menarik kekang kudanya memutar sekali, lalu berlari ke samping.
“Pikirkan adikmu itu,” katanya sebelum kudanya berlari. Sendang Papat tidak sempat menjawab. Seekor kuda lawan menyerangnya dengan cepatnya. Ketika sebuah pedang menyambarnya, dengan cepatnya ia melekatkan tubuhnya pada punggung kudanya. Hatinya berdesir ketika Sendang Papat merasakan angin sambaran pedang menghembus tengkuknya.
“Hampir saja,” desisnya. Karena itu Sendang Papat merasa bahwa lebih baik melawan orang-orang Pamingit itu, dengan pedang pula. Karena itu cepat-cepat ia meloncat turun memungut pedang dari seseorang yang telah tak berdaya untuk bangkit kembali. Dengan pedang itulah kemudian ia melawan setiap penyerangnya dengan kekuatan yang berimbang. Tetapi orang-orang Pamingit itu pun bertambah-tambah pula. Sendang Papat melihat Wanamerta yang tua itu pun dapat bergerak mengagumkan. Di tangannya tiba-tiba saja telah tergenggam sebuah telempak, tombak bertangkai pendek. Agaknya ia pun merasa perlu untuk memegang sebuah senjata yang tidak terlalu pendek dalam pertempuran berkuda. Namun, meskipun demikian di dalam hati Sendang Papat mulailah timbul keraguan. Ia terpengaruh benar oleh kata-kata Wanamerta tentang adiknya. Karena itu selagi ia sempat, ia mendorong kudanya ke arah Wanamerta, dan dengan suara yang parau dan perlahan-lahan ia berkata,
“Apakah kita lebih baik meninggalkan lapangan ini, Kiai?”
“Demikianlah, untuk keselamatan adikmu. Ia membutuhkan perawatan,” jawab Wanamerta.
“Baiklah,” jawab Sendang Papat.
Tetapi sementara itu, Wanamerta memandang sekelilingnya dengan alis yang berkerut-kerut. Ia melihat perubahan pada tata perkelahian lawannya. Wanamerta tidak lagi melihat mereka bersiap untuk menyerang satu demi satu atau berdua atau bertiga sekalipun.

Yang dilihatnya adalah orang-orang Pamingit itu mulai membuat sebuah gelang, mengelilingi mereka berdua.
“Setan,” desis Sendang Papat.
“Mereka mengepung kita,” sahut Wanamerta.
Sendang Papat memutar kudanya untuk melihat keadaan di sekelilingnya. Ia melihat sepuluh, bahkan lebih dari itu, orang-orang berkuda di sekelilingnya. Sedang di tengah lapang itu, ia melihat beberapa ekor kuda tak berpenumpang. Dua tiga orang Pamingit terbaring diantara beberapa orang Banyubiru yang terluka dan bahkan ada yang terbunuh di tanah lapang itu.
Suatu kekacauan yang mengerikan. Tetapi sementara itu, Wanamerta dan Sendang Papat harus berpikir tentang diri mereka. Ketika mereka melayangkan kembali pandangan mereka, mereka melihat perlahan-lahan kuda-kuda yang mengepung itupun mulai bergerak maju. Wanamerta adalah seorang tua yang berpengalaman cukup. Karena itu segera ia mengetahui maksud orang-orang Pamingit itu. Maka desisnya,
“Sendang, jangan beri kesempatan mereka bersama-sama menyerang. Kau lihat kelemahan mereka?”
Sendang menggeleng lemah.
“Kita menyerang dari arah api. Aku harap mereka terganggu oleh cahaya yang silau itu. Kita tembus dinding yang bertentangan dengan arah cahaya. Secepat-cepatnya, sebelum datang yang lain, mereka sempat membantu,” kata Wanamerta setengah perintah.

