KANIGARA menganggap bahwa kata-kata Sarayuda itu sudah berlebih-lebihan. Karena itu bagaimanapun ia menyabarkan diri namun ia menjadi jengkel pula karenanya. Maka kemudian dijawabnya.
“Terserahlah
kepada Tuan, kalau Tuan mempunyai waktu untuk mengajarnya. Itu kalau Tuan
merasa mampu”.
Dada Mahesa
Jenar berdesir mendengar jawaban Kanigara, sebab dengan demikian berarti bahwa
ia mengijinkan Karang Tunggal melayani Sarayuda. Bagi Mahesa Jenar ada dua hal
yang menggelisahkan. Pertama, apakah Karang Tunggal tidak akan mengalami
cidera, sebab pada saat itu Sarayuda sedang dalam puncak kemarahannya, sehingga
sulitlah baginya untuk mengendalikan dirinya, meskipun ia hanya berhadapan
dengan anak-anak. Kedua, bagaimanakah pendapat Panembahan Ismaya yang sama
sekali tak menghendaki adanya kekerasan. Apalagi dilakukan oleh seorang yang
selalu berada di dekatnya, Putut Karang Tunggal. Tetapi ia tidak dapat berpikir
lebih jauh, sebab pada saat itu terdengarlah Sarayuda tertawa, meskipun sama
sekali bukan karena perasaan gembira. Di sela-sela tertawanya ia berkata,
“Baiklah,
sekarang kau yang menghina aku. Kau sangka aku tidak mampu mengajar anakmu.
Meskipun andaikata anakmu kekasih dewa-dewa”.
Tak seorang
pun dapat mencegahnya lagi. Ki Ageng Pandan Alas pun tidak. Apalagi memang
orang tua itu tidak berusaha mencegahnya, ketika ia mendengar Kanigara
meragukan kemampuan muridnya. Hanya saja ia selalu waspada, kalau-kalau
Sarayuda akan berbuat keterlaluan terhadap Putut Karang Tunggal. Dalam pada
itu, mula-mula Karang Tunggal menjadi ragu-ragu. Ia tidak mengerti apa maksud
pamannya itu. Sehingga dengan wajah yang bertanya-tanya ia memandang Kebo
Kanigara tanpa berkedip minta penjelasan. Untuk beberapa saat Kanigara menunggu
perkembangan suasana. Ketika ia sudah tahu benar bahwa Ki Ageng Pandan Alas
tidak mencegah muridnya, maka kemudian ia pun mengangguk kecil kepada Putut
Karang Tunggal. Putut Karang Tunggal tiba-tiba menjadi gembira sekali. Matanya
yang bulat bercahaya itu menjadi berseri-seri. Sejak mengunjungi pamannya di
bukit kecil itu, ia merasa sangat terkekang. Ia mulai dapat melemaskan
tulang-tulangnya ketika ia mendapat kawan bermain, Arya Salaka. Tetapi apa yang
dilakukan adalah sangat terbatas, sekarang ia mendapat kawan bermain.
Barangkali dengan orang itu ia akan dapat bertindak lebih leluasa lagi.
Meskipun
demikian dengan tersenyum-senyum ia mengangguk hormat kepada Sarayuda yang
sudah mulai melangkah mendekatinya dengan gigi yang gemeretak dan mulut
terkatup rapat.
“Tuan, yang
dipinggangnya tergantung perguruan Pandan Alas… perkenankan aku minta maaf.
Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud menertawakan Tuan. Hanya karena
kelakuan Tuan-lah sebenarnya, maka aku tidak berhasil menahan geli”.
Hati Sarayuda
yang sedang marah, mendengar kata-kata itu seperti disiram api. Telinganya
seketika menjadi panas, dan bibirnya bergetaran. Mahesa Jenar tidak menduga
sama sekali bahwa Putut Karang Tunggal akan berkata demikian, sehingga hampir
saja ia melangkah maju untuk mencegahnya. Tetapi diurungkan ketika Kanigara
menggamit tangannya sambil menggelengkan kepalanya. Meskipun demikian hati
Mahesa Jenar menjadi sangat berdebar-debar. Ia telah melihat persoalannya membelok
dari arah semula. Sebab sebelum hal ini terjadi, ia masih dapat mengerti
tuntutan perasaan Sarayuda. Tetapi kemudian agaknya ia sudah dikendalikan oleh
nafsu yang terlepas dari pengamatan pikiran. Sarayuda yang sudah berada dalam
puncak kemarahannya itu, segera meloncat dan menampar mulut Karang Tunggal
dengan suatu gerakan yang cepat sekali. Melihat gerak tangan Sarayuda, hati
Mahesa Jenar berdesir. Sebab gerakan itu sedemikian cepat sehingga tak mungkin
untuk dihindari.
Tetapi apa
yang disaksikan sangat mengguncangkan hatinya. Ia melihat pukulan itu menyambar
pipi Karang Tunggal, bahkan ia melihat suatu benturan yang keras. Namun
demikian Karang Tunggal sama sekali tak tergetar. Bahkan dengan suatu gerak
yang cepat pula ia meloncat mundur menjauhi. Juga gerak itu sangat mengagumkan.
Putut Karang Tunggal dapat bergerak mundur dengan tangkas, seolah-olah tidak
menggerakkan anggota badannya. Demikian herannya sehingga Mahesa Jenar bergeser
maju selangkah, seolah-olah ia ingin melihat bahwa suatu kenyataan yang aneh
telah terjadi di hadapannya. Agaknya demikian juga Ki Ageng Pandan Alas, yang
memandang perkelahian itu dengan mulut ternganga. Sarayuda yang sedang terbakar
hatinya, tidak begitu memperhatikan kenyataan yang aneh itu. Bahkan ia menjadi
semakin bernafsu ketika ia merasa serangannya yang pertama itu gagal. Sehingga
kemudian ia pun menyerang lebih dahsyat lagi. Sekarang Putut Karang Tunggal
telah siap untuk menerima serangan Sarayuda, sehingga ia tidak menjadi sasaran
saja. Dengan cepat ia mengelak dan dengan cepat pula ia membalas serangan
Sarayuda dengan serangan yang cepat pula. Maka sesaat kemudian terjadilah
perkelahian yang sengit. Suatu perkelahian antara dua orang yang memiliki
kecepatan bergerak yang mengagumkan. Seperti apa yang pernah disaksikan oleh
Mahesa Jenar, Putut Karang Tunggal dengan lincahnya menari-nari seperti melihat
lawannya dari arah yang sama sekali tak terduga-duga.
Tetapi
Sarayuda bukan anak kecil yang kagum melihat burung terbang di udara. Ia telah
hampir masak dalam ilmunya. Ilmu yang ditakuti lawan dan disegani kawan.
