Bagian 020


“KI AGENG, luka-luka Ananda Arya tidaklah begitu berat. Mudah-mudahan atas kemurahan Tuhan, dalam waktu yang singkat luka itu akan segera sembuh kembali.”
Gajah Sora menoleh perlahan-lahan ke arah Ki Lemah Telasih.
“Syukurlah, Kakang. Mudah-mudahan Tuhan memperkenankan. Lalu bagaimana dengan Paman Wanamerta, Sawungrana, Penjawi dan lain-lain?”
“Tampaknya luka-luka mereka pun akan dapat disembuhkan.”
Ki Ageng Gajah Sora mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun bagaimanapun, hilangnya Nagasasra dan Sabuk Inten telah merupakan suatu lecutan pedih yang tak akan pernah dilupakan.

Tiba-tiba tanpa disengaja, pandangan mata Gajah Sora terlempar ke arah sesosok tubuh yang masih belum ada seorang pun yang berani mengubah letaknya, yang menggeletak di muka ruang tidur Gajah Sora. Seketika itu dadanya menggelora kembali, tetapi dicobanya untuk menenangkan dirinya. Perlahan-lahan ia berdiri dan memeriksa mayat yang masih belum berkisar sama sekali itu. Tetapi pada mayat itu sama sekali tak dijumpainya tanda-tanda apapun yang dapat memberi petunjuk tentang peristiwa yang baru saja terjadi. Karena itu ia pun segera duduk kembali. Suasana di dalam rumah itu kembali dikuasai oleh kesepian yang menekan, tetapi didalam setiap dada orang-orang yang berada di dalam rumah itu bergulatlah perasaan-perasaan yang simpang siur. Dalam kesepian malam, di sela-sela gonggong anjing-anjing liar dan pekik burung-burung malam, lamat-lamat terdengarlah derap kaki kuda yang menderu-deru, semakin lama semakin dekat. Mahesa Jenar dan Gajah Sora segera mengangkat kepalanya untuk mengetahui dari manakah datangnya suara-suara itu. Suara itu ternyata adalah suara derap dari berpuluh-puluh ekor kuda. Tetapi karena sampai beberapa lama masih tidak terdengar tanda apapun, maka tahulah mereka bahwa rombongan itu pasti bukanlah rombongan dari orang-orang yang menyerang Banyubiru.

Dan apa yang diduganya adalah benar. Rombongan itu adalah rombongan dari Laskar Banyubiru yang telah berhasil mengusir laskar-laskar yang menyerbu daerah mereka. Diantara mereka adalah Ki Ageng Lembu Sora, Pandan Kuning, dan tokoh-tokoh lainnya. Sampai di halaman rumah Gajah Sora, segera mereka turun dari kuda masing-masing. Dengan wajah berseri-seri mereka segera masuk. Tetapi demikian mereka melangkah masuk, segera mereka menjadi terkejut dan bertanya-tanya. Di hadapan mereka terkapar sesosok mayat, sedang di bale-bale di sisi-sisi ruangan itu terbaring pula Wanamerta, Sawungrana, Panjawi dan beberapa orang lagi.
“Apakah yang terjadi di rumah ini, Anakmas?” tanya Pandan Kuning gugup.
“Beberapa orang telah datang ke rumah ini dan mengaduk segala isinya,” jawab Gajah Sora.
Lembu Sora ketika melihat orang yang terbaring di depan ruang tidur Gajah Sora itu, menjadi terkejut. Wajahnya segera berubah. Tetapi sebentar kemudian ia telah berhasil menguasai dirinya kembali. Meskipun demikian segera ia melangkah masuk, langsung menuju ke arah mayat yang masih terkapar itu. Dengan kakinya ia menggerak-gerakkan tubuh itu dan membalikkannya sehingga mayat itu terlentang.
Bagaimanapun Lembu Sora mencoba menahan hatinya, Mahesa Jenar dapat menangkap suatu kesan yang aneh pada wajah Lembu Sora itu.
“Siapakah orang ini, Kakang?” tanya Lembu Sora kepada Gajah Sora.
Gajah Sora sama sekali tidak memperhatikan wajah adiknya sehingga tak suatu pun dapat ditangkap dari kelakuan Lembu Sora, yang menurut tangkapan Mahesa Jenar agak kurang wajar.
“Entahlah, Adik,” jawab Gajah Sora.
”Ia termasuk salah seorang dari tiga orang yang telah memasuki rumah ini.”
“Tiga orang?” ulang Lembu Sora terkejut.
“Ya, tiga orang. Dan satu dapat dibinasakan. Dialah orangnya yang tak beruntung, dapat dibunuh oleh Arya dengan tombak pusaka Kiai Banyak,” sambung Gajah Sora.
“Arya dapat membunuh orang ini?”
Agaknya, bagi Lembu Sora sangatlah mustahil bahwa Arya dapat berbuat demikian. Gajah Sora mengangguk mengiyakan.
“Siapakah yang dua lagi?” tanya Lembu Sora lebih lanjut.
“Yang kedua, aku tidak tahu,” jawab Gajah Sora.
“Sedang yang ketiga adalah Bugel Kaliki.”
“Bugel Kaliki…? Siapakah orang itu?” tanya Lembu Sora.

Akhirnya Gajah Sora dengan agak segan-segan terpaksa menceriterakan tentang kedatangan tokoh-tokoh sakti ke dalam rumah ini. “Adakah salah seorang dari mereka berhasil mengambil Nagasasra dan Sabuk Inten?” tanya Lembu Sora lebih lanjut.
“Orang kedua yang tak kukenal itulah yang membawanya,” jawab Gajah Sora.
Mendengar jawaban itu, wajah Lembu Sora berubah menjadi merah membara. Tubuhnya gemetar serta giginya gemeretak. Rupa-rupanya ia pun marah sekali akan hilangnya kedua pusaka simpanan kakaknya itu. Tetapi dalam tanggapan Mahesa Jenar, sama sekali bukanlah demikian. Bagaimanapun ia sudah mempunyai prasangka yang tidak baik terhadap Lembu Sora.
“Tidakkah Kakang dapat mencurigai seseorang?” kata Lembu Sora tiba-tiba.
Mendengar kata-kata adiknya itu Gajah Sora terkejut. Ia tidak tahu maksud kata-kata itu. Melihat kesan itu, Lembu Sora menyambung,
”Kakang.., aku percaya akan kesetiaan rakyat Banyubiru terhadap Kakang, sehingga tidaklah mungkin mereka mau mengkhianati Kakang. Tetapi ternyata keris itu lenyap juga, meskipun menilik cara penjagaan halaman ini adalah tidak mungkin sama sekali, kecuali orang macam Bugel Kaliki. Tetapi barangkali Kakang lupa, bahwa diantara rakyat Banyubiru yang setia ini, di dalam rumah ini terdapat orang lain.”
Kata-kata yang diucapkan dengan tegas itu terdengar di telinga Mahesa Jenar seperti petir yang meledak di tengkuknya. Mahesa Jenar adalah bekas seorang prajurit yang berwatak ksatria serta benar-benar seorang laki-laki jantan. Ia sendiri sangat membenci sifat-sifat licik dan curang. Sekarang didengarnya lewat telinganya sendiri, seseorang memfitnahnya, menuduhnya berbuat curang dan pengkhianatan terhadap Gajah Sora, yang meskipun belum begitu lama dikenalnya, tetapi karena sifat-sifatnya serta persamaan tujuan, maka orang itu sudah dianggapnya lebih dari seorang sahabat biasa.

