Bagian 042


KANIGARA menganggap bahwa kata-kata Sarayuda itu sudah berlebih-lebihan. Karena itu bagaimanapun ia menyabarkan diri namun ia menjadi jengkel pula karenanya. Maka kemudian dijawabnya.
“Terserahlah kepada Tuan, kalau Tuan mempunyai waktu untuk mengajarnya. Itu kalau Tuan merasa mampu”.
Dada Mahesa Jenar berdesir mendengar jawaban Kanigara, sebab dengan demikian berarti bahwa ia mengijinkan Karang Tunggal melayani Sarayuda. Bagi Mahesa Jenar ada dua hal yang menggelisahkan. Pertama, apakah Karang Tunggal tidak akan mengalami cidera, sebab pada saat itu Sarayuda sedang dalam puncak kemarahannya, sehingga sulitlah baginya untuk mengendalikan dirinya, meskipun ia hanya berhadapan dengan anak-anak. Kedua, bagaimanakah pendapat Panembahan Ismaya yang sama sekali tak menghendaki adanya kekerasan. Apalagi dilakukan oleh seorang yang selalu berada di dekatnya, Putut Karang Tunggal. Tetapi ia tidak dapat berpikir lebih jauh, sebab pada saat itu terdengarlah Sarayuda tertawa, meskipun sama sekali bukan karena perasaan gembira. Di sela-sela tertawanya ia berkata,
“Baiklah, sekarang kau yang menghina aku. Kau sangka aku tidak mampu mengajar anakmu. Meskipun andaikata anakmu kekasih dewa-dewa”.
Tak seorang pun dapat mencegahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas pun tidak. Apalagi memang orang tua itu tidak berusaha mencegahnya, ketika ia mendengar Kanigara meragukan kemampuan muridnya. Hanya saja ia selalu waspada, kalau-kalau Sarayuda akan berbuat keterlaluan terhadap Putut Karang Tunggal. Dalam pada itu, mula-mula Karang Tunggal menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengerti apa maksud pamannya itu. Sehingga dengan wajah yang bertanya-tanya ia memandang Kebo Kanigara tanpa berkedip minta penjelasan. Untuk beberapa saat Kanigara menunggu perkembangan suasana. Ketika ia sudah tahu benar bahwa Ki Ageng Pandan Alas tidak mencegah muridnya, maka kemudian ia pun mengangguk kecil kepada Putut Karang Tunggal. Putut Karang Tunggal tiba-tiba menjadi gembira sekali. Matanya yang bulat bercahaya itu menjadi berseri-seri. Sejak mengunjungi pamannya di bukit kecil itu, ia merasa sangat terkekang. Ia mulai dapat melemaskan tulang-tulangnya ketika ia mendapat kawan bermain, Arya Salaka. Tetapi apa yang dilakukan adalah sangat terbatas, sekarang ia mendapat kawan bermain. Barangkali dengan orang itu ia akan dapat bertindak lebih leluasa lagi.

Meskipun demikian dengan tersenyum-senyum ia mengangguk hormat kepada Sarayuda yang sudah mulai melangkah mendekatinya dengan gigi yang gemeretak dan mulut terkatup rapat.
“Tuan, yang dipinggangnya tergantung perguruan Pandan Alas… perkenankan aku minta maaf. Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud menertawakan Tuan. Hanya karena kelakuan Tuan-lah sebenarnya, maka aku tidak berhasil menahan geli”.
Hati Sarayuda yang sedang marah, mendengar kata-kata itu seperti disiram api. Telinganya seketika menjadi panas, dan bibirnya bergetaran. Mahesa Jenar tidak menduga sama sekali bahwa Putut Karang Tunggal akan berkata demikian, sehingga hampir saja ia melangkah maju untuk mencegahnya. Tetapi diurungkan ketika Kanigara menggamit tangannya sambil menggelengkan kepalanya. Meskipun demikian hati Mahesa Jenar menjadi sangat berdebar-debar. Ia telah melihat persoalannya membelok dari arah semula. Sebab sebelum hal ini terjadi, ia masih dapat mengerti tuntutan perasaan Sarayuda. Tetapi kemudian agaknya ia sudah dikendalikan oleh nafsu yang terlepas dari pengamatan pikiran. Sarayuda yang sudah berada dalam puncak kemarahannya itu, segera meloncat dan menampar mulut Karang Tunggal dengan suatu gerakan yang cepat sekali. Melihat gerak tangan Sarayuda, hati Mahesa Jenar berdesir. Sebab gerakan itu sedemikian cepat sehingga tak mungkin untuk dihindari.

Tetapi apa yang disaksikan sangat mengguncangkan hatinya. Ia melihat pukulan itu menyambar pipi Karang Tunggal, bahkan ia melihat suatu benturan yang keras. Namun demikian Karang Tunggal sama sekali tak tergetar. Bahkan dengan suatu gerak yang cepat pula ia meloncat mundur menjauhi. Juga gerak itu sangat mengagumkan. Putut Karang Tunggal dapat bergerak mundur dengan tangkas, seolah-olah tidak menggerakkan anggota badannya. Demikian herannya sehingga Mahesa Jenar bergeser maju selangkah, seolah-olah ia ingin melihat bahwa suatu kenyataan yang aneh telah terjadi di hadapannya. Agaknya demikian juga Ki Ageng Pandan Alas, yang memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga. Sarayuda yang sedang terbakar hatinya, tidak begitu memperhatikan kenyataan yang aneh itu. Bahkan ia menjadi semakin bernafsu ketika ia merasa serangannya yang pertama itu gagal. Sehingga kemudian ia pun menyerang lebih dahsyat lagi. Sekarang Putut Karang Tunggal telah siap untuk menerima serangan Sarayuda, sehingga ia tidak menjadi sasaran saja. Dengan cepat ia mengelak dan dengan cepat pula ia membalas serangan Sarayuda dengan serangan yang cepat pula. Maka sesaat kemudian terjadilah perkelahian yang sengit. Suatu perkelahian antara dua orang yang memiliki kecepatan bergerak yang mengagumkan. Seperti apa yang pernah disaksikan oleh Mahesa Jenar, Putut Karang Tunggal dengan lincahnya menari-nari seperti melihat lawannya dari arah yang sama sekali tak terduga-duga.
Tetapi Sarayuda bukan anak kecil yang kagum melihat burung terbang di udara. Ia telah hampir masak dalam ilmunya. Ilmu yang ditakuti lawan dan disegani kawan. Apalagi ia sendiri telah menempuh pengalaman luas, sehingga dengan demikian ilmunya menjadi bertambah sempurna. Karena itulah maka ia sama sekali tidak menjadi bingung. Kemana bayangan Karang Tunggal meluncur, Sarayuda telah siap untuk menghadapinya. Bahkan semakin lama serangannya semakin mengerikan. Kalau semula ia masih belum mempergunakan segenap kecakapannya, maka setelah ia bertempur beberapa lama maka dengan sendirinya segenap ilmunya dikerahkannya pula.

