KETIKA para pengikut Sontani mulai menyerang Sendang Papat, orang-orang yang memihak Wanamerta pun mulai bergerak pula. Tetapi orang-orang Sontani itu telah merasa bahwa mereka tidak akan mempu melawan kemarahan orang-orang yang jauh lebih banyak dari jumlah mereka. Karena itu sebagian besar dari mereka segera melarikan diri ke dalam kegelapan malam. Yang tinggal kemudian hanyalah kelima orang yang bersama-sama bertempur melawan Sendang Papat itulah. Karena mereka bersenjata, mereka merasa bahwa mereka akan mampu mempertahankan diri mereka. Wanamerta, yang tak jauh dari mereka, melihat keributan timbul kembali. Cepat ia berlari untuk mengetahui apakah yang terjadi. Alangkah terkejutnya ketika ia melihat Sendang Parapat terbaring di tanah dengan darah yang mengalir dari lukanya. Ia melihat dua orang yang datang bersama dari Gedong Sanga berusaha untuk menahan darah yang mengalir itu. Sedang seorang lagi agaknya ikut serta berkelahi melawan orang Sontani.
Wanamerta
kemudian menekan dadanya, ketika ia melihat Sendang Papat mengamuk tanpa dapat
mengendalikan dirinya sama sekali. Beberapa saat Wanamerta berdiam diri dengan
cemas.
Perkembangan
keadaan itu agaknya sama sekali tidak seperti yang dikehendaki Wanamerta,
meskipun darinya ia dapat mengambil keuntungan-keuntungan. Dengan demikian ia
telah dapat menempatkan beberapa bagian orang-orang Banyubiru itu kepada
kesadarannya kembali. Tetapi peristiwa yang terjadi ini dapat membawa akibat
yang buruk. Meskipun hanya sementara. Pada saat itu Wanamerta sudah tidak
melihat Sontani lagi. Orang itu lari terbirit-birit ketika terbuka kesempatan,
tanpa mempedulikan lagi apakah orang-orangnya masih berkelahi terus, dan apakah
ada diantara mereka yang menjadi korban. Yang penting baginya adalah
menyelamatkan diri sendiri. Yang mula-mula dilakukan oleh Wanamerta adalah
menyuruh kedua orang yang berusaha untuk membendung darah yang keluar dari
lambung kiri Sendang Parapat itu untuk membawanya ke tepi.
Kemudian
kepada kedua orang itu, Wanamerta bertanya,
“Bagaimana
luka itu?”
“Berat Kiai,”
jawab salah seorang diantaranya.
“Adakah kau
kenal seorang yang dapat kau percaya di sekitar tempat ini?” tanya Wanamerta
pula. Kedua orang itu berpikir.
Kemudian salah
seorang menjawab,
“Bagaimana
dengan Kakang Prana?”
Wanamerta
mengerutkan keningnya. Sesaat kemudian ia mengangguk-angguk.
“Aku kira ia
baik. Bawalah Sendang Parapat kepadanya. Kami akan menyelesaikan beberapa
persoalan di sini. Kami akan menyusul kau nanti ke sana. Aku sendiri masih
harus mengawasi Sendang Papat yang kehilangan keseimbangan.”
“Tak dapat
disalahkan,” gumam orang itu seperti kepada diri sendiri.
“Ya,” jawab
Wanamerta singkat. Kemudian ia berkata,
“Nah pergilah
kepada Prana. Usahakan obat-obatan apapun buat luka itu. Barangkali daun metir,
atau sarang labah-labah.”
“Baik Kiai,”
sahut orang itu sambil berdiri dan mengangkat tubuh Sendang Parapat ke rumah Ki
Prana yang tak jauh dari lapangan itu.
Mereka
mengharap akan dapat beristirahat dan menyembunyikan Sendang Parapat yang
terluka itu. Sepeninggal kedua orang itu, kembali Wanamerta mendekati Sendang
Papat yang sedang ngamuk. Beberapa orang telah berdiri di sekitar tempat itu
dan beberapa orang lagi berbondong-bondong berlari-lari ke titik perkelahian
itu pula. Mereka itu datang kembali setelah mengejar-ngejar orang-orang Sontani.
Tiba-tiba salah seorang yang baru datang itu dengan nafas tersengal-sengal
berteriak,
“Bunuh saja
mereka semua, bunuh saja.”
“Bunuh…
bunuh….” sahut yang lain.
WANAMERTA
menjadi semakin cemas. Dengan demikian permusuhan antara orang-orang Banyubiru
itu akan bertambah menjadi-jadi. Karena itu Wanamerta segera bertindak. Ia
mengharapkan pertanggunganjawab sepenuhnya terletak di bahunya,
setidak-tidaknya pada Sendang Papat. Maka segera ia meloncat maju sambil
berteriak,
“Jangan ganggu
mereka. Biarkan mereka bertempur dengan jujur.”
Beberapa orang
menjadi heran mendengar kata-kata Wanamerta itu. Mereka benar-benar tidak tahu
maksudnya. Mereka mengira bahwa Wanamerta pun akan sependapat dengan mereka.
Bahkan seorang yang berdiri di deretan paling depan bertanya,
“Bagaimanakah
perkelahian itu dapat disebut jujur? Adi Sendang Papat hanya seorang diri tanpa
senjata, harus melawan lima orang bersenjata.”
Wanamerta
melangkah maju semakin dekat. Ia tidak melihat kesulitan pada Sendang Papat,
karena itu ia menjawab,
“Jangan takut.
Malah kalian harus bangga bahwa Sendang Papat bertempur melawan lima orang
sekaligus. Lihatlah apa yang akan terjadi.”
Tetapi Sendang
Papat sendiri sama sekali tidak mendengar mereka merasa cemas, bahwa Sendang
Papat akan mengalami bencana seperti adiknya. Kemudian tak seorangpun berbicara
lagi. Mereka dengan seksama memperhatikan perkelahian itu. Tetapi bagaimanapun
juga pembicaraan itu. Ia sama sekali tidak melihat Wanamerta dan tidak tahu
bahwa sekian banyak orang, perhatiannya tercurah kepadanya. Yang ia ketahui
adalah gelora dadanya sendiri. Gelora kemarahan yang meluap-luap. Sendang
Parapat adalah satu-satunya saudaranya. Sejak kecil keduanya tidak pernah
berpisah. Seolah-olah mereka mampunyai ikatan batin yang sedemikian eratnya. Sakit
bagi yang seorang adalah sakit pula bagi yang lain. Tiba-tiba sekarang di
hadapan hidungnya ia melihat adiknya jatuh berlumurah darah. Karena itu otaknya
menjadi terguncang dan karena itu ia kehilangan kesadaran. Sedang lima lawannya
tiba-tiba menjadi cemas. Mereka melihat rakyat yang marah itu mengitarinya.