DARAH Mahesa Jenar segera bergolak. Dadanya tiba-tiba merasa sesak oleh desakan kemarahan. Untunglah bahwa masih diingatnya bahwa di ruangan itu terbaring beberapa orang yang terluka serta di dalam ruang sebelah putera Gajah Sora masih juga belum sadarkan diri. Karena itu sekuat-kuatnya ia masih mencoba menguasai dirinya.
“Adi Lembu Sora…,” kata Gajah Sora,
“kau jangan terlalu cepat mengemukakan pendapat sebelum kau pikirkan masak-masak untung-ruginya. Sudah aku katakan bahwa aku sendiri dapat melihat orangnya yang mengambil pusaka-pusaka itu. Jadi kalau benar dugaanmu pasti akulah orangnya yang pertama-tama akan bertindak.”
Rupa-rupanya Lembu Sora masih belum puas mendengar jawaban kakaknya, maka ia menyahut,
“Untuk melakukan pekerjaan itu, tidaklah perlu harus ditangani sendiri. Tetapi adanya seorang asing di dalam halaman ini, telah merupakan suatu kemungkinan untuk menuntun datangnya orang kedua, ketiga dan seterusnya. Sebab segala sesuatu telah dapat dipersiapkannya dengan saksama”.
Jantung Mahesa Jenar rasa-rasanya hampir meledak mendengar kata-kata itu. Tetapi ketika ia melihat Gajah Sora telah berdiri dari duduknya, ia masih mencoba sekuat-kuatnya menahan diri.
“Sudahlah, Adi Lembu Sora,” kata Gajah Sora,
“pendapatmu baik aku perhatikan. Tetapi biarlah aku yang memutuskan.”
“Tidak, Kakang…” bantah Lembu Sora,
“Mumpung sekarang kita sedang lengkap di hadapan Kakang, siap untuk menghukum siapapun yang mencoba untuk mengganggu ketenangan Banyubiru, meskipun ia adalah bekas sahabat Kakang sendiri. Adakah Kakang yakin bahwa orang itu sama sekali tak ada hubungannya dengan orang-orang yang menyerang Banyubiru?”

Kembali Lembu Sora melanjutkan hasutannya,
“Kakang Gajah Sora, paman Pandan Kuning, Bantaran Wirapati dan lain-lainnya telah bertempur dengan gagah perkasa mengusik laskar penyerbu itu. Dan sekarang di sini mereka harus menyaksikan seorang diantara penjahat-penjahat itu, yang mungkin lebih licik dan licin mendapat perlindungan dari Kakang. Apakah…..”
“Cukup! potong Gajah Sora. Kau jangan mengurus aku, Lembu Sora. Aku senang sekali bahwa kau mencoba ikut serta memecahkan kesulitan-kesulitan yang aku alami. Tetapi janganlah kau memaksakan suatu pendapat yang belum dapat diyakinkan kebenarannya. Menghukum seseorang bukanlah suatu pekerjaan yang dapat dilakukan begitu saja tanpa bukti-bukti akan kesalahannya. Karena itu sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas perhatianmu itu, tetapi sebaiknya kau beristirahat di tempat yang sudah kami sediakan.”
“Paman Pandan Kuning…,” kata Lembu Sora seolah-olah tidak mendengar kata-kata kakaknya,
“… dan paman-paman yang lain serta para perwira di Banyubiru…. Dapatkah kalian membiarkan orang yang berkedok persahabatan ini mengkhianati kepala daerah kalian? Hilangnya kedua pusaka itu adalah suatu pengkhianatan yang tiada taranya dalam sejarah Banyubiru, sejak ayah Sora Dipayana masih memegang pemerintahan di Pangrantunan. Tetapi ternyata Kakang Gajah Sora adalah seorang yang terlalu luhur budi dan pengasih, sehingga ia tidak sampai hati untuk bertindak terhadap seorang yang menamakan diri sahabatnya. Nah, para pahlawan, sekarang adalah waktunya bagi kalian untuk menunjukkan bakti kalian terhadap kepala daerah kalian serta daerah kelahiran kalian,” tambah Lembu Sora.

Akibat kata-kata Lembu Sora yang diucapkan dengan berapi-api itu, ternyata hebat sekali. Mereka yang disebutnya pahlawan yang mempunyai kesempatan untuk berbakti itu, tiba-tiba menjadi lupa diri. Beberapa orang telah bergerak untuk menangkap Mahesa Jenar. Sedangkan Lembu Sora sendiri segera menarik pedangnya yang besar sekali, dan siap diayunkan. Kini Mahesa Jenar sudah tidak dapat menahan kesabarannya lagi. Banyak hal yang akan dikatakan untuk menyatakan kebersihannya serta banyak hal lagi yang dapat dikatakan pula tentang ketidakwajaran Lembu Sora. Tetapi terdorong oleh kemarahan yang memuncak maka bibirnya hanyalah tampak bergetar tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Apalagi ketika ia melihat Lembu Sora telah menarik pedangnya, maka tidak ada pilihan lain kecuali bertempur mati-matian. Segera Mahesa Jenar memusatkan segala kekuatan lahir batin, mengatur jalan pernafasannya dan siap untuk mempergunakan Sasra Birawa dalam pukulan yang pertama. Sebab ia tidak mau menanggung akibatnya apabila Lembu Sora telah memiliki aji Lebur Seketi seperti kakaknya. Maka sebagai seekor banteng murka, ia cepat berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi ketika Lembu Sora beserta beberapa orang yang berotak kosong serta hanya berpikir pendek untuk dapat disebut sebagai seorang pahlawan tanpa menilik masalahnya lebih dalam lagi, mulai bergerak. Tampaklah dengan kecepatan kilat Gajah Sora meloncat maju ke depan adiknya beserta orang-orang itu. Dengan wajah merah membara, Gajah Sora berteriak dengan penuh kemarahan,
“Hai orang-orang Banyubiru, akulah kepala daerah perdikan di sini. Kalau kalian maju selangkah lagi, kalian akan berhadapan dengan aku.”
Lontaran suara yang penuh dengan perasaan marah itu terdengar dahsyat sekali. Beberapa orang yang telah bergerak seperti orang mabuk itu, tiba-tiba seperti terlempar kembali ke alam kesadaran. Mereka sebenarnya adalah orang-orang yang dengan penuh kebaktian dan kesetiaan mengabdikan diri mereka kepada tanah kelahiran serta kepala daerah perdikan mereka. Tetapi karena itu pulalah dengan mempergunakan kesadaran akan kesetiaan itulah maka mereka kadang-kadang dapat dengan mudah digelincirkan ke dalam suatu perbuatan yang salah, yang justru bertentangan dengan kesetiaan mereka sendiri tanpa sesadar mereka. Sekarang tiba-tiba pemimpin yang ditakuti, disegani dan dicintai itu seolah-olah telah menantang mereka. Maka tidaklah mustahil bahwa beberapa orang kemudian menjadi gemetar ketakutan seperti seekor tikus di tangan seekor kucing yang ganas.