Apalagi ia sendiri telah menempuh pengalaman luas, sehingga dengan demikian
ilmunya menjadi bertambah sempurna. Karena itulah maka ia sama sekali tidak
menjadi bingung. Kemana bayangan Karang Tunggal meluncur, Sarayuda telah siap
untuk menghadapinya. Bahkan semakin lama serangannya semakin mengerikan. Kalau
semula ia masih belum mempergunakan segenap kecakapannya, maka setelah ia
bertempur beberapa lama maka dengan sendirinya segenap ilmunya dikerahkannya pula.
MESKIPUN
demikian apa yang dilakukan Sarayuda sama sekali bukanlah semacam seseorang
yang mengajari sedikit kesopanan kepada Karang Tunggal. Tetapi benar-benar
telah terlibat dalam satu perkelahian dengan seorang yang sama sekali tidak
diduganya akan dapat mengimbanginya dengan sangat baik. Karena itu Sarayuda
menjadi semakin heran, marah dan benci bercampur aduk. Ia menjadi heran karena
anak itu benar-benar tidak diduganya mempunyai kemampuan yang sedemikian
tinggi. Dan karena itulah ia menjadi marah sekali. Ia merasa bahwa anak itu
dengan sengaja telah menghinanya dan menariknya ke dalam suatu pertentangan.
Karena itulah
maka ia tidak mau lagi mengekang dirinya. Seperti badai yang dahsyat, serangan
Sarayuda kemudian datang bergulung-gulung, mengerikan sekali. Pandan Alas yang
menyaksikan pertempuran itu dengan mulut ternganga menjadi tersadar, bahwa
masalahnya bukanlah masalah main-main lagi. Seperti Sarayuda, ia pun tidak
mengira sama sekali bahwa anak yang nakal itu dapat bertempur sedemikian gigihnya.
Sehingga timbullah suatu kecurigaan di dalam hatinya, bahwa ia benar-benar
hanya seorang Putut yang mengabdikan hidupnya kepada seorang Panembahan di
daerah terasing seperti Karang Tumaritis, dimana segala sesuatunya lebih
diberatkan pada masalah-masalah rohaniah. Pandan Alas semakin curiga pula pada
orang yang mengaku bernama Karang Jati itu. Kalau saja anaknya dapat berbuat
demikian, apakah kira-kira yang dapat dilakukan oleh ayahnya…? Karena itu mau
tidak mau Pandan Alas harus mawas diri. Meskipun sebenarnya ia malu mencampuri
perkara anak-anak, tetapi siapa tahu kalau masalahnya menjadi berlarut-larut.
Dalam pada itu
ia telah hampir melupakan Mahesa Jenar. Bahwa sebenarnya dengan orang itulah ia
berkepentingan, sehingga ia datang ke padepokan di atas bukit kecil ini.
Sementara itu pertempuran antara Karang Tunggal yang tidak lain adalah Mas
Karebet yang juga dikenal dengan nama Jaka Tingkir, yang telah diramalkan oleh
seorang Wali yang waskita, Sunan Kalijaga, bahwa kelak akan menduduki tahta kerajaan,
melawan murid tertua dan terpercaya dari Perguruan Pandan Alas, yang terkenal
sebagai seorang sakti dari Klurak. Keduanya memiliki pegangan yang kuat serta
pengalaman yang luas. Karena itu semakin lama pertempuran itu menjadi semakin
dahsyat. Putut Karang Tunggal tidak lagi nampak sebagai seorang anak muda yang
sedang tumbuh, tetapi ia benar-benar telah siap menjadi seorang laki-laki yang
lincah, tegap, kuat dan perkasa. Sedang lawannya adalah seorang yang telah lama
menjadi seorang ternama, apalagi di daerahnya. Mahesa Jenar lah yang pada saat
itu menjadi paling gelisah dan bingung. Tidak saja ia kagum atas apa yang
dilihatnya pada Karang Tunggal, tetapi ia bingung pula atas perkembangan
masalah yang menjurus pada hal-hal yang sama sekali tak dikehendaki. Namun ia
masih sempat berdiri keheranan melihat gerak-gerak keturunan dari Perguruan
sela seperti yang pernah dikenalnya dengan baik dan yang telah disaksikan pula
sewaktu Karang Tunggal berlatih dengan Arya Salaka.
Tetapi ketika
pertempuran itu menjadi semakin dahsyat, segera tampaklah berbagai macam ilmu
bercampur aduk menjadi satu dan bersenyawa demikian serasinya, terbayang dalam
gerakan Karang Tunggal. Malahan kadang-kadang tampaklah hal-hal yang tidak
mungkin dapat terjadi. Dengan demikian ia dapat mengetahui bahwa anak itu
benar-benar memiliki ilmu yang jauh lebih lengkap daripada apa yang pernah
disaksikan. Sedangkan yang paling mengherankan adalah, hampir setiap serangan
Sarayuda, bagaimanapun tepatnya mengenai sasaran, namun anak itu seolah-olah
tidak merasakan sesuatu yang menyentuh tubuhnya. Ditambah lagi dengan gerak
loncatnya yang aneh. Ketika Sarayuda menyerangnya dengan garang ke arah kepala,
Karang Tunggal terpaksa merendahkan diri, sekaligus ia mendapat serangan kaki
ke arah lambung, dan sekaligus gerak yang aneh, ia dapat melontar mundur sambil
berjongkok. Gerakan ini adalah gerakan yang sulit. Namun anak itu dapat
melakukannya dengan sederhana dan wajar. Kanigara melihat keheranan yang
terbayang di wajah Mahesa Jenar. Meskipun ia nampaknya masih acuh tak acuh
saja, tetapi sebenarnya ia pun mengagumi kemenakannya itu. Kemenakannya yang
nakal dan sulit dikendalikan sehingga ibu angkatnya Nyi Ageng Tingkir menjadi
bersedih atas kelakuannya. Dengan kegemarannya pergi meninggalkan rumahnya sampai
berhari-hari, bahkan sampai berbulan-bulan menyusur hutan dan padang, bahkan
menyepi ke daerah-daerah yang tak pernah dikunjungi manusia, menempuh
daerah-daerah bahaya dan sengaja masuk ke dalam sarang-sarang penjahat, telah
menjadikan Karebet seorang yang benar-benar tertempa lahir dan batin.
Akhirnya
Mahesa Jenar tidak tahan lagi untuk tetap menyaksikan saja keperkasaan Karang
Tunggal, sehingga akhirnya ia perlahan-lahan pergi mendekati Kanigara, untuk
menanyakan beberapa hal mengenai anak yang aneh itu. Ketika Mahesa Jenar telah
berdiri di sampingnya, dengan mata yang tak berkedip memandang perkelahian itu,
Kanigara mengetahui maksudnya. Maka sebelum Mahesa Jenar bertanya, Kanigara
telah berbisik lirih,
“Apakah kau
menjadi heran?”
Mahesa Jenar
mengangguk.
“Jangan
heran…” Kanigara melanjutkan,
“Meskipun aku
sendiri tidak tahu dari mana ia mendapatkannya. Tetapi ia memiliki ilmu yang
disebutnya Lembu Sekilan”.
“Lembu
Sekilan…?” ulang Mahesa Jenar.