Tetapi mereka merasa bahwa seolah-olah mereka telah terjebak di dalam kepungan.
Karena itu mereka tidak mungkin lagi untuk melarikan diri. Dengan demikian maka
merekapun mengamuk pula. Mereka harus bertempur mati-matian, sambil menunggu
perkembangan keadaan. Mereka mengharap Sontani datang membantu, atau Sontani
akan datang dengan kawan-kawan yang lebih banyak lagi, sukar kalau Sontani
dapat menghubungi pasukan Pamingit. Apalagi ketika mereka mendengar kata-kata
Wanamerta, mereka merasa bahwa orang-orang Banyubiru tidak akan berani
bertindak terhadap mereka. Sebab dengan demikian pasti akan terjadi bencana
bagi mereka itu.
Tetapi
meskipun orang-orang Banyubiru itu tidak bertindak apa-apa terhadap mereka,
namun akan sama sajalah akibatnya. Sebab Sendang Papat yang mata gelap itu,
tendangannya jauh lebih menakutkan daripada seandainya orang-orang Banyubiru
itu menyerang mereka beramai-ramai. Sekali-sekali mereka mencoba juga untuk
mencari jalan melarikan diri, tetapi orang-orang yang berdiri di sekitar tempat
itu sudah sedemikian tepatnya. Karena itu tidak ada pilihan lain, bertempur
mati-matian. Perkelahian itu berlangsung beberapa lama. Sendang Papat yang mata
gelap terpengaruh oleh kemarahannya, melawan lima orang yang mata gelap karena
putus asa. Sebab setelah sedemikian lama belum juga Sontani datang membantu,
mereka tidak dapat menghadapinya lagi. Orang-orang yang ada di sekitar
perkelahian itu, semakin lama menjadi semakin terpaku oleh perasaan kagum atas
tandang Sendang Papat yang hanya seorang diri melawan lima orang yang
bersenjata. Bahkan Wanamerta sendiri pun heran melihat Sendang Papat bertempur.
Seolah-olah kekuatan serta kelincahannya bertambah-tambah. Bahkan seolah-olah
ia bergerak tidak atas kehendak dirinya. Demikianlah seorang yang sedang
meluap-luap. Tanpa sesadarnya sendiri segala ilmu yang tersimpan tercurah
seperti hujan yang melimpah. Apa yang terjadi kemudian adalah sangat
mengejutkan. Tiba-tiba Sendang Papat berhasil merampas sebuah belati dari salah
seorang lawannya, dan sebelum seorang sempat melihatnya, terdengarlah sebuah
teriakan nyaring, dan salah seorang dari lawan-lawannya itu rubuh di tanah.
Darah yang merah menyembur dari dadanya.
“Sendang
Papat…!” teriak Wanamerta cemas. Tetapi Sendang Papat sama sekali tidak
mendengarnya. Bahkan sesaat kemudian seorang lagi mengaduh keras dan
menggelepar tak berdaya. Tiga orang yang lain, betapapun mereka tak mengenal
takut pada mulanya, namun setelah mereka melihat kenyataan itu, hati mereka pun
berdesir. Sekali lagi mereka mencoba melihat keadaan sekeliling mereka, dan
tiba-tiba mereka berteriak sambil meloncat ke arah orang-orang yang sedang
menyaksikan perkelahian itu.
Beberapa orang
terkejut dan bergerak mundur. Dengan serta-merta, mereka mendesak menyusup ke
dalam kepepatan orang-orang yang merubungnya. Tetapi agaknya salah seorang dari
mereka mengalami nasib yang malang. Sendang Papat sempat menangkap lehernya dan
tanpa ampun lagi, belati kecilnya menyusup diantara tulang-tulang iganya.
Terdengar sekali ia memekik tinggi, kemudian terdiam untuk selama-lamanya. Tiga
orang telah menggeletak berlumuran darah yang mengalir dari mulutnya. Namun
agaknya Sendang Papat sama sekali belum puas.
Dengan
marahnya ia berteriak nyaring,
“Tangkap iblis-iblis
itu.”
Orang-orang
yang mengaguminya, tiba-tiba menjadi cemas pula melihat wajah anak muda yang
menjadi liar itu. Mereka hanya dapat menyibak ketika Sendang Papat meloncat
mengejar dua orang lagi yang mencoba menyelamatkan diri. Mereka, yang berdiri
memagar lingkaran pertempuran itu, malahan terpaku diam, dan membiarkan kedua
orang lawan Sendang Papat itu menyusup diantara mereka, dan membuat keributan
bagian belakang lingkaran itu. Untunglah bahwa malam itu cukup gelap.
SINAR obor
yang menyala agak jauh dari tempat itu, sama sekali tertutup oleh
bayangan-bayangan orang-orang yang bergerak-gerak di sekitar tempat itu. Dengan
demikian maka Sendang Papat mendapat banyak kesulitan untuk menemukan kedua
orang yang melarikan diri menyusup diantara sekian banyak orang yang kemudian
dari ujung lapangan mereka meloncat ke dalam gerumbul-gerumbul di tepi tanah
lapang itu. Ketika Sendang Papat tidak berhasil menemukan kedua orang lawannya,
menjadi semakin marah. Seperti orang yang hilang ingatan ia berteriak,
“Hai,
orang-orang Banyubiru… di mana kedua orang gila itu? Kenapa kalian hanya diam
menonton seperti menonton tayub. He, di mana…? di mana…?”
Tak seorangpun
menjawab. Sendang Papat dengan liar memandang ke segenap arah. Namun kedua
orang itu tak dapat diketemukan.
Tiba-tiba mata
Sendang Papat menyangkut pada seperangkat gamelan, obor-obor yang
menyala-nyala, beberapa dingklik dasaran tuak dan minum-minuman semacamnya, air
tape yang dikentalkan, badhek dan sebagainya. Hatinya yang marah itupun menjadi
semakin menyala seperti obor-obor itu dibongkok bersama-sama. Gamelan yang
seperangkat itupun merupakan salah satu sumber kemunduran akhlak di Banyubiru,
merupakan salah satu sebab rakyat Banyubiru kehilangan gairah pada
perjuangannya.
Sendang Papat
adalah seorang penari yang mencintai gamelan seperti ia menyayangi
pakaian-pakaiannya. Tetapi gamelan yang seperangkat ini, yang berada di tanah
lapang untuk mengiring tayub dan mabuk-mabukan, adalah gamelan yang
mengkhianati kemurnian seni, serta menerapkan seni dalam perjuangan yang tak
terkendali.
Tiba-tiba
Sendang Papat meloncat sambil berteriak,
“He,
orang-orang Banyubiru, adakah kalian masih akan menyelenggarakan tari-tarian
gila seperti malam-malam yang pernah kau lalui dengan gila-gilaan?”