SENDANG PAPAT telah menangkap maksud orang tua itu. Ia memuji didalam hatinya. Tetapi ia tidak sempat untuk berkata apapun, sebab demikian Wanamerta selesai berkata, demikian ia menarik kekang kudanya dan memacu ke arah barat. Sendang Papat pun segera menyusul. Pedangnya berkilau-kilau kemerah-merahan oleh cahaya api yang sudah mulai berkurang. Namun cahayanya masih cukup besar untuk menerangi seluruh tanah lapang itu. Orang-orang Pamingit itu terkejut melihat kesigapan Wanamerta dan Sendang Papat. Meskipun mereka sudah mengira, bahwa kedua orang itu tidak akan mau menyerah begitu saja, namun serangan mereka berdua yang tiba-tiba, telah menyebabkan mereka kehilangan waktu beberapa saat untuk menilai gerakan itu. Wanamerta telah mencapai dinding kepungan itu, dengan membelakangi api yang menyala-nyala. Setiap garis-garis yang tergores pada tubuh orang Pamingit itu. Setiap gerakannyapun dapat diketahuinya. Sebaliknya orang-orang itu hanya melihat bayangan hitam seperti terbang menerkamnya. Mereka tidak dapat melihat dengan jelas, gerakan-gerakan apakah yang sudah dilakukan oleh dua hantu yang seakan-akan meloncat dari tengah-tengah itu. Karena itu mereka menjadi gugup. Tetapi sesaat kemudian, kawan-kawan merekapun menjadi sadar. Mereka akhirnya mengetahui juga, bahwa Wanamerta telah mengambil keuntungan dari cahaya api yang silau itu. Dengan demikian segera merekapun bergerak maju mengejarnya. Ternyata perhitungan Wanamerta adalah tepat. Ia dapat mencapai dinding kepungan sebelum lawan-lawan mereka yang lain sempat membantu. Dengan telapaknya Wanamerta menyerang orang yang menghadang di hadapannya. Meskipun kemudian orang dikanan kirinya merapat, namun cahaya yang silau telah membuat untung Wanamerta dan Sendang Papat. Perkelahian yang terjadi kemudian tidak berlangsung lama. Mereka tidak dapat menahan kedua orang itu untuk menerobos kepungan mereka. Akhirnya Wanamerta berhasil keluar dari lingkaran maut itu bersama-sama dengan Sendang Papat. Tetapi Wanamerta kemudian tidak mau disilaukan oleh api yang memberinya keuntungan, apabila ia harus melawan pengejarnya. Karena itu segera ia membelokkan arah kudanya ke kanan.

Tetapi orang-orang Pamingit itu telah mendapatkan kesadaran mereka. Sebagian dari mereka segera menyusul, dan sebagian lagi memotong jalan. Tetapi Wanamerta dan Sendang Papat telah melepaskan diri dari kepungan. Mereka dapat menghadapi lawan mereka dari satu arah. Meskipun demikian lawan mereka terlalu banyak. Sehingga kemudian ternyata bahwa Wanamerta dan Sendang Papat pun terdesak. Menghadapi keadaan yang demikian, kedua orang Banyubiru yang gemblengan itu malahan telah membulatkan tekad untuk melawan sampai kesempatan terakhir. Dalam pada itu, ketika mereka sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba terdengarlah suara-suara anak muda tertawa. Disusul oleh sebuah aba dari antara mereka,
“Ayolah, kita mulai.” Yang berada di tanah lapang itu kemudian dikejutkan oleh munculnya empat ekor kuda dari sudut tanah lapang itu. Kemudian seekor lagi ditunggangi oleh seorang anak muda yang tampan, bertubuh tegap dan berdada bidang.
Agaknya anak muda yang terakhir itulah yang telah mengucapkan aba-aba. Sedang keempat anak muda yang lain itupun langsung menerjunkan diri ke kancah pertempuran.
“Ayolah Kiai,” teriak salah seeorang diantaranya,
“Aku berada di pihak Kiai dan Paman Sendang Papat.”
Wanamerta heran melihat kedatangan mereka. Demikian juga Sendang Papat. Wanamerta adalah orang Banyubiru sejak Pangrantunan. Tetapi terhadap anak-anak muda itu ia belum begitu mengenal. Sedang mula-mula Sendang Papat pun agak ragu, siapakah yang telah datang tepat pada saatnya membantu mereka berdua. Tetapi Wanamerta dan Sendang Papat belum sempat bertanya tentang mereka. Pertempuran itu menjadi kian sengit. Keempat anak muda itupun berkelahi dengan tekad yang menyala-nyala. Dengan demikian pekerjaan Sendang Papat dan Wanamerta menjadi berkurang.