“Ilmu yang
pernah dimiliki oleh Empu Mada?”
Demikian.
Karena itu ia seolah-olah menjadi kebal. Meskipun ilmu itu belum sempurna. Ia
masih dapat dikenai serangan yang cukup tajam dari ilmu yang kuat. Apalagi ia
nanti dapat menyempurnakan ilmu itu. Setidak-tidaknya mendekati apa yang
dimiliki oleh Gajah Mada. Maka ia pun akan menjadi orang yang tak terkalahkan
seperti Gajah Mada.
MAHESA JENAR
menggeleng-gelengkan kepala. Seorang anak yang masih semuda itu telah memiliki
suatu jenis ilmu yang sudah jarang sekali terdapat diantara para sakti
sekalipun. Karena itulah maka ia melihat serangan Sarayuda yang tepat dapat
mengenainya, tetapi sama sekali tak menggetarkan kulitnya. Tetapi dengan
demikian ia semakin cemas. Untunglah bahwa Sarayuda pun memiliki ketangkasan
yang luar biasa, sehingga Karang Tunggal terlalu sulit untuk menyentuh
kulitnya. Meskipun demikian kemarahan Sarayuda setiap saat menjadi semakin
menyala-nyala. Ia menjadi malu kepada dirinya sendiri, kepada gurunya dan
kepada semua orang yang menyaksikan. Bahwa melawan seorang anak-anak itu saja
ia tak berhasil mengalahkan. Karena itulah maka kemudian ia benar-benar
bertempur dengan seluruh tenaga, kemampuan dan ilmu yang dimilikinya. Ia kini
tidak merasa lagi berkelahi sekadar sebagai suatu pernyataan marah, tetapi ia
telah bertempur benar-benar diantara hidup dan mati. Itulah sebabnya maka
mereka yang menyaksikannya tidak dapat tetap acuh tak acuh. Kanigara pun
kemudian bangkit berdiri, dan mengikuti jalannya perkelahian dengan seksama.
Tetapi yang
beranggapan lain dari semuanya adalah Arya Salaka. Ia pun menjadi gembira
sekali dapat menyaksikan pertempuran yang dahsyat itu. Meskipun dalam beberapa
hal ia menjadi keheran-heranan melihat gerak-gerak yang belum pernah
disaksikan, namun ia dapat mengikuti sebagian besar dengan baik. Setelah
ilmunya sendiri meningkat dengan pesatnya, maka ia kemudian tidak lagi
mengagumi Sarayuda sebagai seorang yang terlalu tangguh. Sebab apabila gurunya
mengijinkan, dalam tingkatannya yang sekarang ia pun bersedia untuk melawannya,
meskipun barangkali tidak sebaik Putut Karang Tunggal. Karena itu Arya Salaka
melihat pertempuran yang hebat itu dengan bergeser-geser mengikuti setiap
geseran titik pertempuran. Bahkan kadang-kadang ia berlari-lari mengelilingi
untuk mengambil sudut pandangan yang jelas. Karena ia sendiri sering melakukan
latihan dengan Karang Tunggal maka ia dapat melihat betapa berbahayanya gerak
serangan yang dilakukannya. Apalagi ketika pertempuran itu telah berlangsung
lama. Tidak hanya Arya Salaka, tetapi semua yang hadir di sekitar arena
pertempuran itu menyaksikan suatu hal yang tak terduga sebelumnya. Ketika
Sarayuda tidak lagi mengekang dirinya, dan bertempur dengan segenap tenaganya
dan kemampuannya, maka Putut Karang Tunggal pun menanggapinya. Maka dalam
saat-saat terakhir, ternyata ia berhasil mendesak lawan dengan hebatnya.
Gerakannya menjadi semakin cepat dan lincah. Sebaliknya Sarayuda tenaganya
sudah mulai surut setelah diperas habis-habisan.
Kemudian
terjadilah hal yang sangat mengejutkan. Putut Karang Tunggal yang akhirnya juga
menjadi kehilangan kesabaran, tiba-tiba dari matanya yang bulat memancar
seolah-olah cahaya merah kebiru-biruan. Cahaya yang mempunyai pengaruh luar
biasa sebagai pancaran gaib yang melontar dari dalam dirinya. Bersamaan dengan
itu geraknya pun menjadi semakin garang sebagai topan yang mengalir deras
dibarengi petir yang menyebar maut. Ki Ageng Pandan Alas adalah seorang tua
yang penuh pengalaman dalam perjalanan hidupnya. Banyak hal yang pernah dilihat
dan dirasainya. Hal-hal yang kasar, yang halus, yang kasat mata dan yang tidak.
Itulah sebabnya maka ketika ia melihat sorot mata Putut Karang Tunggal yang
seakan-akan memancarkan cahaya merah kebiru-biruan itu, hatinya tergetar cepat.
Segera ia dapat merasakan suatu kegaiban dari cahaya itu. Apalagi yang
dilihatnya benar-benar suatu hal yang tak mungkin terjadi dalam keadaan yang
wajar. Seorang anak muda yang memiliki ketangkasan demikian mengagumkan. Tidak
saja melampaui muridnya, namun apabila ia benar-benar marah, ia tidak tahu apa
yang akan terjadi dengan Sarayuda. Meskipun Pandan Alas belum pernah
berkenalan, apalagi mempelajari semacam ilmu yang dimiliki oleh Putut Karang
Tunggal, namun sebagai seorang yang banyak mengetahui berbagai macam ilmu, ia
pun dapat menerka bahwa ilmu yang dipergunakan Karang Tunggal adalah ilmu yang
luar biasa. Bahkan ia pun telah menduga bahwa Putut Karang Tunggal memiliki
ilmu yang hampir merupakan dongengan, Lembu Sekilan. Sebab apapun yang
dilakukan Sarayuda, dan tampak benar-benar mengena, namun anak itu seolah-olah
sama sekali tak merasakannya. Meskipun dalam beberapa kali, apabila Sarayuda
berhasil melontarkan serangan yang tajam dan sepenuh tenaga, tampak juga betapa
Karang Tunggal bertegang wajah, menerapkan ilmunya dengan sepenuh usaha.
Dengan
demikian Pandan Alas dapat menduga bahwa ilmu Putut Karang Tunggal itu masih
belum sempurna. Tetapi yang pernah didengarnya, seperti yang pernah didengar
oleh hampir semua tokoh-tokoh sakti, yang mersudi olah jaya kawijaya guna
kasantikan, bahwa Lembu Sekilan adalah salah satu ilmu yang pernah dimiliki
Maha Patih Gajah Mada. Berdasarkan apa yang disaksikan itulah maka akhirnya
Pandan Alas merasa bahwa bagaimanapun hebatnya Sarayuda, namun ia tak akan
berhasil menandingi anak muda yang perkasa dan luar biasa itu. Karena itu ia
memutuskan untuk mencegah Sarayuda bertempur lebih lama lagi. Maka kemudian
terdengarlah ia berkata nyaring,
“Sarayuda…
cukuplah”.