MESKIPUN demikian apa yang dilakukan Sarayuda sama sekali bukanlah semacam seseorang yang mengajari sedikit kesopanan kepada Karang Tunggal. Tetapi benar-benar telah terlibat dalam satu perkelahian dengan seorang yang sama sekali tidak diduganya akan dapat mengimbanginya dengan sangat baik. Karena itu Sarayuda menjadi semakin heran, marah dan benci bercampur aduk. Ia menjadi heran karena anak itu benar-benar tidak diduganya mempunyai kemampuan yang sedemikian tinggi. Dan karena itulah ia menjadi marah sekali. Ia merasa bahwa anak itu dengan sengaja telah menghinanya dan menariknya ke dalam suatu pertentangan.
Karena itulah maka ia tidak mau lagi mengekang dirinya. Seperti badai yang dahsyat, serangan Sarayuda kemudian datang bergulung-gulung, mengerikan sekali. Pandan Alas yang menyaksikan pertempuran itu dengan mulut ternganga menjadi tersadar, bahwa masalahnya bukanlah masalah main-main lagi. Seperti Sarayuda, ia pun tidak mengira sama sekali bahwa anak yang nakal itu dapat bertempur sedemikian gigihnya. Sehingga timbullah suatu kecurigaan di dalam hatinya, bahwa ia benar-benar hanya seorang Putut yang mengabdikan hidupnya kepada seorang Panembahan di daerah terasing seperti Karang Tumaritis, dimana segala sesuatunya lebih diberatkan pada masalah-masalah rohaniah. Pandan Alas semakin curiga pula pada orang yang mengaku bernama Karang Jati itu. Kalau saja anaknya dapat berbuat demikian, apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh ayahnya…? Karena itu mau tidak mau Pandan Alas harus mawas diri. Meskipun sebenarnya ia malu mencampuri perkara anak-anak, tetapi siapa tahu kalau masalahnya menjadi berlarut-larut.

Dalam pada itu ia telah hampir melupakan Mahesa Jenar. Bahwa sebenarnya dengan orang itulah ia berkepentingan, sehingga ia datang ke padepokan di atas bukit kecil ini. Sementara itu pertempuran antara Karang Tunggal yang tidak lain adalah Mas Karebet yang juga dikenal dengan nama Jaka Tingkir, yang telah diramalkan oleh seorang Wali yang waskita, Sunan Kalijaga, bahwa kelak akan menduduki tahta kerajaan, melawan murid tertua dan terpercaya dari Perguruan Pandan Alas, yang terkenal sebagai seorang sakti dari Klurak. Keduanya memiliki pegangan yang kuat serta pengalaman yang luas. Karena itu semakin lama pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Putut Karang Tunggal tidak lagi nampak sebagai seorang anak muda yang sedang tumbuh, tetapi ia benar-benar telah siap menjadi seorang laki-laki yang lincah, tegap, kuat dan perkasa. Sedang lawannya adalah seorang yang telah lama menjadi seorang ternama, apalagi di daerahnya. Mahesa Jenar lah yang pada saat itu menjadi paling gelisah dan bingung. Tidak saja ia kagum atas apa yang dilihatnya pada Karang Tunggal, tetapi ia bingung pula atas perkembangan masalah yang menjurus pada hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Namun ia masih sempat berdiri keheranan melihat gerak-gerak keturunan dari Perguruan sela seperti yang pernah dikenalnya dengan baik dan yang telah disaksikan pula sewaktu Karang Tunggal berlatih dengan Arya Salaka.

Tetapi ketika pertempuran itu menjadi semakin dahsyat, segera tampaklah berbagai macam ilmu bercampur aduk menjadi satu dan bersenyawa demikian serasinya, terbayang dalam gerakan Karang Tunggal. Malahan kadang-kadang tampaklah hal-hal yang tidak mungkin dapat terjadi. Dengan demikian ia dapat mengetahui bahwa anak itu benar-benar memiliki ilmu yang jauh lebih lengkap daripada apa yang pernah disaksikan. Sedangkan yang paling mengherankan adalah, hampir setiap serangan Sarayuda, bagaimanapun tepatnya mengenai sasaran, namun anak itu seolah-olah tidak merasakan sesuatu yang menyentuh tubuhnya. Ditambah lagi dengan gerak loncatnya yang aneh. Ketika Sarayuda menyerangnya dengan garang ke arah kepala, Karang Tunggal terpaksa merendahkan diri, sekaligus ia mendapat serangan kaki ke arah lambung, dan sekaligus gerak yang aneh, ia dapat melontar mundur sambil berjongkok. Gerakan ini adalah gerakan yang sulit. Namun anak itu dapat melakukannya dengan sederhana dan wajar. Kanigara melihat keheranan yang terbayang di wajah Mahesa Jenar. Meskipun ia nampaknya masih acuh tak acuh saja, tetapi sebenarnya ia pun mengagumi kemenakannya itu. Kemenakannya yang nakal dan sulit dikendalikan sehingga ibu angkatnya Nyi Ageng Tingkir menjadi bersedih atas kelakuannya. Dengan kegemarannya pergi meninggalkan rumahnya sampai berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan menyusur hutan dan padang, bahkan menyepi ke daerah-daerah yang tak pernah dikunjungi manusia, menempuh daerah-daerah bahaya dan sengaja masuk ke dalam sarang-sarang penjahat, telah menjadikan Karebet seorang yang benar-benar tertempa lahir dan batin.

Akhirnya Mahesa Jenar tidak tahan lagi untuk tetap menyaksikan saja keperkasaan Karang Tunggal, sehingga akhirnya ia perlahan-lahan pergi mendekati Kanigara, untuk menanyakan beberapa hal mengenai anak yang aneh itu. Ketika Mahesa Jenar telah berdiri di sampingnya, dengan mata yang tak berkedip memandang perkelahian itu, Kanigara mengetahui maksudnya. Maka sebelum Mahesa Jenar bertanya, Kanigara telah berbisik lirih,
“Apakah kau menjadi heran?”
Mahesa Jenar mengangguk.
“Jangan heran…” Kanigara melanjutkan,
“Meskipun aku sendiri tidak tahu dari mana ia mendapatkannya. Tetapi ia memiliki ilmu yang disebutnya Lembu Sekilan”.
“Lembu Sekilan…?” ulang Mahesa Jenar.
“Ilmu yang pernah dimiliki oleh Empu Mada?”
Demikian. Karena itu ia seolah-olah menjadi kebal. Meskipun ilmu itu belum sempurna. Ia masih dapat dikenai serangan yang cukup tajam dari ilmu yang kuat. Apalagi ia nanti dapat menyempurnakan ilmu itu. Setidak-tidaknya mendekati apa yang dimiliki oleh Gajah Mada. Maka ia pun akan menjadi orang yang tak terkalahkan seperti Gajah Mada.