LEMBU SORA, bagaimanapun angkuhnya, ketika melihat kakaknya benar-benar telah marah, dan benar-benar tidak termakan oleh hasutan-hasutannya itu pun menjadi agak takut pula. Sebab ia tahu betul akan sifat-sifat Gajah Sora. Meskipun dalam banyak hal Gajah Sora selalu mencoba untuk mengalah terhadap adik kesayangan ibunya itu. Tetapi apabila ia telah menentukan suatu sikap, tak seorang pun mampu mengubahnya. Karena itu dengan kecewa dan menyesal, Lembu Sora mundur beberapa langkah. Lalu katanya,
“Maafkan aku, Kakang. Maksudku adalah baik, untuk kepentingan masa datang Kakang dan kesan yang teguh atas kepemimpinan Kakang. Tetapi agaknya Kakang salah terima.”
“Sarungkan senjata itu,” perintah Gajah Sora.
Sekali lagi Lembu Sora tak berani melawan perintah kakaknya. Dengan segera pedangnya itu disarungkannya pula. Suasana tegang itu kemudian untuk beberapa saat menjadi semakin tegang. Tak seorangpun yang berani bergerak, meskipun hanya jari kakinya. Bernafaspun mereka menjadi berhati-hati sekali, seolah-olah takut kalau-kalau bunyi nafasnya dapat menambah kemarahan Gajah Sora.
“Lembu Sora…, kembali” terdengar suara Gajah Sora. Tetapi kali ini terasa bahwa kemarahannya telah menurun. Bagaimanapun ia adalah seorang kepala daerah yang bijaksana. Maka sekali ini pun ia menunjukkan kebijaksanaannya.
“Baiklah… kau beritirahat,” sambung Gajah Sora,
“mungkin kau terlalu lelah sehingga pikiranmu tak dapat berjalan dengan baik. Juga kalian laskar Banyubiru, aku persilahkan meninggalkan ruangan ini untuk mengaso. Setelah kalian bertempur untuk mempertahankan tanah ini, mungkin sekali otak kalian pun agak terganggu. Tetapi tak apalah…. Sekarang pergilah.”

Tak seorangpun mengucapkan sepatah kata. Dengan kepala tunduk, mereka berjalan berebutan untuk lebih dahulu meninggalkan ruangan yang rasa-rasanya menjadi panas sekali. Demikian mereka sampai di halaman, segera mereka meloncat ke atas kuda masing-masing. Dengan segera kuda-kuda itu dipacu pulang ke rumah masing-masing untuk menyatakan keselamatan mereka kepada keluarga mereka masing-masing yang menanti dengan hati cemas. Sedang beberapa orang lagi bertugas untuk merawat kawan-kawan mereka yang gugur, dan yang terluka pun segera dengan tekun melakukan tugas masing-masing. Lembu Sora pun segera mengundurkan diri bersama-sama dengan para pengiringnya, ke tempat yang sudah disediakan, di gandok sebelah barat. Sepeninggal mereka, di dalam ruangan itu tinggallah Gajah Sora, Mahesa Jenar, Ki Lemah Telasih, dan orang-orang yang terluka. Mereka duduk tepekur tanpa berkata-kata. Angan-angan mereka mengalir menuruti pikiran masing-masing. Suasana segera menjadi hening. Kembali terdengar di kejauhan gonggong anjing-anjing liar berebut makanan. Sedang di ruang itu beberapa orang duduk seperti patung, kaku dan membisu. Tetapi perasaan mereka berputar seperti baling-baling.
Baru beberapa saat kemudian terdengar Gajah Sora berkata,
“Adi Mahesa Jenar… maafkan kelakuan Lembu Sora beserta beberapa orangku yang sama sekali tidak sopan. Tetapi percayalah bahwa orang-orangku sama sekali tak mempunyai pandangan yang kurang baik terhadap Adi. Sayang bahwa Lembu Sora telah menyeret mereka ke dalam suatu tindakan yang memalukan.”

Mahesa Jenar menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia sama sekali tidak akan dapat melupakan tuduhan pengkhianatan yang dilancarkan oleh Lembu Sora. Terhadap laskar Banyubiru, memang ia tidak menaruh banyak perhatian, sebab mereka hanya terpengaruh oleh hasutan-hasutan Lembu Sora saja. Namun, meskipun demikian, kepada Gajah Sora ia menjawab,
“Sudahlah Kakang, mudah-mudahan aku dapat melupakannya. Aku harapkan bahwa Ki Ageng Lembu Sora tidak berbuat hal-hal yang dapat mengeruhkan keadaan.”
Gajah Sora mengangguk-angguk kecil. Ia dapat merasakan sepenuhnya kekecewaan Mahesa Jenar terhadap adiknya. Karena itu ia berkata menyambung,
“Aku akan mencoba selalu mengawasi anak itu selama ia berada di Banyubiru. Mudah-mudahan ia segan meninggalkan rumah ini untuk tidak menambah pekerjaanku”
Kembali mereka berdiam diri. Dan kembali keadaan ruangan itu menjadi sepi. Sepi dan kaku, seperti garis-garis lurus dari sambungan-sambungan papan gebyok rumah Gajah Sora yang pecah berserakan karena ditembus oleh Gajah Sora dan Mahesa Jenar bersama-sama. Kesepian itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara rintih Arya Salaka dari dalam ruang tidur Gajah Sora. Mendengar suara itu, hampir bersamaan Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Ki Lemah Telasih meloncat, mendekati Arya. Wajah Gajah Sora yang suram itu segera berubah, karena tumbuhnya harapan yang semakin besar, bahwa Arya Salaka akan segera dapat sadar kembali.
Ketika mereka bersama-sama memasuki ruangan itu, mereka melihat Arya sudah mulai menggerakkan kepalanya, dan perlahan-lahan matanya mulai terbuka. Terdengarlah dari mulutnya ia merintih dan akhirnya terdengar Arya perlahan-lahan sekali menangis, meskipun agaknya ia mencoba menahannya kuat-kuat.