Tak seorangpun
yang menjawab.
“Dengar…!”
teriak Sendang Papat,
“Aku akan
membakar gamelan yang telah menghantarkan kalian pada keadaan yang cemar ini.
Kalau kalian keberatan, lawanlah aku. Tetapi kalau kalian sependapat, ikutlah
aku.”
Juga tak
seorangpun menjawabnya. Karena itu tiba-tiba dengan sigapnya Sendang Papat
berlari ke arah gamelan yang dibencinya itu. Dengan tangkasnya pula tangannya
menyambar sebuah obor di tangan kiri dan satu obor lagi di tangan kanan.
Dilemparkannya kedua obor itu ke tengah-tengah jajaran gamelan itu. Tidak hanya
dua obor, tetapi tiga, empat dan lampu-lampu minyak di dingklik-dingklik itu
disepak-sepaknya.
Bahkan
kemudian orang-orang yang melihat perbuatannya itu menjadi terpengaruh pula.
Dengan serta merekapun tiba-tiba sambil berteriak-teriak mencabut segala obor
yang berada di tanah lapang itu dan dilemparkan bersama-sama ke arah
seperangkat gamelan itu.
“Bakar saja,
bakar saja…!” teriak mereka bersama-sama.
Obor-obor
itupun kemudian menyala berkobar-kobar. Minyak yang berada di dalam bumbung pun
kemudian tumpah ruah dan membasahi gamelan-gamelan itu. Karena itulah maka
sesaat kemudian, apipun menyala-nyala dengan garangnya, seolah-olah hendak
menyentuh langit. Lidah api yang dihembus angin perlahan-lahan,
bergoyang-goyang seperti penari-penari yang menari-nari dengan riangnya di atas
gamelan yang sedikit demi sedikit hangus dimakannya. Tanah lapang itu kemudian
menjadi terang benderang. Beberapa orang berusaha menyelamatkan
dagangan-dagangan mereka. Tuak, minuman-minuman biasa, makanan dan apa saja
diatas dasaran mereka. Tetapi api mengamuk demikian hebatnya.
Dingklik-dingklik, warung-warung kacang itupun dalam sekejap telah lenyap dalam
pelukan penari maut yang menari-nari dengan iringan lagu derak-berderaknya
gamelan dan bambu-bambu yang terbakar.
Orang-orang
Banyubiru itu seperti kelompok orang-orang yang kehilangan akal dan kesadaran.
Mereka menghancurkan apa saja yang dapat mereka pegang di tanah lapang itu.
Kembali Wanamerta menekan dadanya. Keadaan berkembang sedemikian cepatnya.
Tetapi ia tidak menyalahkan Sendang Papat. Sebab telah jatuh korban di
pihaknya, karena kelicikan lawannya. Yang dipikirkan kemudian, bagaimanakah
tanggapan Mahesa Jenar atas kejadian ini. Kejadian yang terang tidak
dikehendakinya. Tetapi kalau Mahesa Jenar mengalami sendiri peristiwa-peristiwa
ini, maka iapun akan dapat mengerti. Api semakin lama semakin tinggi
menggapai-gapai di udara. Asap yang hitam membubung tinggi ke langit. Melihat
api serta asap itu, Wanamerta dapat memperhitungkan keadaan. Mau tidak mau,
cahaya merah yang mewarnai kehitaman malam itu pasti akan dapat dilihat oleh
orang-orang Lembu Sora. Karena itulah maka mereka pasti akan datang. Dan dengan
demikian keadaan akan bertambah buruk. Selagi masih ada kesempatan Wanamerta
ingin mencoba menghindarkan orang-orang Banyubiru dari bentrokan bentrokan yang
lebih besar. Dengan demikian ia menyusup diantara orang banyak yang seperti
anak anak bermain api mendekati Sendang Papat. Ketika ia sudah berada
dibelakang anak muda itu ia menggapitnya Sendang Papat menoleh kearahnya.
Matanya masih merah diwarnai kemarahan yang meluap luap. Wanamerta beragu
sejenak, tetapi akhirnya ia berkata
”Sendang,
hentikan permainan ini.” Sendang Papat memandang wajah Wanamerta dengan kecewa,
bantahnya
”Aku harus
membunuh semua orang yang telah bersetuju untuk membunuh adikku.”
“Baiklah
Sendang, aku akan membantumu. Tetapi tidak sekarang dan tidak dalam kesempatan
ini.” jawab Wanamerta lunak.
“Kenapa aku
dapat melakukannya? mereka sudah mulai sekarang.” bantah Sendang Papat.
“Bukan
sekarang Sendang, bahkan telah lama. Dan selama ini kami masih mencari cari
jalan untuk menyelesaikan masalah kita dengan orang orang yang telah keblinger
itu,” Wanamerta mencoba memberikan penjelasan.
“Aku tidak
sabar lagi. Adikku telah terbunuh, dan masih adakah orang yang akan berusaha
menyalahkan aku?” sahut Sendang Papat.
“Tidak
Sendang, tidak. Kau tidak bersalah. Kau berusaha membela adikmu, yang hanya
merupakan salah seorang dari mereka yang menjadi korban peristiwa peristiwa
semacam ini. Tetapi ketahuilah bagaimana sekiranya Lembu Sora datang ke tanah
lapang ini?,” bertanya Wanamerta.
“Bagaimanakah
kalau terjadi bentrokan antara orang banyu Biru dengan pasukan Lembu Sora?.”
“Aku akan
berdiri paling depan. Akan aku bunuh mereka semua, atau aku yang terbunuh,”
jawab Sendang Papat lantang.
Wanamerta
menjadi kebingungan. Meskipun apabila Lembu Sora itu benar benar datang, ia
tidak akan mengingkari tanggung jawab. Sebab ialah orang tertua dari
rombongannya. Sebelum Wanamerta dapat menguasai perasaan Sendang Papat yang
meluap luap itu. Tiba-tiba terdengar dari kejauhan derap kaki kuda. Dada
Wanamertapun berdesir. Itulah pertanda bencana akan datang.
“Sendang
jangan biarkan korban menjadi semakin banyak,” berbisik Wanamerta. Tetapi wajah
Sendang menjadi terang. Tampaknya ia menjadi gembira sekali, seperti kanak
kanak yang mendapat mainan. Sesekali ia meloncat dengan lincahnya. Untuk
kemudian menghambur menyongsong derap kuda yang semakin lama semakin dekat.
Beberapa orang yang yang melihatnya ikut berlari-lari dibelakangnya. Merekapun
tiba tiba menjadi gembira pula. Dari dalam gelap, dibalik tikungan jalan,
muncullah beberapa orang berkuda. Mereka adalah orang Lembu Sora dari Pamingit.