MAHESA JENAR menggeleng-gelengkan kepala. Seorang anak yang masih semuda itu telah memiliki suatu jenis ilmu yang sudah jarang sekali terdapat diantara para sakti sekalipun. Karena itulah maka ia melihat serangan Sarayuda yang tepat dapat mengenainya, tetapi sama sekali tak menggetarkan kulitnya. Tetapi dengan demikian ia semakin cemas. Untunglah bahwa Sarayuda pun memiliki ketangkasan yang luar biasa, sehingga Karang Tunggal terlalu sulit untuk menyentuh kulitnya. Meskipun demikian kemarahan Sarayuda setiap saat menjadi semakin menyala-nyala. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri, kepada gurunya dan kepada semua orang yang menyaksikan. Bahwa melawan seorang anak-anak itu saja ia tak berhasil mengalahkan. Karena itulah maka kemudian ia benar-benar bertempur dengan seluruh tenaga, kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Ia kini tidak merasa lagi berkelahi sekadar sebagai suatu pernyataan marah, tetapi ia telah bertempur benar-benar diantara hidup dan mati. Itulah sebabnya maka mereka yang menyaksikannya tidak dapat tetap acuh tak acuh. Kanigara pun kemudian bangkit berdiri, dan mengikuti jalannya perkelahian dengan seksama.

Tetapi yang beranggapan lain dari semuanya adalah Arya Salaka. Ia pun menjadi gembira sekali dapat menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Meskipun dalam beberapa hal ia menjadi keheran-heranan melihat gerak-gerak yang belum pernah disaksikan, namun ia dapat mengikuti sebagian besar dengan baik. Setelah ilmunya sendiri meningkat dengan pesatnya, maka ia kemudian tidak lagi mengagumi Sarayuda sebagai seorang yang terlalu tangguh. Sebab apabila gurunya mengijinkan, dalam tingkatannya yang sekarang ia pun bersedia untuk melawannya, meskipun barangkali tidak sebaik Putut Karang Tunggal. Karena itu Arya Salaka melihat pertempuran yang hebat itu dengan bergeser-geser mengikuti setiap geseran titik pertempuran. Bahkan kadang-kadang ia berlari-lari mengelilingi untuk mengambil sudut pandangan yang jelas. Karena ia sendiri sering melakukan latihan dengan Karang Tunggal maka ia dapat melihat betapa berbahayanya gerak serangan yang dilakukannya. Apalagi ketika pertempuran itu telah berlangsung lama. Tidak hanya Arya Salaka, tetapi semua yang hadir di sekitar arena pertempuran itu menyaksikan suatu hal yang tak terduga sebelumnya. Ketika Sarayuda tidak lagi mengekang dirinya, dan bertempur dengan segenap tenaganya dan kemampuannya, maka Putut Karang Tunggal pun menanggapinya. Maka dalam saat-saat terakhir, ternyata ia berhasil mendesak lawan dengan hebatnya. Gerakannya menjadi semakin cepat dan lincah. Sebaliknya Sarayuda tenaganya sudah mulai surut setelah diperas habis-habisan.

Kemudian terjadilah hal yang sangat mengejutkan. Putut Karang Tunggal yang akhirnya juga menjadi kehilangan kesabaran, tiba-tiba dari matanya yang bulat memancar seolah-olah cahaya merah kebiru-biruan. Cahaya yang mempunyai pengaruh luar biasa sebagai pancaran gaib yang melontar dari dalam dirinya. Bersamaan dengan itu geraknya pun menjadi semakin garang sebagai topan yang mengalir deras dibarengi petir yang menyebar maut. Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang tua yang penuh pengalaman dalam perjalanan hidupnya. Banyak hal yang pernah dilihat dan dirasainya. Hal-hal yang kasar, yang halus, yang kasat mata dan yang tidak. Itulah sebabnya maka ketika ia melihat sorot mata Putut Karang Tunggal yang seakan-akan memancarkan cahaya merah kebiru-biruan itu, hatinya tergetar cepat. Segera ia dapat merasakan suatu kegaiban dari cahaya itu. Apalagi yang dilihatnya benar-benar suatu hal yang tak mungkin terjadi dalam keadaan yang wajar. Seorang anak muda yang memiliki ketangkasan demikian mengagumkan. Tidak saja melampaui muridnya, namun apabila ia benar-benar marah, ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan Sarayuda. Meskipun Pandan Alas belum pernah berkenalan, apalagi mempelajari semacam ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang Tunggal, namun sebagai seorang yang banyak mengetahui berbagai macam ilmu, ia pun dapat menerka bahwa ilmu yang dipergunakan Karang Tunggal adalah ilmu yang luar biasa. Bahkan ia pun telah menduga bahwa Putut Karang Tunggal memiliki ilmu yang hampir merupakan dongengan, Lembu Sekilan. Sebab apapun yang dilakukan Sarayuda, dan tampak benar-benar mengena, namun anak itu seolah-olah sama sekali tak merasakannya. Meskipun dalam beberapa kali, apabila Sarayuda berhasil melontarkan serangan yang tajam dan sepenuh tenaga, tampak juga betapa Karang Tunggal bertegang wajah, menerapkan ilmunya dengan sepenuh usaha.

Dengan demikian Pandan Alas dapat menduga bahwa ilmu Putut Karang Tunggal itu masih belum sempurna. Tetapi yang pernah didengarnya, seperti yang pernah didengar oleh hampir semua tokoh-tokoh sakti, yang mersudi olah jaya kawijaya guna kasantikan, bahwa Lembu Sekilan adalah salah satu ilmu yang pernah dimiliki Maha Patih Gajah Mada. Berdasarkan apa yang disaksikan itulah maka akhirnya Pandan Alas merasa bahwa bagaimanapun hebatnya Sarayuda, namun ia tak akan berhasil menandingi anak muda yang perkasa dan luar biasa itu. Karena itu ia memutuskan untuk mencegah Sarayuda bertempur lebih lama lagi. Maka kemudian terdengarlah ia berkata nyaring,
“Sarayuda… cukuplah”.