IBU Arya Salaka yang melihat Arya mulai sadar, segera memeluknya dan menciuminya dengan penuh rasa kasih dari seorang ibu. Tetapi Ki Lemah Telasih sebagai seorang tabib segera mencoba mencegahnya.
”Nyai Ageng, biarlah Ananda Arya bebas bernafas dahulu, supaya tubuhnya menjadi segar.”
Wajah Gajah Sora pun segera menjadi cerah. Meskipun luka di hatinya dengan hilangnya kedua pusaka itu begitu dalam, namun Arya Salaka pun merupakan mutiara di hatinya yang tidak kalah nilainya. Mahesa Jenar yang sejak melihat Arya untuk pertama kali telah mengagumi anak itu, kini ia bertambah kagum lagi. Anak-anak yang masih pantas bermain gundu itu, andaikata tidak ada orang kedua, telah berhasil menggagalkan suatu usaha dari seorang yang tentu berilmu tinggi, dalam usahanya mencuri Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Dalam asuhan Ki Ageng Gajah Sora, pastilah Arya kelak akan menjadi manusia yang mumpuni lahir dan batin. Apalagi andaikata kakeknya Ki Ageng Sora Dipayana juga mau mengasuhnya.
Sebentar kemudian Arya Salaka telah benar-benar sadar. Ia telah mulai mengenali orang-orang yang berdiri di sekitar tempat pembaringannya. Pada saat itu malam telah semakin jauh, bahkan ayam jantan telah mulai berkokok untuk ketiga kalinya, suatu pertanda bahwa sebentar lagi fajar akan datang. Gajah Sora, Mahesa Jenar dan Ki Lemah Telasih pun segera meninggalkan Arya Salaka yang sudah mulai dapat tidur ditunggui oleh ibunya yang berbaring di sampingnya. Ki Lemah Telasih dan Mahesa Jenar kemudian meninggalkan ruangan itu pula untuk beristirahat.

Ketika Mahesa Jenar turun dari pendapa untuk mengantarkan Ki Lemah Telasih sampai di gerbang halaman, tampaklah di timur sudah mulai membayang warna kemerah-merahan yang melapisi langit. Angin pagi yang sejuk menyapu wajah Mahesa Jenar yang masih tampak berminyak karena keringat yang berlapis debu. Meskipun demikian perasaan segar terasa menusuk sampai ke tulang sungsum. Perlahan-lahan ia berjalan ke gandok sebelah timur untuk beristirahat. Tetapi alangkah terkejutnya ketika ia memasuki ruang yang disediakan untuknya. Rupa-rupanya ruangan itu pun telah dibongkar dengan teliti. Melihat hal itu, Mahesa Jenar tertegun. Ia tiada tahu siapakah yang telah melakukan perbuatan itu, tetapi kejadian itu telah menyalakan kembali kemarahannya. Sayanglah bahwa Lembu Sora kebetulan adalah adik Gajah Sora. Kalau saja tidak ada hubungan antara kedua orang itu, sudah pasti bahwa ia akan membuat perhitungan secepat-cepatnya dengan Lembu Sora. Tetapi dalam keadaan seperti sekarang ini, yang dapat dilakukannya hanyalah menyimpan kemarahannya itu di dalam dadanya yang menjadi sesak. Akhirnya dengan susah payah ia dapat meredakan gelora hatinya sendiri. Dan karena kelelahan, Mahesa Jenar kemudian merebahkan dirinya di atas pembaringan dan sejenak kemudian ia tertidur dengan nyenyaknya. Demikian nyenyaknya ia tidur, sehingga tidak terasa bahwa hari telah tinggi. Meskipun demikian masih saja ia belum bangun, apabila tidak didengarnya derap kuda di halaman. Ketika ia bangun dan membuka pintu depan, tampak sudah siap untuk berangkat Ki Ageng Lembu Sora beserta rombongannya.

Melihat Lembu Sora siap meninggalkan Banyubiru, tanpa sadar Mahesa Jenar mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia merasa syukur bahwa orang yang sama sekali tak menyenangkan, baik wataknya maupun bentuk tubuhnya yang kaku itu, segera akan meninggalkan Banyubiru sebelum terjadi sesuatu. Pada saat yang bersamaan, tiba-tiba Ki Ageng Lembu Sorapun memandang ke arah pintu yang sudah terbuka sedikit itu, dimana Mahesa Jenar sedang berdiri mengawasinya. Benturan pandangan yang terjadi dengan tiba-tiba itu telah menimbulkan ledakan yang hebat di hati masing-masing. Pandangan mereka segera berubah menjadi tajam dan seolah-olah meskipun tanpa diucapkan, mereka telah berjanji bahwa pada suatu ketika mereka akan berhadapan sebagai lawan yang harus membuat perhitungan dengan taruhan yang sangat mahal. Sebentar kemudian, Ki Ageng Lembu Sora segera memberi aba-aba kepada para pengiringnya, dan segera mereka pun pergi meninggalkan halaman Kepala Daerah Perdikan Banyubiru. Sampai di regol halaman, sekali lagi Lembu Sora menoleh kepada kakaknya yang melepasnya dari atas pendapa beserta istrinya. Dan dengan sekali lagi menganggukkan kepalanya, Lembu Sora lenyap dari pandangan mereka.