Lawan-lawan mereka setidak-tidaknya telah berkurang dengan empat orang, yang harus melayani keempat anak muda yang bertempur dengan tenaga yang penuh. Namun agaknya keempat anak muda itu masih kurang pengalaman, sehingga meskipun mereka bertempur mati-matian, tetapi ternyata bahwa mereka tidak lebih dari setiap orang dari laskar Pamingit itu. Sehingga dengan demikian, pertempuran itupun hampir tak terpengaruh oleh kehadiran keempat orang itu. Meskipun demikian, kesempatan untuk menjaga diri bagi Wanamerta dan Sendang Papat adalah jauh lebih besar dari semula. Maka semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin keras. Orang-orang Pamingit yang tidak segera dapat menyelesaikan pekerjaan mereka itupun menjadi marah dan bertempur semakin liar. Karena jumlah mereka lebih banyak maka kemudian mereka pun berhasil sedikit demi sedikit menguasai keadaan, sehingga pertempuran itupun menjadi berat sebelah. Ternyata yang menjadi pusat perhatian mereka adalah Wanamerta dan Sendang Papat. Sedang terhadap keempat anak muda itu mereka hanya sekedar memberikan perlawanan untuk menjaga mereka supaya mereka tidak dapat langsung membantu Wanamerta dan Sendang Papat. Dalam keadaan yang demikian itu, maka tiba-tiba pemuda yang seorang lagi yang masih duduk diam di ats punggung kudanya di tepi lapangan itu tertawa terbahak-bahak. Suaranya itu sangatlah menarik perhatian.
Baik orang Pamingit maupun Wanamerta dan Sendang Papat. Bahkan kawan kawannyapun menoleh kepadanya.
“Permainan yang jelek,” katanya.
“Tidakkah kalian dapat berkelahi lebih baik?”
“Apakah yang jelek?,” jawab salah seorang temannya.
“Kalian hanya mampu berputar putar seorang penari jathilan di atas kuda kepang,” jawab anak muda itu….

KAWAN-KAWAN anak muda itu tak ada yang menjawab. Tetapi pertempuran masih berlangsung terus. Sehingga kemudian terdengar ia berkata pula,
“Kiai Wanamerta dan Paman Sendang Papat pun agaknya sudah terlalu payah. Tetapi cara-cara yang dipergunakan, serta gerak-gerak yang bersumber pada Paman Mahesa Jenar agaknya cukup menarik.”
Wanamerta dan Sendang Papat sekali lagi terkejut bukan main. Kenapa anak muda itu mengetahui beberapa unsur gerak yang dipelajarinya dari Mahesa Jenar? Kemudian terdengarlah anak muda yang gagah tampan itu meneruskan,
“Tetapi sayang, bahwa Paman Sendang Papat kurang berhasil mengambil keuntungan dari gabungan ilmu Ki Ageng Supit Wanakerta dengan ilmu dari perguruan Pengging.”
Sendang Papat menjadi semakin heran. Ia belum pernah mengenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta. Sedang yang dikenalnya hanya Wanamerta. Tiba-tiba ia tidak dapat menunda keinginannya untuk mengetahui serba sedikit tentang anak muda itu, sehingga sambil bertempur ia berteriak,
“Aku belum kenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta.”
“Kalau begitu…” jawab anak muda itu,
“Kakang Sendang pasti kenal salah seorang muridnya.”
“Siapakah dia?” tanya Sendang Papat.
“Wiraraga atau Dalang Mantingan,” jawab anak muda itu. Kembali Sendang Papat keheranan. Ternyata anak muda itu kenal pula kepada Ki Dalang Mantingan. Sementara itu orang-orang Pamingit menjadi semakin mendesak pula. Sehingga akhirnya Wanamerta dan Sendang Papat benar-benar mengalami kesulitan.