MAHESA JENAR dan Kanigara terkejut mendengar seruan itu. Namun dalam hati mereka menaruh hormat kepada orang tua yang bijaksana itu. Kalau semula mereka menyangka bahwa apabila ada salah mengerti padanya, persoalan pasti akan berlarut-larut. Tetapi ternyata Pandan Alas telah berbuat suatu hal yang terpuji. Dengan demikian maka persoalannya akan dapat dibatasi. Karena itu, Kebo Kanigara yang juga cukup bijaksana segera memanggil kemenakannya.
“Karang Tunggal… sudahlah. Mintalah maaf kepadanya, supaya kau dibebaskan dari kemarahannya.”
Putut Karang Tunggal yang bagaimanapun nakalnya, apalagi pada saat itu, hatinya sedang dipenuhi oleh perasaan marah, namun benar-benar takut kepada pamannya. Karena itu dengan sangat kecewa ia terpaksa memenuhi perintahnya. Dengan satu lontaran mundur yang jauh ia melepaskan diri dari libatan lawannya. Tetapi tidaklah demikian Sarayuda. Hatinya telah diamuk oleh suatu perasaan yang tak dapat diurai lagi. Bercampuraduknya segala macam perasaan yang dapat membakar dadanya. Marah, benci, dendam, dan segala macam. Sehingga dengan demikian meskipun ia mendengar suara gurunya, namun ia sama sekali tak menaruh perhatian. Sebagai seorang yang mempunyai kekuasaan yang cukup besar, ia sama sekali tidak mau namanya menjadi cacat. Apalagi dalam perkelahian yang memerlukan segenap pemusatan pikiran dan kekuatan, ia seolah-olah tidak dapat melihat keajaiban-keajaiban yang dipancarkan lawannya, meskipun dalam beberapa hal ia merasa heran juga kalau serangan-serangannya seolah tak pernah dapat menyentuh kulit lawannya. Tetapi justru karena itulah ia menjadi semakin bernafsu, berjuang mati-matian. Ketika Sarayuda melihat Putut Karang Tunggal melontarkan diri surut, ia sama sekali tidak menjauhkan dirinya, bahkan ia pun memburunya dan sekaligus melontarkan suatu serangan yang dahsyat.

Putut Karang Tunggal tak mengira hal yang demikian itu terjadi. Ia tidak menduga sama sekali bahwa ia akan mendapat serangan justru pada saat ia mengundurkan dirinya. Karena itulah ia tidak bersiaga. Ilmunya yang bernama Lembu Sekilan yang belum sempurna benar itu sudah mulai dikendorkan. Karena itulah maka ketika ia menerima serangan yang tak diduganya, terasalah seolah-olah sebuah bukit karang berguguran menimpanya pada saat ia sedang lelap tidur. Itulah sebabnya, bagaimanapun ia berusaha menerapkan ilmunya Lembu Sekilan, namun dalam waktu yang mendadak itu tidak banyak berarti. Meskipun berhasil menolongnya dari cidera, tetapi ia terlempar juga beberapa langkah dan terbanting jatuh. Ternyata ilmunya itu masih belum mampu bekerja sendiri apabila sebuah perangsang menyentuhnya. Semua yang menyaksikan kelakuan Sarayuda itu terkejut. Dada mereka berdebaran, dan darah mereka seperti berhenti mengalir. Bahkan Kanigara dan Mahesa Jenar menjadi seolah-olah terpaku di tempatnya dan tidak percaya atas apa yang dilihatnya. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian sampai terloncat maju, dan dengan lantangnya berteriak,
“Sarayuda… sadarkah kau bahwa kau telah berlaku kurang bijaksana?”
Sekali lagi Sarayuda tak mau mendengar suara gurunya. Bahkan masih saja ia meloncat dan menyerang Putut Karang Tunggal yang sedang berusaha untuk bangkit. Karena itulah maka keadaannya menjadi sangat berbahaya.

Untunglah otaknya cerdas dan cepat. Segera ia menghentikan geraknya. Ia lebih baik tetap berjongkok, namun dengan sekuat tenaga diterapkannya ilmunya Lembu Sekilan. Meskipun demikian serangan Sarayuda yang ganas itu menggoncangkan tubuhnya sehingga hampir saja ia terjatuh kembali. Pada saat Sarayuda akan mengulangi serangannya kembali, tiba-tiba meloncatlah bayangan dengan cepat menyerangnya dari lambung. Meskipun kecepatannya tidak dapat disamakan dengan kecepatan karang Tunggal, namun terasa betapa kuat serangan itu. Karena itu Sarayuda segera memutar tubuhnya, dan mengurungkan serangannya atas Putut Karang Tunggal. Bayangan itu adalah Arya Salaka yang telah memiliki ilmu yang maju dengan pesatnya. Karena itulah maka sekali lagi Sarayuda terkejut. Anak yang kedua ini tidak kurang berbahayanya, karena itu ia menghadapinya dengan sepenuh tenaga. Pada saat itulah Kanigara dikecewakan oleh Sarayuda. Kalau mula-mula ia ingin mencegah kemenakannya supaya tidak menyelesaikan pertempuran itu, sekarang ia berpikir sebaliknya. Biarlah anak nakal itu menghajar orang yang sama sekali tak tahu diri. Sebaliknya, Mahesa Jenar menjadi terkejut dan cemas melihat Arya Salaka melibatkan diri dalam perkelahian itu. Namun demikian ia menjadi keheranan juga, bahwa muridnya itu dapat bertempur demikian baiknya sehingga sama sekali tak diduganya. Tetapi Arya Salaka tidak perlu berjuang terlalu lama. Sebab pada saat itu Putut Karang Tunggal telah bersiap kembali. Maka sesaat kemudian terdengarlah ia berteriak nyaring,
“Adi Arya Salaka, minggirlah. Aku tidak mau diperlakukan demikian. Biarlah kami berhadapan sebagai seorang laki-laki dengan laki-laki.”
Suara Putut Karang Tunggal itu pun mengherankan pula. Getarannya bagaikan getaran guruh yang menggelegar menggoyangkan bukit-bukit kecil yang bertebaran di sana-sini. Bahkan suara itu seolah-olah telah mengejutkan matahari yang sedang tidur dengan nyenyaknya di balik cakrawala. Karena itu, di ujung timur fajar mulai menjenguk dan melemparkan cahayanya yang kemerahan. Agak jauh di Padepokan Karang Tumaritis di puncak bukit itu, terdengarlah suara ayam jantan yang berkokok bersahutan. Seolah-olah mereka sedang membanggakan diri masing-masing dengan berteriak, Ini dadaku, mana dadamu…?