Setelah Lembu Sora hilang di balik pagar halaman, serta Ki Ageng Gajah Sora telah masuk kembali ke dalam rumah, segera Mahesa Jenar keluar dari Gandok Wetan dan langsung pergi lewat pintu pagar samping, menuruti tangga batu, pergi ke mata air dimana ia biasa mandi. Tetapi baru saja ia akan melepaskan pakaiannya, tiba-tiba dilihatnya dua bayangan diantara pepohonan agak diatas mata air itu. Dan ketika ia memandangnya lebih tajam lagi, dilihatnya seorang tua dengan seorang pemuda tampan berdiri memandangnya. Alangkah terkejutnya ketika diketahuinya bahwa orang tua itu tidak lain adalah Ki Ageng Pandan Alas yang berdiri bertolak pinggang sambil tertawa nyaring.
”Kau agak kesiangan bangun, Mahesa Jenar,” katanya diantara derai tertawanya.
Mahesa Jenar segera membungkuk hormat.
”Ya, Ki Ageng,” jawabnya.
”Mahesa Jenar…” sambung Ki Ageng Pandan Alas,
”Apakah Kakang Sora Dipayana telah meninggalkan Banyubiru?”
”Sudah, Ki Ageng.”
”Bagus,” sahut Pandan Alas.
”Aku juga akan segera pergi. Tetapi sengaja aku singgah sebentar untuk memperkenalkan muridku ini kepadamu.”
Barulah Mahesa Jenar sadar bahwa Pandan Alas itu berdiri di sana dengan seorang lagi. Maka ketika ia mendengar bahwa Pandan Alas bermaksud memperkenalkannya dengan muridnya, segera ia membetulkan pakaiannya dan melangkah mendekat.
Tetapi segera ia berhenti ketika Ki Ageng Pandan Alas menegornya,
”Tak usah kau naik kemari, Mahesa Jenar. Muridku agak malu berkenalan dengan kau yang telah memiliki nama besar sebagai seorang perwira prajurit Demak. Tidak saja itu, tetapi juga sebagai penolong yang luhur budi.”

MAHESA Jenar segera tertegun heran. Apakah hubungannya dengan nama yang pernah dimilikinya. Tetapi ketika sekali lagi ia memandang murid Pandan Alas itu, hatinya terguncang hebat. Apalagi ketika orang itu menundukkan wajahnya yang tampak kemalu-maluan. Mahesa Jenar segera mengenal siapakah murid Ki Pandan Alas itu. Karena itu wajahnya menjadi terasa panas dan jantungnya berdetak lebih cepat.
“Rupa-rupanya kau sudah mengenalnya Mahesa Jenar,” bertanya Pandan Alas sambil tertawa.
Mahesa Jenar tidak segera menjawab. Mulutnya jadi seperti terkunci.
Kemudian terdengar tertawa Pandan Alas semakin keras. Katanya,
“Aku jadi geli, kalau aku teringat ketika Mahesa Jenar jadi marah bukan main dan hampir saja membunuh orang yang sama sekali tak bersalah beberapa pekan yang lalu di hutan Tambak Baya, ketika ia kehilangan bebannya.”
Juga kali inipun Mahesa Jenar tidak menjawab.
Ketika kata-katanya tidak mendapat jawaban Pandan Alas melanjutkan,
“Mahesa Jenar, inilah muridku yang aku katakan. Siapakah nama yang pantas aku berikan kepadanya?.”

Mendengar pertanyaan yang berturut-turut itu hati Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia sendiri tidak mengetahui, kenapa ia tidak dapat menahan perasaannya sehingga ia kehilangan ketenangan. Murid Pandan Alas itu, meskipun jelas berpakaian seperti seorang pemuda, namun ketika Mahesa Jenar memandangnya agak lama, ia segera mengenal bahwa murid Pandan Alas itu sama sekali bukan seorang pemuda, melainkan ia adalah seorang gadis cantik yang sedang mekar, yang tidak lain adalah cucu Pandan Alas sendiri yaitu Rara Wilis yang pernah dikenalnya dan pernah ditolongnya. Pertemuan yang tidak diduga itu membuat Mahesa Jenar kehilangan ketenangan. Disamping itu iapun menjadi heran pula bahwa sedemikian cepat Ki Ageng Pandan Alas telah kembali bersama gadis itu. Kalau demikian ketika Ki Ageng Pandan Alas sedang bertempur dengan Pasingsingan, Rara Wilis pasti disembunyikan ditempat yang tidak begitu jauh dari Banyu Biru.
Pada saat kenangannya sedang menelusur kembali ke masa lampau terdengan kembali Pandan Alas berkata,
“apakah kau mempunyai pilihan nama yang baik Mahesa Jenar ? Aku sendiri bingung memberi nama yang sesuai. Tetapi yang jelas aku tidak akan memberinya nama Lawa Ijo, meskipun nama aselinya bermakna hijau juga.”

Mahesa Jenar masih saja belum dapat menguasai dirinya sehingga mulutnya masih belum dapat mengucapkan kata. Bahkan ia menjadi gelisah. Melihat sikap Mahesa Jenar, Pandan Alas tertawa semakin keras, katanya,
“Barangkali kau tidak siap menghadapi kejadian yang sangat tiba-tiba datangnya ini Mahesa Jenar. Tetapi tidak mengapa. Maksudku hanyalah supaya kau tahu bahwa cucuku ini aku bawa, supaya aku dapat melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu yang pertama untuk mengetahui siapakah yang telah membawa kedua keris Kiai Nagasasra dan Sabukinten, sedangkan yang kedua, supaya diperjalanan aku masih dapat mengajari anak ini selangkah dua langkah ilmu yang tak berarti, supaya ia dapat menjaga keselamatan dirinya. Sokur ia berhasil melepaskan pengaruh jahat ibu tirinya atas bapaknya yang sekarang bermukim di Gunung Tidar.”
Mendengar kata-kata Pandan Alas yang terakhir Mahesa Jenar terkejut, sahutnya,
” Maksud Ki Ageng, Sima Rodra Gunung Tidar ?”
“Ya,” jawab Pandan Alas.
“Sima Rodra muda itu adalah bekas menantuku yang kemudian kena pengaruh seorang perempuan, maka ia seperti berubah ingatan. Sekarang keturunanku satu-satunya adalah Wilis ini. Karena itu, meskipun ia seorang gadis aku akan mencoba untuk membuatnya setidak-tidaknya dapat menyamai ibu tirinya. Maka supaya pantas aku beri ia pakaian laki-laki dan seharusnya namanyapun harus nama lelaki pula. Nah apa katamu kalau anak ini aku beri nama Pudak Wangi?.”
Kembali Mahesa Jenar terbungkam. Tetapi nama itu rasanya amat manisnya. karena itu, meskipun ia tidak menjawab, tetapi dengan tidak disengaja ia mengangguk juga. Ia terkejut ketika Pandan Alas meneruskan,
“Ha rupanya kau setuju juga. Bukankah Pudak adalah nama dari bunga Pandan. Aku harap cucuku kelak akan dapat menjadi bunga Pandan yang wangi.”