Wajah wajah mereka tampak betapa garangnya. Cahaya api yang kemerahan itu
membuat kesan yang seram pada rombongan berkuda itu. Pemimpin rombongan itu
segera melihat api yang menyala-nyala. Merekapun kemudian melihat orang orang
yang seolah olah mengamuk. Segera kemarahan menjalar didada mereka. Apalagi
ketika mereka melihat beberapa orang menyongsong kedatangan mereka dengan
senjata pemukul, bambu dan kayu dan apasaja yang mereka ketemukan. Pemimpin
laskar itu segera memberikan perintah, dan bertebaranlah orang orang berkuda
itu ke segenap penjuru. Mereka memacu kuda mereka tanpa memperhitungkan banyak
orang dilapangan itu.
Beberapa orang
terdorong jatuh dan bahkan ada diantaranya yang terlanggar dan terbanting di
tanah. Beberapa orang berteriak teriak mengancam dan mengumpat umpat. Sendang
Papat menjadi kecewa ketika rombongan itu terpencar pencar seperti orang
kesurupan dan menginjak injak yang ada di jalannya. Melihat sikap itu Sendang
Papat menjadi semakin marah. Bahkan Wanamertapun menjadi marah pula. Ia tidak
pernah membayangkan, demikian orang Pamingit memperlakukan orang Banyubiru itu
dianggapnya sapi gembalaan, yang dapat digiringnya dengan pecut dan tongkat
pemukul. Tetapi bagaimanapun kepalanya msdih tetap dingin. Berbeda dengan
Sendang Papat yang diikuti segenap orang yang berada di tanah lapang itu.
Merekapun segera memberikan perlawanan. Orang banyak itupun mengamuk
sejadi-jadinya. Tetapi apa yang dapat mereka lakukan tidak banyak. Mereka
adalah orang yang tidak begitu banyak mendapat didikan keprajuritan. Dengan
demikian perlawanan merekapun tidak banyak berarti. Hanya Sendang Papatlah yang
mampu menghadapi bahaya yang mengancam dirinya. Ketika seekor kuda dengan
kencangnya berlari menerjangnya, dengan segala kekuatan ia mendesak orang
disekitarnya untuk menghindar. Namun demikian kuda itu lewat disampingnya demikian
ia meloncat keatas punggungnya. Sekali gerak, tangannya telah membenamkan
kerisnya kepunggung orang itu yang kemudian terbanting jatuh. Dengan kuda
itulah Sendang Papat melawan orang Pamingit. Tetapi Sendang Papat seorang diri
itupun tak banyak yang dapat dilakukan.
Wanamerta
kemudian tidak mengingkari tanggung jawabnya. ia berusaha untuk mengurangi
tekanan orang Pamingit itu. Namun akhirnya satu demi satu jatuhlah korban.
Sedang keributan di tanah lapang itupun semakin menjadi jadi pula. Akhirnya Wanamerta
menganggap bahwa bentrokan itu harus segera diakhiri. Ia tidak mau melihat
orang kecil menjadi korban. Karena itu segera Wanamerta berteriak,
“Hindarkan
diri, hei orang Banyubiru. Hindarkan diri kalian.” Sekali dua kali suara
Wanamerta itu tenggelam saja dalam gemuruhnya teriakan rakyat yang marah serta
teriakan orang Pamingit yang memaki maki. Tetapi ia tidak putus asa.
Diulanginya lagi kata katanya sekali dua kali. Kemudian terdengar ia berteriak
keras
“Hei orang
Banyu Biru yang setia. Jangan terlalu bodoh melawan orang berkuda itu.
Tinggalkan mereka. Hindarkan diri kalian dari injakan kuda-kuda itu.”
Beberapa orang
mendengar teriakan Wanamerta, mereka mulai berfikir. Apakah mereka akan dapat
melawan orang berkuda itu. Sedangkan dihadapan mereka korban jatuh bertambah
lagi. Apalgi orang Pamingit yang juga menjadi gila itu menghunus pedang mereka.
Meskipun demikian Sendang Papat bertempur seperti burung Sikatan. Ia menyambar
dengan lincahnya diatas kudanya. Ketika Wanamerta berteriak sekali lagi,
suaranya mulai dapat perhatian. meskipun beberapa orang yang meluap luap
perasaannya, seolah olah tidak akan meninggalkan tanah lapang itu meskipun
seandainya mereka harus terbunuh, tetapi terdengar Wanamerta berkata
“He, hindarkan
diri kalian. Jangan mati tanpa arti. Tenaga kalian masih sangat diperlukan oleh
tanah kelahiran ini. Tetapi nanti dalam kesempatan yang lebih baik, dimana
kalian membawa senjata di tangan kalian.”
Kemudian orang
Banyubiru itu sadar akan keadaan yang tidak berimbang. Karena itulah mereka
mengikuti nasehat Wanamerta yang selalu diulang ulang. Beberapa orang meloncat
dan berlari meninggalkan lapangan itu. Kuda orang Pamingit itupun mejadi liar
pula. Mereka berlari lari mengelilingi lapangan seperti serigala lapar. Diatas
punggung mereka itupun duduk orang gila yang liar seperti beruang alasan. Orang
berada di lapangan semakin berkurang jua. Satu satu mereka mencoba
menghindarekan diri mereka dengan janji didalam dada apabila datang saatnya
maka akan mereka serahkan jiwa raga mereka sebagai tebusan atas kekhilafan
mereka selama ini. Tetapi kali ini, mereka tidak akan mati tanpa arti. Beberapa
orang berkuda mencoba mengejar mereka namun mereka itupun segera meloncati
pagar batu dan menyusup pagar bambu, tenggelam dalam gerumbul yang gelap.
Sendang Papat masih saja bertempur terus. Ia sama sekali tidak memperhitungkan
lagi keadaan yang dihadapinya. ia tidak mau melihat kenyataan bahwa akhirnya ia
harus bertempur seorang diri. Demikianlah kemudian tiga orang berkuda
bersama-sama menyerangnya. Sendang Papat memang tangkas. Tetapi ia tidak dapat
melawan ketiga-tiganya sekaligus. Ia mencoba untuk memutar kudanya, menghindar
kesamping. tetapi kuda lawannya itu akan melanggarnya. Disusul dengan yang
seekor lagi dari arah lain. Sendang Papat segera menarik kekang kudanya,
sehingga kuda itu terhenti. Seekor kuda lawannya, berlari terus kedepan, tetapi
seekor lagi benar benar membenturnya. Tekanan itu ternyata terlalu berat bagi
Sendang Papat sehingga iapun kemudian terlempar dari punggung kudanya bersama
sama dengan penunggang kuda yang membenturnya. Keduanya jatuh bergulingan dan
berusaha bangkit kembali. Demikian mereka berdiri, demikian mereka bertempur
kembali. Tetapi dalam pada itu, kawan-kawannyapun telah siap pula untuk
membantu. Wanamerta yang masih berdiri di tanah lapang melihat kesulitan yang
bakal terjadi atas Sendang Papat. Ia tidak mau mengorbankannya. Adiknya telah
terluka berat sehingga ia harus berusaha supaya kakaknya dapat diselamatkan.
tetapi lawan terlalu banyak.