DEMIKIAN pula ayam jantan dari Pengging yang bernama Karebet itu, menjadi semakin marah atas kelakuan lawannya. Karena itu apapun yang terjadi, ia bertekad untuk bertempur mati-matian. Sehingga ketika Arya Salaka telah meloncat minggir, anak muda itu tegak berdiri dengan gagahnya, dengan kaki renggang dan dada menengadah. Wajahnya menjadi semakin cerah, melampaui cerahnya fajar. Sedangkan cahaya merah kebiru-biruan yang menyorot dari matanya yang bulat cemerlang itu menjadi semakin menyala-nyala. Tiba-tiba Sarayuda yang telah bersiap pula, merasakan keanehan yang ada pada lawannya. Sekarang ia melihat sorot mata yang ajaib. Juga ia semakin merasakan bahwa serangan-serangannya menjadi seolah-olah lenyap tak berbekas. Tetapi akibat dari tanggapannya atas kenyataan yang dihadapinya itu menjadikannya semakin mata gelap. Ia sudah tidak dapat berpikir lain, kecuali membinasakan lawannya. Karena itulah maka tiba-tiba ia berbuat sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, baik oleh Mahesa Jenar, Kanigara maupun gurunya sendiri Ki Ageng Pandan Alas. Sarayuda yang dibakar oleh api kemarahan yang menyala-nyala di dalam dadanya, tiba-tiba berdiri tegak. Wajahnya terangkat dan matanya menjadi redup setengah terpejam. Ia menyalurkan segala tenaganya dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian meletakkan satu tangannya di atas dada, sedangkan tangan lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu sikap untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik, dari Perguruan Pandan Alas.

Mahesa Jenar pernah menyaksikan kedahsyatan ilmu itu, bahkan ia pernah menempurnya dengan aji Sasra Birawa. Akibatnya adalah mengerikan sekali. Sekarang, beberapa tahun kemudian, pastilah Cunda Manik itu menjadi bertambah dahsyat. Karena itu, ia menjadi pucat, dan melintaslah seleret bayangan yang mengerikan. Sebab bagaimanapun teguhnya ilmu Lembu Sekilan yang belum sempurna itu namun karena nafsu kemarahan yang tidaklah mungkin anak itu dapat bertahan diri terhadap kedahsyatan aji Cundha Manik. Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak mau melihat pembunuhan yang tidak adil hanya karena nafsu kemarahan yang tak terkendalikan. Dengan demikian ketika ilmu Cunda Manik itu telah terhimpun di dalam tangannya serta ketika dilihatnya Sarayuda telah siap meloncat dan mengayunkan tangannya, Mahesa Jenar pun segera meloncat dengan garangnya menghadang langkah Sarayuda tepat di depan Putut Karang Tunggal dengan satu tangan bersilang di hadapan dadanya, satu tangan terangkat tinggi-tinggi. Sedang sebelah kakinya ditekuknya ke depan, siap untuk melawan Cunda Manik itu dengan ajinya yang telah jauh meningkat, Sasra Birawa.

Dalam pada itu bayangan lain pun telah melontar pula, dekat di sampingnya, juga berusaha berdiri diantara Sarayuda dan Putut Karang Tunggal, bahkan agak lebih cepat sedikit darinya dengan sikap yang sama. Satu tangan bersilang, tangan yang lain terangkat tinggi-tinggi, sedang sebelah kakinya ditekuk ke depan. Itulah Kanigara yang juga berusaha melindungi kemenakannya dengan jenis ilmu yang sama, Sasra Birawa yang sempurna. Dalam sekejap mata Sarayuda melihat pula kedua orang yang telah berdiri berjajar rapat di hadapan lawannya. Namun segalanya telah terlanjur. Ilmu itu telah terhimpun dan siap dilontarkan. Karena itu ia menjadi tidak peduli lagi siapakah yang akan binasa karenanya, apakah dirinya sendiri, Putut yang telah dianggap menghinanya, ataukah Mahesa jenar, ataukah orang yang bernama Karang Jati itu. Maka dengan mata yang hampir terpejam ia meloncat dengan dahsyatnya. Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar dan Kanigara telah mulai menjulurkan kekuatannya lewat sisi telapak tangan untuk menerima aji yang dahsyat itu, kembali mereka dikejutkan oleh bayangan lain yang dengan dahsyatnya mendahului membentur Sarayuda dengan kekuatan yang luar biasa pula. Sehingga terjadilah bentrokan kekuatan yang mengerikan sekali. Akibatnya pun sangat mengejutkan. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dan Kanigara masih sempat mengendorkan diri sehingga mereka pun tidak perlu ikut serta dalam benturan yang terjadi, dan tidak terduga-duga itu.

Sarayuda, karena akibat benturan itu terlempar jauh ke belakang dan terbanting di atas batu karang. Suara tubuhnya ambruk hebat. Dan setelah itu ia sama sekali tidak bergerak lagi. Sementara itu bayangan yang membenturnya, yang tidak lain adalah gurunya sendiri, Ki Ageng Pandan Alas, segera berlari-lari memburunya, dan langsung berjongkok di sampingnya. Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal dan Arya Salaka terguncang hatinya. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa akhir peristiwa itu demikian. Benturan langsung antara murid dan gurunya dengan akibat yang tak diduga pula. Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati Ki Ageng Pandan Alas yang duduk tertunduk di samping muridnya. Wajahnya suram sesuram seorang ayah yang kehilangan anaknya tersayang. Bahkan dari mata orang tua itu membayangkan titik-titik air yang berkilat-kilat kena lemparan cahaya matahari pagi. Dari bibirnya yang bergetaran terdengarlah suaranya yang terputus-putus,
“Sarayuda… kenapa kau sampai kehilangan akal, sehingga aku terpaksa mencegahmu…? Aku pernah mengharap kau menjadi sambungan yang kuat dari perguruanku. Sekarang….”
Wajah orang tua itu menjadi semakin suram. Matanya yang kemudian terangkat dan memandang kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka, yang telah berjongkok pula mengitari tubuh Sarayuda yang gilang-gilang bermandikan cahaya matahari. Angin pagi yang bertiup lambat seolah-olah ikut serta terbenam dalam duka yang mendalam.