Mahesa Jenar menjadi bertambah bingung. Ia ingin menjawab tetapi ia tidak tahu bagaimana, sampai akhirnya Pandan Alas berkata lagi,
“Mahesa Jenar kenapa kau diam saja. Setuju atau tidak, atau barangkali kau punya nama yang lebih baik?.”
“Tidak Ki Ageng” akhirnya terpaksa ia menjawab sekenanya,
“nama itu sudah baik sekali.”
“Bagus, Kau setuju dengan nama itu bukan. Nah kalau pada suatu ketika kau bertemu dengan seorang pemuda yang bernama Pudak Wangi, jangan kau apa-apakan dia,” sahut Ki Ageng Pandan Alas.
“Nah sekarang aku akan pergi. Marilah Pudak Wangi. Sebaiknya kau minta diri pada Mahesa Jenar.”
Wajah Rara Wilis segera berubah menjadi merah. Ia mencoba tersenyum, tetapi alangkah sulitnya. Dengan terpaksa ia berkata, “Selamat tinggal tuan, aku mohon diri untuk mengikuti kakek mencari pusaka yang hilang.”
Mendengar kata cucunya segera Pandan Alas membetulkan,
“eh Mahesa Jenar adalah murid sahabatku. Kenapa kaupanggil dengan sebutan tuan? kau sekarang adalah muridku. Panggil dengan sebutan yang lebih akrab sebagai dua murid dari dua orang sahabat.”
Kembali wajah Rara Wilis kemerahan. tetapi terpaksa ia berkata,
“Aku mohon diri kakang, aku akan menyertai guru.”
“Begitulah panggilan seorang sahabat,” kata Pandan Alas sambil tertawa nyaring. Sementara itu terdengar Mahesa Jenar menjawab,
“mudah-mudahan semuanya selamat, yang pergi dan yang ditinggalkan.”
“Baiklah Mahesa Jenar,” sahut Pandan Alas.
“Lekaslah mandi. Aku akan berangkat. Mungkin untuk waktu yang agak lama kita tidak bertemu. Selamat tinggal.”

SESUDAH mengucapkan kata-kata itu segera Ki Ageng Pandan Alas dan Rara Wilis yang kemudian bernama Pudak Wangi itu pergi meninggalkan Mahesa Jenar dan berjalan perlahan-lahan menyusup pepohonan. Mahesa Jenar berdiri tegak seperti patung mengawasi mereka berdua. Pikirannya tiba-tiba menjadi risau. Ia tidak tahu kenapa hatinya bergetar ketika mendengar Pandan Alas mengatakan bahwa mungkin untuk waktu yang lama mereka tidak akan bertemu. Malam tadi, ketika ia melihat Pandan Alas itu berangkat untuk mencari pusaka-pusaka yang hilang, ia tidak merasakan perasaan seperti pada saat itu. Baru beberapa saat kemudian Mahesa Jenar seperti orang sadar dari mimpi. Kembali ia turun ke mata air untuk mandi. Tetapi bagaimanapun terasa bahwa ada sesuatu yang mengganggu ketentraman hatinya. Rara Wilis meskipun sudah berpakaian seperti seorang pemuda, namun wajah itu selalu mondar-mandir saja di dalam otaknya. Karena itulah maka setelah ia mandi dan kembali ke rumah sahabatnya, ia tampak agak lain dari biasanya. Tetapi ia selalu berusaha untuk menyembunyikan perasaannya.

Dua-tiga hari kemudian, Mahesa Jenar merasa agak kurang enak untuk tinggal berdiam diri di rumah sahabatnya itu. Bagaimanapun ia merasa turut bertanggung jawab pula atas hilangnya pusaka-pusaka Demak yang telah dengan susah payah diketemukan dan direbut dari tangan Sima Rodra. Karena itu, meskipun ia tahu pasti bahwa yang berhasil merampas kedua pusaka itu, termasuk angkatan gurunya atau setidak-tidaknya mempunyai kesaktian yang setingkat dengan gurunya, serta Ki Ageng, namun adalah kewajibannya pula untuk mencoba-coba menemukannya kembali. Mahesa Jenar memutuskan menemui Ki Gajah Sora untuk minta diri, dan kemudian meneruskan perantauannya, dan apbila mungkin untuk mendapatkan kembali Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten yang telah hilang. Tetapi ketika pada suatu pagi, Mahesa Jenar telah bersiap-siap untuk minta diri, tiba-tiba terdengarlah sayup-sayup suara kentongan yang dipukul bertalu-talu dengan irama dara muluk ganda. Itu adalah suatu pertanda bahwa ada pejabat penting dari Istana Demak yang datang ke Daerah Perdikan Banyubiru. Tanda itu kemudian diulang dan diulang oleh pemukul-pemukul kentongan yang lain, sehingga suaranya terdengar semakin lama semakin dekat.

Mendengar tanda-tanda itu, Gajah Sora tampak agak sibuk mempersiapkan penyambutan. Tetapi bagaimanapun tampak membayang di wajahnya perasaan yang hambar dan kurang tenang. Meskipun ia belum tahu akan kepentingan para pejabat itu, namun ia mendapat firasat bahwa sesuatu yang kurang baik akan terjadi. Wanamerta yang masih belum sembuh benar, segera diundang pula. Beberapa pejabat lain, dengan sendirinya telah hadir pula setelah mendengar tanda-tanda itu. Mahesa Jenar yang mengerti juga akan tanda-tanda itu menjadi agak bingung. Ia meninggalkan Demak serta melepaskan pakaian keprajuritan karena perbedaan-perbedaan pendapat dengan beberapa pejabat istana. Dan sekarang di suatu tempat yang jauh dari istana, pejabat itu datang untuk suatu keperluan. Ia menjadi bimbang, apakah ia harus menemui pejabat-pejabat itu ataukah tidak. Akhirnya setelah menimbang masak-masak, akhirnya Mahesa Jenar minta kepada Gajah Sora untuk diberi kesempatan tidak usah menemui mereka dan kehadiran tamu-tamu tersebut. Juga tidak perlu dikabarkan bahwa Mahesa Jenar sedang berada di Banyubiru. Ia akan berada di dalam ruangan tengah sambil mendengarkan apakah kepentingan para pejabat itu datang ke daerah perdikan Banyubiru.

Sejenak kemudian terdengarlah di kejauhan suara sangkakala. Itu adalah suatu pertanda bahwa yang datang adalah pejabat-pejabat penting. Mendengar sangkakala itu, Gajah Sora menjadi bertambah sibuk. Diperintahkan seorang meniup sangkakala pula untuk menyatakan kesediaan kepala perdikan Banyubiru menerima tamu-tamu penting dari pusat. Sementara itu beberapa orang telah siap di atas kuda untuk menyongsong tamu-tamu dari Demak itu. Ketika Ki Ageng memberikan tanda-tanda, segera mereka pun berangkat. Mahesa Jenar yang menanti kedatangan tamu-tamu itu dari ruang dalam menjadi semakin lama semakin gelisah. Kalau saja ia telah meninggalkan tempat itu, maka apapun yang terjadi, ia sudah tidak melihatnya lagi. Tetapi sekarang, pada saat ia masih berada di tempat itu, dapatkah kiranya ia berdiam diri? Sebab dalam tangkapan Mahesa Jenar, kedatangan para utusan dari Demak itu pasti ada sangkut-pautnya dengan keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Beberapa saat kemudian, sebelah punggung Mahesa Jenar basah oleh keringat dingin yang mengalir karena kegelisahannya. Terdengarlah derap kuda di halaman.