Untuk sesaat Wanamerta
berbimbang hati. Ia menyesal bahwa Sendang Papat telah kehilangan kejernihan
pikirnya sehingga seolah olah ia akan membunuh diri. Tetapi ia tidak mempunyai
banyak waktu. Bagaimanapun yang terjadi ia harus membantu anak itu. Karena
itulah dengan secepat ia dapat, meloncatlah orang tua itu ke arah Sendang
Papat, untuk membantunya. Ketika seekor kuda menyambarnya, Sendang Papat masih
sempat mengelakkan dirinya bahkan ia masih dapat menyerang lawannya, yang
berdiri di atas tanah. Dengan demikian, Wanamerta masih dapat menyapanya
sebelum ia digilas oleh kaki kuda orang Pamingit. Yang mula-mula diucapkan
Wanamerta adalah
“Sendang,”
suaranya perlahan sekali.
“Adikmu
mencarimu”
“He,” Sendang
Papat terkejut
“Prapat?”
“Ya,” jawab
Wanamerta. Sementara itu ia harus turut melawan lawan Sendang Papat. Sementara
itu seekor kuda sekali lagi menyambar mereka. Dengan ikat kepala yang
diuraikan, Wanamerta berhasil menakuti kuda itu, sehingga kuda itu meronta dan
melonjak tinggi. Kesempatan itu tidak dilewatkan oleh sendang Papat. Dengan
sigapnya ia meloncat, dan sekali lagi kerisnya membenam di tubuh orang itu.
“Naiklah
kiyai,” teriaknya. Tetapi Wanamerta tidak sempat naik. Orang yang semula
berkelahi melawan Sendang papat menyerangnya. Ketika sebuah pedang menyambar lehernya,
Wanamerta berjongkok merendahkan dirinya. Kemudian dengan kakinya ia menghantam
lambung orang itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu terlempar. Malanglah
baginya, ketika saat itu dua ekor kuda bersama sama berlari mendekati titik
perkelahian. Kedua orang itu sudah siap untuk menusuk tubuh Wanamerta dari dua
arah.
TIBA-TIBA
seseorang terlempar ke depan mereka. Terdengarlah jerit ngeri. Tubuh itupun
dengan dahsyatnya terinjak oleh kaki-kaki kuda yang sedang berlari kencang.
Wanamerta hanya melihat peristiwa itu sebentar saja. Iapun segera berlari,
meloncat ke atas punggung kuda, yang semula dipakai oleh Sendang Papat. Kuda
itu, yang masih berdiri di tengah lapangan, menjadi terkejut dan berlari
melingkar-lingkar. Untunglah Wanamerta segera dapat menguasainya. Dalam pada
itu Sendang Papat sudah bimbang. Kalau semula ia sudah berketetapan hati untuk
mati dengan membawa bela sebanyak-banyaknya, kini ia terpaksa berpikir kembali.
“Adakah
Parapat masih hidup?” pikirnya.
Tiba-tiba
Sendang Papat ingin mendapat penjelasan tentang adiknya. Karena itu Sendang
Papat segera mendekatkan diri kepada Wanamerta sambil bertanya,
“Adakah Kiai
tadi berkata tentang Parapat?”
Mata Wanamerta
tidak terpelas dari para penunggang kuda yang telah siap menerjang mereka.
Meskipun
demikian ia menjawab,
“Ya.”
“Bagaimana
dengan anak itu?” Sendang Papat minta penjelasan.
“Ia mengharap
kedatanganmu. Mudah-mudahan ia masih tertolong,” Wanamerta mencoba untuk
memancing anak itu meninggalkan tanah lapang yang terkutuk ini.
Sementara itu,
ia melihat beberapa orang lain, yang semula mengejar-ngejar orang Banyubiru
telah memasuki tanah lapang kembali. Bahkan merekapun segera bersiap pula untuk
menyerang. Wanamerta melihat bahaya yang bertambah-tambah, sementara itu
harapannya mulai timbul kembali. Mudah-mudahan Sendang Papat bersedia
meninggalkan tanah lapang ini untuk melihat adiknya.
“Tak cukup
banyak waktu Sendang,” kata Wanamerta pula,
“Adikmu
cepat-cepat harus mendapat bantuan.”
“Di mana dia
sekarang?” tanya Sendang Papat.
“Ia disembunyikan
di rumah Ki Prana,” jawab Wanamerta.
Sendang Papat
merenung sejenak. Di hadapannya orang-orang Pamingit memacu kudanya ke arah
mereka berdua.
“Mereka
datang, Kiai,” kata Sendang Papat.
Wanamerta
telah melihat mereka pula. Segera ia menarik kekang kudanya memutar sekali,
lalu berlari ke samping.
“Pikirkan
adikmu itu,” katanya sebelum kudanya berlari. Sendang Papat tidak sempat
menjawab. Seekor kuda lawan menyerangnya dengan cepatnya. Ketika sebuah pedang
menyambarnya, dengan cepatnya ia melekatkan tubuhnya pada punggung kudanya.
Hatinya berdesir ketika Sendang Papat merasakan angin sambaran pedang
menghembus tengkuknya.
“Hampir saja,”
desisnya. Karena itu Sendang Papat merasa bahwa lebih baik melawan orang-orang
Pamingit itu, dengan pedang pula. Karena itu cepat-cepat ia meloncat turun
memungut pedang dari seseorang yang telah tak berdaya untuk bangkit kembali.
Dengan pedang itulah kemudian ia melawan setiap penyerangnya dengan kekuatan
yang berimbang. Tetapi orang-orang Pamingit itu pun bertambah-tambah pula.
Sendang Papat melihat Wanamerta yang tua itu pun dapat bergerak mengagumkan. Di
tangannya tiba-tiba saja telah tergenggam sebuah telempak, tombak bertangkai
pendek. Agaknya ia pun merasa perlu untuk memegang sebuah senjata yang tidak
terlalu pendek dalam pertempuran berkuda. Namun, meskipun demikian di dalam
hati Sendang Papat mulailah timbul keraguan. Ia terpengaruh benar oleh
kata-kata Wanamerta tentang adiknya. Karena itu selagi ia sempat, ia mendorong
kudanya ke arah Wanamerta, dan dengan suara yang parau dan perlahan-lahan ia
berkata,
“Apakah kita
lebih baik meninggalkan lapangan ini, Kiai?”