MEREKA yang berada di tempat itu, merasakan betapa hati orang tua itu terpecah-pecah. Murid utamanya, yang dengan penuh harapan diasuhnya sekuat tenaga, kini terbaring di hadapannya justru karena tangan sendiri.
“Anak-anakku sekalian…” kata orang tua itu kemudian dengan suara yang dalam,
“Maafkanlah muridku”.
Yang mendengar perkataan itu menjadi semakin terharu. Betapa orang tua itu berhati jantan. Yang melihat masalah di hadapannya dengan jujur meskipun dadanya serasa hancur. Perlahan-lahan orang itu dengan tangannya yang lemah karena guncangan yang hebat, meraba-raba dada Sarayuda. Tiba-tiba terbersitlah suatu cahaya di matanya. Dengan cepat Ki Ageng Pandan Alas menempelkan telinganya untuk mendengarkan detak jantung muridnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata,
”Anakmas aku masih mendengar jantungnya berdetak”.
Tiba-tiba yang mendengar seruan itu, di dalam hatinya timbul pula semacam perasaan gembira, sehingga mereka bergeser setapak maju. Namun sesaat kemudian orang itu kembali menjadi muram. Gumamnya, Tetapi detak jantung itu sudah terlalu lemah. Dan aku bukanlah seorang ahli dalam hal ini.
Tak sepatah katapun yang dapat diucapkan oleh Mahesa Jenar, Kanigara, apalagi Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka. Hanya di wajah Karang Tunggal terbayang pula penyesalan yang dalam. Karena kelakuannyalah maka semua itu terjadi. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa hanya karena ia tidak dapat menahan tertawanya saja, maka ia terpaksa menyaksikan seorang guru dan murid saling berbenturan dan mengakibatkan malapetaka.

Dalam pada itu, Kanigara yang telah agak lama tinggal di bukit Karang Tumaritis, bersama-sama dengan seorang Panembahan yang ahli pula dalam hal pengobatan, sedikit banyak dapat pula melakukannya. Maka dengan suara yang dalam ia mencoba meminta,
“Ki Ageng Pandan Alas, kalau memang masih ada detak di dalam dada Sarayuda, ijinkanlah aku mencoba untuk memperlancar jalan darahnya”.
Dengan mata yang suram Ki Ageng Pandan Alas memandang Kanigara. Tetapi kemudian ia mengangguk lemah. Segera Kanigara bangkit dan berdiri dengan kaki terbuka di atas tubuh Sarayuda. Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya untuk menolongnya menyalurkan pernafasan dan peredaran darahnya. Setelah itu, perlahan-lahan pula ia memijit-mijit dada. Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas dengan jelas dapat melihat siapakah yang berdiri di hadapannya, yang menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Ia adalah seorang yang bertubuh tegap besar, berwajah bening yang memancarkan kelembutan hati. Karena itulah ia menjadi semakin curiga, bahwa orang itu hanyalah seorang Putut yang sejak semula memang mengabdikan diri pada Panembahan di bukit ini. Dengan tidak sengaja, matanya segera merayapi Putut muda yang baru saja bertempur dengan muridnya. Seorang muda yang memiliki tanda-tanda keajaiban. Juga terhadap anak ini ia selalu bertanya-tanya di dalam hati. Siapakah gerangan mereka itu sebenarnya.

Ketika itu ia melihat Sarayuda mulai dapat menyalurkan nafas perlahan-lahan serta detak jantungnya menjadi semakin lancar pula. Namun demikian apabila ia tidak segera mendapat pertolongan yang semestinya, keadaannya sangat membahayakan. Karena itulah maka Kanigara berkata,
“Ki Ageng Pandan Alas, apabila Ki Ageng tidak berkeberatan, perkenankanlah aku membawa murid Ki Ageng ini menghadap Panembahan, supaya ia dapat disembuhkan dari keadaan yang sekarang ini”.
Ki Ageng Pandan Alas yang menaruh harapan masa depan perguruannya, sudah tentu menghendaki muridnya dapat disembuhkan. Karena itu dengan senang hati ia menjawab,
“Anak Putut Karang Jati, aku sangat berterima kasih apabila Panembahan Ismaya berkenan menyembuhkan Sarayuda”.
Kemudian oleh persetujuan itu, segera Kanigara mengajak mereka semua untuk menghadap Panembahan. Tetapi tiba-tiba terdengarlah Putut Karang Tunggal berkata,
“Paman, apakah aku harus ikut menghadap pula? Aku telah menyanggupi Adi Arya untuk membawanya berkeliling bukit kecil ini”.
Kanigara melihat ketakutan anak nakal itu terhadap Panembahan Ismaya. Karena itu ia menjawab,
“Ayolah. Kau jangan berbuat sekehendakmu saja. Arya akan sabar menunggu sampai besok, lusa bahkan seminggu dua minggu lagi. Malahan kaulah yang seharusnya mengangkat tubuh Sarayuda, dan memapahnya menghadap Panembahan”.
Karang Tunggal sama sekali tak berani membantah kata-kata pamannya. Dengan dada berdebar-debar ia membungkuk dan mengangkat murid Pandan Alas itu pada kedua tangannya dan membawanya mengikuti pamannya yang berjalan di depan bersama-sama dengan Mahesa Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Sedang Arya Salaka berjalan dengan kepala tunduk di sampingnya.
“Beratkah tubuh itu Kakang?” tanya Arya Salaka.
Dengan tersenyum kecut Karang Tunggal menjawab,
“Cukupanlah”.
“Dapatkah aku membantu?” sambung Arya.
Sekali lagi Karang Tunggal tersenyum kecut.
“Tak usahlah”.
Setelah itu kembali mereka berdiam diri. Tak seorangpun diantara mereka yang mengucapkan sepatah katapun. Namun di dalam keheningan pagi itu, dada Ki Ageng Pandan Alas masih saja bergejolak. Disamping kecemasannya atas keselamatan muridnya, ia jadi benar-benar berpikir tentang orang yang nenamakan Putut Karang Jati dan Karang Tunggal. Yang paling mengherankan baginya adalah bahwa Karang Jati dalam keadaan yang terjepit, telah menyiapkan pula ilmu yang mirip dengan ilmu Mahesa Jenar yang dahsat peninggalan almarhum sahabatnya, Ki Ageng Pengging Sepuh. Kedatangan rombongan itu, dengan seorang yang tak sadarkan diri di tangan Putut Karang Tunggal, sangat mengejutkan penghuni padepokan yang damai itu. Para cantrik segera bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang telah terjadi, dan siapakah yang pingsan di tangan kepala para cantrik itu. Demikian pula agaknya Panembahan Ismaya. Dengan tergopoh-gopoh ia menerima kedatangan mereka dengan penuh pertanyaan di wajahnya yang lembut.