MAHESA JENAR
dan Kanigara terkejut mendengar seruan itu. Namun dalam hati mereka menaruh
hormat kepada orang tua yang bijaksana itu. Kalau semula mereka menyangka bahwa
apabila ada salah mengerti padanya, persoalan pasti akan berlarut-larut. Tetapi
ternyata Pandan Alas telah berbuat suatu hal yang terpuji. Dengan demikian maka
persoalannya akan dapat dibatasi. Karena itu, Kebo Kanigara yang juga cukup
bijaksana segera memanggil kemenakannya.
“Karang
Tunggal… sudahlah. Mintalah maaf kepadanya, supaya kau dibebaskan dari
kemarahannya.”
Putut Karang
Tunggal yang bagaimanapun nakalnya, apalagi pada saat itu, hatinya sedang
dipenuhi oleh perasaan marah, namun benar-benar takut kepada pamannya. Karena
itu dengan sangat kecewa ia terpaksa memenuhi perintahnya. Dengan satu lontaran
mundur yang jauh ia melepaskan diri dari libatan lawannya. Tetapi tidaklah
demikian Sarayuda. Hatinya telah diamuk oleh suatu perasaan yang tak dapat
diurai lagi. Bercampuraduknya segala macam perasaan yang dapat membakar
dadanya. Marah, benci, dendam, dan segala macam. Sehingga dengan demikian
meskipun ia mendengar suara gurunya, namun ia sama sekali tak menaruh
perhatian. Sebagai seorang yang mempunyai kekuasaan yang cukup besar, ia sama
sekali tidak mau namanya menjadi cacat. Apalagi dalam perkelahian yang
memerlukan segenap pemusatan pikiran dan kekuatan, ia seolah-olah tidak dapat
melihat keajaiban-keajaiban yang dipancarkan lawannya, meskipun dalam beberapa
hal ia merasa heran juga kalau serangan-serangannya seolah tak pernah dapat
menyentuh kulit lawannya. Tetapi justru karena itulah ia menjadi semakin
bernafsu, berjuang mati-matian. Ketika Sarayuda melihat Putut Karang Tunggal melontarkan
diri surut, ia sama sekali tidak menjauhkan dirinya, bahkan ia pun memburunya
dan sekaligus melontarkan suatu serangan yang dahsyat.
Putut Karang
Tunggal tak mengira hal yang demikian itu terjadi. Ia tidak menduga sama sekali
bahwa ia akan mendapat serangan justru pada saat ia mengundurkan dirinya.
Karena itulah ia tidak bersiaga. Ilmunya yang bernama Lembu Sekilan yang belum
sempurna benar itu sudah mulai dikendorkan. Karena itulah maka ketika ia
menerima serangan yang tak diduganya, terasalah seolah-olah sebuah bukit karang
berguguran menimpanya pada saat ia sedang lelap tidur. Itulah sebabnya,
bagaimanapun ia berusaha menerapkan ilmunya Lembu Sekilan, namun dalam waktu
yang mendadak itu tidak banyak berarti. Meskipun berhasil menolongnya dari
cidera, tetapi ia terlempar juga beberapa langkah dan terbanting jatuh.
Ternyata ilmunya itu masih belum mampu bekerja sendiri apabila sebuah
perangsang menyentuhnya. Semua yang menyaksikan kelakuan Sarayuda itu terkejut.
Dada mereka berdebaran, dan darah mereka seperti berhenti mengalir. Bahkan
Kanigara dan Mahesa Jenar menjadi seolah-olah terpaku di tempatnya dan tidak
percaya atas apa yang dilihatnya. Ki Ageng Pandan Alas pun kemudian sampai
terloncat maju, dan dengan lantangnya berteriak,
“Sarayuda… sadarkah
kau bahwa kau telah berlaku kurang bijaksana?”
Sekali lagi
Sarayuda tak mau mendengar suara gurunya. Bahkan masih saja ia meloncat dan
menyerang Putut Karang Tunggal yang sedang berusaha untuk bangkit. Karena
itulah maka keadaannya menjadi sangat berbahaya.
Untunglah
otaknya cerdas dan cepat. Segera ia menghentikan geraknya. Ia lebih baik tetap
berjongkok, namun dengan sekuat tenaga diterapkannya ilmunya Lembu Sekilan.
Meskipun demikian serangan Sarayuda yang ganas itu menggoncangkan tubuhnya sehingga
hampir saja ia terjatuh kembali. Pada saat Sarayuda akan mengulangi serangannya
kembali, tiba-tiba meloncatlah bayangan dengan cepat menyerangnya dari lambung.
Meskipun kecepatannya tidak dapat disamakan dengan kecepatan karang Tunggal,
namun terasa betapa kuat serangan itu. Karena itu Sarayuda segera memutar
tubuhnya, dan mengurungkan serangannya atas Putut Karang Tunggal. Bayangan itu
adalah Arya Salaka yang telah memiliki ilmu yang maju dengan pesatnya. Karena
itulah maka sekali lagi Sarayuda terkejut. Anak yang kedua ini tidak kurang
berbahayanya, karena itu ia menghadapinya dengan sepenuh tenaga. Pada saat
itulah Kanigara dikecewakan oleh Sarayuda. Kalau mula-mula ia ingin mencegah
kemenakannya supaya tidak menyelesaikan pertempuran itu, sekarang ia berpikir
sebaliknya. Biarlah anak nakal itu menghajar orang yang sama sekali tak tahu
diri. Sebaliknya, Mahesa Jenar menjadi terkejut dan cemas melihat Arya Salaka
melibatkan diri dalam perkelahian itu. Namun demikian ia menjadi keheranan
juga, bahwa muridnya itu dapat bertempur demikian baiknya sehingga sama sekali
tak diduganya. Tetapi Arya Salaka tidak perlu berjuang terlalu lama. Sebab pada
saat itu Putut Karang Tunggal telah bersiap kembali. Maka sesaat kemudian
terdengarlah ia berteriak nyaring,
“Adi Arya
Salaka, minggirlah. Aku tidak mau diperlakukan demikian. Biarlah kami
berhadapan sebagai seorang laki-laki dengan laki-laki.”
Suara Putut
Karang Tunggal itu pun mengherankan pula. Getarannya bagaikan getaran guruh
yang menggelegar menggoyangkan bukit-bukit kecil yang bertebaran di sana-sini.
Bahkan suara itu seolah-olah telah mengejutkan matahari yang sedang tidur
dengan nyenyaknya di balik cakrawala. Karena itu, di ujung timur fajar mulai
menjenguk dan melemparkan cahayanya yang kemerahan. Agak jauh di Padepokan
Karang Tumaritis di puncak bukit itu, terdengarlah suara ayam jantan yang
berkokok bersahutan. Seolah-olah mereka sedang membanggakan diri masing-masing
dengan berteriak, Ini dadaku, mana dadamu…?