“Demikianlah,
untuk keselamatan adikmu. Ia membutuhkan perawatan,” jawab Wanamerta.
“Baiklah,”
jawab Sendang Papat.
Tetapi
sementara itu, Wanamerta memandang sekelilingnya dengan alis yang
berkerut-kerut. Ia melihat perubahan pada tata perkelahian lawannya. Wanamerta
tidak lagi melihat mereka bersiap untuk menyerang satu demi satu atau berdua
atau bertiga sekalipun.
Yang
dilihatnya adalah orang-orang Pamingit itu mulai membuat sebuah gelang,
mengelilingi mereka berdua.
“Setan,” desis
Sendang Papat.
“Mereka
mengepung kita,” sahut Wanamerta.
Sendang Papat
memutar kudanya untuk melihat keadaan di sekelilingnya. Ia melihat sepuluh,
bahkan lebih dari itu, orang-orang berkuda di sekelilingnya. Sedang di tengah
lapang itu, ia melihat beberapa ekor kuda tak berpenumpang. Dua tiga orang
Pamingit terbaring diantara beberapa orang Banyubiru yang terluka dan bahkan
ada yang terbunuh di tanah lapang itu.
Suatu
kekacauan yang mengerikan. Tetapi sementara itu, Wanamerta dan Sendang Papat
harus berpikir tentang diri mereka. Ketika mereka melayangkan kembali pandangan
mereka, mereka melihat perlahan-lahan kuda-kuda yang mengepung itupun mulai
bergerak maju. Wanamerta adalah seorang tua yang berpengalaman cukup. Karena
itu segera ia mengetahui maksud orang-orang Pamingit itu. Maka desisnya,
“Sendang,
jangan beri kesempatan mereka bersama-sama menyerang. Kau lihat kelemahan
mereka?”
Sendang
menggeleng lemah.
“Kita
menyerang dari arah api. Aku harap mereka terganggu oleh cahaya yang silau itu.
Kita tembus dinding yang bertentangan dengan arah cahaya. Secepat-cepatnya,
sebelum datang yang lain, mereka sempat membantu,” kata Wanamerta setengah
perintah.
SENDANG PAPAT
telah menangkap maksud orang tua itu. Ia memuji didalam hatinya. Tetapi ia
tidak sempat untuk berkata apapun, sebab demikian Wanamerta selesai berkata,
demikian ia menarik kekang kudanya dan memacu ke arah barat. Sendang Papat pun
segera menyusul. Pedangnya berkilau-kilau kemerah-merahan oleh cahaya api yang
sudah mulai berkurang. Namun cahayanya masih cukup besar untuk menerangi
seluruh tanah lapang itu. Orang-orang Pamingit itu terkejut melihat kesigapan
Wanamerta dan Sendang Papat. Meskipun mereka sudah mengira, bahwa kedua orang
itu tidak akan mau menyerah begitu saja, namun serangan mereka berdua yang
tiba-tiba, telah menyebabkan mereka kehilangan waktu beberapa saat untuk
menilai gerakan itu. Wanamerta telah mencapai dinding kepungan itu, dengan
membelakangi api yang menyala-nyala. Setiap garis-garis yang tergores pada
tubuh orang Pamingit itu. Setiap gerakannyapun dapat diketahuinya. Sebaliknya
orang-orang itu hanya melihat bayangan hitam seperti terbang menerkamnya.
Mereka tidak dapat melihat dengan jelas, gerakan-gerakan apakah yang sudah
dilakukan oleh dua hantu yang seakan-akan meloncat dari tengah-tengah itu.
Karena itu mereka menjadi gugup. Tetapi sesaat kemudian, kawan-kawan merekapun
menjadi sadar. Mereka akhirnya mengetahui juga, bahwa Wanamerta telah mengambil
keuntungan dari cahaya api yang silau itu. Dengan demikian segera merekapun
bergerak maju mengejarnya. Ternyata perhitungan Wanamerta adalah tepat. Ia
dapat mencapai dinding kepungan sebelum lawan-lawan mereka yang lain sempat
membantu. Dengan telapaknya Wanamerta menyerang orang yang menghadang di
hadapannya. Meskipun kemudian orang dikanan kirinya merapat, namun cahaya yang
silau telah membuat untung Wanamerta dan Sendang Papat. Perkelahian yang
terjadi kemudian tidak berlangsung lama. Mereka tidak dapat menahan kedua orang
itu untuk menerobos kepungan mereka. Akhirnya Wanamerta berhasil keluar dari
lingkaran maut itu bersama-sama dengan Sendang Papat. Tetapi Wanamerta kemudian
tidak mau disilaukan oleh api yang memberinya keuntungan, apabila ia harus melawan
pengejarnya. Karena itu segera ia membelokkan arah kudanya ke kanan.
Tetapi
orang-orang Pamingit itu telah mendapatkan kesadaran mereka. Sebagian dari
mereka segera menyusul, dan sebagian lagi memotong jalan. Tetapi Wanamerta dan
Sendang Papat telah melepaskan diri dari kepungan. Mereka dapat menghadapi
lawan mereka dari satu arah. Meskipun demikian lawan mereka terlalu banyak.
Sehingga kemudian ternyata bahwa Wanamerta dan Sendang Papat pun terdesak.
Menghadapi keadaan yang demikian, kedua orang Banyubiru yang gemblengan itu
malahan telah membulatkan tekad untuk melawan sampai kesempatan terakhir. Dalam
pada itu, ketika mereka sedang berkelahi mati-matian, tiba-tiba terdengarlah
suara-suara anak muda tertawa. Disusul oleh sebuah aba dari antara mereka,
“Ayolah, kita
mulai.” Yang berada di tanah lapang itu kemudian dikejutkan oleh munculnya
empat ekor kuda dari sudut tanah lapang itu. Kemudian seekor lagi ditunggangi
oleh seorang anak muda yang tampan, bertubuh tegap dan berdada bidang.
Agaknya anak muda
yang terakhir itulah yang telah mengucapkan aba-aba. Sedang keempat anak muda
yang lain itupun langsung menerjunkan diri ke kancah pertempuran.
“Ayolah Kiai,”
teriak salah seeorang diantaranya,
“Aku berada di
pihak Kiai dan Paman Sendang Papat.”
Wanamerta
heran melihat kedatangan mereka. Demikian juga Sendang Papat. Wanamerta adalah
orang Banyubiru sejak Pangrantunan. Tetapi terhadap anak-anak muda itu ia belum
begitu mengenal. Sedang mula-mula Sendang Papat pun agak ragu, siapakah yang
telah datang tepat pada saatnya membantu mereka berdua. Tetapi Wanamerta dan
Sendang Papat belum sempat bertanya tentang mereka. Pertempuran itu menjadi
kian sengit. Keempat anak muda itupun berkelahi dengan tekad yang
menyala-nyala. Dengan demikian pekerjaan Sendang Papat dan Wanamerta menjadi
berkurang.