SEGERA rombongan itu dipersilakan masuk dan dibaringkannya tubuh Sarayuda di atas sebuah pembaringan kayu. Panembahan Ismaya melihat keadaan yang mengkhawatirkan. Karena itu ia tidak sempat untuk bertanya-tanya. Tetapi yang mula-mula dilakukan adalah merawat Sarayuda. Beberapa bagian tubuhnya dipijit-pijit serta kemudian dengan hati-hati sekali diminumkannya semangkuk kecil obat cair ke dalam mulut Sarayuda. Suasana untuk sesaat jadi hening dan tegang. Masing-masing terikat pada keadaan Sarayuda yang masih terbaring diam. Namun nafasnya telah mulai nampak mengalir teratur. Akhirnya beberapa saat kemudian tubuh itu mulai hangat kembali. Cahaya yang merah perlahan merambat ke wajahnya. Dengan demikian maka keselamatannya semakin dapat diharapkan. Sejalan dengan itu menjalar pula perasaan syukur di dada Pandan Alas dan semuanya yang menyaksikan. Bahkan Putut Karang Tunggal yang semula menjadi marah kepada Sarayuda, kini dengan penuh harapan mengikuti perkembangan keadaan murid Pandan Alas itu.
“Mudah-mudahan Tuhan menyelamatkan jiwanya,” guman Panembahan Ismaya.
“Namun menilik keadaannya ia telah berangsur baik. Nafasnya telah mengalir dengan teratur. Meskipun agaknya untuk beberapa bulan ia harus benar-benar beristirahat untuk segera dapat memulihkan kembali kesehatan serta kekuatan tubuhnya”.
“Betapa besar terimakasihku kepada Tuhan, yang telah mengampuni jiwa muridku dengan lantaran Panembahan,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
Perlahan-lahan Panembahan Ismaya menoleh kepada Ki Ageng Pandan Alas. Untuk beberapa saat ia memperhatikannya lalu kemudian ia bertanya,
“Siapakah Anakmas yang terluka ini…?”
“Muridku, Panembahan,” jawab Pandan Alas.
Panembahan Ismaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
“Biarlah Anakmas ini beristirahat. Marilah kita duduk di ruang sebelah”.

Kemudian ditinggalah Sarayuda seorang diri terbaring. Matanya masih terpejam, tetapi wajahnya sudah nampak merah.Di ruang sebelah, mulai Panembahan Ismaya bertanya-tanya. Apakah yang sudah terjadi dan siapakah guru dan murid yang belum dikenalnya itu. Maka berceritalah Kebo Kanigara, segala sesuatu yang menyangkut peristiwa itu. Diceritakan pula hubungan antara Mahesa Jenar, Sarayuda dan Pudak Wangi yang dititipkan di padepokan itu oleh Mahesa Jenar setelah ia berhasil menyelamatkannya dari tangan Sima Rodra. Namun Mahesa Jenar sendiri geli mendengar keterangan itu. Kemudian diceritakan pula bahwa beberapa malam kemudian didengarnya suara tembang yang sebenarnya adalah suara Ki Ageng Pandan Alas, kakek Pudak Wangi yang sedang mencari cucunya. Dan kemudian tanpa meninggalkan peristiwa yang terkecil pun Kanigara menceritakan pula pertengkaran dan akhirnya perkelahian yang terjadi antara Sarayuda dan Karang Tunggal, sehingga akhirnya guru Sarayuda sendiri terpaksa mencegah muridnya yang akan mempergunakan senjata pamungkasnya yang sangat berbahaya. Panembahan Ismaya mendengarkan uraian Kebo Kanigara dengan seksama. dan sambil mengerutkan keningnya ia memandang Putut Karang Tunggal dengan penuh penyesalan.
Katanya kemudian,
“Ki Sanak yang bijaksana, maafkanlah kelakuan orang-orangku yang sama sekali tidak bersikap baik. Untunglah bahwa Ki Ageng Pandan Alas telah mencegahnya. Kalau tidak, barangkali Putut Karang Tunggal akan mengalami cidera karena kenakalannya. Bahkan Ki Ageng telah mengorbankan murid sendiri”.
Tak seorang pun yang berani mengangkat wajah. Kanigara, Karang Tunggal maupun Mahesa Jenar dan Arya Salaka. Apalagi Mahesa Jenar merasa bahwa sumber dari persoalan itu adalah persoalannya dengan Sarayuda.
Apalagi ketika Panembahan Ismaya melanjutkan,
“Dengan demikian kehadiranmu di tempat itu sama sekali tak berarti Kanigara, bahwa kau tidak dapat mencegah semuanya itu terjadi”.
Kanigara menjadi semakin menundukkan wajahnya.

Tetapi akibat kata-kata itu tajam sekali bagi Ki Ageng Pandan Alas yang telah sekian lama berteka-teki tentang orang yang menamakan dirinya Putut Karang Jati itu. Apalagi setelah ia menyaksikannya mempersiapkan aji Sasra Birawa. Dan sekarang ia mendengar Panembahan Ismaya menyebutnya Kanigara. Segera Pandan Alas teringat seseorang beberapa tahun lampau, pada saat ia masih bergaul dengan sahabatnya Ki Ageng Pengging Sepuh, guru Mahesa Jenar. Ia teringat jelas putra sahabatnya itu yang kemudian menjadi saudara muda seperguruannya sendiri. Bahkan yang memiliki ilmu yang lebih masak daripadanya. Karena ia jarang menjumpainya maka ia tidak begitu mengenalnya. Dan sekarang orang itu ada di depannya. Kanigara. Ya… Kebo Kanigara. Karena itu tiba-tiba ia menjadi gemetar. Dan dengan suara yang berat ia bertanya,
“Panembahan, apakah Anakmas Kebo Kanigara putra Pangeran Handayaningrat…?”
Panembahan Ismaya mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya,
“Inilah orangnya”.
Tiba-tiba Ki Ageng Pandan Alas yang sudah tua itu mengangguk hormat kepada Kanigara sambil berkata,
“Maafkan Anakmas Kebo Kanigara. Aku agaknya terlalu pikun untuk mengenal sahabat-sahabatku kembali. Agaknya Anakmas terlalu lama meninggalkan ayahanda, sehingga sejak masa hidup ayahanda aku sudah tidak pernah menjumpai Anakmas lagi”.
Kanigara membalas hormat pula kepada Pandan Alas. Lalu jawabnya,
“Kita sudah terlalu lama tidak bertemu, Ki Ageng”.
“Untunglah…” sambung Pandan Alas,
“Bahwa aku telah mencegah muridku. Kalau saja aku terlambat, aku kira muridku itu telah menjadi lumat”.