DEMIKIAN pula
ayam jantan dari Pengging yang bernama Karebet itu, menjadi semakin marah atas
kelakuan lawannya. Karena itu apapun yang terjadi, ia bertekad untuk bertempur
mati-matian. Sehingga ketika Arya Salaka telah meloncat minggir, anak muda itu
tegak berdiri dengan gagahnya, dengan kaki renggang dan dada menengadah.
Wajahnya menjadi semakin cerah, melampaui cerahnya fajar. Sedangkan cahaya
merah kebiru-biruan yang menyorot dari matanya yang bulat cemerlang itu menjadi
semakin menyala-nyala. Tiba-tiba Sarayuda yang telah bersiap pula, merasakan keanehan
yang ada pada lawannya. Sekarang ia melihat sorot mata yang ajaib. Juga ia
semakin merasakan bahwa serangan-serangannya menjadi seolah-olah lenyap tak
berbekas. Tetapi akibat dari tanggapannya atas kenyataan yang dihadapinya itu
menjadikannya semakin mata gelap. Ia sudah tidak dapat berpikir lain, kecuali
membinasakan lawannya. Karena itulah maka tiba-tiba ia berbuat sesuatu yang tak
pernah terbayangkan sebelumnya, baik oleh Mahesa Jenar, Kanigara maupun gurunya
sendiri Ki Ageng Pandan Alas. Sarayuda yang dibakar oleh api kemarahan yang
menyala-nyala di dalam dadanya, tiba-tiba berdiri tegak. Wajahnya terangkat dan
matanya menjadi redup setengah terpejam. Ia menyalurkan segala tenaganya
dilambari dengan pemusatan pikiran untuk kemudian meletakkan satu tangannya di
atas dada, sedangkan tangan lainnya menjulur ke depan lurus-lurus. Itulah suatu
sikap untuk melepaskan ilmunya yang dahsyat, ilmu pamungkas Cundha Manik, dari
Perguruan Pandan Alas.
Mahesa Jenar
pernah menyaksikan kedahsyatan ilmu itu, bahkan ia pernah menempurnya dengan
aji Sasra Birawa. Akibatnya adalah mengerikan sekali. Sekarang, beberapa tahun
kemudian, pastilah Cunda Manik itu menjadi bertambah dahsyat. Karena itu, ia
menjadi pucat, dan melintaslah seleret bayangan yang mengerikan. Sebab
bagaimanapun teguhnya ilmu Lembu Sekilan yang belum sempurna itu namun karena
nafsu kemarahan yang tidaklah mungkin anak itu dapat bertahan diri terhadap
kedahsyatan aji Cundha Manik. Karena itulah maka Mahesa Jenar tidak mau melihat
pembunuhan yang tidak adil hanya karena nafsu kemarahan yang tak terkendalikan.
Dengan demikian ketika ilmu Cunda Manik itu telah terhimpun di dalam tangannya
serta ketika dilihatnya Sarayuda telah siap meloncat dan mengayunkan tangannya,
Mahesa Jenar pun segera meloncat dengan garangnya menghadang langkah Sarayuda
tepat di depan Putut Karang Tunggal dengan satu tangan bersilang di hadapan
dadanya, satu tangan terangkat tinggi-tinggi. Sedang sebelah kakinya ditekuknya
ke depan, siap untuk melawan Cunda Manik itu dengan ajinya yang telah jauh
meningkat, Sasra Birawa.
Dalam pada itu
bayangan lain pun telah melontar pula, dekat di sampingnya, juga berusaha
berdiri diantara Sarayuda dan Putut Karang Tunggal, bahkan agak lebih cepat
sedikit darinya dengan sikap yang sama. Satu tangan bersilang, tangan yang lain
terangkat tinggi-tinggi, sedang sebelah kakinya ditekuk ke depan. Itulah
Kanigara yang juga berusaha melindungi kemenakannya dengan jenis ilmu yang
sama, Sasra Birawa yang sempurna. Dalam sekejap mata Sarayuda melihat pula kedua
orang yang telah berdiri berjajar rapat di hadapan lawannya. Namun segalanya
telah terlanjur. Ilmu itu telah terhimpun dan siap dilontarkan. Karena itu ia
menjadi tidak peduli lagi siapakah yang akan binasa karenanya, apakah dirinya
sendiri, Putut yang telah dianggap menghinanya, ataukah Mahesa jenar, ataukah
orang yang bernama Karang Jati itu. Maka dengan mata yang hampir terpejam ia
meloncat dengan dahsyatnya. Pada saat itu, pada saat Mahesa Jenar dan Kanigara
telah mulai menjulurkan kekuatannya lewat sisi telapak tangan untuk menerima
aji yang dahsyat itu, kembali mereka dikejutkan oleh bayangan lain yang dengan
dahsyatnya mendahului membentur Sarayuda dengan kekuatan yang luar biasa pula.
Sehingga terjadilah bentrokan kekuatan yang mengerikan sekali. Akibatnya pun
sangat mengejutkan. Untunglah bahwa Mahesa Jenar dan Kanigara masih sempat
mengendorkan diri sehingga mereka pun tidak perlu ikut serta dalam benturan
yang terjadi, dan tidak terduga-duga itu.
Sarayuda,
karena akibat benturan itu terlempar jauh ke belakang dan terbanting di atas
batu karang. Suara tubuhnya ambruk hebat. Dan setelah itu ia sama sekali tidak
bergerak lagi. Sementara itu bayangan yang membenturnya, yang tidak lain adalah
gurunya sendiri, Ki Ageng Pandan Alas, segera berlari-lari memburunya, dan
langsung berjongkok di sampingnya. Kanigara, Mahesa Jenar, Karang Tunggal dan
Arya Salaka terguncang hatinya. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa akhir
peristiwa itu demikian. Benturan langsung antara murid dan gurunya dengan akibat
yang tak diduga pula. Perlahan-lahan mereka berjalan mendekati Ki Ageng Pandan
Alas yang duduk tertunduk di samping muridnya. Wajahnya suram sesuram seorang
ayah yang kehilangan anaknya tersayang. Bahkan dari mata orang tua itu
membayangkan titik-titik air yang berkilat-kilat kena lemparan cahaya matahari
pagi. Dari bibirnya yang bergetaran terdengarlah suaranya yang terputus-putus,
“Sarayuda…
kenapa kau sampai kehilangan akal, sehingga aku terpaksa mencegahmu…? Aku
pernah mengharap kau menjadi sambungan yang kuat dari perguruanku. Sekarang….”
Wajah orang
tua itu menjadi semakin suram. Matanya yang kemudian terangkat dan memandang
kepada Mahesa Jenar, Kanigara, Putut Karang Tunggal dan Arya Salaka, yang telah
berjongkok pula mengitari tubuh Sarayuda yang gilang-gilang bermandikan cahaya
matahari. Angin pagi yang bertiup lambat seolah-olah ikut serta terbenam dalam
duka yang mendalam.
MEREKA yang
berada di tempat itu, merasakan betapa hati orang tua itu terpecah-pecah. Murid
utamanya, yang dengan penuh harapan diasuhnya sekuat tenaga, kini terbaring di
hadapannya justru karena tangan sendiri.