Perasaan ingin tahu Mahesa Jenar sedemikian besar sehingga lewat lubang-lubang papan sambungan dinding, ia mengintip. Ketika ia melihat pemimpin rombongan dari Demak itu, dadanya bergetar. Rupa-rupanya rombongan ini dianggap sedemikian pentingnya sehingga telah ditunjuk untuk memimpin rombongan ini, seorang perwira dari pengawal bandar Bergota, yaitu Palindih, seorang perwira yang sangat terkenal, yang pada saat Pangeran Sabrang Lor menyerang Portugis di Malaka, dialah yang mempergunakannya sebagai batu loncatan untuk meluaskan jari-jari penjajahannya ke Pulau Jawa dan sekitarnya. Ia sudah menjabat sebagai pimpinan dari salah satu kapal dalam armada yang dipimpin langsung oleh Adipati Unus sendiri. Pada saat itu Gajah Sora, yang masih sangat muda, yang ikut sebagai sukarelawan dalam penyerangan itu, beruntung terpilih menjadi anggota pengawal Sabrang Lor. Karena pemuda itu telah menunjukkan ketangkasan yang luar biasa, maka dari Pangeran, ia menerima hadiah sebuah tombak pusaka. Karena itu, ketika Ki Ageng Gajah Sora melihat, siapakah yang datang, maka dengan tergopoh-gopoh ia turun ke halaman menyambut tamunya dengan salam persahabatan. Mereka telah saling berkenalan dan telah mengetahui kebesaran masing-masing.

TAMU-TAMU dari Istana Demak itu segera dipersilahkan naik ke pendapa, dimana telah hadir para pejabat tanah perdikan dan pimpinan-pimpinan laskar Banyubiru. Di belakang, Nyi Ageng pun telah bekerja keras menyiapkan suguhan yang dianggapnya pantas, untuk menjamu tamu-tamu dari kota. Setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing-masing, serta setelah mereka yang datang mendapat jamuan pelepas haus, maka mulailah Arya Palindih menyampaikan keperluannya datang ke Perdikan Banyubiru. Meskipun wajahnya tampak keras, tetapi karena umurnya yang telah agak lanjut, maka ia berusaha untuk berhati-hati.
“Anakmas Gajah Sora… izinkanlah aku menyampaikan pesan Baginda untuk Anakmas kepala daerah Perdikan Banyubiru. Pertama Baginda Sultan Demak menyampaikan salam taklim untuk Anakmas, serta doa mudah-mudahan pemerintahan perdikan Banyubiru yang didasarkan atas ketetapan sejak Baginda Brawijaya Pamungkas ini dapat berlangsung dengan sempurna, serta keputusan Baginda untuk tetap menghormati prasasti ketetapan tanah perdikan ini,” kata Arya Palindih.
“Adapun yang kedua,” lanjut Arya Palindih,
“Baginda Sultan Demak mengucap syukur ke hadirat Allah bahwa Anakmas dari Banyubiru yang sudah dikenal oleh Baginda sejak penyerangan ke daerah Utara, yang pada saat itu Pemerintahan Demak masih dipegang oleh Pangeran Sabrang Lor, telah berhasil menyelamatkan kedua pusaka istana, Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.”

Mendengar kata-kata itu, yang diucapkannya dengan jelas setiap suku katanya, baik Gajah Sora maupun Mahesa Jenar yang berada di ruang dalam, dadanya merasa seolah-olah tertindih beban yang sangat berat. Wajah Gajah Sora segera berubah, serta pandangannya menjadi suram. Meskipun hal itu telah diduganya, namun bagaimanapun darah Gajah Sora mengalir bertambah cepat juga. Maka dengan agak gemetar serta berusaha untuk menguasai diri, Ki Ageng Gajah Sora menjawab,
“Paman Arya Palindih yang aku hormati…. Pertama-tama aku merasa sangat berbesar hati atas kesudian Paman serta atas kemurahan hati Baginda mengutus sebuah rombongan untuk datang ke daerah yang terpencil ini. Adapun yang kedua, aku menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya pula atas perhatian Baginda kepada hasil yang telah aku dapatkan, yaitu menyelamatkan Kyai Nagasasra dan Kyai Sabuk Inten.
Sampai sekian kata-kata Gajah Sora terputus. Hatinya menjadi semakin gelisah serta dadanya bertambah berdebar. Dengan berusaha sedapat-dapatnya untuk menguasai dirinya ia melanjutkan,
“Tetapi Paman, sebaiknya aku berkata terus terang, bahwa mungkin karena kesalahanku, karena aku tidak mampu menjaga keselamatan kedua pusaka itu, maka beberapa hari yang lalu kedua pusaka itu hilang kembali.

Mendengar keterangan Gajah Sora itu, Arya Palindih terkejut, sehingga duduknya tergeser ke belakang. Dengan mata yang mengandung seribu satu macam pertanyaan, ia memandangi Gajah Sora tanpa berkedip. Gajah Sora merasakan bahwa sesuatu bergolak di dalam dada Arya Palindih, karena itu ia merasa perlu untuk memberikan penjelasan atas hilangnya kedua pusaka itu. Maka dengan sedikit bergetar Gajah Sora menceriterakan bagaimana ia berhasil mendapatkan kedua keris itu di Gunung Tidar, sampai kedua keris itu hilang dicuri orang, dengan kesaksian orang-orang yang pada saat itu masih belum sembuh benar, seperti Wanamerta, Panjawi dan lain-lainnya. Tetapi sudah tentu Gajah Sora sama sekali tak menyebut-nyebut nama Mahesa Jenar atau yang lebih terkenal dengan sebutan Rangga Tohjaya. Meskipun Gajah Sora telah mengatakan semuanya yang terjadi, tampaknya Arya Palindih masih memancarkan rasa kesangsian. Beberapa kali ia memandang berkeliling. Kepada Wanamerta, Bantaran, Panjawi, Sawungrana dan kepada para pengiringnya, seolah-olah ia minta penjelasan yang lebih banyak lagi, serta minta pertimbangan-pertimbangan.