Dalam keadaan yang demikian itulah tiba-tiba anak muda yang masih berdiam diri di pinggir tanah lapang itu berkata lantang,
“Maafkan aku Kiai Wanamerta dan Kakang Paman Papat kalau aku ikut campur pula dalam pertempuran ini.”
Setelah selesai dengan kata-katanya, segera ia mendorong kudanya untuk terjun ke dalam pertempuran. Mula-mula orang Pamingit itu tidak banyak memperhatikannya. Mereka mengira bahwa anak muda itu tidak terlalu jauh terpaut dari keempat kawannya. Tetapi ketika anak muda itu telah benar-benar bertempur, ternyata ia benar-benar mengejutkan. Dalam saat yang sangat pendek, ternyata ia telah berhasil melemparkan dua orang Pamingit dari kudanya.
“Gila…!” teriak salah seorang yang terlempar itu dengan penuh kemarahan. Punggungnya terasa betapa sakit, sedang bajunya tersobek lebih sekilan. Dengan mengumpat-umpat ia berusaha untuk mengejar kudanya kembali dan dengan susah payah ia meloncat ke punggungnya. Demikian pula kawannya yang seorang lagi.
Sambil memungut pedangnya ia berteriak,
“Anak gila, agaknya kaupun ingin menjadi bangkai seperti Wanamerta dan Sendang Papat.”
Anak muda itu tertawa. Sedang tandangnya menjadi semakin mengherankan. Ia menyerang seperti elang untuk kemudian melingkar dan menyerang kembali. Ia tidak pernah menghindari setiap serangan, dan bahkan dengan tertawa nyaring ia melawan dua tiga orang sekaligus.
“Aneh,” pikir Wanamerta dan Sendang Papat seperti berjanji. Perhatian orang-orang Pamingit kemudian lebih banyak tertuju kepadanya daripada Wanamerta dan Sendang Papat. Apalagi mereka berduapun menjadi seolah-olah penonton yang keheranan. Demikian juga keempat kawan-kawannya. Anak muda itu, yang bertubuh tegap dan kekar dan tampan, bertempur seperti anak bermain kejar-kejaran.
Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesungguhan. Sayang bahwa cahaya api yang semakin pudar, tidak memberi kesempatan kepada Wanamerta dan Sendang Papat untuk mengenalnya dengan baik. Dengan nada yang segar, anak muda itu berkata,
“He, kawan-kawan dari Pamingit. Kenapa kalian bersusah payah mengejar-ngejar Kiai Wanamerta dan Kakang Sendang Papat, sedang orang-orang yang bersalah tidak kau tangkapi?”
“Siapa yang bersalah itu?” teriak orang-orang Pamingit dengan marah.
“Sontani dan orang-orangnya,” jawab anak muda itu.
“Omong kosong,” bentak orang Pamingit yang lain sambil memutar pedangnya menyambar punggung anak itu. Dengan enaknya anak muda itu mengelak tanpa berkisar. Tetapi kemudian dengan satu gerakan yang sederhana ia telah berhasil memukul dengan tangannya.
Ya, dengan tangannya, pergelangan tangan orang yang menyerangnya, sehingga terdengar ia mengaduh perlahan, dan pedangnya terpelanting jatuh di tanah. Orang itu menggeram marah, tetapi ia memacu kudanya menjauhi anak muda itu, sebelum ia berhasil mendapatkan sebilah pedang yang lain yang dipungutnya dari seorang kawannya yang telah terbaring di tanah. Anak muda itu masih bertempur dengan lincahnya. Wanamerta dan Sendang Papat, seolah-olah terbebas sama sekali dari perkelahian itu. Mereka kini tinggal menghadapi seorang-seorang. Sedang yang lain lebih banyak mencari perhatian untuk menjatuhkan pemuda itu lebih dahulu. Dengan tertawa anak muda itu kemudian terdengar berkata,
“He, kawan-kawan Pamingit. Demikianlah kira-kira yang akan kalian alami, kalau kalian pada suatu saat terpaksa bertempur melawan Arya Salaka.”