Lawan-lawan
mereka setidak-tidaknya telah berkurang dengan empat orang, yang harus melayani
keempat anak muda yang bertempur dengan tenaga yang penuh. Namun agaknya
keempat anak muda itu masih kurang pengalaman, sehingga meskipun mereka
bertempur mati-matian, tetapi ternyata bahwa mereka tidak lebih dari setiap
orang dari laskar Pamingit itu. Sehingga dengan demikian, pertempuran itupun
hampir tak terpengaruh oleh kehadiran keempat orang itu. Meskipun demikian, kesempatan
untuk menjaga diri bagi Wanamerta dan Sendang Papat adalah jauh lebih besar
dari semula. Maka semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin keras.
Orang-orang Pamingit yang tidak segera dapat menyelesaikan pekerjaan mereka
itupun menjadi marah dan bertempur semakin liar. Karena jumlah mereka lebih
banyak maka kemudian mereka pun berhasil sedikit demi sedikit menguasai
keadaan, sehingga pertempuran itupun menjadi berat sebelah. Ternyata yang
menjadi pusat perhatian mereka adalah Wanamerta dan Sendang Papat. Sedang
terhadap keempat anak muda itu mereka hanya sekedar memberikan perlawanan untuk
menjaga mereka supaya mereka tidak dapat langsung membantu Wanamerta dan
Sendang Papat. Dalam keadaan yang demikian itu, maka tiba-tiba pemuda yang
seorang lagi yang masih duduk diam di ats punggung kudanya di tepi lapangan itu
tertawa terbahak-bahak. Suaranya itu sangatlah menarik perhatian.
Baik orang
Pamingit maupun Wanamerta dan Sendang Papat. Bahkan kawan kawannyapun menoleh
kepadanya.
“Permainan
yang jelek,” katanya.
“Tidakkah
kalian dapat berkelahi lebih baik?”
“Apakah yang
jelek?,” jawab salah seorang temannya.
“Kalian hanya
mampu berputar putar seorang penari jathilan di atas kuda kepang,” jawab anak
muda itu….
KAWAN-KAWAN
anak muda itu tak ada yang menjawab. Tetapi pertempuran masih berlangsung
terus. Sehingga kemudian terdengar ia berkata pula,
“Kiai
Wanamerta dan Paman Sendang Papat pun agaknya sudah terlalu payah. Tetapi
cara-cara yang dipergunakan, serta gerak-gerak yang bersumber pada Paman Mahesa
Jenar agaknya cukup menarik.”
Wanamerta dan
Sendang Papat sekali lagi terkejut bukan main. Kenapa anak muda itu mengetahui
beberapa unsur gerak yang dipelajarinya dari Mahesa Jenar? Kemudian
terdengarlah anak muda yang gagah tampan itu meneruskan,
“Tetapi
sayang, bahwa Paman Sendang Papat kurang berhasil mengambil keuntungan dari
gabungan ilmu Ki Ageng Supit Wanakerta dengan ilmu dari perguruan Pengging.”
Sendang Papat
menjadi semakin heran. Ia belum pernah mengenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta.
Sedang yang dikenalnya hanya Wanamerta. Tiba-tiba ia tidak dapat menunda
keinginannya untuk mengetahui serba sedikit tentang anak muda itu, sehingga
sambil bertempur ia berteriak,
“Aku belum
kenal Ki Ageng Supit dari Wanakerta.”
“Kalau
begitu…” jawab anak muda itu,
“Kakang
Sendang pasti kenal salah seorang muridnya.”
“Siapakah
dia?” tanya Sendang Papat.
“Wiraraga atau
Dalang Mantingan,” jawab anak muda itu. Kembali Sendang Papat keheranan.
Ternyata anak muda itu kenal pula kepada Ki Dalang Mantingan. Sementara itu orang-orang
Pamingit menjadi semakin mendesak pula. Sehingga akhirnya Wanamerta dan Sendang
Papat benar-benar mengalami kesulitan.
Dalam keadaan
yang demikian itulah tiba-tiba anak muda yang masih berdiam diri di pinggir
tanah lapang itu berkata lantang,
“Maafkan aku
Kiai Wanamerta dan Kakang Paman Papat kalau aku ikut campur pula dalam
pertempuran ini.”
Setelah
selesai dengan kata-katanya, segera ia mendorong kudanya untuk terjun ke dalam
pertempuran. Mula-mula orang Pamingit itu tidak banyak memperhatikannya. Mereka
mengira bahwa anak muda itu tidak terlalu jauh terpaut dari keempat kawannya.
Tetapi ketika anak muda itu telah benar-benar bertempur, ternyata ia
benar-benar mengejutkan. Dalam saat yang sangat pendek, ternyata ia telah
berhasil melemparkan dua orang Pamingit dari kudanya.
“Gila…!”
teriak salah seorang yang terlempar itu dengan penuh kemarahan. Punggungnya
terasa betapa sakit, sedang bajunya tersobek lebih sekilan. Dengan
mengumpat-umpat ia berusaha untuk mengejar kudanya kembali dan dengan susah
payah ia meloncat ke punggungnya. Demikian pula kawannya yang seorang lagi.
Sambil
memungut pedangnya ia berteriak,
“Anak gila,
agaknya kaupun ingin menjadi bangkai seperti Wanamerta dan Sendang Papat.”
Anak muda itu
tertawa. Sedang tandangnya menjadi semakin mengherankan. Ia menyerang seperti
elang untuk kemudian melingkar dan menyerang kembali. Ia tidak pernah
menghindari setiap serangan, dan bahkan dengan tertawa nyaring ia melawan dua
tiga orang sekaligus.
“Aneh,” pikir
Wanamerta dan Sendang Papat seperti berjanji. Perhatian orang-orang Pamingit
kemudian lebih banyak tertuju kepadanya daripada Wanamerta dan Sendang Papat.
Apalagi mereka berduapun menjadi seolah-olah penonton yang keheranan. Demikian
juga keempat kawan-kawannya. Anak muda itu, yang bertubuh tegap dan kekar dan
tampan, bertempur seperti anak bermain kejar-kejaran.
Wajahnya sama
sekali tidak menunjukkan kesungguhan. Sayang bahwa cahaya api yang semakin
pudar, tidak memberi kesempatan kepada Wanamerta dan Sendang Papat untuk
mengenalnya dengan baik. Dengan nada yang segar, anak muda itu berkata,
“He,
kawan-kawan dari Pamingit. Kenapa kalian bersusah payah mengejar-ngejar Kiai
Wanamerta dan Kakang Sendang Papat, sedang orang-orang yang bersalah tidak kau
tangkapi?”