Akhirnya setelah beberapa saat mereka berdiam diri, berkatalah Arya Palindih,
“Anakmas Gajah Sora, aku tahu betapa besar kemampuan Anakmas. Anakmas adalah salah seorang kepercayaan almarhum Pangeran Sabrang Lor yang juga disebut Adipati Unus pada usia yang masih sangat muda. Sekarang Anakmas telah berusia dua kali lipat. Aku percaya bahwa dalam usia yang sekarang ini Anakmas telah merupakan seorang yang maha perkasa. Ditambah lagi aku dengar laskar Banyubiru adalah laskar yang teguh dan perwira. Masih adakah gelombang-gelombang perampok yang hanya dapat mencegat pedagang-pedagang yang tak berdaya itu, berani mendekati Banyubiru? Apalagi memasuki rumah kepala daerah perdikan?”
“Paman Arya Palindih…” jawab Gajah Sora,
“Apa yang Paman katakan adalah benar. Tetapi yang datang ke Banyubiru bukanlah rombongan pencuri-pencuri kerdil yang hanya mampu membongkar dinding. Tidakkah Paman pernah mendengar nama-nama seperti Lawa Ijo, Sima Rodra, Sepasang Uling dari Rawa Pening, Jaka Soka dari Nusakambangan dan yang lebih terkenal lagi Pasingsingan, Sima Rodra tua dari Lodaya, Bugel Kaliki dari lembah Gunung Cerme…? Mereka itu semua telah beramai-ramai datang ke Banyubiru seperti orang yang dahulu-mendahului, seolah-olah kedua pusaka itu dapat mereka miliki dengan seenaknya saja. Kami telah berusaha sekuat tenaga kami, sampai beberapa orang kami luka parah, bahkan anakku sendiri terluka.”

ARYA PALINDIH menarik nafas dalam-dalam. Dahinya tampak berkerut-kerut. Meskipun usianya telah melebihi setengah abad, namun ia masih tampak segar dan perkasa. Beberapa rambut putih yang tumbuh di pelipisnya, tampak menambah wibawanya. Beberapa saat lamanya ia tidak berkata apa-apa. Ia sedang mencoba memahami keterangan-keterangan Gajah Sora, yang bagaimanapun sebenarnya agak janggal baginya. Kemudian terdengarlah ia berkata, Aneh. Aneh sekali.
“Kenapa mereka baru akan memperebutkan pusaka-pusaka itu setelah berada di tangan Anakmas. Kenapa mereka tidak merebutnya selagi pusaka-pusaka itu masih berada di tangan Sima Rodra Gunung Tidar.
Gajah Sora mengerutkan keningnya. Ia sadar bahwa Arya Palindih agak membimbangkan keterangannya. Karena itu ia melanjutkan, “Adakah Paman dapat membayangkan kekuatan raksasa yang mendatangi Banyubiru bersama-sama…? Tentang keheranan Paman, kenapa baru setelah pusaka-pusaka itu berada di Banyubiru, mereka beramai-ramai memperebutkan itu sama sekali tak aku ketahui. Itu adalah soal mereka. Tetapi mungkin sebelum itu tak seorangpun yang mengetahui, bahwa kedua pusaka itu berada di tangan Sima Rodra. Baru setelah kedua pusaka itu lenyap dari tangannya, ia sengaja meniup-niupkan berita bahwa pusaka-pusaka itu berada di Banyubiru.”
“Itupun aneh,” jawab Palindih. Dengan demikian ia akan mendapat banyak saingan.
Pendapat Palindih itu memang masuk akal. Gajah Sora terdiam untuk beberapa saat. Tetapi adalah suatu kenyataan bahwa kedua pusaka itu telah lenyap. Lalu apakah yang harus dikatakan, selain mengatakan apa yang telah terjadi. Apapun yang akan dikatakan, tetapi sudah pasti bahwa pada saat itu, ia tidak akan dapat menunjukkan keris-keris Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten.

Sesaat kemudian Arya Palindih melanjutkan,
“Anakmas…, aku memang telah pernah mendengar beberapa diantara nama-nama yang Anakmas sebutkan itu. Tetapi bagiku adalah sulit untuk dapat membayangkan bahwa kekuatan dari sebuah gerombolan perampok akan dapat menyamai kekuatan Banyubiru. Bagaimanapun kuatnya Bugel Kaliki dari Gunung Cerme, namun dapatkah ia melawan para pengawal seperti yang anakmas katakan itu?
Mendengar kata-kata Arya Palindih, kuping Gajah Sora rasa-rasanya seperti terjilat api. Karena itu segera wajahnya berubah menjadi merah. Tetapi meskipun demikian ia berkata tenang,
“Paman…, mungkin Paman tidak percaya, sebab Paman adalah seorang perwira prajurit yang lebih sering bertempur dalam satuan yang besar. Bukan pertempuran perorangan yang kadang-kadang mempunyai segi-segi yang jauh berbeda. Meskipun aku tahu bahwa secara perseorangan pun Paman termasuk seorang yang mumpuni. Atau barangkali karena Paman adalah seorang yang maha kuat, sehingga Paman sukar membayangkan kelemahan orang lain?”
Kata-kata Gajah Sora pun tak kurang tajamnya, sehingga sekali lagi Arya Palindih menggeser duduknya. Tetapi Arya Palindih juga berusaha menahan dirinya, sehingga masih dalam suasana yang baik ia berkata,
“Mungkin Anakmas, mungkin. Aku lebih senang mengatur siasat daripada menangani lawan. Juga terhadap orang seperti Bugel Kaliki, Pasingsingan dan Sima Rodra dari Lodaya itu pun aku akan mempergunakan siasat untuk menjebaknya.”
Kembali perasaan Gajah Sora seperti tertusuk sembilu. Maka katanya di dalam hati, Sayang Paman Palindih belum pernah bertemu dengan tokoh-tokoh seperti Pasingsingan, Sima Rodra, Ki Ageng Pandan Alas atau ayahnya sendiri.

Tokoh-tokoh yang lebih percaya pada dirinya sendiri daripada bertempur dalam satuan-satuan yang besar, dalam keadaan-keadaan tertentu. Seandainya sekali waktu Arya Palindih dapat berkenalan dengan salah seorang diantara mereka, maka mungkin ia akan berubah pendirian. Sebab mulai dengan penggemblengan diri, Arya Palindih telah berada di dalam lingkungan keprajuritan, sehingga kecuali para pelatih di dalam lingkungannya, ia tidak banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh di luar. Berbeda dengan Gajah Sora dan Mahesa Jenar. Mereka masuk di dalam lingkungan keprajuritan dengan bekal yang telah cukup. Itulah sebabnya, mereka mempunyai kelebihan. Suasana kemudian menjadi tegang.


<<< Bagian 019                                                                                              Bagian 021 >>>

No comments:

Post a Comment