“Anak-anakku
sekalian…” kata orang tua itu kemudian dengan suara yang dalam,
“Maafkanlah
muridku”.
Yang mendengar
perkataan itu menjadi semakin terharu. Betapa orang tua itu berhati jantan.
Yang melihat masalah di hadapannya dengan jujur meskipun dadanya serasa hancur.
Perlahan-lahan orang itu dengan tangannya yang lemah karena guncangan yang
hebat, meraba-raba dada Sarayuda. Tiba-tiba terbersitlah suatu cahaya di matanya.
Dengan cepat Ki Ageng Pandan Alas menempelkan telinganya untuk mendengarkan
detak jantung muridnya. Dengan suara yang gemetar ia berkata,
”Anakmas aku
masih mendengar jantungnya berdetak”.
Tiba-tiba yang
mendengar seruan itu, di dalam hatinya timbul pula semacam perasaan gembira,
sehingga mereka bergeser setapak maju. Namun sesaat kemudian orang itu kembali
menjadi muram. Gumamnya, Tetapi detak jantung itu sudah terlalu lemah. Dan aku
bukanlah seorang ahli dalam hal ini.
Tak sepatah
katapun yang dapat diucapkan oleh Mahesa Jenar, Kanigara, apalagi Putut Karang
Tunggal dan Arya Salaka. Hanya di wajah Karang Tunggal terbayang pula
penyesalan yang dalam. Karena kelakuannyalah maka semua itu terjadi. Ia sama
sekali tidak menduga, bahwa hanya karena ia tidak dapat menahan tertawanya
saja, maka ia terpaksa menyaksikan seorang guru dan murid saling berbenturan
dan mengakibatkan malapetaka.
Dalam pada
itu, Kanigara yang telah agak lama tinggal di bukit Karang Tumaritis,
bersama-sama dengan seorang Panembahan yang ahli pula dalam hal pengobatan,
sedikit banyak dapat pula melakukannya. Maka dengan suara yang dalam ia mencoba
meminta,
“Ki Ageng
Pandan Alas, kalau memang masih ada detak di dalam dada Sarayuda, ijinkanlah
aku mencoba untuk memperlancar jalan darahnya”.
Dengan mata
yang suram Ki Ageng Pandan Alas memandang Kanigara. Tetapi kemudian ia
mengangguk lemah. Segera Kanigara bangkit dan berdiri dengan kaki terbuka di
atas tubuh Sarayuda. Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya untuk menolongnya
menyalurkan pernafasan dan peredaran darahnya. Setelah itu, perlahan-lahan pula
ia memijit-mijit dada. Pada saat itulah Ki Ageng Pandan Alas dengan jelas dapat
melihat siapakah yang berdiri di hadapannya, yang menamakan dirinya Putut
Karang Jati itu. Ia adalah seorang yang bertubuh tegap besar, berwajah bening
yang memancarkan kelembutan hati. Karena itulah ia menjadi semakin curiga,
bahwa orang itu hanyalah seorang Putut yang sejak semula memang mengabdikan
diri pada Panembahan di bukit ini. Dengan tidak sengaja, matanya segera
merayapi Putut muda yang baru saja bertempur dengan muridnya. Seorang muda yang
memiliki tanda-tanda keajaiban. Juga terhadap anak ini ia selalu bertanya-tanya
di dalam hati. Siapakah gerangan mereka itu sebenarnya.
Ketika itu ia
melihat Sarayuda mulai dapat menyalurkan nafas perlahan-lahan serta detak
jantungnya menjadi semakin lancar pula. Namun demikian apabila ia tidak segera
mendapat pertolongan yang semestinya, keadaannya sangat membahayakan. Karena
itulah maka Kanigara berkata,
“Ki Ageng Pandan
Alas, apabila Ki Ageng tidak berkeberatan, perkenankanlah aku membawa murid Ki
Ageng ini menghadap Panembahan, supaya ia dapat disembuhkan dari keadaan yang
sekarang ini”.
Ki Ageng
Pandan Alas yang menaruh harapan masa depan perguruannya, sudah tentu menghendaki
muridnya dapat disembuhkan. Karena itu dengan senang hati ia menjawab,
“Anak Putut
Karang Jati, aku sangat berterima kasih apabila Panembahan Ismaya berkenan
menyembuhkan Sarayuda”.
Kemudian oleh
persetujuan itu, segera Kanigara mengajak mereka semua untuk menghadap
Panembahan. Tetapi tiba-tiba terdengarlah Putut Karang Tunggal berkata,
“Paman, apakah
aku harus ikut menghadap pula? Aku telah menyanggupi Adi Arya untuk membawanya
berkeliling bukit kecil ini”.
Kanigara
melihat ketakutan anak nakal itu terhadap Panembahan Ismaya. Karena itu ia
menjawab,
“Ayolah. Kau
jangan berbuat sekehendakmu saja. Arya akan sabar menunggu sampai besok, lusa
bahkan seminggu dua minggu lagi. Malahan kaulah yang seharusnya mengangkat
tubuh Sarayuda, dan memapahnya menghadap Panembahan”.
Karang Tunggal
sama sekali tak berani membantah kata-kata pamannya. Dengan dada berdebar-debar
ia membungkuk dan mengangkat murid Pandan Alas itu pada kedua tangannya dan
membawanya mengikuti pamannya yang berjalan di depan bersama-sama dengan Mahesa
Jenar dan Ki Ageng Pandan Alas. Sedang Arya Salaka berjalan dengan kepala
tunduk di sampingnya.
“Beratkah
tubuh itu Kakang?” tanya Arya Salaka.
Dengan
tersenyum kecut Karang Tunggal menjawab,
“Cukupanlah”.
“Dapatkah aku
membantu?” sambung Arya.
Sekali lagi
Karang Tunggal tersenyum kecut.
“Tak usahlah”.
Setelah itu
kembali mereka berdiam diri. Tak seorangpun diantara mereka yang mengucapkan
sepatah katapun. Namun di dalam keheningan pagi itu, dada Ki Ageng Pandan Alas
masih saja bergejolak. Disamping kecemasannya atas keselamatan muridnya, ia
jadi benar-benar berpikir tentang orang yang nenamakan Putut Karang Jati dan
Karang Tunggal. Yang paling mengherankan baginya adalah bahwa Karang Jati dalam
keadaan yang terjepit, telah menyiapkan pula ilmu yang mirip dengan ilmu Mahesa
Jenar yang dahsat peninggalan almarhum sahabatnya, Ki Ageng Pengging Sepuh.
Kedatangan rombongan itu, dengan seorang yang tak sadarkan diri di tangan Putut
Karang Tunggal, sangat mengejutkan penghuni padepokan yang damai itu. Para
cantrik segera bertanya-tanya di dalam hati, apakah yang telah terjadi, dan
siapakah yang pingsan di tangan kepala para cantrik itu. Demikian pula agaknya
Panembahan Ismaya. Dengan tergopoh-gopoh ia menerima kedatangan mereka dengan
penuh pertanyaan di wajahnya yang lembut.