“Siapa yang
bersalah itu?” teriak orang-orang Pamingit dengan marah.
“Sontani dan
orang-orangnya,” jawab anak muda itu.
“Omong
kosong,” bentak orang Pamingit yang lain sambil memutar pedangnya menyambar
punggung anak itu. Dengan enaknya anak muda itu mengelak tanpa berkisar. Tetapi
kemudian dengan satu gerakan yang sederhana ia telah berhasil memukul dengan
tangannya.
Ya, dengan
tangannya, pergelangan tangan orang yang menyerangnya, sehingga terdengar ia
mengaduh perlahan, dan pedangnya terpelanting jatuh di tanah. Orang itu menggeram
marah, tetapi ia memacu kudanya menjauhi anak muda itu, sebelum ia berhasil
mendapatkan sebilah pedang yang lain yang dipungutnya dari seorang kawannya
yang telah terbaring di tanah. Anak muda itu masih bertempur dengan lincahnya.
Wanamerta dan Sendang Papat, seolah-olah terbebas sama sekali dari perkelahian
itu. Mereka kini tinggal menghadapi seorang-seorang. Sedang yang lain lebih
banyak mencari perhatian untuk menjatuhkan pemuda itu lebih dahulu. Dengan
tertawa anak muda itu kemudian terdengar berkata,
“He,
kawan-kawan Pamingit. Demikianlah kira-kira yang akan kalian alami, kalau
kalian pada suatu saat terpaksa bertempur melawan Arya Salaka.”
SEORANG dari
anak muda itu mengulangi kata-katanya,
“Arya
Salaka…?” Sedangkan dalam hati Wanamerta dan Sendang Papat tertarik pula pada
kata-kata itu.
“Ya, Arya
Salaka dapat bertempur jauh lebih baik lagi. Aku hanya menirukan beberapa
bagian dari ilmunya,” lanjut anak muda itu. Tak ada yang terdengar menjawab
perkataannya. Tetapi orang-orang Pamingit itu agaknya menjadi semakin marah.
Namun mereka harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak akan mampu melawan anak
muda itu bersama-sama dengan Wanamerta, Sendang Papat dan keempat anak-anak
muda yang lain, yang menganggap perkelahian itu seperti permainan saja.
“Arya Salaka
dapat memukul hancur kepala kuda yang kalian naiki hanya dengan tangannya.”
Anak muda itu meneruskan.
Dan tiba-tiba
ia menyambar salah seorang lawannya, dan dengan gerak yang mengejutkan ia
menghantam kepala kuda itu. Terdengarlah suara ledakan disusul dengan
teriakan-teriakan anak-anak muda yang lain, seperti mereka melihat kawannya
menang bertaruh. Kuda itu menggeliat dan memekik tinggi. Sesaat kemudiah jatuh
berguling untuk selama-lamanya. Dari kepalanya mengalir darah bercampur otak
yang menghambur-hambur. Orang yang semula melekat di punggung kuda itu, juga
terbanting. Seperti orang lumpuh ia menyaksikan kepala kudanya pecah. Tubuhnya
terasa gemetar dan seolah-olah segala persendian tubuhnya terlepas satu sama
lain.
“Hebat…,
hebat….” teriak kawan-kawannya.
Tetapi
orang-orang Pamingit menjadi pucat karenanya.
“Hebat….”
desis Wanamerta dan Sendang Papat perlahan-lahan.
Anak muda itu
memutar kudanya sekali. Dan orang-orang Pamingit mulai menjauhinya.
“Lihatlah
kepala kuda itu,” katanya. Wajahnya yang cerah itu beredar berkeliling.
“Nah, siapa
yang ingin kepalanya sendiri aku pecahkan seperti kepala kuda itu?” katanya
pula.
Tak seorangpun
terdengar menjawab. Orang-orang Pamingit itupun telah berhenti menyerang dengan
kuda-kuda mereka, tegak beberapa langkah berkeliling, seperti hendak mengepung
anak muda itu.
Namun tak
seorangpun berani mendekati.
“Nah,
ketahuilah bahwa Arya Salaka pun mampu berbuat demikian,” katanya.
“Tetapi itu
tidak mengherankan.” Tiba-tiba salah seorang dari orang-orang Pamingit itu
berkata. Mata anak muda itupun menjadi redup. Dengan sudut matanya ia memandang
orang Pamingit itu.
“Kau tidak
heran…?” Ia tanya.
Ternyata orang
Pamingit itu menjadi gemetar. Tetapi ia malu untuk menunjukkan perasaan
takutnya. Meskipun terbata-bata ia menjawab,
“Sawung Sariti
pun mampu melakukan. Ia memiliki aji Lebur Sekethi.”
Anak muda itu
mengerutkan keningnya. Lalu berkata,
“Hebat.
Memang, Lebur Sekethi pun hebat pula. Sehebat Sasra Birawa dan Cundha Manik
dari Gunungkidul. Tetapi ilmu semacam itupun mengenal tingkatan pula. Sawung
Sariti menekuni ilmunya sambil makan dan minum seenak-enaknya. Kalau ia lelah,
ia dapat berbaring di tempat pembarian yang empuk dan baik. Tetapi tidak dengan
Arya Salaka.”
Anak muda itu
berhenti sambil menarik nafas. Ia menunggu kalau-kalau ada yang mencoba
menjawabnya. Namun orang-orang Pamingit itu menjadi seperti orang-orang
terinjak. Diam.
“Dengarlah…”
katanya kemudian,
“Sawung Sariti
berlatih di dalam pendapa yang terlindung dari terik matahari. Beberapa orang
mengipasinya kalau keringatnya mulai mengalir. Dengan tergesa-gesa gadis-gadis
menyediakan air hangat bila ia haus.”
Anak muda itu
kemudian meneruskan,
“Tetapi apa
yang terjadi dengan Arya Salaka? Ia mesu diri sejadi-jadinya dalam masa
pembajaan. Apabila siang, ia berlatih di terik panas matahari. Apabila malam ia
berlatih dalam buaian angin malam. Kalau ia lelah, ia membaringkan dirinya,
beralas rumput, berselimut langit. Kalau ia haus, minumlah ia air hangat yang
baru memancar dari sumbernya. Sedangkan kalau ia lapar, dengan sabarnya ia
menunggui perapian dimana ia merebus jagung atau ketela pohon.”
“Disamping
itu, ia memperkuat tubuhnya dengan bekerja keras. Ia mencangkul diantara para
petani. Berjuang melawan ombak dan taupan diantara para nelayan. Nah, katakan
sekarang hai orang-orang Pamingit. Siapakah yang kira-kira akan lebih kuat dan
masak menguasai ilmunya. Arya Salaka atau Sawung Sariti?” lanjut anak muda itu.
No comments:
Post a Comment