SEORANG dari anak muda itu mengulangi kata-katanya,
“Arya Salaka…?” Sedangkan dalam hati Wanamerta dan Sendang Papat tertarik pula pada kata-kata itu.
“Ya, Arya Salaka dapat bertempur jauh lebih baik lagi. Aku hanya menirukan beberapa bagian dari ilmunya,” lanjut anak muda itu. Tak ada yang terdengar menjawab perkataannya. Tetapi orang-orang Pamingit itu agaknya menjadi semakin marah. Namun mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu melawan anak muda itu bersama-sama dengan Wanamerta, Sendang Papat dan keempat anak-anak muda yang lain, yang menganggap perkelahian itu seperti permainan saja.
“Arya Salaka dapat memukul hancur kepala kuda yang kalian naiki hanya dengan tangannya.” Anak muda itu meneruskan.
Dan tiba-tiba ia menyambar salah seorang lawannya, dan dengan gerak yang mengejutkan ia menghantam kepala kuda itu. Terdengarlah suara ledakan disusul dengan teriakan-teriakan anak-anak muda yang lain, seperti mereka melihat kawannya menang bertaruh. Kuda itu menggeliat dan memekik tinggi. Sesaat kemudiah jatuh berguling untuk selama-lamanya. Dari kepalanya mengalir darah bercampur otak yang menghambur-hambur. Orang yang semula melekat di punggung kuda itu, juga terbanting. Seperti orang lumpuh ia menyaksikan kepala kudanya pecah. Tubuhnya terasa gemetar dan seolah-olah segala persendian tubuhnya terlepas satu sama lain.
“Hebat…, hebat….” teriak kawan-kawannya.
Tetapi orang-orang Pamingit menjadi pucat karenanya.
“Hebat….” desis Wanamerta dan Sendang Papat perlahan-lahan.
Anak muda itu memutar kudanya sekali. Dan orang-orang Pamingit mulai menjauhinya.
“Lihatlah kepala kuda itu,” katanya. Wajahnya yang cerah itu beredar berkeliling.
“Nah, siapa yang ingin kepalanya sendiri aku pecahkan seperti kepala kuda itu?” katanya pula.
Tak seorangpun terdengar menjawab. Orang-orang Pamingit itupun telah berhenti menyerang dengan kuda-kuda mereka, tegak beberapa langkah berkeliling, seperti hendak mengepung anak muda itu.
Namun tak seorangpun berani mendekati.
“Nah, ketahuilah bahwa Arya Salaka pun mampu berbuat demikian,” katanya.
“Tetapi itu tidak mengherankan.” Tiba-tiba salah seorang dari orang-orang Pamingit itu berkata. Mata anak muda itupun menjadi redup. Dengan sudut matanya ia memandang orang Pamingit itu.
“Kau tidak heran…?” Ia tanya.

Ternyata orang Pamingit itu menjadi gemetar. Tetapi ia malu untuk menunjukkan perasaan takutnya. Meskipun terbata-bata ia menjawab,
“Sawung Sariti pun mampu melakukan. Ia memiliki aji Lebur Sekethi.”
Anak muda itu mengerutkan keningnya. Lalu berkata,
“Hebat. Memang, Lebur Sekethi pun hebat pula. Sehebat Sasra Birawa dan Cundha Manik dari Gunungkidul. Tetapi ilmu semacam itupun mengenal tingkatan pula. Sawung Sariti menekuni ilmunya sambil makan dan minum seenak-enaknya. Kalau ia lelah, ia dapat berbaring di tempat pembarian yang empuk dan baik. Tetapi tidak dengan Arya Salaka.”
Anak muda itu berhenti sambil menarik nafas. Ia menunggu kalau-kalau ada yang mencoba menjawabnya. Namun orang-orang Pamingit itu menjadi seperti orang-orang terinjak. Diam.
“Dengarlah…” katanya kemudian,
“Sawung Sariti berlatih di dalam pendapa yang terlindung dari terik matahari. Beberapa orang mengipasinya kalau keringatnya mulai mengalir. Dengan tergesa-gesa gadis-gadis menyediakan air hangat bila ia haus.”
Anak muda itu kemudian meneruskan,
“Tetapi apa yang terjadi dengan Arya Salaka? Ia mesu diri sejadi-jadinya dalam masa pembajaan. Apabila siang, ia berlatih di terik panas matahari. Apabila malam ia berlatih dalam buaian angin malam. Kalau ia lelah, ia membaringkan dirinya, beralas rumput, berselimut langit. Kalau ia haus, minumlah ia air hangat yang baru memancar dari sumbernya. Sedangkan kalau ia lapar, dengan sabarnya ia menunggui perapian dimana ia merebus jagung atau ketela pohon.”
“Disamping itu, ia memperkuat tubuhnya dengan bekerja keras. Ia mencangkul diantara para petani. Berjuang melawan ombak dan taupan diantara para nelayan. Nah, katakan sekarang hai orang-orang Pamingit. Siapakah yang kira-kira akan lebih kuat dan masak menguasai ilmunya. Arya Salaka atau Sawung Sariti?” lanjut anak muda itu.


<<< Bagian 064                                                                                              Bagian 066 >>>

No comments:

Post a Comment