SEGERA
rombongan itu dipersilakan masuk dan dibaringkannya tubuh Sarayuda di atas
sebuah pembaringan kayu. Panembahan Ismaya melihat keadaan yang
mengkhawatirkan. Karena itu ia tidak sempat untuk bertanya-tanya. Tetapi yang
mula-mula dilakukan adalah merawat Sarayuda. Beberapa bagian tubuhnya
dipijit-pijit serta kemudian dengan hati-hati sekali diminumkannya semangkuk
kecil obat cair ke dalam mulut Sarayuda. Suasana untuk sesaat jadi hening dan
tegang. Masing-masing terikat pada keadaan Sarayuda yang masih terbaring diam.
Namun nafasnya telah mulai nampak mengalir teratur. Akhirnya beberapa saat
kemudian tubuh itu mulai hangat kembali. Cahaya yang merah perlahan merambat ke
wajahnya. Dengan demikian maka keselamatannya semakin dapat diharapkan. Sejalan
dengan itu menjalar pula perasaan syukur di dada Pandan Alas dan semuanya yang
menyaksikan. Bahkan Putut Karang Tunggal yang semula menjadi marah kepada
Sarayuda, kini dengan penuh harapan mengikuti perkembangan keadaan murid Pandan
Alas itu.
“Mudah-mudahan
Tuhan menyelamatkan jiwanya,” guman Panembahan Ismaya.
“Namun menilik
keadaannya ia telah berangsur baik. Nafasnya telah mengalir dengan teratur.
Meskipun agaknya untuk beberapa bulan ia harus benar-benar beristirahat untuk
segera dapat memulihkan kembali kesehatan serta kekuatan tubuhnya”.
“Betapa besar
terimakasihku kepada Tuhan, yang telah mengampuni jiwa muridku dengan lantaran
Panembahan,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
Perlahan-lahan
Panembahan Ismaya menoleh kepada Ki Ageng Pandan Alas. Untuk beberapa saat ia
memperhatikannya lalu kemudian ia bertanya,
“Siapakah
Anakmas yang terluka ini…?”
“Muridku,
Panembahan,” jawab Pandan Alas.
Panembahan
Ismaya mengangguk-angguk. Kemudian katanya,
“Biarlah
Anakmas ini beristirahat. Marilah kita duduk di ruang sebelah”.
Kemudian
ditinggalah Sarayuda seorang diri terbaring. Matanya masih terpejam, tetapi
wajahnya sudah nampak merah.Di ruang sebelah, mulai Panembahan Ismaya
bertanya-tanya. Apakah yang sudah terjadi dan siapakah guru dan murid yang
belum dikenalnya itu. Maka berceritalah Kebo Kanigara, segala sesuatu yang
menyangkut peristiwa itu. Diceritakan pula hubungan antara Mahesa Jenar,
Sarayuda dan Pudak Wangi yang dititipkan di padepokan itu oleh Mahesa Jenar
setelah ia berhasil menyelamatkannya dari tangan Sima Rodra. Namun Mahesa Jenar
sendiri geli mendengar keterangan itu. Kemudian diceritakan pula bahwa beberapa
malam kemudian didengarnya suara tembang yang sebenarnya adalah suara Ki Ageng
Pandan Alas, kakek Pudak Wangi yang sedang mencari cucunya. Dan kemudian tanpa
meninggalkan peristiwa yang terkecil pun Kanigara menceritakan pula
pertengkaran dan akhirnya perkelahian yang terjadi antara Sarayuda dan Karang
Tunggal, sehingga akhirnya guru Sarayuda sendiri terpaksa mencegah muridnya yang
akan mempergunakan senjata pamungkasnya yang sangat berbahaya. Panembahan
Ismaya mendengarkan uraian Kebo Kanigara dengan seksama. dan sambil mengerutkan
keningnya ia memandang Putut Karang Tunggal dengan penuh penyesalan.
Katanya
kemudian,
“Ki Sanak yang
bijaksana, maafkanlah kelakuan orang-orangku yang sama sekali tidak bersikap
baik. Untunglah bahwa Ki Ageng Pandan Alas telah mencegahnya. Kalau tidak,
barangkali Putut Karang Tunggal akan mengalami cidera karena kenakalannya.
Bahkan Ki Ageng telah mengorbankan murid sendiri”.
Tak seorang
pun yang berani mengangkat wajah. Kanigara, Karang Tunggal maupun Mahesa Jenar
dan Arya Salaka. Apalagi Mahesa Jenar merasa bahwa sumber dari persoalan itu
adalah persoalannya dengan Sarayuda.
Apalagi ketika
Panembahan Ismaya melanjutkan,
“Dengan
demikian kehadiranmu di tempat itu sama sekali tak berarti Kanigara, bahwa kau
tidak dapat mencegah semuanya itu terjadi”.
Kanigara
menjadi semakin menundukkan wajahnya.
Tetapi akibat
kata-kata itu tajam sekali bagi Ki Ageng Pandan Alas yang telah sekian lama
berteka-teki tentang orang yang menamakan dirinya Putut Karang Jati itu.
Apalagi setelah ia menyaksikannya mempersiapkan aji Sasra Birawa. Dan sekarang
ia mendengar Panembahan Ismaya menyebutnya Kanigara. Segera Pandan Alas
teringat seseorang beberapa tahun lampau, pada saat ia masih bergaul dengan
sahabatnya Ki Ageng Pengging Sepuh, guru Mahesa Jenar. Ia teringat jelas putra
sahabatnya itu yang kemudian menjadi saudara muda seperguruannya sendiri.
Bahkan yang memiliki ilmu yang lebih masak daripadanya. Karena ia jarang
menjumpainya maka ia tidak begitu mengenalnya. Dan sekarang orang itu ada di
depannya. Kanigara. Ya… Kebo Kanigara. Karena itu tiba-tiba ia menjadi gemetar.
Dan dengan suara yang berat ia bertanya,
“Panembahan,
apakah Anakmas Kebo Kanigara putra Pangeran Handayaningrat…?”
Panembahan
Ismaya mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya,
“Inilah
orangnya”.
Tiba-tiba Ki
Ageng Pandan Alas yang sudah tua itu mengangguk hormat kepada Kanigara sambil
berkata,
“Maafkan
Anakmas Kebo Kanigara. Aku agaknya terlalu pikun untuk mengenal
sahabat-sahabatku kembali. Agaknya Anakmas terlalu lama meninggalkan ayahanda,
sehingga sejak masa hidup ayahanda aku sudah tidak pernah menjumpai Anakmas
lagi”.
Kanigara
membalas hormat pula kepada Pandan Alas. Lalu jawabnya,
“Kita sudah
terlalu lama tidak bertemu, Ki Ageng”.
“Untunglah…”
sambung Pandan Alas,
“Bahwa aku
telah mencegah muridku. Kalau saja aku terlambat, aku kira muridku itu telah
menjadi lumat”.