KANIGARA mengerutkan keningnya. Juga Panembahan Ismaya. Tetapi ia tidak berkata sepatah kata pun. Yang terdengar kemudian adalah pertanyaan Ki Ageng Pandan Alas,
“Aku memang sudah menduga bahwa yang bernama Karang Jati adalah mengandung suatu rahasia meskipun hanya sekadar sebagai suatu olok-olok saja. Namun terhadap Karang Tunggal pun aku curiga pula”.
Sekali lagi Panembahan Ismaya dan Kanigara bersama-sama mengernyitkan keningnya. Sedang Karang Tunggal sendiri kemudian menjadi berdebar-debar meskipun baginya sama sekali tak bedanya apakah ia dipanggil Putut Karang Tunggal, Karebet atau Jaka Tingkir.
“Ki Ageng…” jawab Kebo Kanigara kemudian,
“Kalau aku menyebut diriku Putut Karang Jati adalah karena aku tinggal bersama-sama Panembahan di bukit ini. Adapun nama itu adalah nama yang aku pergunakan sebagai Putut. Sedang Karang Tunggal pun demikian. Sebagai seorang Putut ia bernama Karang Tunggal. Tetapi apabila Ki Ageng ingin mengetahuinya, aku kira ia tidak keberatan”.
Lalu kepada Karang Tunggal ia berkata,
“Bukankah begitu Karang Tunggal?”
Karang Tunggal mengangguk kaku.
“Nah,” Ki Ageng… Kanigara melanjutkan,
“Ia adalah seorang Putut yang baik, tetapi ia adalah seorang anak nakal. Senakal ayahnya, yang pasti Ki Ageng pernah mendengarnya”.
Ki Ageng Pandan Alas mengangguk-angguk dengan penuh perhatian.
“Anak itulah peninggalan adikku, Kebo Kenanga. Namanya Karebet,” sambung Kanigara.
“Dan selama ia tinggal di bukit ini ia mendapat kehormatan untuk menjadi pimpinan para cantrik. Baginya oleh Panembahan Ismaya diberikan nama Putut Karang Tunggal”.

Sekali lagi Pandan Alas mengangguk-angguk. Kemudian sahutnya,
“Pantaslah kalau ia cucu Ki Ageng Pengging Sepuh. Aku melihat keajaiban yang tersembunyi di dalam tubuhnya”.
“Aku hanya melihat kenakalannya,” potong Panembahan Ismaya.
“Kenakalan yang aku kira sudah berkurang. Tetapi agaknya pada suatu saat akan dengan mudahnya timbul kembali”.
Kembali kepala Karang Tunggal tertunduk. Sindiran yang langsung mengenainya. Sementara itu tubuh Sarayuda yang terbaring di ruang sebelah ternyata sudah mulai tampak bergerak gerak. Panembahan Ismaya kemudian bersama dengan mereka yang hadir di ruang itu segera mendekatinya. Dengan hati-hati Panembahan Ismaya meraba tubuh yang sudah semakin segar itu. Dan beberapa saat kemudian Sarayuda dengan lemah membuka matanya. Alangkah gembira hati gurunya. Tidak itu saja. Juga Kanigara, Mahesa Jenar dan lainnya pun bergembira. Apalagi ketika kemudian dengan sangat perlahan terdengar dari sela-sela bibirnya yang gemetar Sarayuda berkata,
“Guru….”
Segera Ki Ageng Pandan Alas mendekatinya dan mendekatkan kupingnya ke mulut Sarayuda.
“Aku di sini, Sarayuda…” bisiknya.
Sarayuda melihat gurunya membungkukkan kepalanya di hadapan wajahnya. Dengan sayu ia mencoba tersenyum dan melanjutkan kata-katanya,
“Apakah aku masih hidup…?”
“Tentu Sarayuda, tentu…” jawab Pandan Alas.
“Air…” desis Sarayuda.

Belum lagi Pandan Alas melanjutkan permintaan itu, Karang Tunggal telah meloncat untuk mengambil air yang kemudian setetes demi setetes air itu diteteskan ke mulut Sarayuda dan langsung ditelannya. Dengan tetesan air itu Sarayuda merasa tubuhnya menjadi semakin segar. Karena itulah wajahnya menjadi semakin semringah pula.
“Terimakasih,” desisnya.
“Istirahatlah Anakmas,” bisik Panembahan Ismaya.
Mata Sarayuda yang masih redup memandang Panembahan Ismaya dengan herannya. Ia belum pernah mengenalnya. Panembahan tua itu segera mengetahui apa yang terkandung di dalam hatinya. Maka segera ia berkata,
“Mungkin Anakmas heran melihat kehadiranku di sini. Jangan pikirkan itu dahulu. Beristirahatlah supaya tubuh Anakmas menjadi baik”.
Sarayuda kembali mencoba tersenyum. Kemudian matanya beredar kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal. Tetapi wajahnya sama sekali tidak memancarkan perasaan marah dan dendam. Bahkan kemudian kembali ia tersenyum, senyum yang ikhlas. Lalu katanya,
“Guru, di manakah aku sekarang ini?”
“Kau berada di Padepokan Karang Tumaritis, Sarayuda. Kau berada di dalam perawatan Panembahan Ismaya ini,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Ki Ageng Pandan Alas, maafkanlah aku,” katanya kemudian.
“Jangan berpikir yang aneh-aneh, Sarayuda,” potong Pandan Alas.
“Ikutilah nasehat Panembahan supaya tubuhmu bertambah baik”.
“Terimakasih,” jawabnya.
“Aku akan beristirahat sebaik-baiknya. Tetapi aku lebih dahulu akan minta maaf kepada kalian. Pada kesempatan ini. Kepada Ki Ageng, kepada Kakang Mahesa Jenar, kepada Putut Karang Jati, Karang Tunggal, dan Arya Salaka”.
“Tak ada kesalahan yang kau lakukan Sarayuda. Perbedaan pendapat dan persamaan kepentingan adalah lumrah, sehingga akibat yang timbul karena itu pun lumrah pula,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.

SARAYUDA menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian tubuhnya menjadi bertambah segar. Angin pagi yang perlahan-lahan mengalir, mengusap wajahnya dengan lembut.
“Aku merasa bahwa apa yang aku lakukan telah melanggar nasehat guru. Karena itulah aku merasa bersalah,” kata Sarayuda meneruskan.
“Baiklah,” jawab gurunya,
“Aku maafkan kesalahan itu. Dan aku yakin, Sarayuda, bahwa yang lainpun akan memaafkanmu”.


<<< Bagian 041                                                                                              Bagian 043 >>>

No comments:

Post a Comment