KANIGARA
mengerutkan keningnya. Juga Panembahan Ismaya. Tetapi ia tidak berkata sepatah
kata pun. Yang terdengar kemudian adalah pertanyaan Ki Ageng Pandan Alas,
“Aku memang
sudah menduga bahwa yang bernama Karang Jati adalah mengandung suatu rahasia
meskipun hanya sekadar sebagai suatu olok-olok saja. Namun terhadap Karang
Tunggal pun aku curiga pula”.
Sekali lagi
Panembahan Ismaya dan Kanigara bersama-sama mengernyitkan keningnya. Sedang
Karang Tunggal sendiri kemudian menjadi berdebar-debar meskipun baginya sama
sekali tak bedanya apakah ia dipanggil Putut Karang Tunggal, Karebet atau Jaka
Tingkir.
“Ki Ageng…”
jawab Kebo Kanigara kemudian,
“Kalau aku
menyebut diriku Putut Karang Jati adalah karena aku tinggal bersama-sama
Panembahan di bukit ini. Adapun nama itu adalah nama yang aku pergunakan
sebagai Putut. Sedang Karang Tunggal pun demikian. Sebagai seorang Putut ia
bernama Karang Tunggal. Tetapi apabila Ki Ageng ingin mengetahuinya, aku kira
ia tidak keberatan”.
Lalu kepada
Karang Tunggal ia berkata,
“Bukankah
begitu Karang Tunggal?”
Karang Tunggal
mengangguk kaku.
“Nah,” Ki
Ageng… Kanigara melanjutkan,
“Ia adalah
seorang Putut yang baik, tetapi ia adalah seorang anak nakal. Senakal ayahnya,
yang pasti Ki Ageng pernah mendengarnya”.
Ki Ageng
Pandan Alas mengangguk-angguk dengan penuh perhatian.
“Anak itulah
peninggalan adikku, Kebo Kenanga. Namanya Karebet,” sambung Kanigara.
“Dan selama ia
tinggal di bukit ini ia mendapat kehormatan untuk menjadi pimpinan para
cantrik. Baginya oleh Panembahan Ismaya diberikan nama Putut Karang Tunggal”.
Sekali lagi
Pandan Alas mengangguk-angguk. Kemudian sahutnya,
“Pantaslah
kalau ia cucu Ki Ageng Pengging Sepuh. Aku melihat keajaiban yang tersembunyi
di dalam tubuhnya”.
“Aku hanya
melihat kenakalannya,” potong Panembahan Ismaya.
“Kenakalan
yang aku kira sudah berkurang. Tetapi agaknya pada suatu saat akan dengan
mudahnya timbul kembali”.
Kembali kepala
Karang Tunggal tertunduk. Sindiran yang langsung mengenainya. Sementara itu
tubuh Sarayuda yang terbaring di ruang sebelah ternyata sudah mulai tampak bergerak
gerak. Panembahan Ismaya kemudian bersama dengan mereka yang hadir di ruang itu
segera mendekatinya. Dengan hati-hati Panembahan Ismaya meraba tubuh yang sudah
semakin segar itu. Dan beberapa saat kemudian Sarayuda dengan lemah membuka
matanya. Alangkah gembira hati gurunya. Tidak itu saja. Juga Kanigara, Mahesa
Jenar dan lainnya pun bergembira. Apalagi ketika kemudian dengan sangat
perlahan terdengar dari sela-sela bibirnya yang gemetar Sarayuda berkata,
“Guru….”
Segera Ki
Ageng Pandan Alas mendekatinya dan mendekatkan kupingnya ke mulut Sarayuda.
“Aku di sini,
Sarayuda…” bisiknya.
Sarayuda
melihat gurunya membungkukkan kepalanya di hadapan wajahnya. Dengan sayu ia
mencoba tersenyum dan melanjutkan kata-katanya,
“Apakah aku
masih hidup…?”
“Tentu Sarayuda,
tentu…” jawab Pandan Alas.
“Air…” desis
Sarayuda.
Belum lagi
Pandan Alas melanjutkan permintaan itu, Karang Tunggal telah meloncat untuk
mengambil air yang kemudian setetes demi setetes air itu diteteskan ke mulut
Sarayuda dan langsung ditelannya. Dengan tetesan air itu Sarayuda merasa
tubuhnya menjadi semakin segar. Karena itulah wajahnya menjadi semakin
semringah pula.
“Terimakasih,”
desisnya.
“Istirahatlah
Anakmas,” bisik Panembahan Ismaya.
Mata Sarayuda
yang masih redup memandang Panembahan Ismaya dengan herannya. Ia belum pernah
mengenalnya. Panembahan tua itu segera mengetahui apa yang terkandung di dalam
hatinya. Maka segera ia berkata,
“Mungkin
Anakmas heran melihat kehadiranku di sini. Jangan pikirkan itu dahulu.
Beristirahatlah supaya tubuh Anakmas menjadi baik”.
Sarayuda
kembali mencoba tersenyum. Kemudian matanya beredar kepada Mahesa Jenar,
Kanigara, Arya Salaka dan Putut Karang Tunggal. Tetapi wajahnya sama sekali
tidak memancarkan perasaan marah dan dendam. Bahkan kemudian kembali ia tersenyum,
senyum yang ikhlas. Lalu katanya,
“Guru, di
manakah aku sekarang ini?”
“Kau berada di
Padepokan Karang Tumaritis, Sarayuda. Kau berada di dalam perawatan Panembahan
Ismaya ini,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
“Ki Ageng
Pandan Alas, maafkanlah aku,” katanya kemudian.
“Jangan
berpikir yang aneh-aneh, Sarayuda,” potong Pandan Alas.
“Ikutilah
nasehat Panembahan supaya tubuhmu bertambah baik”.
“Terimakasih,”
jawabnya.
“Aku akan
beristirahat sebaik-baiknya. Tetapi aku lebih dahulu akan minta maaf kepada kalian.
Pada kesempatan ini. Kepada Ki Ageng, kepada Kakang Mahesa Jenar, kepada Putut
Karang Jati, Karang Tunggal, dan Arya Salaka”.
“Tak ada
kesalahan yang kau lakukan Sarayuda. Perbedaan pendapat dan persamaan
kepentingan adalah lumrah, sehingga akibat yang timbul karena itu pun lumrah
pula,” jawab Ki Ageng Pandan Alas.
SARAYUDA
menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian tubuhnya menjadi bertambah segar.
Angin pagi yang perlahan-lahan mengalir, mengusap wajahnya dengan lembut.
“Aku merasa
bahwa apa yang aku lakukan telah melanggar nasehat guru. Karena itulah aku
merasa bersalah,” kata Sarayuda meneruskan.
“Baiklah,”
jawab gurunya,
“Aku maafkan
kesalahan itu. Dan aku yakin, Sarayuda, bahwa yang lainpun akan memaafkanmu”.
No comments:
Post a Comment